EDISI 3 - 2013
MADE IN INDONESIA • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Gemara Leather Nbee Stone & Silver Tulen Yogya Mostra Yuni Design Everbeat Cajon Glintz Kloom Clugs Sepatu Natana Jam Matoa Sepatu Havehead Tas d’Russa Sepatu JD Kids Gitar Secco Baju Jackhammer Gitar Jepara Indiego House Tas Rajut Vinaastee Citra Baru Busana Mie Lidi
TEKNOLOGI • Robo Marine • Rompi Anti Peluru Saba
APA DAN SIAPA Alim Markus
TOKOH
Handito Joewono
Dorong P3DN Demi Kemajuan Ekonomi Nasional Promoting P3DN for the National Economic Development
K E ME NTERIAN P ERIND USTRIAN w ww.kemenperin.go .id
dari meja redaksi Saat ini, industri diIndonesia khususnya industri manufaktur telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Selain telah mampu memproduksi barang jadi, juga telah mampu memproduksi barang modal untuk kebutuhan bahan baku industri termasuk desain rekayasa industri. Upaya pemerintah dalam memfasilitasi pertumbuhan industri domestik melalui peningkatan penggunaan produksi dalam negeri (P3DN), khususnya dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai oleh APBN/APBD, telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 yang mengamanatkan bahwa setiap Kementerian/ Lembaga/Daerah/Instansi dalam melakukan pengadaan barang/jasa wajib memaksimalkan penggunaan barang/jasa hasil produksi dalam negeri dan mensyaratkan penggunaan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Tenaga Ahli. Untuk membangun daya saing ekonomi nasional yang berkelanjutan diupayakan adanya pemanfaatan seluruh potensi sumber daya yang dimiliki oleh bangsa ini yaitu kemampuan untuk memanfaatkan peluangpeluang yang ada secara optimal, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pasar dan permintaan pasar baik dalam negeri maupun ekspor. Terbentuknya Tim P3DN mulai dari tingkat pusat, propinsi sampai tingkat Kabupaten/Kota diharapkan diharapkan adapat terbangun koordinasi dan sinergi, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan penggunaan produk dalam negeri di lingkungan masing-masing. Disamping itu, diharapkan juga mampu mendorong optimalisasi belanja pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa yang dalam pelaksanaannya hendaknya selalu mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Apa dan Siapa redaksi akan menampilkan seorang tokoh yang terkenal dengan jargonnya, ‘cintailah produk-produk Indonesia’ beliau seorang pengusaha yang memperjuangkan agar industri nasional dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Terakhir adalah seorang pakar pemasaran Handito Hadi Joewono yang dalam kepengurusan KADIN Indonesia kini menjabat Ketua Komite Tetap Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN). Dalan edisi akhir tahun ini, redaksi akan mengangkat topik aktualita mengenai P3DN, untuk melihat seberapa jauh kebijakan P3DN sudah berjalan dan dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam perkembangan industri nasional. Untuk itu dalam rubrik Made in Indonesia akan menampilkan beberapa Karya Anak Bangsa yang berpartisipasi dalam Pameran Produksi Indonesia 2013 yang diselenggarakan di Bandung belum lama ini. Disamping itu rubrik Teknologi juga menampilkan beberapa hasil inovasi teknologi yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam mendukung program P3DN. Begitu pula Opini dari pelaku usaha Putri K. Wardani yang memberikan pandangannya sebagai Ketua AMIN (Asosiasi Merek Indonesia) terhadap Merek Asli Indonesia yang dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Dengan dukungan seluruh pemangku kepentingan sektor industri baik pemerintah, swasta maupun masyarakat, diharapkan industri nasional tetap dapat menjadi pilar pertumbuhan ekonomi nasional dan produk Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Selamat Membaca. *** Today, the Indonesian industries, especially manufacturing industries have experienced a rapid progress. In addition to having competence in producing finished goods, they have also been able to produce capital goods as raw materials for industries including engineering design industry. Government efforts to facilitate the growth of domestic industries through the increasing use of domestic products (P3DN), especially in the procurement of goods and services partly or wholly financed by the state budget (APBN/APBD), has been stipulated in Presidential Decree No. 54 of 2010 which mandates that each Ministry/Institution/Local Government/Agency in carrying out the procurement of goods/services is required to maximize the use of domestic goods/services and requires the imposition of Indonesian National Standard ( SNI ) and experts. To build up the sustainable competitive advantage of the national economy, maximizing the use of national potential resources is imperative, that is the ability to exploit the opportunities optimally so that it can meet the market needs and market demand, both domestic and export. The formation of P3DN team, from the central government, provincial to district level is expected to achieve a good coordination and synergy, and also to monitor and evaluate the implementation of the use of domestic products policy in their respective institutions. In addition, it is also expected to encourage the optimization of government spending in the procurement of goods and services by fully implementing the prevailing regulation. With what and who, the editors will introduce a well-known figure with the jargon, “do love Indonesian products”. He is a businessman who has fought for the national industries in order to host in their own country. Another is a marketing expert named Handito Hadi Joewono who is now the Chairman of the Standing Committee on the Increase Use of Domestic Products (P3DN). In the final edition of this year, the editors will uplift the newest topic of the P3DN to see how far the policy of P3DN has already run and given significant contributions to national industry development. For that reason, the rubric of Made in Indonesia will introduce some work of nations who participated in the Indonesian Production Exhibition 2013 held in Bandung recently. Besides, the rubric of technology will also show some technological innovations that can be applied in everyday life to support the P3DN program. Last but not least, the opinion of a woman entrepreneur, Putri K. Wardani which gives her views as Chairman of AMIN (Association of Indonesian Brand) about Indonesia Original Brands that are able to host in their own country. With the support from all stakeholders in industry sectors including government, private institution and the public, it is expected that national industries remain to be pillars of the national economic growth and the Indonesian products will host in their own country. Happy Reading . *** EDISI 3 - 2013
MADE IN INDONESIA • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Gemara Leather Nbee Stone & Silver Tulen Yogya Mostra Yuni Design Everbeat Cajon Glintz Kloom Clugs Sepatu Natana Jam Matoa Sepatu Havehead Tas d’Russa Sepatu JD Kids Gitar Secco Baju Jackhammer Gitar Jepara Indiego House Tas Rajut Vinaastee Citra Baru Busana Mie Lidi
TEKNOLOGI • Robo Marine • Rompi Anti Peluru Saba
APA DAN SIAPA Alim Markus
TOKOH
Daftar IsiContents Aktualita Dorong P3DN Demi Kemajuan Industri Nasional
made in indonesia Gemara Leather 8 Nbee Stone & Silver 10 Tulen Yogya 12 Mostra 14 Yuni Design 16 Everbeat Cajon 18 Glintzroom 20 Kloom Clugs 22 Natana 24 Matoa 26 Havehead 28 d’Russa 30 JD Kids 32 Gitar Secco 34 Jackhammer 36 Gitar Carving Jepara 38 Indiego House 40 Tas Rajut Ninaastee 42 Parker 44 Mie Lidi 46
teknologi Robo Marine Rompi Anti Peluru Saba
Demi Kemajuan Ekonomi Nasional Promoting P3DN for the National Economic Development
48 50
opini Putri K. Wardani
52
APA & SIAPA Alim Markus
56
TOKOH Handito Joewono
REDAKSI Pemimpin Umum: Ansari Bukhari | Pemimpin Redaksi: Hartono | Wakil Pemimpin Redaksi : Feby Setyo Hariyono | Redaktur Pelaksana: Siti Maryam | Editor: Intan Maria | Photografer: J. Awandi | Anggota Redaksi: Hafizah Larasati, Betty Yarsita, Silvano Armada, Dewi Meisni, I Nyoman Wirya Artha Alamat Redaksi Pusat Komunikasi Publik, Gedung Kementerian Perindustrian, Lt 6, Jl. Gatot Subroto Kav. 52-53, Jakarta Telp: (021) 5255609, 5255509, Pes. 4074, 2174.
Handito
Dorong P3DN
4
Redaksi menerima artikel, opini, surat pembaca. Setiap tulisan hendaknya diketik dengan spasi rangkap dengan panjang naskah 6000 - 8000 karakter, disertai identitas penulis. Naskah dikirim ke redaksi Majalah KINA Kementerian Perindustrian. Majalah ini dapat diakses melalui: www.kemenperin.go.id
60
Aktualita
Dorong P3DN Demi Kemajuan Ekonomi Nasional Pelaksanaan Program Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN) kini memasuki babak baru menyusul disahkannya Rancangan Undang-undang (RUU) Perindustrian menjadi UU Perindustrian oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) bersama Pemerintah pada tanggal 19 Desember 2013 lalu.
D
engan disahkannya UU Perindustrian itu pelaksanaan P3DN kini memiliki pijakan legalitas yang lebih kuat. Tidak hanya itu, sanksi bagi para pejabat pemerintah/ Pemda/BUMN/BUMD yang melanggar ketentuan P3DN pun kini lebih kuat, jelas dan tegas. Kerangka hukum yang lebih kuat dengan sanksi yang lebih jelas dan tegas memang diperlukan bangsa ini agar pelaksanaan P3DN dapat dipacu sesuai dengan yang diharapkan. Sebab, selama ini pelaksanaan P3DN masih berjalan di tempat. Para pejabat pembuat komitmen (PPK) di lingkungan instansi pemerintah maupun di lingkungan BUMN dan BUMD yang menjadi subjek dari kebijakan tersebut masih banyak yang tidak menghiraukan ketentuan penggunaan produksi dalam negeri dalam setiap kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah (government procurement). Selama ini para pejabat pengguna anggaran negara itu lebih cenderung menganggap kebijakan P3DN hanya sekedar slogan tanpa makna. Mereka tetap lebih mengutamakan penggunaan produk impor dengan berbagai dalih mulai dari kualitasnya lebih baik, harganya lebih murah, ketersediaannya lebih terjamin dan sebagainya. Padahal banyak produk buatan dalam negeri yang dari segi kualitas, ketersediaan maupun harganya tidak kalah bersaing dengan produk serupa buatan luar negeri. Namun karena didorong motif tertentu, para pejabat tersebut lebih memilih untuk memenangkan pemasok dari luar negeri. Motif tersebut bisa jadi karena mereka terdorong keinginan untuk mendapatkan komisi atau karena motif lainnya. Ferry Yahya, staf ahli Menteri Perindustrian yang juga menjadi Wakil Ketua Tim Nasional P3DN mengatakan berbagai dalih itu sebetulnya hanya untuk menutupi kongkalingkong yang dilakukan pejabat di instansi pemerintah/badan usaha milik negara yang bersangkutan dengan pemasok
4
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
dari luar negeri. Padahal dari segi harga barang, pemerintah telah memberikan kebijakan preferensi bagi produk dalam negeri hingga 15%, sedangkan dari segi kualitas pemerintah telah menetapkan bahwa semua produk yang digunakan pemerintah harus sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Salah satu contoh ketidakpatuhan instansi pemerintah dalam melaksanakan P3DN yang cukup memprihatinkan adalah pembelian armada bis gandeng (articulated bus) busway oleh Dinas Perhubungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2013 yang baru lalu. Pemprov DKI Jakarta
membeli 180 unit bis gandeng dari China, padahal di dalam negeri sendiri terdapat dua perusahaan (PT INKA dan PT Borobudur) yang mampu memasok bis gandeng dengan kualitas dan harga yang cukup bersaing. Bahkan, ironisnya seluruh bis gandeng buatan China itu didatangkan dalam bentuk utuh (completely built-up) dari China tanpa menyisakan nilai tambah sedikit pun di dalam negeri. Menurut Ferry, disahkannya UU Perindustrian memberikan harapan baru dalam penegakan ketentuan penggunaan produksi dalam negeri dalam setiap kegiatan pengadaan barang pemerintah. Sebab, UU merupakan produk hukum
Aktualita
yang memiliki kedudukan lebih tinggi ketimbang Peraturan Menteri dan Peraturan Presiden atau Instruksi Presiden yang selama ini menjadi landasan pelaksanaan P3DN. “Di dalam Undang-undang Perindustrian yang baru disahkan DPR RI bersama pemerintah pada tanggal 19 Desember 2013 lalu, terdapat sejumlah pasal yang khusus mengatur tentang penggunaan produksi dalam negeri. Pasal-pasal tersebut adalah Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 99 dan Pasal 90. Di dalam UU tersebut juga terdapat instruksi agar pemerintah menerbitkan peraturan pelaksanaan turunannya seperti Peraturan Pemerintah dan lain-lain,” tutur Ferry. Bahkan, lanjut Ferry, UU Perindustrian mengatur penggunaan produksi dalam negeri secara lebih tegas dan ketat dimana setiap kegiatan pengusahaan yang terkait dengan sumberdaya yang dikuasai negara harus tunduk kepada aturan penggunaan produksi dalam negeri. “Jadi, perusahaan pertambangan seperti PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara harus mengikuti ketentuan penggunaan produksi dalam negeri dalam setiap kegiatannya. Sebagaimana kita ketahui selama ini PT Freeport Indonesia masih mengimpor makanan untuk para karyawannya secara langsung dari Australia. Dengan keluarnya UU Perindustrian ini maka mereka tidak bisa lagi melakukan hal itu karena mereka harus menggunakan produk makanan buatan dalam negeri.” Hilangnya Patriotisme Ketika ditanya mengapa harus ada P3DN, Ferry secara gamblang mengatakan bahwa P3DN ada karena bangsa Indonesia sudah kehilangan
patriotisme, nasionalisme dan rasa cinta tanah airnya. Kondisi ini sungguh sangat memprihatinkan karena akan membawa implikasi yang sangat merugikan bagi bangsa Indonesia sendiri di berbagai sendi kehidupan, termasuk dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Ferry mengatakan kebijakan P3DN merupakan satu instrumen kebijakan yang sangat penting untuk menyelamatkan ekonomi bangsa mengingat peranannya yang sangat vital dalam mendorong roda perekonomian nasional. Lebih-lebih dalam kondisi neraca perdagangan luar negeri Indonesia yang sedang mengalami defisit dewasa ini, penggunaan produksi dalam negeri menjadi jalan keluar yang sangat mendesak dilakukan untuk menyehatkan ekonomi nasional. “Bayangkan, pada tahun 2013 saja dari Rp 1.600 triliun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terdapat anggaran belanja negara sebesar Rp 400 triliun untuk pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah pusat saja. Belum lagi anggaran belanja di pemerintah daerah serta belanja modal (capital expenditure) dan belanja operasi (operational expenditure) perusahaanperusahaan BUMN yang mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun. Kalau berbagai belanja itu mengutamakan penggunaan produksi dalam negeri, maka betapa dahsyatnya dampak yang ditimbulkan bagi perekonomian nasional,” tutur Ferry. Potensi ekonomi yang cukup besar itu tentu membuat para pemasok dari negara lain terus mengincar peluang ekonomi yang dapat mereka raih dari kegitan pengadaan pemerintah. Karena itu, tidak mengherankan apabila kalangan negara maju begitu getol mengusulkan agar Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) mengatur pengadaan pemerintah di negara-negara anggotanya. Hal itu tentu dimaksudkan agar mereka dapat turut menikmati potensi pasar dari kegiatan pengadaan pemerintah. Syukurlah, sampai kini kalangan negara berkembang masih solid menolak usulan negara-negara maju tersebut. Sejak Dekade 1980-an Menurut Ferry, kebijakan pemerintah mengenai penggunaan produksi dalam negeri sebetulnya sudah ada sejak tahun 1980 dimana pemerintah Presiden Soeharto ketika itu telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres). Bahkan, ketika itu pemerintah menunjuk satu kementerian khusus yang mengurusi masalah penggunaan produksi dalam negeri. Namun sayangnya, pelaksanaan program penggunaan produksi dalam negeri tidak berjalan dengan baik karena belum adanya aturan pelaksana dan aturan teknis. Pemerintah terus berupaya menjalankan kebijakan penggunaan produksi dalam negeri dalam setiap kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah dengan menerbitkan berbagai kebijakan dan peraturan. Terakhir, pada masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II, diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Selain itu, diterbitkan juga Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pedoman Penggunaan Produksi Dalam Negeri dan Permenperin Nomor 15 Tahun 2011 tentang Tata Cara Perhitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri; dan Permenperin Nomor 17 Tahun 2011 tentang Pembentukan Pokja dan Sekretariat Timnas Penggunaan Produksi Dalam Negeri. Ferry mengatakan walaupun sudah banyak kebijakan penggunaan produksi dalam negeri yang diterbitkan pemerintah, namun pelaksanaannya masih belum banyak mengalami peningkatan. Hal itu antara lain karena belum ditegakkannya sanksi khususnya bagi para Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di masing-masing instansi pemerintah pusat, Pemda, BUMN dan BUMD. Di dalam UU Perindustrian yang baru sanksi bagi para pejabat pengadaan pemerintah yang melanggar kebijakan P3DN dibunyikan secara tegas. Sanksi tersebut mulai dari peringatan tertulis, denda administratif, pemberhentian dari jabatan dan sanksi administratif. Tentu saja betapa pun bagusnya sebuah aturan dan kebijakan, pada akhirnya keberhasilan dalam pelaksanaannya akan sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam penegakan aturannya (law enforcement). “Kunci keberhasilan pelaksanaan P3DN lainnya adalah para pemimpin kita, baik di pusat maupun di daerah, harus memberikan contoh kepada masyarakat dalam mengutamakan penggunaan produksi dalam negeri. Tanpa itu, maka pelaksanaan P3DN akan terus jalan di tempat,” tegas Ferry.
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
5
Aktualita
Promoting P3DN for the National Economic Development
The implementation of the program dealing with the increasing use of domestic products (P3DN) is now entering a new phase following the approval of the draft of Industry Act by the House of Representatives of the Republic of Indonesia (DPR - RI) with the Government on December 19, 2013.
6
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
W
ith the enactment of this act, the implementation of P3DN has now had a stronger legal basis. Besides, the sanctions for government officials and state/local enterprises officials violating the provisions of P3DN has become more powerful, clear and unequivocal. The stronger legal framework with pronounced and clear sanctions is indispensable to ensure that the implementation of P3DN can be spurred as expected since to date the implementation of P3DN have run in place. The commitment makers within the government institution as well as in the state-owned and local government enterprises that are the subject of these policies have often overlooked and ignored in their procurement of goods and services activities. So far, the state budget users’ authorities have been likely to consider the policies of P3DN are just a slogan without significance. They still
prefer to using imported products by various pretexts such as the better quality, cheaper price, more secure availability and so on. While there are so many domestic products having the qualities, availabilities and prices competitively compared to similar products that are imported. Driven by certain motives, however, those official authorities have preferred to win the averseas suppliers. Their motives could be driven by their desire to earn commissions or others. Ferry Yahya, an expert staff of the Minister of Industry who is also the Vice Chairman of the National Team of P3DN said that such pretexts are just excuses to cover the conspiracy performed by government and state-owned enterprises officials involved with overseas suppliers. Yet in terms of the price of goods, the government has given a policy preference for domestic products up to 15%, whereas in terms of quality the government has determined that all products used
Aktualita by the government should be in accordance with the Indonesian National Standard ( SNI ). One example of non-compliance of government institutions in implementing P3DN that is quite dissapointing is the purchase of a fleet of articulated buses called busway by the Transport Agency, DKI Provincial Government last year. The DKI Provincial Government purchased 180 units of articulated buses from China, while there are two domestic companies, PT INKA and PT Borobudur that are capable to supply the same products with the competitive quality and price. Even, ironically, all of the articulated buses imported were in the form of completely built-up without leaving the slightest value added to the country. According to Ferry, the enactment of Industry Act has given a new hope in the enforcement of the provisions of the use of domestic products in any government procurement activities, since the Act is a legal product having a higher position than the Ministry Decree, Government Decree, and Presidential Instruction which has become the footing provisions of the implementation of P3DN. “In the Industry Act recently passed by the House of Representatives with the government on December 19, 2013 there are a number of articles which specifically regulate the use of domestic products. These articles are Article 85, Article 86, Article 87, Article 88, Article 99 and Article 90. The Act also contains provisions for the government to issue the derivatives implementation rules such as government decree and others, “said Ferry. Moreover, added Ferry that the Industry Act regulates the use of domestic products more explicitely and stringent in which every activity associated with the exploitation of the resources controlled by the state should be subject to the rules of using the domestic products. “So, the mining companies such as PT Freeport Indonesia and PT Newmont Nusa Tenggara must comply the provisions of the use of domestic products in their each activity. As we have understood, so far PT Freeport Indonesia has still imported foods for its employees directly from Australia. With the enactment of Industry Act, of course it can no longer continue to import because it should consume food products made domestically. The loss of Patriotism When being asked why the P3DN should be exists, Ferry clearly stated that the P3DN should be established because the Indonesian people have already lost their patriotism spirit, nationalism and the love to their homeland. This condition is extremely alarming because it could lead the detrimental implications for the Indonesian people in various aspects of life, including the economic, social, political, and cultural aspects. Ferry said that P3DN policy is a crucial
policy instrument to save the national economy given the vital role in boosting the national economy. Especially in the current foreign trade balance experiencing a deficit condition, the use of domestic products would be the urgent solution needed for the national economic recovery. “Imagine, in 2013 from the amount of Rp 1.600 trillion State Budget, there was a state budget of Rp 400 trillion for the procurement of goods and services within the central government only. Not to mention the local government budget as well as capital and operating expenditures within the state-owned enterprises that amounted more than Rp 1,000 trillion. Provided that the various expenditures were carried out by prioritizing the use of domestic products, then how powerful their impact to the national economy would be, “explained Ferry. The considerable economic potential will, of course, lead the suppliers from other countries continuously seeking the economic opportunities that can be gained from the government procurement activities. Therefore it is not surprising that the developed countries are so keen to propose that the World Trade Organization (WTO) has the authority to regulate government procurement among member countries. It is certainly intended that they can also enjoy the potential market from government procurement activities. Thankfully, until now among the developing countries they remain solid to reject that scheme proposed by developed countries. Since the Decade of the 1980s According to Ferry, the government policy regarding to the use of domestic products has actually been exist since 1980 in which the Suharto’s government issued a Presidential Decree (Perpres). Even at that time the government assigned a specific ministry dealing with the issues of the use of domestic products. Unfortunately, the implementation of the program did not run properly due to the absence of implementation regulations as well as technical guidelines. The government has continuously attempted to
run the policy concerning with the use of domestic products in every activity of the government procurement of goods and services by issuing variety of government policies and guidelines. The latest, during the reign of Indonesia United Cabinet II (Kabinet Indonesia Bersatu II), the Presidential Decree No. 54 Year 2010 about the Government Procurement was issued. In addition, there was also issued the Ministerial Decree (Permenperin) No. 15 Year 2010 about the Guidelines for the Use of Domestic Products and Ministerial Decree No. 15 Year 2011 about the Calculation Procedures of Domestic Components, and also Ministerial Decree No. 17 Year 2011 about the Establishment of the Working Group and the National Team Secretariat of the Use of Domestic Products. Ferry said that despite so many policies regarding to the use of domestic products have been issued by the government, but the implementation has not significantly increased. This is partly due to the weak of law enforcement and sanctions, especially for the commitment maker officials (Pejabat Pembuat Komitmen) in every agency of central government, local government, as weel as within state enterprises and local government enterprises. In the new Industry Act, there is expressly sanctions for whom dealing with government procurement that violate P3DN policies. The sanctions are ranging from a written warning, administrative fines, dismissal from the managerial position and administrative sanctions. Of course no matter how good the rules and policies are, ultimately the success of the implementation will be largely determined by the success of law enforcement. “Another key success factor of the implementation of P3DN lays on our leaders, both at the central and regional levels. In this case they should give an example to the community or to be the role model in promoting the use of domestic products. Without it, the implementation of P3DN program will run in place, “said Ferry.
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
7
Made in Indonesia
gammara leather Tas Kulit Elegan Kreasi Seorang Apoteker Elegant Leather Handbag, the Creation of a Pharmacist
Sungguh tidak dinyana kalau tas kulit cantik nan elegan yang banyak menyedot perhatian pengunjung Pameran Produksi Indonesia (PPI) di Bandung belum lama ini merupakan buah karya seorang wanita cantik pemilik nama Gina Adityalugina, seorang mojang (dara) priangan asal kota Bandung yang mendirikan usaha industri tas kulit Gammara Leather pada tahun 2010.
N
ama Gamara sendiri diambil dari bahasa Makassar yang kurang lebih artinya bagus atau keren. Gina mengaku mendirikan usaha industri tas kulit itu bukan karena memiliki latar belakang keahlian dalam industri tas kulit, melainkan karena suka memiliki dan mengoleksi produk tas kulit. Saking sukanya terhadap produk tas kulit, sejak masih kuliah di Universita Padjadjaran (Unpad), Bandung pada tahun 2008 Gina sudah mulai merintis bisnis jual beli tas kulit.
8
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
Pada tahun 2010, Gina menjalin kongsi bisnis dengan seorang temannya asal Makassar dengan mendirikan Gammara Leather dan terjun langsung menangani produksi. Awalnya Gina menitipkan kegiatan produksi tas kulitnya di seorang perajin tas kulit di Bandung dengan menyediakan semua bahan baku, mesin dan peralatan produksi lainnya. Namun kemudian Gina memutuskan untuk sepenuhnya menangani kegiatan produksi dengan mendirikan bengkel produksi sendiri. Dalam menjalankan usaha industri tas kulit ini Gina dibantu oleh empat orang karyawan. Sejak awal menggeluti usaha tas kulit ini Gina sudah menggunakan nama ‘Gammara’ sebagai merek dagang produknya. Kini merek dagang tersebut sedang dalam proses pendaftaran merek dan paten di Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hukum dan HAM. Kini Gina bersama Gammara Leathernya mampu memproduksi 60-70 unit tas kulit setiap bulannya. Tas kulit hasil rancangan Gina sangat unik, menarik dan elegan karena dirancang khusus untuk memenuhi selera pelanggan, baik wanita maupun pria, yang terus berkembang secara dinamis. Dalam merancang produk tas kulitnya, Gina selalu mengutamakan kualitas produk mulai dari pemilihan bahan baku dan bahan penolong seperti benang, puring untuk bagian dalam, kulit dan lain-lain hingga proses produksi, finishing touch dan pengawasan mutu dilakukan secara ketat. Walaupun Gina sama sekali tidak memiliki latar belakang pendidikan desain maupun teknik produksi, namun sarjana apoteker lulusan Universitas Padjdjaran Bandung ini mampu membuktikan dirinya sebagai desainer dan produsen tas kulit yang patut diperhitungkan. Hal itu tidak lain dari buah kerja keras, kreativitas, inovasi dan belajar tanpa henti yang dilakukan Gina selama ini. Untuk memasarkan produksinya, Gina bekerjasama dengan dua outlet di Jakarta dan Bandung yang memasarkan produk tas kulit buatannya. Kedua outlet tersebut menjadi saluran penjualan tetap sekaligus menjadi showroom untuk produk tas kulit merek Gammara Leather.
Selain memasarkan produknya melalui saluran pemasaran konvensional, sejak tahun 2011 Gina juga memasarkan produknya melalui jaringan pemasaran online melalui www.ebuy.com. Saluran pemasaran online ini tidak hanya menjangkau para calon pembeli potensial domestik, tetapi juga mampu menjangkau para calon pembeli mancanegara. Melalui jalur pemasaran online ini produk tas kulit Gammara Leather mampu merambah pasar mancanegara seperti Irlandia, Norwegia dan Prancis. “Melalui pemasaran produk di jaringan pemasaran online ternyata respons pasar mancanegara terhadap produk kami cukup bagus. Berkat pemasaran ini pula kami sudah berhasil mengekspor berbagai produk tas kulit Gammara Leather ke Irlandia, Norwegia dan Prancis. Setiap bulannya kami mengekspor tidak kurang dari 10 unit tas kulit ke mancanegara melalui jaringan Ebuy,” tutur Gina. Banyak diantara pembeli dari mancanegara yang tertarik untuk memberik produk tas kulit hasil rancangan Gina, khususnya produk tas yang menggunakan paduan bahan dasar kulit dengan kain tenun khas dari berbagai daerah di tanah air. Untuk turut memperkenalkan berbagai daerah di tanah air, Gina sengaja memberi nama produk tas kulit tersebut dengan nama-nama asli daerah yang bersangkutan. Untuk mempromosikan produk tas kulitnya, Gina menjalin kerjasama promosi produk dan branding dengan produsen semir dan bahan perawatan kulit Cololite yang belum lama ini memperkenalkan produk perawatan kulit terbarunya “Mink Oil”. Melalui kerjasama tersebut Cololite mengiklankan Mink Oil dengan menggunakan tas kulit Gamara Leather sebagai model produk yang mendapatkan perawatan dengan menggunakan Mink Oil.
T
he name of Gamara itself is taken from Makassar language that more or less meaning good or impressive. Gina explains that establishing leather handbag business is not due to her background of expertise in leather handbags industry, but because she enjoys owning and collecting leather handbags. Because of the joy to the leather handbag products, since studying in Padjajaran University (Unpad), Bandung in 2008, Gina has experienced trading leather handbags. In the year 2010, Gina established joined partnership with her friend from Makassar by establishing Gammara Leather and she directly involved in the production process. In the begining, Gina outsourced the production activities in a leather handbags craftsman in Bandung by providing all raw materials, machinery and other production equipments. However, Gina then decided to fully handle production activities by setting up her own production workshop. In running her leather handbag business she is supported by four employees. Since the beginning of her business Gina has labelled ‘ Gammara ‘ for her products trademark. The trademark is now under the process of trademark registration and patent in the Directorate General of Intellectual Property Rights, Ministry of Law and Justice and Human Rights .
