dilakukan dalam pengelolaan tersebut adalah mengidentifikasi bahan tersebut untuk menentukan dan mengetahui pengaruh toksisitasnya terhadap mahluk hidup Berdasarkan latar belakang seperti diuraikan, dapat dirumuskan masalah antara lain seberapa besar toksisitas (nilai LD50) akut dari produk green coke ini dan bagaimana pengkategorian bahan
ini berdasarkan standar nasional dan
referensi internasional, bagaimana pengaruh toksisitas akut green coke terhadap laju pertambahan berat badan hewan uji mencit, sistem reproduksi dan gejala klinis lain dan bagaimana penentuan nilai LD50 kronis dengan cara perhitungan dapat diterapkan dalam pembuktian apakah produk green coke memiliki sifat toksik dan termasuk ke dalam kategori bahan berbahaya dan beracun Untuk menjawab beberapa permasalahan seperti telah diuraikan di atas, maka diperlukan suatu penelitian yang meliputi: 1) uji toksisitas akut dan subkronis produk green coke, 2) uji reproduksi 3) penentuan kandungan logam berat pada sampel green coke Tujuan dari dilakukannya penelitian ini antara lain untuk mendapatkan informasi dan data konkret tentang produk green coke dari hasil penyulingan minyak bumi, apakah termasuk kategori B3 atau bukan dengan cara penentuan nilai LD50 akut melalui metode pengujian toksisitas akut terhadap hewan uji mencit dan penentuan nilai LD50 kronis melalui metode perhitungan dengan UK formula, menguji toksisitas (nilai LD50) akut dan kronis dari green coke yang merupakan produk penyulingan minyak bumi serta membuktikan pengaruh green coke terhadap fertilitas dan bayi mencit yang lahir (efek terhadap reproduksi) Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau informasi mengenai toksisitas (nilai LD50) akut dan kronis green coke terhadap laju pertumbuhan dan gejala klinis hewan uji mencit, yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk kebijakan pemerintah didalam pengelolaan bahan berbahaya dan beracun. Selain itu ingin dbuktikan efek sampel green coke pada sistem reproduksi mencit, serta
kandungan logam berat
berbahaya pada green coke yang dihasilkan dari penyulingan minyak dari dalam negeri (apakah memenuhi standar keamanan atau tidak) TINJAUAN PUSTAKA
Petroleum/ Green coke Petroleum coke adalah produk berbentuk padatan hitam yang diperoleh dari dekomposisi termal residu minyak bumi (Lee, et.al, 1997). Minyak bumi mentah mengalami proses perengkahan dan karbonisasi untuk menghasilkan produk dengan rasio karbon dan hidrogen tinggi, yang dapat berupa butiran atau bentuk serupa kristal. Petroleum coke dapat digolongkan menjadi green coke atau calcined coke. Green coke biasanya digunakan sebagai bahan bakar padat, yang serupa dengan batubara. Pemrosesan green coke lebih lanjut pada suhu dan tekanan tinggi menghasilkan calcined coke yang biasanya digunakan pada industri elektroda, peleburan logam, produksi elektroda grafit atau untuk tujuan lain yaitu sebagai zat tambahan dalam proses karbonisasi baja.
