Formulasi Kebijakan Earmarking Tax pada Pajak Air Permukaan di Formulasi kebijakan..., Ayu Dwi Arini, FISIP UI, 2013
Provinsi D.I Yogyakarta Ayu Dwi Arini, Achmad Lutfi Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik The emergence of policy in D.I Yogyakarta regarding earmarking tax on surface water tax for conservation and reforestation. It is considered a new view for the Law 28/2009 on Regional Taxes and Levies has not regulate the earmarking tax on surface water. D.I Yogyakarta is a province that is considered to have a problem on the water conditions . This study aims to analyze the reasons behind formulation of the policy about earmarking tax on surface water tax and the formulation process of the policy in D.I Yogyakarta. The result of this study are for the preservation of water resources in D.I Yogyakarta due to the condition of the water that has been worrying and the development priorities in D.I Yogyakarta, one of which is environmental sustainability. Appropiate stages of the policy formulation process has been carried out in accordance without experiencing significant obstacles to the objectives to be achieved . Key words: Policy Formulation, Earmarking Tax, Surface Water Tax 1.
Pendahuluan Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah,
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri dengan menghormati peraturan perundangan yang berlaku. (Nurcholis, 2007, p.30). Menurut Mardiasmo, tujuan otonomi dan manajemen keuangan daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dan memajukan perekonomian daerah. Dalam membiayai pembangunan salah satu upaya pemerintah daerah adalah menyerap dari sektor pajak dan retribusi, meskipun tidak kalah pentingnya pemasukan dari berbagai sektor pendapatan yang lain. Dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah telah memberikan
kewenangan lebih besar kepada daerah untuk menggali potensi perpajakan yang terdapat pada masing-masing daerah. Perundang – undangan tersebut mengatur jenis-jenis pajak daerah yang dipungut oleh provinsi. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus menerus serta sekaligus menciptakan good governance dan clean government, penerimaan beberapa jenis pajak daerah wajib dialokasikan (earmarking) untuk mendanai pembangunan sarana dan prasarana yang secara langsung dapat dinikmati oleh pembayar
Formulasi kebijakan..., Ayu Dwi Arini, FISIP UI, 2013
pajak dan seluruh masyarakat. Dalam UU 28/2009, Indonesia telah mengatur pajak daerah yang wajib dialokasikan (earmarking), yaitu: Pasal 8 ayat (5) menyebutkan penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) wajib dialokasikan sebesar 10% untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan, serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum; Pasal 31 menyebutkan penerimaan Pajak Rokok dialokasikan sebesar 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang; dan Pasal 56 menyebutkan sebagian penerimaan Pajak Penerangan Jalan dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan. Provinsi D.I Yogyakarta menjalankan fungsi otonomi daerah untuk meningkatkan ekonomi daerahnya dengan masyarakat yang ikut berperan serta, dan memiliki tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Yogyakarta dengan melalui pembangunan nasional. Penerimaan untuk pembiayaan pembangunan yang dikelola pemerintah D.I Yogyakarta berasal dari beberapa sumber. Hingga saat ini, komponen PAD yang bersumber dari pajak daerah menjadi sumber penerimaan terpenting bagi pemerintah D. I Yogyakarta. Dibawah ini merupakan realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pendapatan dari pajak daerah yang mengalami kenaikan setiap tahunnya di Provinsi D.I Yogyakarta. Tabel 1 Data Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Pajak Daerah Provinsi D.I Yogyakarta Tahun
Pendapatan Asli Daerah
Pajak Daerah
(PAD) 2009
596.850.801.653
524.567.434.500
2010
621.738.059.309
526.658.537.860
2011
775.117.447.989
655.306.917.953
2012
800.156.497.767
689.572.065.000
Sumber: Laporan Realisasi APBD Pemerintah Provinsi D.I Yogyakarta (diolah) Dengan tingkat penduduk di Provinsi D.I Yogyakarta, salah satu kebutuhan pokok masyarakat adalah tersedianya air bersih. Tidak semua masyarakat mampu menyediakan memenuhi kebutuhan air sendiri dengan berbagai pertimbangan dan alasan, sehingga membutuhkan peran pemerintah maupun swasta untuk memproduksinya. Potensi kapasitas
Formulasi kebijakan..., Ayu Dwi Arini, FISIP UI, 2013
produksi air bersih di D.I Yogyakarta pada tahun 2010 tercatat 2.250 liter/detik, namun baru efektif digunakan 80,49 % (1.811liter/detik). Pada tahun 2011, kapasitas produksi potensialnya meningkat menjadi 4.506 liter/detik, namun tidak diikuti oleh peningkatan kapasitas produksi efektifnya yang baru mencapai 1.957 liter/detik sehingga efektifitasnya penggunaanya baru mencapai 43,43%. Apabila dilihat dengan daerah lain di Indonesia, potensi air permukaan Indonesia lebih kurang 1.789 miliar m3/tahun dan potensi air tanah 4,7 miliar m3/tahun. Neraca Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta menunjukkan, PDAM diperkirakan mampu menyupali kebutuhan air bersih untuk warga DKI Jakarta dengan asumsi maksimal 175 liter/orang, atau dibutuhkan 1,5 juta m3 air dalam sehari. (BPS Sumber Air Bersih 2011, 26 Maret 2013). Sumber air bersih yang selama ini diolah berasal dari sungai, waduk, mata air, serta air tanah dan lainnya (air hujan, dan sebagainya). Grafik 1 Sumber Air Bersih 2011 (%)
Sumber: BPS Sumber Air Bersih D.I Yogyakarta tahun 2011 (diolah) Dari keempat sumber air tersebut, 66,67 % atau sebesar 26.521 ribu m3 diantaranya berasal dari air tanah dan lainnya. Sumber air yang berasal dari sungai dan waduk merupakan air permukaan sebagai pendukung air tanah sebesar 7.123 ribu m3 atau 17,91% dan 503ribu m3 atau sebesar 1,26%. Dibandingkan dengan tahun 2010, jumlah air yang disalurkan meningkat sebesar 1,61% dari 39.149 ribu m3 menjadi 39.778 ribu m3. Belakangan ini D.I Yogyakarta sedang mengalami krisis air bersih. Hal tersebut disebabkan karena pasca bencana meletusnya Gunung Merapi, musibah banjir yang melanda, serta akibat terjadinya kemarau panjang. Seperti halnya kemarau panjang yang terjadi, hingga kini mengakibatkan daerah di Kabupaten Bantul yang mengalami kekurangan air bersih. Badan Penanggulangan Bencana Daerah pun dibuat kewalahan untuk melakukan droping air.