Made in Indonesia out to prospective foreign buyers. Through online marketing, the leather handbags of Gammara are able to penetrate the foreign markets such as Ireland , Norway and France . “Through online marketing, apparently the response of foreign potential buyers to our products is promising. By online marketing, we have successfully exported the variety of our leather handbags products to Ireland, Norway and France. Every month we have exported more than 10 units of leather handbags through E-buy network , “said Gina. Many potential foreign buyers favor to buy the leather handbags, particularly to the products using the combination of leather and typical woven fabric from various regions in Indonesia. In order to help promoting various regions in the country, Gina deliberately names the leather handbags with the original names of the areas concerned.
Unbelievable, the beautiful and elegant leather handbags attracting lots of the attention of visitors at Indonesian Product Exhibition (Pameran Produksi Indonesia) held in Bandung recently are the work of a beautiful woman named Gina Adityalugina, The Sundanese girl from Bandung, who established handbags industry labelled Gammara Leather in 2010 .
To promote her leather handbag products, Gina has established cooperation for promotion and branding with Cololite, the manufacturers of polish and leather maintenance materials, which recently has introduced its new leather maintenance product called “ Mink Oil “. Through such cooperation Cololite has advertised Mink Oil by using Gamara leather handbag as a model of products maintenanced by using Mink Oil .
Currently, Gina with her Gammara Leather has been able to produce 60-70 units per month. The Leather handbags designed and produced by Gina are very unique, attractive and elegant since they are exclusively designed and produced to meet the dynamic progress of the taste of customers, both women and men. In designing her leather handbags, Gina always puts priority in product quality starting from the selection of raw materials and auxiliary materials such as yarn, puring for the inside bag , leather and others to the production process , until the finishing touch. All of the processes are closely supervised. Although Gina does not posses educational background of design and production techniques, but this pharmacist graduated from Padjadjaran University is able to prove herself as a qualified designer and manufacturer of leather handbags. It is none other than the result of hard working, creativity, innovation and continuous learning carried out by Gina over the years. To market her products, Gina teams up with two outlets in Jakarta and Bandung to actively sell the products. Both outlets are to be permanent salles channels as well as product showrooms of Gammara brand leather handbags. In addition to market the products through conventional marketing channels, since the year 2011 Gina has also marketed her products through online marketing network at www.ebuy.com. Online marketing channel does not only capture the potential domestic buyers, but also able to reach
informasi | information » Gammara Leather Jl . Cigadung West Raya , No. Kav 28 . 4 Bandung Tel . +6285624474408 Website : www.gammaraleather.com email :
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
9
Made in Indonesia
NBee
Stone and Silver
Keprihatinan yang Melahirkan Bisnis Batu Mulia Kreatif The Deep Concern Leading to Creative Precious Stones Business
Walaupun sudah sejak awal dekade tahun 2000-an pemerintah melarang ekspor batu mulia secara bongkahan ke mancanegara, namun hingga saat ini ekspor bahan mentah batu mulia itu diyakini masih terus berlangsung. Tentu saja, kegiatan ekspor batu mulia bongkahan itu dilakukan secara ilegal alias penyelundupan. Although since the beginning of the decade of the 2000s the government has banned the export activity of precious stones in the form of chunks to foreign countries, there is believed that the exportation of those materials are still exists. Of course, it has been carried out illegaly such as smuggling. 10
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
A
ksi penyelundupan batu mulia bongkahan itu tentu sangat merugikan masyarakat dan negara karena sumber daya alam yang tidak terbarukan dan sangat berharga justru dijual dengan harga murah ke luar negeri, sementara masyarakat sama sekali tidak memperoleh manfaat/ nilai tambah dari aksi illegal tersebut. Batu mulia bongkahan itu biasanya dijual oleh masyarakat setempat kepada para eksportir ilegal dengan harga sangat murah, yaitu hanya puluhan ribu rupiah per kg-nya, padahal kalau sudah menjadi batu mulia atau menjadi perhiasan harganya bisa berkali-kali lipat. Berawal dari keprihatinan yang sangat mendalam terhadap praktek ekspor illegal bahan mentah batu mulia secara bongkahan, Nur N. Suharto tergugah untuk mengolah bongkahan batu mulia yang berasal dari berbagai daerah di tanah air untuk dijadikan
produk akhir batu mulia bernilai tambah tinggi berupa perhiasan. Karena itu, sejak pertengahan tahun 2007 Nur N. Suharto mulai terjun menggeluti bisnis batu mulia dengan mendirikan bengkel produksi NBee Stone & Silver yang bergerak dalam kegiatan produksi (pemotongan, pengasahan/pemolesan batu mulia hingga merangkainya menjadi perhiasan perak yang indah dan menarik). Walaupun tidak memiliki latar belakang pendidikan formal dalam bidang batu mulia atau desain produk perhiasan, Nur bertekad bulat menerjuni bisnis industri batu mulia dan perhiasan perak ini dengan penuh optimisme. Kendati demikian, bagi Nur batu mulia bukanlah merupakan barang baru. Sebab, sejak kecil Nur sudah sering melihat batu mulia mengingat orang tuanya berprofesi sebagai pedagang batu mulia.
Made in Indonesia Karena itu, Nur banyak menimba ilmu dan keterampilan mengenai produksi batu mulia melalui berbagai pelatihan yang diadakan Kementerian Perindustrian maupun pelatihan yang diselenggarakan pihak swasta. Salah satu pelatihan yang dirasakan Nur banyak memberikan pengetahuan logam mulia adalah pelatihan yang difasilitasi oleh Kemenperin di workshop milik ahli batu mulia, Sudjatmiko di Bandung. Dari pelatihan tersebut Nur banyak menimba ilmu tentang bagaimana cara memotong, membelah, hingga memoles batu mulia. Dengan berbekal ilmu dan pengetahuan pengerjaan batu mulia itu yang dipadukan dengan kreativitas, inovasi dan talenta untuk merancang produk perhiasan, Nur kini mampu memproduksi berbagai produk perhiasan berbasis batu mulia dan logam perak. Beberapa produk perhiasan paduan antara perak dan logam mulia yang dihasilkan NBee Stone and Silver diantaranya gelang, bros, liontin, anting, cincin dan lain-lain. Nur yang sebelumnya pernah mengikuti kursus fashion dan belajar perancangan produk perhiasan secara autodidak mampu memadukan berbagai pengetahuan dan keahliannya dalam bidang batu mulia dan menuangkannya dalam bentuk perhiasan batu mulia yang indah dan menarik. Bahan baku berupa batu mulia bongkahan diperoleh Nur dari Garut, Tasikmalaya, Banten, Sukabumi, Jawa Tengah dan Kalimantan, sedangkan logam pengikat yang digunakan adalah perak dengan sedikit campuran tembaga. Dengan proses produksi secara tradisional melalui tangan-tangan terampil para perajinnya, NBee Stone and Silver mampu menghasilkan beragam perhiasan dengan desain yang khas dan rumit namun sangat indah dan menarik. Dengan dibantu lima orang karyawan, setiap bulannya Nur memproduksi tidak kurang dari 40 unit perhiasan dengan desain yang unik dan terbatas (limited edition). Produknya kini dipasarkan di dalam dan luar negeri melalui berbagai kegiatan pameran, disamping melalui showroom di bengkel kerja milik Nur. Berbagai pameran yang diikuti Nur di luar negeri seperti di Australia, Taiwan, Hong Kong dan Brunei banyak menjaring pembeli mancanegara yang tertarik membeli produk perhiasan NBee. Salah satu kendala utama yang dihadapi Nur dalam menggarap pasar ekspor perhiasan batu mulia adalah adanya persyaratan sertifikasi jaminan keaslian batu mulia. Selama ini Nur mengaku sudah bertanya kesana kemari mengenai pelaksanaan sertifikasi batu mullia di Indonesia. Namun sejauh ini Nur belum mendapatkan jawaban tentang siapa sebetulnya yang bisa melakukan sertifikasi batu mullia di Indonesia yang dapat diakui dunia internasional. Sebab, tanpa sertifikat keaslian batu mulia yang diakui dunia, produk perhiasan batu mulia Nur diragukan keasliannya oleh para pelanggan sehingga mereka dapat dengan leluasa menekan harga produknya.
stones, according to him, was that facilitated by the Ministry of Industry which was held in workshop owned by Sudjatmiko, one of the precious stones expert in Bandung. From that training, he gained lots of knowledge and technique such as how to cut, to cleave, and to polish the precious stones in a good manner. By his knowledge of precious stones processing combined with his creativity, innovation and his talent about jewelry product designs, he has now been able to produce various jewelry products made of precious stones and silver. Some of products which are the combination of silver jewelry and precious stones produced by NBee Stone and Silver company are bracelets, brooches, pendants, earrings, rings, and others.
I
llegal export of the chunks of precious stones has obviously detrimented the society and the goverment because such natural resources having high economic value and being not renewable are sold with cheaper price by illegal exporters abroad, and the public are not benefited by these illegal actions. The chunk of precious stones are usually collected and sold by the local miners to illegal exporters at very cheap price, at only tens of thousands rupiah per-kg, but when it is further processed to become a precious stone or jewelry it would be worth so many times higher. Starting from a very deep concern to the practice of illegal export of the chunks of precious stones, Suharto Nur N. was motivated to process the chunks of precious stones mined from different regions in the country to become a final product of high value-added precious stones in the form of jewelry. Therefore, since the mid of 2007, he started to get involved in the business of precious stones by establishing the production workshop named NBee Stone & Silver carrying out production activities (cutting and grinding/polishing of precious stones, as well as asembling them to be the beautiful and high-value silver jewelry) . Although he does not posses a formal educational background in the field of precious stones or product design of jewelry, he is committed to fully involve in precious stones and silver jewelry industry with optimism. Moreover, according to him precious stones are not a new stuff, since he has been familiar with the precious stones as his parents work as a precious stones traders. For these reasons, he has accumulated enough skills and knowledge of the production process of precious stones through various training held by the Ministry of Industry as well as the courses sponsored by private institution. One of the most valuable training associated with the precious
He, who previously had experienced taking fashion courses as well as self-learning about jewelry products design has been able to integrate all of his knowledges and skllis of precious stones and converted them into the beautiful and attractive jewelry. The raw material in the form of precious stone chunks is delivered from Garut, Tasikmalaya, Banten, Sukabumi, Jawa Tengah and Kalimantan, while the binder metal used is silver with a little copper alloy. With traditional manufacturing processes through the skilled hands of his craftsmen, the NBee Stone and Silver has produced a variety of jewelry with distinctive and complicated designs yet beautiful and attractive. Supported by five employees, each month he produces about 40 units of jewelry with unique and limited designs. His products are now marketed both is domestic and abroad through various of exhibitions, as well as through showroom at his workshop. Various exhibitions abroad in which he participated such as in Australia, Taiwan, Hong Kong and Brunei have attracted many overseas buyers to buy Nbee products. One of the main obstacles faced by him in capturing export market is the requirement of sertification dealing with the guarentee of the authenticity of the precious stones. So far he has claimed to ask for the information about the implementation of the precious stones certification in Indonesia, but he has never received the answer about who are actually responsible to undertake the certification of the precious stones that can be internationally accepted. Without this certificate, the products could be questionable for its authenticity by the foreign customers so that the price of the products can be suppressed.
informasi | information » NBee Stone and Silver Jl . No Emung . 260 , Bandung 40262 , West Java Tel/Fax . +62227317457 , Mobile +628122005597 website : www.nbeestoneandsilver.com email :
[email protected] .
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
11
Made in Indonesia
Tulen Yogya Tas Kulit Asli dari Jogjakarta Genuine Leather Handbags from Yogyakarta Persaingan tidak sehat antara produk asli dan produk imitasi selalu saja terjadi di manapun di dunia, tidak terkecuali untuk produk tas yang berbasis kulit hewan asli dan berbasis kulit imitasi. Persaingannya kini menjadi semakin ketat karena dengan bantuan teknologi modern kini dapat diciptakan produk kulit imitasi yang sangat mirip produk kulit hewan asli.
B
ahkan dengan mengandalakan desain produk yang menarik dan teknik produksi modern yang canggih, seringkali banyak pelanggan terkecoh membeli produk tas berbahan kulit imitasi --namun diklaim berbahan kulit asli-- dengan harga yang relatif mahal. Berangkat dari permasalahan tersebut Saptono Rubini, pengusaha industri tas kulit dari Jogjakarta sengaja memberi nama produk tas kulitnya dengan merek Tulen Jogja. Nama merek tersebut sengaja dipilih Saptono untuk memberi tahu para pelanggannya bahwa tas kulit yang dijualnya betulbetul terbuat dari kulit hewan asli yang dihasilkan dari industri penyamakan kulit bermutu tinggi yang ada di Jogjakarta. “Saya sengaja memberi nama merek Tulen Jogja pada produk tas kulit buatan saya untuk memberi tahu para pelanggan bahwa kulit hewan yang digunakan untuk pembuatan tas ini benar-benar kulit hewan asli. Sementara itu, kata Jogja sengaja saya tambahkan karena kulit samakan dari Jogja kualitasnya memang lebih baik dibandingkan denga kulit samakan dari daerah lain,” tutur Saptono seolah mempromosikan produk tasnya sekaligus kulit samakan dari Jogjakarta. Memang meyakinkan pembeli tentang suatu produk tertentu bukanlah perkara mudah, namun melalui perkenalan merek yang memiliki makna tertentu yang mudah dicerna pembeli kemungkinannya akan dapat memberikan kesan
12
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
yang lebih mendalam bagi pembeli sehingga akan lebih mudah untuk diingat. Sejak awal tahun 2013 ini Saptono mendirikan usaha industri tas kulit di Maguwoharjo, Depok, Sleman, Jogjakarta. Selain memproduksi tas kulit, Saptono juga memproduksi dompet kulit dengan memanfaatkan sisa-sisa potongan kulit sapi yang sudah tidak dapatdipakai lagi untuk membuat tas kulit. Sebelum mendirikan usaha sendiri, Saptono sempat bekerja di sebuah perusahaan industri tas kulit di Jogjakarta. Kini Saptono yang dibantu oleh 3 orang karyawan tetap dan 7 karyawan subkontrak melayani pesanan pembuatan tas kulit yang tidak dapat terpenuhi oleh perusahaan dimana sebelumnya ia bekerja. Produksi tas kulit di bengkel produksi Tulen Jogja kini mencapai 50 unit tas kulit per bulan dan dompet kulit sebanyak 10 unit per bulan. “Saat ini kami masih bekerja hanya untuk memenuh permintaan dari satu perusahaan itu. Kami belum sempat untuk memikirkan peningkatan produksi dan perluasan pasar karena masih disibukkan dengan pemenuhan order tersebut,” tutur Saptono. Namun demikian, Saptono menyempatkan diri berpartisipasi dalam Pameran Produksi Indonesia di Bandung karena dia menilai pameran sangat bermanfaat, tidak hanya untuk mempromosikan produk dan mencari pelanggan baru, tetapi juga untuk studi banding dengan produk lain dan
perusahaan lain. Untuk memproduksi tas kulit, Saptono menggunakan bahan baku berupa kulit sapi mentah yang didatangkan dari Magetan, Jawa Timur, kemudian diproses oleh perusahaan penyamakan kulit yang ada di Bantul, Jogjakarta. Proses penyamakannya pun dilakukan melalui proses penyamakan nabati dengan menggunakan bahan kapur dan daun akasia sehingga lebih ramah terhadap lingkungan. Saptono berangan-angan dalam sepuluh tahun ke depan perusahaan dapat berkembang lebih besar lagi dan mampu berkiprah lebih banyak lagi di pasar produk kulit domestik dan mancanegara. Saptono juga berangan-angan memiliki outlet sendiri untuk saluran penjualan dan pemasaran produknya.
Made in Indonesia The unfair competition between genuine and imitation products continuosly takes place anywhere in the world, including handbag products made of genuine or imitation leather. The competition has become increasingly intense following the use of modern technology. Imitation leather products which are almost similar to the original leather can be easily produced.
E
ven by relying on the attractiveness of product designs and the use of sophisticated and modern production techniques, many customers are often fooled when they are offered to buy bag with imitation leather that are claimed as genuine leather - at a relatively high price. With these circumstances, Saptono Rubini , a businessman of leather handbags from Yogyakarta deliberately labels his brand name of handbags product as Tulen Yogya. The brand name is chosen to intentionally inform the customers his leather handbag products are obviously made of genuine leather produced by high-quality leather tanning industry in Yogyakarta. “I purposely label the brand name as Tulen Yogya on my handbag products to inform the customer that animal leather used to manufacture these bags is really genuine. Meanwhile, I would underline that the quality of Yogyakarta leather tanning is better than that of other regions, “said Saptono while implicitly promoting his handbags as well as the leather tanning of Yogyakarta. Indeed, convincing the buyers to a particular product is not an easy task. However, through the introduction of a particular brand with a specific meaning that is easily digested by buyers, it will
likely be able to give a more profound impression to customers so that it will be easier to remember. Since the beginning of 2013 he has established and run the leather handbags industry in Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta. In addition to producing leather handbags, leather wallet products are also produced by utilizing the scraps of leather for producing handbags. Prior to establishing his own business, he had experienced working at a leather handbag company in Yogyakarta. Saptono has now employed three permanent workers and seven subcontracting workers serving the orders that cannot be fulfilled by the former company where he worked. Production capacity of Tulen Yogya has now reached 50 units of leather bags and 10 units of leather wallets per month. “Currently we are only to fulfill an order of one company. We have not considered to increase the production capacity yet and expanded the market because we are still preoccupied with the fulfillment of the current regular order, “said Saptono. Nevertheless, Saptono has often participated in several Indonesian product exhibitions held in Bandung because he considers the exhibition is very beneficial, not only to promote his products and attract new customers , but also to comparing
with other products from other companies. To produce the leather handbags, he use raw materials of cow leather delivered from Magetan, East Java , and then processed by the existing leather tannery companies in Bantul, Yogyakarta. The tannery process is carried out through vegetative tanning process by using lime material and acacia leaves that is more environmentaly friendly. Saptono has a dream that within the next ten years his company could grow bigger and be more capable to compete and survive in leather handbags industry both domestic market as well as globally. He also expects to have his own outlet as marketing and sales channels of his products.
informasi | information » Tulen Yogya Sambilegi Kidul 03 / 56 Maguwoharjo, Depok, Sleman 55282 Tel. +622749298007 Fax . +62274524103 Email :
[email protected] or Kaliwaru 59 RT 03 RW 34
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
13
Made in Indonesia
Mostra
Indonesian Craftmanship Tas Kulitnya Banyak Diminati Pembeli His Leather Bags Attract Buyers
Pasar produk fesyen memang tidak pernah sepi bagaimana pun lesunya kondisi perekonomian. Hal itu terjadi karena produk fesyen kini seolah telah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat, khususnya bagi mereka kalangan ekonomi menengah ke atas. The market of fashion products is never quiet, in contrast to the sluggish economic conditions. It happens since fashion products have now become primary needs for people, especially for the middle and upper class.
14
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
P
asar produk ini selalu bergairah dan selalu berkembang secara dinamis mengikuti perubahan selera yang terjadi di pasar. Produk tas kulit, khususnya tas kulit untuk wanita, kini telah menjadi bagian dari produk fesyen yang selalu diburu kaum wanita. Karena itu, dihampir setiap pusar perbelanjaan atau showroomshowroom fesyen selalu dipajang berbagai produk tas kulit wanita yang tentu saja selalu mengundang selere kaum hawa untuk membelinya. Produk tas kulit wanita itu kini sering menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari produk fesyen lainnya, yaitu busana wanita. Seringkali seorang desainer busana wanita memadukan rancangan busananya dengan tas dan sepatu kulitnya. Terinspirasi dari fenomena tersebut, Daniel Rinaldi, seorang pengusaha muda asal kota Garut, Jawa Barat mencoba mendirikan usaha industri produk kulit Mostra pada tahun 2010. Sarjana teknik elektro mantan karyawan sebuah perusahaan elektronik terkemuka asal Jepang ini mulai terjun ke
dunia wiraswasta pada tahun 2004 setelah pulang kampung ke kota kelahirannya di Garut, Jawa Barat. Awalnya Daniel mencoba-coba berbagai bidang usaha termasuk jasa perdagangan, industri makanan dan minuman serta industri produk kulit. Namun sejak tahun 2010 Daniel bertekad untuk mulai fokus pada industri produk kulit. Produk utama yang dihasilkan Daniel dengan Mostrranya adalah tas kulit, baik untuk wanita maupun pria, dengan produk sampingan berupa dompet, sabuk dan sandal. Untuk pemasaran konvensional saat ini Daniel bekerjasama dengan dua showroom di kota Garut yang menjual produk-produk kulit merek Mostra. Sejak tahun ini Daniel juga mulai merintis pemasaran produknya melalui internet dengan bekerjasama dengan salah satu pemasaran online. Dengan mempekerjakan 3 orang perajin kulit berpengalaman, Daniel kini mampu memproduksi 75 unit tas kulit setiap bulannya. Sebelumnya, pada tahun 2011, Daniel sempat mempekerjakan 20 orang perajin karena waktu itu Daniel mencoba memproduksi produk kulit secara massal dengan memperkenalkan berbagai desain produk yang diciptakan sendiri. Namun sayangnya produksi kulit yang diproduksi secara massal itu tidak sukses di pasar sehingga akibatnya Daniel terpaksa harus menanggung kerugian yang cukup besar. Belajar dari pengalaman tersebut, Daniel yang kini mencoba bangkit lagi berupaya menata bisnisnya secara lebih terencana dengan mengandalkan perhitungan bisnis yang lebih matang. Untuk mendukung kegiatan pemasaran dan promosi produk, Daniel aktif mengikuti berbagai pameran di dalam dan luar negeri. Dari berbagai pameran itu diperoleh banyak pelanggan baru sehingga omset penjualan pun setahap demi setahap mengalami peningkatan. Bahkan pernah juga Daniel mendapatkan order ekspor yang volumenya cukup besar, namun sayangnya order tersebut tidak dapat dipenuhi karena melebihi kapasitas produksi yang dimiliki. “Ketika kami mengikuti pameran di Hong Kong tahun lalu kami sempat mendapatkan order pembuatan tas kulit sebanyak 500 unit per bulan,
namun order tersebut terpaksa kami tolak karena kapasitas produksi kami masih relatif kecil,” tutur Daniel. Untuk produk tas kulit yang dipasarkan melalui jaringan kerjasama pemasaran (di dua outlet), Daniel menjualnya dengan kisaran harga mulai dari Rp 350 ribu sampai Rp 650 ribu per unit. Namun untuk produk tas kulit yang dijual sendiri harganya bisa mencapai Rp 950 ribu per unit. Daniel menggunakan bahan baku kulit, berupa kulit samakan dari sekitar Kota Garut dimana di Kota Garut sendiri banyak terdapat industri penyamakan kulit, khususnya di sentra industri penyamakan kulit Sukaregang, Garut.
Made in Indonesia
T
his market is always passionate and developing dinamically following the changes of tastes that occur in the market place.
The leather bag products, especially leather handbags for women, have now become a part of fashion products always being hunted by women. Therefore, almost every shpping center or fashion showroomn always displays a variety of ladies leather handbags products which of course invites the women interest to buy. The woman leather handbags products have now become an integral part of other fashion products, namely women’s fashion. Often a designer of women’s fashion should integrate his/her clothes’ design with the appropriate leather bags and shoes. Inspired by this phenomenon, Daniel Rinaldi, a young businessman from the city of Garut, West Java tried to establish a business in leather products industry “Mostra” in 2010. Renaldi, a Bachelor of electrical engineering and a former employee of a leading Japanese electronics companies began to pursue as an entrepreneur in 2004 after returning home to his hometown in Garut. At the beginning he tried running business in various business sectors including trading, food and beverage industry, as well as leather products industry. But since 2010 he was committed to start focusing on leather products industry. The main products produced by Mostra are leather bags, both for women and men, and by-products such as wallet, belts and sandals. For conventional marketing, currently he has been collaborating with two showrooms in Garut to display and sell leather products with Mostra brand. This year he also began pioneering to market his products through internet by collaborating with one of the online marketing company. By employing 3 experienced leather craftsmen, Daniel is now able to produce 75 units of leather bags each month. Previously, in 2011, he employed 20 craftsmen since he was trying to implement mass production technique by introducing his various product design created by himself. Unfortunately, the products manufactured by mass-production scheme were not successful in the market so that he was forced to suffer substantial losses. Learning from this experience, he is now trying to get up again and attempting to organize his business in a more planned by considering a more rational business calculations. To support the marketing activities and promotion, Daniel has actively participated in various exhibitions at home and abroad. From the various exhibitions followed, many new customers has been acquired so that sales turnover has gradually increased. Even, Daniel experienced an export order with large volume but unfortunately the order could not be fulfilled due to the limited production capacity.
“ When we participated in productd exhibition held in Hong Kong last year, we also received orders for leather bags of 500 units per month, but we were forced to reject the order as our production capacity is still relatively small, “ said Daniel. For leather bag products marketed through marketing cooperation (in two outlets), Daniel sells them with price range starting from Rp 350 thousand to Rp 650 thousand per unit. But the selling price for those that are sold in his own store, it could reach Rp 950 thousand per unit. Daniel uses leather as raw materials, that is tanning leather obtained from around Garut city since there are many tanning industries , especially in the leather tanning industry center Sukaregang, Garut.
informasi | information » Mostra Oma Indah B1 no.8 Karangpawitan -Garut; Kontak person : daniel r 081313716206; email :
[email protected]; website:www.mostra.co
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
15
Yuni Design Made in Indonesia
Kreasi Opnaisel dan Quilt dari Yuni Design Opnaisel and Quilt Creation of Yuni Design
K
reasi opnaisel dan quilt merupakan dua diantara sekian banyak kreasi dan inovasi di industri fesyen yang dikembangkan oleh salah seorang wanita pengusaha asal Jakarta untuk menyiasati persaingan bisnis yang kini semakin ketat.
Berkreasi dan berinovasi merupakan salah satu kunci pokok dalam meraih daya saing di era perdagangan bebas yang sarat dengan persaingan dewasa ini. Dua kata kunci itu menjadi tuntutan dalam bidang apapun termasuk di industi fesyen.
16
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
Creativity and innovation are the main keys to achieve competitiveness in the free trade era, characterized by fierce competition. This two key words has become imperative in any field, including in fashion industry.
