KERAGAMAN JENIS DAN POTENSI SIMPANAN KARBON HUTAN SEKUNDER DI KOTABARU KALIMANTAN SELATAN (Species Diversity and Potential Carbon Stock in Secondary Forest in Kotabaru, South Kalimantan)* Muhammad Abdul Qirom, Dian Lazuardi dan/and Abdul Kodir Balai penelitian Kehutanan Banjarbaru Jl. Ahmad Yani Km 28,7 Landasan Ulin Banjarbaru 70721, Kalimantan Selatan, Indonesia E-mai :
[email protected];
[email protected];
[email protected] *Diterima: 7 Juli 2014; Direvisi: 11 Februari 2015; Disetujui: 16 Februari 2015
ABSTRACT The Diversity and potential carbon stock have been decreasing, especially in secondary forests; however, this information is still very limited. The aims of this research were to obtain information on species diversity, carbon content of some carbon pools and potency of carbon stock in some secondary forest slopes in Kotabaru, South Kalimantan. This research was conducted by using vegetation analysis and carbon stock survey. The carbon stocks were measure in five carbon pools as follows: understorey, necromass, soil, litter, and vegetation (saplings, poles, and trees). In the carbon pool, vegetations were treated with non-destructive method, whereas in other carbon pools vegetations were treated with destructive method. The results showed that in the poles and trees stage, the highest diversity and density was found at between10%-20% slope, whereas in the sapling stage the highest species diversity was found at area with > 40% slope. Three carbon pools hold difference carbon content. Soil carbon pools has the lowest carbon content (1.69%). The litter and understorey carbon pool have similar carbon content (>45%). The carbon stock in each carbon pools are litter (3.81 Mg/ha), necromass (0.32 Mg/ha,) Soil (22.09 Mg/ha), understorey (0.04 Mg/ha), and vegetation (68.29 Mg/ha). Keywords: Diversity, necromass, soil, litter ABSTRAK Keragaman dan potensi simpanan karbon semakin menurun terutama pada hutan sekunder namun informasi tersebut masih sangat terbatas. Keterbatasan informasi tersebut dapat diatasi dengan inventarisasi potensi biodiversitas dan simpanan karbon pada kondisi biofisik yang berbeda. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan gambaran keragaman jenis dan simpanan karbon di beberapa kelas lereng pada hutan sekunder Kotabaru Kalimantan Selatan. Penelitian dilakukan dengan analisis vegetasi dan survei potensi simpanan karbon. Potensi simpanan karbon dilakukan pada lima gudang karbon yakni tumbuhan bawah, nekromasa, tanah, serasah dan vegetasi (pohon, tiang, pancang). Pada gudang karbon vegetasi dilakukan secara non-destruktif sedangkan pada gudang karbon lain dilakukan secara destructive sampling. Hasil penelitian menunjukkan pada tingkat tiang dan pohon, keragaman dan kerapatan jenis tertinggi pada kelas lereng 10%-20% sedangkan pada tingkat pancang, keragaman jenis tertinggi pada kelas lereng > 40% dan kerapatan tertinggi pada kelas lereng 10%-20%. Berdasarkan kandungan karbonnya, ketiga gudang karbon mempunyai kandungan karbon berbedabeda. Gudang karbon tanah mempunyai kandungan karbon terendah sebesar 1,69% dari berat keringnya. Pada gudang karbon serasah dan tumbuhan bawah mempunyai kandungan karbon yang hampir sama > 45%. Potensi simpanan karbon pada masing-masing gudang karbon yakni : serasah sebesar 3,81 ton/ha, nekromasa sebesar 0,32 ton/ha, tanah sebesar 22,09 ton/ha, tumbuhan bawah sebesar 0,04 ton/ha dan vegetasi sebesar 68,29 ton/ha. Kata kunci: Keragaman, karbon, nekromasa, tanah, serasah
I. PENDAHULUAN Hutan tropis mempunyai peran yang penting dalam menjaga siklus karbon global (Ngo et al., 2013). Hutan di Indonesia termasuk ke dalam tipe hutan hujan tropis, dimana hutan hujan tropis mempunyai keragaman vegetasi yang tinggi (Okimori et al., 1996) dengan potensi serapan karbon yang besar (Ngo et al., 2013). 49
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 3 No. 1, Maret 2015: 49-66
Komposisi jenis dan potensi simpanan karbon menurun dengan berubahnya hutan primer menjadi hutan skunder. Kondisi ini terjadi pada pengelolaan hutan di Indonesia. Umumnya, hutan produksi terletak dan dirancang di kawasan hutan primer, sehingga pada saat ini, hutan tersebut menjadi hutan bekas tebangan. Tegakan tinggal setelah penebangan mempunyai keragaman dan kerapatan jenis yang rendah pada semua tingkat permudaan (Krisnawati & Wahjono, 2010). Menurut Fauzi et al., (2011) potensi simpanan karbon di hutan sekunder (216,85 ton/ha) menurun lebih dari 30% terhadap hutan primernya (310 ton/ha). Kajian ini dilakukan di Kabupaten Gayo Lues Provinsi Aceh. Penurunan potensi ini juga terjadi pada hutan sekunder di negara lain. Pada hutan sekunder umur 60 tahun (hutan bekas perladangan dan areal penggembalaan yang mengalami regenerasi alami) di Singapura, potensi simpanan karbon 19% lebih rendah dibandingkan potensi simpanan karbon di hutan primernya (Ngo et al., 2013). Perubahan potensi simpanan karbon dan biomassa dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni komposisi jenis tumbuhan, sejarah kerusakan, tingkat suksesi, iklim, kesuburan tanah (Ngo et al., 2013) dan teknik pemanenan yang sesuai (Sist & Ferreira, 2007) serta pemeliharaan tegakan tinggal pasca penebangan (Krisnawati & Wahjono, 2010). Penggunaan teknik pemanenan yang sesuai membantu pemulihan regenerasi alami suatu tegakan dan akhirnya akan meningkatkan keragaman dan simpanan karbonnya. Perubahan keragaman jenis dan potensi simpanan karbon juga dipengaruhi oleh intensitas gangguan (Tata & Pradjadinata, 2013; Dharmawan, 2013), tipe hutan dan tingkat kerusakan hutan seperti hutan primer dan sekunder (Krisnawati et al., 2014) serta karakteristik tempat tumbuhnya seperti ketinggian tempat (Zhang et al., 2013) termasuk perbedaan kelas lerengnya. Sampai dengan saat ini, informasi terhadap perubahan keragaman dan simpanan karbon di hutan sekunder pasca penebangan sangat terbatas. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah mendapatkan gambaran komposisi jenis, kandu ngan karbon dari beberapa gudang karbon dan potensi simpanan karbon pada beberapa kelas lereng di Kotabaru Kalimantan Selatan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu data pendukung dalam penyusunan baseline simpanan karbon pada hutan sekunder di Kalimantan Selatan dan manajemen pengelolaan yang tepat untuk peningkatan keragaman jenis dan simpanan karbonnya. II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan November 2013. Penelitian ini dilaksanakan pada hutan sekunder Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan. Hutan sekunder ini berupa hutan bekas tebangan eks PT. Inhutani II, Kotabaru Kalimantan Selatan. Secara administratif, hutan ini terletak di Desa Sebelimbingan, Kecamatan Pulau Laut Utara, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Kondisi lokasi penelitian terdiri dari beberapa kelas lereng yakni mulai kelas lereng datar 3 3 sampai dengan sangat curam (> 40%). Berat jenis tanah antara 0,82 g/cm -1,24 g/cm dan porositas tanah antara 46,56%-67,12% (Tabel 1). Pada beberapa kelas lereng tersebut mempunyai kerapatan pohon yang bervariasi.Kerapatan pohon tertinggi pada kelas kelerengan 10%-20% sedangkan kelas lereng 30%-40% mempunyai kerapatan terendah (Tabel 1).
