TESIS
EVALUASI KINERJA KEUANGAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT KABUPATEN LEMBATA - PROVINSI NTT
GREGORIUS GEHI BATAFOR
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
TESIS
EVALUASI KINERJA KEUANGAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT KABUPATEN LEMBATA - PROVINSI NTT
GREGORIUS GEHI BATAFOR N I M : 0990661048
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI MANAJEMEN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
EVALUASI KINERJA KEUANGAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT KABUPATEN LEMBATA - PROVINSI NTT
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Manajemen Program Pascasarjana Universitas Udayana
GREGORIUS GEHI BATAFOR NIM : 0990661048
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI MANAJEMEN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 25 JANUARI 2012
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. I. B. Anom Purbawangsa, SE, MM NIP. 19620922 198702 1 002
Drs. I Ketut Mustanda, MM NIP. 19560107 198303 1 008
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dr. I. B. Anom Purbawangsa, SE, MM NIP. 19620922 198702 1 002
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19590215 198510 2 001
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 30 Desember 2011
Panitia Penguji Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No : 2099/UN.14.4/HK/2011, Tanggal 29 Desember 2011
Ketua Sekretaris Anggota
: Dr. I B Anom Purbawangsa, SE.,MM : Drs. I Ketut Mustanda, MM : Prof. Dr. IG. B. Wiksuana, SE.,MS : Prof. Dr. L.P. Wiagustini, SE.,M.Si : Drs. Putu Yadnya, MM
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
NAMA
: GREGORIUS GEHI BATAFOR, SE
NIM
: 0990661048
PROGRAM STUDI
: MAGISTER MANAJEMEN
JUDUL TESIS
: EVALUASI KINERJA KEUANGAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT KABUPATEN LEMBATA - PROVINSI NTT
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 08 Desember 2011
(GREGORIUS GEHI BATAFOR, SE)
UCAPAN TERIMA KASIH Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas karuniah-Nya, tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. I. B. Anom Purbawangsa, SE, MM, sebagai pembimbing utama yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti program Magister Manajemen, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Drs. I Ketut Mustanda, MM, sebagai pembimbing pendamping yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat oleh Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K), atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. I Wayan Ramanta, SE., MM., Ak., sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Magister. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr. I. B. Anom Purbawangsa, SE, MM sebagai Ketua Program MM Unud. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis, Prof. Dr. IG. B. Wiksuana, SE.,MS, Prof. Dr. LP Wiagustini, SE.,M.Si dan Drs. I Putu Yadnya, MM, yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh guru yang telah membimbing penulis, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga penulis ucapkan terima kasih kepada Ayah dan Ibu yang telah mengasuh dan membesarkan penulis, memberikan dasardasar berpikir logik dan suasana demokratis sehingga tercipta lahan yang baik untuk berkembangnya kreativitas. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini serta kepada penulis sekeluarga.
ABSTRAK EVALUASI KINERJA KEUANGAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT KABUPATEN LEMBATA - PROVINSI NTT Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab. Mengingat pentingnya peranan anggaran dalam pembangunan dan di lain sisi masih terbatasnya kemampuan daerah untuk menyediakan anggaran dimaksud, maka dalam pemanfaatannya daerah perlu mengetahui kemampuan keuangannya, menentukan skala prioritas, efisein, efektif, dan serasi sehingga pembangunan daerah dapat dilaksanakan secara berdayaguna, berhasilguna, berkesinambungan dan berdampak pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) signifikansi perbedaan rata-rata kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten Lembata pada periode I dan periode II, dan 2) signifikansi perbedaan rata-rata kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Lembata pada periode I dan periode II. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Lembata, dengan menggunakan data sekunder, teknik analisis yang dipergunakan adalah teknik analisis uji beda dua rata-rata terhadap variabel kinerja keuangan daerah meliputi : a. rasio kemandirian, b. rasio efektivitas, c. rasio efisiensi dan d. rasio keserasian belanja, dan variabel kesejahteraan masyarakat meliputi indikator a. pendapatan perkapita, b. tingkat pendidikan dan c. usia harapan hidup masyarakat antara periode I dan periode II. Hasil penelitian terhadap variabel kinerja keuangan daerah menunjukkan bahwa : 1) tingkat kemandirian keuangan daerah di periode II semakin meningkat dibanding pada periode I, tetapi perbedaan peningkatan tersebut tidak bermakna terhadap perbedaan kinerja keuangan daerah antara periode I dan periode II. 2) tingkat efektivitas keuangan daerah di periode II mengalami peningkatan dibanding pada periode I, namun perbedaan peningkatan tersebut tidak bermakna terhadap perbedaan kinerja keuangan daerah antara periode I dan periode II. 3) tingkat efisiensi pengelolaan keuangan daerah pada periode I lebih efisien dibandingkan dengan tingkat efisiensi pengelolaan keuangan di periode II, namun perbedaan penurunan tingkat efisiensi tersebut tidak bermakna terhadap perbedaan kinerja keuangan daerah antara periode I dan periode II, dan 4) tingkat keserasian belanja daerah pada periode II mengalami penurunan dibandingkan dengan tingkat keserasian belanja daerah pada periode I, tetapi perbedaan penurunan tersebut tidak bermakna terhadap perbedaan kinerja keuangan daerah antara periode I dan periode II. Sedangkan hasil penelitian terhadap variabel kesejahteraan masyarakat menunjukkan bahwa : 1) tingkat pendapatan perkapita masyarakat semakin meningkat di periode II dibandingkan pada periode I dan peningkatan tersebut bermakna terhadap perbedaan kesejahteraan masyarakat antara periode I dan periode II. 2) Jumlah masyarakat yang telah mengenyam dunia pendidikan semakin meningkat pada periode II dibandingkan pada periode I, dan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat pada periode I dan periode II, dan 3) tingkat usia harapan hidup masyarakat semakin bertambah pada periode II dibandingkan pada periode I, dan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat pada periode I dan periode II. Kata Kunci : Kemandirian Keuangan, Efektivitas, Efisiensi, Keserasian Belanja, Pendapatan Perkapita, Tingkat Pendidikan dan Usia Harapan Hidup.
ABSTRACT FINANCIAL PERFORMANCE EVALUATION AND THE DISTRICT LEVEL COMMUNITY WELFARE LEMBATA DISTRICT - PROVINCE NTT Revenue and Expenditure Budget essentially one policy instrument that is used as a tool to improve public services and welfare in the area in accordance with the broad objectives of regional autonomy and responsibility. Given the important role in the development budget and on the other side of the area is still limited ability to provide the budget in question, then the utilization of the area need to know the financial ability, determine priorities, efisein, effective, and harmonious regional development can be carried out so fruitfully, berhasilguna, sustainable and impact on improving living standards and welfare of the people in the area. This study aims to determine 1) the significance of differences in the average financial performance of the District Government of Lembata in period I and period II, and 2) the significance of differences in the average well-being of communities in the District of Lembata in period I and period II. The research was conducted in the District Lembata, using secondary data, the analytical techniques used are two different test analysis techniques the average of the variable regions of financial performance include: a. self-sufficiency ratio, b. effectiveness ratio, c. efficiency ratio and d. the ratio of expenditure harmony, and welfare of the community include an indicator variable a. income per capita, b. levels of education and c. public life expectancy between periods I and II periods. The results of the financial performance of the variable regions showed that: 1) the level of financial independence II regions in the period increased compared to the first period, but the difference was not significant improvement of regional differences in financial performance between periods I and II periods. 2) the effectiveness of local finance in the second period has increased compared to the first period, but the difference was not significant improvement of regional differences in financial performance between periods I and II periods. 3) the level of efficiency of local financial management in the period I is more efficient compared with the level of efficiency of financial management in the second period, but the difference decreased levels of efficiency are not significant to the regional differences in financial performance between periods I and II periods, and 4) the level of harmony at the local shopping II period decreased compared with the level of harmony in regional spending in the period I, but the difference was not significant reduction of regional differences in financial performance between periods I and II periods. While the results of research on welfare variables show that: 1) the level of per capita income of people is increasing in period II than in period I and the increase was significant to the welfare difference between period I and period II. 2) The number of people who had received his education increased in the period II than in period I, and it can be concluded that there is a significant difference in improvement of public welfare in the period I and period II, and 3) the level of public life expectancy is increasing in the period II than in period I, and it can be concluded that there is a significant difference in improvement of public welfare in the period I and period II. Keywords: Financial Independence, Effectiveness, Efficiency, Harmony Shopping, Perkapit Income, Level of Education and Life Expectancy.
DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM …………………………………………………… PRASYARAT GELAR …………………………………………… LEMBAR PERSETUJUAN ………………………………………… PENETAPAN PANITIA PENGUJI………………………………. PERNYATAAN ORISINALITAS TESIS ………………………… UCAPAN TERIMA KASIH …………………………………………… ABSTRAK ………………………………………………………………… ABSTRACT ……………………………………………………………… DAFTAR ISI .............................................................................................. DAFTAR TABEL ………………………………………………………… DAFTAR GAMBAR .................................................................................. DAFTAR ISTILAH ……………………………………………………… DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………... BAB I
i ii iii iv v vi vii viii ix xi xii xii xiv
PENDAHULUAN …………………………………………... Latar Belakang ……………………………………………… Rumusan Masalah ………………………………………….. Tujuan Penelitian ................................................................ Manfaat Penelitian ...............................................................
1 1 15 15 16
BAB II 2.1. 2.2 2.3 2.4 2.4.1 2.4.2 2.4.3 2.4.4 2.5 2.5.1 2.5.2 2.5.3
KAJIAN PUSTAKA ……………………………………….. Keuangan Daerah ................................................................. Laporan Keuangan Daerah .................................................. Kinerja Keuangan Daerah .................................................... Analisis Rasio Keuangan Daerah …………………………. Rasio Kemandirian ………………………………………….. Rasio Efektivitas …………………………………………….. Rasio Efisiensi ……………………………………………… Rasio Keserasian Belanja …………………………………… Kesejahteraan Masyarakat …………………………………… Pengertian Kesejahteraan Masyarakat ……………………… Konsep Value for Money Sektor Publik …………………… Indikator Kesejahteraan Masyarakat …………………………
17 17 18 21 26 27 29 30 31 32 32 36 37
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN …………………………....
40
Kerangka Berpikir ..................................................................... Kerangka Konseptual ………………………………………….. Hipotesis Penelitian ..................................................................
40 41 42
METODE PENELITIAN …………………………………….. Rancangan dan Ruang LingkupPenelitian .............................. Variabel Penelitian .................................................................. Identifikasi Variabel ............................................................... Definisi Operasional Variabel ................................................
43 43 43 43 44
1.1 1.2 1.3 1.4
3.1 3.2 3.3 BAB IV 4.1 4.2 4.2.1 4.2.2
4.3 4.4
Prosedur Pengumpulan Data .................................................. Metode Analisis Data ...............................................................
45 46
BAB V 5.1 5.1.1 5.1.2 5.1.3 5.2 5.2.1 5.2.2 5.3 73
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………… 48 Hasil Penelitian ……………………………………………… 48 Gambaran Umum Kabupaten Lembata …………………… 48 Deskripsi Variabel Penelitian ……………………………… 51 Pengujian Hipotesis …………………………………………. 60 Pembahasan ………………………………………………….. 62 Variabel Kinerja Keuangan …………………………………. 63 Variabel Kesejahteraan Masyarakat ……………………….. 70 Implikasi Penelitian ……………………………………………
BAB VI 6.1 6.2 80
SIMPULAN DAN SARAN ………………………………… 77 Simpulan ……………………………………………………… 77 Saran ………………………………………………………….. DAFTAR PUSTAKA ........................................................... LAMPIRAN ……………………………………………….........
82 86
DAFTAR TABEL No.
Tabel
Halaman
1.1
Perangkingan Kabupaten/Kota Berdasarkan Penilaian Kinerja Keuangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2009 ………………………… 11
1.2
Perangkingan Kabupaten/Kota Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2009 ……….
1.3
Perkembangan Total Belanja Publik dan Total Belanja Daerah Kabupaten Lembata Periode I dan II ………………………………………………. 14
2.1
Pola Hubungan, Tingkat Kemandirian dan Kemampuan Keuangan Daerah 28
2.2
Efektivitas Keuangan Daerah ………………………………………......
29
2.3
Efisiensi Keuangan Daerah …………………………………………….
30
2.4
Keserasian Belanja Keuangan Daerah …………………………………
32
5.1
Hasil Perhitungan Rasio Kemandirian Pemerintah Kabupaten Lembata Periode I dan II ………………………………………............
5.2
53
Hasil Perhitungan Rasio Efisiensi Pemerintah Kabupaten Lembata Periode I dan II ……………………………………………….
5.4
52
Hasil Perhitungan Rasio Efektivitas Pemerintah Kabupaten Lembata Periode I dan II ……………………………………………….
5.3
11
54
Hasil Perhitungan Rasio Keserasian Belanja Pemerintah Kabupaten Lembata Periode I dan II …………………………………..
56
Pendapatan Perkapita Masyarakat Atas Dasar Harga Berlaku di Kabupaten Lembata Periode I dan II……………………………………
57
5.6
Tingkat Pendidikan Masyarakat di Kabupaten Lembata Periode I dan II
58
5.7
Usia Harapan Hidup Masyarakat di Kabupaten Lembata Periode I dan II
59
5.8
Hasil Pengujian Hipotesis Penelitian ..…………………………………...
61
5.5
DAFTAR GAMBAR No.
Gambar
Halaman
3.1
Kerangka Berpikir ………………………………………………..
40
3.2
Kerangka Konseptual …………………………………………….
41
DAFTAR ISTILAH
PAD
: Pendapatan Asli Daerah
DOF
: Derajat Otonomi Fiskal
APBD
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
IKB
: Indeks Keserasian Belanja
HDI
: Human Development Index
SDM
: Sumber Daya Manusia
SAP
: Standar Akuntansi Pemerintah
UNDP
: United National Development Program
IPM
: Indeks Pembangunan Manusia
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Lampiran
Halaman
1.
Laporan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Lembata Tahun Anggaran 2009 ………………………………………… 93
2.
Laporan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Lembata Tahun Anggaran 2008 ………………………………………… 94
3.
Laporan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Lembata Tahun Anggaran 2007 ………………………………………… 95
4.
Laporan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Lembata Tahun Anggaran 2006 ………………………………………… 96
5.
Laporan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Lembata Tahun Anggaran 2005 ………………………………………… 97
6.
Laporan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Lembata Tahun Anggaran 2004 ………………………………………… 98
7.
Laporan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Lembata Tahun Anggaran 2003 ………………………………………… 99
8.
Laporan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Lembata Tahun Anggaran 2002 ………………………………………… 100
9.
Hasil Perhitungan Rasio-rasio Kinerja Keuangan Daerah ………………
10.
Hasil Pengujian Hipotesis Rasio Kemandirian Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata Periode I dan Periode II …………………………… 108
11.
Hasil Pengujian Hipotesis Rasio Efektivitas Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata Periode I dan Periode II …………………………… 109
12.
Hasil Pengujian Hipotesis Rasio Efisiensi Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata Periode I dan Periode II ……………………………
101
110
13.
Hasil Pengujian Hipotesis Rasio Keserasian Belanja Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata Periode I dan Periode II ……………………………
111
14.
Hasil Pengujian Hipotesis Indikator Pendapatan Perkapita Masyarakat Kabupaten Lembata Periode I dan Periode II ……………………………
112
15.
Hasil Pengujian Hipotesis Indikator Tingkat Pendidikan Masyarakat Kabupaten Lembata Periode I dan Periode II ……………………………
113
16.
Hasil Pengujian Hipotesis Indikator Usia Harapan Hidup Masyarakat Kabupaten Lembata Periode I dan Periode II ……………………………
114
17.
PDRB, Pendapatan Perkapita Atas Dasar Harga Berlaku dan Jumlah Penduduk Kabupaten Lembata …………………………………………..
115
18.
Tingkat Pendidikan Masyarakat di Kabupaten Lembata ………………..
116
19.
Usia Harapan Hidup Masyarakat di Kabupaten Lembata ……………….
117
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia memasuki masa otonomi daerah dengan diterapkannya Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 (kamudian menjadi UU No.32 Tahun 2004) tentang pemerintahan daerah, dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 (kemudian menjadi UU No.33 Tahun 2004) tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Penerapan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia tercermin dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik juga didasarkan atas azas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Salah satu perwujudan pelaksanaan otonomi daerah adalah pelaksanaan desentralisasi, dimana Kepada Daerah diserahkan urusan, tugas dan wewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dengan tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Dalam UU No.32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar urusan pemerintah pusat yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut. Selain itu juga dilaksanakan pula dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Adapun yang dimaksud dengan
otonomi
yang
bertanggung
jawab
adalah
otonomi
yang
dalam
penyelenggaraannnya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai bagian utama dari tujuan nasional. Harapan dilaksanakannya otonomi daerah
atau disentralisasi adalah
pemerintah daerah akan lebih fleksibel dalam mengatur strategi pembangunannya, karena
dengan
otonomi
daerah pemerintah
akan lebih dekat
dengan
masyarakatnya, sehingga makin banyak keinginan masyarakat dapat dipenuhi oleh pemerintah. Dengan otonomi daerah, anggaran daerah menjadi pintu penting yang paling mungkin setiap daerah mendinamisir kegiatan pembangunan melalui alokasi yang tepat dalam rangka membuat strategi untuk menciptakan kebijakan yang lebih tepat sesuai situasi masing-masing daerah (Yustika 2007: 242). Penyelenggaraan peningkatan
otonomi
kesejahteraan
daerah
masyarakat
harus dengan
selalu selalu
berorientasi
pada
memperhatikan
kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Untuk itu, otonomi daerah diharapkan dapat : menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan. (Mardiasmo, 2002) Sebaliknya, meskipun potensi suatu daerah kurang, tetapi dengan strategi yang tepat untuk memanfaatkan bantuan dari pusat dalam memberdayakan daerahnya, maka akan semakin meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang ada. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 156 ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2004, Kepala Daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Untuk itulah, perlu kecakapan yang tinggi bagi pimpinan daerah agar
pengelolaan dan terutama alokasi dari keuangan daerah dilakukan secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan-tujuan pembangunan daerah. Dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah menegaskan bahwa perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintah dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara proporsinal, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangan. Pimpinan daerah memegang peran sangat srategis dalam mengelola dan memajukan daerah yang dipimpinnya. Perencanaan strategis sangat vital, karena disanalah
akan
terlihat
dengan
jelas
peran
Kepala
Daerah
dalam
mengkoordinasikan semua unit kerjanya. Betapapun besarnya potensi suatu daerah, tidak akan optimal pemanfaatannya
bila Bupati/Walikota tidak
mengetahui bagaimana mengelolanya. Selanjutnya, kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan
oleh masing-masing Kepala Satuan Kerja
Pengelola Keuangan Daerah selaku pejabat pengelola APBD dan dilaksanakan oleh Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah. Sistem dan prosedur penatausahaan dan akuntansi, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan daerah mengalami perubahan sejak pemerintah menerapkan PP No. 41 Tahun 2006 dan Permendagri No. 13 tahun 2006, sebagai pengganti PP No. 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri No. 29 tahun 2002 tentang pedoman pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah.
