DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
Oleh: Ade Adhari; R.B. Sularto; Budi Gutami
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Jalan Prof. H. Soedarto, S.H., Tembalang-Semarang
Abstrak Maraknya tindak pidana di bidang pertambangan mineral dan batubara di Indonesia menunjukan dimensi perkembangan kejahatan yang berhubungan dengan eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan. Hal yang demikian menuntut Pemerintah Republik Indonesia untuk menyusun kebijakan penanggulangan kejahatan (bidang tambang mineral dan batubara). Salah satu sarana yang dapat dipakai adalah dengan menetapkan kebijakan hukum pidana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan hukum pidana pada tahap penetapan pidana dalam menanggulangi tindak pidana di bidang pertambangan mineral dan batubara yang saat ini berlaku (ius constitutum) dan melihat seberapa jauh kebijakan hukum pidana yang ada tersebut dapat dan perlu dilakukan perubahan/penyempurnaan dengan perkataan lain mengkaji kebijakan hukum pidana di bidang tambang mineral dan batubara di masa yang akan datang (ius constituendum). Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum doktrinal. Dimana pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang, pendekatan historis dan pendekatan komparatif. Selain itu sifat dan tujuan penelitian ini adalah penelitian hukum deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara meneliti data sekunder atau data tertulis, berupa bukti-bukti, buku-buku, peraturan perundang-undangan, majalah ilmiah, arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi yang berkaitan dengan tema penelitian. Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang pertambangan mineral dan batubara saat ini dimuat dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Akan tetapi tahap penetapan pidana dalam UU Mineral dan batubara mengalami kegagalan, dalam artian
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr
ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut tidaklah dapat memberi arah yang terang bagi badan yang berwenang pada tahap pemberian pidana dan juga bagi instansi pelaksana yang berwenang pada tahap pelaksanaan pidana. Bagaimana tidak dinyatakan demikian, karena terdapat banyak kelemahan dalam ketentuan pidana yang diatur. Sehingga layaklah dinyatakan bahwa ketentuan pidana dalam UU Pertambangan Mineral dan Batubara hanyalah seperangkat sarana yang tidak utuh/lengkap (incomplete or partial set of tools). Sementara itu kebijakan hukum pidana dalam ranah ius constituendum diformulasikan dengan mendasarkan pada UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, serta mengakomodasi berbagai aturan yang dapat melengkapi ketentuan pidana dalam UU Minerba sehingga dapat memberi arah yang terang bagi tahap pemberian pidana dan tahap pelaksanaan pidana. Kata kunci : Kebijakan Hukum Pidana, Tindak Pidana di Bidang Mineral dan Batubara
pemerintah
A. Latar Belakang Permasalahan Dalam pemerintah
perjalanannya untuk
usaha
menyusun
kebijakan/politik
suatu
kriminal
guna
memberikan
menanggulangi setiap tindak pidana yang
perlindungan bagi segenap bangsa dan
terjadi, salah satunya terhadap tindak
tumpah
untuk
pidana dibidang pertambangan mineral dan
mencapai kesejahteraan umum, pemerintah
batubara. Dalam hal ini, hukum pidana
dihadapkan pada berbagai halangan dan
digunakan
rintangan
menanggulangi
darah
yang
Indonesia
salah
serta
satunya
adalah
sebagai
sarana
kejahatan
guna
(di
bidang
maraknya kejahatan atau tindak pidana
pertambangan salah satunya). Terkait hal
(dibidang pertambangan minerba) baik
tersebut,
yang
maupun
kebijakan hukum pidana disini hakikatnya
korporasi. Hal ini sudah tentu berpengaruh
merupakan bagian dari usaha perlindungan
pada eksistensi suatu negara, termasuk
masyarakat,
Indonesia.
seperti
disinggung
diawal,
dikatakan penal policy adalah bagian
pencapaian
tujuan
dan
negara
integral kebijakan sosial (social policy).
dilakukan
oleh
orang
fungsi
Indonesia juga dipengaruhi oleh tingkat
perlu
diungkapkan
sehingga
Tindak
bahwa
wajarlah
pidana
bila
dibidang
kriminalitas yang terjadi. Dimana sebagai
pertambangan batubara marak terjadi, dan
solusi agar tujuan dan fungsi negara
hal tersebut sudah menjadi rahasia umum.
sebagaimana termuat dalam Pembukaan
Tindak
UUD 1945 Alinea
terus
pertambangan
atau
manipulasi pada tahap eksplorasi dan
diselenggarakan,
ke-4 dapat
maka
negara
pidana
tersebut tanpa
anatara izin,
lain, praktik
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr
eksploitasi,
dan
sebagainya.
kemakmuran rakyat. Menindaklanjuti hal
Terkait dengan pertambangan tanpa ijin
tersebut
atau yang dikenal dengan sebutan PETI,
menyusun suatu kebijakan hukum pidana.
perlu
yang
Sementara itu, pada kesempatan ini perlu
mencengangkan bahwa saat ini terdapat 603
ditegaskan, kebijakan hukum pidana harus
lokasi penambang PETI dengan penambang
didasarkan
berjumlah 66.000 orang. Menurut data yang
penelitian (research-based evidence) yang
ada,
dapat
dipertanggungjawabkan
mencapai di atas 2 juta ton per tahun atau
ilmiah.
