Jurnal Matematika & Sains, Desember 2014, Vol. 19 Nomor 3
Formulasi dan Evaluasi Sediaan Mikroemulsi Untuk Penghantaran Transdermal Ketoprofen dengan Fasa Minyak Labrafil M1944CS Sani Ega Priani1), Sasanti Tarini Darijanto2), Tri Sucianti2), dan Maria Immaculata Iwo3) 1) Jurusan Farmasi Universitas Islam Bandung, Bandung 2) Kelompok Keilmuan Farmasetika, Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung, Bandung 3) Kelompok Keilmuan Farmasi Farmakologi Klinik, Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung, Bandung e-mail:
[email protected] Diterima 8 Desember 2014, disetujui untuk dipublikasikan 27 Desember 2014 Abstrak Ketoprofen termasuk obat anti inflamasi non steroid (NSAIDs) untuk pengobatan simptomatik nyeri dan inflamasi. Pemakaian ketoprofen secara transdermal diketahui mampu menghantarkan zat aktif untuk mencapai konsentrasi efektif pada jaringan target, dengan konsentrasi plasma yang lebih rendah dibanding penggunaan per oral, sehingga mengurangi resiko efek samping sistemik. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan mikroemulsi ketoprofen yang stabil secara fisik untuk penghantaran transdermal. Optimasi formula mikroemulsi dibuat menggunakan fasa minyak labrafil M 1944 CS, surfaktan Cremophor EL, serta kosurfaktan etanol, propilenglikol, dan gliserin. Evaluasi sediaan meliputi pengamatan organoleptik, pH, viskositas, dan ukuran globul, serta pengujian stabilitas fisik menggunakan metode sentrifugasi dan freeze thaw. Selanjutnya dilakukan uji difusi in vitro dan uji iritasi kulit dan mata pada kelinci. Formula mikroemulsi optimum mengandung labrafil 15%, cremophor EL 30%, dan propilenglikol 10%. Sediaan mikroemulsi memenuhi kriteria stabilitas fisik berdasarkan uji sentrifugasi dan freeze thaw. Nilai pH dan viskositas sediaan relatif stabil selama 120 hari penyimpanan pada suhu kamar. Mikroemulsi ketoprofen memiliki ukuran globul rata-rata 29,3 nm. Jumlah ketoprofen terdifusi selama 180 menit pengujian adalah 386,6 ± 61,2 µg/cm2. Sediaan mikroemulsi mengiritasi ringan pada kulit tetapi tidak mengiritasi mata. Kata kunci: Ketoprofen, Mikroemulsi, Transdermal, Difusi.
Formulation and Evaluation of Microemulsion for Ketoprofen Transdermal Delivery Using Labrafil M1944CS as an Oil Phase Abstract Ketoprofen belongs to NSAIDs and is commonly applied for symptomatic treatment of pain and inflamation. Transdermal route of ketoprofen application enables the delivery of this active substance to reach its effective concentration in target organ but with lower plasma concentration compared to that of per oral application and hence can reduce systemic side effects. The objectives of this study are to obtain microemulsion formulation of ketoprofen for transdermal delivery. Microemulsion was formulated using Labrafil M 1944 CS as an oil phase, cremophor EL as surfactant and etanol, propylene glycol, glycerin as cosurfactans. Evaluation of ketoprofen microemulsion included organoleptic evaluation, pH, viscocity, globul diameter, and physical stability test using centrifugation and freeze thaw methods. Skin permeation was evaluated in vitro using spangler membrane and irritation effect test on rabbits. The optimum formulation of microemulsion was labrafil 15%, cremophor EL 30%,and propylene glycol 10%. Microemulsion of ketoprofen did not show any changes during freeze thaw and centrifugation tests which indicated its stability. The viscosity and pH of preparations were relatively stable for 120 days storage at room temperature. Average globule diameter of microemulsion was 29.3 nm. The total ketoprofen diffused was 386.6 ± 61.2 µg/cm2 for 180 minutes of testing time. The microemulsion showed slight irritation effect on the skin but no irritation effect on the eyes. Keywords : Ketoprofen, Microemulsion, Transdermal, Diffusion. NSAIDs banyak dikembangkan dalam bentuk sediaan transdermal. Pada pemakaian secara transdermal, NSAIDs diketahui mampu mencapai konsentrasi efektifnya pada jaringan target, dengan konsentrasi plasma hanya 10% dibandingkan penggunaan oral, sehingga bisa mengurangi resiko efek samping sistemik (Cannavino dan Abrams, 2003; Brewer dkk., 2010, Sing dkk., 2009). Keunggulan lain dari penggunaan transdermal adalah