Gambar 1. Green coke
Proses Pembuatan Petroleum Coke Green coke dapat dihasilkan melalui salah satu dari tiga proses berikut : delayed, fluid atau flexicoking. Delayed Coke dihasilkan dari proses semi-batch, semi-kontinu dan merupakan 95 % dari total produksi coke di Amerika. Green coke berasal dari bongkahan kokas ukuran besar yang digiling menjadi ukuran kecil sebelum pada akhirnya digunakan sebagai bahan bakar atau sebagai stok untuk pembuatan calcined coke. Green coke dapat mengandung 15% residu hidrokarbon, yang memberikan karakteristik aroma hidrokarbon yang khas (Lee, et.al. 1997) Fluid Coke dihasilkan dari proses dasar fluidisasi kontinu. Fluid coke biasanya mengandung residu hidrokarbon yang lebih sedikit dibandingkan green coke yang dihasilkan dari delayed proses
Flexicoke adalah proses yang didasarkan pada fluidisasi, dimana sebagian besar kokas diubah menjadi gas bahan bakar Btu rendah untuk digunakan dalam proses pemurnian. Flexicoke padat memiliki ukuran partikel lebih kecil dibandingkan fluid coke dan lebih berdebu, karena rendahnya kandungan residu hidrokarbon Calcined coke dihasilkan dari proses delayed green coke dengan memanaskannya lebih lanjut sampai temperatur diatas 1200 oC. Produk calcined coke ini akan menghilangkan semua residu hidrokarbon termasuk PAH sehingga hasil akhirnya adalah material yang lebih halus. Calcined coke digolongkan sebagai anode- grade coke dan graphite needle-grade coke tergantung pada sifat fisika dan kimianya. graphite needle-grade coke memiliki tingkat kemurnian lebih tinggi dibandingkan anode- grade coke dan biasanya digunakan dalam pembakaran elektrik Alumunium dan peleburan baja.
Karakterisasi Analitis Green coke digolongkan berdasarkan komposisi senyawa kimianya dan sifat kimianya. Komposisi kimia green coke bergantung pada komposisi bahan mentah yang digunakan pada proses cooking, yang selanjutnya bergantung pada komposisi minyak mentah. Komposisi logam dan belerang dari calcined coke bergantung dari komposisi green coke sebagai bahan dasar pembuatannya. Karakteristik green coke sangat penting untuk menentukan kecocokan sampel kokas untuk kebutuhan spesifik. Parameter umum yang digunakan untuk menjelaskan komposisi senyawa kimia dari petroleum coke adalah : % berat abu, berat sulfur, % berat residu karbon, ppm Nikel, dan ppm Vanadium. Residu hidrokarbon meliputi senyawa organik dengan senyawa 6 atom karbon sampai hidrokarbon polisiklik aromatik ber karbon 7. Karena digunakan temperatur yang rendah dalam produksinya, green-grade coke mengandung kadar residu hidrokarbon lebih tinggi dibandingkan tipe coke lainnya. Proses kalsinasi menghilangkan hampir semua residu hidrokarbon (<5 %) Tabel 1. Perbandingan komposisi green coke dengan calcined coke* Kandungan Sulfur (% berat)
Green coke
Calcined Coke
2,5 - 5,5
1,7 – 3,0
Abu (% berat)
0,1 – 0,3
0,1 - 0,3
Trace
165 – 350
200 – 400
120 – 350
Residu hidrokarbon (% berat)
9 – 12
<0,25
Bulk density (g/cm3)
Trace
0,80
Real density (g/cm3)
Trace
2,06
Nikel (ppm) Vanadium (ppm)
* Dari Lee et.al (1997) Residu hidrokarbon dari green coke diketahui mengandung PHA (policyclic Hydrocarbon aromatic). Kandungan PHA paling tinggi dihasilkan dari proses pembuatan green coke dengan cara delayed. Terdapat dugaan bahwa ada korelasi antara kandungan PHA dengan toksisitas pada hewan.
