MODUL PERKULIAHAN
UU ITE DAN JURNALISME WARGA
Fakultas
Program Studi
Ilmu Komunikasi
Penyiaran
Tatap Muka
06
Kode MK
Disusun Oleh
MK
A. Sulhardi, S. Sos, M,Si
Abstract
Kompetensi
Citizen Journalism (Jurnalisme Warga) dapat membimbing Warga Negara agar mudah menyalurkan pendapat, baik lisan dan tulisan guna melaporkan atau membuat berita (news), Feature (Artikel Minat insani), dan Opini agar tercapainya masyarakat madani (Civil Society) yang demokratis.
Memahami tentang citizen jurnalism dan prinsip-prinsip dari citizen journalism.
UU ITE DAN JURNALISME WARGA Perkembangan informasi dan teknologi komunikasi mempercepat dinamika pesan dan informasi yang dikirim dan diterima oleh manusia. Proses akselerasi informasi tersebut membuat proses kejenuhan dan overloading informasi yang pada akhirnya membuat informasi tidak lagi dilihat sebagai kebutuhan yang perlu melainkan sebagai sambilan sementara informasi hiburan dan komersial. Kemajuan teknologi sering dalam seluruh proses pengembangannya tidak bisa disangkal akan mereduksi dan mendeterminasikan peran informasi dalam seluruh sistem masyarakat. Berbicara tentang teknologi media maka ukuran yang empirik ada adalah soal eksistensi media komunikasi. Padahal teknologi bukan sekedar soal barang tapi juga soal sistem nilai yang berada di balik teknologi itu sekaligus implikasi logis terhadap masyarakat. Apakah dengan demikian informasi bisa dilihat dan diukur secara empirik. Permasalahan potensial yang lain dan layak di kaji adalah bahwa teknologi komunikasi menimbulkan persoalan akses, yang pada akhirnya akan berhubungan dengan soal kekuasaan dan kapital. Siapa yang bisa menjamin pemerataan informasi dan teknologi ? Selain permasalahan di atas, terdapat masalah yang sangat krusial, yaitu masalah regulasi media baru. Jangan dilupakan bahwa berbagai deregulasi komunikasi dan telekomunikasi
merupakan
pemicu
perkembangan
teknologi
komunikasi
dan
telekomunikasi. Pengembangan sistemik pada jasa komunikasi membawa pengaruh yang sangat jauh pada soal kompetisi, efektivitas, pengembangan aplikasi media komunikasi baru. Sifat alamiah perkembangan teknologi selalu saja mempunyai sisi positif dan negatif. Di samping optimalisasi sisi positif, antisipasi terhadap sisi negatif konvergensi nampaknya perlu diprioritaskan sehingga konvergensi teknologi mampu membawa kebaikan bersama. Pada aras politik ini diperlukan regulasi yang memadai agar khalayak terlindungi dari dampak buruk konvergensi media. Regulasi menjaga konsekuensi logis dari permainan simbol budaya yang ditampilkan oleh media konvergen. Tujuannya jelas, yakni agar tidak terjadi tabrakan kepentingan yang menjadikan salah satu pihak menjadi dirugikan. Terutama bagi kalangan pengguna atau publik yang memiliki potensi terbesar sebagai pihak yang dirugikan alias menjadi korban dari konvergensi media (Straubhaar, 2003). Persoalan pertama regulasi menyangkut seberapa jauh masyarakat mempunyai hak untuk mengakses media konvergen, dan seberapa jauh distribusi media konvergen ‘13
2
New Media & Society A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
mampu dijangkau oleh masyarakat. Problem mendasar dari regulasi konvergensi media dalam konteks ini terkait dengan seberapa jauh masyarakat mempunyai akses terhadap media konvergen dan seberapa jauh isi media konvergen dapat dianggap tidak melanggar norma yang berlaku. Kekhawatiran sebagian kalangan bahwa isi media konvergen pada bagian tertentu akan merusak moral generasi muda merupakan salah satu poin penting yang harus dipikirkan oleh para pelaku media konvergen. Beberapa pertanyaan pokok yang harus dijawab terkait dengan isu regulasi media konvergen adalah; pertama, siapa yang paling berkewajiban untuk membuat format kebijakan yang mampu mengakomodasi