Triwahyuni Ediawati, demikian nama lengkap wanita pengusaha itu yang mulai menceburkan dirinya ke dunia bisnis sejak tahun 1989 ini. Awalnya, wanita pengusaha yang biasa disapa dengan panggillan akrab ‘Yuni’ ini hanya iseng-iseng menggeluti bisnis interior design dengan memproduksi produk perlengkapan interior, khususnya hiasan untuk kamar pengantin dan peralatannya seperti bed cover, taplak meja dan lain-lain. Namun mulai tahun 2000 Yuni mulai mengalihkan perhatiannya pada dunia fesyen dengan membuat rancangan berbagai busana wanita. Bidang baru itu terus ditekuni Yuni hingga
Made in Indonesia akhirnya Yuni eksis di industri tersebut dan terpilih menjadi Ketua Bidang Perdagangan Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) DKI Jakarta pada tahun 2002. Sejak saat itu, Yuni betul-betul mencurahkan seluruh waktunya untuk mengembangkan bisnis fesyen khususnya busana wanita. Keseriusan Yuni dalam menggeluti bidang usaha perancangan busana ditunjukkannya dengan memperkenalkan merek dagang sendiri, yaitu ‘Yuni Design’. Merek dagang yang sekaligus menjadi identitas bisnisnya tersebut sengaja dibuat Yuni untuk menunjukkan bahwa produk rancangan busana Yuni sangat khas dan original sebagai buah karya kreasi dari sebuah kreativitas. Walaupun latar belakang pendidikan Yuni bukan di bidang desain, namun kerja kerja dan kemauan
60 unit busana opnaisel, 75 busana quilt dan 100 busana polos serta ratusan berbagai jenis lainnya. Secara keseluruhan, setiap bulannya Yuni mampu memproduksi sekitar 500 unit busana berbagai jenis dan model. Untuk memasarkannya, Yuni selain memiliki gallery sendiri di Jakarta (di lokasi bengkel kerja) yang juga berfungsi sebagai showroom untuk berbagai hasil karyanya, Yuni juga mengikuti berbagai pameran produk busana di dalam dan luar negeri secara berkala. Dari berbagai kegiatan pameran yang diikutinya, Yuni kini sudah memiliki pelanggan tetap dari berbagai daerah di tanah air maupun pembeli dari luar negeri. Bahkan, Yuni sempat mendapatkan pesanan dari pasar ekspor khususnya dari Malaysia. Kini gallery Yuni Design yang berlokasi di kawasan Kalibata, Pejaten Timur banyak dikunjungi para pembeli dari dalam dan luar negeri.
exist in fashion industry and she then was elected as the Head of Field of Trade of the Indonesian Women Entrepreneurs Association (IWAPI) Jakarta in 2002. Since then, she has totally devoted all of her time to develop the fashion business especially for women fashion. Yuni’s commitment in pursuing business in fashion design is shown by introducing her own trademark, namely ‘ Yuni Design ‘. The Trademarks which also becomes the identity of her business is deliberately made to indicate that Yuni’s product design is very distinctive and original as the product of creativity. Although design field is not Yuni’s educational background, but with hardworking, strong will, creativity and innovation she has been able to realize her obsession to become a fashion designer producing marketable fashion products. Her educational background in banking has helped her in supporting the current development of her business. One of the women’s fashion designs created by Yuni that is now quite popular in the market is opnaisel, that is a kind of motif of lines that are the result of repeated stitches on the fabric. This creations are now widely used not only by Yuni herself but also by many other fashion entrepreneurs. Another Yuni’s creation popularized in 2008 is quilt, that is the sheet of dekron that is quilted. Yuni Design has now employed nine workers and produced 60 units of opnaisel clothes , 75 units of quilt clothes, 100 units of plain clothes and also hundreds of other types. Overall, every month she produces about 500 units of clothes in various types and models.
yang kuat serta kreativitas dan inovasi telah memungkinkan Yuni dapat mewujudkan obsesinya menjadi seorang perancang busana yang hasil rancangannya terbukti banyak diminiati pasar. Latar belakang pendidikan perbankan yang dimilikinya juga turut membantu Yuni dalam menunjang kegiatan bisnisnya sehingga bisa berkembang seperti saat ini. Salah satu hasil rancangan busana wanita karya Yuni yang kini cukup popular di pasar adalah opnaisel, yaitu semacam motif berupa garis-garis yang merupakan hasil dari jahitan secara berulang pada kain. Kreasi Yuni tersebut kini banyak digunakan tidak hanya oleh Yuni sendiri tetapi juga oleh banyak pengusaha fesyen lainnya. Hasil kreasi Yuni lainnya yang dipopulerkan pada tahun 2008 adalah quilt, yaitu lapisan dekron yang diquilt. Yuni Design yang kini mempekerjakan Sembilan orang pekerja setiap bulannya mampu memproduksi
O
pnaisel and quilt creations are two of the many creations and innovations in the fashion industry developed by woman entrepreneur from Jakarta to deal with increasingly fierce business competition. Triwahyuni Ediawati, the full name of this woman entrepreneur, started pursuing the business in 1989. Initially , the women entrepreneurs with the nickname ‘ Yuni ‘ was just for fun in dealing with the interior design business for manufacturing interior equipments, especially the decoration for bridal room and its equipments such as bed covers, table cloths and others. But since the year 2000 she started diverting her attention into fashion industry by creating a variety of women’s clothes design. This new field has continuously been pursued by Yuni and really
To market the products , beside selling through her own gallery in Jakarta (at workshops) that also serves as a showroom for a variety of her products, Yuni has also participated in various fashion products exhibitions both at home country and abroad on a regular basis. By participating in various exhibitions, Yuni has already had regular customers from various parts of the country as well as overseas . Even Yuni ever received orders overseas buyers, especially from Malaysia. Today Yuni Design gallery located in Kalibata, Pejaten Timur are visited by local buyers as well as foreign buyers.
informasi | information » Yuni Design Jl. Kemuning I No. 21 RT 06/RW 06, Kalibata, Pejaten Timur, Jakarta Selatan. HP: +6281317438989, PIN BB: 24D0487E
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
17
Made in Indonesia
Cajon
Alat Musik Perkusi Akustik Buatan Pasar Baru, Bandung Acoustic Percussion Instrument Made in Pasar Baru, Bandung
A
lat musik yang aslinya berasal dari kawasan Amerika Latin, tepatnya dari negara Peru ini, pada awalnya digunakan untuk mengiringi musik latin. Namun dengan makin populernya alat musik ini, kini hampir semua grup musik dengan aliran musik apapun menggunakan Cajon sebagai salah satu alat musik perkusi akustiknya. Di Indonesia sendiri, Cajon baru dikenal kalangan musisi di tanah air dalam beberapa tahun terakhir. Secara kebetulan, Asep Sofyan, seorang musisi amatiran asal Pasar Baru, kota Bandung mencoba memperkenalkan alat musik Cajon di intern kelompok musiknya sejak dua tahun lalu. Grup musik yang sudah berdiri selama tiga tahun dan sering tampil di café-café di kota Bandung itu pun tertarik pada alat musik baru tersebut dan sejak itu menggunakan alat musik perkusi akustik tersebut dalam berbagai penampilan grup musiknya. Dengan makin populernya Cajon, Asep yang semula hanya menjadi pemakai, tertarik untuk mencoba membuat sendiri Cajon dari bahan baku yang ada di sekitar kota Bandung. Dengan pengetahuan dan naluri musiknya, Asep berhasil membuat Cajon pertamanya pada awal tahun 2013. Awalnya, Asep hanya membuat Cajon untuk
18
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
kebutuhan sendiri yang digunakan di lingkungan grup musiknya. Namun dalam perjalanannya ada diantara kolega Asep yang tertarik dengan Cajon buatannya dan memesan dibuatkan satu unit Cajon. Lambat laun makin banyak orang yang memesan dibuatkan Cajon hanya karena informasi dari mulut ke mulut melalui temannya yang sudah menggunakan Cajon buatannya. Kini, Asep sudah kepalang basah terjun di industri pembuatan Cajon. Ia pun kini betul-betul menekuni usaha industri tersebut secara komersial. Produk Cajonnya untuk pertama kalinya diikutsertakan dalam Pameran Produksi Indonesia (PPI) 2013 di Bandung tanggal 26-29 September 2013. Produksi komersial pertamanya sebanyak 20 unit sudah laku terjual. Selain menggunakan jaringan promosi yang paling tradisional dari mulut ke mulut, untuk memasarkan produknya, Asep juga menggunakan perangkat teknologi informasi modern, yaitu melalui jaringan internet secara on line. Kini, sejumlah kelompok musik dan lokasi hiburan yang menyajikan live music di kota Bandung seperti Trans Studio Bandung sudah menggunakan Cajon buatan Asep. Walaupun masih personil Everbeat Cajon masih cukup terbatas, yaitu hanya 3 orang tim produksi dan
Cajon merupakan alat musik perkusi yang relatif baru dikenal kalangan musisi di dunia musik Indonesia. Namun demikian, kehadirannya di Indonesia langsung menyedot minat dan perhatian kalangan pemusik. Cajon is a percussion instrument that is relatively new recognized among musicians in Indonesian music industry. Nevertheless, its presence in Indonesia directly attracts interest and concern among musicians community.
tiga orang tim marketing dan multimedia, Everbeat Cajon sudah mulai merambah blantika musika di kota kembang. “Ke depan rencananya kami akan lebih serius lagi mempopulerkan produk Everbeat Cajon baik di dalam maupun di luar negeri,” tutur Asep. Secara sederhana Asep menjelaskan bahwa produk Cajon terdiri dari ruang akustik yang terbuat dari komponen utama berupa kayu lapis. Di dalam ruang akustik tersebut terdapat snar kawat drum (snappy) yang apabila dipukul akan terdengar suara perkusi yang khas dan cukup keras. Ruang akustik itulah yang membuat pukulan pada dinding yang terbuat dari kayu lapis menjadi terdengar cukup keras akibat efek gelombang suara. Asep sendiri yang membuat desain dan memproduksi Everbeat Cajon bersama tim. Kayu lapis yang digunakan Asep untuk membuat Cajon adalah kayu lapis dengan ukuran ketebalan sebesar 9 mm. Kini Asep sudah berhasil menciptakan tiga jenis desain Cajon yang siap dipasarkan. Setiap unit Everbeat Cajon buatan Asep dijual dengan harga Rp 900 ribu.
T
he musical instrument originally coming from Latin America, precisely from Peru, was initially used to accompany Latin music. However, with the increasing in popularity of this instrument, now almost all music groups with any music stream utilize Cajon as one of acoustic percussion instruments . In Indonesia, Cajon has been newly recognized among musicians within the last few years. Incidentally, Asep Sofyan, an amateur musician from Pasar Baru, Bandung tried to introduce Cajon in his internal music group since two years ago. The music group that has been established for three years and often appeared at the cafés in Bandung has also been interested in this new instrument, and then has continously used it in its performances. With the increasing popularity of Cajon, Asep which previously only became a user, he then was interested in trying to make Cajon by using raw materials that are available in Bandung region. With his sense and knowledge of music, he successfullly made his first Cajon in early 2013. At first, he just made Cajon for his needs and was used in his musical group. But along the way there was his colleague who was interested in Asep’s Cajon and ordered a unit of Cajon. Gradually more and more people order his product only because of the information by word of mouth through friends who have already used his Cajon product. Asep has now already plunged in Cajon manufacturing industry. He is now truly pursuing this industry commercially. His product for the first time is included in the Indonesia Product Expo (PPI) in Bandung held on 26-29 September 2013. His first commercial products of Cajon were 20 units and already sold.
Made in Indonesia In addition to using the most traditional promotion channel that is by word of mouth, to market his products, Asep also uses the modern information technology, through internet network. Now, a number of musical groups and entertainment venues presenting live music in Bandung city such as the Trans Studio have already used Cajon produced by Asep. Although the number of Everbeat Cajon personnel are still limited, which are only 3 people for production team and 3 people for marketing team and multimedia, Everbeat Cajon has started penetrating the musical arena in the city of flowers. “In the future we are going to be more seriously to promote Everbeat Cajon products in domestic market as well as abroad, “ said Asep . Asep simply explaines that the Cajon consists of an acoustic room made of plywood as the main component. In the acoustic room there is string wire drum ( snappy ) which when being hit it will issue a distinctive percussive sound and quite loud. This acoustic room that actually makes blow the wall made of plywood and producing quite loud sounds due to the sound wave effect. Asep himself makes the design and manufactures Everbeat Cajon with the team. The plywood used to make a Cajon is plywoods with a thickness of 9 mm. Asep has now successfully created three types of Cajon design which is ready to be marketed. Each unit of Everbeat Cajon is sold at a price of Rp 900 thousand .
informasi | information » Everbeat Cajon Jl. Pasar Baru Barat No. 6, Bandung Telp. +6287722886764 email:
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
19
Made in Indonesia
glintzroom
Sepatu Wanita yang Selalu Menjadi Perhatian
Women’s shoes which have always been a fascination Salah satu asesoris utama kaum wanita di era fesyen modern dewasa ini adalah sepatu wanita. Produk fesyen yang satu ini selalu menjadi perhatian dan mengundang selera kaum wanita untuk membelinya. One of the major woman accessories in today’s modern fashion era is shoes. This kind of fashion product always becomes a concern and attracts women interest to buy. 20
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
T
idak hanya sekedar untuk dipakai seharihari tetapi juga untuk dijadikan koleksi. Bahkan, ada kalanya kaum wanita hanya memakai sepatu koleksinya itu sekali-kali saja disesuaikan dengan busana yang dipakainya dan acara yang dihadirinya. Peran dan fungsi sepatu bagi kaum wanita kini sudah banyak bergeser tidak hanya sebagai pelindung kaki tetapi lebih banyak menjadi hiasan atau asesoris kaki. Sebagai hiasan tentu saja sepatu wanita harus memenuhi kriteria keindahan bagi pemakainya. Karena itu, seringkali aspek estetika seringkali menjadi faktor pertimbangan utama dalam menciptakan desain produk sepatu wanita. Namun demikian aspek kenyamanan dan keamanan
dalam pemakaian tetap tidak boleh dikesampingkan. Berangkat dari pertimbangan di atas, dua mojang priangan entrepreneur asal Bandung Dina Dellyana dan Aninda Nazmi pada tahun 2010 bersepakat untuk membangun sebuah bisnis fashion. Pada awalnya mereka hanya berdagang (sebagai reseller atau menjual kembali produk orang lain). “Namun setelah dihitung-hitung ternyata membuat produk sendiri marginnya lebih besar. Karena itu, mulai awal tahun 2011 kami sepakat untuk terjun langsung membuat produk fashion dengan mendirikan Glintzroom dengan fokus pada sepatu wanita (70%) dan 30% lainnya porduk outer dan celana atau rok wanita,” tutur Dina. Menurut Dina, glintz merupakan serapan dari bahasa Inggris yang artinya kerlingan mata. Namun Dina dan Andin (panggilan akrab Aninda) sengaja menggunakan kata Glintz sebagai nama bisnisnya sekaligus sebagai merek dagang pada semua produknya. “Dengan menggunakan nama Glintz ini secara filosofis Glintz kita menginginkan agar semua produk glintzroom menarik perhatian semua orang.” Untuk membuat berbagai produk sepatu dan produk asesoris wanita lainnya Dina dan Andin sendiri yang membuat desainnya. Sejak tahun 2011 sampai saat ini Dina dan Andin sudah berhasil menciptakan lebih dari 400 desain sepatu wanita yang produknya
Made in Indonesia kini sudah banyak dipakai kalangan konsumen. Produk sepatu wanita Glintzroom umumnya dibuat dari bahan baku utama berupa kulit, kulit imitasi dan sol dari kayu serta untuk kain untuk pakaian (celana atu rok wanita). Hampir seluruh bahan baku tersebut sudah bisa diproduksi di dalam negeri sehingga Dina dan Andin relatif tidak kesulitan mendapatkannya. Namun demikian masih ada sebagian kecil asesoris untuk sepatu dan pakaian yang masih harus diimpor. Selain memiliki showroom sendiri di Bandung, Dina dan Andin juga memasarkan produk-produk Glintzroomnya melalui berbagai cara, baik melalui wahana media sosial, dari mulut ke mulut, maupun melalui majalah atau konsinyasi ke media atau tokotoko yang lebih besar. Walaupun sampai saat ini Glintzroom belum melakukan ekspor berbagai produknya secara regular ke luar negeri, namun pembelian secara ritel oleh para turis asing sudah banyak dilakukan. Bahkan, pernah ada seorang pembeli dari Malaysia yang membeli produk Glintzroom dalam jumlah cukup besar, namun pembelian itu tidak dilakukan secara kontinyu. “Tentu saja kami sangat menginginkan produk kami mendapatkan kesempatan untuk mengisi pasar ekspor, namun sejauh ini kami belum dapat melakukan promosi ke luar negeri. Kami sangat mengharapkan bantuan dari pemerintah untuk memfasilitasi kegiatan promosi produk kami ke luar negeri,” tandas Dina. Selain bantuan promosi/pameran di dalam dan luar negeri, Dina juga mengharapkan agar pemerintah dapat membantu usahanya dengan memberikan kemudahan dalam perijinan dan kemudahan dalam pengadaan bahan baku. Dengan dibantu delapan orang karyawan, Glintzroom kini mampu memproduksi 400-500 sepatu wanita setiap bulannya. Produk-produk sepatu wanita itu dijual dengan harga yang bervariasi mulai dari Rp 165.000 per unit sampai Rp 365.000 per unit.
T
hey use them not only for daily use, but as a collection as well. Even, sometimes they use their collection for only in a certain moments by harmonizing with clothing and events. The role and function of women’s shoes has now widely shifted not only as a foot protectors but more for ornaments or foot accessories. As an ornament, of course women’s shoes must meet the criteria of beauty. Therefore, aesthetic aspect is often a major consideration factor in creating product design of women’s shoes. However, aspects of comfort and security in the use should not be sidelined.
generally made of raw materials such as leather, imitation leather, wooden soles, and also fabrics for clothing (pants or women skirts). Most of the raw materials can be obtained in the country so that they don’t have any problem to get them. However there are still some small parts of accessories for shoes and clothes that remains to be imported. In addition to having its own showroom in Bandung, Dina and Andin have also marketed Glintzroom’s products through a variety of channels, through social media network, word of mouth, magazines or consignment to the larger stores.
Based on these considerations, two Sundanesee women entrepreneurs from Bandung Dina Dellyana and Aninda Nazmi in 2010 agreed to set up a fashion business. Initially, they only engaged as a trader (as a reseller other people’s products). “However, after considering that the profit margin derived from their own products would be much greater, starting from the beginning of 2011 we started to produce our fashion products by establishing Glintzroom that focused on women’s shoes (70 %) and 30 % outer products, pants or women skirts “said Dina .
Although Glintzroom has not exported its products abroad regularly, retail purchases by foreign tourists have often taken place. Even, there was a buyer from Malaysian buying Glintzroom products in quite large quantities eventough the order was not regularly carried out.
According to Dina, glintz is taken from English language meaning glance of the eye. But Dina and Andin (Aninda nickname) deliberately use the word Glintz as their business brandname and also as a trademark for all of their products. “By using the name of Glintz, philosophically we expect all of Glintzroom’s products can be able to attract everybody’s attention,” she added.
Besides the support to the promotion / exhibitions at domestic and abroad, Dina also hopes that the government can support her business by giving the ease of licensing process as well as procurement of raw materials.
To create a range of women’s shoes and other accessories products, Dina and Andin create all of the designs by themselves. Since 2011 they have succesfully created more than 400 women’s shoes designs and now the products have been widely used by consumers . The product of Glintzroom women’s shoes are
“Of course we expect our products to have an opportunity to fulfill the export market, but so far we have not been able to do promotion abroad. We expect the government support to facilitate the promotion activity of our products to foreign countries, “said Dina .
By employing eight workers, Glintzroom has produced about 400-500 pieces of women’s shoes monthly. The products were sold at prices ranging from Rp 165,000 to Rp 365,000 per unit.
informasi | information » Glintzroom Jl . No. Cilaki . 15 Bandung website : www.glintzroom.com email :
[email protected] twitter : @ glintzroom .
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
21
Made in Indonesia
Sepatu dan Sandal Kayu Ala Kloom Clogshop Shoes and Sandal Wood of Kloom Clogshop Sumber daya alam Indonesia yang melimpah menjadi sumber inspirasi, inovasi, dan kreasi yang tidak terbatas bagi merekamereka yang kreatif.
Clogshop
The abundant natural resources possessed by Indonesian are unlimited sources of inspiration, innovation, and creativity for them who are really creative.
Siti Nurdiyanti, wanita kelahiran Yogyakarta 3 Oktober 1966, memulai usaha kreatifnya itu pada November 2009. Proses pendirian usaha pembuatan sepatu dan sandal kayu Siti Nurdiyanti ini dapat dikatakan mengalir secara alami bagaikan air. Berangkat dari hobi anak perempuannya untuk mengoleksi sepatu, Siti Nurdiyanti kemudian merasa tertantang dan menemukan ide untuk membuka usaha pembuatan sepatu yang memiliki ciri khas sendiri. Ketika pertama kali mendirikan usaha tersebut, Siti Nurdiyanti yang ketika itu masih tinggal di kota kelahirannya Yogyakarta langsung memberi nama usahanya Kloom Clogshop. Nama tersebut sekaligus menjadi merek dagang untuk semua produk hasil rancangannya. Merek Kloom Clogshop sendiri diambil dari kata bahasa Belanda Klompen dan kata bahasa Inggris Clogs yang artinya kurang lebih sandal bakiak. Siti Nurdiyanti sendiri yang membuat desain produk-produk sepatu dan sandal wanita Kloom Clogshop dengan dibantu oleh anaknya Nadya dan adiknya Ida Nursanti.
S
alah satu sumber daya alam yang banyak terdapat di tanah air adalah kayu. Tidak hanya banyak dilihat dari sisi volumenya, tetapi juga banyak dilihat dari sisi jenis dan ragamnya.
Di mata insan kreatif, melimpahnya ketersediaan kayu di dalam negeri menjadi faktor pembentuk daya saing yang sangat berharga. Karena itu, mereka mengolah sumber bahan baku yang melimpah itu menjadi berbagai produk kreatif bernilai ekonomis
22
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
tinggi dan banyak diminati konsumen. Adalah Siti Nurdiyanti, seorang wanita pengusaha yang kreatif dan berhasil memanfaatkan berbagai sumber daya alam itu sebagai bahan baku untuk pembuatan produk kreatif bernilai tambah tinggi. Siti menggunakan bahan baku kayu yang dipadukan dengan bahan kulit (genuine leather), serta divariasikan dengan bahan kain tenun, batik atau songket untuk dirangkai menjadi produk sepatu dan sandal wanita yang sangat cantik dan indah.
Pada awalnya produk-produk alas kaki (sepatu dan sandal) wanita Kloom Clogshop dipasarkan melalui anggota keluarga dan jejaring sosial facebook. Di luar dugaan, produk-produk tersebut mendapat respons pasar yang sangat baik. Mengingat sambutan pasar yang sangat positif terhadap produk Kloom Clogshop, Siti Nurdiyanti kemudian mencoba mengembangkan pemasaran produknya ke Jakarta. Kerja keras, ketekunan dan keuletan Siti Nurdiyanti ternyata membawa hasil, produk Kloom Clogshop kini sudah cukup dikenal dengan baik khususnya oleh kalangan menengah dan atas. Produk yang dihasilkan Kloom Clogshop cukup bervariasi dari Clogs dengan tinggi heels mulai 3cm, 5cm, 7cm, 9cm dan 14cm yang disebut juga dengan “premium high heel”. Selain itu ada juga sandal dan Wedges yang juga cukup bervariasi baik dari sisi model maupun warna.
Made in Indonesia At the early step of her business establishment, Siti Nurdiyanti who was still living in his hometown of Yogyakarta directly named her business as Kloom Clogshop. Kloom Clogshop is then used as a trademark for all of her products. The words Clogshop Kloom itself is taken from the Dutch word klompen and english word clogs meaning more or less wooden sandals. All of the product designs are created by herself helped by her daughter Nadya and her sister Ida Nursanti .
Untuk lebih memperkenalkan produknya kepada kalangan konsumen dan dunia persepatuan nasional dan internasional, Siti Nurdiyanti mengikuti berbagai event pameran di dalam dan luar negeri, mempromosikannya melalui internet (website, jejeraing social facebook, twitter dan instagram) serta memperbanyak jaringan reseller dan konsinyasi. Minat pembeli dari luar negeri terhadap produk sepatu dan sandal Kloom Clogshop sudah mulai bermunculan. Hal itu dibuktikan dengan mulai adanya permintaan (walaupun masih dalam skala kecil) melalui reseller untuk diekspor ke Kuwait, Qatar, Australia dan Malaysia.
In the beginning the products (shoes and sandals) of Kloom Clogshop were marketed through family members and social network, that is facebook. Unexpectedly, these products received a positive market response. Due to positive response to Kloom Clogshop’s products, Siti Nurdiyanti then tried to expand the market to Jakarta. With hard working, diligence, and tenacity she has finally gathered good results. Kloom Clogshop’s products have now been quite well known, especially by the middle and upper classes of the society.
Dengan mempekerjakan 7 orang karyawan Kloom Clogshop kini memiliki kapasitas produksi sekitar 800 pasar sepatu dan sandal per bulan. Produk-produk tersebut dijual dengan harga yang berkisar antara Rp 250 ribu sampai Rp 1,2 juta. Walaupun usahanya terus berkembang dari tahun ke tahun, namun Siti Nurdiyanti mengakui sejumlah kendala masih menghadang kegiatan usahanya, terutama kendala dalam kegiatan produksi khususnya menyangkut kurangnya tenaga kerja terampil dan kendala cuaca yang belakangan ini sering turun hujan berkepanjangan. Cuaca basah cukup mengganggu proses pengeringan bahan baku kayu maupun proses penyelesaian akhir produknya. Walaupun usahanya terus berkembang dari tahun ke tahun, namun Siti Nurdiyanti mengakui sejumlah kendala masih menghadang kegiatan usahanya, terutama kendala dalam kegiatan produksi khususnya menyangkut kurangnya tenaga kerja terampil dan kendala cuaca yang belakangan ini sering turun hujan berkepanjangan. Cuaca basah cukup mengganggu proses pengeringan bahan baku kayu maupun proses penyelesaian akhir produknya.
The products of Kloom Clogshop are varied from Clogs with high heels ranging from 3cm, 5cm, 7cm, 9cm and 14cm which are so called the “premium high heels”. In addition, there are also sandals and wedges with various models and colors.
O
ne of the main natural resources found in the country is woods. Not only in terms of volume, but it can also be seeen from the types and varieties.
In the eyes of creative people, the huge availability of timber or woods in the country has become a source of valuable competitive advantage. Therefore, they have processed those abundant raw materials into various creative products having high economic value and attracting more consumers. Siti Nurdiyanti, a creative woman entrepreneur is one who has successfully exploited various kind of natural resources as raw materials to producing high value-added creative products. She uses wood as raw material combined with leather (genuine leather), and mixed with fabric weaving, batik or songket to be assembled into women beautiful shoes and sandals. She, a women born in Yogyakarta on October 3, 1966, started running her creative business in November 2009. The process of her business establishment to make wooden shoes and sandals can be said naturally like water flows. Departing from her daughter’s hobby to collect shoes, she then felt challenged and found the idea to run a shoe-making business with her own distinctive characteristics.
To further promote the products to customers both in domestic and international footwear business, Siti Nurdiyanti has often participated in various events and exhibitions abroad, promoting her products via the internet (website, facebook, twitter and instagram) as well as expanding distributor networks and consignment agreements. The interest from overseas buyers toward shoes and sandals produced by Kloom Clogshop are also increasing. It is proven by an order (although still on a small scale) through distributor to be exported to Kuwait, Qatar, Australia and Malaysia. By employing 7 workers Kloom Clogshop now has a production capacity of approximately 800 pieces of shoes and sandals per month. These products are sold at prices ranging from Rp 250 thousand to Rp 1.2 million. Although the business has continued to grow from year to year, Siti Nurdiyanti has faced a number of obstacles to further develop her business, especially the constraint associated with production activities, in particular the limited number of skilled labor and weather constraint of prolonged rain lately. The wet weather will obviously disturb the drying process of wood raw material as well as the completion of finishing product.
informasi | information » Kloom Clogshop Jl . Lembata III SC / 7 Nusaloka BSD , Tangerang HP 085811187633 , 087832460900 whatsapp BB PIN 239D9600 , 277721B5 , 2107DE53 website : www.kloomclogshop.com, email :
[email protected] twitter : @ kloomclogs .
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
23
Made in Indonesia
Natana
Kekayaan Indonesia terhadap beragam jenis kayu telah memberikan aspirasi untuk menghasilkan suatu produk kreatif. Seperti yang dilakukan PT Kloom Kreasi Indonesia (KKI) yang memproduksi alas kaki wanita berbahan baku kayu dengan merek Natana. The Indonesian wealth over a variety of wood has inspired to produce creative products. PT. Kloom Creator Indonesia ( KKI ) is one that produces female footwear made of wood with Natana brand.
M
Alas Kaki Berbasis Budaya Indonesia The Footwear Based on Indonesian Culture 24
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
enurut Taty Endrawaty, salah satu pendiri PT Kloom Kreasi Indonesia, ide membuat sepatu dan sandal Natana muncul dari alas kaki tradisional Indonesia yang umumnya menggunakan kayu sebagai bahan dasar. Seperti kelom yang banyak dipakai masyarakat di berbagai daerah. “Kami juga menemukan jenis alas kaki dari kayu dengan penciptaan dan gaya yang berbeda di banyak negara di seluruh dunia seperti di Asia , Eropa , Afrika , Amerika dan juga Australia,” kata Taty. Terinspirasi hal itu, pada akhir tahun 2012 Taty berkolaborasi dengan profesional muda yang memiliki bakat dan passion dalam mode untuk membuat , merancang dan membangun bisnis alas kaki kreatif dengan merek Natana. Bahan baku yang digunakan untuk memproduksi sepatu dan sandal Natana adalah kayu mahoni dan sampang yang diperoleh dari hutan tanaman industri (HTI) di Indonesia. Kedua jenis kayu itu dipilih karena teksturnya cukup kuat dan tahan lama walaupun sering terkena air. Sedangkan untuk bahan baku berupa kulit, Natana menggunakan kulit sapi, kulit domba dan kulit ular asli, di mana bahan –bahan ini diperoleh di Indonesia juga Taty mengatakan, alasan utama menggunakan sumber bahan alami seperti kayu dan kulit asli , karena pihaknya menginginkan bahan-bahan yang ramah lingkungan. Terlebih lagi bahan baku tersebut mudah ditemui di dalam negeri sehingga bisa menekan biaya produksi. Untuk menghasilkan produk alas kaki Natana yang kuat dan menarik, PT Kloom Kreasi Indonesia menerapkan proses produksi yang cukup ketat. Misalnya saja sebelum digunakan, kayu terlebih dulu dioven atau dipanaskan dengan sinar matahari sehingga kadar airnya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan perusahaan. Setelah itu, kayu pun
Made in Indonesia dipotong sesuai dengan bentuk dan tinggi alas kaki yang ingin dibuat. Pemilihan kulit hewan juga dilakukan secara teliti. Hanya kulit hewan yang berkualitas baik saja yang digunakan untuk membuat sepatu dan sandal Natana. Sejumlah desainer akan memotong kulit untuk dibentuk sesuai mode yang dipakai. “Untuk asesoris, kami juga memiliki bahan-bahan terbaik,” papar Taty. Seluruh proses produksi hampir sepenuhnya dilakukan secara handmade (buatan tangan ). Penggunaan mesin dan peralatan lain hanya untuk mendukung proses tersebut. Karena diproses secara buatan tangan, maka saat ini produksi sepatu dan sandal Natana belum bisa diproduksi secara massal. Dalam sebulan, perusahaan hanya mampu menghasilkan sekitar 500 sepatu dan sandal Natana. Agar produknya tidak ketinggalan mode,
Taty bersama dengan timnya selalu mengikuti perkembangan mode sepatu dan sandal yang sedang terjadi di dalam negeri maupun luar negeri. Dalam meluncurkan suatu produk, ungkap Taty, Natana selalu mendedikasikan kesan eksotis, artistik dan nyaman dipakai serta berlatar belakang pada kebudayaan Indonesia . selain itu, pecinta mode , remaja , dan segala usia suka dapat memakainya dalam setiap kesempatan Dengan kualitas yang baik dan mode yang menarik, sejumlah penghargaan pun telah diraih, seperti penghargaan sebagai sepatu kasual wanita terbaik dalam pameran sepatu kulit fashion (SKF) tahun 2013. Penghargaan yang telah diraih itu, papar Taty, akan menjadi modal bagi perusahaan untuk terus menghasilkan produk alas kaki wanita berbasis kebudayaan Indonesia dan memasarkannya hingga ke mancanegara. Inspired by that phenomena, in the end of 2012 Taty collaborated with young professional having the talent and passion in fashion to create, design and build a creative footwear business with “Natana brand.” The raw materials used to manufacture Natana’s shoes and sandals are mahogany and lacquer obtained from industrial forest plantations (HTI) in Indonesia. Both types of wood are chosen because of their quite strong and durable texture and also resistant to water. As for raw materials of leather, Natana uses genuine leather from cowhide, sheep and snake, where these materials are available in Indonesia. Taty said that the main reason to use natural raw materials such as wood and genuine leather, because she expects the raw materials used are environmentally friendly. Moreover these raw materials are easily found in home country so that the cost of production can be minimized.