Pengaruh Green coke dan Calcined Coke terhadap Lingkungan dan Kesehatan Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, petrolum coke dikategorikan menjadi green coke dan calcined coke. Sampai saat ini belum dilakukan penelitian tentang efek petroleum coke secara langsung pada manusia, kecuali studi epidemiologi pada pabrik pabrik dimana petroleum coke digunakan sebagai bahan baku. Studi yang ada berfokus pada efek debu pada fungsi respirasi. (Lipscomb & Lee 1982). Hasil rontgen pegawai tidak menunjukan adanya indikasi pneumuconisiosis atau radang paru-paru kronis. Kebanyakan studi toksisitas pada hewan dilakukan pada green coke, baik yang diperoleh dari delayed proses atau fluid coke. Hal ini karena terkait dugaan tingginya PHA berkorelasi dengan sifat karsinogenik pada hewan uji. Studi inhalasi sub-akut terhadap dosis berulang telah dilakukan untuk membandingkan respon paru-paru terhadap green coke dan calcined coke, yang dilakukan dengan pemaparan tikus percobaan dengan debu green coke (58 mg/m3) dan calcined coke (45 mg/m3) (Huntingdon Life Sciences 1999). Dari hasil penelitian tidak ditemukan adanya indikasi respons fibrogenik paru-paru akibat pemaparan tersebut
Data lain yang mendukung rendahnya toksitas inhalasi green coke dan calcined coke diperoleh dari studi yang dilakukan oleh Klonne et.al (1987) serta International research and Development Corp. (1985). Studi inhalasi green coke dan calcined coke pada tikus dan primata selama dua tahun tidak menunjukkan adanya gejala toksisitas secara signifikan. Studi toksisitas dermal dosis berulang telah dilakukan pada tikus dengan cara mengoleskan sampel green coke dan calcined coke yang telah disuspensikan pada mineral oil pada permukaan kulit tikus tiga kali seminggu selama 2 tahun. Efek yang terjadi adalah penipisan kulit pada area yang diberi perlakuan. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa kedua sampel ini dapat menyebabkan kanker kulit (Wingate & Hepler 1982) Toksisitas Toksisitas didefinisikan sebagai efek berbahaya yang ditimbulkan oleh suatu zat/bahan/senyawa pada organ yang dijadikan sasaran. Ada beberapa istilah dalam pengkajian toksisitas, yaitu: toksisitas akut,sub-akut dan kronis (Lu 1995) Untuk mengetahui tingkat toksisitas terhadap organisme hidup dapat dilakukan cara uji toksisitas atau uji hayati. Uji hayati adalah percobaan yang menggunakan organisme hidup untuk mengetahui/mengukur adanya pengaruh dari suatu senyawa, limbah, faktor lingkungan dan kombinasi lainnya (APHA 1975). Dengan uji ini dapat diketahui pengaruh senyawa kimia/zat pencemar (daya racun dan efek samping) terhadap organisme yang diuji, misalnya:1( hambatan pada pertumbuhan, 2) tingkat kematian serta gambaran informasi gejala lain seperti perubahan perilaku, 3) abnormalitas fungsi organ tubuh ataupun 4) gangguan-gangguan fisiologis lainnya. Informasi demikian dapat dipergunakan secara analog untuk mengetahui bagaimana pengaruh limbah beracun terhadap manusia (Klaassen & Doull 1996) Uji toksisitas dapat digunakan sebagai suatu penelitian dasar untuk mendeteksi, mengevaluasi, dan mengurangi pengaruh pencemaran. Kegunaan uji toksisitas ini erat sekali hubungannya dengan penentuan toksisitas buangan industri dan untuk mengetahui efisiensi pengolahan limbah industri. Selain itu, uji toksisitas ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan suatu baku mutu kualitas lingkungan terhadap senyawa/limbah. Umumnya
