EFEKTIVITAS PENGGUNAAN AROMATASE INHIBITOR DAN MADU TERHADAP NISBAH KELAMIN IKAN GAPI ( Poecilia reticulata Peters )
Oleh: Budi Utomo C14101048
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MADU DAN AROMATASE INHIBITOR TERHADAP NISBAH KELAMIN IKAN GAPI ( Poecilia reticulata Peters ) adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Januari 2008 BUDI UTOMO C14101048
RINGKASAN BUDI UTOMO. Efektivitas pengunaan madu dan aromatase inhibitor terhadap nisbah kelamin ikan gapi ( Poecilia reticulata Peters ). Dibimbing oleh Dr. Ir Dinar Tri Soelistyowati DEA. dan Ir. Harton Arfah M.Si Ikan gapi merupakan salah satu jenis ikan hias air tawar yang banyak digemari masyarakat, terutama ikan gapi jantan karena mempunyai warna yang lebih cerah dan sirip ekor yang lebar dengan corak warna bervariasi. Hal ini menyebabkan budidaya ikan gapi jantan secara monokultur akan menguntungkan karena lebih menarik dan daya jualnya yang tinggi. Pada umumnya untuk memproduksi monosex jantan dapat dilakukan melalui tehnik pembalikan kelamin (sex reversal) menggunakan hormon steroid secara perendaman, penyuntikan atau melalui pakan. Penggunaan aromatase inhibitor (AI) dilaporkan berkemampuan cukup baik untuk menghasilkan organisme monosex jantan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan selama ini. Ketidaktepatan penggunaan bahan perangsang steroid dapat mengakibatkan kematian, kemandulan dan pencemaran lingkungan yang merugikan organisme lain, termasuk manusia, terutama apabila bahan tersebut bersifat karsinogenik. Madu lebah sebagai bahan alami yang mengandung crysin mempunyai aktifitas seperti aromatase inhibitor diharapkan sama efektifnya dengan AI dalam upaya pembalikan kelamin betina menjadi jantan, namun lebih ramah lingkungan dan ekonomis. Penelitian ini dilakukan pada bulan September-Oktober 2007 di Laboratorium Nutrisi. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Dalam penelitian ini, induk jantan dan betina masing-masing 100 ekor dipelihara secara terpisah dalam akuarium berukuran 50 x 40 x 30 cm3. Proses pencampuran induk jantan dan betina (1:2) untuk fertilisasi dilakukan selama 4 hari, dan selanjutnya induk jantan dipisah. Induk betina yang sudah dikawinkan dibagi secara acak ke dalam 9 akuarium (50 x 40 x 30 cm3) untuk 3 perlakuan masing-masing 3 ulangan : kontrol, perendaman dalam larutan madu (60 mg/L) dan perendaman dalam larutan AI (50 mg/L). Pada hari ke 12 setelah ikan dipisah dari jantan, ikan–ikan yang menunjukkan gejala bunting, yaitu ditandai dengan pembesaran pada bagian perut dan warna hitam pada daerah sekitar perut, kemudian diberi perlakuan perendaman. Perendaman induk dilakukan dalam toples yang berisi satu liter air larutan madu ( 60 ppm) atau AI (50 ppm), selama 10 jam. Kemudian, setiap induk yang sudah diberi perlakuan dipelihara dalam akuarium individual (50 x 40 x 30 cm3) sampai melahirkan anak, lalu induk dipisahkan. Anak ikan yang baru dilahirkan diberi pakan pelet Manggalindo jenis P0 yang berupa tepung, kemudian setelah bukaan mulutnya cukup besar diberi pakan cacing sutra. Anak-anak ikan tersebut kemudian dipelihara sampai pengamatan ciri sekunder jantan atau betina. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara statistik menggunakan analisa sidik ragam dengan selang kepercayaan 95% dan uji lanjut dengan Metode Khi Kuadrat. Rerata persentase jantan untuk perlakuan AI dan madu dibandingkan dengan kontrol adalah 51,97% dan 56,68% versus 47,16% (kontrol). Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan aromatase inhibitor dan madu yang
diberikan menghasilkan persentase kelamin jantan yang berbeda nyata dibandingkan kontrol (p<0,05). Rata-rata persentase jantan tertinggi adalah perlakuan madu (56,68% ±2,21872). Analisa koefisien korelasi kontingensi, menunjukkan bahwa hubungan antara perlakuan dengan perubahan nisbah kelamin lemah yaitu 0,1838, dalam hal ini semakin tinggi atau berkurangnya dosis perlakuan maka persentase jantan dapat bertambah atau bahkan dapat berkurang. Untuk membandingkan efektifitas bahan madu dan AI digunakan khikuadrat menunjukkan tidak berbeda nyata. Demikian pula dengan rerata kelangsungan hidup ikan gupi bervariasi antara 97,5%-100%, dan berdasarkan pengujian statistik dapat disimpulkan bahwa penggunaan kedua bahan dalam perlakuan sama efektifnya dalam pengarahan kelamin jantan pada ikan gapi.
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN AROMATASE INHIBITOR DAN MADU TERHADAP NISBAH KELAMIN IKAN GAPI ( Poecilia reticulata Peters )
BUDI UTOMO
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Budidaya Perairan
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Skripsi
: EFEKTIVITAS PENGUNAAN MADU DAN AROMATASE INHIBITOR TERHADAP NISBAH KELAMIN IKAN GAPI ( Poecilia reticulata Peters ) : Budi Utomo : C14101048
Nama Mahasiswa Nomor Pokok
Disetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Dinar Tri Soelistyowati NIP.131 413 353
Harton Arfah M.Si NIP. 131 953 484
Mengetahui Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr.Ir. Indrajaya M.Sc NIP. 131 578 799
Tanggal lulus ujian :
KATA PENGANTAR Segala puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dinar Tri Soelistyowati dan Bapak Harton Arfah sebagai pembimbing yang telah membimbing dan mendidik serta memotivasi penulis selama menjadi mahasiswa. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu serta kakak yang telah memberikan kasih sayang dan do’anya. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ibu Ing Mokoginta yang telah memberi izin dan fasilitas penelitian di Lab. Nutrisi, serta kepada teman-teman BDP ”38 dan MBP ”39, ial, yasir, giri, fajar, mamo, yua, ntur atas persahabatan, kebersamaan dan keceriaannya. Especially for dian dan anggun atas dorongannya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pengembangan budidaya ikan gapi. Bogor, Januari 2008
Budi Utomo
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palembang pada 20 Mei 1983 dari pasangan Bapak Maski dan Ibu Tasliatul Fuadiah dan merupakan putra ke enam dari enam bersaudara. Pendidikan formal yang dilalui penulis adalah SMU Negeri 2 Metro dan lulus tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah mengikuti kegiatan Praktek Lapangan Pembenihan dan Pembesaran Kerapu Macan dan Bebek di Pulau Seribu, Jakarta. Selain itu, penulis pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI...................................................................................................viii DAFTAR TABEL ............................................................................................ix DAFTAR GAMBAR.........................................................................................x DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................xi I.PENDAHULUAN ...........................................................................................1 Latar belakang...............................................................................................1 Tujuan ...........................................................................................................2 II.TINJAUAN PUSTAKA................................................................................3 Biologi Ikan Gapi..........................................................................................3 Perubahan jenis kelamin................................................................................4 Aromatase Inhibitor...................................…................................................7 Madu..............................................................................................................8 III.METODOLOGI ........................................................................................11 Waktu dan Tempat ......................................................................................11 Alat dan Bahan............................................................................................11 Pemeliharaan Induk.....................................................................................12 Variabel Pengamatan ..................................................................................13 Analisis Data ...............................................................................................13 IV.HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................16 Hasil ............................................................................................................16 Keberhasilan Pengarahan Kelamin Jantan........ ................................16 Tingkat Kelangsungan Hidup (SR)...................................................18 Parameter Kualitas Air......................................................................19 Pembahasan.................................................................................................20 V.KESIMPULAN............................................................................................26 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................27 LAMPIRAN.....................................................................................................32
DAFTAR TABEL Halaman 1. Komposisi madu .........................................................................................11 2. Persentase ikan gapi jantan % .....................................................................16 3. Persentase ikan gapi betina % .....................................................................17 4. Tabel kontingensi 2x2 .................................................................................18 5. % kelangsungan hidup ikan gapi (%) .........................................................18 6. Pengamatan parameter kualitas air..............................................................19 7. Pengaruh pH terhadap kelangsungan hidup ikan ........................................24
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Ciri morfologis ikan gapi jantan (atas) dan betina (bawah) skala 1:2.................................................................................4 2. Perbedaan kecerahan larutan pada perlakuan madu 60 ppm (kiri) dan AI 50 ppm (kanan) ..........................................................12 3. Histogram persentase ikan gapi jantan pada masing-masing perlakuan......16 4. Histogram persentase ikan gapi jantan pada masing-masing perlakuan......17 5. Histogram rata-rata tingkat kelangsungan hidup gapi pada perlakuan perendaman madu dan AI............................................................19
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Akuarium pemeliharaan dan tata letak........................................................32 2. Tabel dan analisis ragam rasio kelamin jantan dan betina dengan berbagai perlakuan madu dan AI....................................................32 3. Tabel dan analisis ragam tingkat kelangsungan hidup dengan berbagai perlakuan madu dan AI setelah perlakuan dan pemeliharaan.......33 4. Analisis ragam rasio kelamin jantan dan betina dengan dengan madu dan AI menggunakan khi-kuadrat...............................................................34 5. Analisis ragam rasio kelamin jantan dan betina dengan dengan madu dan AI menggunakan koefisien korelasi kontingensi (C)................... ........34
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi sebagai salah satu negara penghasil ikan hias terbesar di dunia. Saat ini permintaan ikan hias tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Ikan gapi merupakan salah satu jenis ikan hias air tawar yang banyak digemari masyarakat sebagai hobi, terutama ikan gapi jantan karena mempunyai warna yang lebih cerah dan sirip ekor yang lebar dengan corak warna bervariasi, sehingga lebih menarik dibandingkan betina. Hal ini menyebabkan budidaya ikan gapi jantan secara monokultur akan menguntungkan karena daya tarik dan daya jualnya yang tinggi. Pada umumnya untuk memproduksi monosex jantan dapat dilakukan melalui tehnik sex reversal dengan menggunakan hormon steroid. Metode yang biasa digunakan ialah dengan cara perendaman, penyuntikan atau melalui pakan. Metode sex reversal dengan bahan alami diantaranya adalah penggunaan madu. Penggunaan madu mempunyai banyak keuntungan yaitu lebih murah, mudah didapat, ramah lingkungan dan tidak bersifat karsinogenik dibandingkan dengan penggunaan hormon sintetis (17α-metiltestosteron, dll). Madu menunjukkan keefektifan dalam produksi monokultur jantan pada ikan nila GIFT (Oreochromis niloticus) yang diberikan secara oral dengan dosis 200 ml/kg pakan dan tingkat keberhasilannya sebesar 93,33% (Syaifudin, 2004) dan dalam penelitian sebelumnya Martati (2006) telah berhasil mengarahkan
kelamin ikan gapi
menjadi jantan dengan perendaman induk selama 10 jam dengan dosis 60 ppm dengan tingkat keberhasilan sebesar 59,5%. Berbeda dengan Djaelani (2007) dan Sukmara (2007) yang melakukan perendaman madu kepada larva ikan gapi, yang mempunyai tingkat persentase jantan masing-masing 46,90% (dosis 10 ppm selama 10 jam) dan 46,99% (dosis 5 ppm selama 10 jam). Pada ikan-ikan berukuran kecil, perlakuan perendaman dengan menggunakan madu cukup efektif dalam meningkatkan populasi ikan monosex jantan dengan pertumbuhan yang cepat dan ekonomis. Pada ikan Salmon, aromatase inhibitor telah berhasil menghasilkan jantan fungsional sebesar 20% melalui perendaman telur selama 2
jam dengan dosis 10 mg/l (Piferrer et al., 1994). Meningkatkan persentase jantan pada ikan nila merah sebesar 20% dari kontrol melalui perendaman embrio selama 10 jam dengan dosis 20 mg/l dengan persentase jantan 82,22% (Nurlaela, 2002), ikan gapi (Poecilia reticula) sebesar 14% melalui perendaman induk selama 10 jam dengan dosis 50 mg/l dengan persentase jantan 54,29% (Mazida, 2002). Studi penggunaan aromatase inhibitor (AI) dilaporkan berkemampuan cukup baik untuk menghasilkan organisme monosex jantan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan selama ini. Efek maskulinisasi menggunakan bahan AI pada ikan cupang (Betta sp.) menghasilkan persentase jantan sebanyak 38,89% melalui perendaman embrio dengan dosis 30 mg/l (Wulansari, 2002). Penggunaan kedua bahan tersebut untuk tujuan pembalikan kelamin perlu ditinjau efektifitasnya terkait dengan faktor ekonomis dan lingkungan. Ketidaktepatan penggunaan bahan perangsang steroid sintetis dapat mengakibatkan kematian, kemandulan dan pencemaran lingkungan yang merugikan organisme lain, termasuk manusia karena bahan tersebut bersifat karsinogenik. Madu lebah merupakan bahan alami yang mengandung crysin dari jenis flavonoid yaitu mempunyai aktifitas sebagai aromatase inhibitor (Dean, W. 2004). Penggunaan madu diharapkan dapat menggantikan fungsi hormon sintetis dalam upaya pembalikan kelamin betina menjadi jantan, bersifat ramah lingkungan dan ekonomis dibandingkan dengan hormon androgen sintetis, atau aromatase inhibitor.
1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penggunaan madu dan aromatase inhibitor melalui perendaman induk pada hari ke-12 pasca fertilisasi terhadap nisbah kelamin ikan gapi ( Poecilia reticulata Peters ).
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Ikan Gapi Klasifikasi ikan gapi menurut Nelson (1984) : Filum
: Chordata
Sub Filum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub Kelas
:Teleostei
Ordo
: Cyprinodonoidi
Sub Ordo
: Poecilioidei
Family
: Poecilidae
Genus
: Poecilia
Spesies
: Poecilia reticulata Peters
Ikan gapi berasal dari daerah Amerika Selatan, tepatnya di daerah Amazon. Ikan gapi merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang memiliki penampilan morfologis cukup menarik dan toleransi yang tinggi terhadap kondisi perairan yang kurang baik. Selain hidup di perairan tawar, ikan gapi juga mampu beradaptasi di perairan payau (Nelson, 1984) serta pada kisaran suhu antara 25280 C dengan pH sekitar ± 7,0. Ikan gapi bersifat omnivora dan memiliki panjang tubuh sekitar 5-6 cm. Ikan gapi merupakan ikan yang bersifat ovovivipar (Kirpichnikov, 1981) yaitu ikan yang bertelur dan melahirkan. Menurut Jollie (1964) selama di dalam perut induknya, embrio mendapat makanan bukan langsung dari induknya melainkan dari kuning telur. Ikan gapi memiliki gonad yang cepat berkembang yaitu 3 minggu setelah larva lahir gonopodium pada jantan telah berkembang , karena itu ikan gapi dikenal sebagai ikan yang berkembang biak cepat. Dalam satu kali perkawinan, seekor ikan gapi melahirkan secara parsial sampai 3 kali dengan interval waktu 1 bulan (Fernando dan Phang, 1985). Pada saat fertilisasi , sperma yang masuk dalam tubuh induk betina dapat bertahan hingga 6 bulan, sehingga dalam waktu 6 bulan tersebut ikan dapat melahirkan walaupun tidak terjadi perkawinan kembali (Lesmana dan Dermawan, 2001). Ikan gapi dapat menghasilkan anak dengan rata-rata terendah 30-80 ekor, namun ada juga yang
dapat menghasilkan sampai ratusan ekor ( Fernando dan Phang, 1985). Menurut Iwasaki (1989) siklus hidup gapi melewati berbagai tahap yaitu larva, juvenile, dewasa dan masa pertumbuhan maksimum. Ikan gapi dapat memiliki pertumbuhan yang optimum di daerah yang mempunyai pencahayaan yang cukup baik, selain berpangaruh juga terhadap keaktifan dan kecemerlangan warna tubuh. Menurut Lingga dan susanto (1987) perbedaan antara ikan gapi jantan dan ikan betina telihat dari ciri-ciri morfologisnya. Ikan gapi jantan memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan ikan betina, ikan gapi jantan memiliki ekor lebih lebar dan warna ekor yang lebih cemerlang dibandingkan betina.
Gambar 1. Ciri morfologis gapi jantan (atas) dan betina (betina) skala 1:2 Pada ikan gapi jantan, sirip anal mengalami modifikasi
menjadi
gonopodium (Mozart, 1996). Ikan gapi pada habitat alami untuk ikan betina dapat mencapai ukuran maksimal 7cm, lebih panjang dari jantan yang panjangnya kurang dari 4 cm (Lingga dan Susanto, 1987)
2.2 Perubahan Jenis Kelamin Jenis kelamin suatu individu ditentukan oleh faktor genetis dan lingkungan. Secara genetis, jenis kelamin pada zigot merupakan hasil dari keseimbangan gen penentu jantan dan betina di dalam kromosom kelamin, serta sebagian kecil gen yang berada di dalam autosom ( Yamamoto, 1969 ). Perubahan jenis kelamin dapat terjadi apabila keseimbangan gen penentu jantan dan betina didalam autosom berubah ( Kirpichnikov, 1981 ). Fungsi mekanisme genetik pada sistem endokrin embrional mengarahkan differensiasi gonad yang menentukan
jenis kelamin embrio. Perubahan jenis kelamin secara alami yang disebabkan oleh faktor lingkungan tidak merubah susunan genetis, misalnya pada ikan kerapu, kakap, sidat, dll. Tetapi hanya merubah ikan jantan secara genetik menjadi ikan betina secara fenotipe atau sebaliknya ( Zairin, 2002 ). Proses differensiasi merupakan proses perkembangan gonad ikan menjadi jaringan yang definitif. Proses ini terdiri dari serangkaian kejadian yang memungkinkan seks genotipe terekspresi menjadi seks fenotipe ( Zairin, 2002 ). Keturunan monosex jantan dapat diperoleh melalui perlakuan hormon androgen seperti 17α-metiltestosteron (MT), testosterone propionate dan 11 ketotestosteron. Sejauh ini, androgen yang paling efektif untuk menghasilkan populasi monoseks jantan adalah metiltestosteron (Zairin et al.,2002). Pembalikan kelamin mempunyai banyak cara yaitu melalui manipulasi hormonal atau manipulasi
kromosom
atau
kombinasi
keduanya
(Sumandinata,
1983).
