DINAMIKA INDUSTRI SKALA MENENGAH, GEJALA MISSING OF THE MIDDLE DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN INDUSTRI
DISERTASI
Oleh:
LASMONO TRI SUNARYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul Disertasi
:
DINAMIKA INDUSTRI SKALA MENENGAH, GEJALA MISSING OF THE MIDDLE DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN INDUSTRI
Nama Mahasiswa
:
LASMONO TRI SUNARYANTO
Nomor Pokok
:
990516
Program Studi
:
ILMU EKONOMI PERTANIAN
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc. Ketua
Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc. Anggota
Prof. Daniel D. Kameo, SE. MA. PhD. Anggota
Mengetahui, 2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: ............................
Tanggal Lulus: ..........................
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 18 Mei 1961, di Ngawi, Propinsi Jawa Timur, sebagai anak ketiga dari enam bersaudara, dari pasangan Soenarjo BA dan Soelasmi (Alm). Penulis menikah dengan Ir. Ira Yumastuti dan dikarunia 3 orang putera, yakni Andika Widhi Jiwandono (Andik - 17 tahun), Baskara Widhi Jayanta (Bobby – 12 tahun) dan Candradipa Widhi Nugraha (Candra – 7 tahun). Penulis lulus dari Sekolah Dasar Negeri Magetan pada tahun 1973 dan Sekolah Menengah Pertama Negeri Magetan pada tahun 1976 di Kabupaten Magetan, dan menyelesaikan Sekolah Menegah Atas Negeri 2 Kediri tahun 1980 di Kabupaten Kediri. Tahun 1980 melanjutkan ke Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, di Bogor dan lulus tahun 1984. Tahun 1991 melanjutkan ke program MSc on Agricultural Management di Reading University, Reading, United Kingdom dan lulus tahun 1992. Tahun 1999 penulis kembali ke IPB Bogor untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Sejak tahun 1985 penulis bekerja sebagai Dosen dan Peneliti di Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga.
Jabatan yang pernah diampu adalah Ketua Unit Pelayanan Teknis
Pengabdian Masyarakat, Fakultas Pertanian UKSW dan Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian UKSW. Saat ini penulis menjabat sebagai Direktur Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UKSW.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Bapa terkasih, karena hanya dengan kekuatan dan penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini. Penulisan disertasi merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini berjudul ” Dinamika Industri Skala Menengah, Gejala Missing of The Middle dan Sumber-Sumber Pertumbuhan Industri”.
Dengan judul
tersebut, melalui disertasi ini penulis ingin melihat keberadaan industri menengah yang meliputi: dinamikanya, kondisi missing of the middle dan sumber-sumber yang menjadi pertumbuhan industri menengah.
Penulis berharap disertasi ini
dapat menggugah kesadaran kita semua tentang pentingnya peranan industri menengah sebagai tulang punggung struktur industri dan motor penggerak perekonomian. Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1.
Rektor UKSW, Dekan FP UKSW dan semua pimpinan di UKSW yang telah mengijinkan, mendukung dan mendorong penulis untuk dapat mengikuti dan menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana IPB. Semoga hasil yang penulis capai dapat berguna bagi pengembangan Fakultas Pertanian dan UKSW.
2.
Rektor IPB dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program
x
Doktor pada Sekolah Pascasarjana IPB.
IPB kiranya tetap menjadi yang
terdepan!! 3.
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc. selaku Ketua Komisi Pembimbing, serta Dr.Ir. Hermanto Siregar, MEc. dan Prof. Dr. Daniel D. Kameo, SE.MA. selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah begitu banyak memberikan waktu, kesabaran dan kepakarannya untuk membimbing penulis secara profesional dan terutama juga memberikan dorongan moril secara tulus kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan disertasi ini. Bapak-bapaklah yang telah memampukan penulis menyelesaikan disertasi ini.
Segala
kebaikan dalam disertasi ini adalah berkat sentuhan Bapak-bapak, tetapi segala kelemahan yang ada adalah karena kekurangan penulis sendiri. 4.
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah dengan penuh kesabaran dan kasih sayangnya senantiasa mengingatkan dan jika perlu ’memarahi’ penulis. Nasihat dan didikan Bapak yang begitu berharga akan tetap penulis coba pegang dan jalankan dalam kehidupan ini. Terutama adalah ’jangan menunda, cicil pekerjaan dan lakukan mulai sekarang’.
5.
Dr. Ir. Harianto, atas segala masukkannya pada ujian tertutup yang sungguh memperluas dan memperkaya disertasi ini.
6.
Pror. Dr. Ir. Egum Gumbira Said, M.Dev. dan Dr. Ir. Arief Daryanto, MEc, yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka. Tanpa ’tantangan’ dari Bapak-bapak, penulis tidak akan mampu menyelesaikan xi
disertasi yang seperti ini. 7.
Seluruh Dosen dan Staf Administrasi pada Program Studi Ilmu ekonomi Pertanian, IPB, dan pada khususnya untuk mbak Santi di sekretariat jurusan EPN. Setiap detik perjumpaan dengan Bapak/Ibu, senantiasa penulis rasakan sebagai satu anugerah yang indah.
8.
Teman-teman seangkatan: Chairil, mbak Rini, Sinung, Mangasi, Hisar, Widadi, serta yang lainnya baik seangkatan maupun bukan yang tak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Serta secara khusus, Tommy Lolowang dan Willy Pesoth yang telah memperkenalkan the wonderful taste of Minahasa pada lidah ‘Jowo’ penulis. Kalianlah yang sebenar-benarnya menjadi teman dan keluarga ketika penulis merasa sendirian di Bogor.
9.
Ira tercinta dan Andik, Bobby, Candra, yang menjadi sumber semangat dan kekuatanku.
Terima kasih atas curahan kasih dan kesabarannya selama
penulis menyelesaikan studi ini. 10. Seluruh keluarga besar Soenarjo dan Eddy Sukaryono, tanpa kasih dan dorongan kalian penulis tidak akan menyelesaikan studi ini. 11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Terima kasih. Penulis sangat menyadari bahwa disertasi
ini masih jauh dari
kesempurnaan, biarlah ini dapat menjadi sumbangan kecil dalam upaya bersama kita untuk menjadi bangsa yang lebih maju dan sejahtera. Amin. Bogor, Nopember 2006 Penulis xii
...untuk kekasih-kekasihku, Ira dan Andik, Bobby dan Candra, yang selalu menemaniku dengan kesabaran, kasih dan cintanya.....
DINAMIKA INDUSTRI SKALA MENENGAH, GEJALA MISSING OF THE MIDDLE DAN SUMBERSUMBER - SUMBER PERTUMBUHAN INDUSTRI
DISERTASI DIS ERTASI
Oleh:
LASMONO TRI SUNARYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 ii
ABSTRAK
LASMONO TRI SUNARYANTO. Dinamika Industri Skala Menengah, Gejala Missing of the Middle dan Sumber-Sumber Pertumbuhan Industri (MANGARA TAMBUNAN sebagai Ketua, HERMANTO SIREGAR dan DANIEL D. KAMEO sebagai Anggota Komisi Pembimbing) Kebijakan pengembangan industri selama ini masih bias pada industri besar (IB) dan industri kecil (IK), sehingga industri menengah (IM) menjadi kurang diperhatikan dan menimbulkan kondisi struktur industri yang dualistik dengan adanya gejala missing of the middle (MOM). Penelitian ini bertujuan menganalisis: (1) dinamika yang terjadi pada IM dan keberadaan faktor-faktor internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi dinamika tersebut, (2) adanya gejala MOM dalam struktur industri, dan (3) sumber-sumber pertumbuhan industri. Hasil analisis menunjukkan bahwa unit usaha yang ‘dinamis’ jumlahnya hanya sekitar 10 persen dari jumlah industri yang ada. Khusus untuk IM, jumlah IM yang turun ke IK relatif lebih banyak daripada yang naik ke IB, kecuali untuk ISIC 33 (kayu dan produk olahannya). IM berbasis pertanian atau orientasi pasarnya ekspor juga lebih dinamis. Keberadaan krisis lebih ’menguntungkan’ bagi IM-ekspor. Analisis multinomial logistic regression (MLR) menunjukkan bahwa faktor internal, kecuali produktivitas tenaga kerja, berpengaruh positif terhadap kenaikan IM ke IB. Faktor eksternal, pajak dan bunga, ternyata juga berpengaruh positif terhadap dinamika IM untuk naik menjadi IB. Pengeluaran pajak berpengaruh positif diduga karena besaran pengeluaran resminya relatif masih kecil. Pengeluaran bunga diduga juga masih belum dirasa membebani IM, karena banyak IM yang masih mengandalkan modal sendiri daripada modal Bank. Gejala MOM terjadi pada struktur industri Indonesia. Struktur industri, dari segi jumlah unit usaha IK, IM dan IB, berbentuk U-shaped, tetapi dari segi kinerja (output, pendapatan dan produktivitas tenaga kerja) bentuknya berbalik menjadi inverted U-shaped. IM perlu lebih didukung agar mampu menjadi tulang punggung struktur industri dan penggerak utama sistem perekonomian Indonesia sehingga tidak menimbulkan gejala MOM. Analisis total factor productivity (TFP) menunjukkan pola kontribusi input teknologi yang menunjukkan bahwa semakin besar skala industrinya semakin tinggi pula kontribusi teknologi terhadap output. Pada IM, kontribusi faktor tenaga kerja terhadap output selalu lebih tinggi daripada kontribusi kapital, sehingga pengembangan IM memiliki potensi menyerap tenaga kerja industri. Kondisi tersebut juga terjadi pada IM-pertanian dan IM-ekeportir. Kata kunci: dinamika industri menengah, missing of the middle, sumber pertumbuhan industri
iii
ABSTRACT LASMONO TRI SUNARYANTO. The Dynamic of Medium Scale Enterprises, Missing of the Middle Phenomenon and Sources of Industrial Growth (MANGARA TAMBUNAN as Chairman, HERMANTO SIREGAR and DANIEL D. KAMEO as Members of the Advisory Committee). Industrial development policies had biased either on big scale enterprises (LSE) or small scale enterprises (SSE), and the medium scale enterprises (MSE) almost left behind so creating missing of the middle (MOM) phenomenon. This study was aimed to analyse: (1) the dynamic of medium scale enterprises and the impact of internal and external factors on it, (2) the existance of missing of the middle phenomenon in industrial structure, and (3) the sources of growth of medium scale enterprises. The results showed that only 10 percent of enterprises had its dynamic. Especially for MSE, the percentages of MSE that decreased to SSE is higher than MSE increased to LSE, except for ISIC 33 (woods and products of woods). MSE that based on agriculture or oriented on export were more dynamic than the others. Multinomial logistic regression (MLR) analyses showed that internal factors, except of labor productivity, and also external factors (taxes and interests) had positive effects on MSE increasing to LSE. The cost of formal taxes supposedly was relatively low and did not prevent MSE to move up to LSE. Furthermore, most MSE did not have loan from banks and still used their own or family capital so they did not concern with the rate (or cost) of interest to moved up to LSE. Missing of the middle (MOM) phenomenon was really happen in Indonesia’s industrial structure. The industrial structure, which based on the number of SSE, MSE and LSE, showed U-shaped picture. On the contrary, while based on the productivity outcomes (e.g. output, income and labor productivity), the picture of industrial structure was inverted-U-shaped. It means that the MSE had the potentiality to became a backbone of industrial structure and become the main engine for economic growth so preventing the MOM phenomenon exist. Total factor productivity (TFP) analyses in general showed a technology deepening pattern that the bigger the scale the more intensive its capital-input contribution on output rather than its labor-input contribution. However, the MSE depicted a different pattern that it’s labor-input contribution on output always higher than the contribution of capital-input. It means that the development of MSE had high potentiality to absorb more industrial labor force. These conditions also happen on MSW-agriculture and MSE-exporter. Keywords: medium enterprises dynamics, missing of the middle, sources of industrial growth
iv
Hak Cipta milik Institut Prtanian Bogor, 2006 Hak cipta dilindungi. Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
v
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:
DINAMIKA INDUSTRI SKALA MENENGAH, GEJALA MISSING OF THE MIDDLE DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN INDUSTRI merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Nopember 2006
LASMONO TRI SUNARYANTO NRP. 990516
vi
DINAMIKA INDUSTRI SKALA MENENGAH, GEJALA MISSING OF THE MIDDLE MIDDLE DAN SUMBERSUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN INDUSTRI
Oleh:
LASMONO TRI SUNARYANTO
DISERTASI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul Disertasi
:
DINAMIKA INDUSTRI SKALA MENENGAH, GEJALA MISSING OF THE MIDDLE DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN INDUSTRI
Nama Mahasiswa
:
LASMONO TRI SUNARYANTO
Nomor Pokok
:
990516
Program Studi
:
ILMU EKONOMI PERTANIAN
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc. Ketua
Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc. Anggota
Prof. Daniel D. Kameo, SE. MA. PhD. Anggota
Mengetahui, 2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: ............................
Tanggal Lulus: ..........................
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 18 Mei 1961, di Ngawi, Propinsi Jawa Timur, sebagai anak ketiga dari enam bersaudara, dari pasangan Soenarjo BA dan Soelasmi (Alm). Penulis menikah dengan Ir. Ira Yumastuti dan dikarunia 3 orang putera, yakni Andika Widhi Jiwandono (Andik - 17 tahun), Baskara Widhi Jayanta (Bobby – 12 tahun) dan Candradipa Widhi Nugraha (Candra – 7 tahun). Penulis lulus dari Sekolah Dasar Negeri Magetan pada tahun 1973 dan Sekolah Menengah Pertama Negeri Magetan pada tahun 1976 di Kabupaten Magetan, dan menyelesaikan Sekolah Menegah Atas Negeri 2 Kediri tahun 1980 di Kabupaten Kediri. Tahun 1980 melanjutkan ke Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, di Bogor dan lulus tahun 1984. Tahun 1991 melanjutkan ke program MSc on Agricultural Management di Reading University, Reading, United Kingdom dan lulus tahun 1992. Tahun 1999 penulis kembali ke IPB Bogor untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Sejak tahun 1985 penulis bekerja sebagai Dosen dan Peneliti di Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga.
Jabatan yang pernah diampu adalah Ketua Unit Pelayanan Teknis
Pengabdian Masyarakat, Fakultas Pertanian UKSW dan Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian UKSW. Saat ini penulis menjabat sebagai Direktur Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UKSW.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Bapa terkasih, karena hanya dengan kekuatan dan penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini. Penulisan disertasi merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini berjudul ” Dinamika Industri Skala Menengah, Gejala Missing of The Middle dan Sumber-Sumber Pertumbuhan Industri”.
Dengan judul
tersebut, melalui disertasi ini penulis ingin melihat keberadaan industri menengah yang meliputi: dinamikanya, kondisi missing of the middle dan sumber-sumber yang menjadi pertumbuhan industri menengah.
Penulis berharap disertasi ini
dapat menggugah kesadaran kita semua tentang pentingnya peranan industri menengah sebagai tulang punggung struktur industri dan motor penggerak perekonomian. Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1.
Rektor UKSW, Dekan FP UKSW dan semua pimpinan di UKSW yang telah mengijinkan, mendukung dan mendorong penulis untuk dapat mengikuti dan menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana IPB. Semoga hasil yang penulis capai dapat berguna bagi pengembangan Fakultas Pertanian dan UKSW.
2.
Rektor IPB dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program
x
Doktor pada Sekolah Pascasarjana IPB.
IPB kiranya tetap menjadi yang
terdepan!! 3.
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc. selaku Ketua Komisi Pembimbing, serta Dr.Ir. Hermanto Siregar, MEc. dan Prof. Dr. Daniel D. Kameo, SE.MA. selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah begitu banyak memberikan waktu, kesabaran dan kepakarannya untuk membimbing penulis secara profesional dan terutama juga memberikan dorongan moril secara tulus kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan disertasi ini. Bapak-bapaklah yang telah memampukan penulis menyelesaikan disertasi ini.
Segala
kebaikan dalam disertasi ini adalah berkat sentuhan Bapak-bapak, tetapi segala kelemahan yang ada adalah karena kekurangan penulis sendiri. 4.
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah dengan penuh kesabaran dan kasih sayangnya senantiasa mengingatkan dan jika perlu ’memarahi’ penulis. Nasihat dan didikan Bapak yang begitu berharga akan tetap penulis coba pegang dan jalankan dalam kehidupan ini. Terutama adalah ’jangan menunda, cicil pekerjaan dan lakukan mulai sekarang’.
5.
Dr. Ir. Harianto, atas segala masukkannya pada ujian tertutup yang sungguh memperluas dan memperkaya disertasi ini.
6.
Pror. Dr. Ir. Egum Gumbira Said, M.Dev. dan Dr. Ir. Arief Daryanto, MEc, yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka. Tanpa ’tantangan’ dari Bapak-bapak, penulis tidak akan mampu menyelesaikan xi
disertasi yang seperti ini. 7.
Seluruh Dosen dan Staf Administrasi pada Program Studi Ilmu ekonomi Pertanian, IPB, dan pada khususnya untuk mbak Santi di sekretariat jurusan EPN. Setiap detik perjumpaan dengan Bapak/Ibu, senantiasa penulis rasakan sebagai satu anugerah yang indah.
8.
Teman-teman seangkatan: Chairil, mbak Rini, Sinung, Mangasi, Hisar, Widadi, serta yang lainnya baik seangkatan maupun bukan yang tak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Serta secara khusus, Tommy Lolowang dan Willy Pesoth yang telah memperkenalkan the wonderful taste of Minahasa pada lidah ‘Jowo’ penulis. Kalianlah yang sebenar-benarnya menjadi teman dan keluarga ketika penulis merasa sendirian di Bogor.
9.
Ira tercinta dan Andik, Bobby, Candra, yang menjadi sumber semangat dan kekuatanku.
Terima kasih atas curahan kasih dan kesabarannya selama
penulis menyelesaikan studi ini. 10. Seluruh keluarga besar Soenarjo dan Eddy Sukaryono, tanpa kasih dan dorongan kalian penulis tidak akan menyelesaikan studi ini. 11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Terima kasih. Penulis sangat menyadari bahwa disertasi
ini masih jauh dari
kesempurnaan, biarlah ini dapat menjadi sumbangan kecil dalam upaya bersama kita untuk menjadi bangsa yang lebih maju dan sejahtera. Amin. Bogor, Nopember 2006 Penulis xii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL................................................................................ xvii DAFTAR GAMBAR ...........................................................................
xix
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................
xxi
I. PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..............................................................................
1
1.1.1. Skala Industri: Penerapan Kebijakan yang Tepat Sasaran
7
1.1.2. Bias Kebijakan pada Industri Besar dan Industri Kecil ....
9
1.1.3. Industri Menengah: ”Anak Tiri” Struktur Industri............
13
1.1.4. Gejala Missing of the Middle ...........................................
17
1.2. Permasalahan Penelitian ...............................................................
20
1.3. Tujuan Penelitian ..........................................................................
22
1.4. Kegunaan Penelitian .....................................................................
22
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................
23
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
25
2.1. Industri Menengah: Tulang Punggung Industrialisasi ..................
25
2.2. Tinjauan Teoritis...........................................................................
31
2.2.1. Dinamika Industri..............................................................
31
2.2.2. Kondisi Missing of the Middle .........................................
37
2.2.3. Skala Usaha .......................................................................
44
2.2.4. Sumber Pertumbuhan Industri Menengah.........................
47
2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual ..................................................
51
III. METODE PENELITIAN ...................................................................
54
3.1. Lokasi Penelitian...........................................................................
54
xiii
3.2. Jenis dan Metode Pengumpulan Data ...........................................
55
3.3. Metode Analisis Data....................................................................
57
3.3.1. Persiapan Data dan Alat Analisis ......................................
59
3.3.2. Analisis Dinamika Industri Menengah..............................
61
3.3.3. Pengujian Signifikansi Dinamika Industri Menengah ......
63
3.3.4. Analisis Gejala Missing of the Middle .............................
64
3.3.5. Analisis Skala Usaha.........................................................
66
3.3.6. Analisis Sumber-sumber Pertumbuhan Industri ...............
66
IV. STRUKTUR INDUSTRI INDONESIA.............................................
72
4.1. Sejarah Perkembangan Industri ....................................................
72
4.1.1. Masa Penjajahan Belanda .................................................
72
4.1.2. Masa Pendudukan Jepang .................................................
76
4.1.3. Masa Indonesia Merdeka ..................................................
77
4.2. Kebijakan Pengembangan Industri ...............................................
78
4.2.1. Strategi Substitusi Impor (Import Substitution Industrialization)...............................................................
79
4.2.2. Strategi Promosi Ekspor (Export Promotion) ...................
79
4.3. Peranan Industri Kecil dan Menengah..........................................
83
4.4. Kebijakan Pengembangan Industri Kecil dan Menengah.............
97
4.5. Kondisi Missing of the Middle ..................................................... 101 V. DINAMIKA INDUSTRI MENENGAH DAN GEJALA MISSING OF THE MIDDLE ............................................................. 104 5.1. Reklasifikasi Struktur Industri ...................................................... 104 5.2. Gambaran Umum Dinamika Industri............................................ 104 5.3. Keberadaan Unit Industri yang ’Hilang’....................................... 117 5.4. Analisis Dinamika Industri Menengah ......................................... 119 5.4.1. Dinamika Industri Menengah Berdasarkan Klasifikasi Industri ............................................................ 122
xiv
5.4.2. Dinamika Industri Menengah Pertanian dan Non-Pertanian ................................................................... 123 5.4.3. Dinamika Industri Menengah Berorientasi Ekspor dan Non-Ekspor ................................................................ 125 5.4.4. Dinamika Industri Di Jawa dan Luar Jawa ....................... 127 5.5. Hasil Pengamatan Empiris Terhadap Dinamika Industri Menengah...................................................................................... 128 5.6. Analisis Empiris: Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal pada Dinamika Industri Menengah................................................. 131 5.6.1. Pengaruh Krisis Ekonomi Terhadap Dinamika Industri Menengah ............................................................ 137 5.6.2. Pengaruh Basis Industri Terhadap Dinamika Industri Menengah .......................................................................... 137 5.6.3. Pengaruh Orientasi Pasar Terhadap Dinamika Industri Menengah ............................................................ 139 5.7. Gejala Missing of the Middle ........................................................ 140 5.7.1. Keberadaan Gejala Missing of the Middle ........................ 140 5.7.2. Pengaruh Faktor Kendala Internal dan Eksternal.............. 144 VI. SKALA USAHA DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN INDUSTRI MENENGAH................................................................... 147 6.1. Skala Usaha................................................................................... 147 6.2. Sumber-sumber Pertumbuhan Industri ......................................... 156 6.2.1. Sumber-sumber Pertumbuhan Industri Menengah Pertanian dan Non-Pertanian............................................. 159 6.2.2. Sumber-sumber Pertumbuhan Industri Menengah Eksportir dan Non-Eksportir ............................................. 160 VII. IMPLIKASI TERHADAP KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INDUSTRI .......................................................................................... 162 7.1. Implikasi Keberadaan Dinamika Industri Menengah ................... 162 7.2. Keberadaan Kondisi Missing of the Middle ................................. 162 7.3. Skala Usaha .................................................................................. 165 xv
7.4. Sumber Pertumbuhan Industri Menengah .................................... 166 VIII. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................ 168 8.1. Kesimpulan ................................................................................... 168 8.2. Saran ........................................................................................... 171 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 174 DAFTAR BACAAN ............................................................................ 184 LAMPIRAN ......................................................................................... 195
xvi
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Sumbangan Tiga Sektor Utama Terhadap Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku, Tahun 1996, 1999 dan 2002 (milyar rupiah) ......................................................................................
5
2. Rekapitulasi Pola Pengembangan Industri di Indonesia.......................
11
3. Daftar Jenis Industri dengan Kode ISIC 2 Digit...................................
23
4. Kode ISIC 2 Digit Industri Berbasis Pertanian dan Non-Pertanian .....
24
5. Potensi Industri Kecil dan Menengah di Beberapa Negara ..................
26
6. Definisi Industri Menengah di Beberapa Negara .................................
28
7. Jumlah Industri Menengah dan Besar Indonesia Tahun 1996-2002 ....
55
8. Sebaran Sampel Penelitian ...................................................................
57
9. Pertumbuhan dan Sumbangan Sub-sektor Pertanian, Industri dan Jasa pada Poduk Domestik Bruto Indonesia Tahun 1966-2000 ...........
82
10. Jumlah Industri Menengah dan Besar di Indonesia Sesuai Dengan Sub-sektor dan Orientasi Pasar Tahun 1996, 1998 dan 2000 ...............
84
11. Jumlah Tenaga Kerja Industri Menengah dan Besar Sesuai Dengan Sub-sektor dan Orientasi Pasar Tahun 1996, 1998 dan 2000 ...............
85
12. Rata-rata Tenaga Kerja Industri Menengah dan Besar Sesuai Dengan Sub-sektor dan Orientasi Pasar Tahun 1996, 1998 dan 2000 ...............
86
13. Jumlah Output Industri Menengah dan Besar Sesuai Dengan Sub-sektor dan Orientasi Pasar Tahun 1996, 1998 dan 2000 ...............
87
14. Rata-rata Output Industri Menengah dan Besar Sesuai Dengan Sub-sektor dan Orientasi Pasar Tahun 1996, 1998 dan 2000 ...............
88
15. Rata-rata Produktivitas Tenaga Kerja Industri Menengah dan Besar Sesuai Dengan Sub-sektor dan Orientasi Pasar Tahun 1996, 1998 dan 2000................................................................................................
89
16. Perkembangan Jumlah Industri Kecil dan Rumah Tangga, Industri Menengah dan Besar Tahun 1985, 1990, 1996 dan 2000.....................
90
17. Kebijakan, Program dan Lembaga yang Berkaitan dengan Pengembangan Industri Kecil dan Menengah di Indonesia .................
98
xvii
18. Rata-rata Jumlah Unit Industri dan Tenaga Kerja per Klasifikasi Industri Tahun 1996-2000 .................................................................... 105 19. Jumlah Industri dari Hasil Reklasifikasi Tahun 1996-2000 ................. 106 20. Total Pendapatan, Output dan Nilai Tambah pada Harga Berlaku dan Harga Konstan 1996 Masing-masing Skala Usaha Tahun 1996-2000 ............................................................................................ 111 21. Kondisi Dinamika Industri Tahun 1996-2000 ...................................... 113 22. Jumlah Persentase Dinamika Naik dan Turun pada Setiap Strata........ 115 23. Kondisi Dinamika Industri Tahun 1996-2000 ..................................... 116 24. Jumlah Industri yang ’Hilang’ Tahun 1996-2000 ............................... 118 25. Kondisi Dinamika Industri Menengah Tahun 1996-2000 ................... 119 26. Kondisi Dinamika Industri Menengah Berdasarkan Klasifikasi Industri Tahun 1996-2000 ................................................................... 122 27. Kondisi Dinamika Industri Menengah Berdasarkan Klasifikasi Industri Tahun 1996-2000 ................................................................... 124 28. Dinamika Industri Menengah Berdasarkan Orientasi Pasarnya Tahun 1996-2000 ................................................................................. 126 29. Dinamika Industri Menengah Berdasarkan Wilayah Tahun 1996-2000 ............................................................................................ 128 30. Hasil Pengujian Kesesuaian Model ...................................................... 132 31. Hasil Estimasi Parameter Empiris terhadap Dinamika Industri Menengah ke Industri Besar ................................................................. 133 32. Hasil Estimasi Parameter Empiris terhadap Dinamika Industri Menengah Pertanian dan Non-Pertanian .............................................. 138 33. Hasil Estimasi Parameter Empiris terhadap Dinamika Industri Menengah yang Berorientasi Pasar Ekspor dan Domestik................... 139 34. Analisis Crosstabs Investasi Kapital dengan Laba Tahun 2000 .......... 144 35. Potret Industri Menengah di Indonesia Tahun 1996-2000 .................. 149 36. Hasil Reklasifikasi Ulang ..................................................................... 152 37. Definisi Baru......................................................................................... 155 38. Sumber Pertumbuhan Sektor Industri .................................................. 157
xviii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Bagan Alur Latar Belakang Penelitian .................................................
19
2. Kegiatan Industri ..................................................................................
32
3. Dinamika Perkembangan Industri ........................................................
33
4. Dinamika Vertikal Industri ...................................................................
34
5. Lingkungan Bisnis dan Dinamika Industri Menengah .........................
34
6. Model Keterkaitan Dinamika Industri Menengah ................................
35
7. Piramida Industri Indonesia..................................................................
42
8. Kerangka Pemikiran Konseptual .........................................................
52
9. Tahapan Analisis Data..........................................................................
58
10. Tahapan Persiapan Data .......................................................................
60
11. Hubungan Antara Struktur Industri dan Pendapatan Nasional.............
95
12. Kondisi Struktur Industri di Indonesia .................................................
96
13. Jumlah Industri Hasil Reklasifikasi ...................................................... 108 14. Jumlah Tenaga Kerja Hasil Reklasifikasi............................................. 108 15. Jumlah Industri Indonesia Tahun 2000 ................................................ 110 16. Dinamika Industri Menengah Pada Setiap Kelompok Industri (ISIC 2 Digit)........................................................................................ 120 17. Dinamika Industri Menengah Setiap Tahun Pada Kelompok Industri (ISIC 2 Digit)........................................................................................ 121 18. Dinamika Industri Pertanian dan 2 Kelompok Industri Utama ............ 125 19. Kondisi Missing of the Middle Pada Jumlah Industri .......................... 142 20. Kondisi Missing of the Middle Pada Produktivitas Kapital ................. 142 21. Kondisi Missing of the Middle Pada Produktivitas TK ....................... 143 22. Kondisi Missing of the Middle Pada Industri Berbasis Pertanian......... 143 23. Keterkaitan Antara Pengeluaran Pajak dan Lainnya dengan Hambatan Tahun 2000 ............................................................. 145 24. Sumber-sumber Pertumbuhan Industri Tahun 1997-2000 ................... 158
xix
25. Sumber-sumber Pertumbuhan Industri Tahun 1998-2000 ................... 159 26. Sumber-sumber Pertumbuhan Industri Menengah Pertanian dan Non-Pertanian Tahun 1996-2000 ......................................................... 161 27. Sumber-sumber Pertumbuhan Industri Menengah Eksportir dan Non-Eksportir Tahun 1996-2000.......................................................... 161
xx
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah .................................................................................. 196 2. Hasil Output Analisis Multinominal Logit Regression Dinamika Industri Menengah ke Industri Besar.................................................... 200 3. Hasil Output Analisis Multinominal Logit Regression Dinamika Industri Menengah ke Industri Besar untuk Industri Menengah Berbasis Pertanian ................................................................................ 203 4. Hasil Output Analisis Multinominal Logit Regression Dinamika........ Industri Menengah ke Industri Besar untuk Industri Menengah Berbasis Non-Pertanian ........................................................................ 206 5. Hasil Output Analisis Multinominal Logit Regression Dinamika Industri Menengah ke Industri Besar untuk Industri Menengah Berorientasi Ekspor .............................................................................. 208 6. Hasil Output Analisis Multinominal Logit Regression Dinamika Industri Menengah ke Industri Besar untuk Industri Menengah Berorientasi Domestik .......................................................................... 210 7. Hasil Analisis Uji Beda Purata (ONEWAY) Terhadap Pendapatan, Nilai Tambah dan Output per Tenaga Kerja Tahun 1996-2000 .......... 212 8. Output Pengolahan Total Factor Productivity Industri Tahun 1996-2000 ............................................................................................. 232 9. Output Pengolahan Total Factor Productivity untuk Industri Menengah Pertanian dan Non-Pertanian .............................................. 241 10. Output Pengolahan Total Factor Productivity untuk Industri Menengah Eksportir dan Non-Eksportir............................................... 247
xxi
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Suatu sistem perekonomian yang kokoh dan memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi merupakan dambaan dari setiap negara, khususnya bagi negara-negara sedang berkembang. Sistem perekonomian yang kokoh akan mampu menjamin daya tahan dan keberlangsungannya jika ada gangguan (shocks), sementara itu tingkat pertumbuhan yang tinggi akan menjamin sistem perekonomian untuk mampu memenuhi peningkatan kebutuhan/permintaan masyarakat atas barang, jasa dan lapangan pekerjaan yang senantiasa semakin bertambah (Belser, 2000; Girma, et.al., 2003). Oleh karena itu berbagai upaya dan daya senantiasa diarahkan untuk mencapai kondisi sistem perekonomian yang kokoh dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi tersebut. Berbagai upaya kemudian dilakukan untuk mencari faktor-faktor yang berperan dan berpengaruh pada pertumbuhan tersebut. Berbagai
analisis
terhadap
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kokoh tersebut menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Sebagian menunjukkan hasil analisis akan pentingnya pengaruh dari faktor-faktor penyusun pertumbuhan ekonomi seperti: investasi pada sumber daya manusia (oleh Lucas, 1988 dan Romer, 1986 dan 1988). Sedangkan yang lainnya menekankan pada perlunya perubahan teknologi (Solow, 1956; Acevedo, 2002), kepemilikan (ownership) (Morck, et.al., 1988, McConnell dan Servaes, 1990) dan investasi (Beck dan Levine, 2000; Audretsch dan Elston, 2000).
Semuanya kembali menegaskan bahwa
2 pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kokoh adalah tujuan utama yang ingin dicapai setiap negara. Selain penekanan terhadap faktor-faktor penyusun pertumbuhan ekonomi tersebut, peneliti lain seperti Olson (1982), North (1991), serta Clauge dan Rausser (1991), lebih menekankan pada pentingnya struktur dan kelengkapan infrastruktur ekonomi sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi.
Menurut para peneliti ini faktor-faktor penyusun pertumbuhan
ekonomi tersebut akan dapat berperan dengan baik jika berada dalam satu struktur perekonomian yang kokoh. Salah satu struktur perekonomian yang berperan penting bagi tercapainya kondisi pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kokoh tersebut adalah struktur sektor industri (struktur industri) 1. Struktur industri merupakan salah satu topik bahasan yang penting dalam analisis mengenai sistem perekonomian, karena kedekatan hubungannya dengan masalah dinamika perusahaan dan dinamika pasar (Fan, et.al., 2004). Oleh karena itu masalah struktur industri, khususnya dalam aspek dinamikanya, telah menjadi topik penelitian yang cukup luas (Dosi dan Nelson, 1994, Kwasnicki, 1992, dan Peretto, 1999a dan 1999b). Struktur industri yang dinamis dipercaya dapat menjadi faktor utama pendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kokoh (Audretsch, 2001; Aw, 2001; Berry
dan
Rodriguez, 2001; Berry, et.al., 2001; Kisaame, 2004). Dari berbagai studi empiris tentang struktur industri, seperti yang telah
1
Struktur industri (industrial structure) dapat ditelaah dari berbagai sudut seperti: sub-sektor penyusunnya, sebaran dan jumlah unit-unit industrinya, maupun berdasarkan skala atau besaran setiap jenis industrinya (Fan et al., 2004). Pada tulisan ini, struktur industri dipahami sebagai susunan sektor industri berdasarkan skala atau besaran industri-industri pendukungnya yakni industri kecil dan rumah tangga/IKRT, industri menengah/IM dan industri besar/IB (Bloch, 2004).
3 dilakukan oleh Winter, et.al. (2003), serta oleh Bloch (2004), diperoleh beberapa fakta umum (stylized facts) yang berkaitan dengan proses evolusi struktur industri, yakni bahwa: 1. distribusi struktur industri pada umumnya berbentuk jereng (skewed) ke arah industri kecil karena jumlah industri kecil yang jauh lebih besar daripada jumlah industri menengah dan industri besar; 2. hukum efek proporsional, yang menyatakan bahwa perkembangan industri akan terjadi secara proporsional, telah terbukti gagal dan ditemukan kenyataan bahwa pertumbuhan struktur industri, baik secara wilayah maupun waktu, adalah sangat bervariasi (disproportionate); 3. perubahan penawaran akan mempengaruhi tingkat harga rata-rata, yang pada giliran berikutnya mempengaruhi peluang pertumbuhan dan kelangsungan hidup industri; dan 4. adanya kelambatan penyesuaian (inertia) dari struktur industri terhadap perubahan yang terjadi secara tiba-tiba. Berbagai telaah telah dilakukan terhadap fakta-fakta tersebut, misalnya dalam aspek inovasi dan persaingan (Kwasnicki, 1992), perubahan teknologi endogen (Peretto, 1999a dan 1999b), proses difusi teknologi (Hashemi, 2000), masalah dinamika stokastik industri dengan teknologi heterogen (Winter, et.al., 2003), serta hubungan antara daya hidup perusahaan baru dengan intensitas proses seleksi (Reymondon, 1998).
Berbagai konsep pendekatan, seperti
kondisi penawaran dan permintaan (demand and supply conditions), pengaruh stokastik (stochastic influences), biaya operasi (sunk cost), keunggulan pemula (first-mover advantages), dinamika non-linier dan sebagainya, juga dipahami
4 dapat mempengaruhi keberadaan struktur industri (Bloch, 2004). Sektor industri merupakan salah satu sektor yang dapat menjadi pilar utama dalam sistem perekonomian, baik di negara yang maju maupun negara sedang berkembang (Knack and Keefer, 1995).
Oleh karena itu, tingkat
perkembangan sektor industri dari suatu negara dapat digunakan menjadi salah satu indikator dari tahap perkembangan perekonomian negara tersebut. Berbagai teori pembangunan ekonomi, mulai yang klasik dari Adam Smith2, R. Malthus dan David Ricardo, sampai yang ‘modern’, seperti W.W. Rostow dan Simon Kuznets, pada dasarnya juga menyatakan bahwa pembangunan ekonomi senantiasa terjadi dalam beberapa tahapan pergeseran peranan (stages of development) dari sektor pertanian ke sektor industri (Meier, 1995). Studi
tentang
pertumbuhan
ekonomi
suatu
negara
senantiasa
menunjukkan adanya keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan sektor industrinya (Auty, 1995; Knack and Keefer, 1995; Clague, et. al., 1995).
Jika sektor industri suatu negara sudah maju, maka
perekonomian negara tersebut dapat dipastikan juga maju. Demikian pula sebaliknya, jika sektor industrinya tertinggal maka perekonomian negara tersebut juga dapat dipastikan dalam keadaan dan kondisi yang tertinggal pula. Bahkan menurut UNCTAD (1995), kemajuan perekonomian suatu negara dapat dilihat dari pergerakan dan kemajuan sektor industrinya dalam memanfaatkan semua peluang yang ada:
2
Pada awalnya Adam Smith menyatakan bahwa tahapan pertumbuhan tersebut dimulai dengan berburu, berladang, bertani, berdagang dan terakhir masuk pada tahap industrialisasi. Selanjutnya dalam bukunya yang terkenal tentang The Stages of Economic Growth, W.W. Rostow menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi mengikuti tahapan sebagai berikut: masyarakat tradisional, kondisi awal tinggal landas (take-off), lepas landas, kedewasaan dan konsumsi massa (Auty, 1995).
5 “A developing country, in an open economy context, industrializes and goes through industrial upgrading, step by step, by capitalizing on the learning opportunities made available through its external relation with the more advanced world”. Dalam struktur ekonomi Indonesia, sektor industri merupakan salah satu sektor utama dalam sumbangannya terhadap PDB dan ekspor. Terlebih dengan berakhirnya era minyak dan gas (era oil-boom), sumbangan industri non migas terhadap PDB dan ekspor semakin meningkat. Data pada Tabel 1 menunjukkan sumbangan tiga sektor utama, yaitu industri, pertanian dan pertambangan, terhadap PDB pada tahun 1996, 1999 dan 2002. Tabel 1. Sumbangan Tiga Sektor Utama Terhadap Produk Domestik Bruto Dasar Harga Berlaku Tahun 1996, 1999 dan 2002
19.5
2002 Jumlah (milyar rp.) 297 317.0
15.7
109 974.1
9.9
173 624.0
9.1
25.6
287 702.7
25.9
582 136.0
30.7
532 568.0
100.0
1 109 979.5
100.0
1 897 800.0
100.0
490 255.3
92.1
1 003 590.7
90.4
1 721 590.4
90.7
1996 Jumlah (milyar rp.) 88 791.8
(%) 16.7
1999 Jumlah (milyar rp.) 216 913.6
46 088.1
8.7
136 425.9
PDB PDB Non-Migas
Sektor Pertanian Pertambangan Industri
(%)
(%)
Sumber: Statistik Indonesia, BPS (beberapa tahun, diolah)
Dari Tabel 1 tersebut dapat dilihat bahwa sektor industri senantiasa menjadi penyumbang PDB terbesar. Bahkan pada tahun 1999 sektor industri menyumbang PDB lebih dari 25 persen. Sumbangan sektor industri tersebut semakin meningkat pada tahun-tahun selanjutnya. Hal ini terbukti untuk tahun 2002, sumbangan sektor industri terhadap PDB meningkat menjadi 30.7 persen. Pada periode 1980-an dan awal 1990-an, terutama karena pertumbuhan sektor industrinya yang pesat, kawasan Asia diakui memiliki pertumbuhan industri yang pesat dan bahkan menjadi kawasan yang memiliki pertumbuhan
6 ekonomi paling pesat di dunia. Akibat pertumbuhannya yang pesat tersebut, kawasan ini bahkan seringkali disebut sebagai the Asian Miracle yang melahirkan negara-negara industri baru (new industrialized countries/NICs) seperti Taiwan, Korea Selatan, Singapura dan Hongkong (Hulten dan Srinivasan, 1999; Stiglitz dan Yusuf, 2001; Nam, 2002). Kinerja pertumbuhan yang tinggi antara lain dapat dicapai karena adanya intervensi dan dukungan yang aktif dari pemerintah masing-masing negara, dan diiringi dengan perubahan dalam struktur industrinya (Worldbank, 1994; Ozawa, 2001).
Perubahan dalam struktur industri, dari tradisional
menuju moderen, telah mendorong negara-negara NICs tersebut memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat sehingga dijuluki sebagai ‘Macan Asia’ (Nam, 2002). Usaha Indonesia dalam melakukan transformasi sektor industrinya sampai akhir tahun 1990-an boleh dikatakan cukup berhasil. keberhasilannya
Karena
tersebut, pada akhir tahun 1990-an Indonesia juga
dikelompokkan sebagai salah satu negara sedang berkembang yang sebentar lagi akan menjadi negara industri baru, mengikuti keberhasilan beberapa negara Asia, dan menjadi salah satu Macan Asia yang baru. Keberhasilan tersebut kembali menunjukkan akan pentingnya peranan sektor industri dalam mendorong perkembangan ekonomi Indonesia (Dhanani, 2000; Hill, 2001). Selain berbagai faktor yang menjadi pendorong dan penentu pertumbuhan industri, faktor lain yang juga dianggap penting dalam analisis struktur industri adalah masalah skala usaha industri.
Beck, et.al., (2002)
mengemukakan bukti dan contoh yang menunjukkan bahwa ada hubungan
7 yang erat antara ukuran unit usaha (firm size) dengan produktifitas, kelangsungan hidup dan profitabilitas usaha.
Oleh karena itu pemahaman
terhadap aspek-aspek skala usaha akan sangat berpengaruh pada implikasi kebijakan yang akan diambil (size is matter) (Audretsch dan Elston, 2000; CERFE, 1999).
1.1.1. Skala Industri: Penerapan Kebijakan yang Tepat Sasaran Analisis terhadap peranan sektor industri seringkali dilihat dari perspektif peranan masing-masing kelompok atau skala industri yang berada pada struktur industri tersebut. Oleh karena itu analisis masalah keberadaan dan peranan masing-masing kelompok atau skala industri pada struktur industri menjadi sangat penting (Charles, et.al., 2002). Untuk kepentingan analisis tersebut keberadaan IM dan IB dalam struktur industri, yang pada umumnya senantiasa dikelompokkan menjadi IMB, selanjutnya akan diklasifikasikan ulang ke dalam kelompok IB, IM, IKRT3. Dasar pengelompokkan unit-unit usaha industri yang ada dalam suatu struktur industri dapat menggunakan beberapa faktor seperti aset, omset, dan sebagainya. Tetapi pada umumnya dasar pengelompokkan yang paling sering dan mudah digunakan adalah jumlah tenaga kerja. Pengelompokkan skala industri
dengan
menggunakan
jumlah
tenaga
kerja
sebagai
dasar
pengelompokkannya dirasakan paling mudah untuk diterapkan. Hal ini dapat dipahami karena satuan penghitungan untuk jumlah tenaga kerja adalah lebih
3
Industri skala kecil (IK) dan skala rumah tangga (IRT) seringkal digabungkan dan disingkat menjadi IKRT. Sementara itu industri skala kecil (IK) dan skala menengah (IM) kadang juga digabungkan menjadi industri kecil dan menengah (IKM).
8 mudah dilakukan daripada satuan lainnya, misalnya aset maupun omset. Selain itu, satuan jumlah tenaga kerja juga lebih mudah digunakan untuk menggambarkan besaran suatu unit usaha, meskipun hal ini tidak terlalu sesuai jika diterapkan pada industri jasa dan industri yang berbasiskan teknologi tinggi, seperti industri komputer atau industri informasi dan teknologi. Dengan menggunakan jumlah tenaga kerja tersebut, Biro Pusat Statistik (BPS) melakukan penyusunan unit usaha industri dalam struktur industri di Indonesia dengan batasan sebagai berikut: 1. Industri Rumah Tangga (IRT), adalah kelompok usaha industri yang menggunakan tenaga kerja antara 1 sampai 4 orang; 2. Industri Kecil (IK), adalah kelompok usaha industri yang menggunakan tenaga kerja antara 5 sampai 19 orang; 3. Industri
Menengah
(IM),
adalah
kelompok
usaha
industri
yang
menggunakan tenaga kerja antara 20 sampai 99 orang. 4. Industri Besar (IB), adalah kelompok industri yang menggunakan tenaga kerja 100 orang atau lebih. Sementara itu Bank Indonesia (BI) menetapkan kondisi/batasan yang berbeda, yakni dengan menggunakan omset penjualan (produksi) sebagai batasan skala industri.
Dengan menggunakan omset penjualan (produksi)
sebagai batasannya, BI beranggapan bahwa klasifikasi besaran usaha tidak harus diperoleh dari penggunaan tenaga kerja yang banyak tetapi akan lebih baik jika dilihat dari hasil yang diperoleh. Dengan melihat omset penjualan (produksi) tersebut, batasan yang digunakan BI untuk mengklasifikasikan unit usaha industri adalah sebagai berikut:
9 1. Industri Kecil dan Rumah Tangga (IKRT) adalah industri yang jumlah omsetnya di bawah Rp. 1 milyar per tahun; 2. Industri Menengah (IM) adalah kelompok industri yang jumlah omsetnya antara Rp. 1 milyar sampai Rp. 5 milyar per tahun. 3. Industri Besar (IB) adalah kelompok industri yang jumlah omsetnya di atas Rp. 5 milyar per tahun. Dengan batasan ini maka berbagai perusahaan yang bersifat padat modal maupun berbasiskan teknologi, yang dari kegiatan usahanya dapat memiliki omset besar meskipun dikelola oleh tenaga kerja yang sedikit jumlahnya, dapat dikategorikan dengan lebih baik lagi daripada jika yang dilihat hanya dari jumlah tenaga kerjanya saja. Dengan adanya klasifikasi skala usaha industri tersebut, berbagai kebijakan
untuk
menumbuhkembangkan
sektor
industri
dilaksanakan.
Diharapkan dengan memperhatikan unit usaha di masing-masing skala tersebut, berbagai kebijakan yang ada dapat dilaksanakan dengan semakin terarah dan tepat sasaran, serta benar-benar sesuai dengan yang diharapkan oleh unit-unit usaha di masing-masing skala tersebut.
Sayangnya yang
kemudian terjadi tidaklah sesuai dengan seperti apa yang diharapkan sebelumnya. Berbagai kebijakan pembangunan industri ternyata telah menjadi bias pada IK dan IB. 1.1.2. Bias Kebijakan pada Industri Besar dan Industri Kecil Struktur industri yang sehat dan kokoh adalah struktur yang mampu mewujudkan perhatiannya terhadap perkembangan masing-masing kelompok, atau anggota dari struktur tersebut, secara merata dan seimbang (hukum efek
10 proporsional). Sayangnya, selama masa-masa awal pembangunan ekonomi nasional, terutama mulai awal tahun 1970-an sampai pertengahan tahun 1980an, perhatian terhadap masing-masing anggota atau kelompok industri dari struktur industri yang telah dibuat tidak dilakukan secara merata dan seimbang. Pada awal pembangunan industri, perhatian yang penuh terutama hanya ditujukan pada kelompok industri besar (IB).
Kemudian karena adanya
kesadaran atas peranan industri kecil yang penting bagi pembangunan, maka mulai sekitar pertengahan tahun 1980-an perhatian pengembangan industri selanjutnya lebih diarahkan pada industri kecil (IK). Perhatian terhadap IB tersebut dapat dilihat antara lain dari adanya berbagai kemudahan perijinan dan kredit yang ditujukan hanya untuk IB. Hal ini dilakukan karena pada masa-masa awal pembangunan ekonomi tersebut IB dianggap dan diharapkan akan dapat dijadikan sebagai motor penggerak utama pembangunan.
Bahwa pembangunan ekonomi akan dapat dilaksanakan
dengan cepat jika IB dapat berkembang dengan cepat. Kemudian mulai pada pertengahan tahun 1980-an, kesadaran atas peranan industri kecil dan rumah tangga (IKRT) muncul dan bahkan semakin meningkat.
Tetapi karena kondisinya yang dianggap kecil, lemah dan
memerlukan bantuan dan perlindungan, maka perhatian terhadap IK (dan IRT) juga harus dikembangkan secara khusus. Akibatnya perhatian terhadap IKRT lebih banyak bersifat sosial daripada melihat keberadaan IKRT sebagai satu kesatuan usaha ekonomi.
Tabel 2 memberikan gambaran dari pola
pengembangan masing-masing kelompok industri yang menunjukkan adanya bias pengembangan ke arah IB dan IK.
11 Tabel 2. Rekapitulasi Pola Pengembangan Industri di Indonesia Aspek 1. 2. Arah 3. /Tujuan: 4.
Hasil:
Gambaran Pola Pengembangan Industri IB IM IK Motor utama 1. Tidak jelas 1. Menyerap banyak pembangunan 2. Disatukan dengan tenaga kerja Menambah industri kecil 2. Investasi kecil devisa (outwardmenjadi IKM 3. Memanfaatkan looking) 3. Data disatukan input lokal Transfer dengan industri 4. Melayani teknologi besar menjadi kebutuhan Dasar untuk industri menengah masyarakat lokal melakukan dan besar (IMB) lompatan besar (great leap) terarah dengan terarah dengan kemudahan, terabaikan dan tidak kemudahan, keringanan dan berkembang keringanan dan fasilitas fasilitas
Sumber: Tambunan (2003).
Sudah sejak lama para pemikir di bidang industri, yang kerap menduduki pucuk jabatan di pemerintahan Indonesia semenjak kemerdekaan, selalu memunculkan argumentasi bahwa proses pembangunan ekonomi harus dimotori oleh perkembangan sektor industri. Sedangkan sektor industri yang diandalkan menjadi motor penggerak yang dimaksudkan dalam proses industrialisasi tersebut adalah industri besar (industrial led growth).
Oleh
karena itu, industri besar harus senantiasa menjadi yang pertama dan utama dalam perencanaan dan implementasi kebijakan pengembangan industri (Tambunan, 2003). Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997/1998 memberikan pelajaran yang amat berharga, yakni bahwa pemerintah harus merubah cara pandang (paradigma) yang hanya mengutamakan IB dan sekaligus memberikan kesadaran yang baru tentang kekuatan dan kelemahan IKM. Mody (1999) bahkan menyatakan bahwa kebijakan industrialisasi sesudah krisis perlu memiliki orientasi baru dari kebijakan yang semula berorientasi ekspor
12 (outward orientation) ke kebijakan yang lebih memaksimalkan keunggulan internal (new internal capabilities). Sebagai bahan perbandingan, Jepang yang telah menjadi negara industri maju, telah mampu secara bersamaan memperkuat IKM dan IB-nya dalam proses industrialisasinya. Terbukti bahwa keberadaan IKM-nya yang demikian maju telah memperkokoh perekonomian Jepang dan membawanya menjadi negara industri yang maju. Taiwan yang pada awal proses industrialisasinya masih mengandalkan usaha besar (IB) kemudian juga berubah dan lebih mengandalkan pada IKM (Tambunan, 2000).
Sejak saat IKM-nya lebih
diperhatikan, proses industrialisasi Taiwan berkembang dengan jauh lebih pesat.
Korea Selatan pada awalnya juga mengandalkan pengembangan
ekonominya pada IB, tetapi kemudian dalam dekade terakhir menyusun ulang rencana industrialisasinya dan berupaya membuat konsep pengembangan industri
yang
berpola
pada
pengembangan
IB
dan
IKM
secara
seimbang/bersama. IKM yang dimaksud oleh negara-negara maju tersebut adalah benar-benar industri kecil (IK) dan industri menengah (IM). Karena adanya berbagai isu tentang keunggulan IKM, perhatian pemerintah kemudian juga dialihkan kepada pengembangan usaha berskala kecil dan menengah (IKM)4 (Levy, 1991; Song, 1989). Tetapi berbeda dengan negara-negara tersebut, pengakuan atas keunggulan peranan IM di Indonesia masih sangat kurang. IKM yang dimaksud seringkali sepertinya bukan benarbenar ’industri kecil dan menengah’ tetapi lebih sebagai ’industri kecil dan
4
Pada tulisan ini yang dimaksud dengan ”industri” adalah sama maksudnya dengan ”usaha”., dan demikian pula sebaliknya. Sehingga penyebutan ”industri” pada IKM dan ”usaha” pada IKM dimaksudkan untuk arti yang sama dan dapat saling dipertukarkan.
13 mikro’ (Tambunan, 2000). 1.1.3. Industri Menengah: ”Anak Tiri” Struktur Industri Keberadaan IM, sebagai bagian dari struktur industri, berdasarkan kepentingan-kepentingan tertentu seringkali disatukan dengan dengan industri skala kecil (menjadi IKM) ataupun dengan industri skala besar (menjadi IMB). Dalam angka statistik BPS, data tentang IM yang tersedia adalah tergabung dalam data statistik tentang IMB.
Sementara itu, ketika muncul wacana
tentang perlunya peningkatan jumlah kredit bagi industri kecil, keberadaannya kemudian digabung dengan IK menjadi IKM. Bahkan, dari begitu banyak peraturan dan perundang-undangan tentang IK, IKM dan IB, hanya ada satu peraturan yang mengatus secara khusus tentang IM, yakni berupa Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10/1999 tentang perlunya peningkatan peranan IM. Berry dan Levy (1999) secara tegas menyatakan bahwa perhatian pemerintah Indonesia, sejak melakukan tahapan industrialisasinya, telah bias pada IB dan IKRT, sehingga mengakibatkan munculnya kondisi dualistik dalam struktur industri di Indonesia. Berbagai insentif dan kemudahan telah diberikan kepada IB dengan tujuan menjadikannya sebagai motor penggerak pembangunan. Di sisi lain, IKRT juga diperhatikan dan dikembangkan secara penuh, tetapi lebih karena alasan sosial. Satu contoh dari bentuk perlindungan pada usaha kecil tersebut adalah pengecualian usaha kecil dan menengah (IKM) dan Koperasi dalam UU No. 5 tahun 1991 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha. Meskipun di satu sisi bentuk perlindungan tersebut dapat menghindarkan IKM dari persaingan dengan IB, tetapi di sisi lain IKM tidak dilihat sebagai satu entitas bisnis yang harus berjuang dan bersaing secara
14 efisien dengan usaha-usaha atau unit-unit ekonomi lainnya, tetapi lebih sebagai satu unit ekonomi yang kecil dan lemah sehingga senantiasa perlu dilindungi dan dijaga. Di sisi lain, industri kecil dan rumah tangga (IKRT) juga mendapat perhatian penuh dari pemerintah. Perhatian tersebut terutama karena adanya anggapan dan harapan mulai bahwa IKRT mampu menyerap peningkatan tenaga kerja, mengurangi pengangguran dan menumbuhkan ekonomi rakyat. Dengan berbagai pandangan tersebut, maka upaya pengembangan IKRT yang dilakukan selama ini lebih banyak bersifat sosial. IKRT tidak dilihat sebagai suatu unit bisnis (business entity) yang seharusnya mampu untuk tumbuh dan bersaing dalam sistem kompetisi pasar sebagaimana unit bisnis lainnya. Perhatian tersebut, yang lebih mengarah ke aspek sosial tersebut antara lain diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai kemudahan, keringanan dan perlindungan, selanjutnya juga mengakibatkan meningkatnya jumlah IKRT dengan pesat. Upaya-upaya lain sebagai wujud perlindungan pemerintah yang secara khusus bertujuan untuk menghindarkan IKM dari ajang kompetisi dan persaingan bisnis yang sehat dengan IB juga tercermin antara lain dari: 1. adanya kebijakan memberi subsidi modal dengan bunga rendah melalui berbagai skim atau program kredit, dan 2. adanya kebijakan reservasi sektor ekonomi melalui penetapan jenis usaha tertentu (negative list) yang tidak dapat dimasuki oleh IB maupun pemodal asing. Fallasi yang menganggap IKM lemah dan perlu dilindungi justru
15 melemahkan pembentukan struktur industri yang kuat dan kokoh. Anggapan yang keliru dalam menangani IKM tersebut telah memunculkan persoalan struktural dalam pengembangan industri di Indonesia. Industri kecil telah menerima berbagai perlindungan,demikian juga dengan IB yang sebenarnya juga telah menerima berbagai kemudahan. Berbagai kemudahan tersebut antara lain telah mengakibatkan perkembangan IB terjadi cukup pesat. Tetapi sayangnya upaya pengembangan IB tersebut terutama hanya dilakukan pada jenis-jenis industri yang lebih mengandalkan daya saingnya pada murahnya upah pekerja (footloose industries). Selain itu, akibat berbagai fasilitas dan kemudahan yang selalu diterimanya maka meskipun IB terlihat luar biasa tetapi kondisi sebenarnya adalah sangat rentan dan rapuh. Hal ini terbukti dari lebih terpukulnya IB daripada IKM ketika krisis melanda (Sato, 2000). Bahkan untuk menghadai perkembangan dan gejolak sistem perekonomianmendatang, IKM dianggap lebih mampu ’mengendarai gelombang tsunami perubahan’ daripada IB (APEC, 2002). Kelemahan struktur industri di Indonesia diantaranya tercermin dari beberapa kondisi berikut: 1. IMB cenderung padat modal sedangkan IKRT cenderung padat tenaga kerja sehingga memunculkan pola dan kondisi dualisme industri, 2. kurang adanya keterkaitan antara sektor industri dengan sektor pertanian, 3. IMB kebanyakan memproduksi barang untuk konsumsi dalam negeri dengan bahan baku yang masih diimpor dari luar negeri, serta 4. kebanyakan industri tersebut belum mampu berproduksi secara efisien sehingga sukar bersaing di pasar luar negeri.
16 Secara umum dapatlah disimpulkan bahwa proses industrialisasi yang ditempuh oleh negara sedang berkembang haruslah dapat mengkedepankan semua potensi yang dimiliki oleh masing-masing skala industri yang ada dalam struktur industri secara sama dan seimbang.
Jangan hanya bahwa IB
diperhatikan karena dipercaya dapat menjadi motor utama penggerak perekonomian dan IKRT diperhatikan karena aspek sosialnya, maka IM menjadi kurang mendapat perhatian (Siahaan, 2000).