Karena
senilai Rp. 902 milyar, sedangkan PETI
menentukan keberhasilan atau kegagalan
emas sebesar 30 ton per tahun atau senilai
suatu kebijakan yang diambil.
dilontarkan
jumlah
sebuah
produksi
Rp. 1.800 milyar.1
fakta
PETI
batubara
diatas,
Dari data jumlah
pada
kemudian
bukti
hal
Marc
Pemerintah
yang
yang
berbasis
secara demikian
Ancel
pernah
produksi pertahun dari PETI tersebut dapat
memberikan definisi mengenai kebijakan
ditelusuri dan diketahui berapa jumlah
hukum
kerugian negara, terlebih permasalahan
diungkapkan kembali secara singkat oleh
lingkungan yang ditimbulkan karena PETI
Barda Nawawi Arief, “penal policy” dapat
karakteristiknya
good
dinyatakan sebagai suatu ilmu sekaligus
mining practice sehingga menimbulkan
seni yang bertujuan untuk memungkinkan
ekses
lingkungan,
peraturan hukum positif dirumuskan secara
pencemaran air dengan merkuri, tidak
lebih baik.2 Dimana tujuan bagaimana dapat
dilakukan reklamasi setelah pasca tambang
merumuskan peraturan hukum pidana yang
dan sebagainya.
lebih baik tidak dapat dilepaskan dari usaha
seperti
tidak
mematuhi
pencemaran
Hal yang demikian tentu akan berdampak
pada
negara
yang
menanggulangi
dalam
hal
kejahatan,
ini
yang
untuk
dalam konteks penelitian ini adalah untuk
melakukan pengelolaan dan pemanfaatan
menanggulangi tindak pidana yang terjadi
sumber daya alam berupa mineral dan
di
batubara
batubara.
demi
usaha
dalam
pidana,
sebesar-besarnya
bidang
pertambangan Tepatnya
mineral
dan
dikeluarkanlah
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
1
Cermati Kementerian Energi dan Sumber Daya: Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral, Naskah Akademik Rancangan UndangUndang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 2004
2
Pertambangan
Mineral
dan
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Prenada Media Group, 2011), halaman 27
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr
Batubara
yang
menggantikan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan
Pertambangan
Pokok-Pokok
Umum
yang
dirasa
kebijakan hukum pidana dalam undang-
2. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang pertambangan mineral dan batubara di masa yang akan datang (ius constituendum)? C. Tujuan Penelitian
undang tersebut sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan nasional maupun internasional. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan minerba dalam UU Minerba terdapat dalam Pasal
158-165.
Atas
pertimbangan
sebagaimana terurai pada paragraf-paragraf diatas sangat menarik untuk dibicarakan terlebih diteliti mengenai kebijakan hukum pidana (penal policy) namun fokusnya pada tataran atau tahapan formulasi (penetapan pidana) sehingga diangkat judul penulisan hukum:
“Kebijakan
Hukum
Pidana
Terhadap Tindak Pidana di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara”
Tujuan yang hendak dituju dalam penelitian kali ini, antara lain sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui (to find out) dan menjawab
(to
answer)
permasalahan yang diajukan dalam penelitian
kali
menyangkut
ini
yakni
bagaimanakah
kebijakan hukum pidana terhadap tindak
pidana
pertambangan
di
bidang
mineral
dan
batubara saat ini dan di masa yang akan datang. 2. Untuk menerangkan (to explain) kebijakan hukum pidana terhadap tindak
pidana
pertambangan
di
bidang
mineral
dan
batubara secara komprehensif. 3. Untuk memperoleh (to obtain)
B. Perumusan Masalah Adapun permasalahan yang dikaji antara lain: 1. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang pertambangan mineral dan batubara saat ini (ius constitutum)?
data
sebagai
bahan
penulisan
hukum guna memenuhi salah satu syarat
untuk
mencapai
gelar
kesarjanaan dalam Jurusan Ilmu Hukum
Fakultas
Hukum
Universitas Diponegoro Semarang. D. Metode Penelitan
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr
Jenis penelitian hukum
yang
digunakan
Pertambangan Rakyat (IPR), dan
adalah
Izin Usaha Pertambangan Khusus
doktrinal. Soetandyo Wignjosoebroto,
(IUPK). Untuk mendapatkan izin
mengartikan penelitian doktrinal terdiri
pertambangan
dari:
memenuhi syarat administratif. Dari
a. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif; b. Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar falsafah (dogma/doktrin) hukum positif; dan c. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu.3 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah pendekatan undang-undang pendekatan
(statute
historis,
approach),
dan
pendekatan
tersebut
harus
sini jelas bahwa adanya ketentuan pidana dalam UU Minerba yakni sebagaimana dimuat dalam Pasal 158-165
jelas
karena
hukum
administrasi mengundang hukum pidana untuk membantu menegakan norma hukum administrasi yang ada.