seluruh kepentingan aktor-aktor yang telibat dalam konvergensi dan kedua adalah bagaimana isi regulasi sendiri mampu menjawab tantangan dunia konvergen yang tak terbendung. Pertanyaan terakhir ini menarik, karena perkembangan teknologi umumnya selalu mendahului regulasi. Dengan kata lain, regulasi hampir selalu ketinggalan jika dibandingkan dengan perkembangan teknologi komunikasi. Dalam hal penciptaan regulasi konvergensi media, institusi yang paling berwenang membuat regulasi adalah pemerintah atau negara. Cara pandang demikian dapat dipahami jika dilihat dari fungsi negara sebagai agen regulator di dalam menjaga hubungan antara pasar dan masyarakat. Di satu sisi negara memegang kedaulatan publik dan di sisi lain negara mempunyai apparatus yang berfungsi menjaga efektif tidaknya sebuah regulasi. Gambaran ideal dari hubungan tiga aktor konvergensi (negara, pasar, masyarakat) ini mestinya berlangsung secara sinergis dan seimbang. Membangun sebuah regulasi yang komprehensif dan berdimensi jangka panjang tentu saja bukan hal yang mudah. Bahkan dalam konteks perkembangan teknologi komunikasi yang makin cepat, regulasi yang berdimensi jangka panjang nampaknya hampir menjadi satu hal yang mustahil. Adagium tentang regulasi yang selalu ketinggalan dibandingkan perkembangan teknologi mesti disikapi secara bijak. Pasalnya, sebuah bangunan kebijakan selalu mengandung celah multiinterpretasi sehingga bisa saja hal itu dimanfaatkan untuk menampilkan citraan media yang luput dari tujuan kebijakan. Di sisi lain, pada saat sebuah kebijakan disahkan dan dicoba diimplementasikan, boleh jadi telah muncul varian teknologi baru yang tak terjangkau oleh regulasi tersebut. Ini tidak berarti bahwa pembuatan regulasi tak harus dilakukan, bagaimanapun regulasi menjadi kebutuhan mendesak agar teknologi komunikasi baru tidak menjadi instrumen degradasi moral atau menjadi alat kelas berkuasa untuk menidurkan kesadaran orang banyak.
‘13
3
New Media & Society A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Regulasi tetap diperlukan untuk mengawal nilai-nilai kemanusiaan dalam hubungan antar manusia itu sendiri. Beberapa isu menarik layak direnungkan dalam konteks penyusunan regulasi. Pertama adalah bagaimana pengambil kebijakan mendefinisikan batasan sektor-sektor yang akan dikenai kebijakan, misalnya saja soal hukum yang dapat dijalankan. Kedua bagaimana situasi pasar dan hak cipta diterjemahkan. Wilayah ini menyangkut soal self regulation dan kondisi standarisasi hak cipta. Ketiga, bagaimana soal akses pada jaringan media serta kondisi sistem akses itu sendiri. Persoalan seperti pengaturan decoder TV digital maupun content media menjadi layak kaji dalam hal ini. Keempat, akses pada spektrum frekuensi, kelima mengenai standar jangkauan atau sejauh mana media konvergen dapat dijangkau oleh khalayak serta apakah sebuah akses harus disertai dengan harga yang harus dibayar oleh khalayak. Terakhir menyangkut sejauh mana kepentingan khalayak diakomodasi oleh regulasi, misalnya sejauh mana freedom of speech dan kalangan minoritas benar-benar mendapat perlindungan dalam sebuah kebijakan. Permasalahan yang tidak kalah penting adalah perkembangan media baru, yang mempunyai tingkat teknologi dan kemampuannya bisa menghindari regulasi, seperti internet. Memang dirasakan internet memberikan sumbangan konstruktif kepada manusia, tapi tetap saja ada persoalan “kebebasan” yang tidak terkontrol atas efek internet pada masyarakat.Perkembangan teknologi memngahadapkan manusia pada dua persoalan, yaitu aspek positif dan aspek negatif. Antisipasi yang harus dilakukan terhadap saspek negatif ini tidak boleh hanya dipandang ringan dan sederhana saja, sehingga konvergensi media bisa menjadi kegunaan bersama. Konvergensi media ini mau tidak mau akan membawa dampak yang sangat besar bagi banyak kalangan masyarakat,