Pengarahan diferensiasi kelamin secara buatan dari ikan jantan secara genetik menjadi ikan betina fungsional maupun sebaliknya disebut tehnik sex reversal. Pengarahan
kelamin
secara
buatan
dimungkinkan
karena
pada
awal
perkembangan embrio atau larva belum terjadi diferensiasi kelamin (Carman et al., 1998), yaitu pada saat otak embrio masih dalam keadaan bipotensial untuk pembentukan kelamin, baik secara morfologi, tingkah laku ataupun fungsinya (Borg, 1994). Perubahan kelamin akan sempurna jika dilakukan pada saat dimulainya diferensiasi kelamin dan berlanjut sampai diferensiasi kelamin terjadi ( Yamamoto, 1969). Perubahan jenis kelamin secara buatan dapat dilakukan dengan menggunakan hormon steroid sebagai perangsang. Metode perangsangan secara buatan diberikan pada fase pertumbuhan gonad dimana belum terjadi differensiasi kelamin dan belum ada pembentukan steroid, sehingga perkembangan gonad dapat diarahkan sesuai dengan tujuannya (maskulinisasi) atau (feminisasi). Penggunaan hormon sintetis memiliki efektifitas yang lebih tinggi daripada bahan alami,misalnya 17α-metiltestosteron, karena mampu beraksi lebih lama pada target sel dan lambat dieliminasi. Hormon metiltestosteron pada individu jantan dapat meningkatkan spermatogenesis, sedangkan pada individu
betina menimbulkan karakter kelamin sekunder jantan yaitu berupa perpanjangan sirip anal dan menyebabkan degenerasi ovari serta reabsorbsi telur. Dalam mengarahkan kelamin pada ikan, perlakuan dengan hormon steroid yang diberikan secara eksogenus harus dimulai pada waktu yang tepat. Waktu yang tepat untuk perlakuan tersebut adalah sebelum dimulainya diferensiasi kelamin (Yamazaki, 1983), yaitu pada saat stadia larva atau pada saat ikan baru mulai makan. Selanjutnya dijelaskan bahwa periode tersebut adalah umur benih ikan antara sepuluh sampai tiga puluh hari setelah menetas ( Pandian dan Shella, 1995). Sedangkan menurut Baroiler et al (1995) peningkatan signifikan jumlah jantan terjadi bila perlakuan pengarahan diberikan pada hari ke-9 sampai dengan 13 setelah pembuahan. Menurut Hines dan Watt (1995), panjang larva 9 mm merupakan ukuran larva terbaik untuk melakukan manipulasi sex. Dalam hal ini, keberhasilan pengarahan kelamin menggunakan hormon steroid dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu jenis dan umur ikan, dosis hormon, lama waktu dan cara pemberian hormon, serta faktor lingkungan (Nagy et al., 1981). Menurut Kwon et al (2000), masa diferensiasi kelamin pada ikan bersifat spesifik tergantung spesies. Diferensiasi kelamin pada ikan gapi terjadi sebelum dilahirkan sampai beberapa saat setelah menjadi larva, sehingga untuk proses manipulasi dapat dilakukan pada fase embrio ketika masih di dalam ovari induknya (Yamazaki dalam Anjastuti, 1995) maupun pada fase larva. Selanjutnya Arfah (1997) menyatakan bahwa fase diferensiasi kelamin ikan poecilidae terjadi pada fase embrio sampai larva berumur 12 hari.
2.3 Aromatase Inhibitor Aromatase inhibitor berfungsi untuk menghambat kerja aromatase dalam sintesis estrogen. Penghambatan ini mengakibatkan terjadinya penurunan konsentrasi estrogen yang mengarah pada tidak aktifnya transkripsi dari gen aromatase sebagai feedbacknya (Balthazart dan Ball, 1989 dalam Server et al., 1999). Penurunan rasio estrogen terhadap androgen menyebabkan terjadinya perubahan penampakan dari betina menjadi menyerupai jantan, dengan kata lain terjadi maskulinisasi karakteristik seksual sekunder (Davis et al., 1999). Secara umum, aromatase inhibitor, selain menghambat proses transkripsi gen-gen
aromatase sehingga mRNA tidak terbentuk dan enzim aromatase tidak ada, juga bersaing dengan substrat alami (testosteron) sehingga aktivitas aromatase tidak berjalan (Brodie, 1991). Menurut Wozniak et al., (1992) terdapat dua jenis aromatase inhibitor, yaitu aromatase inhibitor steroid dan aromatase inhibitor non steroid. Contoh dari aromatase inhibitor steroid adalah 1,4,6-androstatrien-3,17-dione (ATD dan 4hydroxy-androstenedione (4-OH-A), sedangkan aromatase inhibitor non steroid diantaranya adalah imidazole (Hutchison et al., 1997) dan fadrozole (Affonso et al., 2000). Aromatase inhibitor non steroid lebih efektif dalam menghambat aktivitas aromatase dibandingkan dengan aromatase inhibitor steroid (ATD atau 4-OH-A). Mekanisme penghambatan aromatase oleh aromatase inhibitor yang digunakan melalui cara bersaing dengan substrat alami dari enzim yang selanjutnya berinteraksii dengan sisi aktif dari enzim, mengikatnya dan tidak dapat kembali lagi sehingga mengakibatkan ketidakaktifan dari enzim (Brodie, 1991). Pada ikan Salmon, aromatase inhibitor telah berhasil menghasilkan jantan fungsional sebesar 20% melalui perendaman telur selama 2 jam dengan dosis 10 mg/l (Piferrer et al., 1994). Pemberian aromatase inhibitor ini telah terbukti mampu menghasilkan jantan sebanyak 38,89% pada ikan cupang (Betta sp.) melalui perendaman embrio dengan dosis 30 mg/l (Wulansari, 2002), meningkatkan persentase jantan pada ikan nila merah sebesar 20% dari kontrol melalui perendaman embrio selama 10 jam dengan dosis 20 mg/l dengan persentase jantan 82,22% (Nurlaela, 2002), ikan gapi (Poecilia reticula) sebesar 14% melalui perendaman induk selama 10 jam dengan dosis 50 mg/l dengan persentase jantan 54,29% (Mazida, 2002). Aromatase terdiri dari hemoprotein cytochrome P-450 dan flavoprotein NADPH-cytochrome P-450 reductase (Brodie, 1991). Aromatase telah ditemukan pada beberapa spesies ikan yang ekspresinya dominan pada otak, pituitary dan gonad (Sudrajat, 2000). Saat ini, peranan Cytocrome P-450 aromatase pada determinasi jenis kelamin telah diuji, karena hal inilah yang bertanggung jawab terhadap aromatase androstenedione menjadi estrone, dan testosteron menjadi estradiol 17β (Jeyasuria et al., 1996 dalam Kwon et al., 2000). Aktivitas aromatase berkorelasi dengan
struktur gonad, dimana larva dengan aktivitas aromatase yang rendah akan mengarah pada terbentuknya testis sedangkan aktivitas aromatase yang tinggi akan mengarah pada terbentuknya ovari (Server et al., 1999).