A
ccording to Taty Endrawaty, one of the founders of PT Kloom Creator Indonesia, the idea to making Natana’s shoes and sandals emerged from the Indonesian traditional footwear which at large use wood as the base material, like clogs that are widely used in various regions.
“ We also found the type of wooden footwear with different styles and creations in many countries around the world such as Asia, Europe, Africa, America and Australia as well, “ said Taty.
In order to produce Natana’s footwear products that are strong and appealing, PT Kloom Kreasi Indonesia has implemented strict production process. For example, prior to use, the wood is dried in direct sunlight or through oven so that the water content meets the criteria set by the company. The following step, the wood is cut according to the shape and height of footwear to be made. The selection of genuine leather is also carefully carried out. The only good quality of leather that are used to produce Natana’s footwear products. A number of designers cut the leather to be formed according to the desired model. “ For accessories, we also possess the best materials, “ said Taty. The whole production process is almost entirely carried out manually (hand-made). The use of machinery and other equipments is only to
support the process. Currently, Natana still produce its products manually and mass production process has not been implemented yet. That is why the company is only able to produce about 500 shoes and sandals in a month. To ensure the model is not outdated, along with her team Taty continues to follow the development of fashion of shoes and sandals taking place in local market as well as globally. In launching a product, Taty explained, Natana always explores exotic impression, artistic and comfortable to wear and also containing Indonesian culture nuances. Besides, for fashion lovers, adolescents, and all ages, they can wear Natana’s products in every situation. With good quality and attractive models, a number of awards were already won, such as awards as best female casual leather shoes in the leather shoes fashion exhibition ( SKF ) held in 2013. These awards, said Taty, will be the capital for the company to continuously produce leather ladies footwear based on Indonesian culture and market them locally as well as in international market.
informasi | information » PT Keloom Kreasi Indonesia Ruko Golden –Road Blok C27/57 Jalan Pahlawan Seribu, BSD City, Tangerang Selatan 15322 Indonesia Telp: 6221 5370598 – 081288308835 Email :
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
25
Made in Indonesia
Matoa
Keunikan Jam Tangan dari Kayu The Uniqueness of Wooden Watches
Keberadaan jam tangan kini bukan hanya sebagai penunjuk waktu, tetapi juga berguna untuk mendukung penampilan dan gaya seseorang. Karena itu, selain kualitas, segi artistik dari sebuah produk jam tangan menjadi pertimbangan konsumen untuk membeli produk tersebut. The existence of watches is now not only as a timepiece, but it is also useful to support a person’s appearance and style. Therefore, in addition to quality, the artistical aspect of watches’ products has become a significant consideration by consumers to buy.
D
ua hal yang menjadi pertimbangan konsumen itu dapat ditemui pada jam tangan Matoa. Jam tangan ini memiliki bantuk yang unik dan berbeda dengan jam tangan kebanyakan lainnya. Keunikan yang dimiliki jam tangan Matoa terletak dari kerangka dan tali jam nya yang berbeda dari yang lain, yang umumnya terbuat dari stainless steel, karet atau titanium. Kerangka jam tangan Matoa ini terbuat dari kayu. “Sepengetahuan saya di Indonesia baru kami yang membuat jam berbahan kayu,” ujar Lucky D. Aria, pendiri Matoa Indonesia. Ide untuk membuat jam tangan kayu muncul ketika dia suatu saat membeli jam tangan kayu buatan Amerika Serikat, yang setelah ditelusuri ternyata bahan baku kayunya dipasok dari Indonesia. Melihat peluang pasar yang masih terbuka lebar, Lucky bersama dengan rekannya melakukan riset untuk mengetahui seluk beluk pembuatan jam tagan dengan kerangka dari kayu. Riset itu dilakukan selama satu tahun. Berbekal hasil riset dan pengetahuan yang dimiliki, mulai awal 2013, dengan bendera Matoa Indonesia, produksi jam tangan kayu dengan merek Matoa pun dilakukan. Nama matoa diambil sebagai merek dagang karena matoa merupakan nama pohon yang cuma ada di Indonesia. “Selain itu, nama matoa juga mudah diucapkan dan diingat,” ujar Lucky. Untuk membuat jam tangan kayu yang berkualitas, jenis kayu yang dipilih sebagai kerangka jam yaitu sonokeling dan maple. Kayu sonokeling dapat diperoleh dari dalam negeri sedangkan kayu maple masih diimpor dari Kanada karena kayu jenis
26
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
Made in Indonesia ini sulit sekali diperoleh di dalam negeri.
matoa can also be easy to say and remember, “ said Lucky .
Menurut Lucky, pemilihan dua jenis kayu ini berdasar uji materi yang sudah dilakukan beberapa bulan lamanya. “Dua jenis kayu ini memiliki tekstur yang halus, tapi sekaligus memiliki kekuatan terhadap benturan dan tekanan yang cukup tinggi. Selain uji materi kayu, tim riset Matoa juga melakukan uji finishingbahan dan ketahanan,” paparnya. Sedangkan untuk mesinnya, saat ini dipasok dari produsen jam tangan terkenal di Jepang.
To produce the high quality of wooden watches, the types of woods as the frame of watches are rosewood and maple. Rosewood can be obtained from home country while maple woods are still imported from Canada because this type of wood is very difficult to be obtained in Indonesia. According to Lucky, these two selected types of wood are based on material testing carried out for several months. “These two types of wood have a smooth texture, but they have the intensity toward strong impact and high pressure. In addition to testing the wood material. Matoa research team also conducts finishing and endurance test,“ he explained. While for the engines, up to now they are still supplied by the famous watches producers from Japan.
Proses produksi dilakukan melalui mesin dan tangan. Langkah pertama adalah dengan mengeringkan kayu dengan mesin oven dan kemudian dipotong-potong sesuai bentuk yang diinginkan, baik sebagai kerangka maupun tali jam tangan. Setelah itu, kayu yang sudah dibentuk menjadi kerangka dan tali jam itu menjalani proses fisnishing yakni dihaluskan bagian permukaan dan sisi-sisinya dengan menggunakan ketrampilan tangan.
The production process is carried out by machines and manual. The first step is drying the wood with the oven machine, followed by cutting the wood according to desired shape, either as a frame or belt/strap.
Setelah itu, tahap terakhir adalah memasang kerangka dan tali jam tersebut ke mesin jam. Tahap ini merupakan yang tersulit karena mesin dan kerangka harus dipadukan secara presisi.
The next step, the wood that has been shaped into the desired frame and strap then undergos the fisnishing process that is the smootheness process of the surfaces and sides by using hand skills.
“Jika tidak presisi, kami membongkar lagi kerangka kayu itu agar bisa pas masuk kepada mesin jam,” papar Lucky.
In the last step is to install all parts together that are the frame, belt and engine into the final products of wooden watches. This step is the most difficult process since the engine and the frame must be precisely combined.
Dengan proses produksi yang teliti, jam tangan kayu Matoa pun memiliki tekstur halus, tahan terhadap benturan dan tekanan yang cukup tinggi serta terpaan air hujan. Saat ini, produk yang diproduksi di Bandung ini lebih banyak dipasarkan via online. Hal ini berkaitan dengan kuantitas produksi yang jumlahnya baru 100 pcs per bulan. Walaupun pemasarannya terfokus lewat media online, namun konsumen jam tangan Matoa sudah merambah mancanegara. “Ada pembeli Jepang yang datang sendiri ke Indonesia untuk membeli jam tangan matoa. Selain itu ada juga pesanan dari Jepang via online,” ujar Lucky. Mengingat peluang bisnis yang cukup besar, Matoa Indonesia berencana meningkatkan kapasitas produksi tahun ini dan bisa meluaskan pasar jam Matoa ke pasar internasional.
T
here are the two things being consumers’ considerations associated with matoa watches. These watches have the unique design and are different from most other watches.
The uniqueness of Matoa watches lie from their frames and belts which are different from the others, mostly from stainless steel, rubber or titanium. Whereas the frame of matoa watches are made of wood. “ To my knowledge in Indonesia, we are the only that makes wooden watch, “ said Lucky D. Aria, the founder of Matoa Indonesia. The idea to produce wooden watches arised when one day he bought a wooden watch made in the United States, which once he traced it evidently the wood as raw material was supplied from Indonesia. By considering the market opportunity which is still widely open, together with his friends they had done research to find out the whole matters of making wooden frame watches. Those research was carried out for one year. Since early 2013, armed by the results of research and acquired knowledge, with Matoa Indonesian Company, the production of wooden watches with trademark Matoa has been carried out. The name matoa is choosen as a trademark for the products since the only in Indonesia the matoa tree can be found out . “In addition , the word
“ If it is not precise, we will dismantle this wooden frame so that it can be precisely fitted into the engine again , “ said Lucky . With strict and precise production process, the Matoa wooden watches posses several characteristics such as: smooth texture, resistant to quite high impact and pressure and also resistant to rain water. Today, these products manufactured in Bandung are more heavily marketed via online. This is associated with the current production capacity which is still quite limited, only 100 pcs per month . Although marketing activity is focused through online media, however, the consumers of Matoa watches have started penetrating foreign market . “ There were Japanese buyers coming to Indonesia to buy matoa watches. Besides, there was also an order from Japan via online, “said Lucky . Given the considerable business opportunities, Matoa Indonesia is planing to increase the production capacity this year and hopefully able to expand its market into international market.
informasi | information » MATOA INDONESIA Jalan Cibeuning Permai 3/8A, Bandung, Indonesia Mobile : +62 821122 88556 Email :
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
27
Made in Indonesia
Konsep Athleisure di Sepatu The Athleisure Concept of shoes
Havehad
T
ak heran jika kini muncul berbagai jenis sepatu untuk keperluan kantor, olahraga dan kegiatan luar ruang lainnya.
Melihat perkembangan yang terjadi di masyarakat, sekelompok anak muda Indonesia membuat sebuah merek sepatu bernama unik, Havehad. Lewat sepatu ini, mereka mencoba menjembatani kebutuhan para pemakai sepatu yang menyukai kenyamanan sepatu kets untuk aktivitas luar ruangan dan olahraga tanpa harus meninggalkan kesan formal yang elegan. “Konsep ini dinamakan konsep athleisure, yakni gabungan antara gaya hidup yang terilhami oleh desain tradisional seperti sepatu kulit khas kantor dan gaya hidup aktif khas anak muda,” kata Chandra Dwi Ariefianto, social media marketing & design Havehad . Menurutnya, Havehad lahir pada awal tahun 2011. Saat itu, Chandra dan lima rekannya tengah berembuk untuk menciptakan sebuah ide bisnis sebagai syarat kelulusan dari kampusnya. “Tugas tersebut bukan sekadar penambah poin. Kami ingin bisnis yang dibangun bisa menjadi bisnis masa depan,” ujarnya. Sebagai calon entrepreneur , mereka pun melakukan riset dengan berhati-hati. Selama empat bulan mereka menggarap survei kualitatif dan kuantitatif, termasuk mencari material dan perajin yang cocok. Setelah merasa mendapat data yang memadai, konsep bisnis pun dirancang.
Kebutuhan masyarakat akan sepatu terus berkembang. Sepatu tidak hanya sekadar sebagai alas kaki saja, tetapi sudah menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari dan digunakan sesuai kebutuhan.
28
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
The people’s needs for shoes will continue to grow. Shoes are not just as footwear only, but have become part of the daily lifestyle and used as needed.
Karena mereka tidak ingin terbawa arus pada tren yang sama, pilihan mereka jatuh pada penciptaan sepatu dengan fungsi ganda, yakni sport dan kasual dan diberi merek Havehad. Pangsa pasar utama yang diincar adalah pria urban dengan usia antara 18 tahun hingga 24 tahun. Menurut Chandra, nama Havehad digunakan karena memiliki makna tak lekang oleh waktu. Hal ini seiring dengan tujuan dia dan rekan-rekannya untuk menghasilkan produk sepatu yang kuat dan terus bertahan di pasaran. Havehad berusaha memberikan kenyamanan pada kaki si pemakainya. Untuk itu, bahan baku
Made in Indonesia yang digunakan yakni kanvas, suede dan nubuck. Begitu juga untuk bahan baku berupa kulit, yang digunakan adalah kulit asli dengan kualitas tinggi, Selain itu,pola jahitan dan potongan bahan juga dirancang khusus agar produk yang dihasilkan tidak mudah robek. Kegiatan produksi sebagian besar dilakukan secara handmade (buatan tangan). Selain memberikan kenyamanan si pemakai dan kekuatan pada produknya, Havehad juga terus memunculkan keunikan dengan menawarkan sepatu dengan tema-tema khusus. Misalnya, di musim hujan, Havehad menciptakan sepatu dengan warna-warna gelap karena terinspirasi oleh keindahan sore Jakarta. Begitu juga untuk musim panas, model sepatu untuk kondisi ini juga tidak luput dari perhatian Havehad. “Kami ingin menjadikan Havehad sebuah sepatu pria yang memberikan kenyamanan tanpa harus mengorbankan sisi fashion dan gaya. Sepatu Havehad mampu dipakai di berbagai suasana,” katanya. Melalui warkshop nya yang berlokasi di kawasan Tangerang, Banten, sepatu Havehad kini telah beredar luas di sejumlah daerah di Indonesia. Selain itu, sepatu ini juga sudah mulai merambah pasar internasional setelah adanya pesanan dari Singapura beberapa waktu lalu. Chandra mengakui kalau pola pemasaran produknya saat ini masih mengandalkan sistem online. Hanya dua daerah yang diedarkan melalui toko atau outlet, yakni Jakarta dan Yogyakarta. Namun ke depan, seiring dengan upaya memperluas pasar, jumlah toko dan outlet di daerah akan ditingkatkan.
I
t is not surprising that the various types of shoes for work, sports and other outdoor activities have been emerging. By seeing this lifestyle development in the community, a group of young Indonesian have produced a unique brand name shoes, called havehad. With these shoes, they have been trying to bridge the needs of shoes’ consumers who favor comfort sneakers for outdoor activities and sports without having to leave the impression of a formal and elegant. “This concept is called athleisure concept, that is a combination of lifestyle inspired by traditional designs such as a typical office leather shoes and dynamic lifestyle typical of young people, “ said Dwi Chandra Ariefianto, social media marketing and design of Havehad. He explained that Havehad was established in early 2011. At that time, Chandra and his five colleagues had discussed to create a business idea as a requirement of graduation from their university. “The task to creating a business idea is not just for a passing grade. We expect this business idea can be realized to be our future busines , “ he said . As a prospective entrepreneurs, they also did research with caution. Within four months they conducted qualitative and quantitative surveys, including searching for appropriate materials and craftsmen. After sufficient data was obtained, the business concept then was designed . Since they did not want to follow the same trend, then their choice were to make the shoes with a dual function, that is for sports and casual with Havehad brand. The main target market is urban men aged between 18 years to 24 years. According to Chandra, the brand Havehad is chosen because it means timeless or everlasting. This is in line with their goals to produce sturdy shoes and continue to survive in the market. The Havehad tries to give comfort to the user’s
feet. Therefor, the raw materials used are canvas, suede and nubuck. Another raw material is leather, and of couse, using the genuine and high quality leather, In addition, stitch patterns and pieces of materials are also specifically designed so that the final products are not easily torn. The production process are mostly carried out manually (hand-made). In addition to giving sturdy products as well as comfort to wear, Havehad also continues to explore the uniqueness by offering shoes with specific themes. In the rainy season, for example, Havehad produces shoes with dark colors inspired by the beauty of Jakarta afternoon . Likewise for the dry season, the shoes model for this condition is also to be considered by Havehad. “ We want to make Havehad as a men’s shoes giving the comfort without ignoring the fashion aspect and style. Havehad shoes can be used in various situations , “ he said . Through their warkshop located in Tangerang, Banten, Havehad shoes has now widely circulated in a number of regions in Indonesia. In addition, these shoes have also begun to be exist in international market following an order from Singapore some time ago. Chandra admitted that the mode of product marketing recently still relies on the online system. Only two regions that the products are distributed through stores or outlets, namely Jakarta and Yogyakarta. In the future, however, in line with efforts to expand the market, the number of stores and outlets in other regions will be increased.
informasi | information » HAVEHAD Ruko Bona Business Center Nomor 9U lantai 3, Jalan Karang Tengah Raya, Lebak Bulus, Jakarta Selatan 12440 Mobile : 62878 716 32622 Website : www.havehadworld.com
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
29
Made in Indonesia
Produk dari Kulit Berkualitas Ekspor The Leather Products With Export Qualities
d ’ Russa
“Beragam produk sepatu, tas dan dompet d’Russa kini mampu eksis di pasar dalam negeri dan luar negeri,” kata Arso Ramadhan NA, Marketing Manager d’Russa. Menurutnya, industri sepatu, tas dan dompet dari kulit ini dirintis pada tahun 2006. Ketika itu, Rusdi Raisa, pemilik d’Russa, tengah menyelesaikan tugas skripsinya di sebuah universitas di Bandung. Ketika tengah menyelesaikan tugas akhir itu, terbesit ide untuk membuat produk sepatu berbahan kulit. “Saat itu, sepatu kulit yang dibuat hanya untuk dipakai sendiri,” katanya. Namun ketika dipakai ke kampus, banyak teman-teman Rusdi yang tertarik
30
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
terhadap model sepatu kulit yang dipakainya. Karena yakin produknya bisa diterima pasar, maka Rusdi pun memberanikan diri untuk menerima order dari teman-teman kampusnya itu . Dia juga berani memasarkan produknya ke masyarakat umum. Ternyata pasar umum juga menyambut baik produk yang diluncurkan itu. Melihat sambutan pasar itu, Rusdi tidak ragu untuk menekuni usahanya itu. Bahkan, produk yang dipasarkan tidak hanya sepatu kulit saja, tetapi juga berupa tas dan dompet dari kulit. Agar produknya bisa dikenal masyarakat dengan
Walaupun produk sepatu kulit dan tas kulit sudah banyak beredar di dalam negeri, namun industri tersebut masih terbuka untuk pemain baru. Hal ini dibuktikan oleh d’Russa, produsen sepatu, tas dan dompet dari kulit.
Made in Indonesia mudah, maka pada tahun 2011 merek d’Russa pun dicantumkan pada semua produk sepatu, tas dan dompet kulit yang diproduksinya. Dalam kegiatan produksi, semua produk d’ Russa harus melalui sejumlah proses yang cukup ketat mulai dari pemilihan bahan baku, pemotongan pola hingga penjahitan kulit menjadi sepatu, tas dan dompet. Untuk bahan baku berupa kulit, d’Russa hanya menggunakan kulit sapi kualitas prima, yang dipasok dari produsen kulit sapi di dalam negeri. Sebelum digunakan, kulit-kulit sapi itu harus menjalani proses agar tidak mudah rusak dan berjamur. Setelah kulit memiliki kualitas baik, barulah dipotong sesuai pola atau model yang ditetapkan.
Kulit-kulit yang sudah dipotong sesuai pola itu, lalu dijahit secara teliti. Pembuatan pola dan penjahitan dilakukan secara handmade. “Proses produksi yang ketat ini dilakukan demi menjamin kualitas produk yang baik,” papar Arso. Dengan proses produksi yang ketat, d’Russa belum bisa menghasilkan produk dalam jumlah banyak. Dalam sebulan, produk kulit, tas dan dompet yang diluncurkan ke pasar sekitar 50 pieces. Adapun kisaran harga jual untuk produk tas merek d’Russa antara Rp800 ribu hingga Rp1,3 juta per piece. Untuk dompet dan sepatu, harga jualnya lebih rendah lagi. Penjualan produk ke pasar sebagian besar atau 70 persen dilakukan melalui sistem online. Sedangkan
sisanya dijual langsung kepada komunitas-komunitas tertentu. Arso mengakui kalau pangsa pasar utama produk d’Russa saat ini adalah pasar lokal. Namun, bukan berarti konsumen internasional tidak melirik produknya. “Kami juga beberapa kali menerima pembeli dari Jepang dan Swiss,” katanya. Bahkan, beberapa waktu lalu d’Russa mendapatkan order 22.000 tas kulit dari pembeli asal Jepang. Sayangnya, order itu belum bisa dipenuhi d’Russa karena keterbatasan kapasitas produksi. “Kami berharap dengan peningkatan kapasitas produksi yang terus-menerus dilakukan, suatu saat pesanan dari pihak asing akan bsia kami penuhi,” ungkap Arso optimis.
Though leather product of shoes and bags have been widely marketed throughout the country, the market of this industry is still attractive for new players. It is demonstrated by d’ Russa, leather-based producer of shoes, bags and wallets.
“A wide range of shoes, bags and wallets produced by d’ Russa are now able to compete in both domestic and global market, “ said Arso Ramadan NA, Marketing Manager of d’ Russa According to him, his leather-based shoes, handbags and wallets industry was started in the year of 2006, as Rusdi Raisa, the owner d’ Russa, was completing his thesis at an university in Bandung. When completing his thesis he got the idea to make leather shoes products . “ At that time, he made leather shoes just for my own use, “ he said. However, when he used them to college, many of his friends were very interested to his leather shoes products. By the strong believes that the product can be accepted by the market, then he took the risk to accept orders from his colleagues. He felt also confident to market them to general public. Surprisingly, the products launched were well accepted by the market. Seeing the good market response, Rusdi was confident and did not hesitate to pursue his business. Even, not only leather shoes which were sold, but he has also sold leather handbags and wallets. In order to ease the promotion of the product to the public, in 2011 the brand of d’ Russa was labelled at all of his products, that are shoes, bags
and wallets. In terms of production process, all of d’ Russa’s products have been processed by implementing tied quality control starting from the selection of raw materials, cutting of patterns to sewing into final products in the form of shoes, bags and wallets. For raw materials, d’ Russa only uses the top quality of cow leather, bought from domestic suppliers of cow leather. Before used in production process, the cow leather should undergo initial process to protect it from easily damaged and moldy . The following activity is the cutting process according to the desired pattern. The pieces of leather as a result of cutting process are then accurately sewn. The process of patterning and sewing are carried out manually. “Strict controlling of production process is implemented to ensure high product quality, “ said Arso . By applying strict controlling of production process, d’ Russa has only been able to produce in limited amount. Within a month, the company can only produce shoes, handbags and wallets about 50 pieces of each product. The selling price of leather handbags made in d’ Russa is range from Rp 800 thousand to Rp1,3
million per piece. For shoes and wallts, the selling price is, of cource, lower than that of handbag. To sale the products to customers, largerly or about 70 percent is done through online media. The rest is sold directly to specific customers. Arso explains that the main market of d’ Russa’ products today is domestic customers. However, it does not mean that foreign consumers do not favor to his products. “ We often receive orders from Japan and Switzerland, “ he said. In fact, some time ago d’ Russa received the order of 22,000 leather handbags from Japanese buyer. Unfortunately, the order can not be fulfilled by d’ Russa because of limited production capacity . “We hope with the continuos increase in production capacity, in the near future d’ Russa will be able to fulfill the order of foreign buyers, “ said Arso optimistic.
informasi | information » d “ Russa Sand Road Impun, Pejajaran Hill Complex, No. 81, Bandung Tel: 081321294434 Website : www.drussa - leathergoods.com
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
31
Made in Indonesia
JD Kids
Pop Art Shoes for Kids
Sepatu Pop Art untuk Anak-Anak Memiliki sepatu dengan aneka model yang sedang trendy kini, bukan hanya bisa dimonopoli oleh kalangan remaja dan orang dewasa. Anak- anak kini juga dapat memiliki aneka sepatu trendy dengan nuansa pop art.
A
dalah JD Kids, produsen sepatu anak yang memberikan nuansa pop art .Menurut Andiva Reza, pemilik JD Kids, produk sepatu JD Kids awalnya hanya ditujukan untuk buah hatinya saja. “Saya merancang sepatu pop art ini awalnya hanya untuk anak saya,” ujarnya. Namun, produk sepatu tersebut mendapat animo sangat positif dari teman-temannya. Akhirnya, Andiva pun memberanikan diri untuk terjun ke industri sepatu anak-anak. Pada pertengahan tahun 2010, produk sepatu merek JD Kids pun meluncur ke pasar umum. Nama JD Kids diambil dari nama depan dua anak Andiva, yakni Jodi dan Jedi. Pangsa pasar utama dari produk sepatu ini adalah anak-anak usia 2 hingga 8 tahun. Agar sepatu yang dikenakan nyaman di kaki anak-anak, Andiva menerapkan proses produksi yang begitu ketat. Langkah pertama yang dilakukannya adalah dengan melakukan uji coba beberapa jenis sepatu terhadap sejumlah anak terlebih dahulu. “ Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kenyamanan anak ketika mengenakan sepatu,” paparnya. Jika anak-anak yang diujicoba terlihat nyaman ketika mengenakan sepatu buatannya, maka Andiva dan timnya langsung membuatkan desain sepatu tersebut. “Sedangkan jika si anak terlihat tidak nyaman, maka sepatu tersebut dinilai gagal untuk bisa diproduksi,” ujarnya. Dalam hal desain, sepatu JD Kids juga dirancang khusus agar tidak mempengaruhi pertumbuhan kaki si anak. Pihak JD Kids memiliki dokter spesialis tulang sendiri guna berkonsultasi mengenai desain sepatu yang baik secara medis bagi anak-anak. Pemilihan bahan baku juga dilakukan secara selektif. Menurut Andiva, sepatu JD Kids terbuat dari bahan kanvas, suede dan kulit. Bahan baku tersebut sebagian besar didapat dari dalam negeri. Saat ini dalam sebulan, sebanyak 300 hingga 500 pasang sepatu DJ Kids dapat diproduksi. Produksi belum dilakukan secara massal karena Andiva menerapkan produksi secara handmade. “Hanya perajin yang sudah terlatih saja yang kami rekrut untuk membuat sepatu ini secara
32
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
Made in Indonesia handmade,” paparnya seraya menambahkan bahwa saat ini pihaknya merekrut 11 perajin. Dengan model yang terus berubah sesuai perkembangan mode serta kualitas yang baik, pemasaran sepatu JD Kids kini sudah meluas ke berbagai wilayah di Indonesia.
Having shoes with various models that are trendy, are now not only monopolized by teenagers and adults. The children are now also able to collect a variety of trendy shoes with pop art nuances.
Selain melalui media online, JD Kids juga memasarkan produk sepatu anak-anak tersebut dengan membuka outlet di sejumlah kota, seperti di Bali sebanyak 1 outlet, Jakarta sebanyak 3 outlet dan di Bandung ada 2 outlet. Andiva mengakui saat ini pemasarannya masih terfokus di pasar lokal, Namun bukan berarti produknya tidak dinikmati oleh orang asing. “Sejumlah orang asing di Indonesia juga sering membeli produk kami melalui online,” ujarnya. Banyaknya orang asing di Indonesia yang membeli produk sepatu JD Kids ini memberikan optimisme pada Andiva kalau produknya bisa menembus pasar internasional. Upaya itu sedang ditempuh Andiva dengan memaasarkan produknya di Belanda dan Jerman.
J
D Kids is one of kid’s shoes producers offering the nuances of pop art products. According to Andiva Reza, the owner of JD Kids, the products of JD Kids were initially intended for his baby only. “ I firstly designed pop art shoes just for my son, “ he said. However, the shoes got very positive interest from his friends, and finally he tried to run a business in children’s shoes industry.
process has not been done in mass production, but still applying handmade production process.
In mid-2010, JD Kids brand shoes was launched to market. The name JD Kids itself is taken from the first name of Andiva’s two children, Jodi and Jedi. The main market of its products is for the children ages 2 to 8 years.
Receiving a good response in Jakarta and surrounding areas of Java, the product market of this Bandung’s handmade shoes has also been expanded to Sumatra and Kalimantan through online media.
