67 Fiqh al-‐Ikhtilâf; Mencari Akar Pluralisme Islam dengan Pendekatan Fiqh Realitas1 Faqihuddin Abdul Kodir
Janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu: "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-‐Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (an-‐Nisa, 4: 94).
Pendahuluan Salah satu persoalan utama yang dihadapi umat Islam kontemporer adalah cara pandang terhadap orang yang berbeda keyakinan, atau menyimpang dari Islam. Biasa disebut dengan istilah kafir, musyrik atau bisa jadi murtad dari Islam. Ketika pandangan dunia saat ini, yang dianut kebanyakan bangsa dan negara, telah berubah dengan didasarkan pada kesamaan kebangsaan dan kepentingan bersama, cara pandang yang diskriminatif terhadap ‘orang yang berbeda’ menjadi persoalan. Cara pandang kebangsaan menuntut kesederajatan di mata negara dalam semua hal, tanpa membedakan latar belakang agama. Sementara negara yang mendasarkan pada keyakinan agama tertentu, yang menempatkan penganutnya sebagai warga negara utama, akan terus-‐menerus menghadapi persoalan dalam memandang ‘orang lain’ atau ‘orang yang berbeda’. Tidak menutup kemungkinan, persoalan ini akan merembet terhadap ‘orang sendiri’ yang dianggap ‘orang lain’. Dalam sejarah peradaban umat Islam, persoalan kemurtadan atau penyelewengan agama dalam beberapa kasus menjadikan banyak ulama besar sebagai korban. Ini berangkat dari cara pandang yang diskriminatif –bahkan memusuhi-‐ terhadap orang yang berbeda paham atau keyakinan agama. Cara pandang yang seperti ini, cepat atau lambat, pasti akan menjadi bumerang di internal komunitas sendiri. Karena cara pandang demikian hanya bisa melihat kebenaran pada dirinya sendiri, tidak akan pernah belajar dari orang lain yang dianggap berbeda keyakinan apalagi mengakui keberadaannya. Ia dipastikan akan membungkam perbedaan dan mebunuh kreatifitas berfikir dan berkarya. Di Indonesia, jika upaya formalisasi syari’at Islam terus bergulir tanpa direkonstruksi terlebih dahulu, persoalan hukum murtad akan menjadi persoalan krusial. Di Aceh saat ini, sedang digodok Qanun fiqh jinayah yang memuat berbagai pidana dalam fiqh Islam, termasuk pidana murtad yang dihukum dengan pidana mati. Prof. Muslim Ibrahim, Ketua Majlis Perwakilan Ulama Nanggroe Aceh Darussalam, ketika menanggapi persoalan kemurtadan di 1
Makalah ini disampaikan dalam workshop “Mencari Metodologi Pluralisme dalam Islam”, PSIKParamadina, 24 Juli 2007.
68 masyarakat Aceh, sudah menyatakan bahwa hukuman orang murtad yang sesuai fiqh adalah hukuman mati.2 Jika hukuman mati terhadap murtad ini diundangkan dalam Qanun NAD, maka Aceh akan menjadi daerah pertama yang menghadapi konflik internal. Mungkin lebih dahsyat dari masa DOM. Karena biasanya tolok ukur ‘Islam’ dan ‘murtad’ pada akhirnya akan dipegang oleh kelompok yang berkuasa atau mereka yang mayoritas. Setiap pemikiran keagamaan yang berbeda dengan mainstrem kemudian akan dicap sebagai menyeleweng dan murtad. Saat itulah, bangsa Indonesia akan menyaksikan pembantaian dengan mengatasnamakan agama. Di negeri jiran Malaysia, tuntutan perundang-‐undangan hukuman mati terhadap murtad terus disuarakan oleh Partai Islam (PAS) dan meminta persetujuan Pemerintah Federal untuk uji coba di Negeri Kelantan. Dalam setiap konflik pemikiran keislaman yang cukup tajam, tidak segan-‐segan Partai ini menuntut hukuman mati terhadap negara bagi mereka yang menyeleweng dan dianggap murtad; seperti terhadap Kassim Ahmad dan Othman Ali. Sebagai ilustrasi, jika yang diterapkan di Indonesia adalah Islam Wahabi model Saudi, maka daftar orang yang dianggap kafir dan murtad akan lebih banyak lagi. Karena dalam keyakinan Muhammad bin Abd Wahhab (w. 1206/1792) banyak sekali orang yang dianggap salah, menyeleweng, murtad dan kafir. Tasawuf dianggap dari tradisi Persia, ziarah kubur dan kewalian dari adat Turki dan filsafat merupakan budaya pagan Yunani. Dan semua itu bukan dari Islam dan tidak Islami. Semua orang syi’ah adalah kafir. Tawassul itu syirik dan ziarah kubur juga bisa menjadi biang syirik. Orang muslim yang mengucapkan salam pada orang kafir atau murtad juga kafir. Dan semua itu pantas dihukum bunuh karena kekufurran dan kemusyrikannya. Kekhalifahan Turki Otsmani juga dianggap kafir karena mnyebarkan tasawuf. Mendukung dan menerima kekhalifahan ini adalah penerimaan terhadap kekufuran dan dosa besar.3 Saat ini kita masih bernafas lega, karena da’wah Islam di Indonesia lebih banyak disampaikan dengan jalan damai dan maw’izhah hasanah. Tetapi ke depan kita tidak tahu, karena gerakan Islam transanasional sedang membangun sejarahnya di Indonesia yang lambat laun akan mencabut akar-‐akar budaya bangsa Indonesia yang plural dalam berbagai hal; termasuk keyakinan dan paham keagamaan. Tulisan ini berusaha membaca ulang (re-‐interpretasi) konsep fiqh ar-‐riddah, yang dalam pemahaman mainstrem sebagai basis legitimasi adanya hukuman terhadap warga muslim yang menyeleweng dari keyakinan otentik (berbeda dari mainstrem). Mulai dari hukuman paling ringan (ta’zîr) sampai hukuman bunuh (had al-‐qatl). Tanpa pembacaan ulang, konsep ini akan berhadap-‐hadapan secara simetris dengan prinsip demokrasi yang meniscayakan adanya kesederajatan setiap warga dalam memperolah hak-‐hak dari negara. Bahkan bisa menjadi biang kekerasan atas perbedaan keyakinan dan paham yang telah hidup di masyarakat. Tulisan ini juga mencoba menawarkan konsep fiqh al-‐ikhtilâf, sebagai basis penyusunan relasi sosial dalam perbedaan (fiqh at-‐ta’âmul al-‐ijtimâ’iy). Fiqh al-‐Ikhtilâf tidak bermaksud menyamakan keyakinan apalagi agama. Tetapi upaya untuk membuat rumusan penghormatan terhadap perbedaan-‐perbedaan yang ada dan tidak menjadikannya sebagai legitimasi kekerasan. 2
Baca: Serambi Indonesia, 18/11/2005. Lihat: Abou el-Fadl, Khalid, The Great Theft; Wrestling Islam from the Exremists, 2007: HarperCollins Publisher, New York, hal. 45-55. 3
69 Fiqh sebagai Islam realitas Kita ingin mendiskusikan persoalan ini melalui pendekatan fiqh sebagai realitas Islam yang sesungguhnya. Sesuatu yang dikatakan ‘Islam’ dalam realitas masyarakat pada dasarnya adalah fiqh. Yang dimaksud di sini adalah fiqh dengan makna awal. Yaitu pemahaman terhadap teks-‐teks agama [an-‐nushûsh ad-‐dîniyyah] dalam hal apapun; keyakinan, persoalan hukum maupun etika perilaku masyarakat. Makna ini –yang dikembangkan Imam Abu Hanifah (w. 150 H)-‐ adalah yang bisa dipahami dari beberapa ayat Qur’an dan teks hadits yang memuat kata fiqh (lihat; QS, 4:78, 17:44 dan 11:91).4 Fiqh adalah pemahaman setiap orang dalam realitasnya masing-‐masing menyangkut keber-‐agama-‐annya. Setiap usaha untuk memahami Islam, memaknai dan menerapkannya dalam realitas kehidupan adalah fiqh. Pernyataan Nabi Saw, bahwa: “Seseorang yang diinginkan Allah dengan kebaikan baginya, ia akan dibiasakan berproses dalam hal fiqh terhadap agama”5 adalah proklamasi bahwa setiap orang yang baik, siapapun, akan cenderung untuk selalu memahami dan memaknai [fiqh] terhadap agama. Kecenderungan ini sebagai bentuk dari kecintaan, kedekatan dan kepedulian. Tetapi pada saat yang sama, iapun sebatas pemakanaan [fiqh] terhadap agama [ad-‐dîn], bukan agama itu sendiri. Karena merupakan upaya pemaknaan, maka fiqh menjadi beragam dan mengikuti konteks realitasnya masing-‐masing. Ketika Nabi Muhammad Saw mendeskripsikan ‘apa itu Islam’ dan ‘siapa itu muslim’, dalam beberapa teks hadits berbeda dari satu riwayat ke riwayat yang lain. Atau lebih tepatnya, berbeda dari satu konteks ke konteks yang lain. Suatu saat Nabi Saw menyatakan Islam adalah: “Islam adalah dengan beribadah kepada Allah Swt semata, tidak menyekutukan-‐Nya dengan yang lain, mendirikan shalat wajib, membayar zakat dan berpuasa Ramadhan”.6 Dalam riwayat lain diawali dengan “Islam adalah dengan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-‐Nya”, dan ditambah dengan klausa: “Menunaikan ibadah haji ke Mekkah”.7 Dalam riwayat lain, ketika seseorang dari pedalaman [badui] mendengarkan deskripsi Nabi tentang Islam, dia menyatakan: “Ya Nabi, saya akan mengikuti, dan tidak akan saya tambah dan tidak akan saya kurangi”. Lalu Nabi berujar: “Ia akan
4
Memang dalam bahasan akademis, fiqh didefinisikan sebagai: “Ilmu yang membahas mengenai hukumhukum syari’at yang dipahami dari teks-teksnya menyangkut perbuatan-perbuatan manusia”. Ia berbeda dari ilmu kalam, karena menyangkut keyakinan seseorang, dan berbeda dari ilmu tasawuf, yang mendalami pengalaman spriritual manusia. Ia hanya berbicara mengenai segala perbuatan manusia, baik yang bersifat privat, maupun publik. Tetapi Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa fiqh adalah setiap pemahaman terhadap agama, bisa tentang keyakinan dan moralitas yang ia sebut sebagai al-fiqh al-akbar, dan bisa tentang hukum perbuatan manusia yang ia sebut al-fiqh al-ashghar. Untuk lebih jelas bisa dilihat pada: Muhammad ad-Dasuqi dan Aminah al-Jabir, Muqaddimah fi Dirasat al-Fiqh al-Islami, 14 11H/1990M, Dauhah, Qatar, pp. 13-22. 5 Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan ra, diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim. Lihat: Ibn al-Atsîr, Jâmi’ alUshûl min Ahâdits ar-Rasûl, 1984, Dar Ihya at-Turâts al-‘Araby, Beirut, juz IX, hal. 131, no. hadits: 6763. 6 Dari Abu Hurairah dan Abu Dzar al-Ghiffari ra, riwayat Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i . Lihat: Op. Cit. juz I, halaman 133. 7 Dari Yahya bin Ya’mar ra, riwayat Imam Muslim, Turmudzi, Abu Dawud dan Nasa’i . Lihat: Op. Cit. Juz I, halaman 130.