Formulasi kebijakan..., Ayu Dwi Arini, FISIP UI, 2013
Karenanya dibutuhkan partisipasi pengusaha untuk membantu mengatasi kekurangan air bersih tersebut. (www.jogjatv.tv, 2 April 2013). Selain itu, krisis air bersih juga melanda daerah Sleman pasca meluapnya Sungai Gajahwong yang mengakibatkan banjir dan mencemari air bersih. Kondisi tersebut memaksa warga mencari sumber air bersih dari daerah yang tidak tergenang untuk dikonsumsi. (www.walhi.or.id, 2 April 2013). Dengan adanya pemanfaatan air permukaan seperti sungai, danau, waduk, dan sejenisnya, maka Pajak Air Permukaan yang menjadi salah satu sumber pendapatan Pajak Daerah yang dipungut provinsi dikatakan berpengaruh terhadap pendapatan daerah D.I Yogyakarta. Dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2009 menyebutkan yang dikatakan dengan Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. Pada Peraturan Daerah Provinsi D.I Yogyakarta No. 3 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah, dalam pasal 42 disebutkan tarif Pajak Air Permukaan sebesar 10% dari dasar pengenaan Pajak Air Permukaan. Selanjutnya diatur dalam pasal 75 tentang penggunaan pajak, disebutkan bahwa hasil penerimaan Pajak Air Permukaan paling sedikit 10%, termasuk yang dibagihasilkan kepada kabupaten/kota, dialokasikan (earmarking) untuk konservasi dan penghijauan. Penerapan alokasi (earmarking) yang bersumber dari penerimaan Pajak Air Permukaan dan telah diatur dalam Peraturann Daerah Provinsi D.I Yogyakarta No. 3 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah, menjadikan suatu pandangan baru karena dengan adanya alokasi (earmarking) pada Pajak Air Permukaan di Provinsi D.I Yogyakarta terlihat belum ada dalam ketentuan UU 28/2009 yang telah mengatur pengalokasian Pajak Daerah. Sejauh ini mengenai alokasi Pajak Air Permukaan, terbilang masih sedikit daerah lain di Indonesia yang menerapkan alokasi (earmarking) pada Pajak Air Permukaan selain D.I Yogyakarta. Hal ini dapat menjadi suatu hal yang menarik mengenai kebijakan Pemerintah Provinsi D.I Yogyakarta dalam menerapkan alokasi (earmarking) dari pajak daerah yang bersumber dari penerimaan Pajak Air Permukaan. Terkait dengan berbagai hal di Provinsi D.I Yogyakarta yang mengalami krisis air bersih khususnya yang bersumber dari air permukaan di Provinsi D.I Yogyakarta. Berdasarkan penjelasan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Menganalisis latar belakang pemerintah menerapkan kebijakan alokasi (earmarking) dari penerimaan Pajak Air Permukaan di Provinsi D.I Yogyakarta. (2) Menganalisis formulasi kebijakan alokasi (earmarking) pada Pajak Air Permukaan di Provinsi D.I Yogyakarta.
Formulasi kebijakan..., Ayu Dwi Arini, FISIP UI, 2013
2.
Kerangka Teori Kebijakan merupakan suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku
atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan tersebut. meskipun demikian terhadap suatu kebijakan perlu dilakukan analisis. Peran analisis kebijakan publik adalah memastikan bahwa kebijakan yang akan diambil adalah benar-benar dilandaskan atas manfaat optimal yang akan diterima oleh publik, bukan asal menguntungkan pengambilan kebijakan. Hal yang pertama mucul adalah adanya isu publik dari masyarakat yang menyangkut banyak orang. Munculnya isu dapat menggerakan pemerintah untuk merumuskan suatu kebijakan publik untuk menuntaskan suatu isu yang terjadi. Setelah melewati proses perumusan, kebijakan publik akan dijalankan baik oleh pemerintah dan/atau masyarakat secara bersama-sama. Pada proses perumusan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan, diperlukannya tindakan evaluasi yang bertujuan untuk menilai apakah kebijakan yang telah dirumuskan dan dilaksanakan dengan baik. Dalam suatu jangka panjang, kebijakan tersebut akan menghasilkan suatu outcome/ouput yang diharapkan dapat semakin meningkatkan tujuan yang akan dicapai bersama dengan adanya kebijakan tersebut (Nugroho, 2004, p.47). Formulasi kebijakan publik adalah sebuah rangkaian proses perumusan kebijakan yang dilakukan oleh policy maker sebelum kebijakan tersebut dikeluarkan untuk diimplementasikan (Abidin, 2004, p.35). Proses perumusan ini merupakan bagian penting dalam agenda kebijakan karena dengan perumusan kebijakan yang terpadu akan menghasilkan sebuah kebijakan tepat untuk ditetapkan. Dalam penelitian ini, peneliti akan menganalisis dengan menggunakan teori aktor karena pada perumusan kebijakan dilakukan oleh para perumus kebijakan yang terdiri dari aktor – aktor yang terlibat. Aktor – aktor yang melakukan perumusan kebijakan adalah menjadi penentu bagaimana kebijakan tersebut dirumuskan hingga menjadi suatu kebijakan yang dapat diimplementasikan. Aktor – aktor tersebut terdiri dari pembuat kebijakan resmi (official policy – makers) dan aktor dari non pemerintah (non governmental participants) (Anderson, 2006, p. 46). Aktor – aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu aktor – aktor resmi dan aktor – aktor tidak resmi. Aktor – aktor resmi meliputi presiden (eksekutif), legislatif, yudikatif, dan agen – agen pemerintah. Mereka dapat dikatakan sebagai aktor resmi karena mempunyai kekuasaan yang secara sah diakui oleh konstitusi dan bersifat mengikat. Sedangkan aktor – aktor tidak resmi seperti, kelompok kepentingan, partai – partai politik, dan warganegara individu. Mereka dapat berpartisipasi dalam proses perumusan kebijakan,
Formulasi kebijakan..., Ayu Dwi Arini, FISIP UI, 2013
namun tidak memiliki kewenangan yang secara sah untuk membuat keputusan mengikat (Winarno, 2007, p. 123 - 128). Kebijakan pajak yaitu kebijakan yang berhubungan dengan penentuan apa yang dijadikan sebagai tax base, siapa-siapa yang dikenakan pajak, siapa-siapa yang dikecualikan, apa-apa yang akan dijadikan sebagai objek pajak, apa-apa yang dikecualikan dari objek pajak, bagaimana menentukan besarnya pajak yang terutang dan bagaimana menentukan prosedur pelaksanaan kewajiban pajak terutang (Rosdiana, 2005, p.93). Menurut Mardiasmo dalam bukunya Perpajakan, terdapat dua fungsi pajak, yaitu (Mardiasmo, 2009, p.1) : 1.