Melalui Surat Edaran Mendagri Nomor S.900/316/BAKD tentang pedoman sistem
dan
prosedur
penatausahaan
dan
akuntansi,
pelaporan,
dan
pertanggungjawaban keuangan daerah, diatur mengenai berbagai sistem dan prosedur dalam pengelolaan keuangan daerah, mulai dari sistem dan prosedur penerimaan, pengesahan dokumen pelaksanaan anggaran, hingga sistem dan prosedur akuntansi dan laporan keuangan. Sistem dan prosedur ini memberikan rincian teknis terhadap alur pengelolaan keuangan daerah yang tertuang dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006. Dampak
dari
diterbitkannya
Surat
Edaran
Mendagri
Nomor
S.900/316/BAKD tentang pedoman sistem dan prosedur penatausahaan dan akuntansi, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan daerah yaitu terjadi penggabungan antara Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) dan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) menjadi Dinas Pendapatan, Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) untuk seluruh pemerintahan daerah di Indonesia. Dengan diterapkannya PP No. 41 Tahun 2006 dan Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah diharapkan dapat lebih meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem, prosedur penatausahaan dan akuntansi, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan daerah sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Hakikat otonomi daerah adalah upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah secara lebih leluasa dan bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah sendiri. Penerapan otonomi daerah seutuhnya membawa konsekuensi logis berupa pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah berdasarkan manajemen keuangan yang sehat. Oleh karena
itu, diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah yang baik dalam rangka mengelola dana APBD secara transparan, efisien, efektif dan akuntabel. Dalam perkembangannya, telah muncul berbagai metodelogi dan instrumen yang dimanfaatkan untuk mengukur kinerja suatu organisasi termasuk di sektor publik, seperti Balanced Scorecard, Total Performance Scorecard, Total Quality Management, dan lain sebagainya. Ragamnya metode pengukuran kinerja tersebut menunjukkan kecendrungan perhatian yang tinggi terhadap peningkatan kualitas kinerja instansi pemerintah, khususnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Meskipun demikian penerapan metode-metode tersebut harus mengakomodasikan lingkungan pemerintah daerah, agar mendapatkan hasil yang memiliki validitas tinggi dan tidak terjadi kesalahan pengukuran kinerja. Salah satu alat ukur yang dapat digunakan untuk menganalisis kinerja pemerintah kabupaten dalam mengelola keuangan daerahnya adalah melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan (Halim, 2007: 231). Berkaitan dengan hal itu, analisis terhadap kinerja keuangan pemerintah kabupaten merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah dan menilai apakah pemerintah kabupaten berhasil mengelola keuangannya dengan baik, serta memberikan dampak yang positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Analisis kinerja keuangan pada APBD dilakukan dengan cara membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dengan periode sebelumnya, sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara menganalisis rasio-rasio keuangan. Rendahnya kapasitas dan kemampuan pengelolaan keuangan daerah
akan sering menimbulkan siklus efek negatif, yaitu rendahnya tingkat pelayanan bagi masyarakat dan tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penggunaan analisis rasio keuangan sebagai alat analisis kinerja keuangan secara luas telah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial, sedangkan pada lembaga publik khususnya pemerintah kabupaten masih sangat terbatas sehingga secara teoritis belum ada kesepakatan yang bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, maka analisis rasio keuangan terhadap pendapatan belanja daerah perlu dilaksanakan (Mardiasmo, 2002: 169). Kajian empiris mengenai kinerja keuangan daerah di Indonesia selama ini telah banyak dilakukan, di antaranya dimaksudkan untuk mengevaluasi kinerja keuangan pemerintah kabupaten. Hal ini menunjukkan kecendrungan perhatian yang tinggi terhadap peningkatan kualitas kinerja instansi pemerintah, khususnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh Matheus Dacosta (2002: 108) dalam penelitian tentang tingkat kemandirian Kota Kupang ditinjau dari aspek keuangan dalam melaksanakan otonomi daerah tahun 1997/1998 – 2001. Hasil penelitian antara lain derajat otonomi fiskal yang menerangkan rasio PAD terhadap total belanja daerah, berguna untuk menerangkan sampai sejauh mana PAD Kota Kupang mampu memberikan kontribusi terhadap realisasi pembelanjaan daerahnya setiap tahun berdasarkan sumber-sumber keuangan yang asli. Secara rata-rata derajat otonomi fiskal (DOF) Kota Kupang adalah 7,71% selama tahun 1997/1998 – 2001. Rasio ini dikategorikan sangat kurang
karena berada di bawah rasio 25%. Hal ini berarti kemampuan keuangan Kota Kupang yang berasal dari PAD rendah sekali. Hasil analisis indeks keserasian belanja atau rasio belanja publik terhadap total belanja daerah untuk mengetahui sebarapa besar proporsi alokasi dana APBD terhadap pelayanan publik dari total belanja daerah selama satu tahun anggaran dapat dilihat dari indeks keserasian belanjanya. Rata-rata IKB selama 1997/1998 – 2001 adalah sebesar 23,03%, hal ini berarti pemerintah kabupaten rata-rata hanya mangalokasikan dana sebesar 23,03% untuk belanja publik dari total belanja daerah dan dapat dikategorikan kurang serasi. Dalam analisis efisiensi dan efektivitas diketahui bahwa tingkat efisiensi pengelolaan keuangan daerah Kota Kupang selama tahun 1997/1998 – 2001 menunjukkan perkembangan yang cukup fluktuatif dengan rata-rata tingkat efisiensi sebesar 17,58%, dan tingkat efektivitas pemungutan sumber-sumber pendapatan selama tahun anggaran 1997/1998 – 2001 telah mencapai sasaran yang telah ditetapkan yakni sebesar 103,77% dan dikategorikan sangat efektif. Selain itu, Dasilva Petrus (2001: 78) juga melakukan penelitian tentang evaluasi anggaran pendapatan dan belanja daerah Kabupaten Sikka provinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam mengevaluasi anggaran daerah Kabupaten Sikka dalam penelitiannya, digunakan pembanding dua kabupaten lain dalam provinsi yang sama, yang menurut pengamatan sementara digunakan, mengingat terdapat kabupaten lain yang mungkin lebih baik dari kabupaten Sikka. Dua kabupaten pembanding adalah Kabupaten Ende dan Kabupaten Manggarai. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat efektivitas pengelolaan APBD yang dicapai Kabupaten Manggarai adalah sebesar 102,98% dengan predikat sangat efektif, sementara Kabupaten Ende adalah 94,70% dengan kategori
efektif. Jika dibanding dengan Kabupaten Sikka tingkat efektivitas tidak jauh berbeda, dengan nilai 91,33% dikategorikan efektif. Dengan menggunakan analisis efisiensi diketahui bahwa secara umum untuk ketiga kabupaten yang diamati dapat disimpulkan bahwa terdapat kecenderungan yang sama yakni selau ingin menghabiskan anggaran yang telah dialokasikan dalam APBD. Terbukti dengan tingkat efisiensi ketiga kabupaten tersebut berkisar antara 95,94% - 97,39%, berarti kurang efisien dan terkesan adanya pemborosan dengan tidak mengindahkan azas penghematan dan efisiensi anggaran. Dari beberapa kajian empirik yang telah dilakukan sebelumnya, maka dapat diambil beberapa rasio keuangan yang dapat digunakan untuk mengukur akuntabilitas pemerintah kabupaten (Halim, 2007: 233) antara lain rasio kemandirian, rasio efektivitas terhadap pendapatan asli daerah, rasio efisiensi keuangan daerah dan rasio keserasian belanja. Rasio
kemandirian
keuangan
daerah
menunjukkan
kemampuan
pemerintah kabupaten dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Rasio kemandirian dihitung dengan membagi total PAD dengan total belanja daerah dalam satuan persen (Suyana Utama, 2008:33). Rasio efektivitas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur efektivitas dalam merealisasikan pendapatan daerah. Rasio efektivitas merupakan tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau prestasi yang dicapai oleh pemerintah kabupaten yang diukur dengan membandingkan realisasi pendapatan dengan anggaran pendapatan, dalam satuan persen (Suyana Utama, 2008:27).
Rasio efisiensi merupakan tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau prestasi yang dicapai oleh pemerintah kabupaten yang diukur dengan membandingkan realisasi belanja dengan anggaran belanja yang telah ditetapkan, dalam satuan persen (Suyana Utama, 2008:30). Rasio keserasian menggambarkan bagaimana pemerintah kabupaten memprioritaskan alokasi dananya pada belanja aparatur dan belanja pelayanan publik secara optimal. Dalam penelitian ini digunakan proprosi belanja publik karena belanja publik secara langsung dimaksudkan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Rasio keserasian diukur dengan membandingkan realisasi total belanja publik dengan total belanja daerah dalam satuan persen (Suyana Utama, 2008:36). Dalam
mengukur
tingkat
kesejahteraan
masyarakat
Program
Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) melalui terbitan serialnya sejak awal tahun 1990-an mengukur kesejahteraan masyarakat secara lebih komprehensif dengan menggunakan tingkat pendapatan perkapita, usia harapan hidup dan tingkat pendidikan yang dikonstruksi menjadi Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index = HDI. Pendapatan perkapita masyarakat adalah pendapatan domestik regional bruto berdasarkan harga yang berlaku di masyarakat terhadap total penduduk pada pertengahan tahun pada tahun-tahun penelitian, dalam ribuan rupiah. Tingkat pendidikan masyarakat diukur dari jumlah penduduk yang menamatkan bangku pendidikan formal terhadap total penduduk di kabupaten/kota selama tahun-tahun penelitian, dalam satuan persen. Usia harapan hidup adalah rata-rata umur masyarakat yang dicapai pada kabupaten/kota selama tahun-tahun yang diteliti, dalam satuan tahun.
Sejak bergulirnya era otonomi daerah pada tahun 1999, Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi yang telah banyak melakukan pemekaran wilayah tingkat kabupaten/kota di Indonesia. Sebelumnya sudah terdapat tiga belas kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Kupang, Kota Kupang, Kabupaten Belu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Alor, Kabupaten Manggarai, Kabupaten Ngada, Kabupaten Ende, Kabupaten Sikka, Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Sumba Timur, dan Kabupaten Sumba Barat. Sedangkan ke delapan pemerintahan kabupaten yang baru terbentuk di era otonomi daerah sejak tahun 1999 yaitu antara lain, Kabupaten Lembata di tahun 1999, Kabupaten Rote Ndao di tahun 2001, Kabupaten Sumba Tengah di tahun 2004, Kabupaten Sumba Barat Daya di tahun 2006, Kabupaten Nagekeo dan Kabupaten Sabu Raijua di tahun 2007 dan Kabupaten Manggarai Timur dan Kabupaten Manggarai Barat di tahun 2008. Sebagai bahan pembanding dalam melihat sejauh mana keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan kemampuan pemerintah kabupaten dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri, dan berkaitan dengan kinerja keuangan pemerintah kabupaten dan pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah masing-masing kabupaten/kota di provinsi Nusa Tenggara Timur, maka berikut akan disajikan data pemeringkatan kinerja pemerintah kabupaten/kota yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2009, seperti pada Tabel berikut ini :
Table 1.1 Perangkingan Kabupaten/Kota Berdasarkan Penilaian Kinerja Keuangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2009
Nama Kabupaten Kota Kupang Ngada Alor Manggarai Flores Timur Sikka dan Ende Manggarai Timur Manggarai Barat Timor Tengah Utara Timor Tengah Selatan
Peringkat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sumber : www.bpkp.go.id/ntt.bpkp.go.id
Nama Kabupaten Rote Ndao Kupang Nagekeo Belu Sabu Raijua Sumba Tengah Sumba Barat Sumba Timur Sumba Barat Daya Lembata
Berdasarkan Tabel 1.1 di atas, dapat dijelaskan
Peringkat 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
bahwa Kota Madya
Kupang menempati urutan pertama sebagai kabupaten/kota yang memiliki kinerja keuangan tertinggi, kemudian diikuti oleh Ngada, Alor, Manggarai, Flores Timur, Sikka dan Ende, Manggarai Timur, Manggarai Barat, TTU, TTS, Rote Ndao, Kupang, Nagekeo, Belu, Sabu Raijua, Sumba Tengah, Sumba Barat, Sumba Timur, Sumba Barat Daya dan Lembata pada urutan terakhir. Sedangkan data pembanding tentang kesejahteraan masyarakat di provinsi NTT, Badan Pusat Statistik Provinsi NTT melakukan penilaian terhadap indeks pembangunan manusia di tahun 2009, seperti pada Tabel berikut ini : Table 1.2 Perangkingan Kabupaten/Kota Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kabupaten Kota Kupang Ngada Alor Manggarai Flores Timur Sikka Ende Manggarai Timur Manggarai Barat Timor Tengah Utara Timor Tengah Selatan
Sumber : www.bps.go.id/ntt.bps.go.id
IPM 74,5 66,0 65,4 65,2 64,7 64,6 64,4 63,4 63,2 63,1 62,7
No 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Kabupaten Rote Ndao Kupang Nagekeo Belu Sabu Raijua Sumba Tengah Sumba Barat Sumba Timur Lembata Sumba Barat Daya
IPM 62,1 62,0 61,6 61,2 60,1 59,9 59,8 59,7 59,6 59,5
Berdasarkan Tabel 1.2 di atas, dapat dijelaskan
bahwa Kota Madya
Kupang menempati urutan pertama sebagai kabupaten/kota dengan indeks pembangunan manusia tertinggi, kemudian diikuti oleh Ngada, Alor, Manggarai, Flores Timur, Sikka dan Ende, Manggarai Timur, Manggarai Barat, TTU, TTS, Rote Ndao, Kupang, Nagekeo, Belu, Sabu Raijua, Sumba Tengah, Sumba Barat, Sumba Timur, Lembata dan Sumba Barat Daya pada urutan terakhir. Dalam penelitian ini, penulis memilih Kabupaten Lembata sebagai obyek penelitian dengan melakukan penelitian terhadap kinerja keuangan pemerintah kabupaten dan tingkat kesejahteraan masyarakat, selain sebagai ‘putera daerah’ penulis juga ingin memberikan kontribusi terhadap perkembangan dan kemajuan daerah
Lembata
dengan
mengkaji
kinerja
pemerintah
kabupaten
dan
kesejahteraan masyarakat sehingga dapat memberikan masukan dan saran-saran demi perbaikan kinerja pemerintah kabupaten dan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Lembata ke arah yang lebih baik. Dari data pembanding antar-seluruh kabupaten/kota di NTT, diketahui bahwa Lembata merupakan kabupaten dengan kinerja keuangan pemerintah kabupaten terendah dibanding kabupaten-kabupaten lainnya, terutama terhadap kabupaten yang sama-sama sebagai daerah otonomi baru. Sedangkan dari data pembanding mengenai indeks pembangunan manusia di seluruh kabupaten/kota di provinsi NTT, Kabupaten Lembata juga memiliki angka IPM kedua terendah dibanding kabupaten-kabupaten lainnya. Sedangkan tahun-tahun penelitian dibagi ke dalam dua periode, yaitu mengacu kepada masa pemerintahan seorang Kepala Daerah selama dua periode, yaitu periode I dari tahun 2001 – 2005 dan kemudian terpilih kembali untuk
periode 2006 – 2010. Selain itu, pembagian periode penelitian juga mengacu kepada penetapan PP No. 41 Tahun 2006 dan diimplementasikan melalui Permendagri No. 13 tahun 2006, sehingga dapat dibagi menjadi periode I yaitu periode diberlakukannya PP No. 105 Tahun 2000 dan Permendagri No. 29 Tahun 2002 dan periode II yaitu periode diberlakukannya PP No. 41 Tahun 2006 dan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang sistem, prosedur penatausahaan dan akuntansi, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Sejak awal dibentuknya Kabupaten Lembata tahun 1999, pemerintah kabupaten selalu memiliki komitmen yang tinggi untuk terus meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah ini. Sistem pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh masyarakat setempat diharapkan mampu mendukung komitmen untuk terus meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Lembata, karena bagaimanapun masyarakat tentu memilih seorang pemimpin yang selalu mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat yang tercermin melalui program-program kerjanya. Untuk melihat keseriusan pemerintah Kabupaten Lembata terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakatnya, secara sederhana dapat dilihat dengan membandingkan besarnya realisasi belanja publik yang diperuntukkan bagi pembelanjaan, pemeliharaan fasilitas umum dan pelayanan kepada masyarakat terhadap total belanja daerah (Medi, 1966 dalam Budiarto, 2007). Pada Tabel 1.3 berikut ini akan disajikan perkembangan besaran realisasi belanja publik yang diperuntukkan bagi pembelanjaan, pemeliharaan fasilitas umum dan pelayanan kepada masyarakat umum dan realisasi total belanja daerah dari laporan realisasi anggaran pendapatan dan belanja daerah di Kabupaten Lembata seperti pada Tabel berikut ini :
Tabel 1.3 Perkembangan Total Belanja Publik dan Total Belanja Daerah Kabupaten Lembata Peride I dan II Periode
Tahun
I
2002
84.277.561.367,00
131.273.256.598,00
2003
86.262.275.163,00
133.828.892.855,00
2004
69.204.723.229,00
144.807.407.074,00
2005
105.570.915.429,00
168.252.170.345,00
86.328.868.797,00
144.540.431.718,00
2006
131.765.135.636,00
201.787.768.608,00
2007
45.702.185.703,00
232.605.539.452,92
2008
140.816.766.247,23
352.148.244.453,62
2009
174.888.523.065,56
333.633.532.350,87
123.293.152.662,19
280.043.771.216,10
Rata-rata Periode I II
Rata-rata Periode II
Pelayanan Publik
Total Belanja Daerah
Sumber: Laporan APBD Kabupaten Lembata Dari Tabel 1.3 di atas, dapat dijelaskan bahwa pemerintah Kabupaten Lembata memiliki komitmen yang kuat untuk terus berupaya meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakatnya, hal tersebut terbukti
dengan
meningkatkan alokasi dana dalam APBD untuk belanja pelayanan publik yang langsung dirasakan seluruh masyarakatnya. Komitmen pemerintah kabupaten untuk tetap fokus pada upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Lembata pada periode kedua terbukti dengan semakin meningkatnya alokasi dana dalam APBD untuk belanja pelayanan publik dari total belanja daerah dibanding pada periode pertama, dan diharapkan dapat langsung dirasakan seluruh masyarakatnya. Pemerintah kabupaten melalui rencana kerja yang dirumuskan dalam “Panca Program” pemerintah kabupaten, salah satu di antaranya adalah fokus pada upaya
pengentasan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh aspek kehidupan. Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Lembata yang semakin transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, maka penulis memandang perlu untuk mengevaluasi kinerja keuangan pemerintah kabupaten selama ini sehingga dapat menjadi suatu informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah dan menilai apakah pemerintah Kabupaten Lembata mampu dan telah berhasil mengelola keuangannya dengan baik, serta memberikan dampak yang positif terhadap kesejahteraan masyarakatnya, atau malah sebaliknya menyebabkan rendahnya tingkat pelayanan bagi masyarakat dan tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Apakah terdapat perbedaan signifikan rata-rata kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Lembata pada periode I dan periode II? b. Apakah terdapat perbedaan signifikan rata-rata kesejahteraan masyarakat Kabupaten Lembata pada periode I dan periode II? 1.3 Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui signifikansi perbedaan rata-rata kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Lembata pada periode I dan periode II. b. Untuk mengetahui signifikansi perbedaan rata-rata kesejahteraan masyarakat Kabupaten Lembata pada periode I dan periode II.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dan teoritis di antaranya adalah : a. Manfaat praktis, menilai kinerja keuangan pemerintah kabupaten dan tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten Lembata Provinsi NTT, sehingga dapat memberi masukan dan saran bagi pemerintah kabupaten dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan penyusunan dan realisasi APBD di masa-masa mendatang. b. Manfaat teoritis, dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang akan mengadakan penelitian di bidang keuangan daerah dan secara umum bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan keuangan daerah di Indonesia.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Keuangan Daerah Faktor keuangan merupakan hal yang penting dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Keadaan keuangan daerahlah yang menentukan bentuk dan ragam yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Usman (1998: 63), mengatakan salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata, kemampuan daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri adalah kemampuan “self supporting” dalam bidang keuangan. Halim (2007: 230), mengungkapkan bahwa kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang langsung maupun tidak langsung mencerminkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial masyarakat. Selanjutnya untuk mengukur kemampuan keuangan pemerintah daerah adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Keuangan daerah secara sederhana dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihakpihak lain sesuai dengan ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku (Mamesah, 1995: 16).
