FAUNA IKAN DI PERAIRAN PANTAI KOTA RAHA PULAU MUNA SULAWESI TENGGARA DAN SEKITARNYA Langkosono Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Haluoleo Kendari
Astract: This research has been carried out at the waters of Raha City, Muna Island, South East Sulawesi on Juni, 2010. In this research, it is identified 3,060 individuals, which consisted 100 species representing 39 families. The dominants species are Selaroides leptolepis, Dishistodus sp. and Leiognathus sp. Based on the structure analysis of community index (Shannon Weiner) found that (H) ranged from 1.0 to 1.6 with average of 1.3. While the eveness species index (I) ranged from 0.7 to 0.9 with average of 0.8 and the Dominant Index (C) from 0.6 to 0.12 with average of 0.09. Key words: fish fauna biodiversity, community index
PENDAHULUAN Letak geografis Pulau Muna, yaitu 4º6¹ - 5º15¹ LS dan 122º11¹ - 123º15¹ BT, merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Tenggara. Luas daratan sekitar 4.887 km 2, luas laut 5.625 km2, dengan panjang garis pantai sekitar 865 km. Pada tahun 2005 jumlah penduduknya 270.100 jiwa dengan pertumbuhan penduduk per tahun 0,02% per tahun. Kabupaten Muna, wilayahnya sebagian terletak di pulau-pulau kecil dan besar seperti Pulau Muna, Pulau Koholifano dan lainnya. Pola hidup masyarakat di daerah ini tergantung dari pertanian dan hasil laut karena wilayahnya terletak di pesisir dengan tanahnya yang berbatu dan bergelombang, terutama Muna bagian timur. Topografi yang rata, terdapat di Muna bagian barat sehingga hasil pertanian banyak dipasok dari daerah ini. Selain hasil pertanian di Kabupaten Muna juga terdapat hasil laut sebagai komoditas andalan. Sementara iklimnya dipengaruhi angin laut dengan
suhu permukaan rata-rata 27oC, suhu minimum 20oC dan suhu maksimum ratarata 34oC dengan kelem-baban udara tercatat sebesar 90% (Anonim, 1992). Kabupaten Muna dengan ibukota Raha merupakan salah satu daerah di Sulawesi Tenggara yang paling tinggi curah hujannya, yaitu sebesar 2080 mm dengan jumlah hari hujan 125 hari/tahun. Daerah ini sama halnya dengan daerah lainnya di Indonesia, yaitu musim hujan dimulai pada bulan Desember sampai Februari dan musim kemarau dimulai pada bulan Juni sampai Agustus. Sedangkan musim pancaroba terjadi pada bulan April, yang ditandai dengan arah angin dan curah hujan tidak menentu (Tjasyono, 1992). Kondisi ini berpengaruh pada pola hidup masyarakat setempat, baik sebagai petani, nelayan, peternak, pedagang maupun pelaut. Para pelaut daerah ini banyak bermukim di wilayah pesisir, terutama suku Bajo dan suku Bugis Makassar. Kondisi ini erat kaitannya dengan budaya suku tersebut
115
dalam memanfaatkan sumberdaya perairan dan mengakses kebutuhan hidup sehari-hari sebagai nelayan. Eksploitasi sumberdaya perairan di desa-desa pesisir dilakukan dengan menggunakan berbagai alat tangkap, seperti pancing tangan (handline), jaring insang (gill net), jaring pantai (beach seine) dan lain-lain, bahkan ada yang dilakukan dengan cara-cara yang bersifat merusak. Sedangkan hasil tangkapan ikan yang ditemukan terdiri atas berbagai jenis, seperti ikan layang (Decapterus spp.), loba (Leiognathidae), Selaroides leptolepis, Rastrelliger spp. dan lain-lain. Sementara volume hasil tangkapan ikan di perairan pantai tersebut diduga sudah berkurang dan daerah penangkapan ikan sudah lebih jauh sehingga sebagian nelayan beralih pada pekerjaan lain. Namun kegiatan sebagian nelayan menjadi pembudidaya rumput laut yang produksinya sangat menggembirakan meskipun akhir-akhir ini volume produksi menurun akibat dari kualitas lingkungan perairan tidak mendukung. Kondisi tersebut menyebabkan ekosistem perairan pesisir seperti padang lamun dan hutan bakau di wilayah ini banyak berubah menjadi lokasi pembangunan sarana dan prasarana perluasan kota Raha sehingga lahan pasang surut tinggal sebagai kenangan. Sementara aktifitas penangkapan ikan di perairan pantai ini sudah kurang, dan daerah penangkapan sudah lebih jauh sehingga sebagian nelayan beralih pada pekerjaan lain. Sedangkan informasi fauna ikan di perairan tersebut masih kurang diketahui sehingga menjadi kendala untuk pemecahan masalah perikanan di perairan pesisir di daerah tersebut. Berdasarkan permasalahan tersebut maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui komposisi jenis ikan pada beberapa stasiun di perairan
116
kota Raha dan sekitar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar informasi untuk pengelolaan wilayah perairan di daerah ini di masa mendatang. Di samping itu diharapkan dapat menjadi dasar informasi untuk penelitian yang lebih mendasar tentang keragaman jenis ikan.
METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di perairan pantai kota Raha dan sekitar pada beberapa Stasiun (S). Stasiun pemantauan meliputi, perairan pantai Bonea (S1), Raha (S2), Gonebalano (S3) dan perairan pantai Lohya (S4). (Gambar 1). Pengumpulan contoh ikan di daerah ini dilakukan dengan menggunakan jaring tarik (beach seine), bubu (trap net), seser (push net) dan tangguk (dip net). Jaring tarik ini terdiri dari dua sayap, badan dan kantong. Pengoperasian jaring tarik ini dilakukan dengan menarik kedua sisi sejajar dengan garis pantai pada kedalaman 0,30 m sampai 1,8 m, baik pada waktu sedang pasang maupun surut. Penangkapan ikan dengan seser dilakukan pada waktu air surut dan penangkapan ikan dengan bubu dilakukan dengan perendaman pada kedalaman 3 m dan setiap 2 (dua) hari diangkat. Ikan hasil tangkapan sebagian langsung diidentifikasi di tempat, dipilah-pilah menurut jenis, dihitung jumlah (ekor), diukur panjang (mm) berat (gram) dan sebagian yang belum diketahui diawetkan dalam alkohol 10% dan sampai di tempat baru diidentifikasi. Identifikasi ikan dilakukan menurut cara Munro (1967), Ronald (1978), Gloer-Tarp dan Kailola (1984), Randall, et al.(1990) dan Kuiter (1992).
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 17, No. 2, Juli 2011
Keterangan: 1. Perairan pantai Bonea 2. Perairan pantai Raha 3. Perairan pantai Gonebalano 4. Lohya
Gambar 1. Stasiun penelitian di perairan pantai Kecamatan Katobu Kabupaten Muna
Analisis struktur indeks jenis dalam suatu komunitas yang diperoleh dilakukan menurut cara Odum (1971) dan Odum (1983) serta English, et. al. (1994 sebagai berkut: Indeks pengaruh terbesar (index of dominance), yaitu
C (
ni ) N2
ni = jumlah spesimen jenis ke-i, N = jumlah seluruh spesimen
Indeks-indeks keragaman jenis Indeks “evenness” (persamaan):
C
H logS
H = indeks “Shannon” S = jumlah species Syarat indeks persamaan jenis, yaitu 0 < e 0,5 indeks persamaan jenis kecil; 0,5 < e 0,75 indeks persaman jenis sedang; 0,75 < e 1,0 indeks persamaan jenis besar.
Syarat dari indeks dominan, yaitu 0 < C 0,5 dominansi kecil; 0,5 < C 0,75 dominansi sedang; 0,75 < C 1,0 dominansi besar. Langkosono: Fauna Ikan di Perairan Pantai Kota
117
Indeks keanekaragaman umum dari “Shannon”:
ni ni H {( )(log )} N N Syarat dari indek keanekaragaman umum, yaitu 0 < H 2,0 keanekaragaman kecil; 2,0 < H 3,0 keanekaragaman sedang; 3,0 < H 4,0 keanekaragaman besar
KJ
juml ah.i nd i vi du.jenis .ke.i x100% total .jumlah.i ndi vi d u KJ = Komposisi Jenis
Untuk menentukan jenis-jenis ikan terpenting dalam komunitas dengan menghitung indeks biologi (IB) menurut cara Warfel dam Merriman (1944) dalam: Hutomo (1986). Hal ini dilakukan dengan cara memberi nilai menurut tingkat banyaknya individu dari setiap jenis dan yang tidak disertakan dalam analisis yaitu jumlah individu kurang dari 2.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan umum daerah penelitian Dasar perairan dari keempat stasiun cukup bervariasi namun terlihat ada kemiripan, terutama adanya pantai berbatu, berpasir, ekosistem hutan bakau, terumbu karang dan padang lamun dengan kedalaman perairannya yang tidak lebih dari 50 m. Perairan pesisir daerah ini termasuk Selat Buton yang agak sempit dan fungsinya banyak berubah menjadi lokasi budidaya rumput laut sehingga nampak memperindah kawasan pesisir bila kita bersama kapal laut dari Kota Makassar menuju Kota Kendari. Wajah pesisir Sulawesi Tenggara memperlihatkan kein118
dahan alam tersendiri dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia karena alaminya alam yang terisolir dari transportasi yang merusak lingkungan perairan. Oleh karena itu dukungan dari pemerintah daerah mengenai pengelolaan kawasan pesisir yang berkelanjutan sangat diharapkan, mengingat pengelolaan yang lebih baik akan menjanjikan wilayah ini sebagai aset wisata ke depan. Di wilayah pesisir pada stasiun S1 merupakan lahan pemukiman namun di daerah pasang surutnya terlihat hutan bakau yang masih menunjukkan kondisi alami, sementara ekosistem terumbu karang dan ekosistem padang lamun tidak ditemukan. Perairan ini merupakan bekas pemukiman para nelayan sehingga banyak mengalami kerusakan secara fisik, baik akibat yang dilakukan oleh manusia maupun yang diakibatkan oleh alam. Sementara pada stasiun S2 yang habitatnya terdiri dari pasir berlumpur, ekosistem terumbu karang dan padang lamun. Namun demikian sebagian besar habitat tersebut mengalami kerusakan, termasuk hutan bakau bahkan diperkirakan 95% mengalami kerusakan fisik dibandingkan dengan stasiun S1, S3 dan S4. Stasiun S2 ini berada di kota Raha yang merupakan pusat pembangunan sarana dan prasarana serta infrastruktur, seperti jalan raya, perkantoran, pasar, pendaratan ikan dan pemukiman. Sedangkan pada stasiun S3 kondisi ekosistemnya hampir sama dengan stasiun S2, namun karena jumlah penduduknya kurang sehingga tingkat kerusakan yang disebabkan oleh manusia maupun alam masih sedikit sehingga berbagai jenis ikan masih bisa dijumpai. Selanjutnya pada stasiun S4 kawasan pesisirnya berbukit dan bergelombang serta terdapat petani penggarap yang bersifat temporer. Profil habitat dasar perairan tersebut berawal dengan bukit karang di
