EFEKTIVITAS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI KOTA MAKASSAR
THE EFFECTIVENESS OF LAW ENFORCEMENT IN THE ERADICATION OF HUMAN TRAFFICKING IN MAKASSAR
A. Saifullah , Muhadar, Slamet Sampurno Soewondo Konsentrasi Hukum Kepidanaan,Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi: A. Saifullah, S.H. Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kepidanaan Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 Email:
[email protected] HP: 085255509678
ABSTRACT The stage of pre-adudication a report or complaint withdrawn. Revocation of a report or complaint is not acted upon by the investigators demonstrated the ineffectiveness of law enforcement in the police against the eradication of human trafficking in Makassar. At the adjudication stage, basically the rule of law against the eradication of human trafficking has been quite effective. However, many prosecutors are still low and requires judges who adjudicate criminal of human trafficking tend to apply the minimum limit is still far from a sense of justice is alive and thriving in the community. The factors that affect law enforcement on the eradication of human trafficking is associated with the substance of the legal aspects, including inadequate specific legislation concerning of human trafficking (especially children), ownership and understanding of legislation and policies on trade people. In the aspect of the legal structure that includes the circumstances of law enforcement organizations, human resources law enforcement, facilities and infrastructure, and funding / budget. In addition, the aspect of legal culture, which includes law enforcement culture conditions and culture of the community that has not been fully able to support the operational activities of law enforcement officers, which led to the implementation of law enforcement are not fully effective. Keywords: Law Enforcement of Human Trafficking ABSTRAK Pada tahap pre-adudication adanya laporan atau pengaduan yang dicabut. Pencabutan laporan atau pengaduan tersebut yang tidak ditindaklanjuti oleh penyelidik menunjukkan tidak efektifnya penegakan hukum di kepolisian terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang di Kota Makassar. Pada tahap adjudication, pada dasarnya penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang sudah cukup efektif. Akan tetapi, masih banyaknya penuntut umum yang menuntut rendah dan majelis hakim yang memutus pelaku tindak pidana perdagangan orang dengan cenderung menerapkan batas minimal masih jauh dari rasa keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang adalah terkait dengan aspek substansi hukum yang meliputi belum memadainya perundang-undangan spesifik yang menyangkut perdagangan orang (khususnya terhadap anak), kepemilikan dan pemahaman terhadap peraturan perundangundangan serta kebijakan mengenai perdagangan orang. Dalam aspek struktur hukum yang meliputi situasi dan kondisi organisasi penegak hukum, sumber daya manusia para penegak hukum, sarana dan prasarana, serta dana/anggaran. Selain itu, dalam aspek kultur hukum, yang meliputi kondisi kultur aparat penegak hukum dan kultur masyarakat sehingga belum sepenuhnya mampu mendukung kegiatan operasional aparat penegak hukum, yang menyebabkan pelaksanaan penegakan hukum tidak sepenuhnya efektif. Kata Kunci : Penegakan Hukum Perdagangan Orang
PENDAHULUAN Pada tanggal 12 Desember 2000. Dimana, The Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Person, Especially Women and Children ditandatangani di Palermo, Italia. Protokol ini kemudian lebih dikenal dengan Protokol Palermo. Dari 148 negara yang hadir, 121 diantaranya menandatangani Konvensi PBB tersebut dan lebih dari 80 negara menandatangani salah satu protokol suplemennya, yaitu The Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Person, Especially Women and Children. Indonesia merupakan salah satu negara penandatangan Protokol Palermo. Perdagangan orang di atur dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada tahun 2007 diberlakukanlah pula Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO). Namun yang paling penting sekarang adalah, bagaimana implementasi atas UU PTPPO tersebut. Selain itu, diberlakukan Peraturan Daerah Sulawesi Selatan No. 9 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak. Selama periode Maret 2005 sampai dengan Maret 2010 International Organization for Migration (IOM) mencatat ada 3.735 orang korban tindak pidana perdagangan orang. Bareskrim Polri mencatat pada tahun 2009 ada 142 kasus tindak pidana perdagangan orang, 275 orang korban terdiri dari 208 perempuan dan 67 orang anak-anak. (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2010:1) Hasil seminar Ilegal Migration and Human Trafficking in Women and Children menunjukkan bahwa pada tahun 2000 dari 1.683 kasus yang dilaporkan ke kepolisian hanya 1.094 kasus yang diteruskan ke pengadilan. (Farhana, 2010:6) Data-data tersebut menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang cenderung belum sepenuhnya dapat memberikan rasa aman dan tentram kepada masyarakat. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan untuk dibahas dalam penelitian tesis ini adalah bagaimanakah efektivitas penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dan faktorfaktor apakah yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dan mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif (yuridis) dan penelitian secara empiris (sosiologis). Selanjutnya hasil penelitian normatif tersebut akan diintegrasikan dengan hasil penelitian empiris yang diperoleh dengan penelitian lapangan. Lokasi Penelitian Penelitian terhadap penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang ini mengambil lokasi di Kepolisian Resort Kota Besar (Polrestabes) Makassar, Kejaksaan Negeri Makassar, Pengadilan Negeri Makassar, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan penyidik Polri, jaksa penuntut umum, dan hakim yang menangani perkara tindak pidana perdagangan orang di wilayah hukum Kota Makassar meliputi Kepolisian Resort Kota Besar Makassar, Kejaksaan Negeri Makassar, dan Pengadilan Negeri Makassar. Selain itu, keseluruhan staf di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia yang konsen dalam isu-isu atau kasus-kasus perdagangan orang. Tata cara penarikan sampel dengan menggunakan purposive sampling dari informan yang dianggap memahami masalah dan dapat dipercaya yaitu penyidik Polri di Kepolisian Resort Kota Makassar sebanyak 2 orang, penuntut umum di Kejaksaan Negeri Makassar yang menangani perkara tindak pidana perdagangan orang sebanyak 2 orang, hakim di Pengadilan Negeri Makassar yang menangani perkara tindak pidana perdagangan orang sebanyak 2 orang, dan staf di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia yang konsen terhadap isu-isu atau kasus-kasus perdagangan orang perdagangan orang sebanyak 2 orang. Jenis dan Sumber Data Sumber data penelitian yang digunakan merupakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hirarki. Bahan hukum sekunder merupakan publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi, dan bahan hukum tersier di luar hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data
yang diperlukan dalam penelitian ini.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer, teknik pengumpulan datanya adalah wawancara langsung secara mendalam dengan informan dan data sekunder, teknik pengumpulan datanya adalah studi kepustakaan yakni dengan meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan topik tesis ini, seperti: peraturan perundang-undangan, perangkat hukum, dokumen-dokumen, buku-buku, makalah, artikel dan bahan penunjang lainnya. Analisis Data Data primer dan data sekunder yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu menyajikan secara deskriptif yakni dengan menggambarkan keadaan yang sebenarnya dengan menggunakan pendekatan sosio yuridis, kemudian menyimpulkannya dengan jelas. HASIL Efektivitas Penegakan Hukum terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Kota Makassar Tahap Penyelidikan Berdasarkan hasil penelitian di Unit PPA, Polrestabes Makassar, laporan atau pengaduan adanya dugaan tindak pidana perdagangan orang dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 cenderung fluktuatif, dimana tahun 2007 ada 5 laporan, tahun 2008 ada 4 laporan, tahun 2009 ada 4 laporan, tahun 2010 ada 3 laporan, dan pada tahun 2011 ada 9 laporan. Jumlah laporan atau pengaduan dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 ada 25 laporan atau pengaduan adanya dugaan tindak pidana perdagangan orang. Berdasarkan hasil penelitian, pihak kepolisian cenderung memandang tindak pidana perdagangan orang ini sebagai delik aduan. Hal ini keliru karena tindak pidana perdagangan orang merupakan delik umum atau biasa. Siapa pun dapat melapor atau mengadukan adanya dugaan tindak pidana perdagangan orang kepada penegak hukum atau pihak yang berwajib. Tahap Penyidikan Laporan yang tidak diteruskan ke tahap penyidikan, dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 ada 25 laporan adanya dugaan tindak pidana perdagangan orang, tetapi jumlah kasus yang diteruskan ke tahap penyidikan dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 hanya 5 laporan. Kendala-kendala yang dihadapi penyidik Polri dalam menanggulangi tindak pidana perdagangan orang adalah belum tersosialisasikannya dengan baik terhadap peraturan perundang-undangan serta kebijakan mengenai perdagangan orang, masih belum adanya persamaan persepsi terhadap ketentuan yang diatur dalam undang-undang yang berlaku, dan
