i digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI KERUGIAN DITINJAU DARI HUKUM PERASURANSIAN DI INDONESIA
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh Ayu Agustina Arini E0007091
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011 commit to user
i
ii digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI KERUGIAN DITINJAU DARI HUKUM PERASURANSIAN DI INDONESIA
Oleh Ayu Agustina Arini E0007091
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta,
Juli 2011
Pembimbing,
Djuwityastuti, S.H., M.H. NIP. 19540511 198003 2 001
commit to user
ii
iii digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI KERUGIAN DITINJAU DARI HUKUM PERASURANSIAN DI INDONESIA
Oleh Ayu Agustina Arini E0007091 Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada : Hari Tanggal
1. TUHANA, S.H., M.Si Ketua
: :
DEWAN PENGUJI :
2. Pujiono, S.H., M.H. Sekretaris
:
3. Djuwityastuti, S.H., M.H Anggota
:
Mengetahui Dekan,
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. NIP. 19570203 commit to198503 user 2 001
iii
iv digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama NIM
: :
Ayu Agustina Arini E0007091
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : “Prinsip Subrogasi Dalam Perjanjian (Polis) Asuransi Kerugian Ditinjau Dari Hukum Perasuransian Di Indonesia” adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta,
Juli 2011
Yang membuat pernyataan,
Ayu Agustina Arini NIM. E0007091
commit to user
iv
v digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ABSTRAK Ayu Agustina Arini. E 0007091. 2011. PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN
(POLIS)
ASURANSI
KERUGIAN
DITINJAU
DARI
HUKUM PERASURANSIAN DI INDONESIA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah dalam perjanjian asuransi kerugian terdapat prinsip subrogasi sebagaimana ditentukan hukum perasuransian di Indonesia, baik di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan juga Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian. Penulisan ini merupakan penulisan hukum normatif bersifat preskriptif dengan pendekatan perundang-undangan. Penulisan hukum (skripsi) ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan teknik riset kepustakaan dan cyber media serta bahan pustaka. Teknik analisis yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah interpretasi dengan pola berpikir deduktif, yang berpangkal pada prinsip-prinsip dasar kemudian menghadirkan obyek yang ingin diteliti. Berdasarkan hasil penulisan dan pembahasan dihasilkan beberapa simpulan, bahwa di dalam ketentuan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang telah termuat secara tegas mengenai ketentuan subrogasi. Ketentuan tersebut juga diperkuat di dalam Polis Standart Asuransi Kebakaran Indonesia yang dikeluarkan oleh PT Wahana Tata Tahun 2005 tepatnya di dalam Pasal 16 dan juga termuat di dalam Polis Standart Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia yang dikeluarkan oleh Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) melalui Surat Keputusan Nomor 06 Tahun 2007 di dalam Pasal 22, yang mempunyai legitimasi hukum dimana proses pengalihan kedudukan dari tertanggung kepada penanggung atau yang disebut subrogasi hanya dapat terjadi apabila penanggung telah memberikan penggantian kerugian pada tertanggung. Polis Standar Asuransi Kebakaran dan Polis Standar Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia masing-masing sudah mengakomodir konsep subrogasi dalam polisnya. Jadi bagi para pihak, baik pihak tertanggung maupun penanggung memiliki hak dan kewajiban masing-masing, baik untuk mengajukan klaim atau hak subrogasi yang diperoleh penanggung untuk menuntut ganti kerugian kepada pihak ketiga.
Kata Kunci : Asuransi Kerugian, Prinsip Subrogasi, Ganti Rugi
commit to user
v
vi digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ABSTRACT
Ayu Agustina Arini. E 0007091. 2011. PRINCIPLE OF SUBROGATION IN LOSS INSURANCE (POLICY) AGREEMENT VIEWED FROM INSURANCE LAW IN INDONESIA. Faculty Of Law, Sebelas Maret University. This research aims to determine whether the insurance contract there is the principle of subrogation as provided insurance law in Indonesia, both in the Book of the Law of Commercial Law and Law No. 2 of 1992 on Insurance Business. This research is a normative law is prescriptive approach to legislation. This research uses primary, secondary and teritary legal materials. A technique to find the legal materials made with library research techniques, cyber media and also library materials research. The analysis technique used in this research is the interpretation of the pattern of deductive reasoning, which stem from the basic principles and then bring the object you want explained. Based on the results of research and discussion of the resulting conclusion, that in the Book of the provisions of Article 284 of Commercial Law Act has contained provisions expressly concerning subrogation. Provisions are also strengthened in the Standard Fire Insurance Policy issued by PT Indonesian Forum for Tata in 2005 precisely in Article 16 and also contained in the Standard Automobile Insurance Policy issued by the Indonesian General Insurance Association of Indonesia (AAUI) through Decree No. 06 Year 2007 in its Article 22 which have legal legitimacy which the process of transferring the position of the insured to the insurer or the so-called subrogation can only occur if the insurer has provided indemnity to the insured. The Standard Fire Insurance Policy and Standards Policy Automobile Insurance Indonesia each had to accommodate the concept of subrogation in the policy. So for the parties, both the insured and the insurer has the rights and obligations of each, either to file a claim or right of subrogation obtained by the insurer to sue for losses to third parties.
Keywords: Loss Insurance, Principles Subrogation, Indemnity
commit to user
vi
vii digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah, karunia, kesabaran, dan jalan kemudahan sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini guna melengkapi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Adapun judul dari penulisan hukum (skripsi) Penulis adalah “Prinsip Subrogasi Dalam Perjanjian (Polis) Asuransi Kerugian Ditinjau Dari Hukum Perasuransian Di Indonesia”. Dalam penulisan hukum (skripsi) ini, Penulis telah berusaha sebaik mungkin namun karena keterbatasan yang dimiliki, Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dari penyajian materi maupun penyampaiannya. Untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran bagi berbagai pihak guna memberikan masukan demi kesempurnaan penilisan hukum (skripsi) ini. Dalam masa penulisan hukum (skripsi) ini Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Penulis banyak sekali menerima bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ayah dan Ibu tercinta yang telah mencurahkan kasih sayang dan doa serta tidak henti-hentinya memberi semangat kepada Penulis ; 2. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret ; 3. Ibu Rahayu Subekti, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik Penulis ; 4. Ibu Djuwityastuti, S.H., M.H.,
selaku Dosen Pembimbing yang telah
bersedia dengan teliti dan sabar memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan penulisan hukum (skripsi) ini, sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini ; 5. Seluruh Dosen dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Terima kasih atas ilmu yang telah diberikan selama Penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;
commit to user
vii
viii digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6. Sahabat-sahabatku “Amalia Taufani, Sri Wahyu Febrina Handarbeni, Yuni Asih, Amelia Intiastuti dan Ardatila Intan Nabilla” yang selama ini telah memberikan
semangat,
dukungan
dan
membantu
Penulis
dalam
menyelesaikan penelitian hukum (skripsi) ini ; dan 7. Semua teman-teman angkatan 2007 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Akhir kata, dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya, Penulis berharap penulisan hukum (skripsi) ini dapat bermanfaat baik bagi Penulis sendiri maupun bagi para pembaca dan dapat digunakan untuk kemajuan bangsa dan negara.
Surakarta,
Juli 2011
Penulis
Ayu Agustina Arini
commit to user
viii
ix digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ..............................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ..............................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................
iv
ABSTRAK ..............................................................................................
v
ABSTRACT ............................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ...........................................................................
vii
DAFTAR ISI ..........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...............................................................
1
B. Rumusan Masalah .......................................................................
5
C. Tujuan Penulisan Hukum (Skripsi) .............................................
6
D. Manfaat Penulisan Hukum (Skripsi) ............................................
6
E. Metode Penulisan Hukum (Skripsi) .............................................
7
F. Sistematika Penulisan Hukum (Skripsi) .......................................
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori.............................................................................
15
1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian .......................................
15
a. Pengertian Perjanjian ..........................................................
15
b. Syarat Sahnya Perjanjian ....................................................
16
c. Unsur-Unsur Perjanjian ......................................................
17
d. Prinsip-Prinsip Perjanjian ................................................... to user e. Hapusnya Perjanjian commit ...........................................................
18
ix
20
x digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Tinjauan Umum Tentang Asuransi .........................................
21
a. Pengertian Asuransi ............................................................
21
b. Risiko Dalam Asuransi Kerugian .......................................
25
c. Subyek dan Obyek Asuransi ...............................................
28
d. Prinsip-Prinsip Dalam Perjanjian Asuransi .......................
33
e. Polis Asuransi ....................................................................
38
f. Premi Asuransi ...................................................................
41
g. Berakhirnya Perjanjian Asuransi .......................................
41
3. Tinjauan Umum Tentang Prinsip Subrogasi Dalam Hukum Asuransi di Indonesia .............................................................
42
a. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata .................
42
b. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang .................
43
c. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 ..................
45
B. Kerangka Pemikiran .....................................................................
47
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Prinsip Subrogasi Dalam Perjanjian (Polis) Asuransi Kerugian ………………………………………………………49 B. Pengajuan Klaim Oleh Tertanggung Ketika Hak Klaim Tidak Terpenuhi .................................................................
BAB IV
60
PENUTUP A. Kesimpulan .....................................................................
73
B. Saran ...............................................................................
75
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
76
LAMPIRAN ...........................................................................................
78
commit to user
x
xi digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kerangka Berpikir .................................................................
commit to user
xi
47
xii digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
1. Contoh Polis Standar Kebakaran Indonesia (PSKI) yang dikeluarkan oleh PT. Wahana Tata Tahun 2005. 2. Contoh Polis Standar Kendaraan Bermotor Indonesia (PSKBI) yang dikeluarkan oleh Asosiasi Asuransi Umum Indonesia melalui Surat Keputusan Nomor 06 Tahun 2005.
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan merupakan suatu anugerah yang paling berharga dan bernilai tinggi bagi setiap umat manusia. Namun tidak semua umat manusia menyadari betapa pentingnya arti kehidupan. Seringkali setiap keputusan yang diambil oleh manusia membahayakan keselamatannya dan juga selalu mengandung sebuah risiko. ”Risiko adalah kemungkinan kerugian yang akan dialami, yang diakibatkan oleh bahaya yang mungkin terjadi, tetapi tidak diketahui lebih dahulu apakah akan terjadi dan kapan akan terjadi” (Radiks Purba, 1992 : 29). Risiko-risiko tersebut bersifat tidak pasti, tidak diketahui apakah akan terjadi dalam waktu dekat atau dikemudian hari, apabila risiko tersebut betul-betul terjadi, tidak diketahui berapa kerugiannya secara ekonomis. Timbulnya risiko tersebut membuat manusia dalam menjalani kegiatan dan aktifitasnya diliputi oleh perasaan yang tidak nyaman. Suatu ketika seseorang mendengar kabar bahwa rumahnya habis terbakar, kemudian ada yang mendengar bahwa mobilnya mengalami kecelakaan dan rusak parah, serta ada juga sejumlah orang meninggal dunia atau mengalami luka-luka akibat kecelakaan pada kendaraan bermotor, pesawat udara maupun kapal laut yang mereka gunakan atau tumpangi. Kerugian yang ditimbulkan dari risiko-risiko tersebut di atas mempunyai nilai ekonomis dan financial yang tidak sedikit yang mungkin dapat mengakibatkan kebangkrutan dan merugikan hajat hidup orang banyak. Salah satu cara untuk mengatasi risiko tersebut adalah dengan cara mengalihkan risiko (transfer of risk) kepada pihak lain di luar diri manusia. Pada saat ini, pihak lain penerima risiko dan mampu mengelola risiko tersebut adalah perusahaan asuransi. Perusahaan asuransi menyediakan berbagai produk asuransi sesuai dengan kebutuhan manusia karena asuransi merupakan salah satu hasil peradaban manusia dan merupakan hasil evaluasi kebutuhan manusia yang sangat commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
hakiki akan rasa aman dan terlindungi, terhadap kemungkinan menderita dari segala macam jenis kerugian. Asuransi sebagai lembaga keuangan bukan bank semakin mendapat tempat di tengah-tengah masyarakat kita, baik dilihat dari sisi pengusaha maupun dari sisi kebutuhan masyarakat, bahkan hampir dalam seluruh hal mereka harus berurusan dengan pertanggungan. Namun, pengalihan risiko kepada perusahaan asuransi tidak terjadi begitu saja tanpa kewajiban apa-apa kepada pihak yang mengalihkan risiko. Hal tersebut harus diperjanjikan terlebih dahulu dengan apa yang disebut perjanjian asuransi. Dalam perjanjian asuransi pihak yang mengalihkan risiko disebut sebagai tertanggung dan pihak yang menerima pengalihan risiko disebut sebagai penanggung. Adanya perjanjian pertanggungan ini membawa konsekuensi yaitu adanya hak dan kewajiban bagi para pihak. Perjanjian akan berjalan dengan baik apabila para pihak melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama, dan akan menimbulkan suatu permasalahan apabila terdapat salah satu pihak yang ingkar janji atau tidak memenuhi isi dari perjanjian yang telah disepakati. Perjanjian pertanggungan merupakan suatu perjanjian timbal balik yang senilai, dimana kedua belah pihak masing-masing mempuyai kewajiban untuk membayar premi yang besarnya telah ditentukan oleh penanggung. Penanggung sendiri, mempunyai kewajiban untuk mengganti kerugian yang diderita oleh tertanggung. Seperti tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1774 yang menyatakan bahwa : Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu. Demikian adalah : 1. Perjanjian pertanggunggan; 2. Bunga cagak hidup; dan 3. Perjudian dan pertaruhan.
Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yang dimaksud dengan asuransi / pertanggungan adalah : kepada
Perjanjian dengancommit mana to seorang user penanggung mengikatkan diri seorang tertanggung dengan memperoleh premi, untuk
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu. Peristiwa yang tidak pasti dalam pengertian asuransi tersebut di atas adalah peristiwa terhadap mana asuransi diadakan, tidak dapat dipastikan terjadi dan tidak diharapkan akan terjadi. Pengertian asuransi dalam Pasal 1 angka 1 Undang–Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yaitu : Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Jenis usaha asuransi berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian terbagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu : 1. Usaha asuransi kerugian, yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti; 2. Usaha asuransi jiwa, yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan; dan 3. Usaha reasuransi, yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa.