50
Keragaman Jenis dan Potensi Simpanan... (Muhammad Abdul Qirom, dkk.),
Tabel (Table) 1. Karakteristik tegakan dan tanah pada beberapa kelas kelerengan di areal bekas tebangan (The stand and soil characteristic of some slope class at secondary forest) Kelas lereng (Slope class) (%)
Biomassa (Biomass)
Berat jenis (Bulk density) (g/cm3)
Porositas (Porosity) (%)
Kerapatan (Density) (phn/ha)
S (Mg/ha)
Tanah (Soils) (Mg/ha)
TB (Mg/ha)
Nk (Mg/ha)
Pohon (Trees) (Mg/ha)
X
1,10
58,60
484
10,7
1154,7
0,51
0,08
152,8
min
0,93
53,62
350
6,9
873,6
0,11
0,01
97,6
max
1,23
64,93
575
14,5
1347,2
1,24
0,12
335,0
stdev
0,11
4,16
83
3,0
172,4
0,39
0,04
81,4
X
1,14
57,01
394
7,1
1494,7
0,76
0,08
138,1
min
0,87
46,56
175
3,7
1007,9
0,14
0,05
20,1
max
1,42
67,12
825
10,7
2361,6
1,32
0,11
264,5
stdev
0,22
8,35
203
2,5
415,9
0,40
0,02
88,4
X
1,11
58,11
355
8,6
1295,1
0,43
0,12
105,5
min
0,99
53,16
150
3,4
1041,5
0,30
0,05
28,1
max
1,24
62,73
500
12,9
1740,5
0,67
0,29
212,5
stdev
0,10
3,68
155
4,3
270,9
0,16
0,10
71,5
X
1,07
59,71
375
7,8
1112,5
0,92
0,13
140,1
min
0,99
54,50
225
4,9
1019,5
0,55
0,06
92,2
max
1,21
62,61
525
11,5
1331,4
1,32
0,17
177,6
stdev
0,10
3,62
129
3,1
146,6
0,40
0,05
37,0
1,11
58,17
412
8,67
1284,8
0,64
0,10
136,6
10 - 20
20 - 30
30 - 40
> 40
Total
-1
Keterangan (Remarks): S: Gudang karbon serasah (Litters carbon pools: Mg.ha ); TB: Gudang karbon tumbuhan bawah (Understorey carbon pools: Mg.ha-1); Nk: Gudang karbon nekromassa (Necromass carbon pools: Mg.ha-1); X: Rataan (Average)
Berdasarkan besarnya biomassa, gudang karbon vegetasi mempunyai jumlah biomassa terbesar dan biomassa terkecil disimpan pada gudang karbon nekromassa. Urutan besarnya biomassa berdasarkan gudang karbon tersebut adalah gudang karbon tanah > gudang karbon vegetasi > gudang karbon serasah > gudang karbon tumbuhan bawah > gudang karbon nekromassa (Tabel 1). A. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam pengukuran simpanan karbon yakni tegakan hutan sekunder pada beberapa kelas lereng. Variasi kelerengan digunakan untuk mengetahui keragaman jenis dan variasi simpanan karbon pada beberapa kondisi kelas lereng. Kelas lereng tersebut terbagi menjadi beberapa kelas yakni kelas lereng 10%-20%; 20%-30%; 30% -40%; dan > 40%. Alat yang digunakan berupa ring sampel, phiband, haga, caliper, timbangan gantung, timbangan digital dan GPS (Global positioning system) untuk pengambilan data di lapangan. Pengukuran biomasa kering (oven dry weight) dan kandungan karbon masing-masing bagian pohon dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Kalimantan Selatan. 51
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 3 No. 1, Maret 2015: 49-66
B. Metode Penelitian 1. Penentuan Komposisi Jenis Tumbuhan Komposisi jenis tumbuhan diketahui dengan analisis vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan dengan membuat plot pengukuran seluas 1 ha. Pada plot pengukuran tersebut dibuat sub-plot sesuai dengan tingkat permudaan. Pada tingkat pohon sub-plot berukuran 20 m x 20 m, tiang berukuran 10 m x 10 m, pancang 5 m x 5 m dan semai 2 m x 2 m. Kriteria masing-masing permudaan sebagai berikut: tingkat pohon dengan ukuran diameter > 20 cm; tingkat tiang dengan ukuran diameter 10-20 cm; tingkat pancang dengan ukuran tinggi > 1,5 m dan diameter < 10 cm dan tumbuhan bawah dan tingkat semai dengan tinggi < 1,5 m. (Soerianegara & Indrawan, 1998) Bentuk plot pengukuran seperti pada Gambar 1. Plot-plot pengamatan dibuat pada beberapa kelas lereng yakni kelas lereng 10-20%, 20-30%, 30-40% dan > 40%. Jumlah plot pada masing-masing kelas lereng sebanyak enam plot.
Tumbuhan bawah (Understorey)
Tumbuhan bawah (Understorey) Soil
Pohon (Trees)
Soil
Pohon (Trees) Tumbuhan bawah (Understorey) Soil
Tiang(Poles)
Tiang(Poles) Tumbuhan bawah (Understorey)
Pancang (Saplings) Semai (Seedling)
Pancang (Saplings)
Soil
Semai (Seedling)
Gambar (Figure)1. Plot analisis vegetasi dan pengambilan simpanan karbon (Vegetation analysis and carbon stock plot)
Parameter pengukuran meliputi: kerapatan dan keragaman jenis. Keragaman jenis ini ditunjukkan oleh banyaknya jenis yang terdapat pada plot pengamatan. Perhitungan kerapatan tersebut yakni : ................................................................................................ (1) Keterangan (Remarks): K: Kerapatan (Density : individu/ha) 2.