1. Pendauhuluan Ketoprofen adalah salah satu obat golongan nonsteroidal anti-inflamatory drugs (NSAIDs) yang umum digunakan untuk meredakan nyeri dan inflamasi seperi dalam kondisi artritis rhematoid. NSAIDs diketahui bertanggung jawab atas 25% dari laporan efek samping obat di dunia. Sebagai alternatif dari penggunaan secara oral, obat-obat golongan 92
Priani, dkk., Formulasi dan Evaluasi Sediaan Mikroemulsi Untuk Penghantaran Transdermal …………..…….. 93 kemampuan untuk mengontrol laju penghantaran obat, penghantaran obat langsung pada jaringan target, dan tingginya penerimaan pasien (Lee dkk., 2005; Barhate, 2010). Pada penghantaran obat secara transdermal, zat aktif harus mampu melalui barier utama kulit yaitu stratum korneum. Proses penetrasi bergantung pada faktor kulit, zat aktif, dan formulasi dari sediaan. Desain formulasi yang tepat perlu dibuat untuk mendukung kemampuan penetrasi ketoprofen. Pada penelitian ini ketoprofen akan diformulasikan menjadi sediaan mikroemulsi. Mikroemulsi didefinisikan sebagai emulsi minyak dalam air (m/a) atau air dalam minyak (a/m) yang stabil secara termodinamik dengan ukuran globul 10-200 nm. Mikroemulsi terbentuk dengan menggabungkan air, minyak, surfaktan, dan kosurfaktan. Mikroemulsi banyak dikembangkan untuk penghantaran obat secara transdermal, karena dapat meningkatkan kelarutan obat-obat yang sukar larut dalam air serta mampu memodifikasi struktur kulit untuk meningkatkan penetrasi transdermal (Grampurohit, 2011; Lee dkk., 2005; Lee, 2010). Mikroemulsi yang akan dibuat adalah mikroemulsi tipe m/a didasarkan pada sifat ketoprofen yang memiliki kelarutan yang rendah dalam air. Mikroemulsi tipe m/a dapat meningkatkan penetrasi kulit secara signifikan untuk zat-zat yang bersifat hidrofob (Junyapraserta dkk., 2007). Fasa minyak yang digunakan adalah labrafil M 1944 CS. Labrafil adalah minyak sintesis yang merupakan linoleoyl macrogolglyceride. Pemilihan labrafil sebagai fase minyak didasarkan kemampuan labrafil untuk melarutkan ketoprofen lebih baik dibandingkan dengan beberapa minyak lain yang umum digunakan seperti isopropil miristat, minyak zaitun, minyak jagung, asam oleat, dan labrafac (Shakeel, 2010). Labrafil sering digunakan untuk formulasi sediaan topikal karena sifatnya yang tidak mengiritasi. Pada penelitian ini dibuat sediaan transdermal ketoprofen 2,5% dalam bentuk mikroemulsi lalu diuji difusi perkutannya secara in vitro dan keamanannya melalui uji iritasi kulit dan mata secara in vivo pada kelinci. 2. Bahan dan Metode Penelitian 2.1 Bahan, hewan uji, dan alat Bahan uji yang digunakan adalah Ketoprofen (PT. Kalbe Farma tbk), labrafil M 1944 CS (Gattefosse), VCO (SITH ITB), cremophor EL (BASF), etanol, propilenglikol, gliserin, metil paraben, propil paraben, tokoferol, dapar fosfat, dan larutan spangler. Hewan uji yang digunakan adalah kelinci albino jantan garur New zaeland. Alat uji yang digunakan adalah timbangan analitik (Mattler Toledo), pengaduk elektrik (Janke & Kunkle, IKA labortechnik), viskometer (Brookfield DV I), sentrifuga (Hettich EBA 85), spektrofotometer UV/Vis (Beckman DU 75i), particle size analyzer (delsaTM Nano C, Beckman Coulter), pH meter
(Beckman), alat laboratorium.