2.4 Madu Madu merupakan larutan karbohidrat yang dihasilkan oleh lebah madu. Madu memiliki banyak khasiat bagi kesehatan tubuh. Madu yang dihasilkan oleh lebah madu (Apis mellifera) berasal dari nectar bunga dan tepung sari. Komponen utama madu adalah dekstrosa dan levulosa. Madu berkadar kalium, besi dan mineral lain yang lebih tingi dari pada gula, karena madu berasal dari berbagai jenis nektar bunga , sehingga kandungan, susunan, dan penampilan tiap jenis madu berbeda-beda.Aroma dan warna madu tergantung pada bunga sebagai sumber nektar yang diperoleh lebah. Ada yang aromanya kuat dan ada pula yang lemah, warnanya ada yang gelap ada yang berwarna muda. Madu mengandung 70-80% gula invert yang terlarut dalam air, sukrosa, maltosa, dekstrin, vit C, vit B1, vit B2, vit B6, asam pantotenat, asam folat, mineral ( Na, K, Ca, MN, Fe, Cu, P,S ) enzim hormon, zat bakterisida, fungisida, zat aromatik, lilin, protein, minyak atsiri dan asam formiat dan serbuk sari bunga. Madu juga mengandung bahan penggumpal yang biasanya ada dalam bentuk suspensi dan cenderung merupakan perangsang fermentasi. Madu berubah secara kimiawi pada derajat keasaman pH kurang lebih 3,7, atau pada pH lebih dari 7 yaitu terjadi degradasi gula dalam madu. Dari uraian diatas jelas bahwa madu memiliki nilai gizi tinggi, dan selain itu madu juga memiliki kandungan enzim dan hormon. Madu juga berfungsi sebagai antioxidan, diantaranya adalah chrysin, pinobanksin, vitamin c, catalase dan pinocebrin ( Anonim, 2007a). Zat chrysin memiliki fungsi yang dapat disamakan dengan aromatase inhibitor, chrysin merupakan salah satu jenis flavonoid yang diakui sebagai salah satu penghambat dari enzim aromatase atau lebih dikenal sebagai aromatase inhibitor (Dean, 2004). Aromatase merupakan enzim yang mengkatalis konversi testosteron (androgen) menjadi estradiol (estrogen) (Anonim, 2007b). Sehingga dalam proses steroidogenesis dalam sel, pembentukan estradiol dari konversi testosteron akibat adanya enzim aromatase akan terhambat karena adanya chrysin yang berperan sebagai aromatase inhibitor
dan pada akhirnya proses steroidogenesis berakhir pada pembentukan testosterone yang akan merangsang pertumbuhan organ kelamin jantan dan menimbulkan sifat-sifat kelamin sekunder jantan. Syaifuddin (2004) menyatakan bahwa pemberian suplemen madu pada ikan nila GIFT memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap rasio jenis kelamin yang dihasilkan. Selanjutnya dikatakan bahwa perubahan jenis kelamin dari betina menjadi janta diduga disebabkan oleh kandungan kalium yang tinggi pada madu. Kalium berpengaruh terhadap pembentukan pregnenolon dan kortikosteron menjadi aldosteron. Pregnenolon merupakan sumber biosintesis hormon-hormon steroid oleh kelenjar adrenal. Pregnenolon berfungsi membentuk hormon-hormon streoid dalam mitokondria yang membantu proses perubahan dari 17 hidroksi progesterone yang akan membentuk testosterone yang berfungsi sebagai hormon androgen dalam spesies jantan. Dalam masa diferensiasi sex, apabila terdapat banyak hormon androgen yang menghasilkan testosterone dalam tubuh ikan maka akan mengarahkan pembentukan sel kelamin jantan. Seperti cara kerja dari 17α-metiltestosteron (MT), yaitu dengan menambah jumlah hormon testosteron, maka jumlah hormon androgen akan lebih unggul dari estrogen sehingga merangsang perkembangan testes yang mengarahkan diferensiasi menjadi kelamin jantan. Keberhasilan pengarahan kelamin pada produksi monoseks jantan yang telah dilakukan selama ini antara lain Yunianti (1995) dalam Zairin (2002) telah berhasil melakukan maskulinisasi ikan gapi hingga 100% dengan melakukan perendaman induk gapi yang sedang bunting menggunakan hormon 17αmetiltestosteron sebanyak 2 mg/l selama 24-48 jam. Syaifudin (2004) telah berhasil mengarahkan benih ikan nila GIFT (Oreochromis niloticus) menjadi jantan dengan persentase jantan sebesar 93,33% dengan dosis pemberian madu 200 ml/kg pakan. Dalam penelitian sebelumnya Martati (2006) telah berhasil mengarahkan kelamin ikan gapi menjadi jantan dengan perendaman induk selama 10 jam dengan dosis 60 ml/kg dengan tingkat keberhasilan sebesar 59,5%. Berbeda dengan Djaelani (2007) dan Sukmara (2007) yang melakukan perendaman madu pada larva ikan gapi, yang mempunyai tingkat persentase
jantan masing-masing 46,90% (dosis 10 ppt selama 10 jam) dan 46,99% ( dosis 5 ppt selama 10 jam).
III. METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan September-Oktober 2007 di Laboratorium Nutrisi. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain 2 buah akuarium 50 x 40 x 30 cm3 untuk pemeliharaan induk jantan dan betina, 3 buah toples untuk perlakuan perendaman, 12 buah akuarium berukuran 50 x 40 x 30 cm3 untuk pemeliharaan hasil perlakuan, seser, perlengkapan aerasi, termometer, kamera. Bahan–bahan yang digunakan dalam penalitian ini meliputi induk ikan gapi jantan 100 ekor dan betina 100 ekor, air, larutan madu bunga liar 60 mg/L, aromatase inhibitor 50 mg/L, pelet Manggalindo jenis P0 yang berupa tepung untuk pakan larva yang baru lahir sampai berumur 10 hari, dan cacing cutra untuk pakan larva dewasa. Komposisi madu dan bahan yang terkandung di dalam disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Komposisi Madu Hutan Perum Perhutani Parameter Kalori Lemak Asam Lemak Jenuh Kolesterol Total Karbohidrat Serat makanan Protein Natrium (Na) Kalsium (Ca) Besi (Fe) Kalium (K) Vitamin A Vitamin C
Satuan Kal/100 gram % % mg/100 gram % % % mg/100 gram mg/100 gram mg/100 gram mg/100 gram IU/100 gram mg/100 gram
Hasil 320 0 0 <0 79.3 0.73 0.63 12.8 9.84 0.63 102 <0.5 3.52
Perbedaan kecerahan antara larutan madu dan larutan AI untuk perlakuan perendaman digambarkan pada foto (gambar 2).
Gambar 2. Perbedaan kecerahan larutan pada perlakuan madu 60 ppm (kiri) dan AI 50 ppm (kanan)
3.3 Pemeliharaan Induk Induk ikan gapi jantan 100 ekor dan betina 100 ekor yang dipelihara secara terpisah dalam akuarium berukuran 50 x 40 x 30 cm3, diberi makan cacing sutra dengan pemberian secara adlibitum. Penyiponan dilakukan setiap pagi dengan pergantian air 20%. Induk jantan dan betina dikawinkan secara masal dengan perbandingan jantan dan betina 1:2. Proses pencampuran induk jantan dan betina untuk fertilisasi dilakukan selama 4 hari, dan selanjutnya induk jantan dipisah. Induk betina yang sudah dikawinkan dibagi secara acak kedalam 3 akuarium perlakuan, kontrol, perendaman dalam larutan madu (60 mg/L) dan perendaman dalam larutan AI (50 mg/L) dan perlakuan perendaman dilakukan selama 10 jam untuk madu maupun AI. Ikan – ikan yang menunjukkan gejala bunting ditandai dengan pembesaran pada bagian perut dan warna hitam pada daerah sekitar perut, perendaman dilakukan pada hari ke 12 setelah ikan dipisah dari jantan. Perendaman induk dilakukan dalam toples yang berisi satu liter air larutan bermadu atau AI, selama 10 jam. Setiap perlakuan diulang 3 kali. Kemudian, setiap induk yang sudah diberi perlakuan dipelihara dalam akuarium individual (50 x 40 x 30 cm3) sampai melahirkan anak, lalu induk dipisahkan. Anak ikan
yang baru dilahirkan diberi pakan pelet P0 yang berupa tepung, kemudian setelah bukaan mulutnya cukup besar diberi pakan cacing sutra. Anak-anak ikan tersebut kemudian dipelihara sampai pengamatan ciri sekunder jantan atau betina.
3.4 Variabel Pengamatan Variabel yang diamati adalah ciri sekunder dari ikan jantan dan betina yang dilahirkan induk paska perlakuan setelah ikan berumur 1,5 bulan. Ciri-ciri morfologis dari ikan gapi jantan ialah memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan ikan betina dan ikan gapi jantan memiliki sirip anal yang mengalami modifikasi menjadi gonopodium serta memiliki ekor lebih lebar dan warna ekor yang lebih cemerlang dibandingkan betina. Ikan gapi betina dapat mencapai ukuran 7 cm, lebih panjang dari jantan yang panjangnya kurang dari 4 cm. Persentase ikan jantan dan betina tersebut digunakan sebagai indikator keberhasilan perubahan seks secara hormonal mengunakan bahan alami (madu) dan sintetis (AI). Sebagai variabel pendukung adalah data sintasan (SR) dan parameter kualitas air yang meliputi DO, pH, suhu dan TAN. Untuk mengetahui dampak lingkungan yang ditimbulkan dari masing-masing bahan perangsang steroid. Parameter kualitas air diukur pada saat pemeliharaan
induk, perlakuan dan
pemeliharaan larva.