Kategori Gudang Karbon, Pengambilan Sampel dan Penentuan Simpanan Karbon
Pengukuran simpanan karbon ini dilakukan pada lima gudang karbon yakni vegetasi, serasah, tumbuhan bawah, nekromasa dan tanah. Pengukuran simpanan karbon pada kelima gudang karbon tersebut dilakukan pada plot-plot pengukuran. Ukuran plot pengukuran tersebut yakni: pohon dengan ukuran 20 m x 20 m; nekromasa dengan ukuran 5 m x 20 m; 52
Keragaman Jenis dan Potensi Simpanan... (Muhammad Abdul Qirom, dkk.),
tanah dengan ukuran 20 cm x 20 cm; serasah dan tumbuhan bawah dengan ukuran 2 m x 2 m (Zhang et al., 2012). Pada gudang karbon pohon, pendugaan simpanan karbon secara tidak langsung yakni mengukur kandungan biomasa pohon dengan menggunakan suatu persamaan alometrik (Brown 1997; Wang 2006; Somogyi 2008; Navar 2009). Persamaan alometrik tersebut yakni : ...................................................................................... (2) (Brown, 1997) Keterangan (Remaks): B: Biomassa (Biomass: kg); D: Diameter (Diameter at breast height: cm) Pendugaan simpanan karbon dilakukan dengan menggunakan faktor konversi 50%. Penggunaan faktor konversi tersebut telah digunakan untuk beberapa jenis tanaman seperti bambu (Nath et al., 2009); tanaman eucalyptus dan Acacia (Zhang et al., 2012); areal bera dan pertanian (Jepsen, 2006); jati (Kraenzel et al., 2003) dan Pinus (Heriansyah et al., 2003). Pada gudang karbon nekromasa, pengukuran simpanan karbon dilakukan secara tidak langsung. Kategori nekromass ini terbagi menjadi kayu mati dan pohon mati. Kayu mati yakni pohon mati yang telah rebah di lantai areal hutan sekunder dengan diameter ≥ 2,5 cm dan panjang ≥ 1 meter (Zhang et al., 2012) sedangkan pohon mati yakni pohon-pohon yang telah mati (berhentinya proses asimilasi dan masih berdiri tegak (Manuri et al., 2001) dengan tinggi ≥ 1 meter dan diameter ≥ 2,5 cm (Zhang et al., 2012). Pohon dan kayu mati ini dikategorikan berdasarkan tingkat keutuhan pohon tersebut (Manuri et al., 2001). Menurut Manuri et al., (2001) kayu mati terdiri dari tiga kategori yakni : a) kayu mati dengan tingkat pelapukan bagus; b) kayu mati dengan tingkat pelapukan sedang dan c) kayu mati dengan tingkat pelapukan melapuk. Perhitungan simpanan karbon dapat menggunakan kategori tersebut untuk mendapatkan faktor konversi dekomposisi. Pendugaan simpanan karbon dengan menggunakan faktor konversi biomasa (Persamaan 2) sebesar 0,46 (Hairiah dan Rahayu, 2007). Perhitungan biomasa menggunakan persamaaan yakni :
..................................................................... (3) (Hairiah et al., 2001).
Keterangan (Remarks): B: Biomassa (Biomass: kg); H: Tinggi pohon (Tree height: m); D: 3 Diameter (Diameter: cm);Berat jenis kayu (Specificgravity: kg/m ) Simpanan karbon serasah merupakan biomasa mati dengan ukuran lebih besar dari bahan organik tanah (ukuran minimum 2 mm) (Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), 2006) dan kayu mati dengan ukuran < 2,5 cm dengan tinggi < 1 meter (Zhang et al., 2012) yang telah mengalami proses dekomposisi di permukaan atau menjadi mineral organik tanah (Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), 2006). Tumbuhan bawah didefinisikan sebagai semua tumbuhan bawah yang tidak termasuk pada simpanan karbon jenis pohon sehingga ukuran tinggi < 1,5 m dan diameter < 2,4 cm (Zhang et al., 2012). Pengukuran simpanan karbon serasah dan tumbuhan bawah dilakukan secara destruktif yakni mengambil seluruh serasah dan tumbuhan pada plot pengukuran. Hasil pengambilan dilakukan penimbangan untuk mendapatkan berat basah di lapangan. Penentuan berat kering dilakukan dengan mengambil sebagian sampel serasah seberat kurang lebih 300 gram. Analisis kadar air dan kandungan karbon dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Kalimantan Selatan. Penentuan berat kering (biomassa) dilakukan dengan membentuk suatu hubungan antara kadar air dengan berat total sampel yang dirumuskan (Haygreen & Bowyer ,1993) sebagai berikut :
53
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 3 No. 1, Maret 2015: 49-66
;
..................................................... (4)
Keterangan (Remarks): BB: Berat basah total (Total fresh weight:kg); BKT: Berat kering total (Total dry weight: kg); KAc: Kadar air sampel (Samples moisture content: %); BBc : Berat basah contoh (Sample fresh weight: g); BKc: Berat kering contoh (Sample dry weight: g) Penentuan simpanan karbon berdasarkan perhitungan berat kering (biomassa) dikonversi dengan menggunakan kandungan karbon hasil analisis laboratorium. Bahan organik tanah didefinisikan karbon organik dalam mineral tanah sampai pada kedalaman tertentu dan mempunyai sifat yang konsisten pada rentang waktu tertentu. Komponen ini termasuk akar yang hidup dan mati dalam tanah (kurang dari ukuran minimal untuk biomasa bawah permukaan) yang seringkali tidak dapat dibedakan dari bahan organik tanah (Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), 2006). Pengukuran karbon tanah dilakukan di dalam plot pengukuran serasah. Plot pengukuran karbon tanah berukuran 0,2 m x 0,2 m. Pengambilan tanah dilakukan di dalam plot pengukuran karbon tanah dengan dua kedalaman yakni 0-10 cm dan 10-20 cm (Zhang et al., 2013). Pengambilan tanah dilakukan menggunakan ring sampel, setelah tanah diambil ditimbang untuk mengetahui berat basahnya. Analisis kadar air dan kandungan karbon tanah dilakukan dengan mengambil sampel tanah seberat 50 g. Analisis ini digunakan untuk mengetahui bobot isi (bulk Density: BD) dan kandungan karbon. BD dirumuskan sebagai berikut: .................................................... (5) 3 Keterangan (Remarks): BD: Bobot isi tanah (Bulk density: g cm ); W: Total berat kering contoh tanah/tanah kering oven (Soil sample dry weight: g); V: 3 Volume ring sampel (Ring sample volume: cm ); W1: Berat basah total tanah (Total soil fresh weight g); W2: Berat basah contoh tanah (Soil sample fresh weight: g); W3 : Berat kering sub contoh tanah (Soil sample dry weight of: e g); D: Diameter ring sampel (Ring sample diameter : cm); H : Tinggi ring sampel (Ring sample height: cm)
Penentuan simpanan karbon tanah ditentukan menggunakan rumus : ........................................................................................................ (6) Keterangan (Remarks): CT: Simpanan karbon tanah (Soils carbon stock: ton); A: Luas plot (Plot area: m2); D: Kedalaman contoh tanah (Soil sample depth : cm) -3 BD : Berat isi tanah (Bulk density: kg m ); C: Kandungan karbon (Carbon content: Hasil analisis laboratorium (Laboratory result): (%) Potensi simpanan karbon total yakni penjumlahan antara simpanan karbon pohon; nekromasa; serasah; tumbuhan bawah dan bahan organik tanah.
