Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
EXECUTIVE SUMMARY STUDI PENGEMBANGAN POLA PENYELENGGARAAN KENAVIGASIAN DI INDONESIA
A. PENDAHULUAN 1.
Latar Belakang Kenavigasian adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran, hidrografi dan meteorologi, alur pelayaran dan perlintasan, pengerukan dan reklamasi, pemanduan, penanganan kerangka kapal, salvage dan pekerjaan bawah air untuk kepentingan keselamatan pelayaran kapal. Pasal 172 UU Pelayaran Nomor 17/2008 menyatakan tanggung jawab Pemerintah untuk menjaga keselamatan dan keamanan pelayaran dengan menyelenggarakan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran (SBNP) sesuai dengan perkembangan teknologi. Dan Pada keadaan tertentu, badan usaha dapat melaksanakan pengadaan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran sebagai bagian dari penyelenggaraan untuk kepentingan tertentu, tetapi tetap dalam pengawasan Pemerintah. Telekomunikasi pelayaran sebagai bagian dari sistem kenavigasian, juga berlaku persyaratan yang sama dengan SBNP. Pasal 178 UU Pelayaran Nomor 17/2008 menyatakan tanggung jawab Pemerintah untuk menjaga keselamatan dan keamanan pelayaran dengan menyelenggarakan Telekomunikasi-Pelayaran sesuai dengan perkembangan teknologi. Dan Pada keadaan tertentu, badan usaha dapat melaksanakan pengadaan Telekomunikasi-Pelayaran tetapi tetap dalam pengawasan Pemerintah. Oleh karena itu, penyelenggaraan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran dan Telekomunikasi-Pelayaran wajib memenuhi persyaratan dan standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Ringkasan Studi (Executive Summary)
1
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Beberapa permasalahan yang terkait dengan penyelenggaraan kenavigasian diantaranya adalah Tingkat keandalan SBNP belum memenuhi rekomendasi International Association of Lighthouse Authorities (IALA) dan tingkat kecukupan SBNP (Sarana Bantu Navigasi Pelayaran) masih rendah, Beberapa SBNP Non DJPL yang telah dibangun oleh Badan Hukum Indonesia (BHI) kurang optimal melaksanakan pemeliharaan serta belum membuat laporan kegiatan penyelenggaraan SBNP; termasuk diantaranya adalah permasalahan dana pemerintah yang terbatas untuk penyelenggaraan kenavigasian.
2.
Rumusan Permasalahan Sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahannya adalah Penyelenggaraan kenavigasian yang belum efektif dan efisien sehingga perlu dianalisis pola penyelenggaraan kenavigasian agar lebih efektif dan efisien pelaksanaannya oleh pemerintah dan badan usaha.
3.
Maksud Dan Tujuan Maksud
studi
adalah
menganalisis
pola
penyelenggaraan
berbagai
kenavigasian di Indonesia untuk masa yang akan datang. Tujuan studi adalah tersusunnya konsep kebijakan dan strategi pola penyelenggaraan dan pengusahaan kenavigasian di Indonesia.
4.
Ruang Lingkup Studi Ruang lingkup studi mencakup 10 (sepuluh) kriteria, yaitu: a.
Inventarisasi dan identifikasi peraturan-peraturan yang terkait dengan kenavigasian;
b.
Inventarisasi jenis navigasi pelayaran yang ada saat ini;
c.
Inventarisasi
kecukupan
dan
kehandalan
sarana
dan
prasarana
kenavigasian di Indonesia;
2
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
d.
Identifikasi pola penyelenggaraan kenavigasian di Indonesia;
e.
Bench marking pola penyelenggaraan kenavigasian di Negara kepulauan;
f.
Analisis jenis navigasi pelayaran yang wajib diselenggarakan Pemerintah dan dapat diserahkan kepada pihak ketiga;
g.
Analisis dan evaluasi pola pengembangan penyelenggaraan kenavigasian di Indonesia;
h.
Analisis strategi dan pola bentuk kerjasama penyelenggaraan kenavigasian yang cocok di Indonesia;
i.
5.
Rekomendasi.
Hasil Yang Diharapkan Studi ini diharapkan menghasilkan suatu rekomendasi terkait dengan kebijakan dan strategi tentang pola penyelenggaraan dan pengusahaan kenavigasian di Indonesia. Diharapkan dapat pula dimanfaatkan oleh Kementerian Perhubungan Cq Direktorat Kenavigasian Ditjen Perhubungan Laut serta Badan Usaha, dalam menyelenggarakan kenavigasian di Indonesia.
B. METODOLOGI 1.
Pola Pikir Studi Untuk menyelesaikan studi ini diperlukan suatu proses atau transformasi berdasarkan permasalahan yang ada saat ini terkait dengan penyelenggaraan kenavigasian untuk kepentingan keselamatan pelayaran kapal sehingga perlu dianalisis pola penyelenggaraan kenavigasian di Indonesia. Dalam penyelesaian suatu masalah tentunya diperlukan subyek, yakni siapa yang bertanggung jawab dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, obyek yakni berkaitan dengan apa yang diteliti dalam studi ini dan metoda sebagai alat untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Permasalahan merupakan input studi yang akan dilakukan dan setelah diproses tentunya akan menghasilkan
Ringkasan Studi (Executive Summary)
3
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
output yang merupakan tujuan dari studi yang dilakukan. Gambaran alur pikir selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1. Dalam penyelesaian permasalahan dibutuhkan instrumental input dan environtmental input. Instrumental input dalam studi ini tentunya berupa produk hukum atau peraturan di bidang transportasi laut yang berkaitan dengan ruang lingkup studi. Subyek penelitian adalah instansi yang menangani tentang kenavigasian yaitu Kementerian Perhubungan cq. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan kenavigasian di Indonesia. Dalam melakukan proses penyelesaian permasalahan tentunya dipengaruhi oleh faktor eksternal, yakni faktor lingkungan, kondisi geografis dan perkembangan teknologi sehingga faktor-faktor tersebut menjadi environtmental input dalam studi ini.
4
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
OUTCOME INSTRUMENTAL INPUT UU no 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, PP no 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian, PM No 25 Tahun 2011 tentang Sarana Bantu Navigasi Pelayaran. PM No 26 Tahun 2011 tentang Telekomunikasi Pelayaran, Convention on the International Regulations for Preventing Collisions at Sea, 1972 (COLREGs), International Authority of Lighthouse Association (IALA)
INPUT OBYEK Pola Penyelenggaraan kenavigasian yang belum efektif dan efisien
Kementerian Perhubungan CQ Ditjen Perhubungan Laut
penyelenggaraan kenavigasian di Indonesia.
Tersedianya rekomendasi terkait dengan kebijakan dan strategi pola penyelenggaraan dan pengusahaan kenavigasian di Indonesia navigasi
METODA Metode deskriptif komparatif Analisis benchmarking Metode peramalan Metode P enilaian Investasi
konsep kebijakan dan strategi pola penyelenggaraan dan pengusahaan kenavigasian di Indonesia navigasi
OUTPUT Kondisi Geografis,Perkembangan Teknologi Kenavigasian
Gambar 1: Pola Pikir Studi
5
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Alur pikir penyelesaian masalah digambarkan dalam diagram di bawah ini.
KENAVIGASIAN meliputi: SBNP,Telekomunikasi Pelayaran, Hidrografi dan Meteorologi, Alur dan Perlintasan Pengerukan dan Reklamasi, Pemanduan, Penanganan Kerangka Kapal, Penanganan Kerangka Kapal, Salvage dan Pekerjaan Bawah Air
Pola penyenggaraan kenavigasian saat ini(Metode Deskriptif)
Proyeksi demand pengguna navigasi dengan menggunakan analisis regresi
Data Kunjungan Kapal
Tidak (Non Profitable)
Analisis Penilaian Investasi
Pengelolaan Penyelenggaraan Pemerintah/Badan Usaha
Dikelola Pemerintah/ Model Kerja sama Lain yang Memungkinkan
Ya (Profitable)
Kegiatan kenavigasian yang dapat dilakukan kerja sama dengan pihak swasta
Benchmarking dengan negara lain
Model-Model Kerja sama Pemerintah dan Swasta
analisis keuntungan dan kelemahan jika kegiatan kenavigasian dilakukan kerja sama dengan pihak swasta ditinjau dari berbagai kriteria kelembagaan, ekonomi dan finansial, produk layanan, serta prosedur dan mekanisme pelayanan
REKOMENDASI Pola penyelenggaran Kenavigasian di Indonesia Gambar 2: Alur Pikir Studi
6
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Alur pikir studi dimulai dengan mengidentifikasi kegiatan kenavigasian, kemudian mnginventarisasi kondisi dan pola penyelenggaraan navigasi di Indonesia saat ini. Setelah itu dihitung jumlah demand atas pengggunaan atau pemanfaatan kegiatan kenavigasian serta melakukan proyeksi demand dengan melihat data kunjungan kapal di pelabuhan. Jika demand sudah didapatkan maka dapat dihitung kemungkinanan pendapatan dari jasa kenavigasian. Jika memang dari hasil perhitungan diperkirakan kegiatan dari kenavigasian menguntungkan dan dapat dikomersialkan maka kerja sama pemerintah dengan swasta dapat dilaksanakan, kemudian dianalisis lebih lanjut model kerja sama yang sesuai. Di analisis juga keuntungan dan kelemahan jika kegiatan kenavigasian dilakukan kerja sama antar pemerintah dengan swasta dengan melakukan juga benchmarking dan analisis deskriptif komparatif dengan negara lain. Analisis keuntungan dan kelemahan ditinjau dari kriteria kelembagaan, ekonomi dan finansial, produk layanan, serta prosedur dan mekanisme pelayanan. Sehingga tersusunlah rekomendasi pola penyelenggaran kenavigasian yang diharapkan dapat lebih efektif dan efsien.
2.
Metoda Pendekatan Dalam proses analisis dan pembahasan studi pengembangan pola penyelenggaraan kenavigasian di Indonesia, agar lebih terarah pola pengembangan dan penyelenggaraannya akan dilakukan dengan metode analisis data, yaitu : a.
Analisis Benchmarking Definisi Patok Duga (Benchmarking) : 1) Gregory H. Watson
⇒ Bencmarking sebagai pencarian secara
berkesinambungan dan penerapan secara nyata praktik-praktik yang lebih baik yang mengarah pada kinerja kompetitif unggul; 2) David Kearns (CEO dari Xerox)
⇒ Benchmarking adalah suatu
proses pengukuran terus-menerus atas produk, jasa dan tata cara kita terhadap pesaing kita yang terkuat atau badan usaha lain yang dikenal sebagai yang terbaik;
Ringkasan Studi (Executive Summary)
7
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
3)
IBM
⇒ Benchmarking merupakan suatu proses terus-menerus
untuk menganalisis tata cara terbaik di dunia dengan maksud menciptakan dan mencapai sasaran dan tujuan dengan prestasi dunia; 4) Teddy Pawitra ⇒ Bencmarking sebagai suatu proses belajar yang berlangsung secara sisitematis dan terus-menerus dimana setiap bagian dari suatu perusahaan dibandingkan dengan perusahaan yang terbaik atau pesaing yang paling unggul; 5) Goetsch dan Davis ⇒ Benchmarking sebagai proses pembanding dan pengukuran operasi atau proses internal organisasi terhadap mereka yang trbaik dalam kelasnya, baik dari dalam maupun dari luar industri Dari
definisi
diatas
dapat
dikatakan
bahwa
benchmarking
membutukan kesiapan “Fisik” dan “Mental”. Secara “Fisik” karena dibutuhkan kesiapan sumber daya manusia dan teknologi yang matang untuk melakukan benchmarking secara akurat. Sedangkan secara “Mental” Adalah bahwa pihak manajemen perusahaan harus bersiap diri bila setelah dibandingkan dengan pesaing, ternyata mereka menemukan kesenjangan yang cukup tinggi. Dari berbagai definisi diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan (Pawitra, 1994, p.12), yaitu : 1) Benchmarking merupakan kiat untuk mengetahui tentang bagaimana dan mengapa suatu perusahaan yang memimpin dalam suatu industri dapat melaksanakan tugas-tugasnya secara lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya; 2) Fokus dari kegiatan benchmarking diarahkan pada praktik terbaik dari perusahan lainnya. Ruang lingkupnya makin diperluas yakni dari produk dan jasa menjalar kearah proses, fungsi, kinerja organisasi, logistik, pemasaran, dll. Benchmarking juga berwujud perbandingan yang terus-menerus, jangka panjang tentang praktik dan hasil dari perusahaan yang terbaik dimanapun perusahaan itu berada;
8
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
3) Praktik banchmarking berlangsung secara sistematis dan terpadu dengan praktik manajemen lainnya, misalnya TQM, corporate reengineering, analisis pesaing, dll; 4) Kegiatan benchmarking perlu keterlibatan dari semua pihak yang berkepentingan, pemilihan yang tepat tentang apa yang akan dibenchmarking-kan, pemahaman dari organisasi itu sendiri, pemilihan mitra yang cocok dan kemampuan untuk melaksanakan apa yang ditemukan dalam praktik bisnis. Secara umum manfaat yang diperoleh dari benchmarking dapat dikelompokkan menjadi (Ross, 1994 pp.239-240) : 1) Perubahan Budaya memungkinkan perusahaan untuk menetapkan target kinerja baru yang realisitis berperan meyakinkan setiap orang dalam organisasi akan kredibilitas target; 2) Perbaikan Kinerja membantu perusahan mengetahui adanya gap-gap tertentu dalam kinerja dan untuk memilih proses yang akan diperbaiki; 3) Peningkatan Kemampuan Sumber Daya Manusia Memberikan dasar bagi pelatihan Karyawan menyadari adanya gap antara yang mereka kerjakan dengan apa yang dikerjakan karyawan lain diperusahaan lain. Keterlibatan karyawan dalam memecahkan permasalahan sehingga karyawan mengalami peningkatan kemampuan dan keterampilan EVOLUSI KONSEP BENCHMARKING. Menurut Watson (dalam Widayanto, 1994), konsep benchmarking sebenarnya telah mengalami setidaknya lima generasi, yaitu Reverse Engineering dalam tahap ini dilakukan perbandingan karakteistik produk, fungsi produk dan kinerja terhadap produk sejenis dari pesaing (Competitive Benchmarking). Selain melakukan benchmarking terhadap karakteristik produk, juga melakukan benchmarking terhadap proses yang memungkinkan produk yang dihasilkan adalah produk unggul Process Benchmarking. Memiliki lingkup yang lebih luas dengan anggapan dasar bahwa beberap proses bisnis perusahaan terkemuka yang sukses memiliki kemiripan dengan perusahaan yang akan melakukan benchmarking.
Ringkasan Studi (Executive Summary)
9
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Strategic Benchmarking merupakan suatu proses yang sistematis untuk mengevaluasi alternatif, implementasi strategi bisnis dan memperbaiki kinerja dengan memahami dan mengadaptasi strategi yang telah berhasil dilakukan oleh mitra eksternal yang telah berpartisipasi dalam aliansi bisnis membahas tentang hal-hal yang berkitan dengan arah strategis jangka panjang. Global Benchmarking Mencakup semua generasi yang sebelumnya dengan tambahan bahwa cakupan geografisnya sudah mengglobal dengan membandingkan terhadap mitra global maupun pesaing global.
b. Analisis Deskriptif Komparatif Analisis deskriptif komparatif adalah analisis yang bersifat memadukan atau membandingkan hasil penilaian terhadap kondisi eksisting dengan kondisi ideal yang seharusnya diterapkan. Menurut Sujarwo (2001), pendekatan deskriptif merupakan penelitian yang berpola menggambarkan apa yang ada di lapangan dan mengupayakan penggambaran data, terlepas apakah data itu kuantitatif atau kualitatif. Analisis deskriptif komparatif digunakan untuk memadukan atau membandingkan hasil penilaian terhadap kondisi eksisting pemberian izin yang ada saat ini dengan kondisi ideal yang seharusnya diterapkan.
c.
Model Peramalan Dalam meramalkan, pada dasarnya terdapat dua metode yang sering digunakan, yaitu metode kuantitatif dan metode kualitatif. 1) Metode Kuantitatif Metode kuantitatif dapat digunakan bila terdapat informasi masa lalu dalam bentuk kuantitas dan mengamsumsikan bahwa pola data masa lalu yang digunakan untuk meramalkan akan terjadi juga di masa yang akan datang. Terdapat dua metode yang termasuk kedalam kelompok ini. a)
10
Metode time series
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Metode Time Series didasarkan pada nilai suatu variabel masa lalu dimana tujuan dari metode ini adalah menemukan pola dari rangkaian data masa lalu untuk kemudian diekstrapolasikan pada masa mendatang. Dalam kelompok metode ini adalah Metode Box Jenkins, Metode smoothing, dan metode proyeksi dengan Regresi. b)
Metode kausal Metode Kausal atau korelasi dimana suatu variabel, diramalkan berdasarkan hubungannya dengan variabel lain yang diperkirakan mempengaruhi. Dalam kelompok metode ini adalah Metode regresi, Model Ekonometri dan Model Input – Otput.
2) Metode Kualitatif Dalam metode kualitatif tidak diperlukan data, tetapi yang terpenting untuk meramalkan adalah masukan berupa pola pikir, penilaian dan pengetahuan yang terkumulasi. Metode kualitatif terbagi dua kelompok, yaitu Metode Eksploratori dan Metode Normatif. a)
Metode Eksploratori Dimulai dari masa lalu dan sekarang, ke masa datang dengan cara heuristik dan mencoba mencari semua kemungkinan yang ada. Dalam kelompok metode ini adalah metode delphi, penelitian morfologi, dan lain – lain.
b)
Metode Normatif dimulai dari masa mendatang dengan menentukan tujuan dan sasaran, kemudian bergerak mundur untuk melihat apakah tujuan dan sasaran tadi dapat dicapai berdasarkan kendala yang ada. Dalam kelompok metode ini adalah matriks keputusan dan analisis sistem.
Ringkasan Studi (Executive Summary)
11
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
d. Model Analisis Regresi Linier Analisis regresi adalah suatu metode khusus untuk memperoleh suatu hubungan matematis dengan mengasumsikan berlakunya suatu jenis hubungan tertentu, yaitu linier di dalam parameter yang belum diketahui. Parameter – parameter yang belum diketahui tersebut kemudian diduga di bawah asumsi-asumsi lain dengan bantuan data yang tersedia sehingga diperoleh persamaannya. Manfaat persamaan yang diperoleh itu dapat diukur, dan pemeriksaan dapat dilakukan terhadap asumsi – asumsi yang mendasari pendugaan tadi untuk dilihat apakah asumsi – asumsi itu tampaknya dapat diterima atau tidak.
e.