pencantuman batas toksisitas (LC50 dan EC50) dalam peraturan yang dibuat, ditujukan untuk melindungi lingkungan. Dalam penentuan keamanan suatu zat kimia/zat pencemar terhadap organisme, langkah pertama yang biasa dilakukan adalah uji toksisitas dengan menentukan nilai LD50 (median lethal dose), yaitu suatu uji sederhana dari tingkatan toksisitas suatu zat/bahan/senyawa terhadap hewan uji yang diteliti. Uji ini telah diterima oleh para ilmuwan pada umumnya (Lu 1995). Makna LD50 sendiri adalah diturunkan secara statistik dari dosis zat/bahan/senyawa yang menyebabkan kematian hewan uji sebanyak 50% dari total populasi berdasarkan data pengamatan pada waktu tertentu. Berkenaan dengan bahaya yang disebabkan zat kimia/bahan/senyawa, Lu (1995) telah mengklasifikasikan tingkat toksisitas berdasarkan penentuan nilai LD50 oral seperti yang tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi tingkat toksisitas zat kimia/bahan/senyawa berdasarkan nilai LD50 Tingkat Toksisitas 1
Kriteria Toksik Sangat beracun (Extremely Toxic)
LD50 Oral (mg/kg BB) <1
2
Berdaya racun kuat (Highly Toxic)
1 – 50
3
Beracun (Toxic)
4
Berdaya racun lemah (Slighty Toxic)
5
Hampir tidak beracun (Practically non toxic)
6
Relatif tidak membahayakan (Relatively harmless)
50 – 500 500 – 5000 5000 – 15000 > 15000
Sebagai bahan perbandingan, beberapa negara juga telah menetapkan kriteria penentuan toksik suatu zat/bahan/senyawa berdasarkan nilai LD50 oral seperti tertera pada Tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan kriteria penentuan toksik suatu zat/bahan/senyawa berdasarkan nilai LD50 oral di beberapa Negara No.
Negara
LD50 Oral
(mg/kg BB) < 50
1
US EPA (40 CFR part 261.11)
2 3
Canada (Guide to Canadian Transportation Dangerous Good an Act and Regulation) Jepang (Environment Regulation)
4
China (Hazardous Substance Regulation)
5
Indonesia (PP 85/1999 tentang Pengelolaan Limbah B3)
of
< 200 < 500 200 – 1000 < 50
Dalam 40 CFR part 261.11 point a.2 diuraikan bahwa suatu limbah jika memiliki dosis fatal pada manusia namun tidak ditemukan data toksisitas pada manusia, maka dapat digunakan hewan uji dengan pengujian toksisitas akut. Uji toksisitas suatu limbah terhadap mencit merupakan salah satu upaya untuk mengetahui daya racun dan efek sampingnya. Pengujian secara biologi ini bila dibandingkan pengujian secara fisik dan kimia akan lebih memberikan gambaran reaksi mahluk hidup terhadap bahan/limbah yang diuji tersebut. Cara pemberian zat racun kepada hewan uji dapat mempengaruhi data LD50. Metode perlakuan yang paling sering digunakan untuk pemberian limbah adalah melalui oral/mulut. Racun yang masuk lewat mulut akan langsung dibawa ke hati dan racun tersebut dimetabolisme oleh enzim yang ada di hati.
Toksisitas Akut Toksisitas akut adalah pengaruh merugikan yang timbul segera setelah pemberian dosis tunggal dari suatu zat/bahan/senyawa atau setelah pemberian dosis berulang dalam waktu 24 jam. Ada beberapa cara untuk pengujian toksisitas akut yaitu: oral, parenteral, kulit dan mata Uji toksisitas akut bertujuan untuk mengetahui toleransi intrinsik dari suatu zat kimia dalam menilai kepekaan suatu jenis hewan terhadap suatu bahan toksik, menyeleksi tingkat dosis dalam penelitian lebih lanjut dan untuk memperoleh informasi mengenai kerusakan organ. Data-data yang diperoleh dapat membantu tindak lanjut untuk menentukan toksisitas zat/bahan/senyawa kimia/limbah.
