Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
EFEKTIFITAS DESAIN PERKULIAHAN LEARNER AS TEACHER DALAM PERKULIAHAN BIOKIMIA Munzil*, Muntholib*, Novida Pratiwi** *Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang ** Program Studi Sarjana Pendidikan IPA FMIPA Universitas Negeri Malang Jalan Semarang No. 5 Malang 65145 Telpon 0341-562180 Laman: http://um.ac.id Corresponding author:
[email protected] Abstrak: Konfirmasi terhadap kebenaran pemahaman dan keterampilan mahasiswa adalah hal yang sangat penting dalam penyiapan guru. Betapa banyak mahasiswa yang secara formal prestasi akademiknya bagus, tetapi setelah dikonfirmasi ternyata pemahamannya banyak yang tidak sesuai dengan pemahaman para ilmuwan. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan perkuliahan yang berorientasi pada pembentukan students’ confirmed understanding dan menguji efektifitasnya melalui case study. Penelitian ini menggunakan desain prates-pascates satu kelompok. Desain perkuliahan hasil pengembangan, disebut sebagai learner as teacher, mempunyai ciri-ciri 1) berlaku untuk mata kuliah di mana mahasiswa telah mempunyai bekal awal yang cukup, materinya tidak baru sama sekali, 2) pemilihan materi kuliah sepenuhnya dilakukan oleh dosen, tugas mahasiswa hanya membuat makalah secara kelompok yang komponen atau kisi-kisinya telah ditentukan oleh pembina mata kuliah, 3) sebelum dipresentasikan, makalah telah diperiksa validitasnya oleh pembina mata kuliah, diperbanyak dan dibagikan kepada setiap kelompok mahasiswa, 4) setiap akhir perkuliahan dosen pembina mata kuliah membahas dan mengklarifikasi pemahaman mahasiswa, 5) mahasiswa diberi kesempatan untuk membuat reflective journal terhadap apa-apa yang tidak mereka pahami, dan 6) setiap awal perkuliahan dosen memilih dan membahas reflective journal yang dianggap perlu serta membekali mahasiswa dengan pengetahuan prasyarat yang diperlukan untuk memahami materi kuliah yang akan didiskusikan. Studi kasus pada Mata Kuliah Biokimia Program Studi Sarjana Pendidikan IPA FMIPA UM menunjukkan bahwa desain perkuliahan ini termasuk desain perkuliahan yang efektif dengan Perolehan Belajar Ternormalisasi sebesar 0,4 dengan klasifikasi sedang. Kata Kunci: Learner as teacher, Meaningfull learning, Reflective journal, Hasil belajar. Abstract: Confirmation of the validity of student understanding and skills are very important in the preparation of teachers. Most students formally reveal good academic performance, but if we take any confirmation his understanding not agree with scientists' understanding. The purpose of this study was to develop an instructioal design oriented to the formation of students' understanding and testing its effectiveness through a case study. This study used a pre-test-post-test design group. The instructional design developed, referred to as the learner as teacher, has the characteristics of 1) applied for the course in which the student has had sufficient initial stock, the material is not new at all, 2) the selection of the course material is completely done by faculty, student assignments only a paper in which the component group or lattice has been determined by the builder courses, 3) before presented, papers have examined its validity by builder courses, copied and distributed to every student group, 4) each end of the course faculty advisor to discuss courses and clarify student understanding, 5) students are given the opportunity to make a reflective journal to anything they do not understand, and 6) the beginning of each lecture the lecturer chose and discuss reflective journaling as deemed necessary and providing students with the prerequisite knowledge needed to understand the course material will be discussed. Case studies in Biochemistry Course for undergraduate students of Science Teacher Study Program Faculty of Mathematics and Science State University of Malang shows that the instructional design is effective for Biochemistry course with normalized gain laerning score is 0,45. Keywords: Learner as teacher, Meaningfull learning, Reflective journal,Learning outcome.