Metode Penilaian Investasi Ada beberapa motode penilaian proyek investasi dalam kegiatan bisnis sehari-hari. Metode tersebut antara lain Payback Period (PP), Net Present Value (NPV), dan Internal Rate of Return (IRR). 1) Payback Period Metode ini merupakan suatu teknik penilaian investasi yang secara naif mampu memberikan informasi tentang kapan suatu modal yang ditanam bisa kembali. Apabila proceeds setiap periode sama jumlahnya, PP dari suatu investasi dapat dihitung dengan cara membagi besarnya investasi dengan besarnya proceeds periode tersebut. Andaikata proceeds setiap periode selalu berubah – ubah, PP suatu investasi dihitung dengan menambah proceeds. Payback Period =
Jumlah Investasi × 1 Tahun Jumlah Pr oceeds
2) Net Present Value Melihat kelemahan PP, metode Net Present Value ini mencoba mengatasi kelemahan PP tersebut dengan memperhitungkan nilai uang. Dengan mengalihkan proceeds dengan discount factor pada tingkatan tertentu maka akan diperoleh Present Value (PV) proceeds pada
12
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
periode yang bersangkutan, kemudian dikurangi jumlah dana yang dikeluarkan (outlays) atau investasi yang dilakukan. Dengan rate of return (ROR) yang diinginkan, usulan investasi memberikan hasil PV proceeds yang lebih besar pada PP outlaysnya sehingga NPV bertanda positif. Tanda positif memberikan implikasi bahwa usulan investasi dapat diterima. Jika proceedsnya selalu sama dalam periode investasi, maka angka DF (Discount Factor) bisa dijumlahkan untuk memudahkan perhitungan PV proceeds. Perhitungan NPV ini mirip dengan perhitungan profitability index (PI). Hanya saja dalam perhitungan PI, PV proceeds dengan PV outlays. Diterima tidaknya usulan investasi adalah bergantung pada hasil PI. Jika PI > 1, usulan investasi diterima. Jika tidak, usulan investasi tersebut ditolak. PI =
PV Pr oceeds PV outlays
Secara matematis, metode NPV ini bisa didefinisikan sebagai berikut : NPV =
S1 S2 S3 Sn + + +L+ − Io 2 3 1 + k (1 + k ) (1 + k ) (1 + k )n
atau NPV =
n
St
∑ (1 + k ) k =1
t
− Io
dengan : St
= Kas masuk netto pada akhir periode t;
Io
= Investasi awal (outlays);
K
= Tingkat diskonto, misalnya minimum rate of return yang diinginkan saat investasi;
N
= Lama proyek biasanya dalam periode tahun.
3) Internal rate of Return
Ringkasan Studi (Executive Summary)
13
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Metode IRR ini disebut juga Yield Method. Sebagaimana NPV, metode ini juga memperhatikan nilai uang. Secara ringkas rumusnya adalah : IRR = P1 − C1
(P2 − P1 ) (C2 − C1 )
dengan : IRR = internal rate of return yang dicari; P1
= tingkat bunga (ROR) ke 1;
C1 = NPV ke 1;
P2
= tingkat bunga (ROR) ke 2;
C2 = NPV ke 2.
Besarnya tingkat bunga bisa diambil secara sembarang. Hasil IRR ini akan memberikan implikasi layak tidaknya investasi yang dilakukan. Mekanisme yang dilakukan adalah juga melakukan perhitungan NPV terlebih dahulu sebelum dimasukkan dalam rumus di atas. Jika besarnya IRR sudah ditemukan, kemudian tingkat IRR diterapkan untuk mencari NPV. Seandainya NPV bertanda positif, ini berarti investasi layak dilakukan. Demikian sebaliknya. Biasanya IRR dan NPV memberi hasil yang sama dalam penaksiran suatu proyek. Cara lain yang juga mudah untuk menerapkan hasil IRR dalam dunia bisnis adalah membandingkan dengan tingkat bunga simpanan. Jika IRR lebih besar tingkat suku bunga simpanan, usulan investasi adalah layak diteruskan. Kelebihan metode IRR : Beberapa kelebihan metode IRR, adalah : a) Tidak mengabaikan aliran kas selama periode investasi; b) Memperhitungkan nilau waktu uang (time value of money); c) Hasilnya adalah persentase, sehingga pengelola investasi mampu memperikrakan proyek sewaktu tingkat bunga tidak diketahui secara pasti atau berubah-ubah. Kelemahan metode IRR :
14
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Beberapa kelemahan metode IRR, adalah : a) Memerlukan perhitungan biaya modal sebagai batas minimal dari nilai yang mungkin dicapai; b) Tidak membedakan besarnya proyek dan umurnya proyek; c) Metode ini berasumsi bahwa aliran kas masuk dapat diinvestasikan kembali dengan tingkat bunga sama dengan IRR.
C. PENGUMPULAN DATA 1.
Metode Pengumpulan Data Sekunder Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan serta data-data yang diperoleh dari Direktorat Kenavigasian dan Distrik Kenavigasian Ditjen Perhubungan Laut meliputi: a.
Dokumen kepustakaan dan bahan-bahan yang terkait dengan lingkup penelitian, dan pengumpulan informasi tentang jumlah dan kecukupan serta kehandalan menara suar, rambu suar, pelampung suar, tanda suar, anak pelampung, kapal kenavigasian, stasiun radio pantai, dan jumlah sumber daya manusia.
b.
Data dan informasi mengenai jumlah dan kebutuhan SBNP, telkompel, serta perencanaan dan pengembangan kenavigasian dimasa yang akan datang.
c.
Data mengenai jumlah kunjungan kapal.
d.
Data
biaya pengadaan, pengoperasian, dan pemeliharaan SBNP,
telkompel,pemanduan,alur pelayaran. e.
Data pelabuhan yang masuk pada tiap-tiap distrik navigasi.
f.
Kemudian akan dilakukan survei kepustakaan yang mencakup kebijakan pemerintah yang berkaitan penyelenggaraan kenavigasian saat ini.
g.
Di samping itu berupaya untuk sedapat mungkin melakukan benchmarking dengan pola penyelenggaraan kenavigasian di Jepang sebagai bahan
Ringkasan Studi (Executive Summary)
15
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
pembanding. Selanjutnya, dilakukan langkah-langkah
komprehensif
dengan melihat aspek-aspek terkait dengan obyek penelitian. Selanjutnya dipadukan dengan peraturan perundang-undangan dalam rangka membuat rekomendasi sebagai bahan pertimbangan pimpinan untuk menyusun pola penyelenggaraan kenavigasian.
2.
Metode Pengumpulan Data Primer Data primer berupa kuesioner yang diisi oleh responden. Indikator dan variabel-variabel
yang
digunakan
meliputi
kegiatan-kegiatan
dalam
kenavigasian antara lain : biaya pengadaan, pengoperasian, dan pemeliharaan peralatan-peralatan kenavigasian. Tabel 1: Kebutuhan Data
No
Kebutuhan Data
Responden
Kuesioner 01 Data terkait jumlah SBNP, kapal kenavigasian, stasiun 1
2
radio pantai, dan jumlah sumber daya manusia.
Dit. Navigasi
Pelabuhan yang masuk pada wilayah kerja tiaptiap Disnav Data Kecukupan dan Kehandalan menara suar,
3
Dit. Navigasi
Data dan informasi mengenai perencanaan dan pengembangan kenavigasian dimasa yang akan datang. Berupa 5
Disnav
rambu suar, pelampung suar, tanda suar, anak pelampung, kapal kenavigasian, stasiun radio pantai.
4
Disnav
pertanyaan-pertanyaan
perngadaaan,
pengoperasian,
mengenai dan
Disnav Dit. Navigasi
biaya
pemeliharaan
peralatan kenavigasian serta pengenaan tarif atas
Disnav Dit. Navigasi
penggunaan peralatan kenavigasian.
16
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
No
Kebutuhan Data
Responden
Kuesioner 02 1
Data jumlah kunjungan kapal di Pelabuhan yang masuk pada wilayah kerja masing-masing Disnav Berupa
pertanyaan-pertanyaan
perngadaaan, 2
pengoperasian,
mengenai dan
Otoritas Pelabuhan/Adpel
biaya
pemeliharaan
pemanduan, alur pelayaran serta pengenaan tarif atas pemanfaatan jasa pemanduan dan pemanfaatan alur
Otoritas Pelabuhan/Adpel
pelayaran.
D. ANALISIS DAN PEMBAHASAN 1.
Kecukupan dan Keandalan SBNP Jumlah SBNP dari tahun 2005 sampai dengan 2009 dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2 : Jumlah Sarana Bantu Kenavigasian Tahun 2005 s.d 2009 JUMLAH SARANA BANTU KENAVIGASIAN TAHUN (Unit)
2005
2.867
2006
2.916
2007
3.110
2008
3.196
2009
3.211
Sumber : Direktorat Kenavigasian
Jumlah Sarana Bantu Navigasi Pelayaran yang beroperasi pada posisi sampai dengan Desember 2011 terdiri dari milik Ditjen Hubla sebanyak 2.124 unit dan Non Ditjen Hubla sebanyak 1.192 unit, yang terdiri dari :
Ringkasan Studi (Executive Summary)
17
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia Tabel 3: Jumlah Sarana Bantu Kenavigasian Pada Posisi S/D Desember 2011
NO
J E N I S
1.
Menara Suar
2.
Rambu Suar
3.
DJPL
NON
JUMLAH
DJPL
278
-
278
1.284
641
1.925
Pelampung Suar
363
463
826
4.
Rambu Tanda Sang
149
69
218
5.
Anak Pelampung
50
19
69
2.124
1.192
3.316
JUMLAH Sumber : Direktorat Kenavigasian
Kondisi tingkat keandalan dan kecukupan SBNP adalah sebagai berikut: a.
Tingkat Kecukupan SBNP Panjang garis pantai Indonesia : 41.628 mil laut (data DISHIDROS TNI AL). sebelum dikurangi P. Sipadan dan P. Ligitan (belum ada keputusan batas wilayah) Luas Perairan Indonesia : ± 5.877.879 KM2. (Dishidros TNI AL. 1997) Formula tingkat kecukupan SBNP Fix bersuar, dimana : 1) Suar utama
: 20 NM
2) Suar menengah
: 10 NM
3) Suar pendek
:
6 NM
----------------------------------------------------Jumlah
: 36 :3 = 12 mil
Sehingga setiap 100 mil garis pantai idealnya diperlukan 8 unit SBNP tetap (fixed light), atau ± tiap 12 mil terpasang 1 unit SBNP. Jadi SBNP yang dibutuhkan : 41.628 mil = 3.469 unit
18
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
12 mil Dengan demikian jumlah SBNP tetap (fixed light) sampai dengan TA. 2011 (data terakhir) : Menara Suar
=
278
Rambu Suar
= 1.925 (DJPL :1.284, Non DJPL :641) ––––––––––––––––––––––––––
Total
= 2.203 unit
Jadi tingkat kecukupan SBNP tetap bersuar :
=
2.203 x 100 % = 63.51 % 3.469
b. Tingkat Keandalan SBNP Jumlah SBNP dihitung berdasarkan SBNP bersuar sebagai berikut : Jumlah SBNP Tetap (Fixed light) milik DJPL dan non DJPL sebanyak : 278 + 1.284+ 641 + 363+ 463 = 3.029 Jumlah Hari Kelainan SBNP milik DJPL
= 79.062 Hari .
Adapun prosentasi kelainan SBNP hingga saat ini adalah sebagai berikut :
JumlahHari 79.062 hari = × 100% = 365 hari × ∑ SBNPBersuar 365 × 3029 79 .06 2 h ari × 10 0% = 7.1 5% 1.1 05 .5 85 Jadi tingkat keandalan : 100% - 7,15 % = 92,85% Untuk mencapai kecukupan 100% diperlukan waktu yang lama, hal tersebut dikarenakan pembangunan/pemasangan SBNP sangat lambat oleh karena terbatasnya anggaran pembangunan dan banyaknya komponen peralatan SBNP yang hilang, rusak dan bangunan yang roboh/rusak disebabkan
Ringkasan Studi (Executive Summary)
19
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
termakan usia, perlu mendapatkan perhatian yang serius guna meningkatkan keandalan. Dalam upaya meningkatkan tingkat keandalan Sarana Bantu NavigasiPelayaran, pada tahun 2011 telah merealisasikan program replacement dan rehabilitasi Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP) sebanyak 38 unit dan untuk meningkatkan kecukupan telah dibangun Sarana Bantu Navigasi Pelayaran baru sebanyak 21 unit, maka tingkat pertumbuhan pembangunan SBNP tahun 2011 sebesar 0,95 %. Masih rendahnya tingkat kecukupan dan keandalan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran saat ini, yaitu : Tingkat Kecukupan
: 63,51 %
Tingkat Keandalan
: 92,85 %
Sedangkan standar yang direkomendasikan oleh IALA bahwa Tingkat Keandalan SBNP sebagai berikut : 1) Menara Suar (Light House)
: 99 %
2) Rambu Suar (Light Beacon)
: 99 %
3) Pelampung Suar(Light Buoy)
: 97 %
Standar rata-rata : 1) SBNP tetap (fixed light) bersuar
: 99 %
2) SBNP Apung bersuar
: 97 %
Prosentase tingkat keandalan SBNP pada Bulan Januari sampai dengan Oktober 2010 dapat dilihat pada gambar berikut
20
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Gambar 3 : Keandalan SBNP pada Bulan Januari sampai dengan Oktober 2010
Untuk selanjutnya posisi SBNP terpasang milik Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (DJPL) pada posisi tahun 2010 yang terdiri atas Mensu, Ramsu, dan Pelsu diseluruh wilayah kerja Distrik Navigasi seluruh Indonesia dengan jumlah raya 1.925.
2.
Kecukupan dan Keandalan Telekomunikasi Pelayaran Sarana Telekomunikasi-Pelayaran terdiri dari : a.
Stasiun Radio Pantai (SROP) SROP adalah stasiun darat dalam dinas bergerak pelayaran yang dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu : 1) SROP Ditjen Hubla Sesuai dengan Revisi Peraturan Menteri Perhubungan No. KM. 30 Tahun 2006, tanggal 12 Juni 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Distrik Navigasi, yang di dalamnya ditetapkan klasifikasi Stasiun Radio Pantai (SROP) Ditjenhubla dan Stasiun Vessel Traffic Service (VTS), terdapat beberapa hal yang diusulkan perubahan dan penambahan sebagai berikut : SROP menjadi 148 stasiun (dari 222 Stasiun sebelumnya) dengan pertimbangan adanya pemisahan beberapa stasiun yang operasionalnya
Ringkasan Studi (Executive Summary)
21
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
terbatas dialihkan menjadi Port Communication, yang melayani Dinas Bergerak Pelayaran, yang terbagi atas dua bagian menurut kelengkapan peralatannya, yaitu Global Mariitime Distress and Safety System (GMDSS) dan Non GMDSS. Tahun 2011 ada penambahan SROP di beberapa wilayah, sehingga di akhir Desember 2011 SROP menjadi 155 stasiun. a) SROP GMDSS Secara umum dapat diartikan bahwa SROP ini terdiri dari 3 jenis menurut Area cakupannya dan untuk mencakup wilayah pelayaran Indonesia, dibutuhkan sejumlah SROP yang dilengkapi dengan perangkat yang layak / ideal (sesuai jenis Area : A1, A2 dan A3) : Sesuai dengan Master Plan IMO Tahun 1992, Indonesia harus terpasang 84 SROP yang dilengkapi GMDSS, dengan kata lain Kebutuhan adalah 84 Stasiun dan pada Tahun 2011, SROP yang sudah dilengkapi dengan GMDSS
adalah
sebanyak 68 Stasiun. (1) SROP A1 adalah suatu area dengan cakupan ± 30 NM dengan menggunakan perangkat radio VHF SROP yang dapat menerima dan memancarkan ulang alert DSC dan radio telepon yang dijaga selama 24 jam. (2) SROP A2 adalah suatu area di luar area A1 dengan cakupan ± 200.300 NM dengan menggunakan perangkat radio MF Stasiun
Radio
Pantai
yang
dapat
menerima
dan
memancarkan ulang alert DSC dan radio Teleponi yang dijaga selama 24 jam. (3) SROP A3 adalah suatu area yang tidak termasuk pada are A1, A2 dengan cakupan ± 70º LU – 70º LS dengan menggunakan perangkat radio HF Stasiun Radio Pantai yang dapat menerima dan memancarkan ulang alert DSC dan radio Teleponi yang dijaga selama 24 jam. (Resolusi A. 801 (19) ttg… GMDSS) dan SOLAS, Chapter 11 Radiocomm, Reg.2)
22
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
KEBUTUHAN SROP A1 Idealnya setiap Pelabuhan harus dilengkapi dengan SROP A1 yang dapat mencakup wilayah kerja pelabuhannya dengan VHF DSC Ch. 70. Jumlah Pelabuhan Indonesia adalah 297 lokasi (sesuai Jumlah Adpel/ Kanpel Indonesia KM. 62 dan 63/ 2002) maka Port Communication (termasuk Mandatory IMO) idealnya adalah 300 unit. KEBUTUHAN SROP A2 Berdasarkan IMO Master Plan 1992, perairan Indonesia harus dilengkapi SROP A2 sebanyak 84 unit, sedangkan berdasarkan Ploting oleh Tim JICA dalam Master Plan Study Maritime Telecommunication Tahun 2011 diperoleh jumlah SROP A2 sebanyak 53 unit. KEBUTUHAN SROP A3 Berdasarkan IMO Master Plan 1992 idealnya SROP A3 adalah 12 Unit, dan menurut Ploting oleh Tim JICA dalam Master Plan Study Maritime Telecommunication Tahun 2011 diperoleh jumlah SROP A3 sebanyak 12 Unit. KECUKUPAN SROP GMDSS Kecukupan Sarana Telekomunikasi Pelayaran adalah kebutuhan perangkat radio Stasiun Radio Pantai untuk mencakup Area Pelayaran (Area A1, A2, dan A3) yang dapat berfungsi dan secara
terus-menerus
keselamatan
pelayaran
(H24) yakni
frekuensi 2182,
marabahaya 2187,5;
dan
4207,5;
6215;6312,8414,5; 12577,16804,5 khz. Dengan arti lain bahwa kecukupan SROP adalah prosentase
perbandingan antara SROP A1 terpasang dengan kebutuhan Ideal.