Dari pengertian tersebut di atas dapat dilihat bahwa dalam keuangan daerah terdapat dua unsur penting yaitu : pertama, semua hak dimaksudkan sebagai hak untuk memungut pajak daerah, retribusi daerah dan/atau penerimaan dan sumber-sumber lain sesuai ketentuan yang berlaku merupakan penerimaan daerah sehingga menambah kekayaan daerah, dan kedua, kewajiban daerah dapat berupa kewajiban untuk membayar atau sehubungan adanya tagihan kepada daerah dalam rangka pembiayaan rumah tangga daerah serta pelaksanaan tugas umum dan tugas pembangunan oleh daerah yang bersangkutan. Pemerintah daerah di dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan memerlukan sumber dana/modal untuk membiayai pengeluaran pemerintah tersebut (government expenditure) terhadap barang-barang publik (public goods) dan jasa pelayanannya. Menurut Kunarjo (1996: 181) bahwa untuk melaksanakan pembangunan prasarana, pemerintah daerah dapat membiayai dari sumber pendapatan asli daerah, dana perimbangan maupun pinjaman daerah. Karena kecilnya pendapatan asli daerah dibanding dengan kebutuhan pembangunan maka dalam beberapa hal pemerintah daerah memerlukan pinjaman untuk digunakan pada proyek-proyek yang dapat menghasilkan pendapatan. 2.2 Laporan Keuangan Daerah Laporan keuangan pemerintah daerah sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan APBD harus disusun/dihasilkan dari sebuah sistem akuntansi pemerintah daerah yang handal, yang bisa dikerjakan secara manual ataupun menggunakan aplikasi komputer. Namun, mengingat SDM daerah yang masih sangat minim yang berspesialis di bidang akuntansi khususnya akuntansi keuangan sektor publik, maka akan lebih tepat kalau menggunakan sistem
aplikasi komputer yang komprehensif dan sudah teruji. Hal ini akan dapat meminimalkan kesalahan proses akuntansi dan meningkatkan kualitas laporan keuangan yang dihasilkan. Adapun ciri-ciri kualitas laporan keuangan yang bagus meliputi relevan, handal (reliable), lengkap dan komprehensif (complete), serta dapat diperbandingkan (comparable). Sebagai upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara/daerah adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip tepat waktu dan dapat diandalkan (reliable) serta disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintahan (SAP) yang telah diterima secara umum. Hal ini diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, PP No. 58/2005 dan Permendagri No. 13/2006. Semua peraturan ini mensyaratkan bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD disusun dan disajikan sesuai dengan SAP yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Laporan keuangan disusun untuk menyediakan informasi yang relevan mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas pelaporan selama satu periode pelaporan. Laporan keuangan terutama digunakan untuk membandingkan realisasi pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan dengan anggaran yang telah ditetapkan, menilai kondisi keuangan, mengevaluasi efektivitas dan efisiensi suatu entitas pelaporan, dan membantu menentukan ketaatannya terhadap peraturan perundang-undangan. Adapun peranan laporan keuangan pemerintah meliputi : 1. Akuntabilitas. Mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada entitas pelaporan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara periodik.
2. Manajemen. Membantu para pengguna untuk mengevaluasi pelaksanaan kegiatan entitas pelaporan dalam periode pelaporan sehingga memudahkan fungsi perencanaan, pengelolaan dan pengendalian atas seluruh aset, kewajiban, dan ekuitas dana pemerintah untuk kepentingan masyarakat. 3. Transparansi. Memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggung-jawaban pemerintah dalam pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundang-undangan. 4. Keseimbangan Antargenerasi (intergenerational equity). Membantu para pengguna dalam mengetahui kecukupan penerimaan pemerintah pada periode pelaporan untuk membiayai seluruh pengeluaran yang dialokasikan dan apakah generasi yang akan datang diasumsikan akan ikut menanggung beban pengeluaran tersebut. Tujuan penyajian laporan keuangan sektor publik menurut Governmental Accounting Standard Board (GASB, 1998 dalam Budi Mulyana, 2006) adalah untuk membantu memenuhi kewajiban Pemerintah untuk menjadi akuntabel secara publik; dan untuk membantu memenuhi kebutuhan para pengguna laporan yang mempunyai keterbatasan kewenangan, keterbatasan kemampuan atau sumber daya untuk memperoleh informasi dan oleh sebab itu mereka menyandarkan pada laporan sebagai sumber informasi penting. Untuk tujuan tersebut, pelaporan keuangan harus mempertimbangkan kebutuhan para pengguna dan keputusan yang mereka buat. Sementara itu, bila dilihat dari jenis laporan keuangan yang disusun pemerintah daerah sampai saat ini telah mengalami dua perkembangan.
Perkembangan pertama, di dalam PP No. 105 tahun 2000 (Pasal 38) sebagaimana ditindaklanjuti dengan Kepmendagri No. 29 tahun 2002 (Pasal 81) laporan keuangan yang harus disajikan secara lengkap pada akhir tahun oleh Kepala Daerah terdiri dari : 1. Laporan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; 2. Nota Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; 3. Laporan Aliran Kas; dan 4. Neraca Daerah. Dalam perkembangan berikutnya, dengan terbitnya UU No. 17 tahun 2003, pada Pasal 31 dinyatakan bahwa laporan keuangan yang harus disajikan oleh Kepala Daerah setidak-tidaknya meliputi: 1. Laporan Realisasi APBD; 2. Neraca; 3. Laporan Arus Kas; dan 4. Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan Laporan Keuangan Perusahaan Daerah. 2.3 Kinerja Keuangan Daerah Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan, baik oleh pribadi maupun organisasi. Apabila pencapaian sesuai dengan yang direncanakan, maka kinerja yang dilakukan terlaksana dengan baik. Apabila pencapaian melebihi dari apa yang direncanakan dapat dikatakan kinerjanya sangat baik. Begitupun sebaliknya apabila pencapaian tidak sesuai dengan apa yang direncanakan atau kurang dari apa yang direncanakan, maka kinerjanya dapat dikatakan sangat buruk.
Kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan indikator keuangan. Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakuan untuk menilai kinerja di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga diperoleh posisi keuangan yang mewakili realitas entitas dan potensi-potensi kinerja yang akan berlanjut. Mengapa pengukuran kinerja diperlukan? Pengukuran kinerja dan indikator merupakan bagian dari proses manajemen strategis (Jackson dan Palmer, 1992). Oleh karena itu, sebagai suatu elemen manajerial, kinerja merupakan kunci sukses. Keputusan strategis disusun melalui kebijakan untuk mencapai sasaran dan target yang diinginkan. Pencapaian sasaran dan target membutuhkan informasi tentang aktual kinerja yang diharapkan dengan membandingkan kebijakan yang ditetapkan (setting objectives). Informasi yang diharapkan harus tersusun, dan merupakan desain pengukuran kinerja dan indikator yang terurai dan jelas. Ada beberapa pemikiran untuk membangun organisasi pemerintah daerah melalui pengukuran kinerja setiap aktifitas kegiatannya baik rutin dan pembangunan, dari sektor sampai dengan proyek. Pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas dan pengambilan keputusan; sebagai alat untuk menilai pencapaian tujuan dan sasaran organisasi (Withaker : 1993). Menurut Halim (2001) analisis kinerja keuangan adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan yang tersedia. Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah kemampuan suatu daerah untuk menggali dan mengelola sumber-sumber keuangan asli daerah dalam memenuhi kebutuhannya guna mendukung berjalannya sistem pemerintahan,
pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerahnya dengan tidak tergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat dan mempunyai keleluasaan di dalam menggunakan dana-dana untuk kepentingan masyarakat daerah dalam batas-batas yang ditentukan peraturan perundang-undangan (Syamsi,1986: 199). Organisasi
sektor
publik
merupakan
organisasi
yang
bertujuan
memberikan pelayanan publik kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya, misalnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, penegakan hukum, transportasi dan sebagainya. Pelayanan publik diberikan karena masyarakat merupakan salah satu stakeholder organisasi sektor publik. Sehingga pemerintah daerah tidak hanya menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah pusat saja, tetapi juga kepada masyarakat luas. Oleh karena itulah diperlukan sistem pengukuran kinerja yang bertujuan untuk membantu manajer publik untuk menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan non finansial. Sistem pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai alat pengendalian organisasi. Pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah dilakukan untuk memenuhi tiga tujuan (Mardiasmo, 2002: 121) yaitu memperbaiki kinerja pemerintah, membantu mengalokasikan sumber daya dan pembuatan keputusan dan mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan. Pelaksanaan otonomi daerah tentunya tidak mudah, karena menyangkut masalah kemampuan daerah itu sendiri dalam membiayai penyelenggaraan urusan pemerintahan beserta pelaksanaan pembangunan dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, masalah kemampuan daerah berarti menyangkut masalah bagaimana daerah dapat memperoleh dan meningkatkan
sumber-sumber
pendapatan
daerah
untuk
menjalankan
kegiatan
pemerintahannya. Menurut Prabowo (1999: 149) sesuai dengan konsep asas desentralisasi dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan di daerah sangat dibutuhkan dana dan sumber-sumber pembiayaan yang cukup memadai, karena kalau daerah tidak mempunyai sumber keuangan yang cukup akibatnya tergantung terus kepada pemerintah pusat. Semakin meningkatnya kegiatan pembangunan di daerah, semakin besar pula kebutuhan akan dana yang harus dihimpun oleh pemerintah daerah, kebutuhan dana tersebut tidak dapat sepenuhnya disediakan oleh dana yang bersumber dari pemerintah daerah sendiri (Hirawan, 1990: 96). Dengan demikian maka perlu mengetahui apakah suatu daerah itu mampu untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, maka kita harus mengetahui keadaan kemampuan keuangan daerah. Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui kemampuan pemerintah daerah dalam mengatur rumah tangganya sendiri (Syamsi, 1986: 99). 1. Kemampuan struktural organisasinya. Struktur organisasi pemerintah daerah harus mampu menampung segala aktivitas dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya, jumlah unit-unit beserta macamnya cukup mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab yang cukup jelas. 2. Kemampuan aparatur pemerintah daerah Aparat pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Keahlian, moral, disiplin
dan kejujuran saling menunjang tercapainya tujuan yang diidam-idamkan oleh daerah. 3. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat Pemerintah daerah harus mampu mendorong agar masyarakat mau berperan serta dalam kegiatan pembangunan. 4. Kemampuan keuangan daerah Pemerintah daerah harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sebagai pelaksanaan pengaturan dan pengurusan rumah tangganya sendiri. Untuk itu kemampuan keuangan daerah harus mampu mendukung terhadap pembiayaan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Selain faktor alam, tenaga kerja, dan teknologi, maka salah satu faktor utama lainnya adalah faktor kapital, yang biasa disebut sumber daya modal (capital resources). Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa penerimaan daerah merupakan sumber modal, yang dihimpun dan dimanfaatkan untuk
membiayai
berbagai
kegiatan
pelaksanaan
pembangunan
daerah
(Soediyono, 1992: 137). Selanjutnya Davey (1988: 258) mengungkapkan bahwa otonomi daerah menuntut adanya kemampuan pemerintah daerah untuk menggali sumber-sumber penerimaan yang tidak tergantung kepada pemerintah pusat dan mempunyai keleluasaan di dalam menggunakan dana-dana untuk kepentingan masyarakat daerah dalam batas-batas yang ditentukan peraturan perundang-undangan.
2.4 Analisis Rasio Keuangan Daerah Pemerintah daerah sebagai pihak yang diberikan tugas menjalankan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat wajib melaporkan pertanggungjawaban
keuangan
daerah
sebagai
dasar
penilaian
kinerja
keuangannya. Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya (Halim, 2007: 231). Penggunaan analisis rasio keuangan sebagai alat analisis kinerja keuangan secara luas telah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial, sedangkan pada lembaga publik khususnya pemerintah daerah masih sangat terbatas sehingga secara teoritis belum ada kesepakatan yang bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, maka analisis rasio keuangan terhadap pendapatan belanja daerah perlu dilaksanakan (Mardiasmo, 2002: 169). Beberapa rasio keuangan yang dapat digunakan untuk mengukur akuntabilitas pemerintah daerah (Halim, 2007: 233) yaitu rasio kemandirian, rasio efektivitas, rasio efisiensi keuangan daerah dan rasio keserasian belanja. Adapun pihak-pihak yang berkepentingan dengan rasio keuangan pemerintah daerah (Halim,2007: 232) adalah : 1. Pihak eksekutif sebagai landasan dalam menyusun APBD berikutnya. 2. Pemerintah pusat/provinsi sebagai masukan dalam membina pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah.
3. Masyarakat dan kreditur, sebagai pihak yang akan turut memiliki saham pemerintah daerah, bersedia memberi pinjaman maupun membeli obligasi. Dengan demikian dalam organisasi pemerintah untuk mengukur kinerja keuangan ada beberapa ukuran kinerja yang dapat digunakan seperti rasio kemandirian, rasio efektivitas, rasio efisiensi dan rasio keserasian belanja. Untuk itu, penjelasan terkait dengan rasio kemandirian, rasio efektivitas, rasio efisiensi dan rasio keserasian belanja. 2.4.1 Rasio kemandirian keuangan daerah Rasio kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Rasio kemandirian dihitung dengan membagi total PAD dengan total belanja daerah dalam satuan persen (Suyana Utama, 2008:33). Semakin tinggi rasio ini berarti tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak pemerintah pusat dan provinsi semakin rendah, demikian pula sebaliknya. Rasio ini juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio ini berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen dari PAD. Secara sederhana rasio kemandirian dapat diformulasikan sebagai berikut (Mahsun dalam Suyana Utama, 2008: 33) : Pendapatan Asli Daerah Rasio Kemandirian = -------------------------------- x 100% Total Belanja Daerah
…..… (2.1)
Paul Hersey dan Kenneth Blanchard dalam Halim (2001:168) mengemukakan mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, terutama pelaksanaan undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu sebagai berikut. 1. Pola hubungan instruktif, yaitu peranan pemerintah pusat lebih dominan daripada kemandirian pemerintah daerah. 2. Pola hubungan konsultatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang dan lebih banyak pada pemberian konsultasi. 3. Pola hubungan partisipatif, yaitu pola di mana peranan pemerintah pusat semakin berkurang mengingat tingkat kemandirian daerah otonom bersangkutan mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi. 4. Pola hubungan delegatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada lagi karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah. Pola hubungan pemerintah pusat dan daerah serta tingkat kemandirian dan kemampuan keuangan daerah dapat disajikan dalam matriks seperti tampak pada Tabel 2.1 berikut ini (Mahsun, 2006: 187). Tabel 2.1 Pola Hubungan, Tingkat Kemandirian, dan Kemampuan Keuangan Daerah Kemampuan Keuangan Rasio Kemandirian (%) Pola Hubunggan Rendah Sekali
0 – 25
Instruktif
Rendah
> 25 – 50
Konsultatif
Sedang
> 50 – 75
Partisipatif
Tinggi
> 75 – 100
Delegatif
Sumber : Mahsun Moh, 2006
Rasio kemandirian keuangan daerah atau yang sering disebut sebagai
otonomi
fiskal
menunjukkan kemampuan daerah dalam
membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber
pendapatan
yang
diperlukan
daerah.