uji
difusi,
dan
alat
gelas
2.2 Optimasi basis mikroemulsi dan pembuatan Diagram Pseudoternary Optimasi basis diawali untuk mencari kosurfaktan yang tepat. Kosurfaktan dipilih diantara etanol, propilenglikol, dan gliserin. Digunakan perbandingan surfaktan dan kosurfaktan 3:1. Dibuat formula dengan berbagai perbandingan minyak dan campuran surfaktan-kosurfaktan dari 1:2 sampai dengan 1:4 dengan jumlah minyak dibuat tetap pada konsentrasi 10%. Selanjutnya dilakukan optimasi untuk meningkatkan jumlah fasa minyak dan menentukan konsentrasi surfaktan dan kosurfaktan optimal. Mikroemulsi dibuat dengan terlebih dahulu mencampurkan fasa minyak, surfaktan, dan kosurfaktan pada suhu 50 oC dan kemudian dicampurkan dengan fasa air dan diaduk menggunakan pengaduk mekanik. Mikroemulsi yang telah dibuat disimpan 24 jam untuk diamati kejernihannya. Seluruh data hasil optimasi dimasukkan ke dalam diagram tiga fasa menggunakan program Statistica 7 untuk mendapatkan Diagram Pseudoternary. 2.3 Pembuatan mikroemulsi ketoprofen Air, minyak, surfaktan, kosurfaktan masingmasing dipanaskan pada suhu 50 oC. Campurkan minyak, surfaktan, dan kosurfaktan sampai homogen. Selanjutnya ketoprofen dilarutkan ke dalam campuran tersebut. Campuran kemudian digabungkan dengan air (suhu 50 oC) dan diaduk dengan pengaduk mekanik dengan kecepatan 300 rpm selama 10 menit. 2.4 Evaluasi fisik mikroemulsi Pengamatan organoleptis Dilakukan pengamatan terhadap warna, bau, pertumbuhan jamur untuk sediaan mikroemulsi dan emulgel. Untuk sediaan mikroemulsi dilakukan pengamatan terhadap kejernihan sediaan. Uji Sentrifugasi Sediaan disentrifugasi dengan kecepatan 3750 rpm selama lima kali 60 menit. Pengamatan pemisahan fase dilakukan setiap 60 menit. Uji Freeze Thaw Metode freeze thaw dilakukan dengan menyimpan sediaan pada suhu 4 oC selama 48 jam kemudian dipindahkan ke suhu 40 oC selama 48 jam (1 siklus). Setelah itu dilanjutkan sampai lima siklus. Setiap satu siklus selesai, dilihat ada tidaknya pemisahan fase pada sediaan. Uji pH dan viskositas Pengukuran dilakukan dengan alat pH meter dan Viskosimeter Brookfield DV I pada hari ke 1, 30, 60, 90, dan 120 pada sediaan pada suhu kamar.