C - 190
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
PENDAHULUAN Menurut kurikulum 2013, materi pelajaran kimia diajarkan mulai kelas 1 SMP/MTs (Kemendikbud, 2013). Demikian juga dalam kurikulum KTSP yang berlaku sebelumnya (Kemendiknas, 2006). Namun demikian, mahasiswa kimia tahun ke 3 yang telah belajar kimia selama 8 tahun bila ditanya tentang hakekat kimia masih banyak yang belum bisa menjelaskan dengan tepat. Keadaan ini menimbulkan tanda tanya, bagaimana ilmu kimia diajarkan kepada pebelajar? Tujuan utama pendidikan kimia adalah menjadikan pebelajar melek hakekat kimia, pengetahuan kimia ilmiah, dan tahu bagaimana melakukan inkuiri ilmiah di bidang kimia (Hodson, 1992). Hakekat kimia, bagaimana ilmu kimia tumbuh dan berkembang, dan bagaimana ilmu kimia disusun dan dijelaskan merupakan pusaran pendidikan kimia. Oleh karena itu pebelajar yang diajar kimia sesuai dengan kaidah-kaidah pengajaran sains tentunya akan melek hakekat kimia, bagaimana ilmu kimia dibangun, dan bagaimana melakukan scientificinquiry di bidang kimia. Secara umum, fokus pendidikan sains adalah meningkatkan keterampilan berpikir. Bloom et al. (Anderson & Krathwohl, 2001) mengklasifikasikan keterampilan berpikir menjadi enam tingkatan yanag dikenal dengan nama Bloom’s revised of cognitive taxonomy, yaitu: remember (mengingat), understand (memahami), apply (menerapkan), analyze (menganalisis), evaluate (mengevaluasi), dan create (mencipta). Dua keterampilan berpikir yang pertama (mengingat dan memahami) merupakan keterampilan berpikir tingkat rendah yang mendasari empat keterampilan berpikir yang lainnya yang dikenal dengan nama keterampilan
berpikir tingkat tinggi (menerapkan, menganalisis, mengevaluasi dan mencipta). Pembelajaran di mana siswa tidak hanya mengingat, tetapi juga memahami dan dapat mengaplikasikanapa yang telah mereka pelajari disebut belajar bermakna (Anderson & Krathwohl, 2001). Kemampuan siswa dalam mengaplikasikan pengetahuan yang diperolehnya pada situasi baru (transfer of learning) dipengaruhi oleh tingkat pemahamannya yang dapat dilihat dari tiga representasi kimia, tingkatmakroskopik, tingkat mikroskopik, dan tingkat simbolik (Johnstone, 1991).Miri et al. (2007) mengidentifikasi tiga kharakter pembelajaran yang mendorong pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi, yaitu: (1) terkait dengan kasus nyata yang interdisipliner; (2) mendorong diskusi kelas yang terbuka; dan (3) mendorong inquiryexperiments pendek yang dilakukan dalam kelompok kecil. Ingatan dan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran dipengaruhi oleh metode pembelajaran yang digunakan. Pada awal 1960-an, National Training Laboratories (NTL) for Applied Behavioral Science USA mengemukakan bahwa “the average retention rate of information following teaching or activities by the method indicated”. NTL mengemukakan bahwa rata-rata informasi (materi pelajaran) yang masih diingat siswa 24 jam setelah pembelajaran yang dilakukan dengan metode ceramah adalah 5%, metode membaca adalah 10%, metode audiovisual adalah 20%, metode demontrasi adalah 30%, metode diskusi adalah 50%, metode praktikum adalah 75%, dan metode mengajar temannya adalah 90%. Ini berarti, cara terbaik untuk mempelajari sesuatu adalah dengan cara C - 190
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
mempersiapkannya untuk mengajarkan atau learner as teacher. Pelibatan pebelajar dewasa (mahasiswa atau in sevice training) dalam proses pembelajaran lebih penting dari pada yang saat ini diketahui. Thornbury (1991) melaporkan bahwa pelibatan pebelajar secara langsung dalam proses pembelajaran dapat mengembangkan kesadaran dan persepsi yang benar pebelajar mengenai proses pembelajaran. Gray (1998) mengemukakan bahwa pelibatan pebelajar dewasa dalam proses pembelajaran memungkinkan mereka untuk mengakses informasi penting mengenai proses pembelajaran, pembelajaran yang efektif, dan faktor afektif yang