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 17, No. 2, Juli 2011
daerah pasang surut dan sedikit ditumbuhi hutan bakau jenis Avicennia sp. Kemudian berlanjut dengan ekosistem algae laut (seawed) dari famili Chlorophyceae, seperti Caulerpa sp, Halimeda sp, Neomeris sp, Udotea sp, sedangkan dari famili Phaeophyceae, yaitu Sargassum sp, Padina sp, Cystoseira sp, Turbinaria sp. Selanjutnya famili Rhodo-phyceae, seperti Eucheuma sp, Gracillaria sp, Acanthopora sp, Laurencia sp dan lain-lain (Mansyur, dalam: Edward dan Sediadi, 2003). Algae laut tersebut menurut Kadi (2006) berperan membentuk ekosistem terumbu karang dan berfungsi sebagai tempat asuhan berbagai benih ikan, udang dan biota lainnya. Sedangkan jenis padang lamun yang dijumpai, seperti Enhalus sp, Thalassia sp dan di sekitarnya terdapat karang mati penghasil kapur dan terumbu karang hidup. Sedangkan padang lamun menurut Moyle dan Cech (2000) berperan sebagai daerah asuhan karena sumber makanan ikan-ikan sudah berlimpah. Komposisi jenis ikan Dalam penelitian ini berhasil dikoleksi ikan sebanyak 3.060 spesimen, terdiri dari 100 jenis yang mewakili 39 suku (Tabel 1 pada Lampiran). Pada stasiun 1 (S1) terkumpul 124 individu (4,05%), terdiri dari 27 jenis yang mewakili 12 suku. Jenis ikan yang memiliki indeks kelimpahan individu tertinggi di stasiun ini berturut-turut, yaitu Sillago maculata burus (20,16%), Hemirhampus far (11,29%) dan Sillago sp. (10,40%) masingmasing dari suku Sillaginidae dan Hemirhamphidae. Anggota dari famili ini ditemukan pada habitat berpasir atau berlumpur, kadang-kadang ditemukan di perairan payau (Randall et. al. 1990). Sedangkan jenis-jenis ikan lainnya yang tertangkap berkisar antara 0,80 – 8.00%.
Langkosono: Fauna Ikan di Perairan Pantai Kota
Pada stasiun S2 terkumpul 864 individu (28,24%), terdiri dari 84 jenis yang mewakili 30 suku. Jenis ikan yang menduduki peringkat di stasiun ini berturutturut, yaitu S. leptolepis (28,94%), Sillago maculata burus (8,56%) dan L. decorus (6,94%) masing dari suku Scombridae, Sillaginidae dan Leiognathidae. Sedangkan jenis-jenis lainnya berkisar antara 0,12 – 4,05%. Jenis ikan dari suku yang dominan ini memiliki sifat bergerombol dalam jumlah yang besar pada rataan pasir berlumpur dan di sekitar perairan karang yang dangkal maupun yang dalam, terkecuali S. maculata burus hanya bergerombol pada perairan dangkal (Munro, 1967 dan Kuiter, 992). Pada stasiun S3, terkumpul 1.839 spesimen (60,10%), terdiri dari 98 jenis yang mewakili 37 suku. Jenis ikan yang menduduki peringkat, yaitu Dishistodus sp (17,94%), Leiognathus spp (13,81%) dan S. leptolepis (9,79%), berturut-turut dari suku Pomacentridae, Leiognathidae dan juga Scombridae. Sedangkan jenisjenis ikan lainnya yang tertangkap berkisar antara 0,05 – 7,34%. Suku Pomacentridae ini jumlahnya sekitar 300 jenis yang mewakili 45 genera, sedangkan di Indonesia diperkirakan 100 jenis, termasuk ikan karang, bergerombol dan panjangnya ada yang mencapai 30 cm (Kuiter, 1992). Selanjutnya dikatakan bahwa makanannya bervariasi dan terdiri dari hewan invertebrata, algae sampai dengan zooplankton. Sebagian ikan ini menjadi hiasan pada akuarium laut, selain sebagai ikan konsumsi, terutama bagi sebagian masyarakat di daerah penelitian. Suku Scombridae yang tidak menduduki peringkat, jumlahnya yang tersebar di dunia sebanyak 46 jenis yang mewakili 20 genera, sedangkan di Indonesia yang ditemukan sebanyak 20 jenis yang mewakili 10 genera (Burhanuddin et al.,
119
