PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA NASIONAL DI BIDANG PERPARKIRAN Adrianto Dwi NugrohoS
Abstract Double taxation does not only occur between two dzfferent taxation systems, but it may also occur within a taxation system between national taxes and regional faxes. In Indonesia, regional autonomy regulations have given provincial and residential government the authoritj to obtain its own regional income, one of which is the enforcement of regional taxes. Howevel: the incompliance of regional taxes regulations with national taxes regulations has resulted double taxation on the implementation, as it is between parking service tax and value-added tax on parking service. The large potential of tax incomefrom parking service had not been well-managed by the government until 2003. Kata kunci :pajak bergonda, pajakparkic pajakpertambahan nilai atas penyerahan jasapenyediaan tempat parkir A. Pendahuluan Pajak berganda pada umurnnya tejadi terhadap penghasilan orang atau badan yang sama akibat adanya perbedaan sistem perpajakan dan asas pemungutan pajak yang dianut oleh dua negara yang melakukan interaksi di bidang ekonomi, yang disebut dengan pajak berganda intemasional. Syarat utama tejadinya pajak berganda adalah adanya dua pungutan pajak yang dikenakan atas objek yang sama, seh'ingga dapat pula tejadi pada suatu negara antarapajakpusat danpajakdaerah, yang disebut dengan pajak berganda nasional. Pembagian jenis pajak menjadi pajak pusat dan pajak daerah didasarkan atas pemilik kewenangan untuk memungut dan menggunakan hasil pemungutan pajak. Pajak pusat dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan negara yang tampak sebagai komponen pendapatan dalam APBN, sedangkan pajak daerah dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Di Indonesia, kewenangan pemerintab daerah untuk memungut pajak daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tepatnya pada Pasal21 huruf e. Adapun kedudukan pajak daerah dalam keuangan daerah adalah sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagaimana diatur pada Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pengaturan mengenai pajak daerab pada legislasi nasional di Indonesia pertama kali dilakukan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retnbusi Daerah. Peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah, Peraturan Pemerintah Nnmor 20 Tahun 1997 tentang Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1997 tentang Pajak Kendaraan Bermotor.
Doscn Hukum Pajak Fakultas Hukum Univenitas Gadjah Mada.
226
MIMBAR HUKUM Volume 18, Nomor 2, Juni 2006, Halaman 159-292
Pada tanggal 20 Desember 2000, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang PajakDaerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah yang menggantikan peraturan pelaksanaan yang lama. Pengaturan di tingkat nasional ini selanjumya diatur dalam Peraturan Daerah masing-masing daerah (Pasal4 ayat (I) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000). Pajak daerah di Indonesia dibagi atas pajak provinsi dan pajak kabupatenkota. Pajak provinsi adalah pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah tingkatprovinsi, sedangkan pajak kabupatedkota adalah pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah tingkat kabnpaten/kota.' Menurut Pasal2 ayat (I) UndangUndang Nomor 34 Tahun 2000, yang termasuk pajakprovinsi adalah Pajak Kendaraan Bermotor clan Kendaraan di Atas Air, Bea BalikNama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor serta Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Tanah dan Air Permukaan. Pajak provinsi bersifat limitatif. Artinya, pemerintah provinsi tidak dapat memnngut pajak selain yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang dan hanya dapat menambahjenis retribusi lain yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Pembatasan ini terkait dengan sifat kewenangan pemerintah ~rovinsiyang lintas kabupatenkota dan terbatas pada hal-ha1 yang belurn dilaksanakan pemerintah k a b ~ ~ a t e n k o t a . ~ Sementara itu, yang termasuk pajak kabupatenkota sebagaimaoa disebutkan pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 adalah Pajak Hotel, Pajak Restom,