penting dalam pembelajaran. Dengan melihat pebelajar yang lain, seorang pebelajar dapat belajar sebagai pembelajar sehingga kharakternya sebagai seorang calon pembelajar tumbuh bersama pebelajar yang lain. Sedangkan Osgood et al. (2005) melaporkan bahwa pelibatan asisten (mahasiswa tingkat akhir) pada perencanaan, pelaksanaan pembelajaran, penilaian, dan penentuan nilai akhir matakuliah “biochemistry education” dapat meningkatkan pemahaman asisten terhadap prinsip-prinsip biokimia, apresiasi positif terhadap profesi guru, melahirkan pendekatan baru dalam belajar, dan meningkatkan konfidensi dalam berceramah. Serupa dengan learner as teacher, kerjasama untuk saling belajar antar guru dalam merencanakan, melaksanakan dan merefleksi pembelajaran dapat meningkatkan profesionalitas guru (Nozu, 2008). Kerjasama guru dalam merencanakan, melaksanakan dan merefleksi pembelajaran ini dikenal dengan nama lesson study (Lewis, 2002). Kusanagi (2010) merinci bahwa
implementasi lesson study di sekolah dapat meningkatkan kualitas interaksi guru dengan guru, guru dengan siswa, siswa dengan siswa, civitas sekolah dengan sekolah, meningkatkan kualitas pembelajaran, dan meningkatkan hasil belajar siswa. Keuntungan lain penerapan lesson study adalah terjadinya sharing pedagogical content knowledge (Isoda, 2010). Pelibatan pebelajar dalam pembelajaran dapat diperluas dengan reflective learning. Pembelajaran reflektif atau experientiallearning merupakan proses di mana pebelajar berusaha merenungkan, menangkap dan mengevaluasi kembali pengalaman mereka, bekerja berdasarkan pengalamannya, dan kembali belajar (Beaudin, 1995). Refleksi adalah proses yang perlu ditelusuri setelah berlalunya suatu pengalaman belajar dan dalam beberapa kasus ketika proses belajar sedang berlangsung. Keefektifan pembelajaran refleksi telah diuji di berbagai bidang. Dalam bidang pendidikan, penerapan reflectivelearning membantu pebelajar meningkatkan keefektifan belajarnya dalam berbagai situasi (Healey and Jenkins, 2000). Penilaian serupa juga disampaikan oleh Gosen & Washbush (2004) yang mendukung pendapat yang menyebutkan bahwa experiential learning adalah efektif setelah melakukan review terhadap riset empiris. Matakuliah “Biokimia” merupakan salah satu matakuliah lanjut yang didesain untuk mahasiswa Program Studi Sarjana Pendidikan IPA tahun ke 3 semester 5. Secara teoritis, bekal awal kimia mahasiswa Sarjana Pendidikan IPA tahun ke 3 sudah memadai. Mereka sudah memperoleh mata kuliah Kimia Dasar II yang di dalamnya ada gugus fungsi C - 191
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
senyawa organik dan biomolekul. Mereka juga sudah memperoleh maka kuliah Unsur dan Molekul yang membahas sifatsifat kimia biomolekul. Namun demikian, survey awal menunjukkan bahwa wawasan kimia mahasiswa Pendidikan IPA masih belum menggembirakan, terutama pada tingkat submikroskopik dan simbolikmatematik. Umumnya, perkuliahan mata kuliah teori berlangsung satu arah. Pembelajar ceramah, pebelajar mendengar dan menulis. Terkadang diselingi dengan latihan terbimbing terbatas yang biasanya hanya melibatkan mahasiswa kelompok atas. Tugas terstruktur diberikan dalam bentuk pengayaan yang biasanya tidak dibahas oleh pembelajar (hasil angket mahasiswa). Perkuliahan yang demikian tentunya kurang memberi kesempatan kepada pebelajar untuk melakukan scientific inquiry dan kurang mendapatkan konfirmasi pemahamannya dari orang lain, khususnya pembina mata kuliah. Oleh karena itu diperlukan model perkuliahan baru yang lebih efektif, efisien, bermakna dan meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi mahasiswa. Atas dasar kondisi di atas peneliti memandang perlu dilakukannya penelitian yang berorientasi pada peningkatan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan pembentukan students’ confirmed understandingdengan cara: (1) meningkatkan peran pebelajar dalam pembelajaran dengan cara melibatkan mereka dalam menyusun bahan ajar yang kontekstual, terbuka untuk didiskusikan dan sejauh mungkin memuat short inquiryexperiments, mempresentasikan bahan ajar yang mereka susun, dan merespon bahan ajar dan presentasi pebelajar yang lain, (2) menempatkan pembelajar sebagai perancang outcome