Asuransi kerugian menganut beberapa prinsip asuransi yang terkait erat satu dengan yang lainnya, yaitu prinsip indemnitas dan prinsip subrogasi, Dimana prinsip subrogasi merupakan konsekuensi logis dari prinsip idemnitas (keseimbangan). Prinsip indemnitas ini merupakan salah satu prinsip utama dalam perjanjian asuransi, karena merupakan prinsip yang mendasari mekanisme kerja dan memberi arah tujuan dari perjanjian asuransi itu sendiri (khusus untuk asuransi kerugian). ”Perjanjian asuransi mempunyai tujuan utama dan spesifik commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
4 digilib.uns.ac.id
ialah untuk memberi ganti kerugian kepada pihak tertanggung oleh pihak penangung” (Sri Rejeki Hartono, 2001 : 98). Obyek yang diasuransikan terkena musibah sehingga menimbulkan kerugian, maka penanggung akan memberi ganti rugi untuk mengembalikan posisi keuangan tertanggung setelah terjadi kerugian menjadi sama dengan sesaat sebelum terjadi kerugian. Dengan demikian tertanggung tidak berhak memperoleh ganti rugi lebih besar daripada kerugian yang diderita. Prinsip ini dapat dijumpai pada awal pengaturan perjanjian asuransi, yaitu Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang : seorang tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu. Prinsip indemnity ini berkaitan prinsip subrogasi, dengan suatu keadaan dimana kerugian yang dialami tertanggung merupakan akibat dari kesalahan pihak ketiga (orang lain). Prinsip ini memberikan hak perwalian kepada penanggung oleh tertanggung jika melibatkan pihak ketiga. Seperti diatur dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang menyatakan bahwa : Seseorang penanggung yang telah membayar ganti kerugian atas suatu benda yang dipertanggungkan, menggantikan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian tersebut, dan tertanggung bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap pihak ketiga tersebut. Dapat ditarik sebuah kesimpulan, apabila tertanggung mengalami kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pihak ketiga, maka setelah memberikan ganti rugi kepada tertanggung, akan mengganti kedudukan tertanggung dalam mengajukan tuntutan kepada pihak ketiga tersebut. Karena dalam prinsip subrogasi mengedepankan prinsip keseimbangan sehingga pihak tertanggung tidak akan menerima ganti rugi ganda (Double Pay) dari pihak penanggung dan pihak ketiga serta bertujuan untuk mencegah pihak ketiga melarikan diri dari tanggung jawab dengan sepenuhnya menyerahkan tanggung jawab penggantian kepada pihak penanggung. Dengan demikian, prinsip subrogasi yang telah tercantum dalam Pasal 284 user Kitab Undang-Undang Hukum commit Dagangtomerupakan suatu perlindungan yang
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diberikan oleh hukum kepada penanggung yaitu perusahaan asuransi dalam hal melaksanakan perjanjian asuransi kerugian yang telah dilakukan dengan tertanggung apabila terjadi evenement yang menimbulkan kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga. Dalam hal kerugian yang diakibatkan oleh pihak ketiga, maka munculah prinsip subrogasi yang memiliki kaitan hubungan yang erat antara tertanggung, penanggung dan pihak ketiga dalam hal penggantian kerugian yang diterima tertanggung. Perusahaan asuransi sebagai sebuah perusahaan yang menerima peralihan risiko ( transfer of risk ) akan memberikan ganti rugi untuk mengembalikan posisi keuangan tertanggung setelah terjadi kerugian menjadi sama dengan sesaat sebelum terjadi kerugian. Lain halnya ketika kerugian yang diakibatkan oleh evenement atau peristiwa yang tidak pasti itu disebabkan oleh pihak ketiga, penanggung tidak serta merta langsung memberikan penggantian kerugian. Karena dalam evenement ini, terjadi campur tangan dari pihak ketiga baik secara sengaja maupun tidak. Maka berlakulah prinsip subrogasi sesuai dengan keadaan di atas, dengan terlebih dahulu menganalisis kemungkinan kerugian antara pihakpihak. Berdasarkan uraian sebelumnya, Penulis hendak mengkaji prinsip subrogasi dalam asuransi kerugian ditinjau dari hukum perasuransian di Indonesia melalui sebuah penulisan hukum yang berjudul : PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN (POLIS) ASURANSI KERUGIAN DITINJAU DARI HUKUM PERASURANSIAN DI INDONESIA.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam rencana penulisan hukum (skripsi) ini penulis merumuskan masalah yang hendak diteliti sehingga dapat memudahkan penulis dalam mengumpulkan, menyusun, menganalisa, dan megkaji data secara lebih rinci. Adapun pokok permasalahan yang hendak dikaji dalam penulisan ini adalah : 1. Apakah prinsip subrogasi dalam hal perasuransian terdapat di dalam perjanjian (polis) asuransi kerugian?
commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Apa yang harus dilakukan oleh Tertanggung jika hak atas klaim tidak terpenuhi?
C. Tujuan Penulisan Hukum (Skripsi)
Suatu rencana penulisan hukum (skripsi) harus mempunyai tujuan yang hendak dicapai dengan jelas. Tujuan penulisan hukum (skripsi) diperlukan untuk memberikan arah dalam mencapai tujuan penulisan hukum (skripsi). Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan hukum (skripsi) ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui bagaimana prinsip subrogasi dalam perjanjian (polis) asuransi kerugian ditinjau dari hukum Perasuransian di Indonesia; dan b. Untuk mengetahui langkah-langkah apa yang dapat dilakukan oleh Tertanggung ketika hak atas klaimnya tidak terpenuhi.
2. Tujuan Subyektif a. Untuk menambah pengetahuan Penulis di bidang hukum perdata mengenai prinsip subrogasi dalam perjanjian (polis) asuransi kerugian ditinjau dari hukum perasuransian di Indonesia; b. Untuk melatih kemampuan Penulis dalam menerapkan teori ilmu hukum, mengembangkan dan memperluas wacana pemikiran serta pengetahuan yang didapat selama masa perkuliahan guna menganalisis mengenai prinsip subrogasi dalam perjanjian (polis) asuransi kerugian ditinjau dari hukum perasuransian di Indonesia; dan c. Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penulisan Hukum (Skripsi)
Suatu penulisan hukum (skripsi) tentunya diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Adapun manfaat yang penulis harapkan dari penulisan hukum (skripsi) ini yaitu : commit to user 1. Manfaat Teoritis
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Hasil penulisan hukum (skripsi) ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Ilmu Hukum pada umumnya, dan Hukum Perdata pada khususnya; dan b. Hasil penulisan hukum (skripsi) ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur kepustakaan tentang prinsip subrogasi dalam perjanjian
(polis)
asuransi
kerugian
ditinjau
(skripsi)
ini
dari
hukum
perasuransian di Indonesia. 2. Manfaat Praktis a. Melalui
penulisan
hukum
diharapkan
dapat
mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengembangkan kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh selama di bangku kuliah; b. Melalui penulisan hukum (skripsi) ini diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman, memberikan tambahan masukan dan pengetahuan kepada pihak-pihak terkait dengan masalah yang sedang diteliti, dan juga kepada berbagai pihak yang berminat pada permasalahan yang sama; dan c. Melalui
penulisan
hukum
(skripsi)
ini
diharapkan
dapat
memberikan sumbangan pemikiran bagi berbagai pihak yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung, dalam upaya pelaksanaan hukum asuransi di Indonesia.
E. Metode Penulisan Hukum (Skripsi)
Penulisan hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 35). Penulisan hukum digunakan untuk mencari pemecahan masalah hukum atau isu hukum yang timbul. Penulisan hukum merupakan suatu penulisan di dalam kerangka Know-How di dalam hukum. “Hasil yang dicapai adalah untuk preskripsi dalam memecahkan masalah commit to user yang dihadapi” (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 41).
perpustakaan.uns.ac.id
8 digilib.uns.ac.id
Adapun metode penulisan yang digunakan dalam penulisan ini dapat dijelaskan sebagi berikut :
1. Jenis Penulisan Berdasarkan penulisan dan rumusan masalah, penulisan ini dilakukan termasuk dalam kategori penulisan hukum doktrinal atau penulisan hukum kepustakaan (Doctrinal Research). Menurut Hutchinson dalam buku Peter Mahmud Marzuki, Doctrinal Research adalah : “Research which provides a systematic axposition of the rules governing a particular legal category, analyses the relationship between rules, explain areas of difficulty, and perhaps predict future development” ( Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 32). Penulisan hukum doktrinal atau normatif, terdiri atas :
a. Penulisan pada ranah dogmatig hukum; b. Penulisan pada ranah teori hukum; dan c. Penulisan pada ranah filsafat hukum. Jenis penulisan hukum normatif atau penulisan hukum dokrinal (doctrinal research) yang digunakan penulis adalah penulisan pada ranah dogmatig hukum, yaitu penulisan berdasarkan bahan-bahan hukum (library based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahanbahan hukum primer dan sekunder (Johnny Ibrahim, 2006 : 44). Penulisan hukum normatif atau penulisan hukum dokrinal pada dasarnya adalah penulisan terhadap bahan-bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik kesimpulan. 2. Sifat Penulisan Ilmu hukum mempunyai karateristik sebagai ilmu yang bersifat preskriftif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 22). Dari hasil telaah dapat dibuat opini atau pendapat hukum. Opini atau pendapat dikemukakan oleh ahli hukum merupakan suatu preskripsi. Untuk dapat memberikan preskripsi
to userMahmud Marzuki, 2006: 37). itulah guna praktik penulisancommit hukum (Peter
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan definisi tersebut, penulis akan mencoba mengkaji tentang prinsip subrogasi dalam asuransi kerugian ditinjau dari hukum perasuransian di Indonesia.
3. Pendekatan Penulisan Penulisan normatif dapat dilakukan dalam berbagi pendekatan. Dari pendekatan itu yang akan diperoleh jawaban yang diharapkan atas permasalahan hukum yang diajukan. Pendekatan yang dipakai dalam penulisan hukum yaitu : a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach); b. Pendekatan kasus (case approach); c. Pendekatan historis (historical approach); d. Pendekatan perbandingan (comparative approach); dan e. Pendekatan konseptual (conseptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 93).
Penulisan
hukum
(skripsi)
ini
menggunakan
pendekatan
perundang-undangan (statute approach). Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang ada dan semua regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang dikaji. Dalam metode pendekatan perundang-undangan ini, penulis perlu memahami hierarki dan prinsip-prinsip dalam peraturan perundang-undangan (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 93). Adapun beberapa peraturan perundang-undangan yang penulis gunakan, antara lain : 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; 2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang; 3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian; dan 4) Peraturan
Pemerintah
Nomor
73
Tahun
1992
tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian Di Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992
commit to user
trntang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Jenis dan Sumber Data Dalam buku Penulisan Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki, beliau mengatakan bahwa pada dasarnya penulisan hukum tidak mengenal adanya “Data”, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum. Dalam penulisan ini bahan hukum yang penulis gunakan, yaitu :
a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat dan bersifat autoratif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah di dalam pembuatan peraturan perundangundangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer dalam penulisan ini adalah : 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; 2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang; 3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian; dan 4) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 41). Bahan hukum sekunder berupa data yang diperoleh secara tidak langsung dari kepustakaan yaitu berupa buku-buku, dokumendokumen,, jurnal hukum, artikel-artikel, internet dan sumber-sumber lainnya yang memilki korelasi, khususnya yang berkaitan dengan penulisan hukum penulis.
commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa kamus hukum atau kamus bahasa Indonesia untuk menjelaskan maksud atau pengertian istilah-istilah yang sulit untuk diartikan.
5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penulisan ini adalah studi kepustakaan atau studi dokumen. Teknik ini merupakan teknik pengumpulan data dengan mempelajari, membaca, dan mencatat bukubuku, literatur, catatan-catatan, peraturan perundang-undangan, serta artikelartikel penting dari media internet yang erat kaitannya dengan pokok-pokok masalah yang digunakan untuk menyusun penulisan hukum ini yang kemudian dikategorikan menurut pengelompokan yang tepat.
6. Teknik Analisis Data Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk memperoleh hasil penulisan menjadi laporan. Teknik analisis yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan metode silogisme dan interpretasi dengan menggunakan pola berpikir deduktif. Pola berpikir deduktif yaitu berpangkal dari prinsip-prinsip dasar, kemudian penulis tersebut menghadirkan objek yang hendak diteliti. Sedangkan metode silogisme yang menggunakan pendekatan deduktif menurut yang diajarkan Aristoteles yaitu berpangkal dari pengajuan premis mayor. Kemudian diajukan premis minor, dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion ( Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 46). Penulisan tersebut telah memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu dan praktek hukum. Interpretasi dibedakan menjadi interpretasi berdasarkan kata undang-undang, interpretasi berdasarkan kehendak pembentuk undangundang, interpretasi sistematis, interpretasi histories, interpretasi teleologis, interpretasi antisipatoris,dan interpretasi modern ( Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 106-107).
commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Adapun metode interpretasi yang digunakan dalam penulisan ini adalah :
a. Interpretasi Berdasarkan Undang-Undang Interpretasi ini berdasarkan dari makna kata-kata yang terdapat di dalam undang-undang. Intertpretasi ini dikenal dengan sebutan interpretasi harafiah atau interpretasi literal atau plain meaning yakni berdasarkan kata-kata yang tertuang dalam undang-undang. Interpretasi ini akan dapat dilakukan apabila kata-kata yang di gunakan dalam undang-undang itu singkat artinya tidak berteletele, tajam, artinya akurat mengenai apa yang dimaksud dan tidak mengandung sesuatu yang bersifat dubious atau makna ganda. Hal itu sesuai dengan karakter undang-undang sebagai perintah atau aturan ataupun larangan (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 108-112). b. Interpretasi Sistematis Interpretasi sistematis yaitu interpretasi dengan melihat kepada hubungan di antara aturan dalam suatu undang-undang yang saling bergantung. Di samping itu, harus dilihat pula bahwa hubungan itu tidak bersifat teknis, melainkan juga harus dilihat prinsip yang melandasinya. Landasan pemikiran interpretasi sistematis adalah undang-undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satu pun ketentuan di dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri ( Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 111-112).
F. Sistematika Penulisan Hukum (Skripsi)
Penulisan dalam penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan, dan penutup. Selain itu, ditambah dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran. Adapun sistematika yang terperinci adalah sebagai berikut :
commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB I
:
PENDAHULUAN Pada bab ini penulis mengemukakan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II
:
TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini penulis memaparkan sejumlah landasan teori atau penjelasan secara teoritik dari para pakar dan doktrin hukum berdasarkan literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan penulisan yang diangkat. Tinjauan pustaka dibagi menjadi dua (2) yaitu : 1. Kerangka
teori,
yang
berisikan
tinjauan
mengenai Perjanjian, Asuransi, dan Prinsip subrogasi dalam Hukum Perasuransian
di
Indonesia; dan 2. Kerangka pemikiran, yang berisikan gambaran alur berpikir dari penulis berupa konsep yang akan dijabarkan dalam penulisan ini.
BAB III
:
PEMBAHASAN Pada bab ini penulis hendak menguraikan pembahasan dan hasil perolehan dari penulisan yang dilakukan. Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka dalam bab ini penulis akan membahas mengenai prinsip subrogasi dalam perjanjian ( polis ) asuransi kerugian ditinjau dari hukum perasuransian di Indonesia.
BAB IV
:
PENUTUP Pada bab ini penulis mengemukakan kesimpulan hasil to user penulisan commit serta memberikan saran yang yang relevan
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan penulisan terhadap pihak-pihak yang terkait dengan penulisan tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian a. Pengertian Perjanjian Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts. Sedeangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan overeenkomst (perjanjian). Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dipersetujuan itu. Pengertian perjanjian itu sendiri diatur dalam Pasal 1313 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, yang berbunyi : “ Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih lainnya.” Definisi perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini, memiliki beberapa kelemahan. Diantaranya definisi perbuatan sangatlah luas, perbuatan yang seperti apa yang dapat disebut perjanjian. Kemudian mengikatkan diri untuk berbuat apa dan bagaimana, tidak tercantum secara jelas mengenai prestasi yang harus diperbuat ( Salim HS, 2003 : 25). Menurut pendapat Sri Soedewi Masjehoen Sofwan, perjanjian adalah perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih. Sedangkan menurut R. Wiryono Prodjodikoro menyebutkan “Perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal, atau tidak melakukan suatu hal sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan
janji
itu”
(www.tips-belajar-internet-blogspot.com/pengertian-
perjanjian.html).
commit to user
15
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Syarat Sahnya Perjanjian Adapun syarat sah perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah : 1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan perjanjian. Bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan. 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Dalam Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan orang-orang yang tidak cakap dalam melaksanakan suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, dan istri. Namun dalam perkembangannya, seorang istri dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang diatur didalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. SEMA Nomor 3 Tahun 1963. 3) Suatu pokok persoalan tertentu. Suatu hal tertentu terkait dengan obyek perjanjian atau prestasi yang wajib dipenuhi. Prestasi dalam perjanjian harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Kejelasan objek perjanjian sangat diperlukan dalam pemenuhan prestasi (hak dan kewajiban). 4) Suatu sebab yang tidak terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undangundang, kesusilaan, dan ketertiban umum ( Salim HS, 2003 : 33). Keempat syarat sah perjanjian di atas digolongkan menjadi syarat obyektif perjanjian dan syarat subyektif perjanjian. Jadi, syarat sah perjanjian yaitu : a) Syarat Subyektif (1) Kesepakatan antara kedua belah pihak ; (2) Kecakapan para pihak. Kedua syarat di atas merupakan syarat subyektif
commit to user
karena mengenai para pihak dan orang-orangnya/subjek
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang mengadakan perjanjian. Apabila kedua syarat di atas tidak dipenuhi, maka prjanjian dapat dibatalkan atau dapat dilanjutkan, sesuai kesepaktan para pihak ( Munir Fuady, 2001 : 34). b) Syarat Obyektif (1) Suatu hal tertentu; dan (2) Suatu sebab yang halal. Kedua syarat di atas merupakan syarat obyektif karena berkaitan dengan obyek perjanjian. Apabila kedua syarat di atas tidak dipenuhi, maka perjanjian dianggap batal demi hukum, atau dapat dikatakan perjanjian dianggap tidak pernah ada sebelumnya ( Munir Fuady, 2001 : 34).
c. Unsur-Unsur Perjanjian Berdasarkan perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam perjanjian, antara lain : 1) Unsur Esensialia (Essensial Unsure) Unsur esensialia adalah unsur yang wajib ada dalam suatu perjanjian, bahwa tanpa keberadaan unsur tersebut, maka perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi berbeda, akibatnya menjadi tidak sesuai dengan kehendak para pihak. 2) Unsur Naturalia ( Natural Unsure) Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur esensialia jual beli, pasti terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersenbunyi.