IM hanya dibiarkan
untuk tumbuh, berkembang dan menghadapi persaingan pasar secara sendiri. Akibatnya IM seperti menjadi kelompok industri yang terabaikan dan terpinggirkan sehingga sulit untuk berkembang, apalagi menjadi motor penggerak industrialisasi. Kalaupun IM bisa berkembang, maka akan menjadi unit industri yang lebih tertutup dan sulit didekati5. Akibat biasnya program-program pengembangan industri yang dijalankan selama ini, maka persoalan IM sendiri hampir tidak pernah mendapatkan perhatian yang cukup, baik hanya sebatas wacana saja terlebih dalam bentuk program maupun kebijakan. Pengembangan IKM juga telah mencuatkan kesan yang kuat bahwa IM hanya sekedar ditempelkan pada definisi IK6. Huruf ”M” pada ”IKM”, dalam berbagai implementasi kebijakan pengembangan IKM, sering lebih diartikan sebagai ’mikro’ daripada sebagai ’menengah’.
5
Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa suatu unit industri menengah biasanya sudah berada pada satu komplek atau bangunan pabrik yang tertutup, dikelilingi oleh dinding yang tinggi dan di jaga oleh satpam. 6
Dalam beberapa diskusi, para pemerhati IKM maupun pelaku usaha menengah bahkan pada akhirnya mengatakan bahwa definisi IKM lebih tepat diterapkan pada usaha kecil dan mikro, sehingga usaha menengah sendiri semakin luput dari perhatian.
17 Sebenarnya, bias tersebut sudah berlangsung sejak dari definisi maupun sistem pendataan dan kebijakan usaha di Indonesia. Di sisi pembinaan, oleh pemerintah IM disatukan dengan usaha kecil (menjadi IKM) di bawah payung Kementerian Koperasi dan UKM. Namun di sisi lain, Badan Pusat Statistik, dalam hasil survey industrinya, senantiasa menggabungkan data IM ke dalam data IB menjadi data industri menengah dan besar (IMB). IM terabaikan dari berbagai perhatian yang telah diberikan ke IB, karena dianggap masih terlalu kecil (too small to be big),
dan sebaliknya juga terabaikan dari berbagai
perhatian yang diberikan ke IK, karena dianggap sudah cukup besar (too big to be small). Keberadaan IM menjadi terabaikan, dibanding dengan IB dan IK. Industri menengah menjadi seperti ’anak tiri’ dalam bangunan struktur industri di Indonesia. 1.1.4. Gejala Missing of the Middle Akibat dari biasnya perhatian terhadap IB dan IKRT, arah dan tujuan pengembangan yang secara khusus ditujukan bagi IM menjadi tidak jelas. Beberapa keadaan yang menunjukkan kurangnya perhatian secara khusus pada IM, diantaranya adalah: 1. Adanya kebijakan import substitution industralization (ISI) dan export promotion (EP) yang jelas lebih berpihak dan bias ke IB. Tujuan utama dari kedua kebijakan pembangunan industri tersebut adalah membangun struktur industri yang kokoh. Sayangnya arah dan sasaran utamanya jelas adalah IB. 2. Adanya kebijakan infant industries yang lebih berpihak pada IKRT.
18 Karena adanya ’kesalahan’ yang menganggap IKRT adalah masih lemah seperti bayi dan perlu dilindungi, maka berbagai kemudahan, keringanan dan perlindungan hanya ditujukan ke IKRT. 3. Penyatuan data statistik industri menengah dengan industri besar dalam hasil Survei Industri Menengah dan Besar yang dilakukan oleh BPS. Penyatuan ini mengakibatkan keberadaan IM secara statistikpun menjadi ’hilang dan kabur’ karena data IM menjadi membesar. Oleh karena itu, upaya untuk melihat keberadaan industri menengah secara sendiri harus dilakukan dengan menghitungnya secara langsung dari data mentah hasil survei industri BPS. 4. Tidak ada undang-undang yang khusus mengatur keberadaan dan pengembangan IM.
Jumlah undang-undang maupun peraturan yang
berkaitan dengan IKM dan IB, baik secara langsung maupun tidak langsung, bisa berjumlah puluhan, baik yang berisi perlindungan, pembinaan dan pemberian berbagai kemudahan (insentif).
Sebaliknya
yang berkaitan dengan IM hanya ada satu peraturan, yakni INPRES No 10 tahun 1999, yang dikeluarkan oleh Presiden kepada seluruh jajaran Menteri, Departemen, Gubernur, Bupati dan Walikota, yang isinya hanya menekankan perlunya perhatian pada usaha menengah. Pada tahun 1998, setelah adanya Menteri Koperasi dan UKM, barulah tanggung jawab pembinaan usaha menengah secara resmi disatukan dengan pembinaan usaha kecil, meskipun sampai saat ini implementasinya tetap masih bias ke industri kecil dan mikro (rumah tangga). 5. Ketika pemerintah pada sekitar tahun 1999-an ingin memulihkan kondisi
19 industri akibat krisis ekonomi yang muncul di tahun 1997, yakni dengan mengajukan kemungkinan restrukturisasi atau bahkan penghapusan utang industri, keberadaan industri atau usaha menengah kemudian disatukan dengan industri atau usaha kecil menjadi Usaha Kecil dan Menengah (UKM). 6. Berbagai pembahasan tentang IKM, baik di seminar maupun lokakarya, senantiasa lebih banyak mengarah pada IK-nya daripada IM-nya. Bahkan seringkali IKM tersebut diartikan sebagai industri kecil dan mikro dan bukan industri kecil dan menengah. Secara ringkas latar belakang penelitian tentang pentingnya perhatian yang utuh terhadap struktur industri dan adanya bias kebijakan seperti yang diuraikan di atas, disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Bagan Alur Latar Belakang Penelitian
20 Perbedaan perhatian tersebut mengakibatkan terjadinya kondisi dualistik dalam pengembangan industri di Indonesia. Oleh Berry dan Levy (1999) kondisi dualistik ini dikatakan sebagai terjadinya gejala missing of the middle (MOM).
IM, yang seharusnya mampu menjadi motor penggerak
industrialisasi dan menjadi tulang punggung struktur industri yang kokoh, peranannya menjadi terabaikan dan terpinggirkan. .
1.2. Permasalahan Penelitian Dalam struktur industri, IM pada dasarnya adalah satu entitas tersendiri yang keberadaannya ada diantara IB dan IKRT.
Karena keberadaannya
tersebut, industri menengah juga masih memiliki berbagai kelemahan yang biasanya menjadi ciri dan melekat pada industri kecil, seperti lemah permodalan, pendidikan pengelola yang rendah, manajemen sederhana, dan sebagainya. Tetapi di sisi lain, IM juga dipercaya memiliki peluang untuk lebih mudah mengakses kemajuan teknologi yang berubah dan berkembang begitu cepat jika dibandingkan dengan IKRT. Sementara itu jika dibandingkan dengan IB, IM memiliki fleksibilitas yang lebih baik ketika menghadapi kondisi perekonomian dan pasar yang berubah-ubah dengan cepat (Beck, et.al., 2002). Industri menengah seharusnya menjadi tulang punggung struktur industrialisasi yang sehat dan dapat menjadi industrial ladder bagi perkembangan unit industri dari dari IK ke IB (Beck, et.al., 2002; Schiffer dan Weder, 2001; Keasey dan Watson, 1993). Tetapi karena adanya bias kebijakan industrialisasi, yang lebih condong ke IK ataupun bahkan lebih condong ke IB, keberadaan IM seringkali terabaikan dan ”hilang”.
Muncullah kemudian
21 kondisi dualistik dan gejala missing of the middle (MOM). Karena sudah terbiasa dengan pengabaian tersebut, pengalaman empiris di lokasi penelitian menunjukkan bahwa IM pada umumnya telah menjadi satu entitas tersendiri yang lebih tertutup, baik secara fisik berupa pagar keliling yang tinggi, maupun secara non-fisik berupa keberaniannya untuk secara tegas memutuskan untuk menolak wawancara. Dengan memperhatikan kondisi struktur industri tersebut, maka terdapat empat pertanyaan seputar keberadaan IM, khususnya dari segi dinamika pertumbuhannya. 1. Bagaimanakah kondisi IM di Indonesia.
Apakah memang tidak ada
dinamika usaha pada IM sehingga IM tidak mampu berkembang menjadi IB dan pada akhirnya menimbulkan fenomena tipisnya jumlah IM atau dikenal sebagai gejala missing of the middle (MOM). Faktor-faktor internal dan eksternal apa sajakah yang mendorong atau menghambat kondisi dinamika IM tersebut. 2. Bagaimanakah pengaruh skala usaha dan sumber-sumber pertumbuhan (sources of growth) terhadap perkembangan IM untuk naik kelas, atau berkembang menjadi IB, untuk tetap sebagai IM dan/atau turun kelas menjadi IK. 3. Apakah ada perbedaan pengaruh skala usaha dan sumber-sumber pertumbuhan terhadap dinamika IM pada: (a) masing-masing kelompok IM yang berbasis pertanian dalam arti luas (ISIC 31, 32, 33 dan 35) dan non pertanian (ISIC 34, 36, 37 dan 39), dan (b) masing-masing kelompok IM yang berbeda orientasi pasarnya (domestik/nasional dan ekspor).
22 1.3. Tujuan Penelitian Sesuai dengan latar belakang permasalahan dan permasalahan penelitian, penelitian ini secara umum akan menelaah kondisi dinamika industri menengah pada struktur industri di Indonesia. Secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Melakukan telaah terhadap dinamika pertumbuhan IM di Indonesia dan pengaruh faktor eksternal dan faktor internal yang mendorong ataupun menghambat dinamika tersebut. 2. Melakukan evaluasi terhadap terjadinya kondisi struktur yang dualistik sehingga mengakibatkan terjadinya gejala missing of the middle (MOM). 3. Melakukan telaah atas struktur industri di Indonesia dan sumber-sumber pertumbuhan yang akan berpengaruh terhadap dinamika pertumbuhan industri menengah.
1.4. Kegunaan Penelitian Sesuai dengan permasalahan penelitian dan tujuan yang ingin dicapai, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk merumuskan dan merekomendasikan kebijakan yang dapat dilakukan bagi upaya peningkatan dinamika pertumbuhan IM, serta lebih memacu pertumbuhan IM sebagai tulang punggung struktur industri di Indonesia, khususnya dalam kaitannya dengan: 1. pemahaman yang lebih baik terhadap keberadaan IM dalam struktur skala usaha industri (size is matter) serta peranannya yang potensial sebagai penggerak utama sektor industri, 2. adanya gejala tipisnya jumlah IM (missing of the middle) dalam struktur
23 industri
sehingga peranannya sebagai motor penggerak dan tulang
punggung struktur industri menjadi kurang maksimal, dan 3. keberadaan sumber-sumber pertumbuhan (sources of growth) yang dapat digunakan untuk lebih memacu pertumbuhan IM sebagai tulang punggung struktur industri.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, ruang lingkup penelitian ini adalah pada studi dinamika pertumbuhan IM. Penelitian ini akan menelaah aspek pentingnya skala usaha, terjadinya gejala MOM dan sumber pertumbuhan apa sajakah yang mengakibatkan IM dapat tumbuh dan berkembang menjadi IB atau sebaliknya mengecil menjadi IK. Untuk membatasi permasalahan penelitian, jenis industri yang akan diteliti adalah jenis industri manufaktur atau pengolahan (ISIC 31 sampai 39) dengan rincian seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Daftar Jenis Industri dengan Kode ISIC 2 Digit Kode ISIC 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Jenis Industri Makanan, minuman dan tembakau (Food, Beverages and Tobacco) Textile, produk-produk kulit dan sepatu (Textile, Leather Products, and Footwear) Produk-produk dari kayu dan produk kayu lainnya (Wood Products and Other Wood Products) Kertas dan Percetakan (Paper and Printing) Pupuk, kimia dan produk karet (Fertilizers, Chemicals and Rubber Products) Semen dan produk bukan besi (Cements and Non Metalic Products) Besi dan baja (Iron and Basic Steel) Peralatan transpor, mesin dan peralatan laboratorium (Transport Equipment, Machinery and Apparatus) Produk manufaktur lainnya (Other Manufacturing Products)
Sumber: BPS (2005).
24 Sesuai dengan batasan dari BPS, yang dimaksud dengan industri pengolahan adalah segala kegiatan ekonomi yang mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia atau dengan tangan, sehingga menjadi barang jadi atau barang setengah jadi, atau mengubah barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya, serta sifatnya lebih dekat ke pemakai akhir (Siahaan, 2000). Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang keadaan IM yang sebenarnya, penelitian ini akan dilakukan dalam dua tahap: 1. Pertama, analisis dan telaah terhadap data sekunder yang berasal dari hasil Sensus Industri Menengah dan Besar yang dilakukan secara nasional oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dengan periode waktu 1996 sampai 2000. Data diperoleh dari seluruh populasi industri menengah dan besar yang disurvei oleh BPS. 2. Kedua, analisis dan telaah terhadap data primer yang diperoleh dari wawancara terhadap pelaku industri menengah di 6 propinsi, yaitu DIY, Jabar, Jatim, Bali, Sulsel dan Sumut (Tambunan, 2003), yang diambil secara acak (random) dari IM yang ada. 3. Analisis terhadap kondisi industri yang berbasis pertanian akan menggunakan klasifikasi industri berbasis pertanian dan non-pertanian dengan pengelompokan seperti pada Tabel 4. Tabel 4. Kode ISIC 2 Digit Industri Berbasis Pertanian dan Non Pertanian Industri Berbasis
Kode ISIC
Pertanian
31, 32, 33, 35
Non-Pertanian
34, 36, 37, 38, 39
Sumber: BPS (2005).
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Industri Menengah: Tulang Punggung Industrialisasi Sejak liberalisasi ekonomi dan globalisasi perdagangan dilaksanakan di tahun 1980-an dibawah jargon global market for better future, kondisi perekonomian global masih belum membaik.
Sebagian pihak bahkan
menentang dan mengatakan bahwa: (1) pasar global tersebut hanya mendatangkan keuntungan kecil bagi negara berkembang tetapi sebaliknya keuntungan yang lebih besar dinikmati oleh negara maju, (2) jumlah negara miskin dan penduduk miskin bahkan semakin meningkat, dan (3) keberadaan industri kecil dan menengah (IKM) semakin terpinggirkan oleh industri besar (IB) yang memperoleh keuntungan maksimal dari global market tersebut. Kondisi perekonomian nasional sesudah 1980-an bukannya menjadi semakin baik, tetapi justeru semakin buruk7 dan memuncak sehingga menimbulkan ledakan krisis ekonomi di tahun 1997. Pada saat terjadinya krisis ekonomi itulah keberadaan IKM benar-benar diuji dan kemudian terbukti bahwa IKM tetap bisa survive dan bahkan menjadi safety valve dari hancurnya sistem perekonomian yang berbasiskan IB. Secara riil, jika diukur dengan nilai tambah sebagai ukuran pertumbuhan ekonomi, peranan IKM masih berada di bawah peranan IB. Peranan IK sendiri juga masih sangat kecil. Meskipun demikian jika dilihat dari berbagai sisi lainnya, misalnya dalam hal penciptaan lapangan kerja dan 7
Beberapa penulis bahkan mengatakan kemajuan perekonomian yang terlihat di era 1980-an sungguh begitu luar biasa, khususnya di kawasan ASIA sehingga mendapat julukan Miracle Asia, sebenarnya hanya semu seperti suatu bubble economy yang setiap saat bisa dengan mudah meletus dan hancur berkeping-keping (Stiglitz dan Yusuf, 2001).
26 inovasi, peranan IKM sangatlah besar (Audretsch, 2001). Artikel dari Eropa Bersatu (European Union) (1998) menunjukkan adanya pengakuan bahwa peranan IKM dalam Pasar Eropa Bersatu tetap besar.
Secara berencana
peranan itu bahkan akan diperbesar dengan: (1) memberi perlindungan yang lebih baik, (2) menghapuskan hambatan, dan (3) mendirikan berbagai kelembagaan
untuk
pendidikan
dan
pelatihan
manajemen
dan
enterpreneurship. APEC (2002) juga mengakui bawa secara struktural peranan IKM sangat penting karena: 1. merupakan 98 persen dari total unit usaha yang ada, 2. menyediakan 60 persen kesempatan kerja dari sektor swasta (atau 30 persen dari total angkatan kerja), 3. menghasilkan 50 persen dari nilai tambah dan 30 persen dari ekspor, serta 4. menarik sekitar 10 persen dari nilai foreign direct investment (FDI) (atau 50 persen dari jumlah unit FDI). Tabel 5 menunjukkan konstribusi IKM dalam PDB, tenaga kerja, ekspor dan unit usaha di beberapa negara. Tabel 5. Kontribusi Industri Kecil dan Menengah di Beberapa Negara No
Negara
1 Amerika Serikat 2 Jepang 3 Korea 4 Hongkong 5 Taiwan 6 Singapura 7 Malaysia 8 Muangthai 9 Indonesia 10 Filipina 11 Cina Sumber: Tambunan (2003).
Tahun 1985 1985 1981 2000 1986 1992
Kontribusi IKM dlm. PDB (%) 50.0 57.0 38.0 57.0 55.0 22.6 28.9 30.0 22.6 63.6
Kontribusi IKM dlm. Thd. TK (%) 40.0 79.0 66.0 62.0 70.0 52.2 41.2 49.8 75.0 52.2
Kontribusi IKM dlm. Ekspor (%) 7.0 52.0 32.0 17.0 66.0 15.9
28.0
Kontribusi IKM thd. Jml Usaha (%) 95.0 99.3 97.5 98.0 90.0 98.0 99.0 98.6 99.9
27 Pelajaran yang dapat ditarik dari data pada Tabel 5 tersebut adalah bahwa untuk mengejar petumbuhan ekonomi yang tinggi, diperlukan perluasan peranan IKM. Peranan tersebut terutama dalam hal kemampuan IKM untuk penciptaan lapangan kerja. Data BPS (1993) menunjukkan angkatan kerja industri dalam jumlah dominan (80 persen) bekerja pada IKM. Oleh karena itu, usaha penciptaan lapangan kerja akan lebih berhasil apabila pemerintah tidak hanya memfokuskan harapannya pada pengembangan industri besar saja. Salah satu sifat dari IKM adalah naluri untuk survive dan sifat easy market entry and out of market dalam dunia ekonomi, sehingga membuat produktivitas usaha ini sukar ditingkatkan. Bahkan menurut Urata (2003) IKM memiliki lack of managerial skill serta lemah penguasaan pasar dan teknologi. Survei pada industri kecil dan rumah tangga (IKRT) oleh BPS antara lain menemukan bahwa manajer dan pemilik IKRT kebanyakan hanya tamatan SD, bahkan jarang yang melebihi SD 6 tahun. Kondisi ini sungguh jauh berbeda dengan kondisi industri menengah (IM) yang pada umumnya sudah dikelola oleh manajer profesional dengan pendidikan SMA ataupun Sarjana (Tambunan, 2003). Industri menengah pada dasarnya adalah satu entitas tersendiri yang menjadi bagian dalam satu struktur industri yang secara keseluruhan terdiri atas IB, IM, IK, dan IRT. Karena adanya bias kebijakan industrialisasi, entah lebih condong ke IK atau bahkan lebih condong ke IB, keberadaan IM seringkali terabaikan dan hilang. Industri menengah, yang seharusnya menjadi tulang punggung struktur industrialisasi yang sehat dan menjadi industrial ladder dari IK ke IB, menjadi tidak berperan sama sekali.
28 Salah satu upaya untuk memunculkan keberadaan IM secara lebih nyata adalah dengan menggunakan definisi IM yang tepat. Meskipun sebagian besar sistem perekonomian menggunakan jumlah tenaga kerja sebagai dasar pembagian strukturnya, masih banyak faktor-faktor lain yang digunakan sebagai acuan pembagian. Tabel 6 menunjukkan keberagaman cara pembagian struktur industri di beberapa negara. Tabel 6. Definisi Industri Menengah di Beberapa Negara Country
Institution
Year
Classification
Malaysia
Min. In&Trade
1995 1995 1986
South Korea
Min of Rural Dev. Rep. Act. No. 6977 and NEDA (National Economic Development Authority) The Framework Act on SMEs
Asset: Rm 0.5 – 2.5 million Workers <200 Asset: Rm 50 000 – 2.5 million Asset P 5 – 20 million
Australia
AusIndustry
1998
China Canada
Dept of Industry ESBO (Entrepreneurship and Small Business Office)
1992 --
Taiwan, ROC
Statute of SME Development
1991
Philipina
UK
Companies Act
1995
1985
Sektor All sectors Industry, Agribusines and/or Services
Workers: 21 – 300 Workers: 21 – 50 Workers: 6 – 20 Employees 20 – 99 or Sales A$ 5 – 99 million Prod. Capability 100 – 600 units Employees 50 – 500 Sales Volome C$ 5 – 20 mil. Eployees > 100 Paid-in capital<= NT$ 80 million or, Employee <= 200 Total operating revenue <= NT$ 100 mil or, Employee <= 50 Size Turnover < 11.2 M Pounds or Balance Sheet Value < 5.6 M Pounds Employees 50 - 250 employees
Industry Construction Commerce Industry Ferous Metal All Sectors Manufacturing Manufacturing, construction, mining and quarrying Agriculture, fishing, etc. All Sector
Sumber: Tambunan (2003).
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa masing-masing negara mendefinisikan
dan
mengklasifikasikan
industri
menengah
dengan
menggunakan variabel yang berbeda-beda dan batasan yang berbeda-beda pula. Secara umum terlihat bahwa variabel yang digunakan adalah ukuran tenaga kerja (employees) dan ukuran keuangan, misalnya nilai penjualan (sales). Tenaga Kerja. Tenaga kerja pada umumnya digunakan sebagai dasar klasifikasi karena kemudahan penggunaan dan pertimbangan teknisnya saja.
29 Jika dibandingkan dengan ukuran lainnya, misalnya total penerimaan operasional (total operating revenue) yang masih bisa dibuat sesuai dengan yang diinginkan, maka ukuran jumlah tenaga kerja jelas lebih pasti dalam menghitungnya. Pada umumnya jumlah tenaga kerja yang digunakan adalah antara 20 sampai 250 orang. Dari tabel tersebut terlihat bahwa jumlah tenaga kerja paling sedikit yang digunakan adalah antara 6-20 orang, yakni batasan industri menengah untuk sektor keuangan di Korea. Sementara untuk batasan tenaga kerja yang paling banyak adalah pada batasan yang digunakan di Canada, yakni 50-500 orang untuk semua sektor. Penggunaan jumlah tenaga kerja meskipun secara teknis paling mudah untuk digunakan tetapi juga paling mudah untuk menimbulkan kesalahan dalam memahami besaran suatu usaha yang sebenarnya. Oleh karena itu seringkali ukuran besaran tenaga kerja ini diterapkan secara berbeda untuk sektor yang berbeda atau secara bersamaan disandingkan dengan ukuran-ukuran kinerja keuangan. Ukuran Keuangan.
Selain tenaga kerja, indikator lain yang juga
sering digunakan sebagai batasan kriteria dari industri menengah adalah beberapa ukuran/indikator keuangan tertentu seperti nilai penjualan (sales), omset produksi, total biaya operasi, total pendapatan usaha, nilai perputaran modal, total nilai asset dan sebagainya. Ukuran-ukuran kinerja keuangan ini diterapkan dengan begitu beragam, dari satu negara ke negara lainnya, tanpa ada kesepakatan ataupun keseragaman penggunaan kriteria yang sama. Bahkan dapat terjadi bahwa untuk sektor yang berbeda digunakan ukuran keuangan yang berbeda pula. Misalnya di Korea, untuk sektor manufaktur, konstruksi, pertambangan dan penggalian digunakan kriteria paid-in capital,
30 sementara untuk sektor lainnya (pertanian dan sebagainya) digunakan kriteria total operating revenue. Industri menengah merupakan satu entitas industri yang berada diantara IK dan IB. Karena posisinya diantara IK dan IB tersebut, IM memiliki ciri dan keberadaan yang khas, karena menjadi too big to be small but too small to be big (Schiffer dan Weder, 2001). Studi empiris terhadap IM di enam propinsi (Sumut, Jabar, Jatim, Sulsel, Bali dan DIY) menunjukkan bahwa IM, sesuai dengan klasifikasi BPS, memiliki kondisi yang mulai mandiri tetapi pada beberapa hal masih sama kondisinya dengan IK. Karena karakteristiknya yang khas tersebut, telaah terhadap IM harus dipisahkan dari IK dan IB serta dilakukan secara tersendiri sebagai satu entitas bisnis yang mandiri. Pemisahan IM dengan IK maupun IB akan dapat dilakukan dengan tegas antara lain dengan melalui pembuatan dan penggunaan definisi IM yang tepat. Definisi IM yang tepat akan dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk memunculkan keberadaan IM dalam struktur industri secara lebih jelas. Dengan definisi yang jelas dan terukur, maka keberadaan IM akan dapat diketahui secara lebih pasti.
Berbagai literatur juga menunjukkan bahwa
masalah definisi skala usaha sangatlah penting (size is matter), sehingga keberadaan IM menjadi nyata sehingga nyata pula potensinya untuk dikembangkan menjadi lokomotif perekonomian (Beck et.al., 2002; Schiffer dan Weder, 2001; Keasey dan Watson, 1993). Begitu pentingnya skala usaha, sehingga dalam bisnis industri informatika pun dikenal slogan agar lebih berhasil dengan melalui skala yang besar atau melalui ekstrim lain sebagai ceruk pasar (bagian yang kecil namun dalam) atau sebaliknya bukan sebagai
31 keduanya. Slogan tersebut dikemukakan sebagai: get big, get niche or get out (Wood, 2002). Penelitian ini secara umum akan menganalisis keberadaan struktur industri di Indonesia, yakni tentang bagaimanakah keberadaan struktur industri tersebut dalam kaitannya dengan perananannya dalam perekonomian nasional. Selanjutnya secara lebih khusus, penelitian ini akan melihat kondisi dan keberadaan IM, baik secara umum/menyeluruh maupun secara lebih khusus dalam kaitannya dengan basis industrinya (pertanian dan non-pertanian). Secara khusus penelitian ini ingin menjawab pertanyaan: apakah IM memang memiliki ciri-ciri dan potensi untuk menjadi tulang punggung perekonomian nasional, ataukah kondisi dan keberadaannya masih seperti IK tetapi dalam skala yang sedikit lebih besar. Atau dengan kata lain, IM yang selama ini dianggap sudah lebih besar dan maju daripada IK pada kenyataannya masih sama saja dengan IK. Penetapan skala industri akan dilakukan dengan menggunakan data sekunder dari Sensus Industri Menengah dan Besar yang dilakukan oleh BPS tahun 1996 sampai 2000. Sesuai dengan batasan yang digunakan oleh BPS, penelitian ini juga akan menggunakan jumlah tenaga kerja sebagai batasan skala industri. 2.2. Tinjauan Teoritis 2.2.1. Dinamika Industri Suatu unit usaha industri, atau disebut sebagai industri, seringkali dipahami sebagai suatu sistem yang hidup dan memiliki perilaku seperti makhluk hidup yang lainnya. Suatu industri perlu mendapatkan pasokan input
32 yang terus menerus dan dari proses pengolahan yang dilakukan terhadap input tersebut selanjutnya akan dihasilkan dan dikeluarkan output. Suatu industri juga dapat tumbuh dan berkembang, tetapi sebaliknya industri tersebut juga akan dapat mengalami penurunan dan bahkan kematian. Suatu industri juga memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan demi mempertahankan kehidupannya (Shepherd, 1985). Dalam menjalankan aktivitasnya, suatu unit industri senantiasa berada pada suatu sitem yang terdiri atas: (1) pasar, (2) pemasok dan konsumen, serta (3) keuangan. Ketiga komponen sistem tersebut akan memberikan pengaruh bagi industri untuk menjalankan kegiatan usahanya.
Dengan tanpa
memperhatikan bentuk dan ukuran usahanya, kegiatan utama suatu industri adalah mengkombinasikan berbagai input dalam suatu proses produksi untuk menghasilkan output.
Secara umum kegiatan tersebut dapat digambarkan
dalam Gambar 2 berikut. Shareholders Directors Input Labor Materials and Services Capital Goods
Inputs TC= Qx x Px
Managers Peroduction Process
Ouputs
Buyers
TR= QY x PY
Gambar 2. Kegiatan Industri Dinamika industri menengah dapat dipahami sebagai perubahan yang terjadi secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal dipahami sebagai suatu kondisi yang memungkinkan industri menengah mengalami perkembangan atau kenaikan status menjadi industri besar dan sebaliknya atau industri
33 menengah yang mengalami penurunan status menjadi industri kecil dan sebaliknya (Kwasnicki dan Kwasnicka, 1992). Secara horizontal dinamika industri dipahami sebagai peluang untuk usaha baru (new entry) masuk sebagai industri menengah. Dalam kondisi pasar yang
bersaing
sempurna,
suatu
industri
akan
mengalami
dinamika
pertumbuhan mulai dari fase memulai usaha (new entry), fase pertumbuhan dan perkembangan (growth) hingga mencapai kematangan (market maturity) (Gambar 3).
Fase pertumbuhan horizontal ini sangat tinggi ditemukan di
negara-negara maju, seperti Jepang dan Inggris. Total TK
besar medium
kecil
RT Tahap ke-1
ke-2
ke-3
Sumber: Suarez-Villa dalam Giaoutzi, et.al. (1989)
ke-4
Tingkat Perkembangan
Gambar 3. Dinamika Perkembangan Industri Sementara itu, dalam dinamika pertumbuhan vertikalnya, suatu unit usaha (industri) akan dapat mengalami pertumbuhan yang positif sehingga mengalami kenaikan status, misalnya dari industri menengah menjadi industri besar.
Atau sebaliknya, mengalami pertumbuhan yang negatif sehingga
mengalami penurunan status, industri kecil/RT (Gambar 4).
misalnya dari industri menengah menjadi
34 Industri Besar
Naik Kelas Turun kelas Industri Menengah
Naik Kelas
Turun kelas Industri Kecil
Gambar 4. Dinamika Vertikal Industri Secara umum, lingkungan bisnis (business environment) akan berpengaruh terhadap dinamika industri (Tambunan, 2000). Sejalan dengan definisi ILO (2000), lingkungan bisnis yang dimaksud adalah: (1) institusi kelembagaan (structural institution), (2) institusi keuangan (financial institution), dan (3) institusi teknis (technical institution). Secara bersama ketiga institusi tersebut akan menciptakan suatu lingkungan bisnis yang akan bersifat mendorong atau menghambat perkembangan industri menengah. Secara garis besar model dinamika industri menengah tersebut dapat digambarkan sebagai Gambar 5. Dinamika Industri Industri Besar
New Entry
Lingkungan Bisnis 1. Kelembagaan
Industri Menengah
2. Keuangan 3. Teknis
Industri Kecil
Gambar 5. Lingkungan Bisnis dan Dinamika Industri Menengah Secara
keseluruhan
dinamika
industri
menengah
akan
dipengaruhi oleh keberadaan lingkungan bisnis yang kondusif.
sangat
Tambunan
35 (1999) menunjukkan bahwa lingkungan bisnis yang mendukung tersebut secara lebih mendalam dapat dilihat dari faktor E-3, yakni Enabling Economic Environment. Yang dimaksud dengan faktor E-3 tersebut adalah suatu kondisi pasar
input
dan
output
yang
dapat
diatur
mekanismenya
dengan
memperhatikan faktor internal dan eksternal yang dihadapi. Secara umum diagram keterkaitan diantara masing-masing faktor tersebut dapat dilihat pada Gambar 6. Sisi Supply Input Sektor
Faktor Makro
Faktor Internal IM
Pertumbuhan Eko. Inflasi Bunga uang Daya Beli Employment Instabilitas Harga
Biaya Ketidakpastian Resiko Persaingan Harga Barang Lain
Biaya Produksi
Modal Bahan Baku Tenaga Kerja Pemasaran
Dinamika
IM
Keuntungan (Profit) Potensi Sisi Demand Government Spending Ekspor Swasta
Lingk. Eksternal IM Liberalisasi Perdagangan dan Investasi Kebijakan Desentralisasi
Sumber: Tambunan (1999), dimodifikasi.
Gambar 6. Model Keterkaitan Dinamika Industri Menengah Studi terhadap dinamika pertumbuhan industri menengah pada umumnya dilakukan dalam satu kesatuan dengan industri kecil, sehingga menjadi studi pada IKM. Sampai sejauh ini belum ada hasil telaah yang dilakukan secara khusus terhadap IM. Tetapi karena berbagai penelitian IKM pada umumnya menggunakan kriteria tenaga kerja sampai 200 orang, maka
36 hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai literatur pendukung dalam penelitian ini. Beberapa hasil studi dan literatur industri pada umumnya sedikit memaparkan dinamika perkembangan industri secara historis. Dapat disebut misalnya Hill (1988) dan Siahaan (2000) yang melakukan paparan dinamika industri di Indonesia secara historis. Meskipun telaah tidak dilakukan secara mendalam, tetapi paparan dinamika industri dalam waktu setelah Indonesia merdeka, sebelum krisis dan sesudah krisis dipaparkan dengan cukup akurat. Telaah terhadap dinamika industri selanjutnya juga dapat dilakukan dengan melakukan studi komparatif diantara beberapa negara tertentu. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Kita dalam IPMP (1987) yang melakukan studi komparatif 2 negara antara Korea dan Taiwan. Untuk satu negara, misalnya yang dilakukan Rao dalam Baud dan de Bruijne (1993), menemukan adanya empat faktor/unsur yang mendorong perkembangan industri kecil dan menengah kulit di India. Kita dalam IPMP (1987) mengemukakan secara jelas dinamika struktur industri kecil dan menengah di Jepang yang sangat mendukung perkembangan industri. Adanya perubahan tanggung jawab pembinaan industri kecil dan menengah yang kemudian menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (perfecture) dengan tanggung jawab yang berbeda-beda, terbukti sangat positif bagi dinamika yang terjadi.
Jika
sebelumnya pemerintah hanya sebagai penyedia jasa layanan (services provider) maka selanjutnya pemerintah harus mampu menjadi pengatur (regulator) yang baik. Stewart-Smith (1995) menemukan bahwa perubahan peranan pemerintah dari sekedar penyedia jasa layanan menjadi pengatur
37 kebijakan (regulator) memungkinkan munculnya tantangan (challenges) dan peluang (opportunities). Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, telaah terhadap literatur menunjukkan bahwa penelitian tentang IM senantiasa dilakukan dalam kerangka IKM. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan menjadi salah satu pioner dalam penelitian khusus tentang industri menengah.
Penelitian ini
bertujuan untuk melakukan telaah terhadap industri menengah secara mandiri, artinya tidak terjebak pada kerangka IKM yang memasukkan dan menyamakan IM dengan IK (menjadi IKM) ataupun dengan IB (menjadi IMB). Kemudian, dinamika IM akan diuji dari aspek dinamika vertikal, yakni apakah dalam satu periode pengamatan tertentu IM kemudian secara vertikal naik kelas menjadi IB atau sebaliknya turun kelas menjadi IK. Meskipun sangat sedikit IM yang mengalami dinamika, penelitian ini diharapkan dapat menambah daftar kajian yang khusus tentang industri menengah.
2.2.2. Kondisi Missing of the Middle Sampai dengan saat ketika krisis ekonomi melanda pada tahun 1997, Indonesia senantiasa dipuji karena berbagai capaian pertumbuhan ekonominya sejak akhir tahun 1960-an. Pada masa-masa puncaknya capaian pertumbuhan PDB per tahun cukup tinggi, yakni sekitar 7 persen per tahun, dengan peningkatan pendapatan per kapita sekitar 5 persen per tahun. Capaian ini terutama dimotori oleh keberhasilan proses industrialisasi, baik yang dicapai melalui strategi substitusi impor (import substutition strategy/ISI) yang dilaksanakan sampai tahun 1986-an, maupun melalui strategi promosi ekspor
38 (export promotion/EP) yang diterapkan awal tahun 1990-an ketika sistem perekonomian mulai terbuka (Siahaan, 2000). Perkembangan tersebut terlihat sangat nyata di kelompok industri manufaktur. Sumbangan industri manufaktur terhadap PDB meningkat dari sekitar 10 persen di tahun 1970 menjadi 25 persen di tahun 1986, dengan ratarata peningkatan output sebesar 12.5 persen per tahun dan peningkatan serapan tenaga kerja dari 7.8 persen di tahun 1971 menjadi 12.6 persen di tahun 1996. Peranan industri manufaktur pada total ekspor juga meningkat drastis dari 4 persen di tahun 1984 menjadi 48 persen 1992, dengan nilai riil ekspor dari 1.8 milyar menjadi 16.1 milyar dolar (Hill, 1996). Industri manufaktur tersebut tetap dalam kondisi yang dinamis sampai krisis ekonomi melanda Indonesia di tahun 1997. Struktur industri yang sehat dan kokoh senantiasa akan memposisikan setiap level industri yang ada pada posisi yang sejajar dan seimbang. Melalui perhatian yang sama, masing-masing level industri akan mampu berperan secara aktif untuk secara bersama-sama membangun dan menciptakan suatu struktur industri yang sehat dan kokoh (Hoselitz dalam Livingstone, 1981). Nijkamp, et.al., dalam Giaoutzi, et.al., (1989) menemukan bahwa IKM memiliki peranan yang penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara/wilayah. Sebagai salah satu bagian dari struktur industri, peranan yang penting dari IKM tersebut terutama terjadi pada aspek-aspek berikut: 1. Penyerapan Tenaga Kerja. Salah satu ciri IKM adalah sifatnya yang low and medium labor intensive. Artinya IKM mampu menyerap tenaga kerja yang berketrampilan rendah dan sedang dalam jumlah besar. Data BPS
39 (1999) menunjukkan bahwa terdapat sekitar 2.5 juta IM dari 40 juta unit IKM8. 2. Pemerataan Pendapatan. Karena sifatnya yang lebih locally resource based, IKM dapat ditemukan mulai di kota sampai di pelosok pedesaan dan memberi pendapatan pada low-skilled labor yang tidak akan terserap oleh industri besar. 3. Pembangunan Ekonomi Pedesaan. Lebih dari 70 persen IKM berkaitan dengan kegiatan pertanian dan berada di pedesaan. 4. Peningkatan Ekspor Non-migas. IKM memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan IB, khususnya untuk memenuhi niche market yang ada di pasar ekspor. Pengembangan IKM dapat diharapkan menjadi pendorong ekspor non-migas. Dewasa ini industri menengah telah dipahami memiliki karakteristik dan perilaku yang sudah jauh berbeda dengan industri kecil. Karena sifatnya yang khusus, yakni its too small to be big and yet too big to be small, adalah satu tindakan yang naif untuk senantiasa menyatukan industri menengah dengan industri kecil (Snaith dan Walker, 2002b). Snaith dan Walker (2002a) bahkan mengajukan satu teori untuk memahami industri menengah sebagai satu entitas tersendiri sebagai TOME (Theory of Medium Enterprise). Salah satu dasar utama pengajuan teori tersebut adalah bahwa pemahaman tentang IM tidak dapat sekedar dengan melihat numerical structural quantity-nya saja, tetapi juga harus melihat functional quality-nya.
8
Di Korea dan Taiwan serapan tenaga kerja oleh IKM senantiasa lebih dari 80 persen dari total angkatan kerja sektor industri (World Bank, 1998).
40 Keberadaan industri kecil dan menengah telah dipahami dapat menjadi motor penggerak perekonomian.
Schiffer dan Weder (2001) bahkan
mengatakan bahwa pengembangan IKM akan menjadi sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi dan upaya menurunkan tingkat kemiskinan. Haarhoff (2002) juga mengemukakan bahwa dalam struktur industri yang kokoh, peranan industri kecil dan menengah sangatlah penting.
Oleh karena itu
berbagai upaya pembinaan dilakukan untuk mengembangkan keberadaan industri kecil dan menengah. Sayangnya
berbagai
bentuk
pembinaan
yang
ditujukan
pengembangan industri kecil banyak yang kurang berhasil.
bagi
Salah satu
penyebab dari kurang berhasilnya program pembinaan tersebut adalah karena pembinaan terhadap industri kecil dan menengah (IKM) selama ini lebih banyak diarahkan pada aspek sosial daripada aspek ekonomi dan bisnis. Sebagai akibatnya, perhatian pengembangan lebih diarahkan pada industri kecilnya daripada industri menengahnya. Proses pembangunan ekonomi seharusnya secara alamiah dapat memberi kesempatan berkembang bagi semua kegiatan ekonomi pada seluruh skala industri yang ada. Perhatian dan binaan yang dilakukan harus dapat diarahkan bagi berkembangnya potensi internal unit usaha secara maksimal dalam suatu lingkungan bisnis yang kondusif, apakah itu dilakukan terhadap industri menengah atau terlebih lagi pada industri kecil.
Penentu utama
muncul dan berkembangnya kegiatan ekonomi senantiasa berhubungan dengan alasan-alasan ekonomi, sosial, budaya dan sejarah yang selanjutnya akan menentukan kinerja usahanya, dan bukan pada rasa belas kasih dan sosial yang
41 melatarbelakanginya (Tambunan, 2000).
Akibat dari tidak seimbangnya
perhatian tersebut maka terjadilah ketimpangan dalam struktur industri di Indonesia. Sampai saat ini belum ada satu pengamatan dan/atau penelitian yang secara khusus mencermati ketimpangan yang terjadi pada struktur industri di Indonesia, khususnya dari sudut pandang mobilitas unit usaha dari satu skala ke skala usaha lainnya. Terlepas dari masalah ini, yang sangat menarik adalah mengapa jumlah industri menengah sangat kecil sehingga terdapat kesenjangan yang besar jika dibandingkan dengan jumlah unit industri kecil, sehingga terjadilah bentuk yang tidak seimbang dalam piramida struktur industri. Piramida susunan industri yang pincang ini sering disebut sebagai kondisi missing of the middle (MoM) dari struktur industri (Tambunan, 2002). Kondisi pincang ini diperkuat lagi oleh kenyataan bahwa dalam tangga struktur industri (firm ladder), sangat sedikit IK yang dapat meningkat menjadi IM dan demikian juga IM menjadi IB. Kepincangan yang lebih serius lagi dari struktur industri ini adalah adanya kenyataan bahwa penguasaan aset oleh industri besar melebihi 70 persen dari seluruh aset total unit usaha, padahal jumlah unit usahanya relatif lebih sedikit.
Artinya, industri skala menengah, kecil dan mikro yang
jumlahnya lebih dari 80 persen dari total unit industri yang ada, hanya menguasai 30 persen dari aset total unit usaha. Struktur ini menunjukkan adanya kesenjangan yang sangat parah antara jumlah unit industri besar dengan industri skala kecil dan industri menengah, baik dari sisi jumlah unit usaha
42 maupun pada arah yang berlawanan dari sisi penguasaan assetnya. Kondisi ini dapat dilihat pada Gambar 7.
IB IM
11.000 unit 70.000 unit
Industri Kecil
640.000 unit
Industri RT
1.900.000 unit
(Tidak Termasuk Pertanian)
Keterangan:
----- Struktur Ideal
Nilai Tambah (total)
Sumber: Survei Industri, BPS (diolah)
Gambar 7. Piramida Industri Indonesia
Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa dari segi jumlah terdapat kondisi yang sangat tidak seimbang. Jumlah IKRT jumlahnya sangat banyak dan tidak seimbang jika dibandingkan dengan jumlah IMB. Kalaupun jumlah industri menengah dan besar tidak bisa sebanding dengan jumlah industri kecil, minimal jumlah keseluruhan struktur industri membentuk piramida yang sempurna (tidak patah). Selain itu kondisi yang menarik lainnya adalah struktur perolehan nilai tambah yang membentuk piramida terbalik. Artinya semakin banyak jumlah industrinya maka nilai tambah yang dihasilkannya semakin sedikit, sehingga kondisi ini menunjukkan adanya ketidakefisiensian skala IKRT. Kondisi ini juga menegaskan adanya kepincangan dalam struktur industri di Indonesia. Secara umum, dengan menggunakan jumlah tenaga kerja, klasifikasi struktur industri di Indonesia adalah terdiri dari IB, IM dan IKRT. Perhatian terhadap pengembangan industri sebenarnya cukup besar. Sayang, dengan masing-masing alasan yang berbeda, perhatian tersebut masih lebih banyak
43 ditujukan pada IKRT dan IB sehingga IM menjadi terabaikan. Akibat dari biasnya
perhatian
tersebut,
kedudukan
dan
perekonomian nasional masih belum berkembang.
keberadaan
IM
dalam
Kondisi ini seringkali
dikatakan sebagai kondisi atau gejala hilangnya skala menengah (missing of the middle/MOM). Gejala MOM ini secara harafiah diartikan sebagai jauh lebih sedikitnya jumlah IM jika dibandingkan dengan IK (dan mungkin juga IB), tetapi pada umumnya gejala MOM juga diartikan sebagai kurang berperannya skala menengah dalam struktur industri yang ada. Kurangnya peranan ini terutama bukan dilihat dari jumlahnya yang memang sedikit, tetapi lebih pada produktivitasnya yang ketinggalan daripada IK dan IB. Industri menengah (IM), sebagai bagian dari kelas menengah dalam struktur perekonomian nasional, belum dapat berperan sebagai agen demokratisasi bagi penciptaan struktur industri yang lebih demokratis. Dewasa ini berbagai negara, termasuk negara maju sekalipun, mulai merasakan pentingnya pengembangan IM sehingga bisa menjadi lokomotif perekonomian dan tidak terjadi kondisi missing of the middle (MOM) yang merugikan. Keberadaan MOM membawa konsekuensi sebagai berikut: 1. Mengakibatkan hilangnya atau tidak berperannya fungsi keterkaitan (lack of linkages) IKRT dengan IB. 2. Mengakibatkan hilangnya fleksibilitas dan daya saing (lack of flexibility and competitiveness) IB, karena IB kemudian hanya bersaing dan berhadapan dengan IKRT yang jauh berbeda kondisinya (different playing fields).
44 3. Membuat
tidak
dapat
berkembangnya
daya
kompetensi
internal
(underdevelopment of core competences) dari IB, karena IB kemudian menjadi pemain tunggal (single player) dalam dunia bisnis. 4. Meningkatnya
kerentanan
perekenomian
jika
terjadi
penurunan
(downturns) ekonomi, misalnya karena adanya PHK dan penurunan kapasitas produksi, akibat dominasi IB pada struktur industri. Analisis terhadap keberadaan MOM dalan penelitian ini akan dilakukan dari sisi jumlah, output dan produktivitas tenaga kerja.
Setelah dilakukan
reklasifikasi terhadap jumlah industri yang ada pada Sensus Industri Menengah dan Besar maka akan dapat dilihat apakah dari sisi jumlah memang terdapat gejala MOM. Hal yang sama akan dilakukan terhadap jumlah output dan produktivitas tenaga kerja.
2.2.3. Skala Usaha Dalam setiap proses industrialisasi, keberadaan skala usaha menjadi salah satu faktor utama yang perlu diperhatikan. Keberadaan skala usaha akan menjadi dasar pemahaman terhadap peta kondisi struktur industri yang lebih baik sehingga dapat digunakan sebagai dasar penentu dan arah kebijakan industrialisasi yang akan diterapkan.
Dengan demikian setiap upaya
pengembangan akan benar-benar sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Misalnya, satu kebijakan penurunan suku bunga pinjaman yang seharusnya ditujukan untuk industri menengah memang benar-benar akan sampai dan dinikmati oleh industri menengah yang dimaksud dan bukan dinikmati oleh
45 industri besar yang karena kesalahan penentuan skala usahanya masih dianggap sebagai industri menengah. Dalam struktur industri, penentuan skala usaha pada umumnya dilakukan dengan batasan jumlah tenaga kerja. Meskipun jika dilihat dari jumlah tenaga kerjanya posisi IM sudah jelas, tetapi pada kenyataannya selama ini IM sebenarnya berada pada posisi yang rancu (serba salah dan ambivalen). Pada kondisi tertentu, untuk menunjukkan posisi dan peranan sektor industri dalam perekonomian Indonesia, data IM disatukan dengan kelompok IB sehingga dalam data statistik BPS menjadi Statistik Industri Menengah dan Besar (IMB). Sebaliknya pada kondisi lain, misalnya ketika akan diluncurkan program bantuan kredit berbunga rendah untuk industri kecil, IM masih dianggap sama dan disatukan dengan industri kecil sehingga menjadi satu kelompok industri atau IKM. Akibat dari posisinya yang rancu tersebut, IM acapkali menjadi kelompok yang tertinggalkan (left behind) dari setiap upaya pengembangan industri. Di satu sisi IM dianggap sudah terlalu besar untuk diperlakukan sebagai IK, tetapi di sisi lain IM juga dianggap masih terlalu kecil untuk diperlakukan sama dangan industri besar. Kerancuan ini akan mengakibatkan tidak berkembangnya secara maksimal potensi industri menengah dalam kaitannya dengan upaya memperkuat struktur industri yang ada, serta menjadi industrial ladder dari IK ke IB (Tambunan, 2003). Beck, et.al., (2002), dari hasil studinya terhadap 4.000 industri yang ada di 54 negara, menemukan bahwa masalah skala usaha sungguh perlu diperhatikan dalam upaya menelaah hambatan dan kendala yang dihadapi oleh
46 sektor industri. Masing-masing skala usaha menghadapi jenis dan macam hambatan dan kendala yang berbeda untuk bertumbuh. Ketika membuka RBC Capital Markets Canadian Financial Services CEO Conference, Raymond (2004), President dan CEO dari National Bank of Canada, meskipun lebih untuk industri keuangan, mengemukakan bahwa skala usaha adalah penting (size is matter). Menjadi skala menengah bukanlah merupakan suatu kerugian dan kelemahan, tetapi justeru menjadi keunggulan kompetitif dalam usaha. Secara lengkap ia mengemukakan: “I believe that in today’s business world, bigger is not always better. In fact, National Bank’s medium size gives us numerous competitive advantages. We are big enough to benefit from economies of scale, yet small enough to maintain focus, agility and close control of operations. Perbedaan skala usaha juga mengakibatkan kemampuan industri untuk mengakses sumber daya permodalan menjadi berbeda pula.
Lembaga
keuangan yang besar cenderung akan memberikan pinjaman modal pada industri yang besar, lebih tua umurnya, dan terutama pada IKM yang lebih aman usahanya (Haynes, et.al., 1999). Selain itu, lembaga keuangan yang besar juga dapat memberikan tingkat suku bunga yang lebih rendah pada industri besar serta memiliki prospek usaha yang menguntungkan (Berger dan Udell, 2004). Secara
umum
definisi
industri
menengah
dilakukan
dengan
menggunakan batasan tenaga kerja (pada umumnya bersumber dari batasan yang digunakan BPS) dan omset usaha (pada umumnya bersumber dari Deperindag). Dengan batasan tenaga kerja, industri menengah adalah usaha
47 yang memiliki jumlah tenaga kerja 20 sampai 99 orang. Sementara itu jika menggunakan batasan omset usahanya, industri menengah adalah usaha yang memiliki omset usaha per tahun dari 1 milyar sampai 5 milyar rupiah. Variabel dan batasan yang digunakan pada dasarnya dapat berbeda antara satu instansi dengan instansi lainnya, bahkan antara satu negara dengan negara lainnya. Guna menganalisis keberadaan skala yang ada dan upaya penentuan skala industri menengah yang lebih tepat, penelitian ini akan menggunakan batasan tenaga kerja sebagai dasar penentuan skala industri. Artinya, pada tahap awal, struktur industri akan direklasifikasi dengan menggunakan batasan jumlah tenaga kerja.
2.2.4. Sumber Pertumbuhan Industri Menengah Industri kecil dan menengah (IKM) telah diakui, baik oleh negara sedang berkembang maupun negara maju, memiliki peranan yang sangat berarti dalam perekenomian, khususnya dalam hal kemampuannya untuk menciptakan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja, mempertahankan kesetaraan ekonomi sosial dan stabilisasi harga, demikian juga karena sumbangannya pada pertumbuhan, produktivitas, inovasi, persaingan dan perdagangan (Berry et al., 2001; Urata dan Kawai, 2001; Ngiik, et.al., 2004). Sumbangan IKM pada perekonomian nasional dan global bahkan akan tetap berlanjut di masa globalisasi dan perdagangan bebas. Sumbangan IKM pada perdagangan dunia semakin meningkat. Sumbangan IKM pada perdagangan dunia pada tahun 2002 bahkan telah mencapai antara 20 sampai 25 persen dari nilai total perdagangan dunia (Worldbank, 2003).
48 Industri menengah (IM), yang seringkali disatukan pemahamannya dengan IK, memiliki posisi yang khas dan unik dalam struktur industri yang ada. Sayangnya, dengan posisi yang unik tersebut, keberadaannya seringkali justeru menjadi tertinggalkan dan terabaikan. Industri menengah dianggap sudah terlalu besar untuk mendapat bantuan sebagaimana diterima oleh IK, tetapi juga masih terlalu kecil jika disetarakan dengan IB yang telah mampu mengembangkan dirinya secara mandiri.
Kondisi inilah yang antara lain
kemudian memunculkan gejala tipisnya lapisan menengah dalam struktur industi (Berry dan Levy, 1998). Salah satu asumsi dari keadaan munculnya kondisi missing of the middle (MOM) tersebut adalah bahwa meskipun IM memiliki dinamika usaha yang tinggi tetapi secara keseluruhan keadaan IM adalah stagnan dan bahkan dapat dikatakan tidak dinamis dalam arti jumlahnya sangat lamban untuk berkembang. Hal ini dapat dilihat antara lain dari jumlah total IM yang relatif tetap. Jumlah IM yang meningkat skala usahanya menjadi IB memang cukup besar, tetapi jumlah IM yang turun skala usahanya menjadi IK dan jumlah IB yang turun menjadi IM relatif sama, sehingga secara total jumlah IM seolaholah menjadi tidak berkembang dan memunculkan kondisi MOM tersebut. Tetapi jika ditelaah lebih mendalam terlihat bahwa ada kondisi yang begitu dinamis, dalam arti senantiasa ada yang meningkat kinerjanya maupun meningkat skala usahanya dan pada saat yang bersamaan juga ada yang mengalami penurunan skala usaha (Hoverstadt dan Bowling, 2002; UNCTAD, 2001a).
49 Karena IKM beroperasi pada lingkungan usaha yang dinamis dan kompetitif, maka IKM dituntut untuk senantiasa meningkatkan produktivitas dan daya saingnya sehingga memampukan mereka untuk memiliki peran yang lebih besar dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing IKM dalam lingkungan usaha yang semakin dinamis dan penuh persaingan tersebut adalah dengan memahami dinamika IKM dan faktor-faktor pendorong dinamika tersebut. Salah satu upaya untuk memahami kondisi dinamika industri menengah tersebut antara lain dapat dilakukan melalui analisis terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas dan pertumbuhan IKM (sources of growth) (Price, 1999).
Pemahaman dan analisis terhadap faktor-faktor penyumbang
produktivitas dan pertumbuhan IKM tersebut antara lain dapat dilakukan melalui analisis total factor productivity (TFP). Produktivitas pada umumnya diterjemahkan sebagai tingkat efisiensi perubahan satu satuan input menjadi output dalam proses produksi. Semakin banyak output yang dihasilkan dari satu satuan input yang sama maka produktivitasnya semakin tinggi.
Oleh karena itu produktivitas dapat
dinyatakan sebagai rasio antara total output riil dengan total input. Salah satu metode yang paling banyak digunakan untuk menganalisis produktivitas tersebut adalah model pertumbuhan satu input yang mula-mula diperkenalkan oleh Solow (1957). Menurut model pertumbuhan Solow, produktivitas dapat diukur dari rasio output dengan satu jenis input, terutama adalah tenaga kerja. Sayangnya, dengan model Solow ini maka pengaruh input lain seperti kapital, input antara
50 dan teknologi, menjadi sulit dianalisis pengaruhnya. Beberapa
penulis
kemudian
metode
mengungkapkan
satu
cara
pemecahannya
dengan
pertumbuhan TFP (Aw, 2001; Urata dan Kawai, 2001; Lidholm, 2001). Menurut Helmut et.al. (2002) analisis pertumbuhan TFP memungkinkan untuk memisahkan unsur unsur utama yang berpengaruh pada pertumbuhan produktivitas sehingga secara empiris dapat menunjukkan sumber-sumber utama pertumbuhan.
Jorgenson et.al. (1987) memodifikasi
pendekatan Solow (1957) dengan cara mendekomposisi laju pertumbuhan output menjadi laju pertumbuhan masing-masing faktor produksi (input), yakni tenaga kerja dan kapital ditambah dengan residualnya, yang adalah juga TFP. Dengan cara ini, TFP dihitung dari selisih laju pertumbuhan output dengan laju pertumbuhan masing-masing input, yakni input tenaga kerja dan kapital. Metode TFP kemudian menjadi metode yang cukup banyak digunakan untuk menganalisis pertumbuhan dan produktivitas industri.
Tsao (1980),
dengan menggunakan analisis TFP pada perekonomian Singapura, menemukan bahwa kontribusi kapital terhadap laju pertumbuhan adalah lebih tinggi daripada sumbangan tenaga kerja.
Marks (2005) juga menemukan bahwa
sumbangan kapital stok lebih penting daripada sumbangan tenaga kerja pada pertumbuhan ekonomi Indonesia antara tahun 1985 dan 1990. Tybout (1998) bahkan mengajukan alternatif lain, yakni dengan model ekonometrika, untuk mengukur produktivitas. Conrad (1997) bahkan sudah membuat satu metodelogi ekonometrika yang dapat digunakan untuk mengestimasi keberadaan fungsi produksi. Meskipun berbagai studi tentang dinamika pertumbuhan telah dilakukan dengan menggunakan analisis TFP,
51 tetapi masih sedikit yang secara khusus dilakukan terhadap dinamika IKM dan bahkan lebih sedikit lagi terhadap IM. Penelitian ini secara khusus akan menanalisis faktor-faktor yang menjadi sumber-sumber pertumbuhan dari IM.
Analisis akan dilakukan
dengan menggunakan model TFP yang diturunkan dari model residual dari Solow (1957) dan dikembangkan oleh Jorgenson, et.al., (1987).
Analisis
sumber-sumber pertumbuhan dengan metode TFP sebenarnya sudah banyak dilakukan, baik terhadap IKM maupun IMB. Tetapi analisis TFP yang secara khusus mempelajari IM, yang terpisah dari IKM maupun IMB, masih sangat sedikit dilakukan. Jika dibandingkan dengan berbagai penelitian sebelumnya, penelitian ini akan secara lebih khusus melihat keberadaan IM, sebagai motor penggerak dinamika industri.
Berbagai penelitian sebelumnya lebih menekankan
kemajuan IKM, dan tidak secara khusus menunjukkan peranan IM. Metode pelacakan keberadaan industri selama 5 tahun yang digunakan dalam penelitian ini juga dapat menjadi satu alternatif pengembangan kemampuan metodologi yang relatif masih baru.
2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual Sejalan dengan telaah pada penelitian-penelitian sebelumnya, serta latar belakang permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka susunan permasalahan dan analisis dalam penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 8 berikut.
52 PERMASALAHAN
STRUKTUR INDUSTRI
DINAMIKA INDUSTRI MENENGAH DAN GEJALA MISSING OF THE MIDDLE
SKALA USAHA DAN SUMBERSUMBER PERTUMBUHAN
KEBIJAKAN INDUSTRI Gambar 8. Kerangka Pemikiran Konseptual Sejalan dengan kebijakan pengembangan sektor industri, IM perlu mendapatkan perhatian yang sama dengan IK dan IB. Tumpuan perhatian pada IM dapat dilaksanakan dalam tiga aspek utama yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, dalam hal: (1) struktur industri, (2) dinamika IM dan keberadaan gejala MOM, dan (3) skala usaha dan sumber-sumber pertumbuhan IM. Sebagai suatu studi tentang struktur dan dinamika industri, penelitian ini akan difokuskan pada permasalahan struktur dan dinamika yang dihadapi oleh IM, tentunya dengan tidak mengabaikan peran penting dari IK dan IB dalam sistem perekonomian Indonesia.
