EVALUASI SIFAT FISIK DAN SENSORI FLAKES PATI GARUT DAN KACANG MERAH DENGAN PENAMBAHAN TIWUL SINGKONG
(Skripsi)
Oleh
ST AISAH ANAYUKA
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016
ABSTRACT
EVALUATION ON PHYSIC AND SENSORY PROPERTIES OF ARROWROOT STARCH AND RED BEANS FLAKES WITH TIWUL CASSAVA ADDITION
By
ST AISAH ANAYUKA
Flakes is a ready to eat product for breakfast that only needs less than 3 minutes to serve. Flakes can supply calories need because it contains high carbohydrates. Combination from roots that contains carbohydrates such as arrowroot and beans which are protein sources such as red beans, with “tiwul” cassava addition as fiber source can be used as raw material for flakes that nutrient rich and healthy. This research was arranged in a Complete Randomized Block Design (CRBD) with four repetition and one factor that is formulation of arrowroot starch and red beans. Analysis of physic and sensory properties applied on each formulation, then chemical analysis applied on the best formulation based on physic and sensory properties. The best flakes produces physic properties (texture) was 1,47 kgf, sensory properties of texture was 4,23 with crunchy criteria, sensory properties of color was 2,67 with light brown criteria, sensory properties of flavour and aroma was 3,47 with a little rotten taste criteria, and sensory
properties of overall acceptance was 3,87 with like criteria. The best flakes has water content 5,17%, ash content 2,81%, protein content 11,53%, fat content 1,25%, carbohydrate content 79,24%, and crude fiber content 2,55%.
Keywords : arrowroot starch, red beans, tiwul cassava, physic and sensory properties, flakes.
ABSTRAK
EVALUASI SIFAT FISIK DAN SENSORI FLAKES PATI GARUT DAN KACANG MERAH DENGAN PENAMBAHAN TIWUL SINGKONG
By
ST AISAH ANAYUKA
Flakes merupakan produk sarapan siap saji yang hanya membutuhkan waktu relatif singkat yaitu kurang dari 3 menit dalam penyajiannya.
Flakes dapat
memenuhi kebutuhan kalori seseorang karena mengandung karbohidrat yang cukup tinggi. Perpaduan antara umbi-umbian yang mengandung karbohidrat seperti umbi garut dan kacang-kacangan yang merupakan sumber protein seperti kacang merah serta penambahan tiwul singkong sebagai sumber serat dapat digunakan sebagai bahan baku produk flakes yang kaya gizi dan menyehatkan. Penelitian disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan empat kali ulangan yang terdiri dari satu faktor yaitu formulasi pati garut dan kacang merah. Analisis sifat fisik dan sensori dilakukan pada semua formulasi, selanjutnya dilakukan analisis kimia terhadap flakes dengan formulasi terbaik berdasarkan fisik dan uji sensori Formulasi terbaik menghasilkan sifat fisik (tekstur) flakes sebesar 1,47 kgf, sifat sensori tekstur (skor 4,23) dengan kriteria renyah, warna (skor 2,67) dengan kriteria coklat muda, rasa dan aroma
(skor 3,47) dengan kriteria tidak berasa langu, dan penerimaan keseluruhan (skor 3,87) dengan kriteria suka. Flakes formulasi terbaik memiliki kadar air sebesar 5,17%, kadar abu sebesar 2,81%, kadar protein sebesar 11,53%, kadar lemak sebesar 1,25%, kadar karbohidrat sebesar 79,24%, dan kadar serat kasar sebesar 2,55%.
Kata kunci : pati garut, kacang merah, tiwul singkong, sifat fisik dan sensori, flakes.
EVALUASI SIFAT FISIK DAN SENSORI FLAKES PATI GARUT DAN KACANG MERAH DENGAN PENAMBAHAN TIWUL SINGKONG
Oleh ST AISAH ANAYUKA
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 24 Desember 1992. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara buah hati pasangan Bapak Ir. Muhammadun Habibur Rozak (alm.) dan Ibu Ir. Yuli Kaesih. Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak di TK Al-Azhar 2 Bandar Lampung pada tahun 1998, Sekolah Dasar di SD Kartika II-5 Bandar Lampung pada tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 2 Bandar Lampung pada tahun 2007, dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 9 Bandar Lampung pada tahun 2010.
Pada tahun 2011, penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN Tertulis. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi Asisten Dosen mata kuliah Kimia Dasar I tahun ajar 2013/2014 dan aktif di organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian (HMJ THP) Fakultas Pertanian Universitas Lampung sebagai Anggota Bidang Pendidikan dan Penalaran periode 2012/2013 dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian sebagai Sekretaris Bidang Dana dan Usaha periode 2013/2014. Pada bulan Juli 2014, penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) di KPSBU Jawa Barat dan pada bulan Januari 2015, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik di Desa Gunung Tapa Udik, Tulang Bawang
SANWACANA
Bismillaahirrahmaanirrahiim, Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Evaluasi Sifat Fisik dan Sensori Flakes Pati Garut dan Kacang Merah dengan Penambahan Tiwul Singkong”. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. 2. Ibu Ir. Susilawati, M.Si., selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan masukan selama masa perkuliahan penulis. 3. Ibu Dr. Ir. Sussi Astuti, M.Si. selaku ketua komisi pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan arahan, saran, dan masukan selama penelitian dan penyelesaian skripsi penulis. 4. Bapak Dr. Ir. Suharyono A.S., M.S. selaku anggota komisi pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan pengarahan, saran, dan masukan selama penelitian dan penyelesaian skripsi penulis. 5. Bapak Dr. Ir. Subeki, M.Si., M.Sc. selaku penguji utama atas saran, bimbingan dan evaluasi selama penelitian dan penyelesaian skripsi penulis.
6. Seluruh Bapak dan Ibu dosen pengajar, staff administrasi dan laboratorium di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung. 7. Alm. Ayah, Mommy, Mba Opi, Abang Joseph, Riri, dan keluarga besar tersayang yang telah memberikan semangat, dukungan, motivasi dan doa sehingga penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan skripsi. 8. Sahabat-sahabat terbaik Bundo, Ratri, Sihol, Putri, Inun, Pute, Yati, Yoan, Mboy, Marle, Amur, Ira, Pakle, Indra, Ijal, Jon, dan Oos atas semua kenangan-kenangan yang tak terlupakan. 9. Keluarga besar JANJI GERHANA 2011 atas kebersamaan baik suka maupun duka selama masa kuliah. 10. Kakak-kakak, mbak-mbak dan adik-adik keluarga besar HMJ THP FP Unila atas bantuan dan dukungannya serta seluruh pihak yang telah membantu penulis selama ini hingga terselesaikannya skripsi ini.
Penulis berharap semoga Allah SWT membalas segala amal dan kebaikan semua pihak di atas dan skripsi ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Aamiin.
Bandar Lampung, April 2016 Penulis
ST Aisah Anayuka
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vii I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah .................................................................... 1 1.2. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 5 1.3. Kerangka Pemikiran …............................................................................. 5 1.4. Hipotesis …………………………………………………...................... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Umbi Garut ……………….…................................................................. 8 2.2. Pati Garut …………..………................................................................. 10 2.3. Kacang Merah ……………………….................................................... 13 2.4. Tiwul Singkong ………….………………............................................ 17 2.5. Flakes ……………................................................................................. 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian …............................................................ 23 3.2. Bahan dan Alat ....................................................................................... 23 3.3. Metode Penelitian ….............................................................................. 24 3.4. Pelaksanaan Penelitian ………………………………………............... 25 3.4.1. Pembuatan Pati Garut …...……………………………………… 25 3.4.2. Pembuatan Tepung Kacang Merah …..…………………………. 26 3.4.3. Pembuatan Tiwul Singkong ….…..….…….…………………… 28 3.4.4. Pembuatan Flakes Pati Garut dan Kacang Merah dengan Penambahan Tiwul Singkong …………………………………... 30 3.5. Pengamatan ……………………………................................................ 33 3.5.1. Analisis Fisik (Tekstur) ………………………………………… 33 3.5.2. Uji Sensori ……………………………………………………. 34 3.5.3. Analisis Kimia ………………………………………………….. 35 3.5.3.1. Kadar Air ……………………………………………...... 35 3.5.3.2. Kadar Abu ..…………………………………………...... 35
ii
3.5.3.3. Kadar Protein .………………………………………...... 36 3.5.3.4. Kadar Lemak ..………………………………………...... 37 3.5.3.5. Kadar Karbohidrat ……………………………………… 37 3.5.3.6. Kadar Serat Kasar ……………………………..……...... 38 3.5.3.7. Kadar Pati ………………………...…………………...... 38 3.5.3.8. Kadar Amilosa ……………………………………….… 40 3.5.3.8.1. Pembuatan Kurva Standar Amilosa …………. 40 3.5.3.8.2. Analisis Sampel ………………...……………. 40 3.5.3.9. Kadar Amilosa …………………………………………. 41 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Kimia Bahan Baku ................................................................... 42 4.2. Analisis Fisik (Tekstur) .......................................................................... 45 4.3. Uji Sensori …………………………………………………………..... 51 4.3.1. Tekstur ……………….………….……………………………… 51 4.3.2. Warna …………………………………………….….….……… 54 4.3.3. Rasa dan Aroma ……………….……….…………………….… 56 4.3.4. Penerimaan Keseluruhan ……………………………………….. 59 4.4. Penentuan Formulasi Terbaik …………………………………….… 62 4.5. Analisis Kimia Flakes Formulasi Terbaik ………………………….… 64 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan …………………………………………………………... 67 5.2. Saran ………………………………………………………………… 67 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 68 LAMPIRAN ........................................................................................................ 76
iii
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
Tabel 1. Komposisi kimia umbi garut kultivar creole dan kultivar banana per 100g bahan ............................................................................................. 10 Tabel 2. Komposisi kimia pati garut per 100 g bahan ......................................... 12 Tabel 3. Komposisi kimia pati garut berdasarkan varietas per 100 g bahan ….... 12 Tabel 4. Komposisi kimia kacang merah per 100 g bahan................................... 15 Tabel 5. Komposisi asam amino dalam kacang merah ...................................... 15 Tabel 6 Komposisi kimia tiwul singkong per 100 g bahan ….............................. 18 Tabel 7. Syarat mutu sereal (SNI 01-4270-1996) …...................................... 22 Tabel 8. Formulasi pati garut dan kacang merah dalam pembuatan flakes .......... 24 Tabel 9. Formulasi pembuatan flakes pati garut dan kacang merah dengan penambahan tiwul singkong ................................................................... 31 Tabel 10. Skala uji sensori …………………………........................................... 34 Tabel 11. Data hasil analisis kimia bahan baku ………………........................... 42 Tabel 12. Pengaruh perbandingan pati garut dan tepung kacang merah terhadap tekstur flakes dengan penambahan tiwul singkong ............................ 46 Tabel 13. Pengaruh perbandingan pati garut dan tepung kacang merah terhadap sensori tekstur flakes dengan penambahan tiwul singkong ................. 52 Tabel 14. Pengaruh perbandingan pati garut dan tepung kacang merah terhadap warna flakes dengan penambahan tiwul singkong .............................. 54 Tabel 15. Pengaruh perbandingan pati garut dan tepung kacang merah terhadap rasa dan aroma flakes dengan penambahan tiwul singkong …............ 57
iv