'
Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penmangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C serta Pajak Parkir. Berbeda dengan pajak provinsi, pajak kahupatenlkota tidak bersifat limitatif, dimana pemerintah kabupatenkota dapat melakukan ekstensifikasi pajak melalui penetapan jenis pajak daerah selain yang telah ditentukan secara eksplisit &lam Undang-Undang dengan memenuhi kriteria-kriteria yang ditetapkan pada Pasal2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, yaitu : (a) bersifat pajak dan bukan retribusi; @) objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupatenkota yang bersangkutan dan mempunyaimobilitas cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupatenkota yang bersangkutan; (c) objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan urnurn; (d) objek pajak bukan mempakan objek pajak provinsi dadatau pajak pusat; (e) potensinya memadai; (f) tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif; (g) memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan (h) menjaga kelestarian lingkungan. Dalam bal pengaturan pajak daerah dalam peratumn daerah bertentangan dengan kepentingan umum danlatau peraturan pemndangundangan yang lebih tinggi, pemerintah pusat dapat membatalkan peraturan daerah tersebut, sekaligus membatalkan pemungutan pajak daerah yang diatur didalamnya (Pasall angka 7 Undang-Undang No. 34 Tahun 2000). Salah satu prinsip dalam menetapkan pajak daerah adalah bahwa objekpajak daerah mempakan ohjekpajak yang belum ditetapkan sebagai objek pajak pusat. Pajak pusat di Indonesia dipungut atas penghasilan orang atau badan (dalam PajakPenghasilan), pertambahan nilai (dalam Pajak Pertambahan Nilai), kepemilikan tanah danlatau bangunan (dalam Pajak Bumi dan Bangunan), peralihan hak atas tanah
Kesit Bambang Prakosa. 2003. Pojok don Rerribusi Doeroh. UII Press, Yogyakarta. him. 3 MachfudSidik;'Optimalisasi Pajak Dacrah d m RcIxibusi Dacrah dalam rangka MeningkatkanKcmampuan Keuangan Dacrah. O~asillmiah dalam rangka Wisuda XXI STlA LAN, Banmmg. 10 April 2002, hlm 5
Nugmho, Penghindaran Pajak Berganda Nasional dan bangunan (dalam Bea Peroleban Hak atas Tanab dan Bangunan) dan dokumen (dalam Bea Materai) serta barang-barang yang dapat memgikan kesehatan (dalam Cukai). Khusus untuk Pajak Bumi dan Bangunan, pelaksanaan pemungutannya diserahkan kepada pemerintab daerah dan basil pemungutamyaakandiberikan sebagian besar kepada pemerintab daerah sebagaunana ditetapkan dalam Undang-Undang. Sebaliknya, pemerintab pusat juga tidak boleh memungut pajak yang telah dipungut oleh pemerintah daerah. Demikian halnya pemerintab kabupaten.kota tidak boleh memungut pajak yang telah dipungut oleh pemerintah provinsi. Walaupun demikian, dalam kenyataannya terdapat pajak daerah yang dipungut atas objek yang sama dengan objekpajakpusat. Hal yang demikian ini mempakan pajak berganda. Apapunjenisnya, pemungutan pajak berganda seperti ini hams dihiidarkan, karena akan menghambat laju investasi yang berarti mengganggu perekonomian, dimana ha1 tersebut bertentangan dengan asas pemajakan. Akibat lain yang mungkin terjadi adalah semakin gencamya usaha untuk melakukan penyelundupan pajak (tux e~osion).