1983). Hampir semua jenis ikan tersebut termasuk ikan pelagis, perenang cepat, bergerombol dan bernilai ekonomis sehingga menjadi perburuhan para nelayan di Sulawesi Tenggara, khususnya di Kabupaten Muna. Dari suku tersebut yang sangat dikenal oleh masyarakat di Kecamatan Katobu adalah ikan kembung (R. kanagurta), para nelayan setempat menyebutnya dengan nama ruma-ruma dan Atule mate yang dikenal dengan nama totombo. Kedua jenis ikan tersebut sangat populer di kota Raha dan hampir sepanjang tahun dijumpai, terutama disajikan di restoran atau rumah makan dalam bentuk ikan bakar. Selanjutnya suku Leiognathidae bersifat pelagis, biasanya hidup bergerombol dan dapat ditemukan pada perairan yang dangkal sampai pada perairan payau seperti yang disebut terdahulu. Mereka biasanya jika bergerombol di laut dalam terlihat bercahaya dan berkilauan pada waktu bulan gelap di saat malam hari. Jenis-jenis ikan tersebut dapat dikonsumsi oleh masyarakat setempat dengan harga jual yang lebih murah dibandingkan jenis-jenis ikan lainnya. Jenis ikan S. Leptolepis, suku Carangidae bersifat pelagis, bergerombol di perairan dangkal dan jenis ikan ini oleh para nelayan ditangkap dengan menggunakan sero tancap, jaring tarik, gay, jaring insang, dan bagan. Pada stasiun S4, terkumpul 233 spesimen (7,61%), terdiri dari 55 jenis yang mewakili 24 suku. Jenis ikan yang menduduki peringkat berturut-turut, yaitu Parupeneus sp. (15,02%), Gerresoyena (10,73%) dan S. leptolepis (5,15,%) masing-masing dari suku Mullidae, Gerri-dae dan Carangidae, sedangkan jenis-jenis ikan lainnya yang tertangkap berkisar antara 0,43 – 4,29%. Jenis-jenis ikan yang disebut di atas oleh para nelayan dapat ditangkap dengan menggunakan jaring
120
tarik (beach seine), jaring insang dasar (bottom gillnet, gay (purse seine) dan sero tancap (guiding barrier). Jenis-jenis ikan ini biasanya menjadi konsumsi oleh masyarakat kota Raha dan sekitarnya. Dari hasil tangkapan yang diperoleh pada stasiun S1 sampai dengan S4 memperlihatkan bahwa adanya jenis ikan yang dominan sedikit jumlahnya. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Odum (1971) bahwa dalam suatu komunitas biasanya mengandung banyak jenis, tetapi hanya beberapa jenis saja yang dominan. Hal ini menurut Gunther (1935 dalam: Hutomo, 1978) disebabkan karena adanya persaingan untuk mendapatkan makanan, ruaya, predator dan faktor biotanya sendiri. Selain itu disebabkan kondisi perairan, seperti suhu, salinitas, arus, kecerahan dan alat tangkap. Pernyataan yang dikemukakan di atas telah dibuktikan oleh para ahli, seperti Warfel dan Merriman (1944) di Block Island Sound, Richards (1963) di Long Island. Di Indonesia dibuktikan oleh beberapa ahli, yaitu Genisa et al. (2003) di perairan pantai Raha, Wijopriono dan Genisa (2003) di perairan pantai Utara Pekalongan, Langkosono (2004) di perairan pantai Teluk Saleh NTB dan Tanimbar Utara Maluku Tenggara dan Hutomo (1978) di Muara Sungai Karang. Jumlah jenis ikan yang diperoleh dalam penelitian ini lebih banyak dibandingkan dengan jenis-jenis ikan yang dilaporkan oleh Langkosono (2006) di perairan Kecamatan Katobu Kabupaten Muna dan perairan Kecamatan Tanimbar Utara Kabupaten Maluku Tenggara. Hal yang sama dilaporkan juga oleh Setyono et al. (1991) di perairan Tanimbar Maluku Tenggara. Demikian juga jika dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Hutomo dan Djamali (1978) di daerah mangrove di Pulau Pari, Pulau-pulau Seribu. Di sini dapat dikatakan bahwa kelimpahan jenis
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 17, No. 2, Juli 2011
ikan yang dilaporkan dalam penelitian ini cukup tinggi, walaupun tidak seperti pernyataan yang dikemukakan oleh Odum (1971) tentang indeks keanekaragaman biota dan indeks kemerataan jenis yang dikemukakan Odum (1963). Hasil analisis struktur indeks jenis dalam komunitas, ternyata bahwa nilai keanekaragaman jenis (H) berkisar antara 1,0 sampai 1,6 yang berturut-turut pada stasiun S1, S2, S3 dan S4 yaitu 1,2; 1,0; 1,5 dan 1,6 dengan rata-rata 1,3 sedangkan indeks kemerataan jenis (I) berkisar antara 0,7 - 0,9 yang nilainya pada stasiun S1, S2, S3 dan S4 berturut-turut 0,9; 0,7; 0,7 dan 0,9 dengan rata-rata 0,8. Indeks dominan jenis (C) berkisar antara 0,06 sampai 0,12 yang nilainya pada stasiun S1, S2, S3 dan S4 berturut-turut, yaitu 0,09; 0,12; 0,07 dan 0,06 dengan rata-rata 0,09. Berdasarkan pernyataan Odum (1971) bahwa individu ikan dalam komunitas menyebar dalam 3 (tiga) pola dasar, yaitu penyebaran secara acak, merata atau seragam dan bergerombol atau berkelompok. Pola penyebaran biota atau jenis ikan dalam komunitas tergantung dari faktor fisik, kimia dan biologi. Pola tersebut juga tergantung dari jenis ekosistem dan jenis ikan sehingga masingmasing menunjukkan karasteristik sendiri-sendiri. Jika nilai indeks keragaman mendekati 4 (empat) maka dikatakan komunitas ikan tersebut beragam atau tinggi, tetapi menurut Odum (1963) nilai indeks kemerataan berkisar antara 0,6 – 0,8 berarti menyebar merata atau indeks persamaan jenisnya besar. Sebaliknya dikatakan tidak meratanya sebaran jenis ikan diartikan telah terganggu dan keragamannya kecil atau rendah diartikan sebagai akibat dominannya oleh jenis-jenis ikan tertentu. Dari hasil analisis di atas dapat dikatakan bahwa indeks keragaman ikan