Sehingga
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara layak dipandang sebagai hukum pidana administrasi.
komparatif.
Mengacu pada pemahaman E. Hasil Penelitian dan Pembahasan
yang demikian, yang pada dasarnya
1. Kebijakan Hukum Pidana
meyakini
bahwa
UU
Minerba
Terhadap Tindak Pidana di
merupakan
Bidang Pertambangan Mineral
pidana administrasi. Sehingga wajar
dan Batubara Saat Ini (Ius
pula bila diketengahkan pandangan
Constitutum)
Barda
Dalam
UU
Minerba
ini
bagian
Nawawi
dari
Arief
hukum
dalam
bukunya yang berjudul “Kapita
dikenal adanya 3 (tiga) jenis izin
Selekta
untuk
dikatakan bahwa hukum pidana
melaksanakan
usaha
Hukum
Pidana”,
pertambangan, yakni Izin Usaha
administrasi
pada
Pertambangan
merupakan
perwujudan
(IUP),
Izin
dapat
hakikatnya dari
kebijakan hukum pidana sebagai 3
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), halaman 42
sarana
untuk
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr
“hulprecht’ (hukum pembantu) bagi
menegakan/melaksanakan hukum administrasi (huruf miring,
HAN,
pen).
dalam HAN selalui disertai sanksi
Jadi,
merupakan
bentuk
setiap
ketentuan
“fungsionalisasi/operasionalisasi/i
pidana agar ketentuan HAN itu
nstrumentalisasi hukum pidana di
ditaati
bidang
hukum
administrasi”.4
oleh
masyarakat
(huruf
miring, pen).5 Dengan demikian
Dengan demikian, UU Minerba
terdapat
yakni Bab XXIII Ketentuan Pidana
lingkup dan fungsi hukum pidana
Pasal 158-165 hakikantnya sebagai
sebagaimana ditangkap oleh Muladi
perwujudan
dan Dwidja Priyatno berikut ini:6
pidana
dari
politik
hukum
sebagai
alat
untuk
menegakan
norma
hukum
Dalam kesempatan ini apa yang adalah
dikemukakan tepat.
Prof
Mengapa
Barda dapat
dikatakan tepat? Karena memang sesuai dengan hakikat hubungan antara hukum administrasi negara dengan
hukum
pidana.
Diana
Halim Koentjoro, pernah mencoba menguraikan dengan
hubungan
Hukum
pidana
HAN secara
sederhana, bahwa antara hukum pidana dan HAN sebenarnya duaduanya
terletak
dalam
bidang
hukum publik. Namun, dalam hal hukum administrasi negara, maka hukum pidana berfungsi sebagai Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), halaman 15
perkembangan
ruang
“Dalam proses modernisasi dan pembangunan ekonomi yang semakin meningkat, muncul perkembangan baru dalam kaitannya dengan ruang lingkup dan fungsi hukum pidana dan sanksi pidana. Hukum pidana dalam hal ini digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan rasa tanggung jawab negara dalam rangka mengelola kehidupan masyarakat modern yang kompleks. Sanksi pidana antara lain digunakan secara maksimal untuk mendukung norma administrastif dalam berbagai hal. Inilah yang dinamakan administrative penal law (verwaltungsstrafrecht)
administrasi.
4
artinya
5
Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2004), halaman 21 6 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana, 2012), halaman 249-250
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr
yang masuk dalam lingkup public welfare offences”. “Selanjutnya keduanya menambahkan, dalam hal tindak pidana semacam ini, pemidanaan dilakukan atas dasar kepentingan masyarakat dan tidak atas dasar tingkat kesalahan subjektif”.
Lebih lanjut yang patut untuk diperhatikan,
apakah
ketentuan
pidana yang dimuat dalam UU Minerba
menunjukan
adanya
pergeseran fungsi sanksi hukum pidana
yang
ultimum
mulanya
sebagai
remedium
menjadi
“primum remedium”.
Sebetulnya
dalam tataran ideal penggunaan Dengan begitu, pemidanaan terhadap tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU Minerba (juga UU yang termasuk dalam hukum pidana administratif)
didasarkan
ini kepentingan Bangsa Indonesia sebagai pemilik mineral rights atas alam
yang
telah
dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa (God Almighty has granted), yang kemudian
menimbulkan
menguasai
negara
mengamanatkan untuk
mengadakan
hak
sehingga
kepada
negara kebijakan
(beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad),
pengaturan
(regelendaad),
pengolahan
(beheersdaad),
dan
(toezichthoundensdaad)
pengawasan untuk
tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat
hukum
pidana
diletakan
sebagai
obat
terakhir
(ultimum
remedium) karena hakikatnya yang demikian.