perkuliahan, supervisor, dan konfirmer, dan (3) memperluas interaksi antara pebelajar dengan materi pelajaran melalui reflectionjournal. METODE PENELITIAN Desain dan Subjek Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian panjang yang dilakukan melalui tahapan: (1) survey pembelajaran Biokimia, (2) pengembangan bichemistry test instrument oriented to higher order thinking skills, (3) Survey (pretes) hasil belajar dengan biochemistry test instrument oriented to higher order thinking skills, (4) pengembangan model pembelajaran reflective learner as teacher yang berorientasi pada higher order thinking skills, (5) penerapan model pembelajaran reflective learner as teacher, (6) evaluasi dan revisi model pembelajaran reflective learner as teacher, (7) perumusan prototype model pembelajaran reflective learner as teacher, (8) survey (postes) hasil belajar dengan biochemistry test instrument oriented to higher order thinking skills, dan (9) survey tentang pandangan pebelajar terhadap reflective learner as teacher. Artikel ini merupakan hasil penerapan model awal dalam bentuk case study pada mata kuliah Biokimia dengan subjek mahasiswa Pendidikan IPA FMIPA UM yang berjumlah 60 orang. Sebelum dan semudah perlakuan, subjek penelitian diberi pretes dan postes prestasi belajar yang berorientasi pada higher order thinking. Tes asesmen kimia yang berorientasi pada higher order thinkingdigunakan sebagai instrumen pretes dan postes. Instrumen penelitian ini adalah (1) tes prestasi belajar yang berorientasi keterampilan berpikir tingkat tinggi, dan C - 192
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
(2) jurnal refleksi untuk memantau perkembangan pemahaman mahasiwa.Data dianalisis menggunakan gain learning score yang didefinisikan sebagai perbandingan antara rata-rata skor tes yang dicapai siswa dengan skor maksimum yang dapat diperoleh yang dirumuskan dengan persmaan (Slavin, 1982): Gain Score = (skor tes akhir – skor pretest)/(100 – skor pretes) Kriteria yang digunakan adalahGain Score ≤ 0,30 dengan kualifikasi rendah, 0,30 GS 0,70 kualifikasi sedang, dan GS ≤ 0,70 dengan kualifikasi tinggi. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Perkuliahan Biokimia dan Desain Perkuliahan yang Dikembangkan Dari survey awal diketahui bahwa pekuliahan Biokimia saat ini dilakukan dengan 1) ceramah dengan media Power Point, 2) sebagian dosen telah memanfaatkan media animasi yang didownload dari youtube, tetapi belum pernah ada penelitian mengenai efektifitas penggunaan media tersebut dalam perkuliahan, 3) sebagian dosen telah memberikan latihan soal, 4) terkadang dosen mengecek pemahaman 3D mahasiswa menggunakan plastisin, dan 5) ujian dilakukan pada akhir bab yang dilakukan tiga kali persemester. Paparan perkuliahan Biokimia di atas belum memperlihatkan peran mahasiswa seccara signifikan. Ceramah bermedia Power Point mempunyai kecenderungan menjadikan Power Point sebagai pemandu perkuliahan. Tentu saja ini tidak memenuhi tuntutan pembelajaran yang baik sebagaimana dikemukakan oleh Huitt et al. (2009). Mereka mengemukakan
There are five important instructional events that should occur during the presentation or introduction phase of direct instruction: (1) review of previous material and/or prerequisite skills, (2) a statement of the specific knowledge or skills to be learned, (3) a statement or experience that provides students with reason or explanation of why these particular objectives are important, (4) a clear, active explanation of the knowledge or skills to be learned, and (5) multiple opportunities for students to demonstrate their initial understandings in response to teacher probes.