Ringkasan Studi (Executive Summary)
23
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Kecukupan SROP GMDSS A1 adalah sbb : 68 x 100% = 80,95% 84 ∑ SROP A1 terpasang
Kecukupan SROP (%) =
x 100 % ∑ Kebutuhan Ideal
Kecukupan SROP GMDSS A2 adalah sbb : 53 x 100 % = 63,10% 84 Kecukupan SROP GMDSS A3 adalah sbb : 12 x 100 %
= 100%
12 KEANDALAN SROP GMDSS Keandalan SROP adalah prosentase kemungkinan Stasiun Radio Pantai menerima panggilan marabahaya dan keselamatan yang dipancarkan oleh stasiun kapal pada frekuensi marabahaya Internasional. Pengertian keandalan sarana dapat diartikan sebagaimana di bawah ini : “Perbandingan antara jumlah jam jaga dengar nyata pada frekuensi marabahaya internasional dengan jumlah jam jaga dengar
yang
semestinya
pada
frekuensi
marabahaya
Internasional dikali 100 % “.
Keandalan Sarana TELKOMPEL = ∑ SROP terpasang x Jam jaga dengar nyata x 100% ∑ SROP Ideal x 24 jam
24
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Keandalan SROP GMDSS A1 adalah : = (68x24) jam + 16+8 x 100 % = 1.656 jam x 100 % = 82,14% 84 x 24 jam
2.016 jam
Keandalan SROP GMDSS A2 adalah : = (53x24) jam + 16+8 x 100 % = 1.296 jam x 100 % = 64,29 % 84 x 24 jam
2.016 jam
Keandalan SROP GMDSS A3 adalah : = (12x 24) jam +16+8 x 100 % = 312 jam x 100 % = 108,3 % 12 x 24 jam
288 jam
Keandalan ini terlihat masih kurang karena Jam Jaga Dengar Nyata
masih
bervariasi,
(belum
semua
24
jam)
yang
mengakibatkan tingkat keandalan SROP A1 dan A2 masih kecil. Catatan : (jam jaga dengar SROP Sorong = 16 jam, Bintuni = 8 jam)
b) SROP NON-GMDSS Stasiun Radio Pantai Non-GMDSS adalah Stasiun Radio Pantai yang melayani Dinas Bergerak Pelayaran, namun belum dilengkapi dengan peralatan GMDSS. Pelayanan Komunikasi Teresterial yang dimaksud adalah komunikasi terbatas yang menggunakan band frekuensi VHF, MF dan HF. Saat ini jumlah SROP Non GMDSS sebanyak 85 Stasiun. 2) SROP Non Ditjen Hubla SROP Non Ditjen Hubla diadakan dengan tujuan melayani komunikasi radio untuk kepentingan tertentu dan diatur pendiriannya berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan PM. 26 Tahun 2011 pasal 25.
Ringkasan Studi (Executive Summary)
25
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Operasional SROP Non Ditjen Hubla dibawah pembinaan dan pengawasan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dalam hal ini Direktorat Kenavigasian. b.
Stasiun Vessel Traffic Information System (VTIS) Stasiun VTIS yang terealisir sebanyak 11 stasiun hingga tahun 2011 yakni : Tabel 4 : Daftar VTIS Ditjen Hubla Desember 2011
No
STASIUN
LOKASI
VTIS
SROP Klas I Jakarta Radio
1
Jakarta
2
Belawan
3
Surabaya
4
Semarang,
5
Makassar,
6
Teluk Bayur
7
Balikpapan
8
Teluk Bintuni
LNG-Tangguh, Sorong
9
Panjang
SROP Kls III Panjang Radio
10 Lembar
(TX) SROP Klas I Belawan Radio (RX) SROP Klas I Surabaya Radio SROP Klas I Semarang Radio SROP Klas I Makassar Radio SROP Klas I Teluk Bayur Radio SROP Klas I Balikpapan Radio
SROP Kls III Lembar Radio
Wilayah Disnav
Ket
Tg. Priok
VTS Port
Belawan
VTS Port
Surabaya
VTS Port
Semarang
VTS Port
Makassar
VTS Port
Teluk Bayur
VTS Port
Samarinda
VTS Port
Sorong
VTS Port
Tg. Priok
VTS Port
Benoa
VTS Port VTS
11 Batam
SROP Kls III Batam Radio
Tg. Pinang
Malacca Strait
26
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Kebutuhan VTIS adalah 51 Stasiun. Kecukupan VTIS adalah presentasi jumlah stasiun terpasang dibagi Jumlah kebutuhan Stasiun (saat ini terpasang 11 stasiun) dengan formula seperti di bawah ini. Kecukupan (%)
Kecukupan (%) = 11 stasiun
=
Jlh terpasang Jlh kebutuhan
x
x
100 %
100 % = 21,57 %
51 stasiun Keandalan VTIS Keandalan VTIS adalah presentasi jumlah terpasang dikali Jam Jaga dengan nyata dibagi jumlah stasiun terpasang kali 24 jam dengan formula sbb :
Keandalan (%) =
Jlh terpasang x Jam jaga dengar nyata x 100% Jlh terpasang x 24 Jam jaga dengar
Keandalan (%) = 11 x 24 jam x 100 % = 264 x 100% = 21,56% 51 x 24 jam c.
1.224
Ship Reporting System (SRS) Pada tahun 2011 stasiun SRS sedang dalam tahap pengiriman peralatan dan proyek ini direncanakan akan selesai pada TA. 2013.
3.
Kecukupan dan Keandalan Kapal Negara Kenavigasian Pada Posisi Desember 2011, Armada Kapal Negara Kenavigasian berjumlah
64 kapal pada 25 Unit Pelaksana Teknis, Direktorat Kenavigasian dengan komposisi : a.
Buoy Tender Vessel (Kapal Induk Perambuan)
:
b.
Aids Tender Vessel (Kapal Bantu Perambuan)
: 44 kapal
Ringkasan Studi (Executive Summary)
8 kapal
27
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
c.
Inspection Boat (Kapal Pengamat Perambuan)
: 12 kapal
Catatan : a.
Buoy Tender Vessel (Kapal Induk Perambuan) adalah kapal perambuan yang mempunyai tugas pemasangan, pengangkutan, perawatan SBNP terutama yang berukuran besar serta gilir tugas petugas menara suar.
b.
Aids Tender Vessel
(Kapal Bantu Perambuan) adalah kapal perambuan
yang mempunyai tugas pemasangan, pemeliharaan pengangkutan, pengamanan SBNP serta gilir tugas petugas menara suar. c.
Inspection Boat (Kapal Pengamat Perambuan) adalah kapal perambuan yang mempunyai tugas pemantauan SBNP, penjemputan dan perawatan darurat SBNP.
d.
Survey Vessel (Kapal Survey Kenavigasian) adalah kapal perambuan yang mempunyai
tugas
survei
hidrografi,
observasi,
dan
oceanografi,
pengamatan laut dan pengecekan kalibrasi. Sedangkan untuk jumlah kapal negara kenavigasian dan kondisi teknisnya pada awal tahun 2012 adalah sebagai berikut.
Gambar 4 : Kondisi Teknis Kapal Negara Kenavigasian
28
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Untuk kelas kapal kenavigasian adalah sebagai berikut, untuk kapal kelas I sebanyak 28 unit, kapal kelas II sebanyak 3 unit, kapal kelas III sebanyak 30 unit, kapal kelas IV sebanyak 3 unit.
Gambar 5 : Jumlah Kapal Negara Kenavigasian Menurut Kelas Kapal
Sedangkan untuk jenis kapal kenavigasian diantaranya adalah kapal induk perambuan, kapal pengamat perambuan serta kapal bantu perambuan.
Gambar 6 : Jumlah Kapal Negara Kenavigasian Menurut Jenis Kapal
Ringkasan Studi (Executive Summary)
29
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Upaya untuk meningkatkan keandalan operasional Kapal Negara Kenavigasian dilaksanakan sebagai berikut : a.
Memaksimalkan pelaksanaan perawatan tahunan, perawatan besar dan rekondisi armada Kapal Negara Kenavigasian;
b.
Bagi kapal yang belum berumur 40 tahun dan kondisi teknis Kapal Negara Kenavigasiannya < 60 %, memperpanjang masa tugas operasional kapal dengan cara rekondisi teknis, namun hal ini memerlukan biaya yang sangat besar;
c.
Scrapping bagi kapal-kapal yang berumur diatas 40 tahun dan kondisi teknis di bawah 40 % atau kapal tidak laik operasi;
d.
Relokasi pemangkalan kapal dalam rangka efisiensi dan efektivitas armada kapal disesuaikan dengan beban kerja di wilayah kerja yang bersangkutan;
e.
Peremajaan dengan pengadaan kapal baru sesuai kebutuhan operasional;
f.
Perlu adanya peningkatan Kompetensi Pelaut Anak Buah Kapal Negara Kenavigasian, secara berkesinambungan melalui Program Diklat Teknis Profesi Kepelautan dan Pemutakhiran Ijazah Pelaut sesuai STCW 1995.
4.
Sarana Penunjang Operasional Sarana penunjang dan Laju Pertumbuhan Anggaran Pemeliharaan Fasilitas Pangkalan Kenavigasian yang ada pada saat ini diharapkan dapat meningkatkan kegiatan operasional kenavigasian, selain dari anggaran APBN juga dianggarkan dari dana PNBP dan anggaran pembangunan untuk pengadaan sarana penunjang. Kesediaan Sarana Penunjang saat ini dilihat dari Kecukupan dan Kondisi teknis Fasilitas Pangkalan Kenavigasian Posisi Desember 2011 adalah sebagai berikut :
30
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia Tabel 5 : Kecukupan dan Kondisi Teknis Sarana Penunjang
KECUKUPAN NO
FASILITAS
(%)
KONDISI TEKNIS (%)
Tahun 2011
Tahun 2011
1.
Gedung Kantor
76.38
83.80
2.
Gedung Bengkel
57.49
84.57
3.
Dermaga
68,19.
82.53
4.
Gudang
39.07
74.29
5.
Gudang Terbuka
18.08
57.50
6.
Taman Pelampung
35.19
64.80
Upaya untuk meningkatkan keandalan operasional Kapal Negara Kenavigasian dilaksanakan sebagai berikut : a.
Memaksimalkan pelaksanaan perawatan tahunan, perawatan besar dan rekondisi armada Kapal Negara Kenavigasian;
b.
Bagi kapal yang belum berumur 40 tahun dan kondisi teknis Kapal Negara Kenavigasiannya < 60 %, memperpanjang masa tugas operasional kapal dengan cara rekondisi teknis, namun hal ini memerlukan biaya yang sangat besar;
c.
Scrapping bagi kapal-kapal yang berumur diatas 40 tahun dan kondisi teknis di bawah 40 % atau kapal tidak laik operasi;
d.
Relokasi pemangkalan kapal dalam rangka efisiensi dan efektivitas armada kapal disesuaikan dengan beban kerja di wilayah kerja yang bersangkutan;
e.
Peremajaan dengan pengadaan kapal baru sesuai kebutuhan operasional;
f.
Perlu adanya peningkatan Kompetensi Pelaut Anak Buah Kapal Negara Kenavigasian, secara berkesinambungan melalui Program Diklat Teknis Profesi Kepelautan dan Pemutakhiran Ijazah Pelaut sesuai STCW 1995.
Ringkasan Studi (Executive Summary)
31
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
5.
Sumber Daya Manusia. Sumber daya Operasional Kenavigasian terdiri dari : a.
Tenaga Sarana Bantu Navigasi-pelayaran;
b.
Tenaga Stasiun Radio Pantai;
c.
Tenaga Bengkel;
d.
Tenaga Pelaut;
e.
Tenaga Pengamatan Laut.
Keberhasilan operasional Distrik Navigasi tidak terlepas dari sumber daya manusia yang ada, untuk menunjang operasional tersebut telah dilaksanakan pendidikan/kursus keterampilan untuk meningkatkan keahlian sumber daya manusia tersebut, walaupun yang telah dilaksanakan saat ini masih belum memadai, karena kurangnya anggaran yang tersedia sehingga
yang
dilaksanakan saat ini sesuai skala prioritas.
6.
Program Kenavigasian Saat Ini Program kenavigasian menurut Raker Ditjen Hubla pada tahun 2012 diantaranya adalah: a.
Penataan Regulasi 1) Inventarisasi regulasi nasional dan internasional. 2) Evaluasi kebutuhan revisi terhadap regulasi yang ada serta kebutuhan penetapan regulasi baru. 3) Tindaklanjut temuan dalam operasional kenavigasian : a) Tidak dilaksanakannya pelaporan Noon Position; b) Penyampaian berita MAYDAY tidak dilaksanakan melalui SROP; c) Fungsi Cable Master tidak berjalan semestinya; d) Tidak dilaksanakannya pemberitahuan ke SROP oleh kapal-kapal yang keluar masuk pelabuhan;
32
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
e) Pemeriksaan perangkat radio diatas kapal kerap tidak dapat dilaksanakan oleh aparat Ditjen Hubla. 4) Inventarisasi pemanfaatan sarana dan prasarana kenavigasian yang melibatkan pihak ketiga, karena keterbatasan dana Pemerintah dan kebijakan “PPP (Public Private Partnership)” yang telah dilakukan Pemerintah saat ini untuk pembangunan infrastruktur sebagai payung regulasi. b.
Penataan Kelembagaan / Organisasi 1) Revisi KM 30 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Distrik Navigasi. 2) Revisi KM 67 dan 68 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja BTKP dan BKKP. 3) Review struktur kelompok fungsional Distrik Navigasi agar tidak terjadi tumpang tindih dengan SEKSI dan BIDANG,dengan tetap mempertimbangkan prinsip garis komando antara KADISNAV dengan kelompok fungsional. Tindaklanjut
: pembentukan / penyempurnaan Juklak dan Juknis.
4) Pengembangan fungsi kehumasan pada kantor Distrik Navigasi. Tindaklanjut : mengkaji kemungkinan penempatan Humas pada unit Tata Usaha. 5) Segera mewujudkan peran / fungsi pengamatan laut dalam penataan alur pelayaran menindaklanjuti UU.17/2008 serta PP.5/2010 yang memberi tanggungjawab besar dalam mewujudkan keselamatan pelayaran melalui penataan alur pelayaran di laut. Tindaklanjut : mengkaji pembentukan Sub Direktorat Penataan Alur
Pelayaran,
pembentukan
kelompok
Pengamatan Laut hingga Disnav Kls.III, dan melengkapi sarana prasarana.
Ringkasan Studi (Executive Summary)
33
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
c.
Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia 1) Peningkatan serta pembinaan SDM Kenavigasian telah terprogram sesuai kebutuhan namun perlu ditingkatkan pelaksanaannya melalui penyediaan anggaran yang cukup. 2) Perlu adanya penekanan terhadap fungsi mualim untuk dapat melaksanakan tugas-tugas markonis yang saat ini keberadaannya diatas kapal telah dihapuskan. 3) Perlu ditingkatkan frekuensi maupun volume penyelenggaraan diklat SBNP tingkat terampil. 4) Perlu diantisipasi ketentuan dalam surat DJA yang mengatur besaran uang makan hanya untuk lokasi terpencil, antara lain melalui klasul dalam Peraturan Menteri maupun SK Dirjen Hubla yang akan melengkapinya. 5) Membedakan tunjangan untuk ABK aktif dengan tunjangan penunpang dinas agar tidak mengakibatkan keengganan teknisi untuk berlayar. 6) Perlu disampaikan peraturan-peraturan baru ke seluruh UPT pada kesempatan pertama serta perlu adanya sosialisasi secara menyeluruh oleh Bagian Keuangan terkait ketentuan penerapan uang makan yang berlaku agar penerapannya di seluruh UPT dapat dilaksanakan secara seragam. 7) SBU tahun 2011 tidak mengatur uang makan untuk seluruh jabatan sebagaimana SBU 2010. Sesditjen Hubla Cq. Kabag Keuangan diharapkan untuk dapat mengambil langkah pembinaan agar penerapan uang makan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan dapat dilaksanakan dengan semestinya. 8) Perlu dievaluasi penerapan PNBP yang akan diberlakukan serta draft SK Dirjen Hubla terkait dengan mempertimbangkan permasalahan yang akan muncul dalam penerapan sistem penyetoran PNBP serta ketentuan penggunaan yang diatur dalam draft SK dimaksud.
34
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
9) Berdasarkan evaluasi terhadap anggaran rutin RKAKL 2012, terdapat ketimpangan besaran jasa uang rambu yang sangat signifikan antara distrik navigasi dan disamping itu penggunaan hasil
penerimaan
PNBP
tidak
optimal
dalam
menunjang
operasional Distrik Navigasi selaku UPT yang bertanggungjawab atas pelayanan jasa perambuan yang menjadi dasar pemungutan PNBP Uang Rambu. d.