In order to make comfortable shoes for children, Andiva has implemented tight production processes. The first step is conducting trials of several types of shoes to children. “ This process is carried out to measure the comfort level of children shoes to be produced, “ he said. If the children being tested look comfortable with the sample of shoes, design of shoes then are made to be further produced. “ Whereas when the children look uncomfortable, then those sample shoes are considered to be failed to produce, “ he said . In terms of design, JD Kids shoes are also designed to keep children’s legs growing normally. JD Kids has their own bone specialist to consult and test that the design of the shoes being made are medically safe for the children. Selection of raw materials also carried out selectively. According to Andiva, JD Kids shoes are made of canvas, suede and leather. Most of raw materials are obtained from local sources. Currently DJ Kids has produced about 300 to 500 pairs of shoes monthly. The production
“Only well trained craftsmen we recruit to make our handmade shoes, “he said, while adding that the company has now employed 11 craftsmen. By the continous changing in shoes design and the increase demand for quality, the market of Kids JD’s products has now spreaded to various regions in Indonesia.
In addition to online media, JD Kids also markets its products by opening outlets in some cities, such as 1 outlet in Bali, 3 outlets in Jakarta, and also 2 outlets in Bandung. Andiva admitted that he is now stil focusing on local market, but it does not mean that the products are not enjoyed by foreigners. “A number of foreigners in Indonesia also often purchase our products through online , “he said . The growing number of foreigners in Indonesia buying JD Kids’ products has given optimism to Andiva that the product could be able to compete in global market. Such efforts have been taken by Andiva by marketing the products in the Netherlands and Germany.
informasi | information » JD Kids Indonesia Jl Mutumanikan No. 26A Bandung 087722247981 www.jdkidsindonesia.com
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
33
Made in Indonesia
gitar Secco
Produk Lokal Berkualitas Dunia Worldwide Quality of Local Product
Secco Guitar Produk kesenian Indonesia banyak yang telah menembus pasar internasional. Salah satunya adalah gitar Secco. Gitar akustik buatan tangan ini telah banyak beredar di mancanegara. Many Indonesian arts products have penetrated the international market. One of them is Secco guitar. This handmade acoustic guitar has been widely circulated in foreign countries.
M
enurut Yosefat Wenardi, pendiri Secco Guitar and String Instruments— produsen gitar Secco—produknya saat ini sudah diekspor ke Jepang, Australia, Eropa, Amerika Serikat, Singapura, Korea Selatan. Keberhasilan gitar Secco menembus pasar mancanegara tak lepas dari ketekunannya untuk belajar dan mencari pengetahuan guna mendapatkan teknis membuat gitar berkualitas internasional. Wen—nama panggilan akrab Yosefat Wenardi-mengaku merintis usaha sebagai luthier atau pembuat gitar pada tahun 1999. Sebelumnya, dia belajar sendiri mengenai proses pembuatan gitar selama 2-3 tahun sampai benar-benar mahir. Untuk meningkatkan kualitas gitarnya, pada tahun 2000 Wen mengajak seorang guitar luthier kawakan dari Bandung, Ki Anong Naeni, pendiri salah satu industri gitar yang sudah dikenal luas masyarakat. Dari Ki Anong Naeni, Wen tekun belajar mengenai cara merancang gitar yang baik. Selain mencari ilmu dari dalam negeri, Wen juga menyempatkan diri belajar tentang industri gitar ke Granada, Andalusia, Spanyol dan Kanada. “Spanyol merupakan kiblat industri gitar dunia,” ujar pria ini memberikan alasan keputusannya belajar ke Spanyol. Dengan ilmu yang diperolehnya dari dalam dan
34
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
luar negeri, Wen pun mampu memproduksi gitar buatan tangan (handmade) merek Secco dengan kualitas dunia. Menurut Wen, untuk menghasilkan produk gitar berkualitas dunia, yang perlu diperhatikan adalah bahan baku dan proses pembuatannya. Untuk bahan baku berupa kayu, gitar Secco hanya menggunakan kayu sonokeling, mahoni dan kayu Irian yang berasal dari dalam negeri.Selain itu, ada juga bahan baku kayu yang diimpor, seperti african black wood, snake wood, dan zebra wood. “Kualitas dari kayu-kayu tersebut sangat cocok untuk menghasilkan jenis suara yang bagus, kuat, dan memiliki karakter tertentu dari gitar yang diproduksi,” ujarnya. Wen juga menjelaskan, kayu yang bagus adalah kayu yang kadar airnya sekitar 12-14 persen. Selain pemilihan kayu yang tepat, proses produksi pun memegang peranan penting dalam pembuatan gitar Secco. Untuk bisa menghasilkan gitar berkualitas, Wen menerapkan sejumlah tahapan dalam proses produksinya. Ada sepuluh tahapan yang harus dilalui dalam proses produksi gitar Secco. Tahapan itu dimulai dari proses perencanaan desain, penyediaan bahan baku, pemilahan kerja untuk bagian depan gitar (top), belakang (back), samping (side), dan gagang (neck) hingga tahapan pengecekan secara keseluruhan terhadap produk gitar yang dihasilkan. Adapun jenis gitar yang diproduksinya mulai dari classic guitar, folk guitar, dreadnought style, double/ triple O, serta travel guitar. Kalau sesuai teori, untuk membuat sebuah gitar diperlukan waktu sekitar 150 jam. Namun, kalau dilakukan oleh banyak orang sesuai desk masingmasing, lamanya waktu bisa dipangkas sampai 50 jam per gitarnya. Dengan pemilihan bahan baku dan proses produksi yang ketat serta pengetahuan yang luas mengenai seluk beluk produksi gitar, maka gitar Secco pun dapat diterima oleh banyak kalangan, baik kalangan pemusik hingga mereka yang memiliki hobbi bermain dan memiliki gitar berkualitas. Hingga saat ini, sejumlah jenis gitar Secco telah dikoleksi sekitar 250 pemusik (baik gitaris maupun musisi), di antaranya pemusik Iwan Fals dan Sawung Jabo. Selain itu, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menyenangi musik dan mencipta lagu pun menjadi salah satu yang mengoleksi gitar merek Secco. Tipe gitar yang dimiliki SBY adalah Steal Dreadnought. Dengan fokus pada kualitas, gitar Secco memang tidak diproduksi secara massal. Karena itu harga jualnya pun cukup tinggi, di atas Rp 1 jutaan per unitnya. Namun harga jual itu sesuai dengan kualitas yang dimiliki.
A
Made in Indonesia
ccording to Yosefat Wenardi, the founder of Secco Guitar and String Instruments - Secco guitars producer, his products has now been exported to Japan, Australia, Europe, United States, Singapore, South Korea. The success of the Secco guitar penetrating foreign markets could not be separated from his diligence to learn and acquire knowledge about production technique of making guitar with international quality. Wen -Yosefat Wenardi familiar nicknameadmitted pioneering business as a luthier or guitar maker in 1999. Previously, he learnt by himself to be proficient in guitar-making process for 2-3 years.. To improve the quality of the guitar, in 2000 Wen collaborated with an experienced guitar luthier from Bandung, Ki Anong Naeni, the founder of one of the well known guitar industries. Wen has dilligently learnt to Ki Anong Naeni how to make and design a good guitar . In addition to seeking knowledge in home country, he also took courses to learning the guitar industry to Granada, Andalusia, Spain and Canada. “ Spain is the world reference of guitar industry, “ said Wen justifing his decision to learn in Spain. With the knowledge acquired both from home country and abroad, he has been able to produce world quality handmade guitar with Secco brand. According to him, to produce world quality guitar we should consider both the raw material and manufacturing process. For raw material that is wood, Secco guitar only uses rosewood, mahogany and Irian wood supplied domestically. In addition there are some imported woods such as african black wood, snake wood, and zebra wood . “The quality of woods mentioned above is very suitable to produce the kind of good sound, strong, and contains a certain character of guitars being produced,“ he said. He further explained that the best wood is wood containing water content around 12-14 percent. In addition to the selection of the proper wood, the production process also plays an important role. In order to produce the high quality of guitars, Wen has implemented a number of stages in the production process. There are ten stages to be followed in the production process of Secco guitar. The stages is started by design planning process, supply of raw materials, activity sorting for the front of the guitar (top), rear (back ), side, and the handle (neck) until the stage of overall supervision to all of the guitars being produced. The types of guitar being produced ranging from classic guitar, folk guitar, dreadnought style, double / triple O, as well travel guitar.
Theorically, to make a guitar consumes about 150 hours. However, if done by a team with one’s each desk respectively, the length of time could be cut up to 50 hours per guitar. With the strict selection of raw materials and production process as well as extensive knowledge of the guitar matters, the Secco guitar can be well accepted by consumers, both among the musicians and those who have a hobby to play and collect the high quality guitar. Until now, a number of Secco guitars have been collected by approximately 250 musicians (both guitarists and musicians), of them are Iwan Fals and Sawung Jabo. Even, President Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY ) who favors music and writing songs has become one collecting Secco guitars. The type of guitar owned by SBY is Steal Dreadnought. By focusing on quality, Secco guitar is deliberately not to be mass-produced. That is why the selling price is quite high, at over $ 1 million per unit and, of course, the selling price offered is correspondend with the quality of the product.
informasi | information » Secco Guitar and String Instruments Jalan Tanjung Nomor 13, Bandung40114, Indonesia Telepon dan Fax : +62 22723 4710 Email :
[email protected] Website :www.seccoguitar.com
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
35
Made in Indonesia
Jackhammer Co.
Inovasi Mode Pakaian Untuk Dalam dan Luar Ruang Innovation of Apparel Fashion for Indoors and Outdoors
T
ren mode yang terjadi itu telah ditangkap Ardika Saputra dan rekan-rekannya untuk memproduksi pakaian yang bisa dipakai untuk pekerja luar ruang dan pekerja di dalam ruangan. Melalui bendera Jackhammer Co, berbagai jenis pakaian, mulai dari baju, celana panjang hingga jaket diproduksi dari workshop perusahaan yang berlokasi di kawasan Jalan Tubagus Ismail, Bandung sejak awal 2012. Menurut Ardika Syahputra, yang bertindak sebagai direktur produksi Jackhammer Co, ketertarikan untuk terjun di industri pakaian itu dilhami oleh minat yang sama antara dia dengan tiga rekan kuliahnya terhadap pakaian yang bisa dipakai untuk keperluan lapangan dan di dalam ruangan atau kantoran. “Kebanyakan pola baju untuk kerja lapangan dan dalam ruangan berbeda-beda. Karena itu, kami melakukan terobosan untuk membuat pakaian yang bisa dipakai untuk luar ruang dan dalam ruangan. Apalagi saat itu tren nya memang sudah ke arah itu,” ujarnya. Lewat beragam jenis produknya, Jackhammer Co ingin membuat masyarakat pemakaai produknya bisa percaya diri dalam menjalankan kegiatan sehariharinya, baik dalam bekerja maupun kegiatans santai. Idenya adalah untuk membangun sebuah pakaian yang unik , tangguh, tahan lama , namun nyaman dalam setiap cara . “Kami ingin konsumen kami bisa tetap percaya diri walaupun mengenakan pakaian untuk lapangan ketika dia berada di dalam ruangan,” ujar Andika.
Model pakaian terus mengalami perubahan. Saah satu tren mode yang sedang digandrungi masyarakat adalah pengenaan pakaian yang biasaya digunakan untuk pekerja lapangan oleh mereka yang bekerja di dalam ruangan. The apparel fashion has continued to change. One of the favorite fashion trend is the use of clothes that are usually used for outdoors in indoor area.
36
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
Untuk mewujudkan keinginan itu, produk pakaian Jackhammer Co diproduksi dengan menggunakan bahan-bahan yang berkualitas. Adapun bahan yang digunakan adalah jins, canvas dan herringbone. Bahan-bahan tersebut didapat dari pemasok di dalam negeri maupun impor. Guna menjamin kualitas produk, Ardika dan tim menerapkan proses produksi yang ketat. Bahanbahan yang akan digunakan terlebih dulu menjalani suatu proses agar nantinya bahan tersebut tidak mudah rusak.
Made in Indonesia control of production process is imposed. The materials that will be used, first undergo a process leading the material will not be easily damaged . “We also implement strict procedures in the process of sewing for shirt and pants. Every detail must be carefully supervised , “ he explained. Even more important, Jackhammer Co. is very concerned to the development of fashion trend in the society. It is shown by establishing R & D units intended for continuous innovation by creating variety of new models and conducting market research.
“Kami juga menerapkan prosedur yang ketat dalam proses menjahit bahan-bahan untuk baju dan celana. Setiap detil kami perhatikan dengan seksama,” paparnya. Yang lebih penting lagi, Jackhammer Co sangat memperhatikan sekali perkembangan mod yang terjadi di lapangan. Hal itu ditunjukkan dengana danya unit R &D yang terus berusaha berinovasi melakukan riset lapangan dan menciptakan beragam model terbaru. Kami , sebagai tim muda kreatif menyadari bahwa kebutuhan fashion kini telah menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat , dan kami percaya bahwa itu tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan tersebut tanpa inovasi lebih lanjut,” ujar Ardika. Dengan unit R& D yang tangguh itu, Jackhammer mampu menampilkan produkproduk yang dapat digunakan di segala suasana. Ardika menjelaskan, pihaknya akan memunculkan model produk terbarunya berdasarkan musim yang terjadi saat itu. Jika musim yang terjadi adalah musim dingin, maka produk yang diluncurkan adalah produk-produk dengan bahan yang agak tebal. Begitu sebaliknya, jika musim panas tiba, produk yang diluncurkan lebih banyak menggunakan bahan-bahan yang tidak terlalu tebal. Dengan berdasarkan pada musim, dalam setahun Jackhammer Co meluncurkan produk baru sebanyak 4 atau lima kali. Volume produksi juga dilakukan per musim, dimana setiap musim bisa diproduksi ratusan pieces pakainan kemeja, celana dan jaket. Walaupun masih baru, produk pakaian Jackhammer Co saat ini sudah banyak dikenal masyarakat di dalam negeri. Strategi pemasaran dilakukan dengan cara mengikuti pameranpameran, membuka beberapa outlet dan penjualan secara online.
T
his fashion trend has been captured by Ardika Saputra and his colleagues to produce garments that can be worn for outdoor as well as indoor workers.
Through the company named Co. Jackhammer, various types of apparel ranging from shirts, pants to the jacket have been produced in the company’s workshop located at Jalan Tubagus Ismail, Bandung since early 2012. According to Ardika Syahputra, acting as a production director of Jackhammer Co., the interest to engage in the apparel industry was inspired by common interests between him and his three fellows college for apparel fashion that can be used both for outdoor and in the room or office. “The design of apparels used for outdoor and indoor are usually very different. Therefore, we made a breakthrough to make a new design of clothes that can be used for both situation, outdoor and indoor. Moreover the current trend has been going to that direction, “ he said.
We, as a young creative team realize that the needs for fashion has now become an integral part of people’s lives, and we believe that we could not be able to satisfy those needs without carrying out continuous innovation, “said Ardika. With strong R & D units, Jackhammer Co. will be more competent to market the products that can be used in all situations. Ardika explained that his company will release its newest product models according to the running season. If the season falls in winter, then the products launched will be the products with a slightly thicker materials. Coversely, in summer season the products marketed contains the materials that are relatively thin. By considering these seasons, Jackhammer Co. launchs new products as much as four or five times for each year. Production volume is also made per season, with each season can be produced hundreds of pieces of shirts, pants and jackets. Although considered as a new comer, Jackhammer Co’s. products have now been widely recognized by domestic market. The marketing strategy is carried out by participating in various exhibitions, opening several outlets and also online sales.
Through a wide range of its products, Jackhammer Co. expects its customers to feel confident and comfortable in undergoing their daily activities, either at work or relaxing time. Therefore, the idea is how to produce clothes meeting the criteria of unique, tough, durable, yet comfortable to wear. “We want our customers feeling confident and comfortable despite wearing outdoors clothes when they are in the room, “ said Andika. To realize his desire, Jackhammer Co. products are manufactured by using high quality raw materials. The materials used are jeans, canvas and herringbone. These materials are acquired from domestic suppliers as well as imported. To ensure the high product quality, strict
informasi | information » jackhammer Co. Jalan Tubagus Ismail, Bandung, Indonesia Phone : 6285216802175
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
37
galia
Made in Indonesia
Guitar Carving
38
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
Salah satu instrument musik yang popular, kini gitar tidak hanya sebuah instrumen musik berdawai, tetapi juga menjadi sebuah mahakarya dengan sentuhan artistic. Galia Guitar carving mengubah gitar menjadi sebuah benda seni bernilai tinggi. As one of the popular musical instruments, guitar is now not only a simply stringed musical instrument, but also to be a masterpiece product with artistic touch. Galia Guitar carving has transformed “a guitar” into a valuable art product .
B
erawal dari keinginan untuk memiliki desain gitar yang unik dan lain dari yang lain, Kang Garin membuat gitar dengan painting atau lukisan di atas body gitar. Lukisan tersebut dibuat dengan menggunakan teknik air brush. Namun hasilnya dirasa masih biasa dan kurang eksklusif. Inovasi tidak berhenti di sini, kang Garin membuat kembali inovasi gitar dengan teknik carving. Pertama kali dibuat sebagai hadian untuk anak pertamanya,terinspirasi dari desain St.George Dragon, seniman guitar carving dari Inggris. Setelah desain airbrush dijadikan ukiran, gitar unik ini disukai oleh klien asal Amerika dan berminat untuk membelinya. Klien tersebut merupakan klien bisnis furniture kang Garin. Kemudian dibuat sebuah gitar yang serupa untuk klien tersebut. Desain yang dikembangkan terinspirasi dari berbagai referensi gambar atau patung klasik dari kebudayaan di seluruh dunia, seperti patung dari Yunani. Penggunakan desain tersebut bertujuan untuk menjajaki pasar dunia. Dan setiap desain dari guitar carving tersebut memiliki cerita tersendiri. Seiring berjalannya waktu, desain lebih banyak berbentuk sculpture atau ukiran patung karena banyak musisi yang menyukai desain tersebut. Proses pembuatan guitar carving diawali dengan ide desain yang kemudian diterjemahkan oleh illustrator, yang nantinya akan membuat desain lebih lanjut. Proses ini memakan waktu cukup lama, karena memadukan seni ilustrasi yang kemudian dieksekusi ke dalam bentuk seni ukir atau pahat. Setelah desain final, pengerjaan akan dilakukan oleh pengukir dari Jepara. Proses ini membutuhkan ketelitian yang sangat tinggi karena tingkat kerumitan dan detail desain tersebut. Untuk membuat hasil akhir sesuai dengan desain yang diinginkan membutukan tenaga ahli dari pengukir yang berpengalaman. Material kayu yang digunakan adalah Ash Wood, yang biasa digunakan untuk material body gitar elektrik di seluruh dunia, dan juga kayu mahoni atau mahogany, yang pohonnya banyak tumbuh di Indonesia. Pengukir diberi pendampingan selama proses pembuatan untuk menyesuaikan kenyamanan saat gitar digunakan. Proses ini akan dilakukan lagi ketika membuat master desain yang baru. Setelah raw design master selesai dibuat, proses selanjutnya adalah pewarnaan. Warna-warna yang dibuat merupakan hasil kreasi sendiri dari Kang Garin. Ini merupakan hasil dari pengalaman beliau di bisnis indoor furniture yang mengedepankan finishing painting untuk produknya. Pemilihan warna dibuat benar-benar sesuai dengan style atau gaya Kang Garin, yang mana sangat jauh berbeda dengan yang desain-desain guitar carving yang pernah dibuat. Finishing guitar carving khas Kang Garin lebih ke antique look untuk mengekspos ukiran body guitar itu sendiri. Menjadi “anak band” selama belasan tahun, membuat Kang Garin memiliki pengalaman dalam
Made in Indonesia urusan teknis machine guitar. Pengalaman tersebut menjadi basic atau basic dalam menentukan kualitas suara gitar. Sedangkan untuk pemasangan spare part dikerjakan oleh tenaga ahli perakitan guitar di Jepara. Namun spare part yang dipilih dan digunakan masih diimpor dari luar negeri, terutama melalui situs jual beli eBay, karena dipenuhi oleh produsen dalam negri. Hal ini bertujuan untuk menjaga kualitas sound atau suara sesuai dengan standar internasional. Produk Galia Guitar Carving ini belum dijual secara massive atau ditawarkan secara aktif. Produsen hanya mendisplay di studio dan dipinjamkan ketika ada kolega yang datang. Setelah melihat prospek yang
S
tarting from his desire to have a guitar with unique design and different from the others, Kang Garin firstly made his guitar with painting on the guitar body. The painting process was carried out by using air brush technique, but the result is considered mediocre and less exclusive. He then continued to innovate by making his guitar with carving techniques. Initially he made it as a gift for his first child, inspired by St.George Dragon design, the work of an English guitar carving artist. His unique product attracted a client from the U.S. who would like to buy it. This client is kang Garin’s furniture business’ client, and then he made a similar guitar for him. The development of the design was inspired by the various reference pictures/portraits or classical sculptures from various cultures around the world, such as the sculpture of the Greek. The choice of the design is addressed to capture the world Market, and every single design of the guitar carving has its own story. Over time, the guitar carving produced are mostly in the form of sculpture design since most customers prefer this kind of design. The process of producing guitar carving is started by creating the design idea which is then transcribed by the illustrator to make the further design. This process takes quite a long time, since it deals with how to translate the art of illustration to be executed in the form of carving arts. Once the final design is approved, the carving process will be carried out by Jepara artisans. This process requires very high accuracy due to the complexity and the detail of design. In order to obtain the final product according to the expected design requires well experienced and skillful carvers. The wood materials used are Ash Wood, which is widely used for electric guitar body material around the world, and also mahogany wood since mahogany tree grows and can be easily found in Indonesia. The carvers are usually given the assistance during the production process to secure the comfort when the guitar is played. The assistance
ada, serta dukungan dari teman-teman Grisuter, yaitu sebuah komunitas pengusaha online Jepara. Sekarang ini Galia Guitar Carving juga mulai dipasarkan secara online, melalui authorized distributor yang ditunjuk untuk menjaga ekseklusifitas dan nilai otentik dari desain dan produksinya. Salah satunya melaui www.thebalebale.com, yang merupakan salah satu furniture online store terbesar di Jepara. dan dijual di berbagai Negara secara direct selling. Galia Guitar Carving memproduksi 10 item untuk setiap serinya, dengan kapasitas produksi sekitar 20 buah gitar perbulan.
will be further continued when creating a new master design. As the master design is completed, the next process is the coloring. The colors made are fully the result of Kang Garin’s own creations. This is the result of his experience in his indoor furniture business that emphazises painting on his finishing products. The color selection exclusively represents the style and the taste of Kang Garin, which is exclusively different from those ever created. Carving guitars produced by Kang Garin tend to be antique look to expose the carving body of the guitar it self. Being a “boy band“ for a dozen years, has led Kang Garin accumulating lots of experience in technical matters of machine guitar. His experience has become the basis in determining the sound quality of the guitar. Whereas, the process of spare parts assembly is carried out by assembly guitar experts in Jepara. However, the required spare parts are still imported, mainly through trading site eBay, as it is favored by the domestic producers. Its aims is to maintain the quality of sound in accordance with international standards . The products of Galia Guitar Carving have not been widely offered and sold. Manufacturer only displays in the studio and lends them to the colleagues who need. By considering the good prospect ahead and supported by the Grisuter, the community members of online entrepreneurs in Jepara, recently Galia Guitar Carving is starting to market the products through appointed authorized distributors to keep the exclusively and authenticity of its design and products. One of them is through www.thebalebale.com, one of the biggest online furniture stores in Jepara, and sold to various countries through direct selling. Galia Guitar Carving produces 10 items for each series, with the production capacity of approximately 20 pieces of guitars per month.
informasi | information » Galia Guitar Carving Jln, Ahmad Yani no.253 RT03/01 Pengkol Jepara www.guitarcarving.com.
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
39
Made in Indonesia
Indiego House Bags
40
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
Perpaduan Etnik Budaya Indonesia dan Modern The Fusion of Indonesian Cultural Ethnic and Modern Serbuan tas impor atau tas buatan pabrik yang diproduksi secara massal ke pasar dalam negeri, tidak menutup peluang bisnis di sektor itu. Hal ini dibuktikan oleh Michelle Su. Wanita belia ini mampu memikat masyarakat konsumen melalui tas-tas yang dibuatnya secara kreatif dengan mengusung tema budaya Indonesia dan dikreasikan secara modern. The invasion of imported handbags or handbags produced by manufacturers implementing mass-production techniques to domestic market, does not close the business opportunities in this sector. It is evidenced by Michelle Su. This young woman is able to attract the consumers through the bags she has creatively produced by bringing the Indonesian culture theme displayed with modern touch.
T
as-tas yang dibuat dengan bahan kulit asli dan ditambah dengan motif etnik budaya di Indonesia yang diluncurkan Michelle dengan merek Indiego House, telah mempengaruhi masyarakat untuk tidak mengabaikan produk buatan dalam negeri. Dalam membuat tas, Michelle sengaja menonjolkan kesan etnik yang elegan tanpa menghilangkan perkembangan terbaru dari mode tas yang terjadi di masyarakat saat ini. Tas-tas itu bisa dipakai untuk gaya atau fashion maupun untuk keperluan sehari-hari, seperti tas untuk bekerja maupun kuliah. Intinya, tas Indiego House bisa dipakai untuk segala kegiatan dan menyentuh semua level masyarakat. “Saya membuat tas secara handmade dengan memadukan kekayaan etnis di Indonesia dengan perkembangan mode yang terjadi saat ini,” ujar wanita yang sempat mengenyam kursus mode selama 1,5 tahun di Milan, Italia.
Made in Indonesia terlebih dulu menjalani suatu proses agar nantinya kulit tersebut tidak mudah berjamur,” katanya. Karena lebih mengutamakan kualitas, saat ini tas Indiego House belum diproduksi secara massa. Dengan tenaga empat orang perajin, produksi tas tersebut dalam satu pekan baru mencapai 3 hingga 4 lusin. “Tentunya seiring peningkatan pasar, produksi tas Indiego House akan ditingkatkan juga volumenya. Namun, dalam meningkatkan volume produksi, kami tetap tidak akan mengabaikan kualitas produk tas yang dihasilkan,” tutur Michelle. Untuk meningkatkan pangsa pasar, Indiego House menerapkan strategi promosi melalui keikutsertaan dalam berbagai pameran, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Selain itu, penjualan juga dilakukan melalui outlet dan media online.
Sedangkan untuk pembuatan motif etnik, Michelle menggunakan bahan baku berupa manikmanik, anyaman dan sebagainya. Bahan-bahan tersebut sebagian besar juga diperolehnya dari pemasok di dalam negeri. Dalam memproduksi tas Indiego House, dia sangat memperhatikan kualitas, terutama soal bahan baku kulit dan jahitan. “Untuk kulit, sebelum dijahit,
The production activity to produce bags has just been carried out recently. After taking fashion courses in Milan and analyzing bags products circulating in the country, this 23year old woman decided to struggle in the bag industry. ”The production for sale to the general market began in late January 2013,“ she said.
For making the ethnic motifs, Michelle uses raw materials such as beads, webbyng, and so on. These materials are also obtained largely from local suppliers.
Kegiatan produksi tas sebetulnya belum lama dilakukan Michelle. Setelah menempuh kursus mode di Milan dan mencermati produk tas yang beredar di dalam negeri, wanita berusia 23 tahun itu memutuskan untuk terjun ke industri tas. “Produksi untuk dijual ke pasar umum dimulai pada akhir Januari 2013,” katanya.
The leather used is the leather of cow, horse and sheep. Most of the leather supplied locally, only some are imported, that are the leather of horse and sheep.
“The Indonesia people are actually branded minded, but when there is a product uplifting the cultural theme, hence with its exclusive design then they are not hesitate to buy,“ he said.
The leather used is the leather of cow, horse and sheep. Most of the leather supplied locally, only some are imported, that are the leather of horse and sheep.
“Masyarakat Indonesia itu sebetulnya branded minded, tetapi ketika ada produk yang mengangkat tema budaya apalagi dengan bentuk yang eksklusif mereka tidak ragu untuk membeli,” ucapnya.
Adapun kulit yang digunakan adalah kulit sapi, kuda dan domba. Sebagian besar pasokan kulit tersebut berasal dari dalam negeri, hanya sebagian saja yang masih diimpor, yakni kulit kuda dan domba.
The combination of ethnic and latest trends emerging in the fashion world, has been steadily applied by Michelle in producing bags with brand Indiego House because today there is a steady increase of people who appreciate the exclusiveness of the cultural richness and ethnic products.
First Michelle launched her bag’s model, she used synthetic leather for raw materials. However, many customers asking her to use genuine leather, though with a more expensive price. “Due to satisfy consumers demand, I finally decided to use it as raw materials,“ she explained.
Perpaduan etnis dan tren terbaru yang muncul di dunia mode, telah mantap diterapkan Michelle dalam memproduksi tas dengan merek Indiego House itu karena saat ini semakin banyak masyarakat yang menghargai kekayaan budaya dan produk-produk etnik yang ekslusif.
Pertama kali mengeluarkan model tasnya, Michelle menggunakan bahan baku berupa kulit sintetis. Namun, banyak pelanggan yang memintanya menggunakan kulit asli meski dengan harga yang lebih mahal. “Karena permintaan konsumen, akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan bahan baku berupa kulit asli,” tuturnya.
years in Milan, Italy.
In producing Indiego House’s bags, she is very concerned with the quality matter, especially the quality of raw materials and sewing. “For the leather, before sewn, it first undergos a process so that the leather is not easy to mold, “ he said .