Langkosono: Fauna Ikan di Perairan Pantai Kota
dalam komunitas yang diperoleh rendah atau tidak beragam. Hal ini mengindikasikan dominannya jenis-jenis ikan, seperti Selaroides leptolepis, Dishistodus sp. dan Leiognathus sp. Berarti ikan yang tertangkap walaupun dilakukan penangkapan secara berulang-ulang tetap menunjukkan pengelompokan individu pada perairan tersebut. Sebaran ikan dalam komunitas merata di perairan. Hal ini menunjukkan bahwa jenis-jenis ikan padang lamun di perairan ini relatif stabil atau belum terganggu akibat tekanan penangkapan yang dilakukan. Dalam penelitian ini, stasiun S3 dan S4 memiliki indeks keragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun S1 dan S2, namun stasiun S1 dan S2 memiliki indeks kemerataan dan dominansi jenis lebih tinggi atau lebih baik dibandingkan dengan stasiun S3 dan S4. Walaupun stasiun S2 memiliki indeks keragaman yang lebih rendah dibandingkan dengan 3 (tiga) stasiun lainnya tetapi indeks kemerataan dan dominansi jenis tertinggi. Hal ini mungkin sesuai dengan pernyataan Odum (1971) bahwa sedikit jumlah jenis maka kelimpahan spesimen tinggi. Ini terlihat dari jumlah jenis yang lebih tinggi pada stasiun S4, tetapi jumlah spesimennya rendah. Jumlah individu jenis-jenis ikan terpenting dalam komunitas di perairan pada keempat stasiun disajikan pada Tabel 2 (lampiran). Pada tabel tersebut terlihat bahwa dari 1.813 ekor (59,25%) yang mewakili 17 jenis ternyata peringkat pertama diduduki oleh Selaroides leptolepis sebanyak 14,44% dari suku Carangidae dengan frekuensi kejadian 75%. Peringkat kedua diduduki oleh Dishistodus sp. sebesar 11,01% dari suku Pomacentridae dengan frekuensi kejadian sebesar 50% dan peringkat ketiga diduduki oleh Leiognathus sp. sebesar 9,02% suku Leiognathidae dengan frekuensi kejadian
121
75%, berturut-turut dalam kepadatan total dan kepadatan relatif menduduki peringkat 6, 12 dan 10, sedangkan jenisjenis ikan lainnya juga silih berganti, baik tingkat kepadatan total maupun tingkat kepadatan relatif. Hal ini disebabkan karena perbedaan frekuensi kejadian dan kelimpahan spesimen setiap jenis yang tertangkap. Kondisi ini diduga sangat ditentukan kualitas perairan dan zat hara, seperti suhu berkisar antara 27,8–30,29 C, salinitas 30,0–32,90/oo, oksigen 5,5– 6,34 ppm, pH 7,4–8,2, pasfat 0,13–1,79 g.at/l dan nitrat 0,20–2,66 g.at/l (Edward dan Sediadi, 2003). Oleh karena itu, jenis ikan terpenting diduga cocok di perairan tersebut baik untuk tempat berlindung, mengasuh, bertelur maupun mencari makan.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa jumlah dan komposisi jenis ikan yang diperoleh sebanyak 3060 ekor dari 100 jenis yang mewakili 39 suku. Dari komposisi jenis ikan tersebut yang banyak tertangkap, seperti Selaroides leptolepis, Dishistodus sp. dan Leiognathus sp. Sedangkan jumlah dan jenis ikan terpenting sebanyak 1.813 ekor (59,25%), diwakili 17 jenis yang menduduki kepadatan total dan kepadatan relatif.
DAFTAR RUJUKAN Anonim, 1992. Buku Profil Propinsi Republik Indonesia. Sulawesi Tenggara. Penerbit Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, Jakarta. 392 hal.
122
Burhanuddin; A. Djamali; S. Martosewojo dan R. Joeljanto, 1983. Evaluasi tentang potensi dan usaha pengelolaan sumberdaya ikan laying, LON. LIPI. 61 hal. Edward, K. dan A. Sediadi, 2003. Pemantauan kondisi hidrologi di perairan Raha, Pulau Muna Sulawesi Tenggara dalam kaitannya dengan budidaya Rumput Laut. Pesisir dan Pantai Indonesia, P2O – LIPI, Jakarta (Ruyitno, Pramudji dan I. Supangat eds.): 207 – 213. English, S., C. Welkinson and V. Baker, 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Asean–Australia Marine Science Project Living Coastal Resources, Australian Institute of Marine Sciences: Townsvile, AIDAB. 368 p. Genisa, S. A. 2003. Komunitas ikan di perairan Selat Sunda Jawa Barat. Pesisir dan Pantai Indonesia P2O LIPI, Jakarta (Ruyitno, Pramudji dan I. Supangat eds.): 197 – 206. Genisa, S. A., Langkosono dan M.D Marasabessy, 2003. Inventarisasi Fauna ikan di Perairan Raha, Sulawesi Tenggara. Pesisir dan Pantai Indonesia P2O-LIPI, Jakarta (Ruyitno, Pramudji dan I. Supangat eds.): 149 – 156. Hutomo, M dan S. Martosewojo, 1977. The fishes of seagrass community on the west side of Burung Island (Pari Island, Seribu Island) and their variation, in abundance. Mar. Res. In Indonesia. 17: 147 – 172. Hutomo, M. 1978. Ikan-ikan pada muara Sungai Karang : Suatu analisis pendahuluan tentang kepadatan dan struktur komunitas. Dalam: Oseanologi pada Indonesia, 9: 13 – 28.