commit to user 3) Unsur Aksidentalia (Accidental Unsure)
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak. Unsur aksidentalia merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Misalnya dalam jual beli, unsur aksidentalia adalah ketentuan mengenai tempat dan saat penyerahan kebendaan yang dijual atau dibeli.
d. Prinsip-Prinsip Perjanjian Ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diberikan berbagai prinsip-prinsip umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batasan dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya. Prinsip-prinsip umum dalam perjanjian tersebut antara lain : 1) Prinsip Personalia Prinsip ini diatur dalam ketentuan Pasal 1315 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, yang berbunyi “Pada umumnya tidak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri. 2) Prinsip Kebebasan Berkontrak Prinsip yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan
siapapun,
menentukan
isi
perjanjian,
pelaksanaan,
persyaratannya, dan menentukan bentuk perjanjian yang tertulis atau tidak tertulis selama tidak bertentangan dengan ketentuan undangundang. Seperti tertera dalam ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang-
commit to user
Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa “Suatu sebab
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan Kesusilaan baik atau Ketertiban umum.” 3) Prinsip Pacta Sunt Servanda Prinsip ini adalah suatu perjanjian yang dibuat secara sah mempunyai ikatan hukum yang penuh, yang diatur di dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.” 4) Prinsip Konsensualisme Prinsip konsensualisme mempunyai pengertian bahwa suatu perjanjian sudah sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat, tentunya selama syarat sah perjanjian lainnya sudah terpenuhi, jadi dengan adanya kata sepakat, perjanjian tersebut pada prinsipnya sudah mengikat dan sudah mempunyai akibat hukum sehingga mulai saat itu juga sudah timbul hak dan kewajiban diantara para pihak ( Salim HS, 2003 : 9). Prinsip-prinsip
yang
terdapat
dalam
hukum
perjanjian
itu
memperlihatkan bahwa sistem yang dianut pada Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sistem terbuka yang memberikan kebebasan seluasluasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian sesuai dengan apa yang dikehendaki, selama tidak bertentangan dan melanggar ketentuan undangundang, ketertiban umum serta kesusilaan. Dan perkembangan perjanjian dapat mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin maju, dimana muncul macam-macam perjanjian baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat. e. Hapusnya Perjanjian Menurut Salim HS, cara berakhirnya perjanjian, yaitu : a) Jangka waktunya berakhir; b) Dilaksanakan objek perjanjian; c) Kesepakatan kedua belah pihak; d) Pemutusan secara sepihak oleh salah satu pihak; dan
commit to user (Salim HS, 2003 : 165). e) Adanya putusan pengadilan.
perpustakaan.uns.ac.id
20 digilib.uns.ac.id
2. Tinjauan Umum Tentang Asuransi a. Pengertian Asuransi Asuransi dalam Bahasa Belanda disebut ”verzekering” atau juga berarti pertanggungan. Secara yuridis, pengertian asuransi atau pertanggungan menurut Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang adalah :
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan diderita karena suatu peristiwa yang tak tertentu. Pengertian asuransi menurut Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang mendefinisikan mengenai asuransi kerugian, karena secara historis ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang kebanyakan diambil dari asuransi laut, yang merupakan asuransi kerugian yang paling lengkap peraturannya. Dalam Jurnal Essentials and Legalities of an Insurance Contract menyebutkan : Insurance means the act of securing the payment of a sum of money in the event of loss or damage to property, life, a person etc., by regular payment of premiums. Insurance is a method of spreading over a large number of persons, a possible financial loss too serious to be conveniently borne by an individual. The aim of all insurance is to protect the owner from a variety of risks which he anticipates. The happening of the specified event must involve some loss to the assured or at least should expose him to adversity which is, in the law of insurance, called commonly the ‘risk’ (G. Gopalakrishna. 2008:6). Adapun terjemahan dalam bahasa Indonesia dari jurnal di atas yaitu : “Asuransi berarti tindakan mengamankan pembayaran jumlah uang dalam hal terjadi kerugian atau kerusakan properti, kehidupan, dan lain-lain orang, dengan pembayaran premi berkala. Asuransi adalah sebuah metode untuk menyebarkan ke sejumlah besar orang, kerugian keuangan yang mungkin terlalu serius untuk bisa mudah ditanggung oleh individu. Tujuan dari semua asuransi adalah untuk melindungi pemilik dari berbagai risiko yang mengantisipasi. Terjadinya beberapa peristiwa tersebut berkaitan commit to user dengan beberapa kerugian atau setidaknya harus mengekspos dia
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dari kesulitan yang, dalam hukum asuransi, biasanya disebut dengan 'risiko'.”. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian, yang dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan adalah : Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Dari definisi ini dapat ditentukan beberapa unsur penting dalam pertanggungan, yaitu : 1) Ada pihak-pihak yaitu penanggung dan tertanggung jadi merupakan perjanjian timbal balik; 2) Peralihan risiko dari tertanggung kepada penanggung; 3) Premi dari tertanggung kepada penanggung; 4) Peristiwa yang tidak tentu; dan 5) Ganti Kerugian (Abdulkadir Muhammad, 2002 : 28).
Asuransi atau pertanggungan merupakan suatu perjanjian, maka didalamnya paling sedikit terdapat dua pihak yang mengadakan kesepakatan. Pihak yang satu adalah pihak yang mengalihkan risiko kepada pihak lain, yang disebut dengan tertanggung. Sedangkan pihak yang lain adalah pihak yang menerima risiko dari pihak tertanggung, yang disebut dengan penanggung, yaitu perusahaan asuransi. Perjanjian dalam asuransi merupakan perjanjian dengan ciri dan sifat khusus, jika dibandingkan dengan perjanjian lainnya. Kekhususan tersebut antara lain : a) Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang bersifat aleatair (aleatary), maksudnya ialah bahwa perjanjian ini merupakan perjanjian, yang prestasi penanggung harus digantungkan pada suatu peristiwa yang to belum commit userpasti, sedangkan prestasi tertanggung
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sudah pasti. Dan meskipun tertanggung sudah memenuhi prestasinya dengan sempurna, pihak penanggung belum pasti berprestasi dengan nyata; b) Perjanjian asuransi adalah perjanjian bersyarat (conditional), maksudnya adalah bahwa perjanjian ini merupakan suatu perjanjian yang prestasi penanggung hanya akan terlaksana apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian dipenuhi. Pihak tertanggung pada suatu sisi tidak berjanji untuk memenuhi syarat, tetapi ia tidak dapat memaksa penanggung melaksanakan, kecuali dipenuhi syarat-syaratnya; c) Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang bersifat pribadi (personal), maksudnya ialah bahwa kerugian yang timbul harus merupakan kerugian orang perorangan, secara pribadi, bukan kerugian kolektif ataupun kerugian masyarakat luas. Kerugian yang bersifat pribadi itulah yang nantinya akan diganti oleh penanggung; d) Perjanjian asuransi sebagai perjanjian sepihak, maksudnya dalam perjanjian asuransi prinsipnya hanya ada satu pihak yang berjanji akan mengganti kerugian yang dilakukan penanggung, yaitu jika tertanggung sudah membayar premi dan sebaliknya penanggung tidak berjanji apapun pada penanggung; e) Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang melekat pada syarat penanggung (adhesion), karena di dalam perjanjian asuransi pada hakikatnya syarat dan kondisi perjanjian hampir seluruhnya ditentukan diciptakan oleh penanggung / perusahaan asuransi sendiri, dan bukan karena adanya kata sepakat yang murni atau menawar. Oleh karena itu dapat dianggap bahwa kondisi perjanjian asuransi sebagian besar ditentukan sepihak oleh penanggung sehingga penanggung dianggap sebagai penyusun perjanjian dan seharusnya mengetahui apabila timbul pengertian yang tidak jelas, harus diuntungkan pihak tertanggung; dan f) Perjanjian asuransi adalah perjanjian dengan syarat itikad baik yang sempurna, maksudnya ialah bahwa perjanjian asuransi
commit to user
merupakan perjanjian dengan keadaan kata sepakat dapat
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tercapai / negosiasi dengan posisi masing-masing mempunyai pengetahuan yang sama mengenai fakta, dengan penilaian sama penelaahannya untuk memperoleh fakta yang sama pula, sehingga dapat bebas dari cacat-cacat tersembunyi ( Man Suparman Sastrawidjaja, 2003 : 18 ).
Sifat kekhususan perjanjian asuransi juga nampak dari syarat sahnya perjanjian asuransi. Syarat sah perjanjian asuransi, yaitu : (1) Kesepakatan antara kedua belah pihak dalam : (a) Benda yang menjadi obyek asuransi; (b) Pengalihan risiko dan pembayaran premi; (c) Evenement dan ganti kerugian; (d) Syarat khusus asuransi; dan (e) Dibuad secara tertulis. (2) Kecakapan atau kewenangan melakukan perbuatan hukum. Dibagi menjadi 2, yaitu : (a) Kewenangan subyektif dimana pihak-pihak yang melakukan perjanjian asuransi dewasa, sehat, dan tidak berada dibawah pengampuan; dan (b) Kewenangan
obyektif
dimana
tertanggung
mempunyai hubungan yang sah dengan benda yang dijadikan obyek asuransi. (3) Obyek pertanggungan tertentu yang dapat berupa : (a) Harta kekayaan; (b) Kepentingan yang melekat pada diri tertanggung; dan (c) Jiwa manusia itu sendiri. (d) Kausa yang halal, tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan ; dan (4) Pemberitahuan ( Notifications) Dalam teori obyektifitas dimana tertanggung mempunyai kewajiban memberitahukan (Notify) keadaan benda yang dipertanggungkan kepada penanggung, apabila tertanggung
commit to user
lalai memberitahukan maka perjanjian asuransi dinyatakan
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
batal sebagai akibat hukumnya. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( Abdulkadir Muhammad, 2002 : 49 ).
Mengingat asuransi adalah perjanjian, maka ketentuanketentuan perikatan dan perjanjian yang terdapat dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat berlaku bagi perjanjian asuransi, selama ketentuan-ketentuan Kitab UndangUndang Hukum Dagang tidak mengatur atau sebaliknya.
b. Risiko Dalam Asuransi Kerugian Dalam asuransi, risiko sangat diperlukan untuk menganalisis berbagai cara untuk memberikan perlindungan terhadap obyek pertanggungan. Definisi atau pengertian risiko diartikan beragam oleh para ilmuwan. Hal ini merupakan akibat luasnya ruang lingkup serta banyaknya segi-segi yang mempengaruhinya, sehingga tergantung dari sudut pandang dan titik berat dari mana seseorang itu melihat dan mengamati. Pengertian risiko menurut Radiks Purba adalah: ”Kemungkinan kerugian yang akan dialami, yang diakibatkan oleh bahaya yang mungkin terjadi tapi tidak diketahui lebih dahulu apakah akan terjadi dan kapan akan terjadi ( Radiks Purba, 1992 : 29). Sedangkan Sri Rejeki Hartono, mengartikan risiko sebagai ketidakpastian tentang terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa yang menciptakan kerugian ( Sri Rejeki Hartono, 2001 : 58). Mempelajari tentang asuransi, khususnya asuransi kerugian risiko cukup dilihat sebagai ketidakpastian akan terjadinya kerugian atau peristiwa yang tidak diharapkan terjadi. Dengan demikian setiap terjadi kejadian hanya perlu memfokuskan pada dua hal pokok, yakni “Ketidakpastian” (uncertainty) dan “Kerugian” (loss). Segala sesuatu yang dapat dipastikan akan terjadi, tidak dapat disebut sebagai risiko. Misalnya, kematian. Kematian adalah suatu hal yang pasti terjadi, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai risiko. Namun kapan matinya seseorang adalah sesuatu hal yang tidak pasti sehingga dapat dikategorikan sebagai risiko. Kriteria risiko dalam asuransi, diantaranya :
commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Bahaya yang mengancam benda atau obyek asuransi; 2) Berasal dari factor ekonomi, alam, dan manusia; 3) Diklasifikasikan menjadi risiko pribadi, harta kekayaan, dan tanggung jawab; dan 4) Hanya berpeluang menimbulkan kerugian ( Abdulkadir Muhammad, 2002 : 118).
Berdasarkan sifatnya risiko dibagi menjadi dua, yaitu : risiko murni (pure risk) dan risiko spekulatif (speculative risk). Dalam risiko murni kemungkinan yang akan timbul hanyalah dua hal yaitu adanya kerugian (loss) atau tidak adanya kerugian (no loss). Sebagai contoh, ketika kita berkendara menuju ke suatu tempat, kita menghadapi risiko kecelakaan atau tidak terjadi kerugian apapun sampai di tujuan. Sedangkan dalam risiko spekulatif, kemungkinan yang timbul tidak hanya kemungkinan adanya kerugian atau tidak adanya kerugian, namun juga adanya kemungkinan dapat menimbulkan keuntungan bagi salah satu pihak dan menimbulkan kerugian bagi pihak lain ( Sri Rejeki Hartono, 2001 : 64). Risiko berdasarkan obyek yang dikenai dapat dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu : a) Risiko perorangan atau pribadi (personal risk); Risiko perorangan berhubungan dengan kematian atau ketidakmampuan dari seseorang, dapat mengenai jiwa atau kesehatan seseorang. Misalnya, kematian merupakan suatu hal yang sudah pasti terjadi, akan tetapi mengenai kapan matinya seseorang itu tidak dapat dipastikan. Seseorang juga pada suatu dapat tidak mampu lagi bekerja karena kecelakaan. b) Risiko harta kekayaan (property risk); dan Risiko harta kekayaan dapat terjadi, karena suatu peristiwa secara tiba-tiba tanpa diduga sebelumnya. Misalnya, seseorang konglomerta tiba-tiba saja mengalami musibah took-tokonya terbakar, sehingga secara langsung took-toko miliknya musnah, dan secara tidak langsung seseorang tersebut kehilangan
to user keuntungan commit akibat toko-tokonya terbakar.
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Risiko tanggung jawab (liability risk) Risiko tanggung jawab berhubungan dengan kerugian yang menimpa pihak ketiga akibat perbuatan seseorang. Misalnya karena kelalaian seseorang dalam mengemudikan kendaraan menimbulkan kecelakaan dan mengakibatkan kerugian kepada pihak ketiga, maka sesorang tersebut bertanggung jawab untuk mengganti kerugian ( Sri Rejeki Hartono, 2001 : 50 ). Di dalam kenyataannya, ada beberapa usaha manusia untuk mengatasi suatu risiko, yaitu:
(1)
menghindari risiko (avoidance);
(2)
mencegah risiko (prevention);
(3)
mengalihkan risiko (transfer); dan
(4)
menerima risiko (assumption or retention) (Sri
Rejeki Hartono, 2001 : 69). Usaha untuk mengatasi risiko yang berhubungan dengan asuransi adalah memperalihkan risiko. Adalah tidak mungkin bagi para penanggung untuk menanggung segala risiko.
Risiko-risiko
yang
dapat
dialihkan
kepada
penanggung adalah risiko-risiko yang dapat diasuransikan (insurable risk). Karakteristik risiko-risiko yang dapat diasuransikan, adalah : (a) Risiko tersebut dapat menimbulkan kerugian yang dapat dinilai dengan uang. Misalnya, kerusakan harta benda dimana tingkat rugi dapat diukur dari biaya perbaikannya; (b) Kerugian tersebut timbul akibat bahaya atau evenement; (c) Risiko
tersebut
haruslah
risiko
murni,
sehingga usaha untuk mencari keuntungan commit to user dari adanya kerugian dapat dicegah;
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(d) Tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan; dan (e) Tertanggung mempunyai Insurable Interest tersendiri ( Abdulkadir Muhammad, 2002 : 119).
c. Subyek dan Obyek Asuransi Subyek dalam perjanjian asuransi adalah pihak-pihak yang bertindak aktif yang melaksanakan perjanjian itu, yaitu : 1) Pihak Tertanggung Pengertian tertanggung secara umum adalah pihak yang mengalihkan risiko kepada pihak lain dengan membayarkan sejumlah premi. Berdasarkan Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang dapat bertindak sebagai tertanggung adalah :
Bilamana seseorang yang mempertanggungkan untuk diri sendiri, atau seseorang, untuk tanggungan siapa diadakan pertanggungan oleh seorang yang lain, pada waktu pertanggungan tidak mempunyai kepentingan atas benda tidak berkewajiban mengganti kerugian. Berdasarkan Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tersebut yang berhak bertindak sebagai tertanggung adalah pihak yang mempunyai interest (kepentingan) terhadap obyek yang dipertanggungkan. Apabila kepentingan tersebut tidak ada, maka pihak penanggung tidak berkewajiban memberikan ganti kerugian yang diderita pihak tertanggung. Pasal 264 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menentukan, selain mengadakan perjanjian asuransi untuk kepentingan diri sendiri, juga diperbolehkan mengadakan perjanjian asuransi untuk kepentingan pihak ketiga, baik berdasarkan pemberian kuasa dari pihak ketiga itu sendiri ataupun di luar pengetahuan pihak ketiga yang berkepentingan. commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tertanggung
dalam
pelaksanaan
perjanjian
asuransi
mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan, sehingga apabila terjadi peristiwa yang tidak diharapkan yang terjamin kondisi polis maka penanggung dapat melaksanakan kewajibannya. Hak-hak tertanggung adalah : a) Menuntut agar polis ditandatangani oleh penanggung (Pasal 259 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang); b) Menuntut agar polis segera diserahkan oleh penanggung (Pasal 260 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang); dan c) Meminta ganti kerugian ( Man Suparman Sastrawidjaja, 2003 : 20).