pemahaman penanganan yang tidak sama dengan pihak Jaksa, sehingga mengakibatkan berkas bolak-balik (P-19). Tahap Penuntutan Berdasarkan hasil penelitian di Kejaksaan Negeri Makassar, perkara tindak pidana perdagangan orang dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 cenderung fluktuatif, dimana tahun 2007 ada 1 perkara, tahun 2008 ada 9 perkara, tahun 2009 ada 1 perkara, tahun 2010 ada 1 perkara, dan pada tahun 2011 ada 9 perkara. Jumlah perkara dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 ada 12 perkara tindak pidana perdagangan orang. Tuntutan yang diberikan oleh penuntut umum mengenai lama pidana penjara hampir kesemuanya cenderung menerapkan batas minimal dari ketentuan perundang-undangan, begitu pula besarnya pidana denda yang hanya cenderung menerapkan batas minimal. Dalam menangani perkara perdagangan orang sering mengalami kendala-kendala Kendala-kendalanya seperti dalam hal hadirnya saksi korban di persidangan, tuntutan pidana terhadap terdakwa, dan birokrasi yang terlalu panjang. Tahap Pemeriksaan di Pengadilan Berdasarkan hasil penelitian di Pengadilan Negeri Makassar, perkara tindak pidana perdagangan orang dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 cenderung fluktuatif, dimana tahun 2007 ada 1 perkara, tahun 2008 ada 9 perkara, tahun 2009 ada 1 perkara, tahun 2010 ada 1 perkara, dan pada tahun 2011 ada 9 perkara. Jumlah perkara dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 ada 12 perkara tindak pidana perdagangan orang. Lama pidana penjara yang diputus oleh majelis hakim dari semua kasus jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum, bahkan hampir kesemuanya menerapkan batas minimal dari ketentuan perundang-undangan, begitu pula besarnya pidana denda yang hanya cenderung menerapkan batas minimal. Dari jumlah kasus yang ditangani oleh aparat penegak hukum, pada tahun-tahun terakhir terjadi penurunan jumlah kasus yang sampai ke tahap pemeriksaan persidangan dibanding tahun sebelumnya. Ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, namun kecenderungan ini bisa saja disebabkan semakin rapihnya cara kerja pelaku tindak pidana perdagangan orang tersebut. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Substansi Hukum Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang (anak) Pasal 83 menyatakan “Setiap orang yang
memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).” Adapun Pasal 88 menyatakan “Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).” Pasal tersebut hanya terbatas pada anak yang dalam undang-undang tersebut, bahwa anak adalah berumur sebelum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 ini memberikan ancaman hukuman yang cukup berat kepada pelaku perdagangan orang (anak). Undang-undang ini cukup mengakomodasi perlindungan hukum terhadap anak dari kejahatan perdagangan orang, tetapi sama dengan KUHP, undang-undang ini tidak cukup memerinci apa yang dimaksud dengan perdagangan anak dan untuk kepentingan apa anak itu diperjualbelikan. Indonesia telah menandatangani United Nation Convention Transnational Organized Crime beserta protokolnya yaitu Protokol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, pada Desember 2000 di Palermo, Itali. Menyikapi hal tersebut, pemerintah Indonesia pada bulan April 2007 telah mengesahkan undang-undang tindak pidana perdagangan orang. Dengan disahkannya Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, maka Pasal 297 dan Pasal 324 KUHP dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-undang No. 21 Tahun 2007, ancaman hukuman untuk pelaku perdagangan orang lebih berat. Dalam Pasal 2 menyatakan “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,-(Seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).” Selain itu, jika korbannya adalah anak maka ancaman pidananya ditambah sepertiga. Jadi ancaman pidana penjara paling singkat selama 4 tahun dan paling lama 20 tahun (Pasal 17).