Penggunaan media animasi dalam perkuliahan terikat pada materi kuliah. Penggunaan media hasil free download dari youtube perlu memperhatikan kesesuaian media yang digunakan dengan materi. Penggunaan animasi dan plastisin yang tepat dan pemberian latihan soal perlu dilakukan oleh semua dosen dan diberikan kepada semua mahasiswa. Dengan deskripsi perkuliahan seperti ini perlu disusun desain perkuliahan baru yang lebih memperhatikan peran mahasiswa dalam perkuliahan. Atas dasar kondisi tersebut disusunlah desain perkuliahan yang memperhatikan 1) aktifitas fisik (hand on) dan aktifitas mental (mind on), 2) tanggung jawab mahasiswa sebagai pebelajar, dan 3) self assesment mahasiswa. Ataspertimbangan tersebut maha disusunlah desain perkuliahan sebagai berikut: 1. Membagai mahasiswa ke dalam kelompok kecil @ 4 orang. Setiap kelompok diberi tugas dengan materi yang berbeda untuk a) menyusun makalah yang kisi-kisinya telah ditentukan oleh dosen pembimbing, b) mengumpulkan makalah pada minggu C - 193
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
ketiga perkuliahan, dan c) mempresentasikan makalah yang dibuatnya setelah dikoreksi terlebih dahulu oleh dosen pembimbing, termasuk power point yang akan dipresentasikan. 2. Dua minggu pertama, dosen memberikan overview mengenai materi kuliah dan membangungeneral prior knowledge. 3. Secara bergilir, setiap kelompok mempresentasikan makalahnya. Ketika salah satu kelompok berperan sebagai presenter (teacher), dua kelompok lain berperan sebagai pembanding (observer), dan sepuluh kelompok sisanya sebagai pebelajar (learner). Durasi perkuliahan 3 jam @ 50 menit. Setiap presenter/kelompok mempunyai waktu 25 menit untuk menyampaikan makalahnya dan 10 menit tanggapan observer dan 15 menit tanya jawab. Presentasi diakhiri dengan ulasan dosen pembina mata kuliah, termasuk di dalamnya menjawab pertanyaan dan memberi konfirmasi atas masalah yang berkembang. 4. Setiap akhir pertemuan subjek penelitian secara kelompok membuat refleksi mengenai kesulitan belajar mereka, apa-apa yang tidak mereka pahami. Bila waktu tidak cukup, lembar refleksi bisa dikirim lewat email. Refleksi ini dibahas oleh Dosen Pembina Mata Kuliah pada awal pertemuan pekan berikutnya. Desain perkuliahan hasil pengembangan, disebut sebagai learner as teacher, hanya dirancang khusus untuk mata kuliah di mana mahasiswa telah mempunyai bekal awal yang cukup, materinya tidak baru sama sekali, seperti mata kuliah Biokimia, Telaah Pelajaran Sekolah, Seminar/Kolokium, dan sejenisnya.
Dengan pemberian tanggung jawab yang besar kepada mahasiswa dan pengawasan yang ketat dari dosen pembina mata kuliah diharapkan perkuliahan semacam ini tidak mengurangi hasil belajar mahasiswa, bahkan meningkatkannya. Beberapa Refleksi Mahasiswa Lembar refleksi atau reflective journals ternyata sangat penting bagi mahasiswa. Hal ini terlihat dari keotentikan pertanyaan mahasiswa. Dari pertanyaan yang otentik ini akhirnya kita tahu bahwa apa yang kita sangka mahasiswa memahami apa yang kita jelaskan ternyata tidak selalu. Dengan demikian kita dapat mengubah cara kita mengelola perkuliahan. Beberapa contoh pertanyaan mahasiswa yang barangkali kita tidak menyangka adalah sebagai berikut: 1. Mengapa asam amino ada yang bersifat nonpolar, polar, bermuatan negatif dan bermuatan positif? Sekilas pertanyaan ini terkesan aneh, sebab polaritas asam amino merupakan konsep penting atau merupakan inti perkuliahan sifat-sifat asam amino. Bagaimana mungkin mahasiswa tidak memahami bagian terpenting dari perkuliahan? Setelah ditelusuri ternyata baru ketahuan apabila tidak semua mahasiswa memperhatikan penjelasan presenter atau bahkah dosennya sendiri sekalipun yang menjelaskan. Dengan demikian kita bisa mengambil pelajaran bahwa ketika kita sedang menjelaskan perkuliahan kita juga harus memperhatikan mahasiswa satu demi satu, tidak boleh ada mahasiswa yang luput dari pengamatan dosen sehingga tidak mengikuti penjelasan. Atau sebab lain yang tidak kita sadari, misalnya ada mahasiswa yang tidak memahami polaritas senyawa yang merupakan prasyarat memahami polaritas asam C - 194
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
amino. Mahasiswa yang tidak memahami polaritas molekul tentu tidak bisa memahami mengapa asam amino ada yang bersifat polar, nonpolar, bermuatan negatif, dan bermuatan positif. Di benak sebagian mahasiswa melihat asam amino yang menjadi fakus perhatiannya adalah gugus amino dan gugus karboksil yang menyebabkan senyawa ini disebut asam amino, tidak melihat faktor rantai samping yang menjadi ciri masing-masing asam amino. 2. What are chemical processes that accompany extracting, transforming and using energy in living organism? Pertanyaan ini juga terasa sangat aneh. Sebab materi yang ditanyakan merupakan materi kuliah yang bari akan dibahas satu bulan berikutnya. Namun demikian bila dicermati pertanyaan ini juga tidak keliru. Akar masalah munculnya pertanyaan ini adalah motivasi yang bigunakan oleh dosen pembina mata kuliah ternyata dipahami secara terpisah oleh mahasiswa sehingga ada kesan materi pertanyaan ini perlu dipahami oleh mahasiswa saat itu. Padahal proses kimia yang menyertai transformasi energi dalam makluk hidup yang disinggung oleh dosen pembina mata kuliah pada awal pertemuan dimaksudkan hanya untuk membuat overview atau menanamkan konsep bahwa makluk hidup mengekstraksi energi dari lingkungannya. Tetapi waktu pembahasan transformasi energi makluk hidup dalam perkuliahan baru akan dilakukan satu bulan berikutnya. 3. Is there any disruption from sorrounding or system that disturb constant transactions between system and its surrounding?
Pertanyaan ketiga ini benar-benar pertanyaan yang luar biasa bobotnya. Sebelum membahas tentang constant transactions of energy between system and its surrounding mahasiswa telah mempelajari keseimbangan alam dan kesetimbangan kimia. Kesetimbangankesetimbangan ini selalu ada pengganggunya. Dalam kesetimbangan kimia, misalnya, kesetimbangan akan terganggu bila ada ion sejenis yang dimasukkan atau diambil dari kesetimbangan tersebut. Hal ini dapat menggeser kesetimbangan. Bila sistem sudah tidak sanggup menahan pengaruh luar semacam ini maka sistem akan kehilangan kesetimbangannya dan membentuk kesetimbangan baru. Analog dengan kesetimbangan ini, apakah constant transactions of energy between system and its surrounding juga mempunyai pengganggu? Tentunya jawabannya sangat panjang yang pada prinsipnya sama dengan pengaruh ion sejenis pada kesetimbangan. Constant transactions of