~ Penghindaran pajak berganda sebagai salab satu manifestasi fungsi regulator dari pajak diarahkanpada upaya memberi kepastian hukum tentang pihak yang memiliki kewenangan untuk memungut pajak danlatau pihak yang menjadi subjek dan wajib pajak serta objek yang menjadi dasar pemajakan. Pajak berganda intemasional dapat dihindarkan oleh suatu negara melalui cara unilateral. Artinya, negara menentukan sendiri jurisdiisi perpajakan intemasionalnya yang berkaitan dengan objek dan subjek pajak luar negeri. Setiap negaramempunyai undang-undang pajak yang berbeda dalam menentukan hak pemajakan intemasionalnya. Hak ini tidak dibatasi oleh
227
ketentuan- ketentuan dan kaidah-kaidah dalam perpajakan intemasional? Cara yang lebih efektif dalam menghindari pajak berganda antam duanegara adalah dalam bentuk Tax Treaty/Tnx Convention (di Indonesia : Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)). Melalui upaya ini, akan ada proses rekonsiliasi antara dua undang-undang pajak yang berbeda. Tulisan ini akan membahas satu kasus pajak berganda nasional yang pemah terjadi di Indonesia, yaitu antara pajak parkir dan Pajak Pertarnbahan Nilai (PPN) atas penyetahan jasa penyediaan tempat parkir, termasuk upaya penghindarannya. Namun sebelumnya perlu diketahui dulu mengenai masalah perparkiran di Indonesia serta jenis-jenis pajak yang a& didalamnya. B. Perparkiran di Indonesia Perparkiran mempakan salah satu sub sistem dari sistem lalu lintas dan transportasi. Pengaturannya diserahkan kepada pemerintah daerah, sebagai salah satu bentuk pelaksanaan otonomi daerah di bidang perbubungan. Pada awalnya terdapat satu jenis bentuk parkir yaitu parkir di tepi jalan m u m (on street parking) yang dikelola langsung oleh p e m e ~ t a daerah h melalui badan pengelola perparkiran masingmasing daerah. Seiring dengan perkembangan perekonomian, yang mengakibatkan bertambahnya jumlab kendaraan, maka kebutuhan tempat parkir meningkat. Sementara itu, penyed i m tempat parkir di tepi jalanumum menjadi sulit akibat lalu lintas yang padat. Hal ini membuat pemerintah daerah kemudian menetapkan bentuk parkir yang lain, yaitu parkir di luar badanjalan (offstreetporking), yang terdiri dari parkir di gedung parkir dan pelataran parkir. Jenis parkir ini dapat diselenggarakan oleb
Rachmaeo Surahmat, 2001. Perselz+m Penghindaron Pojak Berpndo :Sebuoh Petrgonmr. Gramcdia Pustaka Umma bckcjasama dcngan Atrhur Andcrscn Prasclyo Ulomo, lakarla, hlm. 2 Ibid, hlrn.3
228
MIMBAR HUKUM Volume 18, Nomor 2, Juni 2006, Halaman 159-292
pihak selain pemerintah yang telah mendapat izin penyelenggaraan parkir luar badan jalan. Di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, perparkiran dalam jangka panjang diarahkan pada jenis parkir ini dan sekaligus mengurangi on streetparking untuk mengurangi beban lalu lintas-dan kemacetan. Penyelenggaraan tempat parkir ini biasanya berkaitan dengan usaha yang dilakukan pemilik tempat parkir. Namun adajugapemilik tempat parkir yang menjadikan penyediaan tempat parkir (gedung parkir dan pelataran parkir) sebagai bentuk usahanya. Dalam perkembangannya, pemilii tempat parkir tidak mengelola sendiri tempat parkimya, melainkan menggunakan jasa pemsahaan pengelola tempat parkir. Perusahaan-pemsahaan seperti Secure Porking, Sqn Parking, EZ Parking merjadikan pengelolaan tempat parkir sebagai hentuk