Rasio
ini
juga
menggambarkan ketergantungan pemerintah daerah terhadap sumber dana eksternal. Semakin tinggi rasio ini, maka tingkat ketergantungan daerah terhadap pihak eksternal semakin rendah, begitu pula sebaliknya. 2.4.2 Rasio efektivitas keuangan daerah Pengertian efektivitas berhubungan dengan derajat keberhasilan suatu operasi pada sektor publik sehingga suatu kegiatan dikatakan efektif jika kegiatan tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap kemampuan menyediakan pelayanan masyarakat yang merupakan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Rasio efektivitas merupakan tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau prestasi yang dicapai oleh pemerintah daerah yang diukur dengan membandingkan realisasi pendapatan dengan anggaran pendapatan, dalam satuan persen (Suyana Utama, 2008:27). Rasio efektivitas diukur dengan : (Suyana Utama, 2008: 33): Realisasi Pendapatan Rasio Efektivitas = ------------------------------ x 100% Anggaran Pendapatan
…..…… (2.2)
Nilai efektivitas diperoleh dari perbandingan sebagaimana tersebut diatas, diukur dengan kriteria penilaian kinerja keuangan (Mahsun, 2006: 187).
Tabel 2.2 Efektivitas Keuangan Daerah Efektivitas Keuangan Daerah Otonom dan Rasio Efektivitas (%) Kemampuan Keuangan Sangat Efektif >100 Efektif >90 – 100 Cukup Efektif >80 – 90 Kurang Efektif >60 – 80 Tidak Efektif ≤60 Sumber : Mahsun Moh, 2006. 2.4.3 Rasio efisiensi keuangan daerah Rasio efisiensi merupakan tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau prestasi yang dicapai oleh pemerintah daerah yang diukur dengan membandingkan realisasi belanja dengan anggaran belanja yang telah ditetapkan, dalam satuan persen (Suyana Utama, 2008:30). Semakin kecil rasio ini, maka semakin efisien, begitu pula sebaliknya. Pada sektor pelayanan masyarakat adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan baik dan pengorbanan seminimal mungkin. Suatu kegiatan dikatakan telah dikerjakan secara efisien jika pelaksanaan pekerjaan tersebut telah mencapai hasil (output) dengan biaya (input) yang terendah atau dengan biaya minimal diperoleh hasil yang diinginkan (Mahsun, 2006: 187). Rasio efisiensi diukur dengan (Suyana Utama, 2008: 33) : Realisasi Belanja Daerah Rasio Efisiensi = ---------------------------------- x 100% Anggaran Belanja Daerah
…....…. (2.3)
Dengan mengetahui hasil perbandingan antara realisasi belanja dan anggaran belanja daerah dengan menggunakan ukuran efisiensi tersebut, maka penilaian kinerja keuangan dapat ditentukan (Mahsun, 2006: 187).
Tabel 2.3 Efisiensi Keuangan Daerah Efisiensi Keuangan Daerah Otonom dan Rasio Efisiensi (%) Kemampuan Keuangan Sangat Efisien ≤60 Efisien >60 – 80 Cukup Efisien >80 – 90 Kurang Efisien >90 – 100 Tidak Efisien ≥100 Sumber : Mahsun Moh, 2006 Faktor penentu efisiensi dan efektivitas sebagai berikut (Budiarto, 2007) : a. faktor sumber daya, baik sumber daya manusia seperti tenaga kerja, kemampuan kerja maupun sumber daya fisik seperti peralatan kerja, tempat bekerja serta dana keuangan; b. faktor struktur organisasi, yaitu susunan yang stabil dari jabatanjabatan, baik itu struktural maupun fungsional; c. faktor teknologi pelaksanaan pekerjaan; d. faktor dukungan kepada aparatur dan pelaksanaannya, baik pimpinan maupun masyarakat; e. faktor pimpinan dalam arti kemampuan untuk mengkombinasikan keempat faktor tersebut kedalam suatu usaha yang berdaya guna dan berhasil guna untuk mencapai sasaran yang dimaksud. 2.4.4 Rasio Keserasian Belanja Rasio keserasian menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja aparatur dan belanja pelayanan publik secara optimal. Dalam penelitian ini digunakan proprosi belanja publik karena belanja publik secara langsung dimaksudkan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Rasio keserasian
diukur dengan membandingkan realisasi total belanja publik dengan total belanja daerah dalam satuan persen (Suyana Utama, 2008:36). Secara sedarhana rasio keserasian belanja dapat diformulasikan sebagai berikut (Suyana Utama, 2008) : Belanja Pelayanan Publik Rasio Keserasian Belanja = -------------------------------- x 100% ….(2.4) Total Belanja Daerah Dengan mengetahui hasil perbandingan antara realisasi belanja dan anggaran belanja daerah dengan menggunakan ukuran efisiensi tersebut, maka penilaian kinerja keuangan dapat ditentukan sebagai berikut (Mahsun, 2006) : Tabel 2.4 Keserasian Belanja Keuangan Daerah Keserasian Belanja Keuangan Daerah Otonom Tidak Serasi Kurang Serasi Cukup Serasi Serasi Sangat Serasi Sumber : Mahsun Moh, 2006
Rasio Keserasian Belanja (%) 0 – 20 > 20 – 40 > 40 – 60 > 60 – 80 > 80 – 100
2.5 Kesejahteraan Masyarakat 2.5.1 Pengertian Kesejahteraan Masyarakat Upaya penciptaan kesejahteraan di masyarakat dapat diartikan pula sebagai upaya untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Kemiskinan memang tidak dapat dihilangkan namun kemiskinan dapat dikurangi, hal inilah yang terus diupayakan oleh pemerintah. Social security dimaksudkan untuk mengurangi jumlah kemiskinan bukan untuk menghilangkan kemiskinan melalui program-programnya.
Berbicara mengenai kemiskinan tentunya kita tidak dapat melepaskan diri dari mendefinisikan kemiskinan (poverty), yang pada dasarnya merupakan aktifitas politik, konflik politik terhadap kemiskinan akan mengarah pada kemiskinan itu sendiri. Dimensi yang berkaitan dengan kemiskinan meliputi tiga hal yaitu kegunaan (utility), penghasilan (income), dan kemampuan (capabilities). Utility tidak hanya mengacu pada preferensi secara individu, tetapi juga dasar tujuan dari kebijakan dengan memperhatikan preferensi individu bersangkutan (Sen, 1979). Income kadang diintepretasikan dengan “ukuran uang” yang menekankan pada pendapatan perkapita sebagai ukuran pembangunan. Capabilities berkaitan dengan kekurangan kebutuhan dasar, termasuk di dalamnya menghindari kemiskinan dan buta huruf (Sen, 1985). Sedangkan
Social
Security
Administration
(SSA,
1987)
mendefinisikan kemiskinan hanya memasukkan penghasilan yang berupa kas, dan tidak memperhitungkan perawatan yang diperoleh secara gratis, food stamps, sekolah dengan gratis dan penyelenggaraan perumahan rakyat (Danzinger dan Haveman, 1981). Berbicara mengenai pengurangan atau penghapusan kemiskinan sama artinya kita berbicara mengenai perubahan dalam pendistribusian pendapatan (Levine, 1970). Menurut Whyte dalam Ahluwalia (1976) kemiskinan merupakan fenomena relative deprivation. Ada dua macam kemiskinan menurut beliau, yakni kemiskinan yang bersifat relatif dan kemiskinan yang bersifat absolut (relative and absolute poverty). Kemiskinan absolut adalah ukuran kemiskinan yang menggunakan indikator-indikator empiris seperti tingkat kelaparan, malnutrisi, buta huruf, perkampungan kumuh,
buruknya tingkat kesehatan, dan lain-lain. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan diukur relatif antarkelompok pendapatan, oleh karenanya selalu dinamis. Hakikat kemiskinan ini tidak dilihat dari indikatorindikator ekonomi, namun menyangkut aneka dimensi social. Landasan utamanya adalah psikologis, yakni suatu perasaan dari individu-individu masyarakat yang selalu membandingkan dirinya dengan individu lain dalam suatu masyarakat (reference group), di mana ia menjadi bagian. Karena itu kemiskinan terjadi di mana saja, termasuk di negaranegara maju yang secara absolut masyarakatnya telah jauh di atas garis kemiskinan. Jepang sebagai negara post-industry, rata-rata pendapatannya telah jauh melampaui garis kemiskinan absolut, tetapi masih banyak pula orang Jepang yang merasa dirinya miskin. Ini terjadi karena perasaan relatif (Winarni, 1994). Di Indonesia sejak tahun 1976 Badan Pusat Statistik (BPS) telah menghitung jumlah dan persentase penduduk miskin yaitu penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Penghitungan garis kemiskinan dilakukan dengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) modul konsumsi yang dilakukan setiap 3 tahun sekali. Garis kemiskinan, yang merupakan dasar penghitungan jumlah penduduk miskin, dihitung dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar adalah besarnya rupiah yang dibutuhkan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan, atau lebih dikenal dengan garis kemiskinan makanan dan non makanan. Garis kemiskinan makanan yaitu pengeluaran konsumsi perkapita per bulan yang setara 2.100 kalori perkapita per hari. Sementara garis kemiskinan
non makanan adalah besarnya rupiah untuk memenuhi kebutuhan minimum non makanan seperti perumahan, kesehatan, pendidikan, angkutan, pakaian, dan barang/jasa lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa penduduk yang miskin adalah yang berada di bawah garis kemiskinan, dan yang berada di atas garis kemiskinan adalah penduduk yang telah sejahtera/tidak miskin (Winarni, 1994). Langkah utama yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki distribusi outcomes (World Bank, 1999). Di sisi lain pemerintah harus menginvestasikan dan mengalokasikan kembali (reallocate) anggaran berdasar pelayanan yang diberikan. Termasuk juga pendidikan dasar dan perawatan kesehatan yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar warga. Kebijakan yang ada akan berusaha untuk mengidentifikasikan kemiskinan dan target yang ingin dicapai untuk memberikan pelayanan dengan pendistribusian kembali kebutuhan yang urgent dan penggunaan jaring pengaman sosial dalam ekonomi pasar (World Bank, 1990; Lipton dan Ravallion, 1994). Target yang optimal dan program secara keseluruhan dalam memerangi kemiskinan tergantung pada banyak faktor, termasuk karakteristik the poor (siapakah orang miskin, berapa banyak mereka, dan mengapa mereka miskin) dan kondisi spesifik yang melingkupinya (kondisi, pembangunan infrastruktur, dan kemampuan administratif). Murray (1994) membandingkan tiga ukuran kemiskinan yaitu official poverty, net poverty, dan latent poverty. Official poverty adalah jumlah kemiskinan yang digunakan oleh pemerintah US dengan mendasarkan pada indeks kemiskinan. Net poverty adalah official poverty dikurangi nilai keuntungan (the value of in-kind benefits). Laten poverty adalah lebih
mengacu pada jumlah orang-orang yang akan miskin jika mereka tidak menerima bantuan sosial dan public assistance payment. Di Indonesia, bantuan sosial (social assistance) merupakan program langsung pemerintah melalui APBN atau APBD yang menyediakan kebutuhan dasar seperti pangan, papan, sandang, kesehatan, dan pendidikan untuk masyarakat miskin dan sangat miskin. Elemen kedua adalah jaminan sosial (social insurance) (Barr and Whynes, 1993), yakni program partisipasi masyarakat, sementara pemerintah sebagai regulator dan fasilitator. Bentuknya berupa penyediaan jaminan sosial dasar seperti dana pensiun, dan tenaga kerja. Ketiga yakni jaminan pribadi (individual
insurance)
yang merupakan
partisipasi
individu
dan
pemerintah sebagai regulator. 2.5.2 Konsep Value for Money Sektor Publik Indikasi keberhasilan otonomi daerah dan desentralisasi adalah terjadinya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat (social welfare) yang semakin baik, kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan, pemerataan, serta adanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Keadaan tersebut hanya akan tercapai apabila lembaga sektor publik dikelola dengan memperhatikan konsep value for money. Value for money berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses penganggaran yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu pada harga yang paling murah. Efisiensi berarti bahwa penggunaan dana masyarakat (public money) tersebut dapat menghasilkan
output yang maksimal (berdaya guna). Efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target-target atau tujuan kepentingan publik. Dalam konteks otonomi daerah, value for money merupakan jembatan untuk menghantarkan pemerintah daerah mencapai good governance. Value for money tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Untuk mendukung dilakukannya pengelolaan dana publik (public money) yang mendasarkan konsep value for money, maka diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah yang baik. Hal tersebut dapat tercapai apabila pemerintah daerah memiliki sistem akuntansi yang baik (Mardiasmo, 2002:17). 2.5.3 Indikator Kesejahteraan Masyarakat Menurut United Nations Development Programme (UNDP), pembangunan manusia merupakan suatu model pembangunan yang ditujukan untuk memperluas pilihan bagi penduduk yang dapat ditumbuhkan melalui upaya pemberdayaan penduduk. Hal ini dapat dicapai melalui program pembangunan yang menitik-beratkan pada peningkatan kemampuan dasar manusia yaitu meningkatnya derajat kesehatan, berupa umur panjang dan hidup sehat, mempunyai pengetahuan dan
keterampilan
yang
memadai
agar
dapat
digunakan
untuk
mempertinggi partisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif serta mendapat penghasilan yang mencukupi dengan daya beli yang layak. Seperti halnya pembangunan ekonomi, pembangunan manusia memerlukan ketersediaan analisis data guna perencanaan dan pengambilan
kebijakan agar tepat sasaran, juga perlu dievaluasi sejauh mana pembangunan yang dilaksanakan mampu meningkatkan kualitas hidup manusia (penduduk) sebagai obyek pembangunan. Salah satu alat ukur yang lazim digunakan adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Walaupun tidak semua aspek pembangunan manusia dapat diukur melalui penghitungan IPM mengingat sangat luasnya dimensi pembangunan manusia, tetapi paling tidak IPM dapat menggambarkan hasil pelaksanaan pembangunan manusia menurut tiga komponen indikator kemampuan manusia yang sangat mendasar yaitu; derajat kesehatan, kualitas pendidikan serta akses terhadap sumber daya ekonomi berupa pemerataan tingkat daya beli masyarakat. Dalam
mengukur
kesejahteraan
masyarakat,
program
pembangunan PBB (UNDP) melalui terbitan serialnya sejak awal tahun 1990-an mengukur kesejahteraan masyarakat secara lebih komprehensif dengan menggunakan tingkat pendapatan perkapita, tingkat pendidikan dan usia harapan hidup yang dikonstruksi menjadi Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index = HDI. Alat ukur ini telah digunakan baik pada tingkat nasional maupun internasional dalam melihat hasil-hasil pembangunan masing-masing propinsi atau negara. Selanjutnya alat ukur ini diperluas kegunaannya pada tingkat yang lebih rendah yaitu pada level kabupaten/kota. Pada tahun 1990 United Nation Development Program (UNDP) memperkenalkan ”Human Development Index” (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pembangunan manusia, menurut definisi UNDP, adalah proses memperluas pilihan-pilihan penduduk (people’s
choice). Dari sekian banyak pilihan, ada tiga pilihan yang dianggap paling penting, yaitu: panjang umur dan sehat, berpendidikan, dan akses ke sumber daya yang dapat memenuhi standar hidup yang layak. Pilihan lain yang dianggap mendukung tiga pilihan di atas adalah kebebasan politik, hak asasi manusia, dan penghormatan hak pribadi. Dengan demikian, pembangunan manusia lebih dari sekedar pertumbuhan ekonomi, lebih dari sekedar peningkatan pendapatan dan lebih dari sekedar proses produksi komoditas serta akumulasi modal. Demi memacu pertumbuhan ekonomi perlu pula dilakukan pembangunan manusia. Dibutuhkan kebijakan pemerintah yang mendorong peningkatan kualitas SDM. Pendapatan perkapita adalah PDRB berdasarkan harga yang berlaku di masyarakat dibagi dengan total penduduk pada pertengahan tahun, dalam ribuan rupiah. PDRB adalah total nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor-sektor perekonomian
dalam kurun waktu satu
tahun. Tingkat pendidikan masyarakat diukur dari jumlah penduduk yang menamatkan bangku pendidikan formal terhadap total penduduk di suatu wilayah tertentu, dalam satuan persen. Usia harapan hidup adalah rata-rata umur masyarakat yang dicapai pada suatu wilayah tertentu, dalam satuan tahun.