T
he bags made of genuine leather combined with Indonesian cultural ethnic which have been launched by Indiego House brand has succesfully influenced the people for not ignoring the domestic products. In making bags, Michelle purposely accentuates the impression of the elegance ethnic without ignoring latest developments of handbags fashion that occurs in the today’s market. The bags can be worn for style or fashion or for daily use, such as a bag for work or school. In essence, Indiego House bags can be used for all activities and touch all levels of society. “ I make bags manually (handmade product) by combining ethnic richness in Indonesia with the growing trend occuring at this time, “ said a woman who had taken fashion courses during 1.5
Due to more emphasizing on quality, today Indiego House’s bags have not been produced by mass production process. With the help of four artisans, the production capacity only reaches about 3 to 4 dozen per week. “Of course, along with the increase of market demand, the production capacity will be increased in volume. However, the increase in production volume will not ignore the quality of the resulting products, “said Michelle . To increase its market share , Indiego House implements promotion strategies through participation in various exhibitions, both domestically and abroad. In addition, sales are also carried out through outlets and online media.
informasi | information » INDIEGO HOUSE Puri Botanical Kav . 14 Jakarta Tel: 087887882862 / 021-68869195 / 021-98797992 Email : www.indiego.co
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
41
Made in Indonesia Industri kreatif Indonesia memiliki potensi besar untuk berkembang. Pangsa pasar produk kreatif tidak hanya di dalam negeri saja, tetapi juga pasar internasional. Seperti yang dialami PT Vinaa Utama Indonesia (VUI). Produknya berupa tas rajut dan bantal rajut mayoritas diekspor ke mancanegara, terutama ke Amerika Serikat.
Indonesian creative industry has a great potential to grow. The market opportunity of creative products is not only open domestically, but also in the international market. As experienced by PT Vinaa Utama Indonesia (VUI), its products in the form of knitting bags and cushions are majority exported to foreign countries, especially to the United States.
Tas Rajut Vinaastee Merambah Pasar Internasional Vinaastee Knitting Bags Penetrate International Market
M
enurut Ai Latifah, business development manager VUI, kegiatan usaha pembuatan tas dan bantal rajut, mulai digeluti perusahaan pada tahun 2011 lalu. “Kegiatan usaha pembuatan tas dan bantal rajut ini dilakukan karena adanya permintaan dari para pembeli asal Amerika Serikat terhadap produk tersebut yang belum bisa dipenuhi oleh produsen di dalam negeri,” kata Ai. Untuk bisa menembus pasar Amerika Serikat, tentunya produk tas dan bantal VUI harus memenuhi standar produksi yang ditetapkan para pembeli asing tersebut. Misalnya saja mulai dari pemakaian bahan baku, kerapihan rajutan dan model yang dipesan. “Produk kami telah memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan pembeli dari Amerika Serikat itu sehingga ekspor ke negara Paman Sam dapat berjalan lancar,” papar Ai. Ekspor ke AS dilakukan secara musiman. Dalam satu musim, VUI mampu mengekspor 2 juta pieces tas rajut dan bantal rajut yang dipesan pembeli asing itu. Kemampuan VUI mengekspor produknya ke AS itu tidak terlepas dari standar produksi yang diterapkan perusahaan secara ketat. “Untuk bahan
Vinaastee 42
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
Made in Indonesia
A
ccording to Ai Latifah, the business development manager of VUI, the business activities producing knitting bags and cushions was started to run in 2011.”The activity of making knitting bags and cushions was taken due to the buyers’ demands from the United States that can not be fulfilled by domestic producers.” said Ai.
carried out starting from the collectors to VUI management.
Selain karyawan inti, untuk memenuhi pesanan, VUI juga melakukan kemitraan dengan masyarakat di berbagai daerah. Saat ini, setidaknya sudah ada 5.000 mitra VUI yang tersebar di berbagai daerah yang mendapatkan order membuat tas dan bantal rajut.
To be able to penetrate the U.S. market, of course, the products of VUI should meet the production standards imposed by the foreign buyers such as the use of raw materials, the neatness of knitting and the suitability models ordered.
Menurut Ai, para mitra itu antara lain ada yang berlokasi di Cirebon, Semarang hingga Klaten.”Sebelum bermitra, mereka juga harus melakukan pelatihan dalam kegiatan perajutan,” ujarnya.
“Our products have met all of the requirements imposed by the U.S.buyers so that the export to that country can run smoothly, “ said Ai. Exports to U.S. is carried out seasonally. In a season, VUI is able to export 2 million pieces of knitting bags and cushions.
Although the export market is widely open, VUI still provides an opportunity for local buyers to enjoy its knitting bags and pillows. For the domestic market, VUI devides the target market into two, namely the middle and upper class and the middle to lower class. For the middle and upper class market, the products launched are given brand vinaastee with the selling price of Rp 250 thousand to $ 1 million per piece. As for the middle to lower class, the products are not given brand with the selling price below Rp100 thousand per piece.
baku, kami menggunakan bahan dari prophelene yang semuanya diperoleh dari dalam negeri,” ujar Ai. Kualitas tinggi juga diterapkan pada perajutnya. Sebelum diberikan tugas merajut, VUI terlebih dulu memberikan pelatihan kepada calon-calon pekerjanya. “Saat ini, terdapat 100 karyawan inti yang memiliki kualitas bagus untuk pekerjaan merajut,” katanya.
Dalam menerima hasil produksi dari mitra dan karyawan inti, VUI juga menerapkan standar yang ketat. Sejumlah tahapan harus dilalui sebelum produk tersebut benar-benar memenuhi syarat untuk diekspor. Misalnya saja beberapa proses pemeriksaan kualitas produk yang dilakukan mulai dari pengumpul hingga pihak manajemen VUI.
The VUI capability to export its products to the U.S. market can not be separated from the imposition of strictly company’s production standard. “For raw materials, we use the materials from prophelene that can be fully obtained domestically,“ said Ai.
Selain Amerika Serikat, produk tas dan bantal rajut VUI juga mulai diminati oleh pembeli asing lainnya yang berasal dari Jepang, Korea Selatan, Swedia dan sejumlah negara Afrika. “Mereka sudah meminta harga penawaran dari kami,” kata Ai.
High quality standard is also applied to knitters. Before given the task of knitting, VUI first provides training to prospective knitters. “Today, there are 100 core employees having high competences for knitting,“ she said.
Walaupun pasar ekspor begitu terbuka, namun VUI tetap memberikan kesempatan kepada pembeli lokal untuk menikmati produk tas dan bantal rajut buatannya. Untuk pasar dalam negeri, VUI membagi target pasar menjadi dua, yakni masyarakat menengah ke atas dan masyarakat menengah ke bawah. Untuk pasar menengah ke atas, produk yang diluncurkan diberi merek vinaastee dengan harga jual Rp250 ribu hingga Rp 1juta per piece. Sedangkan untuk masyarakat menengah ke bawah, produk tidak diberi merek dan harga jualnya di bawah Rp100 ribu per piece.
In addition to core employees, to fulfill the orders VUI undertakes partnership with the communities in various regions. Currently, there are at least 5,000 VUI’s partners in the various regions receiving the order to produce knitting bags and pillows.
Dengan merambah pasar dalam negeri, VUI berharap kegiatan produksi bisa berjalan secara rutin, tidak hanya bergantung pada pesanan ekspor yang datangnya musiman.
According to Ai, some of the partners are located in Cirebon, Semarang, and Klaten. “Before partnering, they also have to carry out training courses in knitting, “ she said. In accepting the result of the final products from both the core employees and partners, VUI also applies strict quality standards. A number of stages must be passed before the products are actually eligible for export. For example, several processes of quality supervision of products are
In addition to United States, the knitting bags and cushions produced by VUI has also begun to attract foreign buyers from other countries such as Japan, South Korea, Sweden and a number of African countries . “ They ‘ve been asking for the price from us , “ said Ai.
By penetrating the domestic market, VUI expects that the production activity can operate regularly, not only depending on seasonal export orders from foreign buyers.
informasi | information » PT Vinaa Utama Indonesia ( VUI ) Road Map No. 208 , Bandung , West Java Indonesia, 40233 Phone : 62 22 6024180 / 6124081 Fax : 62 22 6124470 Email : sales.vinaautama @ gmail.com
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
43
Made in Indonesia
Produk Sepatu Ikan Nila dan Kaos Kaki Bahan Serat Bambu The Products of Shoes Made of Tilapia Fish And Socks Made of Bamboo Fiber
Parker K
erap mengikuti pameran internasional, H. Taufiq Rahman, Direktur Pelaksana CV Citra Baru Busana, salah satu perusahaan dari Bandung, Jawa Barat, mengakui produknya kerap ditaksir buyer dari mancanegara. “Dengan gaya produk yang Italian Stylish, akhirnya produk saya mampu tampil di salah satu majalah fesyen Italia. Karena itu walaupun belum dibeli secara langsung oleh buyer dari Italia, Belgia, namun produk Indonesia sudah masuk ke negara-negara tersebut melalui peranan para pedagang internasional. Bahkan di ajang Trade Expo Indoonesia bulan Oktober lalu,pembeli dari Jepang memesan sandal kulit dari Indonesia. Mereka sudah menyampaikan ukuran yang dimaksud, untuk memenuhi kebutuhan mereka,” papar Taufik yang
44
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
mengaku sudah tiga tahun ini mulai menjalankan usahanya. Produksi sepatu kulitnya diberi title ‘Parker’ dan bahan baku kulit berasal dari kulit sapi, kulit ikan nila (Tilapia Leather), dan juga kombinasi antara kulit sapi dan ikan nila. Hampir seluruh produknya mulai dari bagian atas (upper), sole (sol), sampai sole bagian luar (outsole), dan hak (heel) dikerjakan dengan tangan (handmade), sehingga produk sepatunya ‘disebut ‘handicraft shoes. Khusus produksi sepatu dari ikan nila baru diperkenalkan pertengahan tahun ini. Tidak mudah mencari ikan nila sebagai bahan baku sepatu, sehingga harga jual sepatu ini cukup tinggi sekitar Rp 4 juta per pasang. Untuk dapat menghasilkan sepasang sepatu dari ikan nila, dibutuhkan 16 lembar
Cenderung untuk menghasilkan produk yang ramah lingkungan, mengusik hati seorang produsen sepatu kulit dari Ikan Nila, sekaligus juga kaos kaki berbahan baku dari serat bambu. Inspired to produce environmentally friendly products, H.Taufiq Rahman has manufactured shoes made of Tilapia leather, as well as socks made of bamboo fiber.
kulit ikan nila, dan harus disesuaikan coraknya, agar sepatu tersebut dapat diproduksi secara sempurna. Harga kulit ikan nila sekitar USD3/lembar. Untuk memenuhi permintaan dari para buyer, sepatusepatu tersebut diproduksi sampai nomor kaki 46. Sementara untuk produksi lokal nomor sepatu sampai nomor 44, Taufik menambahkan. Saat ditanya mengapa menggunakan ikan nila sebagai bahan baku sepatunya, karena tidak mudah memperoleh bahan baku kulit sapi di dalam negeri. Untuk dapat memproduksi sepatu berbahan kulit nila tersebut, dirinya juga harus mencari penyamakan sepatu kulit nila produksinya. Secara umum produksinya baik yang berbahan baku kulit sapi dan juga kulit ikan nila, kebanyakan diprioritaskan untuk mengisi pasar domestik (95%). Pemasarannya
Made in Indonesia dilakukan ke sejumlah departemen store yang segmennya kelas menengah ke atas seperti Centro, Lotte, serta Sarinah dan Pasaraya. “Untuk dapat memproduksi sepatu kulit, bahan baku kulit luar masih bisa diperoleh dari dalam negeri, tetapi untuk sole bagian luar harus dipasok dari Brazilia. Harga jual sepatu untuk ekspor bervariasi antara USD30 s/d USD80 per pasang. Kapasitas produksi setiap bulan mencapai 1.000 pasang, kendati ada permintaan dari para buyer agar mampu menghasilkan 40 ribu pasang setiap bulannya. Saya tidak mampu memenuhi permintaan, karena sepatusepatu ini diproduksi secara handmade. Itu sebabnya mengikuti pameran menjadi sarana penting juga bagi produsen seperti kami untuk dapat memenuhi permintaan pasar. Cuma masalahnya sering dalam sejumlah kesempatan, Indonesia tidak mampu mengikuti pameran internasional yang levelnya cukup tinggi, karena untuk dapat ikut serta dalam pameran tersebut harus mempersiapkannya sejak beberapa tahun sebelumnya,” tukasnya. Kaos Kaki Bahan Serat Bambu Dengan tingkat kemampuan daya serap yang unik dibanding katun, karena mengandung zat anti bakteri alami dan juga perlindungan anti sinar ultra violet, sejak setahun terakhir, Taufik mulai mencoba produksi kaos kaki dari bahan serat bambu. “Bambu mampu menghasilkan serat kain yang sangat kuat, tahan lama, dan juga mampu ‘bernafas’ secara alami, sehingga mampu menyerap keringat 3 s/d 4 kali lebih bagus dibanding katun. Tanaman bambu memproduksi 35% oksigen lebih banyak dan menyerap karbondioksida 5 kali lebih besar dibanding tanaman lainnya. Selain itu dengan struktur serat yang dapat menjaga udara tetap hangat, bambu dapat menjaga suhu tetap hangat, kendati berada dalam cuaca dingin. Sayangnya serat bambu ini masih harus diimpor dari RRT, karena bambu yang banyak terdapat di Indonesia, belum ada yang mampu mengolahnya menjadi serat. Sampai kini belum ada pihak yang melakukan penelitian, penggunaan serat bambu sebagai bahan baku alternatif produksi kaos kaki. Tahun 2012 lalu impor serat bambu untuk memenuhi kebutuhan produksinya mencapai 700 ribu ton. Berbicara masalah produksi, untuk kaos kaki berbahan serat bambu ini dapat mencapai 20 ribu dozen setiap bulannya. Produksi kaos kakinya sudah dikirim ke mancanegara antara lain ke Italia dan Austria. Sedang di dalam negeri pemasarannya juga sudah meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia, mulai dari wilayah Jawa, Bali, sampai ke daerah Kalimantan dan Sulawesi. Taufik menambahkan, pihaknya tengah mencari perusahaan yang mampu mengolah serat bambu. Namun ia mengakui hal tersebut, tidak mudah karena investasi untuk pengolahan serat bambu tersebut sangat mahal, mencapai trilyunan rupiah,” tutur Taufik menyudahi obrolan.
O
ften participating in the international exhibition, H. Taufiq Rahman, Operation Director of CV Citra Baru Busana, one of the company from Bandung, West Java admits that his products are often fancied by foreign buyers. “With Italian-style products, finally my products have successfully performed in one of the Italian fashion magazine. Although those products have not been directly purchased by foreign buyers from Italy, Belgium, however, Indonesian products have already penetrated to those countries through International trader mediators. Even in the Indoonesia event Trade Expo held in last October, a Japanese buyer ordered leather sandals from Indonesia. They ‘ve sent the required size to meet their needs, “said Taufik, who claims have been three years running his business. His leather shoes products are labelled ‘Parker’. The raw materials of leather are taken from cowhide, Tilapia fish, and also a combination of both. Almost all of his products from the upper, sole, until the outsole and heels are manufactured manually (handmade), so that the products are called ‘handicraft shoes’. The shoes’ products with tilapia leather in particular, has been introduced in this summer. The difficulty to obtaine tilapia leather as raw materials, leading the selling price of these shoes is quite expensive that is around Rp 4 million per pair. In order to produce a pair of shoes from tilapia, it requires 16 pieces of tilapia leather, and the pattern should be adjusted to get the products perfectly produced. The cost of tilapia leather is around USD3/sheet. To meet the buyer’s demand, the shoes are produced up to 46 foot size, while the size for the local market is up to size 44, Taufik added. When being asked why tilapia leather is choosen as raw material, he said that it is not easy to obtain cowhide leather in local market. To produce the tilapia leather shoes, he also collaborates with the tanning leather processor. In general, his products both from cowhide leather and tilapia leather are mostly prioritized to fulfill the domestic market (95 %). The prevailing markets are for a number of middle-upper class segment of department stores such as Centro,
Lotte, Sarinah and Pasaraya. “To produce leather shoes, the leather can be obtained domestically, but for the outer sole it still should be supplied from Brazil. Selling price of the exported shoes varies from $ 30 to $ 80 per pair. Production capacity has reached 1,000 pairs mothly, despite there is a demand from the buyers to increase the production capacity up to 40 thousand pairs per month. I have not been able to meet these demand yet since the shoes are still manufactured by handmade. As far as marketing is concerned, participating in various international exhibitions is an important media for us to promote the products. The problem is that Indonesian can not oftently participate in high level international exhibition events mainly due to preparation problems which needs several years earlier, “ he said. Socks from Bamboo Fiber With its unique rate of absorption compared to cotton due to the fact that bamboo fiber contains natural anti-bacterial and also ultraviolet light protection, since last year Taufik started trying to produce socks made of bamboo fiber. “ The fiber extracted from bamboo is characterized as a very strong, durable, and are also able to ‘breathe’ naturally, so that it can absorb sweat up to 3 even 4 times higher than cotton. The bamboo trees can produce oxygen 35 % higher and absorb carbon dioxide 5 times greater than those of other trees. Moreover, with its fiber structure the bamboo fiber is able to consistently keep the temperature warm, even in the cold weather. Unfortunately the bamboo fiber is still to be imported from the China, because eventhough bamboo trees are widely available in Indonesia, no one has been able to process them into fibers. Until now there is no institution in Indonesia to do research about the use of bamboo fiber as an alternative of raw materials to produce socks. In 2012, the amount of imported bamboo fiber to meet the production demand reached 700 thousand tons. The production capacity of bamboo fiber socks has reached 20 thousand dozen per month. The products have been exported to foreign countries, such as Italy and Austria. In domestic market, it has covered almost all regions of Indonesia, from Java, Bali, to Kalimantan and Sulawesi. He added, he is looking for companies that can be able to process bamboo fiber. But he admits that it is not easy due to high investment required, reaching billions of dollars, “said Taufik end the discussion.
informasi | information » CV. Citra Baru Busana Jl. Sanggar Hurip No.16A Bandung Jawa Barat. E-mail:
[email protected] CP: Bapak H.Taufik Rahman 0811247942
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
45
Made in Indonesia
Mie Lidi
Menghadang Serbuan Produk Impor Facing the Invasion of Imported Products
Produk mie terus digemari masyarakat. Beragam olahan mie pun beredar di pasaran, baik yang berasal dari produk lokal maupun impor. Dengan penduduk yang cukup besar, Indonesia menjadi pangsa pasar yang menggiurkan bagi produsen mie. Noodle products have been widely favored by public. Various processed noodles are sold in the market, both local and imported products. With huge number of population, Indonesia has become a lucrative market for noodles’ manufacturers.
46
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
P
otensi pasar yang besar itu juga dimanfaatkan PT Rusindo Prima Food Industri melalui produk mie nya. Berbagai jenis mie telah dipasarkan perusahaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan komoditas pangan itu. Salah satu produk mie andalan Rusindo adalah mie lidi, yang bisa digunakan sebagai bahan baku pembuatan spaghetti, mie goreng dan sebagainya. Dinamakan mie lidi karena mie yang diproduksi ukurannya kecil seperti batang lidi. “Produk mie lidi kami luncurkan ke pasar karena besarnya permintaan konsumen terhadap mie untuk pembuatan spaghetti dan makanan lainnya yang berbahan baku mie,” ujar Juandy Wijaya, General Marketing PT Rusindo Prima Food Industri. Agar bisa bersaing di pasar, perusahaan menerapkan standar tinggi dalam pembuatan mie lidi. Untuk bahan baku berupa gandum , Rusindo menggunakan gandum dengan standar tersendiri. Gandum tersebut sudah memenuhi persyaratan kesehatan yang diterapkan di dalam negeri dan luar negeri. Bahan baku tersebut diproses menjadi mie lidi secara higienis dengan menggunakan mesin-mesin modern di pabrik perusahaan yang berlokasi di kawasan Medan, Sumatera Utara. “Dalam kegiatan produksi, kami tidak menggunakan bahan pengawet seperti formalin dan
Made in Indonesia
boraks. Mie lidi diproses sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pemerinah,” papar Juandy. Walaupun tanpa bahan pengawet, namun mie lidi dapat disimpan dalan jangka waktu yang cukup lama. Berdasarkan perhitungan Juandy, mie lidi bisa bertahan selama 8 bulan jika produk itu masih dalam kemasan dan disimpan dalam suhu yang normal. Selain itu, cita rasa mie tersebut juga tetap terjaga. “Dengan bahan baku yang terpilih dan proses produk yang ketat, produk mie lidi kami tidak kalah dengan produk serupa yang berasal dari impor,” paparnya. Selain kualitas yang dapat diandalkan, harga jual mie lidi keluaran Rusindo Prima Foods Industri juga jauh lebih murah dari produk serupa yang diimpor. Sebagai contoh, harga mie lidi untuk bahan baku pembuatan spaghetti dengan ukuran 250 gram adalah Rp8.000. Sedangkan produk serupa yang diimpor dari Jepang, harganya Rp25.000 dan dari China Rp12.000. Untuk menjamin produknya halal, perusahaan juga telah mendapatkan sertifikasi produk halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2010. Berbagai keunggulan yang dimiliki mie lidi itu tak terlepas dari pengalaman Rusindo Prima Food Industri yang telah berkecimpung dalam bisnis makanan selama 30 tahun. Mengingat lokasi pabrik berada di kawasan Sumatera Utara, maka fokus utama pemasaran produk mie lidi adalah wilayah Sumatera dan sekitarnya. Namun kini perusahaan juga sudah mulai melebarkan sayapnya dengan memasuki pasar di wilayah Jawa. Since the location of the factory is in the region of North Sumatra, the main priority for marketing the products is in Sumatra and its surrounding areas. But recently the company has begun to expand its market to Java island. Selain dalam negeri, mie lidi juga sudah bersiap diekspor ke mancanegara. Menurut Juandy Wijaya, sejumlah negara telah berencana memesan produk tersebut kepada Rusindo. “Negara-negara seperti India, Korea, Taiwan dan sejumlah negara di Afrika sedang melakukan penjajakan untuk membeli mie lidi,” katanya. Untuk mengantisipasi peningkatan permintaan baik di pasar lokal maupun mancanegara, perusahaan telah menyiapkan infrastruktur dan mesin yang canggih yang memiliki kapasitas produksi sebesar 100 ton per hari.
S
uch huge market potential has been exploited by PT Rusindo Prima Food Industry through its noodle products. Various types of noodles have been marketed by the company to meet the needs of people on this kind of food commodity . One of the famous noodles produced by PT. Rusindo is stick noodles, which can be used as material for foods such as spaghetti, fried noodles and so on. The name of ”stick noodles” is choosen since the noodles which are produced is in small size as the stem stick. “Stick noodles products launched to the market are mainly due to huge consumer demand on noodles to produce spaghetti and other noodels based foods, “as explained by Juandy Wijaya, the General Marketing of PT. Rusindo. In order to successfully compete in the market, the company applies a high standard of stick noodles manufacturing process. For the main raw material that is wheat, it chooses the wheat by using its own standards. The selected wheat, of course, should meet the healthy requirement applied in domestic market as well as internationally. The raw material is hygienically processed into stick noodles by using modern machinery equipments in the factory located in Medan, North Sumatra. “In the production process, we do not use preservatives such as formaldehyde and borax. The stick noodles are processed in accordance with the government provisions, “said Juandy Although without using preservatives, the stick noodles can be stored in a fairly long period of time. According to Juandy, stick noodles could last for 8 months to expire if it is still in packaging and stored in normal temperature. In addition, the noodles taste still remains maintained. “By selected raw materials and strict supervision of production process, our stick noodles products can compete with similar
imported products, “ he said . In addition to reliable quality, selling prices of stick noodles produced by PT. Rusindo Prima Foods is also much cheaper than those of imported products. For example, the price of stick noodles as raw material for making spaghetti with the size of 250 grams is Rp. 8,000, while the price of similar imported products from Japan and China are Rp. 25,000 and Rp.12.000 respectively. To ensure that the products is halal, the company has obtained certification of halal products issued by the Indonesian Ulema Council ( MUI ) in 2010. Various superiorities of stick noodles can not be separated from the experience of PT. Rusindo which has been engaged in the food industry for 30 years . Since the location of the factory is in the region of North Sumatra, the main priority for marketing the products is in Sumatra and its surrounding areas. But recently the company has begun to expand its market to Java island. In addition to domestic market, stick noodles has also been ready to export. According to Juandy Wijaya, a number of countries are going to make order to PT. Rusindo soon. “Countries such as India, Korea, Taiwan and some countries in Africa are conducting assesments to buy our stick noodles, “ he said . To anticipate the increasing demand form both local and foreign markets, the company has set up required infrastructure and sophisticated machineries with the production capacity of 100 tons per day.
informasi | information » PT. Rusindo Prima Food Industri Jl. Pasar 7 Cina No.68 Hamparan Perak - Deliserdang Medan. Sumatera Utara - Indonesia Telp. +62 61 8826538 Fax. +62 61 8821094 email :
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
47
Teknologi
PT. Robo Marine Indonesia
RoboMarine Sudah bukan rahasia lagi kalau Indonesia sangat kaya akan sumberdaya kelautan yang melimpah dan beragam. Namun sayangnya kekayaan bahari Indonesia itu sampai saat ini belum dapat dimanfaat secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat. Bahkan, kekayaan bahari itu sampai kini belum dapat terpetakan dan terinventarisir dengan baik.
S
ebaliknya, banyak pelaku industri kelautan mancanegara yang justru lebih mengetahui dan memahami kondisi bahari Indonesia. Karena itu, tidak mengherankan apabila banyak kekayaan sumberdaya kelautan Indonesia yang dimanfaatkan oleh pelaku industri maritim asing secara illegal. Mereka mampu memanfaatkan kekayaan laut Indonesia karena memiliki modal lebih kuat dan ditunjang dengan peralatan teknologi yang lebih maju. Ketertinggalan penguasaan teknologi menjadi salah satu batu sandungan utama bagi bangsa Indonesia dalam memetakan, meninventarisir dan selanjutnya memanfaatkan kekayaan bahari Indonesia secara lestari dan berkelanjutan. Berangkat dari keprihatinan itu PT Robo Marine Indonesia (RMI) mencoba mengembangkan berbagai peralatan dan perlengkapan untuk kegiatan di permukaan dan bawah laut dengan menggunakan teknologi mutakhir.
48
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
memproduksi ROV dengan kandungan lokal 70%80%. Namun demikian desain dan perancangannya dilakukan sepenuhnya oleh tenaga-tenaga professional putra bangsa.
RMI merupakan perusahaan Indonesia pertama dan satu-satunya yang menspesialisasikan dirinya dalam merancang dan memproduksi robot kendali bawah air yang dalam bahasa teknis dikenal dengan ROV, singkatan dari remotely operated underwater vehicle. ROV adalah robot yang dikendalikan dari permukaan laut untuk melakukan pekerjaan dan pengamatan di bawah laut. RMI kini memasarkan produknya di seluruh kawasan Asia Pasifik. Kompetitor utama PT RMI adalah produsen ROV kelas mini observation dunia, seperti: seabotix rov- http://www.seabotix.com.; videoray rov- http://www.videoray.com,; AC rovhttp://www.ac-cess.com, dan SeaOtter rov- http:// www.jwfishers.com/rov.htm. Perusahaan yang secara resmi baru didirikan pada taun 2013 ini merancang dan membangun ROV berikut peralatan pendukungnya termasuk propulsi, manipulator, dan pengapung bawah air (underwater floatation) sebagai standar atau atas permintaan pelanggan yang diintegrasikan dengan produk-produk perlengkapan bawah laut berkualitas tinggi. Perusahaan juga menyediakan jasa pemeliharaan (maintenance) atas produk buatannya. Nico Prayogo, Kepala Divisi Rekayasa Mekanika RMI mengatakan saat ini perusahaannya mampu
Selain itu, tambah Nico, perusahaan juga menyediakan jasa survey atau eksplorasi bawah laut untuk berbagai aplikasi seperti inspeksi video dan foto; bantuan penyelaman dan observasi; inspeksi jaringan kabel bawah laut; inspeksi jaringan pipa interior dan eksterior; operasi pencarian, penyelamatan dan pemulihan; inspeksi dan dan terowongan; kajian pengendalian kerusakan; pengambilan gambar video beresolusi tinggi; pengambilan sample, dan monitoring peralatan anjungan dll. Dalam melayani para pelanggannya PT RMI melibatkan para professional anak bangsa berkualifikasi tinggi dan menggunakan peralatan dengan teknologi termutakhir. ROV juga mampu membuat tayangan video berkualitas tinggi, pengambilan foto dengan definisi tinggi, dan mengkompilasi laporan secara rinci. Semua layanan tersebut sangat berguna untuk kegiatankegiatan seperti pengelolaan asset, benchmarking, pengembangan sistem pemeliharaan dan untuk tujuan riset ilmiah. Salah satu produk ROV buatan PT RMI adalah MINI ROV. Beberapa keunggulan MINI ROV dibandingkan dengan penyelam komersial diantaranya dapat mengeliminasi resiko gangguan kesehatan manusia; mampu menghasilkan rekaman video visual berkualitas tinggi; prosesnya lebih cepat dan murah; memungkinkan akses
terhadap lokasi di bawah air yang sulit dijangkau termasuk jaringan pipa dan tangki air; memiliki kemampuan untuk turun dan naik berkali-kali ke kedalaman yang ekstrim dengan kisaran suhu yang lebar dimana manusia akan sulit bertahan hidup. RMI-MINI ROV adalah ROV kelas observasi mini memiliki keunggulan berupa ukuran dan bobotnya yang kompak. Dengan bobot hanya 15 kg, ROV ini merupakan pengganti yang sempurna untuk melaksanakan tugas-tugas seorang penyelam. Dengan kemampuan operasi sampai kedalaman 100 meter, ROV ini mampu melakukan kegiatan observasi di bawah air dengan mudah. Dua orang personil dapat mengoperasikan sistem ROVsecara lengkap dengan menggunakan perahu kecil. MINI ROV dirancang untuk memenuhi kebutuhan yang sangat beragam di berbagai bidang seperti akuakultur; riset ilmiah; pemeliharaan pelabuhan; minyak dan gas; pemasangan pipa dan pengolahan air; serta penyelaman komersial. Dikembangkan pada tahun 2009, MINI ROV dirancang untuk kegiatan operasi sampai dengan kedalaman 100 meter di bawah air dengan tenaga 1.5 HP dan dilengkapi dengan serangkaian sensor termasuk kompas dan sensor kedalaman. MINI ROV dapat dipasangkan dengan perlengkapan tambahan lainnya seperti manipulator pencengkram, scanning sonar, dan system pengendali posisi jika dibutuhkan. Produk PT RMI lainnya adalah Shrimp ROV. Produk ini pertama kali dikembangkan pada tahun 2006. RMI-ROV “Shrimp dirancang untuk beroperasi di kedalaman 300 meter di bawah permukaan laut dengan tenaga 4 HP. ROV ini khusus dirancang untuk membawa lambung yang dapat ditempelkan di ROV untuk muatan seperti scan sonar dan peralatan survey untuk mengetahui profil dasar laut dan pemetaan kontur laut. Dalam versi militer RMI ROV “Shrimp” dapat memainkan peran sebagai penyapu ranjau laut dimana lambung pembawa muatan dapat diisi dengan bahan peledak yang akan dilepaskan ketika ROV mendekati obyek yang terdeteksi sebagai ranjau laut. Dengan jumlah karyawan sebanyak 20 personil (7 orang senior engineer, 5 orang junior engineer dan 8 orang technician) RMI mampu memproduksi dua unit MINI ROV per tahun, satu unit Shrimp ROV per tahun dan 10 unit thruster per tahun.