3.5 Analisis Data Data diolah dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap ( RAL ) Persamaan RAL : Yij = µ + αi + Єij Keterangan : Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = Rata-rata umum αi = Pengaruh perlakuan ke-i (1,2,3,4) Єij = Galat perlakuan ke-i, ulangan ke-j Dan dilanjutkan dengan analisis koefisien korelasi dengan metode statistik kualitatif khi-kuadrat, untuk menguji dependensi frekuensi jantan dan betina,
terkait dengan karakteristik perlakuan dalam bentuk tabel kontingensi (Hasan, 2004). Dalam hal ini , hipotesis yang akan diuji adalah : Ho : Jenis kelamin dan kategori perlakuan adalah independen P1=P2=P3=Pn ( tidak ada perbedaan antara kategori satu dengan yang lainnya ). H1 : Jenis kelamin dan kategori perlakuan adalah dependen P1≠P2≠Pn ( terdapat perbedaan antara kategori satu dengan yang lainnya ). Statistik Uji : ¾
2
xhit =
¾ Eij =
n
r
j =1
i =1
Σ Σ
(nij − Eij ) 2 Eij
nio noj n x2 (Rumus koefisien korelasi kontingensi) x2 + n
¾ C=
¾ x2 =
n ( ad − bc − 1 / 2n) 2 (a + b)(a + c)(b + d )(c + d )
(nilai x 02 )
Ket : 2
xα
memiliki derajat bebas (df) sebesar (γ-1) (n-1)
r = baris n = kolom nij = fo (frekuensi terukur) Eij = fe (frekuensi harapan) Menentukan kriteria pengujian dalam uji khi kuadrat dua sampel : 2
¾ H0 diterima (H1 ditolak) apabila x 02 ≤
xα
¾ H1 diterima (H0 ditolak) apabila x 02 ≥
xα
2
Serta disajikan dalam bentuk tabel dan gambar untuk persentase ikan jantan dan betina dari tiap perlakuan. Dengan rumus :
Persentase ikan jantan berdasarkan morfologi
% jantan =
∑
∑ ikan jan tan ikan yang diamati
x 100%
Persentase ikan betina berdasarkan morfologi
% betina =
∑ ikan betina
∑ ikan yang diamati
x 100%
IV.HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil 4.1.1 Keberhasilan Pengarahan Kelamin Jantan Pada tabel 2 terlihat kenaikan persentase jantan untuk perlakuan AI dan madu dibandingkan dengan kontrol. Rata-rata persentase jantan sebesar 51,97%±1,67 (AI) dan madu sebesar 56,68%±2,22 (madu) lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (47,16%±0,73). Tabel 2. Persentase ikan gapi jantan (%) Ulangan 1 2 3 Rata-rata SD
Kontrol
Perlakuan AI
Madu
47,83 47,27 46,38 47,16 0,73
51,39 50,67 53,85 51,97 1,67
58,97 54,55 56,52 56,68 2,22
Persentase Jantan
Ikan Jantan (%)
70,00 60,00 50,00
47,16
51,97
56,68
40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 Kontrol
AI
Madu
Perlakuan
Gambar 3. Histogram persentase ikan gapi jantan pada masing-masing perlakuan Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian dosis aromatase inhibitor dan madu yang dilakukan menghasilkan persentase kelamin jantan yang berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol (p<0,05). Artinya kedua perlakuan (AI dan Madu) dapat meningkatkan pengarahan kelamin jantan pada ikan gapi. Dari hasil perhitungan jantan masing-masing perlakuan diperoleh rata-
rata persentase jantan tertinggi terdapat pada perlakuan madu yaitu sebesar 56,68% (±2,21872). Berdasarkan analisis Korelasi koefisien kontingensi, ditemukan bahwa hubungan antara perlakuan lemah, yaitu berada diantara selang 0,00 ≤ KK ≤ 0,20 dengan nilai koefisien kontingensi sebesar 0,1838. Hal ini dapat diartikan bahwa pemberian perlakuan bahan perangsang steroid berdampak positif terhadap tingkat persentase jantan atau sebaliknya. Tabel 3. Persentase ikan gapi betina (%) Ulangan 1 2 3 Rata-rata SD
Kontrol
Perlakuan AI
Madu
52,17 52,73 53,62 52,84 0,73135
48,61 49,33 46,15 48,03 1,66678
41,03 45,45 43,48 43,32 2,21872
Jumlah Ikan Betina (%)
Tingkat Persentase Betina 70.00 60.00
52.84
50.00
48.03
43.32
40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 Kontrol
AI
Madu
Perlakuan
Gambar 4. Histogram persentase ikan gapi betina pada masing-masing perlakuan Pada gambar 3 terlihat penurunan persentase betina pada perlakuan yang diberikan dibandingkan dengan kontrol. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan berbeda nyata dengan F hit (24,7713) > F tab (5,143253). Penambahan persentase jantan pada perlakuan berarti terdapat pengurangan persentase betina. Hasil koefisien korelasi kontingensi, menunjukkan hubungan antara perlakuan dengan perubahan persentase gapi betina lemah yaitu berada diantara selang 0,00 ≤ KK ≤ 0,20 dengan nilai koefisien kontingensi sebesar 0,1947.
Untuk membandingkan efektifitas bahan madu dan AI dilakukan analisis kontingensi 2x2 (perlakuan versus nisbah kelamin) dengan menggunakan khikuadrat. Tabel 4. Tabel Kontingensi 2x2 Perlakuan
Persentase
Jumlah
Jantan
Betina
AI
51,97
48,03
100,00
Madu
56,68
43,32
100,00
Jumlah
108,65
91,35
200,00
Hasil perhitungan x2 lebih kecil dari x2 tabel, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dari dua jenis perlakuan terhadap perubahan nisbah kelamin. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan kedua bahan perangsang steroid (madu, AI) sama efektifitasnya dalam pengarahan kelamin jantan pada ikan gapi.
4.1.2 Tingkat Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup ikan gupi rata-rata bervariasi pada selang 97,5%100%. Tabel 5. % kelangsungan hidup ikan gapi (%) Ulangan 1 2 3 Rata-rata SD
Kontrol
Perlakuan AI
Madu
100 100 97,18 99,06
100 100 100 100,00
97,5 100 100 99,17
1,62813
0,00000
1,44338
Jumlah Ikan hidup (%)
Kelangsungan Hidup 120,00 100,00
99,06
100,00
99,17
Kontrol
AI
Madu
80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 Perlakuan
Gambar 5. Histogram kelangsungan hidup ikan gapi Menurut pengujian statistik yang telah dilakukan memperlihatkan bahwa tingkat kelangsungan hidup dari ikan gupi pada masa pemeliharaan tidak berbeda nyata berdasarkan tabel sidik ragam diketahui F hit (0,5036) lebih kecil dari F tabel (5,1432).
4.1.3 Parameter Kualitas Air Pengukuran kualitas air dilakukan pada saat pemeliharaan induk, saat perlakuan dan pemeliharaan larva. Parameter yang diamati adalah DO, pH , suhu dan TAN. Tabel 6. Parameter kualitas air Parameter pH DO Suhu TAN
Pemeliharaan induk 6,95 6,52 25-27 0,065
Saat perlakuan
AI
Madu
7,13 7,23 25-27 0,054
4,72 6,84 25-27 0,067
Pemeliharaan larva 7,02 6,2 25-27 0,074
Pada tabel 5 terlihat perbedaan pH pada perlakuan madu (4,72) dibandingkan dengan AI (7,13). Hal ini menunjukkan bahwa madu menurunkan pH. Sedangkan pada DO, kemungkinan madu mempengaruhi kelarutan dari oksigen, karena madu adalah cairan yang cukup pekat. DO pada madu (6,84) lebih rendah dari AI (7,23). Kisaran suhu antara 25-27 yang dilakukan yang diamati
tiga kali sehari. Perubahan suhu lingkungan antara pagi, siang dan sore hari tidak berbeda nyata. Nilai TAN pada pemeliharaan larva (0,074), adalah tertinggi diduga disebabkan karena besarnya populasi dari tiap akuarium sehingga mengakibatkan penambahan nilai TAN.