atas
kepentingan masyarakat, dalam hal
kekayaan
sanksi
Nampaknya memang sudah jelas bahwa sanksi pidana dalam ketentuan
UU
Minerba
pada
hakikatnya harus diletakan sebagai pembantu didalam mempertahankan norma hukum dalam undang-undang tersebut. Terlebih dengan hakikat penggunaan sanksi pidana yang didudukan sebagai sarana terakhir. Dalam
kesempatan
ini,
hemat
penulis ketentuan pidana dalam UU Minerba dapat dikatakan sudah diletakan
sebagai
ultimum
remedimum. Salah satu bukti yang dapat dinyatakan adalah bila UU Minerba dilihat sebagai suatu sistem maka dengan diletakknya Bab XXII mengenai
Sanksi
Administrasi
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr
sebelum aturan pidana yang
satu
laporan
Simposium
dimuat dalam Bab XXIII mengenai
Pembaharuan Hukum Pidana
Ketentuan Pidana, ini menunjukan
Nasional
sanksi
dikutip oleh Prof Barda berikut
administrasi
diutamakan
lebih dahulu baru kemudian sanksi
diketengahkan
“Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat”. Sehubungan dengan
akan penganalisisan
terhadap masing-masing masalah pokok
hukum
pidana
dalam
kebijakan hukum pidana terhadap tindak
pidana
di
bidang
pertambangan mineral dan batubara. Untuk
itu
selengkapnya
adalah
sebagaimana diuraikan dibawah ini: 1. Tindak Pidana Berbicara
mengenai
persoalan yang pertama dalam hukum pidana ini yakni tindak pidana maka hal ini akan terkait dengan persoalan kriminalisasi dan dekriminalisasi. Perosalan kriminalisasi
mengandung
proses
menentukan
untuk
apakah suatu perbuatan layak atau patut dikriminalisasikan dan tentunya tidak dapat dilakukan sembarangan melainkan dengan mendasarkan kriteria
pada
tertentu.
kriteriaHal
yang
demikian sesuai dengan salah
sebagaimana
ini:
pidana. Berikutnya
1980
kriminalisasi dicermati yang
maka
bila
perbuatan-perbuatan
dapat
dikategorikan
sebagai tindak pidana di bidang pertambangan
mineral
dan
batubara yakni: a). melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48,
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr
Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5); b). dengan sengaja menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1), Pasal 70 huruf e, Pasal 81 ayat (1), Pasal 105 ayat (4), Pasal 110, atau Pasal 111 ayat (1) dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu; c). melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 atau Pasal 74 ayat (1). d). mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi; e). menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUP, IUPK, atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1), Pasal 81 ayat (2), Pasal 103 ayat (2), Pasal 104 ayat (3), atau Pasal 105 ayat (1). f). merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2). g). mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan undang-undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya
Dari
berbagai
perbuatan-perbuatan
yang
dikriminalisasikan dalam UU Minerba sebagaimana dituliskan diatas, terdapat satu perbuatan yang
dalam
UU
Minerba
terdahulu yakni UU No 11 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertambangan, tidak merupakan suatu tindak pidana akan tetapi dalam UU Minerba
dikriminalisasikan
dengan
pengertian
perbuatan
tersebut
lain masuk
kategori sebagai tindak pidana di bidang pertambangan mineral dan batubara. Perbuatan yang dimaksud adalah penerbitan izin (IUP,
IPR,
bertentangan Minerba
IUPK)
yang
dengan
UU
dan
menyalahkan
kewenangannya, dan tepatnya kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 165. Penganalisisan terhadap pesoalan tindak pidana dalam UU Minerba juga tidak hanya
terkait
kriminalisasi
dengan (dan
dekriminalisasi) akan tetapi juga
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr
menyangkut kualifikasi delik,
batubara (dimana UU Minerba
hal ini karena KUHP sebagai
tidak mengatur “percobaan”),
induk aturan hukum pidana yang
maka ketentuan aturan umum
saat
berlaku
mengenai “percobaan” dalam
tindak
KUHP tidak dapat diberlakukan,
yaitu
sehingga tidak ada pijakan untuk
pelanggaran.
memidana pelaku “percobaan”
ini
masih
mengkualifikasikan pidana
menjadi
kejahatan
dan
Diketahui
dua
bahwa,
banyak
tersebut. Maka wajarlah pula
perundang-undangan
khusus
bila pada bagian ini dinyatakan
tidak
ketentuan pidana UU Minerba
yang menyebutkan/menentukan
hanyalah seperangkat sarana
kualifikasi tindak pidana sebagai
yang
“kejahatan” atau “pelanggaran”,
(incomplete or partial set of
sehingga secara yuridis dapat
tools).