sehingga
harus
diatur
dengan
jelas
agar
tidak
menimbulkan
permasalahan. Berbicara mengenai aturan, maka dalam ranah politik ini, pemerintah terkait juga sudah harus menyusun regulasi dan undang-undang yang komprehensif berkenaan dengan adanya konvergensi media ini. Regulasi ini diharapkan dapat melindungi masyarakat dan bangsa Indonesia dari dampak buruk adanaya konvergensi media dan menghindari adanya pihak-pihak yang saling merugikan terutama khalayak (masyarakat atau publik) yang memang mempunyai potensi paling besar untuk dirugikan oleh konvergensi media ini. Regulasi akan menyangkut beberapa hal mengenai kemerdekaan khalayak dalam mengakses media konvergen ini dan sejauh apa media konvergen ini dapat dijangkau khalayak. Namun problem utama dan mendasar adalah sejauh mana khalayak diperbolehkan mengakses media konvergen ini dan sejauh apa content dari media
‘13
4
New Media & Society A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
tersebut dianggap relevan dan tidak melanggar norma atau hukum yang ada. Memang banyak kekhawatiran ketika media konvergen terlalu bebas akan menimbulkan banyak akses global dapat memberi dampak buruk seperti pornografi, kekerasan dan nilai-nilai diluar norma-norma Indonesia (ketimuran). Beberpa hal yang penting untuk disimak dan ditindaklanjuti adalah siapa yang harus bertanggung jawab dengan segala regulasi ini? Baik secara penyusunan, penetapan dan operasionalisasinya? Lalu diikuti dengan bagaimana dan apa isi regulasi tersebut? Apa-apa saja yang diaturnya? Ada sebuah fakta menarik dibalik regulasi ini sebenarnya dimana regulasi yang disusun selalu berada dibelakang kemajuan teknologi yang terus berkembang sehingga menempatkan regulasi selalu dalam posisi yang “basi” dan ketinggalan jaman. Kasus ini masih ditambah dengan bagaimana regulasi harus melalui sebuah proses birokrasi yang cukup panjang dalam penetapannya. Hal ini serupa seperti sebuah pepatah diaman “kejahatan ada selangkah lebih maju daripada kebaikan”. Penetapan regulasi menjadi sebuah hal yang sangat krusial dan ini memang sudah seharusnya menjadi tugas pemerintah atau negara. Cara pandang pemerintah atau negara sebagai penanggungjawab pengadaan regulasi pada dasarnya wajar saja bila kita memang melihat fungsi negara sebagai regulatory agent dalam rangka menjaga hubungan antara pasar dengan masyarakat. Dalam hal ini yang paling mudah menggambarkan bagaimana hubungan antara aktor konvergensi adalah bagaimana negara berperan sebagai pemegang kedaulatan publik dan di satu sisi negara juga berkewajiban menjaga efektifitas sebuah regulasi. Untuk dapat terciptanya efektifitas regulasi maka hubungan antara negara, pasar dan masyarakat harus dapat berjalan harmonis dan seimbang. Tugas pemerintah tidaklah mudah, menyusun sebuah regulasi yang mempunyai dimensi jangka panjang bukanlah hal yang sepele. Seperti yang telah saya ungkapkan diatas bahwa pada dasarnya regulasi akan selalu ketinggalan jaman, sebuah regulasi akan keluar setelah teknologi tersebut mulai beranjak. Bahkan bila melihat perkembangan dan lompatan teknologi yang semakin cepat maka pemikiran kepada regulasi yang up to date seakan menjadi hal yang mustahil, karena bisa jadi ketika sebuah kebijakan regulasi ditetapkan maka lompatan teknologi sudah ada pada level yang diatasnya. Tapi pada hakekatnya penyusunan regulasi ini merupakan hal yang sangat penting dan fundamental dan menjadi kebutuhan mendesak dalam rangka membatasi akses kepada teknologi baru yang berpotensi menimbulkan degradasi moral dan efek negatif lainnya. Regulasi tetap diperlukan untuk mengawal nilai-nilai kemanusiaan khususnya budaya Indonesia dalam rangka hubungan intrapersonal.