Tabel 16. Pengaruh perbandingan pati garut dan tepung kacang merah terhadap penerimaan keseluruhan flakes dengan penambahan tiwul singkong . 60 Tabel 17. Penentuan formulasi flakes pati garut dan kacang merah dengan penambahan tiwul singkong yang terbaik ……………………......... 62 Tabel 18. Hasil analisis kimia flakes formulasi terbaik …................................... 64 Tabel 19. Data hasil analisis kadar air bahan baku …..................................... 76 Tabel 20. Data hasil analisis kadar abu bahan baku ....................................... 76 Tabel 21. Data hasil analisis kadar protein bahan baku …………................... 76 Tabel 22. Data hasil analisis kadar lemak bahan baku ……......................... 76 Tabel 23. Data hasil analisis kadar karbohidrat bahan baku ........................... 77 Tabel 24. Data hasil analisis kadar serat kasar bahan baku ............................ 77 Tabel 25. Data hasil analisis kadar pati bahan baku ...................................... 77 Tabel 26. Data hasil analisis kadar amilosa bahan baku .............................. 77 Tabel 27. Data hasil analisis kadar amilopektin bahan baku .......................... 78 Tabel 28. Data pengujian kerenyahan yekstur flakes ….................................... 78 Tabel 29. Uji homogenitas pengujian kerenyahan tekstur flakes .................... 78 Tabel 30. Analisis ragam pengujian kerenyahan tekstur flakes ...................... 79 Tabel 31. Uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pengujian kerenyahan tekstur flakes ................................................................................................. 79 Tabel 32. Data pengujian sensori tekstur flakes ............................................... 80 Tabel 33. Uji homogenitas pengujian sensori tekstur flakes ......................... 80 Tabel 34. Analisis ragam pengujian sensori tekstur flakes ............................. 81 Tabel 35. Uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pengujian sensori tekstur flakes 81 Tabel 36. Data pengujian sensori warna flakes …........................................... 82 Tabel 37. Uji homogenitas pengujian sensori warna flakes ……….............. 82 Tabel 38. Analisis ragam pengujian sensori warna flakes …........................... 83
v
Tabel 39. Uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pengujian sensori warna Flakes 83 Tabel 40. Data pengujian sensori rasa dan aroma flakes …............................. 84 Tabel 41. Uji homogenitas pengujian sensori rasa dan aroma flakes ............. 84 Tabel 42. Analisis ragam pengujian sensori rasa dan aroma flakes ............... 85 Tabel 43. Uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pengujian sensori rasa dan aroma flakes …….………..………………………………………………… 85 Tabel 44. Data pengujian sensori penerimaan keseluruhan flakes ………...… 86 Tabel 45. Uji homogenitas pengujian sensori penerimaan keseluruhan flakes 85 Tabel 46. Analisis ragam pengujian sensori penerimaan keseluruhan flakes 87 Tabel 47. Uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pengujian sensori penerimaan keseluruhan flakes ……………………………………… 87
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
Gambar 1. Umbi garut ..………………................................................................. 9 Gambar 2. Kacang merah …………..................................................................... 14 Gambar 3. Proses pembuatan pati garut ............................................................... 26 Gambar 4. Proses pembuatan tepung kacang merah ............................................ 27 Gambar 5. Proses pembuatan tiwul singkong …………………………….......... 29 Gambar 6. Proses pembuatan flakes pati garut dan kacang merah dengan penambahan tiwul singkong ............................................................... 32 Gambar 7. Histogram pengaruh perbandingan pati garut dan tepung kacang merah terhadap tekstur (kekerasan) flakes dengan penambahan tiwul singkong ……………………………………………………............ 46 Gambar 8. Histogram pengaruh perbandingan pati garut dan tepung kacang merah terhadap skor tekstur flakes (uji sensori) dengan penambahan tiwul singkong ………………………………………………………........ 52 Gambar 9. Histogram pengaruh perbandingan pati garut dan tepung kacang merah terhadap skor warna flakes dengan penambahan tiwul singkong ….. 55 Gambar 10. Histogram pengaruh perbandingan pati garut dan tepung kacang merah terhadap skor rasa dan aroma flakes dengan penambahan tiwul singkong .................................................................................. 58 Gambar 11. Histogram pengaruh perbandingan pati garut dan tepung kacang merah terhadap skor penerimaan keseluruhan flakes dengan penambahan tiwul singkong ............................................................. 61 Gambar 12. Proses penimbangan bahan baku pembuatan flakes ......................... 88 Gambar 13. Proses pencampuran kering .............................................................. 88
vii
Gambar 14. Proses pencampuran adonan dengan air …....................................... 89 Gambar 15. Proses pengukusan adonan ............................................................... 89 Gambar 16. Pemipihan adonan ............................................................................ 90 Gambar 17. Penataan di tray ………………………………................................ 90 Gambar 18. Pemanggangan flakes …………………………………………....... 91 Gambar 19. Flakes formulasi pati garut dan kacang merah ................................. 91 Gambar 20. Pengujian tekstur flakes .................................................................... 92 Gambar 21. Pengujian sensori flakes oleh panelis …………………………....... 92
viii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang dan Masalah
Pangan fungsional merupakan bahan pangan yang tidak hanya memiliki fungsi primer sebagai sumber zat gizi bagi tubuh, tetapi juga memiliki fungsi lain yang menguntungkan bagi kesehatan dan mengurangi resiko penyakit pada tubuh manusia yang mengkonsumsinya.
Pangan yang termasuk ke dalam kategori
pangan fungsional yaitu pangan segar maupun produk olahan pangan, fortifikasi zat gizi dalam makanan, dan suplemen makanan (Silalahi, 2006). Seiring dengan perkembangan ilmu teknologi dan pangan, semakin banyak produk-produk olahan pangan yang dimodifikasi sehingga memiliki sifat fungsional. Produk pangan fungsional yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah makanan yang biasa dikonsumsi saat sarapan.
Sarapan adalah suatu kegiatan makan yang dilakukan sebelum beraktifitas di pagi hari. Tubuh membutuhkan asupan energi dari sarapan setelah sepanjang malam tidak mendapatkan makanan selama manusia tidur. Kadar gula dalam darah akan menurun sekitar dua jam setelah seseorang bangun dari tidur. Seseorang yang tidak mengonsumsi sarapan akan merasa lemas atau lesu karena menurunnya kadar gula dalam tubuh. Oleh karena itu, diperlukan sarapan di pagi hari untuk
2 menaikkan kembali kadar gula dalam darah serta memberikan energi bagi tubuh (Yusnalaini, 2004).
Salah satu makanan yang digemari oleh masyarakat sebagai makanan sarapan adalah flakes. Flakes merupakan produk sarapan siap saji atau Ready-to–eat (RTE) yang hanya membutuhkan waktu relatif singkat yaitu kurang dari 3 menit dalam penyajiannya dan dapat memenuhi kebutuhan kalori seseorang karena mengandung karbohidrat yang cukup tinggi. Pada umumnya, flakes yang dijual di pasaran terbuat dari serealia atau biji-bijian seperti gandum, jagung, dan beras. Akan tetapi, umbi-umbian dan kacang-kacangan juga dapat digunakan sebagai bahan baku flakes.
Perpaduan antara umbi-umbian yang mengandung
karbohidrat dengan kacang-kacangan yang merupakan sumber protein dapat digunakan sebagai bahan baku produk flakes yang kaya gizi dan menyehatkan.
Garut (Maranta arundinaceae L.) merupakan salah satu jenis umbi-umbian yang cukup banyak tersedia di Indonesia dan mulai banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pangan.
Menurut Badan Pusat Statistik (2003),
kapasitas produksi rata-rata umbi garut di Indonesia sebesar 8 ton/hektar atau sekitar 3.080 ton setiap kali panen. Umbi garut memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku pengganti pangan sumber karbohidrat seperti beras dan gandum. Umbi garut juga memiliki indeks glikemik yang rendah yaitu sebesar 14, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pangan bagi penderita diabetes (Marsono, 2002). Pati garut adalah olahan umbi garut yang mengandung karbohidrat dan memiliki tingkat kekentalan yang tinggi. Meskipun pati garut memiliki kandungan lemak dan protein yang rendah, namun
3 kandungan fosfor dan zat besi lebih tinggi dibandingkan dengan tepung terigu (Jyothi et al., 2009). Oleh karena itu, pati garut dapat menjadi bahan baku produk flakes karena kandungan karbohidratnya yang tinggi namun perlu dikombinasikan dengan pangan yang mengandung protein tinggi sehingga dapat memperkaya nilai gizi dari flakes.
Kacang merah (Phaseolus vulgaris L.) adalah salah satu jenis kacang-kacangan yang banyak ditemukan dan dimanfaatkan di Indonesia.
Pada tahun 2014,
produksi kacang merah di daerah Lampung sebesar 1.113 ton, sedangkan produksi kacang merah di Indonesia mencapai angka 100.319 ton (BPS, 2016). Kacang merah biasa dikonsumsi oleh masyarakat sebagai campuran dalam makanan seperti sup, es krim, maupun kue. Kandungan protein pada kacang merah cukup tinggi yaitu berkisar 21-27% (Rukmana, 2009).
Pemanfaatan kacang merah
sebagai sumber protein produk flakes dilakukan untuk penganekaragaman olahan kacang merah dan memperkaya produk flakes yang dihasilkan. Menurut Marsono et al. (2002), kacang merah termasuk ke dalam golongan pangan yang memiliki nilai IG rendah sebesar 26.
Tiwul singkong adalah makanan tradisional khas Indonesia yang tidak hanya dapat ditemukan di pulau Jawa, namun juga banyak dijumpai di daerah lainnya termasuk daerah Lampung. Masyarakat Indonesia biasanya menjadikan tiwul singkong sebagai makanan pokok pengganti nasi, terutama bagi masyarakat pedesaan.
Meskipun identik dengan makanan kalangan bawah, tetapi tiwul
singkong memiliki kandungan gizi yang tidak kalah dengan makanan lainnya yaitu kadar karbohidrat sebesar 82,7%. Kadar protein tiwul singkong lebih tinggi
4 dibandingkan dengan umbi singkong segar karena tiwul singkong telah melalui proses pengeringan yang dapat meningkatkan kadar protein. Selain itu, tiwul singkong memiliki kadar IG yang rendah yaitu 29 (Hasan et al., 2011). Oleh karena itu, tiwul singkong dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan flakes sehingga menghasilkan produk yang kaya gizi dan menyehatkan.
Penggunaan pangan dengan kadar IG rendah dalam pembuatan produk pangan fungsional dapat menghasilkan produk yang baik untuk dikonsumsi penderita diabetes karena menekan peningkatan kadar gula darah. Menurut International Diabetes Federation (2016), pada tahun 2015 terdapat 10 juta penderita diabetes di Indonesia dari 415 juta penderita di dunia. Angka tersebut dapat terus bertambah setiap tahunnya yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai gejala dan penyebab penyakit diabetes serta pola konsumsi pangan kurang tepat. Pemilihan makanan dengan IG rendah dapat menjadi salah satu alternatif dalam penanganan dan pencegahan penyakit diabetes.
Pemanfaatan pati garut, kacang merah, dan tiwul singkong dalam pembuatan flakes pati garut dan kacang merah berbasis tiwul singkong ini dapat menjadi salah satu pangan alternatif sebagai pengganti makanan sarapan yang tidak membutuhkan waktu lama dalam penyajiannya dan praktis sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada saat ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengevaluasi sifat fisik dan sensori flakes pati garut dan kacang merah dengan penambahan tiwul singkong.
5 1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi flakes pati garut dan kacang merah dengan penambahan tiwul singkong yang terbaik secara fisik dan sensori.
1.3. Kerangka Pemikiran
Salah satu karakteristik yang diinginkan dari produk flakes adalah kerenyahan produk tersebut.
Pada umumnya masyarakat mengonsumsi flakes dengan
menambahkan susu. Kadar air flakes berkisar antara 3-6% (Potter and Hotchkiss, 2005).
Konsumen menginginkan flakes yang mampu mempertahankan
kerenyahan lebih lama setelah penambahan susu.
Kerenyahan tersebut dapat
dicapai dengan penambahan pati dalam bentuk tepung pada pembuatan flakes. Pati yang digunakan bisa dalam bentuk pati yang belum mengalami modifikasi maupun pati termodifikasi (Gaman dan Sherington, 1981). Penggunaan olahan umbi garut berupa pati garut sebagai bahan baku pembuatan flakes diharapkan dapat menghasilkan karakteristik yang sesuai dengan keinginan konsumen. Selain itu, penggunaan pati garut juga dapat memenuhi asupan energi seseorang tanpa menaikkan kadar gula darah dengan cepat.
Pati garut merupakan salah satu bentuk karbohidrat yang murni dan mempunyai sifat yang sangat mudah dicerna (Kay, 1973). Kandungan karbohidrat dalam pati garut cukup tinggi dengan perbandingan amilosa dan amilopektin sebesar 1:3 (Faridah, et al. 2014). Pati garut dapat dimanfaatkan sebagai pengganti tepung terigu dalam pengolahan pangan. Pada pembuatan kue kering dengan substitusi
6 pati garut terhadap tepung terigu sebesar 60-100% menghasilkan kerenyahan tinggi (Djaafar et al, 2004).
Berdasarkan hasil penelitian Amalia dan Kusharto (2013), flakes pati garut dengan penambahan tepung ikan lele dumbo yang mengandung kandungan protein lebih tinggi akan membuat tekstur menjadi lebih renyah daripada flakes yang hanya menggunakan pati garut saja. Daya serap air yang dihasilkan oleh flakes pati garut lebih rendah dibandingkan flakes pati garut yang ditambahkan dengan tepung ikan lele. Hal ini karena tingkat porositas bahan penyusun flakes pati garut yang ditambahkan tepung ikan lele lebih besar dibanding flakes pati garut, di mana semakin tinggi porositas bahan akan semakin banyak jumlah air yang diserap bahan. Oleh karena itu, pada pembuatan flakes menggunakan pati garut perlu ditambahkan bahan pangan dengan kandungan protein tinggi sehingga dapat menghasilkan tekstur flakes yang renyah dan memperkaya kandungan gizi flakes.
Penambahan kacang merah sebagai sumber protein dalam pembuatan flakes berbahan baku pati garut ditujukan untuk meningkatkan nilai gizi flakes yang dihasilkan. Aplikasi kacang merah dalam bentuk mentah masih sangat terbatas sehingga perlu dilakukan penepungan untuk mempermudah penggunaannya dalam pengolahan pangan.
Berdasarkan pengujian sensori yang dilakukan
Ekawati (1999) pada pembuatan cookies, tingkat substitusi tepung kacang merah yang dapat diterima mencapai 50%.
Tingkat substitusi lebih dari 50% akan
menghasilkan after taste pada cookies yang dihasilkan.
7 Penambahan tapioka pada pembuatan flakes diperlukan untuk meningkatkan penampilan produk akhir flakes dan mengembangkan produk sehingga flakes tidak mudah menjadi keras dan meningkatkan daya rekat karena kandungan pati yang tinggi serta menghasilkan tekstur yang renyah. Menurut Pusat Diabetes dan Lipid RSCM/Fakultas Kedokteran UI dalam Hall (2007) tapioka memiliki nilai IG yang cukup tinggi yaitu 42. Oleh karena itu diperlukan pengganti tapioka yang berasal dari produk olahan singkong yang memiliki nilai IG rendah seperti tiwul singkong.
Tiwul singkong dilaporkan Hasan et al.(2011) memiliki nilai IG
sebesar 29.
Pada penelitian ini, penggunaan pati garut berperan sebagai sumber karbohidrat penghasil energi. Akan tetapi karena kandungan protein dan lemak pati garut sangat rendah, maka perlu dilakukan penambahan sumber protein dari kacang merah untuk memperkaya kandungan gizi flakes yang dihasilkan. Selain itu, penggantian tapioka dengan tiwul singkong sebagai pengembang flakes dan meningkatkan kerenyahan flakes dilakukan karena tiwul singkong memiliki nilai IG yang lebih rendah dibandingkan dengan tapioka. Pemilihan bahan baku utama flakes menggunakan kombinasi pangan dengan nilai IG rendah diharapkan dapat menghasilkan flakes terbaik secara fisik dan sensori.
1.4. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini yaitu terdapat formulasi pati garut dan kacang merah dengan penambahan tiwul singkong yang menghasilkan sifat fisik dan sensori flakes terbaik.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Umbi Garut
Umbi garut (Maranta arundinacea Linn.) merupakan jenis tanaman tahunan yang berasal dari Amerika tropis dan sudah tersebar ke negara-negara sepert India, Srilanka, Filipina, dan Indonesia (Sastrapraja et al., 1977). Umbi garut yang sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1936 ini memiliki nama yang berbedabeda di Indonesia. Di daerah Karo, umbi garut dikenal dengan nama sagu banban, di Jawa dikenal dengan nama irut atau larut, di Minangkabau disebut sagu rare, di Palembang disebut sagu dan di Nias disebut sagu andrawa. Nama lain garut di daerah Ternate adalah huda sula, sedangkan di daerah Gorontalo dikenal dengan nama labia walanta (Heyne, 1987).
Umbi garut merupakan rhizoma dari tanaman garut yang berwarna putih dan dibungkus dengan sisik-sisik secara teratur. Sisik dari umbi garut berwarna putih sampai coklat pucat. Umbi garut mempunyai panjang yang berkisar antara 20-45 cm dengan diameter sekitar 2,5 cm (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Bentuk ujung umbi dapat menunjukkan tingkat kematangan umbi tersebut. Umbi yang memiliki ujung lancip menandakan umbi garut masih muda, sedangkan umbi dengan ujung tumpul membulat menandakan umbi tersebut sudah tua. Selain ujung umbi, warna umbi garut juga dapat digunakan untuk mengetahui
9 kematangan umbi. Umbi muda memiliki sisik berwarna putih, sedangkan umbi yang sudah tua memiliki sisik yang berwarna coklat (Suranto, 1989). Umbi garut dapat dipanen sekitar 10-12 bulan setelah ditanam, pada saat daun-daunnya telah layu dan mati (Kay, 1973).
Gambar 1. Umbi Garut (Badan Litbang Pertanian, 2015)
Garut memiliki beberapa kultivar, dua kultivar yang banyak di jumpai di Indonesia adalah kultivar creole dan kultivar banana. Kultivar creole memiliki bentuk rhizoma yang kurus panjang, umbi yang tersusun menyebar dan menembus masuk ke dalam tanah, dan lebih berserat. Setelah panen, umbi garut kultivar creole memiliki daya tahan selama tujuh hari sebelum dilakukan pengolahan. Kultivar banana memiliki bentuk rhizoma yang pendek dan gemuk, umbi tumbuh dekat dengan permukaan tanah sehingga lebih mudah dipanen, dan kadar serat yang lebih sedikit. Umbi garut kultivar banana setelah dipanen hanya dapat bertahan selama 48 jam, sehingga harus segera dilakukan pengolahan setelah dipanen (Villamayor dan Jukema, 1996). Komposisi kimia umbi garut kultivar creole dan kultivar banana per 100 g bahan dapat dilihat pada Tabel 1.
10 Tabel 1. Komposisi kimia umbi garut kultivar creole dan kultivar banana per 100 g bahan Komposisi Kimia Air (g) Abu (g) Lemak (g) Serat (g) Protein kasar (g) Pati (g) Sumber : Lingga et al. (1986)
Creole 69,1 1,4 0,1 1,3 1,0 21,3
Banana 72,0 1,3 0,1 0,6 2,2 19,4
Umbi garut berpotensi sebaga pangan alternatif sumber karbohidrat dan memberikan manfaat bagi kesehatan, terutama bagi penderita diabetes karena memiliki nilai indeks glikemik yang rendah yaitu sebesar 14 (Marsono, 2002). Umbi garut muda memiliki rasa manis yang dapat dimakan dengan cara dikukus, direbus, atau dibakar. Sedangkan umbi garut yang sudah tua diolah menjadi tepung atau diambil patinya (Rukmana, 2000). Pemanfaatan umbi garut dapat berupa bentuk olahan tepung atau pati garut. Tepung garut memiliki karakteristik yang serupa dengan tepung terigu (Giantine, 2007). Pati yang dihasilkan dari umbi garut dapat dijadikan sebagai bahan makanan bagi orang sakit dan bayi (Kay, 1973).
2.2. Pati Garut
Pati garut merupakan salah satu bentuk karbohidrat alami yang memiliki kekentalan tinggi. Kekentalan ini sangat dipengaruhi oleh keasaman air yang digunakan dalam proses pengolahannya (Kay, 1973).
Rendemen pati yang
didapatkan dari umbi garut sebesar 16-18% (Villamayor dan Jukema, 1996). Menurut Pudjiono (1998), pati garut mempunyai beberapa sifat sebagai berikut : 1.
Mudah larut dan mudah dicerna sehingga cocok sebagai makanan bayi.
11 2.
Memiliki granula berbentuk oval dengan ukuran 15-70 mikron.
3.
Pati garut dari kultivar banana memiliki lebih banyak butiran yang berukuran besar dibandingkan dengan pati dari kultivar creole.
4.
Suhu awal gelatinisasi sebesar 70°C.
5.
Apabila terkena air panas maka akan mudah mengembang dengan daya kembang 54%.
6.
Pati garut yang digunakan untuk keperluan komersil harus memenuhi syarat kadar air yang tidak boleh lebih dari 18%, kandungan abu dan serat rendah, pH berkisar antara 4,5-7, kekentalan 512-640 BU.
Pengolahan pati garut adalah proses yang dilakukan untuk memisahkan granulagranula pati dari umbinya. Granula-granula pati berikatan dengan bahan lain seperti protein, karbohidrat terlarut, lemak, dan lainnya di dalam sel sehingga diperlukan pemisahan melalui proses pemurnian atau pencucian menggunakan air. Pengolahan yang dilakukan meliputi beberapa tahapan yaitu persiapan dan ekstraksi, pemurnian, pemisahan air, pengeringan, dan finishing.
Pada tahap
persiapan dan ekstraksi terjadi penghancuran dinding seldan pemisahan granulagranula pati dari bahan terlarut seperti kotoran. Selanjutnya, di tahap pencucian dilakukan substitusi air terhadap cairan yang mengelilingi granula-granula pati sehingga mempermudah pemisahannya. Tahap pemisahan air dan pengeringan dilakukan untuk membuang air hingga kering dan didapatkan kadar air tertentu. Tahap finishing merupakan tahap penghancuran gumpalan pati dan pengayakan (Grace, 1997). Komposisi kimia pati garut per 100 g bahan dapat dilihat pada Tabel 2.
12 Tabel 2. Komposisi kimia pati garut per 100 g bahan Komposisi
Murdiyati (1983) Air 13,07 Protein 0,47 Abu 0,20 Serat Pati 83,19 Amilosa Amilopektin Sumber : Sitorus (2003)
Pati Garut (%) Chilmijati (1999) 12,80 0,65 0,20 1,25 84,09 31,35 68,05
Mariati (2001) 10,45 - 13,09 0,44 - 1,90 0,13 - 1,65 0,19 - 0,50 92,24 - 98,78 29,67 - 31,34 55,81 - 69,16
Komposisi kimia pati garut dipengaruhi oleh komposisi kimia umbi garut. Varietas garut yang berbeda juga menghasilkan pati garut dengan komposisi yang berbeda. Berdasarkan penelitian Mariati (2001), perlakuan pembuatan pati garut juga mempengaruhi komposisi kimia pati garut yang dihasilkan. Perlakuan yang dilakukan yaitu perendaman garam NaCl dan Na-bisulfit 0,3% pada empat varietas garut yang berbeda yaitu varietas Banyumas, varietas Bagelen, varietas Playen, dan varietas Banjarnegara.
Komposisi kimia pati garut berdasarkan
variestas yang didapatkan Mariati (2001) dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia pati garut berdasarkan varietas per 100 g bahan Komposisi Kimia (%)
Playen Na Bi 11,69 11,65 0,14 0,13 0,59 0,59 0,24 0,33 87,35 87,31 0,21 0,35 98,78 96,51
Varietas Purworejo Banjarnegara Na Bi Na Bi 10,45 10,74 13,09 11,27 0,14 0,13 0,26 0,29 0,39 0,88 0,57 0,73 0,60 0,52 0,49 0,53 88,45 87,73 85,61 87,11 0,40 0,35 0,44 0,37 94,54 92,24 94,63 92,44
Air Abu Protein Lemak Karbohidrat Serat Kasar Pati Keterangan : Na = pati dengan perlakuan NaCl Bi = pati dengan perlakuan Na-bisulfit Sumber : Mariati (2001)
Banyumas Na Bi 11,52 12,08 0,22 0,32 0,98 0,77 0,22 0,36 87,05 87,53 0,17 0,17 88,14 86,36
13 Menurut Greenwood (1970), keberadaan amilosa dalam pati bervariasi disebabkan oleh faktor genetik, sehingga kadar amilosa yang dihasilkan dipengaruhi oleh varietas tanaman tersebut.
Seiring bertambah umur panen umbi garut, kadar
amilosa dalam pati garut akan semakin meningkat. Pada umur panen 10 bulan, kadar amilosa dalam pati mencapai sebesar 40,92% dengan kadar air 14,85% (BPTP Yogyakarta, 2012)
Pemanfaatan pati garut yang telah banyak dilakukan diantaranya sebagai bahan baku industri pangan, kertas, farmasi, dan kosmetik (Erdman, 1986). Pati garut juga sudah banyak dimanfaatkan dalam bidang pangan sebagai bahan pengganti tepung terigu, bahan baku glukosa cair (Richana et al., 2000), dan makanan bayi yang mudah dicerna dan mudah larut (Villamayor and Jukema, 1996). Pada pembuatan kue kering dengan substitusi pati garut terhadap tepung terigu sebesar 60-100% menghasilkan kerenyahan tinggi (Djaafar et al., 2004).
2.3. Kacang Merah
Kacang merah (Phaseolus vulgaris L) adalah tanaman yang berasal dari Meksiko Selatan, Amerika Selatan, dan Cina. Meskipun bukan berasal dari Indonesia, kacang merah banyak ditemukan di berbagai daerah seperti Pangalengan, Lembang, Pacet, Bogor, dan Lombok (Sunarjono, 1972).
Kacang merah
merupakan tanaman yang termasuk dalam famili Leguminosa genus Phaseolus dan spesies vulgaris. Nama ilmiah kacang merah sama dengan kacang buncis dan yang membedakannya hanya tipe pertumbuhan dan kebiasaan panennya saja. Kacang merah tidak tumbuh merambat dan pada umumnya yang dipanen adalah polong tua atau biji-bijian saja, sedangkan kacang buncis tumbuh merambat dan
14 pada umumnya bagian yang dipanen adalah polong-polong muda. Biji kacang merah berbentuk bulat agak panjang, berwarna merah atau merah berbintik-bintik putih (Rukmana, 2009).
Gambar 2. Kacang Merah
Kacang merah merupakan salah satu sumber protein nabati. Selain kaya akan protein, kacang merah juga mengandung karbohidrat yang tinggi, mineral dan vitamin. Kacang merah memiliki kandungan karbohidrat tertinggi diantara jenis kacang-kacangan lainnya, kandungan protein yang setara dengan kacang hijau dan kandungan lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan kacang kedelai, serta kandungan serat yang setara dengan kacang hijau, kacang kedelai, dan kacang tanah. Protein kacang merah juga dapat digunakan untuk menurunkan kadar kolesterol Low Density Lipoprotein (LDL) yang bersifat jahat bagi kesehatan dan meningkatkan kolesterol High Density Lipoprotein (HDL) yang bersifat baik bagi (Astawan, 2009). Menurut Salunkhe et al. (1985), kandungan vitamin B dalam kacang merah terdiri dari thiamin 0,88 mg/100 g, riboflavin 0,14 mg/100 g, dan
15 niasin 2,2 mg/100 g. Komposisi kimia kacang merah per 100 g bahan dan komposisi asam amino dalam kacang merah dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 4. Komposisi kimia kacang merah per 100 g bahan Kacang Merah Kering Kalori (Kal) 314,00 Protein (g) 22,10 Lemak (g) 1,10 Karbohidrat (g) 56,20 Kalsium (mg) 502,00 Fosfor (mg) 429,00 Besi (mg) 0,30 Vitamin B1 (mg) 0,40 Sumber : Departemen Kesehatan RI (1995) Komposisi
Kacang Merah Segar 171,00 11,00 2,20 28,00 29,30 134,00 3,70 0,15
Kacang Merah Rebus 144,00 10,00 1,00 24,70 144,00 150,00 2,80 0,10
Tabel 5. Komposisi asam amino dalam kacang merah Komponen Asam Amino Isoleusin Leusin Lisin Metionin Sistein Fenilalanin Tirosin Treonin Triptofan Valin Arginin Histidin Alanin Sumber : Kay (1979)
mg/g protein 41,92 76,16 72,00 10,56 8,48 52,16 25,28 39,68 10,08 45,92 56,80 28,32 52,16
Susunan asam amino esensial yang terkandung dalam kacang merah sangat lengkap. Asam amino pembatas pada kacang merah adalah metionin dan sistein dengan kadar metionin 10,56 mg /100 g protein dan kadar sistein 8,46 mg/100 g protein. Akan tetapi protein dalam kacang-kacangan mengandung lisin yang lebih
16 banyak dibandingkan dengan serealia dan tanaman lainnya. Kadar leusin dalam kacang merah sebesar 76,16 mg/g protein. Leusin diperlukan untuk pertumbuhan anak dan menjaga keseimbangan nitrogen pada orang dewasa, serta berfungsi dalam perombakan dan pembentukan protein otot (Astawan, 2009).
Kacang merah sebaiknya tidak dikonsumsi dalam keadaan mentah karena mengandung asam fitat.
Senyawa fitat sulit dicerna, sehingga fosfor yang
terkanadung dalam asam fitat tidak dapat digunakan oleh tubuh. Kemampuan asam fitat untuk mengikat ion-ion metal akan hilang apabila grup fosfatnya terhidrolisis oleh enzim ftase, menghasilkan inositol dan asam fosfat sehingga meningkatkan ketersediaan fosfor bagi tubuh. Kadar asam fitat kacang merah dapat diturunkan sebesar 41,9% dengan perlakuan perendaman dan perebusan. Kacang merah juga memiliki kandungan tanin cukup tinggi yang sebagian besar terdapat di bagan kulit. Tanin memiliki kemampuan untuk mengikat mineral seperti besi dan magnesium, sehingga mineral tersebut menjadi tidak tersedia bagi tubuh. Kadar tanin dapat diturunkan sebesar 68-95% dengan proses pengupasan kulit kacang merah.
Aktivitas tanin juga dapat dikurangi dengan proses
perendaman dan pemanasan (Astawan, 2009).
Kacang merah yang termasuk ke dalam famili Leguminosa memiliki umur simpan yang pendek serta aplikasi yang terbatas dalam bentuk mentah sehingga perlu dilakukan penepungan untuk mempermudah penggunaannya dalam pengolahan pangan.
Menurut Karisma (2014), penepungan kacang merah dapat
meningkatkan kadar protein dari 23,0% menjadi 25,1% karena protein dalam tepung tidak terikat oleh matriks kacang merah sehingga diperoleh kadar protein
17 yang lebih tinggi.
Pada pembuatan cookies, tepung kacang merah dapat
menggantikan tepung terigu hingga 50%. Uji organoleptik terhadap cookies yang dilakukan Ekawati (1999) menunjukkan bahwa tingkat substitusi tepung kacang merah yang dapat diterima yaitu hingga 50%. Substitusi lebih dari 50% akan menghasilkan after taste pada cookies yang dihasilkan. Menurut Hartayanie dan Retnaningsih (2006), tepung kacang merah dapat mensubstitusi tepung terigu hingga 30% pada pembuatan roti tawar. Semakin tinggi tingkat substitusi tepung kacang merah, semakin padat roti yang dihasilkan karena semakin rendah tingkat pengembangan dan porositasnya.
2.4. Tiwul Singkong
Tiwul merupakan pangan hasil olahan gaplek singkong yang dihaluskan dan dikukus (Rukmana, 2002). Tiwul adalah makanan tradisional yang biasa dibuat oleh masyarakat untuk memanfaatkan produksi singkong yang cukup melimpah di Indonesia. Tiwul diolah di berbagai daerah di Indonesia termasuk di Provinsi Lampung, namun lebih banyak ditemukan di daerah Jawa.
Penduduk Jawa
menjadikan tiwul sebagai makanan pengganti beras pada musim paceklik. Tiwul memiliki penampilan yang berbeda dari beras yaitu sedikit menggumpal dan berwarna kekuningan, kecoklatan, kehitaman, namun ada juga yang berwarna putih menyerupai beras dengan aroma yang kuat.
Di pasaran, tiwul banyak
dijumpai dalam bentuk butiran-butiran seperti beras berwarna coklat kehitaman.
Singkong yang digunakan dalam pembuatan tiwul terlebih dahulu dijadikan tepung gaplek. Selanjutnya tepung gaplek tersebut dikukus dengan ditambahkan garam atau gula dan diberi sedikit air. Penambahan garam atau gula adalah untuk
18 memberikan rasa pada tiwul yang dihasilkan. Pada umumnya penyajian tiwul dilakukan dengan menambahkan parutan kelapa di atas tiwul yang akan dimakan (Yuliawati, 1999).
Menurut Hasan et al. (2011), proses pembuatan tiwul dilakukan dalam beberapa tahapan.
Proses pertama adalah pengupasan singkong dan pencucian.
Selanjutnya singkong yang sudah bersih diiris dan dijemur di bawah sinar matahari. Singkong yang sudah kering ini disebut gaplek. Proses selanjutnya adalah pengilingan gaplek hingga menjadi tepung dan pengayakan. Kemudian tepung gaplek diletakkan dalam nampan atau tampah dan diberi air sedikit demi sedikit sambil nampan diputar sehingga diperoleh gumpalan tepung gaplek. Gumpalan-gumpalan tersebut dikukus hingga berwarna coklat kekuningan yang disebut dengan tiwul (Retno, 1994).
Tiwul singkong memiliki kandungan karbohidrat yang lebih tinggi dibandingkan dengan oyek singkong karena adanya perbedaan proses pengolahan. Pada proses pengolahan oyek dilakukan perendaman dan pemerasan sehingga membuat kadar karbohidrat yang terkandung dalam bahan menjadi berkurang. Komposisi kimia tiwul singkong per 100 g bahan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Komposisi kimia tiwul singkong per 100 g bahan Komponen Kimia Air (g) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Serat Kasar (g) Abu (g) Sumber : Hasan et al. (2011)
Tiwul Singkong 13,50 1,22 0,24 82,70 1,45 0,89
19 2.5. Flakes
Flakes adalah salah satu produk sereal sarapan yang banyak digemari oleh masyarakat. Makanan ini digemari masyarakat karena memiliki citarasa yang enak, menyehatkan, serta praktis dalam penyajian. Flakes merupakan produk pangan yang termasuk ke dalam kategori makanan sereal siap saji atau RTE (Ready-to-eat) yang telah dilakukan pengolahan dan rekayasa sesuai dengan jenis dan bentuknya.
Bahan baku utama yang sering digunakan pada flakes yang
banyak beredar dipasaran adalah gandum atau biji jagung. Bahan baku tersebut biasanya diolah secara utuh maupun ditepungkan terlebih dahulu (Bouvier, 2001). Menurut Lawess (1990), flakes terbuat dari bahan pangan serealia seperti beras, gandum, jagung, dan umbi-umbian. Pada umumnya, flakes dibuat menggunakan gandum utuh atau biji jagung yang melalui proses pengolahan tertentu sehingga didapatkan produk dengan bentuk flakes.