Sementara itu yang menjadi kewajiban tertanggung adalah : a) Membayar premi kepada penanggung (Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang); b) Memberikan keterangan yang benar kepada penanggung mengenai obyek yang diasuransikan (Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang); c) Mencegah atau mengusahakan agar peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian terhadap obyek yang diasuransikan tidak terjadi atau dapat dihindari; apabila dapat dibuktikan oleh penanggung, bahwa tertanggung tidak berusaha untuk mencegah terjadinya peristiwa tersebut dapat menjadi salah satu alasan bagi penanggung untuk menolak memberikan ganti kerugian bahkan sebaliknya menuntut ganti kerugian kepada tertanggung (Pasal 283 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang); dan d) Memberitahukan kepada penanggung bahwa telah terjadi peristiwa yang menimpa obyek yang diasuransikan, berikut usaha–usaha pencegahannya ( Man Suparman Sastrawidjaja, 2003 : 21). 2) Pihak Penanggung Pengertian penanggung secara umum, adalah pihak yang
commit to user menerima pengalihan risiko dimana dengan mendapat premi, berjanji
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
akan mengganti kerugian atau membayar sejumlah uang yang telah disetujui, jika terjadi peristiwa yang tidak dapat diduga sebelumnya, yang mengakibatkan kerugian bagi tertanggung. Dari pengertian penanggung tersebut di atas, terdapat hak dan kewajiban yang mengikat penanggung. Hak-hak dari penanggung adalah : a) Menerima premi dari tertanggung sesuai perjanjian; b) Mendapatkan keterangan dari tertanggung berdasar prinsip itikad baik (Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang); c) Hak-hak lain sebagai imbalan dari kewajiban tertanggung; d) Memiliki premi dan bahkan menuntutnya dalam hal peristiwa yang diperjanjikan terjadi tetapi disebabkan oleh kesalahan tertanggung sendiri (Pasal 276 Kitab UndangUndang Hukum Dagang); e) Memiliki premi yang sudah diterima dalam hal asuransi batal atau gugur yang disebabkan oleh perbuatan curang dari tertanggung (Pasal 282 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang); dan f) Melakukan asuransi kembali kepada penanggung yang lain, dengan maksud untuk membagi risiko yang dihadapinya (Pasal 271 Kitab Undang Undang Hukum Dagang) (Man Suparman Sastrawidjaja, 2003 : 22).
Sedangkan kewajiban dari penanggung adalah : a) Memberikan ganti kerugian atau memberikan sejumlah uang kepada tertanggung apabila peristiwa yang diperjanjian terjadi, kecuali jika terdapat hal yang dapat menjadi alasan untuk membebaskan dari kewajiban tersebut; b) Menandatangani dan menyerahkan polis kepada tertanggung (Pasal 259, Pasal 260 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang); c) Mengembalikan premi kepada tertanggung jika asuransi
commit to user
batal atau gugur, dengan syarat tertanggung belum
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menanggung risiko sebagian atau seluruhnya (premi restorno, Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang); dan d) Dalam asuransi kebakaran, penanggung harus mengganti biaya yang diperlukan untuk membangun kembali apabila dalam asuransi tersebut diperjanjikan demikian (Pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) ( Man Suparman Sastrawidjaja, 2003 : 23).
Badan hukum penyelenggara perasuransian dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, disebut perusahaan perasuransian. Kemudian jenis usaha perasuransian seperti tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian tersebut adalah : (1) Perusahaan asuransi kerugian, yaitu perusahaan atau usaha
asuransi
yang
penanggulangan
risiko
memberikan atas
kerugian,
jasa
dalam
kehilangan
manfaat dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti; (2) Perusahaan asuransi jiwa, yaitu perusahaan atau usaha asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan; dan (3) Perusahaan reasuransi, yaitu perusahaan atau usaha asuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi kerugian dan atau perusahaan asuransi jiwa. 3) Obyek Pertanggungan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 menyatakan bahwa : Obyek asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang rusak, rugi, dan atau
commit to user berkurang nilainya.
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sementara itu ketentuan dalam Pasal 268 Kitab UndangUndang Hukum Dagang menyatakan bahwa : ”Pertanggungan dapat berpokok semua kepentingan, yang dapat dinilai dengan uang, diancam oleh suatu bahaya, dan oleh undang-undang tidak terkecualikan.”
d. Prinsip-Prinsip dalam Perjanjian Asuransi Suatu perjanjian asuransi tidak cukup hanya dipenuhi syarat umum perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata saja, tetapi harus pula memenuhi prinsip-prinsip khusus yang diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Dagang. Hal ini agar sistem perjanjian asuransi tersebut dapat dipertahankan, karena suatu norma tanpa dilengkapi dengan prinsip tidak mempunyai kekuatan mengikat. Prinsip-prinsip tersebut antara lain :
1) Prinsip Kepentingan Yang Dapat Diasuransikan (Principle of Insurable Interest) Prinsip ini dijabarkan dalam Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang menentukan bahwa :
Apabila seorang yang telah mengadakan pertanggungan untuk diri sendiri, atau apabila seorang, yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat diadakannya pertanggungan itu tidak mempunyai kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu, maka penanggung tidaklah diwajibkan memberikan ganti rugi. Kepentingan yang terdapat dalam Pasal 250 Kitab UndangUndang Hukum Dagang harus memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 268 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang di mana kepentingan tersebut dapat dinilai dengan uang, dapat diancam oleh suatu bahaya dan tidak dikecualikan oleh undang-undang. Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan dapat timbul dari beberapa hal sebagai berikut : commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a) Adanya kepemilikan atas harta benda atau tanggung gugat seseorang kepada orang lain dalam hal kelalaian; b) Adanya kontrak. Menempatkan suatu pihak dalam suatu hubungan yang diakui secara hukum dengan harta benda atau tanggung jawab yang menjadi pokok perjanjian itu. Misalnya,
dalam perjanjian
kontrak sewa
bangunan,
perjanjian kredit; dan c) Adanya undang-undang. Misalnya, di Indonesia terdapat asuransi keselamatan kerja yang diatur dengan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
2) Prinsip Indemnitas atau Prinsip Keseimbangan (Indemnity Principle) Prinsip ini merupakan salah satu prinsip utama dalam perjanjian asuransi, karena merupakan prinsip yang mendasari mekanisme kerja dan memberi arah tujuan dari perjanjian asuransi itu sendiri (khusus untuk asuransi kerugian). ”Perjanjian asuransi mempunyai tujuan utama dan spesifik ialah untuk memberi ganti kerugian kepada pihak tertanggung oleh pihak penangung” (Sri Rejeki Hartono, 2001 : 98). Apabila obyek yang diasuransikan terkena musibah sehingga menimbulkan kerugian, maka penanggung akan memberi ganti rugi untuk mengembalikan posisi keuangan tertanggung setelah terjadi kerugian menjadi sama dengan sesaat sebelum terjadi kerugian. Dengan demikian tertanggung tidak berhak memperoleh ganti rugi lebih besar daripada kerugian yang diderita.
3) Prinsip Itikad Baik (Utmost Good Faith Principle) Prinsip itikad baik merupakan prinsip atau prinsip yang harus ada dan dilaksanakan dalam setiap perjanjian. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1388 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa : “Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Penekanan terhadap berlakunya prinsip itikad terbaik dalam perjanjian asuransi diatur secara tegas dalam Pasal 251 Kitab
commit to user
Undang-Undang Hukum Dagang yang menyatakan :
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si tertanggung, betapapun itikad baik ada padanya, yang demikian sifatnya, sehingga, seandainya si penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup atau tidak ditutup dengan syarat-syarat yang sama mengakibatkan batalnya perjanjian. Hal untuk melaksanakan itikad baik bukan hanya merupakan kewajiban tertanggung, namun juga menjadi kewajiban penanggung. Pihak penanggung
yaitu pihak
Asuransi tidak dibenarkan memberikan pernyataan atau keterangan yang tidak benar pada saat merundingkan penutupan
asuransi;
penanggung
tidak
dibenarkan
menyembunyikan fakta-fakta yang dapat merugikan posisi tertanggung.
4) Prinsip Subrogasi atau Prinsip Perwalian (Subrogation Principle) Prinsip Subrogasi pada dasarnya hanya dikenal dalam asuransi kerugian bukan asuransi sejumlah uang. Karena di dalam asuransi kerugian, bertujuan untuk mengganti kerugian yang timbul pada harta kekayaan tertanggung yang disebabkan sebuah evenement yang terjadi akibat campur tangan pihak ketiga. Sedangkan pada asuransi sejumlah uang bertujuan untuk membayar sejumlah uang tertentu dan tidak tergantung apakah evenement menimbulkan kerugian atau tidak. Prinsip ini berkaitan dengan suatu keadaan dimana kerugian yang dialami tertanggung merupakan akibat dari kesalahan pihak ketiga (orang lain). Prinsip ini memberikan hak perwalian kepada penanggung oleh tertanggung jika melibatkan pihak ketiga. Prinsip ini diatur dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang menyatakan bahwa :
Seseorang penanggung yang telah membayar ganti kerugiancommit atas tosuatu user benda yang dipertanggungkan, menggantikan tertanggung dalam segala hak yang
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diperolehnya terhadap pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian tersebut, dan tertanggung bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap pihak ketiga tersebut. Dimana prinsip yang merupakan konsekuensi logis dari prinsip idemnitas (keseimbangan).
5) Prinsip Kontribusi ( Contribution Principle)
“Prinsip kontribusi adalah hak penanggung untuk mengajak penanggung lainnya yang sama-sama menanggung, tetapi tidak harus sama kewajibannya terhadap tertanggung untuk ikut memberikan
indemnity”,
dikutip
dari
(http://id.wikipedia.org/wiki/asuransi). Menurut
Man
Suparman,
apabila
dalam
suatu
polis
ditandatangani oleh beberapa penanggung, maka masing-masing penanggung
itu
menurut
imbangan
dari
jumlah
mereka
menandatangani polis, memikul hanya harga yang sebenarnya dari kerugian itu yang diderita oleh tertanggung. Prinsip kontribusi ini terjadi apabila ada asuransi berganda (double insurance) sebagai dimaksud dalam Pasal 278 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang : Bila pada satu polis saja, meskipun pada hari yang berlainan oleh berbagai penanggung dipertanggungkan lebih dari nilainya, mereka bersama-sama menurut perimbangan jumlah yang mereka tanda tangani, hanya memikul nilai sebenarnya yang dipertanggungkan
Ketentuan ini juga berlaku bila pada hari yang sama, terhadap
satu
benda
yang
sama
diadakan
berbagai
pertanggungan (Pasal 278 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang). commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6) Prinsip Sebab Akibat (Causalitiet Principle) Menurut definisi asuransi yang diatur dalam Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, pihak penanggung hanya akan wajib membayar ganti rugi, apabila kerugian atau kerusakan itu disebabkan oleh suatu peristiwa yang tidak tertentu, yang dimaksud dengan suatu peristiwa yang tidak tertentu disini adalah suatu peristiwa yang tak tertentu yang telah diperjanjikan antara pihak tertanggung dengan pihak tertanggung. Dari aspek hubungan sebab akibat, untuk menentukan apakah penyebab terjadinya kerugian dijamin atau tidak dijamin oleh polis, terdapat 3 (tiga) pendapat, yaitu : a) Causa proxima yaitu sebab dari kerugian itu adalah peristiwa yang mendahului kerugian itu secara urutan kronologis terletak paling dekat pada kerugian itu; b) Condition Sine Quanon, yaitu segala kejadian dan kenyataan yang merupakan syarat mutlak untuk terjadinya suatu akibat; dan c) Causa remota yaitu peristiwa yang menjadi sebab dari timbulnya kerugian itu ialah peristiwa yang terjauh. (M. Suparman Sastrawijaya, 2003 : 64). e. Polis Asuransi Hal-hal yang telah disepakati oleh pihak tertanggung dan pihak penanggung
berkenaan
dengan
resiko
yang
hendak
dipertanggungkan dituangkan dalam suatu dokumen atau akta yang disebut polis. Hal ini tercantum dalam Pasal 255 Kitab UndangUndang
Hukum
Dagang
yang
menyatakan
bahwa
suatu
pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis. Polis asuransi merupakan dokumen hukum utama yang dibuat secara sah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Polis bukanlah suatu kontrak atau perjanjian asuransi, melainkan sebagai bukti adanya
commit to user
kontrak atau perjanjian itu.
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hal ini tercantum dalam Pasal 258 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ayat (1) yang menyatakan : Untuk membuktikan hal ditutupnya perjanjian tersebut, diperlukan pembuktian tulisan, namun demikian bolehlah lain-lain alat pembuktian dipergunakan juga, manakala sudah ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan. Sementara itu dalam Pasal 258 ayat (2) disebutkan : Namun demikian ketetapan-ketetapan dan syaratsyarat khusus, apabila tentang itu timbul suatu perselisihan, dalam jangka waktu antara penutupan perjanjian dan penyerahan polisnya, dibuktikan dengan segala alat bukti, tetapi dengan pengertian bahwa segala hal yang dalam beberapa macam pertanggungan oleh ketentuan undangundang atas ancaman-ancaman batal, diharuskan penyebutannya dengan tegas dalam polis, harus dibuktikan dengan tulisan. Kontrak dianggap telah terjadi pada saat pihak tertanggung dan
penanggung
mencapai
kata
sepakat
(konsensus),
sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 257 ayat (1) KUHD sebagai berikut : Perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika setelah ia ditutup; hak-hak dan kewajiban-kewajiban bertimbal balik dari si penanggung dan si tertanggung mulai berlaku semenjak saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani. Sementara itu dalam ketentuan Pasal 257 ayat (2) KUHD, menyebutkan
bahwa
ditutupnya
perjanjian
menerbitkan
kewajiban bagi si penanggung untuk menandatangani polis tersebut dalam waktu yang ditentukan dan menyerahkan kepada si penanggung. Perjanjian asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, dimana sebelum terjadi kesepakatan, calon tertanggung mempelajari lebih dulu syarat-syarat yang berlaku pada asuransi. Apabila syarat-syarat yang ditawarkan penanggung disetujui
maka
permohonan
pihak
tertanggung
penutupan asurasi commit to user
mengajukan
(SPPA)
dan
surat
kemudian
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ditandatangani. Atau dibuatkan nota penutupan asuransi (covernote) yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, sebagai bukti telah terjadi kesepakatan mengenai syarat-syarat asuransi. Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 menyatakan bahwa : Polis atau bentuk perjanjian asuransi dengan nama apapun, berikut lampiran yang merupakan satu kesatuan dengannya, tidak boleh mengandung kata-kata atau kalimat yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda mengenai resiko yang ditutup asuransinya, kewajiban penanggung dan kewajiban tertanggung atau mempersulit tertanggung mengurus haknya. Dalam polis disebutkan semua ketentuan dan persyaratan tentang pertanggungan yang telah dibuat. Polis merupakan alat bukti yang sempurna dan lengkap tentang apa yang mereka perjanjikan dalam perjanjian asuransi. Jadi bagi tertanggung, polis itu menentukan nilai yang sangat menentukan bagi pembuktian haknya. Tanpa polis maka pembuktian akan menjadi sulit dan terbatas. Syarat-syarat formal polis diatur lebih lanjut pada Pasal 256 KUHD yang mengatur mengenai syarat-syarat umum yang harus dipenuhi agar suatu akta dapat disebut sebagai suatu polis dalam setiap polis, kecuali mengenai pertanggugan jiwa, harus memuat hal – hal sebagai berikut : a) Hari ditutupnya pertanggungan; b) Nama orang yang menutup pertanggungan atas tanggungan sendiri atau atas tanggungan orang ketiga; c) Suatu uraian yang cukup jelas mengenai barang yang dipertanggungkan; d) Jumlah uang untuk berapa diadakan pertanggungan; e) Bahaya-bahaya yang ditanggung oleh si penanggung;
commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
f) Saat mana bahaya mulai berlaku untuk tanggungan si penanggung dan saat berakhirnya itu; g) Premi pertanggungan tersebut; h) Pada umumnya semua keadaan yang kiranya penting; bagi si penanggung untuk diketahuinya; dan i)
Segala syarat yang diperjanjikan antara para pihak, polis tersebut harus ditandatangani oleh tiap-tiap penanggung.