4.2 Pembahasan Suatu individu akan menjadi jantan atau betina tergantung pada ada atau tidaknya hormon testosteron pada awal perkembangannya. Bila ada hormon testosteron maka gonad akan berdiferensiasi menjadi testis dan sebaliknya, bila tidak ada hormon testosteron maka gonad akan berkembang menjadi ovarium (Scholz dan Gutzeit, 2000). Masa Diferensiasi kelamin terjadi setelah telur menetas dan diperkirakan sebelum atau sesudah ikan mulai makan (setelah kuning telur/pakan endogenous habis). Pengarahan kelamin dapat dilakukan sebelum masa diferensiasi kelamin, yaitu pada masa perkembangan embrio melalui perendaman induk. Hunter dan Donaldson (1983) menyatakan diferensiasi testis pada ikan gapi terjadi sekitar 8 hari sebelum dilahirkan, karena pada saat itu perkembangan bakal gonad masih labil, artinya bakal gonad tersebut memungkinkan berdiferensiasi menjadi kelamin jantan atau betina. Selama proses tersebut gonad sangat mudah dipengaruhi oleh faktor lingkungan, hal ini akan menyebabkan fenotip kelamin menjadi berbeda dari genotipnya. Perlakuan seks reversal pada ikan gapi sebaiknya dilakukan pada fase bintik mata ( dengan ciri perut membesar dan terdapat kehitaman di bagian bawah perut induk betina gapi) karena pada fase tersebut perkembangan otak masih labil untuk melepaskan hormon–hormon yang bersifat mengarahkan kelamin, sehingga otak masih dapat dipengaruhi untuk proses pengarahan kelamin. Penggunaan bahan alamiah madu sebagai perangsang steroid dilatar belakangi karena hormon steroid androgen yaitu 17 α metiltestosteron diduga mengandung residu yang menjadi bahan pencemar terhadap lingkungan yang sulit terdegradasi bahkan diduga dapat menyebabkan kanker (bersifat karsinogenik) pada manusia (Phelps et al, 2001). Penggunaan AI aman digunakan karena sifatnya yang non karsinogenik, dan belum dilaporkan dapat mencemari
lingkungan. Dari hasil penelitian Kalbe Farma Medical Portal (2004) AI ini digunakan sebagai obat kanker yang efeknya lebih ampuh dibandingkan obat sebelumnya yang bernama tamoxifen. AI merupakan bahan alternatif seperti halnya madu sebagai pengganti 17 α metiltestosteron yang merupakan hormon buatan, sedangkan madu merupakan bahan alami yang mengandung chrysin sebagai pengarah kelamin jantan yang ramah lingkungan dan diharapkan dapat menyaingi bahan-bahan yang lain, dengan harga terjangkau bahkan lebih ekonomis. Marhiyanto (1999) dalam Riyanto (2001) menyatakan bahwa didalam setiap 100 gram madu terkandung 205 hingga 1676 ppm kalium. Tingginya kandungan kalium yang diberikan pada pakan larva ikan nila GIFT menyebabkan perubahan kolesterol yang terdapat dalam semua jaringan tubuh larva menjadi pregnenolon yang merupakan sumber dari biosintesis hormon-hormon steroid oleh kelenjar adrenal. Steroid membantu pembentukan dari hormon androgen yaitu testosteron yang akan mempengaruhi perkembangan dari genital jantan. Perlakuan perendaman induk diberikan pada hari ke 12 paska fertilisasi, karena diduga pada saat tersebut terdapat fase bintik mata dimana peningkatan signifikan jumlah jantan terjadi bila perlakuan pengarahan diberikan pada hari ke9 sampai dengan 13 setelah pembuahan (Baroiler et al., 1995). Metode seks reversal dilakukan dengan cara perendaman induk selama 10 jam untuk memaksimalkan kerja bahan. Dosis larutan madu dan AI untuk perlakuan perendaman diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya, yaitu merupakan dosis optimum pada masing-masing penelitian. Dosis madu (60 mg/l) diambil melalui penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Martati (2006) dengan cara perendaman induk selama 10 jam dengan tingkat keberhasilan sebesar 59,5%. Sedangkan dosis AI (50 mg/L) didapat dari penelitian yang dilakukan oleh Mazida (2002) untuk pengarahan kelamin ikan gapi (Poecilia reticula) melalui perendaman induk selama 10 jam yang menghasilkan persentase jantan 54,29%. Keberhasilan pengarahan kelamin dengan cara perendaman induk yang sudah dibuahi menggunakan larutan madu (60 mg/l) dan AI (50 mg/L) mempunyai tingkat keberhasilan pengarahan kelamin jantan yang sama efektifnya karena dalam uji khi-kuadrat tidak berbeda nyata (terima Ho). Persentase jantan
paling tinggi terdapat pada perlakuan madu dengan dosis 60 ppm, yaitu sebesar 56,68 % dibandingkan dengan AI sebesar 51,97 % dan kontrol sebesar 47,16 %. Terdapat peningkatan persentase jantan sebesar 9,52 % dari kontrol dan sebesar 4,71 % dari AI, sehingga dalam penelitian ini madu merupakan bahan yang menghasilkan persentase jantan yang terbaik dalam pengarahan jenis kelamin. Untuk pengarahan kelamin dengan menggunakan madu, memperoleh hasil yang cukup memuaskan dapat dilihat pada Martati (2006) yang telah berhasil mengarahkan kelamin ikan gapi menjadi jantan dengan perendaman induk selama 10 jam dengan dosis 60 ml/kg dengan tingkat keberhasilan sebesar 59,5%. Berbeda dengan Djaelani (2007) dan Sukmara (2007) yang melakukan perendaman larva ikan gapi, dalam larutan madu mempunyai tingkat persentase jantan masing-masing 46,90% (dosis 10 ppt selama 10 jam) dan 46,99%
( dosis
5 ppt selama 10 jam). Sedangkan untuk pengarahan kelamin menggunakan AI dalam penelitian sebelumnya oleh Mazida (2002) terdapat peningkatan persentase jantan pada ikan gapi (Poecilia reticula) yaitu sebesar 14% dengan cara perendaman induk selama 10 jam pada dosis 50 mg/l menghsilkan persentase jantan 54,29%. Aromatase adalah enzim yang mengkatalis reaksi androgen menjadi estrogen (Callard et al., 1990). Reaksi ini terjadi pada semua makhluk hidup tingkat tinggi pada fase-fase tertentu (critical period) yang akan mengarahkan penentuan kelamin dari mahkluk hidup tersebut. Secara umum aromatase inhibitor menghambat aromatase melalui dua cara yaitu dengan menghambat proses transkripsi dari gen-gen aromatase sehingga mRNA tidak terbentuk dan sebagai konsekuensinya enzim aromatase tidak ada (Server et al., 1999), atau melalui cara bersaing dengan substrat alami (testosteron) sehingga aktivitas aromatase tidak berjalan (Brodie, 1991). Aromatase inhibitor yang digunakan untuk mengarahkan kelamin pada ikan terdiri dari dua kelompok, yaitu aromatase inhibitor steroid, antara lain 4-hydroxyandrostenedion (4-OHA), 5 α -androstanedion
dan
aromatase inhibitor non steroid, antara lain imidazol, fadrozol (Antonopoulou, 1994). Seperti halnya hormon steroid, efektivitas aromatase inhibitor
dalam
maskulinisasi juga dipengaruhi oleh dosis, jenis aromatase inhibitor, lama perlakuan, suhu perlakuan dan lama waktu perlakuan (Brodie, 1991).
Keberhasilan aromatase inhibitor yang telah dicapai selama ini antara lain pada ikan Salmon, aromatase inhibitor telah berhasil menghasilkan jantan fungsional sebesar 20% melalui perendaman telur selama 2 jam dengan dosis 10 mg/l (Piferrer et al., 1994). Pemberian aromatase inhibitor ini telah terbukti mampu menghasilkan jantan sebanyak 38,89% pada ikan cupang (Betta sp.) melalui perendaman embrio dengan dosis 30 mg/l (Wulansari, 2002), meningkatkan persentase jantan pada ikan nila merah sebesar 20% dari kontrol melalui perendaman embrio selama 10 jam dengan dosis 20 mg/l dengan persentase jantan 82,22% (Nurlaela, 2002). Kelangsungan hidup ikan gapi terkait dengan perlakuan, dimana bahan perangsang steroid dapat mengakibatkan perubahan pada lingkungan yang belum tentu dapat ditolerir oleh induk maupun larva ikan gapi. Untuk larva ikan gapi terdapat masa kritis yang dapat mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup, yaitu pada masa peralihan dari endogenous feeding menjadi eksogenous feeding, yang dapat disebut dengan point of no return. Dimana pada masa tersebut jika larva tidak segera mendapatkan makanan, maka larva akan mengalami cacat atau kematian. Dalam penelitian ini perlakuan madu dan AI diberikan pada induk yang sedang bunting dan ternyata tidak mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup induk maupun larva ikan gapi. Menurut tabel sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perendaman induk menggunakan madu dan AI tidak berbeda nyata dan dapat menjelaskan bahwa kedua bahan tersebut aman digunakan untuk sex reversal pada ikan gapi. Kelangsungan hidup ikan dapat dikaitkan langsung dengan parameter kualitas air. Toleransi terhadap lingkungan pada ikan gapi dapat dilihat dari beberapa parameter yang meliputi suhu, DO, pH dan TAN. Suhu sebagai parameter kualitas air yang baik untuk ikan gapi berkisar antara 25-270 C. Menurut Zairin (2002) faktor suhu dianggap mempengaruhi tingkat keberhasilan dalam pengarahan kelamin. Demikian pula menurut Koperlainin dalam Strussman dan Pation (1995), faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap diferensiasi seks adalah temperatur. Winge dan Aida dalam Strussman dan Pation (1995) menyatakan bahwa
proporsi jantan yang dihasilkan pada Poecilia
reticulata dan Oryzias latipes lebih tinggi dari pada betina pada saat musim panas.