Berbagai macam jenis flakes yang
beredar di pasaran antara lain corn flakes, oat flakes dan rolled flakes (Tressler dan Sultan, 1975).
Pengolahan flakes meliputi berbagai tahapan yang dimulai dengan persiapan, pencampuran bahan, pengolahan, pengeringan, pendinginan suhu, dan flaking . Secara tradisional, proses pengolahan dilakukan dengan mengukus biji serealia yang sudah dihancurkan pada kondisi bertekanan selama kurang lebih dua jam dan selanjutnya dipipihkan di antara dua rol baja.
Setelah itu dilakukan
pengeringan dan pemanggangan pada suhu tinggi (Tribelhorn, 1991).
Selain
menggunakan dua rol baja, proses pembuatan flakes dapat dilakukan dengan menggunakan dua buah roller drum dryer dengan jarak 0,25 milimeter dan 3
20 milimeter yang disertai dengan pisau untuk mengikis lapisan tipis produk yang terbentuk setelah mengalami ¾ putaran roller sehingga terbentuk lapisan tipis atau serpihan (flakes) (Lawess, 1990). Sementara itu, menurut Guy (2001), flakes dibuat dengan menggunakan flaking roll hingga membentuk lapisan tipis atau serpihan dengan kadar air 3% dan total padatan 97%.
Prinsip dasar pembuatan
flakes adalah pengeringan pati yang telah mengalami gelatinisasi. Pati yang telah kering masih memiliki kemampuan untuk menyerap air dalam jumlah yang cukup besar.
Setelah air diserap oleh pati, maka bahan tersebut dapat langsung
dikonsumsi.
Menurut Matz (1991), pada proses pembuatan flakes, bahan baku akan mengalami perubahan di mana pati akan tergelatinisasi dan sedikit terhidrolisis. Selanjutnya partikel akan mengalami reaksi enzimatis yang disebabkan oleh interaksi antara protein dan gula. Kemudian reaksi enzimatis akan berhenti dan menghasilkan produk akhir yang stabil. Suhu tinggi pada pemanggangan akan mengakibatkan terjadinya dekstrinisasi dan karamelisasi pada gula yang terkandung dalam adonan. Proses pemanggangan menurunkan kadar air flakes sehingga menghasilkan tekstur yang renyah.
Pada proses pemanggangan, suhu pemanggangan berpengaruh pada waktu dan tingkat kematangan produk yang dihasilkan.
Semakin tinggi suhu yang
digunakan maka akan semakin singkat waktu yang dibutuhkan pada pembuatan flakes. Menurut Setiaji (2012), suhu yang biasa digunakan pada pemanggangan flakes berkisar antara 130°C-150°C selama 15-30 menit. Proses pemanggangan sangat penting dalam pembentukan dan pemantapan kualitas flakes yang
21 dihasilkan. Pada saat pemanggangan terjadi proses browning non enzimatis yang disebabkan oleh reaksi antara gugus amin pada protein dan gula pereduksi pada karbohidrat.
Menurut Andriani (1998) dalam Setiaji (2012), flakes dengan kadar protein, warna, rasa, kerenyahan, dan penampakan yang baik dihasilkan pada proses pemanggangan selama 20 menit dengan suhu 170°C. Pada pembuatan flakes bekatul yang menghasilkan warna, rasa, aroma, dan kerenyahan yang disukai oleh panelis yaitu pada suhu pemanggangan 150°C selama 25 menit (Mulyati (2007), dalam Setiaji (2012).
Menurut Maxwell et al. (1977), spesifikasi flakes yang baik yaitu memiliki ukuran yang seragam dan berwarna coklat keemasan. Flakes yang dihasilkan harus bebas dari serangga, larva, dan kotoran lainnya. Kadar air yang terkandung dalam flakes sangat rendah sehingga memberikan tekstur yang renyah pada produk. Persyaratan mutu flakes sebagai sereal sesuai dengan SNI 01-4270-1996 dapat dilihat pada Tabel 7.
22 Tabel 7. Syarat Mutu Sereal (SNI 01-4270-1996) Kriteria Uji
Satuan
Keadaan 1.1. Bau 1.2. Rasa 1.3. Warna 2. Air % b/b 3. Abu % b/b 4. Protein (N x 6,25) % b/b 5. Lemak % b/b 6. Karbohidrat % b/b 7. Serat Kasar % b/b 8. Bahan Tambahan Makanan 8.1. Pemanis Buatan (Sakarin dan Siklamat) 8.2. Pewarna 9. Cemaran Logam 9.1. Timbal (Pb) mg/kg 9.2. Tembaga (Cu) mg/kg 9.3. Seng (Zn) mg/kg 9.4. Timah (Sn) mg/kg 9.5. Raksa (Hg) mg/kg 10. Cemaran Arsen (As) mg/kg 11. Cemaran Mikrobia 11.1. Angka Lempeng Total koloni/g 11.2. Coliform APM/g 11.3. Coliform APM/g 11.4. Salmonella / 25 g 11.5. Staphylococcus aureus / g 11.6. Kapang Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2000)
Spesifikasi
1.
Normal Normal Normal Maks. 3 Maks. 4 Min. 5 Min 7 Min. 60,7 Maks, 0,7 Tidak Boleh Ada Sesuai SNI 01-0222-1995 Maks. 2,0 Maks. 30 Maks. 40 Maks. 40 Maks. 0,03 Maks. 1,0 Maks. 5 x 105 Maks. 102 Maks. < 3 Negatif Negatif Maks.102
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung dan Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian, Politeknik Negeri Lampung pada bulan September sampai Desember 2015.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah pati garut merk Hasil Bumiku yang dibeli dari Yogyakarta, kacang merah diperoleh dari Pasar Perumnas Way Halim, dan tiwul singkong diperoleh dari salah satu UKM tiwul singkong di Sekampung, Lampung Timur. Bahan tambahan yang digunakan pada penelitian ini adalah garam halus merk Rafina, gula rendah kalori merk Tropicana Slim, dan air. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis adalah aquades, larutan H2SO4, K2SO4, NaOH-Na2S2O3, H3BO3, HCl 0,02 N, NaOH, alkohol 95%, indikator metil merah dan metil biru, dan pelarut heksana.
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, baskom, wadah plastik, sendok, oven, grinder, mixer, panci pengukus, noodle maker, loyang,
24
ayakan 80 mesh, dan oven pemanggang merk Kirin. Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah Hardness tester merk Kiya Seisakusho, Ltd., cawan porselen, desikator, neraca analitik, oven, tanur, penjepit, labu kjeldahl, labu lemak, alat ekstraksi soxhlet, reflux kondensor, alat-alat gelas dan kertas saring.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan empat kali ulangan yang terdiri dari satu faktor yaitu formulasi pati garut dan kacang. Formulasi pati garut dan kacang merah yang digunakan terdiri dari enam taraf yaitu 100% : 0% (F1), 90% : 10 % (F2), 80% : 20% (F3), 70% : 30% (F4), 60% : 40% (F5), dan 50% ; 50% (F6). Formulasi pati garut dan kacang merah yang digunakan dalam pembuatan flakes didapatkan dari trial error yang dapat dilihat pada Tabel 8. Total adonan untuk setiap satuan percobaan sebesar 322 gram.
Analisis sifat fisik dan sensori dilakukan pada semua formulasi,
selanjutnya dilakukan analisis kimia terhadap flakes dengan formulasi terbaik berdasarkan fisik dan uji sensori.
Tabel 8. Formulasi pati garut dan kacang merah dalam pembuatan flakes Perlakuan F1 F2 F3 F4 F5 F6
Pati Garut (%) 100 90 80 70 60 50
Tepung Kacang Merah (%) 0 10 20 30 40 50
Data yang diperoleh dianalisis sidik ragam untuk mendapatkan penduga ragam galat dan uji signifikasi untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antar perlakuan.
25
Kesamaan ragam diuji dengan uji Bartlett dan kemenambahan data diuji dengan uji Tuckey. Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan data dianalisis lebih lanjut menggunakan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf nyata 5%.
3.4. Pelaksanaan Penelitian
3.4.1. Pembuatan Pati Garut
Pati garut yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan flakes didapatkan dari daerah Yogyakarta dengan merk Hasil Bumiku produksi Industri Rumah Tangga “Kusuka” Ubiku.
Menurut Lingga et al. (1986) dalam Suprihatin (1991),
pembuatan pati garut sebagai berikut : Mula-mula dilakukan pengupasan umbi garut yang bertujuan untuk menghilangkan kulit luar dan kotoran yang ada pada umbi. Selanjutnya dilakukan penggilingan untuk memecah dinding sel sehingga butir-butir pati di dalamnya terlepas.
Setelah itu ditambahkan air dengan
perbandingan 9:1 (v/w), kemudian dilakukan peremasan dan penyaringan untuk memisahkan ampas umbi dan dilakukan pengendapan pati garut selama 1-2 jam. Setelah itu, air yang berada di bagian atas endapan dibuang sedangkan endapannya dicuci menggunakan air.
Setelah endapan dicuci, dilakukan
pengeringan pada suhu 60°C. Selanjutnya digiling untuk mendapatkan pati garut yang halus. Proses pembuatan pati garut dapat dilihat pada Gambar 3. Analisis kimia terhadap pati garut sebagai bahan baku pembuatan flakes meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar serat kasar, kadar amilosa, dan kadar amilopektin.
26
Gambar 3. Proses pembuatan pati garut Sumber : Lingga, et al. (1986) dalam Suprihatin (1991)
3.4.2. Pembuatan Tepung Kacang Merah
Pembuatan tepung kacang merah dilakukan menggunakan metode Karisma (2014) yang dimodifikasi. Proses pembuatan tepung kacang merah dilakukan sebagai berikut : Kacang merah direndam dalam air selama 7 jam yang bertujuan untuk
27
menurunkan kandungan zat anti gizi. Setelah 7 jam, kacang merah dikupas kulit arinya. Selanjutnya, kacang merah yang telah dikupas dikeringkan menggunakan oven pada suhu 60°C selama 20 jam. Tahap akhir yaitu penggilingan kacang merah kering dan pengayakan dengan ayakan 80 mesh untuk mendapatkan tepung kacang merah yang halus. Proses pembuatan tepung kacang merah dapat dilihat pada Gambar 4. Tepung kacang merah yang dihasilkan selanjutnya dilakukan analisis kimia yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, dan kadar serat kasar.
Gambar 4. Proses pembuatan tepung kacang merah Sumber : Karisma (2014) dimodifikasi
28
3.4.3. Pembuatan Tiwul Singkong
Tiwul singkong sebagai bahan baku pembuatan flakes di produksi oleh Industri Rumah Tangga (IRT) milik Bapak Suprapto yang berada di Desa Sidomulyo, Sekampung, Lampung Timur.
Proses pembuatan tiwul singkong dilakukan
sebagai berikut : Umbi singkong dikupas kulitnya dan dicuci untuk menghilangkan kotoran yang ada pada singkong.
Selanjutnya dilakukan
pengirisan untuk memperkecil ukuran singkong dan mempercepat proses pengeringan. Proses pengeringan dilakukan dengan menggunakan sinar matahari selama 2-3 hari sampai singkong menjadi kering. Singkong yang telah melalui tahap pengeringan disebut gaplek singkong. Selanjutnya gaplek singkong dicuci dan direndam dalam air selama 2 hari 2 malam. Selama proses perendaman, air diganti setiap pagi dan sore hari, kemudian singkong ditiriskan dan digiling. Setelah itu, air yang terkandung dalam singkong diperas, diayak dan kemudian dilakukan pembentukan butiran-butiran dengan diameter 2-3 mm. Setelah itu butiran-butiran yang dihasilkan dikukus selama 10 menit lalu dikeringkan kembali dengan sinar matahari selama 2 hari hingga diperoleh tiwul singkong. Proses pembuatan tiwul singkong dapat dilihat pada Gambar 5.