Fungsi Budgetair Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaranpengeluarannya.
2.
Fungsi Mengatur (regurelend) Pajak sebagai alat untuk mengatur atau untuk melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Mansury mengemukakan fungsi pertama pajak mengisi kas negara (budgetair) yang merupakan fungsi untuk menghimpun dana dari masyarakat bagi kas negara untuk kegiatan pemerintahan, baik pembiayaan rutin maupun pembiayaan pembangunan. Kedua, fungsi mengatur (regulerend), yaitu berfungsi sebagai upaya pemerintah untuk turut mengatur, bila perlu mengubah susunan pendapatan dan kekayaan swasta. (Mansury, 1999, p.3). Menurut Mardiasmo, pajak daerah adalah pajak yang dipungut daerah berdasarkan peraturan perpajakan yang ditetapkan oleh daerah untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga pemerintah daerah tersebut (Mardiasmo, 2003, p. 51). Pajak daerah ini dimana telah melewati proses perumusan kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah agar mencapai suatu tujuan tertentu. Earmarking didefinisikan sebagai hasil penerimaan pajak yang dikhususkan atau ditujukan untuk penyelenggaraan pelayanan publik tertentu yang berkaitan dengan pajak tersebut. Seperti yang dipaparkan dalam kutipan berikut, “… In its strictest sense, earmarking requires that the revenues of a particular tax are devited to the provision of a public good and that the public good is only financed from this tax…” (Bos, 2000, p.443) Beberapa ahli lain juga memaparkan pengertian earmarking, seperti yang diungkapkan oleh McCleary (McCleary, 1991, p.82), “earmarking is the practice of assigning revenue generally through statute or constitutional clause from specific taxes or groups of taxes to specific government activities or areas of activity.” Earmarking
Formulasi kebijakan..., Ayu Dwi Arini, FISIP UI, 2013
merupakan praktik umum yang dilakukan untuk menetapkan pendapatan dari pajak tertentu atau kelompok pajak tertentu yang digunakan untuk membiayai kegiatan khusus pemerintah yang lebih spesifik. Sebagai suatu kebijakan, earmarking tax memiliki beberapa alasan justifikasi dalam penerapannya. Justifikasi penerapan earmarking yang dikemukakan oleh Derran dalam McCleary (McCleary, 1991, p.88), yaitu: • Earmarking applies the benefit principle of taxation. • Earmarking gives more assutance of minimum levels of financing for public services that governments consider wirthy, thus avoiding periodic haggling within the bureaucracy and the legislature over appropriate level of funding. • Greater stability and continuity of funding may lead to lower cost because of speedy completion of projects. • By linking taxation with spending, earmarking may overcome resistance to taxes and help to generate new sources of revenue. Justifikasi diatas menjelaskan bahwa, pertama earmarking menerapkan prinsip manfaat. Earmarking akan semakin kuat apabila terdapat hubungan antara pembayar pajak dengan manfaat yang akan didapat dari pembayar pajak tersebut. Kedua, earmarking tax akan memberikan kepastian dana setidaknya pada level minimum. Selain itu, memberikan kontinuitas dan stabilitas dalam pendanaan. Hal ini juga dapat menjadikan cost recovery dalam penyediaan barang dan jasa publik. Terakhir adalah penerapan earmarking akan mengurangi resistensi dari pembayar pajak yang sangat terkait dengan prinsip manfaat yang diterima oleh pembayar pajak. Pajak lingkungan diberbagai negara dikenal dengan “Green Taxes” atau “Environtmental Taxation”. Green Tax merupakan sebuah ragam luas dari alat-alat atau kelengkapan dasar pasar yang didesain untuk mengubah tingkah laku masyarakat dalam peranannya di dalam perekonomian. Hal ini bekaitan dengan eksternalitas, yaitu suatu efek samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain. Mengatasi eksternalitas tersebut dapat digunakan instrument pajak, pajak terhadap kegiatan-kegiatan yang menimbulkan eksternalitas negatif ini biasa disebut dengan pigovian tax, yang diambil dari nama pencetusnya, yakni Arthur Pigou, sebagaimana merupakan terjemahan dari teori yang diungkapkan Rock : Green taxes refer to a wide variety of market-based instruments designed to change environtmental behaviors of economic actors. The obvious point of departure for
Formulasi kebijakan..., Ayu Dwi Arini, FISIP UI, 2013
consideration of green taxes is their economic rationale and Pigou (1952) was the first to develop such a rationale (Rock, 2000 : 7). Teori ini menegaskan bahwa pajak lingkungan menjalankan fungsinya sebagai fungsi regulerend, dimana pajak dipergunakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu yaitu mengubah tingkah laku masyarakat. Syarat pajak lingkungan yang baik harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu biaya administrasi pemungutannya murah, tidak menimbulkan gangguan atau menyimpang terhadap aktifitas ekonomi, pajak harus adil, dan dapat memperbaiki dampak eksternalitas negative yang ditimbulkan. Pendapat ini dikemukakan oleh Clarke dalam jurnal yang berjudul Green Tax are Good Taxes : A good tax is cheap to administer; a good tax does not distort economic activity; a good tax is fair. Another sort of good tax corrects an externality-a cost imposed by one set of economic players on another. That is the category that green taxes fall into (Clarke, 1996, p.1). Dalam pemungutan pajak lingkungan harus memberi keseimbangan antara perlindungan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi dalam rangka pembangunan berkelanjutan, setiap perusahaan atau individu dapat menghitung keuntungan dari perilaku yang ramah lingkungan. Sebagaimana konsep pajak yang dikemukakan oleh Herrera dalam jurnal yang dikutip oleh Fernandez yang berjudul Global and European Environmental Taxation System : Environtmental tax should achieves a balance between environtmental protection and economic growth like the sustainable development. The economic advantage of fiskal measures compared to direct regulations in their flexibility. Each company or individual can calculate the profitability of a more environtmentaly-friendly behavior. As a result, the overall pollution would be reduced with lower cost, to the desired level. Environtmental tax tries an environtmental earmarking because the revenues are used to finance environtmental protection (Fernandez, 2005 : 78). Tujuannya, pencemaran lingkungan dapat dikurangi dengan biaya seminimal mungkin. Dan hasil penerimaan pajak tersebut digunakan untuk membiayai perlindungan lingkungan. 3.