54
Keragaman Jenis dan Potensi Simpanan... (Muhammad Abdul Qirom, dkk.),
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keragaman Jenis Pada tingkat tiang dan pohon, areal ini mempunyai keragaman jenis tumbuhan yang berbeda-beda (Gambar 3). Berdasarkan kelas lerengnya, kelas lereng 10%-20% mempunyai keragaman tertinggi baik tingkat pohon (Gambar 2.a) maupun tiang (Gambar 2.b). Tingkat keragaman jenis pada tingkat pohon menunjukkan urutan keragaman sebagai berikut: kelas lereng 10%-20% > kelas lereng 20%-30% > kelas lereng 30%-40% > kelas lereng > 40%. Urutan tingkat keragaman pada tingkat pohon mempunyai urutan yang sama dengan tingkat tiang (Gambar 2.a dan Gambar 2.b).
Gambar (Figure) 2. Jumlah jenis pada tingkat pohon (Number of species at tree stage) (a) dan (and) tiang (poles) (b); Kerapatan jenis pada tingkat pohon (Species density of tree stage) (c) dan (and) tiang (poles) (d) pada beberapa kelas lereng (at some slope classes)
Berdasarkan kerapatan tingkat pohon dan tiang, kelas lereng 10%-20% mempunyai kerapatan tertinggi dibandingkan keragaman jenis pada kelas lereng lainnya (Gambar 2c. dan Gambar 2.d). Urutan kerapatan pada beberapa kelas lereng mempunyai urutan yang sama dengan urutan tingkat keragaman jenis pada tingkat tiang. Pada tingkat pohon, kelas lereng > 40% mempunyai kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan kelas lereng 20%-30% dan 30%40% (Gambar 2.c). Kondisi ini menunjukkan bahwa keragaman jenis tidak selalu diikuti oleh kerapatan jenis yang tinggi.
55
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 3 No. 1, Maret 2015: 49-66
Gambar (Figure) 3. (a) Keragaman jenis tingkas pancang pada beberapa kelas lereng (Saplings species diversity at some slope classes); (b) kerapatan jenis tingkat pancang pada beberapa kelas lereng (Saplings species density at some slope classes); (c) keragaman jenis di lokasi penelitian pada beberapa tingkat permudaan (Species diversity of saplings, poles and trees); (d) Kerapatan jenis di lokasi penelitian pada beberapa tingkat permudaan (Species density of saplings, poles and trees)
Pada tingkat pancang, kelas lereng 10%-20% mempunyai keragaman jenis yang paling rendah (Gambar 3.a).Namun demikian, kerapatan jenis pada kelas lereng 10%-20% mempunyai kerapatan yang cukup tinggi. Berdasarkan kelas lerengnya, urutan kerapatan jenis tersebut yakni kelas lereng (> 40%) > kelas lereng 10%-20% > kelas lereng 20%-30% > kelas lereng 30%-40% (Gambar 3.b) Secara keseluruhan, keragaman jenis tertinggi pada tingkat tiang yakni sebanyak 42 jenis tumbuhan (Gambar 3.c) sedangkan keragaman jenis terendah pada tingkat pancang. Namun demikian, tingkat pancang mempunyai kerapatan jenis tertinggi (Gambar 3.d). Pada lokasi penelitian, kerapatan permudaan mengalami penurunan pada tingkat permudaan yang lebih tinggi. B. Simpanan Karbon I. Kandungan Karbon Masing-Masing Gudang Karbon Kandungan karbon ini digunakan untuk mengkonversi biomasa menjadi simpanan karbon masing-masing gudang karbon. Kandungan karbon pada masing-masing gudang karbon 56
Keragaman Jenis dan Potensi Simpanan... (Muhammad Abdul Qirom, dkk.),
berbeda-beda. Kandungan karbon masing-masing gudang karbon yakni tanah < serasah < tumbuhan bawah. Kandungan karbon tanah sangat kecil yakni rata-rata kurang dari 2% dari biomasanya. Pada gudang karbon serasah, rata-rata kandungan karbon mencapai 44,8% dan rata-rata kandungan karbon mencapai 49,4% untuk gudang karbon tumbuhan bawah (Gambar 4).
Gambar (Figure) 4. Kandungan karbon pada tiga gudang karbon di beberapa kelas kelerengan (Carbon content of three carbon pools at some slope classes)
Berdasarkan kelas kelerengannya, kandungan karbon pada masing-masing gudang karbon hampir sama (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa kelas kelerengan tidak berpengaruh terhadap besarnya kandungan karbon yang tersimpan pada masing-masing gudang karbon. Kondisi ini ditunjukkan hasil uji beda nilai tengah di berbagai kelas lereng mempunyai nilai tidak berbeda nyata (thitung< ttabelpada taraf 5%) baik gudang karbon serasah, tumbuhan bawah dan tanah (Tabel 2). Tabel (Table) 2. Hasil uji perbandingan kandungan karbon pada masing-masing gudang karbon (The difference result of carbon content on each carbon pools)
Kelas lereng (Slope class) (%)
10-20
Serasah (Litter)
Tumbuhan bawah (Understorey)
20-30
10-20
30-40
10-20
-
0,993 0,275
20-30
0,993
30-40
0,275 0,443
> 40
0,638 0,639 0,538
-
20-30
30-40
10-20
0,863 0,572 0,789
-
0,638
-
0,443
0,639
0,863
-
0,538
0,572 0,806
-
Tanah (Soils)
-
0,806 0,346 -
0,789 0,346 0,437
0,437 -
0,959
20-30
30-40
0,959 0,967 0,697 -
0,967 0,971
0,971 0,648 -
0,697 0,648 0,678
0,678 -
Keterangan (Remarks): Uji perbandingan menggunakan uji-t dengan taraf nyata 5% ( t-Test with significance difference by 5%); nilai dalam tabel adalah nilai Probabilitas (the value of table is P-Value)