‘13
5
New Media & Society A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Adanya konvergensi ini menciptakan fenomena akses yang baru dimana orang dapat mengakses dan mengunduh semua content yang dihadirkan oleh media. Hal ini menjadi menarik bila dikaitkan dengan perlindungan dan hak cipta seseorang, sehingga regulasi hendaknya dapat melindungi hasil karya seseorang dan menetapkan hukum-hukumnya. Batasan-batasan mengenai sektor-sektor yang dapat dikenai regulasi sudah seharusnya menjadi bahan kajian yang mendesak, sehingga seseorang dikenai pemberlakuan terhadap akses-akses yang dilakukannya dalam konteks untuk melindungi orang itu sendiri. Selain itu kondisi sistem akses juga sebaiknya diberikan peraturan dan regulasi tersendiri mengingat kebebasan akses yang akan terjadi bila konvergensi media ini dijalankan, misalnya pengaturan decoder TV dan content-nya. Regulasi yang akan disusun juga harus dapat mengakomodir kepentingan khalayak dan mengatur sejauh mana khalayak dapat merepresentasikan dirinya dalam media tersebut, misal freedom of speech dan bagaimana identitas seseorang bisa terlindungi. Berikutnya yang patut diatur dan menjadi urgensi dalam regulasi adalah spektrum freqwensi dan jarak mengenai standar jangkauan serta biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat. Bisa terjadi bahwa media lokal akan menjadi sebuah fenomena nasional bahkan global. Saya ambil contoh Radio Suara Surabaya dimana pada dasarnya radio ini sifatnya lokal dan mempunyai content berita dan informasi yang tentu saja lokal, namun yang terjadi jstru sebaliknya dimana radio Suara Surabaya ini diakes secara nasional dan bahkan global. Hal ini dapat terjadi manakala terjadi seuah konvergensi digitalisasi, Suara Surabaya merupakan salah satu pioneer radio yang terintegrasi dengan internet sehingga memungkinkan adanya streaming. Pada level berikutnya adalah radio ini diakses oleh TKI atau TKW di Asia Timur yang berasal dari Jawa Timur dan sekitarnya dalam rangka mengetahui kabar daerahnya. Dampak yang dibawa disini adalah adanya Multi National Company yang terus beriklan di webite Suara Surabaya, misalnya saja perusahaan pengiriman uang Western Union. Hal ini dilakukan dengan asumsi membeli media lokal namun mendapatkan global dan berpromosi dalam konteks alternatif pengiriman uang aman yang dapat diakses oleh para TKI atau TKW dimanapun di belahan bumi ini. Ranah jurnal sekarang tidak saja untuk mereka yang benar- benar berprofesi sebagai jurnalis, tetapi masyarakat awam yang mempunyai keterbatasan ilmu dalam jurnalistik pun kian latah dengan menyebarkan berita- berita yang terkini. Sekali lagi, konvergensi media dalam bentuk digital lah yang memfasilitasi hal ini, karena digitalisasi media juga berarti penyebaran berita yang real time dengan lag waktu yang semakin sempit. Salah satu contohnya sudah saya tuliskan di atas. ‘13
6