Toksisitas Sub-Akut/ Sub-Kronis
Pengertian sub-akut/ sub-kronis adalah percobaan/penyelidikan toksisitas dari suatu zat dengan pemberian dosis berulang dalam jangka pendek. Biasanya setiap hari atau lima kali seminggu, selama jangka waktu lebih dari 10% dari masa hidup hewan percobaan. Beberapa peneliti menggunakan jangka waktu lebih pendek, misalnya pemberian zat selama 14 dan 28 hari (Lu 1995). Dosis yang digunakan ditentukan dari nilai LD50 dan biasanya untuk penentuan dosis sub-akut ini lebih kecil dari dosis yang menyebabkan terjadinya nilai LD50 Pengujian sub-akut bertujuan untuk menyelidiki pengaruh yang merugikan karena pemberian berulang dari suatu zat/bahan/senyawa. Data sub-akut dapat memberikan informasi berharga mengenai pengaruh kumulatif dari suatu zat pada organ yang dijadikan sasaran, toleransi fisiologis dan metabolik pada dosis rendah dalam jangka waktu lama. Data sub-akut dianggap cukup untuk meramalkan kerugian yang disebabkan oleh pemberian suatu zat dalam jangka panjang.
Toksisitas Kronis Pengujian toksisitas kronis adalah pengujian toksisitas yang dilakukan dalam jangka waktu yang panjang, dilakukan dengan memberikan zat kimia berulang-ulang selama masa hidup hewan percobaan atau sekurang-kurangnya sebagian besar dari masa hidupnya, misalnya 18 bulan untuk mencit dan 24 bulan untuk tikus (Lu 1995). Toksisitas kronis diperoleh setelah perpanjangan jangka waktu pemaparan terhadap senyawa/limbah toksik yang diberikan dalam dosis rendah untuk menimbulkan respon kronis. Terdapat sangat banyak senyawa toksik yang mampu menimbulkan efek akut dalam konsentrasi tinggi atau efek kronis dalam konsentrasi rendah. Indeks toksisitas akut, seperti LD50 atau LC50, sangat lemah untuk dapat digunakan sebagai indikator toksisitas kronis karena efek pemaparan toksisitas kronis memakan waktu relatif lama. Selain itu juga harus dipertimbangkan bahwa selama waktu yang relatif lama tersebut, berbagai isu yang tidak diharapkan dapat terjadi dan mempengaruhi hasil pengujian. Toksisitas kronis suatu senyawa/limbah dapat diperoleh melalui berbagai prosedur pengujian. Prosedur tersebut antara lain termasuk pemaparan secara inhalasi, uji hayati (bioassay) di lingkungan akuatik serta pengujian untuk menilai
efek kronis sub lethal. Penentuan metode bioassay yang layak dalam menilai toksisitas kronis suatu senyawa/limbah sangat sukar serta memerlukan keterampilan dan keahlian khusus
Klasifikasi Respon Toksik Respon tubuh (sel, jaringan, organ) dapat berbeda-beda terhadap adanya rangsangan. Tergantung dari jenis, besarnya (dosis) serta kekerasan dari rangsangan tersebut. Suatu zat toksik apabila diberikan kepada individu akan menghasilkan beberapa respon :
Toleran : hal ini sangat bergantung pada kepekaan individu tersebut (spesies, seks, umur, dan sebagainya), dapat menerima atau mengeluarkan
Sensitif : respon dapat langsung terlihat seperti kematian, demam dan lain-lain
Intermediat : memerlukan beberapa waktu untuk memperlihatkan gejalanya
Kronik : setelah zat terakumulasi, selanjutnya menunjukkan respon (biasanya pada hewan liar)
Cara Masuknya Racun Umumnya racun masuk ke dalam tubuh melalui tiga cara yaitu sistem pernafasan, mulut dan kulit. Sistem pernapasan dengan menggunakan paru-paru sebagai media yang tepat untuk masuknya racun yang dapat bercampur dengan media lain, misalnya gas yang dapat diperoleh dari aerosol atau dari partikel debu. Absorpsi racun melalui pencernaan biasanya dimulai dari usus kecil dan kadang-kadang pada lambung. Pada lambung secara tidak langsung racun bercampur dengan enzim pencernaan atau cairan dalam lambung, sehingga menyebabkan iritasi seperti muntah atau diare.
Mekanisme Racun Keracunan atau gejala kesakitan mulai dari tingkatan ringan sampai berat bahkan dapat pula mengakibatkan kematian. Gejala sakit ini dapat terjadi di dalam semua organ tubuh tergantung dari jenis, dosis dan lamanya pemaparan serta
keadaan organisme. Keracunan yang timbul dalam beberapa jam atau beberapa hari setelah pemaparan singkat dengan dosis yang relatif besar disebut keracunan kronis. Diantara akut dan kronis terdapat beberapa tingkatan keracunan, seperti sub-akut dan sub-kronis. Gejala keracunan akut berbeda nyata dengan gejala keracunan kronis.
Distribusi dan Akumulasi Racun Senyawa racun yang diabsorpsi dari sistem pencernaan atau lambung pertama-tama masuk kedalam hati, organ ini merupakan tempat dimana proses detoksikasi dari racun-racun tersebut, dan kebanyak racun terakumulasi pada organ tersebut. Beberapa racun secara selektif disimpan pada organ-organ atau jaringan-jaringan tertentu seperti ginjal, paru-paru, insang dan jaringan lemak. Kebanyakan proses detoksikasi terjadi di hati, tapi tidak selamanya racun ini lebih besar konsentrasinya dihati. Hal ini sangat bergantung pada jenis, dosis, dan distribusi senyawa racun dalam tubuh.
Efek Kombinasi Zat Toksik Kerja toksik yang bebas setelah adanya pemaparan pada dosis tertentu menimbulkan gejala keracunan yang dapat berdampingan. Efek kombinasi zat toksik dapat digolongkan menjadi : Kerja zat toksik aditif, yaitu efek kombinasi dua atau lebih zat beracun yang hasilnya sama dengan jumlah efek masing-masing zat tertentu. Kerja zat toksi sinergis, yaitu efek kombinasi dari dua atau lebih zat beracun efeknya lebih kuat dari pada efek masing-masing zat Kerja toksik antagonis, yaitu efek kombinasi dari dua atau lebih zat beracun efeknya lebih lemah dari pada efek masing-masing zat
Metode Perhitungan Uji Toksisitas Kronis Dalam rangka penentuan nilai LD50 yang relatif memerlukan waktu yang singkat dan biaya yang relatif tidak terlalu mahal, Inggris telah menerapkan suatu metode pengujian toksisitas (nilai LD50) kronis yang dilakukan dengan metode perhitungan (UK Formula) tanpa melakukan uji LD50 terhadap hewan uji. Hal ini
dilakukan dengan menghitung nilai LD50 rujukan komponen bahan pencemar suatu limbah (data rujukan: Sax & CHRIS dalam Lewis 2000) dan hasil analisis total konsentrasi logam berat. Metode penentuan nilai LD50 disini adalah melakukan perhitungan nilai LD50 suatu limbah melalui pendekatan konservatif atas nilai LD50 rujukan komponen kandungan bahan pencemar yang terendah tanpa memperhitungkan efek pembesaran (sinergistik) dan atau pelemahan (antagonistik) bahan pencemar yang terkandung dalam limbah. Nilai-nilai LD50 dari komponen kandungan bahan pencemar tersebut kemudian dijumlahkan dan selanjutnya dibandingkan dengan standar nilai LD50. Pemilihan nilai LD50 bahan pencemar terendah yang dipilih haruslah suatu bahan pencemar yang paling cocok dan tepat bagi keadaan ikatan kimiawi bahan pencemar tersebut. Model perhitungan penentuan nilai LD50 adalah dengan persamaan sebagai berikut : 100/LD50waste+[sum]Cx/LD50x(1)100/LD50waste + C1/LD501 + C2/LD502+… + Cn/LD50n(2) Dimana : LD50waste adalah nilai LD50 limbah slag yang ditentukan (mg/kg) LD50 x adalah nilai LD50 rujukan bahan pencemar yang digunakan (mg/kg) Cx
adalah kadar bahan pencemar yang ada dalam limbah (% berat)
100 adalah faktor konversi dari mg/kg ke % berat Persamaan nomor (2) kemudian dapat disederhanakan lebih lanjut menjadi persamaan sebagai berikut : LD50waste = 100/ (C1/LD50 1 + C2 /LD50 2 + ….. + Cn / LD50 n )(3) Jika kadar bahan pencemar dalam suatu contoh limbah dan LD50 rujukan bahan pencemar diketahui, maka nilai LD50 suatu contoh limbah dapat diperoleh dan untuk selanjutnya dibandingkan dengan standar nilai LD50 Apabila digunakan untuk suatu contoh limbah yang mempunyai satu komponen bahan pencemar limbah B3, maka persamaan nomor 3 akan menjadi persamaan sebagai berikut : LD50waste = (100). (LD50x)/Cx
(4)
Persamaan nomor (4) sangat berguna apabila digunakan untuk suatu contoh limbah yang hanya mengandung satu komponen bahan pencemar limbah B3 dan atau untuk suatu contoh limbah yang mengandung satu komponen bahan pencemar yang sangat dominan. Apabila dalam suatu sampel mengandung beberapa komponen bahan pencemar, maka digunakan persamaan (3)
Mencit Mencit adalah hewan sejenis tikus yang termasuk ke dalam kelas Mamalia, ordo Rodentia, Sub Ordo Myoimorphia, Famili Muridae, Genus Mus dan Spesies Mus musculus (Arrington 1972). Menurut Arrington (1972), mencit merupakan hewan yang paling banyak digunakan sebagai hewan model untuk percobaan laboratorium. Hal ini disebabkan karena mencit sangat produktif dan pengelolaanya mudah (Ingglis 1980). Dijelaskan oleh Moriwaki dkk (1994) bahwa mencit sering digunakan sebagai hewan model karena siklus hidupnya relatif pendek, jumlah anak perkelahiran banyak, serta sifat produksi dan reproduksinya menyerupai hewan mamalia. Mencit laboratorium berasal dari mencit liar yang sudah didomestikasi (Berry 1984). Mencit liar memiliki warna agouti, mata berwarna hitam dan kulit berpigmen. Selanjutnya dinyatakan bahwa mencit laboratorium biasanya berwarna putih (Inggglis 1980). Selain itu, Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa mencit liar atau mencit rumah adalah hewan semarga mencit laboratorium yang tersebar luas di seluruh dunia dan sering ditemukan di dekat atau di dalam gedung dan rumah yang dihuni oleh manusia. Disamping itu ditemukan pula di daerah lain yang jauh dari manusia asalkan ada makanan dan tempat berlindung. Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyusun data biologis mencit sebagaimana tertera pada Tabel 4 Tabel 4. Data Biologis Mencit Parameter
Hasil Pengamatan
Lama hidup
1-2 tahun, bisa sampai 3 tahun
Lama produksi ekonomis
9 bulan
Lama bunting
19-21 hari
Kawin sesudah beranak
1-24 jam
Umur sapih
21 hari
Umur dewasa kelamin
35 hari
Umur dikawinkan
8 minggu (jantan dan betina)
Siklus kelamin poliestrus (birahi)
4-5 hari
Lama estrus
12-24 jam
Saat perkawinan
Waktu estrus
Berat lahir
0,5 – 1 g
Berat dewasa
20-40 g jantan dan 18-35 betina
Jumlah anak perkelahiran
Rata-rata 6 ekor, bisa sampai 15 ekor
Kecepatan pertumbuhan
1 gram/hari
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Sampel limbah green coke diperoleh dari Dumai, Riau. Sedangkan analisis laboratorium dilakukan di dua tempat yaitu Departemen Biokimia Jurusan Kimia FMIPA Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Terpadu IPB yang berlokasi di