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 17, No. 2, Juli 2011
Hutomo, M. 1980. Komunitas ikan padang lamun”seagrass” pada pantai selatan Pulau Tengah, Gusus Pulau Pari. Lembaga Oseanologi Nasional LIPI, Jakarta (Burhanuddin, M. K. Moosa dan H Rozak eds.): 82 – 114. Hutomo, M. dan A. Djamali, 1978. Penelaahan pendahuluan tentang komunitas ikan pada daerah mangrove Pulau Pari, Pulau_pulau Seribu. Prosiding Seminar, Ekosistem Hutan Mangrove ), Jakarta (Soemodihardjo, S dan A. Djamali, eds) : 93 – 105. Kadi, A. 2006. Komunitas makro algae di Pulau Buton dan sekitarnya Sulawesi Tenggara. Dalam:.Neptunus, Majalah Ilmiah Kelautan. Universitas Hang Tuah Surabaya, ( B. Darmadi, I. Yuniar, N. Y. Nugroho, Supriyatno, N. Trisyani, M. Taufiqurrohman eds.) 13 (1) : 1 – 10. Kuiter, R. H., 1992. Tropical reef-fishes of the western Pacific Indonesia and adjacent waters. Penerbit PT Gramedia Pustaka utama, Kakarta Indonesia. 314 pp. Langkosono, 2006. Keanekaragaman jenis ikan di perairan pantai Kecamatan Katobu, Sulawesi Tenggara dan perairan pantai Kecamatan Tanimbar Utara Maluku Tenggara. Dalam: Jurnal perikanan dan ilmu kelautan Fak. Perikanan dan Ilmu Kelautan Unsrat, Manado (C.P. Paruntu eds.) II (1): 22 – 29. Langkosono, 2004. Komposisi jenis ikan di perairan pantai Teluk Saleh, NTB dan Tanimbar Utara Maluku Tenggara. Dalam: Biota, Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Hayati, Fakultas Biologi Universitas Atmajaya, Jogyakarta (Zahida F.,F. Lanni, B.B.R.
Langkosono: Fauna Ikan di Perairan Pantai Kota
Sidharta, F. S. Pranata, Y. Aida, P. K. Atmodjo, E. Marsyanti dan A.W. N. Jati eds.) IX (2) : 92 – 99. Merriman, D. and H. E. Warfel, 1948. Studies on the marine resources of southern New England, VII. Analysis of population. Bull. Bingham Ocean Coll. 2 (4) : 131 – 164 Munro, I. S. R., 1967. The fishes of New Guinea. Dept. Agric. Stock Fish., Port Moresby, New Guinea. 651 pp., Nybakken, J. W. 1992. Biologi laut, suatu pendekatan ekologis. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 459 Hal. Odum, E. P. 1971. .Fundamental of ecology. W. B. Sounders, Philadelphia: 574 pp. Randall, J. E. & P. C. Heemstra, 1991. Indo-Pacific groupers (Perciformes: Serranidae, Epinephelinae). With description of five new species, Honolulu Hawai. 332 pp. Randall, J. E. ; G. R. Allen dan R. C. Steene, 1990. Fishes of the great barrier reef and coral sea.The complete divers and fishermans guide to fishes. Crawford House Press, Bathurst, Australia, 507 pp. Ronald, A. F., 1978. Development of fishes of the mid Atlantic bight. An atlas of egg, larval and juvenile stage, Vol. V. Chaetodontidae through Ophidiidae. Chesapeake Biological Laboratory, Center for Enviromental and Estuarine Studies Univ. of Maryland, Solomon, Maryland 20688. 337 pp. Setyono, D. E. D. Wouthuyzen, S. dan Peristiwady, T. 1991. Komunitas ikan di daerah padang lamun dan terumbu karang di perairan Tanimbar Maluku Tenggara. Dalam: Maluku Tenggara, alitbang SDL.
123
Puslitbang Oseanologi – LIPI. Ambon. 17 – 27. Tarp, T. G. dan Kailola, 1984. Trawled fishes southern Indonesia and northwestern Australia, ADAB, DGF and GTC. 406 pp. Tjasyono, B. HK. 1992. Klimatologi terapan. Penerbit CV. Pionir Jaya Bandung. 274 hal.
124
Wijopriono dan Genisa, S. A., 2003. Perikanan Pelagis di perairan pantai Utara Pekalongan, Jawa Tengah. Dalam : Pesisir dan Pantai Indonesia. P2O - LIPI, Jakarta (Ruyitno, Pramudji dan I. Supangat eds.): 157 – 164.