94 Jurnal Matematika & Sains, Desember 2014, Vol. 19 Nomor 3 Penentuan ukuran globul Sediaan dicampurkan dengan aquadest 1:1 dan diaduk sampai homogen. Ukuran globul diukur menggunakan particle size analyzer (delsaTM Nano C, Beckman Coulter, size range 0,6 nm-7μm). 2.5 Uji difusi In vitro Sebanyak satu gram sediaan disimpan pada kompartemen donor sel difusi kemudian di atasnya ditutupi dengan membran sintetik spangler. Dapar fosfat pH 7,4 disiapkan sebagai cairan penerima. Sel difusi direndam dalam bak air dengan suhu 370C, bersama dengan penampung cairan penerima yang dihubungkan dengan selang dan pompa peristaltik. Dilakukan pengambilan sampel dari cairan penerima sebanyak 5 mL pada waktu 15, 30, 45, 60, 75, 90, 105, 120, 150, dan 180 menit. Setiap pengambilan sampel dilakukan penggantian dengan 5 mL larutan dapar fosfat. Kadar zat dalam cairan penerima ditentukan dengan menggunakan spektrofotometer ultraviolet pada panjang gelombang maksimum 261 nm. Basis mikroemulsi diperlakukan sama, untuk nantinya digunakan sebagai blanko pada pengukuran kadar zat terdifusi. 2.6 Uji iritasi kulit Uji iritasi kulit dilakukan pada punggung kelinci yang sebelumnya telah dibersihkan dari bulu dengan menggunakan alat pencukur listrik. Kelinci dibiarkan selama 24 jam sebelum perlakuan. Kelinci yang digunakan adalah kelinci normal dan bebas luka. Sediaan mikroemulsi ditimbang masing-masing 0,5 g dan dioleskan pada bagian punggung yang telah ditetapkan, ditutup dengan kasa hidrofil, plastik selofan, kapas, dan kemudian direkatkan dengan plester hipoalergenik. Punggung kelinci dibalut dengan perban dan dibiarkan minimal 4 jam. Eritema dan udem diamati pada jam ke 24, 48, dan 72 jam setelah perlakuan. Iritasi ditentukan dengan menggunakan tiga ekor kelinci dan nilai skor iritasi ketiga kelinci ditentukan berdasarkan pedoman skor iritasi OECD. Selanjutnya berdasarkan skor eritema dan udem masing-masing kelinci dihitung Indeks Iritasi Kutan Primer. 2.7 Uji iritasi mata
kondisi kesehatan dan mata kelinci minimal 24 jam. Kelinci dengan kondisi mata yang mengalami gangguan atau kelainan tidak diikutsertakan dalam pengujian. Sediaan diaplikasikan pada bagian konjungtiva salah satu mata kelinci sebanyak 0,1 g. Mata sebelahnya dibiarkan tanpa perlakuan sebagai kontrol. Dilakukan pengamatan pada jam ke 24, 48, dan 72 jam setelah perlakuan dan ditentukan skornya. 3. Hasil dan Diskusi Pada penelitian ini dilakukan formulasi sediaan transdermal ketoprofen. Ketoprofen harus bisa masuk menembus stratum korneum yang merupakan barier utama penetrasi transdermal. Ketoprofen bersifat sukar larut dalam air. Untuk meningkatkan penetrasi dari ketoprofen salah satunya bisa dilakukan dengan merancang bentuk sediaan yang dapat memfasilitasi proses difusinya. Pada penelitian ini ketoprofen diformulasi jadi sediaan mikroemulsi. Pembuatan bentuk sediaan mikroemulsi didasarkan pada kemampuannya untuk bisa meningkatkan penetrasi dari obat karena meningkatkan kelarutan ketoprofen dalam sediaan. Keberadaan surfaktan dan kosurfaktan dalam konsentrasi yang tinggi pada mikroemulsi juga dapat menjadi peningkat penetrasi bagi ketoprofen dalam bentuk sediaan mikroemulsi. Optimasi basis mikroemulsi dilakukan untuk menentukan konsentrasi minyak, surfaktan, dan kosurfaktan optimal. Optimasi awal dibuat 9 formula mikroemulsi dengan variasi jenis kosurfaktan (Tabel 1). Dari hasil pengujian diketahui bahwa mikroemulsi dapat terbentuk dengan mengunakan kosurfaktan etanol dan propilenglikol pada perbandingan minyak dan campuran surfaktan kosurfaktan 1:3 dan 1:4. Kosurfaktan yang akhirnya dipilih adalah propilenglikol karena memiliki resiko iritasi yang lebih rendah dibanding etanol untuk digunakan secara topikal (Rowe dkk., 2007). Selanjutnya dilakukan optimasi untuk lanjutan dengan meningkatkan konsentrasi fasa minyak dan memvariasikan konsentrasi surfaktan kosurfaktan. Peningkatan jumlah fasa minyak dimaksudkan untuk meningkatkan kelarutan ketoprofen dalam sediaan sehingga lebih meningkatan difusinya.