Perhatian secara khusus pada IM
diharapkan dapat meningkatkan pemahaman atas pentingnya peranan dan keberadaan IM sebagai tulang punggung struktur industri yang kokoh. Temuan yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi mesukkan bagi penetapan strategi kebijakan pengembangan sektor industri yang lebih seimbang, baik pada IK, IM dan IB. Penetapan kebijakan yang sesuai dengan permasalahan dan potensi masing-masing skala industri
53 diharapkan akan lebih memperkokoh posisi dan peranan sektor industri dalam sistem perekonomian nasional.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan tahapan penelitian yang terdiri atas: (1) analisis terhadap keberadaan industri menengah (IM) dalam struktur industri nasional, dan (2) analisis terhadap kondisi empiris IM, maka untuk masing-masing tahapan, lokasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. BPS Jakarta. Guna memperoleh dan menganalisis data sekunder Sensus Industri Menengah dan Besar, maka lokasi tahapan penelitian yang pertama dilakukan di Biro Pusat Statistik (BPS), Jakarta. 2. Daerah. Sementara itu untuk memperoleh data primer tentang kondisi IM yang sebenarnya, maka untuk tahapan kedua, lokasi penelitian adalah di enam propinsi, yaitu: Propinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali dan Propinsi Sulawesi Selatan. Sumatera Utara dipilih sebagai wakil dari wilayah barat (Pulau Sumatera), Jawa Barat dan Jawa Timur dipilih sebagai wakil Pulau Jawa karena menduduki urutan pertama dan kedua dalam jumlah industrinya, Sulawesi Selatan dipilih sebagai wakil dari wilayah timur dan terakhir Bali dipilih karena karakteristiknya yang khas dalam kaitannya dengan pasar ekspor.
Data primer utama yang
dikumpulkan adalah jumlah tenaga kerja, omset dan nilai penjualannya. Data primer lainnya juga dikumpulkan sebagai tambahan informasi yang digunakan untuk lebih memperkaya dan memperdalam pemahaman.
55 3.2. Jenis dan Metode Pengumpulan Data Pada tahap pertama, yaitu tahap analisis data sekunder tentang kondisi Industri Menengah dan Besar di Indonesia, data yang digunakan diperoleh dari data hasil sensus BPS. Oleh karena itu, pada analisis tahap pertama ini tidak digunakan metode pengambilan sampel dan seluruh populasi industri menengah dan besar hasil sensus dipakai dan dipergunakan dalam analisis tahap pertama. Permasalahan utama yang dihadapi dalam analisis tahap pertama ini adalah ketersediaan data industri untuk semua skala industri. Data industri yang tersedia adalah data Survei Industri Menengah dan Besar. Survei ini, menurut sumber BPS, sudah mencakup sekitar 90 persen dari jumlah industri menengah dan besar yang ada, sehingga dapat menjadi representasi keseluruhan populasi industri menengah dan besar.
Untuk periode waktu
penelitian (1996 sampai 2002), jumlah industri besar dan menengah yang diperoleh dari hasil survei BPS adalah sekitar 22.000 unit industri. Secara keseluruhan jumlah data industri yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Jumlah Industri Menengah dan Besar Indonesia Tahun 1996-2002 Jumlah (unit) Skala 1996 Industri Besar (IB)
1997
1998
1999
2000
2002
6 680
6 618
6 383
6 678
6 724
6 755
Industri Menengah (IM)
16 317
15 768
15 038
15 392
15 443
14 391
Total
22 997
22 386
21 421
22 070
22 169
21 146
Sumber: Survei Industri Menengah dan Besar (BPS)
Keberadaan dinamika industri menengah akan dilacak dari jumlah industri yang mengalami kenaikan atau penurunan skala pada periode tertentu.
56 Kenaikan atau penurunan skala usaha tersebut digunakan sebagai pendekatan terhadap kondisi dinamika industri dan dilakukan dengan cara membandingkan status atau skala industri pada dua periode waktu yang berbeda (antara 1996 dengan 1998 dan 1999 dengan 2000). Untuk kepentingan analisis, dan agar supaya keberadaan dinamika satu unit industri tertentu dapat diketahui maka dipergunakan data dari unit-unit industri yang tetap ada (exist) selama periode yang diamati (1996-2000). Seperti terlihat pada Tabel 7, untuk data industri menengah dan besar yang siap dilakukan analisis dari tahun 1996 sampai 2000, setiap tahunnya lumlahnya berkisar pada 22.000 unit.
Dari keseluruhan data tersebut, dengan
menggunakan kode nomer identitas perusahaan (NIP), selanjutnya dicari unitunit industri yang tetap ada selama tahun 1996 sampai 20009. Dari upaya pencarian tersebut, dapat diperoleh 16.506 unit industri yang tetap ada selama tahun 1996 sampai 2000. Unit analisis dalam penelitian ini adalah industri menengah. Maka untuk tahapan analisis selanjutnya hanya dilaksanakan pada IM. Untuk itu dari data industri yang ada selama tahun 1996-2000 kemudian diambil IM-nya saja. Karena analisis dinamika memerlukan keberadaan IM dalam dua tahun yang berurutan, maka pengambilan IM
dilakukan terhadap IM yang tetap ada
selama 2 tahun berurutan (1996 dan 1997, 1997 dan 1998, dst). Pada tahap ini diperoleh antara 3.413 sampai 3.512 unit industri menengah yang dapat diidentifikasi dinamikanya. Untuk memperkaya pemahaman terhadap kondisi 9 Data industri tahun 2002 memiliki sistem penomeran indentitas perusahaan (NIP) yang berbeda dengan sistem pencatatan pada tahun-tahun sebelumnya, sehingga data tahun 2002 tersebut tidak dapat di-match-kan dengan data tahun-tahun sebelumnya. Dengan demikian untuk pelacakan dinamika hanya dilakukan pada data industri tahun 1996 sampai 2000.
57 IM, maka pada analisis tahap kedua juga dilakukan pengambilan sampel industri menengah di enam propinsi. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive random sampling untuk penentuan propinsi dan kabupaten, serta simple random sampling untuk menentukan responden di masing-masing kabupaten terpilih.
Ketika sampel yang diperoleh belum
memenuhi jumlahnya, maka penambahan sampel berikutnya dilaksanakan dengan metode convinience sampling, sampai jumlah sampel yang diinginkan telah diperoleh. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan melalui studi literatur, observasi, pengisian kuisioner dan wawancara langsung dengan responden. Untuk memperoleh data kerangka sampel responden, digunakan data nama dan alamat industri menengah dari Direktori Industri Menengah dan Besar yang dikeluarkan oleh BPS.
Sampel responden penelitian yang
diperoleh secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Sebaran Sampel Penelitian (unit) Kategori*)
Sumut
Jabar Jatim Bali Sulsel
Total
IK
22
9
14
16
38
99
IM
12
26
22
16
8
84
Total
34
35
36
32
46
183
*) Klasifikasi yang digunakan: IK TK<50 orang, IM TK>=50 orang dan <100, Sumber: Tambunan (2003)
3.3. Metode Analisis Data Sesuai dengan tahapan penelitian, analisis data sekunder dari BPS juga akan dilaksanakan secara bertahap.
Tahap pertama adalah pelacakan unit
58 industri menengah dan besar (IMB) yang tetap ada selama tahun 1996-2000. Data industri (IM dan IB) yang ada tersebut kemudian di-reklasifikasi sehingga diperoleh data IB, IM dan IK, selanjutnya data dinamika IM dianalisis. Secara lebih rinci masing-masing tahapan metode analisis data tersebut dilaksanakan dengan diagram tahapan sebagai berikut:
TAHAPAN ANALISIS DATA Data Sekunder (BPS) Pelacakan IMB yang tetap ada selama 5 tahun
Reklasifikasi: IMB IK, IM dan IB Pelacakan dinamika IM selama 2 tahun berurutan
Pengolahan Data dan Analisis Hasil
Gambar 9. Tahapan Analisis Data Sesuai dengan diagram tahapan analisis data tersebut, langkah-langkah analisis data yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Tahap pertama: analisis kondisi industri. Analisis data sekunder dilakukan terhadap data sekunder BPS untuk dapat memperoleh gambaran atau deskripsi tentang keberadaan IM di Indonesia.
Data Survei Industri
59 Menengah dan Besar tahun 1996 sampai 2000 akan dianalisis secara deskriptif dalam dua periode, sebelum krisis dan sesudah krisis.
Dari
analisis data sekunder ini diharapkan akan dapat diperoleh gambaran umum IM, yang antara lain meliputi aspek jumlah, serapan TK, output, dinamika dan sebagainya. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis, baik dengan statistik deskriptif maupun parametrik sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Pengolahan data dilakukan dengan program SPSS versi 10.0,
setelah data ’dirapikan’ dengan program Excel. 2. Tahap kedua: analisis dinamika IM.
Kegiatan analisis dinamika IM
dilakukan sebagai kegiatan tahapan kedua.
Jenis data yang dianalisis
meliputi pendapatan, output, produktifitas TK, biaya pajak dan biaya bunga. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis, baik dengan statistik deskriptif maupun parametrik sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Pengolahan data dilakukan dengan program SPSS versi 10.0, setelah data ’dirapikan’ dengan program Excel. 3.3.1. Persiapan Data dan Alat Analisis Kondisi dinamika industri menengah akan dilacak dan dianalisis dari jumlah industri yang mengalami dinamika vertikal, yakni kenaikan atau penurunan skala pada periode tertentu. Kenaikan atau penurunan skala usaha tersebut digunakan sebagai pendekatan terhadap kondisi dinamika industri dan dilakukan dengan cara membandingkan status atau skala industri pada dua periode waktu yang berbeda (antara 1996 dengan 1997, 1997 dengan 1998 dan seterusnya).
60 Agar keberadaan dinamika industri menengah dapat terlacak, maka unit-unit industri yang memenuhi syarat, dalam arti tetap ada pada tahun 1996 sampai 2000, terlebih dahulu dilakukan klasifikasi ulang (reklasifikasi) terhadap skala usahanya, menjadi industri besar (IB), industri menengah (IM) dan industri kecil (IK), dengan batasan sebagai berikut: 1. Industri Kecil (IK)
: batasan tenaga kerja adalah 20-49 orang
2. Industri Menengah (IM) : antara 50-99 orang 3. Industri Besar (IB)
: 100 orang atau lebih.
Secara keseluruhan tahapan persiapan atau pembersihan data tersebut dapat dilihat pada Gambar 10. 1996: 22 997
1997: 22 385
96-97: 20 532
1998: 21 423
97-98: 19 737
1999: 22 070 98-99: 20 352
1996-1998 18 141
2000: 22 174 99-00: 20 921
1998-2000 19 341
Tetap ada 1996-2000: 16 506 unit Reklasifikasi IK–IM-IB
96-97: 3.510
97-98: 3.413
98-99: 3.448
99-00: 3.512
Gambar 10. Tahapan Persiapan Data (unit) Tindakan reklasifikasi ini dilakukan agar diperoleh tiga lapisan struktur industri, sebagai representasi industri besar, menengah dan kecil, sehingga dapat dipergunakan untuk ’melacak’ dinamika skala usaha dari masing-masing unit industri yang ada.
61 3.3.2. Analisis Dinamika Industri Menengah Dari hasil reklasifikasi yang dilakukan, selanjutnya ditelaah kondisi dinamika masing-masing IM selama 5 tahun tersebut yang terbagi atas periode 1996-1998 dan 1998-2000.
Penetapan kondisi peningkatan skala usaha,
penurunan ataupun skala usahanya tetap, dilakukan dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:
0 jika SK t = SK t −1 DIN t = 1 jika SK t > SK t −1 − 1 jika SK t < SK t −1
(1)
dimana: DINt = skor dinamika pertumbuhan pada tahun ke-t SKt = skala usaha pada tahun ke-t
Skor dinamika pertumbuhan (DINt) sama dengan 1 jika unit industri menengah tersebut mampu meningkat skala usahanya (SK) dari waktu t-1 ke waktu t. Skor dinamika pertumbuhan (DINt) sama dengan 0 jika unit industri menengah tersebut sama skala usahanya dari waktu t-1 ke waktu t. Sementara itu, skor dinamika pertumbuhan (DINt) sama dengan -1 jika unit industri menengah tersebut skala usahanya (SK) menurun dari waktu t-1 ke waktu t. Setelah skor dinamika pertumbuhan masing-masing IM diperoleh, selanjutnya dilakukan analisis regresi terhadap faktor-faktor eksternal dan internal yang diduga berpengaruh terhadap dinamika pertumbuhan tersebut. Karena skor dinamika pertumbuhan nilainya adalah deterministik (1, 0 dan -1) maka model regresi yang digunakan adalah model Multinomial Logistic Regresion (MLR) atau Multinomial Logit Model (MLM) (Greene 2000). Menurut Abe, et.al., (2002) model MLM sampai sekarang masih menjadi alat
62 analisis yang tersedia dan tepat untuk mempelajari permasalahan respon nonlinier dengan variabel tak bebas yang berbentuk nominal atau ordinal. Analisis untuk dinamika IM adalah sebagai berikut:
PDIN = Prob(Yi = j ) =
e 2
β j1 xi
∑
, j = 0, 1, 2
(2)
1 e β k xi
k =0
dimana: PDIN = Xi
=
e
=
probabilitas dinamika IM dengan Yi= 0 (tetap), 1 (meningkat) dan 1 (menurun) adalah variabel-variabel penjelas (independent variables) yang diduga akan mempengaruhi dinamika IM Exp(β) = odd ratio
Dalam analisis dinamika IM dengan model MLM ini, tahapan penyusunan model empirisnya secara garis besar adalah sebagai berikut: DINt = f ( Faktor Internal, Faktor Eksternal)
(3)
Dinamika pertumbuhan (DINt) industri menengah akan dipengaruhi oleh keberadaan faktor-faktor internal yang dimiliki oleh IM dan juga dipengaruhi oleh keberadaan faktor-faktor eksternal di luar industrinya. Faktor-faktor internal yang diduga berpengaruh terhadap dinamika usaha pada tahun ke-t adalah: umur usaha (UMR), nilai total pendapatan (TPEND), nilai perolehan output (OUTPUT) dan produktivitas tenaga kerja (PRODTK) pada waktu t-1. Analisis terhadap kinerja IM harus juga melibatkan faktor lingkungan luar IM dan tidak hanya melihat IM sebagai satu unit usaha yang tertutup dan mandiri (ADB/TA, 2001). Oleh karena itu faktor-faktor eksternal yang diduga berpengaruh pada dinamika IM adalah: beban pajak (CTAX), beban bunga (CRENT) pada waktu t-1. Dengan demikian model empiris regresi yang
63 digunakan adalah sebagai berikut: DINt = β0 + β1 UMRt-1 + β2 TPENDt-1 + β3 OUTPUTt-1 + β4 PRODTKt-1 + β5 CTAXt-1 + β6 CRENTt-1
(4)
Selanjutnya untuk menangkap gejala-gejala perbedaan kondisi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997/1998, perbedaan kondisi wilayah Jawa dan luar Jawa, dan sebagainya, diintroduksikan beberapa peubah dummy (DKRSi) dengan kriteria pemberian nilai sebagai berikut:
DKRS i =
1
jika kondisi data dapat terpenuhi (5)
0 jika kondisi data tidak dapat terpenuhi
Dengan demikian model regresi empiris yang dipergunakan secara lengkap adalah sebagai berikut: DINt = β0 + β1 UMRt-1+β2 TPENDt-1+β3 O UTPUTt-1+β4 PRODTKt-1 β5 CTAXt-1 + β6 CRENTt-1 + Σ DKRSi + ε dimana: DINt UMRt-1 TPENDt-1 OUTPUTt-1 PRODTKt-1 CTAXt-1 CRENTt-1 DKRSi
= = = = = = = =
βi t εt
= = =
(6)
dinamika IM (-1, 0, 1) umur IM (tahun) total pendapatan per tahun (milyar Rp.) total output per tahun (milyar Rp.) produktivitas tenaga kerja (juta Rp/orang/tahun) beban pajak tidak langsung (ribu rupiah/perusahaan) beban bunga tidak langsung (ribu rupiah/perusahaan) dummy (sebelum dan sesudah krisis; pertanian dan nonpertanian; dan eksportir dan non-eksportir) koefisien regresi, i= 1, 2, 3, 4, 5, 6 tahun error term
3.3.3. Pengujian Signifikansi Dinamika Industri Menengah 1. Wald Test Pengujian model regresi logit yang akan digunakan adalah Uji Wald (Wald-test) dan Odd-Ratio (Quinn, 2001). Uji Wald digunakan untuk menguji perbedaan pengaruh antara atribut yang peubah dummy-nya bernilai 1 dengan
64 semua atribut lainnya yang peubah dummy-nya bernilai 0. Nilai uji-Wald yang digunakan adalah sebagai berikut:
βi W = SE( β i )
(7)
Dengan kriteria pengujian sebagai berikut: Ho : βi = 0 H1 : βi ≠ 0 dimana: βi = vektor koefisien peubah bebas SE(βi) = standar deviasi kesalahan dari βi
2. Odd-ratio Sementara itu, odd-ratio merupakan kemunculan dari peubah dependen (Y=dinamika IM=1) sebesar Exp(β) kali jika atribut yang peubah dummy-nya bernilai 1 muncul, dibandingkan dengan taraf atribut tersebut yang semua peubah bonekanya bernilai 0 muncul. Dengan demikian odd-ratio merupakan interpretasi dari peluang munculnya kondisi 1. Interpretasi dari odd-ratio adalah sebagai berikut: a. Jika koefisien bertanda positif (+) maka odd-ratio akan lebih dari 1. b. Jika variabelnya dummy maka untuk nilai 1 memiliki kecenderungan untuk Y=1 sebesar Exp(β) kali dibandingkan dengan Y=0 (atau bukan =1). c. Jika variabelnya bukan dummy maka semakin besar X, maka Exp(β)≥1, sehingga semakin besar nilai X semakin besar pula kecenderungan Y untuk tidak sama dengan nol.
3.3.4. Analisis Gejala Missing of the Middle Untuk membuktikan keberadaan gejala MOM dalam struktur industri
65 Indonesia maka metode yang digunakan adalah analisa uji beda purata dengan ANOVA. Tahapan pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Data industri menengah dan besar di reklasifikasi ulang sehingga menjadi IK (tenaga kerja 20-79 orang), IM (80-124 orang) dan IB (125 orang atau lebih)10. 2. Dilakukan uji beda purata untuk peubah output, nilai tambah, produktivitas TK dan intensitas kapital pada masing-masing skala usaha. 3. Dengan uji signifikansi ANOVA akan diuji apakah ada perbedaan dalam hal peubah tersebut di atas, yang signifikan antara masing-masing skala usaha. 4. Dari hasil analisis akan diketahui apakah telah terjadi kondisi MOM. 5. Jika terbukti bahwa terjadi kondisi MOM pada struktur industri, kemudian akan dianalisis apakah ada hubungan antara terjadinya kondisi MOM ini dengan dinamika IM. 6. Langkah terakhir, dengan bantuan alat analisis crosstab, juga akan diuji pengaruh kendala faktor eksternal dan internal yang secara signifikan berpengaruh pada terjadinya kondisi MOM. Analisis MOM selanjutnya akan dikaitkan dengan keberadaan kendala internal dan kendala eksternal, dengan menggunakan netode analisis crosstabulations (crosstabs).
Dalam analisis crosstabs, yang dianalisis adalah
terhadap pengeluaran pajak dan lainnya, sebagai faktor penghambat atau pendukung, dengan laba sebagai faktor kinerja. Diduga bahwa ada hubungan
10
Batasan reklasifikasi ini adalah menggunakan hasil temuan pada bab sebelumnya (Bab 2) dalam penelitian ini.
66 yang negatif, berarti berlawanan arah, antara jumlah pengeluaran pajak dan lainnya yang harus dikeluarkan dengan laba yang dicapai. 3.3.5. Analisis Skala Usaha Pemahaman terhadap keberadaan skala usaha adalah sangat penting bagi keberhasilan upaya peningkatan peranan IM (dan program industrialisasi secara menyeluruh). Oleh karena itu masalah pengklasifikasian skala usaha yang tepat menjadi sangat penting (size is matter). Mengingat pentingnya masalah skala produksi tersebut, salah satu tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah mencari cara penentuan skala industri yang benar-benar dapat menggambarkan keberadaan struktur industri secara tepat.
Untuk
mencapai tujuan tersebut, metode yang digunakan adalah uji beda purata (independent samples T-test) dengan model pengujian sebagai berikut: x − µ Xi Thit ,α = i
(8)
µ xi
Tahapan pengujian yang dilakukan: 1. Pembagian skala industri dengan dasar tenaga kerja menjadi beberapa tingkatan skala usaha dengan dasar jumlah TK 50 orang. 2. Menguji tingkat signifikansi rata-rata output di antara masing-masing skala usaha yang telah dibuat pada langkah sebelumnya. 3. Menentukan skala usaha yang tepat untuk digunakan dalam menelaah dinamika IM. 3.3.6. Analisis Sumber-sumber Pertumbuhan Industri Suatu sistem perekonomian pada dasarnya dapat diukur tingkat efisiensinya melalui produktivitas tenaga kerjanya.
Hal ini dimungkinkan
67 karena produktivitas tenaga kerja akan mengukur jumlah output yang dihasilkan per satuan input tenaga kerja yang digunakan (DTI, 2004). Oleh karena itu semakin produktif tenaga kerja maka semakin efisien sistem perekonomiannya dan semakin sejahtera masyarakatnya.
Permasalahannya
adalah bahwa input pada umumnya tidak hanya berupa tenaga kerja tetapi juga berupa kapital. Oleh karena itu produktivitas tenaga kerja saja tidak cukup untuk digunakan sebagai alat ukur. Untuk mengakomodasi peranan kapital sebagai input, selain tenaga kerja, dapat digunakan model analisis total factor productivity (TFP). TFP secara khusus juga akan mengukur jumlah output
yang dihasilkan per satu unit input yang digunakan, yakni input tenaga kerja dan input kapital (DTI, 2004). Konsep pengukuran TFP pertama kali dikemukakan oleh Solow (1957 dalam Martin 2002; Marks, 2005) dalam upayanya untuk mengukur laju pengaruh perkembangan teknologi.
Pertama, Solow menggunakan fungsi
produksi agregat Cobb Douglas sebagai berikut: Q = A(t).F(K , L) dimana: Q A K L
= = = =
(9)
output residual (TFP) input kapital input tenaga kerja (labor)
Dengan melakukan turunan logaritmic terhadap waktu (t), maka akan diperoleh laju perubahan output sejalan dengan waktu sebagai berikut: F F Q& A& FK & FL & A& = + K+ L = + A K K& + A L L& Q A F F A Q Q
(10)
Dengan mengasumsikan pasar input adalah bersaing sempurna, sehingga faktor-faktor produksi dibayar sesuai dengan nilai produk marjinalnya, maka
68 share dari total output adalah sebagai berikut:
αL =
L L Q L = A FL Q Q
dan
αK =
K K Q K = A FK Q Q
(11)
Menggantikan persamaan (11) ke (10) akan diperoleh: Q& A& K& L& = + αK + αL Q A K L
(12)
Kemudian dengan asumsi constant return to scale sehingga F adalah fisrtdegree homogenous, maka nilai output per unit TK dapat ditulis sebagai
berikut: q=
Q F ( K , L) K = A(t ) = A(t ) F ,1 = A(t ). f ( k ) L L L
(13)
Sekali lagi, dengan melakukan turunan logaritma terhadap waktu (t), maka diperoleh persamaan sebagai berikut:
q& A& k df k& = + q A f dk k
(14)
Kemudian αK disederhanakan sehingga diperoleh:
αK =
K K/L k df K FK ( K , L) = FK ,1 = F ( K , L) [F ( K , L) / L] L f (k ) dk
(15)
Karena fungsi produksi adalah homogenous degree one, maka turunan dari fungsi produksinya adalah homogenous degree zero. Sehingga persamaan (14) berubah menjadi:
q& A& k& = +αK q A k
(16)
Dengan data time series pada Q/K , K/L dan α K , maka nilai A& /A yaitu laju perubahan output dapat dilacak perubahannya dari perubahan pada tingkat
69 input. Nilai A& /A inilah yang dikenal sebagai Solow residual yang sekaligus menjadi nilai laju perubahan teknologi dan kemudian dikenal sebagai total factor productivity (TFP).
Dengan cara sedikit berbeda, para ahli ekonomi, khususnya dalam upayanya untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, telah lama tertarik dengan nilai statistik dari persamaan berikut: St =
GNPt K tα k ntα n
dimana: βi
(17)
= vektor koefisien peubah bebas
GNPt Kt
= =
nt
=
gross national product pada periode t total stok fisik kapital dari keseluruhan sistem ekonomi pada periode t tingkat tenaga kerja keseluruhan sistem ekonomi pada periode t.
Ketertarikan tersebut berlandaskan aspek empiris dan teoritis. Pada tataran empiris, nilai St ternyata senantiasa bergerak sejalan dengan total output (Christiano, 2002). Pada tataran teoritis, nilai inilah yang sebelumnya dikenal sebagai Solow residual yang digunakan untuk mengukur TFP Menurut model analisis TFP, yang mula-mula diperkenalkan oleh Jorgenson et.al. (1987), pertumbuhan TFP ditentukan oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Diantara berbagai faktor input tersebut, faktor-faktor utama yang paling berpengaruh adalah input tenaga kerja, jumlah kapital yang dimiliki, tingkat teknologi yang digunakan dan pengembangan teknologinya, dan ketersediaan input antara yang cukup dan berkualitas.
Sesuai dengan tahapan analisis Jorgenson et.al. (1987)
penyusunan model persamaan untuk menghitung TFP dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut. Pertama, fungsi produksi dinyatakan sebagai berikut:
Xt = f (Kt, Lt)
70 (18)
dimana: Xt = output pada periode t Kt = input kapital pada periode t Lt = input tenaga kerja pada periode t
Diferensiasi persamaan tersebut terhadap t menghasilkan persamaan:
d ln x δ ln x δ ln K δ ln x δ ln L δ ln x = • + + δ ln K δt δ ln L δt δt dt dimana:
(19)
δ ln x = residual output atau TFP δt
Atau dengan cara lain, persamaan (19) tersebut dapat ditulis sebagai berikut: [ln Xt – ln Xt-1]= SK[ln Kt – ln Kt-1] + SL[ln Lt – ln Lt-1] + ST dimana: Xt SK SL ST Kt Lt
= = = = = =
(20)
output riil elastisitas output terhadap input kapital, SK=½(SKt – SKt-1) elastisitas output terhadap input tenaga kerja, SL=½(SLt – SLt-1) laju pertumbuhan TFP input kapital riil input tenaga kerja riil
Dengan asumsi kenaikan hasil yang tetap (constant return to scale), fungsi produksi Hick’s yang netral terhadap perubahan teknologi dan persaingan sempurna, SK dan SL dengan demikian adalah share dari masing-masing input kapital dan tenaga kerja terhadap total output atau Sk+SL=1. Dalam penelitian ini data yang dipergunakan berasal dari Sensus Industri Menengah dan Besar (BPS) tahun 1996 sampai 2000. Agar dapat menangkap kondisi dinamika industri menengah, data industri yang dipergunakan hanya unit-unit industri yang tetap ada selama periode waktu tersebut dan direklasifikasi ulang sehingga menjadi IK, IM dan IB. Output diukur dari nilai output riil pada tingkat harga 1996, tenaga kerja diukur dari biaya gaji dan kapital diukur dari total pengeluaran untuk produksi, listrik dan bahan bakar.
71 Analisis TFP pertama-tama dilakukan secara total terhadap masingmasing skala industri (IK, IM dan IB), sehingga dapat dianalisis sumber pertumbuhan untuk masing-masing skala industri.
Untuk kepentingan
pemahaman terhadap pengaruh krisis ekonomi, analisis juga akan dilakukan untuk periode 1996-1998 dan 1998-2000. Kemudian untuk memperoleh gambaran tentang dinamika industri menengah, maka secara khusus analisis hanya dilakukan terhadap industri menengah, yang mengalami kenaikan, tetap dan penurunan skala. Meskipun Liedholm (2001) juga mengemukakan bahwa faktor lokasi juga memiliki pengaruh yang kuat terhadap pertumbuhan industri tetapi untuk memperoleh gambaran yang lebih baik, analisis TFP hanya akan dilakukan terhadap sektor-sektor industri (ISIC 2 digit), pertanian dan nonpertanian, serta orientasi pasar (ekspor atau domestik).
IV. STRUKTUR INDUSTRI INDONESIA
4.1. Sejarah Perkembangan Industri 4.1.1. Masa Penjajahan Belanda Sejarah perkembangan industri di Indonesia menunjukkan bahwa sampai sekitar abad ke-10 sama sekali tidak ada catatan tentang keberadaan dan perkembangan industri di Indonesia, atau Hindia Belanda pada waktu itu (Siahaan, 2000).
Berbagai catatan sejarah/prasasti yang ada hanya
menceritakan tentang sejarah berbagai kerajaan atau catatan tentang kehidupan raja yang berkuasa pada waktu itu. Bahkan menurut Hill (1988), sebelum tahun 1920 sektor industri maju hanya terdiri atas sejumlah kecil industri rumah tangga musiman (seperti penggilingan padi, kain dan sebagainya) serta aktivitas yang berkaitan dengan perkebunan. Meskipun tidak ada catatan tentang sejarah industri di Indonesia, ada satu catatan dari dinasti T’ang (618-906) yang menyatakan adanya sebuah daerah di Lautan Selatan yaitu Holing (yang kemudian dikenal sebagai Jawa) yang menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan minuman keras dari bunga kelapa (Siahaan, 2000). Catatan itu menyiratkan bahwa sebenarnya sudah ada perkembangan industri, khususnya industri kerajinan, minimal pada skala industri rumah tangga pada sekitar abad ke-6. Sayangnya tidak ada catatan yang dapat menunjukkan tingkat teknologi yang digunakan untuk menghasilkan produk-produk tersebut. Dari berbagai tulisan yang menceritakan secara rinci keadaan beberapa daerah di Indonesia pada abad 16 sampai 19, yang antara lain ditulis oleh Sir
73
Thomas Raffles, mulai dapat ditemukan catatan tentang keadaan industri di masyarakat dan berbagai peralatan dan hasil kerajinan rumah tangga yang dihasilkan (Siahaan, 2000).
Artinya, sesuai dengan catatan tersebut,
keberadaan industri sudah mulai ada dan bahkan sudah menyatu dengan kehidupan keseharian masyarakat.
Oleh karena itu telaah terhadap
perkembangan industri di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
kondisi
struktur kemasyarakatan yang ada pada waktu itu. Pada masa ketika masih jaman raja-raja dan kerajaan, dan juga kemudian selama Belanda menjajah Indonesia, struktur masyarakat Indonesia dapat dibedakan atas 3 lapis atau strata kelompok masyarakat sebagai berikut: 1. Strata atas: terdiri dari para raja dan bupati, yang masing-masing dikelilingi oleh para kerabatnya yang sekaligus juga berperan sebagai staf dan pembantu raja. 2. Strata menengah: terdiri dari para camat, penghulu dan semacamnya yang mendapat wewenang dari raja dan bupati sebagai perantara antara raja dan rakyat biasa. 3. Strata bawah: rakyat biasa yang terdiri dari para petani, peternak, nelayan, kuli dan sebagainya. Meskipun keberadaan strata masyarakat ini tidak seketat dan setajam sistem kasta yang ada di beberapa negara seperti India, Bangladesh dan sebagainya, ada anggapan bahwa lapisan atas hanya diperuntukkan bagi kelompok bangsawan (ningrat) yang berdarah biru. Sementara yang berada di lapisan bawah, dan juga sebagian dari lapisan menengah, adalah kelompok masyarakat yang berdarah biasa. Lapisan atas memiliki superioritas, dalam
74
bentuk hak dan kewajiban, yang berbeda dengan lapisan bawah. Sementara itu lapisan menengah pada dasarnya adalah lapisan bawah yang karena jabatannya bisa naik kelas ke lapisan menengah, atau karena hal-hal yang luar biasa bisa juga naik ke lapisan atas. Posisi dimana seseorang berada biasanya tercermin dari nama yang digunakan. Sistem pelapisan dengan cara ketiga lapisan tersebut pada umumnya hanya berlaku bagi penduduk lokal (pribumi). Sementara itu, khususnya mulai pada masa penjajahan Belanda, di luar ketiga lapisan tersebut masih terdapat kelompok penguasa ekonomi yang terdiri atas pemerintah Hindia Belanda, yang bekerja sama dengan para raja dan bupati sebagai perpanjangan tangannya, serta kelompok masyarakat swasta Belanda dan swasta dari golongan lainnya (Tionghoa, Arab dan India). Pada tahun 1855, secara de facto dan de jure melalui peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Belanda, penduduk dapat dibedakan menurut tiga golongan, yaitu: Belanda, Timur Asing (Tionghoa, Arab dan India) dan bumiputera (Gitosardjono 2000). Terhadap masing-masing golongan tersebut diperlakukan hukum dan peraturan yang berbeda-beda. Kelompok Tionghoa secara khusus diberi hak untuk menjadi pedagang antara, yang pada banyak hal secara yuridis diberi hak seperti yang dimiliki oleh kelompok Belanda. Pada masa awal penjajahan Belanda, industri skala besar yang pertama kali dikembangkan adalah industri/pabrik gula, yang didukung dengan program tanam paksa (culturstelsel) antara tahun 1831-1870. Sampai tahun 1900-an berbagai industri perkebunan (karet dan teh), semen dan makanan minuman juga mulai dikembangkan. Meskipun demikian, Hill (1988) mencatat bahwa
75
sampai tahun 1920 hanya ada dua pabrik besar di seluruh negeri, selain pabrik pengolahan perkebunan, yang dua-duanya dimiliki oleh asing yaitu pabrik rokok British-American Tobacco (BAT) dan pabrik perakitan mobil General Motors. Dari tahun 1900 sampai pendudukan Jepang di tahun 1942, berbagai jenis industri lainnya juga mulai dikembangkan, termasuk di dalamnya industri kecil yang mulai mendapat perhatian. Pada masa itu berbagai proteksi mulai diterapkan untuk melindungi industri dan perusahaan dalam negeri. Melalui kebijakan industri tahun 1937 yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Belanda, ditetapkan bahwa industri pengolahan hanya ditempatkan di Jawa dan industri pertanian ditempatkan di Luar Jawa dan sementara itu industri kecil diberikan proteksi khusus dan didorong untuk berkembang (Gitosardjono, 2000). Akibat berbagai kebijakan Pemerintahan Belanda yang diskriminatif tersebut, perkembangan industri skala besar hanya dikuasai oleh perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah Belanda. Kelompok monopoli big five Belanda pada waktu itu mampu berjaya dengan skala usaha yang sudah dapat dimasukkan sebagai konglomerat (Siahaan, 2000). Di samping itu, akibat prioritas perdagangan yang diberikan, kelompok Tionghoa juga mampu berkembang dan bahkan menguasai hampir seluruh aktivitas perdagangan. Salah satu keluarga Tionghoa yang mencuat dan menjadi konglomerat adalah Oey Tiong Ham di Semarang dengan bisnis utamanya usaha perdagangan hasil pertanian dan perkebunan, khususnya gula, kopi dan beras. Jika kelompok masyarakat Tionghoa mendapat keistimewaan untuk melakukan kegiatan perdagangan, maka bagi kelompok pribumi kegiatan
76
ekonomi utamanya adalah di sektor pertanian dan perikanan. Meskipun ada juga sebagian masyarakat pribumi yang bergerak di bidang perdagangan, tetapi pada umumnya mereka hanya berusaha di sektor perdagangan sebagai pedagang eceran di pasar-pasar umum tradisional (wet market). Setelah terjadinya depresi ekonomi tahun 1930, keberadaan usaha kelompok pribumi mulai mendapat perhatian dari pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1933 dikeluarkan peraturan khusus (reservation scheme), lebih dikenal sebagai BRO, yang bertujuan untuk melindungi keberadaan dan kehidupan sektor industri rumah tangga (cottage industries) milik pribumi. Kelompok etnik lain, selain pribumi, dilarang melakukan usaha di sektor tersebut (Gitosardjono, 2000). Selain memberikan perlindungan terhadap industri rumah tangga, Belanda juga mendorong pembentukan koperasi konsumsi dan simpan pinjam. Akibat adanya perlindungan tersebut, industri rumah tangga milik pribumi mampu mempertahankan keberadaannya sampai ke pelosok-pelosok pedesaan. Tetapi di sisi lain, akibat perlakuan yang diskriminatif tersebut, kemampuan kewirausahaan (enterpreneurship) dari masyarakat pribumi menjadi kurang atau bahkan sama sekali tidak berkembang. Sampai Indonesia merdekapun di tahun 1945, dominasi kelompok Tionghoa terhadap perekenomian Indonesia masih sangat kuat (Gitosardjono, 2000).
4.1.2. Masa Pendudukan Jepang Selama masa pendudukan Jepang (1942-1945), seluruh aktivitas perekonomian menjadi lumpuh. Hampir semua komponen masyarakat hanya diarahkan untuk mendukung dan membantu kepentingan perang saja. Pada
77
masa ini semua industri diubah fungsinya untuk mendukung keperluan perang dengan memproduksi alat perang ataupun untuk memproduksi keperluan logistik peperangan. Masyarakat diharuskan untuk melakukan swasembada guna memenuhi kebutuhannya sendiri (Siahaan, 2000). Karena waktunya yang relatif singkat, tidak banyak ditemukan catatan yang mencukupi tentang keadaan dan perkembangan industri selama periode pendudukan Jepang ini.
4.1.3. Masa Indonesia Merdeka Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya di tahun 1945, sampai tahun 1950an, Indonesia masih bergulat secara politis untuk mempertahankan kemerdekaannya dari kemungkinan perpecahan di dalam negeri maupun mempertahankan dirinya dari keinginan Belanda untuk kembali berkuasa.
Setelah diperoleh pengakuan PBB atas kedaulatan Indonesia di
tahun 1950, maka dapatlah dikatakan bahwa mulai saat itulah aktivitas perekonomian bergerak kembali. Kekosongan fungsi perekonomian yang ditinggalkan Belanda segera diisi oleh etnis Tionghoa, yang memang merupakan kelompok yang paling siap pada waktu itu (Gitosardjono, 2000). Meskipun pemerintah telah melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan milik Belanda di tahun 1957 sampai 1959 dan milik keluarga Oey Tiong Ham pada tahun 1961, secara de facto kegiatan perekonomian Indonesia pada periode tahun 1950 sampai 1965an hampir sepenuhnya dikuasai oleh etnis Tionghoa. Sejak peralihan pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru pada tahun 1965, perkembangan industri mulai menunjukkan peningkatan yang berarti. Peranan kelompok pribumi juga mulai meningkat. Secara garis besar dapatlah
78
dikatakan bahwa kebijakan pengembangan industri di Indonesia, yang sebenarnya dan yang mulai dilaksanakan secara terarah, dimulai melalui pencanangan program Pembangunan Lima Tahun Pertama (PELITA I) tahun 1966. 4.2. Kebijakan Pengembangan Industri Pada awal pelaksanaan pembangunannya, Indonesia memilih kebijakan yang bersifat sentralistik, dalam arti bahwa berbagai kebijakan utama dalam pembangunan direncanakan dan ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dengan otoritas yang dimiliki sejak awal pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun yang pertama (REPELITA I), pemerintah sebenarnya telah menetapkan pembangunan industrialisasi yang berbasiskan sektor pertanian, sebagai landasan utama pembangunan nasional. Melalui tiga Pelita yang pertama11, pemerintah sebenarnya juga telah berupaya mentransformasikan basis pembangunan dari sektor pertanian ke sektor industri dengan cara: (1) memanfaatkan surplus pendapatan yang diperoleh dari penjualan minyak (oil boom) dan (2) memacu masuknya investasi dari luar negeri12.
Karena pada periode awal ini sumber utama
pembiayaan pembangunan adalah dari surplus minyak maka periode ini sering dikenal sebagai Periode Oil Boom.
Dua kenijakan industrialisasi yang
kemudian diterapkan adalah kebijakan substitusi ekspor (ISI) dan promosi ekspor (EP). 11
Dari sejarah perkembangan Indonesia, dapatlah dikatakan bahwa titik awal pembangunan nasional yang terencana dengan baik adalah pada tahun 1966, yakni sejak mulai dicanangkannya tahapan Pembangunan Lima Tahun (PELITA) yang pertama. 12
Undang-undang yang berkaitan dengan upaya menarik modal asing yang telah dikeluarkan pemerintah pertama kalinya adalah Undang-undang Nomer 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA).
79
4.2.1. Strategi Substitusi Impor (Import Substitution Industrialization) Di bidang industri, dengan tetap memanfaatkan surplus minyak sebagai sumber pembiayaannya, strategi pembangunan industri yang mula-mula diterapkan adalah strategi substitusi impor (ISI). pemerintah
mendorong
pembangunan
unit-unit
Melalui strategi ISI ini, industri
yang
dapat
mengurangi, meniadakan dan/atau menggantikan produk-produk yang selama ini harus diimpor.
Meskipun strategi ini lebih memihak pada sistem
perekonomian tertutup (autarky), strategi ini cukup berhasil memacu muculnya unit-unit industri besar dan juga melindungi industri dalam negeri ketika Indonesia mulai membuka sistem perekonomiannya. Strategi ini telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 7 persen per tahun (Tambunan, 2003) dan mengakibatkan keberadaan Indonesia yang mulai diakui oleh dunia luar. Kebijakan ISI ini diterapkan sampai sekitar tahun 1980, yakni ketika harga minyak dunia mulai merosot jatuh dan pertumbuhan ekonomi merosot menjadi sekitar 4 persen per tahun.
4.2.2. Strategi Promosi Ekspor (Export Promotion) Guna mengganti hilangnya penerimaan dari minyak dan tetap mendorong meningkatnya ekspor produk non migas, pemerintah kemudian meluncurkan kebijakan Promosi Ekspor (EP). Upaya untuk tetap mendorong industri dan ekspor tersebut dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1985 dengan cara mengalihkan strategi industrialisasinya ke strategi EP yang lebih memacu ekspor, khususnya pada produk selain minyak atau yang lebih dikenal sebagai produk non migas.
80
Guna mendukung upaya tersebut, serta mengantisipasi dampak ekonomi yang diperkirakan akan menyusul jatuhnya harga minyak, pemerintah juga melakukan devaluasi rupiah sebesar 26 persen pada tanggal 30 Maret 1983 dan 45 persen pada tanggal 12 September 1986. Hasil dari kebijakan EP dan devaluasi rupiah tersebut adalah adanya peningkatan ekspor non migas secara drastis pada tahun 1986 dan berlanjut hingga 1987 dan 1988. Melalui berbagai kebijakan yang semakin mendorong investasi modal dalam negeri dan masuknya modal asing, sektor industri yang berbasis pertanian
(non
migas)
semakin
berkembang,
sehingga
mendorong
pertumbuhan ekonomi meningkat dari rata-rata 4 persen pertahun di tahun 1986 menjadi sekitar 6 persen per tahun di tahun 1996. Perubahan strategi industri dari ISI yang lebih bersifat protektif ke strategi EP yang lebih bersifat terbuka, diakui sebagai langkah tepat menghadapi kondisi harga minyak yang memburuk (Tambunan, 2002). Untuk mendukung perubahan tersebut, pemerintah juga menyediakan berbagai pinjaman lunak melalui skim perkreditan bagi pembiayaan ekspor.
Skim kredit ini dikeluarkan oleh
berbagai bank nasional dan swasta. Selain mengalihkan kebijakannya dari ISI ke EP, pemerintah juga menerapkan berbagai kebijakan untuk menarik investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI).
Misalnya penetapan zona industri khusus
yang menyediakan berbagai kemudahan dan keringanan bagi investror asing yang mau menanamkan modalnya di Indonesia. Selain itu, penerapan kebijakan liberalisasi untuk menarik investasi asing langsung yang lebih besar juga ditempuh melalui devaluasi rupiah sebesar 45 persen (12 September
81
1986), yang dibarengi dengan dikeluarkannya berbagai peraturan untuk membenahi sektor swasta dan menjadi pintu bagi sistim ekonomi yang lebih terbuka (Paket Oktober/Pakto). Akibat dari berbagai kebijakan industrialisasi tersebut, masing-masing sektor perekonomian memperoleh peningkatan pertumbuhan yang berarti. Pertumbuhan dan sumbangan masing-masing sektor pada Produk Domestik Bruto (PDB) selama tahun 1966 sampai 2000 secara garis besar dapat dilihat pada Tabel 9. Dari Tabel 9 tersebut dapat dilihat bahwa sektor pertanian mengalami masa pertumbuhan yang meningkat sampai pada tahun 1980-an dan sesudah itu pertumbuhannya mulai menurun.
Sementara untuk sektor
manufaktur dan jasa, pertumbuhannya sampai tahun 1996 selalu cukup tinggi, bahkan boleh dikatakan menjadi primadona perekonomian. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa telah terjadi perubahan (shift) peranan sektoral dari dengan minyak dan gas (migas) menjadi tanpa migas (non-migas) di tahun 1980-an.
Jika pada periode sebelum 1980-an
pertumbuhan sektor migas lebih tinggi dari sektor non-migas, maka keadaan tersebut berbalik sehingga sektor non-migas menjadi lebih tinggi daripada sektor migas.
Kondisi yang lebih jelas terlihat pada sumbangan masing-
masing sektor pada PDB. Jika dilihat dari sumbangan masing-masing sektor pada PDB, sumbangan sektor pertanian terhadap PDB secara bertahap mengalami penurunan dari rata-rata 42.4 persen per tahun pada periode 1966-1970 menjadi rata-rata 18.2 persen per tahun pada periode 1997-2000. Sementara itu pada periode yang sama sumbangan sektor industri pada PDB secara
82
bertahap mengalami peningkatan dari rata-rata 17.6 persen per tahun menjadi rata-rata 38.9 persen per tahun. Data ini menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran proses industrialisasi dari yang berbasis pertanian ke industri. Sumbangan sektor industri terhadap PDB sudah mulai berada di atas sektor pertanian sejak tahun 1986-an. Jika diperhatikan struktur industrinya, maka sumbangan terbesar adalah dari industri manufaktur (ISIC 33). Industri manufaktur menyumbang rata-rata antara 60 persen sampai 70 persen per tahun dari keseluruhan sumbangan sektor industri terhadap PDB. Tabel 9. Pertumbuhan dan Sumbangan Sub-sektor Pertanian, Industri dan Jasa pada Produk Domestik Bruto Indonesia, Tahun 1966 – 2000 (persen) Pertanian
Industri 1) Hanya Total Manufaktur
Jasa
Tanpa Migas
Total Dengan Migas
Pertumbuhan 2) 1966 – 1970 3.2 8.9 10.8 3.6 4.7 7.4 1970 – 1981 4.2 10.2 10.3 8.9 7.5 7.1 1981 – 1986 3.3 8.9 6.6 5.5 5.2 3.0 1986 – 1996 3.6 11.3 11.9 7.9 8.3 7.4 1996 – 2000 1.0 0.7 -0.8 -2.5 -1.2 -1.3 1966 – 1996 3.7 10.2 10.3 7.3 7.0 6.5 1966 – 2000 3.4 9.0 8.9 6.1 6.0 5.6 Share Sektoral 3) 1966 – 1970 42.4 11.9 17.6 40.0 100.0 1971 - 1981 33.8 14.7 24.1 42.1 100.0 1982 - 1986 27.6 17.8 26.7 45.7 100.0 1987 - 1996 21.3 23.1 33.3 45.4 100.0 1997 - 2000 18.2 27.0 38.9 42.9 100.0 Sumbangan Sektoral pada Pertumbuhan 4) 1966 - 1970 28.9 22.5 40.4 30.7 100.0 1970 - 1981 19.0 19.6 32.1 48.9 100.0 1981 - 1986 17.7 30.2 33.9 48.4 100.0 1986 - 1996 9.5 31.1 47.2 43.3 100.0 1996 - 2000 -14.8 -15.5 25.7 89.1 100.0 Catatan: 1) Termasuk manufaktur, pertambangan, bangunan dan konstruksi. 2) Pertumbuhan menunjukkan rata-rata pertumbuhan masing-masing periode pada harga dasar 1983. 3) Share sektoral dihitung dari rata-rata share setiap tahun pada periode tersebut. 4) Sumbangan sektoral dihitung dari rata-rata terbobot sumbangan masing-masing sub-sektornya pada PDB. Sumber: Hayashi (2004).
83
Data pada Tabel 9 tersebut juga dapat menunjukkan secara sepintas pengaruh krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1997. Akibat dari adanya krisis ekonomi tersebut, pertumbuhan sektor pertanian pada periode 1996 sampai 2000 rata-rata hanya sebesar 1 persen per tahun, sementara itu untuk sektor industri dan sektor jasa pertumbuhannya bahkan negatif, yakni masing-masing sebesar -0.8 dan -2.5 persen per tahun.
4.3. Peranan Industri Kecil dan Menengah Pada awal pelaksanaan pembangunan, sejalan dengan berkembangnya teori ekonomi pembangunan yang lebih percaya bahwa industri skala besar (IB) adalah motor utama penggerak pembangunan ekonomi (leading sector), tumpuan pembangunan di Indonesia diletakkan pada IB khususnya pada industri kimia dan manufaktur yang berorientasi ekspor (outward-looking). Industri besar tidak hanya dipercaya memiliki keunggulan dalam efisiensi produksi, karena memenuhi scale of economic, tetapi juga dipercaya sebagai motor kemajuan inovasi dan perubahan teknologi. Schumpeter (1961) bahkan dengan tegas menyatakan: “What we have got to accept is that the large-scale establishment has come to be the most powerful engine of progress.” Beberapa tahun kemudian Galbraith (1956) mengikuti pernyataan Schumpeter, tetapi dengan agak sinis, mengemukakan: “There is no more pleasant fiction than that technological change is the product of the matchless ingenuity of the small man forced by competition to employ his wits to better his neighbor. Unhappily, it is a fiction.” Jadi, adalah sangat wajar jika pada masa awal pembangunan ekonomi
84
Indonesia, IB dijadikan sebagai motor penggerak perekonomian. Data pada Tabel 10 berikut menunjukkan jumlah IM dan IB di Indonesia tahun 1996, 1998 dan 2000, sesuai dengan sub-sektor (pertanian dan non pertanian) dan orientasi pasarnya (ekspor dan domestik). Dari Tabel 10 tersebut terlihat bahwa secara keseluruhan jumlah industri menengah dan besar, sesuai dengan batasan BPS, rata-rata berkisar antara 21 ribu dan 23 ribu unit. Terlihat bahwa secara keseluruhan jumlah industri menengah dan besar mengalami penurunan di tahun 1998, dari sekitar 23 ribu unit menjadi 21 ribu unit, dan kembali meningkat di tahun 2000. Jika dilihat secara sektoral, terlihat bahwa jumlah industri yang berkaitan dengan pertanian lebih banyak daripada yang non-pertanian, yakni sekitar 70 persen, baik untuk industri menengah maupun industri besar. Tabel 10. Jumlah Industri Menengah dan Besar di Indonesia Sesuai Dengan Sub-sektor dan Orientasi Pasar Tahun 1996, 1998 dan 2000 (unit) Sektor dan Tujuan Pasar Pertanian
NonPertanian
Export (%) Non-Export (%) Sub-Total (%) Export (%) Non-Export (%) Sub-Total (%) Total
1996 IM 1.072 9.1 10.659 90.9 11.731 71.6 181 3.9 4.481 96.1 4.662 28.4 16.393 22.997
1998 IB 2.011 42.0 2.780 58.0 4.791 72.5 492 27.1 1.321 72.9 1.813 27.5 6.604
IM 86 0.8 10.635 99.2 10.721 71.3 39 0.9 4.278 99.1 4.317 28.7 15.038 21.421
IB 237 5.0 4.513 95.0 4.750 74.4 82 5.0 1.551 95.0 1.633 25.6 6.383
2000 IM 949 8.6 10.119 91.4 11.068 71.7 212 4.8 4.165 95.2 4.377 28.3 15.445 22.169
IB 1.789 36.0 3.187 64.0 4.976 74.0 422 24.1 1.326 75.9 1.748 26.0 6.724
Sumber: BPS (diolah).
Kondisi lain yang menarik adalah bahwa pengaruh krisis sangat terlihat pada industri yang memiliki orientasi ekspor yang mengalami penurunan
85
drastis di tahun 1998 dan kembali meningkat di tahun 2000. Misalnya untuk industri besar pertanian yang berorientasi ekspor, jumlahnya menurun dari 42 persen (1996) ke 5 persen (1998). Sementara untuk industri besar nonpertanian yang mengekspor juga turun, tetapi dari 27 persen (1996) menjadi 5 persen (1998). Kedua kelompok industri tersebut pada tahun 2000 jumlahnya kembali sama-sama naik, menjadi 36 persen (pertanian) dan 24 persen (nonpertanian). Tabel 11. Jumlah Tenaga Kerja Industri Menengah dan Besar Sesuai Dengan Sub-sektor dan Orientasi Pasar Tahun 1996, 1998 dan 2000 (orang) Jumlah TK Pertanian Export (%) Non-Export (%) Sub-Total (%) Non-Pertanian Export (%) Non-Export (%) Sub-total (%) Total
1996
1998
2000
IM
IB
IM
IB
IM
IB
53 947 12.0 397 312 88.0 451 259 71.5
1 511 203 54.9 1 239 035 45.1 2 750 238 76.7
4 539 1.1 407 183 98.9 411 722 71.0
273 286 10.0 2 465 062 90.0 2 738 348 77.6
46 755 10.9 381 687 89.1 428 442 71.4
1.266.998 44.0 1.611.625 56.0 2.878.623 77.1
10 122 297 430 5.6 35.7 170 045 535 873 94.4 64.3 180 167 833 303 28.5 23.3 631 426 3 583 541 4 214 967
2269 68 637 1.3 8.7 166 164 721 714 98.7 91.3 168 433 790 351 29.0 22.4 580 155 3 528 699 4 108 854
11 448 265.843 6.7 31.1 160 208 588.054 93.3 68.9 171 656 853.897 28.6 22.9 600 098 3 732 520 4 332 618
Sumber: BPS (diolah).
Pengaruh krisis rupanya lebih dirasakan oleh industri besar, karena meskipun juga mengalami penurunan jumlah, kondisi industri menengah tidak terlalu parah dan jumlahnya relatif stabil. Data ini kembali menegaskan bahwa industri menengah dapat diharapkan menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Pada data serapan tenaga kerja pada tabel berikut kondisi tersebut semakin terlihat jelas.
86
Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa dari total jumlah industri menengah dan besar yang berjumlah sekitar 22-000 unit usaha, jumlah IB hanya sekitar 22 persen dari jumlah total industri menengah dan besar. Tetapi dari sisi penyerapan tenaga kerjanya, dari sekitar 4.4 juta tenaga kerja industri, sekitar 80 persennya diserap oleh IB. Jumlah rata-rata tenaga kerja per unit IB adalah sekitar 680 orang dan untuk setiap IM rata-rata adalah sekitar 46 orang. Tabel 12. Rata-rata Tenaga Kerja Industri Menengah dan Besar Sesuai Dengan Sub-sektor dan Orientasi Pasar Tahun 1996, 1998 dan 2000 (orang) Rata-rata TK Pertanian
Export (%) Non-Export (%) Sub-Total (%) Non-Pertanian Export (%) Non-Export (%) Sub-total (%) Total Sumber: BPS (diolah).
1996 IM 50 57.5 37 42.5 87 48.1 56 59.6 38 40.4 94 51.9 181
1998 IB 751 62.7 446 37.3 1197 54.2 605 59.8 406 40.2 1 011 45.8 2 208
IM 53 58.2 38 41.8 91 48.4 58 59.8 39 40.2 97 51.6 188
2000 IB 1 153 67.9 546 32.1 1 699 56.6 837 64.3 465 35.7 1 302 43.4 3 001
IM 49 56.3 38 43.7 87 48.6 54 58.7 38 41.3 92 51.4 179
IB 708 58.3 506 41.7 1 214 53.1 630 58.7 443 41.3 1 073 46.9 2 287
Dari segi sektoral, terlihat bahwa serapan tenaga kerja industri pertanian tetap lebih tinggi daripada industri non-pertanian. Rata-rata serapan tenaga kerja per unit industri pada tahun 1998 terlihat melonjak cukup drastis. Hal ini diperkirakan karena adanya penurunan jumlah unit industri secara keseluruhan sehingga rata-rata tenaga kerja menjadi meningkat. Dua kondisi ini menunjukkan adanya kondisi dualistik13 dalam struktur industri menengah dan besar. Di satu sisi masih banyak IM yang lebih bersifat 13
Kondisi dualistik pada umumnya mempertentangkan antara keberadaan industri secara sektoral, yakni antara sektor industri dengan sektor pertanian (Blunch dan Verner, 1999).
87
sebagai industri kecil, karena daya serap tenaga kerjanya masih hanya mampu menyerap TK sekitar 20 sampai 30 orang (atau di bawah 50 orang). Sementara itu terdapat sebagian IB yang memiliki skala usaha sangat besar (ribuan orang per unit industri). Rata-rata serapan tenaga kerja per unit industri yang begitu berbeda, yakni sekitar 46 orang untuk IM dan 680 orang untuk IB, menegaskan adanya kondisi dualistik tersebut. Jika diperhatikan dari sisi output, pada Tabel 13 terlihat ada pergeseran yang menarik. Tabel 13. Jumlah Output Industri Menengah dan Besar Sesuai Dengan Subsektor dan Orientasi Pasar Tahun 1996, 1998 dan 2000 (milyar rupiah) 1996
Jumlah Output Pertanian
Non-Pertanian
IM
1998
IB
2000
IM
IB
IM
IB 2 840
Export
1 184
4 189
125
284
1 448
(%)
17.1
43.1
1.3
3.3
12.6
31.2
Non-Expo
5 747
5 534
9 370
8 341
10 053
6 249
(%)
82.9
56.9
98.7
96.7
87.4
68.8
Sub-Total
6 931
9 722
9 494
8 625
11 501
9 090
(%)
69.8
72.2
71.2
75.8
71.7
76.8
Export
2 923
883
68
639
381
506
(%)
9.8
23.6
1.8
2.3
8.4
18.4
Non-Expo
2 699
2 861
3 774
2 691
4 152
2 242
(%)
90.2
76.4
98.2
97.7
91.6
81.6
Sub-Total
2 992
3 744
3 842
2 755
4 533
2 746
(%)
30.2
27.8
28.8
24.2
28.3
23.2
9 922
13 466
13 336
11 381
16 034
11 838
Total
23 389
24 717
27 872
Sumber: BPS (diolah).
Dari total output (pada harga berlaku) setiap tahun, terlihat adanya peningkatan jumlah output industri menengah dan besar yang tidak terlalu signifikan antara tahun 1996 dan 1998, yaitu dari Rp. 23.4 trilyun di tahun 1996 menjadi Rp. 24.7 trilyun di tahun 1998, dan masih tetap meningkat menjadi Rp. 27.9 trilyun di tahun 2000. Kondisi ini menunjukkan adanya peningkatan output industri, yang kalau diukur dengan harga konstan mungkin sebenarnya mengalami penurunan.