57
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 3 No. 1, Maret 2015: 49-66
2. Potensi Simpanan Karbon
Potensi simpanan karbon merupakan besarnya simpanan karbon pada kelas lereng tertentu. Besarnya potensi simpanan karbon pada masing-masing gudang karbon berbeda-beda. Potensi terbesar pada gudang karbon pohon dengan rata-rata simpanan karbon sebesar 68,29 -1 Mg.ha , sedangkan gudang karbon nekromasa mempunyai rata-rata simpanan karbon terkecil -1 sebesar 0,045 Mg.ha (Tabel 3). Tabel (Table) 3. Potensi simpanan karbon pada beberapa gudang karbon di berbagai kelas kelerengan (Potential carbon stock of five carbon pools in some slope classes) -1
Kelas lereng (Slope class) (%) 10-20 20-30 30-40 > 40 Total
Potensi simpanan karbon (Potential carbon stock) (Mg.ha ) Serasah (Litter) 4,667
T. bawah (Understorey) 0,26
Tanah (Soils) 21,16
Nekromasa (Nekromass) 0,037
Pohon (Tree) 76,39
102,51
(1,343)
(0,20)
6,90
(0,019)
(40,72)
39,48
3,012
0,38
27,55
0,037
69,03
100
(1,019)
(0,19)
11,01
(0,010)
(44,20)
46,48
3,955
0,21
19,29
0,057
52,74
76,25
(1,953)
(0,07)
6,00
(0,046)
(35,74)
36,10
3,541
0,44
16,54
0,059
70,06
90,64
(1,564)
(0,19)
8,18
(0,022)
(18,52)
18,27
3,81
0,32
22,09
0,04
68,29
94,56
Total
Keterangan (Remarks): ( ): Angka dalam kurung menunjukkan simpangan baku (Number inbracket showed standard deviation)
Pada kelas lereng 30%-40%, areal ini mempunyai simpanan karbon total terkecil (76,25 Mg.ha-1) dan simpanan karbon total terbesar terdapat pada kelas lereng 10%-20% (102,51 -1 Mg.ha ). Besarnya simpanan karbon masing-masing kelas lereng ini sangat dipengaruhi oleh besarnya simpanan karbon pohon (Tabel 3). Hal ini disebabkan proporsi terbesar untuk keseluruhan kelas kelerengan pada gudang karbon vegetasi (proporsi vegetasi > 65%). Proporsi gudang karbon vegetasi terkecil pada kelas lereng 30%-40% sedangkan proporsi gudang karbon terbesar pada kelas lereng > 40% (Tabel 4). Berdasarkan Tabel 4. proporsi simpanan karbon terkecil pada simpanan karbon nekromasa yakni < 0,5% terhadap simpanan karbon total pada keseluruhan kelas lereng. Simpanan karbon tumbuhan bawah mempunyai proporsi simpanan karbon hampir sama dengan proporsi simpanan karbon tumbuhan bawah. Proporsi simpanan karbon terbesar yakni simpanan karbon vegetasi. Besarnya proporsi simpanan karbon masing-masing gudang karbon yakni simpanan karbon vegetasi > tanah > serasah > tumbuhan bawah > nekromassa.
58
Keragaman Jenis dan Potensi Simpanan... (Muhammad Abdul Qirom, dkk.),
Tabel (Table) 4. Proporsi simpanan karbon pada lima gudang karbon pada masing-masing kelas lereng (Carbon stock proportion of five carbon pools on some slope classes)
Gudang karbon (Carbon pools : %) Kelas lereng (Slope class)
Pohon (Tree)
Serasah (Litter)
Ta nah (Soils)
T. bawah (Understorey)
Nekromasa (Necromass)
10-20%
74,52
4,55
20,64
0,25
0,04
20-30%
69,03
3,01
27,55
0,38
0,04
30-40%
69,17
5,19
25,29
0,28
0,08
> 40%
77,29
3,91
18,25
0,49
0,07
72,50
4,16
22,93
0,35
0,05
Rataan (Average)
Keterangan (Remarks): T. Bawah: Tumbuhan bawah (Understorey)
C. Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan Secara keseluruhan, keragaman jenis tumbuhan hampir sama dengan beberapa lokasi lain (Tabel 5). Pada lokasi penelitian, Taman Nasional Batang Gadis; Cagar Biosfer di Pulau siberut (Bismark et al., 2008); hutan lindung di Jawa Tengah (Kalima, 2007) dan Delta Mahakam (Atmoko & Sidiyasa, 2008). Namun demikian, keragaman jenis di lokasi penelitian lebih rendah dibandingkan keragaman jenis di Taman Nasional Batang Gadis (Kuswanda & Antoko, 2008). Kondisi ini menunjukkan keragaman jenis sangat dipengaruhi oleh tipe hutan, tempat tumbuh, tingkat gangguan hutan (kebakaran hutan, bekas tebangan) dan manajemen pengelolaan hutan (hutan lindung, taman nasional dan cagar biosfer). Pada tingkat pohon, lokasi penelitian mempunyai kerapatan jenis (Tabel 5) lebih rendah dibandingkan dengan kerapatan jenis di hutan skunder lahan kering Taman Nasional Batang Gadis (Kuswanda & Antoko, 2008) dan hutan primer di cagar biosfer Pulau Siberut (Bismark et al., 2008). Pada lokasi penelitian, kondisi hutan merupakan areal bekas tebangan dan terjadi illegal logging. Kondisi tersebut menyebabkan kerapatan tingkat pohon berkurang dan mengakibatkan rusaknya tingkat permudaan dibawahnya (pancang dan tiang). Pada tingkat pancang, lokasi penelitian ini mempunyai kerapatan dan keragaman jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian di hutan lahan kering hutan Lindung (Kalima, 2007) dan Taman Nasional Batang Gadis (Kuswanda & Antoko, 2008). Namun demikian, kondisi keragaman semai lebih rendah dibandingkan tingkat pancang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tegakan ini telah mengalami gangguan regenerasi tingkat dibawahnya meskipun tegakan masih dalam kondisi yang normal (Gambar 4.c dan Gambar 4.d).