energy between system and its surrounding akan terganggu oleh adanya inhibitor-inhibitor enzim yang bertindak sebagai racun. Pengangkutan oksigen oleh hemoglobin misalnya, proses ini akan terganggu bila orang menghirup gas CO. Sebab afinitas CO terhadap hemoglobin lebih dari 250X dibandingkan dengan afinitas O2 terhadap hemoglobin. Dari ketiga pertanyaan mahasiswa tersebut kita tahu bahwa Reflection Journal merupakan saluran komunikasi yang penting antara dosen dengan mahasiswa. Dalam perkuliahan verbal, sulit bagi mahasiswa untuk mengajukan pertanyaan seperti itu. Pertanyaan pertama takut dikemukakan karena kuwatir dimakiC - 195
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
makit temannya. Pertanyaan kedua dan ketiga perlu waktu panjang untuk memformulasikannya. Lembar refleksi membantu mahasiswa melihat pembelajaran sebagai proses yang sedang berjalan di mana mahasiswa berhenti di tempat-tempat tertentu untuk merenungkan apa yang sudah dilakukannya dalam belajar. Lembar jurnal juga membantu mahasiswa untuk mengasah keterampilannya melalui dua cara, yaitu 1) memelihara rekaman pembelajarannya, dan 2) mempraktekkan cara melakukan analisis dengan cara memikirkan pertanyaan yang akan mereka tanyakan. Study Kasus pada Mahasiswa Program Sarjana Pendidikan IPA Perolehan belajar mahasiswa ditentukan berdasarkan normalized gain learning score menggunaan persamaan Gain Score = (skor tes akhir – skor pretest)/(100 – skor pretes) Hasil perhitungan menunjukkan bahwa harga Gain Score belajar mahasiswa adalah 0,45 sehingga tergolong sedang. Gain score sangat penting bagi perhitungan perolehan belajar. Skor ujian yang tinggi tidak berarti efektifitas pembelajarannya tinggi, sebaliknya skor ujian yang rendah belum tentu efetifitas pembelajarannya rendah. Skor rata-rata postes 75 bila skor rata-rata pretesnya 60 maka gain score-nya hanya 0,37. Sebaliknya, skor rata-rata posten 60 bila skor rata-rata pretesnya 15 maka gain score-nya adalah 0,53. Konfirmasi dengan uji t menggunakan bahwa memang ada perbedaan antara pretes dengan postes. Ini berarti desain perkuliahan ini termasuk desain perkuliahan yang efektif dalam meningkatkan hasil belajar mahasiswa. KESIMPULAN
Kesimpulan Desain perkuliahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah 1) membagai mahasiswa ke dalam kelompok kecil @ 4 orang, 2) mendistribusikan tanggung jawab kepada mahasiswa melalui kelompok mahasiswa yang tiap kelompoknya terdiri atas 4 orang, 3) setiap kelompok memiliki pengalaman sebagai teacher, observer, maupun students, 4) setiap kelompok menyusun pertanyaan tentang kesulitan belajar yang dikumpulkan pada akhir perkuliahan atau via email, 5) dosen bertugas membuat kisikisi makalah, mereview perkuliahan dan membahas lembar rrefleksi. Pertanyaan mahasiswa yang ditulis di lembar refleksi ternyata sangat penting bagi perbaikan kualitas perkuliahan. Uji normalized gain learning score menunjukkan bahwa desain perkuliahan ini termasuk desain perkuliahan dngan efektifitas sedang dengan gain score sebesar 0,45. Saran Penelitian ini perlu dilanjutkan untuk mengetahui hasil akhir penerapan model perkuliahan, yaitu model perkuliahan learner as teacher. DAFTAR PUSTAKA Boss, S. 2002. A closer look at learning. Principal Leadership, 2(2), 12-16. Epp, S. 2008. The value of reflective journaling in undergraduate nursing education: A literature review. International Journal of Nursing Studies, 45(9), 1257-1400. Fernandez, C. 2002. Learning from Japanese approaches to professional development: The case of lesson study. Journal of Teacher Education, 53(5), 393-405. Fernandez, M.L. 2010. Investigating how and what prospective teachers learn C - 196
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