usahanya. Keberadaannya berkaitan dengan pemberian kewenangan mengelola tempat par& luar badan jalan oleh pemerintah daerah kepada pihak non pemerintah yang memenuhi syarat. Dalam pelaksanaan pengelolaan tempat parkir, pemsahaan pengelola tempat parkir terjkat perjanjian dengan pemilik tempatparkir. Kewajibanpe~sahaanpengelolatempat parkii adalah mengelola areal parkir sesuai dengan kapasitasnya, antara lain memungut biaya p a r k daripengguna tempat parkir daumenjaga keamanan kendaraan yang parkir. Sementara itu, haknya adalah memperoleh imbalan dari pemilik tempat parkir, baik bempa nilai uang tertentu maupun prosentase pembagian h a d sesuai yang ditetapkan di dalam perjanjian. Benhlk kerjasarna pengelolaan perparkiran jika digambarkan adalah sebagai berikut :
t Pemilik Gedung 4
Mengusahakan Gedung Parkir
Pe~~~haan Pengelola Parkir
Nugroho, Penghindaran Pajak Berganda Nasional Pajak parkirberbeda dengan retribusi parkir. Setidaknya ada lima ha1 yang membedakan kedua jenis pungutan ini. Pertama, sifat pungutannya. Retribusi parkir dipungut dengan memberi kontra prestasi langsung, yaitu penggunaan tempat parkir untuk memarkir kendaraan, sehingga paksaannya bersifat ekonomis terhadap pengguna tempat parkir. Sementara itu, pembayaran pajak parkir tidak mendapat imbalan yang langsung dapat diberikan dan dapat dipaksakan secara yuidis. Kedua, pihak yang wajib membayar pungutan. Wajib retribusi parkir adalah pengguna tempat parkir, sedangkan Wajib Pajak Parkir adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan tempat parkir. Ketiga, tarif retribusi parkir ditetapkan oleh pemerintah daerah sebesar nilai uang tertentu untuk sejumlah golongan tempat parkir, sedangkan tarif pajak parkir &tetapkan oleh pemerintah daerah sebesar prosentase tertentu dari jumlah pembayaran atau yang sehamsnya dibayar untuk pemakaian tempat parkir, paling tinggi 20 %. Keempat, retribusi parkir dipungut langsung oleh pemerintah daerah melalui jum parkir, sedangkan pajak parkir dipungut dan disetorkan kepada pemerintah daerah oleh penyelenggara tempat parkir. Kelima, objek retribusi parkir adalah penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh pemerintah daerah (Penjelasan Pasal 2 ayat (2) hurf e Peraturan Pemerintah Nomor 66 TahunZOOl), sedangkan objek pajak parkir adalah penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan yang memungut bayaran.
E.
23 1
Penghindaran Pajak Berganda Nasional antara Pajak Parkir dan Pajak Pertamhahan Nilai di Indonesia
Berdasarkanpaparan di atas dapat disimpulkan bahwa telah tetjadi pemungutan pajak berganda nasional antara pajak parkir dan PPN atas penyediaan jasa tempat parkir. ObjekPPN atas penyediaan tempat parkir dan pajak parkir adalah sama, yaitu penyerahan jasa penyediaan tempat parkir dari pemilik tempat parkir kepada pengguna tempat parkir, walaupun jika &lihat penanggung beban pajaknyai tidak tejadi masalah, karena PPN ditanggung oleh konsumen, sedangkan pajak parkir ditanggung oleh pemilik tempat parkir. Namun, sekali lagi, pajak berganda menekankan pada objek pajak, bukan pada subjek atau wajib pajaknya. Seluruh ketentuan PPN di atas diterbitkan sebelum diberlakuka~yapajak parkir dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, sehingga lumrah bilajasa tersebut dikelompokkan sebagai objek PPN dan lumrah pula bila pengelompokkan objek tersebut dalam beberapa kondisi dapat menyebabkan double taxation.I0 Namun, pemerintah sehamsnya sudah melakukan antisipasi terhadap terjadinya double taxation bila pemerintah akan mengundangkan ketentuan pajakparkir sebagai objek pajak daemh. Pengklasifikasianjasaparkii sebagai objek PPN semestinya tidak dilakukan." Menanggapi terjadinya pajak berganda, otoritas pajak menerbitkan Surat Dijen Pajak Nomor S-213/PJ.532/2003tentang Kewajiban PPN atas Pendapatan Parkir pada tanggal 28 Febmari 2003. Peraturan ini menegaskan tentang pengenaan PPN atas pengelolaan parkir yang diserahkan oleh pengelola parkir kepada pemilik tempat parkir. Jika pemilik gedung mengelola sendiri gedung parkirnya, maka tidak ada PPN yang temtang. I*