Pengembangan Sarana Prasarana 1) Peningkatan disain / modifikasi kapal negara kenavigasian kelas III antara lain guna meningkatkan fungsi crane dalam mendukung operasional di lapangan. 2) Melengkapi armada kapal negara kenavigasian pada distrik navigasi dengan kapal cepat untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi operasional khususnya untuk penanganan hal-hal darurat, pengamanan SBNP, pengejaran pelaku pencurian / perusakan SBNP, serta operasional kenavigasian pada wilayah perairan pelabuhan. 3) Penempatan speed boat dan jetty pada instalasi menara suar sesuai dengan PM 25 Tahun 2011 tentang SBNP. 4) Mewujudkan program pengembangan laboratorium & simulator kenavigasian mengingat urgensinya terhadap pengembangan/ peningkatan/penyiapan pelaksanaan
tugas
dan
SDM
berkualitas
tanggungjawab
dalam
kenavigasian
rangka yang
berkembang sebagaimana diatur dalam UU No 17 Tahun 2008 dan PP No. 5 Tahun 2010. 5) Mengembangkan fungsi Menara Suar pada lokasi tertentu sehingga juga berfungsi sebagai land mark, tempat pengamatan lalu lintas kapal, penunjuk arah malam dan siang hari . 6) Peningkatan kondisi/kelayakan rumah jaga menara suar dan melengkapi dengan peralatan pengolah air asin menjadi air tawar
Ringkasan Studi (Executive Summary)
35
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
guna meningkatkan kelayakan bagi hunian PMS/TMS sehingga selanjutnya akan berdampak pada peningkatan keandalan SBNP. 7) Pembangunan fasilitas efisiensi pemanfaatan energi (hibrid) yang selama ini hanya menggunakan genset dimungkinkan menggunakan tenaga solar cell, arus, power wind. Melengkapi kebutuhan kendaraan operasional roda empat pada distrik navigasi sebagai alat angkut sarana dan prasarana Kenavigasian melalui darat. 8) Tindaklanjut permasalahan stasiun VTS Bintuni dengan mencari alternatif yang terbaik, antara lain dengan mempertimbangkan pelimpahan VTS Bintuni kepada PT. Tangguh sebagi bentuk penyertaan modal pemerintah, memindahkan lokasi stasiun VTS Bintuni ke lokasi milik Ditjen Hubla untuk selanjutnya dilakukan penyempurnaan
guna
operasional
secara
penuh,
menjajaki
kemungkinan penetapan status sewa dengan mengupayakan pencantumannya dalam peraturan PNBP terkait. Untuk maksud tersebut
perlu
dilakukan
Brainstorming
dengan
DJKNL
Kementerian Keuangan. 9) Tindaklanjut penyelesaian permasalahan KN. Miaplacidus dengan mempertimbangkan
prinsip-prinsip
terwujudnya
kesepakatan
penyempurnaan KN. Miaplacidus, aspek hukum dan kontrak, kondisi kemampuan pihak galangan, itikad baik yang telah ditunjukan selama ini serta petunjuk/temuan auditor. e.
Peningkatan Kinerja Pelayanan Publik Menuju Pemerintahan Yang Baik Seiring Dengan Reformasi Birokrasi Penyusunan/penyempurnaan SOP, peningkatan SDM, penguasaan regulasi, materi, kompetensi dalam rangka peningkatan pelayanan perijinan
di
bidang
Kenavigasian
(ijin
pendirian
SBNP
serta
pelaksanaan survei terkait, telekomunikasi pelayaran, pemberian nomor DSI serta penyiaran dalam NTM, pemberian nomor identifikasi AIS bagi kapal-kapal termasuk Kapal Negara Kenavigasian), termasuk meningkatkan infrastruktur SBNP dan Telekomunikasi Pelayaran.
36
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
f.
Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional Mendukung pemberdayaan industri pelayaran nasional dengan pengawasan dan pengendalian melalui peralatan telekomunikasi pelayaran (mendukung azas cabotage) serta melengkapi pelabuhan-pelabuhan singgah rute kapal nasional dengan peralatan keselamatan SBNP dan Telekomunikasi Pelayaran.
g.
Pengembangan Pelabuhan Nasional Mendukung pengembangan pelabuhan nasional dengan pengembangan sarana dan prasarana Kenavigasian disetiap tempat yang telah dibangun dan akan dibangun. Menetapkan alur pelayaran dari dan menuju pelabuhan , mendeklarasikan kedalaman alur pelayaran setiap 6 (enam) bulan sekali termasuk membangun SBNP dan Telekomunikasi Pelayaran untuk menunjang keselamatan pelayaran dari dan menuju pelabuhan.
h.
Peningkatan Keselamatan dan Keamanan Pelayaran Program Peningkatan Keselamatan Pelayaran dilaksanakan melalui percepatan
implementasi
ketentuan
UU.
No.17/2008
dan
PP.
No.5/2010, penerapan teknologi maju, peningkatan kegiatan survey pengamatan laut dan pemetaan, peningkatan kecukupan & keandalan SBNP, Telkompel, GMDSS, VTS, SRS, penetapan routing system, peningkatan fasilitas penunjang operasional melalui program di bidang Kapal Negara Kenavigasian dan Fasilitas Pangkalan Kenavigasian, serta
upaya
peningkatan
anggaran
bagi
program
peningkatan
keselamatan pelayaran. i.
Perlindungan Lingkungan Maritim Program Peningkatan Perlindungan Lingkungan Maritim dilaksanakan melalui penyelesaian program Marine Electronic Highway (MEH), Kerjasama
Peningkatan
Keselamatan
Pelayaran
&
Perlindungan
Lingkungan Maritim di Selat Malaka dan Selat Singapura, Penataan Alur dan
Tata
Ruang
Perairan,
Penetapan
Routeing
System
untuk
meminimalisir potensi marabahaya pelayaran yang dapat mengakibatkan
Ringkasan Studi (Executive Summary)
37
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
pencemaran lingkungan, meningkatkan fungsi pengamatan laut, dengan memperhatikan perkembangan teknologi. j.
Penguatan Konektifitas Antar Pulau Program Penguatan Konektifitas Antar Pulau dilaksanakan melalui upaya pemetaan alur pelayaran antar simpul dan jaringan transportasi laut (antar pulau) melalui implementasi jaringan SBNP dan Telekomunikasi Pelayaran yang andal mencakup seluruh alur pelayaran untuk mendukung program MP3EI.
7.
Isu-Isu terkait dengan Penyelenggaraan Alur Pelayaran Terkait dengan penyediaan alur pelayaran, dalam UU No 17 Tahun 2008 tentang pelayaran disebutkan bahwa tugas dan tanggung jawab Otoritas Pelabuhan diantaranya adalah menyediakan dan memelihara penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur pelayaran dan jaringan jalan. Selain itu juga mengusulkan tarif untuk ditetapkan Menteri atas penggunaan perairan dan/atau daratan, dan fasilitas pelabuhan yang disediakan oleh pemerintah serta jasa kepelabuhanan yang diselenggarakan oleh Otoritas Pelabuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam kondisi tertentu tugas pemeliharaan dapat dilakukan oleh Badan Usaha. Selain itu Badan Usaha juga dapat diikutsertakan dalam pembangunan, pengoperasian,dan pemeliharaan alur pelayaran menuju terminal khusus yang dikelola oleh badan usaha. Biaya pengenaan alur pelayaran mengalami peningkatan setiap tahunnya, sementara anggaran pemerintah terbatas. Sementara di dalam UU nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan dalam PP No 6 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Perhubungan, belum menetapkan pengenaan alur pelayaran sebagai obyek PNBP.
8.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Jasa Kenavigasian Faktor-faktor yang mempengaruhi jasa kenavigasian adalah sebagai berikut:
38
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
a.
Kepadatan lalu lintas angkutan laut di masa datang semakin meningkat;
b.
Dibukanya alur-alur baru baik untuk alur kapal penumpang maupun dibangunnya dermaga baru;
9.
c.
Perkembangan jumlah dan teknologi pelayaran yang semakin meningkat;
d.
Kebijaksanaan Sea Lanes;
e.
Pemberlakuan GMDSS tahun 1999;
f.
Peningkatan aksesibilitas penyelenggaraan jasa transportasi laut;
g.
Perkembangan lingkungan strategis;
h.
Issue Globalisasi (AFTA, NAFTA, dsb.)
Rencana Strategik Kenavigasian a.
Rencana Strategis pembangunan sarana dan prasarana kenavigasian serta penyelenggaraan jasa kenavigasian saat ini didasarkan pada Rencana Strategis Transportasi Laut yang didasarkan pada Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) dalam UU No.25/2000;
b.
Strategi Pokok 1) Mengoptimalkan tingkat kinerja fasilitas kenavigasian; 2) Meningkatkan pelaksanaan peraturan KESPEL; 3) Meningkatkan mutu pelayanan jasa dan produktivitas; 4) Meningkatkan kapasitas fasilitas kenavigasian; 5) Meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM; 6) Meningkatan keterpaduan antar unit; 7) Meningkatkan sistem pembinaan dan pemantapan manajemen operasional; 8) Membakukan struktur organisasi SROP dan bengkel; 9) Mengupayakan sumber pendanaan untuk penyelenggaraan kenavigasian.
Ringkasan Studi (Executive Summary)
39
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
c.
Strategi Fungsional 1) Mengupayakan peningkatan kecukupan dan keandalan SBNP dan telekomunikasi pelayaran. 2) Mengupayakan teknologi tepat guna sesuai perkembangan teknologi saat ini. 3) Mengikutsertakan
BHI
untuk
menyelenggarakan
SBNP
dan
telekomunikasi pelayaran. 4) Mengoptimalkan perawatan fasilitas kenavigasian. 5) Mengoptimalisasikan penggunaan kapal kenavigasian. 6) Meningkatkan jumlah dan kualitas fasilitas pemeliharaan. 7) Melaksanakan pembangunan dan rehabilitasi fasilitas kenavigasian. 8) Melaksanakan pendidikan dan latihan tenaga fungsional kenavigasian. 9) Melaksanakan peninjauan pemangkalan kembali kapal kenavigasian. 10) Kaderisasi
pelaut
guna
mengantisipasi
para
nakhoda
kapal
kenavigasian yang akan datang. 11) Melaksanakan pembinaan dan sosialisasi jasa kenavigasian. 12) Memberlakukan kembali pungutan uang rambu. d.
Strategi di Bidang Sarana Bantu Navigasi Pelayaran 1) Implementasi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kenavigasian sebagai pedoman operasional; 2) Pungutan uang rambu dipungut berdasarkan PP 14 Tahun 2000 tentang kenavigasian khususnya perambuan; 3) Meningkatkan kecukupan dan keandalan sarana bantu navigasi pelayaran melalui pembangunan dan pemeliharaan; 4) Mengupayakan penggunaan teknologi tepat guna dengan mengikuti perkembangan teknologi;
40
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
5) Menyusun skala prioritas lokasi pembangunan sarana bantu navigasi pelayaran; 6) Melaksanakan SID untuk pembangunan SBNP maupun kantor terpadu (Kantor, Bengkel, dermaga, taman pelampung, SROP, dll). e.
Strategi Dalam Rangka Pengembangan Sarana Telekomunikasi Pelayaran 1) Pembakuan struktur organisasi stasiun radio pantai; 2) Pembakuan formasi pegawai stasiun radio pantai; 3) Menyempurnakan Keputusan Menteri Nomor KM.43/PT.307/PHB-87 tentang Penerimaan; 4) Penyelenggaraan telekomunikasi untuk Umum Dalam Dinas Bergerak Pelayaran; 5) Menyusun skala prioritas peningkatan jam kerja stasiun radio pantai; 6) Menyusun skala prioritas penambahan peralatan stasiun radio pantai; 7) Mengupayakan wewenang untuk memberi tindakan hukum terhadap pelanggaran komunikasi radio dinas bergerak pelayaran; 8) Mengupayakan optimalisasi pelaksanaan tagihan jasa telekomunikasi pelayaran; 9) Meningkatkan kecukupan dan keandalan sarana telekomunikasi pelayaran; 10) Meningkatkan kecukupan gedung operasional dan sarana penunjang SROP, terutama SROP GMDSS.
f.
Strategi di Bidang Kapal Negara Kenavigasian 1) Melaksanakan peninjauan kembali dislokasi kapal kenavigasian pada unit pelaksana teknis kenavigasian; 2) Melanjutkan proses penghapusan kapal; 3) Menyusun program penggunaan bahan bakar minyak, minyak pelumas dan air tawar;
Ringkasan Studi (Executive Summary)
41
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
4) Melaksanakan penilaian teknis terhadap usul penghapusan dan pengadaan kapal baru lengkap inventarisnya; 5) Melaksanakan pengadaan kapal kenavigasian baru; 6) Melaksanakan program rekondisi kapal; 7) Menyusun program kebutuhan biaya pemeliharaan tahunan/harian kapal. g.
Strategi di Bidang Fasilitas Penunjang (Pangkalan Kenavigasian) 1) Membakukan struktur organisasi fasilitas penunjang pemeliharaan; 2) Meningkatkan kapasitas fasilitas penunjang (bengkel, gedung dan peralatan); 3) Mengupayakan optimalisasi penggunaan fasilitas penunjang; 4) Meningkatkan fasilitas dermaga kenavigasian, pembangunan gedung kantor secara terpadu.
h.
Strategi di Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia 1) Melaksanakan
pendidikan
dan
latihan
untuk
meningkatkan
keterampilan sesuai bidangnya; 2) Melaksanakan pengadaan pegawai baru; 3) Meningkatkan kesejahteraan sumber daya manusia; 4) Mutasi pegawai; 5) Dengan adanya perkembangan teknologi, maka untuk menambah wawasan para pelaut; 6) Direktorat Kenavigasian diikutsertakan berlayar di kapal-kapal swasta; 7) Kaderisasi
pelaut
guna
mengantisipasi
para
nakhoda
kapal
kenavigasian yang akan datang.
10. Pembangunan Sarana Prasarana Kenavigasian Pembangunan Sarana Prasarana Kenavigasian mempunyai tolok ukur yang
dinamis yang senantiasa mengacu pada pertumbuhan serta perkembangan
42
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
yang ada. Oleh karena itu kebutuhan, perencanaan dan program pengembangan kenavigasian selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut : a.
Public Demand Adanya kebutuhan yang diakibatkan oleh pertumbuhan/ perubahan lalulintas pelayaran dan kepelabuhanan.
b.
Geografis / Nautis Kebutuhan fasilitas kenavigasian ditinjau berdasarkan aspek goegrafis, nautis dan keselamatan pelayaran.
c.
Lingkungan Strategis, Politis dan Hankam Kebutuhan fasilitas kenavigasian untuk mengakomodasi isu-isu dan perubahan lingkungan strategis yang ada.
d.
Perkembangan Teknologi Perlunya peningkatan fasilitas kenavigasian sesuai dengan perkembangan teknologi aktual sehingga kompatibel dengan teknologi yang digunakan di seluruh dunia.
e.
Mandatory Adanya kebutuhan pengembangan/peningkatan fasilitas kenavigasian dalam rangka memenuhi konvensi, peraturan, ketentuan dan/atau rekomendasi internasional melalui badan yang kompeten di bidang pelayaran dan keselamatan pelayaran seperti IMO, IALA dan ITU.
11. Kebijakan Modernisasi Kenavigasian Kebijakan modernisasi kenavigasian yang akan datang sejalan dengan rencana dan program Ditjen Perhubungan Laut meliputi : a.
Pengembangan sarana dan prasarana SBNP dan Telekomunikasi Pelayaran untuk menambah tingkat kecukupan dari ± 54 % menjadi ± 100 % dan tingkat keandalan dari 82% menjadi 98 %;
Ringkasan Studi (Executive Summary)
43
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
b.
Penerapan teknologi dalam sistem monitoring manual pada SBNP dan Telekomunikasi Pelayaran menjadi berbasis elektronik/digitasi, melalui RMCS, VTS, AIS, dan GMDSS;
c.
Menambah dan meremajakan kapal negara kenavigasian;
d.
Peningkatan sumber daya manusia kenavigasian;
e.
Menyelenggarakan sistem rute/TSS pada alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) dan alur pelayaran yang padat;
f.
Menyelenggarakan sistem monitoring bagi kapal-kapal yang melintas ALKI dan alur pelayaran yang padat;
g.
Menyiapkan zona perairan untuk menjamin keamanan dan keselamatan;
h.
Menetapkan kewajiban untuk mengasuransikan kapal-kapal untuk menghindari kerangka kapal yang tidak disingkirkan.
Untuk itu perlu dilakukan terobosan legalitas dengan di lakukan kerjasama dengan badan usaha di bidang kenavigasian untuk dapat memberikan kontribusi yang optimal perkembangan sistim kenavigasian di wilayah perairan Indonesia.
12. Isu-Isu Strategis Terkait Dengan Penyelenggaraan Kenavigasian Sesuai ketentuan internasional yang telah diratifikasi, Indonesia berkewajiban membangun, memelihara, dan menyebarkan informasi kenavigasian. Navigasi harus selalu berada dalam kondisi keandalan tinggi, karena sedikit saja keandalan berkurang dapat menyebabkan musibah pelayaran. Navigasi harus bersifat transektoral dalam arti terpasang di seluruh wilayah perairan Indonesia sesuai pertimbangan keselamatan pelayaran. Yang menjadi masalah pokok adalah kecukupan dan keandalan SBNP dan telekomunikasi pelayaran masih belum memadai. Perairan di wilayah Indonesia masih belum sepenuhnya aman bagi pelayaran. Ini terjadi karena kurangnya perlengkapan navigasi.
44
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
13. Benchmarking Kenavigasian Dengan Jepang Kegiatan kenavigasian di Jepang dapat dijadikan benchmarking kegiatan kenavigasian di Indonesia sebagai berikut. a.
Jepang memiliki perairan seluas 4.470.000 km2, terdiri dari 430.000 km2 perairan teritorial (0-12) miles dan 4.050.000 km2 Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), atau hanya sekitar 77,6% dari total luas perairan Indonesia.
b.
Kenavigasian berada di bawah otoritas Japan Coast Guard. Organisasi ini berada dibawah jurisdiksi Ministry of Land, Infrastructure, Transportation, and Tourism (MLIT) dan didirikan pada tahun 1948.
c.
Dalam menjalankan tugasnya dibidang kenavigasian Japan Coast Guard mempunyai fungsi antara lain : 1) Mengaturan berlayar dan tanda-tanda isyarat (sinyal-sinyal) navigasi; 2) Survei hidrografi dan observasi oceanographical; 3) Penyiapan dan menyediakan publikasi hidrografi, publikasi dan peta aeronautical; 4) Memberikan informasi tentang hal-hal penting berkaitan dengan keselamatan pelayaran.
d.