70 masuk surga kalau benar seperti yang diucapkan”8. Bahkan dalam suatu riwayat, ada seseorang –mungkin sahabat atau tabi’in-‐ yang berpegang pada teks hadits ini, ketika diajak berperang di jalan Allah Swt, ia menolak dengan alasan tidak termasuk kewajiban Islam.9 Padahal dalam banyak riwayat lain, deskripsi tentang Islam dan predikat muslim tidak hanya terhenti pada kewajiban-‐kewajiban di atas. Misalnya teks hadits yang mendeskripsikan orang muslim: “Seseorang dianggap muslim, ketika orang-‐orang sekitarnya tidak terganggu dari lisan dan tangannya”.10 Juga teks-‐teks hadits tentang kewajiban berjihad, bertetangga dengan baik, menghormati orang tua, menyayangi anak muda, tidak melakukan kezaliman, berkhianat, berzina, mencuri dan banyak lagi kewajiban-‐kewajiban bagi orang yang berpredikat ‘muslim’. Perbedaan, atau lebih tepatnya keragaman teks hadits dalam mendeskripsikan ‘Islam’ dan ‘muslim’ adalah karena ia merupakan proses fiqh; memahami dan menerapkan ajaran agama dalam konteksnya masing-‐masing. Terkait dengan siapa dan dari mana yang bertanya dan meminta jawaban. Jika Nabi Saw saja demikian, tentu keragaman fiqh pada masa sahabat, tabi’in dan para ulama berikutnya akan lebih banyak lagi, karena realitas kehidupan semakin bertambah dan kompleks. Dalam istilah ushul fiqh “Teks-‐teks ajaran itu terbatas, sementara realitas tidak terbatas [an-‐nushûsh mutanâhiyah wa amma al-‐ waqâ’i’ ghair mutanâhiyah]”.11 Keragaman formulasi fiqh setidaknya dilatari dua hal; persoalan keterbatasan pemaknaan [ijtihâd al-‐istinbâthy] dan persoalan penerapan pada wilayah realitas [ijtihâd tathbîqy]. Dengan demikian fiqh –setiap pemahaman terhadap Islam-‐ tidak bisa dikatakan terlepas dari realitas. Fiqh menjadi kaya dan dibukukan dalam karya yang berjilid-‐jilid, justru karena intensifitasnya berelasi dengan realitas. Pernyataan bahwa realitas harus tunduk terhadap fiqh, atau sebaliknya adalah sesuatu yang tidak tepat dan berlebihan. Fiqh dan realitas dalam sejarah masyarakat muslim, keduanya saling berinteraksi, mempengaruhi, melengkapi dan mengisi satu terhadap yang lain. Dari interaksi ini, bisa diidentifikasi tiga karakter dasar fiqh; pluralitas, fleksibilitas dan relatifitas. Hampir dalam setiap persoalan yang diperbincangkan, fiqh pasti memiliki keragaman pandangan sejak pertama kali dirumuskan. Dalam banyak hal, fiqh juga melakukan penyesuaian dengan setiap realitas yang dihadapi. Karena itu, kebenaran fiqh bersifat relatif, untuk suatu masa, tempat dan kondisi tertentu, bukan untuk selamanya dan tidak mengatasi ruang dan waktu. Paradigma fiqh ini, selanjutnya akan dijadikan alat analisis untuk melihat, memaknai dan merumuskan fiqh (memaknai dan menerapkan ajaran Islam) dalam kaitannya dengan relasi sosial masyarakat. Khususnya yang menyangkut persoalan kebebasan 8
Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah ra, riwayat Imam Malik, Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i. Lihat: Op. Cit. Juz I, halaman 141. 9 Lihat: Op. Cit. Juz I, halaman 128. 10 Lihat: Op. Cit. Juz I, halaman 153. 11 Dalam hal ini asy-Syahrastâni (w. 548 H) mengatakan: “Secara umum, kita mengetahui dengan pasti dan yakin bahwa berbagai peristiwa dan kasus-kasus, baik dalam masalah ibadah maupun masalah kehidupan (interaksi sosial) tidak terhitung dan tidak terbatas. Kita juga mengetahui dengan pasti, bahwa tidak semua kejadian (atau permasalahan) terdapat penjelasannya dalam teks (al-Qur’ân maupun al-Hadîts). Memang hal ini tidak mungkin. Karena teks-teks itu sesungguhnya terbatas, sementara peristiwa-peristiwa sosial tidak akan pernah terbatas. Sesuatu yang tidak terbatas tidak akan mampu dicakup oleh sesuatu yang terbatas. Karena itu, kita sangat yakin bahwa ijtihâd atau qiyâs hukumnya wajib”. (Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim Asy-Syahrastâni, alMilal wa an-Nihal, Diedit oleh Ahmad Fahmi Muhammad, Juz I, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), hlm. 210).
71 beragama, berkeyakinan, berpendapat dan penghormatan satu terhadap yang lain dalam menjalankan hak-‐hak individu maupun sosial. Realitas masa lalu telah mewarnai sedemikian rupa pemaknaan teks-‐teks agama yang terkait dengan hak-‐hak keberagamaan seseorang. Ada pemilahan seseorang menjadi muslim, kafir dzimmi atau kafir harbi, dâr al-‐Islâm atau dâr al-‐kufr, pidana kemurtadan, identifikasi terhadap kemurtadan seseorang, dan pengadilan serta eksekusi atas pidana kemurtadan. Tentu saja, realitas sekarang memiliki logika dan konteksnya sendiri, yang menuntut pemaknaan ulang atas teks-‐teks yang sama, atau lebih tepatnya adalah pembacaan atas sekumpulan teks-‐teks yang secara literal terkesan ambivalen; ada yang mengarah pada kebebasan dan penghormatan, dan sebaliknya ada yang mengarah pada pembatasan dan pemaksaan. Ulama masa lalu misalnya, lebih memilih untuk menyatakan bahwa ayat peperangan menggantikan [naskh] seluruh ayat-‐ayat kebebasan, penghormatan dan perdamaian.12 Realitas sekarang menuntut sebuah cara pandang baru; misalnya bahwa yang prinsip dalam Islam adalah ayat-‐ayat penghormatan dan perdamaian, sementara peperangan dan pemilahan keimanan seseorang terkait dengan konteks tertentu yang bersifat parsial. Tradisi klasik dalam hal ini, harus dibaca selaras dengan konteksya. Pada saat yang sama, semangat pembacaan tradisi klasik ini [al-‐ashâlah] diturunkan untuk merumuskan fiqh yang selaras dengan tuntutan konteks kontemporer [al-‐mu’âsharah] dalam kehidupan kita saat ini. Dengan demikian, kita tetap menghormati dan berpegang pada tradisi [turâts] tetapi tidak mengambilnya secara membabi buta, kita memilah akar persoalannya dan memilih substansi masalahnya untuk mengemasnya kembali sesuai dengan realitas persoalan kontemporer yang kita hadapi. Orisinilitas [al-‐ashâlah] berarti meniscayakan keterkaitan dengan akar masa lalu di satu pihak, dan di lain pihak harus selalu dinamis dengan persoalan kontemporer [al-‐mu’âsharah], hidup bersama, berinteraksi dan mendatangkan manfaat kepada kehidupan sekarang dan berikutnya. Fiqh relasi sosial dalam hal keberagamaan harus berangkat dari akar-‐akar orisinilitas khazanah [turâts] masa lalu, dan pada saat yang sama berinteraksi dengan persoalan-‐persoalan kontemporer dan membuka diri terhadap semua masukan dari peradaban lain dengan penuh kesadaran dan kewaspadaan, untuk membangun konsep relasi sosial yang menjamin kesejahteraan masyarakat dunia. Sebagai konsep dan praktek sosial, ia harus terbuka untuk dikritik dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan diuji secara empirik-‐materiil, untuk menemukan kesejatian dan orisinalitas konsep ajaran dan norma yang berpihak bagi kemanusiaan. Fiqh ar-‐riddah ; Akar Fanatisme Keberagamaan13 12
Ibn al-‘Arabi misalnya, dalam tafsir ayât al-ahkâm menyatakan bahwa ayat perintah memerangi orangorang musyrik: “Apabila telah lewat bulan-bulan yang diharamkan (peperangan) maka perangilah orang-orang musyrik itu dimanapun kamu menemukan mereka”. (QS. At-Taubah, 9:5), ayat ini menghapus (naskh) sekitar 114 ayat Qur’an yang berbicara perdamaian, dialog dan perkataan lembut dengan orang-orang kafir. Lihat: Ibn al-‘Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, I/205. Dikutip dari: Shubhi ash-Shâlih, Mabâhits fî Ulûm al-Qur’ân, 1983, Dar al-Ilmi lilMalâyîn, Beirut, hal. 264. 13 Fiqh ar-riddah adalah salah satu konsepsi fiqh yang sering dijadikan dasar perlunya penangan kekerasan terhadap pelanggaran keyakinan dan pemikiran umat muslim. Fiqh ar-riddah lebih banyak mengarah kepada internal umat muslim. Ada lagi konsepsi lain yang juga menjadi dasar legitimasi kekerasan masyarakat muslim, yaitu konsepsi jihad yang dalam fiqh lebih banyak diarahkan kepada masyarakat luar atau non-muslim. Dalam hal ini,