Syarat-syarat yang terdapat pada Pasal 256 Kitab UndangUndang Hukum Dagang tersebut pada dasarnya berfungsi sebagai ketentuan umum, oleh karena itu masih diperlukan lagi syarat-syarat tambahan lain yang khusus berlaku bagi para pihak pada suatu persetujuan tertentu. Syarat-syarat tambahan yang sifatnya khusus tadi biasanya ditulis atau diketik pada bagian kertas polis yang khusus disediakan untuk keperluan itu. Tetapi lambat laun syarat-syarat itu dilekatkan dalam polis.
f.
Premi Asuransi Premi atau Premium adalah jumlah yang harus dibayarkan oleh Tertanggung kepada Penanggung untuk mendapatkan pertanggungan asuransi yang diinginkan (www.prudent.web.id/kamus-asuransi-pengertian-istilah-dalamasuransi). Premi adalah prestasi yang harus diberikan tertanggung kepada penanggung. Premi ini biasanya ditentukan dalam suatu persentase (rate) dari jumlah yang dipertanggungkan. Biasanya premi dibayarkan pada awal perjanjian asuransi. Apabila tertanggung tidak memenuhi prestasinya dalam jangka waktu yang telah ditentukan maka perjanjian asuransi batal dengan sendirinya dan penanggung terbebas dari segala kerugian yang timbul. Penanggung wajib memberikan ganti kerugian kepada tertanggung apabila risiko yang dialihkan benar-benar terjadi dan menimbulkan kerugian secara ekonomis. Perlu diperhatikan, bahwa penanggung hanya wajib
commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memberikan ganti rugi sesuai dengan kondisi pertanggungan, mengenai apa yang terjamin dan tidak menjamin kerugian yang dikecualikan dalam polis.
g. Berakhirnya Perjanjian Asuransi Berakhirnya perjanjian asuransi dapat dikarenakan hal-hal berikut : 1) Bila asuransi telah selesai dengan tibanya waktu yang telah diperjanjikan; 2) Bila terjadi pemusnahan keseluruhan atau terjadi kerugian yang mencapai jumlah yang dipertanggungkan (dalam hal asuransi jiwa pertanggungan berakhir bila obyek pertanggungan meninggal dunia); 3) Bila
asuradur
(penanggung)
dibebaskan
oleh
verzekerdenya
(tertanggung); 4) Bila perjanjian gugur karena : a) obyek dari bahaya tidak lagi terancam bahaya (jika tidak ada kemungkinan lagi, bahwa tertanggung akan menderita kerugian terhadap mana telah diadakan asuransi); b) penambahan bahaya; dan c) bila perjanjian asuransi diputuskan, sebab salah satu pihak melakukan wanprestasi .
3. Tinjauan Umum Tentang Prinsip Subrogasi Dalam Hukum Perasurasian di Indonesia
a. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Subrogasi dapat kita temui dalam ketentuan Pasal 1400 hingga Pasal 1403 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut ketentuan Pasal 1400 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa : “Subrogasi atau perpindahan hak kreditur kepada seorang pihak ketiga yang membayar kepada kreditur, dapat terjadi karena persetujuan atau undang-undang. “ Dalam ketentuan pasal 1401 menyatakan bahwa : “Penggantian itu terjadi dengan persetujuan : commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(1) Apabila kreditur, dengan menerima oembayaran dari pihak ketiga, menetapkan bahwa orang ini akan menggantikannya dalam menggunakan hak-haknya, gugatan-gugatannya, hak-hak istimewa, dan dan hipotek-hipotek terhadap debitur. Subrogasi ini harus dinyatakan dengan tegas dan dilakukan secara bersamaan pada waktu pembayaran; dan (2) Apabila debitur menjamin sejumlah uang untuk melunasi hutangnya, dan menetapkan bahwa orang yang meminjam uang itu akan mengambil alih hak-hak kreditur, agar subrogasi ini sah baik perjanjian pinjam uang maupun tanda pelunasan, harus dibuad dengan akta otentik, dan dalam surat perjanjian pinjam uang harus diterangkan bahwa uang itu dipinjam guna melunasi hutang tersebut; sedangkan dalam surat tanda pelunasan harus diterangkan bahwa pembayaran dilakukian dengan uang yang dipinjamkan oleh kreditur baru. Subrogasi inin diloaksanakan tanpa bantuan kreditur. Selanjutnya dalam ketentuan pasal 1402 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa : Subrogasi terjadi demi undang-undang : (1) Untuk seorang kreditur yang melunasi hutang seorang debitur kepada seorang kreditur lain, yang berdasarkan hak istimewa atau hipoteknya mempunyai suatu hak yang lebih tinggi daripada kreditur tersebut pertama; (2) Untuk seorang pembeli benda tidak bergerak, yang telah memakai uang harga benda tersebut untuk melunasi mpara kreditur, kepada siapa barang itu diperkaitkan dalam hipotek; (3) Untuk seorang yang bersama-sama dengan orang lain, atau untuk orang-orang lain, diwajibkan membayar suatu hutang, berkepentingan untuk membayar suatu hutang, berkepentingan untuk melunasi hutang itu; dan (4) Untuk seorang ahli waris yang telah membayar hutang-hutang warisan dengan uangnya sendiri, sedang ia menerima warisan itu dengan hyak istimewa untuk mengadakan pencatatan tentang keadaan hartya peninggalan itu. Terakhir dalam ketentuan Pasal 1403 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyebutkan bahwa : Subrogasi yang ditetapkan dalam pasal-pasal lalu yang terjadi, baik terhadap orang-orang penanggung hutang maupun terhadap para debitur, subrogasi tersebut tidak dapat mengurangi hak-hak kreditur jika ia hanya menerima pembayaran sebagian; dalam hal ini ia dapat melaksanakan hak-haknya mengenai apa yang masih harus dibayar kepadanya, lebih dahulu daripada orang yang memberinya suatu pembayran sebagian.
commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Subrogasi yang terdapat di dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini, lebih menitikberatkan pada perjanjian hutang-piutang antara debitur dan kreditur serta pihak ketiga. Sehingga subrogasi dari Pasal 1400 – 1403 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya digunakan dalam perjanjian hutang piutang.
b. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Menurut ketentuan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menyatakan bahwa :
Seseorang penanggung yang telah membayar ganti kerugian atas suatu benda yang dipertanggungkan, menggantikan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian tersebut, dan tertanggung bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap pihak ketiga tersebut. Penggantian kedudukan semacam ini dalam perjanjian asuransi dikenal dengan istilah prinsip subrogasi, yang secara khusus hanya dikenal dalam asuransi kerugian. Dari ketentuan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat terjadinya subrogasi, yaitu : 1) Tertanggung mempunyai hak terhadap penanggung dan pihak ketiga; dan 2) Adanya hak tersebut karena timbul kerugian sebagai akibat perbuatan pihak ketiga ( Abdulkadir Muhammad, 2002 : 129 ).
Ketentuan tersebut menyangkut risiko yang timbul dari perjanjian pertanggungan khususnya asuransi kerugian yang melibatkan tiga pihak, yaitu penanggung, tertanggung, dan pihak ketiga yang menimbulkan kerugian akibat suatu perbuatan yang telah dilakukannya. Jadi secara tegas penanggung dan pihak tertanggung telah terjadi hubungan hukum dalam perjanjian asuransi kerugian. Maka apabila terjadi suatu risiko atas suatu barang milik tertanggung yang dapat menimbulkan commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kerugian, dengan sendirinya penanggung berkewajiban untuk memberikan pengantian sesuai yang diperjanjikan. Dalam hal yang menimbulkan kerugian tersebut adalah pihak ketiga, dan kemudian penanggung melakukan kewajibannya untuk memberikan ganti kerugian, maka kepada si tertanggung tidak diperbolehkan lagi untuk menuntut ganti kerugian kepada pihak ketiga tersebut. Dalam
keadaan
yang
demikian,
penanggung
justru
akan
menggantikan kedudukan tertanggung untuk menuntut kepada pihak ketiga guna memperoleh penggantian atas pembayaran yang telah dilakukan kepada pihak tertanggung. Disini telah timbul prinsip subrogasi (perwalian), yaitu penggantian kedudukan tertanggung oleh pihak ketiga yang menyebabkan kerugian tersebut. Demikian pula ditegaskan bahwa tertanggung bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang merugikan hak penanggung terhadap pihak ketiga. Subrogasi ini dilakukan untuk memenuhi prinsip Indemnitas (Indemnity) dalam rangka mendapatkan ganti kerugian yang wajar atau tidak boleh berlebihan, artinya tidak dibenarkan mendapatkan ganti kerugian ganda atau dua kali atau memperkaya diri tanpa hak, yang mana dipegang teguh dalam hukum pertanggunggan. Pada dasarnya Subrograsi mempunyai tujuan sebagai berikut : a) Untuk mencegah tertanggung memperoleh ganti kerugian melebihi hak yang sesungguhnya; dan b) Untuk
mencegah
kewajibannya
pihak
untuk
ketiga
membayar
membebaskan kerugian
(
diri
dari
Abdulkadir
Muhammad, 2002 : 130).
c. Dalam Undang-Undang Perasuransian Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian Di dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, memang tidak disebutkan secara jelas dalam pasal mengenai
commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengertian prinsip subrogasi dan bagaimana pelaksanaannya secara nyata dalam perjanjian asuransi. Namun keadaan yang memungkinkan prinsip subrogasi itu muncul disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 yang berbunyi :
Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Dari bunyi Pasal 1 angka 1 tersebut, jelas dalam kalimat tersebut, bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, telah memperkirakan kemungkinan (possibilities) evenement yang disebabkan oleh pihak ketiga yang akan diderita oleh tertanggung. Dari keadaan tersebut, munculah prinsip subrogasi yang dapat diterapkan untuk mengatasi situasi yang ada hubungannya antara, penanggung, tertanggung, dan pihak ketiga.
commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
KUHD
KUHPER
UU ASURANSI NOMOR 2 TAHUN 1992
PERJANJIAN ASURANSI KERUGIAN
TERTANGGUNG
PENANGGUNG
EVENEMENT
AKIBAT PIHAK KETIGA
DIBERLAKUKAN PRINSIP SUBROGASI commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
45 digilib.uns.ac.id
Keterangan ; Kerangka pemikiran di atas mencoba untuk memberikan gambaran selengkapnya mengenai alur berpikir dalam menemukan jawaban dari permasalahan yang menjadi perhatian dalam penulisan yang hendak dilakukan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang telah dikenal istilah subrogasi yang mempunyai makna masing-masing dengan penggunaa masing-masing pula. Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, istilah subrogasi erat kaitannya dengan salah satu jenis usaha perasuransani yaitu Asuransi Kerugian. Dalam perjanjian asuransi kerugian secara garis besar merupakan perjanjian yang melibatkan penanggung dan tertanggung berdasarkan klausulaklausula yang telah disepakati mengenai penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul akibat peristiwa yang tidak pasti (evenement). Di dalam perjanjian asuransi kerugian yang melibatkan penanggung dan tertanggung, terkadang terjadi evenement yang disebabkan oleh pihak ketiga baik secara sengaja atau tidak. Sehingga, ketika kondisi tersebut terjadi, kedua belah pihak baik Penanggung maupun Tertanggung harus menyesuaikan dengan keberadaan pihak ketiga sebagai pihak yang menyebabkan evenement terjadi. Maka, karena keadaan yang demikian membuat pihak penanggung dan tertanggung sama-sama mencari jalan tengah yang tidak merugikan kedua belah pihak dan mencegah pihak ketiga melarikan diri dari tanggung jawab hukum yang ia perbuat. Menurut Noist Trinite, pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ini dapat dianggap sebagai salah satu pasal yang bertujuan untuk melindungi prinsip indemnitas dalam asuransi. Dikatakan demikian karena prinsip indemnitas adalah prinsip yang menekankan keseimbangan antara risiko yang dialihkan penanggung dengan kerugian yang diderita tertanggung sebagai akibat evenement sehingga tertanggung tidak menerima melebihi apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Dengan uraian di atas, timbulah prinsip subrogasi untuk menyelesaikan keadaan atau kondisi tersebut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Prinsip Subrogasi Dalam Perjanjian (Polis) Asuransi Kerugian Usaha perasuransian tumbuh seiring dengan berkembangnya ragam kebutuhan manusia. Asuransi telah merambah hampir semua sektor kehidupan. Pada dasarnya asuransi dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu asuransi kerugian (senade verzekering), asuransi sejumlah uang (sommen verzekering) atau asuransi jumlah atau yang sering disebut dengan asuransi jiwa dan asuransi sosial. Pada asuransi kerugian bertujuan untuk mengganti kerugian yang timbul pada harta kekayaan tertanggung. Sedangkan pada asuransi sejumlah uang bertujuan untuk membayar sejumlah uang tertentu dan tidak tergantung apakah evenement menimbulkan kerugian atau tidak. Kemudian pada asuransi social adalah asuransi yang digerakan oleh Pemerintah untuk melindungi masyarakat. Perbedaan mudah mengenai asuransi kerugian dengan asuransi sejumlah uang dapat dilihat dari prestasinya. Apabila penanggung mengikatkan dirinya untuk melakukan prestasi memberikan sejumlah uang yang telah ditentukan sebelumnya, maka hal itu merupakan asuransi sejumlah uang. Tetapi apabila penanggung mengikatkan dirinya untuk melakukan prestasi dalam bentuk mengganti rugi sepanjang ada kerugian yang timbul, maka hal itu merupakan asuransi kerugian.