88
Tetapi jika dilihat dari prosentase output total terlihat bahwa output sektor pertanian menyumbang sekitar 70 persen dari total output industri. Sumbangan tersebut terutama diperoleh dari industri pertanian yang memasarkan produknya ke pasar domestik (non-ekspor). Ketika badai krisis masih terasa di tahun 1998, sumbangan sektor industri yang melakukan ekspor menurun dengan sangat tajam. Gambaran dari masing-masing skala industri terhadap total output industri menengah dan besar menunjukkan gambaran yang menarik. Prosentase output IM terhadap total output industri justeru mengalami peningkatan. Dari 69.8 persen di tahun 1996, kemudian pada tahun 1998 meningkat sedikit menjadi 71.2 persen dan di tahun 2000 tetap meningkat menjadi 71.7 persen dari total output industri menengah dan besar. Dari segi output rata-rata dapat dilihat pada Tabel 14 berikut bahwa secara umum industri yang melakukan ekspor memiliki rata-rata output yang lebih tinggi daripada industri yang tidak melakukan ekspor. Tabel 14. Rata-rata Output Industri Menengah dan Besar Sesuai Dengan Subsektor dan Orientasi Pasar Tahun 1996, 1998 dan 2000 (milyar rupiah) Output Ratarata
1996
1998
2000
IM
IB
IM
IB
IM
IB
1 146 093
3 993 077
1 835 201
4 515 519
1 681 765
4 595 899
Non-Export
544 921
3 035 489
907 816
3 762 278
1 024 799
3 967 866
Sub-Total
845 507
3 514 283
1 371 508
4 138 898
1 353 282
4 281 882
1 691 120
4 182 678
2 526 822
3 361 410
2 072 434
4 439 882
607 944
3 567 568
907 766
3 817 620
1 036 855
4 024 859
1 149 532
3 875 123
1 717 294
3 589 515
1 554 644
4 232 370
Pertanian Export
Non-Pertanian Export Non-Export Sub-Total
Sumber: BPS (diolah).
89
Jika penurunan output industri menengah dan besar tersebut memang terjadi karena pengaruh dari krisis ekonomi, maka kondisi ini menunjukkan bahwa IM memiliki daya tahan terhadap krisis yang lebih baik daripada IB. Gambaran yang lebih menarik adalah dari produktivitas tenaga kerja, seperti pada Tabel 15, yang menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja IM lebih tinggi daripada IB. Data ini semakin menegaskan bahwa IM memang dapat diandalkan untuk menjadi tulang punggung perekonomian. Tabel 15. Rata-rata Produktivitas Tenaga Kerja Industri Menengah dan Besar Sesuai Dengan Sub-sektor dan Orientasi Pasar Tahun 1996, 1998 dan 2000 (juta rupiah/orang/tahun) Produktivitas TK Pertanian
Non-Pertanian
1996
1998
2000
Export
IM 21 536
IB 14 802
IM 41 096
IB 20 417
IM 35 008
IB 21 196
Non-Export
12 872
13 330
22 271
17 361
25 337
18 267
Rata-Rata
17 204
14 066
31 684
18 889
30 173
19 732
Export
25 618
17 134
43 130
13 686
39 151
21 157
Non-Export
12 530
17 978
19 321
18 993
22 531
20 564
Rata-Rata
19 074
17 556
31 226
16 340
30 841
20 861
Sumber: BPS (diolah).
Kebijakan pembangunan industri, khususnya industri manufaktur yang lebih berorientasi pada IB ini, telah memacu pertumbuhan IB dengan pesat. Hill (1996) percaya bahwa IB yang mendominasi sektor manufaktur mempunyai peranan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode 1966-1996. Industri skala besar, dengan berbagai dukungan pemerintah, dipercaya memberikan sumbangan yang besar pada pertumbuhan ekonomi Indonesia (Berry dan Levy, 1999). Tabel 16 menunjukkan pesatnya perkembangan jumlah industri besar, terutama pada tahun 1985 dan 199014.
14 Meskipun pada tahun 1985 dan 1990 data IB belum dipisahkan dengan IM, masih tetap dapat diyakini bahwa jumlah IB juga meningkat dengan pesat pada periode tersebut.
90
Dari Tabel 16 terlihat bahwa jumlah industri besar terus menunjukkan peningkatan.
Sebaliknya industri menengah menunjukkan kecenderungan
penurunan. Lonjakan peningkatan jumlah industri kecil dan rumah tangga (IKRT) pada tahun 1996 diperkirakan bukan hanya karena peningkatan jumlahnya saja tetapi juga karena adanya perbaikan dalam sistem pencatatan dan pendataannya. Peningkatan pada jumlah industri besar dan IKRT di tahun 2000 diperkirakan karena telah pulih dari krisis. Tabel 16. Perkembangan Jumlah Industri Kecil dan Rumah Tangga, Industri Menengah dan Besar Tahun 1985, 1990, 1996 dan 2000 (unit) Industri 1985 1990 1996 2000 Besar
12 909
6 680
6 724
16 317
15 443
16 763 712
16 965 061
16 498
Menengah Kecil dan RT
1 537 487
2 473 665
Sumber: BPS (diolah)
Pada perkembangan selanjutnya, ketika masa oil boom mulai berakhir dan keberadaan dan peranan industri skala besar mulai dipertanyakan, industri kecil dan menengah (IKM) kemudian mulai mendapat perhatian untuk dikembangkan (Hoselitz dalam Livingstone, 1981). Selain karena berakhirnya masa oil boom, perhatian terhadap IKM secara umum memang semakin besar (Fuller, et.al., 2003). Komisi Eropa (1998) bahkan sangat menyadari akan pentingnya
peranan
IKM
dalam
perkembangan
industrinya
dengan
menyatakan, bahwa: “SME’s play a decisive role in job creation and exports and act as a factor of social stability and economic drive....................................” Pembangunan ekonomi adalah kombinasi dari pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktural (Hirschman, 1958).
Dalam pelaksanaan proses
91
pembangunan yang sebenarnya kedua tujuan tersebut seringkali sulit untuk dicapai secara bersama. Ketidakseimbangan seringkali terjadi antara proses pertumbuhan ekonomi yang berhasil dicapai dengan proses perubahan struktural yang seharusnya juga terjadi. Meskipun ketidakseimbangan tersebut sering juga dikatakan sebagai hal baik (Hirschman,-1958), senantiasa perlu dilihat faktor-faktor yang berpengaruh erat, baik secara backward linkages maupun forward linkages, terhadap pembangunan ekonomi tersebut. Salah satu faktor yang berpengaruh adalah IKM. Kesadaran terhadap semakin pentingnya peranan IKM pada kemajuan pembangunan ekonomi tersebut sebenarnya telah muncul sejak pertengahan tahun 1980-an (Nijkamp, et.al. dalam Giaoutzi, et.al., 1989). IKM, melalui kerjasamanya yang erat dengan IB, juga menjadi motor utama penggerak industrialisasi Jepang di tahun 1930-an, dan bahkan menjadi sumber bangkitnya perekonomian Jepang di tahun 1950-an yang sebelumnya telah runtuh akibat perang (Hayashi, 2002). Di Indonesia IKM bahkan telah menjadi pemeran utama dalam perkembangan industri manufaktur yang begitu pesat (Berry dan Levy, 1999). Besarnya potensi dari industri kecil dan menengah sangat disadari oleh berbagai
negara
industrilasisasinya.
industri
dalam
masa-masa
awal
perkembangan
Misalnya Jepang, dalam usaha menata kembali sistem
perekonomiannya yang hancur total sesudah perang, Jepang langsung menitik beratkan upaya pembangunan kembali perekonomiannya melalui industri kecil dan menengah. Upaya tersebut dilakukan antara lain dilaksanakan dengan membentuk badan usaha pemerintah yang secara khusus mengurusi usaha
92
skala kecil dan menengah, yang disebut sebagai Small and Medium Enterprise Agency (SMEA). Akibat dari dukungan tersebut, sampai akhir tahun 1980-an usaha kecil dan menengah di Jepang telah meliputi 99.4 persen dari jumlah keseluruhan lembaga usaha yang ada dan memperkerjakan 81.4 persen dari keseluruhan tenaga kerja industri non-primer, serta memasok 51.8 persen dari seluruh kebutuhan barang manufaktur (Kita dalam IPMP, 1987). Melalui berbagai dukungan tersebut berkembanglah di Jepang berbagai industri rumah tangga seperti Sony dan Honda, yang sekarang telah menjadi industri raksasa yang mendunia. peranan
industri
kecil
dan
Dimulai dari kesadaran atas pentingnya menengah
dalam
upaya
memulihkan
perekonomiannya akibat perang, dewasa ini Jepang bahkan telah dikenal sebagai salah satu negara industri maju yang setara dangan, atau bahkan melebihi, negara-negara industri yang semula mengalahkannya dalam perang. Kang (2001) juga mengemukakan bahwa IKM memiliki peranan yang nyata dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengembangan inovasi di Korea. Peranan IKM ini dipahami sama pentingnya dengan peranan IB yang ada dalam menambah dan menciptakan lapangan kerja baru.
Dalam hal
inovasi, IKM bahkan memiliki toleransi yang lebih besar dalam menanggung resiko dan memiliki kemampuan untuk meraih pasar yang eksklusif (niche market). Dengan pemahaman tersebut perhatian terhadap keberadaan IKM juga meningkat. Pengembangan IKM kemudian dilaksanakan bukan karena alasan sosial saja, tetapi juga karena: (1) IKM memang dipercaya memiliki keunggulan komparatif yang lebih baik daripada industri besar, dan (2) pada
93
umumnya IKM bersifat padat tenaga kerja sehingga mampu menyerap tenaga kerja, dan (3) pada umumnya perkembangan IKM lebih mungkin dan lebih banyak terjadi di wilayah-wilayah yang masih kurang berkembang (ADB/TA, 1998). Meskipun peranan IKM sudah mulai diakui, upaya pengembangan IKM seringkali masih dilakukan sebagai hal yang terpisah dengan keseluruhan proses pembangunan ekonomi (Teszler dalam Baud and De Bruijne. 1993). Sebaliknya untuk industri besar, seringkali IB justru dianggap sebagai motor utama penggerak pembangunan ekonomi. Meskipun demikian Baud dan De Bruijne (1993) menunjukkan bahwa pengembangan IB yang modern bukan menjadi pemecahan yang terbaik bagi upaya pembangunan ekonomi di negaranegara belum berkembang.
Karena IB yang modern hanya memerlukan
sejumlah kecil tenaga kerja terampil (high skilled labour) sehingga gagal mengatasi problem pengangguran dari tenaga kerja kurang terampil (unskilled labour) yang banyak dihadapi oleh negara-negara belum berkembang. Dalam mengatasi kondisi tersebut, pengembangan IKM dianggap akan mampu menjadi pendorong terjadinya pembangunan ekonomi. Pengembangan IKM dapat dijadikan sebagai koreksi atas kegagalan yang diperoleh dari pengembangan IB sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi. Dalam memainkan peranannya sebagai faktor koreksi atas kegagalan IB, IKM memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut (Teszler dalam Baud dan De Bruijne, 1993): 1. Memiliki kemampuan untuk menyerap tenaga kerja kurang trampil dalam jumlah yang besar. Sesuai dengan sifat kegiatan sebagian besar IKM yang
94
padat karya (labour intensive), tenaga kerja yang dibutuhkan pada umumnya adalah tenaga kerja kurang terampil, kecuali untuk beberapa jenis industri kerajinan tangan tertentu. 2. Keberadaan IB pada umumnya memerlukan sarana dan prasarana pendukung yang lebih lengkap seperti pelabuhan, jaringan transportasi, listrik, air dan sebagainya. Sementara itu banyak bentuk-bentuk IKM yang bersifat footloose sehingga dapat dilaksanakan hampir dimana saja tanpa terlalu mensyaratkan ketersediaan berbagai sarana pendukung yang mahal. 3. Sebagai bentuk usaha yang padat karya, dari segi ekonomi sumberdaya, IKM merupakan bentuk usaha yang efisien karena menggunakan banyak sumberdaya yang melimpah (abundant) yaitu tenaga kerja dan sedikit menggunakan sumberdaya yang langka (scarce) misalnya kapital. 4. IKM cenderung untuk memanfaatkan faktor produksi setempat dan memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Dengan sifat produksi yang demikian,
maka
pengembangan
IKM
akan
mampu
mendorong
pengembangan ekonomi lokal. Hal ini berbeda dengan IB yang umumnya lebih banyak memerlukan input impor dan menghasilkan produk ekspor sehingga hanya menjadi menara gading bagi masyarakat lokal. 5. Sebagai usaha yang kecil dengan manajemen sederhana, IKM mampu bereaksi secara cepat dalam mengantisipasi perubahan yang terjadi. Dalam kondisi krisis, IKM juga mampu menghasilkan produk substitusi dari produk yang dihasilkan oleh IB maupun produk impor. Keberadaan IKM yang sehat dan kuat juga diyakini dapat menjadi jembatan bagi upaya pencapaian tingkat pendapatan nasional yang semakin
95
tinggi (Berry dan Levy, 1994). Gambar 11 menunjukkan bentuk struktur industri pada negara-negara yang memiliki pendapatan nasional (GNP) yang berbeda-beda. JUMLAH INDUSTRI UNTUK GNP US $ 500-1000 /kap/th
JUMLAH INDUSTRI UNTUK GNP US $100-500 /kap/thn
Jenis Industri
Jenis Industri
Besar Sedang Kecil
Besar Sedang Kecil RT
RT 0
20
40
60
0
80
20
GNP US $ 2000 + /kap/th
Besar
Jenis Industri
Jenis Industri
JUMLAH INDUSTRI UNTUK GNP US $ 1000-2000 /kap/th
Sedang Kecil RT 20
40
60
(b ) JUMLAH INDUSTRI UNTUK
(a)
0
40
Persen (%)
Persen (%)
60
80
Persen (%)
(c)
Besar Sedang Kecil RT 0
20
40
60
80
Persen (%)
(d)
Sumber: Berry dan Levy, 1994.
Gambar 11. Hubungan Antara Struktur Industri dan Pendapatan Nasional Secara umum dapat dilihat bahwa terdapat hubungan yang erat antara bentuk struktur industri dengan GNP.
Pada negara-negara dengan GNP
rendah, di bawah US $ 500 per kapita per tahun, jumlah industri yang dominan adalah IRT sehingga bentuk struktur industrinya adalah seperti piramida, meskipun jumlah IB juga relatif masih lebih banyak jika dibandingkan dengan IK dan IM. Semakin meningkat GNP masyarakatnya, maka jumlah industri rumah tangga akan semakin berkurang dan meningkat menjadi IK, IM dan IB. Dengan demikian semakin tinggi tingkat GNP per kapita masyarakatnya maka struktur industri semakin membentuk piramida terbalik. Kondisi ini juga
96
terlihat pada struktur industri di Indonesia seperti pada Gambar 12. JUMLAH TK INDUSTRI (dalam persen) INDONESIA (1996) Jenis Industri
Jenis Industri
JUMLAH INDUSTRI (dalam persen) INDONESIA (1996) Besar Sedang Kecil RT -
50.00
100.00
Besar Sedang Kecil RT 0
10
Persen (%)
(a)
40
JUMLAH OUTPUT INDUSTRI (dalam persen) INDONESIA (1998) Jenis Industri
Jenis Industri
Bsr dan Sdg Kecil RT 50.0
30
(b)
JUMLAH OUTPUT INDUSTRI (dalam persen) INDONESIA (1986)
0.0
20 Persen (%)
100.0
Persen (%)
(c)
Bsr dan Sdg Kecil RT 0,0
50,0
100,0
Persen (%)
(d)
Sumber: Statistik Indonesia, BPS, 1986 dan 1999
Gambar 12. Kondisi Struktur Industri di Indonesia Jika dilihat dari jumlah industrinya, maka terlihat dengan jelas pada Gambar 12.a. bahwa struktur industri Indonesia masih didominasi oleh IKRT, sehingga bentuk struktur industri seperti piramida yang sempurna. Keadaan ini memprihatinkan karena kita tahu bahwa yang dimaksud dengan industri rumah tangga adalah industri dengan tenaga kerja 1 sampai 5 orang dan industri kecil adalah 5 sampai 20 orang. Bentuk struktur piramida seperti ini mungkin juga masih dapat ditemukan pada negara-negara industri maju, tetapi mereka menggunakan batasan jumlah tenaga kerja yang berbeda sehingga yang dimaksud dengan industri kecil di negara maju sebenarnya sudah masuk ke dalam kategori industri menengah ataupun industri besar dalam batasan yang digunakan di Indonesia.
97
Sementara itu, jika diperhatikan dari segi penyerapan tenaga kerjanya terlihat proporsi yang relatif seimbang (Gambar 12.b.), tetapi jika dilihat dari total nilai output yang dihasilkan terlihat perbedaan nilai output yang sangat mencolok antara industri besar dan sedang dengan industri kecil dan rumah tangga (Gambar 12.c). Secara sekilas akibat krisis, Gambar 12.d. menunjukkan prosentase penurunan output yang lebih nyata pada industri kecil dan rumah tangga.
4.4. Kebijakan Pengembangan Industri Kecil dan Menengah Keberadaan industri kecil dan menengah (IKM), disamping IB, telah dipahami juga dapat menjadi motor penggerak perekonomian. Schiffer dan Weder (2001) bahkan mengatakan bahwa pengembangan IKM akan menjadi sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi dan upaya menurunkan tingkat kemiskinan. Haarhoff (2002) bahkan mengemukakan bahwa dalam struktur industri yang kokoh, peranan industri kecil dan menengah sangatlah penting. Oleh karena itu berbagai upaya pembinaan dilakukan untuk mengembangkan keberadaan industri kecil dan menengah. Pemerintah sebenarnya sudah menyadari pentingnya peranan IKM dalam upaya menumbuhkan dan membangun sistem perekonomian nasional yang kokoh. Dalam berbagai kesempatan pentingnya pengembangan IKM tersebut senantiasa dijadikan acuan pelaksanaan berbagai program dan bahkan telah dituangkan dalam berbagai kebijakan dan keputusan yang mendukung (Hayashi, 2002).
Berbagai kebijakan dan program yang berkaitan dengan
pengembangan IKM, baik secara langsung maupun tidak langsung, disarikan pada Tabel 17.
98
Tabel 17. Kebijakan, Program dan Lembaga yang Berkaitan dengan Pengembangan Industri Kecil dan Menengah di Indonesia Bidang Teknologi
Tahun Bentuk 1969 Pembentukan Pusat Pengembangan Industri Logam 1974 Pendirian BIPIK (Balai Pengembangan Industri Kecil) sebagai program pendukung pengembangan IK. 1979 Pembangunan LIK dan PIK (Lingkungan/Pusat Industri Kecil) yang didukung Unit Pelaksana Teknis dan Petugas Penyuluh Teknis. 1994 Program BIPIK selesai dan dilanjutkan dengan proyek PIKM (Proyek Pengembangan Industri Kecil dan Menengah). Pemasaran 1979 Program perlindungan pasar bagi IKM. 1999 Undang-undang Anti-Monopoli ditetapkan. Keuangan 1966 Penerbitan Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri*) 1967 Penerbitan Undang-undang Penanaman Modal Asing*) 1971 PT ASKRINDO didirikan sebagai perusahaan negara sebagai perusahaan asuransi penjaminan. 1973 Peluncuran program Kredit Industri Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja (KMKP) sebagi program subsidi kredit oleh pemerintah. 1974 Kredit Kecil (KK) diluncurkan oleh BRI dan kemudian (1984) berubah menjadi KUPEDES (Kredit Usaha Pedesaan) bagi IKM. 1989 Kewajiban penyaluran kredit ke IKM dari BUMN (1 sampai 5 persen keuntungan). 1990 Penggantian program KIK/KMKP yang bersubsidi menjadi KUK (Kredit Usaha Kecil) yang tidak di subsidi. 1999 Pengalihan wewenang penyaluran kredit usaha kecil dari BI ke ke PT PNM (perusahaan negara) dan Bank Export Indonesia. 2000 Pengakhiran berbagai kredit untuk IKM (termasuk KUK). Umum 1973 Bergabungnya Menteri Industri Ringan dan Menteri Industri Berat menjadi Menteri Perindustrian. 1978 Penetapan Dirjen IKM (di bawah Kementerian Industri) 1984 Peluncuran program Bapak Angkat 1991 Program Bapak Angkat dijadikan sebagai gerakan nasional. 1991 Pendirian SENTRA Industri. 1993 Pengalihan pembinaan IK ke Menteri Koperasi 1995 Peluncuran Undang-undang Usaha Kecil. 1997 Program Bapak Angkat diubah menjadi Program Kemitraan. 1998 Menteri Koperasi dan IKM memasukkan pengembangan UM dalam tanggung jawabnya. 1998 IKM dijadikan slogan nasional pengembangan Ekonomi Rakyat. *) Tambahan dari penulis. Sumber: Hayashi (2002).
99
Perhatian pemerintah terhadap pengembangan industri sebenarnya sudah dimulai sejak masa Orde Baru tahun 1966, yakni sejak dikeluarkannya undang-undang tentang PMDN dan PMA.
Tetapi perhatian yang khusus
terhadap industri kecil baru mulai sekitar tahun 1970-an. Secara lebih khusus lagi perhatian terhadap usaha menengah pada tahun 1999, yakni melalui satusatunya produk undang-undang tentang usaha menengah, yaitu Inpres No. 10 tahun 1999. Perhatian yang cukup besar dari pemerintah di bidang teknologi adalah ketika dicanangkannya program pendirian Balai Pengembangan Industri Kecil (BIPIK). Di bawah program ini kemudian didirikan sentra-sentra Lingkungan industri Kecil/Perkampungan Industri Kecil (LIK/PIK) yang pada dasarnya adalah menerapkan konsep clustering.
Melalui program LIK dan PIK ini
industri-industri kecil dan rumah tangga diharapkan dapat berada pada satu lokasi/perkampungan sehingga dapat memperbesar skala ekonominya. Program ini kurang mendapat respon dari industri-industri kecil yang ada dan kemudian bahkan mulai ditinggalkan oleh industri kecil yang sebelumnya mau masuk ke LIK/PIK. Di bidang pemasaran berbagai upaya perlindungan terhadap IKM juga baru dicanangkan sekitar tahun 1980-an.
Melalui undang-undang tentang
usaha kecil dan menengah, IKM memperoleh perlindungan bagi pemasaran produk-produknya dari persaingan dengan usaha besar (baik pada skala retail maupun wholesaler).
Perlindungan tersebut semakin tegas ketika IKM
diperkecualikan dari Undang-undang Anti-Monopoli dan Persaingan Usaha tahun 1999. Pada satu sisi semua perlindungan tersebut memberi peluang bagi
100
IKM untuk berkembang, tetapi di sisi lain sebenarnya juga tidak mendidik IKM untuk bersaing secara sehat sebagai satu unit bisnis (business entity). Perhatian terhadap IKM paling terasa pada aspek keuangan. Berbagai peraturan pemerintah dan undang-undang dikeluarkan secara khusus untuk melindungi kepentingan IKM.
Bahkan berbagai bentuk kredit dikucurkan
demi kepentingan IKM, misalnya Kredit Industri Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) yang dikeluarkan pada tahun 1973 sebagai program kredit bagi industri kecil yang tingkat bunganya disubsidi oleh pemerintah. KIK dan KMKP ini kemudian dikembangkan dan/atau dirubah, antara lain menjadi Kredit Umum Pedesaaan (KUPEDES) dan Kredit Usaha Kecil (KUK), tetapi dengan tujuan tetap untuk IK. Selain melalui program kredit melalui perbankan tersebut, pada tahun 1989 pemerintah juga mewajibkan
seluruh
Badan
Usaha
Milik
Negara
(BUMN)
untuk
mengalokasikan sekitar 1 sampai 5 persen dari keuntungannya untuk membantu industri kecil. Program kredit khusus dalam berbagai bentuk yang diberikan untuk IKM tersebut pada tahun 2000 diakhiri. Di bidang pengelolaan, perhatian khusus kepada IKM dapat ditemui sejak ditetapkannya Direktorat Jendral IKM di bawah Kementerian Industri pada tahun 1978. Melalui pembantukan Dirjen IKM ini pembinaan terhadap IKM dapat dilakukan dengan lebih intensif dan terarah. Beberapa program pembinaan IKM selanjutnya antara lain peluncuran program Bapak Angkat antara IKM dengan IB pada tahun 1984, kemudian menjadi satu gerakan nasional pada tahun 1991 dan terakhir berubah menjadi Program Kemitraan pada tahun 1997. Setelah krisis dan disadari bahwa IKM memiliki peluang
101
untuk menjadi savety valve bagi perekonomian, maka pada tahun 1998 secara khusus penanganan IKM
diserahkan ke koperasi sehingga
menjadi
Kementerian Koperasi dan IKM dan IKM dijadikan sebagai slogan nasional pengembangan Ekonomi Rakyat.
4.5. Kondisi Missing of the Middle Kondisi missing of the middle (MOM) pada umumnya diartikan secara harafiah sebagai sedikitnya jumlah industri menengah. Tetapi pada berbagai publikasi, kondisi MOM ini juga diartikan sebagai “rendahnya produktifitas skala usaha menengah, jika dibandingkan dengan skala usaha kecil dan skala usaha besar”. Kondisi MOM pada dasarnya muncul karena biasnya kebijakan pengembangan industri pada IK dan IB. Kebijakan pemerintah yang lebih bias pada IB mengakibatkan struktur industri di Indonesia menjadi rapuh dan lemah. Kelemahan struktur industri tersebut diantaranya dapat ditunjukkan dari kondisi: 1. industri besar dan menengah cenderung padat modal sedangkan industri kecil dan rumah tangga cenderung padat tenaga kerja sehingga mengakibatkan terjadinya pola dualisme industri, 2. tidak adanya keterkaitan antara sektor industri dengan sektor pertanian, karena sebagai negara agraris sektor pertanian seharusnya menjadi basis industrialisasinya, 3. sebagian besar industri besar dan menengah hanya dapat memproduksi barang untuk konsumsi dalam negeri tetapi dengan menggunakan bahan baku yang sebagian besar masih diimpor, serta
102
4. banyaknya perlindungan yang diberikan sehingga membuat sebagian besar industri tersebut belum mampu berproduksi secara efisien sehingga sukar bersaing di pasar luar negeri. Semakin besarnya perhatian terhadap peranan IKRT mengakibatkan meningkatnya jumlah IKRT.
Data jumlah IKRT (Tabel 16) menunjukkan
terjadinya lonjakan jumlah yang sangat besar, yakni dari 1.5 juta unit pada tahun 1985 menjadi 2.5 juta unit di tahun 1990 dan meningkat drastis menjadi 16.8 juta unit di tahun 1996. Lonjakan peningkatan jumlah IKRT tersebut diperkirakan bukan hanya karena memang ada peningkatan jumlah unit usahanya saja, tetapi juga diperkirakan karena adanya perbaikan dalam pendataannya. Akibat dari keadaan tersebut, seperti juga banyak didapati di negara-negara sedang berkembang, struktur industri di Indonesia menunjukkan ciri-ciri kondisi dualistik yang ditandai dengan adanya MOM yaitu kurang berkembangnya industri menengah (Berry dan Levy, 1994). Keberadaan dan potensi IM secara khusus sementara ini masih diabaikan.
Potensi IM seringkali menjadi hilang karena keberadaannya
disatukan dengan IB, menjadi Industri Menengah dan Besar (IMB). Sementara ketika keberadaannya disatukan dengan IK, menjadi Industri Kecil dan Menengah (IKM), keberadaannya juga menjadi hilang dan yang kemudian terlihat menonjol hanyalah kelemahannya yang harus senantiasa dibantu dan dilindungi. Dengan kemampuannya untuk mengakses teknologi dan meningkatkan produktivitas produksinya, IM seharusnya dapat berperan menjadi industrial ladder dari IK ke IB. Sementara itu, karena skala usahanya yang masih relatif
103
kecil, IM juga memiliki fleksibilitas yang lebih baik daripada IB dalam menjalankan usahanya. Kurangnya perhatian pada IM tersebut kemudian memunculkan gejala MOM. Kondisi MOM ini pada umumnya diartikan secara harafiah sebagai sedikitnya jumlah industri menengah (Berry dan Levy, 1994). Tetapi pada berbagai publikasi kondisi MOM ini juga diartikan sebagai ”rendahnya produktivitas skala usaha menengah, jika dibandingkan dengan skala usaha kecil dan skala usaha besar” (Snaith dan Walker 2002a). Keberadaan gejala MOM pada dasawarsa terakhir ini dirasakan oleh beberapa negara maju menjadi salah satu penghambat utama dari kemajuan produktivitas industrinya.
Keberadaan gejala MOM ini juga akan
mengakibatkan lemahnya daya saing jika dibandingkan dengan negara yang tidak mengalami gejala MOM. Bahkan di negara industri maju, seperti Inggris, keberadaan gejala MOM dalam struktur industri mereka juga mendapat perhatian yang khusus.
V. DINAMIKA INDUSTRI MENENGAH DAN GEJALA MISSING OF THE MIDDLE
5.1. Reklasifikasi Struktur Industri Sektor industri memiliki peranan yang strategis dan penting dalam membangun struktur perekonomian yang kokoh.
Oleh karena itu bagian
pertama dari hasil penelitian ini akan melihat paparan kondisi industri Indonesia dari data Statistik Industri Menengah dan Besar yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 1996 sampai 2000. Pada bab sebelumnya telah dipaparkan bahwa jumlah industri menengah dan besar (IMB) yang disurvei adalah sekitar 20 000 unit usaha setiap tahunnya. Secara keseluruhan jumlah industri dan tenaga kerja masing-masing skala dari setiap klasifikasi dapat dilihat pada Tabel 18. Pada paparan tentang dinamika industri menengah di bagian berikutnya, data industri yang akan digunakan adalah data dari industri-industri menengah selama periode pengamatan (1996-2000). Tetapi untuk mendapat gambaran kondisi industri menengah dan besar secara penuh, pada bagian ini akan digunakan data dari keseluruhan industri yang ada. Secara keseluruhan rata-rata terdapat 22 210 unit industri menengah dan besar, terdiri atas 15.569 unit (70.1 persen) industri menengah (IM) dan 6.641 unit (29.9 persen) industri besar (IB). Data ini sejalan dengan kondisi keseluruhan struktur industri di Indonesia, yakni terdapat sekitar 22 juta unit industri kecil dan rumah tangga (IKRT), 14 juta IM dan sekitar 6 juta IB.
105
Tabel 18. Rata-rata Jumlah Unit Industri dan Tenaga Kerja per Klasifikasi Industri Tahun 1996-2000 Rata-rata Klasifikasi
Jumlah
Tenaga Kerja (orang) (%) Rata-rata
Industri (unit)
Minimum
Maximum
BPS: 1.
IM
2.
IB
15 569
70.1
38
20
99
6 641
29.9
545
100
38 429
*)
Tambunan : 1.
IK
11 875
53.5
29
20
49
2.
IM
3 694
16.6
69
50
99
3.
IB
6 641
29.9
545
100
38 429
Penulis**): 1.
IK
11 875
53.5
29
20
49
2.
IM
5 325
24.0
85
50
149
3.
IB
5 010
22.6
683
150
38 429
Jumlah
22 210
100.0
*) Hasil reklasifikasi Tambunan (2003) dengan batasan tenaga kerja IM antara 50-99 orang. **) Hasil reklasifikasi Penulis dengan batasan tenaga kerja IM antara 50-149 orang. Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS)
Secara keseluruhan, IM rata-rata memiliki tenaga kerja 38 orang dengan jumlah minimum 20 orang dan maksimum 99 orang (sesuai dengan batasan BPS). Sementara itu IB memiliki tenaga kerja rata-rata 545 orang, dengan jumlah minimum 100 orang (sesuai dengan batasan BPS) dan jumlah maksimum 38.429 orang. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa data industri menengah sangat condong (skewed) ke industri kecil (IK), sementara data IB juga sangat terpengaruh oleh kondisi industri yang ’sangat besar’. Melihat kondisi seperti ini, data kemudian direklasifikasi dengan metode Tambunan (2003), dengan batasan tenaga kerja 20-49 orang sebagai representasi IK, kemudian 50-99 orang sebagai representasi IM dan 100 orang atau lebih sebagai representasi IB.
106
Upaya reklasifikasi tersebut mengakibatkan jumlah industri menengah terbagi menjadi industri kecil (IK) dan indusri menengah (IM), sehingga jumlah IB, IM dan IK secara berurutan adalah sebanyak 6.641 unit, 3.694 unit dan 11x875 unit atau 29.9 persen, 16.6 persen dan 53.5 persen. Rata-rata jumlah tenaga kerjanya kemudian, secara berurutan dari IK, IM dan IB adalah sebanyak 29 orang, 69 orang dan 545 orang. Data jumlah industri setiap tahun dari masing-masing strata sesuai hasil reklasifikasi dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 19. Jumlah Industri dari Hasil Reklasifikasi Tahun 1996-2000 (unit) SKALA
1996
1997
1998
1999
2000
Rata-rata
IK
12 519
12 019
11 455
11 741
11 642
11 875
(%)
54.4
53.7
53.5
53.2
52.5
53.5
IM
3 798
3 748
3 538
3 651
3 735
3 694
(%)
16.5
16.7
16.5
16.5
16.8
16.6
IB
6 680
6 618
6 430
6 678
6 797
6 641
(%)
29.0
29.6
30.0
30.3
30.7
29.9
Jumlah
22 997
22 385
21 423
22 070
22 174
22 210
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS)
Dari hasil reklasifikasi yang dilakukan, dapat dilihat bahwa sebagian besar (sekitar 12.000 unit atau sekitar 53.5 persen) industri menengah yang ada ternyata masih termasuk pada kategori industri kecil (tenaga kerja antara 20 sampai 49 orang).
Sementara itu jumlah industri hasil reklasifikasi untuk
industri menengah dan industri besar secara berturut-turut adalah sekitar 3.700 unit (16.5 persen) dan 6.600 unit industri (30 persen). Jika diperhatikan jumlah masing-masing strata setiap tahun, dapat dilihat secara umum adanya penurunan jumlah industri. Untuk IK dari jumlah
107
12.519 unit di tahun 1996 turun menjadi 11.455 unit di tahun 1998 dan kemudian sesudah sedikit naik di tahun 1999 kemudian turun lagi menjadi 11.642 unit di tahun 2000. Untuk IB kondisinya juga relatif sama, dari jumlah 6.680 unit di tahun 1996 turun drastis menjadi 6.430 unit di tahun 1998 dan kemudian sedikit naik di tahun 1999 kemudian menjadi 6.797 unit di tahun 2000. Khusus untuk IM, yang menjadi topik utama penelitian ini, kondisinya ternyata juga mengalami penurunan dan kenaikan yang relatif sama dengan IB. Dari 3.798 unit di tahun 1996 kemudian turun drastis menjadi 3.538 unit di tahun 1998 dan kemudian naik kembali di tahun 1999 dan 2000 sehingga jumlahnya menjadi 3.735 unit di tahun 2000. Jika penurunan jumlah tersebut dibandingkan secara langsung antara tahun 1996 dan 2000, maka masing-masing strata secara berturutan dari IK, IM dan IB masing-masing mengalami penurunan sebesar 5,1 persen, 2,7 persen dan 0,6 persen. Dengan demikian jumlah IB relatif paling stabil dan yang mengalami penurunan terbesar adalah IK. Upaya reklasifikasi ini juga dilaksanakan untuk melacak keberadaan IM yang begitu dinamis. Dengan adanya reklasifikasi maka akan dapat dilacak keberadaan IM yang naik status menjadi IB atau turun status menjadi IK. Hasil dari upaya reklasifikasi tersebut, jika dibandingkan dengan BPS, dapat dilihat di Gambar 13 pada halaman berikut. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa dari sekitar 16.000 unit IM hasil klasifikasi BPS terbagi jumlahnya menjadi IK dan IM, masing-masing sekitar 12.500 dan 3.500 unit usaha. Sementara itu, karena menggunakan batasan yang sama yakni TK sama dengan atau lebih dari 100 orang, maka
108
jumlah IB tidak mengalami perubahan. Juga dapat dilihat bahwa masingmasing skala usaha mengalami penurunan jumlah pada tahun 1998. Hal ini diperkirakan terjadi karena adanya pengaruh dari krisis ekonomi di tahun 1997.
IK
IM
Jumlah Usaha (BPS)
2000
1999
1998
1997
1996
2000
1999
1998
1997
1996
2000
1999
1998
1997
1996
18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
IB Jumlah Usaha (Tambunan)
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS)
Gambar 13. Jumlah Industri Hasil Reklasifikasi Hasil reklasifikasi tersebut jika dilihat dari rata-rata jumlah tenaga kerja pada Gambar 14 menunjukkan kondisi yang lebih menarik. Rata-rata jumlah tenaga kerja IM hasil lasifikasi BPS menunjukkan 38 orang, sehingga lebih mendekati (skewed) ke IK. Sedangkan dari hasil reklasifikasi, rata-rata jumlah tenaga kerja IM menjadi 69 orang dan IK menjadi 29 orang. 600
552
536
538
555
545
500 400 300 200 100
69 2938
69 2938
69 2938
69 2939
69 2939
0 IK
IM 1996
IB
IK
IM 1997
Jumlah TK (BPS)
IB
IK
IM 1998
IB
IK
IM
IB
IK
1999
IM 2000
Jumlah TK (Tambunan)
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS)
Gambar 14. Jumlah Tenaga Kerja Hasil Reklasifikasi
IB
109
Ketika dilakukan reklasifikasi dengan batasan tenaga kerja yang berbeda, yakni 20 sampai 49 orang untuk IK, 50 sampai 149 orang untuk IM dan 150 orang atau lebih untuk IB, untuk kepentingan analisis keberadaan gejala missing of the middle, dapat dilihat bahwa struktur menjadi berubah drastis. Rata-rata tenaga kerja secara berurutan dari IK, IM dan IB masingmasing berubah menjadi 29 orang, 85 orang dan 683 orang. Selain itu struktur industri juga berubah drastis. Jumlah IK tetap ada 11.875 unit (53.5 persen), jumlah IM meningkat menjadi 5-325 unit industri (24.0 persen) atau meningkat sebesar 6.4 persen dan IB turun menjadi 5-010 unit (22.6 persen) atau turun sebesar 7.3 persen. Sementara itu rata-rata tenaga kerja IM meningkat dari 69 orang menjadi 85 orang dan IB juga meningkat dari 545 orang menjadi 683 orang. Kondisi di atas memperlihatkan bahwa penggambaran keberadaan struktur industri adalah sangat rentan dan peka terhadap batasan yang digunakan. Sedikit ada perubahan pada batasan tenaga kerja yang digunakan, maka struktur langsung berubah drastis. Padahal selain tenaga kerja masih banyak batasan lain yang dapat digunakan. Oleh karena itu pada analisis selanjutnya akan digunakan batasan struktur industri yang dilakukan oleh Tambunan (2003). Gambar 15, sebagai hasil reklasifikasi Tambunan (2003), juga menunjukkan bahwa jumlah IM setiap tahunnya senantiasa berada dibawah IK dan IB. Jumlah IK berkisar antara 11.455 unit sampai 12.519 unit dan jumlah IB berkisar antara 6-430 unit sampai 6-797 unit. Sementara itu jumlah IM relatif tetap dan berkisar antara 3-538 unit sampai 3-798 unit. Keberadaan IM
110
yang rendah ini secara jelas menggambarkan keberadaan gejala missing of the middle (MOM) pada struktur industri di Indonesia. Jika dilihat data tahunan untuk masing-masing skala pada Gambar 15, dapat dilihat semakin jelas bahwa terjadi kondisi MOM. 14000 12000
12519 12019 11741 11455 11642
10000 6678 6797 6680 66186430
8000 6000 3798
4000
3651 3748 3538 3735
2000 0 IK 1996
IM 1997
1998
IB 1999
2000
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS)
Gambar 15. Jumlah Industri Indonesia Tahun 1996-2000 (unit) Hal lain yang juga terlihat menarik adalah perubahan jumlah masingmasing skala. Selama tahun 1996 sampai 2000 dapat dilihat bahwa jumlah IM dan IB relatif tetap, sementara itu jumlah IK dapat dilihat mengalami gejolak penurunan pada tahun 1997, tetapi kemudian mengalami peningkatan jumlah yang signifikan mulai tahun 1998.
Meskipun demikian, jika dilihat dari
Gambar 14, jumlah rata-rata serapan tenaga kerja IK adalah tetap (29 orang per unit usaha). Kondisi yang sama juga terjadi pada IM, yakni 69 orang per unit usaha, sementara untuk IB mengalami fluktuasi antara 545 sampai 555 orang per unit usaha. Dari berbagai paparan tersebut dapat dilihat bahwa jumlah IK cenderung lebih rentan dan mudah berubah-ubah, dibandingkan dengan IM dan
111
IB. Tetapi di sisi lain, Gambar 15 juga menunjukkan bahwa IK memiliki daya tahan untuk segera pulih dari kondisi krisis pada tahun 1997. Antara tahun 1996 sampai 2000, IM dan IB masing-masing mengalami kenaikan jumlah unit industri sekitar 200 unit untuk IM dan 450 unit untuk IB. Sementara untuk waktu yang sama, IK mengalami kenaikan jumlah sekitar 1.600 unit usaha, atau berarti sekitar 5 kali kenaikan IM dan 4 kali kenaikan IB. Meskipun demikian jika dilihat dari produktivitasnya, misalnya dari nilai total pendapatan, output dan nilai tambah pada Tabel 20, setiap skala industri mengalami penurunan yang cukup signifikan dari tahun 1996 sampai 2000. Tabel 20. Total Pendapatan, Output dan Nilai Tambah pada Harga Berlaku dan Harga Konstan 1996 Masing-masing Skala Usaha Tahun 19962000 Skala/ Tahun
Jumlah (unit)
Harga Berlaku (Juta Rp) Nilai Total Output Tambah Pendapatan
Harga Konstan 1996 (Juta Rp) Nilai Total Output Tambah Pendapatan
Industri Kecil (IK) 1996 12 519 449 133 398 847 14 560 449 133 1997 12 019 409 852 407 521 17 138 367 158 1998 11 455 343 454 342 591 17 224 181 579 1999 11 741 306 055 307 306 12 107 133 834 2000 11 642 330 237 329 624 6 685 141 062 Rata-rata 11 875 367 746 357 178 13 543 254 553 Industri Menengah (IM) 1996 3 798 1 488 306 1 316 211 97 330 1 488 306 1997 3 748 1 253 957 1 290 035 116 637 1 123 334 1998 3 538 940 611 968 259 100 103 497 288 1999 3 651 803 316 853 413 67 213 351 280 2000 3 735 851 235 899 606 36 595 363 607 Rata-rata 3 694 1 067 485 1 065 505 83 576 764 763 Industri Besar (IB) 1996 6 680 2 924 692 3 441 537 852 917 2 924 692 1997 6 618 2 292 393 3 099 283 822 775 2 053 597 1998 6 430 1 333 341 2 000 298 545 505 704 919 1999 6 678 1 080 136 1 699 644 399 524 472 329 2000 6 797 1 079 785 1 757 845 240 306 461 232 Rata-rata 6 641 1 742 069 2 399 721 572 205 1 323 354 Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS)
398 847 365 070 181 123 134 381 140 800 244 044
14 560 15 353 9 106 5 294 2 856 9 434
1 316 211 1 155 654 511 905 373 186 384 268 748 245
97 330 104 487 52 923 29 391 15 632 59 953
3 441 537 2 776 434 1 057 529 743 232 750 867 1 753 920
852 917 737 067 288 401 174 707 102 647 431 148
Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa data pada Tabel. 20 tersebut
112
menunjukkan kecenderungan penurunan untuk semua indikator, yakni jumlah pendapatan, output dan nilai tambah baik pada harga berlaku maupun harga konstan. Penurunan ini terjadi pada semua kelompok industri (industri kecil, menengah maupun besar). Meskipun demikian, tetap dapat dilihat adanya gejolak kenaikkan pada waktu-waktu tertentu. Kenaikkan itu terutama terjadi pada IK, untuk nilai output pada harga berlaku tahun 1997, nilai tambah pada harga berlaku maupun harga konstan untuk tahun 1997 dan nilai tambah pada harga berlaku tahun 1998. Sementara itu untuk IM pada tahun 1997 hanya terjadi peningkatan nilai tambah, baik pada harga berlaku maupun harga konstan. Temuan ini menegaskan hasil Berry dan Rodriguez (2001) di Philipina bahwa IK memiliki pertumbuhan produktivitas yang lebih tinggi daripada IB. Selain itu, untuk ketiga strata industri, terjadi kondisi kenaikan pada tahun 2000. Pada IK dan IM, kenaikkan terjadi baik pada output maupun nilai tambah baik pada harga berlaku maupun harga konstan, sementara untuk IB peningkatan hanya terjadi pada output baik pada harga berlaku maupun harga konstan. Kondisi ini kembali menegaskan bahwa industri kecil dan industri menengah memiliki ketahanan yang lebih baik daripada IB.
5.2. Gambaran Umum Dinamika Industri Sesuai dengan tujuan utama dari penelitian ini, yakni untuk mempelajari dinamika industri menengah, maka bahasan pada bagian selanjutnya hanya dilaksanakan pada dinamika kelompok IM, dengan batasan IM sesuai yang dilakukan oleh Tambunan (2003).
Tetapi sebelum secara
113
khusus membahas dinamika IM, kondisi dinamika secara keseluruhan selama tahun 1996 sampai 2000 dapat dilihat pada Tabel 2115. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa jumlah unit usaha yang mengalami dinamika atau dinamis, dalam arti statusnya bisa naik (NK) atau turun (TR), secara total jumlahnya sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah unit usaha yang tidak mengalami dinamika atau tidak dinamis, dalam arti statusnya tetap (TT), yakni hanya sekitar 10 persen dari total jumlah unit usaha yang ada. Dari unit usaha yang dinamis tersebut, jumlah usaha yang mengalami kenaikan (NK) untuk setiap tahunnya relatif tetap yakni sekitar 4 persen, dengan jumlah kenaikan paling tinggi pada tahun 1998-1999 yakni 4.6 persen. Kondisi yang berbeda dapat dilihat pada unit usaha yang mengalami penurunan status (TR). Jumlah penurunan antara tahun 1996 sampai 1998 relatif lebih banyak daripada yang mengalami penurunan antara tahun 1998 sampai 2000, yakni sekitar 6 persen dan 4 persen.
Keadaan ini sepertinya sudah
mengindikasikan akan terjadinya krisis, karena banyak unit-unit usaha industri yang turun statusnya pada tahun-tahun terakhir sebelum krisis melanda. Tabel 21. Kondisi Dinamika Industri Tahun 1996-2000 DIN NK
TR
15
Status Sebelumnya (tahun t) IM IK Total NK IB IM
1996 1997 276 535 811 430 599
Jumlah (unit) 1997 1998 1998 1999 298 352 510 579 808 931 563 349 776 449
1999 2000 312 553 865 314 401
19961997 1.3 2.6 3.9 2.1 2.9
Jumlah (%) 1997- 19981998 1999 1.5 1.7 2.6 2.8 4.1 4.6 2.9 1.7 3.9 2.2
19992000 1.5 2.6 4.1 1.5 1.9
Kondisi dinamika satu unit usaha dilaksanakandengan membandingkan statusnya pada tahun tertentu (t) dengan statusnya pada tahun berikutnya (t+1). Kondisi dinamika dikatakan ’naik’ (NK) jika statusnya meningkat dari IK ke IM atau IB, ataupun dari IM ke IB. Sebaliknya kondisi dinamikanya dikatakan ’turun’ (TR) jika statusnya pada tahun tertentu (t+1) turun atau lebih rendah daripada statusnya pada tahun sebelumnya (t).
114 Total TR 1 029 1 339 798 715 5.0 6.8 3.9 IB 5 889 5 730 5 986 6 195 28.7 29.0 29.4 IM 2 635 2 339 2 647 2 799 12.8 11.9 13.0 IK 10 168 9 521 9 990 10 347 49.5 48.2 49.1 Total TT 18 692 17 590 18 623 19 341 91.0 89.1 91.5 Total DIN 20 532 19 737 20 352 20 921 100.0 100.0 100.0 “Hilang” 2465 2 648 1 071 1 149 (% hilang) 10.7 11.8 5.0 5.2 Total 22 997 22 385 21 423 22 070 Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS) Ket.: DIN = dinamika, NK = statusnya naik, TR = statusnya turun, TT = statusnya tetap (tidak dinamis) TT
3.4 29.6 13.4 49.5 92.4 100.0
Jika diperhatikan lebih mendalam, unit usaha yang mengalami kenaikan dari IK ke IM, jika dibandingkan dengan total industri, jumlahnya relatif lebih banyak daripada jumlah unit usaha yang mengalami kenaikan dari IM ke IB, yakni sekitar 2.7 persen (IK ke IM) dan 1.6 persen (IM ke IB). Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa untuk kondisi mengalami kenaikkan status, IK lebih dinamis daripada IM. Artinya jumlah IK yang naik statusnya relatif lebih banyak dibandingkan dengan IM. Sementara itu jumlah usaha yang mengalami penurunan (TR) dari IB ke IM ataupun dari IM ke IK relatif sama, yakni sekitar 2 persen.
Sehingga dapatlah dikatakan bahwa untuk
kondisi yang mengalami penurunan status, dinamika IM relatif sama dengan IB. Keadaan dinamika unit usaha juga dapat dibandingkan antara unit usaha yang dinamis (naik ataupun turun) pada satu strata tertentu dengan jumlah unit usaha total pada strata tersebut. Dari jumlah usaha yang dinamis pada masing-masing strata yang bersangkutan (Tabel 22) dapat dilihat bahwa kondisi yang menarik, yakni bahwa IM adalah lebih dinamis jika dibandingkan dengan IK dan IB.
115
Tabel 22. Jumlah Dinamika Naik dan Turun pada Setiap Strata DIN IK 1. Jumlah (unit) 2. Naik (%) 3. Turun (%) IM 1. Jumlah (unit) 2. Naik (%) 3. Turun (%) IB 1. Jumlah (unit) 2. Turun (%)
1996 -1997 1997 -1998 1998 -1999 1999 -2000 Rata-rata 10.703 5.0 -
10.031 5.1 -
10.569 5.5 -
10.900 5.1 -
10.551 5.2 -
3.510 7.9 17.1
3.413 8.7 22.7
3.448 10.2 13.0
3.512 8.9 11.4
3.471 8.9 16.1
6.319 6.8
6.293 8.9
6.335 5.5
6.509 4.8
6.364 6.5
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS)
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa jumlah IK yang mengalami kenaikan rata-rata sebanyak 5.2 persen, sementara rata-rata jumlah IM yang mengalami kenaikkan relatif lebih banyak yakni sebanyak 8.9 persen. Demikian pula untuk yang mengalami penurunan, jumlah IM yang mengalami penurunan rata-rata sebanyak 16.1 persen, sementara rata-rata jumlah IB yang mengalami penurunan rata-rata hanya sebanyak 6.5 persen. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa jika dibandingkan dengan IB dan IK, maka IM adalah lebih dinamis, meskipun selama pengamatan tahun 1996 sampai 2000 dinamika IM untuk turun status menjadi IK relatif lebih banyak daripada IM yang naik status menjadi IB. Ketika dilakukan pelacakan terhadap unit-unit usaha yang tetap ada selama tahun 1996 sampai tahun 2000, maka terdapat 16.506 unit usaha yang tetap ada selama waktu tersebut. Pelacakan kondisi dinamika unit-unit usaha tersebut, seperti dapat dilihat pada Tabel 23, menunjukkan gambaran dinamika yang menarik.
116
Tabel 23. Kondisi Dinamika Industri Tahun 1996-2000 1998 – 2000 (unit) Turun
Tetap
Naik
Unit
(%)
1996-1998 (unit)
Jumlah
Turun
53
1.014
450
913
5.5
Tetap
529
13.057
490
1.517
9.2
Naik
302
585
26
14.076
85.3
Jumlah
DIN
Unit
966
884
14.656
16.506
100.0
(%)
5.9
5.4
88.8
100.0
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS)
Dari Tabel 23 dapat dilihat bahwa antara tahun 1996 dan 1998 terdapat 5,5 persen (913 unit) industri yang mengalami penurunan skala usaha, baik dari besar (IB) ke menengah (IM) dari menengah (IM) ke kecil (IK), ataupun dari besar (IB) ke kecil (IK). Pada waktu yang sama hanya 5.7 persen (533 unit) indsutri yang mengalami kenaikan skala usaha dari IK ke IM ataupun dari IM ke IB, dan sebagian besar lainnya (83.3 persen) memiliki skala usaha yang tetap. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada periode 1996-1998 relatif lebih banyak industri yang mengalami penurunan skala usahanya, daripada industri yang mengalami kenaikan skala usahanya.
Keadaan ini sejalan dengan
keberadaan krisis ekonomi yang melanda perekonomian pada tahun 1997, yang antara lain mengakibatkan berkurangnya jumlah industri. Penurunan ini juga mengakibatkan menurunnya jumlah industri secara total. Kondisi yang berbeda terjadi pada periode 1998 sampai 2000. Meskipun masih juga terdapat unit industri yang mengalami penurunan skala usaha, baik dari IB ke IM maupun dari IM ke IK, sebanyak 583 unit (6.3 persen), tetapi industri yang mengalami kenaikan skala usaha jumlahnya relatif
117
sama yaitu 587 unit industri (relatif sama-sama 6.3 persen). Secara tidak langsung data ini menunjukkan bahwa telah terjadi kondisi perekonomian yang relatif lebih baik setelah krisis. Telaah lebih lanjut pada industri yang mengalami kenaikan ataupun penurunan pada kedua periode tersebut menunjukkan keadaan yang lebih menarik. Pada Tabel 23 dapat dilihat bahwa dari 1.017 unit industri yang mengalami penurunan skala usaha pada periode 1996-1998, pada periode berikutnya (1998-2000) ternyata terdapat 34 unit industri yang kembali mengalami penurunan skala usahanya, artinya unit industri ini mengalami keadaan yang semakin parah, karena mengalami dua kali penurunan skala usaha. Sementara itu terdapat 702 unit usaha yang berhasil mempertahankan dan tidak ikut semakin turun skala usahanya. Yang menarik, ternyata ada 281 unit usaha yang sesudah mengalami penurunan skala usaha pada periode 19961998 kemudian berhasil menaikkan kembali skala usahanya pada periode 1998-2000.
5.3. Keberadaan Unit Industri yang ’Hilang’ Analisis terhadap dinamika industri, sebagaimana dicantumkan pada Tabel 24, juga menunjukkan bahwa ada unit usaha yang ’hilang’. Terdapat sekitar 11 persen unit usaha antara tahun 1996-1998 dan 5 persen antara tahun 1998-2000 yang menghilang, dalam arti keberadaannya pada tahun tertentu (t) tidak ditemukan lagi pada tahun berikutnya (t+1). Hilangnya unit usaha ini diperkirakan dapat terjadi karena unit usaha tersebut memang tidak disensus lagi oleh BPS pada tahun berikutnya atau unit usaha tersebut memang benarbenar sudah tidak ada (tutup), sebagaimana diduga oleh Fajnzyler, et.al. (2001)
118
karena pengaruh adanya perubahan perdagangan era global yang membuat pasar tenaga kerja (dan industri) menjadi lebih kompetitif.
Tabel berikut
menunjukkan jumlah industri yang ’hilang’ dari tahun tertentu (t) ke tahun berikutnya (t+1) untuk masing-masing strata industri. Tabel 24. Jumlah Industri yang ’Hilang’ Tahun 1996-2000 (unit) Strata
1996-1997
1997-1998
1998-1999
1999-2000
Rata-rata
12.519
12.019
11.455
11.741
11.934
1.816
1.988
886
841
1.383
14.5
16.5
7.7
7.2
11.5
3.798
3.748
3.538
3.651
3.684
2. Hilang (unit)
288
335
90
139
213
3. Hilang (%)
7.6
8.9
2.5
3.8
5.7
6.680
6.618
6.430
6.678
6.602
2. Hilang (unit)
361
325
95
169
238
3. Hilang (%)
5.4
4.9
1.5
2.5
3.6
22.997
22.385
21.423
22.070
22.219
2.465
2.648
1.071
1.149
1.833
5.2
8.3
IK 1. Total (unit) 2. Hilang (unit) 3. Hilang (%) IM 1. Total (unit)
IB 1. Total (unit)
Total 1. Total (unit) 2. Hilang (unit)
3. Hilang (%) 10.7 11.8 5.0 Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS)
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa secara keseluruhan rata-rata jumlah industri yang ’hilang’ setiap tahunnya adalah sebanyak 1.833 unit usaha (8,3%). Dari jumlah sebanyak itu, jumlah rata-rata setiap tahun industri yang ’hilang’ paling banyak adalah dari strata IK, yakni rata-rata sebanyak 1.383 unit usaha (11.5%).
Diikuti oleh IM sebanyak 213 unit (5.7%) dan IB
sebanyak 238 unit (3.6%). Selanjutnya jika diperhatikan waktu hilangnya unit usaha tersebut maka dapat dilihat bahwa pada tahun-tahun akhir mendekati krisis jumlah industri yang hilang di setiap strata relatif lebih banyak daripada
119
jumlah yang hilang sesudah krisis. Perbedaan jumlah yang hilang sebelum dan sesudah krisis yang paling menyolok juga terjadi pada IK, yakni sekitar 10 persen.
5.4. Analisis Dinamika Industri Menengah Sesuai dengan tujuan utama penelitian ini, yakni untuk menelaah dinamika industri menengah, maka telaah selanjutnya hanya dilakukan terhadap strata industri menengah.
Data pada tabel berikut, menunjukkan
secara khusus dinamika yang terjadi hanya pada IM. Tabel 25. Kondisi Dinamika Industri Menengah Tahun 1996-2000 DIN
1996-1997
1. Naik 2. Turun 3. Tetap Total (unit)
276 599 2 635 3 510
1. Naik 2. Turun 3. Tetap Total (%)
7.9 17.1 75.1 100.0
1997-1998 1998-1999 Jumlah (unit) 298 352 776 449 2 339 2 647 3 413 3 448 Jumlah (%) 8.7 10.2 22.7 13.0 68.5 76.8 100.0 100.0
1999-2000 312 401 2 799 3 512 8.9 11.4 79.7 100.0
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS)
Sama seperti dinamika pada strata lainnya, kondisi dinamika pada IM juga menunjukkan bahwa jumlah industri menengah yang mengalami penurunan (turun statusnya ke IK) setiap tahun juga lebih banyak daripada IM yang naik statsunya menjadi IB. Bahkan pada saat krisis, tahun 1997 sampai 1998, jumlah industri menengah yang mengalami penurunan status jumlahnya meningkat menjadi 776 unit usaha (22.7 persen).
Mungkin akibat dari
fleksibilitasnya yang besar, untuk naik menjadi IB, ataupun karena sifatnya yang sangat rentan, untuk turun menjadi IK, maka ketika krisis melanda sangat
120
mudah bagi IM untuk turun kelas menjadi IK. Kondisi dinamika IM ini juga menarik untuk dipelajari terjadinya pada masing-masing kelompok industri, untuk waktu sebelum krisis (1996-1998) dan sesudah kriris (1998-2000) seperti dapat dilihat pada Gambar 16. Dari Gambar 16 tersebut dapat dilihat bahwa semua jenis industri pada periode 1996-1998 mengalami persentase penurunan skala usaha yang lebih besar daripada persentase kenaikannya, kecuali untuk jenis industri 33 (produk kayu dan olahan kayu), yang jumlah penurunan skalanya relatif sama dengan jumlah kenaikan skalanya. Sementara itu untuk periode 1998 sampai 2000 kondisinya terlihat relatif lebih baik.