72 Sesuatu yang tidak bisa dinafikan bahwa fiqh klasik telah sedemikian rupa merumuskan pidana murtad [hadd ar-‐riddah], yang pada perkembangannya banyak mengancam kebebasan beragama, berpendapat dan berkarya pada masyarakat muslim. Bahkan, rumusan fiqh ar-‐ riddah ini –dengan formulasi lain yang sejenis seperti; kufr, zindîq, bid’ah, khurafât-‐ telah memakan korban dari para ulama itu sendiri, yang di kemudian hari dianggap pahlawan dalam disiplin ilmu mereka masing-‐masing. Perumusan fiqh ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari konteks yang melatari pada saat itu, sehingga tidak menutup kemungkinan –dengan melakukan pembacaan terhadap seluruh komponen tradisi yang terkait dengan persoalan ini-‐ memunculkan perumusan baru yang sejalan dengan prinsip-‐prinsip dasar Islam dan selaras dengan tuntutan etika pergaulan saat ini, yang menuntut kesetaraan dan kesederajatan. Dalam fiqh klasik, perbincangan mengenai hukum pidana terpusat pada hudûd; kemurtadan, perzinahan, pencurian, pembrontakan dan minuman keras. Selebihnya adalah pidana ta’zîr, yang hukumannya diserahkan kepada kebijakan pemerintah dengan syarat tidak lebih dari batasan hukuman hudûd. Kemurtadan merupakan pidana yang diancam dengan hukuman yang cukup berat, yaitu dihukum mati. Ancaman ini, seperti yang dikatakan Ibn ar-‐ Rushd merupakan kesepakatan mayoritas ulama fiqh. Tetapi dalam penjabarannya ulama fiqh berbeda pendapat; misalnya apakah seorang yang murtad langsung dikenakan hukuman atau diminta bertaubat lebih dahulu; seorang perempuan yang murtad boleh dihukum bunuh atau tidak, dan yang paling krusial adalah persoalan batasan bagaimana seseorang dianggap telah melakukan pidana kemurtadan. Identifikasi ‘kemurtadan’ ini yang pada akhirnya banyak memakan korban dari para ulama, sebelum pidana itu mengancam orang-‐orang yang benar-‐ benar keluar dari Islam itu sendiri.14 Riddah atau al-‐Irtidad, secara etimologi [al-‐lughawi] berarti pulang, atau kembali kepada agama semula. Orang-‐orang pada masa Nabi Saw, sebelum masuk Islam, menganut harus dijelaskan bahwa dalam teks-teks Islam, ada sejumlah ayat dan hadits yang bisa menjadi sumber inspirasi kekerasan antar umat muslim, atau terhadap komunitas lain. Ayat dan hadis yang seperti ini, dijadikan basis untuk mendefinisikan konsepsi jihad dalam Islam. Jihad yang secara literal berarti ‘upaya yang optimal’, kemudian diartikan sebagai ‘usaha yang keras dengan melakukan apa saja untuk menegakkan kalimah Allah’. Dan pada prakteknya, jihad sering diartikan sebagai perang suci terhadap orang-orang yang dianggap melawan kehendak Allah. Jihad sendiri merupakan salah satu implementasi dari perintah ‘amar ma’ruf nahi munkar’, atau anjuran mewujudkan kebaikan dan menghapus kemungkaran. Bagi mereka yang cenderung dengan idiologi kekerasan, pada prakteknya ‘nahi munkar’ lebih didahulukan daripada ‘amar ma’ruf’. Untuk menegakkan tugas suci ini, mereka tidak segan-segan mengayunkan tangan-tangan kekerasan, dengan berlandaskan pada teks hadis Nabi: “Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya, kalau tidak bisa maka ubahlah dengan lisannya, kalau tidak bisa maka ubahlah dengan hatinya. Hal ini merupakan ekpresi keimanan yang paling lemah”. Sejarah kekerasan yang terjadi dalam dan oleh masyarakat muslim, secara teologi tidak pernah terlepas dari seputar konsepsi jihad, amar ma’ruf dan penegakan hukum-hukum Allah di muka bumi. Ketika konsepsi ini ditegakkan atas dasar ‘komunalisme’, biasanya akan berbuntut praktek kekerasan. Yaitu pandangan bahwa kebenaran hanya ada pada dirinya, dan kesesatan ada pada orang lain. Ketika ‘kebenaran dirinya’ harus ditegakkan, sementara ‘kesesatan orang lain’ harus ditumpas, maka keke-rasan-kekerasan tidak bisa terelakkan akan tumpah dengan sebab yang mungkin sangat sederhana. Dengan legitimasi kosmis ini, kekerasan menjadi sakral, memiliki nilai keagungan dan menjadi rebutan banyak orang untuk melakukannya. Tindak kekerasan ini, dalam sejarah Islam, tidak hanya terjadi dari muslim terhadap non-muslim, tetapi lebih banyak lagi terjadi dari muslim terhadap muslim yang lain. Realitas yang seperti harus menjadi salah satu pertimbangan bagaimana rumusan fiqh relasi sosial tidak lagi didasarkan pada mu’min-kafir, kawan-lawan dan senang-benci. Tetapi pada kesepakatan untuk secara bersama merumsukan aturan main yang memungkinkan semua orang memiliki hak dan kesempatan yang sama. 14 Lihat: Ibn ar-Rushd, Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid, 1988, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, juz II, hal. 459..
73 agama tertentu, maka ketika keluar dari Islam, ia dianggap kembali kepada agama semula. Asumsinya, riddah baru terjadi ketika seseorang menganut agama tertentu selain Islam, masuk Islam, kemudian keluar lagi dari Islam kembali ke agama semula. Tetapi mayoritas ulama tidak berpendapat demikian, riddah adalah segala bentuk upaya seseorang yang bisa dianggap keluar dari agama Islam, bisa dengan ucapan, perbuatan atau isyarat. Pada prakteknya, fiqh ar-‐ riddah menurunkan konsepsi-‐konsepsi sejenis yang pada intinya mengarah pada upaya eksekusi terhadap segala bentuk penyimpangan keberagamaan, keyakinan, pemikiran dan perbuatan; seperti konsepsi zindîq, bid’ah, takhayyul dan khurafât. Pada prakteknya, ulama fiqh berbeda pendapat dalam merumuskan fiqh ar-‐riddah. Ibn Hazm al-‐Andalusi (w. 450H) merekam sebagian perdebatan ulama: “Orang yang sudah muslim kemudian murtad dari Islam, keluar ke agama kitabi atau yang bukan kitabi, atau menjadi tidak beragama, ulama berbeda pendapat mengenai statusnya; sebagian mengatakan: ia tidak perlu diminta bertaubat, sebagian menyatakan perlu diminta bertaubat. Sebagian membedakan antara orang yang sejak lahir muslim kemudian murtad, dengan orang yang awalnya bukan muslim, masuk Islam kemudian murtad. Kelompok yang menyatakan tidak perlu minta taubat terbagi pada dua pendapat; orang murtad harus dihukum bunuh sekalipun ia sudah bertaubat dan kembali menjadi muslim, pendapat lain; jika cepat bertaubat sebelum dijatuhi hukuman, ia bisa diterima dan terlepas dari hukuman, jika tidak ia harus dijatuhi hukuman bunuh. Sementarar kelompok yang menyatakan perlu diminta bertaubat terbagi dalam beberapa pendapat; sebagian menyatakan: diminta bertaubat satu kali, jika mau bertaubat, ia diterima, jika tidak ia harus dibunuh. Sebaigian lain: diminta bertaubat tiga kali, pendapat lain: diminta bertaubat selama satu bulan, pendapat lain: seratus kali, bahkan ada yang menyatakan: ia harus diminta bertaubat selamanya dan tidak boleh dibunuh”.15 Dalam definisi Imam Nawawi (w. 676H), riddah adalah memotong Islam; baik dengan keinginan, perkataan dan perbuatan; baik hal itu muncul karena pelecehan, pengingkaran atau memang merupakan keyakinan.16 Az-‐Zuhaily, seorang faqih kontemporer mendefinisikan riddah: “Kembali dari agama Islam beralih menjadi kafir, baik dengan niat, perbuatan atau perkataan; sebagai pelecehan, pengingkaran atau keyakinan”.17 Pada wilayah penjabaran dari definisi riddah, sering kali setiap kelompok, madzhab bahkan seorang ulama berbeda satu dengan yang lain, yang memungkinkan suatu kelompok mengkafirkan kelompok yang lain. Ada satu catatan mengenai identifikasi kemurtadan yang ditulis al-‐Khathib asy-‐Syirbini, yang bisa menjadi contoh relasi fiqh ar-‐riddah dengan konteksnya, dan bagaimana ia harus dirumuskan ulang pada masa sekarang. Di antara kriteria kemurtadan menurut asy-‐Syirbini adalah: “Orang yang mendustakan rasul, atau nabi, menghina, melecehkan, atau melecehkan namanya, nama Allah, perintah-‐Nya, janji dan ancaman-‐Nya, mengingkari satu ayat al-‐Qur’an atau menambah satu ayat yang tidak termasuk al-‐ Qur’an, atau melecehkan sunnah; seperti pernyataan: orang yang menjilat 15
Dikutip dari ‘Abd al-Muta’âli ash-Sha’îdy, Hurriyat al-Fikr fi al-Islâm, Dar al-Fikr al-‘Araby, hal. 75-77. Lihat: Asy-Syirbini, Mughni al-Muhtâj, Dar al-Fikr, juz IV, hal. 133-134. 17 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhû, 1989, Dar al-Fikr, Beirut, juz VI, hal. 183. 16
74 jemarinya setelah makan –ini sunnah Nabi-‐ adalah tidak beradab dan menjijikkan, atau ketika diminta untuk memotong kuku, ia menjawab: “tidak mau, sekalipun itu sunnah”, dengan maksud melecehkan. ........ atau mengatakan kepada orang yang mengucapkan hawqalah : “ucapan itu tidak akan membuatmu menjadi kenyang”. Atau orang yang menyatakan: “Kalau Allah masih saja mewajibkanku shalat ketika sakit keras, ini adalah zalim”. Atau seseorang yang dipanggil: “wahai yahudi”, kemudian ia menoleh dan menjawab. Atau orang yang jika ditanya: “Kamu muslim?”, dijawab: “tidak”. Atau membaca bismillah ketika mau minum khamr dan berzina, dengan maksud melecehkan. Atau menyatakan: “sepiring bubur gandum lebih baik dari ilmu pengetahuan”. Atau tidak mau mengkafirkan orang-‐orang di luar Islam, atau merasa ragu dengan kekafiran mereka. Atau ketika melihat ada orang kafir yang masuk Islam dan diberi uang zakat, dia menyatakan: “Kalau saja dulu aku kafir, kemudian masuk Islam, pasti aku akan dapat harta juga”. Atau seorang guru yang bergumam: “Orang yahudi lebih baik dari orang-‐orang Islam, karena mereka sangat memperhatikan kesejahteraan para guru”.18 Pemurtadan dan pengkafiran banyak dibicarakan pada disiplin ilmu kalam, fiqh dan hadits. Dalam tradisi kalam kita, ada lima kelompok besar; sunni, syi’ah, khawarij dan mu’tazilah, dengan berbagai aliran masing-‐masing yang biasanya dihitung oleh ulama al-‐firaq berjumlah sekitar 73 aliran. Setiap kelompok mengklaim kebenaran dirinya, dan menyalahkan bahkan mengkafirkan kelompok lain. Sejarah peradaban Islam telah mencatat dua tragedi yang sering menjadi perbincangan teologis yang terkait dengan soal pengkafiran dan pemurtadan. Pertama, tragedi