There is no secret that Indonesia possesses a diverse and abundant marine resources. Unfortunately, these resources have not been optimally utilized for the welfare of the society. Even until now they have not been well mapped and inventoried yet .
O
n the contrary many foreign marine industry players have precisely known and understood the Indonesian marine resources. Therefore it is not surprising that some of them have been exploited by foreign maritime business players illegally. They have been able to take advantage of those resources since they have a strong capital and are equipped by more advanced technology. The retardation of technological mastery to be one of the main stumbling stone for Indonesia in mapping, inventoring, and then continuously exploit the marine resources for the wealth of the society while preserving the sustainability of those resources. Due to this concern, PT Robo Marine Indonesia (RMI) has attempted to develop a range of tools and equipments for the activities both on the water surface and under by utilizing cuttingedge technology. RMI is the first Indonesian company and the only one specializing itself in designing and manufacturing underwater controlled-robot, in which technically called as ROV, which stands for Remotely Operated Underwater Vehicle. ROV is a robot controlled from the survace of sea to do the works or observations under the sea. Today RMI markets its products throughout the Asia Pacific region. The main competitors of PT RMI is the world producers of ROV for mini observation class, such as: seabotix rov-http:// www.seabotix.com, videoray rov-http://www. videoray.com, Acrov-http://www.access.com, and SeaOtter rov- http://www.jwfishers.com/rov.htm. The company officially established in 2013 is to design and build ROV including its support equipments such as propulsion, manipulators, and underwater float as a standard product or at the request of customers, which are integrated with products of high quality subsea equipments. The company also provides maintenance services of its products . Nico Prayogo, Chief Division of Mechanical Engineering of RMI said that the company is able to produce the ROV with a local content up to 70% -80 %. Moreover, the designing process is fully carried out by the domestic experts. In addition, added Nico, the company also provides surveying and underwater exploration services for a variety of applications such as video and photo inspection, diving and observation supports, submarine cable networks inspection, interior and exterior pipelines networks inspection, searching operations, rescue and recovery, tunnell inspection, damage control assessments, capturing the high-resolution video images, sample collecting, and platforms’ equipment monitoring, etc . In serving the customers PT RMI employs highly qualified domestic professionals and using cutting-edge technology. ROV is also able to manufacture high-quality video, taking photos with
Teknologi high resolution, and compiling the report in detail. All of these services are very useful for activities such as asset management, benchmarking, system development and maintenance, and others for the purpose of scientific researches. One of the product manufactured by PT RMI is MINI ROV. Several superiorities of RMI compared to commercial divers equipments is, for example, that it can eliminate the risk of human health disorders, is able to produce high quality video visual recorder, is able to process faster and cheaper, allows the access to the location below inaccessible water including water pipelines and tanks, has the ability to down and up many times to the extreme depth with a wide temperature range in which humans will be difficult to survive. RMI – MINI ROV is ROV in mini observation class having the advantage of compact size and weight. With a weight of only 15 kg, the ROV is a perfect substitute to carry out the duties of a diver. With the operation capability to the depths of 100 meters below sea level, the ROV is easily capable to conduct observation activities under the water. Two personnels can operate the ROVsystem completely with a small boat. MINI ROV is designed to meet the various needs in many fields such as aquaculture, scientific research, harbor maintenance, oil and gas, plumbing and water treatment, as well as commercial diving. Developed in 2009, MINI ROV is designed for operation up to the depth of 100 meters with the power 1.5 HP and equipped by a set of sensors including compasses and depth sensors. MINI ROV can be installed with any other additional equipments such as brake manipulators, sonar scanning, and position control system if necessary. Another product of PT. RMI is Shrimp ROV. The product was first developed in 2006. RMI ROV “ Shrimp is designed to operate at the depth of 300 meters below sea level with power about 4 HP. ROV is specifically designed to carry the hull which can be attached at the ROV to bring such as scan sonar and survey equipments to determine the seabed profile and contour mapping. In military version, RMI ROV “ Shrimp “ can play the role as ocean minesweepers where the hull charge carriers can be filled with explosives materials that will be released when the ROV approaching the detected objects as ocean minesweepers. By employing 20 workers (7 senior engineers, 5 engineers and 8 junior technician) RMI is able to manufacture two units of MINI ROV per year, one unit Shrimp ROV per year and 10 units thruster per year.
informasi | information » PT. Robo Marine Indonesia Jl . No. 1 Bukit Dago Utara 1 No. 9 , Bandung, West Java, Tel . 022-2503775 website : www.robomarine.com
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
49
Teknologi
Helm dan Rompi Tahan Peluru SWP Merambah Pasar Internasional Bullet-proof of Helmets and Vests of SWP penetrate International Market. Produk pertahanan dan keamanan Indonesia sudah mampu bersaing dengan produk internasional. Hal ini dapat dibuktikan pada produk helm dan rompi tahan peluru yang hasilkan PT Saba Wijaya Persada (SWP). The Indonesia defense and security products have been able to compete with international products. This can be evidenced by helmets and vests, the bullet-proof products manufactured by PT. Saba Wijaya Persada (SWP).
W
alaupun baru mulai diproduksi tahun 2010, helm dan rompi tahan peluru SWP yang dipasarkan dengan merek J-Forces, sudah mampu menembus pasar internasional. “Helm dan rompi kami sudah menembus pasar internasional, di antaranya adalah Malaysia,” ujar Iwan Setiawan, staf administrasi PT SWP. Pangsa pasar internasional juga berpeluang bertambah lagi karena beberapa negara lainnya, seperti Irak, Libya sudah menyatakan minatnya terhadap produk alutsista tersebut. Sedangkan di dalam negeri, produk SWP ini telah dipakai pihak Angkatan Darat, Angkatan Udara dan Angkatan Laut. Kepercayaan internasional terhadap helm dan rompi tahan peluru buatan SWP tak terlepas dari kualitas produk itu sendiri. Menurut Iwan, helm dan rompi tahan peluru itu diproduksi berdasarkan rekomendasi dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan telah diuji oleh Litbang TNI Angkatan Darat dan kepolisian. Helm dan rompi tahan peluru J-Forces juga telah memenuhi standar senjata internasional, termasuk standar senjata Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Adapun rompi tahan peluru bagian depan dan belakang yang diproduksi SWP saat ini terdiri atas dua jenis, yakni rompi level 3 dan rompi level 4. Rompi level 3 bisa tahan terhadap peluru yang ditembakkan oleh senjata api dengan kaliber 9 mm dari jarak 5 meter. Rompi jenis ini memiliki bobot sekitar 2 kg hingga 3 kg. Sementara untuk jenis rompi level 4, keunggulan yang dimiliki adalah tahan terhadap peluru kaliber 7,62 mm yang ditembakkan dari jarak sejauh 25 meter. Rompi jenis ini memiliki bobot 7,5 kg. Sedangkan untuk helm, produk yang dikeluarkan
50
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
ke pasar ada dua jenis, yakni model PASGT (Personal Armor System for Ground Troop) yang merupakan helm standar kebanyakan militer internasional seperti Eropa, Amerika, Asia dan TNI saat ini. Helm ini ditujukan untuk tentara yang ada di medan pertempuran. Sedangkan jenis helm kedua adalah helm MICH (Modular Integrated Communication Helmet). Jenis helm ini banyak digunakan oleh pasukan khusus di dunia. Kedua jenis helm ini memiliki bobot antara 1,2 kg hingga 1,5 kg. Untuk membuat helm dan rompi tahan peluru dengan kualitas tinggi, SWP menggunakan bahan baku terbaik serta diproduksi dengan mesin-mesin serta peralatan modern. Kami menjaga kualitas dengan menerapkan proses produksi yang ketat dan sesuai standar,” kata Iwan Setiawan. Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan rompi tahan peluru adalah DuPont atau Teijin Aramid. Bahan utama ini dilapisi oleh bahan cardura atau polyester anti air. Sementara untuk produk level IV, ada tambahan bahan lain berupa ceramic plate. Sedangkan untuk helm, bahan utama yang dipakai adalah Aramid, yang dimasukkan dalam wadah khusus dan dicetak melalui pemanasan dengan suhu tertentu. Dalam melakukan kegiatan produksi, PT SWP tetap mengutamakan bahan baku dari dalam negeri. Hingga saat ini kandungan lokal dari produk helm dan rompi tahan peluru J-Forces telah mencapai 27,5 persen. Adapun bahan baku yang diimpor adalah bahan yang belum bisa diproduksi di dalam negeri. “Kami berusaha mendapatkan bahan baku dari dalam negeri, karena itu TKDN dari produk helm dan rompi tahan peluru ini akan terus ditingkatkan,” ujar Iwan Setiawan.
Teknologi
A
lthough just started to be produced in 2010, the bullet-proof vests and helmets products of SWP which are marketed under the brand name of J – Forces have been able penetrating international market.
The bullet-proof vests, both front side and back side manufactured by SWP currently consists of two types, namely vest level 3 and level 4.
“Our helmets and vests have successfully penetrated the international market, including Malaysia, “ said Iwan Setiawan, administrative staff of PT SWP. Its international market share is also likely to increase since some other countries, such as Iraq and Libya has expressed their interest to this defense equipment products.
As for the type of vest level 4, its advantage is that it is resistant to 7.62 mm caliber bullet fired from a distance of 25 meters. This type of vest weighs 7.5 kg.
While in home country, the products of SWP Army have been utilized by Air Force and Navy. International credit toward bullet-proof helmets and vests of SWP can not be separated from the quality of the products itself. According to Iwan, bullet-proof helmets and vests have been manufactured on the recommendation of the Ministry of Defence and have been tested by the R&D of Army and police. Bullet proof helmets and vests of J - Forces have also met the standards of international weapons, including the weapon standar of the North Atlantic Organization (NATO ).
Level 3 vest can withstand a bullet fired by a firearm with a caliber 9 mm from a distance of 5 meters. This type of vest weighs about 2 kg to 3 kg.
While for the helmets, the products released to the market consist of two types. The first model is PASGT (Personal Armor System for Ground Troop) that is standard helmets of most international military such as Europe, America, Asia and the national army today. These helmets are intended for soldiers in the battlefield. The second model is MICH (Modular Integrated Communications Helmet). This type of helmet is often used by special forces in the world. Both types of helmet weigh between 1.2 kg to 1.5 kg.
implementing strict production process and the corresponding standards,“ said Iwan Setiawan. The main material used in producing bulletproof vest is DuPont or Teijin Aramid. This main material is coated by cardura material or waterproof polyester. Meanwhile for the product of vest level IV, there is additional material called ceramic plate. Whereas for the helmet, the main material used is Aramid, which is included in a special container and molded by heating it to a certain temperature. In carrying out production activities, PT SWP has given the priority to domestic raw materials. Today, local content of bullet-proof helmets and vests of J-Forces has reached 27.5 percent. As for the imported raw materials are those that can not be supplied domestically. “ We have been trying to obtain raw materials from local market, so that the local content of our products will continue to increase,“ said Iwan Setiawan.
To make the high quality bullet-proof helmet and vest, SWP has used the best raw materials and manufactured by using modern machineries and equipments. “We maintain the product quality by
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
51
opini
Putri K. Wardani
“BERSAMA AMIN, MEREK ASLI INDONESIA MENJADI TUAN RUMAH DI NEGARA SENDIRI” ‘Dan Menjadi Tamu Terhormat di Negeri Orang’
A
sosiasi Merek Indonesia (AMIN) merupakan asosiasi baru yang didirikan di Jakarta, Mei 2011. Seperti dituturkan Putri K. Wardani, Ketua Umum AMIN saat berkisah kepada Majalah KINA beberapa waktu yang lalu, mengapa asosiasi ini didirikan terutama sebagai dampak diberlakukannya perdagangan bebas ASEAN, yang mengakibatkan arus barang impor masuk demikian deras, sehingga para para pelaku industri nasional yang merupakan pemilik merek asli Indonesia, merasa khawatir. Untuk itu mereka perlu bersatu, saling berbagi informasi, guna memperkuat posisi merek masingmasing, berbagi pengalaman mengenai hambatanhambatan usaha, serta berjuang bersama pemerintah agar dapat memberi peluang (privilege) khusus yang diperlukan bagi upaya memajukan merek-merek asli Indonesia. “Siapa saja yang memiliki merek Indonesia (nama boleh berbau asing, sepanjang merek Indonesia) dalam berbagai skala usaha baik kecil, sedang, dan besar, dapat bergabung dalam keanggotaan AMIN. Selain itu syarat lainnya dalam asosiasi ini adalah kepemilikan sahamnya mayoritas dimiliki perusahaan lokal dan ada hasil produksinya, papar Putri yang saat ini juga menjabat Ketua Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetika Indonesia. Saat ini anggota AMIN sudah mencapai lebih dari 50 merek dan peminatnya terus bertambah, karena banyak pemilik merek yang memiliki visi dan menghadapi masalah yang relatif sama. AMIN didirikan dengan visi menjadikan merek-merek asli Indonesia sebagai “Tuan Rumah Di Negara Sendiri dan Menjadi Tamu Terhormat Di Negeri Orang. Misinya adalah menjadikan organisasi ini sebagai wadah untuk bertukar pikiran antar pelaku usaha mengenai peluang dan hambatan, serta mengasah diri, dan meningkatkan kemampuan untuk berjuang bersama. Selain itu kepada pemerintah, asosiasi memandang perlu mengusulkan, rancangan kebijakan yang dapat mendorong eksistensi pemilik merek lokal, agar dapat lebih maju, bertahan dan bahkan berkembang di era globalisasi. Itu sebabnya
52
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
organisasi ini juga kerap dijadikan rujukan baik oleh KADIN Indonesia, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), ataupun instansi pemerintah, guna memperoleh masukan atau informasi yang berkaitan dengan masalah yang dialami para pelaku atau pemegang merek lokal (asli Indonesia). Beberapa merek yang saat ini telah menjadi anggota AMIN antara lain Mustika Ratu, Garuda Food, Denpoo, Maspion, Cosmos, Bogasari, Indofood, Maya Brand, Propan Raya, Contempo, Alleira, Hammer, Ikat Indonesia, Sido Muncul, Zyrex, Kibiff, Yongki Komaladi,” ujarnya. Dengan memperjuangkan AMIN, upaya Putri tidak sia-sia. Tahun yang lalu, di kantor Kementerian Pendidikan Nasional, dirinya menerima penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI), sebagai penggagas asosiasi yang memperjuangkan eksistensi merek Indonesia di pasar global. Karena itu dirinya menekankan, salah satu upaya menjadikan merek Indonesia mampu menembus pasar global adalah mensyaratkan, merek tersebut sudah beredar minimal di 20 negara, dan juga dikenal luas baik oleh para pengguna ataupun bukan pengguna produk tersebut. Putri beranggapan, Indonesia adalah negara yang produk-produknya memiliki potensi sangat tinggi menembus jaringan pasar global, jelas Presiden Direktur PT Mustika Ratu Tbk. ini. Perlu Dukungan Terhadap Merek Lokal Tidak mudah bagi seorang Putri, memperjuangkan produk dalam negeri atau bermerek asli Indonesia, mempertahankan eksistensinya di tengah arus globalisasi, di mana pasar lokal diserbu oleh masuknya produk-produk impor dan merek internasional. Bahkan banyak usaha ritel yang mencoba untuk memaksimalkan keuntungannya, akhirnya ‘terpaksa’ memberi tempat paling strategis kepada produsen yang mampu membayar sewa ruang dengan tingkat harga paling tinggi. Hal inilah yang akhirnya menyisakan peluang lebih kecil bagi para pemilik merek lokal, tukasnya. “Itu sebabnya salah satu perjuangan AMIN adalah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) meminta direvisinya Permendag No. 53 tahun 2008 yang menitikberatkan pada diwajibkannya
pusat belanja untuk menyediakan ruang usaha (space availability), kendati tidak seluruhnya adalah merek lokal, sehingga pelaku usaha dapat memasarkan produk dalam negeri, minimal 80% pada setiap lantai dari keseluruhan ruang usaha yang diperdagangkan. Di situ juga disebutkan toko modern wajib memasarkan produk dalam negeri paling sedikit 80% dari jumlah dan jenis barang yang diperdagangkan, serta penetapan batas maksimal trading term 15% dari keseluruhan biaya. Diharapkan kebijakan ini akan mampu meningkatkan daya saing produk-produk Indonesia, serta memberi dampak positif bagi puluhan ribu pelaku usaha dalam negeri. Di negara tetangga, pemerintahnya melakukan usaha ekstra untuk memajukan merek-merek lokal yang potensial ataupun terhadap merek lokal yang sudah menjadi ikon nasional. Seperti di Singapura, pemerintahnya membayari biaya konsultan brand, untuk sejumlah merek yang dinilai menjadi kampiun (pemenang) nasional. Sementara di Malaysia para kampiun merek-merek lokal disubsidi biaya promosinya, termasuk dalam hal pemasangan iklan produk mereka. Sementara di Australia, semua ritel modern seperti departemen store, hypermarket, supermarket sampai minimarket, diharuskan secara mayoritas mengusung produk-produk lokal dan merek dalam negerinya. Sehingga kendati mereka mengikuti aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), di mana keterbukaan terhadap merek-merek asing untuk masuk ke negaranya tetap diikuti, tetapi merek-merek asing tersebut mau tidak mau harus menyewa gerai dengan trade mark nya sendiri secara stand alone (berdiri sendiri), kalau mereka mau menjual produk-produk mereka. Langkah ini dinilai sebagai strategi yang cerdas, karena pemegang merek asing harus mengeluarkan biaya operasional cukup besar, sehingga mau tidak mau mereka perlu mengadakan kalkulasi biaya harga atas produk yang dijualnya. Pada akhirnya yang dilakukan pemerintah di negara lain tersebut, adalah secara tidak langsung memberi peluang merekmerek lokal memiliki daya saing di dalam harga, dan juga kesempatan memamerkan produknya secara lebih leluasa.
opini ‘Banyak masalah besar yang dihadapi para produsen lokal apabila berhadapan langsung, misalnya dengan produk China, misalnya dalam masalah harga. Hal ini tidak terlepas banyak hal di luar kemampuan para produsen yang situasinya membedakan antara pelaku industri kita, dengan para pelaku industri di China. Pertama, dalam hal suku bunga di Indonesia sekitar 12%, di China antara 1 – 2%. Kedua, banyak fasilitas yang diberikan pemerintah seperti penggunaan secara gratis untuk waktu yang cukup panjang, termasuk penggunaan lokasi pabrik bebas sewa. Di negara tersebut juga ada fasilitas pembebasan pajak, bahkan kemudahan infrastruktur dan transportasi barang yang menjadikan biaya memindahkan barang dari China, relatif lebih murah dibanding memindahkan barang antar pulau di Indonesia. Menyadari kelemahan-kelemahan yang masih dimiliki terkait kebijakan negara, maka anggota AMIN berupaya mengimbangi “incompetitivness” kita dari segi harga, dengan upaya memperkuat merek (branding), dan berupaya memberi nilai tambah pada produk-produk merek lokal. Apalagi masih tersisa waktu satu tahun lagi jelang tahun 2015 menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN, sehingga diharapkan pemerintah lebih pro aktif memberi dukungan kepada pemegang merek lokal, seperti yang dilakukan oleh pemerintah Singapura, Malaysia, dan Australia.
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
53
opini
Indonesian Brand Association (AMIN) is a new association established in Jakarta , on May 2011. As explained by Putri K. Wardani, The Chairman of AMIN told to Kina magazine, the reason of why the association was established, is primarily as a result of the implementation of the ASEAN free trade, resulting the flow of imported goods will freely flood into domestic market, so that the national industry players who owning the original Indonesian brand feel worried.
Putri K. Wardani “WITH AMIN, ORIGINAL INDONESIAN BRANDS BECOME A HOST IN THE HOME COUNTRY“ ‘Be The Distinguished Guest in Foreign Countries‘
54
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
opini
T
herefore they need to be together, sharing information to strengthen their own brand position, sharing experiences on business constraints, and also fighting together with the government to gain an opportunity (privilege) particularly to develop original Indonesian brands efforts. “ Anyone owning Indonesian brand (name might be the nuances of foreign, but really the Indonesian brand ) in a variety of business scales, either small, medium , or large scale, can join into AMIN membership. In addition, another required condition is that the majority shares should be owned by domestic shareholders and has its own products, explained Putri who is currently also the Chairman of Company Association and Indonesian Cosmetics Association. Currently the members of AMIN have reached more than 50 brands and could be increase since most of brand owners have a similar visions and facing relatively similar problems. AMIN is established with the vision of making original Indonesian brands to be “The host in the home country and to be distinguished guest in foreign countries”. The mission is to make this organization as a forum to exchange ideas among business players about the opportunities and obstacles, as well as self- sharpening, and improving the ability to struggle together. For the government, the association considers to propose draft policies that could encourage the existence of a local brand owners to be more advanced, to survive and even grow in the era of globalization. That is why this organization is often used as a reference by Indonesian Chamber of Commerce, the Indonesian Employers Association ( Apindo ), or government agencies, to gather input or information related to the problems experienced by business players or the owner of a local brand (Indonesian genuine). Today, some brands that have become a member of AMIN are, among others Mustika Ratu, Garuda Food, Denpoo, Maspion, Cosmos, Bogasari, Indofood, Maya Brand, Propan Raya, Contempo, Alleira, Hammer, Ikat Indonesia, Sido Appears, Zyrex, Kibiff, Yong Komaladi, “ she said . By struggling for AMIN, the efforts of Putri is not in vain. Last years, in the office of The Ministry of National Education, she received an award from the Indonesian Record Museum (MURI) as association’s innitiator who struggling for the existence of Indonesian brand in the global market. Therefore, she stressed one condition to make Indonesian brand successfully competing in global market i.e. the brand has already distributed in at least 20 countries, and also been well known by both users or non-users of the product. She assumes, that Indonesia is a country whose its products have a very high potential to penetrate the global market network, explained by Putri, the President Director of PT Mustika Ratu Tbk.
Need Support for Local Brands It’s hard for Putri to fight for Indonesian original brand, to maintain their existence in the midst of globalization, where domestic market is invaded by imported products and international brands. Even, many retailers trying to maximize their profits, finally are forced to give the most strategic space to producers who are able to pay the rent space at the highest price level. This ultimately leaves less opportunity for local brand owners, she said. “ Therefore, one of AMIN efforts is by asking the Ministry of Trade (Kemendag) to revise the Decree No.53 of 2008 to obligate the owner of shopping center to allocate business space (space availability), although not all are for local brands, so that business payers can sell domestic products, at least 80 % on every floor of the entire business space traded. There will be also mandatory that a modern shop is required to market domestic products at least 80 % of the number and types of goods traded, and the imposition of the maximum limit of trading term at 15 % from overall costs. A such policy is expected to be able to uplift the competitiveness of Indonesian products, as well as giving a positive impact on tens of thousands of local business players. In neighboring countries, the government makes an extra effort to promote potential local brands or the local brand that has become a national icon. As in Singapore, the government is pays for the cost of a brand consultant, for a number of brands considered to be the champion (winner) nationwide. While in Malaysia the champion of local brands are subsidized cost of the promotion, including in advertising their products. While in Australia, all modern retail like department stores, hypermarkets, supermarkets until minimarket, majority are required to promote local products and brands in the country. So even though they
follow the rules of the World Trade Organization ( WTO), in which openness to foreign brands to enter the country still to be followed , but the foreign brands will inevitably have to rent a stand alone outlets with its own trade mark if they want to sell their products . This step is considered as a smart strategy, since the holder of foreign brands have to spend a quite large operating costs, so inevitably they need to calculate the cost of the products they sell. At the end, the government of other countries has indirectly provide local brands an opportunity to have competitive in price , and also a chance to show off their products more freely. There are many problems faced by local producers when confronted directly with foreign product , for example with China in term of price. It happens because there are many problems beyond the control of domestic producers in which the business environment faced by Indonesian business players is less favorable compared to that faced by China business players. First, in terms of interest rate in Indonesia is around 12 %, in China between 1-2 %. Second, many facilities are provided by the government such as the use of facilities for quite a long time with free of charge, including rent-free use of the plant site. In China there is also a tax exemption , even the ease of transport infrastructure and the cost of moving goods from China, relatively cheaper than moving goods between islands in Indonesia . Recognizing the weaknesses that still exist related to the state policy, then the members of AMIN attempt to compensate the “incompetitivness of price”, by strengthening the brand (branding) and seeks to provide value added of the local brands, moreover, the remaining one year towards ASEAN Economic Community 2015, the government is expected to be more proactive in supporting local brands, as that is carried out by the government of Singapore, Malaysia, and Australia. Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
55
Apa & Siapa
Alim Markus
Visi Maspion Sejalan dengan Program P3DN “Cintailah produk-produk Indonesia”. Slogan itu sepertinya tak asing di telinga pemirsa televisi. Ya, slogan itu dipopulerkan oleh Presiden Direktur Maspion Group Alim Markus dengan ucapan cadel dan logat khasnya.
56
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
M
elalui iklan produk Maspion tersebut, Alim Markus mengajak seluruh masyarakat untuk mencintai dan menggunakan produk-produk lokal. Bahkan dengan komitmennya itu, ia mendapat penghargaan dari pemerintah tahun 2012, yaitu Tanda Kehormatan Satyalancana Pembangunan dalam rangka peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke-67 di Jakarta. Penghargaan tersebut diberikan kepada pria kelahiran Surabaya, 24 September 1951 ini karena dianggap berjasa dalam membangun perekonomian nasional melalui produk berkualitas yang dihasilkan
dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, sekaligus menggerakkan masyarakat untuk menggunakan produk nasional. Alim Markus merasa bangga lantaran berbagai produknya telah dikenal masyarakat luas sebagai produk bangsa sendiri (nasional). “Sebagian besar ibu rumah tangga pasti pernah bersentuhan dengan produk Maspion. Apakah itu panci teflon, termos plastik, kulkas, kompor gas, pompa air, kipas angin, kulkas, AC, tempat tidur, aluminium foil, lampu neon, pompa air dan segala macam,” kata Alim Markus saat ditemui di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, awal Juli lalu.