Uji iritasi dilakukan pada mata kelinci. Sebelum perlakuan dilakukan pengamatan terhadap Tabel 1. Optimasi jenis kosurfaktan. Bahan (%) Labrafil Cremophor Propilenglikol Etanol Gliserin Aquadest ad Hasil
F1 1:2 10 15,0 5 100 Keruh
F2 1:3 10 22,5 7,5 100 Jernih
Formula (perbandingan minyak: surfaktan+kosurfaktan) F3 F4 F5 F6 F7 F8 1:4 1:2 1:3 1:4 1:2 1:3 10 10 10 10 10 10 30 15,0 22,5 30 15,0 22,5 10 5 7,5 10 5 7,5 100 100 100 100 100 100 Jernih Keruh Jernih Jernih Keruh Keruh
F9 1:4 10 30 10 100 Keruh
Priani, dkk., Formulasi dan Evaluasi Sediaan Mikroemulsi Untuk Penghantaran Transdermal …………..…….. 95
Variasi konsentrasi surfaktan kosurfaktan dimaksudkan untuk menentukan konsentrasi surfaktan terendah yang bisa menciptakan mikroemulsi jernih. Hasil yang diperlihatkan pada tabel 2 menunjukkan bahwa dengan konsentrasi minyak labrafil 15% maka konsentrasi surfaktan terendah yang bisa menghasilkan sediaan yang jernih adalah 30% (F11). Formula F11 yang digunakan sebagai formula basis mikroemulsi ketoprofen. Tabel 2. Optimasi konsentrasi minyak, surfaktan, kosurfaktan. Bahan (%)
Formula F10
F11
F12
F13
15
15
15
15
Cremophor
33,75
30
27
24
Propilenglikol
11,25
10
9
8
100 Jernih
100
100
100
Jernih
Keruh
Keruh
Labrafil
Aquadest ad Hasil
stabil selama 5 siklus freeze thaw dan 5 jam uji sentrifugasi. Tabel 3. Formula mikroemulsi ketoprofen Bahan Komposisi (%) Ketoprofen 2,5 Labrafil 15 Cremophor EL 30 Propilenglikol 10 Gliserin Metil paraben 0,18 Propil paraben 0,02 Tokoferol 0,01 Aquadest ad 100 Selanjutnya dilakukan pemantauan pH dan viskositas terhadap sediaan selama 120 hari penyimpanan. Hasil menunjukkan bahwa nilai pH dan viskositas sediaan stabil selama penyimpanan. Nilai pH sediaan berkisar antara 5-5,2 yang sesuai dengan nilai pH kulit yang relatif asam (4,5-6). Viskositas sediaan relatif stabil selama penyimpanan.
Gambar 2. Grafik pH mikroemulsi.