29
Gambar 5. Proses pembuatan tiwul singkong Sumber : Wawancara pribadi
30
3.4.4. Pembuatan Flakes Pati Garut dan Kacang Merah dengan Penambahan Tiwul Singkong
Proses pembuatan flakes pati garut dan kacang merah dengan penambahan tiwul singkong dilakukan menurut metode Chairil dan Kustiyah (2014) yang telah dimodifikasi. Pencampuran pati garut dan tepung kacang merah sesuai perlakuan yang telah ditetapkan yaitu 100% : 0%, 90% : 10%, 80% : 20%, 70% : 30%, 60% : 40%, dan 50% : 50%. Masing-masing formulasi ditambah dengan tiwul singkong sebanyak 40 g. Gula rendah kalori yang ditambahkan pada adonan flakes sebesar 11,11% dari total adonan tepung (pati garut, kacang merah, dan tiwul singkong) yaitu sebanyak 40 g, sedangkan garam yang ditambahkan sebesar 1,11% dari total adonan tepung yaitu 2 g dan air yang ditambahkan sebesar 66,66% dari total adonan tepung yaitu sebesar 120 g sehingga didapatkan total adonan sebesar 322 g. Hal tersebut didapatkan berdasarkan penelitian Sianturi (2013) yang dimodifikasi.
Formulasi flakes pati garut dan kacang merah dengan penambahan tiwul singkong disajikan pada Tabel 9. Pati garut dan tepung kacang merah dicampurkan dengan bahan-bahan kering yaitu tiwul singkong, garam, dan gula rendah kalori hingga homogen.
Selanjutnya ditambahkan air dan dilakukan pencampuran dengan
menggunakan mixer sampai homogen. Setelah itu adonan dikukus selama 3 menit pada suhu 70°C menggunakan panci pengukus.
Proses ini bertujuan untuk
mempermudah proses pencetakan, karena pada proses pengukusan pati yang terkandung dalam bahan menjadi setengah matang. Menurut Astawan (2004), waktu pengukusan yang diperlukan hanya sebentar karena pengukusan yang terlalu lama dapat menyebabkan tepung menjadi matang. Konsistensi tepung
31
yang terlalu lunak dapat menyebabkan flakes mudah patah, sedangkan tepung yang masih mentah dapat mengakibatkan adonan menjadi lebih mudah patah dan tekstur flakes menjadi tidak kompak (Amalia dan Kusharto, 2013). pengukusan, dilakukan pembentukan adonan menjadi bulatan.
Setelah
Selanjutnya
dipipihkan menggunakan noodle maker dengan ketebalan 0,5 mm, dilakukan pengirisan dengan ukuran 1cm x 1cm dan diletakkan pada tray.
Kemudian
dilakukan pemanggangan pada suhu 150°C selama 15 menit dalam oven pemanggang. Proses pembuatan flakes dapat dilihat pada Gambar 6.
Tabel 9. Formulasi pembuatan flakes pati garut dan kacang merah dengan penambahan tiwul singkong Formulasi Pati garut (g) Tepung kacang merah (g) Tiwul singkong (g) Garam halus (g) Gula rendah kalori (g) Air (g) Total adonan (g) Sumber : Sianturi (2014) dimodifikasi
F1 140 0 40 2 20 120 322
F2 126 14 40 2 20 120 322
F3 112 28 40 2 20 120 322
F4 98 42 40 2 20 120 322
F5 84 56 40 2 20 120 322
F6 70 70 40 2 20 120 322
32
Gambar 6. Proses pembuatan flakes pati garut dan kacang merah dengan penambahan tiwul singkong Sumber : Chairil dan Kustiyah (2014) dimodifikasi
33
3.5. Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan terhadap bahan baku pati garut, tepung kacang merah dan tiwul singkong meliputi analisis kimia seperti kadar air, kadar abu, protein, lemak, karbohidrat by difference dan kadar serat kasar (AOAC, 1995), serta kadar amilosa dan amilopektin (Apriyantono et al., 1989). Pengamatan produk flakes meliputi analisis fisik (tekstur atau kekerasan) dan uji sensori masing-masing formulasi. Uji sensori produk flakes meliputi tekstur, warna, rasa dan aroma menggunakan metode skoring, sedangkan penerimaan keseluruhan flakes menggunakan metode hedonik (Soekarto, 1985). Flakes dengan sifat fisik dan sensori terbaik dilanjutkan dengan pengujian analisis kimia yang meliputi kadar air, kadar abu, protein, lemak, karbohidrat by difference dan kadar serat kasar (AOAC, 1995) .
3.5.1. Analisis Fisik (Tekstur)
Pengujian dilakukan dengan menggunakan alat Kiya Seisakusho Hardness Tester. Handle ulir penekan diputar berlawanan arah jarum jam sampai plunger penekan tidak menempel pada tempat sampel. Posisikan jarum hitam pada angka skala 0 dengan memutar pengatur jarum hitam. Himpitkan jarum merah pada jarum hitam dengan memutar pengatur jarum merah. Letakkan sampel pada tempat sampel. Turunkan plunger dengan memutar handle ulir searah jarum jam hingga menempel pada sampel. Posisikan sampel hingga ujung plunger berada tepat di tengah-tengah sampel. Lanjutkan pemutaran handle ulir secara perlahan hingga sampel pecah.
Jarum hitam akan berhenti atau bergerak mundur, sedangkan
jarum merah akan berhenti. Angka skala yang ditunjukkan oleh jarum merah
34
adalah nilai kekerasan sampel dengan satuan kilogram force (kgf) (Bait dan Rahmiyati, 2013).
3.5.2. Uji Sensori
Uji sensori yang dilakukan pada penelitian ini meliputi tekstur, warna, rasa dan aroma, serta penerimaan keseluruhan. Penilaian tekstur, warna, rasa dan aroma menggunakan uji skoring, sedangkan penerimaan keseluruhan menggunakan uji hedonik (Soekarto, 1985). Uji sensori dilakukan oleh 30 orang panelis semi terlatih. Skala uji sensori dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Skala uji sensori Parameter Tekstur
Kriteria Sangat renyah Renyah Agak renyah Tidak renyah Sangat tidak renyah
Skor 5 4 3 2 1
Warna
Putih kecoklatan Kuning kecoklatan Coklat muda Coklat Coklat tua
5 4 3 2 1
Rasa dan Aroma
Sangat tidak berasa langu Tidak berasa langu Agak berasa langu Berasa langu Sangat berasa langu
5 4 3 2 1
Penerimaan Keseluruhan
Sangat suka Suka Agak suka Tidak suka Sangat tidak suka
5 4 3 2 1
35
3.5.3. Analisis Kimia
3.5.3.1. Kadar Air
Pengujian kadar air dilakukan dengan metode gravimetri (AOAC, 1995). Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 4-5 g sampel ditimbang lalu dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui bobot kosongnya, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C selama 3-6 jam. Selanjutnya cawan beserta sampel didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Setelah itu cawan beserta sampel dikeringkan kembali selama 30 menit dan didinginkan dalam desikator selama 15 menit lalu ditimbang. pengeringan dilakukan hingga didapatkan berat konstan. Bila penimbangan kedua mencapai pengurangan bobot tidak lebih dari 0,002 g dari penimbangan pertama maka berat dianggap konstan.
Kadar air
dihitung dengan menggunakan rumus :
Ka a ai Keterangan : W W1 W2
2
1 2
100
= berat cawan kosong (g) = berat cawan dan sampel setelah dioven (g) = berat sampel awal (g)
3.5.3.2. Kadar Abu
Pengujian kadar abu dilakukan menggunakan metode tanur (AOAC, 1995). Cawan kosong dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang (A). Sebanyak 3-5 g sampel dimasukkan ke dalam cawan kemudian ditimbang (B). Cawan beserta
36
sampel dipijarkan diatas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap, lalu diabukan dalam tanur pada suhu 500°C selama 3 jam.
Setelah itu cawan
didinginkan dalam desikator, selanjutnya cawan ditimbang (C).
kadar abu
dihitung dengan rumus : Ka a abu
-
100
Keterangan : A = berat cawan kosong (g) B = berat cawan dan sampel (g) C = berat cawan dan abu (g)
3.5.3.3. Kadar Protein
Pengujian kadar protein yang dilakukan menggunakan metode Mikro-Kjeldahl (AOAC, 1995). Sampel ditimbang sebanyak 0,2 g dan dimasukkan ke dalam labu kjeldahl dan ditambahkan 1,9 ± 0,1 g K2SO4 dan 2,0 ± 0,1 ml H2SO4 pekat. Sampel didestruksi selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih.
Cairan
didinginkan lalu ditambahkan 8-10 ml NaOH-Na2S2O3 dan dimasukkan ke dalam alat destilasi. Destilat ditampung dalam erlenmeyer yang telah berisi 5 ml H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran2 bagian metil merah 0,2% dalam alkohol dan 1 bagian metil biru 0,2% dalam alkohol). Destilat yang diperoleh kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N sampai terjadi perubahan warna dari hijau menjadi abu-abu. Hal sama dilakukan terhadap blanko. Hasil yang diperoleh adalah dalam total nitrogen yang kemudian dinyatakan dalam faktor konversi 6,25.
Kadar
protein dihitung berdasarkan rumus :
Ka a
i
(
ba k )
1 00 sa
100
2
37
3.5.3.4. Kadar Lemak
Pengujian kadar lemak dilakukan dengan menggunakan metode soxhlet (AOAC, 1995). Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100110°C, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Sampel ditimbang
sebanyak 3 g dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet yang berisi pelarut heksana dan lemak hasil ekstraksi ditampung dalam labu lemak. Sampel direfluks selama 6 jam sampai pelarut yang berada di soxhlet berwarna bening jernih. Pelarut dalam labu lemak didestilasi dan ditampung kembali. Labu lemak berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C sampai pelarut menguap seluruhnya dan hanya meninggalkan lemak dalam labu lemak. Selanjutnya labu lemak didinginkan dalam desikator sekitar 20-30 menit. Lalu labu beserta lemak ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung dengan rumus :
Ka a
b a ak b a sa
ak
100
3.5.3.5. Kadar Karbohidrat
Pengujian kadar karbohidrat dilakukan dengan metode perhitungan karbohidrat by difference. Perhitungan ini dilakukan dengan mengurangi 100% kandungan gizi sampel dengan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak. Kadar karbohidrat dapat dihitung menggunakan rumus : Ka a ka b
i a
100
ka a ai
abu
i
ak
38
3.5.3.6. Kadar Serat Kasar
Pengujian kadar serat kasar dilakukan menggunakan metode AOAC (1995). Sebanyak 1 g sampel dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dan ditambahkan H2SO4 0,3 N lalu dididihkan selama 30 menit. Suspensi disaring dengan kertas saring dan residu yang didapatkan dicuci menggunakan air mendidih. Selanjutnya residu dipindahkan ke dalam erlenmeyer dan residu yang tertinggal di kertas saring dicuci dengan 200 ml NaOH mendidih hingga semua residu masuk ke dalam erlenmeyer. Kemudian sampel dididihkan kembali selama 30 menit dan disaring sambil dicuci menggunakan larutan K2SO4 10%.
Residu yang
didapatkan dicuci menggunakan 15 ml alkohol 95% lalu kertas saring dikeringkan dalam oven pada suhu 110°C hingga didapatkan berat konstan dan ditimbang. Kadar serat kasar dapat dihitung menggunakan rumus :
Ka a s a kasa
100
Keterangan : A = berat sampel (g) B = berat kertas saring kosong (g) C = berat kertas saring + residu (g)
3.5.3.7. Kadar Pati
Pengujian kadar pati dilakukan menggunakan metode AOAC (1984). Sebanyak 2 g sampel dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer lalu ditambahkan aquades hingga volume mencapai 50 ml.