Metode Penelitian Penelitian yang akan dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam hal ini
peneliti bertujuan untuk menganalisis terkait formulasi kebijakan earmarking tax pada pajak air permukaan. Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif karena penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih rinci mengenai suatu gejala atau fenomena. Jadi tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan mekanisme sebuah proses formulasi kebijakan. Teknik pengumpulan data bertujuan untuk
Formulasi kebijakan..., Ayu Dwi Arini, FISIP UI, 2013
mengumpulkan data atau informasi yang dapat menjelaskan permasalahan suatu penelitian secara obyektif. Data kualitatif terbagi menjadi dua bentuk yaitu Studi Lapangan (Field Research) dan Studi Kepustakaan (Library Research). 4.
Analisis
4.1
Latar Belakang Kebijakan Earmarking Tax pada Pajak Air Permukaan di Provinsi D.I Yogyakarta Permasalahan sumber daya air sudah menjadi perhatian banyak pihak karena menjadi
ancaman langsung bagi manusia. Ketersediaan sumber daya air sangatlah beragam. Apabila dilihat dalam konteks siklus hidrologi, sumber daya air merupakan sumber daya yang sangat dinamis. Hal ini berarti sumber daya tersebut senantiasa dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat lain. Dengan adanya dinamika tersebut, maka ketersediaan dan penggunaan kebutuhan sumber daya air selalu berubah dan dinamis setiap saat. Terjadinya ketimpangan yang tidak sejalan antara kebutuhan dengan ketersediaan akan menimbulkan masalah, yang kemudian disebut sebagai krisis air. Apabila dilihat dari banyaknya titik-titik pencemaran yang ada maka tidak mengherankan bila kualitas air sungai di Provinsi D.I Yogyakarta terus mengalami penurunan. Hal ini sesuai dengan yang telah disampaikan oleh Cahyo dari Badan Lingkungan Hidup DIY, bahwa sejauh ini kondisi air di Provinsi D.I Yogyakarta dapat dikatakan sudah sangat tercemar. Pencemaran sungai-sungai sudah sangat tinggi. Faktor utama tercemarnya sungai adalah karena masyarakat masih suka mengotori sungai (wawancara, 18 September 2013). Pada saat ini meningkatnya konsentrasi manusia dan meningkatnya infrastruktur pada daerah-daerah rawan seperti pada pinggir sungai dapat mengindikasikan terdapat masyarakat yang hidup dalam tingkat resiko tinggi. Fenomena bencana banjir merupakan salah satu dampak dari kesalahan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Kegiatan masyarakat seperti terjadinya penggundulan hutan dan rusaknya kawasan resapan air dapat berakibat fatal pada sumber daya air. Tindakan penebangan hutan dan perusakan daerah respan air tidak terlepas dari memenuhi kebutuhan materialitas manusia yang merupakan kepentingankepentingan pihak tertentu. Disampaikan oleh Cahyo dari Badan Lingkungan Hidup Bag. Kasie Konservasi, segala kegiatan perusakan terdapat kaitan dengan unsure ekonomi. Seperti halnya penebangan hutan dan penambangan liar yang dinilai sulit untuk dihilangkan. Bahkan terkadang yang dilakukan pemerintah untuk menjaga lingkungan agar tidak tercemar dapat menjadi beban bagi masyarakat (wawancara, 18 September 2013).
Formulasi kebijakan..., Ayu Dwi Arini, FISIP UI, 2013
Banyaknya permasalahan yang ditimbulkan terkait dengan air bersih di Provinsi D.I Yogyakarta, hal ini dirasakan dibutuhkan suatu kebijakan untuk mengatur berbagai fenomena yang terjadi. Adanya kebijakan pajak air permukaan dinilai dapat mengatur terjadinya eksploitasi air secara berlebihan serta berbagai kegiatan masyarakat yang dapat menimbulkan pencemaran air sehingga menyebabkan terus menurunnya kualitas air sungai. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Mardiasmo dalam bukunya Perpajakan, (Mardiasmo, Perpajakan (Edisi Revisi), 2009, p.1) bahwa pajak memiliki fungsi mengatur (regulerend) yaitu sebagai alat untuk mengatur atau untuk melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Teori yang diungkapkan oleh Mardiasmo sejalan dengan yang disampaikan oleh Esti sebagai pihak dari DPRD Provinsi D.I Yogyakarta, bahwa ketika air di eksploitasi kemudian bagaimana seharusnya diciptakan alat untuk mengaturagar air tidak hanya dieksploitasi saja, namun dengan adanya pajak air permukaan akan menahan dan menyelamatkan kembali ke lingkungan (wawancara, 27 September 2013). Di setiap negara yang memungut pajak berkaitan dengan lingkungan memiliki ruang lingkup yang berbeda pada pengenaan pajak, sehingga memiliki cakupan tergantung pada pengaturan yang berlaku. Seperti halnya di Indonesia, pajak air permukaan merupakan pajak provinsi yang didesain sedemikan rupa untuk mengatur masyarakat dalam pemanfaatan lingkungan dalam hal ini air permukaan. Hal ini sebagaimana teori yang diungkapkan oleh Rock. Green taxes refer to a wide variety of market-based instruments designed to change environtmental behaviors of economic actors. The obvious point of departure for consideration of green taxes is their economic rationale and Pigou (1952) was the first to develop such a rationale (Rock, 2000 : 7). Pemerintah mengharapkan kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan air agar tetap terjaga. Disamping itu, pemerintah berusaha turut membantu dengan dilahirkannya kebijakan alokasi pajak air permukaan untuk konservasi dan penghijauan yang tertuang pada Perda Provinsi D.I Yogyakarta No. 3 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah. Mansury mengungkapkan bahwa selain memiliki fungsi mengisi kas negara (budgetair), pajak memiliki fungsi mengatur (regulerend) yaitu sebagai upaya pemerintah untuk turut mengatur. (Mansury, 1999, p.3). Teori yang diungkapkan oleh Mansury sejalan dengan adanya kebijakan pajak air permukaan dengan upaya menjalankan fungsinya sebagai pengatur agar terhindarnya dari kerusakan lingkungan. Dalam pemungutan pajak air permukaan yang dialokasikann paling sedikit 10 % untuk konservasi dan penghijauan yang telah diatur pada Perda di Provinsi D.I Yogyakarta, selain untuk melestarikan sumber daya