Struktur Hukum Sumber daya aparat penegak hukum sangat berpengaruh terhadap proses penegakan hukum. Sumber daya Polri di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak, Polrestabes Makassar secara kuantitas jumlahnya 10 orang, yang terdiri dari 1 orang menjabat sebagai Kanit, 1 orang menjabat sebagai Kasubnit, 1 orang sebagai penyidik, dan 7 orang sebagai penyidik pembantu. Sumber daya penyidik/penyidik pembantu di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak, Polrestabes Makassar masih sangat kurang. Selain itu polisi wanita (Polwan) hanya berjumlah 3 orang dari 8 orang. Sumber daya manusia yang ada di Kejaksaan Negeri Makassar secara kuantitas jumlahnya 11 orang jaksa, akan tetapi di antara itu belum ada jaksa khusus anak tapi jaksa-jaksa tersebut pernah menangani kasus anak. Disamping itu, sumber daya manusia yang ada di Pengadilan Negeri Makassar secara kuantitas ada 19 orang hakim, di antara itu ada 6 orang hakim anak yang dapat menjadi hakim jika korban dari perdagangan orang tersebut adalah seorang anak. Hasil pengamatan di lapangan, organisasi di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak, Polrestabes Makassar lebih mengedepankan pendekatan fungsional dibandingkan pendekatan struktural, sehingga penanganan laporan atau pengaduan menjadi lebih cepat. Akan tetapi, organisasi di Kejaksaan Negeri Makassar lebih mengedepankan pendekatan struktural dibandingkan pendekatan fungsional, sehingga membawa konsekuensi tingkat birokrasi menjadi lebih panjang, menyebabkan penanganan perkara cenderung menjadi lebih lambat, sebab pada akhirnya berkas perkara tindak pidana perdagangan orang harus dikirim ke Kejaksaan Agung, akibatnya pembinaan profesionalisme penuntut umum menjadi kurang berkesinambungan. Terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh instansi penegak hukum, seperti sarana komunikasi, transportasi dan Ruang Pelayanan Khusus yang ada kurang memadai dikarenakan terlalu sempit ruang pemeriksaan dan berada di ruang terbuka, sehingga apabila korban tindak pidana perdagangan orang sedang dilakukan wawancara ataupun pemeriksaan, dirinya tidak merasa nyaman dikarenakan perkataannya/ucapannya didengar oleh banyak orang, sehingga korban merasa enggan untuk menceritakan permasalahannya kepada aparat penegak hukum. Kultur Hukum Ragam tantangan dan resiko godaan dalam tahap penyidikan juga begitu kompleks, terkait dengan lingkup kerja, kekuasaan yang dimiliki, kewenangan yang dipunyai dan sebagainya. Isu-isu dalam tahap penyidikan antara lain: negosiasi perkara, pemerasan, negosiasi status, pelepasan tersangka, dan penggelapan perkara. Isu-isu dalam tahap
penuntutan juga sangat kompleks, seperti dalam hal negosiasi pasal dakwaan, negosiasi status dengan membuat dakwaan yang kabur (abscuur libel) sehingga divonis bebas. Disamping itu, isu-isu dalam tahap pemeriksaan di persidangan yakni sering terjadi praktik-praktik yang secara tidak langsung merugikan korban dan masyarakat. Misalnya saja permintaan uang paksa, penentuan majelis hakim, serta negosiasi putusan. Sikap dan perilaku serta kebiasaan sebagian korban perdagangan orang yang enggan melaporkan kepada pihak yang berwenang. Selain itu, masih ada pandangan masyarakat yang berkembang bahwa tindak pidana apapun kalau sudah ada perdamaian dari kedua belah pihak sudah tidak perlu diproses lagi, sehingga apabila Disamping itu, adanya kultur patriarkhi yang mengakibatkan bahwa laki-laki yang paling berhak dan berkuasa mengatur perempuan dan anak. PEMBAHASAN Laporan yang dicabut dalam tahap penyelidikan dan pihak penyelidik tidak menindaklanjuti laporan tersebut adalah hal yang keliru, karena delik umum dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang, penyelidik tetap berkewajiban untuk memproses perkara tersebut. Berbeda halnya dengan yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Hal ini menyebabkan penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang tidak efektif. Pada dasarnya penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang pada tahap penuntutan sudah cukup efektif. Akan tetapi, masih banyaknya penuntut umum yang menuntut rendah terhadap para pelaku tindak pidana perdagangan orang, sangatlah menyakitkan bagi keluarga korban ataupun korban itu sendiri. Hal ini sangat jauh dari rasa keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Padahal kalau dilihat dari akibat yang diderita korban sangat tidak sebanding, si pelaku telah merusak masa depan korban dan hubungan korban dalam bersosialisasi di masyarakat. Semestinya para pelaku perdagangan orang dituntut maksimal sehingga akan menimbulkan efek jera dan mempunyai daya tangkal untuk yang lainnya. Dalam tahap pemeriksaan di pengadilan, pada dasarnya penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang sudah cukup efektif. Akan tetapi, masih banyaknya majelis hakim yang memutus rendah terhadap para pelaku tindak pidana perdagangan orang masih jauh dari rasa keadilan. Putusan hakim memang persoalan independensi hakim. Namun, para hakim harus memperhatikan nilai-nilai keadilan yang