Mariam (2002) menyatakan bahwa ikan gapi yang dipelihara pada suhu 300C menghasilkan jumlah larva jantan yang lebih tinggi (59,03%) dibandingkan dengan suhu pemeliharaan 270C dan 330C. Oksigen terlarut merupakan komponen yang penting untuk kehidupan hewan akuatik (Manahan, 1994). Laju konsumsi oksigen oleh ikan tergantung dari jenis,ukuran ikan, suhu dan kualitas pakan (Boyd, 1982). Tercukupinya oksigen di perairan sangatlah diperlukan, karena kekurangan oksigen akan mengakibatkan dampak yang negatif pada kesehatan ikan
seperti
mengakibatkan
stress,
anoreksia,
hypoxia
pada
jaringan,
ketidaksadaran, mudah diserang penyakit dan parasit bahkan kematian secara mendadak dan masal (Wedmeyer, 1996 dalam Zakaria, 2003). Swingel (1969) dalam (Boyd, 1982) konsentrasi oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 3 mg/L. Nilai pH dipengaruhi oleh suhu, dimana dengan meningkatnya suhu maka pH akan semakin menurun (Boyd, 1990). Nilai pH mempengaruhi daya racun bahan atau faktor kimia lain misalnya ammonia yang meningkat seiring dengan meningkatnya pH dan H2S menurun seiring meningkatnya pH. Nilai pH yang baik untuk menunjang kehidupan ikan gapi berkisar sekitar 7,0. Kisaran nilai pH dan akibat yang ditimbulkannya terhadap ikan disajikan pada tabel 7 Tabel 7. Pengaruh pH terhadap ikan pH 4 4-5
Pengaruhnya terhadap ikan Titik mati asam Reproduksi tidak berlangsung
5-6,5
Pertumbuhan lambat
6,5-9
Baik untuk pertumbuhan dan reproduksi
11
Titik mati rasa
(Swingel, 1969 dalam Boyd, 1990) TAN merupakan keseluruhan nilai ammonia yang ada di perairan yang merupakan hasil dari pemupukan, ekskresi ikan, dekomposisi mikrobial dari komponen nitrogen (Boyd, 1982). Ammonia merupakan produk metabolisme dan pembusukan senyawa organik oleh bakteri. Bila ammonia meningkat, maka amonia dari ekskresi ikan akan menurun sehingga kandungan amonia dalam darah
dan jaringan menjadi tinggi. Amonia yang tinggi akan mempengaruhi permeabilitas ikan terhadap air dan penurunan konsentrasi tubuh, sehingga meningkatkan konsumsi oksigen pada jaringan dan menyebabkan kerusakan pada insang serta mengurangi kemampuan darah dalam mentransport oksigen (Boyd, 1990). Menurut Wardoyo (1975) dalam Zakaria (2003), amonia merupakan racun bagi ikan, maka konsentrasinya dalam air yang ideal bagi kehidupan ikan tidak boleh melebihi 1 ppm, karena apabila berlebih akan menghambat daya serap haemoglobin dalam darah. Apabila kandungan pH meningkat dan kandungan CO2 meningkat pula, sedangkan oksigen terlarut rendah maka daya racun amonia akan meningkat. Dari hasil pengukuran parameter kualitas air pada saat pemeliharaan larva ikan gapi menunjukkan kisaran yang sesuai dengan batasan yang dapat ditolerir untuk mendukung kelangsungan hidupnya sehingga diperoleh rerata sintasan bervariasi diatas 99%.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Penggunaan madu (60 mg/L) dan Aromatase Inhibitor (50 mg/l) dalam percobaan pengarahan kelamin jantan efektif menghasilkan 56,68% dan 51,97% jantan. Penggunaan madu diharapkan dapat menggantikan fungsi hormon sintetis dalam upaya pembalikan kelamin betina menjadi jantan, karena bersifat ramah lingkungan dan ekonomis dibandingkan dengan hormon androgen sintetis.
5.2 Saran Penggunaan madu harus lebih banyak diaplikasikan pada penelitian dalam upaya memaksimalkan produksi dan pemenuhan permintaan masyarakat pada ikan hias maupun konsumsi dalam keterkaitan dengan ketahanan pangan serta lebih murah dan aman.
DAFTAR PUSTAKA
Afonso, L.O.B., Iwama, G.K., Smith, J., and Donaldson, E.M. 2000. Effects of the aromatase inhibitor Fadrozole on reproductive steroids and spermiation in male coho salmon (Oncorhynchus kisutch) during sexual maturation. Aquaculture 188: 175–187 Anonim. 2007a. Carusos’s Honey: The Composition http://www.carusohoney.com/id11.html [14 januari 2007].
of
honey.
Anonim. 2007b. Carusos’s Honey: The Composition http://www.carusohoney.com/id11.html [14 januari 2007].
of
honey.
Antonopoulou,E., I. Mayer, I. Berglund, and B. Borg. 1995. Effects of Aromatse Inhibitor on Sexual Maturation in Atlantic salmon (Salmon salar) Male parr. Fish Physiol. Biochem 14 : 15-24. Arfah, H. 1997. Efektivitas Hormon 17α-metiltestosteron dengan metode Perendaman Induk Terhadap Nisbah Kelamin dan Fertilitas Keturunan Ikan Gapi (Poecilia reticulata). Tesis. Program Pascasarjana, Insitut Pertanian Bogor, 43 hal. Balthazart, J. dan Ball, G. F. 1989. New Insight Into The Regulation and Function of Brain Estrogen Synthase (Aromatase). Reviuw. Control and Function of Brain Aromatase. Jurnal TINS Vol 21 No 6 tahun 1989. USA. Baroiller, J. F., D. Chourrout, A. Fostier, and B. Jalabert. 1995. Temperature and sex chromosomes govern sex ratio of the mouthbrooding cichlid fish Oreochromis niloticus. Journal of experimental zoology., 273, 216-223. Borg B. 1994. Androgen in Teleost Fish. Comp. Biochem. Physiology. Vo 109C: 219-245 Boyd C. E. 1982. Water Management For Pond Fish Culture. New York. Elsevier Scientific Publishing Co. Boyd C. E. 1990. Water Quality Pond For Aquaculture. Alabama: Birmingham Publishing Co. Brodie, A. 1991. Aromatase and Its Inhibitor. An Overviuw. J. Steroid Biochem. Molec. Biol. 40: 255-261. Callard, G. Barneys., and Metsada P. 1990. Nonmammalian Vertebrate Models in Studiesof Brain-steroid Interaction. Journal of Experimental Zoology Suplement 4 : 6-16
Carman, O. dan M. Alimuddin. 1998. Produksi Ikan Cupang Jantan Saja. Publikasi pada Pelatihan Pembinaan Petani Ikan Cupang dari Lima Wilayah DKI Jakarta di BBI Ciganjur. Bogor. Davis, R.B., B.A. Simco, C.A. Groudie, N.C. Parker, W. Couldwell, and P. Snellgrove.1990. Hormonal Sex Manipulation and Evidence for Female Homogamety in Channel Catfish. Gen. Comp. Endocr. 78:219-223. Dean, W. 2004. Chrysin: Is It An Effective Aromatase Inhibitor? Vitamin Research News. Vol. 18, Number 4. http://www.vrp.com/art/1208.asp.htm.[14 januari 2007] Djaelani, F. 2007. Pengaruh Dosis Madu Terhadap Pengarahan Kelamin Jantan Pada Ikan Gapi (Poecilia reticulata Peters) Dengan Metode Perendaman Larva. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Fernando, A. A. anf V. P. E. Phang. 1985. Culture of The Guppy, Poecilia reticulata, In Singapore. Aquaculture, 51:49-63 Fujaya, Y. 2002. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Tekhnologi Perikanan. Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional. 201 hal. Hasan, Iqbal. 2004. Analisis Data Penelitian Dengan Statistik. Jakarta : Bumi Aksara. Hines, G. A. and S.A. Watts. 1995. Non Steroidal Chemical Sex Manipulation of Tilapia. Journal of The World Aquaculture Society. Volume 25. p : 98101. Hunter, G.A., Donaldson, E.M.:, 1983. Hormonal sex control and its application to fish culture. In: Hoar, W.S., Randall, D.J., Donaldson, E.M.: (Eds.), Fish Physiology, 9B. Academic Press, New York, pp. 223-303 Jollie, W. P. and L. G. Jollie. 1964. The Fine Structure of the Ovarian Follicle of the Ovoviviparrous Poecillid Fish. Lebistes reticulates. Journal of Morphology 144:479-502. Kalbe Farma , 2004. Aromatase inhibitor sebagai obat kanker dan efeknya terhadap tulang. www.kalbefarma.go.id [14 Agustus 2006] Kirpichnikov, V. S. 1981. Genetic Bases of Fish Selection. Springer Veerlag. Berlin Heidelberg. New York. 410p. Kwon, J.Y., v. Haspanah, L.M. Hurtado, B. McAndrew and D. Penman. 2000. Maskulinization of Genetic Female Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) by Dietary Administration of An Aromatase Inhibitor During Sexual
Differentiation. Journal of Experimental Zoology. 287: 46-53. Willey-Liss Inc. Lesmana, D.S. dan I. Dermawan. 2001. Budidaya Ikan Hias Air Tawar Populer. Penebar Swadaya. Depok. Lingga, P. dan H. Susanto. 1987. Ikan Hias Air Tawar. PT Gramedia Jakarta. Jakarta Manahan S. E. 1994. Environmental Chemistry. Washington D.C. : Lewis Publisher. Martati, E. 2006. Efektivitas Madu Terhadap Nisbah Kelamin Ikan Gapi ( Poecilia reticulata Peters). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Mazzida, A. N. 2002. Pengaruh aromatase inhibitor terhadap nisbah kelamin ikan Gapi (Poecilia reticutata Peters). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Mozart, H. 1996. Guppies Keeping ang Breeding Them In Captivity. T F. H. Publication, Inc. USA. 64 p. Nagy, A., M. Beresenyi and V. Canyi. 1981. Sex Reversal in Carp (Cyprinus carpio) by Oral Administration of Methyltestosteron. Canadian Journal Fish Aquaculture Science. 38: 725-728. Nelson, J. S. 1984. Fishes of The World. John Willey and Sons. Inc. New York. P:221-222. Nurlaela. 2002. Pengaruh Dosis Aromatase Inhibitor pada Perendaman Embrio terhadap Nisbah Kelamin Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Pandian, T. J. And S. G. Sheela. 1995. Review : Hormonal Induction of Sex Reversal In Fish. Aquaculture 138: 1-22. Phelps, R. W. C Sanchez, G.M Couturier, M.A Abiado dan A. Dabrowski. 2001. Studies Of The Fate Methyltestosterone and it’s Metabolism in Tilapia and on the Use of Phytochemical as an Alternative Method to Produce a Monosex Population of Tilapia. Reproduction Control Research 1 (10RCR1)/Experiment/Mexico.http://pdacrsp.oregonstate.edu/pubs/works/ plns/wp10/10rcr.html [14 Januari 2007] Piferrer, F., S. Januy, M. Carrillo, I. I. Solar, R. H. Devlin and E. M. Donaldson. 1994. Brief Treatment With An Aromatase Inhibitor During Sex Differentiation Causes Cromosomally Female Salmon to Develop As Normal, Functional Males. Journal of Experimantal Zoology. 270:255262. Wiley-Liss. Inc.