59
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 3 No. 1, Maret 2015: 49-66 Tabel (Table) 5. Keragaman dan kerapatan jenis pada beberapa lokasi dan tipe hutan (Diversity and density of species on some sites and forest types)
Tipe hutan (Forets type)
Hutan lahan kering (Dry land forest)
Cagar biosfer Pulau Siberut
Klasifikasi (Classification)
Hutan lindung (Protection forest)
Hutan primer (Primary forest)
Tingkat permudaan (Regeneration stage)
Jumlah jenis (Number of sp ecies)
Kerapatan (Density) (batang/ha)
Pohon (Tree)*
40
287,5
Pancang (Sap ling)
40
5062,5
Semai (Seedling)
40
81500
Pohon (Trees )**
34
65
Tiang (Poles)
Delta mahakam
Hutan lahan kering Taman Nasional Batang Gadis
Hutan lahan kering (Dry land forest)
Pohon (Trees )**
Bekas tebangan lima tahun (After five year logging)
Pohon (Trees )**
Hutan skunder (Secondary forest)
Pohon (Tree)**
6
31,67
Tiang (Poles)
24
306,21
Pancang (Sap lings)
33
2350,68
Semai (Seedling)
14
3249,98
Pohon (Tree)*
34
-
Pancang (Saplings)
29
-
S Semai (Seedling)
37
-
Pohon (Tree)**
30
187
Tiang (Poles)
42
226
Pancang (S aplings)
19
433,33
Hutan skunder (Secondary forest)
Kalima, 2007
Bismark et al., 2008
392
Bekas tebangan satu tahun (After one year logging)
Hutan pegunungan (Mountain forest)
Sumber (Source)
39
Tiang (Poles)
233,33 43,68
39
Tiang (Poles)
396 59,33 Atmoko dan Sidiyasa, 2008
Kuswanda dan Antoko, 2008
Hasil penelitian (Result of study)
Keterangan (Remarks): *) : Klasifikasi tingkat tiang yakni tumbuhan dengan ukuran diameter lebih dari 10 cm (Poles stage clasification is plant with diameter more than 10 cm); **) : Klasifikasi tingkat pohon yakni tumbuhan dengan ukuran diameter lebih dari 20 cm (Tree stage clasification is plant with diameter more than 20 cm)
60
Keragaman Jenis dan Potensi Simpanan... (Muhammad Abdul Qirom, dkk.),
A. Kandungan dan Simpanan Karbon Secara umum, kandungan karbon tanah terkecil dibandingkan dengan gudang karbon lainnya. Kandungan karbon tanah pada beberapa kelas kelerengan tersebut < 5% dari berat keringnya. Kandungan karbon tanah tersebut ditentukan dengan metode Walkley-Black (Amichev et al., 2008) ataupun pembakaran/combustion method (Siringoringo, 2013). Pada hutan tanaman Acacia mangium, besarnya kandungan karbon sebesar 3,21% dan mengalami peningkatan pada umur tanaman yang lebih tua (Siringoringo, 2013). Berdasarkan kedua metode tersebut, kandungan karbon tanah mineral kurang dari 5% termasuk kandungan karbon hasil penelitian ini. Pada gudang karbon tanah, simpanan karbon tanah kurang dari 25 ton/ha meskipun berat kering tanah lebih dari 1.000 ton/ha (Tabel 1). Kandungan karbon tersebut berpengaruh terhadap besarnya simpanan karbon pada gudang karbon tanah. Hal ini menunjukkan besarnya simpanan karbon sangat berkaitan erat dengan besarnya kandungan karbon yang disimpan pada suatu gudang karbon selain berat kering (biomasa) gudang karbon tersebut. Fakta ini didukung oleh beberapa hasil penelitian di beberapa tempat tumbuh dan jenis tegakan yang berbeda yakni Wauters et al., (2008) pada tanaman karet di Brasil dan Ghana; hutan rawa gambut (Dharmawan, 2013); hutan tanaman A. mangium (Siringoringo, 2013) dan hutan lahan kering bekas tebangan (hasil penelitian) (Gambar 5).
Keterangan (Remarks): GH: Tanaman karet di Ghana (Rubber plantation at Ghana) (Wauters et al., 2008); BR: Tanaman karet di Brasil (Rubber plantation at Brasil) (Wauters et al., 2008); KS: Hasil penelitian (The study result); HT: Hutan tanaman A. mangium (A. mangium plantation) (Siringoringo, 2013) Gambar (Figure) 6. Kandungan karbon pada lima gudang karbon di beberapa tipe hutan (Carbon content on five carbon pools at some forest types)
61
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 3 No. 1, Maret 2015: 49-66
Berdasarkan hasil tersebut, penggunaan faktor konversi (kandungan karbon) biomasa menjadi simpanan karbon harus memperhatikan gudang karbon, tempat tumbuh dan jenis tegakan yang akan diduga. Penggunaan faktor konversi yang tidak sesuai (umum) akan menyebabkan hasil pendugaan potensi simpanan karbon tidak tepat dan tidak akurat. Hal ini akan terjadi pada gudang karbon tanah. Pada gudang karbon tanah, kandungan karbon sangat berbeda dengan kandungan karbon yang dimiliki gudang karbon lain (serasah, nekromasa, tumbuhan bawah dan pohon). Perbedaan kandungan karbon tanah tersebut terjadi terutama pada tanah-tanah mineral. Hal ini berbeda dengan kandungan karbon pada tanah gambut. Pada tanah gambut mempunyai kandungan karbon hampir sama dengan gudang karbon lain yakni mendekati 50% terhadap berat keringnya (Qirom & Supriyadi, 2013; Akbar et al., 2011). Hasil penelitian ini menunjukkan potensi simpanan karbon total sangat dipengaruhi oleh simpanan karbon pada gudang karbon pohon. Potensi simpanan karbon vegetasi mempunyai proporsi lebih dari 65% terhadap simpanan karbon totalnya (Tabel 3). Kondisi ini sangat berbeda dengan hasil penelitian Zhang et al., (2013) yang dilakukan pada lima tipe hutan di China. Hasil penelitian Zhang et al., (2013) menunjukkan proporsi simpanan karbon pada vegetasi sebesar 48,8% hampir sama dengan proporsi simpanan karbon pada gudang karbon tanah sebesar 43,3% pada kedalaman tanah sampai dengan 20 cm. Besarnya simpanan karbon tanah hasil penelitian di China tersebut sangat dipengaruhi oleh besarnya kandungan karbon pada gudang karbon tanah. Secara umum, kandungan karbon tanah di China mencapai 13 % (Zhang et al., 2012), sehingga potensi simpanan karbon tanah menjadi lebih besar. Gambar 6.menunjukkan proporsi masing-masing gudang karbon sangat berbeda-beda. Perbedaan ini antara lain dipengaruhi oleh tipe hutan (hutan rawa gambut, hutan lahan kering, dan hutan tanaman); gangguan hutan seperti kebakaran (Dharmawan, 2013); aspek pengelolaan dan umur tanaman (Zhang et al., 2013) serta pemeliharaan pasca gangguan (kebakaran) (Dharmawan, 2013). Potensi simpanan karbon total bervariasi antar tipe hutan, manajemen pengelolaan, jenis dan umur tanaman (Zhang et al., 2012), serta tingkat gangguan hutan. Pada lokasi penelitian, potensi simpanan karbon sebesar 94,56 ton/ha (Tabel 3). Perbedaan potensi simpanan karbon ini terjadi pada manajemen pengelolaan yang berbeda. Pada areal reklamasi tambang batubara umur 60 tahun di Amerika Serikat, potensi simpanan karbon mencapai 168 ton/ha untuk jenis pinus; 131 ton/ha untuk jenis campuran dan 153 ton/ha untuk jenis-jenis hardwood sedangkan pada lokasi di luar areal pertambangan, simpanan karbon mencapai 205 ton/ha (Amichev et al., 2008). Pada hutan di China, simpanan karbon berbeda antara masing-masing tipe hutan (Zhang et al., 2013). Simpanan karbon terbesar yakni 632 ton/ha di hutan-hutan tua dan hutan tanaman Spruce mempunyai potensi simpanan karbon terkecil sebesar 239 ton/ha (Zhang et al., 2013). Pada hutan tanaman Acacia di China, potensi biomasa terbesar sebesar 189,3 (ton/ha) pada umur lebih dari 16 tahun dan potensi terkecil pada umur tanaman < enam tahun sebesar 87,95 ton/ha (Zhang et al., 2012). Pada hutan tanaman Eucalyptus di China, potensi biomassanya sebesar 207,5 ton/ha pada tanaman dengan umur > 16 tahun sedangkan pada tanaman dengan umur tanaman < enam tahun, potensi biomasanya sebesar 59,7 ton/ha (Zhang et al., 2012). Potensi simpanan karbon mencapai 274 ton/ha pada hutan skunder dan 339 ton/ha pada hutan primer di Singapura.(Ngo et al., 2013).Potensi simpanan karbon pada kedua tipe hutan tersebut sebagian besar tersimpan pada gudang karbon pohon dan tanah (Ngo et al., 2013). E. Implikasi Pengelolaan Hutan Sekunder di Kotabaru Kalimantan Selatan Berdasarkan komposisi dan struktur tegakannya, pada tingkat permudaan yang lebih rendah mempunyai kerapatan tegakan yang lebih rapat dibandingkan dengan kerapatan 62