tumbuh dalam masyarakat. Sebab, hukum (kepastian) tidak bisa berjalan tanpa nilai keadilan. Keadilan juga tidak bisa jalan tanpa hukum, keduanya harus berjalan beriringan. Meski demikian, setiap putusan hakim seyogyanya dihormati karena setiap hakim memiliki penilaian masing-masing terhadap suatu kasus dan ukuran nilai keadilan setiap orang berbeda-beda. Masalah pokok penegakan hukum khususnya terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktorfaktor tersebut, adalah substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Dalam aspek substansi masalah yang timbul di dalam undang-undang adalah ketidakjelasan di dalam perumusan pasal-pasal tertentu, hal tersebut disebabkan karena penggunaan kata-kata yang artinya dapat ditafsirkan secara luas. Ketidakjelasan dapat dijumpai dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007, adalah luput dari pengertian khusus dari perdagangan anak, dimana dalam undang-undang ini menyamaartikan dengan perdagangan orang dewasa. Hal ini ditegaskan dalam Protokol Palermo, bahwa untuk korban perdagangan anak, tanpa terpenuhinya unsur kedua, yaitu menggunakan cara ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan
lain,
penculikan, tipu daya,
penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan, atau kedudukan rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang-orang sudah merupakan bentuk perdagangan orang. Akan tetapi, dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tidak membedakan antara korban anak dengan orang dewasa. Akan tetapi hanya mengatur sanksi pidana jika korbannya adalah anak. Dalam aspek struktur, tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain mencakup Sumber Daya Manusia (SDM) yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Jika hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Dalam aspek kultur hukum, mengingat penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Adanya kultuir patriarkhi terjadi karena menurut nilai sosial, suami/laki-laki adalah kepala rumah tangga dan orang yang paling berkuasa. Selain itu, kultur yang berhubungan dengan sikap sosial, misalnya main hakim sendiri, ini mencerminkan sikap deviasi perilaku yang sangat membahayakan bagi proses penegakan hukum. Dalam negara hukum, hanya aparat penegak hukum yang berhak menindak pelaku kejahatan melalui prosedur dan hukum acara yang berlaku.
PENUTUP Kesimpulan Pada tahap pre-adudication adanya laporan atau pengaduan yang dicabut, pencabutan laporan atau pengaduan tersebut yang tidak ditindaklanjuti oleh penyelidik menunjukkan tidak efektifnya penegakan hukum di kepolisian terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang di Kota Makassar karena tindak pidana perdagangan orang merupakan delik umum. Pada tahap adjudication, pada dasarnya penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang sudah cukup efektif. Akan tetapi, masih banyaknya penuntut umum yang menuntut rendah dan majelis hakim yang memutus pidana penjara dan pidana denda terhadap pelaku
tindak pidana perdagangan orang dengan
cenderung menerapkan batas minimal masih jauh dari rasa keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang adalah terkait dengan aspek substansi hukum yang meliputi belum memadainya perundang-undangan spesifik yang menyangkut perdagangan orang (khususnya terhadap anak), kepemilikan dan pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan serta kebijakan-kebijakan mengenai perdagangan orang. Selain itu, dalam aspek struktur hukum yang meliputi situasi dan kondisi organisasi penegak hukum, sumber daya manusia para penegak hukum, sarana dan prasarana, serta dana/anggaran. Demikian juga halnya dengan aspek kultur hukum, yang meliputi kondisi kultur aparat penegak hukum dan
kultur
masyarakat sehingga belum sepenuhnya mampu mendukung kegiatan operasional aparat penegak hukum, yang menyebabkan pelaksanaan penegakan hukum tidak sepenuhnya efektif, akibatnya penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang di Kota Makassar belum sepenuhnya efektif. Saran Lembaga
Perlindungan Saksi
dan Korban dan
Pusat
Pelayanan
Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak seharusnya lebih mengefektifkan jaminan perlindungan hukum bagi para saksi dan/atau korban perdagangan orang agar saksi dan/atau korban dapat dengan tenang memberikan kesaksian/keterangan. Aparat pemerintahan seharusnya mengamandemen peraturan perundang-undangan yang selaras dengan standar-standar internasional, sehingga dapat mengakomodir kepentingan dari pihak korban.
DAFTAR PUSTAKA Farhana. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2010. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Laporan Pertemuan Penyusunan Renstra Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Jakarta, 2010. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan No. 9 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak