Electronic Commerce (E-Commerce) Ditinjau Dari Hukum Perjanjian Dan Uu Ite Di Indonesia
ELECTRONIC COMMERCE (E-COMMERCE) DITINJAU DARI HUKUM PERJANJIAN DAN UU ITE DI INDONESIA
Rika Bherta Program Studi Teknik Informatika, AMIK AKMI Baturaja Email :
[email protected]
ABSTRAK
Perbincangan mengenai electronic commerce, yang biasa disebut e-commerce, tampaknya tidak ada hentinya di Indonesia. Perkembangan bisnis melalui internet ini semakin diminati, akan tetapi perkembangan e-commerce tidak serta merta bebas masalah. Berbagai permasalahan hukum ditemui dalam e-commerce, termasuk mengenai hubungan hukum antar para pelakunya. Hukum harus dapat menegaskan secara pasti hubungan-hubungan hukum dari para pihak yang melakukan transaksi e-commerce. Tujuan dilakukannya Penelitian ini adalah untuk mengetahui keabsahan perjanjian perdagangan melalui internet (e-commerce) yang ditinjau dari hukum perjanjian di Indonesia khususnya Buku Ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dan perlindungan hukum bagi konsumen dalam transaksi e-commerce dilihat dari Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dilihat dari tujuannya termasuk jenis penelitian hukum normatif bersifat deskriptif. Sumber data berasal dari sumber data sekunder yaitu, literatur, peraturan perundang-undangan, dan internet. Setelah data diperoleh lalu dilakukan analisis data kualitatif dengan analisis non statistik. Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) telah mampu memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi konsumen dalam melakukan transaksi melalui e-commerce, perlindungan hukum tersebut terlihat dalam ketentuan-
Electronic Commerce (E-Commerce) Ditinjau Dari Hukum Perjanjian Dan Uu Ite Di Indonesia
ketentuan UUPK dan UUITE dimana kedua peraturan tersebut telah mengatur mengenai penggunaan data pribadi konsumen, syarat sahnya suatu transaksi e-commerce, penggunaan CA (Certification Authority), dan mengatur mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam memasarkan dan memproduksi barang dan jasa yang dapat dijadikan acuan bagi obyek dalam transaksi ecommerce. Walaupun Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) memiliki kelemahan yaitu hanya menjangkau pelaku usaha yang berkedudukan di Indonesia saja, namun kelemahan ini sudah ditutupi oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) dan berbagai ketentuan perundangundangan lainnya. Hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa kontrak dalam perdagangan melalui internet (e-commerce) telah memenuhi beberapa aspek hukum perjanjian dalam Buku Ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yaitu kesepakatan para pihak, suatu hal tertentu dan sebab yang halal, meskipun pemenuhan terhadap unsur kedewasaan sebagai syarat kecakapan untuk mengadakan suatu perikatan tidak dapat terpenuhi, kontrak dalam e-commerce tetap sah dan mengikat serta menjadi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya sepanjang para pihak tidak mempermasalahkannya. Hal ini dikarenakan syarat kecakapan untuk mengadakan perikatan termasuk dalam syarat subyektif yang berarti meskipun syarat kecakapan tidak terpenuhi, kontrak dalam e-commerce yang dibuat dan disepakati oleh para pihak tetap sah, namun berakibat terhadap kontrak tersebut dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak.
Kata Kunci : Transaksi E-Commerce, Hukum Perjanjian
Electronic Commerce (E-Commerce) Ditinjau Dari Hukum Perjanjian Dan Uu Ite Di Indonesia
I.