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu serta mengacu kepada latar belakang masalah, rumusan dan tujuan penelitian maka dapat dibuat suatu bentuk kerangka pemikiran sebagai berikut : Gambar 3.1
Kerangka
Berpikir
Dari Gambar 3.1 di atas, dapat dijelaskan bahwa kerangka berpikir yang akan dikembangkan oleh peneliti dalam penelitian mengenai “Evaluasi Kinerja Keuangan dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Lembata – Provinsi NTT” ini adalah berdasarkan latar belakang permasalahan yaitu rendahnya kinerja keuangan dan tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten Lembata selama dua periode pemerintahan Bupati, yaitu periode I dari tahun 2002 – 2005 dan di periode II dari tahun 2006 – 2009. Kemudian dirumuskanlah beberapa permasalahan penelitian yaitu apakah terdapat perbedaan yang siqnifikan pada kinerja
keuangan
pemerintah
kabupaten
antara
periode I dan periode II, dan apakah terdapat perbedaan yang siqnifikan pada kesejahteraan masyarakat antara periode I dan Periode II. Tujuan penelitian ini diarahkan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan di atas dan diharapkan dapat memberi manfaat praktis dan teoritis. Berdasarkan tujuan dan manfaat penelitian ini maka kemudian akan dilakukan analisis data-data kinerja keuangan pemerintah kabupaten dan datadata kesejahteraan masyarakat Kabupaten Lembata. Hasil analisis data-data tersebut kemudian akan dibahas dan diuraikan sedemikian sehinggga dapat ditarik kesimpulan yang dapat memberikan jawaban atas rumusan permasalahan dan tujuan awal dari penelitian ini. Berdasarkan kesimpulan ini pula maka akan dikemukakan beberapa saran yang bisa memberikan manfaat baik yang bersifat praktis maupun yang bersifat teoritis bagi para pembaca. 3.2 Kerangka Konseptual Adapun konsep penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut : Gambar 3.2 Kerangka Konseptual
Dari Gambar 3.2 di atas, dapat dijelaskan bahwa dalam penelitian ini akan dilakukan analisis rasio-rasio kinerja keuangan pemerintah kabupaten antara lain rasio kemandirian daerah, rasio efektivitas, rasio efisiensi dan rasio keserasian belanja. Selain itu, dilakukan juga analisis terhadap indikatorindikator kesejahteraan masyarakat antara lain indikator pendapatan perkapita, indikator tingkat pendidikan dan indikator usia harapan hidup. Selanjutnya akan dilakukan perbandingan variabel kinerja keuangan pemerintah kabupaten dan variabel kesejahteraan masyarakat yang dibagi dalam dua periode yaitu periode I dan di periode II, apakah mengalami peningkatan atau sebaliknya semakin menurun. Setelah diketahui hasil perhitungan masingmasing indikator baik yang menjadi bagian dalam variabel kinerja keuangan maupun variabel kesejahteraan masyarakat, ditabulasikan ke dalam tabel kriteria kinerja keuangan untuk mengetahui kategori nilai yang dicapai. 3.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan penelitian terdahulu dan kerangka pikir di atas maka hipotesis pada penelitian ini adalah : H1 : “Terdapat perbedaan signifikan rata-rata kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Lembata pada periode I dan periode II”. H2: “Terdapat perbedaan signifikan rata-rata kesejahteraan masyarakat Kabupaten Lembata pada periode I dan periode II”.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan dan Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus mengenai pengelolaan keuangan daerah yaitu dengan menganalisis kinerja keuangan pemerintah kabupaten dengan menggunakan indikator rasio kemandirian, efektivitas, efisiensi dan keserasian belanja, dan analisis tingkat kesejahteraan masyarakat
dengan
indikator pendapatan perkapita, tingkat pendidikan dan usia harapan hidup masyarakat Kabupaten Lembata pada periode I dan periode II. Seluruh data hasil perhitungan, akan dianalisis dengan menggunakan analisis uji beda dua rata-rata rata untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara periode I dan periode II untuk masing-masing variabel penelitian. Penelitian ini mempunyai ruang lingkup di wilayah Kabupaten Lembata yang secara administratif masuk dalam wilayah pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Timur. 4.2 Variabel Penelitian 4.2.1 Identifikasi Variabel Variabel yang akan dianalisis terdiri dari dua variabel yaitu pertama,
variabel
kinerja
keuangan
dengan
menggunakan
rasio
kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas, rasio efisiensi dan rasio keserasian belanja. Sedangkan variabel kedua yaitu variabel kesejahteraan masyarakat dengan menggunakan indikator pendapatan perkapita, indikator tingkat pendidikan dan indikator usia harapan hidup.
4.2.2 Definisi Operasional Variabel Analisis kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Lembata pada dasarnya dilakuan untuk menilai kinerja pemerintah kabupaten di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga diperoleh posisi keuangan yang mewakili realitas entitas dan potensi-potensi kinerja secara berkesinambungan. Rasio kemandirian keuangan pemerintah Kabupaten Lembata menunjukkan kemampuan pemerintah kabupaten dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang dihitung dengan membagi total PAD dengan total belanja daerah dalam satuan persen. Rasio efektivitas keuangan pemerintah Kabupaten Lembata adalah rasio yang digunakan untuk mengukur efektivitas dalam merealisasikan pendapatan daerah Kabupaten Lembata dan merupakan tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau prestasi yang dicapai oleh pemerintah kabupaten yang diukur dengan membandingkan realisasi pendapatan dengan anggaran pendapatan, dalam satuan persen. Rasio
efisiensi
keuangan
pemerintah
Kabupaten
Lembata
merupakan tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau prestasi yang dicapai oleh pemerintah Kabupaten Lembata yang diukur dengan membandingkan realisasi belanja dengan anggaran belanja yang telah ditetapkan, dalam satuan persen. Rasio keserasian belanja menggambarkan bagaimana pemerintah Kabupaten Lembata memprioritaskan alokasi dananya
pada belanja pelayanan publik secara optimal yang diukur dengan membandingkan realisasi total belanja publik dengan total belanja daerah dalam satuan persen. Dalam mengukur kesejahteraan masyarakat menggunakan tingkat pendapatan perkapita, usia harapan hidup dan tingkat pendidikan yang dikonstruksi menjadi Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index = HDI. Pendapatan perkapita di masyarakat Kabupaten Lembata adalah PDRB dibagi dengan total penduduk pada pertengan tahun pada tahuntahun penelitian, dalam ribuan rupiah. Tingkat pendidikan masyarakat diukur dari jumlah penduduk yang menamatkan bangku pendidikan formal terhadap total penduduk di Kabupaten Lembata selama tahun-tahun yang diteliti, dalam satuan persen. Usia harapan hidup adalah rata-rata umur masyarakat yang dicapai di Kabupaten Lembata selama tahun-tahun yang diteliti, dalam satuan tahun. 4.3 Prosedur Pengumpulan Data Dalam penelitian ini tidak diperlukan sampel karena menggunakan data sekunder yang terbatas pada laporan realisasi APBD. Data yang digunakan terbatas pada data berapa jumlah realisasi APBD yang akan digunakan untuk menganalisis kinerja keuangan pemerintah kabupaten dan tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten Lembata. Sedangkan faktor-faktor lain non finansial yang berpengaruh terhadap laporan realisasi APBD Kabupaten Lembata dianggap konstan.
Data yang akan dikumpulkan dan dianalisis dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa laporan perhitungan APBD yang dikumpulkan dari Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah dan data PDRB serta jumlah penduduk yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Lembata. Data sekunder yang akan dipergunakan tersebut bersifat runtut waktu (time series) delapan tahun dari tahun anggaran 2002 sampai dengan tahun anggaran 2009. Seluruh data tersebut dikumpulkan dengan metode observasi non perilaku yaitu dilakukan dengan mengamati secara langsung dokumen APBD Kabupaten Lembata. 4.4 Metode Analisis Data Dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik analisis uji beda dua rata-rata untuk mengetahui perkembangan variabel yang dianalisis pada periode I dan periode II. Uji beda dua rata-rata merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah suatu variabel memiliki nilai yang sama atau tidak sama, lebih tinggi atau tidak lebih tinggi, lebih rendah atau tidak lebih rendah dan sebagainya. Jika analisis data dalam sebuah penelitian dilakukan dengan cara membandingkan data antar-waktu dari satu kelompok sampel, maka dilakukan pengujian hipotesis dengan uji-t sebagai berikut : Langkah-langkah pengujian hipotesis : a. Menyusun H1 dan H2 H1 : µII ≠ µI H2 : yII ≠ yI
µ merupakan rerata data kinerja keuangan di periode I dan periode II
y merupakan rerata data kesejahteraan masyarakat di periode I dan periode II
b. Menghitung statistik yaitu : t= dengan :
Md
∑Xd
2
………………… (4.1)
n(n-1)
di
= selisih skor periode I dan II dari setiap subjek (i)
Md
= rerata dari gain (d)
Xd
= deviasi skor gain terhadap reratanya (Xd = di – Md)
Xd2
= kuadrat deviasi skor gain terhadap reratanya
n
= banyaknya subjek penelitian
c. Menentukan level of significance (aơ) Untuk pengujian hipotesis, selanjutnya nilai t hitung di atas dibandingkan dengan nilai dari tabel distribusi t (t tabel). Cara penentuan nilai t tabel didasarkan pada taraf signifikansi (misal a = 0,05) dan dk = n – 1. d. Kriteria pengujian hipotesis H0 ditolak apabila t hitung < t tabel, atau H0 diterima apabila t hitung > t tabel e. Buat kesimpulan dengan membandingkan antara nilai t hitung dengan kriteria hitungnya.
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Gambaran Umum Kabupaten Lembata Kabupaten
Lembata dengan ibukota kabupaten Lewoleba
merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak di sebelah timur dari pulau Flores. Kabupaten Lembata sangat potensial dalam bidang pertanian, khususnya sektor kelautan dan perikanan, karena Kabupaten Lembata dikelilingi oleh laut, serta potensi pertambangan
yang tersebar di beberapa kecamatan. Sedangkan
permasalahan yang sering timbul adalah penyediaan masalah prasarana dan sarana serta sumber daya manusia yang belum memadai. Secara administratif wilayah Kabupaten Lembata berbatasan dengan : sebelah utara : laut Flores, sebelah timur : selat Alor, sebelah selatan : laut Sawu dan sebelah barat : selat Boleng dan Lamalera. Secara administratif, sejak tahun 1958 Lembata merupakan bagian dari Kabupaten Flores Timur dengan ibukota Larantuka, namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 52 Tahun 1999 sejak 12 Oktober 1999, pulau Lembata resmi berdiri sendiri menjadi Kabupaten Lembata dengan ibukota Lewoleba yang memiliki luas wilayah 1.266,48 km² atau 126.648 ha. Kabupaten Lembata terdiri dari 8 (delapan) kecamatan yang meliputi 112 desa, 5 kelurahan dan 372 dusun, dan mempunyai luas wilayah daratan 1.266,48 Km2 dan luas wilayah lautan 3.353,995 Km2. Pembagian
wilayah administratif
kecamatan di Kabupaten
Lembata yaitu :
Nagawutung dengan ibukota Loang, Atadei dengan ibukota Kalikasa, Ile Ape dengan ibukota Waipukang, Lebatukan dengan ibukota Hadakewa, Nubatukan dengan ibukota Lewoleba, Omesuri dengan ibukota Balauring, Buyasuri dengan ibukota Wairiang dan Wulandoni dengan ibukota Wulandoni. Dilihat dari segi ekonomi, total nilai PDRB yang dicapai Kabupaten Lembata ini pada tahun 2005 sebesar 176.214.210.534 (dalam ribuan rupiah), dengan konstribusi terbesar datang dari sektor pertanian sebesar 80.968.371.893, sektor jasa sebesar 50.429.854.694 dan sektor perdagangan,
hotel,
restoran
sebesar
44.815.983.947.
Meskipun
Kabupaten Lembata dikenal sebagai daerah yang tandus dan gersang, pertanian tetap menjadi tumpuan kegiatan ekonomi kabupaten dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002 dari total nilai ekonomi Kabupaten Lembata sebesar Rp.88,7 milyar, pertanian menyumbang hingga 64%. Produksi hasil pertanian belum mampu mencukupi kebutuhan lokal, padi misalnya untuk memenuhi kebutuhan sebagian kecil penduduknya , beras masih didatangkan dari Makasar dan Surabaya. Kecilnya produksi dikarenakan sebagian besar padi yang dihasilkan melalui padi ladang, kecamatan Atadei menjadi penghasil padi ladang terbesar, beruntung masyarakat Lembata bisa melakukan subtitusi yaitu dengan lebih memilih jagung dari pada beras sebagai makanan pokok. Selain pertanian, perekonomian Kabupaten Lembata ini juga didukung oleh peternakan dan perikanan. Ternak sapi, kambing, dan babi masih dapat dikembangkan, mengingat
terdapatnya padang rumput yang luas. Perikanan juga masih menyimpan potensi yang besar karena sebagian 73% wilayah Lembata adalah perairan, SDA terbesar ini belum tergarap profesional. Pemerintah kabupaten lewat dinas perikanan dan kelautan sedang mensurvei potensi kelautan, dengan data yang akurat dalam bentuk pemetaan potensi kelautan ini diharapkan sumber daya laut dapat dikelola dan dikembangkan menjadi produk unnggulan daerah. Sebagai kabupaten baru, ada sejumlah persoalan daerah yang menuntut perhatian serius pemerintah bersama masyarakatnya. Meski belum cukup menonjol, Lembata memiliki bebarapa kawasan yang diketahui kantung produksinya. Kawasan itu seperti di Kecamatan Nagawuntung, Atadei, omesuri, dan Buyasuri yang dikenal sebagai penghasil kemiri, kopra, jambu mete, dan juga kopi. Bumi Lembata dilaporkan juga menyimpan potensi pertambangan. Penelitian LPPGI bekerjasama dengan GSJ beberapa waktu lalu, pernah melaporkan Lembata menyimpan kandungan emas sekitar 600 gram per ton batuan. Sesuai dengan UU Nomor 22 jo UU Nomor 44 tahun 2001 tentang pemerintah daerah, menjadikan Kabupaten Lembata sebagai sebuah pemerintah yang otonom. Dengan tuntutan otonmi daerah yang mengisyaratkan
bahwa
pemerintah
Kabupaten
Lembata
harus
meningkatkan kinerja keuangan, maka Kabupaten Lembata wajib mengoptimalkan pengelolaan APBD nya. Untuk mengoptimalkan pengelolaan keuangan daerah maka perlu dibentuk suatu badan khusus mengelola tentang penerimaan pendapatan
dan pengeluaran belanja daerahnya sehingga dibentuklah Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah sesuai dengan Perda Kabupaten Lembata Nomor 2 tahun 2004 dan Surat Keputusan Bupati Lembata Nomor 1616 tentang Uraian Tugas Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Lembata. Sedangkan dengan dikeluarkannya Perda Nomor 7 tahun 2006 dan Peraturan Bupati Nomor 35 tahun 2006, BPKAD dirubah menjadi Bagian Keuangan dan Bagian Aset dan Perlengkapan. Bagian keuangan Kabupaten Lembata dipimpin oleh seorang Kepala Bagian yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Sekretaris Daerah melalui Asisten Administrasi Umum, dan terdiri dari Sub Bagian Anggaran, Sub Bagian Perbendaharaan dan Sub Bagian Verifikasi dan Pembukuan. 5.1.2 Deskripsi Variabel Penelitian 5.1.2.1 Variabel kinerja keuangan Analisis terhadap variabel kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Lembata pada dasarnya dilakuan untuk menilai kinerja pemerintah kabupaten di masa lalu. Dalam penelitian ini, variabel kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Lembata diukur dengan menggunakan analisis rasio keuangan daerah antara lain dapat dideskripsikan sebagai berikut : 5.1.2.1.1 Rasio kemandirian Hasil perhitungan rasio kemandirian pemerintah Kabupaten Lembata dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut ini :