Sementara menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, jenis produk asuransi yang dipasarkan oleh perusahaan asuransi kerugian diantaranya asuransi kebakaran yang terdapat dalam Pasal 287 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Selain itu terdapat jenis produk asuransi kerugian yang termasuk ke dalam asuransi varia, misalnya, asuransi kendaraan bermotor, asuransi proyek pembangunan, surety bond, asuransi barang-barang elektronik, asuransi mesinmesin (machinery breakdown), asuransi kecelakaan diri dan masih banyak jenis asuransi yang sedang dan telah dikembangkan oleh perusahaan asuransi kerugian. Sehubungan dengan tumbuhnya jenis baru dalam bidang asuransi, segala macam kepentingan itu dapat diasuransikan asal memenuhi syarat yang ditentukan commitHukum to userDagang, yang menyatakan bahwa dalam Pasal 268 Kitab Undang-Undang
46
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
: ”Pertanggungan dapat menjadikan sebagai pokok yakni semua kepentingan yang dapat dinilai dengan uang, dapat terancam bahaya, dan tidak dikecualikan undangundang.” Apabila melihat ketentuan tersebut, maka semua yang merupakan suatu kepentingan yang memenuhi syarat-syarat di atas dapat diasuransikan dan hal itu sangat sesuai dengan konsep asuransi kerugian. Dengan melihat polis asuransi kerugian, dapat diketahui bahwa apa yang diperjanjikan antara tertanggung dan tertanggung tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Isi dari perjanjian tersebut adalah apa yang menjadi tujuan dari tertanggung yaitu mengalihkan risiko dari tertanggung kepada penanggung, yang memberikan konsekuensi pembayaran ganti rugi dari penanggung apabila tertanggung menderita kerugian akibat sebuah evenement yang dijamin di dalam polis. Karena perjanjian asuransi antara keduanya merupakan hubungan hukum yang bersifat timbal balik. Dengan demikian, akibat dari perjanjian itu menyangkut hak dan kewajiban kedua pihak dalam polis. Sehingga sudah sewajarnya, ketika ada kepentingan tertanggung yang menderita kerugian, penanggung akan melaksanakan kewajibannya untuk mengganti kerugian tersebut. Berlaku Berbeda ketika evenement yang dijaminkan di dalam polis itu terjadi akibat adanya campur tangan dari pihak ketiga, yang dalam hal ini tidak ada hubungan sama sekali dengan perjanjian asuransi antara tertanggung dan penanggung. Namun pada kenyataannya, tertanggung mengalami kerugian. Oleh karena
itu,
kerugian
yang
ditimbulkan
oleh
pihak
ketiga
harus
dipertanggungjawabkan secara yuridis, sebagaimana diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa : “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian untuk mengganti kerugian tersebut.” Berkaitan dengan ketentuan itulah maka pihak ketiga wajib bertanggung jawab menurut undang-undang kepada tertanggung. Akan tetapi, persoalannya akan menjadi lain dalam perjanjian asuransi. Ketika tertanggung telah mendapatkan ganti kerugian dari penanggung dan juga pihak ketiga, maka tertanggung akan mendapatkan commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ganti kerugian melebihi kerugiannya. Hal itu tidak dibenarkan dan melanggar prinsip indemnitas. Dalam pengaturan asuransi, terdapat pasal yang secara jelas menampilkan prinsip keseimbangan atau prinsip indemnitas. Diantaranya pada ketentuan pasal 277 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang menyatakan bahwa : “ Apabila pada penanggung pertama tidak ditanggung nilai penuh, maka penanggung berikutnya bertanggung jawab untuk nilai selebihnya menurut urutan waktu mengadakan pertanggungan itu.” Apabila melihat ketentuan pasal tersebut, bahwa nilai pertanggungan suatu benda tidak boleh lebih dari nilai pertanggungan yang sebenarnya. Miasalnya, perusahaan asuransi A telah menanggung nilai barang X sebesar 60%, dan kemudian sisanya sebanyak 40% dipertanggungkan pada perusahaan asuransi B. Ketika terjadi evenement, maka tertanggung akan mendapat penggantian kerugian sebesar 60% dari A dan sebanyak 40% dari pihak B sehingga nilai obyek pertanggungan pas 100%. Hal itu tercantum pula dalam ketentuan Polis Standart Asuransi Kebakaran Indonesia yang dikeluarkan oleh PT Wahana Tata Tahun 2007, adapun bumyi dalam Pasal 15 mengenai ganti rugi pertanggungan rangkap adalah : Pasal 15 (1) Menyimpang dari Pasal 277 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dalam hal terjadi kerugian atau kerusakan atas harta benda dan atau kepentingan yang dipertanggungkan dengan Polis ini, di mana harta benda dan atau kepentingan tersebut sudah dijamin pula oleh satu atau lebih pertanggungan lain dan jumlah seluruh harga pertanggungan polis yang ada (berlaku) lebih besar dari harga sebenarnya dari harta benda dan atau kepentingan yang dimaksud itu sesaat sebelum terjadinya kerugian, maka jumlah ganti rugi maksimum yang dapat diperoleh berdasarkan Polis ini berkurang secara proporsional menurut perbandingan antara harga pertanggungan polis ini dengan jumlah seluruh harga pertanggungan polis yang ada (berlaku), tetapi premi tidak dikurangi atau dikembalikan. (2) Ketentuan di atas akan dijalankan, biarpun segala pertanggungan yang dimaksud itu dibuat dengan beberapa polis yang diterbitkan pada hari yang berlainan, dengan tidak mengurangi ketentuan pada Pasal 277 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu jika pertanggungan atau semua pertanggungan itu tanggalnya lebih dahulu daripada tanggal Polis ini dan tidak berisi ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) di atas. (3) Dalam hal terjadi kerugian atau kerusakan, Tertanggung wajib memberitahukan secara tertulis pertanggungan-pertanggungan lain yang sedang berlaku atas harta
commit to user
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
benda dan atau kepentingan yang sama pada saat terjadinya kerugian atau kerusakan.
Dari uraian di atas, penulis beranggapan bahwa apabila harta benda dan/atau kepentingan yang dipertanggungkan sudah dipertanggungkan terlebih dahulu oleh satu atau lebih pertanggungan lain. Hal ini mengakibatkan, jumlah yang telah dipertanggungkan akan berkurang menurut perbandingan antara jumlah segala pertanggungan dengan harga yang dipertanggungkan. Namun karena kepentingan tertanggung sudah dipenuhi oleh penanggung, maka tidaklah mungkin tertanggung akan memperoleh ganti kerugian ganda. Maka dari itu, tanggung jawab pihak ketiga akan beralih kepada penanggung berdasarkan ketentuan undang-undang. Peristiwa seperti keadaan tersebut yang disebut dengan konsep subrogasi. Di dalam Polis Standart Asuransi Kebakaran Indonesia yang dikeluarkan oleh PT Wahana Tata Tahun 2005 juga disebutkan mengenai ketentuan subrogasi yang tercantum dalam Pasal 16. Adapun bunyinya adalah sebagai berikut : Pasal 16 (1) Sesuai dengan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, setalah pembayaran ganti rugi atas harta benda dan atau kepentingan yang dipertanggungkan dalam polis ini, Penanggung menggantikanTeranggung dalam segala hak yang diperolehnya sehubungan dengan kerugian tersebut. Hak subrogasi termasuk dalam ayat ini berlaku dengan sendirinya tanpa memerlukan surat kuasa khusus dari tertanggung. (2) Tertanggung tetap bertanggung jawabatas setiap perbuatan yang mungkin dapat merugikan hak Penanggung terhadap pihak ketiga tersebut. (3) Kelalaian tertanggung dalam melaksanakan kewajibannya tersebut dalam ayat 2 di atas dapat menghilangkan atau mengurangi hak Tertanggung untuk mendapatkan ganti rugi (contoh Polis Standar Kebakaran Indonesia (PSKI) yang dikeluarkan oleh Wahana Tata tahun 2005).
Peralihan pertanggungjawaban berdasarkan undang-undang tersebut sekaligus membawa konsekuensi terhadap pengalihan hak kepada penanggung atas hak-hak dari tertanggung terhadap pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian. Prinsip demikian yang disebut dengan prinsip subrogasi dalam dunia asuransi. Seperti yang tercantum dalam pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Apabila melihat ketentuan pasal di atas, tampak bahwa ketika seorang penanggung telah membayar ganti kerugian kepada pihak tertanggung, maka pada saat itulah penanggung terjadi peralihan kedudukan dimana penanggung commit to user menggantikan kedudukan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya dari
perpustakaan.uns.ac.id
50 digilib.uns.ac.id
pihak ketiga, dimana tertanggung bertanggung jawab kepada penanggung atas setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap pihak ketiga tersebut. Dengan kata lain, apabila tertanggung mengalami kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pihak ketiga, maka Perusahaan Asuransi, setelah memberikan ganti rugi kepada tertanggung, akan mengganti kedudukan tertanggung dalam mengajukan tuntutan kepada pihak ketiga tersebut. Adapun mekanisme aplikasi subrogasi, yaitu : 1. Pihak tertanggung harus memilih salah satu sumber pengantian kerugian, dari pihak ketiga atau dari asuransi; 2. Jika pihak tertanggung sudah menerima penggantian kerugian dari pihak ketiga, ia tidak akan mendapatkan ganti rugi dari asuransi, kecuali jika jumlah penggantian dari pihak ketiga tersebut tidak sepenuhnya; dan 3. Jika pihak tertanggung sudah mendapatkan penggantian dari asuransi, ia tidak boleh menuntut pihak ketiga akibat perbuatannya. Karena hak menuntut tersebut sudah dilimpahkan ke perusahaan asuransi.
Konsep subrogasi hanya dipergunakan dalam asuransi kerugian, dimana prinsip indemnitas dapat sepenuhnya diberlakukan. Pada asuransi kerugian dikenal berlaku contract of indemnity karena harta benda yang dipertanggungkan dapat dinilai dengan uang, sedangkan dalam asuransi jiwa adalah non indemnity contract karena tidak ada acuan mengenai berapa harga bagi jiwa atau nyawa seseorang. Diantara prinsip-prinsip yang lain, seperti itikad baik dan kepentingan, prinsip ini sangatlah penting karena kerugian yang diganti haruslah seimbang dengan risiko yang dibebankan penanggung ( Sri Rejeki hartono, 2001 : 100). Sebaliknya risiko yang dialihkan pada penanggung harus diimbangi dengan pemberian premi oleh tertanggung sesuai dengan nemo plus, “ tidak menerima melebihi apa yang menjadi haknya, tidak member melebihi apa yang menjadi kewajibannya.” ( Abdulkadir Muhammad, 2002 : 126). Lain halnya ketika terjadi evenement yang disebabkan oleh pihak ketiga, pihak ketiga tidak mungkin terlepas dari tanggung jawabnya. Maka pihak ketiga memberikan penggantian kerugian terhadap tertanggung sebesar nilai obyek yang dipertanggungkan. Dan pihak tertanggung merasa memiliki hak terhadap commit to user penanggung, karena telah membayar premi tiap bulannya, juga meminta
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penggantian kerugian atas kerugian yang menimpanya. Hal ini memungkinkan terjadinya penggantian kerugian dua kali terhadap tertanggung apabila tertanggung telah mendapat penggantian dari pihak ketiga. Dalam pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, secara tegas telah ditentukan bahwa penanggung yang telah membayar kerugian kepada tertanggung memperoleh hak tertanggung terhadap pihak ketiga mengenai kerugian itu, dan tertanggung bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap pihak ketiga. Dalam hal penanggung telah melakukan kewajibannya untuk memberikan ganti kerugian, maka kepada tertanggung tidak diperbolehkan lagi untuk meminta kerugian dari pihak ketiga tersebut. Misalnya, dalam kasus Bapak Budi mengasuransikan sebuah mobil dengan merek X kepada perusahaan asuransi A dengan nilai pertanggungan sebesar 100%. Kemudian suatu ketika, mobil bapak Budi ditabrak oleh pihak ketiga yang bernama bapak Rio ketika tengah dikemudikan saat ia akan ke kantor. Lalu bapak Budi mengajukan tuntutan ganti rugi kepada bapak Rio, dan Pak Rio pun menyanggupi untuk mengganti kerugian tersebut. Setelah mendapat ganti kerugian, maka Pak Budi perlu melaporkan kejadian tersebut kepada Perusahaan Asuransi sebagai wujud itikat baik Tertanggung sesuai pasal 251 Kitab UndangUndang Hukum Dagang dan Pak Budi dilarang untuk meminta ganti rugi kedua kalinya kepada Perusahaan Asuransi, karena itu akan melanggar prinsip indemnitas (Jurnal Yustika, 207 : Volume 10 Nomor 2). Hal itu, tercantum pula dalam Polis Standart Asuransi Kendaraan Bermotor yang dikeluarkan pleh Surat Keputusan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Nomor 06 Tahun 2007, di dalam Pasal 22 yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 22 (1) Setelah pembayaran ganti rugi atas Kendaraan Bermotor dan atau kepentingan yang dipertanggungkan dalam Polis ini, Penanggung menggantikan Tertanggung dalam hal hak penuntutan terhadap pihak ketiga sehubungan dengan kerugian tersebut. Hak Subrogasi termaksud dalam ayat ini berlaku dengan sendirinya tanpa memerlukan suatu surat kuasa khusus dari Tertanggung. (2) Tertanggung tetap bertanggung jawabtoatas commit usersetiap perbuatan yang mungkin dapat merugikan hak Penanggung terhadap pihak ketiga tersebut.
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(3) Kelalaian Tertanggung dalam melaksanakan kewajibannya tersebut pada ayat (2) di atas dapat menghilangkan atau mengurangi hak Tertanggung untuk mendapatkan ganti-rugi.
Dengan demikian tertanggung tidak berhak memperoleh ganti rugi lebih besar atau ganti rugi ganda dari kerugian yang diderita. Pada hakekatnya mengandung dua aspek yang saling berhubungan, yaitu : a. Aspek Pertama, yaitu berhubungan dengan tujuan dari perjanjian, harus ditujukan kepada ganti kerugian yang tidak boleh diarahkan bahwa pihak tertangung karena pembayaran ganti rugi jelas akan menduduki posisi yang menguntungkan. Jadi bila terdapat klusula yang bertentangan dengan tujuan ini menyebabkan batalnya perjanjian; dan b. Aspek kedua, yaitu berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian asuransi sebagai keseluruhan yang sah. Untuk keseluruhan atau sebagian tidak boleh bertentangan dengan aspek yang pertama. Hal ini sangat penting artinya karena tujuan yang hendak dicapai oleh perjanjian asuransi dan dalam pelaksanaannya harus memenuhi syarat tertentu, yaitu pihak tertanggung karena memperoleh ganti rugi tidak menjadi posisi keuangan yang lebih menguntungkan (Sri Rejeki Hartono, 2001 : 98).
Lain halnya, ketika Pak Budi mengajukan tuntutan ganti rugi kepada Perusahaan Asuransi, ia tidak boleh lagi mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada pihak ketiga ( Pak Rio). Saat tuntutan ganti rugi itu dipenuhi oleh perusahaan asuransi, maka saat itulah terjadi perpindahan kedudukan dimana penanggung menggantikan kedudukan tertanggung atas segala hak yang ia peroleh dari pihak ketiga, termasuk hak untuk menuntut atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak ketiga yang menyebabkan kerugian bagi penanggung. Karena apabila Pak Budi ,menuntut juga dari pihak ketiga itu akan melanggar prinsip indemnitas dan juga ketentuan Polis Asuransi Standart Kendaraan Bermotor Indonesia yang dikeluarkan oleh Surat Keputusan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Nomor 06 Tahun 2007 terdapat dalam Pasal 20 mengenai ganti rugi rangkap, yang bunyinya sebagai berikut : Pasal 20 (1) Dalam hal terjadi kerugian dan atau kerusakan atas Kendaraan Bermotor dan atau commit to user kepentingan yang dipertanggungkan, apabila Kendaraan Bermotor dan atau
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kepentingan tersebut sudah dijamin pula oleh satu atau lebih pertanggungan lain dan jumlah seluruh harga pertanggungan polis yang ada (berlaku) lebih besar dari harga sebenarnya dari Kendaraan Bermotor dan atau kepentingan yang dimaksud itu sesaat sebelum terjadinya kerugian, maka jumlah ganti rugi maksimum yang dapat diperoleh berdasarkan Polis ini berkurang secara proporsional menurut perbandingan antara harga pertanggungan polis ini dengan jumlah seluruh harga pertanggungan polis yang ada (berlaku), tetapi premi tidak dikurangi atau dikembalikan. (2) Ketentuan ayat (1) di atas akan dijalankan, biarpun segala pertanggungan yang dimaksud itu dibuat dengan beberapa polis yang diterbitkan pada tanggal yang berlainan, jika pertanggungan atau semua pertanggungan itu tanggalnya lebih dahulu daripada tanggal Polis ini dan tidak berisi ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) di atas. (3) Pada saat terjadi kerugian dan atau kerusakan, Tertanggung wajib memberitahukan secara tertulis pertanggungan-pertanggungan lain yang sedang berlaku atas Kendaraan Bermotor dan atau kepentingan yang sama pada saat terjadinya kerugian dan atau kerusakan.
Cara ini dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang untuk membatasi penggantian kerugian agar-agar masing-masing pihak dapat memperoleh haknya secara proporsional atau tidak berlebihan dan bagi pihak yang melakukan kesalahan tidak terlepas dari kewajibannya untuk bertanggung jawab. Tertanggung yang mengalami kerugian oleh pihak ketiga dapat meminta penggantian melalui 2 (dua) cara yaitu : a. Mengajukan klaim pada penanggung atas dasar perjanjian asuransi. Cara yang pertama ini menimbulkan hak bagi penanggung meminta penggantian kerugian pada pihak ketiga. b. Menuntut pihak ketiga agar membayar ganti kerugian berdasarkan pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai perbuatan melanggar hukum. Pada cara kedua ini, tertanggung sebenarnya tetap terbebani kewajiban untuk memberikan informasi mengenai kondisi saat ini dari benda yang dipertanggungkan. Hal ini merupakan pelaksanaan dari prisip itikad baik (utmost good faith principle). Dalam masa berlakunya perjanjian, sama halnya dengan tertanggung, penanggung dapat saja memilih melanjutkan atau menghentikan perjanjian. Oleh karena itu, perubahan keadaan benda dapat mempengaruhi pertimbangan penanggung. Apabila asuransi dihentikan, berdasarkan Pasal 276 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang menyatakan bahwa : “ Tiada kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh kesalahan dari tertanggung sendiri, dibebankan pada penanggung. Bahkan ia
commit to user
boleh tetap memegang atau menagih preminya, bila ia sudah mulai memikul
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bahayanya. “ Penanggung tetap memiliki hak atas premi yang telah diterimanya. Dengan demikian, tidaklah tepat apabila kewajiban tertanggung memberikan informasi sebagaimana diatur dalam pasal 251 Kitab UndangUndang Hukum Dagang hanya dimaksudkan pada awal perjanjian karena sebenarnya kejujuran dalam memberikan informasi diperlukan selama perjanjian berlangsung. Berdasarkan pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, subrogasi hanya dapat terjadi apabila penanggung telah memberikan penggantian kerugian pada tertanggung. Urutan peristiwa bagi terjadinya subrogasi haruslah sebagai berikut : 1) Tertanggung menderita kerugian katrena perbuatan melanggar hukum yang dilakukan pihak ketiga; 2) Tertanggung mengajukan klaim atas kerugiannya kepada pihak asuransi dengan menjelaskan bahwa kerugian tersebut diakibatkan oleh pihak ketia; dan 3) Penanggung memiliki hak untuk menuntut ganti kerugian pada pihak ketiga.