PENDAHULUAN Kemajuan teknologi digital yang dipadu dengan telekomunikasi telah membawa
komputer memasuki masa-masa revolusi nya. Di awal tahun 1970-an, teknologi PC atau Personal Computer mulai diperkenalkan sebagai alternatif pengganti mini computer. Dengan seperangkat komputer yang dapat ditaruh di meja kerja (desktop), seorang manajer atau teknisi dapat memperoleh data atau informasi yang telah diolah oleh komputer (dengan kecepatan yang hampir sama dengan kecepatan mini computer, bahkan mainframe). Kegunaan komputer di perusahaan tidak hanya untuk meningkatkan efisiensi, namun lebih jauh untuk mendukung terjadinya proses kerja yang lebih efektif. Tidak seperti halnya pada era komputerisasi dimana komputer hanya menjadi milik pribadi Divisi EDP (Electronic Data Processing) perusahaan, di era kedua ini setiap individu di organisasi dapat memanfaatkan kecanggihan komputer, seperti untuk mengolah database, spreadsheet, maupun data processing (end-user computing). Perkembangan teknologi informasi yang sangat dramatis telah membawa dampak transformational pada berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalamnya dunia bisnis. Setelah berlalunya era total quality dan reengineering, kini saatnya era elektronik yang
ditandai
dengan
menjamurnya
istilah-istilah
e-business,
e-university,
e-government, e-economy, e-entertainment, e-commerce dan masih banyak lagi istilah sejenis. Salah satu konsep yang dinilai merupakan paradigma bisnis baru adalah ebusiness atau dikenal pula dengan istilah e-commerce sebagai bidang kajian yang relatif masih baru dan akan terus berkembang, e-commerce berdampak besar pada praktek bisnis, setidaknya dalam hal penyempurnaan direct marketing, transformasi organisasi, dan redefinisi organisasi. Model bisnis ini menekankan pertukaran informasi dan transaksi bisnis yang bersifat peperless, melalui Elektronik Data Interchange (EDI), E-mail, dan teknologi lainnya yang juga berbasis jaringan. Popularitas e-commerce dipenghujung abad 20 dan di awal milenium baru ini ditunjang oleh tiga faktor pemicu utama, yaitu (1) faktor pasar dan ekonomi, diantara kompetisi yang semakin intensif, perekonomian global, kesepakatan dagang regional, dan kekuasaan konsumen yang semakin bertambah besar, (2) faktor sosial dan lingkungan, seperti perubahan karakteristik angkatan kerja, deregulasi pemerintah, kesadaran dan tuntutan akan praktis etis,
Electronic Commerce (E-Commerce) Ditinjau Dari Hukum Perjanjian Dan Uu Ite Di Indonesia
kesadaran akan tanggung jawab sosial perusahaan, dan perubahan politik, dan (3) faktor teknologi, meliputi singkatnya usia siklus hidup produk dan teknologi. E-commerce merupakan model perjanjian jual beli dengan karakteristik dan aksentuasi yang berbeda dengan model transaksi jual beli konvensional, apalagi dengan daya jangkau yang tidak hanya lokal tapi juga bersifat global. Adaptasi secara langsung ketentuan jual-beli konvensional akan kurang tepat dan tidak sesuai dengan konteks e-commerce. Oleh karena itu perlu analisis apakah ketentuan hukum yang ada dalam KUHPerd dan KUHD sudah cukup relevan dan akomodatif dengan hakekat e-commerce atau perlu regulasi khusus yang mengatur tentang e-commerce. Beberapa permasalahan hukum yang muncul dalam bidang hukum dalam aktivitas ecommerce, antara lain otentikasi subyek hukum yang membuat transaksi melalui internet, saat perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan mengikat secara hukum , obyek transaksi yang diperjualbelikan, mekanisme peralihan hak, hubungan hukum dan pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam transaksi baik penjual, pembeli, maupun para pendukung seperti perbankan, internet service provider (ISP), dan lain-lain, legalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tangan digital sebagai alat bukti, mekanisme penyelesaian sengketa, pilihan hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam penyelesaian sengketa.
Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) telah mampu memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi konsumen dalam melakukan transaksi melalui e-commerce, perlindungan hukum tersebut terlihat dalam ketentuan-ketentuan UUPK dan UUITE dimana kedua peraturan tersebut telah mengatur mengenai penggunaan data pribadi konsumen, syarat sahnya suatu transaksi e-commerce, penggunaan CA (Certification Authority), dan mengatur mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam memasarkan dan memproduksi barang dan jasa yang dapat dijadikan acuan bagi obyek dalam transaksi e-commerce. Walaupun Undang-Undang Perlindungan
Konsumen
(UUPK)
memiliki
kelemahan
yaitu
hanya
menjangkau pelaku usaha yang berkedudukan di Indonesia saja, namun kelemahan ini sudah ditutupi oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) dan berbagai ketentuan perundang-undangan lainnya.