232
MlMBAR HUKUM Volume 18, Nomor 2,Juni 2006, Halaman 159-292
Peraturan ini ternyata tidak menyele- ganda adalah Pasal 2 yang mengatw objek saikan pennasalahan pajak berganda tersebut. PPN. Pada Pasal 2 ayat 1 ditegaskan bahwa Otoritas pajak jushu berusahauntukmelakukan Atas penyerahan jasa pengelolaan tempat ekstensifikasi pajak deogan memasukkan objek parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal I PPN baru, yaitu penyerahan jasa pengelolaan angka 5 dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. tempat parkir. Hal ini tentunya sebagai antisi- Selanjutnya, pada ayat selanjumya dinyatakan pasi atas eksistensi perusahaan pengelola tem- bahwa Atas penyerahan jasa penyediaan tempat parkir sebagai ujung tombak dalam upaya patparkirsebagaimana dimaksuddalam Pasol memasukkanpendapatandari biayaparkir yang 1angka 6 tidakdikenakan PajakPertambahan dibayarkan oleh pengguna te)mpatparkir. Nilai. Dengan dernikian,jelas bahwaobjekPPN Penghindaran pajak berganda akhirnya adalah penyerahan jasa pengelolaan tempat dilakukan pemerintah dengan menerbitkan parkir dari pengelola tempat parkir kepada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 4191 pemilik tempat p a r k . Sehingga, jika tempat KMK.0312003 tentang Pajak Pertambahan parkir diielola sendiri oleh pemilik tempat Nilai atas Penyerahan JasaPengelolaanTempat parkir, maka tidak terutang PPN. Parkir pada tanggal 30 September 2003, yang Penyerahanjasapengelolaan tempatparkir mulai berlaku 1Oktober 2003. KqutusanMen- dapat dipersamakan dengan praktek outsourcten Keuangan ini membedakan antara pemilik ing, yaitu usaha untuk meningkatkan efisiensi tempat parkir danpengelola tempatparkir. Pada perusahaan dengan memanfaatkan sumber Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa Pemilik daya dari luarmenggantikan sumber daya dari tempat parkir adalah orang atau badan yang dalam pemsahaan untuk menyelesaikan tugas memiliki tempatparkir, sedangkan Pengusaha tertentu." Dalam Surat Edaran Dirjen Pajak adalah orang atau badan yang mengelola tem- Nomor SE-05/PJ.53/2003, penyerahanjasa outpatparkiryang disediakan olehpemilik tempat sourcing dikenakan PPN. Alasannya, kegiatan parkir (Pasal 1 angka 3). pemberian jasa dalam outsourcing dilakukan Selanjutnya,jasa perparkiran juga dibagi oleh tenaga kerja pemberi jasa dengan disertai 2, yaitu jasapengelolaan tempat parkir daujasa keterlibatan langsung tenaga kerja tersebut penyediaan tempat parkir. Pada Pasal 1 angka dalarn pelaksanaannya.14 5 dinyatakan bahwa Jasapengelolaan tempat Dalam praktek, jasa outsourcing umparkir adalah jasa yang dilakukan oleh Pen- umnya diidentikkan dengan jasa manajemen, gusaha untuk mengelola tempat parkir yang yaitu pembenan jasa dengan ikut serta secara dimiliki atau disediakan oleh pemilik tempat langsung dalam pelaksanaan manajemen parkir dengan menerima imbalan daripemilik dengan balas jasa berupa management fee tempatparkir, termasuk imbalan dalam bentuk @hat Swat Edaran Dirjen Pajak Nomor SEbagi hasil, sedangkan Jasapenyediaan tempat 08/P~.222.1984)~~ Dengan demikian, pemberparkir adalah jaw penyediaan tempat parkir lakuan PPN atasjasapengelolaan tempatpark'u yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir adalah wajar. dan arm Pengusaha kepada pengguna tempat Jumlah PPN yang terutang atas penyeparki,: dengan dipungur bayaran (Pasal 1 rahan jasa pengelolaan tempat parkir adalah angka 6). sebesar 10 % (sepuluh persen) yang dikalikan Hal esensial dari Keputusan Menteri dengan Dasar Pengenaan Pajaknya, yaitu meKeuangan ini yang menghindari pajak ber- liputi (a) nilai penggantian yaitu nilai bempa
'' Ibid. hlm. 10 l4
Ibid. /bid..