Jumlah (%)
25,00% 20,00% 15,00% 10,00% 5,00% 0,00% 31
32
33
34
35
36
37
38
39
Total
KLUI
96-98 Turun
96-98 Naik
98-00 Turun
98-00 Naik
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS)
Gambar 16. Dinamika Industri Menengah Setiap Kelompok Industri (ISIC 2 Digit) Pada periode 1998-2000 jumlah penurunan skala pada setiap kelompok industri relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan penurunan skala pada kelompok yang sama di periode sebelumnya maupun jika dibandingkan dengan jumlah kenaikan skala untuk kelompok yang sama pada periode ini. Pada beberapa kelompok industri, yakni kelompok 32 (tekstil dan produk kulit), 34 (kertas dan percetakan), 35 (pupuk, kimia dan karet), 37 (besi dan baja) dan 38 (peralatan transportasi), jumlah yang mengalami kenaikan skala bahkan lebih
121
besar daripada jumlah yang mengalami penurunan skala. Gambaran dinamika IM per tahun juga menunjukkan gambaran yang menarik. 6,0
5,0 4,5
5,0
4,0 3,5
4,0
3,0 3,0
2,5 2,0
2,0
1,5 1,0
1,0
0,5 0,0
0,0
NK TR NK TR NK TR NK TR NK TR NK TR NK TR NK TR NK TR 31
32
33
34
35
36
37
38
NK TR NK TR NK TR NK TR NK TR NK TR NK TR NK TR NK TR
39
31
32
(1996-1997)
33
34
35
36
37
38
39
(1997-1998)
4,0
3,5
3,5
3,0
3,0
2,5
2,5
2,0
2,0 1,5
1,5
1,0
1,0
0,5
0,5 0,0
0,0
NK TR NK TR NK TR NK TR NK TR NK TR NK TR NK TR NK TR 31
32
33
34
35
36
(1998-1999)
37
38
39
NK TR NK TR NK TR NK TR NK TR NK TR NK TR NK TR NK TR 31
32
33
34
35
36
37
38
39
(1999-2000)
Gambar 17. Dinamika Industri Menengah Setiap Tahun Pada Kelompok Industri (ISIC 2 Digit) Jika diperhatikan penurunan skala yang terjadi pada periode 1996-1998, maka dapat dilihat bahwa persentase penurunan terbesar dialami oleh kelompok industri 37 dan 38 yang mengalami penurunan sampai sekitar 20 persen dari jumlah industri yang ada. Sementara itu untuk periode 1998-2000 penurunan terbesar terjadi pada kelompok 39 (produk manufaktur lainnya) dengan jumlah penurunan hanya sekitar 7 persen dari jumlah industri yang ada. Gambaran ini diperkuat dengan data keseluruhan (total) yang menunjukkan bahwa pada periode 1996-1998 jumlah industri yang mengalami penurunan skala memang lebih besar daripada jumlah industri yang mengalami kenaikan
122
skala usaha.
Sementara untuk periode 1998-2000 jumlah industri yang
mengalami penurunan skala dan kenaikan skala usaha relatif sama-sama sekitar 6 persen.
5.4.1. Dinamika Industri Menengah Berdasarkan Klasifikasi Industri Selain gambaran dinamika IM secara umum tersebut,
juaga dapat
ditelaah kondisi dinamika IM jika dikaitkan dengan klasifikasi industrinya. Sesuai dengan definisi industri sebelumnya, kalsifikasi industri yang digunakan adalah klasifikasi industri berbasis teknologi tinggi (hi-tech/H) dan berbasis tenaga kerja (low-tech/L). Industri berbasis teknologi pada umumnya bersifat padat modal, sementara industri yang berbasis tenaga kerja bersifat padat karya. Tabel 26. Kondisi Dinamika IM Berdasarkan Klasifikasi Industri Tahun 19962000 THN 1996-1997
1997-1998
1998-1999
1999-2000
DIN NK TR TT Sub-Total NK TR TT Sub-Total NK TR TT Sub-Total NK TR TT Sub-Total
Klas. Industri (unit) L H 177 99 381 218 1 543 1 092 2 101 1 409 183 115 464 312 1 363 976 2 010 1 403 179 173 278 171 1 512 1 135 1 969 1 479 175 137 269 132 1 584 1 215 2 028 1 484
Klas. Industri (%) L H 8.4 7.0 18.1 15.5 73.4 77.5 100.0 100.0 9.1 8.2 23.1 22.2 67.8 69.6 100.0 100.0 9.1 11.7 14.1 11.6 76.8 76.7 100.0 100.0 8.6 9.2 13.3 8.9 78.1 81.9 100.0 100.0
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS)
Dari tabel dinamika IM berdasarkan klasifikasi industrinya dapat dilihat bahwa untuk kondisi dinamika IM yang naik maupun turun antara klasifikasi H
123
(IM-H) dan L (IM-L) relatif tidak berbeda.
Dengan demikian dapat
diperkirakan bahwa klasifikasi industri tidak dapat digunakan untuk membedakan kondisi dinamika antara IM-H dengan IM-L. Meskipun demikian jika ditelaah lebih mendalam dapat dilihat kondisi yang menarik. Untuk waktu-waktu sebelum krisis (1996-1998), jumlah IM yang mengalami kenaikan lebih banyak dari IM-L daripada IM-H. Sementara untuk waktu-waktu sesudah krisis (1998-2000) kondisi yang terjadi adalah sebaliknya, yakni yang mengalami kenaikkan lebih banyak IM-L daripada IMH. Hal yang berbeda terjadi pada kondisi penurunan status, baik sebelum krisis maupun sesudah krisis, jumlah IM yang mengalami penurunan senantiasa lebih banyak dari IM-L daripada IM-H. Berarti untuk IM mengalami penurunan dapat terjadi setiap saat, baik untuk IM-H maupun IM-L, sementara untuk dapat meningkatkan statusnya menjadi IB faktor waktu menjadi penting bagi IM-H dan IM-L. Sebelum terjadi krisis kesempatan untuk naik menjadi IB lebih banyak dimiliki oleh IM-L, sementara sesudah krisis kesempatan tersebut lebih banyak dimiliki oleh IM-H.
5.4.2. Dinamika Industri Menengah Pertanian dan Non-Pertanian Telaah berikutnya adalah untuk melihat apakah ada perbedaan dinamika antara IM yang berbasis pertanian (IM-Pert) dan yang berbasis nonpertanian (IM-NonPertanian). Jika diperhatikan data IM dengan klasifikasi industri berbasis pertanian dan non-pertanian, pada Tabel 27, dapat dilihat bahwa jumlah IM berbasis pertanian (IM-Pert) relatif lebih banyak daripada IM yang berbasis non-pertanian (IM-NonPertanian), yakni sekitar 70 persen (IMPert) dibanding 30 persen (IM-NonPertanian). Selain itu juga dapat dilihat
124
bahwa IM-Pert kondisinya ‘lebih dinamis’ daripada IM-NonPertanian. Artinya, baik untuk kondisi IM-Pert yang naik status (NK) maupun yang turun status (TR) senantiasa lebih banyak daripada IM-NonPertanian, secara absolut maupun relatif. Tabel 27. Kondisi Dinamika IM Berdasarkan Klasifikasi Industri Tahun 19962000 Sektor DIN PERTANIAN NK TR TT Sub-Total NON-PERTANIAN NK TR TT Sub-Total TOTAL PERTANIAN NK TR TT Sub-Total NON-PERTANIAN NK TR TT Sub-Total TOTAL
1996-1997 203 426 1 886 2 515 73 173 749 995 3 510 5.8 12.1 53.7 71.7 2.1 4.9 21.3 28.3 100.0
1997-1998 1998-1999 Jumlah (unit) 227 239 527 311 1.681 1.848 2.435 2.398 Jumlah (unit) 71 113 249 138 658 799 978 1.050 3 413 3 448 Jumlah (%) 6.7 6.9 15.4 9.0 49.3 53.6 71.3 69.5 Jumlah (%) 2.1 3.3 7.3 4.0 19.3 23.2 28.7 30.5 100.0 100.0
1999-2000 215 294 1.939 2.448 97 107 860 1.064 3 512 6.1 8.4 55.2 69.7 2.8 3.0 24.5 30.3 100.0
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS)
Hal lain yang juga menarik adalah bahwa jumlah IM-NonPertanian yang mengalami penurunan status, jumlahnya relatif sama antara wakru sebelum krisis (1996-1998) dengan sesudah krisis (1998-2000), kecuali untuk penurunan saat krisis (1997-1998) yang jumlahnya cukup melonjak. Sementara itu untuk IM-Pertanian, jumlah yang mengalami penurunan status pada waktu sebelum krisis (1996-1998) adalah lebih banyak daripada masa sesudah krisis (1998-2000). Kondisi ini menunjukkan bahwa IM-Pertanian
125
relatif lebih terpengaruh oleh krisis ekonomi daripada IM-NonPertanian. Jika diperhatikan lebih mendalam dinamika industri dari lima sektor utama, yakni yang berbasis pertanian khususnya industri makanan, tekstil dan kayu dan yang berbasis non-pertanian khususnya industri kimia dan mesin,
Dinamika IM (%)
juga menunjukkan gambaran yang menarik (Gambar 18).
4.00 3.80 3.60 3.40 3.20 3.00 2.80 2.60 2.40 2.20 2.00 1996
1997
1998
Ind us tri Makanan
T ah un Ind us tri T e ks til
Ind us tri K im ia
Ind us tri M e s in
1999
2000 Ind us tri P e rkayuan
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS)
Gambar 18. Dinamika Industri Pertanian dan 2 Kelompok Industri Utama Gambar 18 tersebut kembali menegaskan bahwa dinamika sub-sektor industri makanan, perkayuan, dan tekstil relatif lebih besar dibandingkan dengan sektor industri yang lain. Dinamika pada sektor ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap dinamika industri menengah secara keseluruhan. Selain itu dalam kondisi lingkungan usaha yang berubah-ubah, maka ketiga sektor inilah yang memiliki potensi untuk melakukan penyesuaian diri, baik untuk naik kelas ke IB maupun turun kelas ke IK. 5.4.3. Dinamika Industri Menengah Berorientasi Ekspor dan Non-Ekspor Telaah selanjutnya adalah untuk melihat apakah ada beda dinamika
126
dinamika antara IM yang berorientasi ekspor (IM-Ekspor) dan yang berorientasi non-ekspor atau domestik (IM-Domestik). Jika diperhatikan data IM dengan klasifikasi orientasi pasarnya, pada Tabel 28, dapat dilihat bahwa jumlah IM yang berorientasi pasa ekspor (IM-Ekspor) jauh lebih sedikit daripada IM yang berorientasi pasar domestik (IM-Domestik), yakni sekitar 89 persen (IM-Domestik) dibanding 11 persen (IM-Ekspor). Tabel 28. Dinamika IM Berdasarkan Orientasi Pasarnya Tahun 1996-2000 Ekspor YA
TDK
YA
TDK
DIN NK TR TT Sub-Total NK TR TT Sub-Total Total NK TR TT Sub-Total NK TR TT Sub-Total
1996-1997 1997-1998 1998-1999 1999-2000 Jumlah (unit) 98 80 12 65 82 74 8 40 424 284 51 357 604 438 71 462 178 218 340 247 517 702 441 361 2 211 2 055 2 596 2 442 2 906 2 975 3 377 3 050 3 510 3 413 3 448 3 512 Jumlah (%) 16.2 18.3 16.9 14.1 13.6 16.9 11.3 8.7 70.2 64.8 71.8 77.3 100.0 100.0 100.0 100.0 6.1 7.3 10.1 8.1 17.8 23.6 13.1 11.8 76.1 69.1 76.9 80.1 100.0 100.0 100.0 100.0
Rata-rata 64 51 279 394 246 505 2 326 3 077 3 471 16.2 13.0 70.9 100.0 8.0 16.4 75.6 100.0
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS)
Selain itu juga dapat dilihat bahwa IM-Ekspor kondisinya ‘lebih dinamis’ untuk naik status daripada IM-Domestik. IM-Ekspor yang naik status rata-rata sebanyak 16.2 persen, sedangkan yang turun status rata-rata sebanyak 13.0 persen.
Sementara itu untuk IM-Domestik yang naik status rata-rata
hanya sebanyak 8.0 persen, sedangkan yang turun status rata-rata bahkan lebih tinggi yakni sebanyak 16.4 persen.
Kondisi ini juga menunjukkan bahwa
peluang untuk naik status dari IM ke IB labih banyak dialami oleh IM yang
127
pasarnya berorientasi ekspor (IM-Ekspor) daripada IM yang hanya berorientasi pada pasar domestik (IM-Domestik). Tetapi jika dilihat dari kondisi sebelum dan sesudah krisis, dinamika yang
terlihat
justeru
sebaliknya.
Keberadaan
krisis
lebih
banyak
menguntungkan IM-Domestik, sehingga jumlah IM-Domestik sesudah krisis yang mengalami kenaikkan status lebih banyak dibanding dengan sebelum krisis, serta jumlah IM-Domestik yang mengalami penurunan status sesudah krisis lebih sedikit dibanding dengan sebelum krisis.
5.4.4. Dinamika Industri Di Jawa dan Luar Jawa Telaah terhadap dinamika industri dengan membedakan atas wilayah Jawa (dan Bali) dengan Luar Jawa dapat dilihat pada Tabel 29.
Secara
keseluruhan, dapat dilihat bahwa kondisi dinamika di Luar Jawa (LJW) sedikit lebih dinamis daripada di Jawa (JW). Di Jawa rata-rata terdapat IM yang naik sebanyak 8.6 persen dan yang turun sebanyak 16.1 persen, sementara di Luar Jawa rata-rata terdapat IM yang naik sebanyak 10.3 persen dan yang turun sebanyak 15.8 persen. Berarti peluang IM di Luar Jawa (IM-LJW) untuk naik status adalah relatif lebih besar daripada IM di Jawa (IM-JW). Sementara itu jika diperhatikan kondisi sebelum krisis dan sesudah krisis, dapat dilihat bahwa pada periode sesudah krisis (1998-2000) kondisinya relatif ’lebih baik’ daripada kondisi sebelum krisis (1996-1998). Kondisi yang relatif lebih baik ini dapat dilihat dari lebih banyaknya jumlah IM yang naik status pada waktu sesudah krisis daripada waktu sebelum krisis, serta lebih sedikitnya IM yang turun status pada waktu sesudah krisis daripada waktu
128
sebelum krisis. Kondisi tersebut sama-sama terjadi baik untuk IM yang ada di Jawa maupun IM yang ada di Luar Jawa. Tabel 29. Dinamika Industri Menengah Berdasarkan Wilayah Tahun 1996-2000 Wilayah
DIN
JW
LJW
1996-97
1997-98
NK TR TT Sub-Total NK TR TT Sub-Total
217 510 2 188 2 915 59 89 447 595 3 510
242 639 1 930 2 811 56 137 409 602 3 413
NK TR TT Sub-Total NK TR TT Sub-Total
7.4 17.5 75.1 100.0 9.9 15.0 75.1 100.0
8.6 22.7 68.7 100.0 9.3 22.8 67.9 100.0
TOTAL JW
LJW
1998-99 1999-00 Rata-rata Jumlah (unit) 288 251 250 372 336 464 2 217 2 367 2 176 2 877 2 954 2 889 64 61 60 77 65 92 430 432 430 571 558 582 3 448 3 512 3 471 Jumlah (%) 10.0 8.5 8.6 12.9 11.4 16.1 77.1 80.1 75.3 100.0 100.0 100.0 11.2 10.9 10.3 13.5 11.6 15.8 75.3 77.4 73.9 100.0 100.0 100.0
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS) Ket.: JW = Jawa dan Bali, LJW = Luar Jawa
5.5. Hasil Pengamatan Empiris Terhadap Dinamika Industri Menengah Dari berbagai paparan kondisi dinamika IM tersebut, dapatlah secara umum disimpulkan bahwa kondisi IM adalah cukup dinamis. IM memiliki peluang untuk meningkatkan statusnya menjadi IB, dan sebaliknya juga memiliki peluang untuk turun statusnya menjadi IK. Hasil pengamatan empiris di lima propinsi menunjukkan beberapa karakteristik IM yang khusus. 1. Aspek Manajemen dan Kinerja Manajemen IM pada umumnya masih bersifat tradisional, seperti juga dengan manajemen IK, dengan ciri-ciri antara lain: (1) pengelolaan masih
129
dilakukan oleh pemilik dan/atau keluarga pemilik, (2) belum melakukan manajemen dalam hal perencanaan, pengawasan dan keuangan yang lebih profesional, (3) orientasi usaha masih terbatas pada ‘asal dapat berjalan’ dan ‘menghidupi diri sendiri dan karyawan’. Selain itu dari sisi tenaga kerja, produktivitas tenaga kerjanya bahkan masih lebih rendah dari IK. Rendahnya produktivitas TK tersebut antara lain disebabkan karena dalam produksinya masih belum memanfaatkan akses teknologi yang ada secara maksimal, baik dalam hal informasi dan perkembangan teknologi dan inovasi. Sebagaimana ditemukan oleh Isaksson (2002), banyak negara yang gagal melakukan transformasi teknologi, sebagai salah satu keuntungan dari terjadinya perdagangan, karena masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Meskipun demikian, kareakteristik ini kembali menegaskan bahwa karakteristik IM masih hampir sama dengan karakteristik IK. 2. Aspek Finansial Di sisi finansial, ternyata sebagian besar IM masih lebih banyak mengandalkan modal sendiri yang relatif sangat kecil (modal awal sekitar 140 juta sampai sekitar 350 juta). Sedangkan untuk akses ke perbankan, kurang dari 60 persen IM yang pernah mengajukan kredit ke Bank.
Rendahnya
pengajuan kredit ini diperkirakan karena: (1) tidak ada (tidak tahu) tentang informasi perkreditan, (2) tidak dapat memenuhi persyaratan untuk mengajukan kredit karena tidak dapat membuat proposal kredit secara ‘benar’ dan tidak memiliki agunan yang cukup, serta (3) adanya berbagai persyaratan lain yang dianggap memberatkan sementara plafon kredit dari bank dianggap
130
terlalu rendah. 3. Aspek Akses Pasar dan Input Sebagian besar IM sebenarnya memiliki kemampuan untuk akses ke pasar ekspor tinggi (baik dari segi jumlah maupun kualitas produk) tetapi pada kenyataannya masih sedikit yang melakukan ekspor. Sementara dari sisi input, kandungan lokal (local content) produk IM sangat tinggi, yakni sekitar 90 persen, dan ini berarti IM sangat positif dan potensial untuk mendorong perekonomian nasional. 4. Aspek Lingkungan Bisnis Untuk aspek lingkungan bisnis ditemukan bahwa sebagian besar IM masih merasakan bahwa pelayanan perijinan masih memberatkan, dalam arti terlalu banyak perijinan yang harus dipenuhi dan manfaatnya belum dapat dirasakan secara langsung. Sebagaimana juga ditemukan oleh Tewari dan Goebel (2002) di Tamil Nadu dan Hansen, et.al. (2003) di Vietnam, perbaikan lingkungan bisnis yang dilakukan oleh pemerintah sangat berperan dalam mendukung perkembangan IKM. Sementara itu, pelayanan perpajakan masih dianggap tidak jelas dan mahal sehingga IM pada umumnya lebih suka membayar ke oknum tertentu agar masalah perpajakannya dapat diperlancar. Dari segi lingkungan bisnis, IM mengemukakan bahwa pengaruh premanisme dan pungutan tidak resmi lainnya masih tinggi. Oleh karena itu IM mengharapkan adanya pembenahan infrastruktur, khusnya perpajakan dan perijinan, agar IM tidak lagi mendapat perlakukan premanisma baik yang bersifat legal maupun yang ilegal.
Harapan ini dimunculkan karena pada
dasarnya banyak pemilik dan/atau pengelola IM yang sadar untuk lebih
131
mematuhi peraturan. 5. Aspek Kemitraan dan Asosiasi Program kemitraan diharapkan dapat menjadi sarana pembinaan IM karena IM diletakkan di bawah IB yang menjadi mitranya.
Berry, et.al.
(2001b) bahkan menegaskan bahwa keberadaan kemitraan dalam bentuk klaster industri dan kegiatan sub-kontrak (sub-contructing) sangat penting bagi kondisi dinamika IKM. Sayangnya temuan di lapangan menunjukkan bahwa kemitraan dengan IB masih sangat rendah, yakni hanya sekitar 35 persen dari IM yang disurvei memiliki program kemitraan, kecuali di Bali yang sudah mencapai 65 persen. Program kemitraan ini kurang berhasil karena hanya untuk bergabung dengan Asosiasi yang adapun sebagian besar IM (90 persen) masih menganggap tidak ada manfaatnya sama sekali. 5.6. Analisis Empiris: Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal pada Dinamika Industri Menengah Analisis empiris terhadap dinamika IM tersebut dilakukan dengan menggunakan alat analisis dan model Multinomial Logistic Regression (MLR) terhadap faktor-faktor internal dan eksternal yang diduga berpengaruh pada dinamika industri menengah. Sesuai dengan hasil studi pustaka yang telah dilaksanakan pada bab sebelumnya, faktor internal yang diduga memiliki pengaruh terhadap dinamika IM, untuk naik status ke IB, adalah umur usaha, total pendapatan, output, dan produktivitas tenaga kerja.
Aw (2001)
menegaskan bahwa bukan ukuran usaha yang mempengaruhi satu unit industri untuk tumbuh tetapi produktivitasnya. Sementara faktor eksternal yang diduga memiliki pengaruh terhadap
132
dinamika IM, untuk naik status ke IB, adalah beban pajak dan tingkat suku bunga.
Untuk mengurangi dan/atau menghilangkan pengaruh dari inflasi,
maka data yang digunakan adalah nilai konstan dengan tahun dasar 1996. Kemudian untuk melacak pengaruh kondisi krisis ekonomi, klasifikasi industri, orientasi pasar dan lokasi industri, maka digunakan beberapa dummy variables. Untuk menguji signifikansi penggunaan model, dapat digunakan rule of thumb batasan Chi-sqare lebih besar atau sama dengan 4 dan nilai signifikansi lebih kecil dari 5 persen (Gujarati, 1998). Tabel 30. Hasil Pengujian Kesesuaian Model Model
-2 Log Likelihood
Intercept Only
Chi-Square
Sig.
18479,15
Final
17378,581
Pseudo R-Square:
df
Cox and Snell Nagelkerke McFadden
1,10E+03
22
0,000
.082 .108 .060
Sumber: Hasil analisis data dengan metode MLR.
Dari hasil pengujian pada Tabel 30 dapat diketahui bahwa dari nilai Chi-square yang besar (lebih dari 4) dan nilai signifikansi yang lebih kecil dari 5 persen.
Ini berarti model dapat digunakan untuk menguji signifikansi
pengaruh masing-masing peubah bebas. Dari hasil ini juga dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan faktor-faktor internal dan eksternal tersebut secara signifikan dapat digunakan untuk menjelaskan dinamika yang terjadi pada industri menengah (IM). Meskipun dari nilai Chi-square dan tingkat signifikansi sudah dapat disimpulkan bahwa secara bersama peubah-peubah bebas yang digunakan dapat menjelaskan kondisi dinamika yang terjadi, tetapi nilai keeratan antara
133
peubah bebas dan peubah tak bebas, seperti yang ditunjukkan pada nilai Pseudo R-Square, cukup rendah. Masing-masing metode penghitungan hanya menghasilkan nilai yang kurang dari 20 persen. Meskipun untuk model MLR, perolehan nilai koefisien regresi (yang didekati dengan nilai Pseudo R-Square) pada umumnya memang kurang dari 30 persen, nilai perolehan dari model yang diuji memang cukup rendah. Kondisi ini meyiratkan adanya sebagian peubah yang digunakan pengaruhnya kurang atau bahkan tidak signifikan terhadap kondisi dinamika IM yang ada (Tabel 31). Tabel 31. Hasil Estimasi Parameter Empiris Terhadap Dinamika Industri Menengah ke Industri Besar Variabel UMUR TPEND OUTPUT PRODTK CTAX CRENT KRISIS=PASCA JW_LJW=JW PERT=TDK EKSPOR=TDK MDL_ASNG=TDK KLSIND=H
B 1.87E-03 3.44E-08 4.71E-06 -2.97E-04 2.76E-06 8.06E-07 7.28E-01 6.81E-02 -3.06E-01 -7.03E-01 -9.39E-01 0.206
Nilai Sig. 0.663 0.507 0.813 0 0 0.005 0.153 0 0.587 0.031 0 0.001
Exp(B)
B
1.002 1 1 1 1 1 2.071 1.07 0.736 0.495 0.391 1.228
+ + + + + + + +
Tanda Sig. a a a a a a a
Exp(B) >1 1 1 1 1 1 >1 >1 <1 <1 <1 >1
Ket.: a = taraf nyata 5%.
Tabel 31 menunjukkan ringkasan hasil estimasi parameter empiris, yang meliputi tanda koefisien (sign atau arah), nilai signifikansi dan Exp(B) (menunjukkan ln-B atau odds) dari masing-masing parameter empiris atau peubah-peubah (termasuk peubah dummy) yang digunakan, terhadap dinamika IM. Dari hasil analisis tersebut dapat dilihat bahwa diantara peubah-peubah internal yang diteliti, hanya peubah produktivitas tenaga kerja (PRODTK) yang terbukti memiliki pengaruh negatif terhadap dinamika industri menengah untuk
134
naik status menjadi IB. Artinya peningkatan produktivitas tenaga kerja justeru mengurangi peluang dari IM untuk meningkatkan statusnya menjadi IB. Sementara itu, semua peubah lainnya memiliki pengaruh yang positif, artinya peningkatan nilai peubah-peubah tersebut juga meningkatkan peluang IM untuk meningkatkan statusnya menjadi IB. Sementara itu, untuk peubah-peubah eksternal dapat dilihat bahwa kedua peubah yang diteliti, yakni pengeluaran atas pajak tidak langsung (CTAX) dan pembayaran atas bunga pinjaman (CRENT), sama-sama memiliki pengaruh yang positif terhadap dinamika IM untuk naik menjadi IB. Kondisi ini cukup menarik karena faktor-faktor eksternal tersebut semula diduga memiliki pengaruh yang negatif terhadap dinamika IM, artinya semakin tinggi tingkat pajak dan suku bunga maka peluang IM untuk naik status ke IB menjadi semakin kecil. Kondisi ini diduga karena besaran nilai pajak (resmi) relatif tidak atau belum mengganggu IM untuk semakin berkembang menjadi IB. Sementara itu tingkat suku bunga juga relatif tidak atau belum membebani IM, karena berdasarkan pengamatan empiris ditemukan bahwa banyak IM yang masih mengandalkan modal sendiri atau modal keluarga dalam usahanya. Unit industri yang dinamis adalah unit industri yang mampu merubah skala usahanya, baik meningkat ataupun menurun, sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi. Tetapi di sisi lain, kemampuan untuk melakukan penyesuaian secara dinamis juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan pengalaman unit industri tersebut untuk melihat peluang yang ada.
Kemampuan dan
pengalaman ini akan semakin terasah pada unit industri yang memiliki usia usaha semakin lama. Dengan demikian faktor usia usaha diharapkan akan
135
menjadi faktor yang signifikan dalam mempengaruhi kondisi dinamika suatu unit industri. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa faktor usia usaha (UMUR) ternyata tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada dinamika industri menengah yang diteliti. Artinya bukan unit usaha IM yang ’semakin berumur’ yang memiliki peluang semakin besar untuk meningkatkan statusnya menjadi IB, atau dengan kata lain peluang IM untuk meningkat menjadi IB sama-sama dimiliki baik oleh IM yang ’muda’ maupun IM yang sudah ’tua’. Selain umur usaha, peubah lain yang juga tidak signifikan pengaruhnya pada dinamika IM adalah peubah total pendapatan (TPEND) dan tingkat bunga (CRENT). pembayaran
Artinya tinggi rendahnya tingkat pendapatan, dan juga beban bunga,
tidak
memiliki
pengaruh
yang
nyata
terhadap
meningkatnya peluang IM berubah menjadi IB. Sementara itu peubah internal yang signifikan terhadap peluang IM berubah menjadi IB adalah output (OUTPUT) dan produktivitas tenaga kerja (PRODTK).
Dapat dipahami bahwa output akan berpengaruh terhadap
dinamika IM, karena dengan perolehan output yang semakin besar maka akan semakin besar pula peluang IM untuk meningkatkan laba dan modal usahanya. Peningkatan laba dan modal usaha ini akan membuat IM semakin mampu untuk secara dinamis meningkatkan skala usahanya ke IB. Demikian pula sebaliknya, jika perolehan output sangat rendah maka peluang IM untuk menderita kerugian juga akan semakin besar. Kondisi ini akan memaksa IM untuk menurunkan skala usahanya menjadi IK. Jadi terbukti bahwa output secara signifikan berpengaruh terhadap dinamika IM. Produktivitas tenaga kerja menggambarkan kemampuan setiap pekerja
136
untuk menghasilkan output dalam satu periode tertentu. Semakin produktif seorang tenaga kerja maka semakin banyak output yang dihasilkannya dalam satu satuan waktu tertentu. Tingginya tingkat produktivitas tenaga kerja yang dimiliki oleh satu unit IM akan mempengaruhi peluang IM tersebut untuk menghasilkan output yang semakin tinggi, memperoleh laba semakin besar dan meningkatkan skala usahanya menjadi IB.
Sebaliknya jika tingkat
produktifitas tenaga kerjanya rendah, maka peluang untuk meningkatkan output juga akan semakin rendah dehingga peluang untuk turun skala menjadi IM juga semakin besar.
Pengujian signifikansi yang dilakukan dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat produktivitas tenaga kerja secara signifikan berpengaruh kepada dinamika IM. Hasil pengujian terhadap peubah eksternal pengeluaran pajak tak langsung (CTAX) dan beban bunga (CRENT) menunjukkan pengeluaran pajak tak langsung (CTAX) signifikan dalam mempengaruhi dinamika IM, sementara beban bunga (CRENT) tidak signifikan dalam mempengaruhi dinamika IM.
Ada dua kemungkinan yang dapat diperkirakan sehingga
kondisi eksternal beban bunga (CRENT) yang dihadapi IM tersebut tidak mempengaruhi dinamikanya. Pertama, hanya dua peubah eksternal yang diteliti dan kedua peubah itu prosentase nilainya relatif sangat kecil jika dibandingkan dengan nilai total pengeluaran IM, sehingga pengaruhnya dapat diabaikan. Kedua, jika dibandingkan dengan industri kecil (IK) dan industri besar (IB), keberadaan IM selama ini memang agak ”diabaikan” (left behind), sehingga IM justeru lebih mudah untuk menghindari munculnya beban-beban pengeluaran tidak resmi,
137
yang dalam model yang digunakan dalam penelitian ini coba ditangkap dari peubah pajak tidak langsung dan beban bunga, jika dibandingkan dengan IK dan IB. Kondisi ini sejalan dengan temuan Beck et.al. (2002) bahwa IK dan IB mengalami tekanan dan hambatan (obstacles) dari faktor eksternal yang lebih besar daripada IM.
5.6.1. Pengaruh Krisis Ekonomi Terhadap Dinamika Industri Menengah Hal menarik lainnya adalah bahwa kondisi dinamika IM sebelum krisis (1996-1998) dan sesudah krisis (1998-2000) tersebut memang secara signifikan berpengaruh positif terhadap dinamika IM. Hal ini dapat ditunjukkan dari nilai koefisien peubah dummy perbedaan waktu sebelum dan sesudah krisis (KRS) yang secara signifikan berpengaruh pada dinamika IM. Dari paparan data dinamika IM sebelumnya (Tabel 31), memang terlihat bahwa dinamika IM sebelum dan sesudah krisis sungguh berbeda. Sebelum krisis terdapat 11,0 persen IM yang mengalami penurunan skala usaha, sementara yang mengalami kenaikkan skala usaha hanya hanya mencapai 5,7 persen. Sementara itu ketika perekonomian telah mulai melakukan recovery akibat krisis, jumlah IM yang mengalami kenaikkan dan penurunan skala usaha relatif sama (6 persen). Karena peubah dummy dari penelitian ini menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap dinamika IM hasil ini dapatlah disimpulkan bahwa upaya mempelajari dinamika IM haruslah memperhatikan kondisi waktunya, sebelum krisis atau sesudah krisis. 5.6.2. Pengaruh Basis Industri Terhadap Dinamika Industri Menengah Untuk kelompok industri yang berbasis pertanian dan non-pertanian, variabel dummy PERT (PERT=TDK) menunjukkan pengaruh yang negatif dan
138
signifikan.
Artinya keberadaan industri berbasis pertanian menunjukkan
kondisi yang relatif lebih baik daripada industri yang berbasis non-pertanian, dengan pengaruh terhadap dinamika yang nyata.
Dengan perkataan lain,
keberadaan IM yang berbasis pertanian akan meningkatkan peluang IM untuk meningkat menjadi IB. Telaah lebih lanjut terhadap faktor internal dan eksternal yang diduga mempengaruhi
dinamika
IM
berbasis
menunjukkan keadaan yang menarik.
pertanian
dan
non-pertanian
Faktor output (OUTPUT) dan
produktivitas tenaga kerja (PRODTK) sama-sama berpengaruh nyata (signifikan) terhadap dinamika IM, tetapi pengaruhnya berbeda.
Output
pengaruhnya positif, artinya semakin tinggi output maka semakin tinggi pula peluang IM yang berbasis pertanian maupun non-pertanian untuk meningkat menjadi IB. Sementara faktor produktivitas tenaga kerja justeru berpengaruh sebaliknya, yakni semakin tinggi produktivitas tenaga kerja maka semakin kecil peluang IM untuk meningkat menjadi IB. Tabel 32. Hasil Estimasi Parameter Empiris Terhadap Dinamika Industri Menengah Berbasis Pertanian dan Non-Pertanian Variabel UMUR_USH TPEND OUTPUT PRODTK CTAX CRENT KRISIS=PASCA JW_LJW=JW
Pertanian Nilai Tanda -2.02E-03 1.78E-07 + 5.12E-06 + -3.35E-04 4.56E-06 + 1.54E-06 + 5.93E-01 + -6.68E-02 -
B Non-Pertanian Nilai Tanda 5.47E-03 + -2.59E-07 4.41E-06 + -2.48E-04 1.80E-06 + 5.58E-07 + 0.994 + 0.219 +
Pert. a a a a -
Sig. Non-Pert. a a a -
Sumber: Hasil analisis data dengan metode MLR (diolah).
Bagi IM pertanian dan non-pertanian, faktor eksternal beban pajak dan bunga pinjaman, ternyata juga sama-sama berpengaruh positif dan signifikan
139
terhadap peluang IM meningkat menjadi IB. Hal ini sejalan dengan analisis sebelumnya, yang memperkirakan bahwa baik besaran atau jumlah beban pajak maupun beban bunga yang harus ditanggung oleh IM masih relatif kecil, sehingga keberadaannya tidak menjadi penghambat IM untuk meningkat menjadi IB. Justeru peningkatan beban pajak dan beban bunga dapat menjadi indikator peningkatan pendapatan dan kapitalisasi IM, sehingga meningkatkan peluang IM untuk meningkat menjadi IB. 5.6.3. Pengaruh Orientasi Pasar Terhadap Dinamika Industri Menengah Orientasi pasar satu unit usaha dapat digunakan sebagai indikator dari kinerja unit usaha tersebut.
Semakin luas jangkauan pemasaran satu unit
usaha, bahkan jika sudah menjangkau pasar ekspor, akan semakin memberi peluang bagi unit usaha tersebut untuk berkembang dengan cepat. Pandangan inilah yang dipergunakan sebagai dasar analisis perbandingan dinamika IM yang pasarnya berorientasi ekspor, baik untuk seluruh produknya maupun hanya sebagian saja, dengan IM yang pasarnya hanya berorientasi pada pasar Domestik. Tabel 33 berikut memaparkan hasil uji empiris terhadap IM yang berorientasi pada pasar ekspor dengan IM yang hanya berorientasi domestik. Tabel 33. Hasil Estimasi Parameter Empiris Terhadap Dinamika Industri Menengah yang Berorientasi Pasar Ekspor dan Domestik Variabel UMUR_USH TPEND OUTPUT PRODTK CTAX CRENT KRISIS=PASCA JW_LJW=JW
Ekspor Nilai Tanda -1.14E-02 1.26E-07 + 5.15E-06 + -3.50E-04 1.83E-05 + 6.24E-07 + 0.421 + 0.284 +
B Sig. Domestik Nilai Tanda Ekspor Domestik 2.34E-03 + -9.83E-08 a a 4.77E-06 + a a -2.87E-04 a 2.50E-06 + 8.49E-07 + a 7.84E-01 + -2.79E-02 -
Sumber: Hasil analisis data dengan metode MLR (diolah).
140
Dari Tabel 33 tersebut dapat dilihat bahwa peluang IM yang berorientasi pada pasar ekspor untuk meningkat menjadi IB akan semakin besar seiring dengan meningkatnya faktor internal pendapatan (TPEND), dan output (OUTPUT), serta faktor eksternal beban pajak (CTAX) dan beban bunga (CRENT). Sementara peluang IM untuk meningkat menjadi IB akan semakin kecil sejalan dengan peningkatan usia usaha (UMUR) dan produktivitas tenaga kerja (PRODTK). Berbeda dengan IM yang berorientasi ekspor, untuk IM yang berorientasi pada pasar domestik usia usaha (UMUR) justeru berpengaruh positif terhadap peluang IM menjadi IB dan sebaliknya total pendapatan (TPEND) berpengaruh negatif terhadap peluang IM menjadi IB. Tetapi sejalan dengan IM yang berorientasi ekspor, faktor-faktor eksternal beban pajak (CTAX) dan bunga (CRENT) juga sama-sama berpengaruh positif dan signifikan terhadap peluang IM menjadi IB.
5.7. Gejala Missing of the Middle 5.7.1. Keberadaan Gejala Missing of the Middle Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya umlah industri menunjukkan jumlah yang sangat timpang antara industri kecil, dengan jumlah sekitar 16 juta unit pada tahun 1996 dan 14 juta unit pada tahun 2000, dengan industri menengah dan besar, yang berjumlah sekitar 23 ribu unit pada tahun 1996 (kurang dari 1 persen). Dari data tersebut dapatlah disimpulkan bahwa struktur piramida industri Indonesia masih sangat lebar di bawah, artinya jumlah IMB masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah IKRT, meskipun dalam penguasaan asetnya diperkirakan menguasai lebih dari 70
141
persen aset industri. Gejala MOM lebih sering dipahami sebagai tertinggalnya IM jika dinbandingkan dengan IK dan IB, khususnya dalam aspek produktifitas dan nilai tambahnya. Tetapi kondisi MOM juga dapat diartikan dari aspek jumlah, yakni sebagai relatif sedikitnya jumlah IM jika dibandingkan dengan jumlah IK. Seperti halnya pada tahun 1996 hanya terdapat 16 ribu IM dibanding dengan 16 juta IK, atau berarti jumlah IM hanya satu per mil saja dari jumlah IK. Dari data jumlah industri yang direklasifikasi dengan cara Tambunan (2003) menunjukkan jumlah IM memang lebih sedikit dibanding IK dan IB. Kondisi missing of the middle pada dasarnya dapat terjadi karena beberapa kemungkinan.
Pertama, karena adanya sebagian dari industri
menengah yang telah mampu meningkatkan skala usahanya sehingga menjadi industri besar. Kedua, di sisi lain penambahan jumlah industri menengah dari industri kecil, yang mampu meningkatkan skala usahanya, relatif sangat sedikit, karena adanya immobility dari industri kecil menjadi industri menengah. Ketiga, karena adanya IM yang turun skala usahanya menjadi IK. Gambar 19 menunjukkan terjadinya kondisi missing of the middle dari jumlah unit usaha yang ada. Dari Gambar 19 dapat dilihat bahwa dari hasil reklasifikasi dengan batasan Tambunan (2003) memperlihatkan jumlah unit industri IM adalah yang paling sedikit, bahkan jika dibandingkan dengan jumlah harapan seperti digambarkan oleh bentuk trendline yang berbentuk U-shape.
Dengan
reklasifikasi lainpun, misalnya dengan batasan tenaga kerja IM antara 50 sampai 149 orang, bentuk trendline juga masih berbentuk U-shape.
142 14.000,0 12.000,0
1996
10.000,0
1997
8.000,0
1998
6.000,0
1999
4.000,0
2000
2.000,0
Trendline
IB
IM
IK
Jumlah (unit)
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS)
Gambar 19. Kondisi Missing of the Middle Pada Jumlah Industri (unit) Kondisi MOM ini lebih diperparah dengan adanya kenyataan bahwa produktifitas IM relatif lebih tinggi daripada IK dan IB. Gambar 20 dan 21 berikut menunjukkan kondisi tersebut. Dari gambar-gambar tersebut dapat dilihat bahwa kondisi MOM memang terjadi pada struktur industri di Indonesia.
Kondisi tersebut akan ’lebih parah’ jika industri kecil yang
sebenarnya (yakni yang memiliki tenaga kerja antara 5 sampai 20 orang) yang berjumlah sekitar 2,5 juta unit usaha tersebut ikut diperhitungkan. 2.500,0 1996
2.000,0
1997
1.500,0
1998
1.000,0
1999 2000
500,0
Trendline
IB
IM
IK
Nil.Tmb/TK
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS)
Gambar 20. Kondisi Missing of the Middle Pada Produktivitas Kapital (Nilai Tambah/Tenaga Kerja)
143 25.000,0 1996
20.000,0
1997
15.000,0
1998
10.000,0
1999 C
5.000,0
2000 Trendline
IB
IM
IK
Output/TK
Gambar 21. Kondisi Missing of the Middle Pada Produktivitas Tenaga Kerja (Output/ Tenaga Kerja) Benar-benar ironis bahwa IM yang memiliki kinerja produktivitas lebih tinggi jika dibandingkan dengan IK dan IB justeru memiliki jumlah yang relatif paling sedikit. Oleh karena itu upaya untuk memperkuat sistem perekonomian, melalui perkuatan struktur industri yang sehat, harus dimulai dari penguatan industri menengah. Kondisi MOM, dari segi jumlah industri tersebut, juga terlihat sangat jelas pada industri yang berbasis pertanian (Gambar 22) 10.000 9.000 8.000 7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 -
1996 1997 1998 1999 2000 Trendline IB
IM
IK
Jumlah (unit)
Gambar 22. Kondisi Missing of the Middle Pada Industri Berbasis Pertanian
144
5.7.2. Pengaruh Faktor Kendala Internal dan Eksternal Analisis lainnya yang dapat dilakukan untuk menguji keterkaitan antara kinerja yang dicapai dengan hambatan yang dihadapi adalah dengan melakukan cross tabulations (crosstab) antara faktor kinerja dengan faktor hambatan. Dari hasil analisis akan dapat diuji apakah hambatan yang ada, baik secara internal maupun eksternal, memang akan mempengaruhi, dalam arti menghambat atau mendukung, kinerja yang akan dicapai. Analisis crosstabs yang dilakukan adalah terhadap pengeluaran pajak dan lainnya, sebagai faktor penghambat atau pendukung, dengan laba sebagai faktor kinerja. Diduga bahwa ada hubungan yang negatif, berarti berlawanan arah, antara jumlah pengeluaran pajak dan lainnya yang harus dikeluarkan dengan laba yang dicapai. Hasil analisis crosstabs dapat dipelajari pada Tabel 34. Crosstabulation Tabel 34. AnalisisKIT1VCU Crosstabs* KLABA Investasi Kapital dengan Laba Tahun 2000 1 KIT1VCU 1 2 3 Total
Count % of Total Count % of Total Count % of Total Count % of Total
152 1.0% 2244 15.4% 2915 20.0% 5311 36.4%
KLABA 2 617 4.2% 3969 27.2% 1355 9.3% 5941 40.7%
3 1248 8.6% 1806 12.4% 281 1.9% 3335 22.9%
Total 2017 13.8% 8019 55.0% 4551 31.2% 14587 100.0%
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS)
Dari pengujian nilai Chi-Square dan Likelihood Ratio, keduanya juga sama-sama menunjukkan bahwa antara pengeluaran pajak dan lainnya (sebagai hambatan) dengan laba (sebagai kinerja) terbukti memiliki hubungan berlawanan arah yang signifikan.
Artinya semakin besar hambatan, atau
145
semakin besar jumlah pengeluaran pajak dan lainnya, maka capaian kinerjanya (yakni laba yang diperoleh) akan semakin rendah. Guna melihat perbedaan karakteristik antar wilayah penelitian (propinsi) yang berbeda-beda, maka faktor kinerja dan hambatan juga dapat dipetakan kondisinya. Satu contoh pemetaan yang dilakukan adalah antara pengeluaran pajak dan lainnya tahun 2000, sebagai hambatan, dengan pencapaian laba tahun 2000, sebagai kinerja, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 23. W
Sulsel
W
110.00
W
Jabar
Sumut
Laba (Rp. Jt)
100.00
90.00 W
Nasional
80.00
70.00 WW Bali Jatim 60.00
80.00
100.00
120.00
140.00
Pajak + Pengeluaran Lainnya (Rp. jt)
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS)
Gambar 23. Keterkaitan Antara Pengeluaran Pajak dan Lainnya dengan Hambatan Tahun 2000
Dari hasil pemetaan tersebut dapat dilihat bahwa secara nasional, berdasarkan rata-rata dari lima propinsi yang diamati yakni Sulsel, Jabar, Sumut, Jatim dan Bali, maka rata-rata pengeluaran untuk pajak dan lainnya dari masing-masing industri menengah adalah sekitar Rp 90 juta per tahun, sementara itu rata-rata perolehan laba bersih hanya Rp 70 juta.
146
Jika pengeluaran pajak dan lainnya tersebut digunakan sebagai proxy terhadap hambatan, maka urutan besarnya hambatan adalah Jabar, Sumut, Sulsel, Jatim dan Bali. Sementara itu dari urutan besaran perolehan labanya adalah Sulsel, Jabar, Sumut, Jatim dan Bali. Dari pengamatan terhadap hasil pemetaan tersebut dapat dilihat bahwa hasil yang berlawanan dengan crosstabs, yakni adanya hubungan yang positif antara besarnya hambatan dengan capaian kinerja. Hasil ini dimungkinkan terjadi karena untuk analisa crosstabs dilakukan secara menyeluruh, sehingga kondisi anomali ekstrim seperti di Jatim dan Bali (kinerja rendah tetapi laba juga rendah) serta Jabar (sebaliknya hambatan tinggi tetapi kinerja juga tinggi) mempengaruhi gambaran data secara menyeluruh.
VI. SKALA USAHA DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN INDUSTRI MENENGAH
6.1. Skala Usaha Sebagai bagian dari struktur industri yang lengkap, industri menengah (IM) selama ini benar-benar telah menjadi anak tiri kebijakan pengembangan industri. Di satu sisi, IM dianggap sudah cukup besar untuk mendapat binaan, tetapi di sisi lain masih terlalu kecil untuk diperlakukan seperti industri besar. Salah satu bukti dari kurangnya perhatian tersebut adalah tidak ada data-data tentang IM yang dipublikasikan secara khusus oleh BPS. Semua data dan publikasi yang berkaitan dengan IM senantiasa disebut dan digabungkan dengan IB menjadi industri menengah dan besar (IMB).
Akibatnya
pemahaman terhadap IM menjadi overestimated sementara pada saat yang bersamaan pemahaman terhadap IB menjadi underestimated. Selama ini Indonesia menggunakan sistem pengelompokkan industri yang cukup rinci.
Pengelompokkan tersebut dimulai dari industri
tangga, kecil, menengah dan besar.
rumah
Sesuai dengan pengelompokkannya,
definisi yang lebih banyak digunakan adalah berdasarkan jumlah tenaga kerja dan asset atau omset usaha.
Dengan batasan tenaga kerja, maka yang
dimaksud dengan industri menengah adalah usaha yang memiliki tenaga kerja 20 sampai 99 orang. Sementara itu dengan batasan asset usaha maka yang dimaksud dengan industri menengah tersebut adalah unit usaha yang memiliki asset atau omset usaha 1 sampai 5 milyar rupiah. Sayangnya penggunaan definisi tersebut, atau mungkin juga karena adanya perasaan ego-sektoral yang begitu kuat, tidak pernah disatukaan ke
148 dalam satu definisi yang baku.
Definisi tersebut masih diterapkan secara
terpisah, bukan sebagai satu pilihan seperti misalnya tenaga kerja dan/atau jumlah omset. Akibatnya jika yang digunakan untuk membuat kriteria atas industri tertentu (misalnya industri X) adalah jumlah tenaga kerja maka industri X tersebut sudah bisa dikelompokkan ke dalam kelompok IM karena tenaga kerjanya telah mencapai 22 orang.
Tetapi jika kriteria keuangan yang
diterapkan, maka industri X tersebut sebenarnya masih berada pada kelompok IK, karena nilai asetnya kurang dari 1 milyar. Akibat dari penggunaan dua batasan yang terpisah tersebut maka keberadaan industri menengah menjadi agak terabaikan. Jika berbicara tentang aspek pembinaan, seringkali IM tersebut disatukan keberadaannya dengan IK menjadi IKM.
Terlebih dengan dikeluarkannya keputusan Presiden untuk
merestrukturisasi utang IKM, maka banyak IM yang beramai-ramai mengklaim dirinya sebagai bagian dari IK yang harus diselamatkan keberadaannya. Beberapa indikator tentang IM dapat dipelajari pada Tabel 35. Dari Tabel 35 dapat diketahui bahwa dari jumlah industri menengah secara signifikan berbeda jauh dengan jumlah industri besar. Jumlah industri menengah tahun 1996 sekitar 18 000 unit usaha, atau lebih dari 70 persen jumlah industri menengah dan besar (IMB), sementara jumlah industri besar hanya 5 050 unit usaha atau kurang dari 30 persen jumlah IMB. Kondisi ini jelas menunjukkan bahwa jika dilihat dari jumlah unit usahanya, jumlah industri menengah benar-benar berbeda nyata jika dibandingkan dengan jumlah IB. Oleh karena itu IM perlu mendapatkan perhatian tersendiri yang khusus tanpa digabung dengan industri besar. Penggabungan data IM dan IB akan
149 mengaburkan keadaan dan kondisi IM yang sebenarnya. Tabel 35. Potret Industri Menengah di Indonesia Tahun 1996-2000 Skala Industri
1996
%
Jumlah 1998
% 2000 % Jumlah (unit) Total 22 997 100.0 21 423 100.0 22 174 100.0 IB 5 050 22.0 4 861 22.7 5 124 23.1 IM 17 947 78.0 16 562 77.3 17 050 76.9 Jumlah TK (org) (%) (org) (%) (org) (%) Total 4 214 967 100.0 4 123 612 100.0 4 366 816 100.0 IB 3 393 910 80.5 3 357 824 81.4 3 571 423 81.8 (Rata-rata) (672) (691) (697) IM 821 057 19.5 765 788 18.6 795 393 18.2 (Rata-rata) (46) (46) (47) (%) (juta) (%) (juta) (%) (juta) Output (Rp) Total 129 568 416 155.8 74 951 964 174.1 68 139 964 177.1 IB 83 169 824 100.0 43 062 464 100.0 38 485 427 100.0 (Rata-rata) (16 469) (8 859) (7 511) IM 46 398 592 55.8 31 889 500 74.1 29 654 537 77.1 (Rata-rata) (2 585) (1 925) (1 739) Produktivitas TK (000rp/orang) (000rp/orang) (000rp/orang) Total 30 740 18 176 15 604 IB 24 506 12 825 10 776 IM 56 511 41 643 37 283 Kapasitas Produksi (%) (%) (%) Total 71.0 64.2 52.0 IB 73.0 65.0 49.0 IM 70.0 64.0 58.0 Ekspor (Rp) (juta) (%) (juta) (%) (juta) (%) Total 3 985 586 100.0 431 756 100.0 1 311 337 100.0 IB 2 663 336 66.8 202 934 47.0 626 731 47.8 (Rata-rata) (527.4) (41.8) (122.3) IM 1 322 249 33.2 228 822 53.0 684 606 52.2 (Rata-rata) (73.7) (13.8) (40.2) Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS)
Jika diklasifikasikan lebih lanjut16, diketahui bahwa lebih dari 75 persen IM yang ada masih dapat digolongkan sebagai industri kecil, yakni medium small (MS). Sementara yang dapat benar-benar dianggap sebagai “industri menengah”,
16
atau medium large (ML), hanya sekitar 25 persen.
Karena
Dalam penelitian ini akan digunakan klasifikasi Tambunan (2003) sebagai berikut: MS tenaga kerja 20-49 dan ML tenaga kerja 50-99. Dalam bahasan selanjutnya MS digunakan untuk “mewakili” industri kecil (IK) dan ML untuk “mewakili” industri menengah (IM).
150 sebagian besar IM masih dalam tahapan “industri menengah kecil”, maka upaya untuk memberi perhatian yang lebih khusus terhadap IM memang sangat diperlukan. Sangat riskan untuk senantiasa menyatukan data dan informasi tentang IM dengan IB. Hal ini akan semakin jelas jika dilihat dari beberapa indikator tentang IM. Salah satu peranan IM dalam perekonomian nasional adalah dalam hal serapan tenaga kerjanya. Dari Tabel 35 dapat dilihat bahwa IM menyerap tenaga kerja yang jauh lebih kecil (hanya sekitar 14 persen) jika dibandingkan dengan IB (yang menyerap sekitar 86 persen). Meskipun data sebelumnya menunjukkan bahwa jumlah unit usaha IM jauh lebih banyak daripada IB, tetapi data serapan tenaga kerja menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Keadaan ini akan lebih jelas jika dilihat dari rata-rata serapan tenaga kerja per unit industri. Rata-rata serapan tenaga kerja untuk IM adalah 38 orang per unit usaha, sementara untuk IB rata-rata serapan tenaga kerjanya adalah 550 orang per unit usaha. Adanya kesenjangan menyolok antara IM dan IB ini kembali menegaskan pernyataan bahwa IM harus mendapat perhatian yang khusus dan terpisah dari IB. Meskipun secara total jumlah tenaga kerja yang diserap oleh IM masih jauh di bawah jumlah tenaga kerja yang diserap oleh IB tetapi potensi IM untuk dikembangkan dan menjadi tulang punggung perekonomian tetaplah besar. Salah satu alasan bahwa IM masih memiliki potensi untuk dikembangkan adalah dari sisi output dan produktivitas tenaga kerjanya. Output17 IM yang dihasilkan pada tahun 1996 adalah sekitar Rp. 10.2 trilyun 17
Agar dapat diperbandingkan antar tahun yang diamati, nilai output adalah nilai yang sudah dideflasi pada harga konstan 1993.
151 rupiah. Seperti telah diduga sebelumnya jumlah ini menurun terus sampai senilai Rp. 6.6 trilyun rupiah pada tahun 2000. Penurunan output total ini juga mengakibatkan penurun rata-rata output per unit usaha dari sekitar Rp. 624 juta rupiah per unit usaha pada tahun 1996 menjadi sekitar Rp. 425 juta rupiah per unit usaha pada tahun 2000.
Penurunan output ini diperkirakan memang
disebabkan oleh menurunnya output riil serta pengaruh dari inflasi. Penurunan output riil yang terjadi antara lain dapat dilacak dari perubahan jumlah IM dan perubahan kapasitas produksi. Jika diperhatikan Tabel 35 tersebut terlihat bahwa produktivitas tenaga kerja IM lebih besar, sekitar 7 kali lipat, daripada IB.
Dari kondisi tersebut dapatlah dipahami
bahwa IM memiliki peranan yang penting dalam struktur industri Indonesia, sehingga keberadaannya harus dapat diidentifikasi dengan jelas dan pas. Industri menengah secara formal didefinisikan sebagai industri dengan jumlah tenaga kerja antara 20 sampai 49 orang, dan/atau memiliki total omset (output) antara 1 sampai 5 milyar rupiah.
Dengan definisi tersebut maka
terdapat sekitar 17-000 unit usaha yang dapat dikelompokkan sebagai IM. Jika dilakukan reklasifikasi dengan menggunakan batasan omset produksi yang sama dan tenaga kerja yang berbeda, yakni 20 sampai 49 orang IK, 50-99 orang IM dan 100 orang atau lebih IB, maka kondisi struktur industri menengah dan besar berubah seperti pada Tabel 36. Dengan batasan tersebut maka terlihat dari Tabel 36 bahwa dari 22.174 unit industri menengah dan besar tersebut, 61 persennya (atau 13.526 unit) sebenarnya masih masuk ke dalam kelompok IK, sementara jumlah kelompok IM yang ’sebenarnya’ dan IB masing-masing adalah 6.652 (30 persen) dan
152 1.996 (9 persen). Kondisi ini sangat mirip dengan upaya pengelompokkan oleh BPS yang menghasilkan 2 kelompok yakni IM dan IB dengan jumlah masingmasing sekitar 83 persen dan 17 persen. Tabel 36. Hasil Reklasifikasi Ulang Persentase Dari Total (22.174 unit)
Omset (Output) IK (<1m) IM (1-5m) IB (>5m)
Total
TenagaKerja
IK(<50org) IM (50-100org) IB(>100org)
51.4
12.0
1.2
64.6
7.7
9.0
2.1
18.8
1.8
9.0
5.8
16.6
Total
60.9
30.0
9.1
100.0
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS)
Karena hasil pengelompokkan berdasarkan omset menunjukkan bahwa sebagian besar IM dan besar (61 persen) sebenarnya masih masuk ke dalam kelompok IK (omsetnya masih di bawah 1 milyar), maka dicoba untuk mereklasifikasi dengan batasan tenaga kerja sebagai berikut: 1. Industri Kecil (IK)
: tenaga kerja (TK) < 50 orang
2. Industri Menengah (IM) : TK 50–99 orang 3. Industri Besar (IB)
: TK >= 100 orang
Batasan tenaga kerja (TK) yang digunakan untuk IK dan IM adalah 50 orang, karena dari uji statistik memang terbukti bahwa rataan industri menengah dengan TK di bawah 50 orang berbeda nyata dengan yang di atas 50 orang. Sementara untuk batasan antara IM dan IB digunakan TK 100 orang karena dari uji statistik memang terbukti bahwa rataan industri menengah dengan TK di atas 100 orang sudah tidak berbeda nyata. Hasil reklasifikasi ulang pada Tabel 36 menunjukkan bahwa 65 persen adalah IK, 19 persen IM dan 16 persen IB. Hasil ini kembali menegaskan perlunya perubahan dalam
153 definisi skala usaha yang ada. Dari hasil reklasifikasi tersebut terlihat bahwa lebih dari separo (51.4 persen) jumlah industri menengah dan besar yang ada sebenarnya masih dapat dikelompokkan sebagai industri kecil, baik sesuai omsetnya maupun TK-nya. Sementara itu jika diperhatikan omsetnya dan/atau tenaga kerjanya, maka jumlah industri menengah adalah 28.7 persen dan industri besar adalah 19.9 persen. Jadi sangat berbeda dengan hasil klasifikasi BPS yang menghasilkan 83 persen industri menengah dan 17 persen industri besar. Hasil temuan empiris atas data sekunder ini kembali menegaskan semakin pentingnya untuk dirumuskan kembali definisi yang tepat, sehingga dapat digunakan untuk memberikan gambaran dan arah pembinaan yang tepat pula.
Hasil studi empiris tersebut kembali menegaskan bahwa memang
diperlukan cara klasifikasi yang lebih baik, sehingga mampu menangkap gambaran jumlah dan keadaan industri menengah, dan juga industri kecil dan besar, secara lebih baik. Sesuai dengan Inpres Nomer 10 tahun 1999 tentang pemberdayaan usaha menengah, usaha menengah telah diyakini memiliki posisi dan peranan yang penting dan strategis untuk mewujudkan struktur dunia usaha nasional yang kokoh.
Untuk mewujudkan peranan tersebut, usaha menengah perlu
ditingkatkan jumlahnya dan diberdayakan menjadi usaha yang tangguh, mandiri dan unggul.