Electronic Commerce (E-Commerce) Ditinjau Dari Hukum Perjanjian Dan Uu Ite Di Indonesia
II.
TINJAUAN PUSTAKA Perdagangan elektronik (bahasa Inggris: electronic commerce atau
e-commerce) adalah penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet atau televisi, www, atau jaringan komputer lainnya. E-commerce dapat melibatkan transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem manajemen inventori otomatis, dan sistem pengumpulan data otomatis. Industri teknologi informasi melihat kegiatan e-commerce ini sebagai aplikasi dan penerapan dari e-bisnis (e-business) yang berkaitan dengan transaksi komersial, seperti: transfer dana secara elektronik, SCM (supply chain management), pemasaran elektronik (e-marketing), atau pemasaran online (online marketing), pemprosesan transaksi online (online transaction processing), pertukaran data elektronik (electronic data interchange /EDI), dll. E-commerce merupakan bagian dari e-business, di mana cakupan e-business lebih luas, tidak hanya sekedar perniagaan tetapi mencakup juga pengkolaborasian mitra bisnis, pelayanan nasabah, lowongan pekerjaan dll. Selain teknologi jaringan www, e-commerce juga memerlukan teknologi basisdata atau pangkalan data (databases), surat elektronik (e-mail), dan bentuk teknologi non komputer yang lain seperti halnya sistem pengiriman barang, dan alat pembayaran untuk e-dagang ini. E-commerce pada dasarnya adalah kegiatan perdagangan yang menggunakan media elektronik. Kedudukan e-commerce dalam hukum Indonesia terletak dalam bidang hukum perdata sebagai subsistem dari hukum perjanjian, maka e-commerce memiliki asas-asas yang sama dengan hukum perjanjian pada umumnya seperti : 1. Asas kebebasan berkontrak
Electronic Commerce (E-Commerce) Ditinjau Dari Hukum Perjanjian Dan Uu Ite Di Indonesia
2. Asas konsensual 3. Asas itikad baik 4. Asas keseimbangan 5. Asas kepatutan 6. Asas kebiasaan 7. Asas ganti rugi 8. Asas keadaan memaksa 9. Asas kepastian hukum. Berlakunya asas-asas hukum perjanjian dalam e-commerce, maka ketentuan tentang perikatan tetap berlaku, sehingga berlaku pula Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian yakni : 1. Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya 2. Cakap untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal. Transaksi e-commerce antara pihak e-merchant (pihak yang menawarkan barang atau jasa melalui internet) dengan e-customer (pihak yang membeli barang. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) nomor 11 tahun 2008 merupakan dasar hukum utama bagi e-commerce di Indonesia. UU ITE ini disahkan pada tanggal 21 april 2008 dan mulai berlaku pada saat diundangkan (Pasal 54 ayat 1). Arti penting dari UU ITE ini bagi transaksi e-commerce adalah : a.
Pengakuan transaksi, informasi, dokumen dan tanda tangan elektronik dalam kerangka hukum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin.
b.
Diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan TI (Teknologi Informasi) disertai dengan sanksi pidananya.
Electronic Commerce (E-Commerce) Ditinjau Dari Hukum Perjanjian Dan Uu Ite Di Indonesia
c.
UU ITE berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun diluar Indonesia. Sehingga jangkauan UU ini tidak hanya bersifat lokal saja tetapi juga internasional. III.
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan penulis dalam dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut : 1. Ruang Lingkup Penelitian, dalam pembahasan e-commerce sangat luas kajiannya maka penulis memberikan ruang lingkup (batasan masalah) mengenai kajian kerangka hukum e-commerce, dibatasi dari berbagai aspek yaitu : a. Aspek hukum perjanjian b. Aspek hukum perlindungan konsumen c. Undang-undang tentang Informasi dan transaksi elektronik. 2. Jenis Penelitian, Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penelitian hukum doktrinal atau normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Hal ini sesuai dengan pandangan Soerjono Soekanto dalam bukumya yang berjudul penelitian normatif suatu tinjauan singkat, bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.
Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut
mencakup: a. Penelitian terhadap asas-asas hukum b. Penelitian terhadap sistematik hukum c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal d. Perbandingan hukum e. Sejarah hukum
Electronic Commerce (E-Commerce) Ditinjau Dari Hukum Perjanjian Dan Uu Ite Di Indonesia
Dalam penelitian ini penulis melakukan penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, serta sinkronisasi vertikal atas dokumen yang diteliti terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Sifat Penelitian, Sifat penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini adalah deskriptif, yaitu menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan yang berkaitan dengan judul penulisan hukum yang secara jelas dan rinci kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan yang diteliti. 4. Jenis Data dan Sumber Data, Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, jurnal, artikel internet, maupun arsip-arsip yang berkesesuaian dengan penelitian yang dibahas. Sumber data merupakan tempat di mana dan ke mana data dari suatu penelitian dapat diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder berupa dokumen publik dan catatan-catatan resmi (public documents and official records), Di samping sumber data yang berupa Undang-Undang negara maupun peraturan pemerintah, penulis juga memperoleh data dari beberapa jurnal, buku-buku referensi, dan media massa yang mengulas mengenai e-commerce. Dalam hal ini penulis menggunakan bahan hukum primer, yaitu: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti; Hasil karya ilmiah, Artikel-Artikel dan Hasil-hasil penelitian
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN E-commerce
sebagai
dampak
dari
perkembangan
teknologi
memberikan implikasi pada berbagai sektor, implikasi tersebut salah satunya berdampak pada sektor hukum, pengaturan mengenai masalah e-commerce di Indonesia belum ada aturan yang secara khusus mengatur mengenai masalah tersebut. Pengaturan mengenai e-commerce masih menggunakan aturan dalam
Electronic Commerce (E-Commerce) Ditinjau Dari Hukum Perjanjian Dan Uu Ite Di Indonesia
Buku III KUHPerdata khususnya pengaturan mengenai masalah perjanjian yang terjadi dalam e-commerce. Perjanjian dalam e-commerce terjadi antara kedua belah pihak yang mana salah satu pihak berjanji kepada pihak yang lain untuk melakukan sesuatu. Hal ini sesuai dengan Pasal 1313 KUHPerdata, yang mana disebutkan: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih” Dalam dunia usaha, terdapat klausula baku atau perjanjian baku yang menempatkan posisi tidak seimbang antara pelaku usaha dan konsumen, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang merugikan salah satu pihak yang dalam hal ini konsumen. UUPK tidak merumuskan pengertian perjanjian baku tapi menggunakan istilah klausula baku yang menurut Pasal 1 ayat (10) UUPK dirumuskan sebagai berikut : Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Penggunaan klausula baku dalam transaksi e-commerce adalah hal yang mutlak. Karena dalam e-commerce para pihak tidak berinteraksi secara langsung melainkan berinteraksi menggunakan media elektronik, salah satunya adalah internet. Saat konsumen hendak membeli suatu barang pada suatu website, maka penjual atau merchantakan menyodorkan suatu perjanjian (term and condition) yang berisikan mengenai persyaratan-persyaratan seperti layaknya perjanjian jual beli pada umumnya. Perjanjian (term and condition) inilah yang dapat dikategorikan sebagai klausula baku, karena isi dari perjanjian tersebut ditetapkan secara sepihak. UUPK tidak melarang pelaku usaha untuk membuat klausula baku atas setiap dokumen dan atau perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan atau jasa, selama dan sepanjang perjanjian baku dan atau klausul baku tersebut tidak mencantumkan ketentuan sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat (1), serta tidak berbentuk sebagaimana dilarang dalam pasal 18 ayat (2) UUPK tersebut. Tujuan penggunaan klausula baku dalam kegiatan bisnis sebenarnya adalah untuk menghemat waktu dalam setiap kegiatan jual beli, amat tidak efisien
Electronic Commerce (E-Commerce) Ditinjau Dari Hukum Perjanjian Dan Uu Ite Di Indonesia
apabila setiap terjadi transaksi jual beli antara pihak penjual dan pembeli mereka membicarakan mengenai isi kontrak jual beli. Oleh karena itu dalam suatu kontrak standard dicantumkan klausul-klausul yang umumnya digunakan dalam kontrak jual beli. Kontrak dalam e-commerce jika ditinjau dengan Hukum Perjanjian di Indonesia yang bersumber pada KUHPerdata adalah sah karena telah memenuhi syarat yang diharuskan baik syarat obyektif maupun syarat subyektif, maka sebagaimana halnya kontrak pada umumnya (konvensional) kontrak dalam e-commerce secara tidak langsung haruslah memenuhi berbagai
asas-asas kontrak dalam KUH
Perdata antara lain asas itikad baik, dan kesepakatan (Pacta Sun Servanda). Kontrak dalam e-commerce mengikat dan berlaku bagi para pihaknya ketika kontrak tersebut disepakati oleh kedua belah pihak, hal ini terjadi dikarenakan adanya sifat terbuka dari Buku III KUHPerdata. Meskipun ada salah satu syarat sahnya perjanjian yang tidak terpenuhi yaitu mengenai syarat kecakapan para pihak perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh merchant dan customer tetap berlaku dan mengikat serta menjadi undangundang bagi merchant dan customer karena syarat kecakapan termasuk dalam syarat subyektif dimana suatu syarat meskipun tidak terpenuhi dalam perjanjian tidak menyebabakan perjanjian atau kontrak menjadi tidak sah, namun perjanjian atau kontrak tersebut dapat dimintakan pembatalan. Selain itu kontrak dalam ecommerce juga telah memenuhi asas-asas dalam perjanjian sehingga dengan adanya pemenuhan terhadap syarat sahnya perjanjian menurut KUHPerdata dan asas-asas perjanjian maka Kontrak dalam e-commerce adalah sah dan dapat dikenakan aturan KUHPerdata sebagai pengaturnya Konsumen dalam e-commerce memiliki resiko yang lebih besar dari pada penjual atau merchant-nya. Atau dengan kata lain hak-hak konsumen dalam transaksi e-commerce lebih rentan untuk dilanggar. Hal ini disebabkan karena karakteristik dari e-commerce sendiri, yakni dalam e-commerce tidak terjadi pertemuan secara fisik antara konsumen dengan penjualnya yang kemudian dapat menimbulkan berbagai permasalahan. Permasalahan yang muncul dalam
Electronic Commerce (E-Commerce) Ditinjau Dari Hukum Perjanjian Dan Uu Ite Di Indonesia
e-commerce adalah pelanggaran terhadap privasi dari data tentang seseorang atau dengan kata lain disebut data pribadi, pelanggaran ini biasanya dalam bentuk penyalahgunaan informasi-informasi yang dikumpulkan atas anggota-anggota suatu organisasi, lembaga atau atas pelanggan-pelanggan dari suatu perusahaan. Kebanyakan situs-situs yang melakukan penjualan barang dan jasa mengharuskan pengunjung atau konsumen melakukan registrasi terlebih dahulu sebelum dapat melakukan transaksi jual beli atau memanfaatkan fitur lengkap dari suatu situs. Contoh situs yang mengharuskan registrasi adalah bhineka.com, ebay.com, amazon.com. Form registrasi dari suatu situs mewajibkan pengunjung untuk mengisi informasi-informasi pribadi seperti nama, alamat e-mail, alamat dan kota tempat tinggal, user name dan password, jenis kelamin, tanggal lahir, penghasilan, pekerjaan. Bahkan ada beberapa situs yang mewajibkan konsumen untuk memasukkan nomor kartu kreditnya. Jika hal-hal diatas tidak dilengkapi, maka konsekuensinya adalah pengunjung atau konsumen tidak dapat menikmati fitur lengkap dari suatu situs atau konsumen tidak dapat melakukan transaksi jual beli. Permasalahannya adalah, konsumen tidak mengetahui penggunaan dari data pribadinya, terlebih lagi terhadap informasi-informasi sensitif seperti nama, alamat dan nomor kartu kredit yang apabila disalahgunakan dapat membahayakan dan merugikan pemilik informasi tersebut. UU ITE sudah memberikan perlindungan terhadap data pribadi seseorang, hal ini diatur dalam pasal 26. Dalam ayat 1 disebutkan bahwa: “ kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan ”. Cakupan dari pengertian data pribadi yang dianut oleh Pasal 26 ayat 1 dapat ditemui dalam penjelasannya, yakni : a) Hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan. b) Hak untuk berkomunkasi dengan orang lain tanpa tindakan mematamatai. c) Hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang. Perlindungan hukum terhadap data pribadi oleh Pasal 26 UU ITE sudah cukup memadai, selain karena cakupan pengertian data pribadi yang dianut cukup luas, juga memberikan hak
Electronic Commerce (E-Commerce) Ditinjau Dari Hukum Perjanjian Dan Uu Ite Di Indonesia
mengajukan gugatan kepada orang yang dirugikan atas penggunaan data pribadi orang yang bersangkutan (UU ITE Pasal 26 ayat 2).
