enANALISIS PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B) INDONESIA-HONG KONG Restariana Dwinita Putri Christine Akuntansi, Fakultas Ekonomi ABSTRAK Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia-Hong Kong dikhawatirkan akan dijadikan sebagai instrumen perencanaan pajak yang bersifat abusif dan instrumen treaty shopping. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang yang menimbulkan dibuatnya P3B Indonesia-Hong Kong, meneliti dan mempelajari pengaturan masalah pajak berganda dalam P3B Indonesia-Hong Kong, dan mengetahui permasalahan apa yang dapat timbul dalam penerapan P3B Indonesia-Hong Kong. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) latar belakang dibuatnya P3B Indonesia-Hong Kong dari sudut pandang Indonesia adalah untuk meningkatkan hubungan kerjasama di bidang ekonomi dengan Hong Kong, sedangkan dari sudut pandang Hong Kong adalah untuk menghindari label negatif sebagai non-co-operative jurisdiction, (2) pengaturan pajak berganda dengan melalui pembagian hak pemajakan baik itu dengan shall be taxable only ataupun may be taxed, metode kredit pajak, proses prosedur persetujuan bersama, pertukaran informasi serta ketentuan anti penghindaran pajak berganda, dan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B Indonesia-Hong Kong, yaitu treaty shopping dan permasalahan administrasi berupa Surat Keterangan Domisili , form-DGT 1 lembar 2. Kata kunci: Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia-Hong Kong, anti-avoidance. ABSTRACT Indonesia-Hong Kong tax treaty feared would be used as instrument that are abusive tax planning and instrument treaty shopping. This research aims to analyze the background of Indonesia- Hong Kong tax treaty, solvable double taxation issues which occur in the field work due to Indonesia- Hong Kong tax treaty arrangement. This is a qualitative research with a descriptive design. The result shows: (1) the reason behind this arrangement can be seen from two perspectives. Indonesia’s purpose is to develop economic cooperative relation with Hong Kong. As for Hong Kong, avoid being negatively labeled as a non-co-operative jurisdiction, (2) the double taxation arrangement with the distribution rights through taxation, the tax credit method, the mutual agreement procedure, exchange of information and the provision of anti avoidance of double taxation, (3) problems that arise in the application of Indonesian P3B-Hong Kong, which is treaty shopping and administrative problems in the form of certificate of domicile, form-DGT 1 sheet 2. Keywords: Tax Treaty Idonesia-Hong Kong, anti-avoidance. 1.Pendahuluan Di era globalisasi ini, dunia menjadi seakan tanpa batas dimana para pelaku usaha mancanegara menjalin hubungan kerja sama guna mengadakan dan meningkatkan transaksitransaksi yang saling menguntungkan antar negara, diantaranya arus investasi, perdagangan, dan mobilitas sumber daya manusia baik secara permanen maupun temporer. Transaksi lintas
enalisis persetujuan..., Restariana Dwinita Putri, FE UI, 2013.
batas negara tersebut menimbulkan permasalahan tersendiri dari sisi perpajakan, yaitu bentrokan yuridiksi peraturan perpajakan antar negara. Kondisi ini akan menimbulkan pajak berganda internasional dimana ada dua negara atau lebih yang perundang-undangan perpajakannya membebankan pajak pada subjek pajak yang sama terhadap objek pajak yang sama. Dalam hal ini subjek pajak akan dirugikan karena terkena pajak ganda dan akan mungkin terjadi semakin gencarnya usaha penyelundupan pajak (tax evasion). Salah satu solusi untuk mengatasi masalah pajak berganda internasional dengan melalui Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Indonesia telah melakukan P3B dengan 62 negara mitra runding. P3B yang terakhir diratifikasi adalah P3B antara Indonesia dan Hong Kong dengan nama perjanjian “Agreement between the government of the Republic Indonesia and the government of Hong Kong Special Administrative Region of the people’s republic of China for the avoidance of double taxation and the prevention of fiscal evasion with respect to taxes on income”. Berdasarkan SE-50/PJ/2012 P3B ini berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2013. P3B Indonesia-Hong Kong terasa begitu “istimewa” karena sistem perpajakan Hong Kong territorial based, tarif pajak di Hong Kong rendah, dan tidak ada pemungutan PPN. Hal ini akan menimbulkan kekhawatiran bahwa P3B ini digunakan sebagai instrumen untuk melakukan perencanaan pajak yang bersifat abusif
bahkan penggelapan pajak dengan
menggunakan instrumen P3B, yakni treaty shopping. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, ditarik beberapa pokok permasalahan penelitian; apa latar belakang yang menimbulkan dibuatnya P3B Indonesia-Hong Kong, bagaimanakah pengaturan masalah pajak berganda dalam P3B Indonesia-Hong Kong, dan permasalahan apa yang dapat timbul dalam penerapan P3B Indonesia-Hong Kong. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis latar belakang yang menimbulkan dibuatnya P3B Indonesia-Hong Kong, meneliti dan mempelajari pengaturan masalah pajak berganda dalam P3B Indonesia-Hong Kong, dan mengetahui permasalahan apa yang dapat timbul dalam penerapan P3B Indonesia-Hong Kong. 2. Tinjauan Teoritis Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (selanjutnya disebut P3B) menurut John Hutagaol (2000) adalah perjanjian pajak antara 2 (dua) negara yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan. Dalam dunia perpajakan internasional, terdapat tiga model dalam P3B, yaitu:
enalisis persetujuan..., Restariana Dwinita Putri, FE UI, 2013.