penciptaan al-‐Qur’an [mihnat khalq al-‐qur’ân] yang dihembuskan pada masa khalifah al-‐Ma’mun –atas desakan ulama mu’tazilah-‐, yang banyak memakan korban. Diantara korban yang paling terkenal adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ali bin al-‐Madini dan Muhammad bin Sa’d. Karena tidak mau menganggap Qur’an makhluk, mereka dituduh sesat, kafir, murtad dan dianggap menyerupai orang Yahudi dan Kristen, bahkan lebih jahat lagi. Yang sempat dibunuh dan disalib karena persoalan ini adalah Imam Ahmad bin Nashr al-‐Khaza’i, karena menolak untuk mengikuti keyakinan kemakhlukan Qur’an. Kalau penguasa pada saat itu memandang bahwa yang tidak meyakini kemakhlukan Qur’an adalah kafir dan murtad, sebaliknya sebagian ulama sunni dari ahli fiqh dan hadits -‐ Imam Syafi’i misalnya-‐ berpendapat bahwa mereka yang menganggap kemakhlukan Qur’an adalah murtad dan keluar dari Islam.19 Kedua, tragedi yang dialami Ibn Rushd, seorang faqih yang juga filosof. Ia juga –atas desakan beberapa ulama fiqh dan hadits-‐ dituduh sesat oleh penguasa pada saat itu, Abu Ya’qub al-‐Manshur. Ia sendiri diasingkan menjadi tahanan di Alissa, daerah terpencil yang semula menjadi hunian bagi orang-‐orang Yahudi. Maklumat yang disebarkan ke seluruh wilayah Andalusia dan Marakish adalah penyesatan terhadap Ibn Rushd dan karya-‐karya yang ditulisnya. Abu Ya’kub memberi maklumat untuk membakar seluruh buku-‐buku Ibn Rushd, bahkan semua buku-‐buku filsafat pada saat itu yang menjadi kegandrungan Ibn Rushd. Lebih lagi, di dalam maklumat juga dicantumkan pembakaran buku-‐buku Mazhab Maliki, setelah disobek terlebih dahulu halaman-‐halaman yang mengandung ayat Qur’an dan hadits, karena 18
Asy-Syirbini, Mughni al-Muhtâj, Dar al-Fikr, juz IV, hal. 135. Ibid.
19
75 juga dianggap penafsiran yang sesat terhadap teks Qur’an dan hadits. Ia menyarankan kepada seluruh masyarakatnya hanya merujuk kepada kedua sumber utama, al-‐Qur’an dan al-‐hadits. Beberapa tragedi lain, sepanjang sejarah peradaban umat muslim, juga bisa menjadi catatan di sini. Tragedi pembunuhan Abu al-‐Husain al-‐Hallaj, yang oleh beberapa ulama fiqh dianggap murtad dan kafir. Hakim agung pada saat itu, Abu Amru al-‐Junaid memfatwakan hukum bunuh atas kemurtadan al-‐Hallaj. Oleh khalifah, ia dijatuhi hukuman cambuk seribu kali, jika belum mati dicambuk lagi seribu kali, jika belum mati dipotong kedua tangannya, kemudian kedua kakinya, kemudian dipenggal lehernya. Semua hukuman itu dilaksanakan terhadap al-‐Hallaj karena pernyataan “ana al-‐haqq” yang membuatnya dianggap murtad. Bahkan pola penyesatan sampai kepada hal-‐hal yang nyata berada pada wilayah sosial politis. Misalnya, sampai abad ke VI H, kebanyakan ulama berkeyakinan bahwa orang yang mengusulkan kepemimpinan selain dari orang Quraisy termasuk orang sesat, khawarij dan bisa halal darahnya.20 Catatan-‐catatan sejarah ini menegaskan bahwa fiqh ar-‐riddah pada prakteknya lebih banyak menjadi racun pembunuh bagi benih-‐benih kreatifitas intelektual para ulama. Tuduhan murtad, bid’ah, khurafat dan kafir telah menyeret banyak ulama yang pada kemudian hari dianggap pahlawan dan pioneer dalam disiplin ilmu tertentu. Misalnya, Imam Abu Ishaq penulis pertama biografi Nabi Muhammad Saw, ia diboikot oleh ulama hadits karena dianggap pembohong, bahkan seorang dajjal. Imam ath-‐Thabari, pionir ilmu tafsir dan sejarah, pernah dihancurkan rumahnya oleh pengikut mazhab Ahmad bin Hanbal, karena dianggap dalam tafsirnya banyak menyebarkan riwayat-‐riwayat lemah dan palsu. Imam Ibn Taymiyyah (w. 728H), ulama yang pada masa sekarang menjadi ikon setiap reformasi pemikiran Islam, juga pernah dikurung dalam waktu yang cukup lama, sehingga sakit keras dan meninggal, hanya karena dia menyatakan bahwa Allah berada di langit, punya tangan dan turun ke bumi. Pernyataan ini, bagi ulama-‐ulama yang dekat dengan penguasa pada saat itu, bisa membuat orang menjadi kafir, karena menyamakan [mujassimah] Allah dengan manusia.21 Imam Najm ad-‐Din ath-‐Thufi (w. 716H), seorang ulama mazhab Hanbali yang sangat terkemuka, penganjur konsepsi al-‐mashlahah yang sekarang digandrungi banyak pemikir fiqh rasional, ia juga pernah dituduh sesat oleh gurunya sendiri dari mazhab yang sama. Ia sempat diseret, diarak di jalan-‐ jalan kota, dan diasingkan ke daerah terpencil selama dua tahun. Realitas seperti ini tentu saja akan menghambat kebebasan berpikir dan kemajuan peradaban umat muslim, bahkan manusia secara keseluruhan. Ia tidak hanya menuntut pembacaan ulang tentang fiqh ar-‐riddah, bahkan re-‐interpretasi seluruh teks-‐teks terkait untuk menemukan relasi sosial yang lebih memberikan penghormatan, kesederajatan dan keadilan antar sesama. Ada beberapa prinsip dasar yang bisa diambil dan dikembangkan pada konteks sekarang. Pertama, seperti dikatakan Imam al-‐Kasâni (w. 587 H) dari madzhab Hanafi dalam Bada’i’ ash-‐Shanâ’i, bahwa kemurtadan saja tidak secara otomatis menjadi sebab hukum bunuh (al-‐qatl laysa min lawâzim ar-‐riddah ‘indanâ), sebagaimana kekafiran juga tidak 20
Bisa dilihat pada Asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, ed. Ahmad Fahmi Huwaidi, 1992, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, juz I, hal. 108. 21 Dalam mazhab Syafi’i, ada perbedaan pendapat apakah seorang yang berpandangan mujassimah bisa dianggap kafir. Imam Abu Hasan al-Asy’ari termasuk orang yang berpandangan bahwa mereka adalah orang kafir, karena menyamakan Allah dengan makhluk.
76 menyebabkan ‘boleh dibunuh’.22 Tetapi pernyataan ini dalam fiqh Hanafi hanya diberlakukan bagi perempuan dan anak-‐anak, tidak untuk lelaki dewasa. Kedua, persoalan riddah dalam fiqh seringkali dikaitkan dengan persoalan al-‐hirabah, atau ancaman dan penyerangan terhadap komunitas muslim. Mungkin atas dasar ini, sebagian ulama fiqh sebagaimana dikutip Ibn Hazm di atas, ada yang memilih menyatakan tidak ada hukum bunuh terhadap orang murtad (semata). Dia hanya diminta untuk bertaubat saja. Jika kedua prinsip ini dipilih, sesungguhnya kemurtadan semata, sebagaimana kekufuran juga, tidak bisa menjadi legitimasi adanya hukuman. Riddah yang dihukum adalah riddah yang disertai dengan al-‐hirabah, yaitu mengancam eksistensi komunitas muslim. Biasanya ini terjadi ketika orang pindah agama pada masa perang, dan bergabung dengan musuh untuk berbalik menyerang kaum muslim. Seperti yang terjadi pada masa Nabi Saw, ketika orang seperti Abdullah bin Sa’d, Abdullah bin Khathl dan al-‐Hârits bin Hisyâm masuk Islam kemudian murtad dan bergabung dengan Quraisy untuk memerangi Nabi Saw. Kepada mereka, Nabi saw memerintahkan hukum bunuh pada saat Fath Makkah. Tetapi kemudian Abdullah bin Sa’d berlindung dengan Utsman bin Affan ra dan al-‐Hârits bin Hisyâm berlindung dengan Umm Hani bibi Nabi Saw. Mereka dimaafkan dan tidak jadi dibunuh. Hanya Abdullah bin Khathl yang dihukum bunuh, mungkin karena tidak berlindung dan tidak ada yang melindungi.23 Dari sisi argumentasi fiqh [al-‐istidlâl], konsepsi tindak pidana riddah hanya dikembangkan atas dasar suatu teks hadits dan praktek yang dilakukan beberapa sahabat. Semua ayat al-‐Qur’an yang membicarakan mengenai kemurtadan, kekafiran dan penyelewengan pemikiran, tidak dibarengi dengan perlunya suatu ancaman hukuman di dunia. Beberapa ayat ini bisa menjelaskan kecenderungan konsepsi ancaman riddah dalam al-‐Qur’an, yang satupun tidak ada yang mengaitkan dengan hukuman dunia: 1. “Wahai orang-‐orang yang beriman, barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-‐Nya”. (QS. Al-‐Maidah, 5: 54). 2. “Sesungguhnya orang-‐orang yang kembali murtad ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-‐angan mereka”. (QS. Muhammad, 47: 25). 3. “Wahai orang-‐orang yang beriman, jika kamu menta’ati orang-‐orang kafir itu, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi murtad (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-‐orang yang merugi”. (QS. Ali ‘Imran, 3: 149). 4. “Barang siapa yang menjadi kafir kepada Allah sesudah dia beriman, kecuali orang yang terpaksa kafir padahal hatinya tetap dalam keimanan, akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah akan menimpanya, dan baginya azab yang besar”. (QS. An-‐Nahl, 16: 106). 5. “Dan barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka adalah orang-‐orang yang sia-‐sia amalannya di dunia dan di
22
Al-Kasâni, ‘Ala ad-Dîn Abu Bakr bin Mas’ûd, Badâ’i’ ash-Shanâ’i’ fî Tartîb asy-Syarâ’i’, diedit oleh ‘Aliyy Muhammad Mu’awwadh dan ‘Adil Ahmad ‘Abd al-Mawjûd, 1997: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, BeirutLibanon, juz 9, hal. 528. 23 Lihat: Ibn Hisyâm, as-Sirah an-Nabawiyyah, diedit oleh Musthafa as-Saqa, Ibrahim al-Abyari dan Abd alHafizh Syalaby, 1992: Dar al-Khayr, Beirut-Libanon, juz 4, ha. 40-42.