New Media & Society A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Tren akan menyebarkan berita rupanya tidak dapat lagi terbendung. Meledaknya situssitus penyedia layanan blog pribadi seperti blogger.com dan beberapa situs yang menggunakan v-buletin semacam kaskus.us (yang kini pindah domain menjadi kaskus.co.id atau kaskus.com) menawarkan kemudahan dalam menulis berita yang kemudian disebarluaskan secara bebas. Situs- situs tersebut memberikan kemudahan bagi pemilik akunnya untuk menulis sesuatu yang baik itu berupa opini, fakta, atau sekedar copy-paste dari mana pun untuk selanjutnya dapat dipublikasikan dan dapat diakses oleh semua orang. Masalah mulai timbul ketika dengan maraknya blog pribadi dan kemudahan memberikan berita hanya dengan sekali klik, banyak user yang menggunakan celah ini sebagai ajang untuk menyebarkan berita yang tidak jelas. Tentu saja, dengan hanya menulis sesuatu kemudian mem-posting pada blog ataupun situs tertentu dan akan banyak orang yang membaca yang akhirnya percaya pada berita tersebut. Bukanlah sesuatu yang sukar untuk dilakukan jika dikomparasikan dengan menulis berita dan dipublikasikan melalui media konvensional yang mempunyai banyak gatekeeper. Kemudahan dalam mempublikasi ini tak jarang disalahgunakan oleh sebagian orang demi kepentingan tertentu. Dan kembali lagi kepada siapa akan percaya, akan sangat sulit untuk dilacak jika dalam jurnalisme online tersebut tidak terdapat referensi atau sumber berita. Dengan tingkat literasi media yang masih relatif rendah pada masyarakat Indonesia, tentu saja baik disadari ataupun tidak jurnalisme online merupakan salah satu masalah yang masuk dalam skala prioritas untuk dicari solusi dari banyak permasalahannya. Banyak kasus yang terjadi yang tidak tersebar melalui pemberitaan konvensional bahwa berita yang didapat melalui jurnalisme online cenderung menggiring opini masyarakat dan pada imbasnya adalah tindakan yang akan diambil oleh masyarakat. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap berita memang tinggi, apalagi terhadap berita yang tersiar melalui new media yang kadang masih tidak jelas sumbernya. Banyak sekali kasus yang bisa dibahas dalam konvergensi media dalam bentuk new media. Terutama yang sangat disayangkan adalah kelebihan beberapa manusia dalam mengolah berita sehingga menimbulkan kepercayaan akan berita tersebut. Dan sekali lagi kondisi ini diperparah dengan literasi media yang masih minim pada kalangan masyarakat Indonesia.
Regulasi dan Peran Pemerintah
‘13
7
New Media & Society A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Sungguh perkara yang tidak gampang untuk membuat suatu UU. Apalagi bentuk regulasi tersebut harus melewati tahapan yang panjang mengingat “wajah” birokrasi kita yang masih carut marut. Yang sedang terjadi pada Indonesia sekarang ini adalah bentuk dan rupa regulasi selalu muncul setelah ada kasus dan perkembangan teknologinya. Ibaratnya bentuk peraturan tersebut selalu selangkah lebih mundur daripada studi kasusnya. Keberadaan new media memang tidak bisa tidak untuk dikesampingkan.
Pada
dasarnya
serta
pemerintah
melalui
badan
eksekutif
menerapkan
regulasi
memberlakukan UU yang telah dibuat oleh badan legislatif. Sebutlah UU no 36 Tahun 1999 membahas tentang telekomunikasi; UU No 32 tahun 2002 Tentang Penyiaran dan UU no 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dan lagi telah sejak lama ada Kode Etik Jurnalisme yang menurut hemat saya, sudah jelas ada peran sentral pemerintah dalam mengatur tentang kebebasan arus informasi walaupun masih dalam lingkup yang kurang maksimal. Sejatinya dengan UU yang telah diberlakukan pemerintah, aturan main dalam konvergensi media dan jurnalisme online telah ada. Namun, masalah yang ditimbulkan masih saja bermunculan.