• OECD Model adalah model yang dikembangkan oleh negara-negara Eropa Barat. Karena itu, prinsip yang terkandung di dalamnya mencerminkan kepentingan negaranegara industri (Gunadi, 2007). • UN Model adalah model yang dikembangkan untuk memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang (Gunadi, 2007). • US Model adalah metode penghindaran pajak berganda secara unilateral yang dianut oleh Amerika. Model ini berbeda dari OECD dan UN Model. Amerika menganut ordinary credit dengan batas kredit yang disebut general limitations. Jenis-jenis penghasilan dimasukkan ke dalam baskets sesuai dengan klasifikasinya (Surahmat, Rachamnto, 2001). Kedudukan hukum P3B di hadapan hukum domestik sangat bervariasi di berbagia negara. Di Indonesia, menurut Penjelasan Pasal 32A UU PPh yang menegaskan bahwa pemerintah berwenang melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan peneglakan pajak dan P3B adalah lex specialis dari UU PPh. Apabila ada konflik antara P3B dengan hukum domestik, maka P3B yang akan berlaku (tax treaty superceeding domestic tax laws). P3B tidak memberikan hak pemajakan baru kepada negara yang mengadakan P3B. Pengenaan pajak suatu negara atas suatu jenis penghasilan didasarkan atas ketentuan domestik negara tersebut (Kurniawan, Anang Mury, 2012). 3. Metode Penelitian 3.1 Pendekatan Penelitian Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif agar penelitian ini tepat sasaran dimana teori digunakan sebagai pemberi batasan sehingga tidak terjadi kesalahan dalam melakukan analisa. Penelitian kualitatif ini bergerak dari awal dengan mengumpulkan data sebanyak mungkin tentang sesuatu dan dari data itu ia mencari pola-pola, hukum, prinsip-prinsip dan akhirnya menarik kesimpulan dari analisisnya itu. Maka dari itu, penelitian ini bermula dari fenomena yang muncul atas transaksi lintas batas negara yang menyebabkan bentrokan yuridksi peraturan perpajakan antara negara sehingga atas bentrokan yuridiksi tersebut terjadi pengenaan pajak berganda.
enalisis persetujuan..., Restariana Dwinita Putri, FE UI, 2013.
3.2 Jenis Penelitian 3.2.1 Berdasarkan Tujuan Penelitian Ditinjau dari tujuannya, jenis penelitian ini merupakan penelitian bersifat deskriptif, yaitu memberikan gambaran secara umum mengenai P3B Indonesia-Hong Kong. 3.2.2 Berdasarkan Unit Analisis Unit analisis dari penelitian ini adalah individual. Karena data yang diambil oleh peneliti adalah dari setiap individual praktisi, regulator, dan wajib pajak yang terkait dengan permasalahan. 3.2.3 Berdasarkan Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Studi Lapangan (Field Research) Dilakukan dengan wawancara secara mendalam (in depth interview) dimana peneliti menggunakan pertanyaan terstruktur dan melakukan one by one interview dengan audio tape. Walaupun draft wawancara digunakan dalam wawancara ini, akan tetapi dalam pelaksanaannya wawancara dibuat bervariasi dan disesuaikan dengan situasi yang ada sehingga tidak kaku. Peneliti tidak membatasi jawaban narasumber sehingga narasumber dalam penelitian ini dapat menjawab secara bebas sesuai dengan yang ada di pikiran narasumber. Wawancara mendalam ini dilakukan kepada pihak-pihak yang kompeten dalam perpajakan internasional, khususnya mengenai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). 2. Studi kepustakaan (Library Research) Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mempelajari data serta informasi yang didapat baik dari laporan maupun dokumen, penelitian-penelitian terdahulu mengenai buku-buku, peraturan perundang-undangan, dan sumber literatur lainnya. 3.3 Narasumber Wawancara dilakukan kepada pihak-pihak yang terkait permasalahan penelitian, diantaranya adalah pihak Direktorat Jenderal Pajak dan Badan Kebijakan Fiskal sebagai regulator, pihak akademisi, pihak praktisi, dan pihak wajib pajak yang terkait dengan P3B Indonesia-Hong Kong.
enalisis persetujuan..., Restariana Dwinita Putri, FE UI, 2013.