Apa & Siapa Menurut Alim Markus, sebagian besar perusahaannya telah menggunakan komponen maupun bahan baku dalam negeri. Begitu pula, mayoritas pemasarannya dilempar ke pasar domestik. Alim Markus mengatakan, ada makna dan cerita khas di balik nama Maspion, yaitu M: mengajak, A: anda, S: selalu, P: percaya, I: industri, O: olahan, dan N: nasional. “Pernah ada orang Amerika tanya ke saya. ‘What is Maspion Mr Alim Markus?’ Saya jawab, ‘Maspion is master champion’,” katanya seraya tertawa. Menurut dia, agar sebuah produk dikenal dan dibeli konsumen maka produk tersebut harus berkualitas, memiliki desain yang bagus, dan harga bersaing. Kampanyenya tentang visi Maspion tersebut mendapat respons serius dari pemerintah. Hal itu sejalan dengan program Kementerian Perindustrian, yaitu Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN). Program tersebut merupakan upaya Pemerintah untuk mendorong masyarakat agar lebih menggunakan produk dalam negeri dibandingkan produk impor. Selain itu, target P3DN dalam setiap belanja pemerintah, BUMN, BUMD, maupun Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga dapat dijalankan dengan maksimal. Pasalnya, sejumlah negara di Asia sudah lama menanamkan kecintaan masyarakat dan industrinya untuk menggunakan produk sendiri. Seperti di Jepang, sejak mulai kembali membangun industri pascaPerang Dunia ke II mereka sudah mempunyai aturan untuk menggiring masyarakatnya menggunakan produk dalam negeri. Begitu pula di Korea Selatan, sudah mengarahkan masyarakatnya untuk bangga menggunakan produk seperti Samsung, Hyundai, dan LG. Kesadaran seperti ini bukan sekadar persoalan bagaimana produk-produk yang dihasilkan bisa terserap pasar. Lebih jauh mereka sudah sadar bahwa nasionalisme dibutuhkan untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya industri nasional mereka agar bisa bersaing di dunia internasional. Untuk itu, menurut Alim Markus, pemerintah berkewajiban melindungi industri dalam negeri dengan mengoptimalkan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk-produk yang dipasarkan di Indonesia. Terlebih lagi untuk menyikapi ancaman produk China ke tanah air yang makin marak. “Produk-produk China itukan dikenal murah. Jadi selain mengoptimalkan penggunaan label SNI, pemerintah harus melakukan pembinaan dan kebijakan-kebijakan tertentu agar produk industri dalam negeri yang dihasilkan berkualitas dan juga harganya bersaing,” tegasnya. Ditambahkan Alim Markus, pemerintah selayaknya segera mungkin membuat kebijakan penunjang SNI berupa keringanan pajak atau distribusi yang memberatkan produsen dan mempermudah pemberian pinjaman kepada pengusaha lokal. “Bila kualitas dan harga dari produk dalam negeri lebih baik daripada produk luar, minimal sama, maka serbuan produk-produk China tersebut tidak dapat mempengaruhi industri lokal,” katanya.
Putra tertua dari Alim Husein, pemilik dan pendiri perusahaan Maspion ini juga menyampaikan, Maspion Group saat ini berusaha untuk menghindari kenaikan harga produk akibat beban produksi yang terus melonjak tinggi. Sejak awal 2013, perusahaan yang berbasis di Surabaya ini harus menanggung kenaikan biaya produksi yang mencapai 4%. Namun demikian, perusahaan lebih memilih strategi untuk meningkatkan produksi dibanding dengan menaikkan harga jual produk. “Kami mengandalkan kuantitas produk yang lebih banyak sehingga beban biaya bisa turun,” tegasnya. Seperti yang terjadi pada industri lain, kenaikan biaya produksi Maspion pun masih disumbang oleh peningkatan upah pekerja dan kenaikan tarif listrik. Menurut Alim Markus, kenaikan biaya produksi tertinggi dialami untuk produksi glassware, seperti gelas, piring, atau mangkok. Pasalnya, kebutuhan energi untuk produk ini juga terbilang tinggi. Sayangnya, Alim tidak merinci kenaikan beban produksi dari produk rumah tangga ini. Untuk memompa kapasitas produksi, salah satu opsi yang dipilih Maspion adalah menambah jam kerja. Sedangkan kebutuhan bahan baku yang meningkat pun tidak membuat khawatir Maspion. Misalnya, untuk kebutuhan aluminium, meski harga aluminium di pasar global fluktuatif, harga saat ini cenderung menurun. Ekspansi Maspion Group Setiap tahunnya, Maspion Grup membutuhkan pasokan 200 ribu ton alumunium. Besarnya kebutuhan alumunium tersebut, membuat Maspion berminat untuk membangun smelter pengolahan bauksit menjadi alumina. Selanjutnya, Maspion juga berniat untuk membangun pabrik pemrosesan alumina menjadi aluminium ingot. “Kami kan industriawan. Saya melihat ada kesempatan di hilirisasi industri, yakni di pengolahan bauksit menjadi alumina. Dan kalau bisa, ditingkatkan lagi menjadi aluminium ingot,” tutur Alim Markus. Dia mengungkapkan, industri hilir banyak memanfaatkan aluminium karena sifatnya yang lebih ringan, tetapi memiliki daya tahan sekeras baja. Aluminium juga mudah dibentuk menjadi berbagai jenis peralatan dan memiliki sifat anti korosi. Maspion Grup, kata dia, telah memiliki lahan di kawasan industri di Gresik, lengkap dengan pelabuhannya. Sementara untuk sumber energi pembangkit listriknya, bisa memanfaatkan batubara kalori rendah di bawah 5500 kalori yang diproduksi di
dalam negeri. “Batubara berkalori rendah sudah tidak bisa lagi diekspor ke Tiongkok. Jadi, harus dipakai di dalam negeri, sehingga bisa menjadi sumber energi pembangkit listrik,” kata Alim Markus. Di sisi lain, menurut Alim Markus, pihaknya berencana membangun pabrik peralatan elektronik rumah tangga di Kendal, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi di Kendal tersebut, menyusul tingginya perbedaan upah minimum regional (UMR) antara Jawa Timur dan Jawa Tengah. Perbedaan UMR di wilayah Jawa Tengah dengan Jawa Timur, kata dia, mencapai 70%. Saat ini, Maspion Grup telah memiliki fasilitas produksi di Sidoarjo dan Gresik, Jawa Timur. “Saya mau ekspansi ke Kendal, membangun pabrik Maspion di sana. Rencananya, dalam 4-5 tahun ke depan, pabrik itu akan menyerap hingga 10 ribu tenaga kerja. Nantinya, pabrik itu akan memasok pasar di Jawa Tengah, Jakarta, dan Jawa Barat. Kalau untuk pasar Jawa Timur akan dipasok dari pabrik yang di Jawa Timur,” kata Alim Markus. Terkait kapasitas produksi, dia tidak menyebutkan angka spesifik. “Nanti, di sana barang yang diproduksi bermacam-macam. Ada kipas angin, setrika, panci, banyak sekali. Ada yang berbahan teflon, aluminium, dan plastik. Produksinya banyak,” ujarnya. Saat ini, Maspion memproduksi sekitar 6 juta unit kipas angin dan 15 juta unit setrika per tahun. Untuk menjadi perusahaan yang besar, Alim Markus menyatakan, ada lima hal penting yang menjadi etika kerja yang selalu dijunjung tinggi seluruh karyawan Maspion Group. Pertama, kesetiaan, kemampuan, dan kerja keras. Kerja keras dan kesetiaan pada perusahaan serta ditunjang dengan kemampuan dari setiap karyawan akan menghasilkan banyak hal positif bagi perusahaan. Kedua, memimpin pasar dengan memberikan keuntungan yang kompetitif terutama kepada semua konsumen. Ketiga, kesatuan dan kebersamaan. Dengan adanya rasa kebersamaan, perusahaan akan semakin kuat dan kokoh. Keempat, pertumbuhan yang berkesinambungan. Kelima, memperhatikan kepuasan konsumen.
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
57
Apa & Siapa
Alim Markus
The Vision of Maspion In Line with P3DN Program
“Love Indonesian products.” This slogan has been very familiar with the television viewers. Yeah, the slogan is popularized by the President Director of Maspion Group named Alim Markus with his slurred speech and typical accent.
T
hrough the advertisement of Maspion products, Alim Markus invites all Indonesian people to love and use local products. Even with his strong commitment, he was awarded the Satyalancana Honor for the Development by the government in the commemoration of Independence of the Republic of Indonesia in Jakarta 67th in 2012. The award was given to the man born in Jakarta, 24 September 1951 because Alim Markus has been credited in building the national economy through his capability to produce the high quality of products to meet the needs of the community, as well as his involvement in mobilizing the community
58
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
to using the national products. He deserves to feel proud since his various products have been widely recognized as the national products. “Most of the housewives must have come into contact with the Maspion’s products. Whether they are teflon pans, plastic thermos, refrigerators, gas stoves, water pumps, fans, refrigerators, air conditionings, beds, aluminum foil, fluorescent lights, water pumps and others”, said Alim Markus when being interviewed at the Ministry of Industry, Jakarta, on early of July, 2013. According to him, most of his companies have used the local components as well as local raw materials. Similarly, the majority of his products have been
marketed domestically. Alim Markus explained there is a specific meaning and a distinctive story behind the name of Maspion, that is M : mengajak (invite), A : anda (you), S : selalu (always), P : percaya (believe), I: industri (industry), O : Olahan (processed), and N : nasional (national). “Once an American asked to me. ‘What is Maspion Mr. Alim Markus ? ‘ I replied, ‘ Maspion is a master champion’, “ he said while laughing. According to him, in order the product to be known and purchased by consumers the product should have high quality, has a good design, and competitive price. The campaign about the Maspion vision has received serious response from the government. This is in line with the Ministry of Industry program, namely The Increase Use of Domestic Products (P3DN). This program is an effort by the Government to encourage more people to using domestic products rather than imported products.
Apa & Siapa In addition, the target of P3DN is that in every spending by the government, state enterprises, local government enterprises, and contractors of Cooperation Contract (KKKS) the implementation toward the use of domestic product can also be accomplished optimally. In fact, the number of countries in Asia have long instilled the love of community and industry to use their own products locally. As in Japan, since they began to re- establish the industry following the post - World War II they have already possessed the rules to lead the communities using the local products. Similarly, in South Korea, the government has also directed the people to be proud to use their own products such as Samsung, Hyundai, and LG. Such awareness is not just a question of how the products being produced can be absorbed by the market. Further they have already been aware that the nationalism spirit is needed to encourage the growth and development of their national industries to successfully compete in global market. For those reasons, according to Alim Markus, the government is obliged to protect domestic industries by optimizing the implementation of Indonesian National Standard (SNI) for the products marketed domestically, and also to face the threat of imported products from Chinese that seems to be more intense . “Chinese products are known as cheap in price. So in addition to optimizing the use of SNI label, the government should conduct training and issue the specific policies to promote the quality of domestic products coupled with competitive prices, “ he said. Alim Markus added, the government should immediately issue policy supports of SNI in the form of tax or levy relief that burdersome the producers, and easiness of obtaining soft loans to local entrepreneurs. “If the quality and price of domestic products is better than imported products, at least the same, then the invasion of Chinese products can not harm the local industry, “he said. The eldest son of Alim Husein, the owner and founder of the company also explained that Maspion Group have currently tried to avoid the increases of products’ prices due to the sharp increase of production costs. Since early 2013, the company which is based in Surabaya must bear the increase of production costs that has reached up to 4%. However, the company prefers a strategy by increasing the production capacity rather than by raising selling prices. “We rely more on the quantity of products (economic of scale) to reduce the production costs, “he stressed. As experienced by other industries, the increase in production costs is mainly contributed by the increase of the wages and electricity tariff. According to Alim Markus, the highest increase of production costs is experienced by the glassware products, such as cups, plates, or bowls.
The reason is that the needs for energy for these products are also fairly high. Unfortunately, he did not further elaborate the increase of production cost of these household products. To pump up the production capacity, one of the options choosed by Maspion is by adding business hours. Whereas, the increasing needs for raw materials does not cause to worry. For example, for the needs of aluminum, although the price in the global market fluctuates, the current prices are likely to decline. Maspion Group Expansion Each year, the Maspion Group needs a supply of 200 thousand tons of aluminum. The significant amount of the needs of aluminum leads Maspion interest to build a smelter processing bauxite into alumina. Furthermore, Maspion also intends to build alumina processing plant into aluminum ingots. “We are entrepreneurs and I see the business opportunity in the downstream industry, that is in the processing of bauxite into alumina. And if possible, it can be further processed into aluminum ingots, “Alim Markus explained. He revealed that downstream industries utilize more aluminum because of its lighter, but having a steely endurance. Aluminum is also easily molded into various types of equipments and anticorrosion properties. Maspion Group, he said, has had space of land in the industrial area in Gresik, coupled with its port. While the supply of energy for electricity generator could utilize low calorie coal under 5500 calories produced in the country. “Low-calorie coal could no longer be exported to China. Thus, it should be used domestically so that it could become a source of energy power plants, “ said Alim Markus. On the other hand, according to him, Maspion
Group plans to build a factory of household electronic appliances in Kendal, Central Java. The selected location in Kendal is due to the high differences of minimum wage (UMR) between East Java and Central Java. The differences of UMR between Central Java and East Java, he said, reachs up to 70 % in which the UMR in Central Java is much more cheaper. Currently, Maspion Group has had production facilities in Sidoarjo and Gresik, East Java. “I want to expand to Kendal and build the factories there. It is projected that within the next 4-5 years, the factories will absorb up to 10 thousand workers. Later, the factories will supply markets in Central Java, Jakarta, and West Java. For East Java market it will be supplied from the factory in East Java, “ said Alim Markus. Related to production capacity, he did not mention a specific figure. “Later, various products will be produced there such as fans, irons, pots, and others. The raw mateials used are teflon, aluminum, and plastic. The number of the products will be a lot, “ he said. Currently, Maspion produces about 6 million units of the fan and 15 million units of iron per year. To be a big company, Alim Markus stated there are five important things to be a work ethics that have to be upheld by all employees of Maspion Group. First, loyalty, competence, and hard work. Hard work and loyalty to the company supported by the competence of each employee will generate lots of positive things for the company. Second, leading the market by providing a competitive benefits especially to all consumers. Third, unity and togetherness. With a sense of togetherness, the company will be strong and sturdy. Fourth, sustainable growth. Fifth, pay attention to customer satisfaction.
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
59
Tokoh
KECINTAAN GUNAKAN PRODUK BUATAN INDONESIA, BUKAN NAIF DAN KARENA ‘KERE’
Handito Joewono
Kecintaan menggunakan produk buatan Indonesia, tidak menjadikan seseorang itu menjadi “naif” karena pertama, mencintai dan menggunakan (mengkonsumsi) produk lokal, tidak berarti orang itu harus ‘kere’, sekaligus juga bukan anti asing.
M
enurut penggagas trend yang sedang berkampanye ‘being local,” Handito Hadi Joewono, selaku Chief Strategy Consultant Arrbey, selang beberapa tahun setelah Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia bersama tiga departemen kala itu 7 Agustus 2006 yakni Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, dan Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, bersama Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan “Gemar Produk Indonesia,” selang beberapa tahun kemudian, semangat menggunakan produk Indonesia baru mulai terasa implikasinya selama beberapa tahun terakhir. Handito yang dalam kepengurusan KADIN Indonesia kini menjabat Ketua Komite Tetap Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) mengemukakan, saat ini penggunaan istilah ‘lokal’ menjadi terdengar lebih seksi, karena memang dirasakan, kalau menggunakan produk lokal itu sudah menjadi lifestyle (gaya hidup) yang berkembang akhir-akhir ini. Dalam kehidupan sehari-hari istilah ‘being local’ kerap mengingatkan pada istilah “think globally, act locally, yang awalnya dikenal di kalangan perusahaan Jepang, kemudian merambah ke Amerika Serikat, dan akhirnya mendunia. Bedanya kalau think globally, act locally bernuansa ‘open market economy,’ yang pro liberalisasi dan globalisasi, maka being local cenderung bernada ‘closed market economy’ yang cenderung inward looking dan mengupayakan kemandirian. ”Memang diakui menjadi being local seperti yang saya jadikan sebagai istilah trend setter, tidak perlu dipamerkan kepada pihak lain, tetapi justru harus dibiasakan dan ditanamkan sejak usia sekolah. Ini perlu sebab konsumen terbesar Indonesia itu berada pada usia produktif, dan terbanyak generasi sekarang ini adalah usia anak-anak atau usia sekolah. Terutama peran mereka adalah sebagai pihak yang paling besar pengaruhnya (influencer), sehingga
60
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
kampanye penggunaan produk lokal buatan Indonesia, harus dimulai dari mereka, termasuk dengan cara “memaksa” menggunakan produk Indonesia, sampai produk tersebut menjadi life style (gaya hidup) mereka. Secara sadar atau tidak, anak-anak kita adalah produk global, sehingga kalau kampanye penggunaan produk lokal tidak mengena kepada mereka sebagai subyek sasaran, maka anak-anak Indonesia akan cenderung mengkonsumsi produk global. Itu sebabnya mereka harus dipengaruhi atau dimasukkan kampanye being local, mulai dari produk pakaian (baju), makanan, dan juga bahan bacaan sampai pada tontonan mereka. Kami akan mencoba mengisi lebih banyak tampilan animasi yang diinput sebagai program televisi, dengan tontonan program animasi lokal,” jelas Handito yang dikenal luas sebagai tokoh branding dan re-branding merek. Melalui Tahapan Komunikasi Apabila dilihat dari teori pemasaran, maka cara berkomunikasi sampai timbulnya kesadaran terhadap merek, dilakukan melalui lima tahapan yakni brand awareness, brand knowledge, brand image, brand preference, dan brand admire. Pada tahap pertama timbulnya kesadaran terhadap satu merek (brand awareness), maka konsumen mengenal dulu, merek apa yang akan dikonsumsinya itu. Setelah itu meningkat pada tahapan berikutnya yaitu pada tahapan lebih tinggi yaitu brand knowledge, di sini konsumen mulai mengenali lebih jauh merek tersebut. Pada tahapan berikutnya untuk dapat menjadi brand image, maka digunakan sistem kampanye berkelanjutan. Pencitraan ini digunakan untuk membandingkan satu produk dengan produk lainnya (preferensi), dalam konteks ini adalah seperti ‘pakai produk Indonesia saja, kalau memang lebih murah dibanding produk lainnya.’ Baru pada tingkat teratas, di mana konsumen mulai bangga menggunakan produk Indonesia, berarti dirinya mulai fanatik,
Tokoh sehingga dia masuk pada tahapan brand admire. Tahun 2009 pemerintah melalui menteri koordinator perekonomian dan menteri perdagangan kala itu, mengeluarkan satu peraturan yang isinya kampanye 100% Cinta Indonesia, yang bertujuan mempromosikan merek dan produk Indonesia. Kendati pada awalnya kampanye ini bertujuan meningkatkan kesadaran konsumen dan mempromosikan produk dan merek Indonesia, namun pada perkembangannya kampanye ini bertumbuh menjadi gerakan sosial masyarakat, untuk menumbuhkan apresiasi dan rasa cinta kepada segala hal mengenai Indonesia. Artinya bukan saja kecintaan terhadap merek atau produk, tetapi termasuk makanan, kesenian, kerajinan tangan dan seni kriya, serta budaya Indonesia, baik budaya tradisional maupun populer, serta banyak aspek mengenai Indonesia. Aspek Rasional dan Emosional Handito berpendapat, kecintaan menggunakan produk Indonesia, dapat ditinjau dari dua aspek yaitu secara rasional dan secara emosional. Pada saat seseorang secara sadar menggunakan produk Indonesia, ditinjau secara rasional adalah menggunakan produk lokal sebagai pandangan hidup, akan meningkatkan kapasitas produk dalam negeri. Artinya kapasitas produk dalam negeri dioptimalkan, sehingga tidak hanya berorientasi ekspor semata. Jika perlu, para produsen lebih berorientasi mengisi pasar dalam negeri, dan baru sisanya yang tidak terpakai di dalam negeri, yang akan diekspor. “Jadi jangan sampai pro liberalisasi dan globalisasi, tetapi lupa mengisi pasar dalam negeri, sehingga pada akhirnya kita hanya dimanfaatkan saja oleh liberalisasi. Dengan sikap being local, maka kelihatannya seperti berorientasi pada pasar dalam negeri (inward looking), padahal tujuan utamanya adalah berupaya agar dapat memenuhi kebutuhan sendiri,” papar Handito. Sikap rasional saat ini mulai diaplikasikan dalam P3DN (Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri), yakni jika harga produk dalam negeri sedikit lebih mahal dari produk impor, namun kualitasnya sama, maka sebagian kalangan dunia usaha dan juga pemerintah yang diberi preferensi untuk memilih produk lokal dengan sedikit kompensasi harga lebih tinggi, mulai menjadikan produk dalam negeri sebagai pilihan. Bagi pemerintah ada landasan Peraturan Presiden No. 54 tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. “Sejumlah pengusaha yang bergerak di bidang industri komponen otomotif (spare part) dan juga produk kertas, sudah mulai berorientasi menggunakan produk dalam negeri sebagai pilihan dibanding impor. Selain memang pasar otomotif di dalam negeri bertumbuh pesat, kian menjamurnya usaha percetakan saat ini menjadikan konsumsi kertas di dalam negeri lebih dipilih dan sudah menjadi
gaya hidup. Kendati demikian gerakan ini perlu terus didukung dan dijadikan mindset di kalangan pengusaha dan masyarakat Indonesia. Dikaitkan dengan sikap emosional, bagaimana satu brand itu bisa mendorong supaya konsumen mau membeli produknya. Dengan demikian mengutamakan atau memprioritaskan produk dalam negeri harus dilakukan dengan penuh kesadaran. Untuk meningkatkan daya saing P3DN, bagaimana menjadikan katalisator agar dapat membangun industri di dalam negeri, sehingga produk dalam negeri mampu bersaing juga baik dengan produk impor dan pada akhirnya produk tersebut ditargetkan mampu menguasai pasar dunia. Prinsip-prinsip P3DN pada dasarnya ingin menempatkan seluruh lapisan masyarakat dan juga pengusaha memiliki gaya hidup untuk membangun dan memperjuangkan produk Indonesia. Terutama dikaitkan dengan akan dihadapinya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015, apa persiapan bangsa Indonesia ? Sebagai kenyataan MEA harus dihadapi, sehingga justru gerakan-gerakan mencintai produk dalam negeri, being local, dan P3DN adalah sebagai inspirasi atau penggerak untuk memanfaatkan AEC dan liberalisasi perdagangan lainnya. Namun demikian apabila dilihat dari tingkat pemanfaatan dan sifat industrinya, ada bidang bisnis
atau usaha yang bobot teknologinya tinggi dan ada juga usaha atau industri yang bobot pemanfaatan sumber daya alamnya tinggi. Disadari apabila usaha atau bisnis yang bobot teknologinya tinggi, memang harus mengundang partisipasi dari luar negeri, karena kalau langkah tersebut tidak dilakukan, Indonesia akan tertinggal dibanding negara lainnya. Tetapi bedanya untuk bidang usaha yang pemanfaatan sumber daya alamnya cukup tinggi, yang harus dilakukan adalah mengoptimalkan potensi tersebut dengan meningkatkan kapasitas produksinya. Sementara itu apabila dibandingkan antara produk dikonsumsi rumah tangga langsung, dengan produk yang digarap secara business to business (menjadi bahan baku produksi) atau perusahaan, maka pertimbangannya dilakukan baik secara rasional, emosional, dan juga menyangkut image (citra). Sebagai analis dirinya menduga akan lebih mudah meyakinkan kelompok rumah tangga dibandingkan golongan perusahaan (B to B). Ternyata berdasarkan trend yang terjadi sejak tahun 2006 sampai sekarang, justru terjadi peningkatan penggunaan produk dalam negeri di kalangan perusahaan, karena dirasakan lebih mudah. Sedang di kalangan rumah tangga, variabelnya lebih banyak sehingga perlu lebih didorong, sehingga penggunaan produk dalam negeri dan juga being local menjadi satu kebiasaan.
The love of using products made in Indonesia does not lead one to becoming “ naive “ because loving and using (consuming) the local products does not mean that the users should be perceived as ‘pauper’, as well as anti foreign products.
A
ccording to the trend initiator campaigning to “being local”, Hadi Handito Joewono, Chief Strategy Consultant of Arrbey, following the launching of “love the Indonesian products,” proclaimed by the President Susilo Bambang Yudhoyono together with the Chamber of Commerce and Industry (Kadin) of Indonesia and three ministries, namely the Ministry of Industry, the Ministry of Trade, and the Government Ministry of Cooperatives and Small and Medium Enterprises on August 7th, 2006, the spirit of using the Indonesian products has just started showing its implications within the last few years. Handito that is currently as the Chairman of the Standing Committee on Increasing Use of Domestic Products (P3DN) argues that today the use of the term ‘local’ is sounded more sexy, since it is perceived that using domestic products has become a lifestyle that has been growing lately. In everyday life the term ‘being local’ often brings in mind the term “think globally, act locally”, which was originally popular among Japanese companies, then expanded into the United
States, and eventually worldwide. The difference is “think globally, act locally” nuances ‘open market economy’ which tends to pro-liberalization and globalization, whereas ‘being local’ inclines to ‘closed market economy’ which tends to be inward looking and seeking independence. It is realized that ‘being local’ that I use it as a trend setter, is not to show off to others, but it should be socialized and internalized since school ages. This is necessary because the largest domestic consumers are in the productive ages, and most of them are the children or school ages. Their role is mainly as the greatest influencer so that the campaign of using local products made in Indonesia should start from them, including by the way of “forcing them“ to use domestic products until consciously becoming their lifestyle, he explained. It is realized or not that our children are global products, so if the campaign of using local products does not address them as a target, the Indonesian children are likely to consume global products. That is why they have to be influenced and included in ‘being local’ campaign, such as apparel products (clothes), food and beverage, Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
61
Tokoh “A number of entrepreneurs engaged in automotive components industry (spare parts) as well as paper products have started using the domestic products as a choice rather than import. In addition to the rapid growing of automotive market in the country, the growing proliferation of printing businesses leads the consumption of domestic papers has been more preferably and has become a lifestyle. However this movement should be continuously supported and used as a mindset among entrepreneurs and all of the Indonesia people. Associated with emotional attitude, it is about how a brand can influence consumers to buy the products. Thus prioritizing to domestic products should be carried out with full consciousness. To improve the competitiveness of P3DN is how to make P3DN as a catalyst to build the industries in home country, so that the domestic products are able to compete with imported products and in the end the product is targeted to succesfully compete in global market. reading materials, as well as shows. We will try to broadcast more animated display inputted as the television programs, with the shows of local animation programs, “said Handito widely known as the notable of branding and rebranding brand. Through Stages of Communication As far as marketing theory is concerned, the stages of communication leading to the emergence of awareness of the brand is carried out through five stages, namely: brand awareness, brand knowledge, brand image, brand preference, and brand admire. In the first stage that is brand awareness, the consumers are introduced and shown what brand would be consumed. The following upper stage is brand knowledge in which the consumers are driven to further recognize and know the detail of the brand. In the next stage, in order to become a brand image, sustainable campaign system is required. The imaging process is crucial in this stage. It is intended to compare one product with another (preferences), in this context it is is like ‘ just use Indonesian products, because of the cheaper price than imported products’. Finally, at the top stage in which the consumers start proudly using the Indonesian products, meaning that they have started becoming fanatic, so that they have already achieved on stage ‘brand admire. In 2009 the government through the coordinating minister of the economy and trade minister issued a regulation concerning “100 % Love Indonesian” campaign, which was aimed to promote Indonesian products and brands. Although at first this campaign was intended to increase consumers’ awareness and promote Indonesian products and brands, but in reality this campaign grew into a social movement that
62
Karya Indonesia Edisi No. 3 2013
fostered an appreciation and love for everything about Indonesia. It means that they love not only for brands or products of Indonesia, but also for foods, arts, crafts and handycrafts, Indonesian culture both traditional and modern, and also other aspects of Indonesia. Rational and Emotional Aspects Handito argues that the love of using Indonesian products can be viewed from two aspects, namely rationally and emotionally. When a person consciously consumes Indonesian products, in rational term it means that the use of local products as a way of life will increase the capacity of domestic products. The capacity of domestic products will be optimized and not only merely for export-oriented. If necessary, the producers should emphasize to serve the domestic market, and only the rest are exported. “Thus do not be pro-liberalization and globalization and ignoring to serve the domestic market, if so in the end we will only be exploited by liberalization. With the attitude of being local, it seems as to be domestic market oriented ( inward looking ), whereas the main purpose is to attempt to meet our own needs, “said Handito . The rational attitude is now starting to be applied in P3DN (The Increased Use of Domestic Products), that is, if the price of domestic products is slightly more expensive than imported products with the same quality, then some business participants and also governments that are given preference to choose local products with the compensation for slightly higher prices, they begin to render domestic products as a choice. For the government there is a provision in the form of Presidential Decree No.. 54 of 2010 about Implementation Guidelines for Government’s Procurement of Goods and Services.
The main principle of P3DN basically want to lead the whole society and entrepreneurs to possess Indonesian lifestyle to build and fight for Indonesian products. Primarily, to face the ASEAN Economic Community ( AEC ) in 2015, the question to be adressed is “has the Indonesian country already prepared to face it ?” As a fact, AEC should be faced, so the movements such as: the love of domestic products, being local, and P3DN can be mobilized as inspirations or drivers to take advantage of AEC and other trade liberalizations. However, by considering the level of utilization and the nature of the industry, there are sectors of business characterized by having high technology weighs and those having high utilization of natural resources. Fot the businesses with hightech weighs, we are aware to invite partners from abroad, otherwise we will be left behind compared to other countries. However for the businesses with high utilization of natural resources, what should be done is by optimizing the resource potential through increasing the production capacity. Meanwhile, by comparing between the products consumed directly by households with the products used from business to business (as raw material for production process) or between the companies, then the judgment should be based on rational and emotional consideration, including image. As an analyst Handito argues it would be easier to convince a group of households compared to companies ( B to B ). Apparently based on trends experiencing since 2006 up to now, just the increase use of domestic products were even more significant in the companies, because they felt easier to do. Meanwhile among the households, more variables should be considered so they need to be encouraged so that the use of local products and also being local becomes a habit .
Tokoh
Kreasi Batik Nusantara issn: 2303204
K E ME NTERIAN P ERIND USTRIAN w ww.kemenperin.go .id