Tabel 5.1 Hasil Perhitungan Rasio Kemandirian Pemerintah Kabupaten Lembata Periode I dan II Periode I Periode II Tahun
Nilai(%)
Tahun
Nilai(%)
2002
4,37
2006
4,51
2003
3,97
2007
4,18
2004
3,49
2008
3,63
2005
2,73
2009
4,80
Rata-rata
3,64
Rata-rata
4,28
Sumber : Lampiran 9 Berdasarkan Tabel 5.1, diketahui bahwa pada periode I, rasio kemandirian pemerintah Kabupaten Lembata tertinggi dicapai pada tahun 2002 yaitu sebesar 4,37%, namun di tahun-tahun berikutnya terus mengalami penurunan, yaitu di tahun 2003 sebesar 3,97%, tahun 2004 sebesar 3,49% dan mencapai tingkat terendah di tahun 2005 yaitu menjadi 2,73%. Demikian pula di periode II, rasio kemandirian pada tahun 2006 sebesar 4,51%, kemudian turun di tahun 2007 menjadi 4,18%, dan kemudian mencapai tingkat terendah pada tahun 2008 yang hanya mencapai 3,63%, tetapi kemudian mengalami peningkatan pada angka tertinggi di tahun 2009 menjadi 4,80%. Secara rata-rata hasil perhitungan rasio kemandirian pada periode I sebesar 3,64% dan bila dihubungkan dengan Tabel 2.1 kriteria pola hubungan dengan pemerintah pusat dan provinsi yaitu mengaju kepada hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahsun (2006) dalam Suyana Utama (2008), maka persentasenya terletak antara 0 – 25%, dengan demikian rasio kemandirian pada periode I tergolong dalam kategori kemandirian rendah sekali dengan pola
hubungan yang instruktif. Sedangkan rata-rata hasil perhitungan rasio kemandirian pada periode II mengalami peningkatan menjadi 4,28%, dan persentasenya juga terletak antara 0 – 25%, maka rasio kemandirian di periode II juga dikategorikan rendah sekali dengan pola hubungan instruktif. 5.1.2.1.2 Rasio efektivitas Hasil perhitungan rasio efektivitas keuangan pemerintah Kabupaten Lembata dapat dilihat pada Tabel 5.2 berikut ini : Tabel 5.2 Hasil Perhitungan Rasio Efektivitas Keuangan Pemerintah Kabupaten Lembata Periode I dan II Periode I
Periode II
Tahun
Nilai(%)
Tahun
Nilai(%)
2002
102,87
2006
99,78
2003
101,87
2007
103,89
2004
99,81
2008
102,42
2005
98,74
2009
102,13
Rata-rata
100,82
Rata-rata
102,05
Sumber : Lampiran 9 Berdasarkan Tabel 5.2, diketahui bahwa pada periode I, rasio efektivitas keuangan pemerintah Kabupaten Lembata tertinggi dicapai pada tahun 2002 yaitu sebesar 102,87% namun di tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan yakni di tahun 2003 menjadi 101,87%, tahun 2004 menjadi 99,81% dan mencapai tingkat terendah di tahun 2005 yaitu menjadi 98,74%. Demikian pula di periode II, rasio efektivitas mencapai tingkat efektivitas terendah di tahun
2006 yaitu sebesar 99,78%, kemudian meningkat di tahun 2007 mencapai 103,89%, di tahun 2008 menjadi 102,42% dan di tahun 2009 menjadi 102,13%. Secara rata-rata hasil perhitungan rasio efektivitas pada periode I sebesar 100,82% dan bila dihubungkan dengan Tabel 2.2 kriteria efektivitas keuangan daerah otonom dan kemampuan keuangan yaitu mengaju kepada hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahsun (2006) dalam Suyana Utama (2008), menunjukkan bahwa persentasenya berada pada tingkat >100, maka rasio efektivitas keuangan daerah tergolong dalam kategori sangat efektif. Sedangkan rata-rata hasil perhitungan rasio efektivitas pada periode II mengalami peningkatan menjadi 102,05%, dan persentasenya juga berada pada tingkat >100, maka rasio efektivitas keuangan daerah di periode II juga dikategorikan sangat efektif. 5.1.2.1.3 Rasio efisiensi Hasil perhitungan rasio efisiensi keuangan pemerintah Kabupaten Lembata dapat disajikan pada Tabel 5.3 berikut ini : Tabel 5.3 Hasil Perhitungan Rasio Efisiensi Keuangan Pemerintah Kabupaten Lembata Periode I dan II Periode I
Periode II
Tahun
Nilai(%)
Tahun
Nilai(%)
2002
90,08
2006
88,11
2003
89,31
2007
81,53
2004
87,98
2008
114,11
2005
93,01
2009
94,30
Rata-rata
90,09
Rata-rata
94,51
Sumber : Lampiran 9
Berdasarkan Tabel 5.3 diketahui bahwa pada periode I, rasio efisiensi keuangan pemerintah Kabupaten Lembata pada tahun 2002 yaitu sebesar 90,08%, di tahun 2003 sebesar 89,31% dan pada tahun 2004 mencapai tingkat efisiensi tertinggi sebesar 87,98%, namun pada tahun 2005 kembali mengalami penurunan menjadi tingkat terendah sebesar 93,01%. Sedangkan di periode II, rasio efisiensi
keuangan pemerintah Kabupaten Lembata pada tahun 2006
yaitu sebesar 88,11%, dan pada tahun 2007 mencapai tingkat efisiensi tertinggi yaitu sebesar 81,53% namun kemudian di tahun 2008 mencapai tingkat efisiensi terendah yaitu mencapai 114,11%, dan kemudian pada tahun 2009 meningkat menjadi 94,30%. Secara rata-rata hasil perhitungan rasio efisiensi pada periode I sebesar 90,09% dan bila dihubungkan dengan Tabel 2.2 kriteria efisiensi keuangan daerah yaitu mengaju kepada hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahsun (2006) dalam Suyana Utama (2008), maka persentasenya antara >90 – 100%, dengan demikian rasio efisiensi keuangan pemerintah kabupaten Lembata di periode I tergolong dalam kategori kurang efisien. Sedangkan rata-rata hasil perhitungan rasio efisiensi pada periode II mengalami penurunan menjadi 94,51% namun persentasenya masih berada di antara >90 – 100%, dengan demikian rasio efisiensi keuangan pemerintah Kabupaten Lembata di periode II juga tergolong dalam kategori kurang efisien. 5.1.2.1.4 Rasio keserasian belanja Hasil perhitungan rasio keserasian belanja pemerintah Kabupaten Lembata dapat disajikan pada Tabel 5.4 berikut ini :
Tabel 5.4 Hasil Perhitungan Rasio Keserasian Belanja Pemerintah Kabupaten Lembata Periode I dan II Periode I
Periode II
Tahun
Nilai(%)
Tahun
Nilai(%)
2002
64,20
2006
65,30
2003
64,46
2007
19,65
2004
47,79
2008
39,99
2005
62,75
2009
52,42
Rata-rata
59,80
Rata-rata
44,34
Sumber : Lampiran 9 Berdasarkan Tabel 5.4 diketahui bahwa pada periode I, rasio keserasian belanja pemerintah Kabupaten Lembata pada tahun 2002 yaitu sebesar 64,20%, pada tahun 2003 mencapai tingkat keserasian tertinggi yaitu sebesar 64,46%, pada tahun 2004 mencapai tingkat keserasian terendah yaitu sebesar 47,79% dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 62,75%. Sedangkan di periode II, rasio keserasian belanja pemerintah Kabupaten Lembata pada tahun 2006 mencapai tingkat keserasian tertinggi yaitu sebesar 65,30%, pada tahun 2007 mencapai tingkat keserasian terendah yaitu hanya mencapai 19,65%, pada tahun 2008 meningkat menjadi 39,99%, dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 52,42%. Secara rata-rata hasil perhitungan rasio keserasian belanja pada periode I sebesar 59,80%, bila dihubungkan dengan Tabel 2.4 kriteria keserasian belanja keuangan daerah otonom dan mengaju kepada hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahsun (2006) maka rasio keserasian belanja pemerintah Kabupaten Lembata di periode I dikategorikan cukup serasi kerena persentasenya antara >40 – 60%. Sedangkan rata-rata hasil perhitungan rasio keserasian belanja pada
periode II mengalami penurunan menjadi 44,34% dan persentasenya berada antara >40 – 60%, maka dapat dikategorikan menjadi predikat cukup serasi. 5.1.2.2 Variabel kesejahteraan masyarakat Dalam mengukur variabel kesejahteraan masyarakat digunakan indikator pendapatan perkapita, indikator tingkat pendidikan dan usia harapan hidup masyarakat. 5.1.2.2.1 Indikator pendapatan perkapita Pada Tabel berikut akan disajikan tabel pendapatan perkapita atas dasar harga berlaku di Kabupaten Lembata periode I dan II. Tabel 5.5 Pendapatan Perkapita Masyarakat Atas Dasar Harga Berlaku di Kabupaten Lembata Periode I dan II Periode
Tahun 2002 2003 2004 2005
Periode I
Rata- Rata 2006 Periode II 2007 2008 2009 Rata- Rata
Sumber : Lampiran 17
Pendapatan Perkapita (Rp) atas dasar harga yang berlaku 1.337.798 1.465.985 1.619.088 1.786.329 1.552.300 2.058.541 2.226.506 2.843.394 3.152.350 2.570.198
Berdasarkan Tabel 5.5 diketahui bahwa pada periode I, indikator pendapatan perkapita masyarakat di Kabupaten Lembata pada tahun 2002 yaitu sebesar Rp.1.337.798, pada tahun 2003 meningkat menjadi Rp.1.465.985, pada tahun 2004 menjadi Rp.1.619.088
dan
pada
tahun
2005
meningkat
menjadi
Rp.1.786.329. Sedangkan di periode II, tingkat pendapatan perkapita masyarakat di Kabupaten Lembata pada tahun 2006 yaitu sebesar Rp.2.058.541, pada tahun 2007 menjadi Rp.2.226.506, pada tahun 2008 menjadi Rp.2.843.394, dan kemudian pada tahun 2009 meningkat menjadi Rp.3.152.350. Apabila
dilihat
secara
rata-rata
indikator
pendapatan
perkapita masyarakat di kabupaten Lembata pada periode I adalah sebesar Rp. 1.552.300, sedangkan rata-rata indikator pendapatan perkapita masyarakat di kabupaten Lembata pada periode II mengalami peningkatan menjadi Rp. 2.570.198. 5.1.2.2.2 Indikator tingkat pendidikan Pada Tabel berikut akan disajikan indikator tingkat pendidikan masyarakat di Kabupaten Lembata pada periode I dan II. Tabel 5.6 Tingkat Pendidikan Masyarakat di Kabupaten Lembata Periode I dan II PENDIDIKAN TERTINGGI YANG DITAMATKAN
Periode SD
SLTP
SLTA
DI
DII/DIII
I
2002 2003 2004 2005
42,24 41,28 38,46 40,44
5,27 7,01 12,88 10,40
8,01 8,09 8,91 8,30
0,15 0,49 0,72 0,71
0,46 0,57 0,65 0,61
II
2006 2007 2008 2009
35,91 41,46 42,10 41,83
11,83 10,78 12,26 10,58
12,41 8,79 11,58 10,42
0,68 0,38 0,75 0,66
0,62 1,12 0,98 0,47
Sumber : Lampiran 18
DIV/S1/S2/S3 1,25 1,09 0,69 0,87 Rata-rata Periode I 1,20 1,31 1,70 1,69 Rata-rata Periode II
Total 57,38 58,53 62,31 61,33 59,88 62,65 63,84 69,37 65,65 65,37
Berdasarkan Tabel 5.6 diketahui bahwa pada periode I, tingkat pendidikan masyarakat atau persentase jumlah masyarakat
yang
mengenyam bangku pendidikan di Kabupaten Lembata pada tahun 2002 mencapai 57,38%, pada tahun 2003 mencapai 58,53%, pada tahun 2004 mencapai 62,31% dan pada tahun 2005 turun menjadi 61,33%. Sedangkan di periode II, tingkat pendidikan masyarakat di Kabupaten Lembata pada tahun 2006 mencapai 62,65%, pada tahun 2007 mencapai 63,84%, pada tahun 2008 mencapai 69,37%, tetapi kemudian pada tahun 2009 turun menjadi 65,65%. Apabila dilihat secara rata-rata indikator tingkat pendidikan pada periode I adalah sebesar 59,88%, sedangkan rata-rata indikator tingkat pendidikan pada periode II mengalami peningkatan menjadi 65,37%. 5.1.2.2.3 Indikator usia harapan hidup Berikut akan disajikan Tabel indikator usia harapan hidup masyarakat di Kabupaten Lembata periode I dan II. Tabel 5.7 Usia Harapan Hidup Masyarakat di Kabupaten Lembata Periode I dan II I
II
Periode
2002 2003 2004 2005 Rata-rata 2006 2007 2008 2009 Rata-rata
Sumber : Lampiran 19
Angka Harapan Hidup (Tahun) 64,80 65,15 65,30 65,80 65,26 66,10 66,23 66,34 66,46 66,28
Berdasarakan Tabel 5.7 diketahui bahwa pada periode I, usia harapan hidup masyarakat di Kabupaten Lembata pada tahun 2002 mencapai 64,80 tahun, pada tahun 2003 mencapai 65,15 tahun, pada tahun 2004 mencapai 65,30 tahun dan pada tahun 2005 menjadi 65,80 tahun. Sedangkan di periode II, usia harapan hidup masyarakat di Kabupaten Lembata pada tahun 2006 mencapai 66,10 tahun, pada tahun 2007 mencapai 66,23 tahun, pada tahun 2008 mencapai 66,34 tahun, dan pada tahun 2009 menjadi 66,46 tahun. Apabila dilihat secara rata-rata indikator usia harapan hidup pada periode I adalah sebesar 65,26%, sedangkan rata-rata indikator usia harapan hidup pada periode I mengalami peningkatan menjadi 66,28% 5.1.3 Pengujian hipotesis Berikut ini akan disajikan hasil pengolahan data yang menjadi dasar deskripsi hasil penelitian atas variabel kinerja keuangan dan variabel kesejahteraan masyarakat. Data yang berhasil dikumpulkan kemudian diolah menggunakan teknik statistik hipotesis uji beda dua rata-rata dengan cara membandingkan antara rata-rata masing-masing variabel penelitian pada periode I dan periode II. Penelitian ini menggunakan uji beda dua rata-rata (t-test) dengan bantuan program SPSS 16.00 for Windows, membandingkan variabel kinerja keuangan dan variabel kesejahteraan masyarakat pada periode I dan periode II di lingkungan pemerintah Kabupaten Lembata dengan
menggunakan nilai signifikansi () sebesar 5%, seperti pada tabel berikut ini : Tabel 5.8 Hasil Pengujian Hipotesis Penelitian
Nilai sig. (tailed)
Nilai t (t0,05:3)
Hipotesis (H1)
Alat Ukur
Nilai sig. (tailed)
Nilai t (t0,05:3)
Hipotesis (H2)
Kemandirian
1,479
2,353
Ditolak
Pendapatan perkapita
4,837
2,353
Diterima
Efektivitas
0,971
2,353
Ditolak
Tingkat pendidikan
3,932
2,353
Diterima
Efisiensi
0,621
2,353
Ditolak
Usia harapan hidup
4,609
2,353
Diterima
Keserasian
1,470
2,353
Ditolak
Alat Ukur
Sumber : Lampiran 10 – 16 Dari Tabel 5.8 di atas, dapat dijelaskan bahwa hasil pengujian hipotesis penelitian terhadap variabel kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Lembata dengan menggunakan rasio kemandirian menyimpulkan bahwa hipotesis pertama (H1) ditolak karena nilai uji statistik (t0) yang diperoleh adalah 1,479 di mana angka tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai t0,05;3 yaitu sebesar 2,353 (Lampiran 10). Dengan menggunakan rasio efektivitas, hasil pengujian hipotesis menyimpulkan bahwa hipotesis pertama (H1) ditolak karena nilai uji statistik (t0) yang diperoleh adalah 0,971 di mana angka tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai t0,05;3 yaitu sebesar 2,353 (Lampiran 11). Dengan menggunakan rasio efisiensi, hasil pengujian hipotesis menyimpulkan bahwa hipotesis pertama (H1) ditolak karena nilai uji statistik (t0) yang diperoleh adalah 0,621 di mana angka tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai t0,05;3 yaitu sebesar 2,353 (Lampiran 12).
Dengan menggunakan rasio keserasian belanja, hasil pengujian hipotesis menyimpulkan bahwa hipotesis pertama (H1) ditolak karena nilai uji statistik (t0) yang diperoleh adalah 1,470 di mana angka tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai t0,05;3 yaitu sebesar 2,353 (Lampiran 13). Sedangkan hasil pengujian hipotesis terhadap variabel kesejahteraan masyarakat dengan menggunakan indikator pendapatan perkapita menyimpulkan bahwa hipotesis kedua (H2) diterima karena nilai uji statistik (t0) yang diperoleh adalah 4,837 di mana angka tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan nilai t0,05;3 yaitu sebesar 2,353 (Lampiran 14). Dengan menggunakan indikator tingkat pendidikan, hasil pengujian hipotesis menyimpulkan bahwa hipotesis kedua (H2) diterima karena nilai uji statistik (t0) yang diperoleh adalah 3,932 di mana angka tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan nilai t0,05;3 yaitu sebesar 2,353 (Lampiran 15). Dengan menggunakan indikator usia harapan hidup, hasil pengujian hipotesis menyimpulkan bahwa hipotesis kedua (H2) diterima karena nilai uji statistik (t0) yang diperoleh adalah 4,609 di mana angka tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan nilai t0,05;3 yaitu sebesar 2,353 (Lampiran 16). 5.2 Pembahasan Berdasarkan, hasil penelitian yang telah diuraikan di atas dan dikaitkan dengan teori dan penelitian sebelumnya, maka berikut ini akan diuraikan pembahasan hasil penelitian mengenai “Evaluasi Kinerja Keuangan dan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten Lembata Provinsi NTT”.