4.Hasil dan Pembahasan 4.1 Latar Belakang P3B Indonesia-Hong Kong Dalam hal pemaparan latarbelakang pembuatan P3B Indonesia-Hong Kong, peneliti membagi latarbelakang tersebut dari sudut pandang Indonesia maupun dari sudut pandang Hong Kong. Hal ini dibuat agar dapat memahami maksud dan tujuan dari masing-masing pihak pembuat P3B. 4.1.1 Dari Sudut Pandang Indonesia Berdasarkan penelitian, didapatkan hasil bahwa latar belakang dibuatnya P3B Indonesia-Hong Kong dalam sudut pandang Indonesia adalah untuk meningkatkan hubungan kerjasama di bidang ekonomi dengan Hong Kong karena Indonesia merupakan salah satu tujuan utama investasi Hong Kong tak hanya pada permodalan melainkan pada arus sumber daya manusia seperti tenaga kerja Indonesia dan teknologi sehingga diharapkan banyak arus modal yang masuk ke Indonesia dan menciptakan iklim investasi yang baik untuk mendukung kinerja perekonomian Indonesia. Hal ini didukung dengan adanya penurunan tarif royalti, bunga, dan dividen. Tarif pajak penghasilan atas dividen yang biasanya sebesar 20 persen dari penghasilan bruto hanya akan dipungut 10 persen. Bahkan, jika pengusaha Hong Kong menanamkan modalnya secara langsung sebesar 25 persen atau lebih, maka pajak atas dividennya hanya dikenakan 5 persen. Adapun terhadap pajak atas bunga yang biasanya dikenakan 20 persen, diturunkan menjadi 10 persen, sedangkan pajak atas royalti hanya dikenakan 5 persen dan pajak atas keuntungan cabang perusahaan asal Hong Kong di Indonesia hanya dikenakan tarif 5 persen dari tarif normal 20 persen. Lebih lanjut menurut peneliti, penandatanganan P3B ini merupakan suatu langkah maju bagi kegiatan usaha di Indonesia dan Hong Kong untuk mencapai kerjasama global dengan standar internasional untuk pertukaran informasi perpajakan sehingga diharapkan P3B ini akan memperkuat integritas sistem perpajakan Indonesia dengan difasilitasinya pertukaran informasi wajib pajak, termasuk informasi perbankan, antara otoritas perpajakan Indonesia dan Hong Kong. 4.1.2 Dari Sudut Pandang Hong Kong Berdasarkan penelitian, didapatkan hasil bahwa pembuatan CDTA oleh Hong Kong dengan berbagai negara baru-baru ini, termasuk Indonesia dilatarbelakangi oleh “dorongan” dari negara-negara OECD untuk menghindari label negatif sebagai non-co-operative jurisdiction yang mana akan berdampak kepada reputasi Hong Kong secara internasional dan
enalisis persetujuan..., Restariana Dwinita Putri, FE UI, 2013.
perekonomian Hong Kong itu sendiri. Untuk memfasilitasi Hong Kong dalam negosiasi CDTA dengan negara lain, pada tahun 2010 Hong Kong merubah peraturan domestik dalam hal meningkatkan transparansi dan pertukaran informasi perpajakan yang efektif. Perubahan tersebut dengan mengadopsi 2004 OECD Model Tax Convention, dimana dengan peraturan ini Hong Kong tidak dapat menolak untuk memberikan informasi `yang diminta oleh pihak persetujuan meskipun Hong Kong tidak membutuhkannya untuk tujuan pajak dalam negeri sehingga banyak negara termasuk Indonesia mau membuat CDTA dengan Hong Kong. 4.2 Pengaturan Masalah Pajak Berganda dalam P3B Indonesia-Hong Kong Pengaturan masalah pajak berganda di P3B Indonesia-Hong Kong melalui pembagian hak pemajakan yang terdiri dari shall be taxable only dan may be taxed, metode kredit pajak untuk mengeliminasi pajak berganda, prosedur peresetujuan bersama sebagai usaha untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam penerapan P3B, pertukaran informasi, dan ketentuan anti penghindaran pajak berganda berdasarkan undang-undang domestik Indonesia maupun Hong Kong. 4.2.1 Pembagian Hak Pemajakan 1. Shall be taxable only Terminologi ini untuk menyatakan bahwa hak pemajakan atas suatu penghasilan hanya diberikan kepada satu negara (Indonesia atau Hong Kong) dimana subjek pajak tersebut terdaftar sebagai subjek pajak dalam negeri (residence state). 2. May be taxed Terminologi ini dipergunakan untuk menyatakan bahwa hak pemajakan atas suatu penghasilan dibagi antara negara domisili dan negara sumber. 4.2.2 Metode Penghindaran Pajak Berganda Didalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia-Hong Kong, diatur metode eliminasi pengenaan pajak berganda dalam pasal 22, yaitu metode kredit pajak (credit method) dimana mengkreditkan (mengurangkan atau mengimputasikan) pajak luar negeri atas pajak penghasilan global yang merupakan porsi penghasilan luar negeri (tax against). Pengaturan metode tersebut berdasarkan undang-undang domestik Indonesia maupun Hong Kong.