Formulasi kebijakan..., Ayu Dwi Arini, FISIP UI, 2013
air yang diakibatkan karena mulai mengkhawatirkannya kondisi air di Provinsi D.I Yogyakarta, hal tersebut juga dilatarbelakangi dengan prioritas pembangunan yang ada di Provinsi D.I Yogyakarta. Menurut Esti sebagai anggota DPRD Provinsi D.I Yogyakarta, salah satu skala prioritas pembangunan di Provinsi Yogyakarta adalah lingkungan hidup, sehingga diciptakan kebijakan agar ketika bicara mengenai air permukaan yang berhubungan dengan lingkungan hidup maka harus adanya keseimbangan (wawancara, 27 September 2013). Pendapat Esti diatas sesuai dengan teori yang mengenai pajak berbasis lingkungan yang dikemukakan oleh Harerra dalam jurnal yang dikutip oleh Fernandez yang berjudul Global and European Environmental Taxation System. Environtmental tax should achieves a balance between environtmental protection and economic growth like the sustainable development. The economic advantage of fiskal measures compared to direct regulations in their flexibility. Each company or individual can calculate the profitability of a more environtmentaly-friendly behavior. As a result, the overall pollution would be reduced with lower cost, to the desired level. Environtmental tax tries an environtmental earmarking because the revenues are used to finance environtmental protection (Fernandez, 2005 : 78). Dalam pemungutan pajak berbasis lingkungan harus memberikan keseimbangan antara perlindungan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan, setiap perusahaan atau individu dapat menghitung keuntungan dari perilaku yang ramah dan berpihak pada lingkungan. Hal ini tidak berarti tanpa tujuan. Tujuannya adalah agar pencemaran lingkungan dapat dikurangi dengan biaya seminimal mungkin dan hasil dari penerimaan pajak tersebut digunakan untuk membiayai perlindungan lingkungan. Prioritas pembangunan yang ada di Provinsi D.I Yogyakarta sebagai latarbelakang adanya kebijakan alokasi pajak (earmark tax) pada pajak air permukaan yang mengacu pada suatu peraturan mengenai rencana pembanguanan. Esti dari pihak legislatif yaitu sebagai anggota DPRD Provinsi D.I Yogyakarta mengungkapkan mengenai rencana pembangunan tersebut. Semua kebijakan mengacu kepada RPJP Daerah (Rencana Pembangunan Jangka Panjang). RPJP Daerah kemudian di breakdown ke dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) lalu disesuaikan dengan misi dan visi Gubernur. RPJM merupakan program 5 tahunan yang kemudian diturunkan dengan program-program tertentu melalui APBD (wawancara, 27 September 2013). Pada rencana pembangunan yang menjadi prioritas pembangunan Provinsi D.I Yogyakarta dalam bagian sumber daya air telah dijelaskan bahwa potensi sumber daya air di Provinsi D.I Yogyakarta salah satunya berasal dari air permukaan. Potensi air permukaan terkait dengan adanya keberadaan sungai-sungai di Provinsi D.I Yogyakarta. berbagai upaya
Formulasi kebijakan..., Ayu Dwi Arini, FISIP UI, 2013
sebagai penyeimbangan ketersediaan air di musim penghujan dan kemarau menjadi sangat penting dilakukan untuk menjaga keberlangsungan penyediaan air. 4.2
Proses Formulasi Kebijakan Earmarking Tax pada Pajak Air Permukaan di Provinsi D.I Yogtakarta Proses tahapan formulasi suatu kebijakan yang terkait dengan earmarking tax pada
pajak air permukaan di Provinsi D.I Yogyakarta adalah termasuk hal yang utama dilakukan pemerintah provinsi. Formulasi adalah berasal dari kata formula yang berarti pengembangan suatu rencana, metode atau rumus dalam rangka menyelesaikan suatu permasalahan. Munculnya kebijakan adanya alokasi pada pajak air permukaan di Provinsi D.I Yogyakarta diawali dari diterapkannya Undang – undang No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD yang kemudian menerapkan adanya pemisahan antara pajak air permukaan dan pajak air bawah tanah yang menjadikan pajak air bawah tanah menjadi pajak Kabupaten/Kota. Berdasarkan dengan temuan yang didapat di lapangan oleh peneliti, dibawah ini merupakan analisis dan tahapan yang disajikan oleh peneliti yang berkaitan dengan proses formulasi kebijakan earmarking tax pada pajak air permukaan di Provinsi D.I Yogyakarta. Tahapan – tahapan proses formulasi kebijakan tersebut terdiri dari empat tahapan. Pada tahap pertama, Draft awal atau Raperda tentang pajak daerah yang didalamnya terdapat kebijakan alokasi pada pajak air permukaan ini pertama kali diusulkan oleh pihak Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) Provinsi D.I Yogyakarta. Dalam hal ini DPPKA bertindak sebagai pihak dari eksekutif yang kedudukannya berada dibawah Gubernur Provinsi D.I Yogyakarta. Sama halnya dengan yang disampaikan oleh Widianto, sebagai Kasie. Pajak di DPPKA Provinsi D.I Yogyakarta, bahwa karena sejak ditetapkannya UU No 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah kemudian kewenangan dari air bawah tanah diserahkan kepada Kabupaten/Kota dan Provinsi memegan pajak air permukaan. Oleh karena itu, Provinsi merubah atau menambahkan yang terdapat pada Perda. Dari DPPKA membuat konsep dalam bentuk draft agar selanjutnya dapat dibahas oleh pihak-pihak yang terkait (wawancara, 23 September 2013). Dalam tahap pertama formulasi kebijakan ini telah melewati proses dan dirancang sebaik mungkin untuk kepentingan bersama pada umumnya, dan kepentingan masyarakat pada khususnya. Hingga pada tahap ini tidak ditemukannya kendala yang berarti, karena yang diperlukan masih sebatas ilmu dan pembahasan dengan pihak yang dianggap terkait.
Formulasi kebijakan..., Ayu Dwi Arini, FISIP UI, 2013
Pada tahap ini masuk pada tahap kedua, draft Raperda kemudian masuk ke dalam ranah badan Legislatif. Tahap ini dapat dilakukan apabila draft awal Raperda mengenai pajak daerah yang di dalamnya terdapat pula kebijakan mengenai earmarking tax pada pajak air permukaan telah memiliki konsep sebaik mungkin dan disusun pula ke dalam naskah akademik. Dalam tahap ini diawali dengan disampaikannya Surat Gubernur D.I Yogyakarta mengenai perihal Penyampaian Raperda Pajak Daerah yang ditujukan kepada Pimpinan DPRD Provinsi D.I Yogyakarta. Setelah disampaikannya Surat Gubernur mengenai Raperda tersebut, kemudian diserahkan kepada pihak DPRD melalui pimpinan DPRD Provinsi D.I Yogyakarta yang selanjutnya dikaji di Badan Legislasi Daerah (Balegda). Balegda merupakan alat kelengkapan DPRD yang memiliki tugas utama menyusun Program Legislasi Daerah (Prolegda) yang memuat daftar rancangan peraturan daerah. Setelah Balegda melakukan pengkajian tersebut, kemudian draft diserahkan kembali kepada pimpinan DPRD bahwa Raperda tersebut telah masuk kedalam Prolegda dan layak untuk ditindaklanjuti pada rapat paripurna. Disampaikan oleh Esti dari DPRD Provinsi D.I Yogyakarta, draft diserahkan kepada DPRD dalam bentuk draft Raperda yang kemudian dikaji di Balegda (Badan Legislasi Daerah) layak atau tidak untuk dilanjutkan, apabila telah disetujui masuk ke dalam Prolegda dan menjadi bagian dari Prolegda kemudian di draft-kan kepada pimpinan DPRD agar dapat diumumkan di Prolegda bahwa telah menjadi Program Legislasi Daerah. setelah disetujui, kemudian saatnya pihak Eksekutif menghantarkan (wawancara, 27 September 2013). Proses selanjutnya, dilakukan penetapan jadwal pembahasan Raperda yang dilakukan pada Rapat Kerja oleh Badan Musyawarah DPRD agar jalannya pembahasan Raperda tersebut dapat berlangsung dengan teratur. Pada pembahasan dalam rapat paripurna pertama, Eksekutif menghantarkan dengan resmi yang dilakukan oleh Gubernur D.I Yogyakarta serta penyampaian langsung penjelasan mengenai Raperda tersebut. Tahapan selanjutnya adalah permohonan diajukan oleh Pimpinan DPRD kepada Pimpinan fraksi – fraksi perihal menentukan anggota Panitia Khusus (Pansus) untuk pembahasan Raperda lebih lanjut dan dilakukannya rapat internal oleh fraksi – fraksi untuk menyusun pandangan umum terhadap penjelasan yang telah disampaikan oleh Gubernur. Pandangan umum para fraksi berisikan mengenai masukan dan pertanyaan yang dapat diajukan oleh fraksi perihal naskah akademik Raperda, termasuk kebijakan earmarking tax pada penerimaan pajak air permukaan.
Formulasi kebijakan..., Ayu Dwi Arini, FISIP UI, 2013
Rapat Paripurna kedua dilakukan dengan penyampaian hasil pembahasan pandangan umum dari para fraksi – fraksi yang disampaikan oleh juru bicara dari masing – masing fraksi mengenai naskah akademik Raperda. Dalam Rapat Paripurna Ketiga beragendakan penjelasan Gubernur terhadap masukan dan pertanyaan para fraksi. Selain penyampaian jawaban Gubernur, pada rapat ini juga dilakukan persetujuan dan penetapan pembentukan Panitia Khusus beserta dengan penunjukan pimpinan dan keanggotaan Panitia Khusus. Ketika jawaban Gubernur mengenai pandangan umum fraksi telah disampaikan dan telah dilakukan penetapan pembentukan panitia khusus, maka pada saat itu pula para anggota panitia khusus melakukan rapat internal mengenai penetapan pimpinan dan keanggotaan dengan Keputusan DPRD Provinsi D.I Yogyakarta. Sesuai dengan yang telah disampaikan oleh Esti sebagai Ketua Pansus Raperda (wawancara, 27 September 2013). Tahap ketiga, dalam tahap ini Pansus harus menjalankan tugasnya untuk membahas lebih lanjut mengenai Raperda. Pansus sebagai tim dari pihak Legislatif harus menyampaikan apa saja yang harus ditindaklanjuti mengenai Raperda kepada tim Eksekutif. Selain itu, masyarakat juga harus ikut dilibatkan dalam pembuatan Perda tersebut. Hal ini dikarenakan tujuan dari penyusunan Raperda ini adalah untuk kepentingan masyarakat pada khususnya agar tidak adanya rasa diberatkan dari masyarakat dengan disusunnya Raperda ini. Widianto sebagai pihak dari Eksekutif yang turut hadir dalam Public Hearing menyampaikan, dalam Rapat Public Hearing Pansus bersama dengan tim Eksekutif mendengarkan pendapat masyarakat mengenai masukan - masukan yang disampaikan. Pimpinan Pansus menyampaikan maksud dan tujuan akan diundangkannya Raperda yang nantinya tidak semata untuk mencari peningkatan penerimaan daerah saja tetapi yang terpenting substansi mengenai Raperda ini adalah nantinya diharapkan dapat melindungi, mengayomi, dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat wajib pajak (wawancara, 23 September 2013). Draft Raperda yang telah direvisi dan disempurnakan oleh Tim Eksekutif apabila dirasa cukup akan dijadikan bahan kunjungan kerja ke Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta dan Kementrian Keuangan Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dirjen Perimbangan Keuangan RI. Agar dalam pembahasan Raperda tentang pajak daerah tidak bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku, maka sebelum Raperda tersebut disetujui bersama antara DPRD dan Pemerintah Provinsi D.I Yogyakarta, maka Pansus mengadakan konsultasi dengan Kementrian Dalam Negeri RI dengan didampingi oleh tim Eksekutif. Hasil dari adanya kunjungan kerja dengan Pemprov DKI Jakarta dan konsultasi
Formulasi kebijakan..., Ayu Dwi Arini, FISIP UI, 2013
Kementrian Dalan Negeri akan dijadikan bahan referensi untuk pembahasan kelanjutan pembahasan Pansus Raperda. Tahap keempat, ketika Raperda telah melewati evaluasi dari dilakukannya kunjungan kerja dan konsultasi, hasil evaluasi disampaikan kepada Gubernur D.I Yogyakarta untuk diadakannya pendapat akhir atas persetujuan bersama mengenai Raperda pajak daerah yang sebelumnya telah disampaikan kepada Kementrian Dalam Negeri. Persetujuan Raperda ini dilakukan pada Rapat Paripurna terakhir dengan diawali penyampaian laporan hasil kerja Raperda oleh Pimpinan Pansus, lalu disampaikannya pendapat akhir oleh para fraksi. Raperda yang telah disetujui bersama, maka dilakukannya penandatanganan Naskah Rancangan Persetujuan Bersama oleh Gubernur D.I Yogyakarta dan