77 akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-‐ Baqarah, 2: 217). Tidak ada satupun ayat al-‐Qur’an yang menyatakan bahwa seseorang yang murtad, berpindah agama, atau sesat keyakinan dan pemikiran, ia harus dihukum dengan hukuman tertentu. Yang ada hanyalah teks hadits, yaitu “Barang siapa yang menggantikan agamanya, maka bunuhlah ia”.24 Teks ini dikembangkan ulama fiqh sebagai dasar utama konsepsi tindak pidana riddah, yang dalam banyak hal masih bisa diperdebatkan kembali. Setidaknya ada beberapa teks hadits lain, dengan jumlah yang sama, bahkan bisa lebih banyak yang memuat fakta-‐fakta bahwa Nabi Muhammad Saw tidak memberi hukuman terhadap orang muslim – pada saat itu-‐ yang dalam ukuran fiqh ar-‐riddah melakukan perilaku-‐perilaku (baik perkataan maupun perbuatan) kemurtadan; mengkritik dan melecehkan Nabi, menyangsikan kebenaran sebagian ayat al-‐Qur’an, bahkan sebagian mereka menyatakan kemurtadannya. Pada masa Nabi, orang-‐orang munafik sangat banyak, yang dalam beberapa hal melakukan perilaku-‐ perilaku penyangsian terhadap ajaran Islam yang disampaikan Nabi. Beberapa sahabat, terutama Umar bin Khattab ra geram melihat perilaku mereka dan selalu mengusulkan untuk dieksekusi dan dipancung, tetapi Nabi dengan bijak menyatakan bahwa mereka adalah orang-‐ orang yang hidup bersama: “Wahai Umar, aku tidak setuju, bagaimana kalau orang-‐orang nanti membicarakan bahwa Muhammad ternyata membunuh sahabat-‐sahabatnya sendiri”. Padahal perilaku mereka, jika diukur dengan konsepsi fiqh ar-‐riddah, mungkin tidak sekedar murtad dan keluar dari Islam.25 Beberapa pemikir kontemporer, seperti Syekh ‘Abd al-‐Muta’ali ash-‐Sha’idi dan Jamal al-‐Banna adik kandung pendiri Ikhwan al-‐Muslimin Hasan al-‐Banna, mengkritik perujukan terhadap teks-‐teks hadits kemurtadan sebagai dasar penentuan pidana terhadap perbedaan 24
Hadits ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya (no. hadits: 6922). Beberapa teks hadits lain yang serupa, diriwayatkan selain Bukhari. Misalnya hadits Mu’adz: “Jika ada laki-laki yang riddah dari Islam, maka ajaklah ia kembali, jika enggan kembali maka bunuhlah. Jika ada perempuan yang riddah dari Islam juga ajaklah ia kembali, jika enggan maka bunuhlah”. Lihat teks-teks lain dan perdebatan ulama dalam menafsiri teks-teks hadits tersebut pada: Ibn Hajar al-‘Asqallani, Fath al-Bari, juz XIV, hal. 267-277). 25 Banyak sekali perilaku ‘kemurtadan’ yang bisa dicatat di sini, yang dilakukan sahabat Nabi atau lebih tepatnya orang-orang yang hidup dan bersama Nabi. Di antaranya adalah Harqus bin Zuhair yang mengkritik Nabi ketika membagi-bagikan hasil pampasan perang. “Berlaku adil dong, wahai Muhammad, kamu tidak adil dengan cara pembagian seperti ini”. Nabi menjawab: “Kalau saya tidak berlaku adil, siapa yang bisa berlaku adil”. “Pembagian seperti ini, sungguh tidak sesuai dengan keinginan Allah”. Ketika hendak perang Badr, Nabi berpesan untuk tidak membunuh paman beliau Abbas bin Abd al-Muthallib. Sebagian sahabat dari Muhajirin yang iktu perang berkata: “Bagaimana ini, saudara-saudara kita, paman, ayah dan saudara harus dibunuh, sementara paman Nabi tidak boleh dibunuh”. Pada waktu perang Uhud, Ibn Ubay bin Salul memprovokasi pasukan Nabi untuk pulang dan tidak mentaati perintah Nabi, sepertiga dari pasukan mengikuti ajakan Ibn Salul dan pulang ke Madinah meninggalkan Nabi dan pasukan perang yang dipimpinnya. Beberapa pernyataan yang sering dikemukakannya: “Kenapa kita harus menceburkan diri pada peperangan?”. “Mereka (Nabi dan orang-orang Muhajirin) telah datang ke tampat kita, beranak pinak dan menjadi berharta di antara kita. Demi Allah, antara kita dan mereka orang-orang Quraisy itu sama seperti orang yang memelihara dan membesarkan anjing, kemudian anjing itu memangsanya. Demi Allah, kalau kami pulang ke Madinah, kami orang-orang yang mulia akan mengusir mereka orang-orang yang hina”. “Wahai kaumku, kamu ini bagaiman, daerah ini kamu serahkan sepenuhnya kepada mereka, dan harta kamu dibagikan kepada mereka, demi Allah, kalau saja kalian menahan semua itu, mereka akan mencari tempat lain selain daerah kalian”. Dengan berbagai perilaku dan pernyataan ini, Nabi hanya berkata: “Kami akan tetap berbuat baik, selama ia berbuat baik kepada kami”. Kisah-kisah ini bisa dibaca pada berbagai kitab hadits, dan terutama kitab sirah. Lihat: Abu Zahrah, Khâtam an-Nabiyyîn, Dar at-Turats, Beirut, juz III, hal. 350-354. Asy-Syahrastani, alMilal wa an-Nihal, juz I, hal. 10-11.