enalisis persetujuan..., Restariana Dwinita Putri, FE UI, 2013.
4.2.3 Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) Prosedur Persetujuan Bersama atau Mutual Agreement Procedure (selanjutnya disebut MAP), dalam P3B Indonesia-Hong Kong digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B, seperti masih terdapat pemajakan berganda atas penerapan ketentuan-ketentuan dalam P3B dan terdapat subjek dalam negeri Indonesia maupun Hong Kong yang dikenakan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam P3B yang telah disepakati bersama. Ketentuan ini diatur dalam pasal 24 dan mengatur dua hal pokok, yaitu •
Jangka waktu keberatan yang diajukan kepada pejabat yang berwenang harus diajukan dalam waktu 3 tahun.
•
Kewajiban untuk melaksanakan keputusan dari prosedur persetujuan bersama oleh negara yang harus melaksanakan keputusan dimaksud.
Namun demikian, P3B tidak mengatur batas waktu bagi para pejabat yang berwenang untuk memutuskan kasus yang diajukan ke forum persetujuan bersama dan tidak memberikan ketentuan tentang jangka waktu pelaksanaan dari keputusan pejabat berwenang kedua negara. Hal ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Wajib Pajak Indonesia maupun Hong Kong yang mengajukan permintaan MAP. Ketentuan pengajuan MAP diatur berdasarkan undang-undang domestik baik Indonesia maupun Hong Kong. Dalam hal Indonesia, berdasarkan PER-48/PJ/2010. Menurut peneliti, dengan diterbitkannya PER-48/PJ/2010 kemungkinan bagi Wajib Pajak Indonesia untuk menempuh dua jalur hukum sekaligus yaitu melalui MAP dan prosedur berdasarkan undangundang domestik tidak dapat dilaksanakan, melainkan Wajib Pajak hanya dapat memilih salah satu dari permohonan tersebut. 4.2.4 Pertukaran Informasi (Exchange Of Information) Pertukaran informasi (selanjutnya disebut dengan EOI) diperlukan untuk memastikan bahwa ketentuan dalam P3B dilaksanakan dengan benar. P3B Indonesia-Hong Kong mengatur EOI dalam pasal 25. 1. Berdasarkan pasal 25 ayat 1 , mengatur beberapa hal pokok, yaitu: •
Tidak boleh mempergunakan ketentuan pertukaran informasi ini untuk meminta informasi pajak-pajak yang tidak dicakup dalam P3B dan informasi tidak relevan dengan pengenaan pajak terhadap wajib pajak yang bersangkutan.
enalisis persetujuan..., Restariana Dwinita Putri, FE UI, 2013.
•
EOI tidak dibatasi kepada pasal 1 yang mencakup orang atau badan yang menjadi salah satu atau kedua pihak pada persetujuan.
2. Berdasarkan pasal 25 ayat 2, mengatur beberapa hal pokok, yaitu: •
Negara yang dimintai informasi (Indonesia atau Hong Kong) tidak boleh melanggar ketentuan dalam undang-undang domestiknya berkaitan dengan upaya memperoleh informasi yang diminta. Selain itu, negara yang dimintai informasi dalam rangka memenuhi permintaan pihak persetujuan lainnya tidak harus memenuhi permintaan tersebut apabila informasi dimaksud tidak diperoleh sesuai dengan prosedur administrasi yang berlaku.
•
Setiap informasi yang diterima, akan dijaga kerahasiannya dengan cara yang sama seperti apabila informasi tersebut diperoleh berdasarkan undang-undang domestik Indonesia maupun Hong Kong. Informasi tersebut hanya dapat diungkapkan kepada orang atau badan atau pejabat-pejabat yang berkepentingan dalam penetapan atau penagihan pajak, pelaksanaan undang-undang.
3. Berdasarkan pasal 25 ayat 4, mengatur beberapa hal pokok, yaitu: •
Berbeda dengan P3B Indonesia dengan negara lainnya karena EOI yang diatur dalam P3B ini mengharuskan pihak-pihak pada persetujuan untuk memberikan informasi kepada pihak persetujuan lainnya meskipun tidak membutuhkannya untuk tujuan pajak dalam negeri sehingga menimbulkan konsekuensi berupa kewajiban mempertukarkan informasi Wajib Pajak antara Indonesia dan Hong Kong.
•
Dalam hal Indonesia adalah pihak yang dimintai informasi, jika informasi yang diminta oleh Hong Kong tidak terdapat di administrasi perpajakan Indonesia maka Dirjen Pajak dapat melakukan pemeriksaan berdasarkan UU No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 29 ayat (1). Ketentuan ini mengatur bahwa dalam rangka menguji kepatuhan Wajib Pajak, Dirjen Pajak diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan untuk keperluan tujuan lain, yaitu dalam rangka pemenuhan permintaan informasi dari Hong Kong.
enalisis persetujuan..., Restariana Dwinita Putri, FE UI, 2013.
4.2.5 Ketentuan anti-Avoidance Berbeda dengan P3B Indonesia lainnya, Pasal 27 P3B Indonesia-Hong Kong mengatur bahwa masing-masing negara berhak untuk menerapkan ketentuan anti-penghindaran pajak (anti-avoidance) berdasarkan peraturan perundang-undangan domestiknya. a. Ketentuan anti-avoidance di Hong Kong, yaitu menerapkan prinsip arm’s length principle dalam transaksi transfer pricing, tidak ada ketentuan mengenai thin capitalization dan controlled foreign companies. b. Ketentuan anti-avoidance di Indonesia, diantaranya: Ø Transfer pricing UU PPh menganut harga wajar atau laba wajar (arm’s length price/profit). Transfer pricing diatur dalam UU No 36 Tahun 2008, yaitu: •
Pasal 18 ayat 3 dimana DJP berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
•
Pasal 18 ayat 4 dimana hubungan istimewa dianggap ada apabila wajib pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25%, adanya penguasaan yang sama, dan adanya hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus atau kesamping satu derajat.
•
Pasal 18 ayat (3a) dimana DJP diberi kewenangan untuk menerbitkan kesepakatan harga transfer atau APA (Advance Pricing Agreement). Hal ini untuk mengatasi kesulitan dalam menentukan harga wajar yang dipakai pada transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang seringkali menimbulkan sengketa antara wajib pajak dengan fiskus
•
Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER_32/PJ/2011dimana Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa wajib menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
enalisis persetujuan..., Restariana Dwinita Putri, FE UI, 2013.
Ø Thin capitalization •
Untuk menangkal transformasi dividen menjadi bunga lewat rekayasa minimalisasi capital diatur dalam pasal 18 ayat 1 UU No 36 Tahun 2008 dimana Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan (debt equity ratio). Akan tetapi, sejak KMK No. 1002/KMK.04/1984 ditunda hingga tahun 2013 Indonesia belum memiliki ketentuan mengenai debt equity ratio.
Ø Controlled foreign companies Ketentuan tentang controlled foreign companies (CFC) di Indonesia diatur di pasal 18 ayat 2 UU No 36 Tahun 2008 dimana Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar paling rendah 50%. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 256/PMK.03/2008, saat diperolehnya dividen oleh wajib pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri adalah: •
pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan usaha di luar negeri tersebut untuk tahun pajak yang bersangkutan.
•
pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir apabila badan usaha di luar negeri tersebut tidak memiliki kwajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan.
Ø Treaty shopping Untuk menangkal penggerusan potensi pajak melalui rekayasa treaty shopping, tidak diatur dalam secara khusus dalam ketentuan anti-avoidance Indonesia. Sebagai negara sumber, Indonesia berlindung pada ketentuan tentang pemilik sebenarnya dari penghasilan (beneficial owner) atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti. Namun sebelum Wajib Pajak (Hong Kong maupun Indonesia) dapat menggunakan P3B, berdasarkan ketentuan pasal 1 P3B Indonesia-Hong Kong bahwa P3B ini hanya berlaku bagi penduduk (resident) Indonesia dan Hong Kong. Untuk membuktikan suatu subjek pajak merupakan resident dari Indonesia atau Hong Kong, subjek pajak tersebut wajib menunjukkan SKD.
enalisis persetujuan..., Restariana Dwinita Putri, FE UI, 2013.
Ketentuan mengenai beneficial owner test diatur di Peraturan Direktur Jenderal Pajak
No. PER - 62/PJ./2009 yang kemudian dilakukan perubahan menjadi
Peraturan Jenderal Pajak
Nomor PER-25/PJ/2010 tentang pencegahan
penyalahgunaan. Ketentuan anti-avoidance yang diterapkan di Indonesia dalam upaya menangkal praktikpraktik penghindaran baru bersifat khusus yang disebut Specific Anti Avoidance Rule (SAAR) dan masih terdapat celah dalam ketentuan anti-avoidance, seperti tidak adanya ketentuan mengenai debt equity ratio hingga saat ini. Oleh karena itu, menurut peneliti Indonesia memerlukan General Anti Avoidance Rule (GAAR) untuk mencegah Wajib Pajak membuat suatu transaksi yang semata-mata dilakukan untuk tujuan penghindaran pajak. 4.3 Permasalahan yang Timbul dalam Penerapan P3B Indonesia-Hong Kong Berdasarkan hasil wawancara dengan para narasumber, pada praktiknya terdapat permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B Indonesia-Hong Kong, yaitu treaty shopping dan permasalahan administrasi sebagai berikut: 4.3.1 Surat Keterangan Domisili Surat keterangan domisili (selanjutnya disebut SKD) digunakan untuk membuktikan bahwa wajib pajak tertentu adalah subjek pajak dalam negeri (residence) dari suatu negara tertentu yang menandatangani P3B. Dengan demikian, SKD tersebut harus diterbitkan oleh negara di mana seseorang atau badan terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri. Sementara pihak persetujuan lainnya yang merupakan negara sumber penghasilan akan mengenakan tarif sesuai dengan P3B jika orang atau badan tersebut dapat menunjukkan SKD dari negara mitra P3B nya. Pada praktiknya, berdasarkan undang-undang perpajakan di Hong Kong, pemerintah Hong Kong hanya dapat memberikan SKD bagi wajib pajak dalam negerinya hanya satu kali dalam satu tahun untuk satu wajib pajak. Hal ini akan menimbulkan permasalahan administrasi dimana ketika wajib pajak Hong Kong melakukan transaksi di Indonesia dengan lebih dari satu pemotong/pemungut, maka pemotong/pemungut transaksi kedua dan seterusnya hanya akan mendapatkan SKD dalam bentuk fotokopi yang sudah di legalisir oleh pihak KPP tempat wajib pajak terdaftar. Dalam praktiknya, ada beberapa fiskus yang tidak mau menerima dalam bentuk fotokopian.
enalisis persetujuan..., Restariana Dwinita Putri, FE UI, 2013.
4.3.2 Form DGT-1 lembar 2 Berdasarkan SE-114/PJ/2009 : pada form DGT 1 part V “To be Complete if the Income Recipient is Non Individual”, dalam hal WPLN menjawab “no” untuk pertanyaan pada butir 6, WPLN tetap diperkenankan untuk menerapkan ketentuan dalam P3B, sepanjang jawaban pada butir 7 sampai dengan butir 12 dijawab “yes”. Hal ini dimaksudkan agar ketentuan dalam P3B dapat diterapkan bukan hanya kepada WPLN yang mendaftarkan sahamnya di pasar modal, namun juga kepada perusahaan yang secara substantif merupakan pemilik manfaat yang sebenarnya atas suatu penghasilan. Berdasarkan hasil penelitian, mengingat sistem perpajakan Hong Kong yang berbasis teritorial dimana hanya penghasilan yang bersumber dari Hong Kong yang dapat dikenakan pajak di Hong Kong, untuk pertanyaan butir 11 di Form DGT-1 part V “ the earned income is subject to tax in your country” tidak sesuai dengan keadaan sistem perpajakan di Hong Kong. Jika suatu penghasilan yang bersumber di negara Indonesia, bukan merupakan objek pajak di Hong Kong maka wajib pajak tidak dapat menjawab “yes” untuk pertanyaan butir 11. Permasalahan ini akan mengakibatkan persyaratan adminstrasi tidak terpenuhi sehingga berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 61/PJ/2009 tentang tata cara penerapan P3B pasal 6 mengatur bahwa WPLN dapat menyampaikan permohonan pengembalian kelebihan pajak yang seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hal manfaat P3B tidak diberikan akibat persyaratan administratif tidak terpenuihi, tetapi WPLN menganggap pemotongan atau pemungutan pajak tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B. Dengan diterbitkannya PER 61 Tahun 2009, maka wajib pajak Hong Kong akan tetap mendapatkan manfaat dari P3B Indonesia-Hong Kong meskipun tidak dapat memenuhi persyaratan administrasi. 5. Kesimpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan 1.
Pada penelitian ini ditemukan hasil bahwa latar belakang dibuatnya P3B Indonesia-Hong Kong dari sudut pandang Indonesia adalah untuk meningkatkan hubungan kerjasama di bidang ekonomi, sedangkan dari sudut pandang Hong Kong karena adanya dorongan dari negara-negara OECD untuk menciptakan transparansi di bidang perpajakan dengan melalui pertukaran informasi (exchange of information) dan agar tidak termasuk dalam kategori “blacklist”; pengaturan masalah pajak berganda dalam P3B Indonesia-Hong Kong berupa pembagian hak pemajakan antara Indonesia dengan Hong Kong atas penghasilan yang didapat oleh wajib pajak mereka,
enalisis persetujuan..., Restariana Dwinita Putri, FE UI, 2013.
menerapkan metode kredit pajak dalam mengeliminasi pengenaan pajak berganda, menerapkan MAP untuk menyelesaikan masalah yang masih terjadi dalam P3B ini, mengatur ketentuan anti-avoidanvce berdasarkan undang-undang domestik masingmasing pihak dan adanya pertukaran informasi antar Indonesia dengan Hong Kong dalam rangka penerapan P3B, penerapan undang-undang domestik, dan untuk mencegah terjadinya pengelakan pajak; permasalahan-permasalahan yang timbul dalam praktik penerapan P3B Indonesia-Hong Kong, yaitu permasalahan administrasi berupa Surat Keteramgan Domisili yang diterbitkan oleh Hong Kong hanya dapat diterbitkan sekali untuk setiap wajib pajaknya yang berlaku selama 12 bulan untuk setiap transaksi dengan pemungut/pemotong yang berbeda. Selain itu, form DGT-1 lembar 2 dimana berdasarkan pertanyaan butir 11 tidak sesuai dengan penerapan sistem perpajakan di Hong Kong sehingga ketika wajib pajak menjawab “no” maka tidak dapat mendapatkan manfaat dari P3B ini. Selain permasalahan administrasi, timbulnya penggunaan pemanfaatan P3B ini oleh pihak yang tidak berhak untuk mendapatkannya dengan melalui treaty shopping.
5.2 Saran Adapun saran yang dapat diberikan untuk memperbaiki permasalahan-permasalahan yang ada adalah sebagai berikut: a. Agar kegiatan praktik treaty shopping dapat dicegah disarankan dengan mengadopsi prinsip substance over form, misalnya dengan membuat peraturan pelaksanaan UU PPh, seperti Peraturan Menteri Keuangan atau Peraturan Dirjen Pajak. Prinsip ini pada dasarnya
akan
memberikan
kewenangan
kepada
administrasi
pajak
untuk
mengarakteristikan suatu transaksi berdasarkan substansi ekonomisnya dan tidak semata-mata melihat bentuknya secara legal. b. Agar pemanfaatan P3B ini oleh wajib pajak Hong Kong lebih efektif disarankan pemerintah Hong Kong merubah peraturan penerbitan SKD. c. Pemerintah Indonesia membuat peraturan terkait pengisian form DGT-1 part V, khususnya untuk menjawab pertanyaan butir 11 yang tidak sesuai dengan keadaan negara yang menganut basis teritorial dalam pengenaan pajakanya sehingga tidak menimbulkan permasalahan dalam praktiknya. d. Dalam proses negosiasi pembuatan P3B, sebaiknya pemerintah tidak hanya melakukan kajian secara ekonomi dan hukum saja akan tetapi melakukan diskusi
enalisis persetujuan..., Restariana Dwinita Putri, FE UI, 2013.
dengan kadin-kadin, pengusaha (wajib pajak) agar pada saat proses negosiasi dapat mewakilkan aspirasi wajib pajaknya. e. Diperlukan analisa lebih lanjut mengenai P3B Indonesia-Hong Kong untuk memastikan P3B ini tidak dijadikan sebagai instrumen treaty shopping atau perencanaan pajak yang bersifat abusif.
DAFTAR REFERENSI Arnold, Bryan J & McIntyre, Michael J, International Tax Primer. The Hague: Kluwer Law International, 1995. Chan, Samuel Y.S, Cheung, Daniel K.C, & Andrew, Brian. (2011). Taxpayer’s Rights Under the Liberalization of Tax Information Provisions in Hong Kong. Darussalam, John Hutagaol, dan Danny Septriadi. Konsep dan Aplikasi Perpajakan Internasional. Jakarta: Danny Darussalam Tax Center, 2010. Deborah, (2013). Transparansi Perpajakan dan Pertukaran Informasi: Studi Banding di Indonesia, Singapura, dan Hong Kong. Inside Tax Edisi Maret 2013. Deutsch, Roberth & Arkwright,Roisin. Principle and Practice of Double Taxation Agreements. London: BNA International Inc, 2008. Gunadi. Pajak Internasional. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2007. Hartiko, Ratyan Noer. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda : Studi Kasus Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia Belanda, Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2012. Holmes, Kevin. International Tax Policy and Double Tax Treaties. IBFD, 2007. Hong Kong Highlights 2013. 30 April 2013. http://www.deloitte.com/view/en GX/ global/services/tax/cross-border-tax/international-tax/taxation-and-investmentsguides.htm Hong Kong Master Tax Guide 2011/2012 (20th ed.). Deloitte, 2012. Hutagaol, John. Pemahaman Praktis Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia dengan Negara-negara di Kawasan Asia Pasifik, Amerika, dan
Afrika. Jakarta:
Salemba Empat, 2000. International Tax Glossary (5th ed.). IBFD, 2005. Kurniawan, Anang Mury. Tax Treaty Memahami Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) melalui studi kasus. Jakarta : Bee Media, 2012.
enalisis persetujuan..., Restariana Dwinita Putri, FE UI, 2013.