Peraturan dibidang kenavigasian di Jepang ((Law No. 99 of 1949 as amended through Law No. 89 of 1993) Tujuan dan Ketentuan Umum (Purpose of This Law and Definition of Term) 1) Article 1. a) Tujuan UU ini adalah untuk menjamin keamanan lalu lintas pelayaran dan untuk mengutamakan efisiensi operasi kapal dengan menjaga/memelihara sarana bantu navigasi dalam keadaan baik dan beroperasi secara rasional dan efisien. b) Istilah "sarana bantu navigasi" yang digunakan dalam Undang-undang ini adalah mercusuar, rambu navigasi (lighted beacon), beacon, pelampung (buoy), fog signal station, radio direction finding station
Ringkasan Studi (Executive Summary)
45
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
atau fasilitas lain yang memberikan tanda arah bagi kapal-kapal yang berlayar di pelabuhan, selat dan perairan pantai lain di Jepang dengan bantuan cahaya, bentuk, warna, suara, gelombang elektrik, dll. Pembangunan dan Pengelolaan Sarana Bantu Navigasi (Establishment and Administration of aid to navigation) 2) Article 2. Pembangunan dan pengelolaan sarana bantu navigasi harus dilakukan oleh Japan Coast Guard: menetapkan bahwa, atas izin yang diperoleh dari Komandan Japan Coast Guard sesuai dengan ketentuan Ordonansi MLIT, setiap orang selain Japan Coast Guard dapat membangun atau mengelola SBNP atas biaya sendiri untuk digunakan dalam usahanya atau bisnis. 3) Article 3. a) Pemilik atau pengelola sarana bantu navigasi medirikan/ membangun dengan ijin yang diperoleh sesuai ketentuan dari Pasal sebelumnya, wajib melakukan upaya-upaya agar fungsi bantuan tidak terhambat oleh bermasalah. b) Ketika sarana bantu navigasi yang didirikan oleh orang lain selain Japan Coast Guard tidak berfungsi karena disebabkan oleh pemilik atau pengelola atau penyebab lainnya yang sering terlihat, dan keselamatan lalu lintas pelayaran terhambat, maka Komandan Japan Coast Guard dapat memerintahkan pemilik atau pengelola untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk menghilangkan hambatan tersebut. 4) Article 4. a) Selain kasus yang disebutkan dalam ayat 2 pasal sebelumnya, Komandan Penjaga Pantai Jepang mungkin, bila dipandang perlu untuk keselamatan lalu lintas pengiriman, memesan pemilik atau administrator bantuan untuk navigasi didirikan oleh orang lain dari Jepang Coast Guard untuk memperbaiki atau menghapus
46
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
bantuan tersebut atau mengalihkan ke tempat lain atau untuk mengambil langkah-langkah lain yang diperlukan. b) Komandan Japan Coast Guard, bila dianggap sangat perlu untuk keselamatan lalu lintas pelayaran, dapat secara langsung mengelola atau mengambil alih pembangunan SBNP yang dilakukan oleh orang lain selain Japan Coast Guard, sesuai dengan ketentuan Ordonansi MLIT.
E. ANALISIS FINANSIAL KEGIATAN KENAVIGASIAN Secara umum, apabila dilihat dari tingkat kenaikan anggaran pertahunnya dalam pembangunan dan pengadaan peralatan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran, belum signifikan dengan tingkat kebutuhan dan jangkauan luas wilayah perairan Indonesia. Oleh karena itu, sumber pendanaan dibidang kenavigasian dalam mendukung keselamatan pelayaran, selain mengandalkan dana dari APBN juga telah dilakukan penggalian dari sumber-sumber lainnya sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Skema pembiayaan program-program strategis Direktorat Kenavigasian, Ditjen Perhubungan Laut pada umumnya terdiri atas pembiayaan berasal dari rupiah murni (APBN), pinjaman hibah luar negeri (PHLN) dan Public Private Partnership (PPP) atau Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), untuk mewujudkan tingkat kecukupan dan keandalan di bidang kenavigasian. Proses dan mekanisme pembiayaan pembangunan dan pengadaan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran yang telah dilakukan, khususnya untuk pembiayaan yang berasal dari Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN) dan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), dengan ketentuan dan langkah-langkah sebagai berikut :
1.
Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN) Menurut sumber buku Penatausahaan dan Pengelolaan Hibah Luar Negeri, Direktorat Pendanaan Luar Negeri Multilateral, Bappenas Jakarta, 2003, pengertian Pinjaman Luar negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan atau devisa yang dirupiahkan, maupun dalam bentuk barang
Ringkasan Studi (Executive Summary)
47
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
dan atau dalam bentuk jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu. Sedangkan yang dimaksudkan dengan Hibah Luar Negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan atau devisa yang dirupiahkan maupun dalam bentuk barang dan atau dalam bentuk jasa termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang diperoleh dari pemberi hibah luar negeri yang tidak perlu dibayar kembali. Adapun jenis dari Pinjaman hibah Luar Negeri (PHLN) dapat dilihat pada grafik berikut :
Gambar 7: Jenis Pinjaman hibah Luar Negeri (PHLN)
48
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Gambar 8 : Mekanisme Pembiayaan Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN)
2.
Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) Sesuai
dengan
amanat
undang-undang,
bahwa
dalam
mewujudkan
pembangunan kenavigasian terdiri atas tiga pilar : (1) Pemerintah (regulator), (2) Stakeholders (pengguna jasa, pihak ketiga), dan (3) Peran serta masyarakat, untuk dapat bersinergi mewujudkan pembangunan kenavigasian di wilayah perairan Indonesia dalam mewujudkan keselamatan pelayaran. Oleh karena itu, Kerjasama Pemerintah Swasta merupakan suatu perjanjian kontrak antara pemerintah, baik pusat ataupun daerah dengan mitra swasta. Melalui perjanjian ini, keahlian dan aset dari kedua belah pihak (pemerintah dan
swasta)
dikerjasamakan
dalam
menyediakan
pelayanan
kepada
masyarakat. Dalam melakukan kerjasama ini resiko dan manfaat potensial dalam menyediakan pelayanan ataupun fasilitas dipilah/dibagi kepada pemerintah dan swasta.
Ringkasan Studi (Executive Summary)
49
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
3.
Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) Sesuai
dengan
amanat
undang-undang,
bahwa
dalam
mewujudkan
pembangunan kenavigasian terdiri atas tiga pilar : (1) Pemerintah (regulator), (2) Stakeholders (pengguna jasa, pihak ketiga), dan (3) Peran serta masyarakat, untuk dapat bersinergi mewujudkan pembangunan kenavigasian di wilayah perairan Indonesia dalam mewujudkan keselamatan pelayaran. Oleh karena itu, Kerjasama Pemerintah Swasta merupakan suatu perjanjian kontrak antara pemerintah, baik pusat ataupun daerah dengan mitra swasta. Melalui perjanjian ini, keahlian dan aset dari kedua belah pihak (pemerintah dan
swasta)
dikerjasamakan
dalam
menyediakan
pelayanan
kepada
masyarakat. Dalam melakukan kerjasama ini resiko dan manfaat potensial dalam menyediakan pelayanan ataupun fasilitas dipilah/dibagi kepada pemerintah dan swasta. Kerjasama Pemerintah dengan Swasta (KPS-PPP Public-Private Partnerships) adalah Suatu Perjanjian Kerja Sama antara instansi pemerintah dengan badan usaha/pihak swasta dengan KPS/PPP dengan perjanjian antara lain sebagai berikut : a.
Pihak swasta melaksanakan sebagian fungsi pemerintah selama waktu tertentu;
b.
Pihak swasta menerima kompensasi atas pelaksanaan fungsi tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung;
c.
pihak swasta bertanggungjawab atas resiko yang timbul akibat pelaksanaan fungsi tersebut, dan fasilitas pemerintah, lahan atau aset lainnya dapat diserahkan atau digunakan oleh pihak swasta selama masa kontrak;
Sedangkan tujuan KPS/ PPP meliputi :
50
a.
Untuk memperoleh dana investasi tambahan.
b.
Untuk mengadakan jasa pelayanan umum yang belum tersedia.
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
c.
Untuk
memperoleh
teknologi
baru
dan
yang
sudah
terbukti
keunggulannya. d.
Untuk memperbaiki tingkat efisiensi.
e.
Untuk meningkatkan kompetisi.
f.
Untuk meningkatkan transparansi proses pengadaan.
g.
Untuk menciptakan kesempatan kerja.
h.
Transparansi dan kompetisi melalui KPS/PPP
i.
Jaminan “harga pasar”, tol, retribusi, dsb yang terendah.
j.
Memperbaiki kemungkinan diterimanya proyek tersebut oleh masyarakat umum.
k.
Meningkatkan
kesediaan
lembaga
keuangan
untuk
menyediakan
pembiayaan, sedapat mungkin tanpa jaminan pemerintah. l.
Menurunkan biaya pendanaan.
m. Mengurangi resiko kegagalan proyek. n.
Meningkatkan kemudahan memperoleh perijinan untuk proyek.
o.
Membantu untuk menarik pihak swasta yang lebih berkualitas dan berpengalaman.
p.
Meningkatkan investasi dalam proyek infrastruktur dan menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Dasar Dasar Hukum Pelaksanaan PPP adalah PERPRES (peraturan presiden) No. 67 tahun 2005 dan diatur melalui peraturan pemerintah atau undangundang komersial biasa.
Ringkasan Studi (Executive Summary)
51
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Gambar 9: Mekanisme Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS)/ Public Private Partnership (PPP)
Gambar 10: Diagram Fungsi Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS)/Public Private Partnership (PPP)
52
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Berdasarkan jenis dan pola pembiayaan sebagaimana dijelaskan di atas, maka dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan kenavigasian diharapkan dapat melaksanakan program dan target, serta sasaran strategis pembangunan kenavigasian, khususnya wilayah-wilayah terpencil yang merupakan wilayah perbatasan dengan negara-negara tetangga. Berdasarkan penjelasan diatas, maka bentuk pola kerjasama yang cocok di Indonesia Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN) dan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Pembangunan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran selain sebagai fasilitas keselamatan pelayaran juga berfungsi sebagai perwujudan tanda batas kedaulatan NKRI.
F. ANALISIS KONDISI KENAVIGASIAN Berdasarkan pengamatan kondisi kenavigasian di beberapa daerah survey, menunjukkan bahwa kegiatan kenavigasian berjalan sesuai dengan sistem dan prosedur pelaksanaan kenavigasian. Namun demikian, kegiatan kenavigasian dalam mewujudkan keselamatan pelayaran dengan komponen SBNP, Stasiun Radio Pantai GMDSS, Stasiun VTMS (Vessel Traffic Management Services) dan VTIS (Vessel Traffic Identification System), SDM ABK kapal negara/PMS/TMS/ Surveyor, masih perlu perbaikan, pembinaan dan pengembangan secara menyeluruh dengan program dan rencana strategis yang tajam dan terukur. Identifikasi kegiatan kenavigasian dengan segala permasalahan yang ada, dapat dianalisa sebagai berikut : Tabel 6 : Analisa Kegiatan Kenavigasian di Indonesia
NO 1.
KEGIATAN SBNP :
ANALISA Pelaksanaan program SBNP di seluruh wilayah perairan Indonesia dalam mewujudkan keselamatan pelayaran, masih perlu dilakukan perbaikan-perbaikan secara bertahap. Peningkatan kualitas tingkat kecukupan dan keandalan
Ringkasan Studi (Executive Summary)
53
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
NO
KEGIATAN
ANALISA SBNP sesuai dengan standar IALA, dari tahun ketahun sudah
dimulai
khususnya
pada
pembangunan jalur
ALKI
modernisasi dan
jalur
peralatan, pelayaran
Internasional. Permasalahan pembiayaan yang selama ini dianggap sebagai salah satu faktor penentu kebijakan pembangunan sarana prasarana SBNP, secara bertahap harus dihilangkan dari stigma berfikir dengan melakukan terobosan terobosan pembiayaan diluar APBN, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pola pengembangan dan penyelenggaraan kenavigasian harus dilakukan langkah-langkah perubahan melalui renstra yang terukur dan jelas, sehingga tidak menimbulkan multi tafsir. Pengadaan dan pembangunan pelampung suar, rambu suar, harus diprogramkan dengan masa ekonomis minimal 5 tahun dengan bahan yang baik dan tingkat kerusakan yang minimal, sehingga tidak perlu memerlukan pemeliharaan setiap tahunnya. 2.
Kapal
Negara
Kenavigasian : Kondisi
kapal
Kondisi kapal induk perambuan dan kapal-kapal jenis
induk perambuan
lainnya, yang dioperasionalisasikan oleh UPT Disnav Kelas
Kapal
Bantu
Perambuan Kapal Inspeksi
I di daerah, banyak yang sudah berusia diatas 30 tahun sehingga tingkat kelaikan masih perlu dipertanyakan. Dengan kondisi kapal yang demikian akan menimbulkan biaya tinggi dalam hal perawatan/pemeliharaan setiap
Kapal Survey
tahunnya, sehingga perlu dilakukan penyekrapan kapalkapal yang sudah berusia tua. Banyaknya tingkat pencurian SBNP di wilayah perairan Indonesia,
54
merupakan
wujud
kurangnya
intensitas
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
NO
KEGIATAN
ANALISA sosialisasi Pemerintah kepada masyarakat dan kerjasama dengan pemerintah daerah akan pentingnya keselamatan pelayaran. Kurangnya
intensitas
kapal
patroli
kenavigasian,
menunjukkan perencanaan manajemen belum tertata dan terskedul dengan baik, dan hanya mengandalkan laporan dari pihak pelabuhan, dalam mengawasi kondisi SBNP di peraian. Pentingnya kapal survey di daerah untuk melakukan penentuan titik posisi dan penandaan pembangunan SBNP, Ramsu, Pelsu, serta penandaan hal-hal yang dianggap membahayakan pelayaran, maka perlu dilakukan langkahlangkah
pengadaan
kapal
survey
dengan
segala
kelengkapan yang modern, sebagaimana yang dimiliki oleh lembaga dan direktorat diluar perhubungan laut. 3.
Telkompel
Dengan perkembangan teknologi komunikasi pelayaran, sangat jauh sekali perbedaan kondisi peralatan telkompel yang dimiliki direktorat kenavigasian saat ini, walaupun di beberapa daerah tertentu sudah dilakukan modernisasi peralatan dalam pemantauan lalulintas kapal. Kecepatan deteksi dan akurasi data, melalui peralatan modernisasi telkompel, akan menimbulkan dampak positif terhadap keselamatan pelayaran. Perhitungan ratio jangkauan wilayah dengan pembangunan SROP diwilayah perairan Indonesia harus dipetakan dengan jelas, sesuai dengan intensitas lalulintas kapal.
4.
Sumber Daya
Pembinaan dan pengembangan kualitas SDM sangat
Manusia
menentukan arah pengembangan dan penyelenggaraan
Kenavigasian
kenavigasian ke depan, sehingga dengan pola dan arah persepsi SDM saat ini harus diarahkan dengan berbasis kompetensi melalui diklat secara bertahap.
Ringkasan Studi (Executive Summary)
55
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
NO
KEGIATAN
ANALISA Perekrutan dan penempatan SDM disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan keahlian, melalui seleksi yang akuntabel.
3.
Fasilitas Penunjang
Dalam hal penunjang fasilitas lainnya meliputi : (rumah
Lainnya
dinas jaga SROP, Mensu) dibeberapa daerah kondisinya sangat
memprihatinkan,
sehingga
perlu
diupayakan
perbaikan-perbaikan fasilitas, agar TMS/PMS menjadi lebih bertanggungjawab atas tugas-tugas negara yang diberikan. Kurangnya tingkat kenyamanan fasilitas penunjang, akan menimbulkan para TMS/TMS meningggalkan tugas dan tanggungjawab terhadap keselamatan pelayaran. Minimnya tunjangan pengamanan dan penyelamatan pelayaran bagi pegawai negeri sipil yang ditugaskan pada instalasi keamanan dan keselamatan pelayaran yang termaktub dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 tahun 1985, menunjukkan ketidakpekaan pemerintah untuk peningkatan kelayakan hidup TMS/PMS.
G. PEMETAAN PENYELENGGARA KEGIATAN KENAVIGASIAN Penyelenggaraan
kegiatan
kenavigasian
merupakan
proses,
cara,
dalam
menyelenggarakan dan pelaksanaan kenavigasian sesuai dengan ruang lingkup tugas pokok dan fungsi kenavigasian. Oleh karena itu, kenavigasian berdasarkan KM. No.60 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan, Direktorat Kenavigasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, standard, norma, pedoman, kriteria dan prosedur, serta bimbingan teknis, evaluasi dan pelaporan di bidang
perambuan,
telekomunikasi
pelayaran,
kapal
Negara,
pangkalan
kenavigasian serta sarana dan prasarana kenavigasian.
56
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Dengan luas wilayah perairan Indonesia yang terbagi dalam 3 (tiga) ALKI merupakan tantangan bagi direktorat kenavigasian untuk dapat mendukung terciptanya keselamatan pelayaran. Selain itu, dalam perkembangan wilayah dan pertumbuhan penduduk yang semakin pesat, akan menumbuhkan daerah-daerah baru di wilayah-wilayah terpencil seiring dengan pertumbuhan ekonomi wilayah.
H. POLA PENYELENGGARAAN KENAVIGASIAN DI INDONESIA Aspek legalitas penyelenggaraan kegiatan kenavigasian saat ini untuk menjawab kegiatan mana yang bisa dilakukan kerjasama antara Pemerintah dan Swasta.
1.
SBNP : Dalam pasal 172 ayat 4 UU 17/2008 disebutkan bahwa “Dalam keadaan tertentu, pengadaan SBNP sebagai bagian dari penyelenggaraan dapat dilaksanakan oleh badan usaha”.
2.
Telekomunikasi Pelayaran UU 17/2008 Pasal 178 ayat 3, bahwa pengadaan telekomunikasi pelayaran sebagai bagian dari penyelenggaraan dapat dilaksanakan oleh badan usaha. Pasal 178 Ayat 4 UU 17/2008 : Telekomunikasi pelayaran yang diadakan oleh badan usaha diawasi oleh Pemerintah.
3.
Hidrografi dan Meteorologi UU 17/2008 pasal 186: Pemerintah wajib memberikan pelayanan meteorologi meliputi antara lain: a.
pemberian informasi mengenai keadaan cuaca dan laut serta prakiraannya;
b.
kalibrasi dan sertifikasi perlengkapan pengamatan cuaca di kapal; dan
c.
bimbingan teknis pengamatan cuaca di laut kepada Awak Kapal tertentu untuk menunjang masukan data meteorologi.
Ringkasan Studi (Executive Summary)
57
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
4.
Alur dan Perlintasan UU 17/2008 Pasal 188 a.
Penyelenggaraan alur-pelayaran dilaksanakan oleh Pemerintah.
b.
Badan usaha dapat diikutsertakan dalam sebagian penyelenggaraan alurpelayaran.
c.
Untuk penyelenggaraan alur-pelayaran Pemerintah wajib: 1) menetapkan alur-pelayaran; 2) menetapkan sistem rute; 3) menetapkan tata cara berlalu lintas; dan 4) menetapkan daerah labuh kapal sesuai dengan kepentingannya.