Pimpinan DPRD
Provinsi D.I Yogyakarta yang selanjutnya diserahkan seluruhnya kepada Gubernur D.I Yogyakarta. Sesuai dengan Undang – undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undnag – undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 144 ayat (1) bahwa Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur, akan disampaikn oleh Pimpinan DPRD kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. Pada kesempatan terakhir, Gubernur D.I Yogyakarta menyampaikan pendapat terakhir mengenai Raperda yang ditujukan kepada pihak Legislatif khususnya kepada Pansus yang telah menjalankan tugasnya melakukan pembahasan Raperda sehingga dapat disetujui bersama untuk ditetapkan sebagai Peraturan Daerah Dalam setiap formulasi suatu kebijakan tidak terlepas dari aktor – aktor yang berperan di dalamnya. Seperti yang dikemukakan oleh Winarno (2007, p. 123 – 128), aktor – aktor tersebut baik yang dikatakan sebagai aktor resmi ataupun aktor tidak resmi, begitu pula dengan perumusan kebijakan earmarking tax pada pajak air permukaan di D.I Yogyakarta. Berikut adalah aktor – aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan, antara lain: aktor resmi yang terdiri dari, Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) Provinsi D.I Yogyakarta; DPRD Provinsi D.I Yogyakarta (Lembaga Legislatif); dan Kementrian Keuangan, Kementrian Dalam Negeri dan Gubernur Provinsi D.I Yogyakarta. Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) Provinsi D.I Yogyakarta memiliki peran dalam formulasi kebijakan earmarking tax pada pajak air permukaan di D.I Yogyakarta, DPPKA merupakan yang pertama mengusulkan adanya kebijakan ini dengan dirumuskan pada draft awal. Dalam perumusan kebijakan earmarking tax pada pajak air permukaan ini, pihak DPPKA pertama kali melakukan pembuatan konsep dengan mengundang beberapa pihak yang dinilai berkaitan dengan usulan kebijakan yang dirumuskan. Menurut pendapat Widianto, DPPKA melakukan pembahasan dengan pihak –
Formulasi kebijakan..., Ayu Dwi Arini, FISIP UI, 2013
pihak yang dirasa memahami mengenai air, seperti PDAM, Dinas Pelayanan Umum Bidang Sumber Daya Air, dan Dinas Pertambangan mengenai nilai faktor. Pembahasan ini dilakukan agar konsep yang dirumuskan tidak mengalami kekeliruan dengan melibatkan pihak yang terkait (wawancara, 23 September 2013). Pihak Legislatif dalam hal ini adalah DPRD Provinsi D.I Yogyakarta yang memiliki peranan dangat penting. Hal ini karena DPRD memiliki kewenangan dimana suatu kebijakan yang baru melalui tahap perumusan dan akan menjadi suatu kebijakan baru dapat dikatakan sah apabila telah disetujui oleh lembaga legislatif. Dalam proses perumusan kebijakan earmarking tax pada pajak air permukaan ini diawali dengan pengkajian oleh Badan Legislatif Daerah (Balegda) yang kemudian apabila dinyatakan layak, maka dapat dibahas lebih lanjut dan spesifik oleh Panitia Khusus yang telah dibentuk. Panitia Khusus yang telah dibentuk oleh DPRD memiliki peranan sangat penting karena disinilah mereka memiliki kewajiban bekerja untuk membahas Raperda dari awal hingga tiba pada tahapan keputusan final. Dalam menjalankan tugasnya, DPRD dapat melakukan mekanisme seperti dengar pendapat serta konsultasi – konsultasi
dengan pihak yang terkait dalam perumusann
kebijakan ini. Dalam perumusan kebijakan yang dibuat juga memiliki aktor resmi yang memberikan penilaian terhadap Raperda yang telah dirancang. Terkait dengan hal ini, lembaga yudikatif mempunyai peran yang penting juga dalam melakukan tinjauan serta evaluasi dan menafsirkan ketentuan undang – undang yang berkaitan dengan perumusan kebijakan yang dibuat. Kementrian Keuangan, Kementrian Dalam Negeri, dan Gubernur memiliki peranan mengkaji Raperda mengenai kebijakan earmarking tax pada pajak air permukaan di D.I Yogyakarta lebih lanjut hingga disetujui bersama oleh DPRD dan disahkan oleh Gubernur. Hal tersebut sesuai untuk menjalankannya berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri No. 213/PMK 07/2010 dan No. 58 Tahun 2010 Pasal 3 dan Pasal 6 serta dalam Undang – undang PDRD No. 28 Tahun 2009 Pasal 157. Selain adanya peran dari aktor-aktor resmi, adanya aktor tidak resmi juga memiliki peranan dalam terciptanya suatu kebijakan. Dalam formulasi kebijakan ini, telah melibatkan aktor-aktor tidak resmi, antara lain: kelompok-kelompok kepentingan dan Bagian Hukum. Pada saat berjalannya pembahasan perumusan kebijakan, kelompok – kelompok kepentingan mempunyai peranan cukup penting. Menurut Widianto, dalam proses perumusan kebijakan earmarking tax pada pajak air permukaan di D.I Yogyakarta, seluruh stakeholder termasuk masyarakat umum diundang untuk menghadiri rapat dengar pendapat untuk memberikan masukan dan penilaiannya mengenai Raperda yang telah disusun. Hal ini
Formulasi kebijakan..., Ayu Dwi Arini, FISIP UI, 2013
bertujuan agar dapat menghasilkan keputusan kebijakan yang dapat bermanfaat bagi masyarakat luas. Ketika ada yang dirasa kurang dapat ditambahkan atau disempurnakan. Apabila telah dilakukan public hearing ke masyarakat, kemudian dapat ditetapkan oleh DPRD mengenai Perda tersebut (wawancara, 23 September 2013). Dengar pendapat yang diselenggarakan dalam pembahasan Raperda ini dihadiri oleh berbagai kalangan, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), masyarakat umum hingga perwakilan kelompok mahasiswa. Selain itu, Bagian Hukum sebagai aktor tidak resmi yang memiliki kewajiban memberikan konsultasi mengenai kebijakan yang telah dirumuskan dengan aturan – aturan yang disesuaikan dengan ketetapan hukum yang berlaku. Bagian Hukum tidak memiliki kewenangan dalam memberikan masukan dan pendapat terkait dengan perihal ini dalam suatu perumusan kebijakan. Kewenanangan Bagian Hukum hanya terbatas pada masalah hukum dan legalitas suatu kebijakan dalam pembahasan dalam pelaksanaannya. 5.