5.2.1 Kinerja keuangan 5.2.1.1 Tingkat kemandirian Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintah Kabupaten Lembata dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahannya. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh perbandingan antara PAD dengan total pendapatan daerah atau yang sering disebut dengan derajat desentralisasi fiskal. PAD memegang peranan yang sangat penting, oleh karena itu PAD diharapkan dapat menjadi bagian terbesar dari seluruh penerimaan daerah dalam memobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah kabupaten, karena faktor penting dalam kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari PAD, sehingga tingkat ketergantungan terhadap pemerintah pusat dan provinsi dapat dikurangi. Analisis tingkat kemandirian keuangan pemerintah Kabupaten Lembata periode I dan II bertujuan untuk mengetahui pola hubungan aantara pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten yang bisa memperlihatkan tingkat kemandirian pemerintah Kabupaten Lembata dalam melaksanakan otonomi daerah dan menilai kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Lembata dalam melaksanakan kinerja keuangannnya sesuai dengan pola hubungan dan tingkat kemampuan daerah. Hasil pemerintah
penelitian Kabupaten
menunjukkan Lembata
di
bahwa periode
kemandirian II
semakin
keuangan meningkat
dibandingkan dengan periode I, tetapi perbedaan peningkatan tersebut tidak
bermakna terhadap perbedaan kinerja keuangan antara periode I dan periode II. Peningkatan kemandirian keuangan pemerintah Kabupaten Lembata di periode II menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten telah berupaya untuk terus meningkatkan pendapatan asli daerah yang dimiliki dibandingkan pada periode sebelumnya, terbukti dari laporan perhitungan APBD Kabupaten Lembata di periode II, rata-rata pendapatan asli daerah terus mengalami peningkatan seperti pemungutan pajak daerah, retribusi daerah, pembagian laba lembaga keuangan bank yang ada, sumbangan pihak ketiga (investor yang menanamkan modalnya) atau yang berasal dari lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pola hubungan antara pemerintah Kabupaten Lembata dengan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi selama periode I maupun di periode II dapat digolongkan menjadi pola hubungan yang instruktif, hal ini berarti bahwa pemerintah Kabupaten Lembata hanya menjalankan amanat dan kebijakan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan provinsi sehinggga belum mampu mengatur rumah tangganya sendiri. Tetapi dengan adanya upaya pemerintah Kabupaten Lembata untuk terus meningkatkan pendapatan asli daerah, maka akan mengurangi tingkat ketergantungan terhadap sumber pendanaan yang berasal dari pemerintah pusat dan provinsi dan mampu menjalankan fungsi otonomi daerah dengan baik. Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa PAD berperan penting dalam meningkatkan kemandirian keuangan daerah. Hal ini sependapat dengan Dwirandra (2008), dalam kaitannya dengan pemberian
otonomi kepada daerah dalam merencanakan, menggali, mengelola dan menggunakan keuangan daerah sesuai dengn kondisi daerah. PAD dapat dipandang sebagai salah satu indikator untuk mengurangi ketergantungan pemerintah kabupaten kepada pusat yang pada prinsipnya semakin besar PAD dalam APBD akan menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat dan provinsi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Dacosta (2002) yang meneliti tingkat kemandirian Kota Kupang, menyatakan bahwa secara ratarata derajat otonomi fiskal Kota Kupang selama tahun 1997 – 2001 dikategorikan sangat kurang karena berada di bawah 25%. Selain itu, penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dwirandra (2008) yang menyatakan bahwa terdapat tujuh kabupaten di Provinsi Bali yang memiliki tingkat kemandirian yang sangat rendah (rasio KKD 0% sampai dengan 25%) sedangkan satu kabupaten tergolong memiliki tingkat kemandirian sedang (rasio KKD lebih dari 50% sampai dengan 75%). 5.2.1.2 Tingkat efektivitas Tingkat efektivitas keuangan daerah digunakan untuk mengukur efektivitas dalam merealisasikan pendapatan pemerintah kabupaten dan merupakan tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau prestasi yang dicapai oleh pemerintah Kabupaten Lembata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat efektivitas keuangan pemerintah Kabupaten Lembata di periode II mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode I, namun perbedaan peningkatan tersebut tidak bermakna terhadap perbedaan kinerja keuangan
antara periode I dan periode II. Dengan peningkatan efektivitas di periode II, maka hal ini berarti bahwa pada periode II, pemerintah Kabupaten Lembata telah berhasil merealisasikan pendapatan asli daerah dan pendapatan non asli daerah seperti dana perimbangan pemerintah pusat dan provinsi melalui dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan bantuan keuangan lainnya. Realisasi pendapatan tersebut melebihi jumlah yang sudah dianggarkan oleh pemerintah kabupaten untuk memperoleh pendapatan. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa efektivitas realisasi pendapatan pemerintah Kabupaten Lembata hanya berlaku terhadap realisasi pendapatan non pendapatan asli daerah. Dari laporan perhitungan APBD baik pada periode I maupun di periode II, jumlah realisasi pendapatan asli daerah jauh lebih sedikit atau tidak proporsional dibanding dengan jumlah pendapatan non PAD yang terealisasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemerintah Kabupaten Lembata lebih cenderung mengharapkan pendanaan dari pihak luar dibanding memanfaatkan sumber-sumber pendapatan asli yang ada di Kabupaten Lembata sendiri. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Samson (2001) yang meneliti tentang indikator-indikator keberhasilan pengelolaan keuangan pemerintah Kabupaten Barito Kuala, menyatakan bahwa secara rata-rata pengelolaan keuangan pemerintah Kabupaten Barito Kuala selama tahun 1995 – 2000 dikategorikan sangat efektif dengan rasio efektivitas 104%. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dwirandra (2008) yang menyatakan bahwa daerah otonom kabupaten/kota di Provinsi Bali pada periode 2002 – 2006 masuk dalam kategori keuangan yang
cukup efektif, efektif dan sangat efektif serta tidak ada yang kurang dan tidak efektif atau dengan rasio efektivitas keuangan berkisar dari 75,01% sampai dengan di atas 100%. Selain itu, hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Dasilva (2001) yang meneliti tentang evaluasi anggaran pendapatan dan belanja daerah Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur selama tahun 1993 – 1998, dengan menggunakan Kabupaten Ende dan Kabupaten Manggarai sebagai pembanding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara rata-rata tingkat efektivitas pengelolaan APBD Kabupaten Manggarai adalah sebesar 102,98% dengan predikat sangat efektif, sementara Kabupaten Ende adalah 94,70% dengan kategori efektif. Sedangkan Kabupaten Sikka dengan rasio efektivitas 91,33% dan dikategorikan efektif. 5.2.1.3 Tingkat efisiensi Tingkat efisiensi dimaksudkan untuk menilai pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau prestasi yang dicapai oleh pemerintah Kabupaten Lembata yang diukur dengan membandingkan realisasi belanja dengan anggaran belanja yang telah ditetapkan sebelumnya. Hasil penelitian menjelaskan bahwa tingkat efisiensi pengelolaan keuangan pemerintah Kabupaten Lembata pada periode I lebih efisien dibandingkan dengan tingkat efisiensi pengelolaan keuangan di periode II, namun perbedaan penurunan tingkat efisiensi tersebut tidak bermakna terhadap perbedaan kinerja keuangan antara periode I dan periode II. Penurunan tingkat efisiensi keuangan pemerintah Kabupaten Lembata di periode II terjadi karena realisasi anggaran belanja pemerintah Kabupaten Lembata meningkat siqnifikan terhadap total anggaran belanja
daerah yang telah ditetapkan, dengan kata lain, pemerintah kabupaten Lembata cenderung menggunakan seluruh anggaran belanja yang ada. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa tingkat efisiensi pengelolaan keuangan pemerintah Kabupaten Lembata masih sangat kurang dan terkesan adanya pemborosan dengan tidak mengindahkan azas penghematan dan efisiensi anggaran belanja daerah. Selain itu pemerintah Kabupaten Lembata juga memiliki kecenderungan selalu ingin menghabiskan anggaran yang telah dialokasikan dalam APBD. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Dasilva (2001) yang meneliti tentang evaluasi anggaran pendapatan dan belanja daerah Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur selama tahun 1993 – 1998, dengan menggunakan
Kabupaten
Ende
dan
Kabupaten
Manggarai
sebagai
pembanding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara rata-rata tingkat efisiensi pengelolaan APBD Kabupaten Sikka, Kabupaten Ende dan Kabupaten Manggarai dikategorikan kurang efisien terbukti dengan rasio efisiensi ketiga kabupaten tersebut berkisar antara 95,94 – 97,39 persen. Namun hasil penelitian ini justru bertolak belakang dengan penelitian Samson (2001) yang meneliti tentang indikator-indikator keberhasilan pengelolaan keuangan pemerintah Kabupaten Barito Kuala, menyatakan bahwa secara rata-rata pengelolaan keuangan pemerintah Kabupaten Barito Kuala selama tahun 1995 – 2000 dikategorikan sangat efisien dengan rasio efisiensi 51 persen.
5.2.1.4 Tingkat keserasian belanja Tingkat keserasian belanja menggambarkan bagaimana pemerintah Kabupaten Lembata memprioritaskan alokasi dananya pada belanja pelayanan publik secara optimal sehingga pemanfaatannya dapat dirasakan langsung oleh seluruh masyarakatnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat keserasian belanja pemerintah Kabupaten Lembata pada periode II mengalami penurunan dibandingkan dengan tingkat keserasian belanja pada periode I, tetapi perbedaan penurunan tersebut tidak bermakna terhadap
perbedaan
kinerja keuangan antara periode I dan periode II. Penurunan tingkat keserasian belanja pemerintah Kabupaten Lembata pada periode II disebabkan oleh tingginya realisasi belanja daerah secara keseluruhan seperti belanja aparatur daerah, belanja administrasi umum dan belanja operasi dan pemeliharaan yang jumlahnya tidak signifikan dan jauh lebih besar dibandingkan dengan belanja pelayanan publik. Pemerintah Kabupaten Lembata memang sejak awal telah memiliki komitmen yang tinggi untuk berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terbukti dengan semakin meningkatnya alokasi dana melalui APBD untuk belanja pelayanan publik. Tetapi realita yang terjadi adalah peningkatan alokasi dana belanja pelayanan publik tidak signifikan dengan alokasi dana pada pos-pos belanja langsung, yang manfaatnya hanya dapat dirasakan oleh kelompok masyarakat tertentu saja. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Dacosta (2002) yang meneliti tentang tingkat kemandirian Kota Kupang ditinjau dari aspek keuangan dalam melaksanakan otonomi daerah tahun 1997 - 2001,
menyatakan bahwa secara rata-rata indeks kemampuan rutin Kota Kupang selama tahun 1997 – 2001 adalah sebesar 23,03% dan dapat dikategorikan menjadi kurang serasi. 5.2.2 Kesejahteraan masyarakat 5.2.2.1 Pendapatan perkapita Pendapatan perkapita masyarakat merupakan perolehan pendapatan domestik regional bruto dibagi dengan total penduduk di Kabupaten Lembata. Apabila dihitung secara rata-rata tingkat pendapatan perkapita masyarakat di Kabupaten Lembata maka pada periode I sebesar Rp.1.552.300 sedangkan pada peroide II sebesar Rp.2.570.198. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendapatan perkapita masyarakat di Kabupaten Lembata semakin meningkat di periode II dibandingkan dengan periode I. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan yang signifikan terhadap kesejahteraan
masyarakat
di
Kabupaten
Lembata
pada
periode
II
dibandingkan dengan periode I, dan dapat disimpulkan bahwa peningkatan tersebut
bermakna
terhadap
perbedaan
kesejahteraan
masyarakat
di
Kabupaten Lembata antara periode I dan periode II. Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat di Kabupaten Lembata jelas dipengaruhi oleh pendapatan domestik regional bruto yang berasal dari sektor-sektor perekonomian produktif yang ada, seperti kegiatan perdagangan dan jual beli barang, usaha pertanian misalnya sayur-sayuran, buah-buahan, berternak dan budi daya hasil laut yang dapat mendatangkan penghasilan bagi masyarakat. Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat di Kabupaten Lembata juga menjelaskan bahwa setiap masyarakat dapat memiliki akses terhadap
sumber-sumber daya ekonomi berupa pemerataan pendapatan dan tingkat daya beli dan adanya partisipasi masyarakat di dalam kegiatan ekonomi produktif sehingga masyarakat bisa memperoleh penghasilan yang mencukupi dengan daya beli yang layak. Hasil penelitian ini memperkuat temuan Yamin (2000) yang menguji faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kemampuan
keuangan
pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Irian Jaya, yang menyatakan bahwa pendapatan perkapita mempunyai pengaruh yang relatif besar terhadap kesejahteraan masyarakat. 5.2.2.2 Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan masyarakat diukur dari jumlah penduduk yang menamatkan bangku pendidikan formal. Dengan kata lain tingkat pendidikan memberikan gambaran mengenai jumlah penduduk di Kabupaten Lembata yang dapat mengenyam dunia pendidikan sehingga dampaknya adalah mereka dapat memperoleh pekerjaan yang layak dan dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Dari hasil penelitian dapat dikatakan bahwa jumlah masyarakat yang telah mengenyam dunia pendidikan semakin meningkat pada periode II dibandingkan dengan periode I, dan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Lembata pada periode I dan periode II. Hal ini berarti jumlah masyarakat yang memperoleh pendidikan di bangku sekolah semakin meningkat di periode II dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Dengan memperoleh pendidikan yang memadai, maka akan mempengaruhi peningkatan kemampuan dasar manusia seperti memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai agar dapat digunakan untuk mempertinggi partisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif, sosial politik dan aspek kehidupan lainnya, serta mampu meningkatkan kualitas hidup manusia (penduduk) sebagai obyek pembangunan. Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan
pemerintah
Kabupaten
Lembata
yang
dapat
mendorong
peningkatan kualitas sumber daya manusia di Lembata. 5.2.2.3 Usia harapan hidup Usia harapan hidup masyarakat di Kabupaten Lembata dapat diartikan sebagai rata-rata umur masyarakat yang dicapai selama tahun-tahun yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia harapan hidup masyarakat di Kabupaten Lembata semakin bertambah pada periode II dibandingkan dengan periode I, dan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Lembata pada periode I dan periode II. Usia harapan hidup identik dengan derajat kesehatan warga masyarakat yang tercermin lewat umur panjang dan hidup sehat. Tantangan pembangunan manusia di Kabupaten Lembata saat ini adalah bagaimana mengurangi angka kemiskinan, investasi di bidang pendidikan dan kesehatan. Langkah ini akan lebih berarti bagi masyarakat di Kabupaten Lembata, karena dengan adanya kesehatan murah dan fasilitas pendidikan akan sangat membantu
untuk
meningkatkan
produktivitas,
dan
pada
gilirannya
meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat yang lebih sejahtera.
5.3
Implikasi penelitian
5.3.1 Kinerja keuangan Implikasi hasil penelitian terhadap kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Lembata dengan menggunakan tingkat kemandirian, tingkat efektivitas, tingkat efisiensi dan tingkat keserasian belanja dapat dijelaskan sebagai berikut : 5.3.1.1 Tingkat kemandirian Peningkatan kemandirian keuangan pemerintah Kabupaten Lembata di periode II menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten telah berupaya untuk terus meningkatkan pendapatan asli daerah yang dimiliki dibandingkan dengan periode sebelumnya. Rata-rata pendapatan asli daerah terus mengalami peningkatan seperti pemungutan pajak daerah, retribusi daerah, pembagian laba lembaga keuangan bank yang ada, sumbangan pihak ketiga yang menanamkan modalnya. Pola hubungan antara pemerintah Kabupaten Lembata dengan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi yang instruktif menunjukkan bahwa pemerintah Kabupaten Lembata hanya menjalankan amanat dan kebijakan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan provinsi sehinggga belum mampu mengatur rumah tangganya sendiri. Dengan adanya upaya pemerintah Kabupaten Lembata untuk terus meningkatkan pendapatan asli daerah, maka akan mengurangi tingkat ketergantungan terhadap sumber pendanaan yang berasal dari pemerintah pusat dan provinsi dan mampu menjalankan fungsi otonomi daerah dengan baik.
5.3.1.2 Tingkat efektivitas Dengan peningkatan efektivitas keuangan pemerintah Kabupaten Lembata di periode II, maka hal ini berarti bahwa pada periode II, pemerintah kabupaten telah berhasil merealisasikan pendapatan asli daerah dan pendapatan non asli daerah seperti dana perimbangan pemerintah pusat dan provinsi melalui dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan bantuan keuangan lainnya. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah efektivitas realisasi pendapatan pemerintah Kabupaten Lembata hanya berlaku terhadap realisasi pendapatan non pendapatan asli daerah karena pemerintah Kabupaten Lembata lebih cenderung mengharapkan pendanaan dari pihak luar dibanding memanfaatkan sumber-sumber pendapatan asli yang ada di Kabupaten Lembata sendiri. 5.3.1.3 Tingkat efisiensi Penurunan tingkat efisiensi keuangan pemerintah Kabupaten Lembata di periode II terjadi karena realisasi anggaran belanja pemerintah Kabupaten Lembata meningkat siqnifikan terhadap total anggaran belanja daerah yang telah ditetapkan, dengan kata lain, pemerintah kabupaten cenderung menggunakan seluruh anggaran belanja yang ada. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah Kabupaten Lembata terkesan melakukan pemborosan dengan tidak mengindahkan azas penghematan dan efisiensi anggaran belanja serta memiliki kecenderungan selalu ingin menghabiskan anggaran yang telah dialokasikan dalam APBD.
5.3.1.4 Tingkat keserasian belanja Penurunan tingkat keserasian belanja pemerintah Kabupaten Lembata pada periode II disebabkan oleh tingginya realisasi belanja daerah secara keseluruhan seperti belanja aparatur daerah, belanja administrasi umum dan belanja operasi dan pemeliharaan yang jumlahnya tidak signifikan dan jauh lebih besar dibandingkan dengan belanja pelayanan publik. Realita yang terjadi adalah peningkatan alokasi dana belanja pelayanan publik tidak signifikan dengan alokasi dana pada pos-pos belanja langsung, yang manfaatnya hanya dirasakan oleh kelompok masyarakat tertentu. 5.3.2 Kesejahteraan masyarakat Implikasi hasil penelitian terhadap kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Lembata dengan menggunakan pendapatan perkapita, tingkat pendidikan dan usia harapan hidup dapat dijelaskan sebagai berikut : Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat di Kabupaten Lembata jelas dipengaruhi oleh pendapatan domestik regional bruto yang berasal dari sektor-sektor perekonomian produktif yang ada, seperti kegiatan perdagangan dan jual beli barang, usaha pertanian misalnya sayur-sayuran, buah-buahan, berternak dan budi daya hasil laut yang dapat mendatangkan penghasilan bagi masyarakat. Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat di Kabupaten Lembata juga menjelaskan bahwa setiap masyarakat dapat memiliki akses terhadap sumber-sumber daya ekonomi berupa pemerataan pendapatan dan tingkat daya beli dan adanya partisipasi masyarakat di dalam kegiatan
ekonomi produktif sehingga masyarakat bisa memperoleh penghasilan yang mencukupi dengan daya beli yang layak. Tingkat pendidikan memberikan gambaran mengenai jumlah penduduk di Kabupaten Lembata yang dapat mengenyam dunia pendidikan sehingga dampaknya adalah mereka dapat memperoleh pekerjaan yang layak dan dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Dengan memperoleh
pendidikan
yang
memadai,
maka
akan
mempengaruhi
peningkatan kemampuan dasar manusia seperti memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai agar dapat digunakan untuk mempertinggi partisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif, sosial
politik dan aspek
kehidupan lainnya, serta mampu meningkatkan kualitas hidup manusia (penduduk) sebagai obyek pembangunan. Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan
pemerintah
Kabupaten
Lembata
yang
dapat
mendorong
peningkatan kualitas sumber daya manusia di daerah ini. Peningkatan usia harapan hidup masyarakat di Kabupaten Lembata di periode II mengindikasikan bahwa derajat kesehatan warga masyarakat yang tercermin lewat umur panjang dan akses mendapatkan hidup yang sehat semakin lebih baik dari periode sebelumnya. Tantangan pembangunan manusia di Kabupaten Lembata saat ini adalah bagaimana mengurangi angka kemiskinan, investasi di bidang pendidikan dan kesehatan. Langkah ini akan lebih berarti bagi masyarakat di Kabupaten Lembata, karena dengan adanya kesehatan murah dan fasilitas pendidikan akan sangat membantu untuk meningkatkan produktivitas, dan pada gilirannya meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat yang lebih sejahtera.