PP 5/2010 Pasal 6: a.
Penyelenggaraan alur-pelayaran dilaksanakan oleh Pemerintah.
b.
Penyelenggaraan alur-pelayaran meliputi perencanaan, pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, dan pengawasan.
c.
Badan usaha dapat diikutsertakan dalam pembangunan, pengoperasian, dan Pemeliharaan alur-pelayaran yang menuju ke terminal khusus yang dikelola oleh badan usaha.
Pasal 5 Peraturan Menteri Perhubungan PM 68 Tahun 2011 Tentang Alur Pelayaran di Laut
disebutkan bahwa penyelenggaraan alur pelayaran laut
dilaksanakan oleh Pemerintah, yang meliputi perencanaan, pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan dan pengawasan. Pasal 17 ayat 2 kegiatan pengawasan dilakukan oleh Disnav setempat. Pasal 18 : Badan Usaha dapat diikutsertakan dalam pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan alur pelayaran di laut yang menuju terminal khusus yang dikelola oleh Badan Usaha.
58
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Permenhub Nomor 68 Tahun 2011 tentang Alur Pelayaran di Laut, khususnya dalam BAB III Penyelenggaraan Alur Pelayaran di Laut, telah secara jelas tertuang standar operasi dan prosedur yang meliputi : perencanaan, pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan dan pengawasan.
5.
Pengerukan dan Reklamasi UU 17/2008 Pasal 197 ayat 2: Pekerjaan pengerukan alur-pelayaran dan kolam pelabuhan serta reklamasi dilakukan oleh perusahaan yang mempunyai kemampuan dan kompetensi dan dibuktikan dengan sertifikat yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Permenhub Nomor 52 Tahun 2011 tentang Pengerukan dan Reklamasi, khususnya dalam BAB II Pengerukan, telah secara jelas tertuang standar operasi
dan
prosedur
yang
meliputi
:
perencanaan,
pembangunan,
pengoperasian, pemeliharaan dan pengawasan
6.
Pemanduan Pasal 198 : (3) Penyelenggaraan pemanduan dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan dan dapat dilimpahkan kepada Badan Usaha Pelabuhan yang memenuhi persyaratan. (4) Penyelenggaraan pemanduan dipungut biaya. (5) Dalam hal Pemerintah belum menyediakan jasa pandu di perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa, pengelolaan dan pengoperasian pemanduan dapat dilimpahkan kepada pengelola terminal khusus yang memenuhi persyaratan dan memperoleh izin dari Pemerintah. Permenhub Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pemanduan, khususnya dalam BAB V Penyelenggaraan Pemanduan, telah secara jelas tertuang standar operasi dan
Ringkasan Studi (Executive Summary)
59
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
prosedur yang meliputi : perencanaan, pengadaan, pengoperasian, pemeliharaan dan pengawasan.
7.
Penanganan Kerangka Kapal UU 17/2008 Pasal 203 ayat 2 : Pemerintah wajib mengangkat, menyingkirkan, atau menghancurkan seluruh atau sebagian dari kerangka kapal dan/atau muatannya atas biaya pemilik apabila dalam batas waktu yang ditetapkan Pemerintah, pemilik tidak melaksanakan tanggung jawab dan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
8.
Salvage dan Pekerjaan Bawah Air UU 17 Tahun 2008 pasal 204 ayat 2 : Setiap kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air harus memperoleh izin dan memenuhi persyaratan teknis keselamatan dan keamanan pelayaran dari Menteri.
Tabel berikut menunjukkan jenis kegiatan kenavigasian yang dapat dilakukan kerjasama antara Pemerintah dan swasta berdasarkan regulasi dan kondisi riil saat ini.
60
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia Tabel 7 Analisis Kegiatan Penyelenggaraan Kenavigasian Sistem Alasan mendasar Penyelenggaraan
No.
perlu/tidak KPS
Kenavigasian
Pengelolaan
Kondisi Eksisting
Sesuai
Penyelenggaraan
Peraturan
Kenavigasian
Pembiayaan
Permasalahan
Saat Ini
Scoring
Kesimpulan
yang ada A 1
SBNP Pengadaan, pengoperasian, pemeliharaan
dan SBNP
pada alur-pelayaran dan perairan
- UU 17/2008 pasal
Direktur
Ditjen Perhubungan APBN
172 ayat 4 s.d 6;
Jenderal
Laut cq. Disnav
- PP 5/2010 pasal 30 ayat 2 dan 3;
pelabuhan
umum, yang meliputi:
- PM
Menara Suar
-
Rambu Suar
Masalah
Pelampung Suar
-
Tanda Siang
-
Global Positioning
sebagai wakil
SBNP
karena
Pemerintah/
masyarakat, pengadaan tanah dan
terkendala
Menteri
kurangnya data pendukung
oleh dana
-
25/2011
ke
pihak
ketiga
dan
Pengoperasian SBNP terkendala
dan tabrak lari, rendahnya informasi dan
sosialiasi
masyarakat sarana
dana
yang
tentang
prasarana
kecepatan
APBN terbatas.
diterima pentingnya
SBNP
deteksi
dan
serta respon
terhadap kelaikan SBNP maupun
System (GPS)
antisipasi Global
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Dapat di KPS-kan,
s.d 5; - Sumber
2
kurangnya sosialisasi pemasangan
pasal 21 ayat 1
-
Differential
adalah
oleh adanya tindak pencurian SBNP - PM
-
Pengadaan
25/2011
pasal 18 s.d 35; -
-
peralatan
61
terhadap SBNP
kehilangan
masih
sangat
dan harus segera mencapai tingkat kecukupan sesuai dengan standar IALA.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Sistem Alasan mendasar Penyelenggaraan
No.
perlu/tidak KPS
Kenavigasian
Pengelolaan
Kondisi Eksisting
Sesuai
Penyelenggaraan
Peraturan
Kenavigasian
Pembiayaan
Permasalahan
Saat Ini
Scoring
Kesimpulan
3
Swasta, tetapi
yang ada Position
System
rendah. Selain itu, tingkat kecukupan
(DGPS) -
Radar Beacon
-
Radio Beacon
-
Radar Survaillance
-
medium wave radio
SBNP
(Sarana
Pelayaran) distribusi
masih SDM
transportasi
Navigasi
rendah
dan
petugas
SBNP
tidak
merata,
laut
khususnya di wilayah terpencil, pulaupulau kecil dan perbatasan negara -
beacon -
Bantu
Dalam hal pemeliharaan, masih terkendala
Sistem identifikasi
oleh
terbatasnya
fasilitas perawatan.
otomatis (Automatic IdentificationSyste m) -
SBNP Elektronik -
-
Dalam hal pengusahaan SBNP juga
masih
terkendala
oleh
kurangnya ketersediaan dana. 2
62
Pengadaan,
- UU 17/2008 pasal
Badan Usah
Pengadaan
& APBN
dan -
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Beberapa SBNP Non DJPL yang
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Sistem Alasan mendasar Penyelenggaraan
No.
perlu/tidak KPS
Kenavigasian
Pengelolaan
Kondisi Eksisting
Sesuai
Penyelenggaraan
Peraturan
Kenavigasian
Pembiayaan
Permasalahan
Saat Ini
Scoring
Kesimpulan
yang ada pengoperasian,
dan
pemeliharaan
SBNP
untuk penandaan alurpelayaran
172 ayat 4 s.d 6; - PP 5/2010 pasal 30 ayat 2 s.d 4;
menuju
terminal khusus, yang meliputi: -
Menara Suar
-
Rambu Suar
-
Pelampung Suar
-
Tanda Siang
- PM
25/2011
pasal 18 s.d 35; - PM
25/2011
pasal 21 ayat 2
-
s.d 3; - Sumber
dana
APBN terbatas.
Global Positioning System (GPS)
Pengoperasian
telah dibangun oleh Badan Hukum
saat ini masih
oleh
Indonesia (BHI) kurang optimal
dapat diKPS-
Badan
usaha
dalam melaksanakan pemeliharaan
kan
setelah
mendapat
serta belum membuat laporan
dinilai kurang
kegiatan penyelenggaraan SBNP.
menguntungk
dilakukan
izin dari Direktur Jenderal
Differential Global
-
Perhubungan Laut
pengusahaan
kurang
Tidak semua badan
oleh pihak swasta
usaha
melakukan
-
Perawatan/Pemelih
Belum diterbitkan Standar Prosedur Perijinan pemasangan SBNP oleh
araan SBNP pada
Pihak Ketiga.
alur-pelayaran terminal
khusus
(DGPS) Radar Beacon
Ringkasan Studi (Executive Summary)
yang
menguntungkan untuk dilaksanakan
Position System
-
Pengusahaan SBNP merupakan
Pemeliharaan:
menuju -
Swasta
63
karena
an swasta.
pihak
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Sistem Alasan mendasar Penyelenggaraan
No.
perlu/tidak KPS
Kenavigasian
Pengelolaan
Kondisi Eksisting
Sesuai
Penyelenggaraan
Peraturan
Kenavigasian
Pembiayaan Saat Ini
Permasalahan
Scoring
1
Kesimpulan
yang ada -
Radio Beacon
-
Radar Survaillance
-
medium wave radio beacon
-
Sistem identifikasi otomatis (Automatic IdentificationSyste m)
3
SBNP Elektronik
Biaya
Pengadaan,
pengoperasian, pemeliharaan
dan kapal
negara kenavigasian
- PP 5/2010 pasal 30 ayat 1; - PM
25/2011
Ditjen Perhubungan APBN
Pengusahaan Kapal Negara Kenavigasian
Jenderal
Laut cq. Disnav
merupakan pengusahaan yang tidak dapat dilaksanakan oleh pihak swasta sehingga harus menjadi anggungjawab pemerintah
pasal 48; - Sumber
Direktur
dana
APBN terbatas.
Fasilitas untuk pemeliharaan dan perawatan Kapal Negara Kenavigasian kurang Permasalahan
64
Ringkasan Studi (Executive Summary)
yang
paling
penting
Tidak
dapat
diKPS-kan
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Sistem Alasan mendasar No.
Penyelenggaraan
perlu/tidak KPS
Kenavigasian
Pengelolaan
Kondisi Eksisting
Sesuai
Penyelenggaraan
Peraturan
Kenavigasian
Pembiayaan
Permasalahan
Saat Ini
Scoring
Kesimpulan
1
Tidak dapat di
yang ada dalam pengoperasian Kapal Negara Kenavigasian adalah kurangnya jumlah kapal negara Kenavigasian, karena pengadaannya juga masih terkendala oleh dana. B
Telekomunikasi Pelayaran
1
Pengadaan,
- UU 17/2008 pasal
pengoperasian, pemeliharaan Radio
pelayaran perairan umum
Stasiun
Pantai
ditempatkan
dan
yang
di
alur-
dan
pada
pelabuhan
178;
Pemerintah
Ditjen Perhubungan APBN laut Cq Disnav
Nilai kecukupan SROP masih rendah Pengadaan SROP masih terkendala oleh
- PP 5/2010 pasal
kurangnya dana yang tersedia, regulasi
58 dan pasal 60
yang kurang mendukung, serta kurangnya
ayat 1;
kegiatan
- PM
26/2011
pasal 22 s.d 32;
sosialisasi
pengadaan
telekomunikasi pelayaran ke pihak ketiga dan masyarakat, dan pengadaan tanah untuk lokasi SROP.
- PM
26/2011
pasal 25 ayat 1;
Belum dipenuhinya jumlah Stasiun Radio Pantai GMDSS (Global Maritime Distress
- Sumber
dana
Ringkasan Studi (Executive Summary)
65
KPS-kan
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Sistem Alasan mendasar No.
Penyelenggaraan
perlu/tidak KPS
Kenavigasian
Pengelolaan
Kondisi Eksisting
Sesuai
Penyelenggaraan
Peraturan
Kenavigasian
Pembiayaan
Permasalahan
Saat Ini
Scoring
Kesimpulan
yang ada APBN terbatas.
and Safety System) sesuai standar IMO dalam GMDSS Handbook Tidak dilaksanakannya pemberitahuan ke SROP oleh kapal-kapal yang keluar masuk pelabuhan.
2
Pengadaan, pengoperasian, pemeliharaan Radio
Pantai
- UU 17/2008 pasal dan Stasiun yang
ditempatkan
untuk
kepentingan
kegiatan
kapal
terminal
khusus
pada
178; - PP 5/2010 pasal 58 dan pasal 60
Ditjen Perhubungan APBN
Pengusahaan
dengan
laut Cq Disnav
pengusahaan
izin
saat ini masih
Direktur
oleh pihak swasta.
dibiayai
26/2011
3; dana
APBN terbatas.
66
Swasta
menguntungkan untuk dilaksanakan
pasal 25 ayat 2 &
- Sumber
3
menteri/
26/2011
Ringkasan Studi (Executive Summary)
yang
merupakan
murni, tetapi
pasal 22 s.d 32; - PM
SROP
kurang
Jenderal
ayat 2; - PM
Badan Usaha
Pemerintah.
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Sistem Alasan mendasar No.
Penyelenggaraan
perlu/tidak KPS
Kenavigasian
Pengelolaan
Kondisi Eksisting
Sesuai
Penyelenggaraan
Peraturan
Kenavigasian
Pembiayaan
Permasalahan
Saat Ini
Scoring
Kesimpulan
1
Tidak Dapat
yang ada 3
- UU 17/2008 pasal
Pengadaan, pengoperasian, pemeliharaan
dan Vessel
Traffic Services (VTS) di alur-pelayaran dan pada
Pemerintah
178;
Ditjen Perhubungan APBN
Fasilitas
perawatan/pemeliharaan
laut Cq Disnav
Telkompel masih kurang.
diKPS-kan
Pengadaan VTS masih terkendala oleh
- PP 5/2010 pasal 58 dan pasal 60
kurangnya dana yang tersedia.
ayat 1;
perairan - PM
pelabuhan umum
26/2011
pasal 22 s.d 32; - PM
26/2011
pasal 25 ayat 1; - Sumber
dana
APBN terbatas. 4
Pengadaan, pengoperasian, pemeliharaan
- UU 17/2008 pasal dan Vessel
Traffic Services (VTS) untuk
kepentingan
178; - PP 5/2010 pasal 58 dan pasal 60 ayat 2;
Badan Usaha
Ditjen Perhubungan APBN
Pengusahaan
dengan
laut Cq Disnav
pengusahaan
Swasta
menteri/
menguntungkan untuk dilaksanakan
saat ini masih
Direktur
oleh pihak swasta.
dibiayai
kegiatan kapal pada
Ringkasan Studi (Executive Summary)
3
murni, tetapi
Kurangnya
yang
merupakan kurang
Jenderal
izin
VTS
kegiatan
sosialisasi
Pemerintah Murni
67
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Sistem Alasan mendasar No.
Penyelenggaraan
perlu/tidak KPS
Kenavigasian
Pengelolaan
Kondisi Eksisting
Sesuai
Penyelenggaraan
Peraturan
Kenavigasian
Pembiayaan
Permasalahan
Saat Ini
Scoring
Kesimpulan
1
Tidak Dapat
yang ada terminal khusus
- PM
pengadaan VTS ke pihak ketiga dan
26/2011
masyarakat.
pasal 22 s.d 32; - PM
26/2011
Belum adanya standardisasi sistem
pasal 25 ayat 2 &
pemeliharaan dan perawatan peralatan
3;
Telkompel.
- Sumber
dana
APBN terbatas C
Hidrografi
dan
APBN
Meteorologi 1
Pemberian
informasi
mengenai
keadaan
cuaca dan laut serta prakiraannya
- UU 17/2008 pasal 186; - PP 5/2010 pasal 85 ayat 1 a; - Sumber
dana
APBN terbatas.
Pemerintah
Ditjen Perhubungan
Untuk pengadaan masih terkedala oleh
laut Cq Disnav
masalah dana.
di KPS-kan
Masalah dalam hal pengoperasian adalah
teknologi
kurang,
SDM
yang yang
digunakan menangani
peralatan hidrografi dan meteorologi kurang serta kurangnya dana untuk perawatan.
68
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Sistem Alasan mendasar No.
Penyelenggaraan
perlu/tidak KPS
Kenavigasian
Pengelolaan
Kondisi Eksisting
Sesuai
Penyelenggaraan
Peraturan
Kenavigasian
Pembiayaan
Permasalahan
Saat Ini
Scoring
Kesimpulan
1
Tidak Dapat
yang ada Belum adanya standardisasi sistem pemeliharaan dan perawatan peralatan hidrografi meteorologi Fasilitas untuk perawatan/pemeliharaan peralatan hidrografi meteorologi masih kurang. Masih mengandalkan bantuan BMKG Dalam
hal
pengusahaan
adalah
masalah Ketersediaan Dana Pengusahaan penyediaan informasi hidrografi dan meteorologi merupakan pengusahaan
yang
dilaksanakan
oleh
tidak pihak
dapat swasta
sehingga harus menjadi tanggungjawab pemerintah. 2
Kalibrasi dan sertifikasi perlengkapan
- UU 17/2008 pasal 186;
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Pemerintah
Ditjen Perhubungan laut Cq Disnav
diKPS-kan
69
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Sistem Alasan mendasar No.
Penyelenggaraan
perlu/tidak KPS
Kenavigasian
Pengelolaan
Kondisi Eksisting
Sesuai
Penyelenggaraan
Peraturan
Kenavigasian
Pembiayaan
Permasalahan
Scoring
Masalah dalam hal pengadaan alur
1
Saat Ini
Kesimpulan
yang ada pengamatan
cuaca
di
kapal
- PP 5/2010 pasal 85 ayat 1 b; - Sumber
dana
APBN terbatas. D
Alur Perlintasan
1
Pembangunan,
- UU 17/2008 pasal
pengoperasian
dan
pemeliharaan
alur-
pelayaran umum dan
188; - PP 5/2010 pasal 6 ayat 1;
perlintasan
Pemerintah
Badan
(Pusat,
Pelabuhan
pelayaran adalah kurangnya kegiatan
provinsi atau
sosialisasi pengadaan alur pelayaran
pemkab/
ke pihak ketiga dan masyarakat
pemkot) - PP 5/2010 pasal
Usaha APBN
Dalam
hal
pemeliharaan - PP 5/2010 pasal
68/2011
pasal 4 s.d 18;
70
dan perawatan alur
pelayaran masih kurang.