Mekanisme demikian harus dilaksanakan berurutan untuk dapat disebut subrogasi, artinya prinbsip subrogasi tidak akan pernah terjadi apabila penanggung mendahului melakukan pembayaran kepada tertanggung. Pada beberapa perusahaan asuransi, diantara beragam asuransi kerugian, subrogasi lebih sering terjadi pada asuransi kendaraan bermotor, sedangkan asuransi kebakaran dan asuransi kerugian yang lain jumlah terjadinya subrogasi lebih sedikit. Hal ini dipengaruhi oleh beberapan hal, yaitu : a) Potensi terjadinya asuransi kendaraan bermotor lebih besar dipengaruhi oleh keharusan untuk mengikatkan diri dalam asuransi saat membeli kendaraan bermotor secara angsuran; dan b) Kemungkinan timbulnya kerugian tertanggung dalam asuransi kendaraan bermotor jauh kebih besar.
Pada prinsipnya setiap perbuatan hukum yang dilakukan para pihak dalam perjanjian asuransi perlu dilandasi dokumen perjanjian. Dari dokumen tersebut akan dapat diketahui berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan, obyek maupun isi serta tujuan dari commit perjanjian yang dilakukan tertanggung dan to user
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penanggung. Dokumen tersebut juga sangat penting terutama sebagai alat bukti yang sah baik untuk kepentingan tertanggung maupununtuk kepentingan penanggung, serta pihak ketiga yang mempunyai keterkaitanh dengan perjanjian asuransi. Adapun dokumen penting yang ada dalam perjanjian asuransi kerugian adalah sebagai berikut : (1) Form Aplikasi Merupakan
form yang
memuat
berbagai
macam
keterangan yang berkaitan dengan penutupan asuransi. Form tersebut antara lain memuat tentang identitas calon tertanggung, jenis pertanggungan, obyek yang dipertanggungkan, besarnya pertanggungan, lama waktu pertanggungan sertabesarnya premi yang harus dibayar calon tertanggung, serta hal penting lainnya. Calon tertanggung dalam perjanjian asuransi dipersyaratkan untuk mengisi dan mengajukan aplikasi permohonan membeli asuransi meskipun pada kenyataannya yang melakukan pengisian adalah agen asuransi, namun tanda tangan harus dibubuhkan oleh calon tertanggung sendiri. (2) Kwitansi Premi Kwitansi premi merupakan dokumen penting dari perajanjian asuransi, karena tidak hanya secara materiil saja yang menunjukkan bahwa premi telah dibayar, akan tetapi kwitansi tersebut juga merupakan alat bukti pembayaran yang sah tentang telah terjadinya perjanjian asuransi terutama pada saat polis asuransi belum diterbitkan oleh penanggung atau lembaga asuransi. Kwitansi juga merupakan kelangkapan alat bukti yang dipersyaratkan untuk mengajukan klaim apabila terjadi risiko yang menimpa diri tertanggung (3) Polis Polis merupakan dokumen penting dalam perjanjian asuransi karena polis memuat berbagai hal yang berkaitan
commitasuransi. to user Polis merupakan alat bukti yang dengan perjanjian
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menunjukkan tentang adanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban baik
tertanggung
maupun
penanggung.Hak
tertanggung
sebagaimana tertulis dalam polis adalah hak tertanggung atas penggantian kerugian oleh penanggung terhadap terjadinya risiko yang diderita dan kewajiban tertanggung atas pembayaran sejumlah uang premi asuransi sesuai kesepakatan. Dengan adanya tandatangan polis oleh penanggung, maka dapat dikatakan bahwa penanggung telah terikat dengan tertanggung terhadap segala hak dan kewajiban sebagaimana tertuang dalam polis.
B. Pengajuan Klaim oleh Tertanggung Ketika Hak Klaim Tidak Terpenuhi
Meskipun tertanggung telah mendapat penggantian dari pihak ketiga, dapat saja penggantian tersebut belum sesuai dengan kerugian yang diderita tertanggung. Bahkan ketika klaimnya tidak terpenuhi mutlak oleh pihak ketiga, maka tertanggung berhak meminta dari pihak Penanggung. Oleh karena itu, tertanggung masih dimungkinkan untuk mengajukan klaim pada penanggung. Dengan demikian, penanggung memberikan penggantian bagi kerugian yang tersisa. Cara yang demikian ini sebenarnya juga memungkinkan timbulnya subrogasi karena penanggung membayar kepada tertanggung, meskipun hanya sebagian dari keseluruhan kerugian yang diderita oleh tertanggung yang sebenarnya harus dipikul oleh pihak ketiga. Dalam asuransi kerugian dinyatakan secara tertulis, yaitu dengan diajukannya permohonan dengan mengisi SPPA oleh tertanggung kepada penanggung. Asuransi kerugian berlaku setelah Surat Permintaan Penutupan Asuransi (SPPA) yang diserahkan tertanggung kepada penanggung disetujui oleh Penanggung. Dengan disetujuinya SPPA, berarti telah terjadi pertemuan kehendak dari tertanggung dan penaggung. Dengan demikian perjanjian asuransi kerugian sudah berlaku sebelum polisnya dibuat. Polis baru akan dibuat berdasarkan SPPA. Di dalam SPPA tersebut, termuat data lengkap dari tertanggung, commitdan to user keterangan lengkap, mengenai obyek subyek pertanggungan, dan syarat-
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
syarat pertanggungan. Ketika SPPA yang diajukan oleh tertanggung disetujui oleh penanggung, maka pada saat itulah perjanjian asuransi kerugian itu muncul. Klaim terhadap asuransi kerugian yang diajukan oleh tertanggung berlaku setelah Surat Permintaan Penutupan Asuransi (SPPA) yang diserahkan tertanggung kepada penanggung disetujui oleh Penanggung. Dengan disetujuinya SPPA, berarti Tertanggung sudah berhak mengajukan klaimnya kepada penanggung. Namun ketika klaim yang diajukan oleh tertanggung tersebut diakibatkan oileh sebuah evenement yang dilakukan oleh pihak ketiga, maka setelah pembayaran klaim dilakukan oleh Penanggung, penanggung dengan serta merta mempunyai hak subrogasi kepada pihak ketiga. Selain
itu,
dalam
polis
asuransi
kerugian,
tertanggung
wajib
mengungkapkan fakta material mengenai informasi, keterangan, keadaan dan fakta yang mempengaruhi pertimbangan penanggung dalam menerima atau menolak suatu permohonan penutupan asuransi dan dalam menetapkan suku premi apabila permohonan dimaksud diterima. Selain itu, tertanggung wajib membuat pernyataan yang benar tentang hal-hal yang berkaitan dengan penutupan asuransi, yang disampaikan baik pada waktu pembuatan perjanjian asuransi maupun selama jangka waktu pertanggungan. Disisi lain, jika tertanggung tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur di atas, penanggung tidak wajib membayar kerugian yang terjadi dan berhak menghentikan pertanggungan serta tidak wajib mengembalikan premi. Hal ini sesuai dengan Pasal 6 Polis Standart Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia mengenai Kewajiban Tertanggung mengungkapkan fakta, yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 6 (1) Tertanggung wajib : 1.1. Mengungkapkan fakta material yaitu informasi, keterangan, keadaan dan fakta yang mempengaruhi pertimbangan Penanggung dalam menerima atau menolak suatu permohonan penutupan asuransi dan dalam menetapkan suku premi apabila permohonan dimaksud diterima; 1.2. membuat pernyataan yang benar tentang hal-hal yang berkaitan dengan penutupan asuransi; yang disampaikan baik pada waktu pembuatan perjanjian asuransi maupun selama jangka waktu pertanggungan.
commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(2) Jika Tertanggung tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam ayat (1) diatas, Penanggung tidak wajib membayar kerugian yang terjadi dan berhak menghentikan pertanggungan serta tidak wajib mengembalikan premi. (3) Ketentuan pada ayat (2) diatas tidak berlaku dalam hal fakta material yang tidak diungkapkan atau yang dinyatakan dengan tidak benar tersebut telah diketahui oleh Penanggung, namun Penanggung tidak mempergunakan haknya untuk menghentikan pertanggungan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah Penanggung mengetahui pelanggaran tersebut.
Ketentuan tersebut tidak berlaku dalam hal fakta material yang tidak diungkapkan atau yang tidak dinyatakan dengan tidak benar itu telah diketahui oleh penanggung
namun
penanggung
tidak
mempergunakan
haknya
untuk
menghentikan pertanggungan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah penanggung mengetahui pelanggaran tersebut. Dalam praktek, hak dari tertanggung kepada penanggung, secara formal dialihkan melalui surat atau pernyataan khusus yang secara teknis dilaksanakan sebagai berikut : 1. Pada
saat
pembayaran
klaim
oleh
penanggung,
tertanggung
diminta
menandatangani surat kuasa khusus (letter of subrogation) yang isinya mengalihkan hak untuk menagih pihak ketiga kepada penanggung; dan 2. Pada bagian bawah, lembar pembayaran klaim yang ditandatangani oleh tertanggung telah tercantum kalimat yang menyatakan tentang pengalihan hak tersebut. Apabila melihat pada ketentuan pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang maupun isi polis, pembuatan surat kuasa atau surat pengalihan hak secara tertulis sebenarnya tidak diperlukan, karena subrogasi yang dimaksudkan terjadi demi hukum, bukan atas perjanjian. Namun dalam prakteknya, ketiadaan surat khusus menjadi alasan bagi pihak ketiga untuk mengelak dengan alasan tidak memiliki hubungan hukum dengan penanggung. Secara teoritis, ketentuan tentang prinsip subrogasi adalah sudah semestinya apabila dihubungkan dengan prinsip
keseimbangan. Tujuan yang lain adalah untuk
mencegah pihak ketiga membebaskan diri dari kewajibannya membayar ganti kerugian ( Abdulkadir Muhammad, 2002 : 130). Dalam praktek, ketentuan pasal 284 Kitab UndangUndang Hukum Dagang ini ternyata tidak mudah untuk dijalankan. Banyak perusahaan asuransi yang tidak menggunakan hak yang diperolehnya atas dasar prinsip subrogasi
commit tojelas userdan dengan tegas dicantumkan dalam tersebut. Meskipun pengaturannya telah cukup
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
polis baik dalam Polis Standar Asuarnsi Kebakaran Indonesia dan Polis Standar Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia, subrogasi pada prakteknya tidak dapat berjalan karena berbagai factor, baik dari sisi penanggung, tertanggung maupun diluar keduanya. Berikut akan diuraikan masing-masing factor tersebut :
a. Faktor dari Tertanggung Tertanggung memiliki andil yang amat penting bagi terjadinya subrogasi mengingat hubungan hukum antara penanggung dan pihak ketiga hanya dapat timbul melalui tertanggung. Beberapa factor dari tertanggung diantaranya : 1) Ketidakjujuran tertanggung mengenai adanya penggantian dari pihak ketiga. Tidak
terlaksananya
subrogasi
dipengaruhi
juga
oleh
ketidakjujuran tertanggung bahwa ia sebenarnya sudah mendapatkan ganti rugi dari pihak ketiga. Dalam terminology Seidman, fenomena ini berkaitan dengan perhitungan Cost and Benefit ( Robert B. Seidman, 1978 : 69). Setiap orang selalu memperhatikan keuntungan dan kerugian yang akan diterimanya, jika suatu tindakan. Perhitungan keuntungan dan kerugian sebagaimana diungkapkan oleh Seidman ini nampaknya yang mempengaruhi tertanggung dalam menuntut ganti rugi (Jurnal Yustika, 2007 : Volume 2) Pertimbangan cost and benefit yang demikian ini dapat dikatakan merupakan suatu hal yang wajar karena individu pada dasarnya selalu dimotivasi oleh kalkulasi untuk memperoleh keuntungan serta berusaha menghindari kerugian. Setiap tindakan manusia bertujuan ekonomis (material maupun nonmaterial) untuk memperbesar keuntungan (Profit Oriented). Tindakan yang berdasarkan rasionalitas yang cenderung mengutamakan efisiensi dan perolehan hasil dengan biaya yang sekecil mungkin, tanpa perduli pada nilai-nilai normative. Pilihan tertanggung yang demikian ini dengan sendirinya bertentangan dengan prinsip keseimbangan, karena berarti tertanggung tidak hanya dipulihkan pada kondisi semula, tetapi sekaligus juga mendapat keuntungan. Berpijak
commit to user
pada hakekat keberadaan asuransi, hal semacam ini yang seharusnya
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dicegah mengingat asuransi tidak dimaksudkan untuk memperkaya tertanggung. Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang dikutip secara apa adanya dalam berbagai polis standart, menetapkan bahwa tertanggung bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung dan kelalaian tertanggung dapat berakibat berkurangnya hak tertanggung untuk mendapatkan ganti rugi dari penanggung,. Namun demikian, secara substansial, ketentuan ini mengalami kelemahan kerana tidak adanya sanksi tegas pelanggaran tertanggung terhadap kewajibannya itu. Pada sisi yang lain. Penanggung juga tidak terlalu peduli untuk melaksanakan ketentuan tersebut. 2) Kurang pahamnya tertanggung akan adanya pengaturan tentang subrogasi. Kurang
pahamnya
tertanggung
akan
adanya
pengaturan
semacam ini dapat dimaklumi mengingat asuransi memjangkausegmen pasar yang sangat luas dan terdiri dari berbagai lapisan social. Tidak hanya untuk perjanjian asuransi, bahkan untuk perjanjian lain, seperti perjanjian pembukaan rekening bank, deposito, dan beberapa perjanjian standart lain, seringkali isi perjanjian tidak sepenuhnya dipahami oleh pihak yang akan mengikatkan diri. Ditinjau dari sisi isi perjanjian, orang cenderung klebih mencermati hak daripada kewajibannya sehingga seringkali ada penafsiran yang berbeda terhadap isi perjanjian. Pelaksanaan
subrogasi
juga
mendapat
kendala
karena
tertanggung menyatakan tidak paham mengenai ketentuan prinsip subrogasi. Ketidakpahaman tertanggung dapat dibedakan dalam 3 (tiga) hal, yaitu : (a) Tertanggung tidak paham bahwa atas perbuatan melanggar hukum pihak ketiga. Ia hanya diberikan penggantian kerugian sebatas kerugian yang ia derita, jadi tidak boleh mendapatkan ganti rugi dari kedua-duanya, yaitu penanggung dan pihak ketiga.
commit to user
Ketentuan mengenai subrogasi ini sering dipertanyakan oleh
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tertanggung karena ia merasa berhak mendapat ganti rugi dari pihak ketiga karena perbuatan melanggar hukumnya dan pihak asuransi sebagai imbalan premi yang telah ia bayarkan; (b) Tertanggung tidak paham apa yang harus dilakukan selanjutnya. Bahwa meskipun telah mendapatkan penggantian kerugian
dari
menyampaikan
pihak
ketiga,
perubahan
ia kondisi
semestinya benda
tetap yang
dipertanggungkan kepada penanggung. Hal ini didasari atas ketentuan pasal 9 Polis Standar Kendaraan Bermotor Indonesia yang menyatakan bahwa penanggung memiliki hak untuk setiap waktu selama masa pertanggungan melakukan
pemeriksaan
terhadap
kendaraan
yang
dipertanggungkan. Ketidakpahaman tertanggung dipengaruhi secara timbal balik oleh ada tidaknya informasi yang jelas mengenai keseluruhan isi polis pada saat awal perjanjian. Sisi awam tertanggung sebenarnya dapat dikurangi apabila penanngung secara cermat menjelaskan hak dan kewajiban tertanggung. apabila dalam Pasal 251 Kitab Undangt-Undang Hukum Dagang diatur mengenai kewajiban pemberitahuan oleh tertanggung, semestinya kewajiban yang sama juga dapat dibebankan kepada penanggung. (c) Keengganan tertanggung menjalani proses subrogasi. Apabila tertanggung melaporkan pelanggaran hukum pihak ketiga kepada pihak penanggung, maka setelah memberikan penggantian kepada tertanggung, penanggung akan mengajukan tuntutan kepada pihak ketigatersebut. Untuk keperluan tersebut, penanggung memerlukan identitas pihak ketiga. Keterangan ini diharapkan dapat diperoleh dari tertanggung sebagai pihak yang berhubungan
commit to user
langsung.dalam
kenyataannya,
saat
peristiwa
yang
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menimbulkan
kerugian
tertanggung
tersebut
terjadi,
tertanggung justru sering enggan berurusan lebih jauh dengan pihak ketiga dengan beberapa alasan seperti : (1) Menghindari konflik lebih jauh, adu fisik misalnya, dengan pihak ketiga mengingat emosi yang tinggi pada saat evenement terjadi yang disebabkan oleh pihak ketiga baik secara sengaja maupun tidak; (2) Efisiensi waktu dan biaya; (3) Keikutsertaan pada asuransi memang dimaksudkan untuk mengatasi hal-hal seperti itu; dan (4) Segala kerugian sudah menjadi tanggungan pihak asuransi sebagai kompensasi dari premi yang dibayarkan oleh tertanggung.