through microteaching lesson study. Teaching and Teacher Education, 26(2),351–362. Gilbert, J. K., Boulter, C. & Rutherford, M. (1998). Models in explanations, part 1: Horses for courses. International Journal of Science Education, 20(1), 83 – 97. Gosen, Jerry & Washbush, John. 2004. A review of scholarship on assessing experiential learning effectiveness. Simulation & Gaming, 35(2), 270293. Gray, John. 1998. The language learner as teacher: the use of interactive diaries in teacher training. ELT Journal, 52(1), 29-37. Grosslight, L., Unger, C., Jay, E. & Smith, C. (1991). Understanding Models and their Use in Science: Conceptions of Middle and High School Students and Experts. Journal of Research in Science Teaching, 28, 799 – 822. Healey, M. & Jenkins, A. 2000. Kolb's Experiential Learning Theory and Its Application in Geography in Higher Education. Journal of Geography, 99, 185-195. Huitt, W., Monetti, D., & Hummel, J. 2009. Designing direct instruction. In C. Reigeluth and A. CarrChellman, Instructional-design theories and models: Volume III, Building a common knowledgebase [73-97]. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Retrieved from http://www.edpsycinteractive.org/pa pers/designing-direct-instruction.pdf Isoda, M. 2010. Lesson Study: Problem Solving Approaches in Mathematics Education as a Japanese Experience. Procedia Social and Behavioral Sciences, 8, 17-27. Johnstone, A. H. (1991). Why is science difficult to learn? Things are seldom what they seem. Journal of
Computer-Assisted Learning, 7, 701 – 703. Jonassen, D., Davidson, M., Collins, M., Campbell, J. & Haag, B. (1995). Constructivism and computermediated communication. American Journal of Distance Education, 9 (2), 7 – 25. Justi, R. & Gilbert, J. (2000). History and philosophy of science through models: some challenges in the case of the atom. International Journal of Science Education, 22, 993 – 1009. Kolb, D. A. (1984). Experiential Learning: Experience as the source of learning and development. Englewood Cliffs, N. J.: Prentice-Hall. Kozma, R. & Russell, J. (1997). Multimedia and understanding: Expert and novice responses to different representations of chemical phenomena. Journal of Research in Science and Teaching, 43(9), 949 – 968. Kusanagi, K.N. 2010. Dampak dan Tantangan Lesson Study Berbasis Sekolah sebagai Pengembangan Profesi Guru. Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 3. Malang: FMIPA Universitas Negeri Malang Lewis, C. 2002. Does Lesson Study Have a Future in the United States?Nagoya Journal of Education and Human Develpment, 1,1-23. Lewis, C., Perry, R. & Hurd, J. 2004. A deeper look at lesson study. Educational Leadership, 61(5), 1622. Mann, K., Gordon, J., & MacLeod, A. 2009. Reflection and reflective practice in health professions education: a systematic review. Adv in Health Sci Educ, 14, 595–621 Miri, B., David, B.C. & Uri, Z. 2007. Purposely Teaching for the Promotion of Higher-order Thinking Skills: A Case of Critical Thinking. Res. Sci. Educ., 37, 353–369. C - 197
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
NTL Institute for Applied Behavioral Science, 300 N. Lee Street, Suite 300, Alexandria, VA 22314. 1-800777-5227. Learning pyramid. http://homepages.gold.ac.uk/polovin a/learnpyramid/about.htm O’Neill, D. K. & Polman, J. L. (2004). Why educate “little scientists?” Examining the potential of practicebased scientific literacy. Journal of Research in Science Teaching, 41(3), 234 – 266. Osgood, M.P., Mitchell, S.M.,dan Anderson, W.L. 2005. Teachers as learners in a cooperative learning biochemistry class.Biochemistry and Molecular Biology Education, 33(6), 394-398. Parks, A. 2008. Messy learning: Preservice teachers‘ lesson study conversations
about mathematics and students. Teaching and Teacher Education: An International Journal of Research and Studies, 24(4), 12001216. Scerri, E. & McIntyre, L. (1997). The Case for the Philosophy of Chemistry. Synthese, 111, 213 – 232. Shuell, T. J. (1990). Phases of meaningful learning. Review of Educational Research, 60 (4), 531 – 547. Slavin, R.E. 1992. Research Methods in Education. 2nd ed. NY: Allyn and Bacon. Thornbury, S. 1991. ‘Watching the whites of their eyes: the use of teaching practice logs’. ELT Journal 45(2), 140-146.
C - 198