, Anang Mury. Pajak Internasional Beserta Contoh Aplikasinya. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011. Lang, Michael. Introduction to the Law in Domestic Taxation Conventions. The Netherlands: Linde Verlag Wien, 2010. , Michael and Ziiger, Mario. Settlement of Dispute in Tax Treaty Law. Linde Verlag Wien, 2002. Mansyuri, R. Panduan Lengkap Tax Treaties Indonesia. Jakarta: YP4, 2004. Miller, Angharad & Oats, Lynne. Principles of International Taxation. West Sussex: Tottel Publishing, 2006. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 61/PJ/2009, tanggal 5 November 2009, tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 62/PJ/2009, tanggal 5 November 2009, tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 25/PJ/2010, tanggal 30 April 2010, tentang Perubahan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 24/PJ/2010, tanggal 30 April 2010, tentang Perubahan atas Peraturan Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 48/PJ/2010, tanggal 3 November 2010, tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Rahayu, Ning, Praktik Penghindaran Pajak Berganda (Tax Avoidance) pada Foreign Direct Investment yang Berbentuk Subsdiary Company (PT PMA) di Indonesia (Suatu Kajian Tentang Kebijakan Anti Tax Avoidance). Disertasi FISIP Universitas Indoensia, 2008. Republik Indonesia, Undang-undang No 36 Tahun 2008, tanggal 23 September 2008 tentang Pajak Penghasilan. Rohatgi, Roy. Basic International Taxation. Den Haag: Kluwer Law International, 2002. Schwarz, Jonathan. Schwarz on Tax Treaties. United Kingdom: Wolters Kluwer, 2009. Sepyarini, Indah Dwi. Penyelesaian Sengketa Pajak Melalui Mutual Agreement Procedure Serta Interaksinya dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Tesis FISIP Universitas Indonesia, 2010. Setyowati, Eny. Analisis Ketentuan Anti Treaty Shopping dalam Upaya Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) di Indonesia. Tesis FISIP Universitas Indoensia, 2010.
enalisis persetujuan..., Restariana Dwinita Putri, FE UI, 2013.
Shelton, Ned. Interpretation and Apllication of Tax Treaty. West Sussex: Tottel Publishing, 2006. Soemitro, Rochmat. Hukum Pajak Internasional Indonesia Perkembangan dan Pengaruhnya. Bandung: Eresco, 1977. Sontang, Karl & Mathur, CS. Principles of International Taxation. New Delhi: LexisNexis, 2006. Surahmat, Rachmanto. Persetjuan Penghindaran Pajak Berganda Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001. , Rachmanto. Persetujuan penghindaran Pajak Berganda Suatu Kajian terhadap Kebijakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat, 2011. Surat Ederan Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 114/2009, tanggal 15 Desember, tentang Pelaksanaan Peraturan Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 Tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dan Peraturan Direktur Jenderal pajak Nomor PER-62/PJ/2009 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Surat Ederan Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 04/PJ.34/2005, tanggal 7Juli, tentang Petunjuk Penetapan Kriteria “Beneficial Owner” Sebagaimana Tercantum dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia Dengan Negara Lainnya. Taxation
and
Investment
in
http://www.deloitte.com/view/en
Hong
Kong
GX/
2013.
30
April
2013.
global/services/tax/cross-border-
tax/international-tax/taxation-and-investments-guides.htm Thin Capitalization and Related Provisions in Major Trading Nations. DRT International. Taxation and Investment in Hongkong 2013. Deloitte. Tax Controversy and Dispute Resolution Alert, Preventing-Managing-Resolving Tax Audits and Disputes Worldwide. 6 Juli 2013. http://www.pwc.com/taxcontroversy. Tax Treaty Indonesia-Hong Kong. 8 Maret 2013. http://www.pajak.go.id. Van, Weeghel, Stef, The Improper Use of Tax Treaties, Den Haag: Kluwer Law International, 1998. www.ird.gov.hk. 20 April 2013. Zakaria, Jaja. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Serta Penerapannya di Indonesia. Jakarta: PT. Fisca Sarana, 2001.
enalisis persetujuan..., Restariana Dwinita Putri, FE UI, 2013.