46 ayat 2
- Sumber
adalah
kurangnya dana dan fasilitas untuk
7 ayat 2;
- PM
pemeliharaan
dana
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Pemerintah
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Sistem Alasan mendasar No.
Penyelenggaraan
perlu/tidak KPS
Kenavigasian
Pengelolaan
Kondisi Eksisting
Sesuai
Penyelenggaraan
Peraturan
Kenavigasian
Pembiayaan
Permasalahan
Scoring
Masalah dalam hal pengadaan alur
1
Saat Ini
Kesimpulan
yang ada APBN terbatas. 2
Pembangunan,
- UU 17/2008 pasal
pengoperasian
dan
pemeliharaan
alur-
pelayaran
masuk
188; - PP 5/2010 pasal 6 ayat 1;
pelabuhan
Pemerintah
Badan
(Pusat,
Pelabuhan
Usaha APBN
pelayaran adalah kurangnya kegiatan
provinsi atau
sosialisasi pengadaan alur pelayaran
pemkab/
ke pihak ketiga dan masyarakat
pemkot)
Dalam
- PP 5/2010 pasal 7 ayat 2; - PP 5/2010 pasal
hal
pemeliharaan
Pemerintah Badan Usaha hanya untuk alur pelayaran
adalah
kurangnya dana dan fasilitas untuk
menuju
pemeliharaan
terminal
dan perawatan alur
khusus
pelayaran masih kurang.
46 ayat 2; - PM
68/2011
pasal 4 s.d 18; - PM
68
Tahun
2011 pasal 18; - Sumber
dana
APBN terbatas. 3
Pembangunan,
- UU 17/2008 pasal
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Pemerintah
Badan
Usaha APBN
dan Belum adanya standardisasi sistem
71
1
Belum Dapat
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Sistem Alasan mendasar No.
Penyelenggaraan
perlu/tidak KPS
Kenavigasian
Pengelolaan
Kondisi Eksisting
Sesuai
Penyelenggaraan
Peraturan
Kenavigasian
Pembiayaan
Permasalahan
Saat Ini
Scoring
Kesimpulan
yang ada pengoperasian
dan
pemeliharaan
alur-
pelayaran sungai
188;
(Pusat, provinsi
- PP 5/2010 pasal
Pelabuhan
APBD
atau
pemeliharaan
dan perawatan alur
di-KPS-kan
pelayaran.
pemkab/pemk
6 ayat 1;
ot) - PP 5/2010 pasal 7 ayat 3; - PM
68/2011
pasal 4 s.d 18; - Sumber
dana
APBN terbatas. 4
Pembangunan,
- UU 17/2008 pasal
pengoperasian
dan
pemeliharaan
alur-
pelayaran danau
188; - PP 5/2010 pasal
Pemerintah
Badan
(Pusat,
Pelabuhan
provinsi atau
Usaha APBN APBD
dan Belum adanya standardisasi sistem pemeliharaan pelayaran.
pemkab/pemk
6 ayat 1;
ot) - PP 5/2010 pasal 7 ayat 3; - PM
72
68/2011
Ringkasan Studi (Executive Summary)
dan perawatan alur
1
Belum Dapat di-KPS-kan
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Sistem Alasan mendasar No.
Penyelenggaraan
perlu/tidak KPS
Kenavigasian
Pengelolaan
Kondisi Eksisting
Sesuai
Penyelenggaraan
Peraturan
Kenavigasian
Pembiayaan
Permasalahan
Scoring
Ditjen Perhubungan APBN
Kewenangan dan tupoksi yg masih
1
laut Cq Syahbandar
tumpang tindih dalam hal pengadaan
diKPS-kan,
peralatan untuk mengangkat kerangka
karena
kapal.
merupakan
Saat Ini
Kesimpulan
yang ada pasal 4 s.d 18; - Sumber
dana
APBN terbatas.
E
Penanganan Kerangka Kapal
1
Penanganan kerangka kapal
di
DLKR
pelabuhan umum
- UU
17/2008
Pasal 203 dan 204;
kapal - Menteri
- PP 5/2010 pasal 122; - Sumber
- Pemilik
dana
APBN terbatas.
(jika
tidak
diketahui
Pengusahaan penanganan kerangka
siapa
kapal
pemiliknya)
pengusahaan
yang
menguntungkan
sehingga
dan
salvage
Tidak
bisa
tanggung jawab pemilik
merupakan
kapal
kurang tidak
menarik pihak swasta 2
Penanganan kerangka kapal di DLKR terminal
- UU
17/2008
Pasal 203 dan
Ringkasan Studi (Executive Summary)
- Pemilik
Ditjen Perhubungan
Kendala dalam penanganan kerangka
kapal
laut Cq Syahbandar
kapal diantaranya adalah kurangnya
73
1
Tidak
bisa
diKPS-kan,
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Sistem Alasan mendasar Penyelenggaraan
No.
perlu/tidak KPS
Kenavigasian
Pengelolaan
Kondisi Eksisting
Sesuai
Penyelenggaraan
Peraturan
Kenavigasian
Pembiayaan
Permasalahan
Saat Ini
Scoring
Kesimpulan
yang ada khusus
204; - PP 5/2010 pasal 122; dana
APBN terbatas. Salvage
(jika
dan
teknologi
yang
karena
digunakan kurang
tidak
merupakan tanggung
diketahui
- Sumber
F
peralatan
- Menteri
jawab pemilik
siapa
kapal
pemiliknya)
dan
Pekerjaan bawah air untuk
kepentingan
keselamatan pelayaran kapal 1
Pelaksanaan
salvage
dan pekerjaan bawah air di
DLKR
umum
pelabuhan
- UU
17/2008
Pasal 204; - PP 5/2010 pasal
Badan Usaha
Ditjen Perhubungan APBN
Dalam
Khusus untuk
laut Cq Syahbandar
pemeliharaan
salvage PBA
128;
dan
dana
APBN terbatas.
74
pengadaan peralatan
dan
pekerjaan
bawah air masih terkendala oleh dana, kurangnya dukungan regulasi serta hanya
- Sumber
hal
bersifat
rekomendasi.
koordinatif Fasilitas
pemeliharaan masih terbatas.
Ringkasan Studi (Executive Summary)
dan unutk
3
Murni Swasta
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Sistem Alasan mendasar No.
Penyelenggaraan
perlu/tidak KPS
Kenavigasian
Pengelolaan
Kondisi Eksisting
Sesuai
Penyelenggaraan
Peraturan
Kenavigasian
Pembiayaan Saat Ini
Permasalahan
Scoring
Kesimpulan
3
Murni Swasta
3
Swasta
yang ada 2
Pelaksanaan Pekerjaan bawah air di DLKR terminal khusus
- UU
17/2008
Pasal 204; - PP 5/2010 pasal
Badan Usaha
Ditjen Perhubungan APBN
Pengusahaan Pekerjaan bawah air
Khusus untuk
laut Cq Syahbandar
untuk
salvage
dan
- Sumber
keselamatan
kapal
merupakan
pelayaran
PBA
128;
kepentingan
dana
pengusahaan
yang
menguntungkan
sehingga
kurang tidak
menarik pihak swasta
APBN terbatas.
G
Pengerukan
Dan
Reklamasi 1
197
UU
17/2008
Pekerjaan
dan
pengerukan
alur
pelayaran dan kolam pelabuhan
Pasal
- UU
17/2008
Pasal 197;
Badan usaha
Badan Pelabuhan
Usaha BUMN/
Terbatasnya dana
Swasta
- PP 5/2010 pasal 99 ayat 1; - PM
52
Tahun
2011, pasal 15
Ringkasan Studi (Executive Summary)
75
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Sistem Alasan mendasar No.
Penyelenggaraan
perlu/tidak KPS
Kenavigasian
Pengelolaan
Kondisi Eksisting
Sesuai
Penyelenggaraan
Peraturan
Kenavigasian
Pembiayaan
Permasalahan
Saat Ini
Scoring
Kesimpulan
yang ada s.d 27; - Sumber
dana
APBN terbatas. 2
Pekerjaan Reklamasi
- UU
17/2008
Badan Usaha
Pasal 197;
Badan Pelabuhan
Usaha BUMN/
3
Swasta
2
Dapat diKPS-
Swasta
- PP 5/2010 pasal 103 ayat 2; - PM
52
Tahun
2011, pasal 15 s.d 27; - Sumber
dana
APBN terbatas. H
Pemanduan
1
Pengelolaan
dan
pengoperasian pemanduan di perairan
76
- UU
17/2008
Pasal 197; - PP 5/2010 pasal
Otoritas
Badan
Pelabuhan
Pelabuhan
dan UPP
Usaha APBN BUMN/ swasta
dan Dalam hal pengadaan, masalah yang dihadapi adalah ketersediaan dana Dalam hal pengoperasian: kurangnya
Ringkasan Studi (Executive Summary)
kan
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Sistem Alasan mendasar Penyelenggaraan
No.
perlu/tidak KPS
Kenavigasian
Pengelolaan
Kondisi Eksisting
Sesuai
Penyelenggaraan
Peraturan
Kenavigasian
Pembiayaan
Permasalahan
Saat Ini
Scoring
Kesimpulan
3
Swasta Murni
yang ada wajib pandu dan pandu luar biasa yang berada di alur pelayaran dan wilayah
perairan
114 ayat 1 & 2; - PM
53
Tahun
(jika
s.d 26
tersedia jasa
- Sumber
dana
APBN terbatas. 2
Pengelolaan
dan
pengoperasian
wajib pandu dan pandu luar biasa yang berada dalam
terminal khusus
17/2008
Pasal 197;
pemanduan di perairan
di
- UU
- PP 5/2010 pasal
belum
pandu
Pengelola
Badan
Terminal
Pelabuhan
pelabuhan Tahun
2011, pasal 20
Usaha Swasta
Dalam hal pengadaan, masalah yang dihadapi adalah ketersediaan dana
Khusus
115; 53
pandu : Masalah ketersediaan dana
OP dan UPP)
Badan usaha
- PM
Dalam hal perawatan/pemeliharaan kapal
oleh
114 ayat 3, pasal
wilayah
sudah tua
Pelabuhan
2011, pasal 20
pelabuhan
jumlah kapal pandu dan usia kapal
Badan Usaha
(jika pengelola terminal khusus tidak
s.d 26
memenuhi - Sumber
dana
persyaratan)
APBN terbatas.
Ringkasan Studi (Executive Summary)
77
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Sistem Alasan mendasar No.
Penyelenggaraan Kenavigasian
perlu/tidak KPS
Pengelolaan
Kondisi Eksisting
Sesuai
Penyelenggaraan
Peraturan
Kenavigasian
Pembiayaan Saat Ini
yang ada
Keterangan : Scoring (1 : Pemerintah; 2 = KPS; 3 = Swasta)
78
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Permasalahan
Scoring
Kesimpulan
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan kenavigasian yang dapat dikerjasamakan antara Pemerintah dan Swasta diantaranya pengadaan dan pemeliharaan pelampung suar, Rambu suar di pelabuhan, menara suar, SROP dan pemanduan. Sedangkan yang tidak dapat dikerjasamakan adalah alur pelayaran serta hidrografi dan meteorologi. Tabel dibawah berikut ini menunjukkan jenis kegiatan dalam penyelenggaraan kenavigasian yang dirinci mulai dari : perencanaan, pengadaan/ pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, dan pengawasan, yang secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut. Untuk kegiatan pengadaan/pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan dapat mengikutsertakan Badan Usaha. Tabel 8 Jenis Kegiatan Dalam Penyelenggaraan Kenavigasian
KEGIATAN
TELKOMPEL
ALUR PELAYARAN
(PM 26/2011)
(PM 68/2011
SBNP (PM 25/2011
Perencanaan (1) Kegiatan
perencanaan
sarana
meliputi rencana: • kebutuhan sarana dan prasarana
penunjang
Sarana Bantu NavigasiPelayaran;
Perencanaan
kebutuhan
sarana
dihitung
berdasarkan
panjang
dan
kebutuhan
Rencana pembangunan alur-
prasarana
pelayaran di laut disusun
penunjang
berdasarkan:
Telekomunikasi-Pelayaran,
• Rencana Induk Pe1abuhan
disusun dengan memper-
• kebutuhan sarana di susun berdasarkan Induk
prasarana
penunjang
Pelayaran;
dengan
• kebutuhan
prasarana
Bantu
penunjang
disesuaikan
jumlah
Sarana
Telekomunikasi-
dengan jumlah peralatan
dibutuhkan.
untuk
Telekomunikasi-
Pelayaran yg dibutuhkan.
Sarana Bantu Navigasi-
Kegiatan
Pelayaran yang disusun
pengoperasian Telekomu-
berdasarkan
nikasi-Pelayaran
sarana
dan
jumlah prasarana
dengan
dimensi
kapal dan jenis kapal; • kepadatan lalu lintas; • kondisi geografis;dan
Navigasi-Pelayaran yang
• kegiatan pengoperasian
• perkembangan
Rencana
garis pantai; kebutuhan
disesuaikan
Nasional;
timbangkan:
perencanaan
disusun
mempertimbang-
• efisiensi jarak pelayaran. Penataan alur-pelayaran di laut dilakukan untuk: • ketertiban
lalu
lintas
kapal; • keselamatan keamanan
dan bernavigasi;
dan
yang dibangun
Ringkasan Studi (Executive Summary)
79
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
KEGIATAN
TELKOMPEL
ALUR PELAYARAN
(PM 26/2011)
(PM 68/2011
SBNP (PM 25/2011 kan jumlah sarana dan
(1)
prasarana Telekomunikasi-
(2)
Pelayaran
yang
• perlindungan
lingkungan
maritim.
telah
dibangun.
(3) (4) Jangka waktu
kegiatan Jangka
perencanaan meliputi :
waktu
kegiatan
perencanaan meliputi:
• jangka
panjang
untuk
jangka waktu 15 (lima belas)
tahun
sampai
dengan 20 (dua puluh)
• jangka panjang yaitu di atas
15
(lima
belas)
tahun sampai dengan 20 (dua puluh) tahun;
tahun; • jangka menengah untuk jangka
waktu
10
(sepuluh) tahun sampai dengan 15 (lima belas)
di
atas
10
(sepuluh)
tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun; dan • jangka pendek yaitu di
tahun; dan • jangka
• jangka menengah yaitu
pendek
untuk
atas
5
(lima)
jangka waktu 5 (lima)
sampai
dengan
tahun sampai dengan 10
(sepuluh) tahun.
tahun 10
(sepuluh) tahun.
(5) Perencanaan dalam
dituangkan
Rencana
Induk
Kenavigasian.
(6) Rencana
Perencanaan dalam
Induk
dituangkan
Rencana
Induk
Kenavigasian.
Kenavigasian
ditetapkan
Rencana
dengan
Keputusan
Kenavigasian
ditetapkan
dengan
Keputusan
Menteri.
Induk
Menteri. Pengadaan/ Pembangunan
• Pengadaan Sarana Bantu
pengadaan
Navigasi-Pelayaran pada
Telekomunikasi-
alur-pelayaran
Pelayaran
perairan
80
• Kegiatan
dan pelabuhan
ditempatkan
pembangunan
alur-pelayaran yang
di
• Kegiatan
di
laut
meliputi:
alur-
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
KEGIATAN
TELKOMPEL
ALUR PELAYARAN
(PM 26/2011)
(PM 68/2011
SBNP (PM 25/2011 umum dilakukan oleh
pelayaran
Direktur Jenderal.
perairan
• Pengadaan Sarana Bantu
pada
kepentingan
- survei hidrografi;
pelabuhan
umum dilakukan oleh
• Kegiatan
- penyusunan
pengadaan
- penyusunan
Telekomunikasi-
tertentu dapat dilakukan
Pelayaran
oleh badan usaha setelah
kepentingan tertentu dan
Bantu
mendapat
pada
lokasi
Pelayaran.
dapat
dilakukan
dari
Direktur Jenderal. • Kegiatan
pengadaan
Sarana Bantu NavigasiPelayaran
untuk
kepentingan berupa
tertentu pengadaan
badan
untuk
tertentu
usaha
mendapat
oleh setelah
izin
pengadaan
Pelayaran
Pelayaran
untuk
kepentingan tertentu dan
penandaan
alur-
pelayaran
menuju
terminal khusus. • Kegiatan
pengadaan
Sarana Bantu NavigasiPelayaran pada lokasi tertentu berupa pengadaan
untuk
berupa
tertentu pengadaan
TelekomunikasiPelayaran
• Kegiatan survei hidrografi terdiri dari:
- pola arus;
- jenis dasar perairan. • Kegiatan
desain teknis meliputi:
kepentingan
kegiatan
kapal
terminal
khusus.
memanjang
- lebar alur, luas kolam, dan kedalaman sesuai dengan
Pelayaran untuk kegiatan
yang
terminal khusus; - kegiatan
pekerjaan
pengerukan; - lokasi kerangka kapal;
Pelayaran
yang oleh
- Stasiun Radio Pantai;
Ringkasan Studi (Executive Summary)
dan
kapal
me1ewati
alur-
pelayaran di laut; dan
badan
usaha meliputi:
atau
akan
- slopejkemiringan
Telekomunikasi-
dilakukan
ukuran
alur-pelayaran di laut;
• Pengadaan
- batas wilayah perairan
dan
melintang;
Sarana Bantu Navigasi-
antara lain:
penyusunan
- profil/potongan untuk
pada
Navigasi-
- pasang surut; dan
Sarana Bantu Navigasi-
lokasi
Sarana
- peta bathimetric;
Telekomunikasi-
pada
- penempatan
dari
Direktur Jenderal. • Kegiatan
metode
kerja; dan
tertentu dan pada lokasi
izin
desain
teknis;
Direktur Jenderal.
Navigasi-Pelayaran untuk
dan
- lokasi
dan
titik
koordinat geografis area yang akan dikeruk.
81
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
KEGIATAN
TELKOMPEL
ALUR PELAYARAN
(PM 26/2011)
(PM 68/2011
SBNP (PM 25/2011
- lokasi bangunan atau instalasi di perairan. • Pengadaan Sarana Bantu
- Stasiun Vessel Traffic Services (VTS).
• Kegiatan
penyusunan
metode kerja meliputi:
Izin dari Direktur Jenderal
Navigasi-Pelayaran
diberikan
setelah
untuk kepentingan badan
memenuhi
usaha
dilakukan
oleh
administrasi dan teknis.
badan
usaha
yang
persyaratan
- tata cara pe1aksanaan pembangunan; - penggunaan dan - jadwal
bersangkutan.
peralatan;
pe1aksanaan
pembangunan.