Proposi simpanan karbon (Carbon stock fraction) (%)
Keragaman Jenis dan Potensi Simpanan... (Muhammad Abdul Qirom, dkk.),
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 2
3 TP
5
2
3 TH
5
2
3 TC
5
2
3 NTH
5
2
4 SP
5
2
4 SS
5
2
3
4
CHN
5
1
2
3
4
5
HLS
Lokasi dan gudang karbon (Site and carbon pools)
Keterangan (Remaks): T.P; TH; TC: Bekas tambang dengan tanaman pinus, daun lebar dan campuran di Amerika Serikat (Ex-mine with pine, hardwood and mixed plant in United States); NTH: Bukan areal tambang dengan tanaman daun lebar di Amerika Serikat (Non-mined land with hardwood plant in United States); S.P: Hutan primer di Singapura (Primary forest in Singapura); S.S: Hutan sekunder di Singapura (Secondary forest in Singapura); HLS: Hutan lahan kering di Kalimantan selatan (Secondary dry land forest at South Kalimantan) (Hasil penelitian: The study result); CHN: Hutan lahan kering pada beberapa tipe pengelolaan di China (Dry land forest with different management types at China); T.P, T.H, T.C dan N.T.H.: Hasil penelitian Amichev et al., 2008 (The study result of Amichev et al., 2008); S.P, S.S: Hasil penelitian Ngo et al., 2013 (The study result of Ngo et al., 2013); CHN: Hasil penelitian Zhang et al.,, 2013 (The study result of Zhang et al., 2013). Gambar (Figure) 7. Proporsi simpanan karbon pada beberapa gudang karbon di beberapa lokasi penelitian (Carbon stock proportion on some carbon pools at some study sites)
tegakan permudaan di atasnya. Hal ini menunjukkan bahwa tegakan ini memerlukan usaha untuk membantu proses regenerasi alaminya baik melalui kegiatan penanaman pengayaan (enrichment planting) maupun kegiatan pembebasan terhadap jenis-jenis pioner (Macaranga sp.). Kegiatan pembebasan ini memberikan ruang pada tegakan, sehingga jenis-jenis intoleran dapat tumbuh dan berkembang menjadi tingkat permudaan diatasnya (tiang dan pohon). Kondisi ini dilakukan karena jenis-jenis yang dominan pada lokasi tersebut adalah jenis-jenis meranti terutama meranti putih. Menurut Imai et al., (2014) proyek-proyek REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation) harus mampu menjaga keanekaragaman hayati sehingga dalam konteks perdagangan karbon, monitoring keanekaragaman hayati harus selalu terjaga dan termonitor. Berdasarkan potensi simpanan karbonnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya potensi simpanan karbon sangat dipengaruhi oleh besarnya simpanan karbon pada gudang karbon vegetasi. Implikasinya adalah upaya peningkatan simpanan karbon pada lahan kering dilakukan dengan menjaga vegetasi agar mempunyai pertumbuhan yang optimal. Hal ini dilakukan agar vegetasi tetap mampu menyimpan karbon dalam jumlah yang besar. Upaya lain yang dapat dilakukan dengan penambahan jenis-jenis baru terutama jenis-jenis lokal asli setempat dan membantu pertumbuhan jenis-jenis klimaks seperti jenis meranti merah dan putih serta Diospyros sp. Usaha ini dilakukan karena tajuk-tajuk jenis-jenis pioner seperti Macaranga sp. dan Ficus sp. menghambat pertumbuhan jenis-jenis meranti tersebut. Pembebasan dilakukan dengan penerasan terhadap jenis-jenis pioner tersebut. Penerasan ini 63
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 3 No. 1, Maret 2015: 49-66
dengan tujuan untuk meminimalkan kerusakan tegakan tinggal akibat kematian dari jenis pioner tersebut. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Keragaman jenis dan kerapatan berbeda-beda antar tingkat permudaan. Keragaman jenis terbesar pada tingkat permudaan tiang dan kerapatan tertinggi pada tingkat pancang. Pada tingkat pancang, tiang dan pohon, kelas lereng 10%-20% mempunyai kerapatan tertinggi. Berdasarkan keragaman jenisnya, kelas lereng 10%-20% mempunyai keragaman jenis tertinggi pada tingkat tiang dan pohon sedangkan kelas lereng > 40% mempunyai keragaman jenis tertinggi pada tingkat pancang. Pada semua tingkat permudaan, jenis Shorea polyandra sebagai jenis yang dominan. Gudang karbon tanah mempunyai kandungan karbon tanah terkecil sebesar < 5% dari berat keringnya. Kandungan karbon antar tiga gudang karbon (serasah, tumbuhan bawah dan tanah) berbeda-beda, sehingga konversi biomasa menjadi simpanan karbon harus menggunakan kandungan karbon masing-masing gudang karbon. Kelas lereng tidak mempengaruhi besarnya kandungan karbon masing-masing gudang karbon dan simpanan karbon totalnya. Gudang karbon vegetasi mempunyai proporsi simpanan karbon terbesar yakni > 65% dari simpanan karbon totalnya pada berbagai kelas lereng. Potensi simpanan karbon sebesar 94,56 ton/ha. B. Saran Pada lokasi penelitian ini, peningkatan keragaman jenis dan potensi simpanan karbon dapat dilakukan dengan pemeliharaan tegakan (terutama pembebasan tumbuhan untuk mendapatkan ruang tumbuh dan cahaya) dan penanaman (enrichment planting). UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini didukung oleh pendanaan DIPA Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru tahun 2013. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru atas kepercayaan dan dukungannya dalam melaksanakan kegiatan penelitian. Klasifikasi tipologi dan potensi biomassa hutan lahan kering. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Dinas Kehutanan Kotabaru dan Kepala Desa Sebelimbingan atas ijin lokasi dan memfasilitasi pelaksanaan kegiatan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Akbar, A., Alimah, D., & Suryanto, E. (2011). Estimasi model penduga karbon hutan rawa gambut jenis non Dipterocarpaceae. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Amichev, B.Y., Burger, J.A., & Rodrigue, J.A. (2008). Carbon sequestration by forests and soils on mined land in the Midwestern and Appalachian coalfields of the U.S. Forest Ecology and Management, 256, 19491959. Atmoko, T., & Sidiyasa, K. (2008). Karakteristik vegetasi habitat bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, V (4), 307-316. Brown, S. (1997). Estimating biomass and biomass change of tropical forest : a primer. Rome, Italy : FAO Forestry Paper 134. Bismark, M., Heriyanto, N.M., & Iskandar, S. (2008). Keragaman dan potensi jenis serta kandungan karbon hutan mangrove di Sungai Subelen Siberut, Sumatera Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, V (5), 397-407.