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 17, No. 2, Juli 2011
Lampiran Tabel 1. Komposisi jenis ikan, kelimpahan individu dan frekuensi kejadian ikan pada beberapa Stasiun pada perairan pantai kota Raha dan sekitar Stasiun
Famili/jenis LUTJANIDAE Lutjanus russelli L. adetii L. biguttatus Lutjanus boutton Lutjanus sp. SIGANIDAE Siganus canaliculatus Siganus guttatus Siganus doliatus Siganus sp. SERRANIDAE. Epinephelus tauvina Epinephelus sp. LETHRINIDAE Lethrinus nebulosus L. lentjan L. obsoletus Lethrinus sp. MUGILIDAE Mugil cephalus Mugil sp. CAESIONIDAE Caesio erythrogaster Caesio cuning Caesio sp. CARANGIDAE Caranx malabaricus Carangoides hedlandensis Selaroides leptoleps Carangides sp. SCOMBRIDAE Rastrelliger kanagurta Rastrelliger brachisoma Scombroides tol ENGRAULIDAE Stolephorus waitei Stolephorus sp. HEMIRAMPHIDAE Hemirhampus far Hyporhamphus dussumieri ATHERINIDAE Pranesus pinguis Pranesus sp. CLUPEIDAE Sardinella sp. Herklotsichthys quadrimaculatus BELONIDAE Tylosurus crocodiles Platybelone argulus platyura SILLAGINIDAE Sillago maculata burus Sillago sp.. NEMIPTERIDAE Scolopsis ciliata S. margaritifera
Jumlah
Kisaran panjang
Kisaran panjang
FK
(cm)
(grm)
%
S1
S2
S3
S4
(ekor)
1 1 -
2 1 3 2 2
12 2 7 3 -
1 1 2
16 3 10 7 4
7,9-11,0 9,4-12,0 9,8-13,0 8,1-10,0 8,5-12,0
8,0-12,0 12,8-18,0 13,7-21,4 12,0-18,9 15,0-19,0
50 50 50 100 100
2 -
5 4 2 3
30 5 4 7
2 2 3 2
37 13 9 12
6,2-14,8 7,1-11,2 6,3-22,5 7,0-10,0
1,0-30,0 5,0-38,0 2,0-200,0 4,0-23,0
75 100 75 75
3 1
5 2
1 3
1
9 7
13,0-15,7 12,0-14,0
27,0-42,0 20,0-38,0
75 100
2
1 1 2
4 6 2 3
1 2 1 -
5 9 4 7
3,9-12,0 4,3-5,7
1,0-20,0 1,0-2,5
7,0-10,0
1,5-16,0
50 75 75 75
6 6
5 -
30 13
5 6
46 26
2,9-3,0 2,5-2,9
0,00-0,00 0,00-0,00
100 75
-
7 4 2
15 12 3
3 6 3
25 22 8
6,3-8,2 6,5-8,0 6,0-7,8
3,5-5,6 3,0-5,0 2,5-4,0
75 75 75
-
3 3 220 3
4 2 160 8
2 12 2
9 5 392 13
10,0-14,8 30,0-33,7 8,4-13,4 14,1-16,3
28,0-40,0 220-250,0 9,3-19,0 97-122
75 50 75 75
2 1
7 5 5
6 7 7
2 2 -
17 14 13
28,0-30,8 14,2-15,5 9,0-11,0
270-355 30-31 7,5-14,7
100 75 75
2
35 12
10 7
2 1
47 22
5,0-6,9 4,8-7,0
1,9-5,7 1,0-5,5
75 100
14 10
4 5
15 3
1 2
34 20
12-28 2,3-24
25-70 0-32,0
100 100
2 3
10 4
20 20
2 3
34 30
4,8-9,5 4,7-7,5
1,6-11,9 1,0-5,0
100 100
-
3 15
4 20
1 2
8 37
2,5-12,4 4,0-10,0
0,5-14,0 1,0—9,0
75 75
5 10
3 4
1 2
1 -
10 16
30-40 9,4-17,3
66-125 17,0-25,0
100 75
25 13
60 25
29 16
6 1
120 55
9,2-27,0 11-17
6,0-90 10-55
100 100
-
35 5
5 4
10 2
50 11
4,4-11.1 4,0-8,9
2,0-25 1,5-17,5
75 75
Langkosono: Fauna Ikan di Perairan Pantai Kota
125
Pentapodus vitta Pentapodus sp. Scolopsis affinis Scolopsis auratus GERRIDAE Gerres abreviatus G. kapas G. oyena Gerres sp. MULLIDAE Upeneus tragula U. vittatus Upeneus spp. Parupeneus spp LEIOGNATHIDAE Leiognathus decorus L. stercorarius Secutor insidiator Secutor ruconinus Leiognathus sp. APOGONIDAE Apogon lateralis A. cyanosoma A. fragillis Apogon sp. CAHETODONTIDAE Chaetodon rostratus C. speculum Parachaetodon ocellatus POMACENTRIDAE Dishistodus fasciatus D. perscipillatus D. pseudochrysopoecilus Stegastes nigricans Dishistodus sp. HAEMULIDAE Halichoeres chloropterus H. melanurus Halochoeres sp BALISTIDAE Rhinecanthus verrucosus PLECTORHYNCHIDAE Plectorhynchus diagrammus P. chetodonoides CENTRICIDAE Aeoliscus trivittatus SCARIDAE Leptoscarus vaigiensis PSETTODIDAE Psettodes erumei Pseudoprhombus sp. MICRODESMIDAE Ptereleotris heteroptera EPHIPPIDAE Platax orbicularis Zabidus novemaculeatus SYNODONTIDAE Synodus indicus SPHYRAENIDAE Sphyraena forsteri S. flavicuda Sphyraena sp. MANACANTHIDAE Pseudomanacanthus macrurus