Izin
pengadaan
Sarana
Bantu Navigasi-Pelayaran oleh badan usaha diberikan oleh
Direktur
setelah
Jenderal memenuhi
persyaratan
sebagai
berikut: • administrasi; dan • teknis. Pengoperasian
Kegiatan
pengoperasian
Kegiatan
pengoperasian
Kegiatan
pengoperasian
meliputi pengaturan:
meliputi:
meliputi:
• jarak tampak;
• penetapan dinas jaga;
• penetapan sistem rute;
• tipe
• jadwal waktu siaran; dan
• tata cara berlalu lintas;
• menjaga keandalan.
• penetapan Sarana Bantu
dan
karakteristik
lampu; • warna lampu;
Navigasi-Pelayaran;
• tanda puncak; dan
• pemuatan ke dalam peta
• warna konstruksi.
laut dan buku petunjuk pelayaran; dan • diumumkan oleh instansi yang
tugas
tanggungjawabnya
82
dan di
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
KEGIATAN
TELKOMPEL
ALUR PELAYARAN
(PM 26/2011)
(PM 68/2011
SBNP (PM 25/2011 bidang pemetaan laut.
Pemeliharaan
Kegiatan
pemeliharaan
Kegiatan
pemeliharaan
Kegiatan
pemeliharaan
dilakukan dengan :
meliputi:
meliputi:
• perawatan; dan
• pembersihan debu;
• berkala tiap tahun sekali;
• perbaikan.
• pengecekan catu daya;
Kegiatan
pemeliharaan
• sewaktu-waktu
• kalibrasi peralatan;
bila
diperlukan.
meliputi :
• pengecekan panel-panel;
• pengecatan Sarana Bantu Navigasi - Pelayaran; • membersihkan Bantu
dan
• menjaga
suhu
udara
ruangan agar tetap stabil;
Sarana Navigasi
dan • updating perangkat lunak.
Pelayaran; Kegiatan perbaikan meliputi:
• menyesuaikan
irama • penggantian spare unit
lampu;
dan spare part; dan
• pengecekan
dan
penggantian catu daya;
• penggantian peralatan.
dan • pengecekan posisi Sarana Bantu
Navigasi
Pelayaran. Perbaikan meliputi : • penggantian bola lampu dan flasher ; • penggantian
struktur
menara; • pengantian
fender
Pelampung suar; • penggatian
sistem
penjangkaran pelampung suar; dan
Ringkasan Studi (Executive Summary)
83
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
KEGIATAN
TELKOMPEL
ALUR PELAYARAN
(PM 26/2011)
(PM 68/2011
SBNP (PM 25/2011 • penggantian tanda puncak.
Pengawasan
Kegiatan
pengawasan
dilakukan
oleh
petugas
Kegiatan
pengawasan
Kegiatan
pengawasan
berupa monitoring yang
dilakukan dengan:
Sarana Bantu Navigasi-
dilakukan
• pengukuran
Pelayaran
menerus.
berupa
monitoring yang dilakukan secara bulan
periodik dan
setiap
melaporkan
hasilnya kepada Direktur
secara
terus
kedalaman;
dan
Kegiatan
pengawasan
dilakukan
oleh
pejabat
• pemantauan
timbulnya
hambatan pelayaran.
pemeriksa Telekomunikasi Kegiatan
-Pelayaran.
Jenderal
pengawasan
dilakukan Pejabat
pemeriksa
oleh
Distrik
Navigasi setempat.
Telekomunikasi-Pelayaran sebagaimana
dimaksud
Badan
usaha
pada ayat (2) diangkat oleh
diikutsertakan
Direktur Jenderal.
pembangunan, pengoperasian,
Untuk
dapat
diangkat
sebagai pejabat pemeriksa Telekomunikasi-Pelayaran harus
memenuhi
dapat dalam
dan
pemeliharaan alur-pelayaran di laut yang menuju ke terminal
khusus
yang
dikelola oleh badan usaha.
persyaratan: • Pegawai
Penyelenggaraan Negeri
Sipil
minimal golongan III/a; • memiliki
sertifikat
alur-
pelayaran di laut oleh badan usaha
dilakukan
setelah
mendapat izin dari Menteri.
marine inspector radio;
Sumbar : Olah Data
I.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1.
84
Kebutuhan,
perencanaan
dan
program
pengembangan
kenavigasian
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
dipengaruhi oleh beberapa aspek :
2.
a.
Kebutuhan masyarakat pengguna jasa kenavigasian;
b.
Kondisi Geografis/Nautis;
c.
Lingkungan strategis, politis dan hankam;
d.
Perkembangan teknologi;
e.
Pemenuhan terhadap persyaratan Mandatori.
Beberapa hal penting secara operasional terkait kebutuhan masyarakat pengguna jasa kenavigasian yang berkembang pada saat ini antara lain : a.
Peningkatan kecepatan, ukuran dan draft kapal komersial, utamanya kapal kontainer;
b.
Penurunan tingkat pengoperasian dan kompetensi awak kapal;
c.
Kecenderungan kapal menggunakan sarana navigasi elektronik;
d.
Pengembangan dan penerapan e-Navigation;
e.
Berkembangnya anekaragam pemanfaatan sumber daya laut baik disekitar pantai dan laut lepas;
f.
Meningkatnya pemasangan AIS di kapal termasuk di kapal-kapal nonSOLAS;
g.
Penggantian materi yang digunakan untuk pembangunan SBNP yang semula baja menjadi polyethylene dan fibreglass yang lebih ramah lingkungan dan biaya perawatannya lebih rendah;
h.
Upaya mengurangi emisi CO2 dengan penggunaan batere penyimpan tenaga listrik dari sinar matahari dan penggunaan sumber daya bersih lainnya;
i.
Upaya penghematan energi dengan menggunakan bola lampu LED.
j.
Upaya peningkatan efisiensi dalam pemeliharaan jaringan sarana kenavigasian melalui kontrak layanan penyedia jasa dengan pihak ketiga.
3.
Beberapa Isu Strategis terkait dengan Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia pada saat ini telah diungkapkan dalam Bab Analisis, diantaranya
Ringkasan Studi (Executive Summary)
85
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
terkait dengan : a.
Kecukupan dan kehandalan sarana kenavigasian yang belum sesuai dengan rekomendasi IALA dan IMO;
b.
Adanya kehilangan dan kerusakan SBNP karena pencurian, tabrak lari dan sebab lain yang tidak terdeteksi;
4.
c.
Perawatan dan perbaikan yang belum distandarkan;
d.
Kurangnya kecukupan jumlah dan kemampuan SDM;
e.
Kurangnya dana.
Rendahnya
tingkat
kecukupan
SBNP
sebesar
63,51%,
menunjukkan
pembangunan/pemasangan SBNP sangat lambat yang disebabkan adanya keterbatasan anggaran pembangunan dan banyaknya komponen peralatan SBNP yang hilang, rusak dan bangunan yang roboh/rusak termakan usia. 5.
Kebutuhan SROP yang dilengkapi GMDSS adalah 84 Stasiun, sedangkan SROP terpasang yang sudah dilengkapi dengan GMDSS pada tahun 2011 adalah sebanyak 68 stasiun, sehingga masih ada kekurangan 16 stasiun.
6.
Stasiun VTMS (Vessel Traffic Management Services) dan VTIS (Vessel Traffic Identification System) di Indonesia belum memadai, khususnya pada titik-titik penting dan pintu masuk perairan Indonesia dalam rangka antisipasi dampak globalisasi dan adanya Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Kebutuhan stasiun VTIS sebanyak 51, tetapi sampai tahun 2011 baru ada 11 stasiun, sehingga masih ada kekurangan 40 stasiun VTIS.
7.
Kondisi kapal negara kenavigasian seperti kapal induk perambuan dan kapalkapal jenis lainnya, banyak yang sudah berusia diatas 30 tahun sehingga tingkat kelaikan masih perlu dipertanyakan.
8.
Berdasarkan pengamatan kondisi kenavigasian di beberapa daerah survei, menunjukkan bahwa kegiatan kenavigasian sudah berjalan sesuai dengan sistem dan prosedur pelaksanaan kenavigasian.
9.
Pemerintah melalui Otoritas Pelabuhan bertanggung jawab dalam hal penyediaan dan pemeliharaan alur pelayaran, penahan gelombang, dan kolam pelabuhan, tetapi
86
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
dalam kondisi tertentu tugas pemeliharaan dapat dilakukan oleh badan usaha. Namun, beberapa SBNP yang telah dibangun oleh Badan Hukum Indonesia (BHI) dinilai masih kurang optimal dalam pemeliharaan SBNP serta belum adanya laporan kegiatan penyelenggaraan SBNP oleh BHI tersebut. 10. Skema pembiayaan program-program strategis Direktorat Kenavigasian, Ditjen Perhubungan Laut pada umumnya terdiri atas pembiayaan berasal dari rupiah murni (APBN), pinjaman hibah luar negeri (PHLN) dan Public Private Partnership (PPP) atau Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), untuk mewujudkan tingkat kecukupan dan keandalan di bidang kenavigasian. Bentuk pola kerjasama yang cocok di Indonesia adalah pinjaman hibah luar negeri (PHLN) dan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). 11. Penyelenggaraan kenavigasian yang dapat dilakukan melalui KPS meliputi penyediaan dan pemeliharaan pelampung suar, rambu suar, menara suar, SROP dan pemanduan sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Penyediaan alur pelayaran serta peralatan hidrografi dan meteorologi tidak dapat dilaksanakan melalui KPS. 12. Dalam bidang perencanaan telah dituangkan secara jelas, melalui legalitas masing-masing yaitu : a.
SBNP melalui PM 25 Tahun 2011 tentang Sarana Bantu Navigasi Pelayaran;
b.
Telkompel melalui PM 26 Tahun 2011 tentang Telekomunikasi Pelayaran;
c.
Alur Pelayaran melalui PM 68 Tahun 2011 tentang Alur Pelayaran di Laut.
13. Dokumen perencanaan untuk SBNP dan Telkompel perlu dituangkan dalam Rencana Induk Kenavigasian. Sementara untuk dokumen perencanaan pada alur pelayaran tidak perlu dimasukan dalam Rencana Induk Kenavigasian. 14. Pengadaan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran untuk kepentingan tertentu dan pada lokasi tertentu dapat dilakukan oleh badan usaha setelah mendapat izin dari Direktur Jenderal. 15. Kegiatan pengadaan Telekomunikasi-Pelayaran untuk kepentingan tertentu dan pada lokasi tertentu dapat dilakukan oleh badan usaha setelah mendapat izin
Ringkasan Studi (Executive Summary)
87
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
dari Direktur Jenderal. 16. Kegiatan pembangunan alur-pelayaran di laut yang menuju ke terminal khusus yang dikelola oleh badan usaha yang meliputi: survei hidrografi; penyusunan desain teknis; penyusunan metode kerja; dan penempatan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dapat mengikutsertakan badan usaha. 17. Kegiatan pengoperasian SBNP meliputi pengaturan: jarak tampak; tipe dan karakteristik lampu; warna lampu; tanda puncak; dan warna konstruksi. 18. Kegiatan pengoperasian Telkompel meliputi:
penetapan dinas jaga; jadwal
waktu siaran; dan menjaga keandalan. 19. Kegiatan pengoperasian alur pelayaran meliputi: penetapan sistem rute; tata cara berlalu lintas; penetapan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran; pemuatan ke dalam peta laut dan buku petunjuk pelayaran; dan diumumkan oleh instansi yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang pemetaan laut. 20. SBNP Kegiatan pemeliharaan meliputi : a.
pengecatan Sarana Bantu Navigasi - Pelayaran;
b.
membersihkan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran;
c.
menyesuaikan irama lampu;
d.
pengecekan dan penggantian catu daya; dan
e.
pengecekan posisi Sarana Bantu Navigasi Pelayaran.
Perbaikan meliputi :
88
a.
penggantian bola lampu dan flasher ;
b.
penggantian struktur menara;
c.
pengantian fender Pelampung suar;
d.
penggatian sistem penjangkaran pelampung suar; dan
e.
penggantian tanda puncak.
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
21. Telkompel Kegiatan pemeliharaan meliputi: a.
pembersihan debu;
b.
pengecekan catu daya;
c.
kalibrasi peralatan;
d.
pengecekan panel-panel;
e.
menjaga suhu udara ruangan agar tetap stabil; dan
f.
updating perangkat lunak.
Kegiatan perbaikan meliputi: a.
penggantian spare unit dan spare part; dan
b.
penggantian peralatan.
22. Alur Pelayaran Kegiatan pemeliharaan meliputi: a.
berkala tiap tahun sekali; dan
b.
sewaktu-waktu bila diperlukan.
23. Untuk kegiatan pengadaan/pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan dapat mengikutsertakan Badan Usaha dengan cakupan untuk kepentingan tertentu dan menuju lokasi tertentu serta yang menuju ke terminal khusus. 24. Benchmark ke Negara Jepang, kenavigasian berada di bawah Japan Coast Guard, di bagian Departemen Lalu Lintas Pelayaran, yang terbagi menjadi 4 (empat) divisi, yaitu: a.
Administration & Planning Division, bertugas melakukan analisis kecelakaan kapal dan membuat kebijakan di bidang lalu lintas pelayaran.
b.
Navigational Safety Division, bertugas membuat perencanaan pencegahan kecelakaan.
Ringkasan Studi (Executive Summary)
89
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
c.
Aids to Navigation Management Division, bertugas untuk perencanaan, pembangunan, management (pengelolaan) dan pengoperasian dari peralatan kenavigasian di Jepang.
d.
Aids to Navigation Engineering Division, bertugas untuk membuat perencanaan konstruksi dan pemeliharaan peralatan kenavigasian.
Dari struktur yang ada, pengadaan, pembangunan, pengelolaan dan pemeliharaan serta pengawasan kegiatan kenavigasian dilakukan oleh Japan Coast Guard.
J.
SARAN 1.
Rekomendasi Strategi Pembangunan Kenavigasian Rencana Strategis Pembangunan sarana dan prasarana serta penyelenggaraan jasa kenavigasian dapat dasarkan pada Rencana Strategis Transportasi Laut yag dituangkan dalam program Pembagunan Nasional (PROPENAS) sebagaimana diamanatkan oleh UU No.25/2000; yang meliputi :
2.
a.
Strategi Pokok
b.
Strategi Fungsional
c.
Strategi di Bidang SBNP
d.
Strategi dalam Rangka Pengembangan Sarana Telekomunikasi Pelayaran
e.
Strategi di Bidang Kapal Negara Kenavigasian
f.
Strategi di Bidang Fasilitas Penunjang (Pangkalan Kenavigasian)
g.
Strategi di Bidang Pengembangan SDM
Rekomendasi organisasi pengelolaan Kenavigasian Mengingat luasnya ruang lingkup kenavigasian sebagaimana dimuat dalam Ketentuan Umum UU no.17/2008 tentang Pelayaran, pada saat ini kegiatan kenavigasian diselenggarakan oleh beberapa instansi yaitu yang bertanggung jawab atas SBNP, Telekomunikasi Pelayaran, hidrografi dan meterologi, alur dan perlintasan, pengerukan dan reklamasi, pemanduan, penanganan
90
Ringkasan Studi (Executive Summary)
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
kerangka kapal, salvage dan pekerjaan bawah air untuk kepentingan keselamatan pelayaran kapal. Segala sesuatu yang terkait dengan kebijakan umum, kepentingan masyarakat luas dan perijinan serta standarisasi teknis harus tetap berada ditangan Pemerintah. Pengelolaan yang bersifat pengusahaan dapat dilakukan terhadap kegiatan yang diperkirakan dapat mendanai sendiri oleh Badan Hukum Indonesia milik negara ataupun kerjasama Badan Hukum Indonesia milik Negara dengan Badan Hukum Indonesia milik swasta dengan pengawasan Pemerintah terkait dengan pemenuhan persyaratan teknis, persyaratan prosedural serta persyaratan ekonomis. 3.
Penyelenggaraan Kenavigasian memiliki ruang lingkup yang luas, oleh karenanya perlu keterpadua dan kordinasi antar instansi yang sangat tinggi;
4.
Rasa tanggungjawab sektoral yang tinggi tidak boleh melupakan kepentingan nasional dan masyarakat banyak dalam memanfaatkan jasa Kenavigasian;
5.
Penyelenggaraan dan pengelolaan Kenavigasian harus selalu diaudit kesesuaiannya (compliance) dengan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku serta menganut tatakelola yang baik (good governance), transparan, dan akuntabel;
6.
Agar bisa konsisten dengan asas kesesuaian (compliancy), beberapa hal yang belum jelas pengaturannya perlu dikeluarkan aturan dan ketentuannya, diantaranya adalah tentang kemungkinan suatu Badan Usaha melakukan pengelolaan jasa kenavigasian, pengaturan alur pelayaran mana yang mungkin dikenakan penggunanya serta ketentuan mengenai tarip yang diberlakukan.
7.
Pembangunan dan pemasangan SBNP perlu mendapatkan perhatian yang serius guna meningkatkan kecukupan dan keandalan sesuai dengan standar IALA.
8.
Selain mengandalkan dana dari APBN, sumber pendanaan dibidang kenavigasian dalam mendukung keselamatan pelayaran perlu terus digali dari sumber-sumber lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
Ringkasan Studi (Executive Summary)
91
Studi Pengembangan Pola Penyelenggaraan Kenavigasian di Indonesia
berlaku,. 9.
Peraturan yang ada saat ini belum jelas untuk mengatur pengenaan biaya pada alur
pelayaran,
sehingga
perlu
dibuatkan
legal
standing
dengan
penyempurnaan undang-undang sehingga ada dasar hukum yang jelas. Oleh sebab itu perlu dibuatkan kriteria alur pelayaran yang dapat dipungut biaya (channel fee). 10. Perlu dilakukan scrapping terhadap kapal-kapal kenavigasian yang sudah berusia tua agar tidak menimbulkan biaya tinggi dalam hal perawatan/ pemeliharaan setiap tahunnya. 11. Pembangunan transportasi laut perlu
memprioritaskan upaya peningkatan
keselamatan dan keamanan pelayaran transportasi laut dengan arah kebijakan melengkapi fasilitas keselamatan pelayaran, yakni program rehabilitasi dan pembangunan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran baik di darat maupun di laut.
92
Ringkasan Studi (Executive Summary)