Gambar 1. Diagram tiga fasa mikroemulsi. Seluruh hasil optimasi formula basis mikroemulsi, dipetakan ke dalam diagram tiga fasa untuk mengetahui daerah terbentuknya mikroemulsi (Gambar 1). Selanjutnya dibuat sediaan mikroemulsi ketoprofen dengan konsentrasi 2,5%. Ketoprofen dilarutkan kedalam campuran minyak, surfaktan dan kosurfaktan, baru kemudian ditambahkan fasa air. Ke dalam sediaan juga ditambahkan pengawet dan antioksidan untuk menjaga stabilitas sediaan selama proses penyimpanan karena pengaruh lingkungan (Tabel 3). Uji stabilitas dari sediaan mikroemulsi dilakukan dengan uji freeze thaw dan uji sentrifugasi. Uji tersebut untuk melihat apakah terjadi pemisahan fasa minyak dan fasa air dari sediaan dengan diberi stress suhu dan mekanik (gaya gravitasi). Hasil kedua uji tersebut menunjukkan bahwa kedua sediaan tetap
Gambar 3. Grafik viskositas mikroemulsi. Terhadap sediaan mikroemulsi dilakukan penentuan ukuran globul untuk memastikan bahwa sediaan mengandung ukuran globul dalam batas wilayah mikroemulsi yaitu 10-200 nm (Grampurohit dkk., 2011). Hasil menunjukkan bahwa sediaan mikroemulsi memiliki ukuran globul rata rata 29,3 nm. Ukuran globul tersebut menyebabkan sediaan mikroemulsi yang dihasilkan menjadi jernih/transparan.
96 Jurnal Matematika & Sains, Desember 2014, Vol. 19 Nomor 3
Tabel 4. Hasil uji iritasi kulit mikroemulsi ketoprofen. Pengamatan Kelinci 1 (Jam) Udem Eritema 24 0 1 48 0 1
Kelinci 2 Udem 0 0
Kelinci 3
Eritema 1 1
Udem 0 0
Eritema 0 0
Indeks iritasi kutan primer (OECD) 0,33
72 0 0 0 0 0 0 Keterangan : 0 : tidak ada; 1 : tidak tampak jelas; 2: tampak jelas; 3: sedang sampai kuat. Tabel 5. Skor iritasi mikroemulsi pada mata kelinci. Kelinci Ke1 2 3
Kornea 24 48 72 0 0 0 0 0 0 0 0 0
24 0 0 0
Iris 48 0 0 0
72 0 0 0
Konjungtiva 24 48 72 0 0 0 0 0 0 0 0 0
24 0 0 0
Kemosis 48 0 0 0
72 0 0 0
Keterangan: Terjadi kemerahan dan sekresi air mata pada jam ke -1 setelah pemberian sediaan, 0 = tidak ada gejala iritasi. merupakan surfaktan nonionik yang resiko iritasinya rendah (Rowe dkk., 2007).
Gambar 4. Ukuran globul mikroemulsi. Uji difusi dilakukan terhadap sediaan menggunakan membran sintetis spangler. Membran spangler dibuat menggunakan kertas whatman No.1 yang dibacam dengan cairan spangler untuk bisa mewakili kondisi stratum korneum. Cairan spangler mengandung minyak kelapa, minyak zaitun, parafin cair, vaselin, asam stearat, asam oleat, asam palmitat, kolesterol, dan skualen. Stratum korneum merupakan penghalang utama pada proses penetrasi kulit suatu zat dan menjadi rate limiting step. Hasil uji difusi dapat dilihat pada Gambar 5. Kuantitas ketoprofen terdifusi dari sediaan selama 180 menit pengujian adalah 386,6 ± 61,2 µg/cm2. Uji keamanan sediaan mikroemulsi ketoprofen dilakukan dengan uji iritasi pada mata dan kulit punggung kelinci. Untuk menilai efek iritasi suatu sediaan topikal atau kosmetik pada kulit digunakan skor penilaian berdasarkan pedoman skor iritasi OECD dan Draize (Hayes, 2001). Berdasarkan hasil uji iritasi kulit (Tabel 4) diketahui bahwa sediaan mikroemulsi mengiritasi ringan dengan nilai indeks iritasi kutan primer 0,33 (diantara 0,01 – 1,99). Nilai indeks iritasi mikroemulsi relatif kecil disebabkan karena surfaktan yang digunakan adalah cremophor EL yang