234
MlMBAR HUKUM Volume 18, Nomor2, Juni2006, Halaman 159-292
da dengan hadimya usaha pengelolaan tempat parkir yang terus berkembang danmenjadi wend masa depanpengelolaan perpakiran, khususnya di kota-kota besar. Agar tetap mendapat "bagian" dari bisnis multimilyuner ini, pemerintah menetapkan PPN atas penyerahan jasa pengelolaan tempat parkir terhadap pemilik tempat parkir melalui Keputusan Menteri Keuangan Keuangan Nomor 419/KMK.0312003. Namun sesungguhnya, pemberlakuan PPN ini semakin menambah beban pajak yang harus ditanggungpemilii tempat parkir, karena diliiat dari esensinya, pemilik tempat parkir melakukan konsumsi atas jasa pengelolaan tempat parkir, sehingga tidak dapat dikreditkan dari pajak keluaran yang dipungutnya. Walaupun dapat dikreditkan, pemilik tempat parkir juga hams memperhatikan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaba. Hal ini dapat dikategorikan sebagai "hukuman" bagi pemilik tempat parkir, khususnyadi Jakarta, karena tidak pemah melaksanakan kewajiban memberikan
kontribusi kepada daerah. Meskipun demikian, bisnis ini tetap menjanjikan keuntungan yang besar, terlihat dari jumlah pemsahaan pengelola tempat parkir yang tems bertambah. Hal lain yang memunculkan permasalahan adalah mengenai hanyaknya pengaturan tentang pajak, khususnya PPh dan PPN yang dituangkan dalam Kepuh~sanMenteri Keuangan dan Swat Edaran Dirjen Pajak. Faisal Basri pemah menyatakan bahwa perpajakan tidak dapat dipahami liku-likunya hanya dengan berhekal membaca Undang-Undang. Bukan sekedar Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri yang menterjemahkan undang-undang itu, tetapi juga amat banyak Surat Edaran Dijen Pajak yang menambah h a s dan membuat perpajakan jadi rimba (Kompas, 26 November 2005). Hal ini tentunya akan memunculkan gray areas dalam hukum yang tidak memberikan kepastian hukum. Proses penyusunan RUU Perpajakan yang sedang berlangsung diharapkan dapat merangkum peraturan-peraturan perpajakan tersebut, sehingga lebih mudab diakses dan dipahami oleh masyarakat, khususnya para Wajib Pajak.
DAFTAR PUSTAKA Judisseno, Rimsky K., 1997.Pajak dan SIrotegi Bisnis :Suatu lhjauan tentang Kepastian Hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. NN, "Pajak Parkir dan PPN Parkir Riwayatmu Kin?', Indonesian Tnx Review, Volume IILEdisi 0212003. Prakosa, Kesit Bamhang, 2003. Pajak dan Retribusi Daerah. UII Press, Yogyakarta.
Sidik, Machfud. "Optimalisasi Pajak Daerab dan Retribusi Daerab dalam rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah". Orasi Ilmiah dalam rangka Wisuda XXI STIA LAN, Bandung, 10 April 2002. Surahmat, Rachmanto, 2001. Persetujuan Penghindaran Pojok Berganda :Sebuah Pengantar. Gramedla Pustaka Utama bekerjasama dengan Atrbur Andersen Prasetyo Utomo, Jakarta.