64
Keragaman Jenis dan Potensi Simpanan... (Muhammad Abdul Qirom, dkk.),
Dharmawan, I.W.S. (2013). Persamaan alometrik dan cadangan karbon vegetasi pada hutan gambut primer dan bekas terbakar. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 10 (2), 175-191. Fauzi, Darusman, D., Wijayanto, N., & Kusmana, C. (2011). Kajian potensi karbon pada sumberdaya Hutan Gayo Lues. Jurnal Hutan dan Masyarakat, 6, (2), 73-78. Haygreen, J.G., & Bowyer, J.L. (1993). Forest product and wood science an introduction. (Hasil hutan dan ilmu kayu: suatu pengantar (Terjemahan). Jogjakarta: Gadjah Mada Press. Hairiah, K., Sitompul, S.M., van Noordwijk, M. & Palm, C. (2001). Methods for sampling carbon stocks above and below ground. ASB Lecture note 4B. ICRAF, Bogor, Indonesia. Hairiah, K., & Utami, S.R. (2007). Petunjuk praktis pengukuran karbon tersimpan pada berbagai macam penggunaan lahan. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office, University of Brawijaya, Unibraw, Indonesia. 77 p. Heriansyah, I., Siregar, C.A., & Kiyoshi, M. (2003). Estimating carbon fixation potential of platation forests : case study on Acacia mangium plantations. Buletin Penelitian Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Imai, N., Tanaka, A., Samejima, H., Sugau, J.B., Pereira, J.T., Titin, J., Kurniawan, Y., & Kitayama, K. (2014). Tree community composition as an indicator in biodiversity monitoring of REDD+. Forest Ecology and Management 313, 169-179. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). (2006). Guidelines for national greenhouse gas inventories. Vol. 4, Agriculture, Forestry and other Land Use (AFOLU). Institute for Global Environmental Strategies, Hayama, Japan. Jepsen, M.R. (2006). Above-ground carbon stocks in tropical fallows, Sarawak, Malaysia. Forest Ecology and Management, 225, 287-295. Kalima, T. (2007). Keragaman jenis dan populasi flora pohon di Hutan Lindung Gunung Slamet, Baturaden, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasil Alam, IV (2), 151-160. Kraenzel, M., Castillo, A., Moore, T., & Potvin, C. (2003). Carbon storage of harvest-age teak (Tectona grandis) plantation, Panama. Forest Ecology and Management, 173, 213-225. Krisnawati, H., & Wahjono, D. (2010). Effect of post-logging silvicultural treatment on growth rates of residual stand in a tropical forest. Journal of Forestry Research, 7 (2), 112-124 Krisnawati, H., Adinugroho, W.C., Imanuddin, R., & Hutabarat, S. (2014). Pendugaan biomassa hutan untuk perhitungan emisi CO2 di Kalimantan Tengah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Kuswanda, W., & Antoko, B.S. (2008). Keanekaragaman jenis tumbuhan pada berbagai tipe hutan untuk mendukung pengelolaan zona rimba di Taman Nasional Batang Gadis. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 5 (4), 337-354. Manuri, S., Putra, C.A.S., & Saputra, A.D. (2001). Teknik pendugaan cadangan karbon hutan. Merang REDD Pilot-Project– German International Cooperation. Palembang. Ngo, K.M., Turner, B.L., Muller-Landau, H.C., Davies, S.J., Larjavaara, M., Hassan, N.F.b.N., & Lum, S. (2013). Carbon stocks in primary and secondary tropical forests in Singapore. Forest Ecology and Management, 296, 81-89. Nath, A.J, Das, G., & Das, A.K. (2009). Above ground standing biomass and carbon storage invillage bamboos in North East India. Biomass and Bioenergy, 33 ,1188–1196. Navar, J. (2009). Allometric equation for tree species and carbon stock for forest of Northwest Mexico. Forest Ecology and Management, 257, 427-434. Okimori Y., Thojib, A., & Rudjiman. (1996). Forest structure and growth of residual trees of logged-over forest in Jambi. In: Suhardi, S. Hardiwinoto, Sumardi, and Y. Okimori (eds.).Proceedings of the seminar on Ecology and Reforestation of Dipterocarps Forest. Yogyakarta: 24-25 January 1996. Qirom, M.A. & Supriyadi. (2013). Evaluasi dan prediksi pertumbuhan dan hasil jenis nyawai dan balangeran. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Qirom, M.A., Yuwati, T.W., & Santosa, P.B. (2013). The changes of naturalregeneration and surface carbon stock after peat swamp forest fires. Proceedings of the seminar the 4th International Workshop on Wild Fire and Carbon Management in Peat-Forest in Indonesia in Palangkaraya Indonesia, September 24-26, 2013. Siringoringo, H.S. (2013). Potensi sekuestrasi karbon organik tanah pada pembangunan hutan tanaman Acacia mangium Willd. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 10 (2), 193-213. Sist, P., & Ferreira, F.N. (2007). Sustainability of reduced-impact logging in the Eastern Amazon. Forest Ecology and Management, 243, 199-209. Soerianegara, I., & Indrawan, A. (1998). Ekologi hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Somogyi, Z., Teobaldelli, M., Federici, G., Pagliari, V., Grassi, G., & Seufert, G. (2008). Allometric biomass and carbon factors database. Forest 1, 107-113. Tata, M.H.L., & Pradjadinata, S. (2013). Regenerasi alami hutan rawa gambut terbakar dan lahan gambut terbakar di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah dan implikasinya terhadap konservasi. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 10 (3), 327-342.
65
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 3 No. 1, Maret 2015: 49-66 Wauters, J.B, Coudert, S., Grallien, E., Jonard, M., & Ponette, Q. (2008). Carbon stock in rubber tree plantation in Western Ghana and Mato Grosso (Brazil). Forest Ecology and Management, 255, 2347-2361. Wang, C. (2006). Biomass allometric equations for 10 co-occuring tree species in Chinese temperate forest. Forest Ecology and Management, 222, 9-16. Zhang, H., Guan, D., & Song, M. (2012). Biomass and carbon storage of Eucalyptus and Acacia plantations in the Pearl River Delta, South China. Forest Ecology and Management, 277, 90-97. Zhang, Y., Gu, F., Liu, S., Liu, Y., & Li, C. (2013). Variations of carbon stock with forest types in subalpine regionof southwestern China. Forest Ecology and Management, 300, 88-95.
66