78 keyakinan dan pandangan keagamaan. Mereka berpendapat bahwa teks hadits yang memberikan ancaman terhadap kemurtadan, tidak bisa hanya dipahami sebagai pidana atas murni perbedaan keyakinan. Tetapi karena kemurtadan –yang dimaksud teks hadits dan yang terjadi pada masa Nabi-‐ merupakan pengkhianatan terhadap kesatuan sosial, pemberontakan, bahkan pengkondisian untuk melakukan penyerangan terhadap komunitas muslim. “...... dalam hal ini, apabila ada beberapa hadits ahad yang mengisyaratkan ancaman bunuh terhadap orang murtad, menurutku ada dua opsi; pertama bahwa hadits ini tidak bisa diterima karena bersifat ahad dan berbicara pada wilayah aqidah, membunuh orang murtad karena pergantian aqidah dan keyakinannya, termasuk wilayah aqidah, sementara ulama sepakata bahwa hadits ahad tidak bisa digunakan sebagai dasar hukum dalam wilayah aqidah. Opsi kedua, bahwa yang dimaksud murtad di sini adalah murtad yang sengaja ingin memerangi umat muslim [al-‐murtad al-‐muharib], karena masa Nabi adalah masa peperangan, setiap orang yang murtad akan keluar dari daerah muslim dan bergabung dengan musuh”.26 Lebih dari itu, konsepsi fiqh ar-‐riddah yang dikembangkan fiqh klasik melanggar prinsi-‐ prinsip fiqh al-‐ikhtilaf untuk saling menghormati pilihan keyakinan masing-‐masing dan melakukan ajakan dengan cara yang baik dan dialog. Allah Swt dalam beberapa ayat al-‐Qur’an menyatakan bahwa keyakinan adalah persoalan pilihan, dan perbedaan tidak mungkin bisa dinafikan. “Bagi setiap (kaum) di antara kamu, Kami jadikan aturan dan jalan. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-‐Nya menjadi umat yang satu (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-‐Nya kepadamu, maka berlomba-‐lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-‐lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-‐Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”. (QS. Al-‐Maidah, 5: 48). Fiqh al-‐Ikhtilâf; Akar Pluralisme Islam Perbedaan [al-‐ikhtilaf] adalah sesuatu yang alamiah terjadi dalam setiap masa dan komunitas. Ia tidak bisa ditekan, ditutup atau ditahan dengan peraturan, undang-‐undang, bahkan dengan senapan. Karena itu, dalam suatu riwayat Nabi Saw menyatakan bahwa: “Perbedaan umatku adalah rahmat bagi mereka”.27 Karena perbedaan merupakan pewujudan ruang-‐ruang artikulasi dan pilihan-‐pilihan yang memungkinkan setiap orang bisa memperoleh alternatif. Perbedaan adalah merupakan keniscayaan dan ketetapan Allah Swt. Hal ini telah ditegaskan beberapa kali, dalam beberapa ayat al-‐Qur’an. “Kalau saja Allah berkehendak, maka Ia akan jadikan mereka menjadi satu umat saja, tetapi ada orang yang dikehendaki-‐Nya masuk dalam rahmat-‐Nya, sementar orang-‐orang yang zalim tidak ada bagi mereka seorang pelindungpun atau seorang penolong” (QS. Asy-‐Syura, 42: 8). “Manusia pada awalnya adalah satu umat saja, kemudian mereka berselisih. Kalau saja bukan karena ada ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu, niscaya akan diberikan keputusan terhadap apa yang mereka perselisihkan itu”. (QS. Yunus, 10: 19). “Kalau saja Tuhanmu berkehendak, maka Ia akan menjadikan seluruh manusia 26
Lihat: Jamal al-Banna, al-Islâm wa Hurriyat al-Fikr, 1999, Dar al-Fikr al-Islami, Cairo, hal. 38-41. Teks hadits ini oleh beberapa ulama hadits dianggap lemah, bahkan sebagian menganggap tidak ada dasar sama sekali. Tetapi teks hadits ini sangat masyhur di kalangan ahli fiqh dan ushul fiqh, bahkan sebagian ulama, seperti Ibn al-Hajib dan an-Nawawi membelanya dan mengembalikkannya kepada teks-teks lain yang senada. Lihat: al-‘Ajluni, Kasyf al-Khafa, juz I, hal. 64, no. hadits: 153. 27
79 menjadi satu umat saja, tetapi mereka akan tetap berselisih dan berbeda pendapat. Kecuali orang-‐orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu, Dan karena itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu telah ditetapkan. Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”. (QS. Hud, 11: 118-‐119). Pada masa lalu, perbedaan-‐perbedaan ini sering dikelola dalam bingkai mu’min-‐kafir, kawan-‐lawan dan senang-‐benci, sehingga tidak sedikit catatan sejarah umat muslim ditulis dengan darah. Tentu saja, ke depan sebisa mungkin sejarah kita tidak lagi didirikan di atas kekerasan dan darah. Karena itu perlu ada penghargaan terhadap setiap perbedaan yang muncul dan berkembang. Kemudian dirumuskan mekanisme relasi yang didasarkan kepada prinsip kesederajatan dan keadilan. Dalam hal relasi inter dan antar agama, pengembangan fiqh al-‐ikhtilâf untuk menyikapi perbedaan-‐perbedaan keyakinan dan paham yang ada, perlu didasarkan pada beberapa prinsip dasar. Pertama, bahwa persoalan keimanan adalah persoalan hati, kepercayaan, keyakinan dan kecenderungan. “Barang siapa yang beriman kepada Allah, hatinya akan diberi petunjuk, dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu” (QS. At-‐Taghabun, 64: 11). “Janganlah kamu merasa sedih dengan orang-‐orang yang dengan cepat mengingkari, daripada mereka yang menyatakan keimanan dalam ucapan mereka, padahal hati mereka sama sekali tidak beriman” (QS. Al-‐Maidah, 5: 41). “Seseorang yang dikehendaki Allah untuk memperoleh hidayah, Allah akan melapangkan dadanya untuk Islam”. (QS. Al-‐An’am, 6: 125). Kedua, karena merupakan kecenderungan dan keyakinan hati, maka proses penyadaran tidak diperkenankan dilakukan dengan pemaksaan; dengan cara apapun. Penyadaran keimanan harus dilakukan atas dasar pilihan, keinginan dan tanpa pemaksaan. Bahkan kebebasan berkeyakinan dan beragama menjadi pilar utama dalam relasi sosial Islam tentang penyebaran dan penda’wahan. “Tidak boleh ada paksaan dalam hal agama. Sungguh, kebenaran telah nyata dari kesesatan. Barangsiapa yang mengingkari taghut dan meyakini Allah, maka ia berpegang pada tali yang kokoh, yang tidak akan terputus. Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui”. (QS. Al-‐Baqarah, 2: 256). “Jika Tuhanmu berkehendak, maka akan beriman seluruh orang di muka bumi ini, apakah kamu mau memaksa orang-‐orang agar mereka beriman. Seseorang tidak akan beriman, kecuali atas izin Allah, dan Allah jadikan keburukan bagi orang-‐orang yang tidak berakal” (QS. Yunus, 10: 99-‐100). Kebebasan berkeyakinan lebih ditegaskan lagi dalam surat al-‐Kafirun: “Wahai orang-‐orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Kamu tidak akan menjadi penyembah terhadap apa yang aku sembah. Aku juga tidak akan menjadi penyembah terhadap apa yang kamu sembah. Ya, kamu juga tidak akan menjadi penyembah terhadap apa yang aku sembah. Bagi kamu agamamu, bagiku agamaku”. (QS. Al-‐Kafirun, 109: 1-‐5). Kebebasan berkeyakinan dan berpendapat adalah pilar utama dari sebuah peradaban. Dengan kebebasan ini, perbedaan-‐perbedaan yang ada bisa muncul pada ruang-‐ruang yang selayaknya dan memperoleh penghormatan. Pemaksaan keyakinan, pandangan keagamaan atau pemikiran tidak lagi bisa ditolerir, apalagi dengan menggunakan kekerasan. Metode satu-‐ satunya bagi proses interaksi antar keyakinan adalah dialog. “Ajaklah (orang-‐orang) ke jalan Tuhanmu dengan cara yang bijak dan tutur kata yang baik, (jika ingin mendebat mereka) debatlah dengan cara yang lebih baik (dari cara mereka). Sungguh, Tuhanmulah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-‐Nya dan paling mengerti orang-‐orang yang memperoleh petunjuk-‐ (Nya)”. (QS. An-‐Nahl, 16: 125).
80 Dialog mensyaratkan kesederajatan antara dua pihak; yang satu tidak mesti mengklaim yang paling benar dari yang lain, apalagi dengan pemaksaan dan kekerasan. Karena kebenaran mutlak hanya diketahui Allah Swt sendiri. Tidak ada satupun orang yang berhak mengklaim sebagai pasukan Tuhan yang menjaga kebenaran-‐kebenaran-‐Nya. “Dan tidak ada satu orangpun yang mengetahui pasukan Tuhanmu kecuali Dia sendiri”. (QS. ). Karena bagi selain Allah, hanya bisa menduga, memahami dan meyakini sebatas untuk dirinya sendiri, yang ketika ingin disampaikan kepada orang lain hanya bisa lewat penyadaran dan diolag dengan kesederajatan kedua belah pihak. Kesederajatan ini pernah menjadi prinsip dialog Nabi Saw seperti yang direkam suatu ayat al-‐Qur’an: “Katakan; siapakah yang memberi kalian rizki dari langit dan bumi, katakan: Allah. Kami ini, atau kamu sekalian, yang benar-‐benar memperoleh hidayah atau sebaliknya berada dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Saba, 34: 24). Tentu saja, ayat ini bukan sedang menceritakan keraguan Nabi Saw terhadap risalah yang diembannya. Tetapi sedang berdialog dengan beberapa orang yang tidak seiman, yang tentu mensyaratkan kesetaraan dan kesederajatan termasuk dalam hal kemungkinan untuk memperoleh kebenaran dan hidayah, atau sebaliknya kesalahan dan kesesatan. Keimanan dan keyakinan adalah persoalan hati, yang proses penyadarannya hanya bisa dilakukan dengan dialog yang setara, dengan tanpa memaksakan klaim kebenarannya kepada orang lain. Kebenaran mutlak hanya diketahui Allah Swt, dan pasukan-‐Nya yang membela kebenaran-‐kebenaran-‐Nya hanya diketahui oleh-‐Nya semata. Bahkan, dalam berbagai ayat al-‐ Qur’an menyarankan untuk menyerahkan persoalan penghakiman dan penilaian terhadap kebenaran suatu ajaran kepada Allah Swt semata, kelak di akhira nanti. “Jika mereka mendebat kamu, maka katakan hanya Allah yang paling Tahu terhadap apa yang kamu lakukan. Allahlah yang kelak menghakimi di antara kalian pada hari kiamat dalam hal yang kamu perselisihkan”. (QS. Al-‐Hajj, 22: 68-‐69). “Apa yang kamu perselisihkan dalam suatu persoalan, keputusannya dikembalikan kepada Allah. Dialah Allah, Tuhanku, yang aku berserah diri kepada-‐Nya