menimbulkan
Lebih daripada itu,
memberlakukan aturan umum
diketahui UU Minerba adalah
KUHP yang tidak secara khusus
tidak mencantumkan pengaturan
diatur dalam UU khusus diluar
mengenai pengulangan tindak
KUHP itu.7 Hal ini pula yang
pidana atau yang biasa dikenal
terjadi
dengan istilah recidive. Recidive
Dengan
UU
perkataan
Minerba
Minerba. lain
merupakan
UU
merupakan
contoh
alasan
memperberat
untuk
pemidanaan.8
konkrit dari UU diluar KUHP
Dengan tidak adanya aturan
yang
menentukan
mengenai pengulangan tindak
apakah
pidana di bidang pertambangan
ataukah
mineral
tidak
kualifikasi “kejahatan”
delik
dan
batubara
maka
“pelanggaran”. Misalnya dalam
akibat hukumnya adalah “tidak
hal
ada
terjadi
“percobaan”
melakukan tindak pidana di bidang tambang mineral dan 7
utuh/lengkap
untuk
dalam
masalah
tidak
Barda Nawawi Arief, Op.cit., halaman 29-30
pijakan
penegak 8
bagi
hukum
aparat terutama
Barda Nawawi Arief, Hukum Pidana Lanjut, (Semarang: Badan Penyediaan Bahan Kuliah FH Undip, 2009), halaman 138
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr
hakim untuk memperberat
tidak
hanya
“orang/manusia”
pidana yang dijatuhkan”. Hal
melainkan juga “korporasi baik
ini
bila
yang berbadan hukum maupun
diperhatikan dengan seksama,
tidak berbadan hukum”. Hal ini
pengulangan tindak pidana atau
pula yang terjadi dalam UU
recidive dalam KUHP tidak
Minerba,
diatur secara umum dalam Buku
korporasi yang berbadan hukum.
I
dikarenakan,
mengenai
Aturan
Umum,
melainkan diatur secara khusus. 2. Pertanggungjawaban Pidana Untuk pertanggungjawaban
namun
hanya
Perluasan hukum
pidana
Minerba
dapat
subjek
dalam dicari
yaitu
UU dasar
adanya
yuridisnya
pidana
KUHP Pasal 103. Bila ditelaah
harus jelas terlebih dahulu siapa
lebih
yang
korporasi sebagai subjek hukum
dapat
jauh,
ketentuan
dapat
dipertangungjwabkan. Ini berarti
tindak
harus diperhatikan siapa yang
Minerba
dinyatakan
dipertanggungjawabkan
untuk
sebagai
suatu
pembuat
pidana
dikatakan
dalam
yang
pidana
tertentu.
Masalah
ini
berdasarkan Pasal 163 ayat (1).
menyangkut
masalah
subjek
Hal yang cukup disayangkan
tindak pidana yang pada umunya
pula adalah UU tersebut selalu
sudah dirumuskan oleh pembuat
menyebut “setiap orang” sebagai
undang-undang
subjek hukumnya yakni di Pasal
tindak
pidana yang bersangkutan.9 Nampaknya
dan
dapat
tindak
untuk
pengurus
UU
korporasinya
158, 160, 161, 162, dan Pasal
akhir-
165. Akan tetapi tidak diikuti
akhir ini dalam pembentukan
dengan pemberian definisi dari
aturan hukum yang memuat
setiap orang.
sanksi pidana subjek hukum pidana diperluas, dalam artian
Namun disayangkan,
bila
sanagt dicermati
perumusan Pasal 163 kurang 9
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit., halaman 133
cermat, dalam frasa yang diberi
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr
tanda dengan ditulis dalam huruf
miring
beberapa UU Khusus di luar KUHP, “subjek tindak pidana”
tersebut
mengandung arti bahwa tindak
ada
pidana
“korporasi”, tetapi ada yang
sebagaimana
diatur
yang
dalam Pasal 158, 159, 160, 161,
tidak
162, dan Pasal 165
ketentuan
dapat
diperluas
disertai
pada
dengan
hukum.
“pertanggungjawaban pidana
Padahal jelas dalam Penjelasan
korporasi” (huruf tebal, pen).10
Pasal 165 disebutkan bahwa
Dalam
“yang dimaksud dengan setiap
demikian,
orang
pasalpun dalam undang-undang
dilakukan
badan
adalah
pejabat
yang
UU
Minerba
tidak
ada
satu
menerbitkan IUP, IPR, atau
tersebut
IUPK”, dengan demikian ada
bagaimana atau kapan korporasi
kontradiksi. Seharusnya Pasal
itu
163 langsung menyebut pasal-
dipertanggungjawabkan pidana.
pasal
Sehingga
“tindak
bukan
menyebutkan
pidana
pijakan
sebagaimana
dimaksud dalam bab ini”.
yang
juga
mengatur
dapat
jelas,
tidak
ada
yuridis
bagi
aparat
penegak
hukum
dalam
yang
melaksanakan tahap pemberian
dikemukakan diatas paling tidak
dan pelaksanaan pidana. Padahal
memberikan pemahaman bahwa
menurut Prof Barda, penetapan
dalam
pidana oleh pembuat undang-
Apa
UU
Minerba
diakui
bahwa subjek tindak pidana
undang
meliputi manusia dan korporasi.
menyediakan seperangkat sarana
Untuk
bagi penegak hukum
itu,
terkait
dengan
dimaksudkan
korporasi sebagai subjek dalam
rangka
UU Minerba maka selanjutnya
kejahatan.11
akan
diuraikan
untuk
dalam
menanggulangi
mengenai
pertanggungjawaban korporasi. 10
Barda Nawawi Arief pernah menyatakan, di dalam
Barda Nawawi Arief, Op.cit., halaman 32 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1984), halaman 98 11
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr
Dengan
Permasalahan pokok
pidana
hukum pidana berikutnya adalah
dalam UU Minerba yang tidak
pidana dan pemidanaan. Pidana
mencantumkan “kapan korporasi
merupakan
dapat
dipertanggungjawabkan
keseluruhan sistem pemidanaan.
pidana” adalah merupakan suatu
Terkait dengan persoalan pidana
kekeliruan.
tersebut, maka dalam bagian ini
demikian
penetapan
Berarti
yang
sub
sistem
dari
disediakan adalah “seperangkat
akan
sarana
tidak
stetsel pidana yang meliputi
utuh/lengkap (incomplete or
jenis-jenis pidana (strafsoort),
partial
berat/ringannya
yang
set
of
tools)
bagi
dipaparkan
mengenai
pidana
penegak hukum dalam rangka
(strafmaat),
menanggulangi tindak pidana
pelaksanaan
minerba”. Hal tersebut tentu
(strafmodus).
pada
a). Jenis sanksi pidana
gilirannya
akan
menghambat proses penegakan hukum.
Sehingga
pembentuk
harusnya
undang-undang
dan
cara pidana
Dalam KUHP (WvS) tepatnya hanya
dalam dikenal
Pasal dua
10 jenis
cermat dan teliti membahas
pidana yakni pidana pokok
ketentuan pidana yang akan
dan pidana tambahan. Pidana
ditetapkan.
pada
Pokok: pidana mati, penjara,
dasarnya penetapan korporasi
kurungan, dan denda serta
sebagai subjek hukum pidana
ditambah lagi dengan pidana
yang
dapat
tutupan sebagaimana diatur
dipertanggungjawabkan pidana
dalam UU No. 20 Tahun
hanya merupakan bagian dari
1946 tentang Pidana Tutupan.
keseluruhan
sistem
Sedangkan pidana tambahan
pertanggungjawaban
pidana
terdiri dari pencabutan hak-
Karena
korporasi. 3. Pidana dan Pemidanaan
hak
tertentu,
perampasan
barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim.
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr
dalam KUHP. Hal ini dapat
Barda Nawawi Arief dalam bukunya yang berjudul
diidentifikasi
“Perkembangan
mencermati
Sistem
dengan pola
ancaman
Pemidanaan di Indonesia”,
pidana dalam KUHP. Dimana
pernah
menelaah
KUHP hanya menganut dua
perkembangan aturan khusus
sistem perumusan, yaitu: a.
(special rules) di luar KUHP.
perumusan tunggal
Dimana
diancam satu pidana pokok);
salah
satu
simpulan
yang
berkenaan
dengan
sanksi
hasil didapat
pidana
b.
masih
alternatif
(menggunakan kata “atau”,
jenis
pen).13
adalah
pembagian kelompok jenis pidana
perumusan
(hanya
b). berat/ringannya pidana
berorientasi
Terkait
mengenai
pada KUHP (pidana pokok
berat ringannya pidana bila
dan tambahan).12 Hal yang
dicermati ketentuan Pasal 10
demikian juga yang terjadi
KUHP
terlihat
dalam UU Minerba. Jenis
ringannya
pidana,
sanksi pidana yang dapat
susunan sanksi dalam pasal
dijatuhkan
tersebut
berupa
pidana
berat karena
mengandung
pokok dan pidana tambahan.
degradasi yang berbeda-beda,
Selanjutnya
bila
dimana dimulai dari pidana
ketentuan
pidana
dicermati UU
yang terberat yakni pidana
Minerba menggunakan pola
mati.
ancaman
Pasal 10 KUHP Wirjono
pidana
kumulatif
dan alternatif. Ketentuan ancaman
pidana
Terhadap
Prodjodikoro pola
pernah
menyatakan,
gabungan
ketentuan
sifat
kesederhanaan
ini
terletak
seperti halnya dalam UU
pada gagasan bahwa beratnya
Minerba diatas tidak dikenal
hukuman
sanksi
pidana, pen) pada prinsipnya
12
Barda Nawawi Arief, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Semarang: Pustaka Magister, 2011), halaman 19
(baca:
13
Barda Nawawi Arief, Op.cit., 2011, halaman 162
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr
digantungkan pada sifat berat atau
ringannya
Dalam UU Minerba
tindak
ancaman pidana pokok yang
pidananya.14 Selain itu dalam
dicantumkan adalah penjara,
KUHP juga dikenal adanya
kurungan, dan denda, maka
ancaman
minimal
secara
otomatis
ketentuan
umum, maksimal umum dan
dalam
KUHP
mengenai
maksimal khusus. Sehinggan
pelaksanaanya berlaku pula
dalam
berat
karena undang-undang tidak
hakim
mengatur cara pelaksanaan
pidana
menetukan
ringannya
pidana
diberi
kebebasan
minimal
sampai
dari
pidana
tersebut.
Pada
maksimal
dasarnya
yang
menjadi
sebagai reaksi yang pantas
persoalan
yaitu
mengenai
dari
pelaksanaan
tindak
dilakukan
pidana oleh
yang
pidana
denda
terdakwa.
dalam UU Minerba. Untuk itu
Ketentuan UU Minerba juga
selanjutnya akan diuraikan
bila dicermati menganut hal
mengenai
yang
dimaksud.
UU
diatur dalam KUHP, hal yang
mengancam
pidana
demikian dinyatakan karena
sangat
didalam pasal-pasalnya hanya
manusia maupun korporasi
memuat
namun tidak disertai dengan
sama
sebagaimana
ancaman
pidana
peroalan
yang
Minerba denda
tinggi baik terhadap
maksimal khusus, dan secara
aturan
otomatis ketentuan minimal-
pidana tersebut dilaksanakan
maksimal
dan
umum
dalam
tentang
bagaimana
alternatif
pidana
KUHP berlaku bagi tindak
pengganti bila denda tersebut
pidana sebagaimana diatur
tidak dapat dipenuhi. Dengan
dalam UU tersebut.
tidak diaturnya
c). Cara pelaksanaan pidana
bagaimana
pidana denda itu dilaksanakan maka akan berpengaruh pada
14
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2003), halaman 174
efektif atau tidaknya pidana denda
yang
diancamkan.
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr
Untuk itu, guna mengakhiri
pertambangan mineral dan batubara,
analisis
dengan disertai alasannya tentunya,
terhadap
pidana
denda dalam UU Minerba,
berikut formulasi yang dimaksud:
layak untuk diakhiri dengan
a).
mengetengahkan
Formulasikan jenis sanksi
pandangan
pidana berupa sanksi pidana
Barda Nawawi Arief, “suatu
dan
sistem
seimbang;
sanksi
menyeluruh
harus
mencakup kebijakan
pidana pula
kebijakanyang
diharapkan
dapat
tindakan
secara
b). Formulasikan subjek hukum pidana secara eksplisit; c).
menjamin
Formulasikan
aturan
pertanggungjawaban
pidana
terlaksananya sanksi pidana
korporasi secara lengkap dan
itu”.15
jelas;
2. Kebijakan Hukum Pidana
d).
Formulasikan pidana denda
Terhadap Tindak Pidana di
dan pelaksanaanya secara utuh;
Bidang Pertambangan Mineral
e). Formulasikan kualifikasi delik;
dan Batubara di Masa yang Akan
f).
Datang (Ius Constituendum)
mengenai
Didasarkan
pada
analisis
Formulasikan
ketentuan
recidive
atau
pengulangan tindak pidana;
persoalan pokok hukum pidana dalam UU No. 4 Tahun 2009
Sehubungan
tentang Pertambangan Mineral dan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun
Batubara khususnya Bab XXIII
2004
Ketentuan Pidana Pasal 158-165
Peraturan
sebagaimana telah diuraikan dalam
dengan Undang-Undang Nomor 12
pembahasan terdahulu, maka pada
Tahun 2011 tentang Pembentukan
bagian ini akan diuraikan formulasi
Peraturan
kebijakan hukum pidana kedepan
maka
terhadap tindak pidana di bidang
kebijakan hukum pidana terhadap tindak
15
dicabutnya
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit., halaman 181
tentang
Pembentukan
Perundang-Undangan
Perundang-Undangan, kedepan
pidana
penyusunan
di
bidang
pertambangan mineral dan batubara
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr
di masa yang akan datang
Holmes16 sebagaimana dikutip oleh
harus menyesuaikan dengan hal-hal
Solisbury, It is [a] capital mistake to
yang telah diatur dalam undang-
theorize before you have all the
undang
pembentukan
evidence. It biases the judgement
peraturan perundang-undangan yang
(Salah besar kiranya bila Anda
baru tersebut. Terdapat hal yang
langsung
patut diperhatikan dan dijadikan
mendapatkan seluruh buktinya. Itu
pedoman terkait aturan ketentuan
menghasilkan penilaian yang bias).
mengenai
pidana dalam UU yang dimuat dalam
Pembentukan
sebelum
Untuk menutup pembahasan
UU No. 12 Tahun 2011
tentang
berteori
mengenai kebijakan hukum pidana
Peraturan
di masa yang akan datang ini, maka
Perundang-Undang yakni perihal
perlu
pedoman
penyusunan
pandangan akhir mengenai tahap
peraturan perundang-undangan yang
formulasi ketentuan pidana UU
dimuat dalam Lampiran II undang-
Minerba kedepan. Pandangan akhir
undang tersebut.