Simpulan dan Saran 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, maka kesimpulan
dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Hal – hal yang melatarbelakangi dalam formulasi kebijakan earmarking tax pada pajak air permukaan di Provinsi D.I Yogyakarta adalah sebagai upaya melakukan pelestarian sumber daya air di D.I Yogyakarta. Hal tersebut dikarenakan kondisi air yang mulai mengkhawatirkan dan menjadikan sebagai upaya pemerintah untuk melestarikan lingkungan khususnya kelestarian sumber daya air untuk memenuhi ketersediaan air bersih. Kemudian melihat lingkungan hidup yang masuk ke dalam salah satu skala prioritas pembangunan Provinsi D.I Yogyakarta yang juga tertuang pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang telah disesuaikan dengan visi dan misi Gubenur. Setiap kebijakan mengacu pada orientasi pembangunan yang tetap memperhatikan kelestarian lingkungan, termasuk kebijakan earmarking tax pada penerimaan pajak air permukaan. 2) Formulasi kebijakan earmarking tax pada pajak air permukaan di D.I Yogyakarta melewati empat tahapan. Tahap pertama adalah pembuatan draft rancangan Raperda yang disusun oleh DPPKA sebagai pihak dari Eksekutif, kemudian tahap kedua adalah masuknya draft Raperda ke pihak Legislatif yang diawali dengan permohonan
Formulasi kebijakan..., Ayu Dwi Arini, FISIP UI, 2013
Gubernur dan pengkajian oleh Balegda hingga para fraksi memberikan pandangan umum yang dilanjuti oleh penjelasan Gubernur mengenai jawaban pandangan umum para fraksi. Tahap ketiga, Pansus dibentuk dan berkewajiban bekerja membahas Raperda bekerjasama dengan Eksekutif. Pada tahap ini, dengar pendapat dari pihak masyarakat juga dilakukan sebagai pandangan dan referensi saat pembahasan Raperda. Tahap keempat, setelah Raperda melewati pembahasan melalui beberapa Rapat Paripurna, kemudian dievaluasi, maka Raperda telah sampai hingga tahap finalisasi untuk segera disahkan oleh Gubernur. Setelah disahkannya Perda Provinsi D.I Yogyakarta No. 3 Tahun 2011 telah resmi diberlakukan termasuk earmarking tax dari pajak air permukaan untuk konservasi dan penghijauan. 5.2. Saran 1) Pajak air permukaan yang menjadi salah satu pajak tingkat provinsi dirasa masih perlu dilakukan pendataan lebih mendalam agar pemerintah dapat menggali potensi yang ada. Karena dengan adanya kebijakan earmarking tax ini, sangat baik untuk kelestarian lingkungan dengan melihat begitu banyak Provinsi di Indonesia yang memiliki penerimaan pajak air permukaan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan D.I Yogyakarta namun belum adanya kesadaran alokasi dana untuk lingkungan. Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan D.I Yogyakarta dapat menjadi daerah percontohan yang memiliki kesadaran lingkungan bagi daerah lain. 2) Sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, ada baiknya apabila dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat bagaimana kebijakan ini diimplementasikan secara menyeluruh untuk melihat tercapai atau tidaknya tujuan – tujuan dari penerapan earmarking tax pada pajak air permukaan di D.I Yogyakarta.
Formulasi kebijakan..., Ayu Dwi Arini, FISIP UI, 2013
Daftar Referensi Buku Abidin, SZ. (2004). Kebijakan Publik. Jakarta : Yayasan Pancur Siwah. Anderson, J. E. 2006. Public Policy Making. Boston: Houghton Mifflin Company. Asian Development Bank TA 7010. 2008. Strategy and Roadmap for Developing The Property Tax in Indonesia. Jakarta. Bos, Diater. (2000). Earmark Taxation : Welfare Versus Political Support. Journal Of Public Economics. Mansury, R. (1999). Kebijakan Fiskal. Jakarta : YP4. Mardiasmo. (2009). Perpajakan (Edisi Revisi). Yogyakarta : Andi. Nugroho, Riant. (2004). Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta : Gramedia. Nurcholis, Hanif. (2007). Teori dan Praktik : Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta : Grasindo. Rosdiana, Haula dan Tarigan. (2005). Perpajakan Teori dan Aplikasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Winarno, Budi. (2007). Kebijakan Publik Teori & Proses. Jakarta: PT.Buku Kita. Jurnal Clarke, K. (1996). Green Tax are Good Taxes. Retrieved February 7, 2013, from Proquest Journal Online: http://proquest.umi.com.
Fernandes, M. L. (2005). Global and Eropean Environtmental Taxation System, The Business Review. Retrieved February 7, 2013, from Proquest Journal Online: http://proquest.umi.com
McCleary, William. (1991). The Earmaeking of Government Revenue. A Review of Some World Bank Experience. The World Bank Research Obsever, vol 6, no.1.
Publikasi Elektronik Pemkot Yogya Targetkan Bangun 1 Juta Bio Pori. diakses 2 Agustus 2013, from www.jogjatv.com Warga Yogya dan Sleman Krisis Air Bersih. diakses 2 April 2013, from www.walhi.or.id.
Formulasi kebijakan..., Ayu Dwi Arini, FISIP UI, 2013