Alasan-alasan tersebut, tertanggung bersikap tidak mau berurusan dan tidak perlu menginformasikan mengenai pihak ketiga kepada penanggung. Dengan kata lain, tertanggung akan menyampaikan keterangan bahwa kerusakan benda yang dipertanggungkan adalah karena kesalahan atau kelalaian sendiri. Keadaan
seperti
tersebut
di
atas
sebenarnya
merupakan
pelanggaran dari isi polis ( pasal 16 Polis Standar Kebakaran Indonesia, Pasal 22 Polis Standar Kendaraan Bermotor Indonesia) maupun pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang karena dapat digolongkan sebagai “ mengurangi hak penanggung untuk menuntut ganti rugi “. Konsekuensinya, tertanggung berkewajiban untuk bertanggung jawab. Bahkan dalam kedua polis standar tersebut, pasal 284 Kitab UndangUndang Hukum Dagang dilengkapi dengan pemberian sanksi bagi tertanggung berupa kemungkinan hilang atau berkurangnya hak tertanggung atas ganti rugi.
commit to user
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Faktor Dari Penanggung Berdasarkan
keterangan pihak asuransi,
subrogasi
hanya
dapat
dilaksanakan untuk kasus dengan angka klaim yang besar, sedangkan untuk klaim yang kecil cenderung diabaikan.hal ini didasari pertimbangan bahwa memproseshak timbul dari keadaan subrogasi tersebut tidak mudah. Selain mempertimbangkan factor keuntungan, penanggung sebagai pelaku bisnis sangat memperhitungkan masalah waktu dan biaya. Mengurus hak berdasarkan subrogasi tidaklah mudah. Penanggung terlebih dahulu harus mengetahui secara lengkap identitas pihak ketiga, kemudian menghubungi pihak ketiga tersebut untuk menyampaikan tuntutannya. Sekiranya pihak ketiga berlaku kooperatif, proses subrogasi mudah untuk dilaksanakan. Namun adakalanya juga, pihak ketiga berbelit-belit sehingga permasalahan menjadi berlarut-larut. Berdasarkan hak yang dialihkan oleh tertanggung kepada penanggung, apabila pihak ketiga dirasakan sulit atau bahkan menolak membayar ganti kerugian, penanggung dapat saja mengajukan perkara tersebut ke pengadilan berdasarkan ketentuan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Akan tetapi, pilihan ini juga tidak menyenangkan bagi penanggung karena beberapa alasan seperti di bawah ini : 1) Akan semakin memperpanjang urusan yang brarti menghabiskan waktu dan tenaga, dan biaya; 2) Pengajuan perkara ke pengadilan berpengaruh pada citra atau image perusahaan di mata public. Karena berurusan dengan pengadilan menimbulkan
kesan
kurang
baik
yang
dikhawatirkan
dapat
mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi itu. Menyadari bahwa pengajuan tuntutan ke pengadilanberharga sangat mahal, maka pihak asuransi cenderung untuk tidak mempermasalahkan perkara tersebut.
commit to user
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Faktor Dari Pihak Ketiga
Pihak ketiga adalah pihak yang menyebabkan proses subrogasi dapat terjadi. Karena apbila terjadi sebuah evenement yang diakibatkan oleh kelalaian tertanggung sendiri, maka penanggung akan mengganti. Tidak perlu ada birokrasi yang panjang untuk mendapatkan penggantian dari pihak lain. Lain halnya ketika evenement itu terjadi akibat perbuatan yang dilakukan oleh pihak ketiga, maka perlu proses birokrasi yang panjang agar klaim dibayarkan dengan proses subrogasi. Namun ternyata tidak mudah untuk meminta pertanggungjawaban dari pihak ketiga, banyak sekali kendala yang harus dihadapi baik oleh pihak penanggung maupun tertanggung. beberapa kendala itu antara lain: 1) Kesulitan menemukan kesalahan pihak ketiga. Dalam beberapa peristiwa, walaupun kerugian tertanggung ditimbulkan oleh pihak ketiga, tidaklah mudah untuk menetapkan bahwa pihak ketiga yang benar-benar menyebabkan kerugian bagi tertanggung. contohnya, kebakaran karena konsleting listrik pada rumah tetangga yang juga mengebai rumah tertanggung.
Tuntutan atas dasar subrogasi
sulit untuk dilaksanakan karena membuktikan bahwa si tetangga telah melaksanakan kesalahn juga tidak mudah. Biasanya peristiwa semacam ini akan diterima sebagai musibah yang tidak dapat ditimpakan sebagai kesalahan pihak tertentu. Atas kondisi seperti tersebut di atas, tidak mudah
untuk
menetapkan
pihak
ketiga
sebagai
pihak
yang
memungkinkan tertanggung sehingga merugikan timbulnya subrogasi. 2) Pihak ketiga tidak dapat memberikan ganti rugi. Dalam praktek asuransi kerugian, tuntutan gnti rugi terhadap pihak ketiga tidak selalu mudah untuk dilaksanakan karena pihak ketiga juga menderita kerugian. Misalnya, kebakaran yang menimpa rumah tertanggung disebabkan oleh kompor yang meledak di rumah tetangganya. Kecerobohan si tetangga jelas telah menimbulkkjan kerugian bagi orang lain. Meskipun merupakan kelalaian, namun apabila
commitmelanggar to user hukum dalam pasal 1365 Kitab menilik konsep perbuatan
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Undang-Undang Hukum Perdata, si tetanngga tetap mempunyai kewajiban memberikan ganti rugi terhadap tertanggung karena di dalam perdata tidak dibedakan antara kesengajaan dan kelalaian. Kesulitannya adalah, si tetangga tidak mmemiliki kemampuan untuk membayar ganti rugi karena ia pun menjadi korban dalam peristiwa tersebut. 3) Tidak timbul subrogasi karena terdapat klausula lain dalam polis. Dalam polis yang telah disepakati oleh tertanggung memuat berbagai ketentuan. Pemberlakuan subrogasi bisa saja terhalang karena ketentuan lain dalam polis tersebut. Seperti halnya pada asuransi kendaraan bermotor, dapat terjadi kasus mobil yang diasuransikan dicuri supir yang baru bekerja 4 (empat) hari bekerja pada tertanggung. melihat pada peristiwanya menimbulkan kerugian bagi tertanggung. akan tetapi untuk diarahkan ke bentuk subrogasi tidak mungkin. Karena dalam pasal 3 Polis Standar Kendaraan Bermotor Indonesia telah diatur bahwa penanggung tidak memberikan ganti terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh orang yang bekerja pada tertanggung. Walaupun pada kenyataannyatertanggung tidak cukup mengenal orang baru yang bekerja padanya atau memang orang tersebut sudah beritikad buruk sebelumnya saat melamar menjadi supir tertanggung. 4) Tertanggung dan pihak ketiga memilih jalan damai. Kemungkinan terjadinya subrogasi bisa terhambat apabila tertanggung dan pihak ketiga menyepakati untuk mengambil jalan damai. Artinya, masing-masing pihak tidak akan saling menuntut. Akibatnya hak tertanggung untuk meminta ganti rugi pada pihak ketiga menjadi hapus pada saat penanggung membayarkan klaim tertanggung, penanggung kehilangan hak subrogasinya. Ditinjau dari ketentuan mengenai subrogasi di dalam pasal 16 ayat (2) Polis Standar Kebakaran Indonesia yang berbunyi “ Tertanggung tetap bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang mungkin dapat merugikan hak Penanggung terhadap pihak ketiga tersebut. “ Dan pasal
commit to user
22 ayat (2) Polis Standar Kendaraan Bermotor Indonesia yang
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyatakan bahwa “Tertanggung bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang mungkin dapat merugikan hak penanggung dari pihak ketiga tersebut.” Maka perdamaian yang dilakuikan oleh tertanggung dapat dikategorikan sebagai “perbuatan” sebagaimana yang dimaksud dalam kedua pasal di atas akan mengurangi bahkan menghilangkan hak Penanggung untuk melakukan subrogasi.Hal ini sesuai dengan Pasal 16 ayat (3) Polis Standar Kebakaran Indonesia yang berbunyi sebagai berikut “ Kelalaian Tertanggung dalam melaksanakan kewajibannya tersebut pada ayat (2 ) di atas dapat menghilangkan atau mengurangi hak Tertanggung untuk mendapatkan ganti-rugi.” Dan Pasal 22 ayat (3) Polis Standar Kendaraan Bermotor Indonsia menyatakan bahwa “Kelalaian melaksanakan ayat (2) dapat menghilangkan atau mengurangi hak tertanggung untuk mendapat ganti rugi dari mpenanggung.” Dalam praktek, ketentuan dalam ayat (3) tidak selalu diterapkan karena penanggung memiliki pertimbangan khusus terkait bonafiditas tertanggung. pertimbangan-pertimbangan seperti tertanggung dianggap potensial bagi setiap penanggung sehingga dalam kasus tertentu diberi kelonggaran atau jumlah nominal diangkap kecil untuk dipermasalahkan lebih lanjut, menjadi alasannya. Sebaiknya, bisa juga terjadi perdamaian yang dilakukan dimasukan sebagai “catatan” untuk menilai tertanggung. apabila tertanggung dinilai terlalu banyak nmengajukan klaim, penanggung dapat saja tidak bersedia melanjutkan pertanggungan setelah pertanggungan yang sedang berjalan ini berakhir. Apabila kesalahan tertanggung dianggap sangat merugikan sedangkan penanggung tidak bermaksud memproses secara litigasi, maka berdasarkan pasal 27 ayat (1) Polis Standar Kendaraan Bermotor Indonesia dan Pasal 22 ayat (1) Polis Standar Kebakaran Indonesia, penanggung berhak untuk menghentikan pertanggungan. 5) Knock For Knock Agreement Dalam
peristiwa
terjadi
saling
tabrak
yang
merugikan
to user tertanggung dan jugacommit pihak ketiga, dan kedua belah pihak masing-masing
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memiliki asuransi, maka meskipun dalam polis ada ketentuan penggantian terhadap pihak ketiga, namun yang diganti oleh pihak asuransi adalah tertanggungnya sendiri. Hal ini disebabkan adanya Knock for Knock Agreement antar perusahaan asuransi. Dengan demikian, meskipun dalam polis ada kewajiban memberikan penanggungan terhadap
pihak
ketiga,
masing-masin
penanggung
hanya
perlu
menanggung kerugian tertanggungnya masing-masing. Bagian yang harus dibayar sendiri oleh tertanggunglah, yaitu risiko sendiri yang dapat dituntutkan pada pihak ketiga.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian-uraian yang telah disampaikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Di dalam ketentuan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang telah termuat secara tegas mengenai ketentuan subrogasi. Ketentuan tersebut juga diperkuat di dalam Polis Standart Asuransi Kebakaran Indonesia yang dikeluarkan oleh PT Wahana Tata Tahun 2005 tepatnya di dalam Pasal 16 dan juga termuat di dalam Polis Standart Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia yang dikeluarkan oleh Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) melalui Surat Keputusan Nomor 06 Tahun 2007 di dalam Pasal 22. Secara nyata mempunyai legitimasi hukum dimana proses pengalihan kedudukan dari tertanggung kepada penanggung atau yang disebut subrogasi hanya dapat terjadi apabila penanggung telah memberikan penggantian kerugian pada tertanggung. Urutan peristiwa bagi terjadinya subrogasi haruslah sebagai berikut : a. Tertanggung menderita kerugian karena perbuatan melanggar hukum yang dilakukan pihak ketiga; b. Tertanggung mengajukan klaim atas kerugiannya kepada pihak asuransi dengan menjelaskan bahwa kerugian tersebut diakibatkan oleh pihak ketiga; dan c. Penanggung memiliki hak untuk menuntut ganti kerugian pada pihak ketiga. 2. Klaim terhadap asuransi kerugian yang diajukan oleh tertanggung berlaku setelah Surat Permintaan Penutupan Asuransi (SPPA) yang diserahkan tertanggung kepada penanggung disetujui oleh Penanggung. Dengan disetujuinya SPPA, berarti Tertanggung sudah berhak mengajukan klaimnya kepada penanggung. Namun ketika klaim yang diajukan oleh tertanggung tersebut diakibatkan oileh sebuah evenement yang dilakukan oleh pihak ketiga, maka setelah pembayaran klaim dilakukan oleh Penanggung, penanggung dengan serta merta mempunyai hak subrogasi kepada pihak ketiga. Meskipun pengaturan prinsip subrogasi dalam praktek perasuransian di Indonesia mendapat legitimasi berdasarkan pasal committelah to user
68
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan tercantum pula dalam polis, terkadang prinsip subrogasi sulit untuk dilaksanakan karena hambatan-hambatan dari berbagai factor baik dari tertanggung, penanggung, maupun factor-faktor dari unsur lain. Tertanggung memiliki andil utama agar dapat terlaksananya tahap berikutunya dalam subrogasi. Artinya hak penanggung dalam subrogasi baru akan timbul apabila tertanggung mau menyampaikan adanya peran pihak ketiga dalam evenement yang terjadi dan menimbulkan kerugian yang diderita oleh tertanggung. Apabila tertanggung tidak jujur atau enggan menjalani proses subrogasi, maka hak subrogasi penanggung sulit untuk diwujudkan. Selanjutnya, meskipun tertanggung telah memberitahukan adanya andil pihak ketiga dalam kerugian yang dideritanya, penanggung juga memberikan andil atas tidak terlaksananya prinsip subrogasi tersebut apabila memilih untuk menuntut ganti rugi dari pihak ketiga. Pada umumnya, alasan yang dikemukakan adalah karena jumlah nominal subrogasi jauh lebih kecil dan proses pengurusan klaimnya yang lama. Dalam hal penanggung dan tertanggung telah sama-sama menghendaki dilakukannya proses subrogasi, dapat saja hak subrogasi tidak dapat dilaksanakan karena beberapa factor, seperti : kesulitan menemukan kesalahan pihak ketiga, pihak ketiga tidak dapat memberikan ganti rugi, adanya kalusula dalam polis yang menghambat klaim tertanggung, dan adanya knock for knock agreement.
B. Saran Beberapa saran atas penulisan hukum ini yang dapat diberikan antara lain : 1. Hak atas subrogasi yang diperoleh oleh Penanggung sudah terdapat di dalam ketentuan
perundang-undangan
yang
mengatur
secara
tegas
tentang
pemberlakuan subrogasi baik di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang maupun Polis itu sendiri. Maka sebaiknya, Penanggung tidak mengabaikan hak tersebut dan memanfaatkan semaksimal mungkin. 2. Bagi Tertanggung yang merasa hak atas klaimnya tidak terpenuhi segera setelah pengajuan SPPA, Tertanggung dapat meminta penggantian kerugian kepada Penanggung. Mengingat perjanjian asuransi yang telah dibuat dan disepakati oleh para pihak. Selama itu pula hak dan kewajiban masing-masing pihak tetap harus dijalankan.
commit to user