dan kepada-‐Nya aku kembali”. (QS. Asy-‐Syura, 42: 10). “Orang-‐orang Yahudi mengatakan bahwa orang-‐orang Nasrani tidak punya pegangan, sebaliknya orang-‐orang Nasrani juga mengatakan bahwa orang-‐orang Yahudi tidak memiliki pegangan. Padahal mereka semua, sama-‐sama membaca al-‐Kitab. Demikian pula orang-‐orang yang tidak mengetahui, ikut mengatakan ucapan mereka. Allah-‐lah yang akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat dalam hal apa yang mereka perselisihkan”. (QS. Al-‐Baqarah, 2: 113). Dari berbagai ayat al-‐Qur’an ini, bisa disimpulkan bahwa rumusan kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam Islam didasarkan pada fiqh al-‐ikhtilaf; yang pilar-‐pilarnya terdiri atas: (1) Perbedaan adalah sesuatu yang secara sengaja diciptakan Allah Swt (2) Keyakinan adalah persoalan pilihan hati. (3) Karena itu, proses interaksi hanya bisa dilakuakan dengan penyadaran dan dialog (4) Pemaksaan sama sekali tidak dibenarkan apalagi dengan kekerasan. (5) Untuk memuluskan suasana dialog, maka klaim kebenaran hanya milik Allah semata dan penghakiman hanya akan dilakukan Allah Swt pada hari akhir nanti. Pilar-‐pilar ini, yang secara eksplisit ditegaskan dalam berbagai ayat al-‐Qur’an, harus menjadi dasar bagi pemaknaan ulang terhadap ayat-‐ayat kekerasan dan peperangan. Tidak seperti beberapa ulama fiqh yang lebih memilih untuk menyatakan ayat-‐ayat pilar kebebasan beragama ini dihapus [naskh] oleh ayat-‐ayat peperangan. Atau pernyataan bahwa ayat-‐ayat dialog dan kebebasan beragama hanya berlaku bagi Nabi saja, dan khusus pada masa tertentu, yaitu priode Mekkah. Ketika kebebasan beragama dan dialog menjadi
81 dasar utama keberhasilan Nabi Saw, maka tentu saja akan menjadi kunci keberhasilan juga bagi masyarakat muslim berikutnya, sampai kapanpun. Kekerasan dan peperangan hanya menjadi pelarian bagi orang-‐orang yang berpikir pendek, emosional dan otoriter. Kekerasan dan pemaksaan hanya akan menciptakan kemunafikan dan dendam. Pilar-‐pilar ini juga yang menjadi dasar bagi perumusan sebuah fiqh relasi sosial [fiqh at-‐ta’âmul al-‐ijtimâiyy] yang humanis, dengan orientasi kepada kemaslahatan kemanusiaan sejagat. Fiqh at-‐Ta’âmul al-‐Ijtimâiyy ; Rumusan Relasi Sosial yang Maslahat Ulama ushul fiqh sepakat bahwa syari’at Islam tidak diturunkan dengan sia-‐sia, tanpa tujuan untuk kemaslahatan kemanusian [mashâlih al-‐‘ibâd]. Kesadaran ini yang mengkristalkan konsepsi maqâshid asy-‐syarî’ah di tangan beberapa ulama; diantaranya Imam al-‐Juwaini (w. 478H), Ghazâli (w.505H), ar-‐Râzi (w. 606H), al-‐Amidi (w. 631H), al-‐‘Izz bin ‘Abd as-‐Salâm (w. 660H), al-‐Qarâfi (w. 685H), ath-‐Thûfi (w. 716), Ibn Taymiyyah (w. 728H), Ibn al-‐Qayyim (w. 751H), asy-‐Syâthibi (790H) dan yang kontemporer Muhammad Thahir bin ‘Asyûr (w. 1393H). Dalam konsepsi ini, ditegaskan bahwa syari’at Islam didasarkan atas tujuan untuk mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bagi kemanusiaan [rahmatan lil âlamîn]. Secara sederhana, konsepsi ini merupakan cita sosial dalam merumuskan dan menerapakan setaip ajaran Islam yang terkait dengan persoalan-‐persoalan sosial. Pernyataan yang sering diungkap dalam hal ini adalah apa yang dikatakan Ibn al-‐ Qayyim al-‐Jawzi: “Bahwa syari’at Islam itu dibangun atas dasar-‐dasar kebijaksanaan (kearifan) dan kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Syari’at seluruhnya adil, kasih sayang, maslahat, dan bijaksana. Oleh karena itu, setiap persoalan yang keluar dari keadilan menuju ke kecurangan, dari kasih-‐sayang menuju sebaliknya, dari maslahat menuju ke kerusakan, dan dari kebijaksanaan menuju ke kesewenang-‐wenangan, maka bukanlah syari’at, sekalipun didukung oleh penafsiran (teks), karena syari’at itu keadilan Allah di antara hamba-‐ hamba-‐Nya”.28 Bahkan bagi at-‐Thufi, kemaslahatan merupakan tujua utama syari’at yang harus selalu dikedepankan dari segala dalil-‐dalil yang literal. Karena dalil adalah cara [wasilah], sementara kemaslahatan adalah tujuan [ghâyah]. Tujuan tentu harus dikedepankan daripada cara dan jalan. Dimensi kemanusiaan harus menjadi kesadaran utama dalam membaca, merumuskan dan melaksanakan ajaran Islam. Di dalam al-‐Qur’an disebutkan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah ibadah kepada Allah.“Tidak sekali-‐kali Kami ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka senantiasa beribadah kepada-‐Ku”. (). Tetapi ibadah dalam Islam tidak sama sekali dirumuskan untuk membuat Allah lebih agung dan lebih mulia. Allah Swt sudah Agung dan Mulia, tanpa harus disembah manusia seluruh jagat sekalipun. Dalam hadits qudsi disebutkan: “Aku haramkan kezaliman bagi Diri-‐Ku, dan juga diharamkan diantara kamu sekalian. Janganlah 28
Di sini Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah (w. 751H) menegaskan bahwa: “asy-syarî’atu mabnâhâ wa asâsuhâ ‘ala al-hikam wa mashâlih al-‘ibâd fî al-ma’âsy wa al-ma’âd. wa hiya ‘adlun kulluhâ wa rahmatun kulluhâ wa mashâlihun kulluhâ wa hikmatun kulluhâ. Fa kullu mas’alatin kharajat ‘an al-‘adli ilâ al-jûwr wa ‘an ar-rahmati ilâ dliddihâ wa ‘an al-mashlahati ilâ al-mafsadah wa ‘an al-hikmati ilâ al-‘abatsi fa laysat min asy-syarî’ati, wa in udkhilat bi at-ta’wîl” Baca Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Alamîn, ed. Muhy adDin ‘Abd al-Hamid, Dar al-Fikr, Bierut-Libanon, Juz III, hlm. 14.
82 berbuat kezaliman di antara kalian. Wahai hamba-‐hamba-‐Ku, jika semua makhluk, dari dulu sampai sekarang, baik jin maupun manusi, semuanya menjadi orang yang paling takwa terhadap-‐ Ku, sungguh semua itu tidak membuat-‐Ku bertambah agung. Juga sebaliknya jika semua berbuat jahat, sungguh tidak membuat keagungan-‐Ku berkurang”. (Hadits qudsi, riwayat Imam Muslim dari Abu Dzarr al-‐Ghiffari ra, no. hadits: 2577). Berarti, persoalan utama dalam perumusan ibadah adalah bagaimana kehidupan makhluk di bumi ini penuh dengan kemaslahatan, dan tanpa kezaliman. Dimensi kemanusian sangat ketara dalam konsepsi ibadah dalam Islam. Ibadah secara literal berarti melayani, menerima, tunduk dan patuh. Artinya, ibadah adalah kepatuhan dan ketundukan terhadap perintah-‐perintah Allah SWT. Dalam Fiqh, ibadah terbagi menjadi dua; ada ibadah mahdhah [ritualits transendental] dan ada ibadah ghair mahdhah [ritualitas sosial]. Kedua ibadah ini sama pentingnya dalam Islam. Yang satu menyempurnakan yang lain. Ke-‐ Islam-‐an seseorang sama sekali tiada arti tanpa pengamalan kedua ritualitas tersebut. Ibadah mahdhah merupakan implementasi dari keyakinan seorang makhluk yang penuh dengan kenisbian terhadap Realitas Yang Mutlak [Tuhan Yang Maha Esa]. Ibadah ini ini meniscayakan adanya legitimasi langsung dari teks-‐teks agama [nushush diniyyah], atau pengalaman dan pengamalan orang-‐orang masa lalu [salaf shâlih]. Dengan sifatnya yang demikian, setiap orang atau setiap kelompok dalam pengamalan ritualitas ini akan selalu mencari keterkaitan dengan masa lalu sedekat mungkin. Proses pencarian dan keterikatan ini tentu saja diperlukan untuk memberi motivasi keagamaan, tetapi tidak harus dijadikan dasar timbulnya gesekan-‐gesekan sesamat umat muslim, termasuk dengan non-‐muslim. Sayangnya, seruan-‐seruan seperti kembali kepada Qur’an dan Sunnah, pembersihan akidah, keteladanan Nabi dan seruan yang lain, yang merupakan upaya pencarian keterkaitan, sering memunculkan klaim-‐klaim kebenaran tunggal. Gesekan-‐gesekan yang terjadi antar kelompok dalam satu agama, diantaranya diakibatkan oleh klaim kebenaran dalam pengamalan ibadah seperti ini; seperti perbedaan cara shalat, ziarah kubur dan mulai puasa. Setiap orang, atau kelompok akan mendasarkan pada argumentasi teks sucinya masing-‐masing, yang tentu berbeda satu dengan lain. Selama pengamalan ibadah ini didasarkan pada klaim-‐klaim yang memutlakkan kebenaran pada dirinya, dan pada saat yang sama mengklaim kesesatan terhadap di luar dirinya, maka gesekan dan konflik tidak akan pernah terhindarkan, bahkan peperangan akan sangat mungkin berkobar. Ibadah mahdhah adalah persoalan bagaimana seseorang menjalankan ritus yang diyakini kebenarannya. Hal ini merupakan persoalan kecenderungan dan pilihan hati yang tidak bisa dipaksakan. Karena itu harus diwujudkan ruang sebebas mungkin, yang memberi kesempatan setiap orang, tanpa kecuali, agar bisa menjalankan keyakinan ibadahnya ini. Ibadah mahdhah merupakan hak privat seseorang sepenuhnya, yang harus dihormati oleh siapapun. Dalam hal ini, setiap orang berhak mencari informasi, meyakini, dan mengamalkan ritualitas ini sesuai dengan keyakinan yang dimiliki, tanpa pemaksaan. Pendakwahan dan penyelenggaran ibadah mahdhah yang dilakukan siapapun atau kelompok manapun, harus diperkenankan sebagai wujud dari kebebasan keberagamaan setiap orang. Pengamalan ibadah ini juga semestinya tidak digunakan untuk memisah-‐misahkan kemanusiaan seseorang; yang satu perlu dibela dan yang lain harus diberangus. Selanjutnya, ibadah mahdhah seperti shalat, puasa dan haji dimaksudkan untuk melahirkan pribadi-‐pribadi yang tangguh yang siap mengemban misi kemanusiaan. Karena itu, ujian kebenaran suatu