Gambar 5. Hasil uji difusi ketoprofen. Uji iritasi selanjutnya adalah uji iritasi pada mata. Hasil uji menunjukkan bahwa seluruh sediaan bersifat tidak mengiritasi mata. Hal tersebut berdasarkan pada pengamatan yang dilakukan pada jam ke 24, 48, dan 72 setelah mata kelinci yang diberi sediaan uji dibandingkan dengan mata tanpa perlakukan (kontrol). Pada saat aplikasi sediaan pada mata terlihat reaksi yang timbul pada pengamatan satu jam setelah aplikasi. Terjadi sedikit kemerahan dan sekresi air mata pada mata kelinci. Tetapi hasil pengamatan pada jam ke-1 ini tidak diikutsertakan pada perhitungan indeks iritasi sesuai dengan pedoman OECD. Menurut pedoman hanya digunakan data pengamatan jam ke 24, 48, dan 72. 4. Kesimpulan Telah berhasil dibuat sediaan mikroemulsi mengandung Labrafil 15%, cremophor EL 30% dan propilenglikol 10%, yang stabil berdasarkan hasil uji pH, viskositas, sentrifugasi, dan freeze thaw. Kuantitas ketoprofen terdifusi dari sediaan selama 180 menit
Priani, dkk., Formulasi dan Evaluasi Sediaan Mikroemulsi Untuk Penghantaran Transdermal …………..…….. 97 pengujian adalah 386,6 ± 61,2 µg/cm2. Sediaan mikroemulsi menyebabkan iritasi ringan pada kulit dengan nilai indeks iritasi kutan primer 0,33 tetapi tidak menyebabkan iritasi pada mata. Daftar Pustaka Barhate, S. D., 2010, Development of Meloxicam Sodium Transdermal Gel, International Jounal of Pharmaceutical Res. and Dev., 2, 1-10. Brewer, A., R. B. McCarberg, and C. E. Argoff, 2010, Update on The Use of Topical NSAIDs for Treatment of Soft Tissue and Musculoskeletal Pain, The Phisician and Sportmedicines, 38, 132-138. Cannavino, C. R., and J. Abrams, 2003, Efficacy of transdermal ketoprofen for delayed onset muscle soreness, Clin. J. of Sport Med., 13, 200-208. Grampurohit, N., P. Ravikumar, and R. Mallya, 2011, Microemulsions For Topical Use– A Review, Indian Journal of Pharmaceutical Education and Research, 45, 100-107. Hayes, A. W., 2001, Principles and Methods of Toxicology, 4th ed., Taylor and Francis, Philadelphia.
Junyapraserta, V. P., P. Boonmea, S. Songkrob, K. Krauelc, and T. Radesc, 2007, Transdermal delivery of hydrophobic and hidrophylic local anastetics from o/w and w/o Brij 97-Based microemulsion, J. Pharm. Pharm. Sci., 10, 288-289. Lee, E., 2010, Microemulsion-based Hydrogel Formulation of Itraconazole for Topical Delivery, J. Pharm. Inv., 40, 305-311. Lee, J., Y. Lee, J. Kim, M. Yoon, and Y.M. Choi, 2005, Formulation Microemulsion System For Transdermal Delivery of Aceclofenac, Arch Pharm Res, 28, 1097-1102. Rowe, R. C., P. J. Sheskey, and P. J. Welle, 2007, Handbook of Pharmaceutical Excipient, Royal Society of Great Britanian, United Kingdom. Shakeel, F., 2010, Criterion for Exicipients Screening in Development of Nanoemulsion formulation of Three Inflamatory Drugs, Pharm. Dev. Technol., 15, 131-138. Singh, S., B. Gajra, M. Rawat, and M. S. Muthu, 2009, Enhanced Transdermal Delivery of Ketoprofen From Bioadhesive Gels, J. Pharm. Sci., 22, 193-198.