Riyanto, 2001. Pengaruh Pemberian Suplemen Madu Pada Induk Mencit Terehadap Rasio Jenis Kelamin Anaknya. Berita Biologi. 5 (4). Scholz S, and H. O. Gutzeit. 2000. 17 α-ethynyl estradiol. Affect Reproduction. Sexual Differentiation and Aromatase Gene Expression of Medaka (Oryzias latipes). Aquatic Toxycology 50:51-70. Server, D.M. Halliday, V. Waight, J. Brown, H. A. Davies, and E.C. Moriarty. 1999. Sperm Sorage in Female of The Smooth New (Triturus vulgaris L.) I. Ultrastructure of The Spermathecal During The Beeding Season. Journal of Experimntal Zoology. 283:51-70: Wiley-Liss Inc. Strussman, C. A. And R. Pation. 1995. Temperatur Manipulation Of Sex Differensiation Of Fish. F. W. Goetz and P. Thomas (eds.): Proceeding Of Fifth International Symposium On The Reproductive Physiology Of The Fish. Texas. Sudrajat, A.O. 2000. Molecular Biological Studies on Cytocrome P-450 Aromatase in Fish. Thesis. Dept. Of Aquatic Biosciene. University of Tokyo.100 p. Sukmara, 2007. Sex Reversal Pada Ikan Gapi (Poecilia reticulata Peters) Secara Perendaman Larva Dalam Larutan Madu 5 ml/L. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Sumandinata, K. 1983. Pengembangbiakan Ikan-ikan Peliharaan di Indonesia. Penerbit Sastra Budaya, Bogor.129 hal. Syaifuddin, A. 2004. Pengaruh Pemberian Suplemen Madu Pada Pakan Larva Ikan Nila GIFT (Oreochromis niloticus) Terhadap Rasio Jenis Kelaminnya. Skripsi. Universitas Brawijaya. Fakultas Perikanan. Malang. Wulansari, R.S. 2002. Pengaruh Dosis Aromatase Inhibitor terhadap nisbah kelamin ikan Betta (Betta sp.). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Wozniak, A., S.D. Holman, and J.B. Hutchinson. 1992. In Vitro Potency and Selectivity of The Non-Steroidal Androgen Aromatase Inhibitor CGS 16949A Compared to Steroidal Inhibitor in The Brain. J. Steroid Biochem. Mol. Biol. 43:281. Yamamoto, 1969. Sex Diferentiation. Fish Physiology. Vol III. P :117-158. In:W.S Hoar and D.J. Randal (Eds). Academic Press. New York. Yamazaki, R. 1983. Sex Control and Manipulation in Fish, Aquaculture, 33:329354.
Zairin, M. 2002. Sex Reversal Memproduksi Benih Ikan Jantan dan Betina. Penerbit Swadaya. Bogor. Zairin, M. Jr., O. Carman, A. Laining, dan E. Nurdiana. 2002. The Effects of Different Exposure Time of 17α-Methyltestosteron on Sex Ratio Of Congo Tetra ( Micralestes interruptus ). Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia.9:59-65 Zakaria M. W. 2003. Pengaruh Suhu Media yang Berbeda Terhadap Kelangsungan Hidup dan Laju Pertumbuhan Benih Ikan Nilem, Osteochylus Hasselti, Hingga Umur 35 hari. (Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 9 hal.
Lampiran
Lampiran 1. Akuarium pemeliharaan dan tata letak
Lampiran 2. Tabel dan analisis ragam rasio kelamin jantan dan betina dengan berbagai perlakuan madu dan AI Kontrol 47,83 47,27 46,38
AI 51,39 50,67 53,85
Madu 58,97 54,55 56,52
0,73135 Anova: Single Factor
1,66678
2,21872
SUMMARY Groups Kontrol AI Madu
Count 3 3 3
ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 136,00658 16,471468
Total
152,47805
jantan
Sum 141,48 155,90 170,04
df 2 6
Average 47,16 51,97 56,68
Variance 0,53 2,78 4,92
MS 68,00329 2,745245
F 24,7713
P-value 0,001261
8
Kontrol 52,17 52,73
AI 48,61 49,33
Madu 41,03 45,45
53,62
46,15
43,48
betina
F crit 5,143253
0,73135 Anova: Single Factor
1,66678
SUMMARY Groups Kontrol AI Madu
2,21872
Count 3 3 3
ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 136,00658 16,471468
Total
152,47805
Sum 158,52 144,10 129,96
df 2 6
Average 52,84 48,03 43,32
Variance 0,53 2,78 4,92
MS 68,00329 2,745245
F 24,7713
P-value 0,001261
F crit 5,143253
8
Lampiran 3. Tabel dan analisis ragam tingkat kelangsungan hidup dengan berbagai perlakuan madu dan AI setelah perlakuan dan pemeliharaan
SR
Kontrol
AI
Madu
100 100
100 100
97,5 100
97,18
100
100
0,00000
1,44338
1,62813 Anova: Single Factor SUMMARY Groups Kontrol AI Madu
Count 3 3 3
ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 1,5894222 9,4682667
Total
11,057689
Sum 297,18 300,00 297,50
df 2 6
Average 99,06 100,00 99,17
Variance 2,65 0,00 2,08
MS 0,794711 1,578044
F 0,503605
P-value 0,627796
8
Lampiran 4. Analisis ragam rasio kelamin jantan dan betina dengan dengan madu dan AI menggunakan khi-kuadrat uji khi kuadrat persentase jantan betina perlakuan jantan betina AI 51,97 48,03 M 56,68 43,32 108,65 91,35 Taraf nyata 5%
jumlah sampel 100,00 100,00 200,00
F crit 5,143253
X2 0,05(1)=3,481 H0 diterima (H1 ditolak) apabila x2<3,481 H1 diterima (H0 ditolak) apabila x2>3,481 x2=0,27785 karena x2 lebih kecil dari khi tabel maka tolak H1 terima Ho jadi tidak ada perbedaan dalam 2 jenis perlakuan madu dan AI karena berada diantara 0,00≤KK≤0,20
Lampiran 5. Analisis ragam rasio kelamin jantan dan betina dengan dengan madu dan AI menggunakan koefisien korelasi kontingensi (C) koefisien korelasi kontingensi C jantan jantan perlakuan 1 K 44 AI 37 M 23 jumlah 104
2 26 38 24 88
jumlah 102 96 73 271
n1=114 n1=108 i=1,2,3 j=1,2,3
n2=96 n2=91
n3=73 n3=84
n=283
nij
eij 39,1 33,1 29,7 36,8 31,2 28,0 28,0 23,7 21,3
(nij-eij) 8,9 -4,1 7,3 0,2 6,8 -7,0 -5,0 0,3 4,7
(nij-eij)2/eij 2,00 0,51 1,78 0,00 1,49 1,74 0,90 0,00 1,05 9,48
48 29 37 37 38 21 23 24 26 jumlah
nilai koefisien kontingensi =
3 32 21 26 79
x2=9,48 0,1838
KK sangat rendah atau lemah sekali karena berada diantara 0,00≤KK≤0,20
koefisien korelasi kontingensi C betina betina perlakuan K AI M jumlah n1=102 n1=95 i=1,2,3 j=1,2,3
1 48 35 16 99
n2=90 n2=83
2 29 37 20 86 n3=56 n3=70
3 37 18 20 75 n=248
jumlah 114 90 56 260
nij 44 26 32 35 37 18 16 20 20 jumlah
nilai koefisien kontingensi =
x2=10,24 0,1947
eij 43,4 37,7 32,9 34,3 29,8 26,0 21,3 18,5 16,2
(nij-eij) 0,6 -11,7 -0,9 0,7 7,2 -8,0 -5,3 1,5 3,8
(nij-eij)2/eij 0,01 3,64 0,02 0,02 1,76 2,44 1,33 0,12 0,92 10,24
KK sangat rendah atau lemah sekali karena berada diantara 0,00≤KK≤0,20