83 pandangan dalam hal ritualitas ini, semestinya didasarkan pada sejauh mana pengembanan misi kemanusiaan sukses dilahirkan dari suatu ritualitas tertentu. Klaim kebenaran diperlukan sebatas untuk memperkuat motivasi pengamalan, tetapi fanatisme yang berlebihan yang berbuah pelecehan dan kekerasan terhadap pihak lain adalah sesuatu yang tidak terpuji. Karena Allah SWT sendiri mewanti-‐wanti, bahwa tidak ada siapapun yang lebih berhak daripada yang lain untuk mengatasnamakan dirinya sebagai pasukan yang resmi atau pembicara yang sah atas nama-‐Nya (wa mâ ya’lamu junûda rabbika illa huwa, QS, 74:31). Dengan demikian, dimensi kemanusiaan [maqâshid asy-‐syari’ah] bisa menjadi semangat dasar pemahaman dan pelaksanan ibadah mahdhah Sementara Ibadah ghair mahdhah [ritualitas sosial] dalam Islam mencakup wilayah yang cukup luas, karena ia berhubungan dengan keseharian manusia sebagai makhluk sosial. Seperti berkawan, bertetangga, bermasyarakat, membela yang lemah, menolong yang miskin, mewujudkan kebersamaan, membangun kesejahteraan, menghidupkan keadilan dan merajut kemaslahatan. Dalam hal ini, sebisa mungkin relasi ibadah ini didasarkan kepada kesepakatan, kerelaan, tanpa penipuan, tanpa spekulasi naif. Dengan tanpa membedakan keagamaan seseorang, ras, suku dan jenis kelamin. Moralitasnya dalam hal ini adalah kepercayaan dan tanggung jawab. Khusus untuk hal yang memiliki dimensi sosial tinggi, baik Allah SWT dalam ayat-‐ayat Qur’an-‐Nya maupun Nabi Muhammad SAW dalam hadits-‐haditsnya sering mengecam orang-‐orang yang hanya terhenti pada ritualitas transendental, tanpa mentransformasikannya kepada ritualitas sosial. Dalam surat al-‐Ma’ûn, Allah memeberikan label ‘pendusta agama’ kepada mereka yang rajin shalat, tetapi tidak memberikan perhatian kepada anak-‐anak yatim dan orang-‐orang miskin. Nabi juga menafikan keimanan orang-‐orang yang berzina, mencuri, kenyang sendirian padahal tetangganya kelaparan, tidak menghormati tamu, tidak mencintai sesama dan beberapa ritualitas sosial lainnya. Kalau ritualitas yang pertama sering menjadi titik pisah antar kelompok dalam satu agama, atau antar kelompok agama, maka ritualitas yang kedua ini menjadi titik temu bagi mereka. Tidak ada satu agamapun, atau pandangan keagamaan apapun, yang memperkenankan penindasan, pemerkosaan, perampasan dan kezaliman, atau menelantarakan orang-‐orang yang papa. Pada saat yang sama, semua agama dan semua kelompok keagamaan mengusung nilai-‐nilai kasih sayang, kemaslahatan, kesejahteraan dan keadilan bagi manusia, tanpa pembedaan-‐pembedaan. Islam dan Kristen, misalnya tidak akan pernah bertemu untuk memastikan bagaimanakah sifat Tuhan yang sebenarnya, sehingga bisa dipastikan dengan cara apa Dia harus disembah dalam prosesi-‐prosesi ritual yang bersifat transendental. Bahkan, diantara kelompok-‐kelompok Islam juga terjadi perbedaan yang sangat tajam, misalnya antara kelompok Sufi dengan Wahabi, tentang apa deskripsi men-‐ tauhid-‐kan Allah dan bagaimana beribadah yang benar, tepat dan sesuai keinginan-‐Nya. Tetapi Islam dan Kristen, atau diantara kelompok-‐kelompok Islam pasti bisa bertemu dalam hal menolong anak yatim, membantu orang miskin, memihak pada orang-‐orang lemah dan mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan bersama. Kalau benar tujuan agama diturunkan ke muka bumi adalah untuk kemaslahtan manusia [rahmatan lil ‘alamin], mengapa kita tidak memperbanyak pertemuan-‐pertemuan dengan berbagai kelompok agama? Mengapa kita tidak banyak menitik beratkan pada ritualitas sosial yang merupakan titik temu antar agama? Bahkan mengapa kita tidak menjadikan ritualitas sosial sebagai tolok ukur keberagamaan kita? Mungkin sudah saatnya, keberagamaan seseorang diuji dengan kesalehan sosial, bukan
84 dengan kesalehan individual, yang hanya menonjolkan klaim-‐klaim kebenaran yang tidak bisa diketahui kecuali oleh Allah Swt. Penutup Fiqh realitas adalah metode bagaimana membaca ulang dan merumuskan kembali fiqh kita, dengan mengambil inspirasi langsung dari realitas empirik yang nyata dan berkembang, dengan tetap mendasarkan pada cita kemaslahatan bagi kemanusiaan. Metode ini bukan sesuatu yang baru, karena para ulama fiqh ketika merumuskan fiqhnya masing-‐masing seringkali atas pertimbangan realitas yang terjadi pada saat itu. Bahkan, konsepsi pengandaian dalam fiqh juga didasarkan pada realitas yang akan ditemukan masing-‐masing orang. Mislanya, hukum menikah itu bisa mubah, wajib dan bisa haram tergantung realitas yang dihadapi masing-‐masing orang. Tetapi dalam metode ini, perumusan fiqh didasarkan kepada realitas secara komprehensip, tidak hanya bersifat individual dan parsial. Metode ini yang digunakan untuk membaca ulang konsepsi relasi inter dan antar agama dalam Islam. Mungkin bisa disimpulkan bahwa dalam tradisi fiqh, sebagai sebuah kumpulan teks-‐ teks keagamaan dan tafsir atas agama, memiliki potensi penyulut terjadinya kekerasan dan potensi yang sebaliknya memberikan kesejukan, kedamain dan kebersamaan. Dalam perjalanan sejarah, potensi yang pertama lebih banyak muncul untuk kepentingan-‐ kepentingan yang bersifat politis dan kekuasaan, sementara potensi yang kedua lebih banyak menjadi acuan dalam menyusun pranata sosial dalam Islam. Mayoritas ulama kontemporer juga telah mengerahkan seluruh energi intelektual mereka, untuk mengembangkan pola keberagamaan yang lebih bersahabat, damai, penuh kasih, sesuai dengan misi utama yang disuarakan oleh al-‐Qur’an sebagai rahmatan lil ‘alamin. Metode fiqh realitas di sini, digunakan untuk memaknai dan merumuskan model fiqh relasi sosial yang pluralis dan humanis. Karena realitas kita, pada saat ini adalah realitas kebangsaan, kebersamaan dan perdamaian. Bahkan lebih dari itu, cita kemanusiaan Islam mengarah pada peletakan dasar-‐dasar kemanuisaan sebagai tonggak utama kehidupan. Yang patut dicatat di sini adalah bahwa resistensi terhadap gagasan pluralisme dan humanisme tidak semata berakar pada pola keberagamaan, bahkan mungkin tidak berakar kepada agama sama sekali. Yang patut dicurigai dalam hal ini adalah faktor-‐faktor sosial yang melatari kehidupan masyarakat; seperti ketimpangan sumberdaya, supremasi hukum yang tidak berjalan, kebodohan, kemiskinan dan kezaliman. Saat ini kita menyaksikan pembantaian di Palestina, Lebanon dan yang paling parah adalah Irak. Semua mengatasnamakan demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Negara-‐negara Barat dalam hal ini sangat bertanggung jawab terhadap segala kekerasan yang mengatasnamakan agama, yang sedang marak akhir-‐akhir ini. Inilah sesungguhnya yang patut dicurigai sebagai biang utama munculnya kekerasan-‐ kekersan berbasis agama, khususnya Islam. Dukungan yang muncul terhadap gerakan Islam yang ‘radikal’ –entah istilah apa yang paling tepat-‐ dari banyak warga, adalah karena muak dengan kesombongan dan kekerasan yang ditimbulkan kebijakan negara-‐negara Barat dan Amerika. Bahkan warga dunia menuntut perimbangan terhadap kekuatan adidaya. Tetapi wargapun sesungguhnya merasa ketakutan, ketika perimbangan yang muncul dari gerakan tersebut melahirkan ‘daur kekerasan’ baru yang juga mengancam mereka yang berbeda dan minoritas. Baik minoritas karena di luar Islam, maupun minoritas di dalam mayoritas Islam.
85 Kebanyakan orang seringkali lebih mudah untuk menilai dengan standar hitam-‐putih semata terhadap orang lain; muslim atau kafir, mu’min atau murtad, syari’at atau anti-‐syari’at di satu sisi. Di sisi lain juga banyak orang yang menilai orang lain dengn standar hitam-‐putih yang sama; demokratis atau tidak demokratis, humanis atau tidak humanis, adil gender atau anti keadilan gender, pejuang HAM atau perusak HAM. Penilaian ini yang kemudian menjadi dasar bagi klaim kebenaran dan bisa jadi tuntutan legitimasi kekerasan. Penting untuk direnungkan juga apa yang ditawarkan oleh Karen Armstrong, bahwa gagasan sebaik apapun, termasuk dalam hal ini adalah gagasan demokrasi, pluralisme dan humanisme, jika disebarkan melalui kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru.29 Dalam menata kehidupan yang baru pada masa modern ini, penghormatan dan rasa simpatik harus lahir dari semua pihak, baik mereka yang mengusung gagasan rasional, liberal dan humanistik dan mereka yang mengusung kembali kepada agama, atau apa yang sering dikenal dengan istilah kelompok fundamentalisme. Kekerasan agama dari mereka yang disebut ‘kaum fundamentalis’ adalah respon dialiktis dari fenomena sekularisasi yang tidak menunjukkan simpatinya terhadap ajaran agama, bahkan dalam banyak kesempatan sering agresif menyerang agama. Untuk itu, Armstrong melukiskan harapannya ke depan: “Sekiranya kaum fundamentalis harus mengembangkan penilaian terhadap musuh mereka secara lebih simpatik agar sesuai dengan tradisi agama mereka, maka kaum sekular juga harus lebih percaya dengan kebajikan, toleransi, dan menghormati umat manusia yang mencirikan bentuk terbaik kultur modern, serta merasa empati dengan ketakutan, kecemasan dan kebutuhan yang dialami kebanyakan tetangga fundamentalis mereka, dan kerap diabaikan orang”30. Penghormatan dan rasa simpati ini jika dijadikan dasar dalam relasi antar agama atau inter agama, akan melahirkan kehidupan baru yang lebih damai dan baik terhadap kemanusiaan. Saya kira, masyarakat muslim juga harus berdiri di garda depan untuk memperjuangkan kemanusiaan dan persaudaraan, serta nilai-‐nilai kebersamaan dan kedamaian agar apa yang dinobatkan Allah Swt bahwa masyarakat muslim adalah masyarakat yang terbaik di muka bumi ini yang akan memperjuangkan kebaikan dan menghapus kerusakan untuk kemanusiaan, benar-‐benar terwujud dan dilaksanakan. “Kamu sekalian adalah masyarakat terbaik untuk manusia [kemanusiaan], jika kalian benar-‐benar memperjuangkan kebaikan dan melarang kemungkaran serta beriman kepada Allah” (QS. Ali Imran, 3: 110). Semoga.
29
Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan; Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi, 2001, Mizan, Bandung, hal. 577-585. 30 Ibid, hal. 585.