V.
KESIMPULAN 1. Kontrak dalam perdagangan melalui internet (e-commerce) belum diatur di dalam Buku III KUHPerdata, pengaturan terhadap kontrak perjanjian dalam
e-commerce dapat digunakan aturan yang berlaku secara
umum. Kontrak dalam
e-commerce mengikat dan berlaku bagi para
pihak ketika kontrak tersebut disepakati oleh kedua belah pihak, hal ini terjadi dikarenakan adanya sifat terbuka dari Buku III KUHPerdata. Meskipun ada salah satu syarat sahnya perjanjian yang tidak terpenuhi yaitu mengenai syarat kecakapan para pihak perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh merchant dan customer tetap berlaku dan mengikat serta menjadi undang-undang bagi merchant dan customer karena syarat kecakapan termasuk dalam syarat subyektif dimana suatu syarat meskipun tidak terpenuhi dalam perjanjian tidak menyebabkan perjanjian atau kontrak menjadi tidak sah, namun perjanjian atau kontrak tersebut dapat dimintakan pembatalan. Selain itu kontrak dalam ecommerce juga telah memenuhi asas-asas dalam perjanjian sehingga dengan adanya pemenuhan terhadap syarat sahnya perjanjian menurut KUHPerdata dan asas-asas perjanjian maka Kontrak dalam e-commerce adalah sah dan dapat dikenakan aturan KUHPerdata sebagai pengaturnya. 2. Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) telah mampu memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi konsumen dalam melakukan transaksi melalui e-commerce, perlindungan hukum tersebut terlihat dalam ketentuan-ketentuan UUPK dan UUITE dimana kedua peraturan tersebut telah mengatur mengenai penggunaan data pribadi konsumen, syarat
sahnya
suatu
transaksi
e-commerce,
penggunaan
CA
(Certification Authority), dan mengatur mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam memasarkan dan memproduksi barang
Electronic Commerce (E-Commerce) Ditinjau Dari Hukum Perjanjian Dan Uu Ite Di Indonesia
dan jasa yang dapat dijadikan acuan bagi obyek dalam transaksi ecommerce. Walaupun UUPK memiliki kelemahan yaitu hanya menjangkau pelaku usaha yang berkedudukan di Indonesia saja, namun kelemahan ini sudah ditutupi oleh UUITE dan berbagai ketentuan perundang-undangan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
J-Satrio, 1995, Hukum Perikatan yang lahir dari perjanjian Buku II, Bandung, PT.Citra Aditya Bakti.
Elistatis
Gultom,
2002,
Perlindungan Konsumen dalam transaksi
E-Commerce, dalam Cyber Law:Suatu Pengantar, Elips, Bandung.
Republik Indonesia, 2008, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang InformaSI dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara RI Tahun 2008, Nomor 58, Kemenkumham, Jakarta.
Republik Indonesia, 1999, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara RI Tahun 1999, Nomor 42, Sekretariat Negara, Jakarta.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1313.