126
Jumlah
Stasiun
Famili/jenis
Kisaran panjang (cm) 7,0-12,0 5,0-7,0 7,0-11,0 17-19,2
Kisaran panjang (grm) 6,5-17,0 2,5-6,5 6,0-18 55-90
% 50 75 50 50
FK
S1 -
S2 1 2 -
S3 1 3 2 2
S4 4 2 2
(ekor) 2 9 4 4
1 -
2 8 20 3
3 15 60 17
20 25 8
5 43 106 28
8,6-12,0 7,5-13,9 4,7-11,5 1,6
8,0-26 6,0-30 3,5-24 0,0-6,5
50 75 100 75
2 2 -
4 5 6 2
7 2 20 15
2 3 35
15 7 31 52
3,5-14,1 6,9-23,2 5,0-9,0 3,2-13,1
1,0-73 8,0-190 3,0-16,0 1,0-45
100 50 100 75
5
60 25 15 20 17
25 50 25 47 234
-
85 75 40 67 256
3,4-13,2 4,6-8,1 3,5-6,5 4,0-7,2 4,6-8,3
1,0-11,0 1,5-4,5 1,0-4,0 1,0-5,0 1,5-7,0
50 50 50 50 75
-
8 5 3 10
9 20 4 8
3 5 5
20 25 12 23
4,1-5,1 4,0-6,5 4,3-5,0 3,5-7,2
1,5-3,6 1,0-4,0 1,0-2,5 1,0-5,5
75 50 75 75
-
3 3 3
4
-
3 3 7
7,5-8,0 6,0-6,5 6,9-9,2
8,0-12,0 6,0-7,0 12,0-18,0
25 25 50
-
10 3 10 4 7
15 10 135 33 302
-
25 13 145 37 309
3,6-4,7 6,4-12,5 3,4-5,2 4,3-5,6 3,2-4,8
0,0-1,0 10,0-25,0 0.0-2,0 1,0-2,0 0,5-2,0
50 50 50 50 50
-
3 3 4
35 7 5
-
38 10 9
3,7-6,7 3,5-5,0 3,0-4,5
0.0-2,0 0,0-2,0 0,0-1,0
50 50 50
-
-
1
1
2
15,0-16,0
90-99
50
-
-
2 3
1 1
3 4
13,0-14,1 16,0-17,0
25,0-29,0 50-65
50 50
-
-
3
10
13
9,8-14,0
1,5-3,0
50
-
-
3
-
3
9,3-10,0
15,0-17,0
25
-
1 1
2 2
-
3 3
11,5-14,5 12,1-14,0
25,0-40,0 28,0-36,0
50 50
-
1
3
-
4
6,4-7,0
4,0-5,0
50
1
-
2 1
-
2 2
7,7-11,5 10,2-11,0
20,0-50,0 30,0-45,0
25 50
-
3
-
-
3
2,6-6,6
1,0-4,0
25
-
3 7 3
10 40 9
2 -
13 49 12
11,0-15,8 11,7-18,6 12,0-17,3
9,0-19,0 10,0-28,0 15,0-25,0
50 50 50
-
3
1
-
4
6,5-6,6
4,5-4,5
50
-
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 17, No. 2, Juli 2011
P. elongates DIODONTIDAE Diodon liturosus OSTRACIIDAE Lactoria cornuta TETRADONTIDAE Arothron hispidus A. mappa Chelonodon patoca BLENNIDAE Petroscirtes variabilis TERAPONIDAE Terapon jarbua Pelates sexlineatus Terapon sp. GOBIIDAE Ptereotris heteroptera TOXITIDAE Tixotes jaculator Jumlah jenis Jumlah suku Jumlah individu
Jumlah
S1 -
S2 -
S3 2
S4 -
(ekor) 2
6,1-7,5
Kisaran panjang S1 5,0-7,0
-
-
3
-
3
4,6-13,8
10,0-120
25
1
2
1
-
4
16.8-22,7
90.180
75
4 1
1 1
1 3 2
1
6 3 5
20,0-27,8 9,5-19,8 19,3-32,0
240-360 19,0-150 189-670
75 25 100
-
-
3
-
3
5,2-5,2
1,0-1,0
25
-
2 1 1
3 4 2
1 1
6 5 4
2,3-7,9 2,8-9,6 2,5-9,0
0,0-6,0 1,0-11,0 1,0-9,0
75 50 75
-
-
3
-
3
6,7-7,0
2,0-3,0
25
27 12 124
84 30 864
5 98 37 1839
55 24 233
5 100 39 3060
2,5-4,9
0,0-3,0
25
Stasiun
Famili/jenis
Kisaran panjang
FK S2 25
Keterangan: FK = frekuensi kejadian.
Tabel 2. Frekuensi kejadian, kepadatan relatif dan kepadatan total dari 17 jenis ikanterpenting dalam komunitas Kepadatan relatif Tingkat 1 2 3
Jenis ikan
F
Hemiramphus far Platy belone platyura Sillago maculata burus
4 3 4
IB 4 2 9
Sillago sp.. Hyporhamphus dussumieri Selaroides leptolepis Stolephorus waitei Scolopsis ciliatus Gerres oyena Leiognathus sp. Dishistodus pesudochrysopoecilus Dishistodus sp.. Parupeneus sp. Gerres kapas Aeoliscus strigatus Gerres sp. Mugil sp.
4 4 3 3 3 4 3 2 2 3 3 1 3 3
3 1 10 2 3 1 4 2 5 5 4 3 2 1
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Jumlah 34 16 130
Kepadatan total tingkat 12 16 5
55 20 442 47 50 106 276 145 330 52 43 13 28 26
7 15 1 10 9 6 3 4 2 8 11 17 13 14
Catatan: F = frekuensi IB = indeks biologi
Langkosono: Fauna Ikan di Perairan Pantai Kota
127