Blogger dan Jurnalisme Warga Ketika Junta Militer Burma gencar melakukan tindak kekerasan, hingga pembunuhan, terhadap para pendemo pada 2007 lalu, Pemerintah Burma menguasai pers di negara yang tengah bergolak itu. Sehingga, nyaris tak ada berita tentang kekejaman militer terhadap pendemo, termasuk kaum biksu, yang berasal dari media massa mainstream. Namun, masyarakat dunia tak kehilangan akses untuk mendapatkan informasi seputar konflik itu. Adalah para blogger yang berjasa mengabarkan fakta di Burma kepada dunia. Tak hanya tulisan, para penulis bermedia internet ini juga menampilkan foto-foto kekejaman militer. Mereka bisa leluasa menyebarkan informasi karena tak berada dalam sebuah institusi media massa konvensional. Mereka berada di rumah-rumah, di mana pun, sehingga sulit ditemukan oleh aparat Pemerintah Burma. Fenomena warga sipil yang secara mandiri menulis dan mempublikasi berita melalui internet ini memang sedang berkembang di dunia, terutama di Eropa dan Amerika Serikat. Gejala ini lalu populer disebut citizen jurnalism atau jurnalisme warga. Yakni,
‘13
8
New Media & Society A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
warga menulis berita secara sukarela lalu dimuat di blog, website, dan media publikasi lainnya. Di Indonesia, jurnalisme warga pun sudah mulai merebak. Kehadirannya juga dipicu oleh upaya membangun pers yang tak terikat oleh kepentingan pemodal. Dikaitkan dengan potensi kriminalisasi surat pembaca dan keluhan, maka kehadiran jurnalisme warga menjadi strategis. Sebagai media penyeimbang, jurnalisme warga jadi sangat dibutuhkan. Sebab, setidaknya, si penulis memiliki cantolan UU Pers. Bandingkan dengan kasus Aseng dan Prita yang karena tak dapat berpegang pada UU yang membela kepentingannya, maka pihak penuntut mengaitkannya dengan UU ITE. Cuma memang, UU Pers sendiri harus dibangun lagi wibawanya. Tugas inilah yang semestinya juga menjadi PR para wakil rakyat. Karena pers dan DPR hakikatnya ada tak lain adalah untuk rakyat, maka semestinyalah para wakil rakyat berjuang bersama pers untuk membela rakyat. Bukan malah membuat UU yang mengebiri kebebasan pers dan kebebasan berpendapat rakyat. Bila perlu, DPR mendukung perkembangan jurnalisme warga, agar mereka lebih mudah mendengar suara warga, suara rakyat. Apalagi, sejumlah anggota DPR suka mengajukan alasan bahwa masalah di negeri ini sangat banyak, perlu waktu lama untuk mempelajari semuanya. Nah, konten dari jurnalisme warga bisa jadi jendela ‘belajar’ tentang persoalan rakyat. Maka, eksistensi jurnalisme warga bukan saja perlu diperhitungkan, melainkan juga perlu dikembangkan, baik kualitas maupun kuantitasnya. Tinggal masalahnya para pelaku jurnalisme warga memang perlu meningkatkan semua kemampuan dasar menulis jurnalistik. Perlu dipelajari bagaimana membuat tulisan yang memenuhi kaidah jurnalistik. Sehingga, penulis setidaknya bisa bernaung di bawah UU Pers ketika ada ancaman UU ITE terhadap tulisannya. Setelah itu, mereka bisa mengirim tulisan ke website-website yang menggunakan konsep jurnalisme warga, seperti beritabersama.com atau presstalk.com. Jadi, kalau toh ada ancaman tuntutan berbasis UU ITE, si penulis tak berdiri sendiri. Karena, kontennya menjadi tanggung jawab pengelola website tersebut. Pada dasarnya, di Indonesia belum ada peraturan perundang-undangan yang secara spesifik mengatur tentang jurnalisme warga (citizen journalism). Kegiatan jurnalistik untuk diberitakan adalah pekerjaan dari wartawan sebagai pekerja jurnalistik. Menurut Pasal 1 angka 4 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”), wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Dalam pembuatan berita
‘13
9
New Media & Society A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
sendiri, wartawan memiliki pedoman yang salah satunya adalah setiap berita harus melalui
verifikasi.
Dan
dalam
menjalankan
tugasnya,
wartawan
mendapat
perlindungan hukum (Pasal 8 UU Pers). Walaupun Saudara menjalankan praktik jurnalistik, tetapi jika Saudara bukanlah wartawan, Saudara tidak mendapatkan perlindungan hukum sebagai wartawan atas tindakan pengambilan dan penyebarluasan gambar tersebut. Tindakan Saudara memiliki risiko untuk dapat dituntut atas dasar pencemaran nama baik sesuai Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Akan tetapi, menurut Pasal 310 ayat (3) KUHP, perbuatan seseorang bisa tidak dikategorikan sebagai tindak pidana pencemaran nama baik bila dilakukan untuk membela kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Dalam artikel Ancaman Pencemaran Nama Baik Mengintai, Prof. Muladi berpendapat bahwa tetap ada pembelaan bagi pihak yang dituduh melakukan pencemaran nama baik apabila menyampaikan suatu informasi ke publik. Pertama, penyampaian informasi itu ditujukan untuk kepentingan umum. Kedua, untuk membela diri. Ketiga, untuk mengungkapkan kebenaran. Di sisi lain, jika foto tersebut disebarluaskan ke media sosial di internet, ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UUITE”) juga dapat diberlakukan: “Setiap Orang
dengan sengaja,
dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Pelanggaran atas pasal ini diancam dengan Pasal 45 ayat (1) UUITE yakni pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar. Bisa dilihat bahwa tindak pidana pencemaran nama baik yang diatur dalam UU ITE tidak memiliki pengecualian seperti dalam KUHP. Pengaturan dalam UU ITE memang lebih tegas dan strict. Namun, tindak pidana pencemaran nama baik ini merupakan delik aduan (Pasal 319 KUHP) yakni, hanya bisa diproses ketika ada pengaduan dari orang yang merasa dicemarkan nama baiknya.
‘13
10
New Media & Society A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Kesimpulan Dalam menanggapi isu jurnalisme online yang menggiring kepada pemunculan opini publik dan dikhawatirkan akan menimbulkan reaksi yang bermacam- macam; pemerintah selaku badan eksekutif mempunyai peran sentral yang seharusnya didukung. Keberadaan konvergensi media berarti pula kemunculan kemudahan setiap orang untuk mengakses semua hal yang disuguhkan pada media. Pemerintah juga perlu mewaspadai hak- hak setiap user dalam perlindungan dan hak cipta seseorang. Tentunya, regulasi berperan dalam melindungi hak cipta seseorang ini, hanya saja regulasi dan bentuk peraturan lainnya juga harus memayungi apa dan siapa saja berhak mendapatkan lindungan hukum. Batasan mengenai apa saja yang boleh diakses dan boleh untuk dipublikasikan dalam media adalah harga yang mutlak untuk ditelaah lebih lanjut lagi. Walaupun sering terngiang istilah freedom of speech namun, tetap saja tidak semua hal boleh diungkapkan dalam media, khususnya isu- isu yang berkaitan dengan SARA, ataupun hal- hal yang juga tidak jelas kebenarannya. Tidak boleh hanya mengandalkan peran sentral pemerintah saja. Kita pun, sebagai user sangat perlu menyadai bahwa dalam kebebasan berpendapat, dalam konteks ini pada media, terdapat hukum dan norma yang berlaku. Kesadaran tinggi untuk tetap berjalan dalam lintas norma dan hukum sangat penting untuk ditegakan; sebagai bangsa yang mengaku Pancasila dan mengakui norma- norma serta hukum yang berlaku.
‘13
11
New Media & Society A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka Dizzard, Wilson, 2007, The Coming of Information Age, Longman:New York Giddens, Anthony, 2001, The Third Way and Its Critics, SAGE:London Littlejohn, Stephen dan Karen Foss, 2008, Theories of Human Communication. Wadsworth:USA McKeown,
Patrick
G.,
2006,
Information
Technology
and
The
Networked
Economy,Harcourt:Orlando http://ekawenats.blogspot.com/2010/05/literasi-informasi-masyarakat-dan-media.html http://konvergensi.komunikasi.or.id/19/post/2012/09/konvergensi-media-jurnalisme-onlinedan-regulasi.html
‘13
12
New Media & Society A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id