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 6.1.1 Kinerja keuangan Hasil penelitian terhadap kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Lembata dengan menggunakan tingkat kemandirian, tingkat efektivitas, tingkat efisiensi dan tingkat keserasian belanja dapat disimpulkan sebagai berikut : a)
Tingkat kemandirian Ditinjau
dari
aspek
kemandirian
keuangan
pemerintah
Kabupaten Lembata, disimpulkan bahwa rata-rata kinerja keuangan di periode I tidak berbeda signifikan terhadap rata-rata kinerja keuangan di periode II. Meskipun hasil perhitungan rata-rata tingkat kemandirian keuangan pemerintah Kabupaten Lembata di periode II menunjukkan adanya peningkatan dibandingkan dengan periode I. b) Tingkat efektivitas Ditinjau dari aspek efektivitas keuangan pemerintah Kabupaten Lembata, disimpulkan bahwa rata-rata kinerja keuangan di periode I tidak berbeda signifikan terhadap rata-rata kinerja keuangan di periode II. Meskipun hasil perhitungan rata-rata tingkat efektivitas keuangan
pemerintah Kabupaten Lembata di periode II menunjukkan adanya peningkatan dibandingkan dengan periode I. c) Tingkat efisiensi Ditinjau dari aspek efisiensi keuangan pemerintah Kabupaten Lembata, disimpulkan bahwa rata-rata kinerja keuangan di periode I tidak berbeda signifikan terhadap rata-rata kinerja keuangan di periode II. Hasil perhitungan rata-rata tingkat efisiensi keuangan pemerintah Kabupaten Lembata di periode II menunjukkan adanya penurunan dibandingkan dengan periode I. d) Tingkat keserasian belanja Ditinjau dari aspek keserasian belanja pemerintah Kabupaten Lembata, disimpulkan bahwa rata-rata kinerja keuangan di periode I tidak berbeda signifikan terhadap rata-rata kinerja keuangan di periode II. Hasil perhitungan rata-rata tingkat keserasian belanja pemerintah Kabupaten Lembata di periode II menunjukkan adanya penurunan dibandingkan dengan periode I. 6.1.2 Kesejahteraan masyarakat Hasil penelitian terhadap kesejahteraan masyarakat Kabupaten Lembata dengan menggunakan pendapatan perkapita, tingkat pendidikan dan usia harapan hidup dapat disimpulkan sebagai berikut :
a)
Pendapatan perkapita Dilihat dari aspek pendapatan perkapita masyarakat Kabupaten Lembata, disimpulkan bahwa rata-rata kesejahteraan masyarakat di periode I berbeda signifikan terhadap rata-rata kesejahteraan masyarakat di periode II. Hasil perhitungan rata-rata pendapatan perkapita masyarakat di Kabupaten Lembata pada periode II menunjukkan adanya peningkatan dibandingkan dengan periode I.
b)
Tingkat pendidikan Dilihat dari aspek tingkat pendidikan masyarakat Kabupaten Lembata, disimpulkan bahwa rata-rata kesejahteraan masyarakat di periode I berbeda signifikan terhadap rata-rata kesejahteraan masyarakat di periode II. Hasil perhitungan rata-rata tingkat pendidikan masyarakat di Kabupaten Lembata pada periode II menunjukkan adanya peningkatan dibandingkan dengan periode I.
c)
Usia harapan hidup Dilihat dari aspek usia harapan hidup masyarakat Kabupaten Lembata, disimpulkan bahwa rata-rata kesejahteraan masyarakat di periode I berbeda signifikan terhadap rata-rata kesejahteraan masyarakat di periode II. Hasil perhitungan rata-rata usia harapan hidup masyarakat di Kabupaten Lembata pada periode II menunjukkan adanya peningkatan dibandingkan dengan periode I.
6.1 Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka beberapa hal yang dapat disampaikan oleh peneliti antara lain sebagai berikut : 1) Pemerintah Kabupaten Lembata diharapkan untuk lebih memperhatikan, mengakomodir, memanfaatkan dan memberdayakan sumber-sumber PAD yang dimiliki daerah ketika menyusun anggaran pendapatan seperti pemanfaatan sumber-sumber retribusi, pengembangan potensi-potensi alam di sektor pertambangan dan pertanian sehingga mampu mendorong pencapaian realisasi pendapatan asli daerah yang optimal dan meningkatkan PAD guna mengurangi ketergantungan daerah terhadap bantuan pemerintah pusat dan provinsi. 2) Pemerintah Kabupaten Lembata hendaknya tidak selalu mengandalkan sumber-sumber pendapatan non PAD, seperti yang selama ini terjadi untuk mengurangi tingkat ketergantungan terhadap pihak luar. Oleh karena itu, upaya menciptakan sumber-sumber baru pendapatan asli daerah perlu mendapat perhatian dan keseriusan di masa mendatang. 3) Pemerintah Kabupaten Lembata diharapkan agar mampu meniru dan menerapkan prinsip manajemen berbasis kinerja, guna menekan jumlah pengeluaran belanja daerah yang dinilai sangat tidak efisien dan terkesan terjadi pemborosan anggaran belanja. 4) Proporsi alokasi anggaran untuk belanja publik dalam APBD perlu lebih ditingkatkan dan diupayakan agar jumlahnya signifikan dengan pos-pos
belanja daerah lainnya, dalam upaya meningkatkan akuntabilitas dan pelayanan publik secara maksimal sehingga kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan lagi. 5) Diharapkan agar penyusunan dan realisasi anggaran pendapatan dan belanja daerah pada periode-periode mendatang, pemerintah Kabupaten Lembata lebih memperhatikan rasio-rasio keuangan daerah yang umum digunakan, sehingga dapat lebih meningkatkan kinerja keuangannya. 6) Diharapkan agar para peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian terhadap kinerja keuangan maupun tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten Lembata, hendaknya juga melakukan perbandingan untuk keseluruhan kabupaten/kota di Provinsi NTT, sehingga dapat diketahui lebih jelas mengenai gambaran kinerja keuangan dan tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten Lembata.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Priyo Hari dan Setiaji, Wirawan. 2007. Peta Kemampuan Keuangan Daerah Sesudah Otonomi Daerah: Apakah Mengalami Pergeseran? (Studi Pada Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali). Simposium Nasional Akuntansi X. Budiarto, Bambang. 2007. Pengukuran Keberhasilan Pengelolaan Keuangan Daerah. Seminar Ekonomi Daerah. Surabaya. Dasilva Petrus 2001, Evaluasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Sikka “Tesis S2 Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta” (tidak dipublikasikan). Devas Nick, Brian Binder, Anne Booth, Kenneth Davey, Roy Kelly. 1999, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia (Terjemahan Masri Maris) UI – Press, Jakarta. Diana, Heny F. 2008. Analisis Kinerja Atas Laporan Keuangan Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 14 No. 8 Hal. 193 – 229. Dwirandra, A.A.N.B. 2008. Efektivitas dan Kemandirian Keuangan Daerah Otonom Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2002 – 2006. Simposium Nasional Akuntansi X. Halim, Abdul. 2002. Manajemen Keuangan Daerah. Penerbit UPP Akademi Manajemen Perusahaan YKPN. Yogyakarta. Halim, Abdul. 2007. Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. Salemba Empat. Jakarta. Hamzah, Ardi, 2007. analisa kinerja keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan : pendekatan analisis jalur (studi pada 29 kabupaten dan 9 kota di provinsi Jawa Timur. Simposium Nasional Akuntansi X. Hamzah, Muhammad Zilal. 2005. Does Block Grant Generates Economic Growth on Province-Level in Indonesia After The Implementation of Fiscal Decentralization Policy? Simposium Riset Ekonomi II. Surabaya. Hidayat, Paidi, Pratomo, Ario W. dan Harjito, Agus D. 2007, Evaluasi APBD Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara Dengan Menggunakan Indikator Efektifitas, Efisiensi, Perkembangan APBD dan Kemampuan Keuangan Daerah, Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 3 Hal. 213 – 222. Hirawan, Susiati B, 1990, ”Keleluasaan daerah atau kontrol pusat?”, dalam Arsyad Anwar dan Iwan Jaya Azis (Editor), Bunga Rampai Ekonomi, FE UI, Jakarta.
Kaho, Yosef Riwu, 1998, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta. Kunarjo, Bambang. 1996. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Edisi Pertama. Penerbit BPFE. Yogyakarta. Lindawati,Tita, 2001, Kemampuan Keuangan Daerah Pemerintah DKI Jakarta dalam Melakukan Pinjaman. Tesis S2 Pasca Sarjana UGM (Tidak dipublikasikan). Luke, Belinda G. 2008. “Financial returns from new public management: A New Zealand perspective - Pacific Accounting Review 20(1):pp. 29-48.” QUT Digital Repository: http://eprints.qut.edu.au. Queensland University of Technology, Brisbane, Australia. Mahmudi, 2007, Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah: Panduan Bagi Eksekutif, DPRD dan Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan Ekonomi, Sosial dan Politik, Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, Yogyakarta. Mahsun, Mohamad. 2006, dalam Suyana, Utama M. 2007. Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2001 – 2006. Studi Kasus Pada 9 Kabupaten/Kota di Provinsi Bali. (tidak dipublikasikan). Mamesah, D. J., 1995, Sistem Administrasi Keuangan Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta. Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Andi, Yogyakarta. Matheus A.B.H. Dacosta 2002, Kemandirian Kota Kupang Ditinjau dari Aspek Keuangan Dalam Melaksanakan Otonomi Daerah. “Tesis S2 Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta” (tidak dipublikasikan). Noviyanto, Hery, 2005. Analisis Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah dan Pinjaman Daerah di Kabupaten dan Kota Daerah Istimewa Yogyakarta (Suatu Kajian Empiris di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Simposium Nasional Akuntansi 5. Semarang. Pasrah, Rudi, 2007, Analisis Kinerja dan Kemandirian Keuangan Daerah serta Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Sumatera Selatan, Kajian Ekonomi, Vol 6 No.2, 198-221. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29, Tahun 2002 jo Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13, Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. 2006. Depdagri RI.
Peraturan Pemerintah Nomor 105, Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor 41, Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, 2006. Depdagri RI. Pilcher, Robyn, 2005. “Local government financial key performance indicators – not so relevant, reliable and accountable”. International Journal of Productivity and Performance Management Vol. 54 No. 5/6, 2005 pp. 451-467. www.emeraldinsight.com/1741-0401.htm. Charles Sturt University, Bathurst, New South Wales, Australia. Roberto Di Pietra dan Faraci, Rosario. 2010. “Antecedents of Entrepreneurial Governance Within Firms: The Italian Contribution to Strategic Management”. Journal of Management & Governance. Springer Science & Business Media, LLC. 10.1007/s10997-010-9150-5 Samson, A.K. 2001. Indikator-indikator Keberhasilan Pengelolaan Keuangan Daerah di Kabupaten Barito Kuala 1995/1996 – 1999/2000. Jurnal Riset Akuntansi, Manajemen, dan Ekonomi. Vol. 1 No. 1. Setiyawati, Anis dan Hamzah, Ardi. 2007. Analisa PAD, DAU, DAK, dan Belanja Pembangunan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan, dan Pengangguran. The 1st Accounting Conference. Jakarta. Suharjo, Bambang, 2008. Analisis Regresi Terapan dengan SPSS. Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor S.900/316/BAKD tentang Pedoman, Sistem dan Prosedur Penatausahaan dan Akuntansi Pelaporan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. 2006. Depdagri RI. Susantih, Heny dan Saftiana, Yulia, 2008. Perbandingan Indikator Efisiensi dan Efektivitas Untuk Menilai Kinerja Keuangan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. “Tesis S2 Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya” (tidak dipublikasikan). Susilo, Gideon Tri Budi dan Adi, Priyo Hari. 2007. Analisis Kinerja Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi. Konferensi Penelitian Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik Pertama. Surabaya. Tjerk, Budding. 2008. “Decentralization, Performance Evaluation and Government Performance”. De VU Public Controlling reeks is een uitgave van de postgraduate opleiding tot controller in de publieke en non-profit sector van de Vrije Universiteit Amsterdam, kamer 2A19, De Boelelaan 1105, 1081 HV Amsterdam. Undang-undang Nomor 22, Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 32, Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, 2004. Depdagri RI. Undang-undang Nomor 25, Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 33, Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, 2004. Depdagri RI.
Yamin, Mohamad, 2000. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Keuangan Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Irian Jaya, Simposium Nasional Akuntansi X. Makassar. Yustika, Abdul S, 2004, Otonomi dan Pembangunan Daerah. Erlangga. Jakarta. Riphat Singgih dan Parluhutan Hutahaean. 1997, Strategi Pemantapan Keuangan Daerah dan Kebijakan Desentralisasi : Suatu Analisis tentang Pinjaman Daerah Sebagai Alternatif Pembiayaan Pembangunan, Jurnal Keuangan dan Moneter, Vol. 4 No. 2, 7- 41. Word Bank dalam Lipton dan Ravallion, 1994, Public Finance in The Theory and Practice ( Alih Bahasa oleh Alfonsus Sirait), MC-Graw Hill Kogakusha, (Ltd Tokyo).
Lampiran 9 Hasil Perhitungan Rasio-rasio Kinerja Keuangan Daerah
a. Rasio Kemandirian Formula : Pendapatan Asli Daerah Rasio Kemandirian = -------------------------------- x 100% Total Belanja Daerah 1. Tahun 2002 5.735.598.950,00 Rasio Kemandirian = --------------------------- x 100% 131.273.256.598,00 = 4,37% 2. Tahun 2003 5.311.534.626,00 Rasio Kemandirian = --------------------------- x 100% 133.828.892.855,00 = 3,97% 3. Tahun 2004 5.054.757.817,00 Rasio Kemandirian = --------------------------- x 100% 144.807.407.074,00 = 3,49% 4. Tahun 2005 4.594.788.501,53 Rasio Kemandirian = --------------------------- x 100% 168.252.170.345,00 = 2,73% 5. Tahun 2006 9.099.082.373,83 Rasio Kemandirian = --------------------------- x 100% 201.787.768.608,00 = 4,51% 6. Tahun 2007 9.732.761.922,20 Rasio Kemandirian = --------------------------- x 100% 232.605.539.452,92 = 4,18% 7. Tahun 2008 12.767.597.336,34 Rasio Kemandirian = --------------------------- x 100% 352.148.244.453,62 = 3,63%
8. Tahun 2009 16.014.568.858,80 Rasio Kemandirian = --------------------------- x 100% 333.633.532.350,87 = 4,80% b. Rasio Efektivitas Formula : Realisasi Pendapatan Rasio Efektivitas = ------------------------------- x 100% Anggaran Pendapatan 1. Tahun 2002 136.257.798.950,00 Rasio Efektivitas = -------------------------- x 100% 132.455.675.259,00 = 102,87% 2. Tahun 2003
3.
4.
5.
6.
139.375.480.308,26 Rasio Efektivitas = -------------------------- x 100% 136.822.375.213,00 = 101,87% Tahun 2004 151.114.716.882,00 Rasio Efektivitas = --------------------------- x 100% 151.396.905.466,00 = 99,81% Tahun 2005 162.140.791.314,53 Rasio Efektivitas = ----------------------------- x 100% 164.209.624.401,00 = 98,74% Tahun 2006 216.104.981.284,83 Rasio Efektivitas = ----------------------------- x 100% 216.575.430.457,00 = 99,78% Tahun 2007 282.401.817.608,20 Rasio Efektivitas = ----------------------------- x 100% 271.832.952.787,00
= 103,89% 7. Tahun 2008 305.795.773.509,34 Rasio Efektivitas = ----------------------------- x 100% 298.574.180.533,00 = 102,42% 8. Tahun 2009 321.629.838.338,82 Rasio Efektivitas = ----------------------------- x 100% 314.926.982.418,33 = 102,13% c. Rasio Efisiensi Formula :
Realisasi Belanja Daerah Rasio Efisiensi = ---------------------------------- x 100% Anggaran Belanja Daerah 1. Tahun 2002 131.273.256.598,00 Rasio Efisiensi = ---------------------------- x 100% 145.725.698.925,00 = 90,08% 2. Tahun 2003 133.828.892.855,00 Rasio Efisiensi = ---------------------------- x 100% 149.843.779.529,00 = 89,31% 3. Tahun 2004 144.807.407.074,00 Rasio Efisiensi = ----------------------------- x 100% 164.596.468.460,26 = 87,98% 4. Tahun 2005 168.252.170.345,00 Rasio Efisiensi = ----------------------------- x 100% 180.896.699.009,26 = 93,01% 5. Tahun 2006 201.787.768.608,00 Rasio Efisiensi = ----------------------------- x 100% 229.006.922.682,50 = 88,11%
6. Tahun 2007 232.605.539.452,92 Rasio Efisiensi = ---------------------------- x 100% 285.300.989.724,00 = 81,53% 7. Tahun 2008 352.148.244.453,62 Rasio Efisiensi = ---------------------------- x 100% 308.602.280.900,30 = 114,11% 8. Tahun 2009 333.633.532.350,87 Rasio Efisiensi = ---------------------------- x 100% 353.791.360.054,10 = 94,30% d. Rasio Keserasian Belanja Formula : Belanja Pelayanan Publik Rasio Keserasian Belanja = --------------------------------- x 100% Total Belanja Daerah 1. Tahun 2002 84.277.561.367,00 Rasio Keserasian Belanja = --------------------------- x 100% 131.273.256.598,00 = 64,20% 2. Tahun 2003 86.262.275.163,00 Rasio Keserasian Belanja = --------------------------- x 100% 133.828.892.855,00 = 64,46% 3. Tahun 2004 69.204.723.229,00 Rasio Keserasian Belanja = ---------------------------- x 100% 144.807.407.074,00 = 47,79% 4. Tahun 2005 105.570.915.429,00 Rasio Keserasian Belanja = ---------------------------- x 100% 168.252.170.345,00 = 62,75%
5. Tahun 2006 131.765.135.636,00 Rasio Keserasian Belanja = ---------------------------- x 100% 201.787.768.608,00 = 65,30% 6. Tahun 2007 45.702.185.703,00 Rasio Keserasian Belanja = ---------------------------- x 100% 232.605.539.452,92 = 19,65% 7. Tahun 2008 140.816.766.247,23 Rasio Keserasian Belanja = ---------------------------- x 100% 352.148.244.453,62 = 39,99% 8. Tahun 2009 174.888.523.065,56 Rasio Keserasian Belanja = ---------------------------- x 100% 333.633.532.350,87 = 52,42%