Upaya pemberdayaan tersebut menjadi tugas semua
menteri dan instansi dan lembaga terkait, para gubernur, walikota dan bupati di seluruh Indonesia. sebagai usaha yang:
Dalam Inpres tersebut usaha menengah didefinisikan
154 1. memiliki kekayaan bersih lebih besar dari 200 juta sampai 10 milyar rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan usaha, 2. dimiliki oleh warga negara Indonesia, 3. berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang suatu perusahaan besar, dan 4. berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum dan atau badan usaha hukum. Definisi usaha menengah yang digunakan dalam Inpres tersebut sepenuhnya
hanya
berdasarkan
pada
memperhitungkan jumlah tenaga kerjanya.
kekayaan
bersih
dan
tidak
Terlebih lagi tidak disebutkan
bahwa definisi tersebut berlaku untuk seluruh sektor ataukah hanya untuk sektor tertentu saja. Berdasarkan hasil analisis ANOVA dan telaah yang telah dilakukan, maka dapatlah diajukan kriteria definisi industri menengah sebagai berikut: Industri menengah adalah unit industri yang menggunakan tenaga kerja 50-149 orang dan/atau memiliki omset atau output (total sales/output) antara 1-10 milyar rupiah per tahun. Batas minimal tenaga kerja yang diajukan adalah 50 orang dan bukan 20 orang seperti definisi sebelumnya. Jumlah 50 orang ini diusulkan karena berdasarkan pengamatan empiris, karakteristik usaha dengan tenaga kerja di bawah 50 orang ternyata masih memiliki karakteristik usaha kecil, terutama dari segi manajemen bisnis dan profesionalisme manajernya.
Usaha yang
memiliki tenaga kerja di atas 50 orang pada umumnya sudah mulai dikelola secara profesional dan berbadan hukum. Sementara itu untuk batas atas yang diusulkan adalah 150 orang, karena berdasarkan uji beda rataan (ANOVA)
155 terhadap beberapa indikator utama menunjukkan bahwa perbedaan yang signifikan mulai terlihat pada kelompok tenaga kerja di bawah 150 dengan di atas 150 orang. Sedangkan untuk indikator keuangan, yang diusulkan untuk digunakan adalah total nilai penjualan (total sales). Indikator ini lebih jelas untuk menggambarkan besar-kecilnya aktivitas usaha jika dibandingkan dengan indikator keuangan lainnya. Misalnya jika aset yang digunakan, maka dapat terjadi bahwa suatu usaha memiliki aset yang besar jumlahnya tetapi sama sekali sedang tidak menjalankan operasi usahanya.
Sementara itu untuk
sektor-sektor tertentu dapat memungkinkan terjadi bahwa perolehan hasil operasi yang cukup besar hanya dengan total aset usaha yang relatif jauh lebih kecil. Sedangkan batasan 1 sampai 10 milyar, pada satu sisi dirasakan cukup longgar bagi usaha menengah. Sedangkan pada sisi yang lainnya juga sudah cukup untuk menggambarkan besarnya aktivitas ekonomi yang dijalankan. Sejalan dengan batasan yang diajukan terhadap usaha menengah tersebut, maka batasan yang dapat digunakan untuk skala usaha lainnya adalah seperti pada Tabel 37. Tabel 37. Definisi Baru Skala Usaha IB
Tenaga Kerja > =150
Total Sales (Rp) >10 milyar
Jumlah (%) 16
IM
50 – 149
1-10 milyar
19
IK/RT
5 – 49
200 rb – 1 milyar
IMIK
1 -4
< 200 ribu.
}
65
Sumber: Analisis ANOVA (lampiran)
Hasil temuan empiris atas data sekunder tersebut menegaskan semakin pentingnya untuk dirumuskan kembali definisi yang tepat, sehingga dapat
156 digunakan untuk memberikan gambaran dan arah pembinaan yang tepat pula. Temuan empiris atas data lapangan berikut juga kembali menegaskan adanya kebutuhan tersebut.
6.2. Sumber-sumber Pertumbuhan Industri Industri menengah (IM) memang memiliki posisi yang strategis dalam struktur industri dan perekonomian nasional. Keberadaannya sangat strategis untuk
menjadi
motor
penggerak
keberhasilan
industrialisasi,
karena
kemampuannya untuk menjadi ’jembatan’ (industrial ladder) dari IK ke IB. Oleh karena itu analisis terhadap sumber-sumber pertumbuhan industri menengah khususnya, dan skala industri lainnya, akan memberikan pemahaman yang lebih baik pada upaya peningkatan peran industri menengah. Mazumdar (1998) bahkan mengemukakan bahwa masih sedikit penelitian empiris yang mencoba mengaitkan hubungan antara skala usaha, terutama untuk IM, dengan sumber-sumber pertumbuhan. Data pada Tabel 37 menunjukkan posisi IM dalam struktur industri nasional, jika dibandingkan dengan IB, khususnya dalam hal jumlah unit industri, serapan tenaga kerja dan output yang dihasilkan. Data ditampilkan untuk tiga tahun, tahun 1996 sebagai gambaran kondisi sebelum krisis ekonomi, tahun 1998 sebagai gambaran saat krisis dan awal proses pemulihan dan tahun 2000 sebagai gambaran sesudah krisis. Dari data pada Tabel 37 tersebut dapatlah disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Secara keseluruhan jumlah IM adalah sekitar 77 persen dari jumlah IMB. Keberadaan IM yang besar persentasenya dari jumlah IMB menegaskan
157 perlunya pemisahan IM dalam kelompok tersendiri dari IMB. 2. Secara absolut jumlah IM menurun ketika krisis dan kembali meningkat sesudah krisis, tetapi dari segi prosentase jumlah penambahan IM sesudah krisis masih lebih rendah daripada IB. 3. Rata-rata serapan tenaga kerja IM adalah sekitar 46 orang, sementara IB 690 orang per unit usaha. Dengan demikian IB benar-benar menjadi kelompok industri yang ’besar’. Setelah data industri dirapikan dan diolah, maka nilai TFP kemudian dihitung. Hasil perhitungan TFP adalah seperti pada Tabel 38. Tabel 38. Sumber Pertumbuhan Sektor Industri (persen) 1996-1998
Source of Growth IK
IM
1998-2000 IB
IK
IM
IB
Output
0.1963 0.2270 0.1451 0.1170 0.1087
0.1209
Kapital
0.1356 0.1478 0.0921 0.0536 0.0380
0.0315
Labor
0.0521 0.0629 0.0509 0.0632 0.0659
0.0812
TFP
0.0086 0.0163 0.0021 0.0001 0.0047
0.0082
Sumber: Diolah dari Statistik Industri Menengah dan Besar (BPS)
Dari Tabel 38 tersebut terlihat bahwa pertumbuhan output masingmasing industri pada periode 1996 sampai 1998 antara IK, IM dan IB secara berurutan adalah sebesar 19.63 persen, 22.70 persen dan 14.51 persen. Pada periode ini IM memiliki tingkat pertumbuhan output tertinggi, diikuti oleh IK dan IB Sementara untuk periode 1998 sampai 2000 pertumbuhan output IK, IM dan IB secara berurutan adalah sebesar 11.70 persen, 10.87 persen dan 12.09 persen. Tingkat pertumbuhan output terbesar dipegang oleh IB, diikuti oleh IK dan IM. Hasil perhitungan terhadap TFP secara umum menujukkan bahwa
158 kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan output relatif kecil, bahkan pada beberapa kondisi hampir sama dengan nol. Kondisi ini persis sesuai dengan temuan Quah (1997) bahwa kontribusi teknologi di negara-negara Asia terhadap pertumbuhan output adalah sangat kecil, nahkan mendekati nol. Sehingga analisis TFP dirasakannya agak ’kurang sesuai’ untuk menganalisis kondisi perekonomian negara-negara sedang berkembang di Asia, terlebih sesudah negara-negara tersebut dilanda krisis ekonomi di tahun 1997/1998. Meskipun demikian analisis terhadap kontribusi TFP pada struktur industri di Indonesia masih dapat menunjukkan beberapa hal yang menarik. Kontribusi input teknologi pada periode 1996 sampai 1998 menunjukkan pola yang wajar yakni semakin besar skala industri semakin tinggi pula kontribusi teknologi (technology deepening) terhadap output, sementara pada periode 1998-2000 terjadi ketidak teraturan pola. Meskipun demikian dari sumbangan tenaga kerja dapat dipastikan bahwa pengembangan IM memiliki potensi untuk menyerap tenaga kerja sektor industri.
Sumber-sumber pertumbuhan atau
sumbangan masing-masing faktor input dan TFP pada masing-masing kelompok industri selanjutnya dapat dilihat dari Gambar 24 dan 25 berikut.
Gambar 24. Sumber Pertumbuhan Industri Tahun 1996-1998
159
Gambar 25. Sumber Pertumbuhan Industri Tahun 1998-2000 Jika
diperhatikan
kontribusi
masing-masing
pertumbuhan output terlihat kondisi yang menarik.
faktor
terhadap
Secara umum, pada
periode sebelum krisis kontribusi terbesar adalah dari faktor kapital dan pada periode sesudah krisis kontribusi terbesar justeru dari tenaga kerja. Keadaan ini menunjukkan bahwa keberadaan krisis telah mendorong masing-masing unit usaha untuk lebih meningkatkan produktivitas tenaga kerjanya daripada produktivitas kapital. Kondisi ini dapat dipahami karena sebagian besar input kapital dari industri masih diimpor, sehingga ketika krisis melanda maka penggunaan input kapitalnya relatif berkurang dibandingkan dengan penggunaan input tenaga kerjanya. Meskipun demikian juga terlihat bahwa untuk IM, baik sebelum krisis maupun sesudah krisis, kontribusi input teknologinya terhadap pertumbuhan output masih relatif signifikan meskipun juga menuruun dari 7 persen sebelum krisis menjadi 4 persen sesudah krisis. 6.2.1. Sumber-sumber Pertumbuhan Industri Menengah Pertanian dan Non-Pertanian Jika diperhatikan secara lebih khusus sumber-sumber pertumbuhan IM
160 Pertanian dan IM Non-Pertanian sebelum krisis dan sesudah krisis (Gambar 26), secara umum juga menunjukkan kondisi yang relatif sama yakni bahwa sumber pertumbuhan output sebelum krisis terutama adalah dari input kapital dan sesudah krisis dari input tenaga kerja (TK).
Perbedaan yang menyolok
adalah dari input teknologinya, pada IM Pertanian senantiasa lebih tinggi.
Gambar 26. Sumber Pertumbuhan Industri Menengah Pertanian dan Non-Pertanian Tahun 1996-2000 6.2.2. Sumber-sumber Pertumbuhan Industri Menengah Eksportir dan Non-Eksportir Sama halnya dengan IM Pertanian dan Non-Pertanian, sumber-sumber pertumbuhan IM Eksportir dan IM Non-Eksportir sebelum krisis dan sesudah krisis (Gambar 27), secara umum juga menunjukkan kondisi yang relatif sama yakni bahwa sumber pertumbuhan output sebelum krisis terutama adalah dari input kapital dan sesudah krisis dari input tenaga kerja (TK). Perbedaan yang menyolok adalah dari input teknologinya, pada IM Eksportir sumbangan teknologi senantiasa lebih tinggi daripada IM Non-Eksportir.
161
Gambar 27. Sumber Pertumbuhan Industri Menengah Eksportir dan Non-Eksportir Tahun 1996-2000
VII. IMPLIKASI TERHADAP KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INDUSTRI
7.1. Implikasi Keberadaan Dinamika Industri Menengah Dari temuan kondisi dinamika IM dan hasil analisis, baik deskriptif maupun empiris, terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap dinamika IM, dapatlah ditarik beberapa implikasi hasil penelitian ini terhadap kebijakan pembangunan industri. Pertama, dinamika IM relatif masih sangat kecil, yakni kurang dari 10 persen dari jumlah IM yang ada. Jumlah IM yang berhasil naik kelas ke IB hanya 8.2 persen sebelum krisis dan 9.0 persen sesudah krisis. Sementara itu yang turun menjadi IK adalah 18.9 persen sebelum krisis dan 12.4 persen sesudah krisis. Sehingga dinamika total ketika krisis adalah terjadi penurunan jumlah IM menjadi IK sebesar 10.7 persen dan sesudah krisis 3.4 persen. Oleh karena itu agar dinamika IM dapat ditingkatkan, dalam arti lebih banyak IM yang mampu naik skalanya menjadi IB, maka faktor pendorong yang ada harus ditingkatkan sementara faktor penghambat yang dominan harus dikurangi. Selanjutnya dari hasil analisis terhadap dinamika masing-masing kelompok industri (ISIC 2 digit) maka terlihat bahwa jenis-jenis industri yang bersifat resource based, seperti makanan (ISIC 31) dan produk karet (ISIC 36) terbukti paling sedikit yang turun kelas ketika krisis melanda, sementara industri yang bersifat capital intensive seperti besi dan baja (ISIC 37) dan mesin (ISIC 38) adalah yang paling banyak penurunannya. Oleh karena itu dukungan terhadap industri-industri yang bersifat resource based dan labor intensive tetap harus diperhatikan. Dukungan tersebut dapat dilaksanakan baik
163 melalui upaya pemerintah ataupun swasta seperti pembeli, pemasok, dan asosiasi (Kim dan Nugent, 1994). Dari hasil analisis dinamika IM antar wilayah, diperoleh hasil bahwa dinamika IM di luar Jawa relatif lebih baik daripada IM yang ada di Jawa. Di Luar Jawa, jumlah IM yang mengalami penurunan skala relatif lebih rendah daripada IM di Jawa, sementara itu yang mengalami kenaikan skala di Luar Jawa relatif lebih tinggi daripada di Jawa.
Kondisi ini menyiratkan
pemahaman bahwa IM di Luar Jawa memiliki potensi pengembangan yang lebih baik daripada IM di Jawa, sehingga sebaran distribusi pembangunan industri menengah ke Luar Jawa harus semakin ditingkatkan. Akhirnya dari hasil analisis pengaruh kondisi eksternal dan internal terhadap dinamika IM, terbukti bahwa dinamika IM lebih dipengaruhi oleh faktor internal daripada faktor eksternal.
Hal ini sejalan dengan temuan
empiris di lapangan bahwa IM relatif sudah mulai lebih tertutup daripada IK, sehingga pengaruh faktor internal lebih dominan daripada faktor eksternal terhadap dinamika IM. Berdasarkan temuan tersebut dapatlah dikemukakan bahwa kebijakan pembangunan
industri,
khususnya
untuk
industri
menengah,
harus
dilaksanakan dengan lebih hati-hati dan bijaksana serta secara tidak langsung mendorong pengembangan IM. Implikasi kebijakan ini jelas berbeda dengan kebijakan yang diarahkan untuk mendorong peningkatan jumlah IK, yang pada umumnya keberadaannya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal. Bagi IM, pemberian kemudahan untuk mengakses sumber permodalan dan pemberian insentif perpajakan, yang secara langsung maupun tidak langsung
164 akan memperbaiki kondisi internal IM, misalnya akan lebih efektif pengaruhnya daripada melaksanakan upaya perbaikan faktor eksternal dengan perbaikan iklim dan lingkungan usaha.
7.2. Keberadaan Kondisi Missing of the middle Dari temuan adanya gejala missing of the middle (MOM) pada struktur industri di Indonesia dan hasil analisis, baik deskriptif maupun empiris dapatlah ditarik beberapa implikasi kebijakan yang berkaitan dengan keberadaan gejala MOM ini. Kondisi MOM memang terjadi dalam struktur industri di Indonesia. Berbeda dengan kondisi MOM yang terjadi di negara berkembang, kondisi MOM di Indonesia yang utama adalah benar-benar berupa sedikitnya jumlah IM jika dibandingkan dengan jumlah IK. Sementara pada unsur kinerja, misalnya produktivitas tenaga kerja, IM menduduki posisi tertinggi jika dibandingkan dengan IK dan IB. Dari hasil reklasifikasi, terlihat bahwa sebagian besar IM sebenarnya masih memiliki ciri-ciri sebagai IK, sehingga keberadaan IM yang benar-benar sebagai IM dan sudah berbeda dengan IK memang sangat sedikit. Akibatnya, hasil reklasifikasi tersebut semakin menegaskan keberadaan gejala MOM. Kondisi MOM sangat dipengaruhi oleh keberadaan faktor-faktor yang dapat mendorong dan/atau menghambat kinerja IM. Semakin besar hambatan maka capaian kinerjanya akan semakin rendah, sehingga peluang IK untuk meningkat menjadi IM dan mengurangi gejala MOM semakin kecil. Untuk mengurangi kondisi MOM pada skala menengah, IK harus didorong sehingga mampu meningkatkan skalanya menjadi IM dan berbagai faktor yang akan mengakibatkan IM turun kelas harus semakin dikurangi pengaruhnya.
165 Sebagaimana ditemukan oleh Tybout (1998), ada kecenderungan bahwa IK memang tidak mau (atau tidak bisa) tumbuh dan berkembang menjadi IM, sehingga kondisi ini lebih mendorong terjadinya gejala MOM dalam struktur industri.
7.3. Skala Usaha Dari temuan dan analisis terhadap faktor skala usaha, dapatlah ditarik implikasi kebijakan bahwa restrukturisasi industri melalui penetapan skala usaha yang tepat akan memungkinkan dilaksanakannya dukungan dan upaya pembinaan yang tepat sasaran. Lieberman (1994) bahkan menegaskan bahwa restrukturisasi industri akan meningkatkan keunggulan kompetitif sektor industri dalam menghadapi era perdagangan global. Kondisi IM dengan batasan tenaga kerja 20 sampai 99 orang ketika direklasifikasi ternyata menunjukkan bahwa jumlah IM yang tenaga kerjanya 20 sampai 49 orang sebesar 64.6 persen. Data ini menunjukkan bahwa IM (klasifikasi BPS) sebenarnya masih dekat dengan IK. Kondisi ini semakin jelas ketika klasifikasi BI diterapkan, jumlah IM yang memiliki omset kurang dari 1 milyar (atau seperti IK) masih sebesar 60.9 persen. Oleh karena itu agar kebijakan pembangunan industri, khususnya kebijakan untuk pambangunan industri menengah, dapat lebih terarah dan tepat sasaran maka struktur industri yang ada harus direklasifikasi kembali sehingga dapat mengambarkan kondisi yang lebih riil. Karena faktor batasan skala usaha akan sangat penting bagi upaya indentifikasi keberadaan masing-masing kelompok skala industri secara tepat, penelitian ini menemukan batasan untuk industri menengah yang diharapkan
166 lebih sesuai dengan kondisi IM yang sebenarnya.
Batasan untuk industri
menengah yang diusulkan adalah: 1. untuk tenaga kerja adalah antara 50 sampai 149 orang, dan/atau 2. untuk total penjualan memiliki total penjualan antara 1 sampai 10 milyar rupiah per tahun.
7.4. Sumber Pertumbuhan Industri Menengah Dari temuan dan analisis terhadap sumber-sumber pertumbuhan, dapatlah ditarik beberapa implikasi kebijakan sebagai berikut. IM memiliki potensi menjadi industrial ladder bagi IK untuk naik ke IM dan selanjutnya IB. Pertumbuhan output industri menengah senantiasa lebih tinggi daripada pertumbuhan output industri besar, meskipun pertumbuhan output industri kecil.
masih tetap di bawah
Dengan potensinya sebagai industrial
ladder tersebut, maka keberadaan IM harus senantiasa diperhatikan dan didukung.
Jika selama ini dukungan lebih banyak diarahkan kepada IK,
terutama karena alasan bahwa IK perlu dilindungi karena masih kecil, lemah dan sebagainya, maka untuk ke depan dukungan terhadap IM harus lebih diperbesar. Dukungan terhadap IM tersebut perlu lebih ditingkatkan, bukan karena IM juga lemah dan perlu dukungan tetapi karena IM memiliki potensi yang besar untuk menjadi motor penggerak struktur industri di Indonesia dan sekaligus menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Hasil analisis terhadap sumber-sumber pertumbuhan menunjukkan bahwa sumber-sumber pertumbuhan utama IM adalah tenaga kerja dan teknologi. Meskipun pada dasarnya kedua sumber tersebut sifatnya adalah substitusi, tetapi mengingat masih melimpahnya tenaga kerja di Indonesia,
167 maka langkah yang tepat adalah dengan mengembangkan teknologi maju yang masih memerlukan banyak tenaga kerja (labor intensive). Meskipun salah satu sumber pertumbuhan IM adalah tenaga kerja, yang dimaksud dengan tenaga kerja disini adalah tenaga kerja madya yang lebih berpendidikan dan memiliki keterampilan yang tinggi di bidang pekerjaan yang ditanganinya (Isaksson, 2002).
DAFTAR PUSTAKA Abe, M., Y. Boztu and L. Hildebrandt. 2002. Investigating the Competitive Assumption of Multinomial Logit Models of Brand Choice by Nonparametric Modeling. University of Tokyo, Tokyo. Acevedo, G.L. 2002. Determinants of Technology Adoption in Mexico. Poverty Reduction and Economic Management Sector Unit, The World Bank, Washington, D.C. ADB. 1998. Project Performance Audit Report on the Small and Medium Industry Project (Loan Nos. 944/945-PHI[SF]) in the Philippines. Asian Development Bank Technical Assistantship, Manila. ADB. 2001. Best Practice in Developing Industry Clusters and Business Networks. Asian Development Bank SME Development TA: Policy Discussion Papers 2001/2002 No. 8. Asian Development Bank Technical Assistantship, Manila. APEC. 2002. Profile of SMEs and SME Issues in APEC 1990 – 2000. APEC Small and Medium Enterprises Working Group, Asia-Pacific Economic Cooperation Secretariat (APEC), Singapore. Audretsch, D.B. 2001. The Dynamic Role of Small Firms: Evidence from the U.S. The International Bank for Reconstruction and Development, The World Bank, Washington, D.C. Audretsch, D.B. and J.A. Elston. 2000. Does Firm Size Matter? Evidence on the Impact of Liquidity Constraints of Firm Investment Behavior in Germany. Hamburgisches Welt-WirtschaftsArchive (HWWA) Discussion Paper 113. Hamburg Institute of International Economics, Hamburg. Auty, R.M. 1995. Patterns of Development: Resources, Policy and Economic Growth. Edward Arnold, London. Aw, B.Y. 2001. Productivity Dynamics of Small and Medium Enterprises in Taiwan (China). The World Bank, Washington, D.C. Baud, I.S.A. and G.A. de De Bruijne. 1993. Gender, Small-scale Industry and Development Policy. Intermediate Technology Publications, London. Beck, T. and R. Levine. 2000. New Firm Formation and Industry Growth Does Having a Market- or Bank- Based System Matter? Financial Sector Strategy and Policy Department, The World Bank, Washington, D.C. Beck, T., A. Demirgüç-Kunt and V. Maksimovic. 2002. Financial and Legal Constraints to Firm Growth: Does Size Matter? The World Bank, Washington, D.C. Beck, T., A. Demirgüç-Kunt, R. Levine and V. Maksimovic. 2000. Financial Structure and Economic Development Firm, Industry and Country Evidence. Development Research Group Finance, The
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan Analisis terhadap dinamika IM menujukkan bahwa IM cukup dinamis untuk meningkat ke IB atau bahkan turun ke IK dan dengan demikian IM memilki peluang untuk menjadi industrial ladder dari IK ke IB. Dinamika IM juga menunjukkan gambaran yang berbeda antara sebelum krisis dan sesudah krisis, serta berbeda pula diantara jenis-jenis industri yang ada (ISIC 31 sampai 39). Dinamika IM tersebut secara signifikan dipengaruhi oleh faktor internal umur usaha, perolehan output dan produktivitas TK. Faktor eksternal, seperti beban pajak tak langsung dan beban bunga, juga secara nyata mempengaruhi dinamika IM. Temuan ini kembali menegaskan bahwa lingkungan usaha IM cukup kondusif bagi IM untuk menjalankan usahanya. Mengacu pada definisi yang dibuat oleh BPS, penelitian ini telah membuktikan bahwa gejala missing of the middle (MOM), yang terjadi secara universal di beberapa negara maju, juga terjadi dalam struktur industri di Indonesia. Jika negara maju melihat masalah MOM tersebut dari sisi lack of productivity, Indonesia dapat melihat masalah MOM sebagai kegagalan usaha menengah untuk menjadi penggerak perekonomian nasional. Gejala MOM tersebut pada satu sisi terjadi sebagai akibat kesalahan pemilihan kebijakan industrialisasi masa lalu yang bias ke usaha kecil maupun usaha besar, sementara di sisi lain juga karena adanya barriers to entry dan business environment yang kurang kondusif sehingga menimbulkan berbagai kendala internal maupun eksternal bagi pengembangan usaha menengah.
169 Penelitian ini juga menemukan bahwa kondisi MOM ini terjadi karena
industri menengah selama ini memang seperti “dianak-tirikan” oleh struktur industri yang ada. Dari segi pendataan, oleh BPS IM disatukan dengan IB, sementara dari segi pembinaan disatukan dengan usaha kecil menjadi UKM di bawah tanggung jawab Menteri Koperasi dan Pemberdayaan UKM. Berbagai masalah tersebut sangat mungkin telah mengakibatkan jumlah industri menengah menjadi stagnan dan tidak terlalu banyak berubah. Penelusuran terhadap pola pergerakan industri berdasarkan skala usaha menunjukkan bahwa pada tahun 1996-1997 jumlah rata-rata penambahan IM (dari IB yang turun ke IM dan IK yang naik ke IM) jumlahnya lebih banyak daripada rata-rata pengurangan IM (dari IM yang naik ke IB dan turun ke IK), yakni 848 unit usaha yang menambah IM dengan 800 unit usaha yang mengurangi IM. Sementara untuk tahun 1999-200 juga terjadi kondisi yang sama, yakni 695 unit usaha yang menambah IM dan 298 unit usaha yang mengurangi IM. Akibatnya secara kumulatif terjadi penambahan jumlah usaha menengah sekitar 150 unit usaha. Temuan ini dapat digunakan sebagai salah satu indikator adanya dinamika yang cukup baik pada IM, serta tidak terlalu berpengaruhnya kondisi internal dan eksternal terhadap dinamika IM. Kesimpulan lain yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah bahwa pada masa sebelum dan saat krisis gejala MOM tetap muncul. Meskipun demikian, juga dapat disimpulkan bahwa IM memiliki peranan dan potensi yang dapat dijadikan penghela kekuatan sektor industri untuk lepas dari krisis ekonomi. Hal ini dapat ditunjukkan dari kenyataan bahwa IM, demikian juga dengan IK, lebih tahan dalam menghadapi gejolak krisis daripada IB. Selain
170 itu analisis terhadap sumber-sumber pertumbuhan (sources of growth)
menunjukkan bahwa output growth IM senantiasa lebih tinggi daripada IB. Selain itu contribution of labor maupun produktivitas TK-nya juga lebih tinggi sehingga dapat lebih mampu diharapkan untuk menyerap tenaga kerja industri dan meningkatkan output. Sumber pertumbuhan dapat menjadi nyata dalam menggerakkan sektor riil apabila dapat diciptakan kondisi lingkungan usaha yang kondusif. Sebagai contoh, kondisi eksternal yang tidak stabil akan mengakibatkan perkembangan omset usaha yang fluktutatif. Oleh karena itu pengembangan industri menengah membutuhkan stabilitas lingkungan bisnis untuk mendorong kinerjanya. Meskipun krisis nilai tukar tidak memberikan pengaruh negatif yang besar pada industri menengah, namun faktor keamanan dan cost of conducting business yang tinggi menyebabkan industri menengah telah mengalami kinerja yang semakin memburuk.
Sangat mungkin kondisi ini
semakin diperparah oleh adanya instabilitas politik yang terjadi. Meskipun dari hasil analisis terhadap data sekunder menunjukkan bahwa keberadaan faktor eksternal tidak menghambat dinamika IM, tetapi temuan empiris menunjukkan bahwa masih ada faktor lingkungan eksternal yang memerlukan perbaikan untuk meningkatkan kondusifitas usaha bagi pengembangan IM. Kondisi eksternal yang perlu ditingkatkan diantaranya adalah: berkurangnya beban pungutan yang harus dihadapi IM, pasar yang lebih kompetitif dan fair bagi IM, stabilitas politik dan keamanan, serta dukungan infrastruktur yang memadai. IM juga harus didorong untuk memanfaatkan layanan perbankan sehingga dapat mengembangkan usahanya,
171 sementara itu kalangan perbankan juga harus mendekatkan sistem dan
layanannya kepada IM yang memang memiliki potensi untuk dikembangkan.
8.2. Saran 1. Meletakkan Industri Menengah sebagai Entitas Tersendiri Untuk dapat memahami keberadaan dan potensi IM, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah memisahkan entitas usaha menengah baik dari usaha besar maupun usaha kecil. Karakteristik IM yang berbeda jauh dengan IB menjadi alasan utama pemisahan ini.
Usaha menengah harus dilihat,
dipelajari, dipahami dan diperhatikan sebagai satu entitas tersendiri guna mendukung terciptanya satu struktur industri yang kokoh.
Penggabungan
usaha menengah dengan usaha kecil menjadi UKM, maupun industri menengah
dengan
industri
besar
menjadi
IMB,
sama-sama
akan
mengakibatkan pemahaman yang bias dan kurang tepat, serta IM ’hilang’ dari perhatian.
2. Meningkatkan Aksesibilitas Industri Menengah Potensi yang dimiliki IM tidak akan dapat berkembang secara optimal jika tidak ada aksesbilitas pada upaya peningkatan: teknologi, financial dan kapabilitas SDM.
Oleh karena itu upaya untuk meningkatkan aksesibiltas
tersebut harus diprioritaskan, baik terhadap sumberdaya yang ada di lokal, dalam negeri (regional) maupun luar negeri. Saat ini industri menengah sudah lebih memerlukan program aksi yang lebih nyata, baik dalam hal permodalan, pembinaan kewirausahaan dan perencanaan/pengembangan usaha.
Oleh
karena itu perlu dipersiapkan suatu program aksi yang secara langsung dapat
172 membantu IM. Untuk mendukung program aksi tersebut maka perlu ditelaah
lebih lanjut tentang kondisi yang ada dan kebutuhan yang diinginkan oleh IM.
3. Perbaikan Lingkungan Usaha Stabilitas dan keamanan lingkungan usaha harus terjadi baik di aras lokal maupun nasional. Faktor keamanan masih menjadi variable eksternal yang menimbulkan ongkos tambahan bagi IM. Pemerintah (pusat dan daerah) harus bisa memberikan lingkungan usaha yang nyaman bagi IM sehingga IM tidak perlu harus membayar pengeluaran tambahan untuk keamanan bisnis dalam bentuk sumbangan lingkungan dan preman.
Untuk itu maka perlu
dilakukan upaya advokasi kebijakan yang dapat mendorong lingkungan usaha yang kondusif. Advokasi tersebut diharapkan akan mampu memperbaiki kondisi lingkungan usaha yang dapat memberikan keamanan dan kenyamanan bisnis bagi IM sehingga pengembangan IM yang potensial bisa dilaksanakan. Pemerintah juga harus menjaga kualitas pelayanan perijinan yang sudah cukup baik dengan tidak memberikan beban biaya tambahan.
4. Membuat Redefinisi Struktur Industri Definisi yang tepat dan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, serta dapat diterima oleh semua pihak merupakan salah satu prasyarat bagi upaya pengembangan struktur industri yang lebih terarah.
Penelitian ini
merekomendasikan perlunya dilakukan redefinisi terhadap struktur industri di Indonesia. Dasar dari redefinisi tersebut adalah tenaga kerja dan/atau total penjualan (sales). Selain itu juga perlu ditegaskan keberadaan kelompok usaha mikro (micro enterprises) sebagai pengganti dari industri rumah tangga,
173 sehingga struktur industri menjadi: mikro, kecil, menengah dan besar. Untuk
industri atau usaha menengah definisi yang diusulkan adalah: tenaga kerja antara 20 sampai 150 dan/atau total sales 1-10 milyar rupiah per tahun.
DAFTAR PUSTAKA Abe, M., Y. Boztu and L. Hildebrandt. 2002. Investigating the Competitive Assumption of Multinomial Logit Models of Brand Choice by Nonparametric Modeling. University of Tokyo, Tokyo. Acevedo, G.L. 2002. Determinants of Technology Adoption in Mexico. Poverty Reduction and Economic Management Sector Unit, The World Bank, Washington, D.C. ADB. 1998. Project Performance Audit Report on the Small and Medium Industry Project (Loan Nos. 944/945-PHI[SF]) in the Philippines. Asian Development Bank Technical Assistantship, Manila. ADB. 2001. Best Practice in Developing Industry Clusters and Business Networks. Asian Development Bank SME Development TA: Policy Discussion Papers 2001/2002 No. 8. Asian Development Bank Technical Assistantship, Manila. APEC. 2002. Profile of SMEs and SME Issues in APEC 1990 – 2000. APEC Small and Medium Enterprises Working Group, Asia-Pacific Economic Cooperation Secretariat (APEC), Singapore. Audretsch, D.B. 2001. The Dynamic Role of Small Firms: Evidence from the U.S. The International Bank for Reconstruction and Development, The World Bank, Washington, D.C. Audretsch, D.B. and J.A. Elston. 2000. Does Firm Size Matter? Evidence on the Impact of Liquidity Constraints of Firm Investment Behavior in Germany. Hamburgisches Welt-WirtschaftsArchive (HWWA) Discussion Paper 113. Hamburg Institute of International Economics, Hamburg. Auty, R.M. 1995. Patterns of Development: Resources, Policy and Economic Growth. Edward Arnold, London. Aw, B.Y. 2001. Productivity Dynamics of Small and Medium Enterprises in Taiwan (China). The World Bank, Washington, D.C. Baud, I.S.A. and G.A. de De Bruijne. 1993. Gender, Small-scale Industry and Development Policy. Intermediate Technology Publications, London. Beck, T. and R. Levine. 2000. New Firm Formation and Industry Growth Does Having a Market- or Bank- Based System Matter? Financial Sector Strategy and Policy Department, The World Bank, Washington, D.C. Beck, T., A. Demirgüç-Kunt and V. Maksimovic. 2002. Financial and Legal Constraints to Firm Growth: Does Size Matter? The World Bank, Washington, D.C. Beck, T., A. Demirgüç-Kunt, R. Levine and V. Maksimovic. 2000. Financial Structure and Economic Development Firm, Industry and Country Evidence. Development Research Group Finance, The
175 World Bank, Washington, D.C. Belser, P. 2000. Vietnam: on the Road to Labor-Intensive Growth. Background paper for the Vietnam Development Report 2000, "Vietnam: Attacking Poverty", Joint Report of the Government of Vietnam –Donor- NGO. Poverty Working Group, The World Bank, Washington, D.C. Berger, A.N. and G.F. Udell. 2004. A More Complete Conceptual Framework for SME Finance. Prepared for presentation at the World Bank Conference on Small and Medium Enterprises: Overcoming Growth Constraints. The World Bank, Washington, D.C. Berry, A. and B. Levy. 1994. Indonesia's Small and Medium-Size Exporters and Their Support Systems. Working Paper 1402. Policy Research Department, The World Bank, Washington, D.C. Berry, A. and B. Levy. 1999. Technical, Marketing and Financial Support for Indonesia’s Small and Medium Industrial Exporters. In B. Levy, A. Berry and J. B. Nugent; with J. F. Escandon et al., Fulfilling the Export Potential of Small and Medium Firms. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht. Berry, A. and E. Rodriguez. 2001. Dynamics of Small and Medium Enterprises in a Slow-Growth Economy: The Philippines in the 1990s. The International Bank for Reconstruction and Development, The World Bank, Washington, D.C. Berry, A., E. Rodriguez and H. Sandee. 2001. Firm and Group Dynamics in the Small and Medium Enterprise Sector in Indonesia. The International Bank for Reconstruction and Development, The World Bank, Washington, D.C. Blunch, N.H. and D. Verner, 1999, Sector Growth and the Dual Economy Model: Evidence from Côte d’Ivoire, Ghana and Zimbabwe. The World Bank, Washington, D.C. BPS. 1996. Statistik Industri Besar dan Sedang 1996. Badan Pusat Statistika, Jakarta. BPS. 1997. Statistik Industri Besar dan Sedang 1997. Badan Pusat Statistika, Jakarta. BPS. 1998. Statistik Industri Besar dan Sedang 1998. Badan Pusat Statistika, Jakarta. BPS. 1999. Statistik Industri Besar dan Sedang 1999. Badan Pusat Statistika, Jakarta. BPS. 2000. Statistik Industri Besar dan Sedang 2000. Badan Pusat Statistika, Jakarta. BPS. 2002. Statistik Industri Besar dan Sedang 2002. Badan Pusat Statistika, Jakarta. Charles, S., M. Ivis and A. Leduc. 2002. Embracing e-Business: Does Size Matter? Connectedness Series, Statistics Canada, Ottawa.
176 Chenery, H. and M. Syrquin. 1977. Patterns of Development 1955-1975. Oxford University Press, London. Christiano, L.J. 2002. Class Notes on Total Factor Productivity. Northwestern University, Northwestern. Clague, C. and G. Rausser. 1991. The Emergence of Market Economies in Eastern Europe. Blackwell Publishers, Cambridge. Clague, C., P. Keefer, S. Knack and M. Olson. 1995. Reprinted July 1999. Contract-Intensive Money: Contract Enforcement, Property Rights and Economic Performance. Working Paper No. 151. Center for Institutional Reforms and Informal Sector, University of Maryland, Maryland. Conrad, K. 1997. An Econometric Model of Production with Endogenous Improvement in Energy Efficiency, 1970-1995. Mannheim University, Mannheim. Demirguc,-Kunt, A. and R. Levine. 1999. Financial Structures Across Countries: Stylized Facts. Policy Research Working Paper 2143. The World Bank, Washington, D.C. Demirguc,-Kunt, A. and V. Maksimovic. 2000. Funding Growth in BankBased and Market-Based Financial Systems: Evidence from Firm Level Data. Mimeo. Dhanani, S. 2000. Indonesia: Strategy for Manufacturing Competitiveness. Vol.II. Main Report. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Jakarta. Dosi G. and R.R. Nelson. 1994. An Introduction to Evolutionary Theories in Economics. Journal of Evolutionary Economics, 4(3): 153-172. DTI. 2004. Productivity in the UK: Benchmarking UK Productivity Performance. A Consultation on Productivity Indicators. Department of Trade and Industry (DTI), London. EEC. 1998. Enhancing European Competitiveness. Report of the Competitiveness Advisory Group. European Economic Commission (EEC), Brussels. Fajnzylber, P., W.F. Maloney and E. Ribeiro. 2001. Firm Entry and Exit, Labor Demand and Trade Reform: Evidence from Chile and Colombia. The World Bank, Washington, D.C. Fan, Y., M. Li and Z. Di. 2004. Increasing Returns to Scale, Dynamics of Industrial Structure and Size Distribution of Firms. Department of Systems Science, School of Management, Beijing Normal University, Beijing. Fisman, R. and I. Love. 2001. Trade Credit, Financial Intermediary Development and Industry Growth. The World Bank, Washington, D.C. Fuller, A., D. Ashton, A. Felstead, L. Unwin, S. Walters and M. Quinn. 2003. The Impact of Informal Learning at Work on Business Productivity. Department of Trade and Industry (DTI), London.
177 Galbraith, J.K. 1956. American Capitalism: The Concept of Countervailing Power. Houghton, Mifflin Co, Boston. Giaoutzi, M., P. Nijkamp and D.J. Storey (Ed). 1989. Small and Medium Size Enterprises and Regional Development. Routledge, London. Girma, S., M. Henry, R. Kneller and C.R. Milner. 2003. Thresholds and Interaction Effects in the Openness-Productivity Growth Relationship: The Role of Institutions and Natural Barriers. Research Paper 2003/32. The University of Nottingham, Nottingham. Gitosardjono, S.S. 2000. Perkembangan Dunia usaha, Organisasi Bisnis dan Ekonomi di Indonesia 1950-2000. PT Tema Baru, Jakarta. Greene, W.H. 2000. Econometric Analysis, 4th Ed. Prentice-Hall International (UK) Limited, London. Haarhoff, K. 2002. The UK’s Middle Market - A Statistical Approach to Defining The UK’s Mittelstaand. Paper on The First International Conference on Medium Sized: The Missing Middle. Durham University, Durham. Hallberg, K. 2000. A Market-Oriented Strategy For Small and Medium-Scale Enterprises. Discussion Paper Number 40. The World Bank, Washington, D.C. Hansen, H., J. Rand and F. Tarp. 2003. SME Growth and Survival in Vietnam: Did Direct Government Support Matter? Discussion Papers. Institute of Economics, University of Copenhagen, Copenhagen. Hashemi, F. 2000. An evolutionary model of the size distribution of firms. Journal Evolutionary Economic, 10: 507–521. Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri. LP3ES, Jakarta. Hayashi, M. 2002. Development of SMEs in the Indonesian Economy. School of Economics, Faculty of Economics and Commerce, Australian National University, Adelaide. Hayashi, M. 2004. Development of SMEs in the Indonesian Economy. School of Economics, Faculty of Economics and Commerce, Australian National University, Adelaide. Hill, H. 1988. Foreign Investment and Industrialization in Indonesia. Oxford University Press, Singapore. Hill, H. 1996. The Indonesian Economy since 1966: Southeast Asia’s Emerging Giant. Cambridge University Press, Cambridge. Hill, H. 2001. Small and Medium Enterprises in Indonesia: Old Policy Challenges for a New Administration. Asian Survey, 41(2): 248-70. Hirschman, A.O. 1958. The Strategy of Economic Development. Yale University Press, New Haven. Hoselitz, B.F. 1959. Small Industry in Underdeveloped Countries. Journal of Economic History, 19(1). Reprinted in I. Livingston (Ed.). 1961.
178 Development Economics and Policy: Readings. George Allen and Unwin. Hoverstadt, P. and D. Bowling. 2002. Complexities and Growth of Medium Sized Enterprises. Paper on The First International Conference on Medium Sized: The Missing Middle. Durham University, Durham. Hulten, C. and Srinivasan, S. 1999. Indian Manufacturing Industry: Elephant or Tiger? New Evidence on the Asian Miracle. National Bureau of Economic Research (NBER), Cambridge. Humphrey, J. and H. Schmitz. 1995. Principles for Promoting Clusters and Networks of SMEs. Paper Commissioned by the Small and Medium Enterprises Branch, Capacity-Building Division. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. ILO. 2000. Productivity and Management Development. Job Creation and Enterprise Department, International Labour Office, Geneva. IMPM. 1987. Kebijakan Pengembangan Usaha Skala Kecil Dalam Era Pembangunan Ekonomi Indonesia. Institut Manajemen Prasetya Mulya (IMPM), Jakarta. Isaksson, A. 2002. Access To Formal Finance in Kenyan Manufacturing. SIN Working Paper Series, No 3. Statistics and Information Networks Branch, United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna Isaksson, A. 2002. The Importance Of Human Capital For The Trade-Growth Link. Working Paper No 2. Statistics and Information Networks Branch, United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Johnson, S. W. Thomas and D.J. Webber. 2004. Who uses External Business Advice? A Multivariate Probit Analysis with Sector Effects. School of Economics, University of the West of England, Bristol. Jorgenson, D.W., F.M. Gollop and B.M. Fraumeni. 1987. Productivity and US Economic Growth. Harvard University Press, Cambridge. Kang, M. 2001. Bank Loans to Microenterprises, SMEs and Poor Households in Korea: Country Study of The Republic of Korea. ESCAPADB Joint Workshop on Mobilizing Domestic Finance for Development: Reassessment of Bank Finance and Debt Markets in Asia and the Pacific. Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP), Bangkok. Keasy, K. and R. Watson. 1993. Small Firm Management, Blackwell, Oxford. Kim. L. and J.B. Nugent. 1994. Small and Medium-Size Enterprises and Their Support Systems. Policy Research Department, Finance and Private Sector Development Division, The World Bank, Washington, D.C.
179 Kisaame, J. 2004. Vendor Financing in Input Markets, Case Study of DFCU Leasing Company-Uganda. US Agency for International Development (USAID) and Systems Collaborative Research Support Program (BASIS-CRSP) and the World Council of Credit Unions, Inc. (WOCCU). Paper for the DRUID Summer Conference 2004 on Industrial Dynamics, Innovation And Development, Ellsinore. Knack, S. and P. Keefer. 1995. Institutions and Economic Performance: Empirical Tests using Alternative measures of Institutions. Economics and Politics, 7(3). Kwasnicki, W. and H. Kwasnicka. 1992. Market, Innovation, Competition: an Evolutionary Model of Industrial Dynamics. Journal of Economic Behavior and Organization, 19: 343-368. Levy, B. 1991. Obstacles to Developing Small and Medium-Sized Enterprises – An Empirical Assessment. Working Paper No. 588. The World Bank, Washington, D.C. Lieberman, I.W. 1990. Industrial Restructuring Policy and Practice. Industry and Energy Department, The World Bank, Washington, D.C. Liedholm, C. 2001. Small Firm Dynamics: Evidence from Africa and Latin America. The International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), The World Bank, Washington, D.C. Livingstone, I. (Ed.). 1981. Development Economic and Policy Readings. George Allen and Unwin LTD, Boston. Lucas, R.E. 1988. On the Mechanics of Economic Development. Journal of Monetary Economics XXII: 3-42. Marks, D. 2005. To Invest or not to Invest? How Indonesia’s Capacity Utilization Rate Affects Its Medium-Term Growth Potential. Masterscriptie. Universiteit van Amsterdam, Amsterdam. Martin, R. 2002. Firm Size and Productivity. Centre for Research into Business Activity, www.CeRiBA.org.uk. Martin, W. and D. Mitra. 1998. “Productivity Growth and Convergence in Agriculture and Manufacturing,” Development Research Group, The World Bank and Dept. of Economics, Florida International University, Washington, D.C. and Miami, Florida. Mazumdar, D. 1998. Size-Structure of Manufacturing Establishments and the Productivity Differentials Between Large and Small Firms: A Comparative Study of Asian Economies. CIS Working Paper: 1998-7. Department of Economics, University of Toronto, Toronto. McConnell, J. and H. Servaes. 1990. Additional Evidence on Equity Ownership and Corporate Value. Journal of Financial Economics, 27: 595-612. Meier, G.M. 1995. Leading Issues in Economic Development. Finance and Development, Sixth Edition. Oxford Book, Oxford.
180 Mody, A. 1999. Industrial policy after the East Asian crisis: From Outward Orientation to New Internal Capabilities? The World Bank Development Prospects Group, The World Bank, Washington, D.C. Morck, R., A. Shleifer and R. Vishny. 1988. Management Ownership and Market Valuation: An Empirical Analysis. Journal of Financial Economics, 20: 293-315. Nam, C.W. 2002. Significance of Development Stage Theory for Explaining Industrial Growth Pattern Between Asian NICs and Selected Advanced Economies. CESifo Working Paper No. 662. CESifo, Munich. Ngiik, M., A. Wong and N. Amin. 2004. Globalization: Enhancing Competitiveness of the Small and Medium Industries Through Productivity Growth – The Case of Sarawak, Malaysia. Mara University Of Technology, Sarawak Branch Campus, Sarawak. North, D.C. 1991. Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Cambridge University Press, Cambridge. Nugent, J.B. and S. Yhee. 2001. Small and Medium Enterprises in Korea: Achievements, Constraints and Policy Issues. The International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), The World Bank, Washington, D.C. Olson, M. 1982. The Rise and Decline of Nations: Economic Growth, Stagflation and Social Rigidities. Yale University Press, New Haven. Ozawa, T. 2001. The “Hidden” Side of the “Flying Geese” Catch-up Model: Japan’s Disease Institutional Setup and a Deepening Financial Crisis. Journal of Asian Economics, No. 12. Peretto, P.F. 1999a. Firm Size, Rivalry and the Extent of the market in endogenous technological change. European Economic Review, 43:1747-1773. Peretto, P.F. 1999b. Cost Reduction, Entry and the Dynamics of Market Structure and Economic Growth. Journal of Monetary Economics, 43: 173-195. Poot, H., A. Kuyvenhoven and J.C. Jansen. 1992. Industrialization and Trade in Indonesia. Gadjah Mada University Press, Jogjakarta. Price, S. 1999. TFP Growth and the Transport Sector: A Dynamic Industry Panel Analysis. Class note. City University, Manhattan. Quah, D.T. 1997. TFP Myths for East Asia’s Fast-growing Economies. http://econ.lse.ac.uk/~dquah. Quinn, K. 2001. Interpreting Logistic Regression Models. Class note. Department of Political Science and the Center for Statistics and the Social Sciences, University of Washington, Seattle. Raymond, R. 2004. RBC Capital Markets Canadian Financial Services. CEO Conference Speech. National Bank of Canada, Toronto.
181 Reymondon, O. 1998. Market Turbulence and the Viability of the Growth of Firms: a Simulation Model. INTECH Euroconference, Industrial Structure, Innovation Dynamics and Technology Policy, Lisbon. Romer, P.M. 1986. Increasing Returns to Long-Run Growth. Journal of Political Economy, 94(5): 1002-1037. Romer, P.M. 1988. Endogenous Technological Change. University of Chicago Press, Chicago. Sato, Y. 2000. How did the Crisis Affect Small and Medium-sized Enterprises? from a Field Study of the Metal-working Industry in Java. Developing Economies, 38(4): 572-95. Schiffer, M. and B. Weder. 2001. Firm Size and the Business Environment: Worldwide Survey Results. Discussion Paper Number 43. International Finance Corporation, The World Bank, Washington, D.C. Schumpeter, J.A. 1961. In theory of Economic Development: an Inquiry into Profits, Capital, Credit, Interest and The Business Cycle. Oxford University Press, New York. SETNEG. 1995. Undang-Undang Nomor 9 Tahun. 1995. Tentang Usaha Kecil. Sekretariat Negara (SETNEG), Jakarta. Shepherd, W.G. 1985. The Economics of Industrial Organizations, 2nd Edition. Prentice-Hall International Editions, New Jersey. Siahaan, B. 2000. Industrialisasi di Indonesia – Sejak Periode Rehabilitasi Sampai Awal Reformasi. Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung. Snaith, B. and J. Walker. 2002a. The Theory of Medium Enterprise (The TOME). Paper on The First International Conference on Medium Sized: The Missing Middle. Durham University, Durham. Snaith, B. and J. Walker. 2002b. The Definition of the Medium Enterprise - A Management Accounting and Control System Approach? Paper on The First International Conference on Medium Sized: The Missing Middle. Durham University, Durham. Solow, R.M. 1956. A Contribution to the Theory of Economic Growth. Quarterly Journal of Economics, LXX: 65-94. Song, K.C. 1989. SME Development in South Korea and Technology Development Policies. The Korean Experience, in Forum ASEAN on SME Cooperation, Bangkok. Stewart-Smith, M.C. 1995. Industrial Structure and Regulation. Policy Research Working Paper No. 1491. The World Bank, Washington, D.C. Stiglitz, J.E. and S. Yusuf. 2001. Rethinking The East Asian Miracle. 'I'he International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), The World Bank, Washington, D.C.
182 Tambunan, M. 1999a. Desentralisasi dan Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah dalam Pembangunan Ekonomi Daerah dalam Analisis CSIS. Artikel Tahun XXVIII/1999, No.3. Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta. Tambunan, M. 2000. Indonesia’s New Challenges and Opportunities: Blueprint for Reform after the Economic Crisis. Journal East Asia, An International Quarterly, 18(2). Tambunan, M. 2002. Apakah Usaha Menengah Mengalami Stagnasi. Paper Staff. Center for Economic and Social Studies (CESS), Jakarta. Tambunan, M. 2003. Strategi Industrialisasi Berbasis Usaha Kecil dan Menengah: Sebuah Rekonstruksi pada Masa Pemulihan dan Pasca Krisis Ekonomi. Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tambunan, M., A. Ikhwan, L.T. Sunaryanto, Ubaidillah. 2002. The Great Vertical Immobility of Smaller Enterprises in Indonesia. Paper on The First International Conference on Medium Sized: The Missing Middle. Durham University, Durham. Tewari, M. and J. Goebel. 2002. Small Firm Competitiveness in a Trade Liberalized World. Lessons for Tamil Nadu. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Theil, H. 1971. Principles of Econometrics. John Wiley and Sons, New York. Tybout, J. 1998. Manufacturing Firms in Developing Countries: How Well Do They Do and Why? Georgetown University, Georgetown. UNCTAD. 2001a. Growing Micro and Small Enterprises in LDC's, The Missing Middle in LDC's: Why Micro and Small Enterprises are not Growing. United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD)¸ New York. Urata, S. 2000. Policy Recommendation for SME Promotion in the Republic of Indonesia. Ministry of International Trade and Industry (MITI), Tokyo. Urata, S. and H. Kawai. 2001. Technological Progress by Small and Medium Firms in Japan. The International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), The World Bank, Washington, D.C. Winter, S.G., Y.M. Kaniovski and G. Dosi. 2003. A Baseline Model of Industry Evolution. Journal Evolutionary Economic, 13: 355– 383. Wood, B. 2002. The Third Way: Fact or Fantasy. Paper on The First International Conference on Medium Sized: The Missing Middle. Durham University, Durham. World Bank. 1993. The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy. Oxford University Press, New York.
183 World Bank. 1998. World Bank Support for Small and Medium Industries in the Philippines: An Impact Evaluation. Report No. 18041. The World Bank, Washington, D.C.
184 DAFTAR BACAAN ADB. 2001. Best practice in providing BDS to SME. Policy Discussion Paper No. 2. Asian Development Bank Technical Assistantship, Jakarta. ADB. 2003. Strengthening Business Development Services: Mid-term Report. Asian Development Bank Technical Assistantship, Manila and Swisscontact Services AG, Zurich. ADB. 2004. Economic Growth and Poverty Reduction in Bangladesh. Asian Development Bank Bangladesh Resident Mission, JBIC Dhaka Office and JICA Bangladesh Office, Dhaka. Agrawal, N. 1996. The Benefits of Growth for Indonesian Workers. The World Bank, Washington, D.C. Akiyama, T. and J.R. Coleman. 1993. A Production Function-Based Policy Simulation Model of Perennial Commodity Markets. International Economics Department, The World Bark, Washington, D.C. Anas, A., K.S. Lee and M. Murray. 1996. Infrastructure Bottlenecks, Private Provision and Industrial Productivity: A Study of Indonesian and Thai Cities. Operations Evaluation Department Infrastructure and Energy Division, The World Bark, Washington, D.C. APEC. 2001. Case Studies in Regulatory and Administrative Reforms: Breaking Down The Barriers. A Report Prepared for the APEC Economic Leaders Meeting, Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) Secretariat, Singapore. Asasen, C., K. Asasen and N. Chuangcham. 2003. A Proposed ASEAN Policy Blueprint for SME Development 2004-2014. Human and Organizational Potential Development Centre, ASEAN Secretariat, Bangkok. Austin, J.E. 1981. Agroindustrial Project Analysis. EDI Series in Economic Development Published for The Economic Development Institute of the World Bank. The Johns Hopkins University Press, Baltimore and London. Bank of England. 2000. Finance For Small Firms: A Seventh Report. Bank Of England, London. Barghouti, S., C. Timmer and P. Siegel. 1990. Rural Diversification: Lessons from East Asia. The International Bank for Reconstruction Development, The World Bank, Washington, D.C. Barghouti, S., S. Kane, K. Sorby and M. Ali. 2004. Agricultural Diversification for the Poor: Guidelines for Practitioners. The International Bank for Reconstruction and Development, Agriculture and Rural Development Department, The World Bank, Washington, D.C.
185 Barth, J., D. McCarthy, T. Phumiwasana, S. Trimbath and G. Yago, 2002. Capital Access Index 2002. Missing Markets: Global Barriers to Financing the Future. Capital Studies Group, Milken Institute. Basu, S., J.G Fernald, N. Oulton and S. Srinivasan. 2003. Does Information Technology Explain Why Productivity Accelerated in the United States but not the United Kingdom? Bank of England, London. Behcri, M., T. Najah and J.B. Nugent. 1999. Anatomy of an Institutional Failure: Tunisia's Lending Program to SMEs. University of Tunisia-Sousse, Institut des Hautes Etudes Commerciales (IHEC), Tunis and the University of Southern California, California. Berry, A. 2000. The Task of the Small and Medium Enterprise Sector in Today's Latin America. Materials prepared for Summer Institute 2000. Robarts Centre for Canadian Studies, Ontario. Biggs, T.S. Is Small Beautiful and Worthy of Subsidy? A Literature Review. A Handout. Birch, C.J. and M. Clements. 2003. Engaging Small to Medium Sized Enterprises in Learning. Staffordshire University, Staffordshire. Boekholt, P. E. Arnold and J. Deuten, 2004. The role of Innovation Policy Agencies in the Finnish, Swedish and Flemish Innovation Systems: A Quick Scan on behalf of the Dutch Innovation Platform. Technopolis Group, Amsterdam. Boone, J. 2000. Competition. Center for Economic Research, Tilburg University, Tilburg. Bruce A. Blonigen, B.A. and V. Kolpin. 2002. Technology, Agglomeration and Regional Competition for Investment. NBER Working Paper Series No. 8862. National Bureau of Economic Research (NBER), Cambridge. Calomiris, C.W. 1995. Universal Banking and the Financing of Industrial Development. The World Bank, Washington, D.C. Carlin, W., S. Fries, M. Schaffer and P. Seabright. 2001. Competition and Enterprise Performance in Transition Economies Evidence from a Cross-country Survey. IDEI (Université de Toulouse), Toulouse. Carnevale, A.P. and D.M. Desrochers. 2002. The Missing Middle: Aligning Education and the Knowledge Economy. Educational Testing Service, The Office of Vocational and Adult Education, U.S. Department of Education, Washington, D.C. CEBI. 2002. Response to Canada’s Innovation Strategy. The Canadian eBusiness Initiative, Ottawa. Ceglie, G. and M. Dini. 1999. SME Cluster and Network Development in Developing Countries: The Experience of UNIDO. PSD
186 Technical Working Papers Series, Supporting Private Industry. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Choi, N. and D.Y. Kang. 1999. A Study on the Crisis, Recovery and Industrial Upgrading in Korea. Conference on Asian Corporate Recovery: Corporate Governance and Government Policy, Bangkok. Claessens, S., S. Djankov and T. Nenova. 2000. Corporate Risk around the world. The World Bank, Financial Sector Vice Presidency, Financial Sector Strategy and Policy Group, The World Bank, Washington, D.C. Cockerill, T. 2002. Medium Enterprises and the Euro. Paper on The First International Conference on Medium Sized: The Missing Middle. Durham University, Durham. Crain, W.M. and T.D. Hopkins. 2000. The Impact of Regulatory Costs on Small Firms. A Report for The Office of Advocacy, U. S. Small Business Administration. ?? Crego, A., D. Larson, R. Butzer and Y. Mundlak. 2001. A New Database On Investment and Capital for Agriculture and Manufacturing. The World Bank, Washington, D.C. DEPERIN. 2002. Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil Menengah 2002 – 2004, BUKU I. Kebijakan dan Strategi Umum Pengembangan Industri Kecil Menengah. Departemen Perindustrian Dan Perdagangan RI, Jakarta DEPERIN. 2003. Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil Menengah 2002 – 2004, BUKU II. Program Pengembangan Industri Kecil Menengah. Departemen Perindustrian Dan Perdagangan RI, Jakarta Dhanani, S. and P. Scholtès. 2002. Thailand’s Manufacturing Competitiveness: Promoting Technology, Productivity and Linkages. Small and Medium Enterprises Branch, Programme Development and Technical Cooperation Division, United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Dichter, T. and E. Kamuntu. 1997. UNDP Microfinance Assessment Report For Uganda. UNDP, New York. Djankov, S., R.L. Porta, F.L. de Silanes and A. Shleifer. 2002. The Regulation of Entry. The World Bank, Washington, D.C. Dwor-Frecaut, D., M. Hallward-Driemeier and F.X. Colaço. 2000. Corporate Credit Needs and Governance. The World Bank, Washington, D.C. EC. 1998. Guide: Crafts and Micro-Enterprises in United Kingdom. Market Access Working Group, European Commission, Enterprise Directorate-General, Euro Info Centre Network, London. ECA. 2001. Enhancing the Competitiveness of Small and Medium Enterprises in Africa: A Strategic Framework for Institutional Support.
187 Economic Commission for Africa, Mauritius. Engel, C. and C.S. Hakkio. 1994.The Distribution of Exchange Rates in the EMS. NBER Working Paper Series No. 4834. National Bureau of Economic Research (NBER), Cambridge. Engel, E., R. Fischer and A. Galetovic. 2002. Competition in or for the Field: Which is Better? NBER Working Paper Series 8869. National Bureau of Economic Research (NBER), Cambridge. Fadil, MA. 2000. A Survey of the Basic Features and Problems of the Informal Small and Micro-Enterprises in the Arab Region. Cairo University, Cairo. Forstner, H. and A. Isaksson. 2002. An Analysis of the World Technology Frontier When Memory is Infinite. SIN Working Paper Series No 7. Statistics and Information Networks Branch, United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Gal, W.S. 2001. Market Conditions Under the Magnifying Glass: General Prescriptions for Optimal Competition Policy for Small Market Economies. Working Paper CLB-01-004. New York University, Center for Law and Business, New York. Grigorian, D.A. and A. Martinez. 2000. Industrial Growth And Quality Of Institutions: What Do (Transition) Economies Have To Gain From The Rule Of Law? Private and Financial Sector Development Unit, Europe and Central Asia Region, The World Bank, Washington, D.C. Groot, T.U. 2001. Women Entrepreneurship Development in Selected African Countries. Working Paper No. 7. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Grossman, G.M. and E. Helpman. 1999. Incomplete Contracts and Industrial Organization. NBER Working Paper Series No. 7303. National Bureau of Economic Research (NBER), Cambridge. Gudger, M. 1998. Credit Guarantees: An Assessment of the State of Knowledge and New Avenues of Research. Agricultural Services Bulletin 129. Food and Agriculture Organization (FAO), Rome. Hamilton, L. 2001. SME’s Policy And Practices: A Comparative Case Study Of Success Determinants In Puerto Rico’s Firms. University of Puerto Rico-Mayagüez, Puerto-Rico. Harrold, P., M. Jayawickrama and D. Bhattasali, 1996. Practical Lessons for Africa from East Asia in Industrial and Trade Policies. The International Bank for Reconstruction and Development, The World Bank, Washington, D.C. Hope, E. and B. Singh. 1995. Energy Price Increases in Developing Countries, Case Studies of Colombia, Ghana, Indonesia, Malaysia, Turkey and Zimbabwe. Public Economics Division, The World Bank, Washington, D.C.
188 Hunt, R.M. 2004. Patentability, Industry Structure, And Innovation. Working Paper No. 01-13/R. Federal Reserve Bank of Philadelphia, Philadelphia. Islam, R. and C.E. Montenegro. 2002. What Determines the Quality of Institutions? Background paper for World Development Report 2002. The World Bank, Washington, D.C. Jackman, S. 2003. Models for Unordered Outcomes. A Class note. Department of Political Science, Stanford University, Stanford. Jenkins, H. 2004. Corporate Social Responsibility - Engaging Small and Medium Sized Enterprises in the Debate. Working Paper Series No. 18. The Centre for Business Relationships, Accountability, Sustainability and Society, Cardiff University, Cardiff. Jorgenson, D.W. and K. Nomura. 2004. Information Technology and Information Technology and the Japanese Growth Recovery. 17th Annual TRIO Conference, Keio University, Tokyo. Joy, L. 2000. Do Colleges Shortchange Women? Comparing Gender Differences In The Transition From College To Work. Statistical Commission And Working Paper No. 1. Conference of European Statisticians, Work Session on Gender Statistics, Orvieto. K. Nadvi. 1995. Industrial Clusters and Networks: Case Studies of SME Growth and Innovation. Paper Commissioned by the Small and Medium Enterprises Branch. Capacity-Building Division, United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Kameir, E.W. 2003. Identifying an Environment for Private Sector Development. Newsletter of the Economic Research Forum for the Arab Countries, Iran & Turkey, 10(3). Kameo, D.D. 1996. Social Economic Problems in Agricultural Development in East Nusa Tenggara and East Timor. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, XLIV(1), Jakarta. Kappel, R., J. Lay and S. Steiner. 2004. The Missing Links - Uganda’s Economic Reforms and Pro-Poor Growth. Report commissioned by Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ), Eschborn. Karikomi, S. 1998. The Development Strategy for SMEs in Malaysia. IDE APEC Study Center, Working Paper Series 97/98 - No. 4. AsiaPacific Economic Cooperation (APEC), Singapore. Kawai, M., H.J. Hahm and G. Iarossi. 1999. Corporate Foreign Borrowing in East Asia: Too Much, Too Little? The World Bank, Washington, D.C. Kazanjian, R. 1988. Relation of Dominant Problems to Stages of Growth in Technology-Based New Ventures. Academy of Management Journal 31(2): 257-279.
189 Kennedy, R.M. 1999. Private Sector Development Branch Investment Promotion and Institutional Capacity Building Division. PSD Technical Working Papers Series, Supporting Private Industry, Case Study on The Operation of Three Romanian Business Centers. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Koulovatianos, C. and L.J. Mirman. 2003. R&D Investment, Market Structure and Industry Growth. University of Cyprus, Department of Economics, Cyprus. Kraay, A., I. Soloaga and J. Tybout. Product Quality, Productive Efficiency and International Technology Diffusion: Evidence from PlantLevel Panel Data. Micro Foundations of International Technology Diffusion. The World Bank, Washington, D.C. Krishna, A. 2003. Understanding, Measuring and Utilizing Social Capital: Clarifying Concepts and Presenting a Field Application from India. CAPRi Working Papers. International Food Policy Research Institute (IFPRI), Washington, D.C. Kuhfeld, W.F. 2000. Multinomial Logit, Discrete Choice Modeling. An Introduction to Designing Choice Experiments and Collecting, Processing and Analyzing Choice Data with the SASR System. SAS Institute, http://www.sas.com/techsup/download/stat/. Lalkaka, R. 1997. Lessons from International Experience for the Promotion of Business Incubation Systems in Emerging Economies. Paper Commissioned by the Small and Medium Industries Branch, United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Lall, S., Z. Shalizi and U. Deichmann. 2001. Agglomeration Economies and Productivity in Indian Industry. The World Bank, Washington, D.C. Lall, S.V. and G.C. Radrigo. 1980. Perspectives on The Sources of Heterogeneity in Indian Industry. The World Bank, Washington, D.C. Lambert, R. 2002. Innovation and the Medium Enterprise: Analysis of Innovation Survey Result. Paper on The First International Conference on Medium Sized: The Missing Middle. Durham University, Durham. Larson, D.F. 1990. The Indonesia Vegetable Oils Sector: Modeling the Impact of Policy Changes. The World Bank, Washington, D.C. Lawrence, D. and E. Diewert. 1999. Measuring New Zealand’s Productivity. Report prepared for the Department of Labor, Reserve Bank of New Zealand and The Treasury, New Zealand. Leamer, E.E. and P. Lundborg. 1995. A Heckscher-Ohlin View of Sweden Competing in the Global Marketplace. NBER Working Paper Series No. 5114. National Bureau of Economic Research (NBER), Cambridge.
190 Lee, N. 2002. Strategic Impact Assessment for Enterprise Development. Institute for Development Policy and Management. EDIAS, IPM, WISE, and DFID, London León, I.D. 2000. A Market Process Analysis of Latin American Competition Policy. Paper Presented at the UNCTAD Regional Meeting on Competition Law and Policy, San Jose. Leopairote, M. 1999. Industrial Reform to Enhance Industrial Competitiveness: Implications and Strategies for SME Development. Asia-Pacific Regional Forum on Industry Bangkok, Thailand. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Levitsky, J. 1997. SME Guarantee Schemes: A Summary. The Financier 4(1 and 2), http://www.the-financier.com. Levy, B. 1996. South Africa-The Business Environment for Industrial Small and Medium Enterprises. Informal Discussion Paper No. 11, The World Bank, Washington, D.C. Levy, B., A. Berry, M. Itoh, L. Kim, J. Nugent and S. Urata. 1994. Technical and Marketing Support Systems for Successful Small and Medium-Size Enterprises in Four Countries. Working Paper 1400. Policy Research Department, The World Bank, Washington, D.C. Lewis, J.D. and S. Robinson. 1996. Partners or Predators? The Impact of Regional Trade Liberalization on Indonesia. The World Bank, Washington, D.C. Madani, D.H. 2001. South-South Regional Integration and Industrial Growth: The Case of the Andean Pact. PREM-EP Trade, The World Bank, Washington, D.C. Madill, J. and A. Riding. 2001. Early-Stage Markets for Equity Capital in Japan: An Exploratory Analysis of SME Owners’ Perceptions. Carleton University, Ottawa. Magiera, S.L. 2001. An Overview of Indonesia’s Trade Policy During the 1990's. Partnership for Economic Growth, Jakarta. Maxwell, J. and J. Holtzman. 1997. Innovative Approaches to Agribusiness Development in Sub-Saharan Africa. SD Publication Series, Technical Paper No. 79. Office of Sustainable Development, Bureau for Africa. Meardon, S. 2003. Geography, Trade and Regional Disparities: The Case of the Missing Middle of Mexico. Bowdoin College, Department of Economics, Brunswick. Melitz, M.J. 2002. The Impact of Trade on Intra-Industry Reallocations and Aggregate Industry Productivity. National Bureau of Economic Research (NBER), Cambridge. Miehlbradt, A.O. 2003. Building a Team For BDS Market Assessment and Key Issues to Consider When Starting BDS Market Assessment.
191 The Small Enterprise Education and Promotion (SEEP) Network, Washington, D.C. Mincu, A. and R.T. Pannesi. 2002. Medium Size Company Development in Central and Eastern Europe. Paper on The First International Conference on Medium Sized: The Missing Middle. Durham University, Durham. Mody, A. and F.Y. Wang. 1995. Explaining Industrial Growth in Coastal China: Economic Reforms and What Else? The World Bank, Washington, D.C. MOF, 2004. Enhancing Competitiveness for SMEs In Egypt: General Framework and Action Plan. Ministry of Finance, Kairo Muhanna, A. and A.A. Baker. 2001. Role of Small - businesses in the Palestinian Economy and Impact of Recent Israeli Economic Sanctions and Measures. General Secretariat and Research and Studies Unit, Jerusalem. Müller, J. 2004. Against All Odds: Reconciling the National Systems of Innovation in the South. Department of Development and Planning, Aalborg University, Aalborg. Mundlak, Y., D.F. Larson and R. Butzer. 2002. Determinants of Agricultural Growth in Indonesia, the Philippines and Thailand. Development Research Group: Rural Development, The World Bank, Washington, D.C. Naudé, W. and P.S. Zake. 2001. Manufactured In Africa - Why Not? Faculty of Economic and Management Sciences, Potchefstroom University and Department of Statistics, University of North West, Muldersdrift. Okuda, S. 2000. Industrialization Policies of Korea and Taiwan and Their Effects on Manufacturing Productivity. The Developing Economies, XXXV-4: 358–81 Pack, H. and C. Paxson. 1998. Inter-Industry Labor Mobility and Knowledge Spillovers in Taiwan, China. The World Bank, Washington, D.C. Petrin, A. and J. Levinsohn. 2004. Measuring and Mismeasuring Industry Productivity Growth Using Plant-level Data. University of Michigan, Michigan. Pinder, C. 2001. Training For Enterprise and Exports in Malawi (TEEM). TEEM's Project Memorandum with DFID. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Porter, M.E. 2001. The Competitive Advantage of Taiwan. Harvard Business School, Commonwealth Speech, Taipei. Ramsini, B. 2001. Association Between Race and Employment-Based Health Coverage. Center for Biostatistics, The Ohio State University, Ohio.
192 Ravicz, R.M. 1997. Searching for Sustainable Microfinance: A Review of Five Indonesian Initiatives. Rural Cluster, Development Economics Research Group, The World Bank, Washington, D.C. Raynard, P. and M. Forstater. 2002. Corporate Social Responsibility: Implications for Small and Medium Enterprises in Developing Countries. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Rodrik, D. 1988. Industrial Organization and Product Quality: Evidence from South Korean and Taiwanese Exports. NBER Working Paper Series No. 2722. National Bureau of Economic Research (NBER), Cambridge. Romijn, H. 2001. Technology Support for Small-scale Industry in Developing Countries: A Review of Concepts and Project Practices. Oxford Development Studies, 29(1). Rosa, P., W. Jayatilaka and S Kodithuwakku. 1997. The Potential Supply of University Educated Agribusiness Entrepreneurs: A Sri Lankan Perspective. University of Peradeniya, Peradeniya. Ross, L. 2000. Bank-Based or Market-Based Financial Systems: Which is Better? Carlson School of Management, University of Minnesota, Minnesota. Russo, F. and M. Gulati. 1999. Cluster Development and Promotion of Business Development Services (BDS): UNIDO’s Experience in India. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Saggi, K. 2000. Trade, Foreign Direct Investment and International Technology Transfer: A Survey. Department of Economics, Southern Methodist University, Dallas. Samuel, C. 1996. The Investment Decision: A Re-Examination of Competing Theories Using Panel Data. The World Bank, Washington, D.C. Sander, C. 2000. Bridging the Gaps of Market Failure and Asymmetries in Microfinance and Enterprise Financing. Presented to the International Discussion on the Challenge of SME Financing: The SME Financing Gap and New Financial Products for SMEs. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Schmitz Jr., J.A. 2005. What Determines Productivity? Lessons From the Dramatic Recovery of the U.S. and Canadian Iron Ore Industries Following Their Early 1980s Crisis. Research Department Staff Report 286. Federal Reserve Bank of Minneapolis, Minneapolis. Scott, C.D., R.M. Willett and R.D. Nowak. 2002. CORT: Classification Or Regression Trees. Department of Electrical and Computer Engineering, Rice University, Houston.
193 Scott, J.A. and W.C. Dunkelberg. 2001. Competition and Credit Market Outcomes: A Small Firm Perspective. Fox School of Business and Management, Temple University, Philadelphia. Shilling, J.D. 2004. Summary Report : Strengthening the Domestic Base for Participating the Global Economy in the 21st Century in Indonesia. United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD), New York. Sinn, H.W. 1999. The Competition Between Competition Rules. CESifo Working Paper Series No. 192. CESifo, Munich. Srinivas, S. 2000. Case of Public Interventions, Industrialization and Urbanization: Tirupur in Tamil Nadu, India. The World Bank, Washington, D.C. Steinmueller, E. and M.I. Bastos. 1995. Information and Communication Technologies: Growth, Competitiveness and Policy for Developing Nations. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Global Forum on Industry, New Delhi. Supriyanto, H. 2002. Dekomposisi dan Dinamika Sumber Pertumbuhan Industri Kecil dan Rumah Tangga di Indonesia: Analisis Total Factor Productivity. Thesis Master. Sekolah Pascasarjana, Intitut Pertanian Bogor, Bogor. Tambunan, M. 1989. Rural Industrialization for Employment and Income Generation in Indonesia. Paper on Symposium on Measure for Rural Employment Generation, Tokyo. Tambunan, M. 1995. The Raw Rattan Export Bans and the Impact on Industrial Development. Kelola, Gajah Mada University Business Review, Jogyakarta. Tambunan, M. 1999a. Indonesia’s New Challenges and Opportunities: Decentralization, Global Market, Regional Development and Good Governance. Conference Paper on Globalization and New Governance, Suwon City. Tambunan, M. 1999b. Strategy and Policy for Overcoming SMEs Obstacles and Constraint in Indonesia. Paper on Seminar on Small Medium Enterprise Development in Indonesia, Jakarta. Tambunan, M. 2001. The Export Market Institution Bottleneck and Rule of Trading House for Promoting Small and Medium Term Enterprises (SMEs) Export in Indonesia’. Yokohama Law Review 10(2). Tambunan, M. dan B. Isdidjoso. 1999. Economic Crisis Induced Unemployment: Can Agricultural and Rural Economy Play as the Save Heaven? Paper on Seminar Agricultural Sector during the Turbulence of Economic Crisis Lessons and Future Direction. CASER, Bogor. Tambunan, M. dan H. Gunardi. 1996. Perkreditan dan Usaha Kecil: Dinamika Permintaan. Paper pada Diskusi Ahli tentang Refleksi,
194 Replikasi dan Kebijakan Pengembangan Model-model Finansial dalam Memperkuat Usaha Kecil, Jakarta. Tambunan, M. dan Ubaidillah. 2001. Prospek Perdagangan Dalam Negeri dalam Era Desentralisasi dan Dampaknya atas Pembangunan Ekonomi Daerah. Makalah konferensi: Globalisasi. Perdagangan Domestik dan Desentralisasi, Jakarta. Tambunan, M. dan Ubaidillah. 2004. UKM dibawah Pemerintahan SBY_JK (2004-2009): Momentum baru menjadikan UKM berdaya saing dan Naik Kelas? Infokop, No. 25. Tambunan, T. 2000. Development of Small-scale Industries during the New Order Government in Indonesia. Ashgate¸ Aldershot. Tambunan, T. 2005. Rethinking Small And Medium Enterprise As A Growth Engine In Developing Economies. Faculty of Economics, University of Trisakti, Jakarta. Timberg, T.A. 1991. Small and Micro-Enterprise Finance in Indonesia: What Do We Know? Partnership for Economic Growth, Small Scale Credit Advisor, Bank Indonesia, Jakarta. Tybout, J.R. and T. Bark. 1988. Industrial Portfolio Responses to Macroeconomic Shocks: An Econometric Model for Developing Countries. Trade Policy Division, Country Economics Division, The World Bank, Washington, D.C. UNCTAD. 1997. Government-Private Sector Interaction, with a Particular Focus on the Participation of SMEs. Trade and Development Board, Commission on Enterprise, Facilitation and Development, United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD), New York. UNCTAD. 2000. Development Strategies and Support Services for SME's: Proceedings of Four Intergovernmental Expert Meetings. Volume I & Volume II. United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD), New York. UNCTAD. 2001a. Improving the Competitiveness of SMEs in Developing Countries: The Role of Finance to Enhance Enterprise Development. United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD), New York. UNCTAD. 2001b. Reports of the Expert Meeting on Improving the Competitive-ness of SME’s in Developing Countries: The Role of Finance, including E-Finance to Enhance Enterprise Development. United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD), New York. UNCTAD. 2002. Growing Micro and Small Enterprises in LDCs, The missing middle in LDCs: Why Micro and Small Enterprises are not Growing. UNCTAD/ITE/TEB/5. United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD), New York. UNIDO. 1997. Promoting Competitiveness in Agro-Related Industries Through Capacity Building in Least Developed Countries
195 (LDCs). United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) Secretariat, Vienna. UNIDO. 1999. Capacity Building for Private Sector Development in Africa. PSD Technical Working Papers Series. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. UNIDO. 2001. Building Productive Capacity for Poverty Alleviation in Least Developed Countries (LDC’s): The Role of Industry. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. UNIDO. 2003a. A Path Out of Poverty: Developing Rural and Women Entrepreneurship. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. UNIDO. 2003b. Capacity-building for Business Information Networking. The UNIDO Support Program, Small and Medium Enterprises Branch. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Waiquamdee, A. and Soravis. Corporates’ Views of the Constraints to Recovery Economic Research Department. Bank of Thailand, Bangkok. Walsh, S.T. and B.A. Kirchhoff. 2001. Technology Transfer From Government Labs To Entrepreneurs. New Jersey Institute of Technology, Newark. Wattanapruttipaisan, T. 2004. Intellectual Property Rights and Enterprise Development: Some Policy Issues and Options in Asean. AsiaPacific Development Journal 11(1). Weiss, J.D. 2004. Public Schools and Economic Development: What the Research Shows. KnowledgeWorks Foundation, Ohio. World Bank. 2002. The Role and Effectiveness of Development Assistance: Lessons from World Bank Experience. A Research Paper from the Development Economics Vice Presidency of the World Bank. The World Bank, Washington, D.C. Yu, C.C. and R.Chang. 2001. Developing Strengths of Small and Medium Enterprises in Taiwan. Lee and Li, Attorneys-At-Law, Taipei. Yumkella, K. and J. Vinanchiarachi. 2001. Leading Issues on Africa’s Path to Industrialization: The Role of Support Systems and Instruments. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Yumkella, K., T. Roepstorff, J. Vinanchiarachi and T. Hawkins. 1999. Globalization and Structural Transformation in Sub-Saharan Africa. Workshop on Agricultural Transformation in Africa, Nairobi, Kenya. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna.
175 World Bank, Washington, D.C. Belser, P. 2000. Vietnam: on the Road to Labor-Intensive Growth. Background paper for the Vietnam Development Report 2000, "Vietnam: Attacking Poverty", Joint Report of the Government of Vietnam –Donor- NGO. Poverty Working Group, The World Bank, Washington, D.C. Berger, A.N. and G.F. Udell. 2004. A More Complete Conceptual Framework for SME Finance. Prepared for presentation at the World Bank Conference on Small and Medium Enterprises: Overcoming Growth Constraints. The World Bank, Washington, D.C. Berry, A. and B. Levy. 1994. Indonesia's Small and Medium-Size Exporters and Their Support Systems. Working Paper 1402. Policy Research Department, The World Bank, Washington, D.C. Berry, A. and B. Levy. 1999. Technical, Marketing and Financial Support for Indonesia’s Small and Medium Industrial Exporters. In B. Levy, A. Berry and J. B. Nugent; with J. F. Escandon et al., Fulfilling the Export Potential of Small and Medium Firms. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht. Berry, A. and E. Rodriguez. 2001. Dynamics of Small and Medium Enterprises in a Slow-Growth Economy: The Philippines in the 1990s. The International Bank for Reconstruction and Development, The World Bank, Washington, D.C. Berry, A., E. Rodriguez and H. Sandee. 2001. Firm and Group Dynamics in the Small and Medium Enterprise Sector in Indonesia. The International Bank for Reconstruction and Development, The World Bank, Washington, D.C. Blunch, N.H. and D. Verner, 1999, Sector Growth and the Dual Economy Model: Evidence from Côte d’Ivoire, Ghana and Zimbabwe. The World Bank, Washington, D.C. BPS. 1996. Statistik Industri Besar dan Sedang 1996. Badan Pusat Statistika, Jakarta. BPS. 1997. Statistik Industri Besar dan Sedang 1997. Badan Pusat Statistika, Jakarta. BPS. 1998. Statistik Industri Besar dan Sedang 1998. Badan Pusat Statistika, Jakarta. BPS. 1999. Statistik Industri Besar dan Sedang 1999. Badan Pusat Statistika, Jakarta. BPS. 2000. Statistik Industri Besar dan Sedang 2000. Badan Pusat Statistika, Jakarta. BPS. 2002. Statistik Industri Besar dan Sedang 2002. Badan Pusat Statistika, Jakarta. Charles, S., M. Ivis and A. Leduc. 2002. Embracing e-Business: Does Size Matter? Connectedness Series, Statistics Canada, Ottawa.
176 Chenery, H. and M. Syrquin. 1977. Patterns of Development 1955-1975. Oxford University Press, London. Christiano, L.J. 2002. Class Notes on Total Factor Productivity. Northwestern University, Northwestern. Clague, C. and G. Rausser. 1991. The Emergence of Market Economies in Eastern Europe. Blackwell Publishers, Cambridge. Clague, C., P. Keefer, S. Knack and M. Olson. 1995. Reprinted July 1999. Contract-Intensive Money: Contract Enforcement, Property Rights and Economic Performance. Working Paper No. 151. Center for Institutional Reforms and Informal Sector, University of Maryland, Maryland. Conrad, K. 1997. An Econometric Model of Production with Endogenous Improvement in Energy Efficiency, 1970-1995. Mannheim University, Mannheim. Demirguc,-Kunt, A. and R. Levine. 1999. Financial Structures Across Countries: Stylized Facts. Policy Research Working Paper 2143. The World Bank, Washington, D.C. Demirguc,-Kunt, A. and V. Maksimovic. 2000. Funding Growth in BankBased and Market-Based Financial Systems: Evidence from Firm Level Data. Mimeo. Dhanani, S. 2000. Indonesia: Strategy for Manufacturing Competitiveness. Vol.II. Main Report. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Jakarta. Dosi G. and R.R. Nelson. 1994. An Introduction to Evolutionary Theories in Economics. Journal of Evolutionary Economics, 4(3): 153-172. DTI. 2004. Productivity in the UK: Benchmarking UK Productivity Performance. A Consultation on Productivity Indicators. Department of Trade and Industry (DTI), London. EEC. 1998. Enhancing European Competitiveness. Report of the Competitiveness Advisory Group. European Economic Commission (EEC), Brussels. Fajnzylber, P., W.F. Maloney and E. Ribeiro. 2001. Firm Entry and Exit, Labor Demand and Trade Reform: Evidence from Chile and Colombia. The World Bank, Washington, D.C. Fan, Y., M. Li and Z. Di. 2004. Increasing Returns to Scale, Dynamics of Industrial Structure and Size Distribution of Firms. Department of Systems Science, School of Management, Beijing Normal University, Beijing. Fisman, R. and I. Love. 2001. Trade Credit, Financial Intermediary Development and Industry Growth. The World Bank, Washington, D.C. Fuller, A., D. Ashton, A. Felstead, L. Unwin, S. Walters and M. Quinn. 2003. The Impact of Informal Learning at Work on Business Productivity. Department of Trade and Industry (DTI), London.
177 Galbraith, J.K. 1956. American Capitalism: The Concept of Countervailing Power. Houghton, Mifflin Co, Boston. Giaoutzi, M., P. Nijkamp and D.J. Storey (Ed). 1989. Small and Medium Size Enterprises and Regional Development. Routledge, London. Girma, S., M. Henry, R. Kneller and C.R. Milner. 2003. Thresholds and Interaction Effects in the Openness-Productivity Growth Relationship: The Role of Institutions and Natural Barriers. Research Paper 2003/32. The University of Nottingham, Nottingham. Gitosardjono, S.S. 2000. Perkembangan Dunia usaha, Organisasi Bisnis dan Ekonomi di Indonesia 1950-2000. PT Tema Baru, Jakarta. Greene, W.H. 2000. Econometric Analysis, 4th Ed. Prentice-Hall International (UK) Limited, London. Haarhoff, K. 2002. The UK’s Middle Market - A Statistical Approach to Defining The UK’s Mittelstaand. Paper on The First International Conference on Medium Sized: The Missing Middle. Durham University, Durham. Hallberg, K. 2000. A Market-Oriented Strategy For Small and Medium-Scale Enterprises. Discussion Paper Number 40. The World Bank, Washington, D.C. Hansen, H., J. Rand and F. Tarp. 2003. SME Growth and Survival in Vietnam: Did Direct Government Support Matter? Discussion Papers. Institute of Economics, University of Copenhagen, Copenhagen. Hashemi, F. 2000. An evolutionary model of the size distribution of firms. Journal Evolutionary Economic, 10: 507–521. Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri. LP3ES, Jakarta. Hayashi, M. 2002. Development of SMEs in the Indonesian Economy. School of Economics, Faculty of Economics and Commerce, Australian National University, Adelaide. Hayashi, M. 2004. Development of SMEs in the Indonesian Economy. School of Economics, Faculty of Economics and Commerce, Australian National University, Adelaide. Hill, H. 1988. Foreign Investment and Industrialization in Indonesia. Oxford University Press, Singapore. Hill, H. 1996. The Indonesian Economy since 1966: Southeast Asia’s Emerging Giant. Cambridge University Press, Cambridge. Hill, H. 2001. Small and Medium Enterprises in Indonesia: Old Policy Challenges for a New Administration. Asian Survey, 41(2): 248-70. Hirschman, A.O. 1958. The Strategy of Economic Development. Yale University Press, New Haven. Hoselitz, B.F. 1959. Small Industry in Underdeveloped Countries. Journal of Economic History, 19(1). Reprinted in I. Livingston (Ed.). 1961.
178 Development Economics and Policy: Readings. George Allen and Unwin. Hoverstadt, P. and D. Bowling. 2002. Complexities and Growth of Medium Sized Enterprises. Paper on The First International Conference on Medium Sized: The Missing Middle. Durham University, Durham. Hulten, C. and Srinivasan, S. 1999. Indian Manufacturing Industry: Elephant or Tiger? New Evidence on the Asian Miracle. National Bureau of Economic Research (NBER), Cambridge. Humphrey, J. and H. Schmitz. 1995. Principles for Promoting Clusters and Networks of SMEs. Paper Commissioned by the Small and Medium Enterprises Branch, Capacity-Building Division. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. ILO. 2000. Productivity and Management Development. Job Creation and Enterprise Department, International Labour Office, Geneva. IMPM. 1987. Kebijakan Pengembangan Usaha Skala Kecil Dalam Era Pembangunan Ekonomi Indonesia. Institut Manajemen Prasetya Mulya (IMPM), Jakarta. Isaksson, A. 2002. Access To Formal Finance in Kenyan Manufacturing. SIN Working Paper Series, No 3. Statistics and Information Networks Branch, United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna Isaksson, A. 2002. The Importance Of Human Capital For The Trade-Growth Link. Working Paper No 2. Statistics and Information Networks Branch, United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Johnson, S. W. Thomas and D.J. Webber. 2004. Who uses External Business Advice? A Multivariate Probit Analysis with Sector Effects. School of Economics, University of the West of England, Bristol. Jorgenson, D.W., F.M. Gollop and B.M. Fraumeni. 1987. Productivity and US Economic Growth. Harvard University Press, Cambridge. Kang, M. 2001. Bank Loans to Microenterprises, SMEs and Poor Households in Korea: Country Study of The Republic of Korea. ESCAPADB Joint Workshop on Mobilizing Domestic Finance for Development: Reassessment of Bank Finance and Debt Markets in Asia and the Pacific. Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP), Bangkok. Keasy, K. and R. Watson. 1993. Small Firm Management, Blackwell, Oxford. Kim. L. and J.B. Nugent. 1994. Small and Medium-Size Enterprises and Their Support Systems. Policy Research Department, Finance and Private Sector Development Division, The World Bank, Washington, D.C.
179 Kisaame, J. 2004. Vendor Financing in Input Markets, Case Study of DFCU Leasing Company-Uganda. US Agency for International Development (USAID) and Systems Collaborative Research Support Program (BASIS-CRSP) and the World Council of Credit Unions, Inc. (WOCCU). Paper for the DRUID Summer Conference 2004 on Industrial Dynamics, Innovation And Development, Ellsinore. Knack, S. and P. Keefer. 1995. Institutions and Economic Performance: Empirical Tests using Alternative measures of Institutions. Economics and Politics, 7(3). Kwasnicki, W. and H. Kwasnicka. 1992. Market, Innovation, Competition: an Evolutionary Model of Industrial Dynamics. Journal of Economic Behavior and Organization, 19: 343-368. Levy, B. 1991. Obstacles to Developing Small and Medium-Sized Enterprises – An Empirical Assessment. Working Paper No. 588. The World Bank, Washington, D.C. Lieberman, I.W. 1990. Industrial Restructuring Policy and Practice. Industry and Energy Department, The World Bank, Washington, D.C. Liedholm, C. 2001. Small Firm Dynamics: Evidence from Africa and Latin America. The International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), The World Bank, Washington, D.C. Livingstone, I. (Ed.). 1981. Development Economic and Policy Readings. George Allen and Unwin LTD, Boston. Lucas, R.E. 1988. On the Mechanics of Economic Development. Journal of Monetary Economics XXII: 3-42. Marks, D. 2005. To Invest or not to Invest? How Indonesia’s Capacity Utilization Rate Affects Its Medium-Term Growth Potential. Masterscriptie. Universiteit van Amsterdam, Amsterdam. Martin, R. 2002. Firm Size and Productivity. Centre for Research into Business Activity, www.CeRiBA.org.uk. Martin, W. and D. Mitra. 1998. “Productivity Growth and Convergence in Agriculture and Manufacturing,” Development Research Group, The World Bank and Dept. of Economics, Florida International University, Washington, D.C. and Miami, Florida. Mazumdar, D. 1998. Size-Structure of Manufacturing Establishments and the Productivity Differentials Between Large and Small Firms: A Comparative Study of Asian Economies. CIS Working Paper: 1998-7. Department of Economics, University of Toronto, Toronto. McConnell, J. and H. Servaes. 1990. Additional Evidence on Equity Ownership and Corporate Value. Journal of Financial Economics, 27: 595-612. Meier, G.M. 1995. Leading Issues in Economic Development. Finance and Development, Sixth Edition. Oxford Book, Oxford.
180 Mody, A. 1999. Industrial policy after the East Asian crisis: From Outward Orientation to New Internal Capabilities? The World Bank Development Prospects Group, The World Bank, Washington, D.C. Morck, R., A. Shleifer and R. Vishny. 1988. Management Ownership and Market Valuation: An Empirical Analysis. Journal of Financial Economics, 20: 293-315. Nam, C.W. 2002. Significance of Development Stage Theory for Explaining Industrial Growth Pattern Between Asian NICs and Selected Advanced Economies. CESifo Working Paper No. 662. CESifo, Munich. Ngiik, M., A. Wong and N. Amin. 2004. Globalization: Enhancing Competitiveness of the Small and Medium Industries Through Productivity Growth – The Case of Sarawak, Malaysia. Mara University Of Technology, Sarawak Branch Campus, Sarawak. North, D.C. 1991. Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Cambridge University Press, Cambridge. Nugent, J.B. and S. Yhee. 2001. Small and Medium Enterprises in Korea: Achievements, Constraints and Policy Issues. The International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), The World Bank, Washington, D.C. Olson, M. 1982. The Rise and Decline of Nations: Economic Growth, Stagflation and Social Rigidities. Yale University Press, New Haven. Ozawa, T. 2001. The “Hidden” Side of the “Flying Geese” Catch-up Model: Japan’s Disease Institutional Setup and a Deepening Financial Crisis. Journal of Asian Economics, No. 12. Peretto, P.F. 1999a. Firm Size, Rivalry and the Extent of the market in endogenous technological change. European Economic Review, 43:1747-1773. Peretto, P.F. 1999b. Cost Reduction, Entry and the Dynamics of Market Structure and Economic Growth. Journal of Monetary Economics, 43: 173-195. Poot, H., A. Kuyvenhoven and J.C. Jansen. 1992. Industrialization and Trade in Indonesia. Gadjah Mada University Press, Jogjakarta. Price, S. 1999. TFP Growth and the Transport Sector: A Dynamic Industry Panel Analysis. Class note. City University, Manhattan. Quah, D.T. 1997. TFP Myths for East Asia’s Fast-growing Economies. http://econ.lse.ac.uk/~dquah. Quinn, K. 2001. Interpreting Logistic Regression Models. Class note. Department of Political Science and the Center for Statistics and the Social Sciences, University of Washington, Seattle. Raymond, R. 2004. RBC Capital Markets Canadian Financial Services. CEO Conference Speech. National Bank of Canada, Toronto.
181 Reymondon, O. 1998. Market Turbulence and the Viability of the Growth of Firms: a Simulation Model. INTECH Euroconference, Industrial Structure, Innovation Dynamics and Technology Policy, Lisbon. Romer, P.M. 1986. Increasing Returns to Long-Run Growth. Journal of Political Economy, 94(5): 1002-1037. Romer, P.M. 1988. Endogenous Technological Change. University of Chicago Press, Chicago. Sato, Y. 2000. How did the Crisis Affect Small and Medium-sized Enterprises? from a Field Study of the Metal-working Industry in Java. Developing Economies, 38(4): 572-95. Schiffer, M. and B. Weder. 2001. Firm Size and the Business Environment: Worldwide Survey Results. Discussion Paper Number 43. International Finance Corporation, The World Bank, Washington, D.C. Schumpeter, J.A. 1961. In theory of Economic Development: an Inquiry into Profits, Capital, Credit, Interest and The Business Cycle. Oxford University Press, New York. SETNEG. 1995. Undang-Undang Nomor 9 Tahun. 1995. Tentang Usaha Kecil. Sekretariat Negara (SETNEG), Jakarta. Shepherd, W.G. 1985. The Economics of Industrial Organizations, 2nd Edition. Prentice-Hall International Editions, New Jersey. Siahaan, B. 2000. Industrialisasi di Indonesia – Sejak Periode Rehabilitasi Sampai Awal Reformasi. Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung. Snaith, B. and J. Walker. 2002a. The Theory of Medium Enterprise (The TOME). Paper on The First International Conference on Medium Sized: The Missing Middle. Durham University, Durham. Snaith, B. and J. Walker. 2002b. The Definition of the Medium Enterprise - A Management Accounting and Control System Approach? Paper on The First International Conference on Medium Sized: The Missing Middle. Durham University, Durham. Solow, R.M. 1956. A Contribution to the Theory of Economic Growth. Quarterly Journal of Economics, LXX: 65-94. Song, K.C. 1989. SME Development in South Korea and Technology Development Policies. The Korean Experience, in Forum ASEAN on SME Cooperation, Bangkok. Stewart-Smith, M.C. 1995. Industrial Structure and Regulation. Policy Research Working Paper No. 1491. The World Bank, Washington, D.C. Stiglitz, J.E. and S. Yusuf. 2001. Rethinking The East Asian Miracle. 'I'he International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), The World Bank, Washington, D.C.
182 Tambunan, M. 1999a. Desentralisasi dan Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah dalam Pembangunan Ekonomi Daerah dalam Analisis CSIS. Artikel Tahun XXVIII/1999, No.3. Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta. Tambunan, M. 2000. Indonesia’s New Challenges and Opportunities: Blueprint for Reform after the Economic Crisis. Journal East Asia, An International Quarterly, 18(2). Tambunan, M. 2002. Apakah Usaha Menengah Mengalami Stagnasi. Paper Staff. Center for Economic and Social Studies (CESS), Jakarta. Tambunan, M. 2003. Strategi Industrialisasi Berbasis Usaha Kecil dan Menengah: Sebuah Rekonstruksi pada Masa Pemulihan dan Pasca Krisis Ekonomi. Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tambunan, M., A. Ikhwan, L.T. Sunaryanto, Ubaidillah. 2002. The Great Vertical Immobility of Smaller Enterprises in Indonesia. Paper on The First International Conference on Medium Sized: The Missing Middle. Durham University, Durham. Tewari, M. and J. Goebel. 2002. Small Firm Competitiveness in a Trade Liberalized World. Lessons for Tamil Nadu. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Theil, H. 1971. Principles of Econometrics. John Wiley and Sons, New York. Tybout, J. 1998. Manufacturing Firms in Developing Countries: How Well Do They Do and Why? Georgetown University, Georgetown. UNCTAD. 2001a. Growing Micro and Small Enterprises in LDC's, The Missing Middle in LDC's: Why Micro and Small Enterprises are not Growing. United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD)¸ New York. Urata, S. 2000. Policy Recommendation for SME Promotion in the Republic of Indonesia. Ministry of International Trade and Industry (MITI), Tokyo. Urata, S. and H. Kawai. 2001. Technological Progress by Small and Medium Firms in Japan. The International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), The World Bank, Washington, D.C. Winter, S.G., Y.M. Kaniovski and G. Dosi. 2003. A Baseline Model of Industry Evolution. Journal Evolutionary Economic, 13: 355– 383. Wood, B. 2002. The Third Way: Fact or Fantasy. Paper on The First International Conference on Medium Sized: The Missing Middle. Durham University, Durham. World Bank. 1993. The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy. Oxford University Press, New York.
183 World Bank. 1998. World Bank Support for Small and Medium Industries in the Philippines: An Impact Evaluation. Report No. 18041. The World Bank, Washington, D.C.
184 DAFTAR BACAAN ADB. 2001. Best practice in providing BDS to SME. Policy Discussion Paper No. 2. Asian Development Bank Technical Assistantship, Jakarta. ADB. 2003. Strengthening Business Development Services: Mid-term Report. Asian Development Bank Technical Assistantship, Manila and Swisscontact Services AG, Zurich. ADB. 2004. Economic Growth and Poverty Reduction in Bangladesh. Asian Development Bank Bangladesh Resident Mission, JBIC Dhaka Office and JICA Bangladesh Office, Dhaka. Agrawal, N. 1996. The Benefits of Growth for Indonesian Workers. The World Bank, Washington, D.C. Akiyama, T. and J.R. Coleman. 1993. A Production Function-Based Policy Simulation Model of Perennial Commodity Markets. International Economics Department, The World Bark, Washington, D.C. Anas, A., K.S. Lee and M. Murray. 1996. Infrastructure Bottlenecks, Private Provision and Industrial Productivity: A Study of Indonesian and Thai Cities. Operations Evaluation Department Infrastructure and Energy Division, The World Bark, Washington, D.C. APEC. 2001. Case Studies in Regulatory and Administrative Reforms: Breaking Down The Barriers. A Report Prepared for the APEC Economic Leaders Meeting, Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) Secretariat, Singapore. Asasen, C., K. Asasen and N. Chuangcham. 2003. A Proposed ASEAN Policy Blueprint for SME Development 2004-2014. Human and Organizational Potential Development Centre, ASEAN Secretariat, Bangkok. Austin, J.E. 1981. Agroindustrial Project Analysis. EDI Series in Economic Development Published for The Economic Development Institute of the World Bank. The Johns Hopkins University Press, Baltimore and London. Bank of England. 2000. Finance For Small Firms: A Seventh Report. Bank Of England, London. Barghouti, S., C. Timmer and P. Siegel. 1990. Rural Diversification: Lessons from East Asia. The International Bank for Reconstruction Development, The World Bank, Washington, D.C. Barghouti, S., S. Kane, K. Sorby and M. Ali. 2004. Agricultural Diversification for the Poor: Guidelines for Practitioners. The International Bank for Reconstruction and Development, Agriculture and Rural Development Department, The World Bank, Washington, D.C.
185 Barth, J., D. McCarthy, T. Phumiwasana, S. Trimbath and G. Yago, 2002. Capital Access Index 2002. Missing Markets: Global Barriers to Financing the Future. Capital Studies Group, Milken Institute. Basu, S., J.G Fernald, N. Oulton and S. Srinivasan. 2003. Does Information Technology Explain Why Productivity Accelerated in the United States but not the United Kingdom? Bank of England, London. Behcri, M., T. Najah and J.B. Nugent. 1999. Anatomy of an Institutional Failure: Tunisia's Lending Program to SMEs. University of Tunisia-Sousse, Institut des Hautes Etudes Commerciales (IHEC), Tunis and the University of Southern California, California. Berry, A. 2000. The Task of the Small and Medium Enterprise Sector in Today's Latin America. Materials prepared for Summer Institute 2000. Robarts Centre for Canadian Studies, Ontario. Biggs, T.S. Is Small Beautiful and Worthy of Subsidy? A Literature Review. A Handout. Birch, C.J. and M. Clements. 2003. Engaging Small to Medium Sized Enterprises in Learning. Staffordshire University, Staffordshire. Boekholt, P. E. Arnold and J. Deuten, 2004. The role of Innovation Policy Agencies in the Finnish, Swedish and Flemish Innovation Systems: A Quick Scan on behalf of the Dutch Innovation Platform. Technopolis Group, Amsterdam. Boone, J. 2000. Competition. Center for Economic Research, Tilburg University, Tilburg. Bruce A. Blonigen, B.A. and V. Kolpin. 2002. Technology, Agglomeration and Regional Competition for Investment. NBER Working Paper Series No. 8862. National Bureau of Economic Research (NBER), Cambridge. Calomiris, C.W. 1995. Universal Banking and the Financing of Industrial Development. The World Bank, Washington, D.C. Carlin, W., S. Fries, M. Schaffer and P. Seabright. 2001. Competition and Enterprise Performance in Transition Economies Evidence from a Cross-country Survey. IDEI (Université de Toulouse), Toulouse. Carnevale, A.P. and D.M. Desrochers. 2002. The Missing Middle: Aligning Education and the Knowledge Economy. Educational Testing Service, The Office of Vocational and Adult Education, U.S. Department of Education, Washington, D.C. CEBI. 2002. Response to Canada’s Innovation Strategy. The Canadian eBusiness Initiative, Ottawa. Ceglie, G. and M. Dini. 1999. SME Cluster and Network Development in Developing Countries: The Experience of UNIDO. PSD
186 Technical Working Papers Series, Supporting Private Industry. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Choi, N. and D.Y. Kang. 1999. A Study on the Crisis, Recovery and Industrial Upgrading in Korea. Conference on Asian Corporate Recovery: Corporate Governance and Government Policy, Bangkok. Claessens, S., S. Djankov and T. Nenova. 2000. Corporate Risk around the world. The World Bank, Financial Sector Vice Presidency, Financial Sector Strategy and Policy Group, The World Bank, Washington, D.C. Cockerill, T. 2002. Medium Enterprises and the Euro. Paper on The First International Conference on Medium Sized: The Missing Middle. Durham University, Durham. Crain, W.M. and T.D. Hopkins. 2000. The Impact of Regulatory Costs on Small Firms. A Report for The Office of Advocacy, U. S. Small Business Administration. ?? Crego, A., D. Larson, R. Butzer and Y. Mundlak. 2001. A New Database On Investment and Capital for Agriculture and Manufacturing. The World Bank, Washington, D.C. DEPERIN. 2002. Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil Menengah 2002 – 2004, BUKU I. Kebijakan dan Strategi Umum Pengembangan Industri Kecil Menengah. Departemen Perindustrian Dan Perdagangan RI, Jakarta DEPERIN. 2003. Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil Menengah 2002 – 2004, BUKU II. Program Pengembangan Industri Kecil Menengah. Departemen Perindustrian Dan Perdagangan RI, Jakarta Dhanani, S. and P. Scholtès. 2002. Thailand’s Manufacturing Competitiveness: Promoting Technology, Productivity and Linkages. Small and Medium Enterprises Branch, Programme Development and Technical Cooperation Division, United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Dichter, T. and E. Kamuntu. 1997. UNDP Microfinance Assessment Report For Uganda. UNDP, New York. Djankov, S., R.L. Porta, F.L. de Silanes and A. Shleifer. 2002. The Regulation of Entry. The World Bank, Washington, D.C. Dwor-Frecaut, D., M. Hallward-Driemeier and F.X. Colaço. 2000. Corporate Credit Needs and Governance. The World Bank, Washington, D.C. EC. 1998. Guide: Crafts and Micro-Enterprises in United Kingdom. Market Access Working Group, European Commission, Enterprise Directorate-General, Euro Info Centre Network, London. ECA. 2001. Enhancing the Competitiveness of Small and Medium Enterprises in Africa: A Strategic Framework for Institutional Support.
187 Economic Commission for Africa, Mauritius. Engel, C. and C.S. Hakkio. 1994.The Distribution of Exchange Rates in the EMS. NBER Working Paper Series No. 4834. National Bureau of Economic Research (NBER), Cambridge. Engel, E., R. Fischer and A. Galetovic. 2002. Competition in or for the Field: Which is Better? NBER Working Paper Series 8869. National Bureau of Economic Research (NBER), Cambridge. Fadil, MA. 2000. A Survey of the Basic Features and Problems of the Informal Small and Micro-Enterprises in the Arab Region. Cairo University, Cairo. Forstner, H. and A. Isaksson. 2002. An Analysis of the World Technology Frontier When Memory is Infinite. SIN Working Paper Series No 7. Statistics and Information Networks Branch, United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Gal, W.S. 2001. Market Conditions Under the Magnifying Glass: General Prescriptions for Optimal Competition Policy for Small Market Economies. Working Paper CLB-01-004. New York University, Center for Law and Business, New York. Grigorian, D.A. and A. Martinez. 2000. Industrial Growth And Quality Of Institutions: What Do (Transition) Economies Have To Gain From The Rule Of Law? Private and Financial Sector Development Unit, Europe and Central Asia Region, The World Bank, Washington, D.C. Groot, T.U. 2001. Women Entrepreneurship Development in Selected African Countries. Working Paper No. 7. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Grossman, G.M. and E. Helpman. 1999. Incomplete Contracts and Industrial Organization. NBER Working Paper Series No. 7303. National Bureau of Economic Research (NBER), Cambridge. Gudger, M. 1998. Credit Guarantees: An Assessment of the State of Knowledge and New Avenues of Research. Agricultural Services Bulletin 129. Food and Agriculture Organization (FAO), Rome. Hamilton, L. 2001. SME’s Policy And Practices: A Comparative Case Study Of Success Determinants In Puerto Rico’s Firms. University of Puerto Rico-Mayagüez, Puerto-Rico. Harrold, P., M. Jayawickrama and D. Bhattasali, 1996. Practical Lessons for Africa from East Asia in Industrial and Trade Policies. The International Bank for Reconstruction and Development, The World Bank, Washington, D.C. Hope, E. and B. Singh. 1995. Energy Price Increases in Developing Countries, Case Studies of Colombia, Ghana, Indonesia, Malaysia, Turkey and Zimbabwe. Public Economics Division, The World Bank, Washington, D.C.
188 Hunt, R.M. 2004. Patentability, Industry Structure, And Innovation. Working Paper No. 01-13/R. Federal Reserve Bank of Philadelphia, Philadelphia. Islam, R. and C.E. Montenegro. 2002. What Determines the Quality of Institutions? Background paper for World Development Report 2002. The World Bank, Washington, D.C. Jackman, S. 2003. Models for Unordered Outcomes. A Class note. Department of Political Science, Stanford University, Stanford. Jenkins, H. 2004. Corporate Social Responsibility - Engaging Small and Medium Sized Enterprises in the Debate. Working Paper Series No. 18. The Centre for Business Relationships, Accountability, Sustainability and Society, Cardiff University, Cardiff. Jorgenson, D.W. and K. Nomura. 2004. Information Technology and Information Technology and the Japanese Growth Recovery. 17th Annual TRIO Conference, Keio University, Tokyo. Joy, L. 2000. Do Colleges Shortchange Women? Comparing Gender Differences In The Transition From College To Work. Statistical Commission And Working Paper No. 1. Conference of European Statisticians, Work Session on Gender Statistics, Orvieto. K. Nadvi. 1995. Industrial Clusters and Networks: Case Studies of SME Growth and Innovation. Paper Commissioned by the Small and Medium Enterprises Branch. Capacity-Building Division, United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Kameir, E.W. 2003. Identifying an Environment for Private Sector Development. Newsletter of the Economic Research Forum for the Arab Countries, Iran & Turkey, 10(3). Kameo, D.D. 1996. Social Economic Problems in Agricultural Development in East Nusa Tenggara and East Timor. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, XLIV(1), Jakarta. Kappel, R., J. Lay and S. Steiner. 2004. The Missing Links - Uganda’s Economic Reforms and Pro-Poor Growth. Report commissioned by Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ), Eschborn. Karikomi, S. 1998. The Development Strategy for SMEs in Malaysia. IDE APEC Study Center, Working Paper Series 97/98 - No. 4. AsiaPacific Economic Cooperation (APEC), Singapore. Kawai, M., H.J. Hahm and G. Iarossi. 1999. Corporate Foreign Borrowing in East Asia: Too Much, Too Little? The World Bank, Washington, D.C. Kazanjian, R. 1988. Relation of Dominant Problems to Stages of Growth in Technology-Based New Ventures. Academy of Management Journal 31(2): 257-279.
189 Kennedy, R.M. 1999. Private Sector Development Branch Investment Promotion and Institutional Capacity Building Division. PSD Technical Working Papers Series, Supporting Private Industry, Case Study on The Operation of Three Romanian Business Centers. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Koulovatianos, C. and L.J. Mirman. 2003. R&D Investment, Market Structure and Industry Growth. University of Cyprus, Department of Economics, Cyprus. Kraay, A., I. Soloaga and J. Tybout. Product Quality, Productive Efficiency and International Technology Diffusion: Evidence from PlantLevel Panel Data. Micro Foundations of International Technology Diffusion. The World Bank, Washington, D.C. Krishna, A. 2003. Understanding, Measuring and Utilizing Social Capital: Clarifying Concepts and Presenting a Field Application from India. CAPRi Working Papers. International Food Policy Research Institute (IFPRI), Washington, D.C. Kuhfeld, W.F. 2000. Multinomial Logit, Discrete Choice Modeling. An Introduction to Designing Choice Experiments and Collecting, Processing and Analyzing Choice Data with the SASR System. SAS Institute, http://www.sas.com/techsup/download/stat/. Lalkaka, R. 1997. Lessons from International Experience for the Promotion of Business Incubation Systems in Emerging Economies. Paper Commissioned by the Small and Medium Industries Branch, United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Lall, S., Z. Shalizi and U. Deichmann. 2001. Agglomeration Economies and Productivity in Indian Industry. The World Bank, Washington, D.C. Lall, S.V. and G.C. Radrigo. 1980. Perspectives on The Sources of Heterogeneity in Indian Industry. The World Bank, Washington, D.C. Lambert, R. 2002. Innovation and the Medium Enterprise: Analysis of Innovation Survey Result. Paper on The First International Conference on Medium Sized: The Missing Middle. Durham University, Durham. Larson, D.F. 1990. The Indonesia Vegetable Oils Sector: Modeling the Impact of Policy Changes. The World Bank, Washington, D.C. Lawrence, D. and E. Diewert. 1999. Measuring New Zealand’s Productivity. Report prepared for the Department of Labor, Reserve Bank of New Zealand and The Treasury, New Zealand. Leamer, E.E. and P. Lundborg. 1995. A Heckscher-Ohlin View of Sweden Competing in the Global Marketplace. NBER Working Paper Series No. 5114. National Bureau of Economic Research (NBER), Cambridge.
190 Lee, N. 2002. Strategic Impact Assessment for Enterprise Development. Institute for Development Policy and Management. EDIAS, IPM, WISE, and DFID, London León, I.D. 2000. A Market Process Analysis of Latin American Competition Policy. Paper Presented at the UNCTAD Regional Meeting on Competition Law and Policy, San Jose. Leopairote, M. 1999. Industrial Reform to Enhance Industrial Competitiveness: Implications and Strategies for SME Development. Asia-Pacific Regional Forum on Industry Bangkok, Thailand. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Levitsky, J. 1997. SME Guarantee Schemes: A Summary. The Financier 4(1 and 2), http://www.the-financier.com. Levy, B. 1996. South Africa-The Business Environment for Industrial Small and Medium Enterprises. Informal Discussion Paper No. 11, The World Bank, Washington, D.C. Levy, B., A. Berry, M. Itoh, L. Kim, J. Nugent and S. Urata. 1994. Technical and Marketing Support Systems for Successful Small and Medium-Size Enterprises in Four Countries. Working Paper 1400. Policy Research Department, The World Bank, Washington, D.C. Lewis, J.D. and S. Robinson. 1996. Partners or Predators? The Impact of Regional Trade Liberalization on Indonesia. The World Bank, Washington, D.C. Madani, D.H. 2001. South-South Regional Integration and Industrial Growth: The Case of the Andean Pact. PREM-EP Trade, The World Bank, Washington, D.C. Madill, J. and A. Riding. 2001. Early-Stage Markets for Equity Capital in Japan: An Exploratory Analysis of SME Owners’ Perceptions. Carleton University, Ottawa. Magiera, S.L. 2001. An Overview of Indonesia’s Trade Policy During the 1990's. Partnership for Economic Growth, Jakarta. Maxwell, J. and J. Holtzman. 1997. Innovative Approaches to Agribusiness Development in Sub-Saharan Africa. SD Publication Series, Technical Paper No. 79. Office of Sustainable Development, Bureau for Africa. Meardon, S. 2003. Geography, Trade and Regional Disparities: The Case of the Missing Middle of Mexico. Bowdoin College, Department of Economics, Brunswick. Melitz, M.J. 2002. The Impact of Trade on Intra-Industry Reallocations and Aggregate Industry Productivity. National Bureau of Economic Research (NBER), Cambridge. Miehlbradt, A.O. 2003. Building a Team For BDS Market Assessment and Key Issues to Consider When Starting BDS Market Assessment.
191 The Small Enterprise Education and Promotion (SEEP) Network, Washington, D.C. Mincu, A. and R.T. Pannesi. 2002. Medium Size Company Development in Central and Eastern Europe. Paper on The First International Conference on Medium Sized: The Missing Middle. Durham University, Durham. Mody, A. and F.Y. Wang. 1995. Explaining Industrial Growth in Coastal China: Economic Reforms and What Else? The World Bank, Washington, D.C. MOF, 2004. Enhancing Competitiveness for SMEs In Egypt: General Framework and Action Plan. Ministry of Finance, Kairo Muhanna, A. and A.A. Baker. 2001. Role of Small - businesses in the Palestinian Economy and Impact of Recent Israeli Economic Sanctions and Measures. General Secretariat and Research and Studies Unit, Jerusalem. Müller, J. 2004. Against All Odds: Reconciling the National Systems of Innovation in the South. Department of Development and Planning, Aalborg University, Aalborg. Mundlak, Y., D.F. Larson and R. Butzer. 2002. Determinants of Agricultural Growth in Indonesia, the Philippines and Thailand. Development Research Group: Rural Development, The World Bank, Washington, D.C. Naudé, W. and P.S. Zake. 2001. Manufactured In Africa - Why Not? Faculty of Economic and Management Sciences, Potchefstroom University and Department of Statistics, University of North West, Muldersdrift. Okuda, S. 2000. Industrialization Policies of Korea and Taiwan and Their Effects on Manufacturing Productivity. The Developing Economies, XXXV-4: 358–81 Pack, H. and C. Paxson. 1998. Inter-Industry Labor Mobility and Knowledge Spillovers in Taiwan, China. The World Bank, Washington, D.C. Petrin, A. and J. Levinsohn. 2004. Measuring and Mismeasuring Industry Productivity Growth Using Plant-level Data. University of Michigan, Michigan. Pinder, C. 2001. Training For Enterprise and Exports in Malawi (TEEM). TEEM's Project Memorandum with DFID. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Porter, M.E. 2001. The Competitive Advantage of Taiwan. Harvard Business School, Commonwealth Speech, Taipei. Ramsini, B. 2001. Association Between Race and Employment-Based Health Coverage. Center for Biostatistics, The Ohio State University, Ohio.
192 Ravicz, R.M. 1997. Searching for Sustainable Microfinance: A Review of Five Indonesian Initiatives. Rural Cluster, Development Economics Research Group, The World Bank, Washington, D.C. Raynard, P. and M. Forstater. 2002. Corporate Social Responsibility: Implications for Small and Medium Enterprises in Developing Countries. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Rodrik, D. 1988. Industrial Organization and Product Quality: Evidence from South Korean and Taiwanese Exports. NBER Working Paper Series No. 2722. National Bureau of Economic Research (NBER), Cambridge. Romijn, H. 2001. Technology Support for Small-scale Industry in Developing Countries: A Review of Concepts and Project Practices. Oxford Development Studies, 29(1). Rosa, P., W. Jayatilaka and S Kodithuwakku. 1997. The Potential Supply of University Educated Agribusiness Entrepreneurs: A Sri Lankan Perspective. University of Peradeniya, Peradeniya. Ross, L. 2000. Bank-Based or Market-Based Financial Systems: Which is Better? Carlson School of Management, University of Minnesota, Minnesota. Russo, F. and M. Gulati. 1999. Cluster Development and Promotion of Business Development Services (BDS): UNIDO’s Experience in India. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Saggi, K. 2000. Trade, Foreign Direct Investment and International Technology Transfer: A Survey. Department of Economics, Southern Methodist University, Dallas. Samuel, C. 1996. The Investment Decision: A Re-Examination of Competing Theories Using Panel Data. The World Bank, Washington, D.C. Sander, C. 2000. Bridging the Gaps of Market Failure and Asymmetries in Microfinance and Enterprise Financing. Presented to the International Discussion on the Challenge of SME Financing: The SME Financing Gap and New Financial Products for SMEs. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Schmitz Jr., J.A. 2005. What Determines Productivity? Lessons From the Dramatic Recovery of the U.S. and Canadian Iron Ore Industries Following Their Early 1980s Crisis. Research Department Staff Report 286. Federal Reserve Bank of Minneapolis, Minneapolis. Scott, C.D., R.M. Willett and R.D. Nowak. 2002. CORT: Classification Or Regression Trees. Department of Electrical and Computer Engineering, Rice University, Houston.
193 Scott, J.A. and W.C. Dunkelberg. 2001. Competition and Credit Market Outcomes: A Small Firm Perspective. Fox School of Business and Management, Temple University, Philadelphia. Shilling, J.D. 2004. Summary Report : Strengthening the Domestic Base for Participating the Global Economy in the 21st Century in Indonesia. United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD), New York. Sinn, H.W. 1999. The Competition Between Competition Rules. CESifo Working Paper Series No. 192. CESifo, Munich. Srinivas, S. 2000. Case of Public Interventions, Industrialization and Urbanization: Tirupur in Tamil Nadu, India. The World Bank, Washington, D.C. Steinmueller, E. and M.I. Bastos. 1995. Information and Communication Technologies: Growth, Competitiveness and Policy for Developing Nations. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Global Forum on Industry, New Delhi. Supriyanto, H. 2002. Dekomposisi dan Dinamika Sumber Pertumbuhan Industri Kecil dan Rumah Tangga di Indonesia: Analisis Total Factor Productivity. Thesis Master. Sekolah Pascasarjana, Intitut Pertanian Bogor, Bogor. Tambunan, M. 1989. Rural Industrialization for Employment and Income Generation in Indonesia. Paper on Symposium on Measure for Rural Employment Generation, Tokyo. Tambunan, M. 1995. The Raw Rattan Export Bans and the Impact on Industrial Development. Kelola, Gajah Mada University Business Review, Jogyakarta. Tambunan, M. 1999a. Indonesia’s New Challenges and Opportunities: Decentralization, Global Market, Regional Development and Good Governance. Conference Paper on Globalization and New Governance, Suwon City. Tambunan, M. 1999b. Strategy and Policy for Overcoming SMEs Obstacles and Constraint in Indonesia. Paper on Seminar on Small Medium Enterprise Development in Indonesia, Jakarta. Tambunan, M. 2001. The Export Market Institution Bottleneck and Rule of Trading House for Promoting Small and Medium Term Enterprises (SMEs) Export in Indonesia’. Yokohama Law Review 10(2). Tambunan, M. dan B. Isdidjoso. 1999. Economic Crisis Induced Unemployment: Can Agricultural and Rural Economy Play as the Save Heaven? Paper on Seminar Agricultural Sector during the Turbulence of Economic Crisis Lessons and Future Direction. CASER, Bogor. Tambunan, M. dan H. Gunardi. 1996. Perkreditan dan Usaha Kecil: Dinamika Permintaan. Paper pada Diskusi Ahli tentang Refleksi,
194 Replikasi dan Kebijakan Pengembangan Model-model Finansial dalam Memperkuat Usaha Kecil, Jakarta. Tambunan, M. dan Ubaidillah. 2001. Prospek Perdagangan Dalam Negeri dalam Era Desentralisasi dan Dampaknya atas Pembangunan Ekonomi Daerah. Makalah konferensi: Globalisasi. Perdagangan Domestik dan Desentralisasi, Jakarta. Tambunan, M. dan Ubaidillah. 2004. UKM dibawah Pemerintahan SBY_JK (2004-2009): Momentum baru menjadikan UKM berdaya saing dan Naik Kelas? Infokop, No. 25. Tambunan, T. 2000. Development of Small-scale Industries during the New Order Government in Indonesia. Ashgate¸ Aldershot. Tambunan, T. 2005. Rethinking Small And Medium Enterprise As A Growth Engine In Developing Economies. Faculty of Economics, University of Trisakti, Jakarta. Timberg, T.A. 1991. Small and Micro-Enterprise Finance in Indonesia: What Do We Know? Partnership for Economic Growth, Small Scale Credit Advisor, Bank Indonesia, Jakarta. Tybout, J.R. and T. Bark. 1988. Industrial Portfolio Responses to Macroeconomic Shocks: An Econometric Model for Developing Countries. Trade Policy Division, Country Economics Division, The World Bank, Washington, D.C. UNCTAD. 1997. Government-Private Sector Interaction, with a Particular Focus on the Participation of SMEs. Trade and Development Board, Commission on Enterprise, Facilitation and Development, United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD), New York. UNCTAD. 2000. Development Strategies and Support Services for SME's: Proceedings of Four Intergovernmental Expert Meetings. Volume I & Volume II. United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD), New York. UNCTAD. 2001a. Improving the Competitiveness of SMEs in Developing Countries: The Role of Finance to Enhance Enterprise Development. United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD), New York. UNCTAD. 2001b. Reports of the Expert Meeting on Improving the Competitive-ness of SME’s in Developing Countries: The Role of Finance, including E-Finance to Enhance Enterprise Development. United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD), New York. UNCTAD. 2002. Growing Micro and Small Enterprises in LDCs, The missing middle in LDCs: Why Micro and Small Enterprises are not Growing. UNCTAD/ITE/TEB/5. United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD), New York. UNIDO. 1997. Promoting Competitiveness in Agro-Related Industries Through Capacity Building in Least Developed Countries
195 (LDCs). United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) Secretariat, Vienna. UNIDO. 1999. Capacity Building for Private Sector Development in Africa. PSD Technical Working Papers Series. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. UNIDO. 2001. Building Productive Capacity for Poverty Alleviation in Least Developed Countries (LDC’s): The Role of Industry. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. UNIDO. 2003a. A Path Out of Poverty: Developing Rural and Women Entrepreneurship. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. UNIDO. 2003b. Capacity-building for Business Information Networking. The UNIDO Support Program, Small and Medium Enterprises Branch. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Waiquamdee, A. and Soravis. Corporates’ Views of the Constraints to Recovery Economic Research Department. Bank of Thailand, Bangkok. Walsh, S.T. and B.A. Kirchhoff. 2001. Technology Transfer From Government Labs To Entrepreneurs. New Jersey Institute of Technology, Newark. Wattanapruttipaisan, T. 2004. Intellectual Property Rights and Enterprise Development: Some Policy Issues and Options in Asean. AsiaPacific Development Journal 11(1). Weiss, J.D. 2004. Public Schools and Economic Development: What the Research Shows. KnowledgeWorks Foundation, Ohio. World Bank. 2002. The Role and Effectiveness of Development Assistance: Lessons from World Bank Experience. A Research Paper from the Development Economics Vice Presidency of the World Bank. The World Bank, Washington, D.C. Yu, C.C. and R.Chang. 2001. Developing Strengths of Small and Medium Enterprises in Taiwan. Lee and Li, Attorneys-At-Law, Taipei. Yumkella, K. and J. Vinanchiarachi. 2001. Leading Issues on Africa’s Path to Industrialization: The Role of Support Systems and Instruments. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna. Yumkella, K., T. Roepstorff, J. Vinanchiarachi and T. Hawkins. 1999. Globalization and Structural Transformation in Sub-Saharan Africa. Workshop on Agricultural Transformation in Africa, Nairobi, Kenya. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Vienna.
Lampiran 1. Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah
197
198
199
200 Lampiran 2. Hasil Output Analisis Multinomial Logit Regression Dinamika Industri Menengah ke Industri Besar Nominal Regression Model Fitting Information
Case Processing Summary
DIN KRISIS JW_LJW PERT EKSPOR MDL_ASNG KLSIND Valid Missing Total
NK TR PASCA PRA JW LJW TDK YA TDK YA TDK YA H L
N 1033 2172 1358 1847 2673 532 948 2257 2813 392 3087 118 1220 1985 3205 258 3463
Model Intercept Only Final
-2 Log Likelihood 4029,311 3000,681
Chi-Square 1028,630
Pseudo R-Square Cox and Snell Nagelkerke McFadden
,275 ,384 ,255
df
Sig. 12
,000
201 Likelihood Ratio Tests
Effect Intercept UMUR_USH TOT_PEND OUTPUT PRODTK ITX IIN KRISIS JW_LJW PERT EKSPOR MDL_ASNG KLSIND
-2 Log Likelihood of Reduced Model 3000,681 3001,118 3000,737 3259,598 3605,711 3008,902 3002,764 3062,221 3000,978 3005,320 3025,314 3012,799 3002,981
Chi-Square ,000 ,438 ,056 258,917 605,030 8,221 2,083 61,540 ,297 4,640 24,633 12,118 2,301
df
Sig. 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
, ,508 ,813 ,000 ,000 ,004 ,149 ,000 ,586 ,031 ,000 ,000 ,129
The chi-square statistic is the difference in -2 log-likelihoods between the final model and a reduced model. The reduced model is formed by omitting an effect from the final model. The null hypothesis is that all parameters of that effect are 0.
Parameter Estimates
DIN NK
Intercept UMUR_USH TOT_PEND OUTPUT PRODTK ITX IIN [KRISIS=PASCA ] [KRISIS=PRA ] [JW_LJW=JW ] [JW_LJW=LJW ] [PERT=TDK] [PERT=YA ] [EKSPOR=TDK ] [EKSPOR=YA ] [MDL_ASNG=TDK ] [MDL_ASNG=YA ] [KLSIND=H ] [KLSIND=L ]
B Std. Error -,134 ,308 1,872E-03 ,003 3,441E-08 ,000 4,705E-06 ,000 -2,97E-04 ,000 2,760E-06 ,000 8,062E-07 ,000 ,728 ,094 a 0 , 6,807E-02 ,125 0a , -,306 ,142 0a , -,703 ,140 0a , -,939 ,273 0a , ,206 ,135 0a ,
Wald ,190 ,441 ,056 272,222 324,072 7,912 2,045 60,499 , ,296 , 4,630 , 25,196 , 11,848 , 2,314 ,
df 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0
Sig. ,663 ,507 ,813 ,000 ,000 ,005 ,153 ,000 , ,587 , ,031 , ,000 , ,001 , ,128 ,
Exp(B) 1,002 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 2,071 , 1,070 , ,736 , ,495 , ,391 , 1,228 ,
95% Confidence Interval for Exp(B) Lower Bound Upper Bound ,996 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,724 , ,838 , ,557 , ,376 , ,229 , ,942 ,
1,007 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 2,489 , 1,368 , ,973 , ,652 , ,667 , 1,601 ,
a. This parameter is set to zero because it is redundant.
202
203 Lampiran 3. Hasil Output Analisis Multinomial Logit Regression Dinamika Industri Menengah ke Industri Besar untuk Industri Menengah berbasis Pertanian Nominal Regression Case Processing Summary N DIN KRISIS JW_LJW
NK TR PASCA PRA JW LJW
734 1523 944 1313 1865 392 2257 185 2442
Valid Missing Total
Model Fitting Information
Model Intercept Only Final
-2 Log Likelihood 2847,137 2150,083
Pseudo R-Square Cox and Snell Nagelkerke McFadden
,266 ,371 ,245
Chi-Square 697,054
df
Sig. 8
,000
204 Likelihood Ratio Tests
Effect Intercept UMUR_USH TOT_PEND OUTPUT PRODTK ITX IIN KRISIS JW_LJW
-2 Log Likelihood of Reduced Model 2150,083 2150,437 2151,310 2372,586 2631,555 2155,150 2153,577 2179,865 2150,301
Chi-Square ,000 ,354 1,227 222,503 481,472 5,067 3,494 29,782 ,218
df
Sig. 0 1 1 1 1 1 1 1 1
, ,552 ,268 ,000 ,000 ,024 ,062 ,000 ,641
The chi-square statistic is the difference in -2 log-likelihoods between the final model and a reduced model. The reduced model is formed by omitting an effect from the final model. The null hypothesis is that all parameters of that effect are 0.
Parameter Estimates
DIN NK
Intercept UMUR_USH TOT_PEND OUTPUT PRODTK ITX IIN [KRISIS=PASCA ] [KRISIS=PRA ] [JW_LJW=JW ] [JW_LJW=LJW ]
B Std. Error -1,421 ,157 -2,02E-03 ,003 1,776E-07 ,000 5,118E-06 ,000 -3,35E-04 ,000 4,556E-06 ,000 1,543E-06 ,000 ,593 ,109 0a , -6,68E-02 ,143 0a ,
Wald 82,252 ,351 1,118 209,248 245,411 5,048 3,335 29,498 , ,219 ,
df 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0
Sig. ,000 ,554 ,290 ,000 ,000 ,025 ,068 ,000 , ,640 ,
Exp(B) ,998 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,809 , ,935 ,
95% Confidence Interval for Exp(B) Lower Bound Upper Bound ,991 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,461 , ,707 ,
1,005 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 2,240 , 1,238 ,
a. This parameter is set to zero because it is redundant.
205
206 Lampiran 4. Hasil Output Analisis Multinomial Logit Regression Dinamika Industri Menengah ke Industri Besar untuk Industri Menengah berbasis Non-Pertanian Nominal Regression Case Processing Summary N DIN KRISIS JW_LJW
NK TR PASCA PRA JW LJW
299 649 414 534 808 140 948 73 1021
Valid Missing Total
Model Fitting Information
Model Intercept Only Final
-2 Log Likelihood 1181,879 874,011
Chi-Square
df
307,869
Sig. 8
,000
Pseudo R-Square Cox and Snell Nagelkerke McFadden
,277 ,389 ,260
Likelihood Ratio Tests
Effect Intercept UMUR_USH TOT_PEND OUTPUT PRODTK ITX IIN KRISIS JW_LJW
-2 Log Likelihood of Reduced Model 874,011 875,165 874,999 926,231 1041,300 876,536 874,628 907,861 874,816
Chi-Square ,000 1,155 ,988 52,220 167,289 2,526 ,618 33,851 ,806
df
Sig. 0 1 1 1 1 1 1 1 1
, ,283 ,320 ,000 ,000 ,112 ,432 ,000 ,369
The chi-square statistic is the difference in -2 log-likelihoods between the final model and a reduced model. The reduced model is formed by omitting an effect from the final model. The null hypothesis is that all parameters of that effect are 0.
Parameter Estimates
DIN NK
Intercept UMUR_USH TOT_PEND OUTPUT PRODTK ITX IIN [KRISIS=PASCA ] [KRISIS=PRA ] [JW_LJW=JW ] [JW_LJW=LJW ]
B Std. Error -2,205 ,277 5,469E-03 ,005 -2,59E-07 ,000 4,406E-06 ,000 -2,48E-04 ,000 1,800E-06 ,000 5,583E-07 ,000 ,994 ,174 0a , ,219 ,247 0a ,
Wald 63,212 1,169 1,198 81,884 94,349 2,767 ,617 32,712 , ,790 ,
df 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0
Sig. ,000 ,280 ,274 ,000 ,000 ,096 ,432 ,000 , ,374 ,
Exp(B) 1,005 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 2,701 , 1,245 ,
95% Confidence Interval for Exp(B) Lower Bound Upper Bound ,996 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,921 , ,768 ,
1,016 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 3,796 , 2,018 ,
a. This parameter is set to zero because it is redundant.
207
208 Lampiran 5. Hasil Output Analisis Multinomial Logit Regression Dinamika Industri Menengah ke Industri Besar untuk Industri Menengah Berorientasi Ekspor Nominal Regression Case Processing Summary N DIN KRISIS JW_LJW
NK TR PASCA PRA JW LJW
201 191 100 292 297 95 392 67 459
Valid Missing Total
Model Fitting Information
Model Intercept Only Final
-2 Log Likelihood 543,172 380,658
Chi-Square
df
Sig.
162,514
8
,000
Pseudo R-Square Cox and Snell Nagelkerke McFadden
,339 ,453 ,299 Likelihood Ratio Tests
Effect Intercept UMUR_USH TOT_PEND OUTPUT PRODTK ITX IIN KRISIS JW_LJW
-2 Log Likelihood of Reduced Model 380,658 381,500 380,970 449,903 494,164 385,142 380,979 382,905 381,482
Chi-Square ,000 ,842 ,312 69,245 113,506 4,484 ,321 2,247 ,823
df
Sig. 0 1 1 1 1 1 1 1 1
, ,359 ,576 ,000 ,000 ,034 ,571 ,134 ,364
The chi-square statistic is the difference in -2 log-likelihoods between the final model and a reduced model. The reduced model is formed by omitting an effect from the final model. The null hypothesis is that all parameters of that effect are 0.
Parameter Estimates
DIN NK
Intercept UMUR_USH TOT_PEND OUTPUT PRODTK ITX IIN [KRISIS=PASCA ] [KRISIS=PRA ] [JW_LJW=JW ] [JW_LJW=LJW ]
B Std. Error -,888 ,354 -1,14E-02 ,013 1,255E-07 ,000 5,154E-06 ,000 -3,50E-04 ,000 1,828E-05 ,000 6,242E-07 ,000 ,421 ,281 0a , ,284 ,314 0a ,
Wald 6,279 ,818 ,284 53,358 58,717 3,761 ,307 2,243 , ,816 ,
df 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0
Sig. ,012 ,366 ,594 ,000 ,000 ,052 ,580 ,134 , ,366 ,
Exp(B) ,989 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,523 , 1,328 ,
95% Confidence Interval for Exp(B) Lower Bound Upper Bound ,965 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 ,878 , ,717 ,
1,013 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 2,641 , 2,460 ,
a. This parameter is set to zero because it is redundant.
209
210 Lampiran 6. Hasil Output Analisis Multinomial Logit Regression Dinamika Industri Menengah ke Industri Besar untuk Industri Menengah Berorientasi Domestik Nominal Regression Case Processing Summary N DIN KRISIS JW_LJW
NK TR PASCA PRA JW LJW
832 1981 1258 1555 2376 437 2813 191 3004
Valid Missing Total
Model Fitting Information
Model Intercept Only Final
-2 Log Likelihood 3416,317 2626,418
Chi-Square
df
789,898
Sig. 8
,000
Pseudo R-Square Cox and Snell Nagelkerke McFadden
,245 ,348 ,231 Likelihood Ratio Tests
Effect Intercept UMUR_USH TOT_PEND OUTPUT PRODTK ITX IIN KRISIS JW_LJW
-2 Log Likelihood of Reduced Model 2626,418 2627,076 2626,642 2817,492 3124,183 2633,204 2628,358 2690,254 2626,461
Chi-Square ,000 ,658 ,224 191,074 497,765 6,786 1,940 63,836 ,043
df
Sig. 0 1 1 1 1 1 1 1 1
, ,417 ,636 ,000 ,000 ,009 ,164 ,000 ,836
The chi-square statistic is the difference in -2 log-likelihoods between the final model and a reduced model. The reduced model is formed by omitting an effect from the final model. The null hypothesis is that all parameters of that effect are 0.
Parameter Estimates
DIN NK
Intercept UMUR_USH TOT_PEND OUTPUT PRODTK ITX IIN [KRISIS=PASCA ] [KRISIS=PRA ] [JW_LJW=JW ] [JW_LJW=LJW ]
B Std. Error -1,766 ,148 2,340E-03 ,003 -9,83E-08 ,000 4,768E-06 ,000 -2,87E-04 ,000 2,503E-06 ,000 8,493E-07 ,000 ,784 ,099 0a , -2,79E-02 ,135 0a ,
Wald 142,237 ,664 ,215 200,556 268,416 6,494 1,925 62,454 , ,043 ,
df 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0
Sig. ,000 ,415 ,643 ,000 ,000 ,011 ,165 ,000 , ,836 ,
Exp(B) 1,002 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 2,190 , ,972 ,
95% Confidence Interval for Exp(B) Lower Bound Upper Bound ,997 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,803 , ,747 ,
1,008 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 2,660 , 1,266 ,
a. This parameter is set to zero because it is redundant.
211
212 Lampiran 7. Hasil Analisis Uji Beda Purata (ONEWAY) Terhadap Pendapatan, Nilai Tambah dan Output per Tenaga Kerja Tahun 1996-2000 Oneway 1996
Descriptives
PEND_TK 1 2 3 Total NT_TK 1 2 3 Total OUT_TK 1 2 3 Total
N 9933 2443 3128 15504 9933 2443 3128 15504 9933 2443 3128 15504
Mean 14355,398 22169,073 17836,714 16288,987 372,573 912,717 1019,572 588,220 12742,581 19219,338 15952,073 14410,667
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound 26681,165 267,710 13830,632 14880,164 30654,529 620,202 20952,898 23385,249 16845,815 301,203 17246,140 18427,289 25877,701 207,828 15881,620 16696,354 1628,778 16,343 340,538 404,608 2185,355 44,214 826,016 999,418 2087,020 37,316 946,406 1092,738 1847,794 14,840 559,132 617,308 20424,534 204,933 12340,871 13144,292 24390,965 493,477 18251,660 20187,015 13930,906 249,084 15463,689 16440,458 20149,828 161,826 14093,469 14727,866
Minimum 130,8 103,7 69,5 69,5 ,0 ,1 ,1 ,0 130,8 103,7 69,5 69,5
Maximum 770701,2 258966,3 144997,7 770701,2 73089,8 26926,6 30611,7 73089,8 315700,0 183899,9 96480,0 315700,0
Test of Homogeneity of Variances
PEND_TK NT_TK OUT_TK
Levene Statistic 101,184 286,619 105,255
df1 2 2 2
df2 15501 15501 15501
Sig. ,000 ,000 ,000
ANOVA Sum of Squares PEND_TK Between Groups 1,29E+11 Within Groups 1,03E+13 Total 1,04E+13 NT_TK Between Groups 1,30E+09 Within Groups 5,16E+10 Total 5,29E+10 OUT_TK Between Groups 9,16E+10 Within Groups 6,20E+12 Total 6,29E+12
df 2 15501 15503 2 15501 15503 2 15501 15503
Mean Square 6,455E+10 661413459,7
F 97,592
Sig. ,000
650587248,7 3330840,163
195,322
,000
4,578E+10 400161199,8
114,405
,000
213 Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets
PEND_TK Duncan
a,b
KLP_TK 1 3 2 Sig.
N 9933 3128 2443
Subset for alpha = .05 1 2 3 14355,398 17836,714 22169,073 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3615,763. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. NT_TK Duncan
a,b
KLP_TK 1 2 3 Sig.
N 9933 2443 3128
Subset for alpha = .05 1 2 3 372,573 912,717 1019,572 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3615,763. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
214 OUT_TK Duncan
a,b
KLP_TK 1 3 2 Sig.
N 9933 3128 2443
Subset for alpha = .05 1 2 3 12742,581 15952,073 19219,338 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3615,763. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Means Plots
24000
22000
20000
Mean of PEND_TK
18000
16000
14000
12000
1
KLP_TK
2
3
215 1200
1000
800
Mean of NT_TK
600
400
200 1
2
3
KLP_TK 20000
18000
16000
Mean of OUT_TK 14000
12000
1
KLP_TK
2
3
216 Oneway 1997
Descriptives
PEND_TK 1 2 3 Total NT_TK 1 2 3 Total OUT_TK 1 2 3 Total
N 9827 3157 3333 16317 9827 3157 3333 16317 9827 3157 3333 16317
Mean 13729,674 18533,586 15032,292 14925,211 461,742 1016,835 1014,833 682,118 13729,674 18533,586 15032,292 14925,211
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound 23769,321 239,776 13259,663 14199,685 21861,116 389,077 17770,717 19296,454 12863,290 222,810 14595,434 15469,150 21676,338 169,694 14592,593 15257,829 2259,305 22,791 417,067 506,417 3027,361 53,880 911,192 1122,478 2157,299 37,367 941,568 1088,098 2422,970 18,968 644,938 719,298 23769,321 239,776 13259,663 14199,685 21861,116 389,077 17770,717 19296,454 12863,290 222,810 14595,434 15469,150 21676,338 169,694 14592,593 15257,829
Minimum 126,0 95,4 82,5 82,5 ,0 ,1 ,1 ,0 126,0 95,4 82,5 82,5
Maximum 385596,8 166097,6 82147,8 385596,8 87297,2 57976,4 34924,6 87297,2 385596,8 166097,6 82147,8 385596,8
Test of Homogeneity of Variances
PEND_TK NT_TK OUT_TK
Levene Statistic 76,323 153,701 76,323
df1 2 2 2
df2 16314 16314 16314
Sig. ,000 ,000 ,000
ANOVA Sum of Squares PEND_TK Between Groups 5,52E+10 Within Groups 7,61E+12 Total 7,67E+12 NT_TK Between Groups 1,20E+09 Within Groups 9,46E+10 Total 9,58E+10 OUT_TK Between Groups 5,52E+10 Within Groups 7,61E+12 Total 7,67E+12
df 2 16314 16316 2 16314 16316 2 16314 16316
Mean Square 2,759E+10 466538275,8
F 59,148
Sig. ,000
599956209,4 5797954,032
103,477
,000
2,759E+10 466538275,8
59,148
,000
217 Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets
PEND_TK Duncan
a,b
KLP_TK 1 3 2 Sig.
N 9827 3333 3157
Subset for alpha = .05 1 2 3 13729,674 15032,292 18533,586 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4175,093. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. NT_TK Duncan
a,b
KLP_TK 1 3 2 Sig.
N 9827 3333 3157
Subset for alpha = .05 1 2 461,742 1014,833 1016,835 1,000 ,970
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4175,093. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
218 OUT_TK Duncan
a,b
KLP_TK 1 3 2 Sig.
N 9827 3333 3157
Subset for alpha = .05 1 2 3 13729,674 15032,292 18533,586 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4175,093. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Means Plots
19000
18000
17000
Mean of PEND_TK
16000
15000
14000
13000
1
KLP_TK
2
3
219 1100
1000
900
800
Mean of NT_TK
700
600
500
400 1
2
3
KLP_TK 19000
18000
17000
Mean of OUT_TK
16000
15000
14000
13000
1
KLP_TK
2
3
220 Oneway 1998
Descriptives
PEND_TK 1 2 3 Total NT_TK 1 2 3 Total OUT_TK 1 2 3 Total
N 9776 2357 2602 14735 9776 2357 2602 14735 9776 2357 2602 14735
Mean 11225,020 14121,661 10388,444 11540,637 331,017 806,842 696,373 471,646 11225,020 14121,661 10388,444 11540,637
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound 18005,654 182,108 10868,051 11581,989 15651,468 322,385 13489,473 14753,850 8463,917 165,927 10063,081 10713,807 16378,961 134,931 11276,155 11805,118 1525,995 15,434 300,764 361,270 2404,386 49,525 709,725 903,959 1744,814 34,205 629,300 763,446 1745,495 14,379 443,461 499,832 18005,654 182,108 10868,051 11581,989 15651,468 322,385 13489,473 14753,850 8463,917 165,927 10063,081 10713,807 16378,961 134,931 11276,155 11805,118
Minimum 40,6 71,0 8,3 8,3 ,0 ,0 ,0 ,0 40,6 71,0 8,3 8,3
Maximum 248006,7 98433,2 51577,1 248006,7 49102,5 31112,2 33207,8 49102,5 248006,7 98433,2 51577,1 248006,7
Test of Homogeneity of Variances
PEND_TK NT_TK OUT_TK
Levene Statistic 88,682 166,268 88,682
df1 2 2 2
df2 14732 14732 14732
Sig. ,000 ,000 ,000
ANOVA Sum of Squares PEND_TK Between Groups 2,01E+10 Within Groups 3,93E+12 Total 3,95E+12 NT_TK Between Groups 5,90E+08 Within Groups 4,43E+10 Total 4,49E+10 OUT_TK Between Groups 2,01E+10 Within Groups 3,93E+12 Total 3,95E+12
df 2 14732 14734 2 14732 14734 2 14732 14734
Mean Square 1,006E+10 266940374,5
F 37,705
Sig. ,000
294782995,1 3007146,987
98,027
,000
1,006E+10 266940374,5
37,705
,000
221 Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets
PEND_TK Duncan
a,b
KLP_TK 3 1 2 Sig.
N 2602 9776 2357
Subset for alpha = .05 1 2 3 10388,444 11225,020 14121,661 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3293,521. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. NT_TK Duncan
a,b
KLP_TK 1 3 2 Sig.
N 9776 2602 2357
Subset for alpha = .05 1 2 3 331,017 696,373 806,842 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3293,521. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
222 OUT_TK Duncan
a,b
KLP_TK 3 1 2 Sig.
N 2602 9776 2357
Subset for alpha = .05 1 2 3 10388,444 11225,020 14121,661 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3293,521. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Means Plots
15000
14000
Mean of PEND_TK
13000
12000
11000
10000
1
KLP_TK
2
3
223 900
800
700
Mean of NT_TK
600
500
400
300 1
2
3
KLP_TK 15000
14000
13000
Mean of OUT_TK
12000
11000
10000
1
KLP_TK
2
3
224 Oneway 1999
Descriptives
PEND_TK 1 2 3 Total NT_TK 1 2 3 Total OUT_TK 1 2 3 Total
N 10050 2469 2607 15126 10050 2469 2607 15126 10050 2469 2607 15126
Mean 10122,743 12804,409 9017,707 10370,013 239,161 464,236 400,394 303,688 10122,743 12804,409 9017,707 10370,013
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound 15059,110 150,216 9828,290 10417,197 13448,841 270,660 12273,664 13335,153 7256,204 142,115 8739,038 9296,376 13805,010 112,247 10149,995 10590,031 980,534 9,781 219,988 258,333 1466,464 29,513 406,363 522,108 1092,120 21,389 358,451 442,336 1097,169 8,921 286,202 321,175 15059,110 150,216 9828,290 10417,197 13448,841 270,660 12273,664 13335,153 7256,204 142,115 8739,038 9296,376 13805,010 112,247 10149,995 10590,031
Minimum 87,5 30,1 115,3 30,1 ,0 ,1 ,0 ,0 87,5 30,1 115,3 30,1
Maximum 208151,2 83789,9 42162,6 208151,2 28804,3 49656,5 25707,5 49656,5 208151,2 83789,9 42162,6 208151,2
Test of Homogeneity of Variances
PEND_TK NT_TK OUT_TK
Levene Statistic 111,860 71,800 111,860
df1 2 2 2
df2 15123 15123 15123
Sig. ,000 ,000 ,000
ANOVA Sum of Squares PEND_TK Between Groups 2,00E+10 Within Groups 2,86E+12 Total 2,88E+12 NT_TK Between Groups 1,30E+08 Within Groups 1,81E+10 Total 1,82E+10 OUT_TK Between Groups 2,00E+10 Within Groups 2,86E+12 Total 2,88E+12
df 2 15123 15125 2 15123 15125 2 15123 15125
Mean Square 1,001E+10 189280095,6
F 52,869
Sig. ,000
64933172,00 1195351,077
54,321
,000
1,001E+10 189280095,6
52,869
,000
225 Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets
PEND_TK Duncan
a,b
KLP_TK 3 1 2 Sig.
N 2607 10050 2469
Subset for alpha = .05 1 2 3 9017,707 10122,743 12804,409 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3377,970. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. NT_TK Duncan
a,b
KLP_TK 1 3 2 Sig.
N 10050 2607 2469
Subset for alpha = .05 1 2 3 239,161 400,394 464,236 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3377,970. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
226 OUT_TK Duncan
a,b
KLP_TK 3 1 2 Sig.
N 2607 10050 2469
Subset for alpha = .05 1 2 3 9017,707 10122,743 12804,409 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3377,970. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Means Plots
14000
13000
12000
Mean of PEND_TK
11000
10000
9000
8000 1
KLP_TK
2
3
227 500
Mean of NT_TK
400
300
200 1
2
3
KLP_TK 14000
13000
12000
Mean of OUT_TK
11000
10000
9000
8000 1
KLP_TK
2
3
228 Oneway 2000
Descriptives
PEND_TK 1 2 3 Total NT_TK 1 2 3 Total OUT_TK 1 2 3 Total
N 9470 2595 2148 14213 9470 2595 2148 14213 9470 2595 2148 14213
Mean 10603,146 12449,736 9417,225 10761,067 194,524 390,760 336,402 251,795 10603,146 12449,736 9433,641 10763,548
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound 15293,676 157,158 10295,082 10911,209 12840,661 252,069 11955,460 12944,011 7312,480 157,778 9107,810 9726,639 13957,819 117,078 10531,580 10990,555 918,962 9,443 176,014 213,035 1209,002 23,733 344,222 437,298 788,083 17,004 303,056 369,748 964,399 8,089 235,939 267,651 15293,676 157,158 10295,082 10911,209 12840,661 252,069 11955,460 12944,011 7313,142 157,793 9124,199 9743,084 13957,634 117,076 10534,064 10993,033
Minimum 37,1 170,4 -505,9 -505,9 ,0 ,0 ,1 ,0 37,1 170,4 83,3 37,1
Maximum 205033,0 78511,0 41488,0 205033,0 45108,8 24991,6 12526,2 45108,8 205033,0 78511,0 41488,0 205033,0
Test of Homogeneity of Variances
PEND_TK NT_TK OUT_TK
Levene Statistic 85,240 87,816 85,150
df1 2 2 2
df2 14210 14210 14210
Sig. ,000 ,000 ,000
ANOVA Sum of Squares PEND_TK Between Groups 1,15E+10 Within Groups 2,76E+12 Total 2,77E+12 NT_TK Between Groups 96549536 Within Groups 1,31E+10 Total 1,32E+10 OUT_TK Between Groups 1,14E+10 Within Groups 2,76E+12 Total 2,77E+12
df
Mean Square 2 5757589129 14210 194037779,5 14212 2 48274768,01 14210 923402,063 14212 2 5710447782 14210 194039240,5 14212
F 29,673
Sig. ,000
52,279
,000
29,429
,000
229 Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets
PEND_TK Duncan
a,b
KLP_TK 3 1 2 Sig.
N 2148 9470 2595
Subset for alpha = .05 1 2 3 9417,225 10603,146 12449,736 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3136,427. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. NT_TK Duncan
a,b
KLP_TK 1 3 2 Sig.
N 9470 2148 2595
Subset for alpha = .05 1 2 3 194,524 336,402 390,760 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3136,427. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
230 OUT_TK Duncan
a,b
KLP_TK 3 1 2 Sig.
N 2148 9470 2595
Subset for alpha = .05 1 2 3 9433,641 10603,146 12449,736 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3136,427. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Means Plots
13000
12000
Mean of PEND_TK
11000
10000
9000 1
KLP_TK
2
3
231 500
400
Mean of NT_TK
300
200
100 1
2
3
KLP_TK 13000
12000
Mean of OUT_TK
11000
10000
9000 1
KLP_TK
2
3
232 Lampiran 8. Output Pengolahan Total Factor Productivity Industri Tahun 1996-2000 Regression – TFP - IK - 1996 Descriptive Statisticsa LOUT96 LGJ96 LKAP96
Mean 12,2329 10,5241 11,5998
Std. Deviation 1,1012 ,8057 1,3832
N 7691 7691 7691
a. Selecting only cases for which KLASTK96 = S
Model Summary
R
Model 1
KLASTK96 = S (Selected) R Square ,951a ,905
Adjusted R Square ,905
Std. Error of the Estimate ,3400
a. Predictors: (Constant), LKAP96, LGJ96 ANOVAb,c
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 8436,131 888,602 9324,733
df 2 7688 7690
Mean Square 4218,065 ,116
a. Predictors: (Constant), LKAP96, LGJ96 b. Dependent Variable: LOUT96 c. Selecting only cases for which KLASTK96 = S
F 36493,812
Sig. ,000a
233 Coefficientsa,b
Model 1
(Constant) LGJ96 LKAP96
Unstandardized Coefficients B Std. Error 1,210 ,051 ,350 ,006 ,633 ,003
Standardi zed Coefficien ts Beta
a. Dependent Variable: LOUT96 b. Selecting only cases for which KLASTK96 = S
,256 ,795
t 23,545 62,580 194,213
Sig. ,000 ,000 ,000
234 Regression – TFP - IM - 1996 Descriptive Statisticsa LOUT96 LGJ96 LKAP96
Mean 13,3492 11,5978 12,7724
Std. Deviation 1,0405 ,7511 1,3022
N 2607 2607 2607
a. Selecting only cases for which KLASTK96 = M
Model Summary
R
Model 1
KLASTK96 = M (Selected) ,949a
R Square ,900
Adjusted R Square ,900
Std. Error of the Estimate ,3286
a. Predictors: (Constant), LKAP96, LGJ96 ANOVAb,c
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 2539,996 281,119 2821,114
df 2 2604 2606
Mean Square 1269,998 ,108
F 11763,983
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), LKAP96, LGJ96 b. Dependent Variable: LOUT96 c. Selecting only cases for which KLASTK96 = M
Coefficientsa,b
Model 1
(Constant) LGJ96 LKAP96
Unstandardized Coefficients B Std. Error 1,345 ,100 ,331 ,010 ,639 ,006
Standardi zed Coefficien ts Beta
a. Dependent Variable: LOUT96 b. Selecting only cases for which KLASTK96 = M
,239 ,800
t 13,408 32,741 109,410
Sig. ,000 ,000 ,000
235 Regression – TFP - IB - 1996 Descriptive Statisticsa LOUT96 LGJ96 LKAP96
Mean 14,3557 12,7055 13,7971
Std. Deviation ,9298 ,7943 1,1726
N 2174 2174 2174
a. Selecting only cases for which KLASTK96 = L
Model Summary
R
Model 1
KLASTK96 = L (Selected) ,943a
R Square ,890
Adjusted R Square ,890
Std. Error of the Estimate ,3090
a. Predictors: (Constant), LKAP96, LGJ96
ANOVAb,c
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 1671,212 207,347 1878,560
df 2 2171 2173
Mean Square 835,606 9,551E-02
F 8749,088
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), LKAP96, LGJ96 b. Dependent Variable: LOUT96 c. Selecting only cases for which KLASTK96 = L Coefficientsa,b
Model 1
(Constant) LGJ96 LKAP96
Unstandardized Coefficients B Std. Error 1,802 ,110 ,318 ,010 ,617 ,007
Standardi zed Coefficien ts Beta
a. Dependent Variable: LOUT96 b. Selecting only cases for which KLASTK96 = L
,272 ,778
t 16,363 33,077 94,556
Sig. ,000 ,000 ,000
236 Regression – TFP - IK - 1998 Descriptive Statisticsa LOUT98 LGJ98 LKAP98
Mean 12,6255 10,8165 12,0212
Std. Deviation 1,1784 ,8575 1,4689
N 8100 8100 8100
a. Selecting only cases for which KLASTK98 = S
Model Summary
R
Model 1
KLASTK98 = S (Selected) ,951a
R Square ,905
Adjusted R Square ,905
Std. Error of the Estimate ,3634
a. Predictors: (Constant), LKAP98, LGJ98
ANOVAb,c
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 10176,158 1069,435 11245,593
df 2 8097 8099
Mean Square 5088,079 ,132
F 38523,314
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), LKAP98, LGJ98 b. Dependent Variable: LOUT98 c. Selecting only cases for which KLASTK98 = S Coefficientsa,b
Model 1
(Constant) LGJ98 LKAP98
Unstandardized Coefficients B Std. Error 1,296 ,052 ,321 ,005 ,654 ,003
Standardi zed Coefficien ts Beta
a. Dependent Variable: LOUT98 b. Selecting only cases for which KLASTK98 = S
,233 ,815
t 24,947 59,415 207,471
Sig. ,000 ,000 ,000
237 Regression – TFP - IM - 1998 Descriptive Statisticsa LOUT98 LGJ98 LKAP98
Mean 13,8032 11,9443 13,2364
Std. Deviation 1,0382 ,7674 1,3244
N 2406 2406 2406
a. Selecting only cases for which KLASTK98 = M
Model Summary
R
Model 1
KLASTK98 = M (Selected) ,929a
R Square ,864
Adjusted R Square ,863
Std. Error of the Estimate ,3836
a. Predictors: (Constant), LKAP98, LGJ98
ANOVAb,c
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 2238,607 353,579 2592,186
df 2 2403 2405
Mean Square 1119,304 ,147
F 7607,035
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), LKAP98, LGJ98 b. Dependent Variable: LOUT98 c. Selecting only cases for which KLASTK98 = M Coefficientsa,b
Model 1
(Constant) LGJ98 LKAP98
Unstandardized Coefficients B Std. Error 2,054 ,124 ,280 ,012 ,635 ,007
Standardi zed Coefficien ts Beta
a. Dependent Variable: LOUT98 b. Selecting only cases for which KLASTK98 = M
,207 ,810
t 16,589 23,914 93,797
Sig. ,000 ,000 ,000
238 Regression – TFP - IB - 1998 Descriptive Statisticsa LOUT98 LGJ98 LKAP98
Mean 14,6459 12,9653 14,0999
Std. Deviation ,9295 ,8167 1,1843
N 1966 1966 1966
a. Selecting only cases for which KLASTK98 = L
Model Summary
R
Model 1
KLASTK98 = L (Selected) ,927a
R Square ,860
Adjusted R Square ,860
Std. Error of the Estimate ,3483
a. Predictors: (Constant), LKAP98, LGJ98
ANOVAb,c
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 1459,683 238,083 1697,766
df 2 1963 1965
Mean Square 729,841 ,121
F 6017,551
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), LKAP98, LGJ98 b. Dependent Variable: LOUT98 c. Selecting only cases for which KLASTK98 = L Coefficientsa,b
Model 1
(Constant) LGJ98 LKAP98
Unstandardized Coefficients B Std. Error 1,939 ,132 ,328 ,011 ,600 ,007
Standardi zed Coefficien ts Beta
a. Dependent Variable: LOUT98 b. Selecting only cases for which KLASTK98 = L
,288 ,764
t 14,658 30,628 81,315
Sig. ,000 ,000 ,000
239 Regression – TFP - IK - 2000 Descriptive Statisticsa LOUT00 LGJ00 LKAP00
Mean 12,8594 11,1636 12,1899
Std. Deviation 1,1392 ,8501 1,4564
N 8061 8061 8061
a. Selecting only cases for which KLASTK00 = S
Model Summary
R
Model 1
KLASTK00 = S (Selected) ,941a
R Square ,885
Adjusted R Square ,885
Std. Error of the Estimate ,3867
a. Predictors: (Constant), LKAP00, LGJ00
ANOVAb,c
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 9254,948 1204,989 10459,937
df 2 8058 8060
Mean Square 4627,474 ,150
F 30944,843
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), LKAP00, LGJ00 b. Dependent Variable: LOUT00 c. Selecting only cases for which KLASTK00 = S Coefficientsa,b
Model 1
(Constant) LGJ00 LKAP00
Unstandardized Coefficients B Std. Error 1,405 ,058 ,351 ,006 ,618 ,003
Standardi zed Coefficien ts Beta
a. Dependent Variable: LOUT00 b. Selecting only cases for which KLASTK00 = S
,262 ,791
t 24,303 61,391 185,479
Sig. ,000 ,000 ,000
240 Regression – TFP - IM - 2000 Descriptive Statisticsa LOUT00 LGJ00 LKAP00
Mean 14,0111 12,3100 13,3640
Std. Deviation 1,0589 ,7975 1,3759
N 2445 2445 2445
a. Selecting only cases for which KLASTK00 = M Model Summary
R
Model 1
KLASTK00 = M (Selected) ,929a
R Square ,864
Adjusted R Square ,864
Std. Error of the Estimate ,3910
a. Predictors: (Constant), LKAP00, LGJ00
ANOVAb,c
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 2366,820 373,382 2740,202
df 2 2442 2444
Mean Square 1183,410 ,153
F 7739,760
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), LKAP00, LGJ00 b. Dependent Variable: LOUT00 c. Selecting only cases for which KLASTK00 = M Coefficientsa,b
Model 1
(Constant) LGJ00 LKAP00
Unstandardized Coefficients B Std. Error 1,783 ,125 ,330 ,011 ,611 ,006
Standardi zed Coefficien ts Beta
a. Dependent Variable: LOUT00 b. Selecting only cases for which KLASTK00 = M
,249 ,794
t 14,245 29,972 95,692
Sig. ,000 ,000 ,000
241 Regression – TFP - IB - 2000 Descriptive Statisticsa LOUT00 LGJ00 LKAP00
Mean 14,8713 13,3816 14,2162
Std. Deviation ,9090 ,8169 1,2562
N 1966 1966 1966
a. Selecting only cases for which KLASTK00 = L Model Summary
R
Model 1
KLASTK00 = L (Selected) ,920a
R Square ,847
Adjusted R Square ,847
Std. Error of the Estimate ,3557
a. Predictors: (Constant), LKAP00, LGJ00
ANOVAb,c
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 1375,097 248,392 1623,489
df 2 1963 1965
Mean Square 687,548 ,127
F 5433,575
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), LKAP00, LGJ00 b. Dependent Variable: LOUT00 c. Selecting only cases for which KLASTK00 = L Coefficientsa,b
Model 1
(Constant) LGJ00 LKAP00
Unstandardized Coefficients B Std. Error 2,623 ,140 ,317 ,011 ,563 ,007
Standardi zed Coefficien ts Beta
a. Dependent Variable: LOUT00 b. Selecting only cases for which KLASTK00 = L
,285 ,778
t 18,782 30,123 82,132
Sig. ,000 ,000 ,000
242 Lampiran 9. Output Pengolahan Total Factor Productivity untuk Industri Menengah Pertanian dan Non-Pertanian Regression - TFP - Pertanian IM Tahun 1996 Descriptive Statisticsa LOUT96 LGJ96 LKAP96
Mean 13,3038 11,5115 12,7486
Std. Deviation 1,0273 ,7451 1,3101
N 1889 1889 1889
a. Selecting only cases for which KLASTK96 = M
Model Summary
R
Model 1
KLASTK96 = M (Selected) R Square ,946a ,896
Adjusted R Square ,895
Std. Error of the Estimate ,3322
a. Predictors: (Constant), LKAP96, LGJ96 ANOVAb,c
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 1784,122 208,188 1992,310
df 2 1886 1888
Mean Square 892,061 ,110
F 8081,294
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), LKAP96, LGJ96 b. Dependent Variable: LOUT96 c. Selecting only cases for which KLASTK96 = M
Coefficientsa,b
Model 1
(Constant) LGJ96 LKAP96
Unstandardized Coefficients B Std. Error 1,574 ,119 ,319 ,012 ,632 ,007
Standardi zed Coefficien ts Beta
a. Dependent Variable: LOUT96 b. Selecting only cases for which KLASTK96 = M
,231 ,806
t 13,178 26,648 92,819
Sig. ,000 ,000 ,000
243 Regression - TFP - Pertanian IM Tahun 1998 Descriptive Statisticsa LOUT98 LGJ98 LKAP98
Mean 13,7964 11,8748 13,2431
Std. Deviation 1,0374 ,7571 1,3537
N 1695 1695 1695
a. Selecting only cases for which KLASTK98 = M
Model Summary
R
Model 1
KLASTK98 = M (Selected) R Square ,928a ,861
Adjusted R Square ,860
Std. Error of the Estimate ,3877
a. Predictors: (Constant), LKAP98, LGJ98
ANOVAb,c
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 1568,768 254,296 1823,064
df 2 1692 1694
Mean Square 784,384 ,150
F 5219,025
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), LKAP98, LGJ98 b. Dependent Variable: LOUT98 c. Selecting only cases for which KLASTK98 = M
Coefficientsa,b
Model 1
(Constant) LGJ98 LKAP98
Unstandardized Coefficients B Std. Error 2,301 ,151 ,263 ,014 ,632 ,008
Standardi zed Coefficien ts Beta
a. Dependent Variable: LOUT98 b. Selecting only cases for which KLASTK98 = M
,192 ,824
t 15,269 18,873 80,935
Sig. ,000 ,000 ,000
244 Regression- TFP - Pertanian IM Tahun 2000 Model Summary
R
Model 1
KLASTK00 = M (Selected) R Square ,928a ,861
Adjusted R Square ,860
Std. Error of the Estimate ,3882
a. Predictors: (Constant), LKAP00, LGJ00 ANOVAb,c
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 1623,646 263,139 1886,785
df 2 1746 1748
Mean Square 811,823 ,151
F 5386,664
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), LKAP00, LGJ00 b. Dependent Variable: LOUT00 c. Selecting only cases for which KLASTK00 = M
Coefficientsa,b
Model 1
(Constant) LGJ00 LKAP00
Unstandardized Coefficients B Std. Error 1,955 ,148 ,314 ,013 ,613 ,007
Standardi zed Coefficien ts Beta
a. Dependent Variable: LOUT00 b. Selecting only cases for which KLASTK00 = M
,240 ,806
t 13,192 24,628 82,792
Sig. ,000 ,000 ,000
245 Regression - TFP - Non-Pertanian IM Tahun 1996 Descriptive Statisticsa LOUT96 LGJ96 LKAP96
Mean 13,4684 11,8249 12,8352
Std. Deviation 1,0660 ,7191 1,2800
N 718 718 718
a. Selecting only cases for which KLASTK96 = M
Model Summary
R
Model 1
KLASTK96 = M (Selected) R Square ,955a ,913
Adjusted R Square ,912
Std. Error of the Estimate ,3157
a. Predictors: (Constant), LKAP96, LGJ96 ANOVAb,c
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 743,460 71,250 814,710
df 2 715 717
Mean Square 371,730 9,965E-02
F 3730,362
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), LKAP96, LGJ96 b. Dependent Variable: LOUT96 c. Selecting only cases for which KLASTK96 = M
Coefficientsa,b
Model 1
(Constant) LGJ96 LKAP96
Unstandardized Coefficients B Std. Error ,749 ,194 ,362 ,020 ,657 ,011
Standardi zed Coefficien ts Beta
a. Dependent Variable: LOUT96 b. Selecting only cases for which KLASTK96 = M
,244 ,789
t 3,858 17,735 57,274
Sig. ,000 ,000 ,000
246 Regression - TFP - Non-Pertanian IM Tahun 1998 Descriptive Statisticsa LOUT98 LGJ98 LKAP98
Mean 13,8194 12,1101 13,2202
Std. Deviation 1,0406 ,7667 1,2525
N 711 711 711
a. Selecting only cases for which KLASTK98 = M Model Summary
R
Model 1
KLASTK98 = M (Selected) R Square ,935a ,873
Adjusted R Square ,873
Std. Error of the Estimate ,3708
a. Predictors: (Constant), LKAP98, LGJ98 ANOVAb,c
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 671,491 97,365 768,856
df 2 708 710
Mean Square 335,746 ,138
F 2441,409
a. Predictors: (Constant), LKAP98, LGJ98 b. Dependent Variable: LOUT98 c. Selecting only cases for which KLASTK98 = M Coefficientsa,b
Model 1
(Constant) LGJ98 LKAP98
Unstandardized Coefficients B Std. Error 1,400 ,221 ,329 ,023 ,638 ,014
Standardi zed Coefficien ts Beta
a. Dependent Variable: LOUT98 b. Selecting only cases for which KLASTK98 = M
,243 ,768
t 6,336 14,445 45,724
Sig. ,000 ,000 ,000
Sig. ,000a
247 Regression - TFP - Non-Pertanian IM Tahun 2000 Descriptive Statisticsa LOUT00 LGJ00 LKAP00
Mean 14,0462 12,4925 13,3458
Std. Deviation 1,1073 ,7774 1,4036
N 696 696 696
a. Selecting only cases for which KLASTK00 = M
Model Summary
R
Model 1
KLASTK00 = M (Selected) R Square ,934a ,872
Adjusted R Square ,872
Std. Error of the Estimate ,3961
a. Predictors: (Constant), LKAP00, LGJ00
ANOVAb,c
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 743,479 108,741 852,221
df 2 693 695
Mean Square 371,740 ,157
F 2369,071
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), LKAP00, LGJ00 b. Dependent Variable: LOUT00 c. Selecting only cases for which KLASTK00 = M
Coefficientsa,b
Model 1
(Constant) LGJ00 LKAP00
Unstandardized Coefficients B Std. Error 1,229 ,242 ,390 ,023 ,595 ,013
Standardi zed Coefficien ts Beta
a. Dependent Variable: LOUT00 b. Selecting only cases for which KLASTK00 = M
,274 ,755
t 5,074 16,828 46,389
Sig. ,000 ,000 ,000
248 Lampiran 10. Output Pengolahan Total Factor Productivity untuk Industri Menengah Eksportir dan Non-Eksportir Regression IM Eksportir Tahun 1996 Descriptive Statisticsa LOUT96 LGJ96 LKAP96
Mean 13,7246 11,8540 13,1723
Std. Deviation ,9351 ,6538 1,1676
N 396 396 396
a. Selecting only cases for which EKS96 = YA Model Summary
Model 1
R EKS96 = YA (Selected) R Square ,924a ,853
Adjusted R Square ,852
Std. Error of the Estimate ,3596
a. Predictors: (Constant), LKAP96, LGJ96 ANOVAb,c
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 294,611 50,814 345,426
df 2 393 395
Mean Square 147,306 ,129
F 1139,272
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), LKAP96, LGJ96 b. Dependent Variable: LOUT96 c. Selecting only cases for which EKS96 = YA
Coefficientsa,b
Model 1
(Constant) LGJ96 LKAP96
Unstandardized Coefficients B Std. Error 1,467 ,335 ,322 ,031 ,641 ,017
Standardi zed Coefficien ts Beta
a. Dependent Variable: LOUT96 b. Selecting only cases for which EKS96 = YA
,225 ,801
t 4,384 10,384 36,982
Sig. ,000 ,000 ,000
249 Regression - IM Non-Eksportir Tahun 1996 Descriptive Statisticsa LOUT96 LGJ96 LKAP96
Mean 13,2819 11,5519 12,7008
Std. Deviation 1,0442 ,7583 1,3123
N 2211 2211 2211
a. Selecting only cases for which EKS96 = TDK
Model Summary
R
Model 1
EKS96 = TDK (Selected) ,951a
R Square ,905
Adjusted R Square ,905
Std. Error of the Estimate ,3225
a. Predictors: (Constant), LKAP96, LGJ96 ANOVAb,c
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 2180,156 229,704 2409,861
df 2 2208 2210
Mean Square 1090,078 ,104
F 10478,215
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), LKAP96, LGJ96 b. Dependent Variable: LOUT96 c. Selecting only cases for which EKS96 = TDK
Coefficientsa,b
Model 1
(Constant) LGJ96 LKAP96
Unstandardized Coefficients B Std. Error 1,368 ,105 ,331 ,011 ,637 ,006
Standardi zed Coefficien ts Beta
a. Dependent Variable: LOUT96 b. Selecting only cases for which EKS96 = TDK
,240 ,801
t 12,962 30,889 103,095
Sig. ,000 ,000 ,000
250 Regression IM Eksportir Tahun 1998 Descriptive Statisticsa LOUT98 LGJ98 LKAP98
Mean 14,6002 12,6473 14,0694
Std. Deviation ,7007 ,6288 ,8423
N 31 31 31
a. Selecting only cases for which EKS98 = YA
Model Summary
Model 1
R EKS98 = YA (Selected) R Square ,862a ,744
Adjusted R Square ,725
Std. Error of the Estimate ,3671
a. Predictors: (Constant), LKAP98, LGJ98 ANOVAb,c
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 10,954 3,774 14,728
df 2 28 30
Mean Square 5,477 ,135
F 40,638
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), LKAP98, LGJ98 b. Dependent Variable: LOUT98 c. Selecting only cases for which EKS98 = YA
Coefficientsa,b
Model 1
(Constant) LGJ98 LKAP98
Unstandardized Coefficients B Std. Error 2,789 1,537 ,206 ,112 ,654 ,084
Standardi zed Coefficien ts Beta
a. Dependent Variable: LOUT98 b. Selecting only cases for which EKS98 = YA
,185 ,786
t 1,815 1,836 7,808
Sig. ,080 ,077 ,000
251 Regression IM Non-Eksportir Tahun 1998 Descriptive Statisticsa LOUT98 LGJ98 LKAP98
Mean 13,7928 11,9351 13,2255
Std. Deviation 1,0379 ,7649 1,3262
N 2375 2375 2375
a. Selecting only cases for which EKS98 = TDK Model Summary
R
Model 1
EKS98 = TDK (Selected) ,929a
R Square ,863
Adjusted R Square ,863
Std. Error of the Estimate ,3839
a. Predictors: (Constant), LKAP98, LGJ98 ANOVAb,c
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 2207,924 349,587 2557,511
df 2 2372 2374
Mean Square 1103,962 ,147
F 7490,544
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), LKAP98, LGJ98 b. Dependent Variable: LOUT98 c. Selecting only cases for which EKS98 = TDK
Coefficientsa,b
Model 1
(Constant) LGJ98 LKAP98
Unstandardized Coefficients B Std. Error 2,062 ,125 ,279 ,012 ,635 ,007
Standardi zed Coefficien ts Beta
a. Dependent Variable: LOUT98 b. Selecting only cases for which EKS98 = TDK
,206 ,811
t 16,487 23,677 93,325
Sig. ,000 ,000 ,000
252 Regression IM Eksportir Tahun 2000 Descriptive Statisticsa LOUT00 LGJ00 LKAP00
Mean 14,4033 12,5703 13,8234
Std. Deviation ,9098 ,6417 1,1252
N 284 284 284
a. Selecting only cases for which EKS00 = YA Model Summary
Model 1
R EKS00 = YA (Selected) R Square ,924a ,855
Adjusted R Square ,853
Std. Error of the Estimate ,3483
a. Predictors: (Constant), LKAP00, LGJ00 ANOVAb,c
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 200,151 34,080 234,231
df 2 281 283
Mean Square 100,076 ,121
F 825,156
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), LKAP00, LGJ00 b. Dependent Variable: LOUT00 c. Selecting only cases for which EKS00 = YA
Coefficientsa,b
Model 1
(Constant) LGJ00 LKAP00
Unstandardized Coefficients B Std. Error 1,739 ,412 ,287 ,037 ,655 ,021
Standardi zed Coefficien ts Beta
a. Dependent Variable: LOUT00 b. Selecting only cases for which EKS00 = YA
,202 ,810
t 4,223 7,812 31,286
Sig. ,000 ,000 ,000
253 Regression - IM Non-Eksportir Tahun 2000 Descriptive Statisticsa
LOUT00 LGJ00 LKAP00
Mean 13,9595 12,2758 13,3036
Std. Deviation 1,0664 ,8097 1,3946
N 2161 2161 2161
a. Selecting only cases for which EKS00 = TDK
Model Summary
R
Model 1
EKS00 = TDK R Square (Selected) ,929a ,862
Adjusted R Square ,862
Std. Error of the Estimate ,3960
a. Predictors: (Constant), LKAP00, LGJ00 ANOVAb,c
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 2118,061 338,483 2456,544
df 2 2158 2160
Mean Square 1059,031 ,157
F 6751,856
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), LKAP00, LGJ00 b. Dependent Variable: LOUT00 c. Selecting only cases for which EKS00 = TDK
Coefficientsa,b
Model 1
(Constant) LGJ00 LKAP00
Unstandardized Coefficients B Std. Error 1,810 ,133 ,332 ,012 ,607 ,007
Standardi zed Coefficien ts Beta
a. Dependent Variable: LOUT00 b. Selecting only cases for which EKS00 = TDK
,252 ,793
t 13,631 28,606 89,997
Sig. ,000 ,000 ,000
254 Lampiran 1. Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah 196 Lampiran 2. Hasil Output Analisis Multinomial Logit Regression Dinamika Industri Menengah ke Industri Besar....................................................................200 Lampiran 3. Hasil Output Analisis Multinomial Logit Regression Dinamika Industri Menengah ke Industri Besar untuk Industri Menengah berbasis Pertanian 203 Lampiran 4. Hasil Output Analisis Multinomial Logit Regression Dinamika Industri Menengah ke Industri Besar untuk Industri Menengah berbasis NonPertanian 206 Lampiran 5. Hasil Output Analisis Multinomial Logit Regression Dinamika Industri Menengah ke Industri Besar untuk Industri Menengah Berorientasi Ekspor 208 Lampiran 6. Hasil Output Analisis Multinomial Logit Regression Dinamika Industri Menengah ke Industri Besar untuk Industri Menengah Berorientasi Domestik 210 Lampiran 7. Hasil Analisis Uji Beda Purata (ONEWAY) Terhadap Pendapatan, Nilai Tambah dan Output per Tenaga Kerja Tahun 1996-2000......212 Lampiran 8. Output Pengolahan Total Factor Productivity Industri 1996-2000 232 Lampiran 9. Output Pengolahan Total Factor Productivity untuk Industri Menengah Pertanian dan Non-Pertanian ..............................................................242 Lampiran 10. Output Pengolahan Total Factor Productivity untuk Industri Menengah Eksportir dan Non-Eksportir...............................................................248