Kemudian disentrifus dengan kecepatan 5000 rpm
selama 15 menit. Suspensi disaring menggunakan kain saring dan endapan yang didapatkan dicuci dengan aquades hingga diperoleh filtrat sebanyak 250 ml. Endapan dipindahkan secara kuantitatif dari kain saring ke dalam erlenmeyer 500
39
ml dengan pencucian menggunakan 200 ml aquades lalu ditambahkan HCl 25% sebanyak 20 ml, kemudian dihidrolisis di bawah pendingin balik selama 1,5 jam dan didinginkan.
Selanjutnya dinetralkan dengan NaOH 45% dan dilakukan
pengenceran sampai volume 50 ml, lalu disaring menggunakan kain saring.
Sebelum penentuan kadar pati sampel, terlebih dahulu dibuat kurva standar dengan membuat larutan glukosa standar (10 mg glukosa anhidrat/100 ml air), dari larutan glukosa standar tersebut dilakukan 6 kali pengenceran sehingga diperoleh larutan glukosa dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8, dan 10 mg/ml. Sebanyak 7 buah tabung reaksi, masing-masing diisi sebanyak 1 ml larutan glukosa standar tersebut. Satu tabung diisi aquades sebagai blanko. Selanjutnya dalam tabung reaksi ditambahkan fenol 5% sebanyak 1 ml. Panaskan dengan penangas air pada suhu 30°C selama 20 menit. Kurva standar glukosa dengan OD (Optical Density). Optical Density masing-masing larutan tersebut dibaca pada panjang gelombang 490 nm. Penentuan kadar pati dilakukan seperti cara penentuan kurva standar glukosa. Jumlah kadar pati dapat dihitung menggunakan rumus :
Ka a
ai
0
100
Keterangan : A = glukosa yang diperoleh dari kurva standar B = volume sampel (ml) C = faktor pengenceran sampel D = berat sampel (g) 0,9 = faktor penentu kadar pati
40
3.5.3.8. Kadar Amilosa
3.5.3.8.1. Pembuatan Kurva Standar Amilosa
Amilosa murni sebanyak 40 mg dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya ditambahkan 1 ml etanol dan 9 ml larutan NaOH 1 N. Kemudian dipananskan dalam air mendidih selama 10 menit sampai terbentuk gel. Setelah didinginkan, gel yang didapatkan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml.
Sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml larutan stok diambil menggunakan pipet dan dipindahkan ke dalam masing-masing labu takar 100 ml. Pada masing-masing labu ditambahkan 0,2, 0,4, 0,6, 0,8, dan 1,0 ml larutan asam asetat 1 N. Setelah itu ditambahkan larutan iod sebanyak 2 ml dimasukkan ke dalam masing-masing labu, lalu ditambahkan aquades hingga tanda tera 100 ml. Larutan didiamkan selama
20
menit,
selanjutnya
diukur
absorbansinya
menggunakan
spektrifotometer dengan panjang gelombang 625 nm. Kurva standar merupakan hubungan antara kadar amilosa dan absorbansi.
3.5.3.8.2. Analisis Sampel
Sampel pati dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml sebanyak 100 mg. Selanjutnya ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml larutan NaOH 1 N. Labu takar dipanaskan selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan berupa gel pati tersebut ditambahkan air destilata sampai tanda tera dan dihomogenkan. Larutan gel pati sebanyak 5 ml dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml. Selanjutnya ditambahkan larutan asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod, lalu ditambahkan aquades sampai 100 ml dan dikocok hingga homogen. Setelah larutan didiamkan
41
selama 20 menit, diukur absorbansi menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 625 nm. Hasil absorbansi dimasukkan dalam kurva standar untuk memperoleh χ. Kadar amilosa dapat dihitung menggunakan rumus : Ka a a i sa ( ) Keterangan : χ k s asi a i sa Fp = faktor pengenceran
χ a sa
100
/
3.5.3.9. Kadar Amilopektin
Pengujian kadar amilopektin dilakukan dengan menggunakan metode perhitungan by difference. Perhitungan ini dilakukan dengan mengurangi kadar pati sampel dengan kadar amilosa sampel. Kadar amilopektin dapat dihitung menggunakan rumus : Ka a a i
ki ( )
ka a
a i ( ) ka a a i sa
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Formulasi pati garut dan kacang merah yang menghasilkan sifat fisik dan sensori flakes terbaik adalah formulasi F6 (50% pati garut dan 50% kacang merah). 2. Formulasi F6 menghasilkan sifat fisik (tekstur) flakes sebesar 1,47 kgf, sifat sensori tekstur (skor 4,23) dengan kriteria renyah, warna (skor 2,67) dengan kriteria coklat muda, rasa dan aroma (skor 3,47) dengan kriteria agak berasa langu, dan penerimaan keseluruhan (skor 3,87) dengan kriteria suka. 3. Flakes formulasi terbaik memiliki kadar air sebesar 5,17%, kadar abu sebesar 2,81%, kadar protein sebesar 11,53%, kadar lemak sebesar 1,25%, kadar karbohidrat sebesar 79,24%, dan kadar serat kasar sebesar 2,55%.
5.2. Saran
1.
Perlu dilakukan pengujian tekstur menggunakan alat yang lebih baik seperti texture analyzer sehingga mendapatkan hasil pengujian yang lebih relevan dan sesuai dengan pengujian secara sensori.
2.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap respon glikemik flakes pati garut dan kacang merah dengan penambahan tiwul singkong sebagai pangan fungsional.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, F. dan C. M. Kusharto. 2013. Formulasi Flakes Pati Garut dan Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) sebagai Pangan Kaya Energi Protein dan Mineral untuk Lansia. Jurnal Gizi dan Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 8(2) : 137-144. Amalia, R. 2014 Karakteristik Fisikokimia dan Fungsional Tepung Komposit Berbahan Dasar Beras, Ubi Jalar, Kentang, Kedelai, dan Xanthan Gum. (Skripsi) Universitas Sumatera Utara. Medan Andriani, R. 1998. Mempelajari Pengaruh Perbedaan Temperatur dan Lama Pemanggangan terhadap Karakteristik Corn Flakes. (Tugas Akhir). Universitas Pasundan. Bandung. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, S. Yasni, dan S. Budjianto. 1989. Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi. Bogor. Arrai, S., M. Yamashita, M. Noguchi, dan Fujimaki. 1987. Taste of L-glutamyl Oligopeptides in Relation to Their Chromatographic Properties. Agriculture Biological Chemistry. 37(1): 151-156. Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official Methods of Analysis of The Association Analitical Chemist. Inc. Washington DC. Astawan, M. 2004. Membuat Mi dan Bihun. Penebar Swadaya. Jakarta Astawan, M. 2009. Sehat dengan Hidangan Kacang dan Biji-bijian. Penebar Swadaya. Jakarta. Atmadja, G. S. 2006. Pengembangan Produk Pangan berbahan Dasar Jagung Quality Protein Maize (Zea mays L.) dengan Menggunakan Teknologi Ekstrusi. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 126 hlm. Badan Litbang Pertanian. 2015. Umbi Garut, Pangan Alternatif yang Patut Dikembangkan. http://litbang.pertanian.go.id. Diakses pada tanggal 18 Februari 2016. Badan Pusat Statistik (ID). 2003. Survey Sosial Ekonomi Nasional.
69
Badan Pusat Statistik. 2016. Pertanian dan Pertambangan. http://www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 5 Februari 2016. Badan Standarisasi Nasional. 2007. Syarat Mutu Sereal (SNI 01-4270-1996). Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Bait, Y. dan K. Rahmiyat. 2013. Suplementasi Lisin pada Permen Keras Sari Jagung Metode Open Pan. Laporan Tahunan Penelitian Hibah Bersaing Desentralisasi. Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo. 79 hlm. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. 2012. Karakteristik Umbi Garut (Maranta arundinaceae) pada Berbagai Umur Panen dan Produk Olahannya. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. Yogyakarta. 10 hlm. Bouvier, J. M. 2001. Breakfast Cereals. In : Guy, R. (Ed.). Extrusion Cooking Technologies and Application. Woodhead Publishing Limited Cambridge. UK. 217 p. Buckle, K. A., R. A. Edwards, , G. H. Fleet. dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan : Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Chairil, M. M. F. dan L. Kustiyah. 2014. Formulasi Flakes berbasis Pati Garut dengan Fortifikasi Zat Besi (Fe) untuk Perbaikan Status Besi Remaja Putri. Jurnal Gizi dan Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 9(2): 89-96. Collison, R. 1968. Swelling and Gelation of Starch. Di dalam Radley, J.A. 1968. Starch and Its Derivatives. Chapman and Hall, Ltd. London Damodaran, S. K. L. Parkin, dan O. R. Fennema. 2008. Fennema’s Food Chemistry. CRC Press. Boca Raton, Florida. DeMann, J. 1997. Kimia Makanan. Cetakan Pertama. Penerbit ITB. Bandung. Departemen Kesehatan . 1995. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Departemen Kesehatan. Jakarta. Djaafar, T. F., L. S. Utami, dan Y. Yusriani. 2004. Substitusi Terigu dengan Pati Garut pada Pembuatan Cookies. Agros 6(1): 1−12. Edmund, W. L. dan W. R Lloyd. 2001. Snacks Food Processing. CRC Press. New York. Ekawati, D. 1999. Pembuatan Cookies dari Tepung Kacang Merah (Phaseolus vulgaris L.) sebagai Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 70 hlm.
70
Erdman, M. D. 1986. Starch from Arrowroot (Maranta arundinaceae) grown at Tifton, Georgia. Cereal Chemistry. 63: 277-279. Faridah, D. N., D. Fardiaz, N. Andarwulan, dan T. C. Sunarti. Karakteristik Sifat Fisikokimia Pati Garut. Agritech 34(1): 14-21. Fellows, P. J. 2000. Food Processing Technology : Principles and Practices. Woodhead Publishing. England. Gaman, P. M. dan Sherington, K. B. 1981. Ilmu Pangan Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Edisi Kedua, Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Gaonkar, A. G. dan A. McPherson, A. 2005. Ingredient Interactions Effects on Food Quality. Second Edition. CRC Press. Boca Raton, Florida. Gisca, B. 2013. Penambahan Gembili pada Flakes Jewawut Ikan Gabus sebagai Alternatif Makanan Tambahan Anak Gizi Kurang. Artikel Penelitian. Universitas Diponegoro. Semarang. 40 hlm. Gimeno, E., Moraru, C.I., dan Kokini, J. L. 2004. Effect of Xanthan Gum and CMC on the Structure and Texture of Corn Flour Pellets Expanded by Microwave Heating. Cereal Chemistry. 81(1): 100-107 Grace, M. R. 1977. Cassava Processing. FAO. Rome. 155 p. Greenwood, C.T. 1970. Starch and Glycogen. Di dalam Pigmen, W. dan D. Horton (eds). The Carbohydrate Chemistry and Bochemistry. Academic Press. London. Guy, R. 2001. Extrusion Cooking Technologies and Applications. Cambridge : Woodhead Publishing Limited. UK. 217 p. Hall, J. 2007. Diet Karbohidrat setelah Jam 5 Sore. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 227 hlm. Harijono, Susanto, W. H., dan Ismet, F. 2012. Studi Penggunaan Proporsi Tepung (Sorghum Ketan dengan Beras Ketan) dan Tingkat Kepekatan Santan yang Berbeda terhadap Kualitas Kue Semprong. Artikel Penelitian. Universitas Brawijaya. Malang. 11 hlm. Hartayanie, L. dan C. Retnaningsih. 2006. Pemanfaatan Tepung Kacang Merah sebagai Pengganti Tepung Terigu dalam Pembuatan Roti Tawar: Evaluasi Sifat Fisikokimia dan Sensoris. Laporan Akhir Penelitian. Universitas Katolik Soegijapranata. Semarang. 28 hlm.
71
Hasan, V., S. Astuti, dan Susilawati. 2011. Indeks Glikemik Oyek dan Tiwul dari Umbi Garut (Marantha arundinaceae L.), Suweg (Amorphallus campanullatus BI) dan Singkong (Manihot utillisima). Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian. 16: 34-50. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid I. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta. Hoseney R. C. dan Rogers, D. E. 1994. Mechanism of Sugar Functionality in Cookies : The Science of Cookie and Cracker Production. 1st Ed. In Faridi, H. (ed). American Association of Cereal Chemists. St. Paul. MN. Internasional Diabetes Federation. 2016. Indonesia. http://idf.org. Diakses pada tanggal 12 Februari 2016. Juliano, B. O. 1980. Properties of The Rice Caryopsis. Di dalam Luh, B.S. (eds). Rice Production and Utilization. The AVI Publishing, Co. Westport. Connecticut. Jyothi A, J. T. Sheriff, and M. S. Sajeev. 2009. Physical and Functional Properties of Arrowroot Starch Extrudates. Journal Food Science. 74(2), 97—104. Karisma, V, W. 2014. Pengaruh Penepungan, Perebusan, Perendaman Asam, dan Fermentasi terhadap Komposisi Kimia Kacang Merah (Phaseolus vulgaris L.). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 45 hlm. Kay, D. E. 1973. Root Crops. The Tropical Product Institute. Foreign and Commonwealth Office. London. 380 p. Kay, D. E. 1979. Food Legumes. Tropical Product Institute. London. 435 p. Khasanah, U. 2003. Formulasi, Karakterisasi Fisiko-Kimia dan Organoleptik Produk Makanan Sarapan Ubi Jalar (Sweet Potato Flakes). (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 87 hlm. Kusnandar, F. 2011. Kimia Pangan : Komponen Makro. Dian Rakyat. Jakarta. 272 hlm. Kusumadewi, D. 2010. Karakterisasi Produk Ekstrusi dari Campuran Jagung, Umbi Ganyong, dan Umbi Garut. (Tesis). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lawess, M. J. 1990. Potato Based Textured Snack. Di dalam Grouth, R. E. Snack Food. Avi Book. Van Nostrand Reinhold Publisher. New York. Lawless, H. T. dan H. Heymann. 1999. Sensory Evaluation of Food Principle and Practices. Kluer Academic Publisher. New York.
72
Leach, H. W. 1965. Gelatinization of Starch. Di dalam Whistler, R. L. dan E. F. Paschall. (eds). Starch Chemistry and Technology. Vol I. Academic Press. New York. Lingga, P. B., F. Sarwono, P.C. Rahardi, J.J. Rahardja, R. Afriastini, Wudianto, dan W. D. Apriadi. 1986. Bertanam Ubi-Ubian. Penebar Swadaya. Jakarta. 282 hlm. Mariati. 2001. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Pati dan Tepung Garut (Maranta arundinaceae L.) dari Beberapa Varietas Lokal. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 126 hlm. Marsono, Y. 2002. Indeks Glikemik Umbi-umbian. Agritech. 22:13-16. Marsono. Y., P. Wiyono, Z. Noor. 2002. Indeks Glikemik Kacang-kacangan. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 13:211-216. Matz, S. A. 1991. Chemistry and Technology of Cereals as Food and Feed. Van Nostrand Reinhold. New York. 751 p. Maxwell, D. L. and J. L. Holohan. 1977. Breakfast Cereal dalam N. W. Desrosier, Elements of Food Technology. AVI Publishing Company, Inc. USA. 772 p. Meilgaard, M., G.V. Civille, dan B.T. Carr. 1999. Sensory Evaluation Techniques. CRC Press. New York. Melianawati, A. 1998. Karakteristik Produk Ekstrusi Campuran Menir Beras – Tepung Pisang – Kedelai Olahan. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 111 hlm. Moraru, C. I. dan J. L. Kokini. 2003. Nucleation and Expansion during Extrusion and Microwave Heating of Cereal Foods. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety. Institute of Food Technologists. 2: 147-165. Muchtadi, T. R. 1998. Pengetahuan Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1992. Ilmu dan Pengetahuan Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanaian Bogor. Bogor. Muchtadi, T. R., P. Hariyadi, dan A. B. Ahza. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. LSI-IPB. Bogor. Mulyati, S. 2007. Pengaruh Perbandingan Tepung Bekatul (Rice Bran) dengan Tapioka (Manihot utilissima) dan Konsentrasi Sukrosa terhadap Karakteristik Makanan Sarapan Flakes Bekatul (Rice Bran Flakes). (Skripsi). Universitas Pasundan. Bandung.
73
Nakata T., M. Takashi, M. Nakatani, R. Kuramitsu, M. Tamura. and H. Okai. 1995. Role of Basic and Acidic Fragments in Delicious Peptides (Lys-GlyAsp-Glu-Glu-Ser-Leu-Ala) and Taste Behaviour of Sodium and Pottasium Salts in Acidic Oligopeptides. Bioscience Biotechnology Biochemistry. 59(4): 689-693 Paramita, A. H. dan Putri W. D. P., 2015. Pengaruh Penambahan Tepung Bengkuang dan Lama Pengukusan terhadap Karakteristik Fisi, Kimia, dan Organoleptilk Flakes Talas. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3(3): 10711082. Permana, R. A. dan Putri, W. D. R. 2015. Pengaruh Proporsi Jagung dan Kacang Merah serta Substitusi Bekatul terhadap Karakteristik Fisik Kimia Flakes. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3(2): 734-742. Permatasari, N. A. 2007. Karakterisasi Pati Jagung Varietas Unggul Nasional. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Potter, N. N, and J. Hotchkiss, 2005. Food Science. Fifth Edition. Springer. Pudjiono, E. 1998. Konsep Pengembangan Mesin untuk Menunjang Pengadaan Pati Garut. Semiloka Agroindustri Kerakyatan. IAITB-BPPT. Jakarta. Purwanto dan H. Wikanastri. 2011. Studi Pembuatan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) menggunakan Campuran Tepung Kecambah Kacang Kedelai, Kacang Hjau, dan Beras. Jurnal Pangan dan Gizi. 2(3): 43-54. Oakenfull, D. J., R.W. Pearce, dan Burley. 1997. Protein Gelation. Dalam Pamodaran, S. dan A. Paraf. Food Protein and Their Application. Ed 5. Marcel Dekker. New York. Rahmanto, F. 1994. Teknologi Pembuatan Kripik Simulasi dari Talas Bogor (Colocasia osculenta (L) shoott). (Skripsi). Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rampengan, V. J., Pontoh, dan D. T. Sembel. 1985. Dasar-dasar Pengawasan Mutu Pangan. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur. Ujung Pandang. Retno, AS. 1994. Kajian Sifat-Sifat Stick yang dibuat dari Campuran Tepung Gaplek dan Tepung Kedelai. Karya Tulis Ilmiah Diploma Akademisi Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Yogyakarta. Richana, N., P. Lestari, N. Chilmijati, dan S. Widowati. 2000. Karakterisasi Bahan Berpati dan Pemanfaatannya menjadi Glukosa Cair. Dalam Nuraida, L., R. Dewanti., Hariyadi., S. Budjianto (ed). Prosiding Seminar Nasional Industri Pangan. Volume I PATPI. Surabaya. Hal 396-406.
74
Rukmana, R. 2000. Garut : Budidaya dan Pasca Panen. Kanisius. Yogyakarta. 36 hlm. Rukmana, R. 2002. Ubi Kayu Budidaya dan Pascapanen. Kanisius. Yogyakarta. 84 hlm. Rukmana, R. 2009. Buncis. Kanisius. Yogyakarta. Salunkhe, D. K., S. S. Kadam and J. K. Chavan. 1985. Postharvest Biotechnology of Food Legumes. CRC Press. Florida. 160 p. Sastrapraja, S., W. S. Ninik, D. Sarkat, dan S. Rukmini 1977. Ubi-ubian. Lembaga Biologi Nasional. LIPI, Bogor. Setiaji, B. 2012. Pengaruh Suhu dan Lama Pemanggangan terhadap Karakteristik Soyflakes (Glycine max L). Artikel. Universitas Pasundan. Bandung. Sianturi, D. P. 2014. Formulasi Flakes Tepung Komposit Pati Garut dan Tepung Singkong dengan Penambahan Pegagan sebagai Pangan Fungsional Sarapan Anak Sekolah Dasar. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 64 hlm. Silalahi, J. 2006. Makanan Fungsional. Kanisius. Yogyakarta. 177 p. Sitorus, S. R. 2003. Pembuatan Biskuit untuk Makanan Sapihan dari Pati Garut (Maranta arundinaceae L.). Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian. Bogor. 87 hlm. Soekarto, ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Stanley, D. W. 1987. Food Texture and Microstructure. Di dalam Moskowitz, H.R. (eds). Food Texture : Instrumental and Sensory Measurement. Marcel Dekker. New York. Sunarjono. 1972. Kunci Bercocok Tanam Sayuran Penting di Indonesia. LP Hortikultura Pasar Minggu. Jakarta. Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suprihatin, C. 1991. Pemanfaatan Tepung Pati Garut (Maranta arundinaceae Linn.) sebagai Bahan Makanan Tambahan Anak Balita. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 79 hlm. Suranto, U. 1989. Perubahan Sifat-sifat Fisik dan Kimia Umbi Garut (Maranta arundinaceae L.) selama Penyimpanan. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor.
75
Susi. 2012. Komposisi Kimia dan Asam Amino pada Tempe Kacang Nagara (Vigna unguiculata ssp. cylindrica). Jurnal Agroscientiae. 19(1): 28-36. Tamtarini dan Yuwanti, S. 2005. Pengaruh Penambahan Koro-koroan terhadap Sifat Fisik dan Sensorik Flake Ubi Jalar. Jurnal Teknologi Pertanian. 6(3): 187-192 Tressler D. K., and W. J. Sultan. 1975. Food Products Formulary. Publishing Company Inc. USA. Tribelhorn R.E. 1991. Breakfast cereals. In : Lorenz, K. J and K. Kulp (eds) Handbook of Cereal Science and Technology. Marcel Dekker inc. New York. Villamayor Jr., F. G. and J. Jukema. 1996. Maranta arundinacea L. In : Flach, M. dan F. Rumawas (Eds). Plants Yielding Non-seed Carbohydrates. Plant Resources of South-East Asia No. 9. Prosea Foundation. Bogor. Hal 113116. Wargiono, J. 1979. Ubi Kayu dan Cara Bercocok Tanamnya. Buletin Teknik. 4(1) Widyasitoresmi, H. S. 2010. Formulasi dan Karakterisasi Flake Berbasis Sorgum (Sorghum bicolor L.) dan Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.). (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 111 hlm. Winarno, F. G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. M-Brio Press. Bogor. Winarno, F. G. dan K. Sutrisno. 2002. Telur : Komposisi, Penanganan dan Pengolahannya. M-Brio Press. Bogor. Windrati, S. W., A. Nafi, dan P. D. Augustine. 2010. Sifat Nutrisional Protein Rich Flour (PRF) Koro Pedang (Cannavalia ensiformis L.). Jurnal Agroteknologi. 4(1): 18-26. Yong, F. M. and B. J. B. Wood. 1974. Microbiology and Biochemistry of Soy Sauce Fermentation Adv. Applied Microbial. 17: 157-194. Yuliawati, T. 1999. Mempelajari pengaruh Penambahan Tepung Kedelai, Tepung Kacang Hijau, dan Tepung Kelapa serta Lama Penyimpanan terhadap Mutu dan Daya Tahan Simpan Tiwul Modifikasi. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor Yusnalaini, M. 2004. Terapi dengan Diet. RSPAD Gatot Soebroto. Jakarta.