yang dimaksud adalah bahwa tahap
teknik
Sebetulnya selain kebijakan
diketengahkan
sebuah
formulasi ini harus didudukan dalam
hukum pidana dimasa yang akan
posisinya
sebagai
datang didasarkan pada UU No. 12
perencanaan
yang
tahun 2011 tentang Pembentukan
strategis
Peranturan
Perundang-Undangan,
penanggulangan kejahatan dengan
hal yang lebih penting lagi adalah
sarana hukum pidana. Karena tahap
kebijakan nantinya disusun dengan
ini akan menentukan keberhasilan
menggunakan
yang
tahap pemberian dan pelaksanaan
tepat serta didasarkan pada bukti
pidana yang juga sebagai bagian
yang berbasis penelitian (research-
dari mata rantai penanggulangan
pendekatan
dalam
tahapan matang
dan usaha
based evidence). Pentingnya bukti ini
pernah
diperingatkan
dengan oleh
tegas Sherlock
16
William Solesbury, Evidence Based Policy: Whence it Came and Where it’s Going. ERSC UK Centre for Evidence Based Policy and Practice: Working Paper 1, 2001, P. 4, Diakses melalui http://www.ipa.org.au/publications/1442/evidencebased-policy-and-public-sector-innovation pada 4 Deesember 2012
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr
tindak
pidana
di
bidang
tambang minerba dalam hal ini.
F. Kesimpulan Berpijak masalah,
pada
hasil
pembahasan,
perumusan
penelitian
serta
dan
uraian-uraian
terdahulu dalam laporan penelitian dan penulisan hukum ini, simpulan
yang
dapat
maka adapun ditarik
dan
dikemukakan, antara lain: 1. Kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang pertambangan mineral dan batubara saat ini dimuat dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dengan dirumuskannya Bab XXIII Ketentuan Pidana (penal provisions) Pasal 158-165 dalam UU Minerba merupakan wujud pelaksanaan tahap fomulasi/penetapan pidana oleh pembentuk undangundang. Tahap formulasi ini dipandang sebagai tahapan yang sangat penting dalam proses penanggulangan kejahatan dengan sarana penal. Dikatakan demikian karena tahap ini akan memberi arah bagi tahap pemberian pidana dan tahap pelaksanaan pidana. Dengan perkataan lain tahap ini sangat menentukan keberhasilan tahap pemberian pidana dan pelaksanaan pidana. Akan tetapi dari hasil penelitian menunjukan bahwa tahap penetapan pidana dalam
UU Minerba mengalami kegagalan, dalam artian ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut tidaklah dapat memberi arah yang terang bagi badan yang berwenang pada tahap pemberian pidana dan juga bagi instansi pelaksana yang berwenang pada tahap pelaksanaan pidana. Bagaimana tidak dinyatakan demikian, karena terdapat banyak kelemahan dalam ketentuan pidana yang diatur. Sehingga layaklah dinyatakan bahwa ketentuan pidana dalam UU Minerba hanyalah seperangkat sarana yang tidak utuh/lengkap (incomplete or partial set of tools). 2. Dengan mendasarkan pada analisis pada tahap penetapan pidana dalam UU Minerba saat ini, maka dalam kebijakan hukum pidana di masa yang akan datang dibentuk berdasarkan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai dasar yuridis pembentukannya, didasarkan pada bukti yang berbasis penelitian (research-based evidence) dan dengan pendekatan yang tepat. Selain itu kedepan diakomodir berbagai aturan-aturan sebagai berikut: a. Formulasikan jenis sanksi pidana yang ada menjadi pidana dan tindakan, hal ini bertolak dari ide dasar double track system;
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr
c.
d.
e. f.
g.
b. Formula sikan subjek hukum pidana secara eksplisit; Formulasikan secara utuh sistem pertanggungjawaban korporasi; Formulasikan secara utuh sistem sanksi pidana denda; Formulasikan kualifikasi delik; Formulasikan pengaturan mengenai recidive; Formulasikan hal-hal lain yang diperlukan agar menjadikan penetapan pidana dalam UU Minerba di masa yang akan datang yang mampu memberikan arah dan penerangan bagi tahapan pemberian pidana tahapan pelaksanaan pidana
Halim, Diana Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Bogor, Ghalia Indonesia, 2004. Kementerian Energi dan Sumber Daya: Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral, Naskah Akademik Rancangan UndangUndang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 2004 Muladi dan Barda Nawawi Arief, TeoriTeori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1984. Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Kencana, 2012. Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2003. Solesbury, William, Evidence Based Policy: Whence it Came and Where it’s Going. ERSC UK Centre for Evidence Based Policy and Practice: Working Paper 1, 2001.
Daftar Pustaka
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010.
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
-------, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Semarang: Pustaka Magister, 2011.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan
-------, Hukum Pidana Lanjut, Semarang: Badan Penyediaan Bahan Kuliah FH Undip, 2009.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
-------, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Prenada Media Group, 2011.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan