Perlindungan Hukum Pekerja Migran Dari Tindakan Trafficking dan Implikasinya Terhadap Wacana Perubahan UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Hak Sistem Pemilikan Tanah Bangsa Indonesia dan Kaitannya Dengan Penerapan Hak-Hak Derivaf Dalam Rangka Agunan Utang-Piutang Serfikasi Halal Produk Pangan Sebagai Bentuk Perlindungan Konsumen Berdasarkan Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Kajian Hukum Persaingan Usaha Dalam Media Massa (Tinjauan Aspek Kemerdekaan Pers dan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers) Perlindungan Hukum Terhadap Privacy Dari Spamming Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Akuisisi Saham Hubungannya Dengan Investasi Asing Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Penyanderaan (Gijzeling) Sebagai Instrumen Memaksa Dalam Hukum Perpajakan
JMJN
Vol. 1
No. 10
Hal. 1-176
Different and Disncve
September 2015
i
JURNAL HUKUM MEDIA JUSTITIA NUSANTARA No. 10 Vol. 1 September 2015 ISSN : 2085 -8884 PELINDUNG Pembina : Rektor Universitas Islam Nusantara PENASIHAT Letjen. (Purn) H. Achmad Roestandi, SH ( Ketua Badan Pengurus YIN) Dr. H. Didin Wahidin, M.Pd. (Rektor Uninus) Prof. Dr. H. Achmad Sanusi, SH.,MPA. ( Direktur PPS Uninus) Dr. Suhendra yusuf, MA (Pembantu Rektor I ) Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata (Asisten Direktur I PPS Uninus ) Penanggung Jawab Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Nusantara Mitra Bestari Prof. Dr.H. Achmad Sanusi, SH.,MPA. (Universitas Islam Nusantara) Prof. Dr. H. Agus Rasas, SH.,MS. (Universitas Islam Nusantara) Prof. Dr. H. Lili Rasjidi, SH.,S.Sos., LL.M. ( UNPAD) Prof. Dr. H. Deddy Ismatullah, SH.,MH. ( UIN Bandung) Prof. Dr. H. Juhaya S. Praja ( UIN Bandung) Dr. H. Mardenis ( Universitas Andalas Padang ) Dr. Abu Sanmas , SH.MH. ( UIN Maluku) KETUA PENGARAH Dr. Ir. H.Fontian, SH.,MH.,ME,CFP KETUA PENYUNTING Dr.Hj. Imas Rosidawati Wr, SH.,MH. DEWAN PENYUNTING Dr. Sukendar, SH.,MH. Dr. Aslan Noor, SH.,MH.,CN. Dr. Irfan Fachrudin, SH.,MH. Dr. Ir. H. Edy Santoso, MITH., MH. Dr. Juli Asril, SH.,CN.,MH. Penyunting Pelaksana Tansah Rahmatullah, ST., MH. Andini Anggraeni Kusnadi, ST. Nugraha Pranadita, SH, SIP, MM, MH . Produksi dan Sirkulasi Wawan Darmawan Entis Sutisna Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Uninus Jl. Sukarno Hatta No. 530 Bandung 40286 www.uninus.ac.id. Email :
[email protected]
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
ii
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
PENGANTAR REDAKSI
Jurnal Hukum Media Justitia Nusantara (MJN) adalah publikasi dari tulisantulisan yang diterbitkan secara berkesinambungan, sebagai wadah pertukaran gagasan, telaah, kajian dan hasil-hasil penelitian dari para dosen/akademisi, para pemerhati hukum dan praktisi hukum, untuk tujuan pengembangan dan pembangunan hukum di Indonesia. Jurnal Hukum Media Justitia Nusantara (MJN) terbit setahun 2 kali pada bulan Februari dan September. Pada Edisi ini, redaksi menetapkan 7 naskah yang mengkaji berbagai masalahmasalah hukum di Indonesia, antara lain perlindungan hukum pekerja migran dari tindakan trafficking, kajian hukum persaingan usaha dalam media massa dan perlindungan hukum terhadap privacy dari spamming berdasarkan undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Mudah-mudahan para pembaca dapat memetik manfaat dari tulisan-tulisan yang kami sajikan baik sebagai sarana informasi ilmiah maupun sebagai sarana memperluas cakrawala pemikiran kita tentang ilmu hukum pada umumnya baik secara praktis maupun teoritis. Perlu kami informasikan pula Jurnal Hukum Media Justitia Nusantara (MJN) akan terbit kembali pada bulan Februari 2016, sehubungan dengan itu, kami mengharapkan kepada seluruh civitas akademika dari kalangan dosen, para praktisi hukum, dan pemerhati
hukum serta sidang pembaca pada umumnya dapat
memberikan kontribusi tulisannya untuk dimuat dalam jurnal ilmu hukum MJN edisi mendatang.
Selamat memperluas cakrawala.
Redaksi.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
iii
ISSN : 2085-8884 DAFTAR ISI
Halaman
Susunan Redaksi ………………………………………………………………………. i Pengantar Redaksi ……………………………………………………………………..
ii
Daftar Isi ………………………………………………………………………………. iii
Perlindungan Hukum Pekerja Migran Dari Tindakan Trafficking dan Implikasinya Terhadap Wacana Perubahan UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri ……………………………….. Oleh : Imas Rosidawati Wiradirja
1
Hak Sistem Pemilikan Tanah Bangsa Indonesia dan Kaitannya Dengan Penerapan Hak-Hak Derivatif Dalam Rangka Agunan Utang-Piutang …………………………... 22 Oleh: Aslan Noor Sertifikasi Halal Produk Pangan Sebagai Bentuk Perlindungan Konsumen Berdasarkan Undang – Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ……………………………………………………………………………... 47 Oleh : Iie Mansoer Kajian Hukum Persaingan Usaha Dalam Media Massa (Tinjauan Aspek Kemerdekaan Pers Dan Uu No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers) ………………………. Oleh : Naungan Harahap
75
Perlindungan Hukum Terhadap Privacy Dari Spamming Berdasarkan UndangUndang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ………….. Oleh: Tansah Rahmatullah
102
Akuisisi Saham Hubungannya Dengan Investasi Asing Dikaitkan Dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat …..................................................................................................... Oleh : Juli Asril & Imas Rosidawati Wiradirja Penyanderaan (Gijzeling) Sebagai Instrumen Memaksa Dalam Hukum Perpajakan …………………………………………………………………………...... Oleh : Fontian
124
149
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
1
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA MIGRAN DARI TINDAKAN TRAFFICKING DAN IMPLIKASINYA TERHADAP WACANA PERUBAHAN UU NO. 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI Oleh : Imas Rosidawati Wiradirja1 Abstract Every Indonesian citizen has right to get job and decent living for humanity, but in reality, the limitation of job fields makes lots of Indonesian people prefer to work abroad. From year to year, the amount of Indonesian people who work abroad is always increasing. The magnitude of public who wants to work abroad and already work abroad not only has its positive effect to decrease the unemployment problems, but also has its negative effect related to the possibility of inhuman treatment including trafficking. This kind of risk can be experienced by migrant workers during the departure period, working period, and after coming back to Indonesia. In other hand, UU No. 39 Tahun 2004 about TKI (Tenaga Kerja Indonesia) placement and protection abroad has not accommodated the whole content of Konvensi PekerjaMigran, because it only coversTKI protection during pre-placement and postplacement. Unfortunately, the law cannot protect the TKI during working period abroad. Key Words: Law Protection, Migrant Workers, Trafficking Abstrak Setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, tetapi pada kenyataannya karena keterbatasan akan lowongan kerja didalam negeri menyebabkan banyaknya warga negara Indonesia/TKI mencari pekerjaan ke luar negeri. Dari tahun ke tahun jumlah yang bekerja di luar negeri semakin meningkat. Besarnya animo tenaga kerja yang akan bekerja ke luar negeri dan besarnya jumlah TKI yang sedang bekerja di luar negeri disatu segi mempunyai sisi positif yaitu mengatasi sebagian masalah pengangguran didalam negeri, namun mempunyai pula sisi negatif berupa resiko kemungkinan terjadinya perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI, termasuk tindakan trafficking. Resiko tersebut dapat dialami oleh TKI baik selama proses keberangkatan, selama bekerja di luar negeri, maupun setelah pulang ke Indonesia. Pada sisi lain UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Pelindungan TKI di Luar Negeri, belum mengakomodir seluruh isi dari Konvensi Pekerja Migran, karena hanya mencakup perlindungan TKI selama pra penempatan dan purna penempatan. UU tersebut belum dapat melindungi para TKI selama bekerja di luar Negeri. Key Word : Law Protection, Migrant Workers, Traffiking 1
Senior Lecturer, Nusantara Islamic University (UNINUS), Bandung. Indonesia
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas RW. Perlindungan Hukum Pekerja Migran … A.
2
PENDAHULUAN Pekerjaan mempunyai makna yang sangat penting dalam kehidupan manusia
sehingga setiap orang membutuhkan pekerjaan.Pekerjaan dapat dimaknai sebagai sumber penghasilan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi dirinya dan keluarganya, dapat juga dimaknai sebagai sarana untuk mengaktualisasikan diri, sehingga seseorang merasa hidupnya menjadi lebih berharga baik. Hak atas pekerjaan merupakan hak asasi yang melekat pada diri seseorang yang wajib dijunjung tinggi dan dihormati.2 Makna dan arti pentingnya pekerjaan bagi setiap orang tercermin dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, namun pada kenyataannya, keterbatasan akan lowongan kerja didalam negeri menyebabkan banyaknya warga negara Indonesia/TKI mencari pekerjaan ke luar negeri. Dari tahun ke tahun jumlah mereka yang bekerja di luar negeri semakin meningkat. Besarnya animo tenaga kerja yang akan bekerja ke luar negeri dan besarnya jumlah TKI yang sedang bekerja di luar negeri disatu segi mempunyai sisi positif yaitu mengatasi sebagian masalah pengangguran didalam negeri, namun mempunyai pula sisi negatif berupa resiko kemungkinan terjadinya perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI. Resiko tersebut dapat dialami oleh TKI baik selama proses keberangkatan, selama bekerja di luar negeri, maupun setelah pulang ke Indonesia. Dengan demikian perlu dilakukan pengaturan agar resiko perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI sebagaimana disebutkan di atas dapat dihindari atau minimal dikurangi. Pada hakekatnya ketentuan-ketentuan hukum yang dibutuhkan dalam masalah ini adalah ketentuan-ketentuan yang mampu mengatur pemberian pelayanan penempatan bagi tenaga kerja secara baik didalamnya mengandung prinsip murah, cepat, tidak berbelitbelit dan aman. Pengaturan yang bertentangan dengan tersebut memicu terjadinya penempatan tenaga kerja illegal yangberujung pada perbuatan trafficking dan tentunya berdampak kepada minimnya perlindungan bagi tenaga kerja yang bersangkutan.
2
Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
3
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015 Tindak pidana perdagangan orang (Trafficking) merupakan bagian yang tidak
terlepaskan dari Hak Asasi Manusia (HAM).3 Kegiatan perdagangan orang (Trafficking) merupakan perbuatan yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM)4 dan termasuk kejahatan kemanusiaan (Crime Against Humanity)5.Unsur utama (bestandel) dalam kejahatan perdagangan orang adalah setiap perbuatan yang pada hakekatnya menyebabkan tereksploitasinya seseorang dalam penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.6Korban-korban trafficking yang mengalami kekerasan tindak kekerasan biasanya tidak terbuka, seperti fenomena Gunung Es yang nampak kepermukaan lebih sedikit tetapi kenyataannya jumlahnya lebih besar, sehingga sulit untuk diprediksi. Di Indonesia, tercatat jumlah populasi korban tindak kekerasan pada tahun 2010 sebanyak 93.905 orang dan pekerja migran terlantar sebanyak 58.283 orang.7 Dalam konteks Internasional masalah definisi perdagangan orang ini menjadi masalah yang mengandung perdebatan dan perhatian yang cukup tinggi terutama dalam kaitannya dengan makna perdagangan orang dan upaya – upaya tertentu yang harus ditempuh untuk menanggulanginya.8 Jame Chuang mengatakan bahwa perdebatan yang muncul mengenai definisi perdagangan orang adalah elemen – elemen apa saja yang dianggap sebagai bagian yang harus ada dalam perdagangan orang.9 Seseorang yang mencari pekerjaan di luar daerah asalnya, baik masih di dalam negeri atau domestik maupun ke luar negeri atau lintas negara (pekerja migran), merupakan masalah global yang terjadi diberbagai negara di dunia, terutama negara3
Muladi, (Editor) Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam Persfektif Hukum dan masyarakat, PT. Refika Aditama, Bandung, 2005, Oleh Slamet Maria Wardaya, Hakekat, Konsepsi dan Rencana Aksi HAM, hlm. 3 4 Moh. Hatta , Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Teori Dan Praktek, 2011, Liberty, Yogyakarta, hlm. 5. 5 Perdagangan Manusia, “Human Trafficking” : https://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_manusia , 3 July 2015 6 Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, Hlm. 81 7 Pusdakin Kesos Kementerian Sosial RI 8 Shelly Casy Inglis, “Expanding International and National Pratections Againts Trafficking for forced labor using a Human right from work” Buffalo Human Right laus Reviw, Vo7, Tahun 2001, hlm; 59-60 9 Janie Chuang, “Redirecting the debate over trafficking in women definitions, paradigms, and contexts”, Harvard Human Rights Journal, No 11, tahun 1998, hlm. 66
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas RW. Perlindungan Hukum Pekerja Migran …
4
negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, dimana didalam negeri lapangan kerja yang tersedia tidak memadai. Di Indonesia, pada tahun 2010 sebanyak 696.746 pekerja migran Indonesia berdokumen pergi ke luar negeri untuk bekerja utamanya menuju Malaysia dan Arab Saudi10. Sekitar 75% pekerja migran Indonesia adalah perempuan dan sebagian besar diantaranya bekerja disekitar domestik, yang sangat rentan terhadap berbagai masalah eksploitasi. Memang tidak semua pekerja migran (terutama Tenaga Kerja Wanita/TKW) bermasalah, namun tidak sedikit dari mereka yang ceriteranya berakhir dengan mengenaskan. Masalah tersebut misalnya tidak mendapatkan gaji yang layak, mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh (pelecehan seksual), mengalami penyiksaan bahkan hingga berujung kematian. Faktor yang menyebabkan timbulnya pekerja migran bermasalah, yaitu karena kelangkaan pasaran kerja di daerah asal, yang kurang baik, mekanisme penempatan pekerja migran yang belum mantap, serta adanya pemutusan hubungan kerja serta adanya percaloan yang melemahkan posisi pekerja migran. Masalah korban tindak kekerasan dan pekerja migran tersebut di atas, perlu mendapatkan penanganan dan perlindungan hukum yang serius dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat melalui lembaga swadaya masyarakat.Kebijakan penanganan korban tindak kekerasan dan pekerja migran merupakan realisasi dari amanat konstitusional, aturan legislasi dan operasionalisasi dari sistem penanganan korban tindak kekerasan dan pekerja migran yang universal. Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, para pekerja migran merupakan penyumbang terbesar kedua kepada negara setalah migas. Pada tahun 2010, pemerintah Indonesia mengumumkan adanya nilai kiriman uang yang masuk (remittance) dari pekerja migran Indonesia, yang berkontribusi pada ekonomi nasional sebesar 5.84 milyar USD (BNP2TKI), bahkan sepanjang tahun 2010 mengirim remiten 7.135 milyar dollar AS, suatu nilai yang sangat pantastis.11 Banyak buruh migrant yang merupakan korban dari perdagangan orang ( trafficking), kenyataannya berdasarkan Database Migrant CARE, 2011 Trafficking 50
10
Data BNP2-TKI, tahun 2010 Kementerian Sosial RI, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial, Direktorat Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran tahun 2011. 11
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
5
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
% terkait dengan TKI12 kondisi ini terbukti dari banyaknya kasus pelanggaran hak TKI yang terjadi setiap tahunnya, gaji tidak terbayar dan paspor yang ditahan oleh majikan. Mekanisme penyelesaian atas berbagai kasus yang dihadapi TKI belum optimal sebagaimana yang diharapkan. Hal ini tidak sebanding dengan sumbangan yang mereka berikan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Sementara itu, peraturan perundang-undangan yang ada pun belum mampu menjawab permasalahan yang mengemuka. Selain UU 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, instrumen hukum yang tersedia untuk mengatasi permasalahan TKI hanya Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Penempatan dan Perlindungan TKI (”Inpres 6/2006”) serta Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Nomor 14 tahun 2010 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri (”Permen 14/2010”). Di sisi lain, kelembagaan yang ada dan yang baru dibentuk (seperti BNP2TKI) masih belum mampu bertindak efektif dan acapkali terjadi miskoordinasi dan kurangnya sinergi kelembagaan. Akar permasalahan dari tenaga migrant di Indonesia antara lain : 1.
Pengangguran (jumlah angkatan kerja tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan kerja);
2.
Permasalahan dalam rekrutmen (rekrut melalui Calo, pemalsuan dokumen/ identitas);
3.
Rendahnya Kualitas CTKI (unskilled/3D);
4.
Lemahnya pengawasan (Pada umumnya, perlindungan TKI hanya dilakukan apabila masalah-masalah yang dialami TKI telah menjadi berita di media masa).
5.
Trafficking (50 % terkait dengan TKI);
6.
Kurangnya Koordinasi (masalah TKI tidak dapat diselesaikan oleh satu instansi, sangat tergantung dari instansi lain);
7.
Lemahnya penegakan hukum/law enforcement. Salah satu contoh berkaitan dengan sumber daya manusia, karena termasuk
unskilled maka diperlukan
pelatihan kerja termasuk penguasaan bahasa negara
12
Sumber: Depnaker, BNP2TKI, Deplu, KBRI dan Pengaduan Keluarga Korban Trafficking, Database Migrant CARE, 2011
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas RW. Perlindungan Hukum Pekerja Migran …
6
setempat bagi calon TKI oleh PPTKIS yang semestinya dilakukan selama 200 jam tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Calon TKI hanya singgah beberapa hari saja sudah ditempatkan untuk bekerja di luar negeri. Akibatnya TKI tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik karena kurangnya keterampilan yang dimiliki maupun karena ketidakmampuan berkomunikasi dengan majikan. Demikian halnya dengan memberikan perlindungan bagi TKI di luar negeri dan pemulangan TKI sampai daerah asal tidak dapat dilakukan karena PPTKIS sendiri tidak memiliki kantor perwakilan luar negeri untuk mengurus kepentingannya sebagaimana ditetapkan dalam UU. Beban tanggung jawab yang terlalu luas diberikan kepada PPTKIS sebagai badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas (PT) kurang tepat karena badan usaha tersebut orientasinya mencari keuntungan (profit oriented). Akibatnya beban tanggung jawab itu tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik yang menyebabkan penempatan TKI tidak dapat dilaksanakan secara selektif. Tulisan ini mengkaji bagaimanakah tantangan kedepan dalam pembangunan ketenagakerjaan sebagai upaya memperluas kesempatan kerja yang berkualitas, terciptanya perlindungan hak, dan keselamatan pekerja migran serta urgensi revisi terhadap UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Pelindungan TKI di Luar Negeri.
B.
TANTANGAN KEDEPAN&URGENSI REVISI UU NO. 39 TAHUN 2004 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Agustus 2014, jumlah
penduduk Indonesia diatas usia 15 tahun berjumlah 182,98 juta orang. Jumlah angkatan kerja Indonesia mencapai 121, 87 juta jiwa atau 66, 60 % , dengan 5,94 % diantaranya atau 7,24 juta orang berstatus sebagai pengangguran terbuka. Angka ini belum mencantumkan pengangguran terselubung yang dapat menambah banyak angka angkatan kerja yang mencari pekerjaan. Dengan banyaknya kesempatan kerja di luar negeri, pertumbuhan TKI menjadi hal yang tak terelakkan, namun juga harus diikuti dengan peningkatan kualitas penempatan dan standar perlindungan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2014, menunjukan pula bahwa jumlah angkatan kerja selalu
melampaui ketersediaan
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
7
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
pekerjaan, angka pengangguran juga tinggi. Kondisi ekonomi di Indonesia demikian mendorong masyarakat untuk menjadi TKI dikarenakan lapangan kerja domestik yang masih terbatas dan tidak cukup untuk menampung angkatan kerja. Berdasarkan Pemeriksaan Semester II tahun 2011 Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, didapatkan data bahwa TKI yang ditempatkan di 46 negara tujuan dalam lima tahun terakhir mencapai jumlah 3,01 juta, dan berasal dari 19 propinsi dan 156 kabupaten/kota di Indonesia. Kawasan penempatan terbesar adalah kawasan Asia Pasifik dan Timur Tengah. Penempatan TKI di luar negeri telah memberikan tambahan sumber devisi negara yang besar dengan rata-rata setiap tahunnya mencapai US$ 4.37 miliar atau setara dengan Rp.39,3 triliun. Sementara itu, data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia memberikan angka penempatan TKI berjumlah 1.459.732 (satu juta empat ratus lima puluh semblian ribu tujuh ratus tiga puluh dua) per Juni 2011. Angka ini akan terus bertambah karena diperkirakan terdapat penambahan jumlah TKI sekitar 450.000 (empat ratus lima puluh ribu) setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut sektor pekerja informal (yang mencapai 64% dengan 90% diantaranya bekerja sebagai pekerja rumah tangga) memberikan devisi sebesar US$6.6 miliar di luar sektor minyak bumi dan gas alam (berdasarkan data BNP2TKI tahun 2010). Hal ini selaras dengan data dari Bank Indonesia yang menunjukkan bahwa devisi negara yang dihasilkan melalui penempatan TKI di luar negeri mencapai US$6.6 miliar di tahun 2009, US$ 6 miliar di tahun 2010, dan untuk semester I 2011 sudah mencapai US$ 3.3 miliar. Meskipun banyak mendatangkan devisa bagi negara dan daerah serta turut serta memecahkan persoalan ketenagakerjaan di dalam negeri, perlindungan yang diperoleh para buruh migran masih sangat terbatas.Setelah sebelas tahun tahun UU ini berlaku, berbagai persoalan yang menimpa TKI masih terus terjadi. Berbagai kelemahan secara substansi terhadap UU 39/2004 memberikan kontribusi terhadap hal tersebut baik norma yang diatur maupun kelembagaan yang terlibat didalamnya. Masih banyak masalah dan kasus-kasus yang terjadi, baik secara kuantitas maupun variasinya, di samping jumlah TKI yang bekerja di luar negeri makin bertambah dari tahun ke tahun. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencatat kasus yang melibatkan penempatan TKI di luar negeri sebesar 110.171 PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas RW. Perlindungan Hukum Pekerja Migran …
8
(seratus sepuluh ribu seratus tujuh puluh satu). Dari kondisi yang demikian itu kemudian mucul pendapat yang menyatakan bahwa sebagian besar masalah terjadi karena UU 39/2004 tidak dapat mengatasi masalah, dan penyelesaian kasus-kasus yang terjadi tersebut. Di sisi lain, selain itu, Hasil Pemeriksaaan BPK Semester II tahun 2010 terhadap Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri menyimpulkan bahwa penempatan TKI di luar negeri tidak didukung secara penuh dengan kebijakan yang utuh, komprehensif, dan transparan untuk melindungi hak-hak dasar TKI, dan kesempatan yang sama bagi setiap pemilik kepentingan. Hal ini juga tidak didukung dengan sistem yang terintegrasi dan alokasi sumber daya yang memadai guna meningkatkan kualitas penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Ketidakjelasan kebijakan dan lemahnya sistem penempatan dan perlindungan TKI memberikan peluang terjadinya penyimpangan sejak proses rekruitmen, pelatihan dan pengujian kesehatan, pengurusan dokumen, proses penempatan di negara tujuan sampai dengan pemulangan TKI ke tanah air. Kompleksitas masalah tersebut mengakibatkan efektivitas penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri tidak tercapai secara optimal. Sebagai sebuah produk hukum yang berkenaan dengan nasib manusia, UU 39 Tahun 2004 sudah sewajarnya mampu memberikan payung perlindungan hukum bagi TKI yang bekerja di luar negeri sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945 alinea ke empat. Dengan demikian kehendak agar setiap warga negara mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dapat terwujud. Seluruh pemangku kepentingan pada dasarnya sepakat bahwa permasalahan pengelolaan ketenagakerjaan di luar negeri adalah dampak dari lemahnya UU 39 Tahun 2004. Revisi terhadap UU 39 tahun 2004 merupakan momentum untuk mengembalikan hak bagi setiap warga negara indonesia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak melaui jaminan atas hak bermigrasi secara aman. Dimasukannya revisi UU 39/2004 sebagai agenda prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 merupakan peluang agar dapat dilakukan perbaikan. Berbagai alasan dapat diberikan untuk menjelaskan mengapa UU 39/2004 tidak dapat berjalan efektif sebagaimana diharapkan.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
9
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015 Pertama, terkait dengan landasan filosofis dari UU 39 Tahun 2004 itu sendiri
yang menganggap TKI sebagai komoditas. Kedua, kurangnya perlindungan hak-hak tenaga kerja berorientasi HAM dalam UU tersebut. Ketiga, terlalu banyak keterlibatan peran swasta (melalui Pelaksana Penempatan TKI Swasta) yang tidak terkontrol dan hanya berorientasi keuntungan. Keempat, lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah yang masih terjebak ego sektoral. Hal-hal tersebut memberikan pemahaman yang lebih komprehensif berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan, untuk kemudian dijadikan landasan bagi para pembuat undang-undang untuk merumuskan perubahan terhadap UU 39 tahun 2004. a.
Bahwa bekerja merupakan hak asasi manusia yang wajib dijunjung tinggi, dihormati, dan dijamin penegakannya;
b.
Bahwa setia tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan;
c.
Bahwa tenaga kerja indonesia di luar negeri sering dijadikan obyek perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenangwenangan, kejahatan atas harkat dan mertabat menusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia;
d.
Bahwa negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia;
e.
Bahwa penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang peleksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan hukum nasional; PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas RW. Perlindungan Hukum Pekerja Migran … f.
10
Bahwa penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri perlu dilakukan secara terpadu antara instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah dan peran serta masyarakat dalam suatu sistem hukum guna melindungi tenaga kerja Indonesia yang ditempatkan diluar negeri;
g.
Bahwa peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang ada belum mengatur secara memadai, tegas, dan terperinci mengenai penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri;
h.
Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri diatur dengan undang-undang Sejalan dengan semakin meningkatnya tenaga kerja yang ingin bekerja di luar
negeri dan besarnyaa jumlah TKI yang sekarang ini bekerja di luar negeri, meningkat pula kasus perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI baik di dalam maupun di luar negeri. Kasus yangn berkaitan dengan nasib TKI semakin beragama dan bahkan berkembang kearah perdagangan manusia yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Selama ini, secara yuridis peraturan perundang-undang yang menjadi dasar acuan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri adalah Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8) dan Keputusan Menteri serta peraturan pelaksanaannya. Ketentuan dalam ordonansi sangat sederhana/sumir sehingga secara praktis tidak memenuhi kebutuhan yang berkembang. Kelemahan ordonansi itu dan tidak adanya undang-undang yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri selama ini diatasi melalui pengaturan dalam Keputusan Menteri serta peraturan pelaksanaannya. Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Negeri dinyatakan tidak berlaku lagi dan diamanatkan penempatan tenaga kerja ke luar negeri diatur dalam undang-undang tersendiri. Pengaturan melalui undang-undang tersendiri, diharapkan mampu merumuskan norma-norma hukum yang melindungi TKI dari berbagai upaya dan perlakuan eksploitatif dari siapapun. Dengan mengacu kepada Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
11
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
Tahun 1945, maka Undang-undang ini intinya harus memberi perlindungan warga negara yang akan menggunakan haknya untuk mendapat pekerjaan, khususnya pekerjaan di luar negeri, agar mereka dapat memperoleh pelayanan penempatan tenaga kerja secara cepat dan mudah dengan tetap mengutamakan keselamatan tenaga kerja baik fisik, moral maupun martabatnya. Dikaitkan dengan praktek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia masalah penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri, menyangkut juga hubungan antar negara, maka sudah sewajarnya apabila kewenangan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri merupakan kewenangan Pemerintah. Namun Pemerintah tidak dapat bertindak sendiri, karena itu perlu melibatkan Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota serta institusi swasta. Di lain pihak karena masalah penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia langsung berhubungan dengan masalah nyawa dan kehormatan yang sangat azasi bagi manusia, maka institusi swasta yang terkait tentunya haruslah mereka yang mampu, baik dari aspek komitmen, profesionalisme maupun secara ekonomis, dapat menjamin hak-hak azasi warga negara yang bekerja di luar negeri agar tetap terlindungi. Setiap tenaga kerja yang bekerja di luar wilayah negaranya merupakan orang pendatang atau orang asing di negara tempat ia bekerja. Mereka dapat dipekerjakan di wilayah manapun di negara tersebut, pada kondisi yang mungkin di luar dugaan atau harapan ketika mereka masih berada di tanah airnya. Berdasarkan pemahaman tersebut kita harus mengakui bahwa pada kesempatan pertama perlindungan yang terbaik harus muncul dari diri tenaga kerja itu sendiri, sehingga kita tidak dapat menghindari perlunya diberikan batasan-batasan tertentu bagi tenaga kerja yang akan bekerja di luar negeri. Pembatasan yang utama adalah keterampilan atau pendidikan dan usia minimum yang boleh bekerja di luar negeri. Dengan adanya pembatasan tersebut diharapkan dapat diminimalisasikan kemungkinan eksploitasi terhadap TKI. Pemenuhan hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan sebagaimana yang, diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat dilakukan oleh setiap warga negara secara perseorangan. Terlebih lagi dengan mudahnya memperoleh informasi yang berkaitan dengan kesempatan kerja yang ada di luar negeri. Kelompok masyarakat yang dapat memanfaatkan teknologi informasi tentunya mereka yang PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas RW. Perlindungan Hukum Pekerja Migran …
12
mempunyai pendidikan atau keterampilan yang relatif tinggi. Sementara bagi mereka yang mempunyai pendidikan dan keterampilan yang relatif rendah yang dampaknya mereka biasanya dipekerjakan pada jabatan atau pekerjaan-pekerjaan “kasar”, tentunya memerlukan pengaturan berbeda dari pada mereka yang memiliki keterampilan dan pendidikan yang lebih tinggi. Bagi mereka lebih diperlukan campur tangan Pemerintah untuk memberikan pelayanan dan perlindungan yang maksimal. Perbedaan pelayanan atau perlakuan bukan untuk mendiskriminasikan suatu kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya, namun justru untuk menegakkan hak-hak warga negara dalam memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Oleh karena itu dalam revisi Undang-undang ini, prinsip pelayanan penempatan dan perlindungan TKI adalah persamaan hak, berkeadilan, kesetaraan gender serta tanpa diskriminasi. Telah dikemukakan di atas bahwa pada umumnya masalah yang timbul dalam penempatan dalah berkaitan dengan hak azasi manusia, maka sanksi-sanksi yang dicantumkan dalam Undang-undang ini, cukup banyak berupa sanksi pidana. Bahkan tidak dipenuhinya persyaratan salah satu dokumen perjalanan, sudah merupakan tindakan pidana. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa dokumen merupakan bukti utama bahwa tenaga kerja yang bersangkutan sudah memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri. Tidak adanya satu saja dokumen, sudah beresiko tenaga kerja tersebut tidak memenuhi syarat atau illegal untuk bekerja di negara penempatan. Kondisi ini membuat tenaga kerja yang bersangkutan rentan terhadap perlakuan yang tidak manusiawi atau perlakuan yang eksploitatif lainnya di negara tujuan penempatan. Dengan mempertimbangkan kondisi yang ada serta peraturan perundangundangan, termasuk didalamnya Undang-undang Nomor 1 tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik dan Konvensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsuler, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Misi Khusus (Special Missions) Tahun 1969, dan Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Undangundang tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dirumuskan dengan semangat untuk menempatkan TKI pada jabatan yang tepat sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya, dengan tetap melindungi hak-hak TKI. PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
13
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
Dengan demikian revisi Undang-undang ini diharapkan disamping dapat menjadi instrumen perlindungan bagi TKI baik selama masa pra penempatan, selama masa bekerja di luar negeri maupun selama masa kepulangan ke daerah asal di Indonesia juga dapat menjadi instrumen peningkatan kesejahteraan TKI beserta keluarganya.
C.
ANALISIS Hukum merupakan salah satu sarana untuk mencapai keadilan sehingga dengan
adanya hukum diharapkan akan tercapai tatanan masyarakat yang adil, tertib dan demokratis. Oleh sebab itu, sudah seharusnya hukum berperan untuk melindungi serta memberikan prosedur yang demokratis bagi tiap warga negara untuk mempergunakan dan membela kepentingan-kepentingannya serta hak-haknya yang sah.Peraturan hukum apapun bentuknya dapat menunjukkan keinginan-keinginan dari masyarakat yang mendambakan keadilan. UUD 1945 menjamin adanya persamaan di depan hukum (equality before the law) dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 disebutkan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Salah satu hak dasar dari warga negara adalah hak untuk mendapat perlindungan hukum, sebagai implementasi dan fungsi dari penegakkan supremasi hukum yang dilakukan oleh lembaga-lembaga dalam sistem hukum di Indonesia yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.13 UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Pelindungan TKI di Luar Negeri, belum mengakomodir seluruh isi dari Konvensi Pekerja Migran, karena hanya mencakup perlindungan TKI selama pra penempatan dan purna penempatan. UU tersebut belum dapat melindungi para TKI selama bekerja di luar Negeri. Oleh karena itu dalam revisi Undang-undang ini, prinsip pelayanan, penempatan dan perlindungan TKI adalah persamaan hak, berkeadilan, kesetaraan gender serta tanpa diskriminasi. Pemerintah
Daerah
sebagai
bagian
dari
Pemerintah
Indonesia
perlu
meningkatkan upaya-upaya perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak-hak
13
Perdagangan Manusia, “Human Trafficking”, https://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_manusia Jum’at , 3 July 2015
,
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas RW. Perlindungan Hukum Pekerja Migran …
14
seluruh buruh migrant dan anggota keluarganya bedasarkan norma-norma hak asasi manusia universal. Digagasnya Perda perlindungan TKI oleh Buruh Migran Indonesia (BMI) sudah tepat dan layak didukung oleh semua pihak. Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari konvensi perlindungan buruh Internasional. Paling tidak, perda tersebut harus menjadikan Konvensi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) Tahun 1990 Tentang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, serta Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 189 Tahun 2011 Tentang Kerja Layak Bagi Pekerja Rumah Tangga sebagai acuannya. Dengan berpedoman pada kedua konvensi Internasional tersebut, Perda Perlindungan TKI akan lebih selaras dan sinkron dengan berbagai aturan yang telah disepakati oleh dunia Internasional. Contoh kasus bagaimana perlunya perlindungan pekerja migran selama melakukan pekerjaannya, dialami oleh Siti Zaenab PRT migran Indonesia yang pada hari Selasa 14 April 2015, di eksekusi mati di Madinah Saudi Arabia pada pukul 10.00 waktu Madinah. Eksekusi ini merupakan bentuk pelanggaran HAM yang serius karena hak hidup setiap orang harus dijamin, apalagi Siti Zaenab terpaksa melakukan pembunuhan terhadap majikan perempuannya karena membela diri atas penganiayaan yang diterimanya memasuki tahun kedua masa kerjanya di rumah majikan. Cerita mengenai penyiksaan tersebut, disampaikan Siti Zaenab kepada keluarganya melalui surat. Siti Zaenab berangkat ke Saudi Arabia pada 7 Maret 1998 melalui PT Banyu Ajisakti. Siti Zaenab bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga pada majikan Abdullah Muhsin AlAhmadi. Siti Zaenab di vonis hukuman mati oleh pengadilan Madinah pada 8 Januari 2001 atas tuduhan pembunuhan terhadap majikan perempuannya, Nauroh Bt Abdullah. Siti Zaenab ditahan di penjara umum Madinah hampir 16 tahun, terhitung sejak 5 Oktober 1999 – 13 April 2015. Pada masa pemerintahan Gus Dur, Siti Zaenab berhasil ditunda eksekusi atas lobby Gus Dur dengan Raja Arab hingga ahli waris majikannya akil balig. Jumlah buruh migran Indonesia yang berada di luar negeri sebesar 4,5 juta orang. Sebagian besar diantara mereka adalah perempuan (sekitar 70 %) dan bekerja di sektor domestik (sebagai PRT) dan manufaktur. Dari sisi usia, sebagian besar mereka berada PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
15
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
pada usia produktif (diatas 18 tahun sampai 35 tahun), namun ditengarai banyak juga mereka yang sebenarnya berada pada usia anak-anak. Kenyataan ini terjadi karena mereka banyak yang dipalsukan identitas dokumen perjalanannya. Selebihnya, sekitar 30 % adalah laki-laki, bekerja sebagai buruh perkebunan, konstruksi, transportasi dan jasa. Dalam Kabinet Kerja Pemerintahan Jokowi-JK saat ini setidaknya ada 3 institusi yang memiliki mandat untuk perlindungan buruh migran yaitu Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Luar Negeri dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Perubahan nomenklatur Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menjadi Kementerian Ketenagakerjaan seharusnya bisa mendorong institusi ini focus pada kebijakan ketenagakerjaan (perburuhan) baik didalam negeri maupun di luar negeri serta mengkoherensikan bahwa persoalan buruh migran tak lepas kaitannya dengan kebijakan perburuhan di dalam negeri. Namun demikian, perubahan nomenklatur tersebut belum membawa reformasi signifikan dalam kebijakan ketenagakerjaan. Kementerian
Ketenagakerjaan
saat
ini
melanjutkan
kebijakan-kebijakan
kontradiktif dari menteri sebelumnya mengenai Road Map Penghapusan PRT Migran. Dalam perspektif hak asasi manusia, argumentasi pelarangan PRT migran ke luar negeri sebagai langkah perlindungan adalah kesalahan dalam logika berfikir. Dalam prakteknya, langkah moratorium dan penghentian permanen hanya menghasilkan potensi pembesaran praktek perdagangan manusia atas nama penempatan buruh migran. 14 Moratorium penempatan buruh migran menjadi kebijakan permanen yang dilegitimasi dengan Permenaker No. 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke 19 negara tujuan di Timur Tengah yang berlaku efektif sejak Juli 2015. Kebijakan ini dipastikan akan meriplikasi kegagalan moratorium-moratorium sebelumnya, karena berdasarkan penelitian Migrant CARE di bandara Soekarno Hatta, dari 1.650 orang PRT migran yang akan berangkat ke Timur Tengah 46,4% diantaranya adalah PRT migran yang baru 14
http://migrantcare.net/event/jambore-nasional-buruh-migran-indonesia/#sthash.1UAkhdzL.dpuf
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas RW. Perlindungan Hukum Pekerja Migran …
16
berangkat ke Timur Tengah. Situasi ini memperlihatkan bahwa moratorium hanyalah kebijakan diatas kertas semata. Langkah menghadirkan negara dalam perlindungan buruh migran lebih nyata terlihat dari kinerja Kementerian Luar Negeri. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mempunyai komitmen yang kuat dalam perlindungan buruh migran Indonesia. Rekam jejak semasa menjadi Dubes RI di Belanda, Menlu Retno aktif memfasilitasi adanya pembentukan organisasi buruh migran Indonesia di Belanda. Dalam forum bilateral, regional (ASEAN) dan multilateral, masalah buruh migran selalu diusulkan dan diperjuangkan sebagai agenda prioritas. Namun demikian, langkah-langkah progresif Menlu Retno tidak diimbangi oleh kinerja perwakilan RI di luar negeri yang masih bekerja “business as usual”. Cara pandang yang diskriminatif terhadap buruh migran membuat mereka merasa bahwa menangani masalah buruh migran dianggap sebagai “beban” bukan sebagai “tanggungjawab”. Seperti di KBRI Kulalumpur Malaysia, citizen services hanyalah jargon, pelayanan dokumen keimigrasian semakin birokratis. Sementara itu Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sebagai institusi yang dimandatkan oleh UU No. 39 Tahun 2004 masih belum bisa menuntaskan masalah duplikasi kewenangan dengan bidang Penempatan dan Perlindungan TKI di lingkungan Kemenaker. Meski demikian ada beberapa langkah yang patut diapresiasi dari inisiatif BNP2TKI, misalnya perancangan penurunan biaya penempatan ke Taiwan, evaluasi kinerja PPTKIS dan pelibatan masyarakat sipil (CSO dan organisasi buruh migran) dalam perancangan dan pengusulan kebijakan mengenai buruh migran Indonesia. Hal ini harus didukung oleh Kemenaker karena Kemenakepihak yang mempunyai kewenangan membuat regulasi. Eksekusi mati terhadap 2 PRT Migran Indonesia yang bekerja di Saudi Arabia (Siti Zaenab dan Karni) secara berturut-turut pada bulan April 2015 tentu merupakan tamparan keras dan tantangan dari perwujudan cita-cita menghadirkan negara dalam perlindungan buruh migran. Meski kasus-kasus hukuman mati terhadap buruh migran adalah akumulasi dan warisan kasus-kasus dari lemahnya komitmen perlindungan pemerintahan sebelumnya. Upaya pembelaan pemerintah RI terhadap buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri , telah dilakukan langkah PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
17
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
diplomasi tingkat tinggi yang dilakukan Presiden Jokowi dengan Raja Saudi Arabia pada awal bulan September 2015 untuk pembebasan PRT Migran dari hukuman mati patut dipresiasi. Pemerintah juga harus secara proaktif dalam mengimplementasikan Konvensi Internasional Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya yang telah diratifikasi dengan UU No. 6 Tahun 2012).
15
serta
masih enggan untuk menyusun peta jalan menuju Ratifikasi Konvensi ILO 189/2011 tentang Kerja Layak Bagi PRT. Perbincangan kontemporer mengenai agenda pembangunan masa depan telah mengadopsi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) pada Sidang Umum PBB tanggal 25 September 2015. Sustainable Development Goals ini diikhtiarkan sebagai agenda global penghapusan kemiskinan dan ketimpangan serta menjadi kelanjutan dari Millenium Development Goals (MDGs) yang masih dianggap belum mampu menuntaskan goal dan targetnya di tahun 2015. Kutipan diatas merupakan bagian dari agenda baru SDGs (Sustainable Development Goals) yang tidak hanya memberi pengakuan adanya kontribusi buruh migran dalam gerak ekonomi dunia, tetapi juga mengakui adanya banyak dimensi yang terkandung dalam migrasi tenaga kerja yang memerlukan penanganan yang komprehensif. Hal ini memperlihatkan bahwa migrasi tenaga kerja dan realitas buruh migran sudah menjadi perhatian internasional sehingga upaya-upaya berbagai pihak untuk memperjuangkan hak-hak buruh migran menemukan relevansinya.16 Beberapa progres yang sudah berjalan antara lain: a)
Kementerian Luar Negeri sudah memulai insiatif pengarusutamaan gender dalam politik dan diplomasi luar negeri, termasuk penilaian kinerja perwakilan RI di luar negeri;
b)
Inisiatif dari BNP2TKI untuk melakukan penurunan biaya penempatan buruh migran yang sangat tinggi, membebani, perangkap jeratan hutang bagi buruh migran, dan legitimasi pengambilan keuntungan bagi PPTKIS dan agen di luar negeri;
15
http://migrantcare.net/2015/10/20/siaran-pers-migrant-care-pemerintahan-jokowi-jk-belum-on-thetrack-dalam-perlindungan-buruh-migran-indonesia/#sthash.zjFB9nzY.dpuf 16 http://migrantcare.net/event/jambore-nasional-buruh-migran-indonesia/#sthash.1UAkhdzL.dpuf
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas RW. Perlindungan Hukum Pekerja Migran … c)
18
Pemerintah Indonesia (Kemenlu, Kemenaker dan BNP2TKI) membuka ruang partisipasi masyarakat sipil dalam agenda perlindungan buruh migran. Advokasi Amandemen Perundang-Undangan Untuk Mewujudkan Migrasi
Aman, bertujuan mendesak pemerintah untuk menyediakan perundang-undangan sebagai landasan hukum (legal basis) bagi perlindungan buruh migran dan berlangsungnya migrasi aman. Dengan sasaran pencapaian yakni adanya amademen pasal-pasal perundang-undangan yang ekploitatif terhadap buruh migrant, serta mendesak pemerintah untuk meratifikasi Konvensi ILO 189 dan kebijakan-kebijakan negara yang dibutuhkan untuk implementasinya.17
D.
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN :
1.
Berbagai pembenahan dan reformasi sistem, prosedur pelayanan penempatan dan perlindungan TKI telah dilakukan akan tetapi dalam pelaksanaannya masih menghadapi kendala yang membutuhkan keseriusan dan keterpaduan dalam penanganannya. Disisi lain UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Pelindungan TKI di Luar Negeri, belum mengakomodir seluruh isi dari Konvensi Pekerja Migran, karena hanya mencakup perlindungan TKI selama pra penempatan dan purna penempatan.
2.
Peranan
Kementerian Ketenagakerjaan dalam pembangunan ketenagakerjaan
diarahkan kepada upaya memperluas kesempatan kerja yang berkualitas, terciptanya
perlindungan
hak,
dan
keselamatan
pekerja
migran
serta
mempersiapkan berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean 3.
Kondisi dan tantangan ketenagakerjaan membutuhkan perumusan program dan sasaran bidang penempatan dan perluasan kesempatan kerja yang lebih terarah dan terpadu
17
http://migrantcare.net/program/advokasi-amandemen-perundang-undangan-untuk-mewujudkan-migrasiaman-2/#sthash.02At8vl1.dpuf
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
19
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015 SARAN :
1.
Perlu segera direvisinya UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Pelindungan TKI di Luar Negeri, karena belum mengakomodir seluruh isi dari Konvensi Pekerja Migran, dan hanya mencakup perlindungan TKI selama pra penempatan dan purna penempatan, sedangkan selama pelaksanaan bekerja di luar negeri tidak terlindungi. Padahal justru masalah lebih banyak ketika terjadi penyimpangan selama bekerja, bukan pada saat pergi atau pulangnya.Perkuat koordinasi tiga lembaga, yakni Kemenlu, Kemenakertrans, serta BNP2TKI, serta Adopsi isi konvensi PBB 1990 tentang perlindungan hak-hak pekerja migran dan anggotanya. Ratifikasi terhadap International Convention on The Protection of The Rights of All Migrant Workers and Their Families yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui sidang paripurna DPR, tanggal 12 April 2012
2.
Isu –isu yang harus termuat dalam RUU tersebut meliputi : Paradigma perlindungan, ruang lingkup buruh migran, jaminan buruh hak buruh migran, peranan PJTKI, training pra pemberangkatan, biaya penempatan, pengawasan, perjanjian kerja, kelembagaan, peran pemda, perlindungan dan bantuan hukum, asuransi, KTKLN, kepulangan TKI, mekanisme penyelesaian masalah, peran masyarakat sipil, dan penegakan hukum.
3.
Pendidikan dan pelatihan yang diberikan kepada buruh migrant harus benarbenar berkualitas, sesuai kebutuhan, bukan menjadi ruang eksploitasi terhadap Buruh Migran seperti yang selama ini terjadi. Diklat ini harus menjadi tugas pemerintah bukan swasta, serta menciptakan sistem online yang sudah terkoneksi dari daerah kabupaten/kota dan provinsi hingga ke pusat dan Perwakilan RI di luar negeri.
REFERENSI : BUKU / JURNAL : Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2011 Janie Chuang, “Redirecting the debate over trafficking in women definitions, paradigms, and contexts”, Harvard Human Rights Journal, No 11, tahun 1998 PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas RW. Perlindungan Hukum Pekerja Migran …
20
Kementerian Sosial RI, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial, Direktorat Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran tahun 2011 Moh. Hatta, Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Teori Dan Praktek, Liberty, Yogyakarta, 2011 Slamet Maria Wardaya, Hakekat, Konsepsi dan Rencana Aksi HAM dalam Muladi, (Editor) Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam Persfektif Hukum dan masyarakat, PT. Refika Aditama, Bandung, 2005. .Shelly Casy Inglis, “Expanding International and National Pratections Againts Trafficking for forced labor using a Human right from work” Buffalo Human Right laus Reviw, Vo7, Tahun 2001
PERUNDANG-UNDANGAN UUD 1945 Pasal 27 ayat (2); UU N0. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang Konvensi ILO dan PBB tentang Migrant Worker. Perpres No. 81 tahun 2006 tentang Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Inpres No. 06 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan TKI Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per. 14/MEN/X/2010 tentang Pelaksanaan Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri; Keputusan Presiden Nomor 02/M/2007 tentang Pengangkatan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia; Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Jawa Barat Tahun 20052025 (Lembaran Daerah Tahun 2008 Nomor 8 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 45); PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
21
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintah Provinsi Jawa Barat; MOU antara Gubernur Jawa Barat dengan BNP2TKI No. B.270/KA/XII/2010 dan 560/25/Disnakertrans, tgl 30 des 2010 Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 6 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 113 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas da Badan di Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat tanggal 4 Pebruari 2011 Depnaker, BNP2TKI, Deplu, KBRI dan Pengaduan Keluarga Korban Trafficking, Database Migrant CARE, 2011 Kementerian Sosial RI, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial, Direktorat Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran tahun 2011.
INTERNET : http://migrantcare.net/event/jambore-nasional-buruh-migranindonesia/#
thash.
1UAkhdzL. dpuf http://migrantcare.net/program/advokasi-amandemen-perundang-undanganuntuk-mewujudkan-migrasi-aman-2/#sthash.02At8vl1.dpuf Perdagangan
Manusia,
“Human
Trafficking”https://id.wikipedia.org
/wiki/Perdagangan_manusia , 3 July 2015 http://migrantcare.net/event/jambore-nasional-buruh-migran-indonesia/#sthash. 1UAkhdzL. dpuf
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Aslan Noor. Hak Sistem Pemilikan Tanah …
22
HAK SISTEM PEMILIKAN TANAH BANGSA INDONESIA DAN KAITANNYA DENGAN PENERAPAN HAK-HAK DERIVATIF DALAM RANGKA AGUNAN UTANG-PIUTANG Oleh : Aslan Noor
Abstract Law No.4 of 1996 is the mandate of Article 51 of Law No. 5 of 1960, which regulates the only institution security rights over the land known as Mortgage. The law completes the realization of law unification in the field of national land management .The existance of the law bring fresh air for business development in Indonesia. Land and buildings located on it can be used as collateral either by the individual or legal berau. As it can raise fund sasinitial capitalin doing business (business activity) to sustain the economy and national development. Key Words: Land Tenure, Economic Development, Security
Abstrak Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 merupakan amanat Pasal 51 Undangundang Nomor 5 Tahun 1960, mengatur tentang satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah yang dikenal dengan Hak Tanggungan. Undang-undang tersebut, melangkapi terwujudnya unifikasi hukum dibidang pengelolaan pertanahan nasional. Lahirnya undang-undang tersebut, membawa angin segar hagi perkembangan dunia usaha di Indonesia, khususnya bagi pelaku bisnis. Tanah berikut bangunan yang berada di atasnya dapat dijadikan agunan baik bagi orang perorangan maupun Badan Hukum, Sehingga dapat menghimpun dana sebagai modal awal dalam melakukan usaha (kegiatan bisnis) guna menopang pembangunan ekonomi kerakyatan dan nasional. Key Word : Kepemilikan Tanah, Pembangunan Ekonomi, Jaminan
A.
Pendahuluan Hak milik atas tanah (eigendom privaat) adalah hak kodrati (natuur recht) dalam
artian bukan hak manusia (een mensefljk recht) yang didapat secara sukarela, tetapi sesuatu hak yang menyertai / mengikuti (inheren) diri manusia sejak ia lahir. Hugo Grotius (1563- 1645) menyatakan bahwa kehendak manusia (mensen will) merupakan dasar adanya hak milik perseorangan, pada mulanya tanah dipergunakan bersama-
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
23
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
sama oleh masyarakat, namun karena kehendak manusia, secara tegas maupun Secara diam-diam terjadi perubahan, yakni pemilikan secara perseorangan. Samuel Pufendorf (1632-1694) mengemukakan bahwa secara alami (sejak semula), dijumpai pemilikan bersama atas tanah (gemeenschappelke eigendom) yang berdasarkan perjanjian diamdiam ataupun secara tegas timbul pemilikan perorangan. Uraian tersebut menyimpulkan (sebagaimana pendapat Aristoteles (384-322 SM)) bahwa, negara tidak mungkin memiliki tanah, yang memiliki tanah adalah individual secara naturalistik dan individual secara licham body (pribadi buatan, seperti Badan Hukum dan perkumpulan lainnya). Hak-hak individual atas tanah bersifat privaatrechtelijke. Hak milik privat atas tanah adalah bagian dari hak milik bangsa Indonesia yang kepunyaan, peruntukan, dan penggunaannya ditujukan kepada kepentingan pribadi para individu (individu alamiah dan buatan) sebagai hak individu bangsa Indonesia yang bersifat keperdataan. Negara berkewenangan untuk mengatur (regelen), mengurus (bestuuren), dan mengawasi (tozichthouden) yang tidak bertentangan dengan batas hak keperdataan. Perhubungan hukum antara negara dan tanah dapat tercermin dari perhubungan pemerintah dengan tanah, yang juga bersifat privatrectelijke. Sedangkan, perhubungan antara penggunaan kepentingan umum dengan tanah, melahirkan hak-hak umum yang juga bersifat privaatrectelijke. Sementara, perhubungan antara masyarakat, kepentingan agama dengan tanah bersifat magis dan religious, seperti hak ulayat (gemeenschapp) yang dianggap magis dan hak milik wakaf yang dianggap sacrae. Tulisan ini focus pada, bagaimanakan sistem pemilikan tanah bangsa indonesia kaitannya dengan penerapan hak-hak derivative dalam rangka agunan utang-piutang.
B.
Pembahasan
1.
Konsep Kepemilikan Tanah Pada Umumnya Secara konseptual atau teori, ada beberapa pendapat dasar mengenai hak milik
perorangan. Pendapat pertama dikemukakan oleh John Locke, yang memandang hak milik sebagai salah satu pranata yang secara kodrati melekat padadirisetiap individu
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Aslan Noor. Hak Sistem Pemilikan Tanah …
24
manusia1. Konsep ini, kemudian secara hukum diperluas. Bukan hanya individu manusia yang dapat mempunyai hak milik. Badan-badan atau pranata-pranata yang oleh hukum diberi status yang dipersamakan dengan manusia juga dimungkinkan mempunyai hak milik2. Sebagai kebalikan dari pandangan Locke ada yang berpendapat, pranata hak milik perorangan dapat menjadi sumber ketidakadilan dan menghalangi upaya kesejahteraan bagi seluruh rakyat atau suatu kelompok masyarakat. Pendapat ini dianut oleh Plato. Karena itu, Plato tidak menghendaki adanya sistem hak milik perorangan sebagai salah satu Unsur ajaran negara idealnya. Di masa modern, pendapat semacam itu menjadi salah satu landasan berpikir dan konsep marxisme, khususnya komunisme. Marxisme berpendapat, sistem hak milik merupakan cikal bakal sistem klas dan eksploitasi manusia oleh manusia (exploitation de I ‘home par I’homme). Untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas dan meniadakan penghisapan manusia oleh manusia, sistem kepemilikan perorangan harus ditiadakan. Tetapi perlu diperhatikan, hak milik yang dipersoalkan kaum marxis atau komunis adalah hak milik perorangan juga berkaitan dengan produksi (sebagai sarana produksi). Jadi, tetap ada tempat bagi sistem hak milik di luar hak milik perorangan dan di luar sarana produksi, yang disebut hak milik publik. Terhadap sarana produksipun secara hakiki bukan menyangkut peniadaan pranata hak milik, tetapi peralihan pemegang hak milik dan hak milik perorangan menjadi hak milik komunitas yang diwakili negara, sehingga lazim disebut hak milik negara. Sebenamya potensi eksploitasi yang merugikan bahkan menindas, dalam sistem kepemilikan komunitas atau oleh negara tidak lebih kurang darisistem pemilikan perorangan, karena disertai segala atribut kekuasaan negara3. Pendapat lain mengenai hak milik dapat dipandang sebagai gabungan antara sistem milik perorangan yang 1
Jhon Locke mempostulatkan bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang inhern atas kehidupan (live), kebebasan (liberty) dan harta (property) yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dipindahkan atau dicabut oleh Negara, untuk menghindari ketidak pastian hidup dalam alam. Akan tetapi; dalam suatu keberadaan Negara manusia telah mengambil bagian dalam suatu kontrak sosial dimana hak-hak yang tidak dapat dicabut diserahkan pada kekuasaan Negara, Lihat Asian Noor, Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau Dari Ajaran Hak Asasi Manusia, Disertasi PPS Unpad, Bandung, Tahun 2003, Hlm. 36. Lihat pula Jhon Locke, Two Treatises of Sivil Government. JM. Dent & Sons Ltd, London, 1960, Him. 9 dan 77 2 Lihat Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah 3 Aslan Noor, Op.,Cit, Hlm 37. Lihat pula Bagir Manan dalam Pengantar Pidato Laporan Promotor Terhadap Pertanggunganjawaban Akademis Atas Nama Aslan Noor Pada Sidang Promosi Doktor dalam Ujian Terbuka Disertasi, Unpad, 2003, HIm. 3-6
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
25
tanpa batas dengan sistem kepemilikan komunitas (negara) yang sebenarnya juga tanpa batas. Pada Negara yang tidak menjalankan sistem marxisme atau komunisme, hak milik perorangan tetap dipandang sebagai salah satu hak kodrati, tetapi dengan pembatasan yang berkaitan dengan kepentingansosial atau kepentingan umum. Hak milik bukan hanya dibatasi cara-cara penggunaan dan penguasaannya (seperti pembatasan luas), bila perlu dapat dicabut demi suatu kepentingan sosial yang lebih luas atau suatu kepentingan umum tertentu (kepentingan publik/ negara). Demikian pula pada Negara-negara yang menjalankan sistem marxisme atau komunisme. Negara tetap sebagai pemilik sarana produksi seperti tanah. Rakyat hanya sebagai pemegang hak pakai atau penyewa dengan syarat-syarat dan cara pemanfaatan yang lebih longgar. Di Republik Rakyat Cina (RRC), rakyat menyewa atau memakai tanah negara untuk sesuatu jangka panjang. Rakyat bebas menentukan cara-cara pemanfaatan, cara-cara penjualan hasil, dan bebas pula menikmati hasil-hasilnya. Hal ini sangat mendorong peningkatan produksi dan kesejahteraan petani atau pemakai tanah4. 2.
Konsep Asli Kepemilikan Tanah Bangsa Indonesia Konsepsi asli hak milik Indonesia cukup unik dibandingkan dengan system-
sistem pemilikan di atas. Hak ulayat bukanlah sistem kepemilikan komunitasseperti diinginkan Plato atau kaum marx. Dalam sistem hak ulayat tidak ada struktur kekuasaan yang dapat dipandang sebagai pemegang hak atas tanah ulayat beserta tumbuh-tumbuhan
diatasnya.
Rakyat
sebagai
anggota
masyarakat
hukum
(rechtsgemeenschap) yang bersangkutan, pada dasarnya bebas memanfaatkan hak ulayat sepanjang tidak bersentuhan dengan hak-hak sesama anggota masyarakat hukum lainnya, misalnya tanah pernah dibuka (dipergunakan) oleh anggota yang lain. Kalaupun ada semacam campur tangan penguasa adat atau kepala desa, hal ini lebih bersifat pemberitahuandari pada sebagai izin. Yang lebih unik, pembukaan atau penggunaan hak ulayat, secara ilmiah, menumbuhkan hubungan pribadi antara tanah yang dibuka (digunakan) dengan pembuka tanah yang dapat berprosessampai pada pemilikan. Prosesini oleh Supomo disebut individualisering process dan oleh Malinkrodt disebut sebagai vereconmisering process. 4
Aslan Noor, Ibid
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Aslan Noor. Hak Sistem Pemilikan Tanah …
26
Keunikan lain yaitu hubungan antara individu dengan tanah ditentukan oleh intensitas hubungan individu yang bersangkutan baik dalam pemanfaatan secara terusmenerus maupun dengan tanda-tanda tertentu yang menghubungkan individu dengan tanah yang bersangkutan seperti ada tanaman kelapa, buah-buahan dan lain sebagainya. Hubungan semacam ini oleh Djodjodiguno disebut sebagai hubungan mulur mungkeret atau oleh Ter Haar disebut sebagai teori bola (baltheorie). Berbagai keunikan tersebut menjadi salah satu pilar pemikiran UU No.5 Tahun 1960 dan berbagai undang-undang yang berkaitan dengan tanah serta kekayaan alam yang ada di atas atau di dalam tanah tersebut. Tetapi, pembentukan undang-undang menyadari juga berbagaiketerbatasan sistem pemilikan tanah asli dan berbagai kebutuhan baru bertalian dengan tanah. Karena itu, selain pembatasan-pembatasan terhadap asas dan kaidah hukum adat, juga dimasukkan berbagai unsur baru hubungan perorangan dengan tanah, seperti HGB, HGU, dan administrasi pertanahan seperti sertifikat yang diatur dalam undang-undang tersebut. Didorong oleh keinginan mengintegrasikan antara pemilikan asli dengan herbagai kebutuhan baru, UU No.5 Tahun1960 melahirkan berbagai keunikan baru yang tidak jarang menimbulkan masalah-masalah dalam pelaksanaannya seperti: hukum agaria adalah hukum adat, hak milik adalah hak terkuat dan terpenuh, negara yang hanya dikatakan menguasai tanah tetapi dipihak lain berwewenang melahirkan hak milik perorangan atas tanah, larangan menelantarkan yang akan menjadi dasar hapusnya hak milik atas tanah dengan mengenyampingkan prinsip bahwa tanah dipandang sebagai hak asasi dan lain-lain. Beberapa hal tersebut menunjukkan, meskipun UU No.5 Tahun 1960 adalah dasar-dasar hak-hak atas tanah seperti hak milik, ternyata masih ada hal-hal yang secara konseptual memerlukan pengkajian mendalam. Persoalan-persoalan hak milik atas tanah ini menjadi lebih signifikan untuk diteliti dalam hubungannya dengan hak asasi berkaitan dengan pelaksanaan penataan ruang. Hingga saat ini, masih belum ada kesepakatan mengenai apa ukuran substansi dan metode hak asasi, sehingga dapat ditemukan sesuatu merupakan hak asasi dan yang lainnya bukan hak asasi. Kekosongan ini tidak jarang menimbulkan kesulitan normatif dan praktek-praktek, baik pada tatanan normatif, perbuatan administrasi
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
27
maupun peradilan. Pada saat ini, langsung atau tidak langsung, yang sangat menentukan substansi dan metode hak asasi adalah mereka yang mempunyai daya tekan lebih kuat termasuk hak milik atas tanah atau hak memanfaatkan tanah. Penyerobot tanah mungkin mendapat perlindungan dengan alas hak asasi manusia walaupun secara nyata merugikan pemegang hak yang sah atas tanah tersebut, atau setidak-tidaknya dipandang sebagai beban yang harus ditanggung oleh negara. Hak milik atas tanah (eigendom privaat) adalah hak kodrat (natuur recht) dalam arti bukan hak manusia (een mensefljk recht) yang ia dapat dilepaskan secara sukarela, akan tetapi sesuatu hak kodrat yang menyertai/mengikuti (inheren) diri manusia5. Hugo Grotius(1563-1645) menyatakan bahwa kehendak manusia (mensen will) merupakan dasar adanya hak milik perseorangan, pada mulanya tanah dipergunakan bersama-sama oleh masyarakat, namun karena kehendak manusia, secara tegas maupun secara diam-diam terjadi perubahan, yakni pemilikan secara perseorangan. Milik perorangan harus dilindungi, oleh karena pengusahaan atas tanah oleh manusia yang satu dapat mengakibatkan manusia yang lain kehilangan hak miliknya atas tanah. Sedangkan, hak untuk memiliki tanah adalah suatu hak yang asli (aangeboren mensenrechten) yang tidak dapat diasingkan (onvervreemdbaar). Penempatan hak-hak manusia yang sedemikian itu memperlihatkan kuatnya kedudukan manusia atas tanah, sehingga dapat mengecualikan pemilikan tanah oleh negara. Namun, penjelasan teoritik mengenai tidak adanya milik negara atas tanah, tidak secara tegas dinyatakan oleh teori-teori tersebut. Hak milik privat atas tanah adalah bagian dan hak milik bangsa Indonesia yang kepunyaan, peruntukan, dan penggunaannya ditujukan kepada kepentingan pribadi para individu (individu alamiah dan buatan) sebagai hak individu bangsa Indonesia yang bersifat keperdataan. Negara berkewenangan untuk mengatur, mengurus, dan mengawasi yang tidak bertentangan dengan batas hak keperdataan. Dengan demikian, hak milik privat atas tanah bangsa Indonesia, terdiri dari: a.
Hak milik (pasal 16 jo Pasal 20 UUPA);
b.
Hak guna usaha (pasal 16 jo Pa- sal 28 UUPA);
c.
Hak guna bangunan (pasal l6jo Pasal35 TJUPA).
5
Aslan Noor, Ibid, hlm. 98.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Aslan Noor. Hak Sistem Pemilikan Tanah …
28
Dari kajian filsafat, hubungan antara tanah dengan perorangan, keluarga dan masyarakat adalah berupa: a.
Hubungan kepunyaan (bukan milik) sebab tanah merupakan karunia Tuhan;
b.
Kekuasaan untuk menjalankan hubungan kepunyaan itu dilakukan dalam hak dan kewajiban yang berimbang, dalam hak yang diartikan sebagai kemampuan dan kecakapan untuk melakukan apa yang secara bebas boleh dilakukannya, juga diimbangi dengan kewajiban yaitu kemampuan dan kecakapan untuk melakukan apa yang harus dilakukan6.
Ciri utama dalam penyelenggaraan hak dan kewajiban berimbang adalah penentuan tanah untuk dipergunakan bagi kepentingan bersama dan tidak menyebabkan kerusakan milik yang lain atau lingkungan sekitarnya. Dilain pihak adalah adanya sifat fungsi sosial atas tanah. Namun demikian, bukan berarti pemilikan pribadi keluarga maupun masyarakat tidak dimungkinkan. Pemilikan tersebut tetap diakui, tetapi dijalankan atas dasar penyelenggaraan hak dan kewajiban secara berimbang. 3.
Hak-Hak Atas Tanah Original Dan Derivatif Menurut UUPA Jika diteliti secara cermat, dijumpai dua jenis hak atas tanah yang ada dalam
sistem hukum tanah nasional, yaitu: Hak Atas Tanah original dan derevatif7. Hak-hak Original adalah hak-hak asli yang keberadaannya tidak dapat berada diatas tanah hak yang lain, sedangkan hak-hak derevatif adalah hak-hak atas tanah yang dapat berdiri di atas hak atas tanah yang original (hak pertama yang terdaftar), yang peruntukannya tertuju pada pengusahaan (economical function) dan hunian (primeirlyneed). Pasal 16 UUPA mengeksploor ditemukannya hak original dan hak derevatif atas tanah, yang menyebutkan bawa hak atas tanah terdiri dari: a.
Hak Milik (HM);
b.
Hak Guna Usaha (HGU);
c.
Hak Guna Bangunan (HGB);
d.
Hak pakai;
e.
Hak Sewa;
6
Lihat pemaknaan yang tersirat dalam Pasal 4 UUPA Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) menginspirasikan kemungkinan hak-hak yang akan muncul di atas hak-hak yang lain, yang dianggap sumber lahirnya hak-hak derevatif di atas hak original atas tanah 7
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
29
f.
Hak Membuka Tanah;
g.
Hak Memungut Hasil Hutan; &
h.
Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebut dalam pasal 53. Pasal 16 huruf h atau poin 8 di atas dapat dikatakan sumber inspirasi lahirnya hak-hak derevatif.
Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hak-hak original terdiri dari: a.
Hak Milik (HM), karena tidak berada di atas tanah hak yang lain;
b.
Hak Pengelolaan (HPL), karena hal yang sama dengan hak milik;
c.
Hak Milik Wakaf (recht-religious-scrae), karena hal yang sama dengan hak pengelolaan;
d.
Hak untuk kepentingan umum (Public intrest), karena hal yang sama dengan hak milik wakaf;
e.
Hak Ulayat (gemenschafen/ recht-magist), karena hal sama dengan hak untuk kepentingan umum.
Dari uraian hak-hak original tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hak-hak derevatif terdiri dari:
4.
a.
HGU diatas Tanah Negara;
b.
HGB di atas Tanah Hak Original
c.
Hak Pakai di atas Tanah Hak Original
HGB Di Atas HPL dan HGU di Atas Tanah Negara Kecuali HGU, hak-hak derevatif lainnya dapat berdiri di atas hak-hak original.
HGU hanya dapat berdiri di atas Tanah negara. Tanah Negara adalah tanah yang dikuasai negara baik secara langsung maupun tidak langsung yang belum pernah terdaftar secara kadasteral8. Keberadaan HGB dan HGU sebagai obyek HT erat kaitannya dengan perjanjian antara pemegang HGB/HGU dengan pemegang hak original. Sebab, hak-hak derevatif lahir dari perjanjian para pihak, sementara hak-hak original lahir dari perolehan, peralihan dan konversi atas hak. Munculnya ha-hak derevatif sebagai hak sekunder lebih kepada tujuan penggunaan dan pemanfaatan serta 8
Lihat Kepres No. 55 Tahun 1993 Jo Perpres 36 Tahun 2005 jis 65 Tahun 2006
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Aslan Noor. Hak Sistem Pemilikan Tanah …
30
pengusahaan tanahanya. Sementara Hak-hak original muncul sengaja untuk mewujudkan status hukum dan recht setlement. Oleh karena itu, dalam pemasangan HT harus mendapat tempat pengaturannya, sehingga kreditur tidak dirugikan jika terjadi wanprestasi. HGU hanya harus berada di atas tanah negara, sebab di samping pengelolaannya harus dengan high technology juga diharapkan tidak terjadi pemilikan abadi yang tidak memberi kesempatan kepada yang lain untuk berusaha (berinvestasi) melalui pengusahaan
tanahsekalipun
tidak
memerlukan
higth
technology
dalam
pengelolaannya, karena sesuai tujuan haknya yaitu untuk menggunakan bangunan atau usaha-usaha terbatas. HPL dan Tanah negara, sebagai hak original sesunggubnya tidak jauh berbeda jika HGU dan HGB berada di atasnya. HPL terdaftar secara kadastral, sementara tanah negara belum terdaftar. Tanah negara ada yang bebas (Governmen Ground) ada yang terikat. Namun kedua-duanya dikuasai negara dalam arti quasi (semu). Oleh karena HGU lahir di atas tanah negara maka yang terpenting dan pemaknaannya harus ada uang pemasukan negara dan di realisir melalui penetapan hak. Sementara HGB diatas tanah HPL, harus ada dan didahului perjanjian para pihak serta haru. 5.
Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Hak Atas Tanah Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 lahir merupakan amanat Pasal 51 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960, mengatur tentang satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah yang dikenal dengan Hak Tanggungan. Undang-undang tersebut, melengkapi terwujudnya unifikasi hukum dibidang pengelolaan pertanahan nasional9. Lahirnya undang-undang tersebut, membawa angin segar bagi perkembangan dunia usaha di Indonesia, khususnya bagi pelaku bisnis. Tanah berikut bangunan yang berada di atasnya dapat dijadikan agunan baik bagi orang perorangan maupun Badan Hukum, Sehingga dapat menghimpun dana sebagai modal awal dalam melakukan usaha (kegiatan bisnis) guna menopang pembangunan ekonomi kerakyatan dan nasional.
9
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai UndangUndang Hak Tanggungan), Bandung, Alumni, 1999, hal. 1.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
31
UUHT juga mempunyai visi dan misi untuk memudahkan para pelaku usaha (debitor) dalam melakukan usahanya serta kemungkinan terciptanya rasa aman baik bagi kreditor maupun debitor jika terjadi wanprestasi. UUHT dapat memberikan kepastian hukum yang jelas dan tegas, sehingga memberikan rasa kenyamanan bagi para pelaku bisnis di dalam menjalankan usahanya yang pada gilirannya akan memicu perkembangan dalam dunia bisnis nasional dan internasional. Tidak semua hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Hak-Hak atas Tanah yang dapat menjadi obyek Hak Tanggungan dibatasi sebagaimana diatur dengan tegas dalam Pasal 4 (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 1996, yaitu: Hak Milik; Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan. Perkembangan selanjutnya, pada ayat 2 UU No. 4 Tahun 1996: selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib di daftar dan memenuhi sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan. Penerimaan tanah sebagai agunan yang diterima bank kreditur lain, tentunya mempunyai tujuan untuk menjamin pelunasan kredit bunga yang akan diperoleh yang telah diperjanjikan dalam akta perjanjian tanggungan melalui penjualan agunan, baik secara langsung maupun di bawah tangan dalam hal debitor cidera janji, sehingga diperlukan suatu lembaga pengikatan agunan yang memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak terkait. Untuk memasok sejumlah dana besar dalam kegiatan berbisnis, investor Sering mempergunakan Lembaga Hak Tanggungan untuk menjamin utang dan piutang bisa berjalan sesuai rencana dan ketentuan yang berlaku. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan bahwa Hak Tanggungan merupakan satu-satunya lembaga jaminan hak atas tanah. Secara konseptual, dalam Hukum Kebendaan diperoleh prinsip bahwa lembaga jaminan piutang yang paling aman dan memungkirikan utang dijamin secara ekslusif adalah Hak Tanggungan. Berikut alasan strategis tanah sebagai Lembaga jaminan utang piutang yang ekslusif: a.
Benda tetap yang tidak musnah;
b.
Mudah dieksekusi;
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Aslan Noor. Hak Sistem Pemilikan Tanah …
32
c.
Fluktuasi harga yang rata-rata baik;
d.
Barang yang terlindungi oleh negara karena terdaftar (asas publisitas) sebagaimana tercatat dalam Sertipikat Hak Tanggungan.;
e.
Tidak dapat disita, karena mempunyai titel eksekutrial (dikarenakan irahirah demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa) yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat untuk diparate eksekusi (eksekusi langsung10.
Perjanjian kredit dan jaminan menjadi jembatan emas bagi pengusaha untuk meningkatkan daya produk dan saing produk. Jaminan hukum yang kuat bagi pemasok dana merupakan iklim sejuk bagi debitor yang ingin berkembang. Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditorkreditor lain. Artinya, jika debitor cidera janji, kreditor (pemegang Hak Tanggungan) berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu dan pada kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi prefensi piutang-piutang negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku11. 7.
Eksekusi Obyek Hak Tanggungan Melalui Parate Eksekusi Secara praksis, sering ditemukan kendala-kendala dalam melakukan eksekusi
terhadap benda yang dijadikan agunan tersebut sebagai akibat adanya cidera janji (wanprestasi) yang dilakukan oleh debitor, dan juga sering terjadi benturan kekuatan mengikat antara executoir beslag, conservatoir beslag dan parate executie. Pada hal, ketiga lembaga tersebut berbeda rejim/lembaga hukumnya. Conservatoir Beslag dan Executoir Beslag, berasal dari proses peradilan yang diawasi kasusnya dalam peradilan perdata, sementara Parate Executie dari rejim ekslusif Hak Tanggungan yang sedia kala ada sejak perjanjian pemberian Hak Tanggungan diberikan.
10
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata Hukum Benda, cet. 2, Yogyakarta : Liberty, 1975, hal.
28 11
Lihat Penjelasan Umum butir 4, Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta BendaBenda Yang Berkaitan Dengan Tanah
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
33
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015 Pasal 6 UUHT menyebutkan bahwa apabila debitor cidera janji, pemegang Hak
Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dan hasil penjualan tersebut. Kemudian diperkuat pula olehPasal 20 ayat (1) huruf a menyebutkan bahwa apabila debitorcidera janji, maka pemegang Hak Tanggungan pertama berhak menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, atau Pasal 20 ayat (1) hurufb dikatakan “apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dapat dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dan pada kreditor-kreditor lainnya”. Lebih lanjut pada Pasal 20 ayat (2) mengatakan “apabila kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan, jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak”. Jika diteliti secara cermat, pasal tersebut di atassecara logika pelaksanaan eksekusi sangatlah mudah sekali, namun pada praktek dilapangan sering menjadi suatu problema bagi pemegang hak tanggungan dalam melaksanakan parate eksekusi terhadap objek yang dijadikan Hak Tanggungan tersebut dikarenakan hak tanggungan tidak bebas dariConservatoir Beslag, Revindicatoir Beslag dan Executoriale Beslag atau setidak-tidaknya tanah yang menjadi obyek hak tanggungan sedang menjadi obyek perkara di peradilan. 8.
Obyek Hak Tanggungan Sesuai pengertian Hak Tanggungan dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT, maka Hak
Tanggungan objeknya adalah Hak-Hak Atas Tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang berada di atas dan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Ciri-ciri dari obyek Hak Tanggunganadalah hak atas tanah yang pada prinsipnya wajib didaftar (syarat publisitas) dan menurut sifatnya dapat dipindah-tangankan (agar mudah dan pasti pelaksanaan pembayaran utang yang dijamin pelunasannya). Pasal 4 UUHT menyebutkan:Ayat (1): Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah: a. Hak Milik; b. Hak Guna Usaha; c. Hak Guna Bangunan. Ayat (2): Selain Hak-hak
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Aslan Noor. Hak Sistem Pemilikan Tanah …
34
Atas Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hak Pakai atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib daftar dan menurut sifatnya dapat dipindah tangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan. Oleh karena itu, dalam pasal 51 Undang-undang Pokok Agraria yang harus diatur dengan undang-undang adalah hak tanggungan atas: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan. Dengan demikian, Undang-undang Pokok Agraria telah membatasi dengan menyebutkan hak atas tanah yang kelak akan menjadi objek hak tanggungan. Perkembangan selanjutnya diatur dalam UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun obyek Hak Tanggungan bertambah yaitu, hak pakai dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusa dan berdasarkan UU No. 4 Tahun 1996 hak pakai tersebut ditunjuk sebagai objek hak tanggungan. Pengaturan hak pakai sebagai objek hak tanggungan merupakan penyesuain ketentuan substantif UUPA dengan perkembangan pemaknaan hak pakai itu sendiri serta kebutuhan dalam praktik. Lingkup objek hak tanggungan tidak hanya meliputi hak pakai atas tanah negara tertentu, meliputi pula: bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanahnya. Secara normatif, objek hak tanggungan telah disebutkan di dalam pasal 27 Undang-Undang Hak Tanggungan, yaitu: a.
Hak milik;
b.
Hak guna usaha;
c.
Hak guna Bangunan;
d.
Hak pakai atas tanah yang menurut ketentuan yang berlalu Wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan;
e.
Hak pakai atas tanah milik, yang akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah;
f.
Rumah susun dan hak milik atassatuan rumah susun, yang didirikan di atas tanah hak pakai atas tanah negara;
g.
Berikut atau tidak berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan milik pemegang hak atas tanah.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
35
Lembaga hipotik sebagaimana diatur dalam Pasal 1164 dan 1167 KUHPdt mengatur objek yang hanya terfokus pada benda tak bergerak (tetap), yang terdiri dari: a.
Benda-benda tak bergerak yang dapat dipindahtangankan beserta segala perlengkapannya, sekedar yang terakhir ini dianggap sebagai benda tak bergerak;
b.
Hak pakai hasil (vruchtgebruik) atas benda tersebut dengan beserta segala perlengkapannya;
c.
Hak numpang karang (opstal) dan hak usaha (erfpacht);
d.
Bunga tanah, baik yang harus dibayar dengan uang maupun maupun yang harus dibayar dengan hasil tanah;
e.
Bunga sepersepuluh;
f.
Pasar-pasar yang diakui oleh pemerintah, beserta hak-hak istimewah yang melekat padanya.
Sesuatu benda dikatakan sebagai kebendaan tetap, apabila karena: a. Sifatnya termasuk benda tetap (pasal 506 BW): a.
Tanah dan benda-benda yang melekat padanya secara tertanam, terpaku dan tertancap;
b.
Pekarangan-pekarangan dan apa yang didirikan di atasnya;
c.
Penggilingan-penggilingan, kecuali apa yang nanti akan dibicarakan dalam pasal 510 BW;
d.
Pohon-pohon dan tanaman ladang, yang dengan akarnya menancap dalam tanah; buah-buah pohon yang belum dipetik, demikianpun barang-barang tambang selama belum terpisah dan digali dari tanah;
e.
Kayu tebangan dari kehutan-hutanan dan kayu dari pohon-pohon yang berbatang tinggi, selama kayu-kayuan itu belum dipotong;
f.
Pipa-pipa dan got-got yang diperuntukan guna menyalurkan air dan rumah atau pekarangan; dan pada umumnya segala apa yang tertancap dalam pekarangan atau terpaku dalam bangunan rumah;
g.
Peruntukannya termasuk benda tetap (pasal 507 BW): i.
Dalam perusahaan pabrik: barang-barang hasil pabrik itu sendin, penggilingan-penggilingan, penggemblengan besi dan barang-barang
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Aslan Noor. Hak Sistem Pemilikan Tanah …
36
tak bergerak yang sejenis itu, apitan besi, kuali-kuali, pengukusan, tempat api, jambang-jambang, tong-tong, perkakas-perkakas dan sebagainya yang termasuk dalam asas pabrik, pun sekiranya barangbarang itu tak tertancap atau terpaku; ii.
Dalam perumahan: cermin-cermin, lukisan-lukisan dan perhiasan lainlainnya, sekedar barang-barang itu diletakkan pada papan atau pasangan batu yang merupakan bagian dinding, pagan atau pelesteran ruangan, pun sekiranya barang-barang itu tak terpaku;
iii.
Dalam
kepemilikan
tanah:
lungkang
atau
timbunan
gemuk
diperuntukkan guna merabuk tanah: burung merpati termasuk dalam kawan, sarang burung yang dapat dimakan, Selama belum dipetik; ikan yang ada dalam kolam; iv.
Bahan pembangunan gedung berasal dari perombakan gedung; jika diperuntukkan guna mendirikan kembali gedung itu; dan pada umumnya, benda-benda yang boleh pemiliknya telah dihubungkan dengan
kebendaan-kebendaan
tak
bergeraknya
guna
dipakai
selamanya. v.
Karena undang-undang termasuk benda tetap (pasal 508 BW): Hak pakai hasil dan hak pakai atas kebendaan tak bergerak, Hak pengabdian tanah; Hak numpang karang,. Hak usaha;. Bunga tanah, baik berupa uang maupun barang; Bunga sepersepuluh; Pajak pekan atau pasar, yang diakui oleh pemerintah dan hak-hak istimewa yang melekat padanya; Gugatan guna menurut pengembalian atau penyerahan benda-benda tak bergerak.
Uraian di atas semakin menunjukkan bahwa konsep objek hak tanggungan meluas, karena terdapat klasula yang menerapkan bahwa sepanjang hak atas tanahnya menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan”. Hak atas tanah yang memenuhi asas publisitas dan dapat dipindahtangankan, dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Selain itu hak tanggungan dapat dibebankan pada hasil karya yang merupakan satu
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
37
kesatuan dengan hak atas tanahnya serta dimungkinkan pembebanan hak tanggungan atas benda-benda bukan milik pemegang hak atas tanah. 9.
Hak Milik Atas Tanah Pasal 20 ayat (1) UUPA menyebutkan, Hak Milik adalah hak turun-temurun,
terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6. Uraian pasal tersebut meng-ekspresikan bahwa sifat-sifat hak milik berbeda dengan hak-hak atas tanah lainnya yang dapat dipunyai orang, pada term “hak milik” terkandung awalan “ter” (artinya: paling/super) kuat dan terpenuh. Pemberian sifat tersebut tidak berarti, bahwa hak milik tidak dapat diganggu gugat seperti “hak eigendom” menurut pengertiannya yang asli (Pasal 570 KUHPdt). Batasan-batasan Konsep Hak Milik terdiri dari: 1.
Hak turun-temurun, artinya hak milik berlaku tanpa jangka waktu tertentu dan dapat beralih sebagai warisan kepada ahli waris pemegang hak;
2.
Terkuat, artinya hak mihik tidak mudah hapus dan selalu dapat dipertahankan terhadap gangguan pihak lain yang hendak mengalihkannya;
3.
Terpenuh, artinya pemegang hak milik berkuasa sepenuhnya atas tanah miliknya, dengan konsekuensi hak milik tersebut dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain;
4.
Dibatasi fungsi sosial atas hak tanah, bahwa hak milik itu diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat, yang sejalan dengan sifat hukum adat.
Hak milik atas tanah mempunyai sifat dan ciri-ciri tertentu12, yaitu: a.
Merupakan hak atas tanah yang kuat, bahkan hak terkuat, artinya tidak mudah hapus dan sudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain;
b.
Merupakan hak turun-temurun dan dapat beralih, artinya dapat diwariskan kepada ahli waris yang empunya hak;
c.
Dapat menjadi induk dan hak-bak atas tanah lain, artinya dapat dibebani dengan hak-hak atas tanah lainnya, sebaliknya hak milik tidak dapat berinduk pada hak atas tanah lain;
d. 12
Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan;
Boedi Harsono, UUPA, Jakarta, Jambatan, 1971, Hal.280
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Aslan Noor. Hak Sistem Pemilikan Tanah … e.
38
Dapat dialihkan kepada pihak lain, yaitu dijual, ditukarkan dengan benda lain, dihibahkan dan diberikan dengan wasiat;
f.
Dapat dilepaskan oleh yang empunya hingga tanahnya menjadi tanah negara;
g.
Dapat diwakafkan (tanahnya dijadikan tanah wakaf);
h.
Si pemilik mempunyai hak untuk menuntut kembali di tangan siapapun benda itu berada.
Sesuai Pasal 22 UUPA, hak milik terjadi, karena: a.
Menurut hukum adat, seperti pembukaan tanah oleh seorang anggota persekutuan. Cara-cara terjadinya hak milik menunut hukum adat diatur dengan peraturan pemerintah, supaya tidak tenjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan negara;
b.
Menurut penetapan pemerintah, yang cara dan syarat-syaratnya akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah;
c.
Menurut ketentuan undang-undang sebagaimana diatur dalam ketentuan konversi Undang-undang Pokok Agraria pada pasal 1,11 danIV.
Cara memperoleh hak milik atas tanah adat, dapat diperoleh dengan jalan membuka tanah (ocupation) hutan-hutan belukar; mewaris tanah, menerima tanah karena pembelian, penukaran dan hadiah; dan daluarsa. Sehubungan dengan hak-hak dalam hukum adat yang menyangkut tanah tersebut. Undang-undang Pokok Agraria pada pasal 46 menyatakan, bahwa hak membuka dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia dan diatur dengan peraturan pemerintah, demi kepentingan umum yang lebih luas daripada kepentingan orang atau masyarakat hukum yang bersangkutan. Ditegaskan pula dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu. Terjadinya hak milik dengan penetapan pemerintah adalah pemberian dari negara berdasarkan suatu permohonan, yang dapat berupa pemberian, perpanjangan jangka waktu dan pembaharuan hak atas tanah. Pemberian hak milik telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tatacara Pemberian Hak Atas Tanah pada pasal 2 sampai dengan pasal 11. Kemudian diatur pula secara khusus mengenai tatacara:
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
39
a.
Pemberian hak milik dalam rangka pelaksanaan landreform berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian;
b.
Pemberian hak milik atas tanah-tanah bebas konversi di Residenan Surakarta berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor SK.2/KaJ1963;
c.
Pemberian hak milik atas tanah hak pakai bekas golongan tetap berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agraria dan Menteri Dalam Negeri Nomor 30/Depag/65 dan Nomor 11/DDN/1965 tanggal 4 Mei 1965;
d.
Pemberian hak milik kepada para transmigrasi dan keluarganya berdasarkan Peraturan Direktur Jendral Agraria dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 1967; e. Penegasan hak milik berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1962 juncto Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK.26/DDAJ197O vide Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1980. Setelah berlakunya Undang-undang Pokok Agraria, bekas hak eigendom barat,
hak-hak milik atas tanah adat atau hak-hak yang mirip dengan hak milik, maka menurut ketentuan konversi menjadi hak milik menurut Undang-undang Pokok Agraria, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 21 UUPA, bawa syarat mutlak subjek hukum hak milik harus berkewarganegaraan Repubik Indonesia (memenuhi syarat nasionalitassebagaimana diatur dalam Pasal 9 UUPA). Hak milik hapussebagaimana diatur dalam Pasal 27 UUPA, apabila: a.
Tanahnya jatuh kepada negara, karena dicabut haknya untuk kepentingan umum, penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya, diterlantarkan, atau dimiliki oleh orang asing;
b.
Tanahnya musnah, Hak milik sebagai hubungan hukum yang kongkrit antara suatu subjek dengan sebidang tanah tertentu menjadi hapus bila tanahnya musnah kiranya sudah sewajarnya, karena objeknya tidak ada lagi. Kemusnahan itu dapat disebabkan karena longsor atau berubabnya aliran sungai. Jika yang musnah itu hanya sebagian, maka hak miliknya tetap berlangsung atas tanah sisanya. 13
13
Boedi Harsono, UUPA, Djambatan, Jakarta, 1971, Hal. 214-215
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Aslan Noor. Hak Sistem Pemilikan Tanah …
40
10. Hak Guna Usaha (HGU) Pasal 28 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa pengertian HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29 UUPA, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. Uraian pasal tersebut
menyimpulkan
bahwa
HGU
merupakan
hak
yang
khusus
untuk
mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri guna perusahaan pertanian, perikanan,
dan
peternakan.
Perlu
diketahui,
bahwa
HGU
bukan
hak
erfpachtsebagaimana yang masyarakat modern. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa HGU memiliki batasan-batasan: a.
Hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri dan yang dikuasai langsung oleh negara, guna perusahaan pertanian, perikanan, dan peternakan;
b.
Hak guna usaha ini hanya dapat diberikan untuk keperluan di atas itu dan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasya 25 hektar atau lebih harus memakai investtasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman (pasal 28 ayat (2));
c.
Sesuai dengan sifat dan tujuannya hak guna usaha adalah hak yang waktu berlakunya
terbatas,
yakni
25
atau
35
tahun
dengan
kemungkinan
memperpanjang dengan 25 tahun (Pasal 29). HGU memiliki sifat dan ciri-ciri, yaitu: a.
Hak guna usaha merupakan hak yang kuat atas tanah, karenanya wajib didaftar (Pasal 32 UUPA);
b.
Hak guna usaha dapat dipindahtangankan, yakni dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain (Pasal 28 UUPA);
c.
Hak guna usaha hanya dipunyai orang-orang warga negara Republik Indonesia (Pasal 30 UUPA);
d.
Hak guna usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan (Pasal 33 UUPA);
e.
Hak guna usaha dapat dilepaskan oleh pemegangnya sebelum jangka waktunya berakhir menjadi tanah negara (Pasal 34UUPA).
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
41
Berdasarkan Pasal 31 dan Ketentuan Konversi UUPA, maka hak guna usaha dapat terjadi karena penetapan pemerintah dan penetapan undang-undang. Penetapan pemberian hak guna usaha telah diatur dalam Pasal 13 sampai pasal 21 PMDN 5 Tahun 1973 tentang Tata cara Pemberian Hak Atas jo PMPA Nomor 11 Tahun 1962 tentang Syarat-Syarat dalam Pemberian Hak Guna Usaha kepada Pengusahapengusaha Swasta Nasional sebagaimana telah diubah dengan PMPA 2 Tahun 1964 dan sebagian telah dicabut dengan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 2/Pert/OP/8/1969 dan Nomor 8 Tahun 1969. Sedangkan hak guna usaha yang terjadi karena penetapan undang-undang telah diatur dalam ketentuan konversi Undang-undang Pokok Agraria pada pasal II dan pasal III yang menentukan, bahwa bekas hak-hak atas tanah adat, hak erfpacth untuk perkebunan besar dan hak erfpacht untuk pertanian kecil, yang ada pada tanggal 24 September 1960, menjadi hak guna usaha, sepanjang hak itu tidak bertentangan dengan UUPA. Menurut pasal 34 UUPA, hak guna usaha hapus karena disebabkan: a. jangka waktunya berakhir; b. dihentikan sebelum jangka waktu berakhir; c. karena sesuatu syarat tidak dipenuhi; d. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; e. dicabut untuk kepentingan umum; f.
diterlantarkan oleh pemiliknya;
g.
tanahnya musnah dan;
h.
tidak memenuhi prinsip nasionalitas.
11. Hak Guna Bangunan (HGB) Pasal 35 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan milik sendiri, dalam jangka waktu paling lama 30 tahun. HGB peruntukannya bukan pertanian dan tidak pula identik dengan hak opstaal. Ciri-ciri dan sifat dan HGB adalah: a.
Hak khusus untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan di atas tanah yang bukan milik sendiri, yakni berada di atas tanah negara atau tanah milik orang lain;
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Aslan Noor. Hak Sistem Pemilikan Tanah … b.
42
Dibatasi Jangka waktu yaitu 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun, yang terlebih dahulu diminta oleh pemegang haknya dengan mempertimbang-kan keadaan bangunannya (Pasal 35 UUPA);
c.
Wajib di daftar (Pasal 38 UUPA);
d.
Dapat dipindahtangankan atau dapat beralih dan dialihkan (Pasal 35 ayat (3));
e.
Hanya dapat dipunyai oleh WNI (Pasal 36 UUPA).;
f.
Dapat dibebani dengan HT (Pasal 39UUPA);
g.
Adanya pembatasan luas;
h.
Dapat dilepaskan sebelum waktunya berakhir (Pasal 40 UUPA)
Hak Guna Bangunan dapat terjadi: a.
Melalui penetapan pemerintah atas tanah yang langsung dikuasai oleh negara sebagaimana diatur dalam Pasal 22 s/d 24 UUPAjo PMDN N. 15 Tahun 197;
b.
Melalui perjanjian dengan akta otentik antara pemilik dengan calon pemegang HGB yang bermaksud menimbulkan hak derevatif di atas hak original (Hak Milik tersebut);
c.
Melalui ketentuan konversi dengan ketetapan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal I, II dan V KK UUPA.
HGB dapat berakhir apabila14: a.
Karena jangka waktunya berakhir;
b.
Dihentikan sebelum waktu berakhir karena salah satusyarat tidak terpenuhi;
c.
Dilepaskan oleh pemegang hak sebelum waktu berakhir;
d.
Dicabut untuk kepentingan umum;
e.
Secara pisik diterlantarkan;
f.
Tanahnya musnah, dan;
g.
Tanahnya dipunyai oleh orang asing.
12. Hak Pakai Pasal 41 UUPA menyebutkan, Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah 14
Lihat Pasal 40 UUPA
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
43
milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Surat Keputusan PemberianHaknya atau perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa, perjanjian pengelolaan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangang dengan jiwa UUPA. Uraian pasal tersebut memunculkan batasan-batasan Hak Pakai sebagai berikut: a.
Peruntukan Hak Pakai adalah untuk menggunakan bangunan atau memungut hasil pertanian dan tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain;
b.
Kewenangan dan kewajiban yang melekat pada pemegang hak pakai lahir dan ditentukan dan Surat Keputusan Pemberian hak pakai atas tanah negara atau oleh pejabat yang berwenang dalam suatu perjanjian dengan pemiliknya, yang bukan perjanjian sewa menyewa, atau perjanjian pengelolaan tanah milik orang lain;
c.
Segala pemberian hak pakai atas tanah negara atau tanah milik orang lain tidak boleh bertentangan dengan ketentuan UUPA;
d.
Hak Pakai dapat mempunyai jangka waktu, dan dapat pula selama tanahnya masih dipergunakan15,
e.
Pemberian hak pakai tidak boleh disertai dengan syarat-syarat perjanjian yang bersifat pemerasan (dwang). Hak Pakai memiliki ciri dan sifat sebagai berikut:
a.
Umumnya diberikan jangka waktu 10 tahun, sebab sifat penggunaannya adalah sementara dan biasanya ditindaklanjuti dengan peningkatan hak milik, HGU atau HGB;
b.
Mudah dipertahankan karena terdaftar baik di atas tanah negara maupun di atas tanah milik orang lain (asaspublisitas);
c.
Secara umum hak pakai tidak diwariskan, kecuali yang prvaatrechtelijk;
d.
Secara umum hak pakai bukan obyek hak tanggungan, kecuali yang bersifat privat;
15
Lihat Pasal 40 UUPA
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Aslan Noor. Hak Sistem Pemilikan Tanah … e.
44
Pada umumnya tidak dapat dialihkan, kecuali memperoleh ijin dari pejabat yang berkewenangan kecuali hak pakai yang lahir karena perjanjian sangat bergantung dari substansi perjanjian tersebut;
f.
Hak Pakai dapat dilepaskan oleh pemegang haknya.
Hak Pakai dapat terjadi karena: a.
Penetapan Pemerintah, diawali permohonan;
b.
Perjanjian dengan pemegang hak atas tanah;
c.
Penetapan UU berdasarkan Ketentuan Konversi UUPA.16
Hak Pakai hapus dalam hal17: a.
Jangka waktunya berakhir;
b.
Penghentian hak (Pemutusan hubungan hukum), karena pelanggaran seperti: salah satu syarat tidak terpenuhi, tanahnya terlantar18;
C.
c.
Terjadi pelepasan hak;19
d.
Dicabut untuk kepentingan umum;
e.
Tanahnya musnah;
f.
Meninggalnya pemilik, jika diperjanjikan dalam perjanjian
Kesimpulan dan Saran Sebagai penutup dalam tulisan ini dikemukakan kesimpulan dan saran sebagai
berikut : 1.
Kesimpulan : Bahwa Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 merupakan amanat Pasal 51
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, mengatur tentang satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah yang dikenal dengan Hak Tanggungan. Undang-undang tersebut, melengkapi terwujudnya unifikasi hukum dibidang pengelolaan pertanahan nasional. Lahirnya undang-undang tersebut, membawa angin segar hagi perkembangan dunia usaha di Indonesia, khususnya bagi pelaku bisnis. Tanah berikut bangunan yang berada di atasnya dapat dijadikan agunan baik bagi orang perorangan maupun Badan
16
Lihat Pasal I dan VI KKUUPA Boedi Harsono, Op.,Cit, , Hal. 291 18 Lihat Pasal 6 UUPA 19 Boedi Harsono, Op.,Cit.,, Hal. 279-280 17
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
45
Hukum, Sehingga dapat menghimpun dana sebagai modal awal dalam melakukan usaha (kegiatan bisnis) guna menopang pembangunan ekonomi kerakyatan dan nasional.
2.
Saran : Diperlukan suatu lembaga pengikatan agunan yang memberikan kepastian dan
perlindungan hukum bagi semua pihak terkait, berkenaan dengan pnerimaan tanah sebagai agunan yang diterima bank kreditur, tentunya mempunyai tujuan untuk menjamin pelunasan kredit bunga yang akan diperoleh yang telah diperjanjikan dalam akta perjanjian tanggungan melalui penjualan agunan, baik secara langsung maupun di bawah tangan dalam hal debitor cidera janji.
DAFFAR PUSTAKA
Boedi Harsono, Undang –Uundang Pokok Agraria, Djambatan, Jakarta, 1971. John Locke, Two Treatises Of CivilGovernment, London: J.M. Dent &Sons Ltd, 1960. Notonagoro, Pancasila Falsafah Negara,Surabaya: Universitas Air langga, 1961 Notonagoro, Politik dan Pembangunan Agraria Di Indonesia, Jakarta: Pancuran Tujuh, 1997. Sjahran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia, Bandung:Alumni, 1997 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata Hukum Benda, cet. 2, Yogyakarta : Liberty, 1975 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai UndangUndang Hak Tanggungan), Bandung, Alumni, 1999 Von Schmid, Ahli Pemikir Besar Negara dan Hukum Pembangunan, Jakarta,1954
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Aslan Noor. Hak Sistem Pemilikan Tanah …
46
Disertasi: Aslan Noor, Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia, Bandung: Disertasi PPS UNP AD, 2003 Ronald Titahelu, Penetapan Asas Umum Dalam Penggunaan Tanah,Surabaya: Disertasi PPS UNAIR, 1993
Sumber lainnya: Bagir
Manan,
Pengantar
Pidato
LaporanPertanggunganjawaban
AkademisDisertasi Atas Nama Aslan NoorPada Sidang Terbuka (PromosiDoktor) Dalam Ujian TerbukaDisertasi, PPS UNPAD, 2003
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
47
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
SERTIFIKASI HALAL PRODUK PANGAN SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN KONSUMEN BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN oleh : Iie Mansoer Abstrack Indonesian citizens are about 250 million people and 87% of all are Muslims, or it is about 200 million people are Muslims. It is a very potential market for regional or international trade. In this globalization era with the free trade, the good has transnational circulation, including food product. The food producted in Japan, China and other countries which has no halal regulation would be easily found in Indonesia and other parts of world with Muslim population. Halal is a sensitive issue that should be prioritized by officials. Getting halal label on food and drink is one of the consumer’s rights which isguaranteed by constitution. Considering this condition, halal assurance of a product is not only a focus of Muslims concern to consume food, medicine, cosmetics and other products, but also becoming a management system and production system from international trade. Therefore, Indonesia as the largest Muslim Country in the world needs to push itself not to be left in developing halal production management and system. Moreover, it is expected to be the leading pioneer to develop it. In order to increase the people awareness in consuming halal food, officials should facilitate the socialization activities/ seminars and or halal product promotion in Indonesia or foreign countries. Keywords: halal certificate, halal product, consumer protection. Abstrak Penduduk Indonesia berjumlah sekitar 250 juta orang dan 87% diantaranya adalah muslim, atau sekitar 200 juta orang beragama Islam, hal ini merupakan potensi pasar yang sangat besar dalam perdagangan baik dalam skala regional maupun inernasional. Dalam era globalisasi seiring dengan kebijakan perdagangan bebas, kini peredaran barang bersifat lintas batas negara, termasuk produk pangan. Barang pangan yang diproduksi di Jepang, China, dan negara lain yang tidak terikat oleh ketentuan halal dengan mudah dan cepat dapat didapatkan di Indonesia dan di belahan bumi lain yang penduduknya banyak beragama islam.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Sertifikasi Halal Produk …
48
Isu Halal itu merupakan isu sensitive yang perlu mendapat prioritas dari pemerintah. Memperoleh makanan dan produk-produk yang terjamin kehalalannya adalah hak konsumen yang dijamin oleh konstitusi.Memperhatikan kondisi tersebut, maka jaminan kehalalan suatu produk, bukan saja menjadi kepentingan umat Islam dalam mengkonsumsi makanan, obat, kosmetika dan menggunakan produk halal lainnya tetapi jaminan produk halal sudah menjadi sistem manajemen, dan sistem produksi dari perdagangan internasional. Dengan demikian maka Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar didunia perlu memacu diri agar jangan sampai tertinggal dalam mengembangkap manajemen dan sistem produksi halal, bahkan diharapkan menjadi Pelopor terdepan dalam mengembangkannya.Untuk meningkatkan kesadaran masyakat mengkonsumsi pangan halal, pemerintah sudah semestinya memfasilitasi kegiatan sosialisasi / seminar dan atau promosi produk halal di Indonesia atau luar negeri. Keyword : Sertifikat halal, produk halal, perlindungan konsumen.
A.
Pendahuluan Produk makanan “Halal” di Indonesia, mulai mendapat perhatian yang sangat
serius sejak terjadi kasus lemak babi pada tahun 1989. Isu- isu berikutnya terkait permen narkoba yang dijual di sekolah-sekolah SD sampai SMU, daging babi sebagai pencampur bahan olahan, bumbu masak yang dalam proses pembuatannya mengandung bahan babi dan lain lain. Hal tersebut menyadarkan umat Islam akan hakhaknya untuk mendapatkan produk halal. Sebagai respon terhadap umat, MUI telah mengambil prakarsa untuk membentuk lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LP-POM).1Dengan adanya Lembaga ini bersama-sama dengan Komisi Fatwa MUI, telah memungkinkan MUI menjadi pioner dalam mengeluarkan Sertifikat Halal dengan visi supaya semua makanan termasuk Obat-obatan dan Kosmetika di Indonesia berlabel halal. Dengan demikian umat Islam Indonesia tanpa ragu-ragu dan dengan tentram dapat menikmati produk yang halal. Penduduk Indonesia yang berjumlah 250 juta orang 87% diantaranya adalah muslim,atau sekitar 200 juta orang beragama Islam, merupakan potensi pasar yang 1
Thobieb al- Asyhar, Bahaya Makanan Haram bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian Rohani, PT.alMawardi Prima, Jakarta, Hlm. 9.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
49
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
sangat besar dalam perdagangan baik dalam skala regional maupun inernasional. Di Asia Tenggara dan Timur Tengah lebih dari 400 Juta konsumen Muslim.Di Dunia, konsumen Muslim diperkirakan sekitar 1.8 milyar yang tersebar di 112 negara. Sehingga Islam sangat memperhatikan status kehalalan makanannya dan Isu Halal itu merupakan isu sensitive yang perlu mendapat prioritas dari pemerintah.Dalam era globalisasi seiring dengan kebijakan perdagangan bebas, kini peredaran barang bersifat lintas batas negara, termasuk produk pangan. Barang pangan yang diproduksi di Jepang, China, dan negara lain yang tidak terikat oleh ketentuan halal dengan mudah dan cepat dapat didapatkan di Indonesia dan di belahan bumi lain yang penduduknya banyak beragama islam. Memperoleh makanan dan produk-produkyang terjamin kehalalannya adalah hak konsumen yang dijamin oleh konstitusi. Bagi umat Islam, mengkonsumsi yang halal dan baik (thayib)merupakan manifestasi dari ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah. Mengkonsumsi makanan halal dengan dilandasi iman dan taqwa karena semata-mata mengikuti perintah Allah merupakan ibadah yang mendatangkan pahala dan memberikan kebaikan dunia dan akhirat. Sebaliknya memakan yang haram, apalagi diikuti dengan sikap membangkang terhadap ketentuan Allah adalah perbuatan yang maksiat dan mendatangkan dosa dan keburukan. Di sisi lain, semakin tingginya kesadaran konsumen akan pentingnya makanan halal merupakan peluangbagi para pelaku usaha untuk memenuhi kebutuhan pasar yang sangat besar ini.2Oleh karena itu, keberadaan sebuah payung hukum mengenai hal ini merupakan sebuah keharusan.Konsumen muslim di Indonesia juga dibuat panic dengan beredarnya informasi sejumlah resto, kedai kopi dan es krim yang dinyatakan haram karena secara substansi, faktanya memang benar bahwa resto-resto tersebut belum memiliki sertifikat halal.3Dengan kemajuan teknologi, banyak bahan-bahan haram yang dimanfaatkan sebagai bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong
2
Asrorun NI’am Sholeh, Memaknai Sikap Konsumen Muslim , Jurnal halal No. 103 SeptemberOktober Tahun XVI, 2013, hlm. 2. 3
Kepastian ini disampaikan oleh Direktur LPPOM MUI. Ir Lukmanul Hakim. M.Si dan Sekretaris Fatwa MUI. DR. Asrorun NI’am Sholeh dalam sebuah Konferensi pers.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Sertifikasi Halal Produk …
50
pada berbagai produk olahan. Akhirnya yang halal dan yang haram menjadi tidak jelas, bercampur aduk dan banyak yang syubhat (samar-samar, tidak jelas hukumnya). Pada dasarnya makanan olahan yang telah tersentuh teknologi dan telah diolah sedemikian rupa statusnya menjadi samar (syubhat), sehingga perlu dikaji untuk mendapatkan status hukumnya melalui proses sertifikasi halal.Jika dulu pengolahan serta pemanfaatan bahan-bahan baku sangat sederhana dan apa adanya dari alam, maka sekarang manusia dengan IPTEK-nya telah dapat merekayasa apa yang terdapat dalam
alam,
sampai
hal-hal
yang
mikro
sekalipun.
Dengan
demikian,pengidentifikasian tentang proses dan bahan yang digunakan dalam suatu industri pangan, obat-obatan atau kosmetika tidak lagi menjadi suatu yang sederhana. Sertifikat halal adalah fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari’at Islam. berdasarkan kajian dan audit (pemeriksaan) yang dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (PPOM MUI). Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk mendapatkan ijin tercantumannya label halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang. Saat ini kebutuhan akan produk yang halal di Indonesia telah menjadi kebutuhan khususnya untuk masyarakat muslim karena merupakan syariat agama Islam yang harus dipenuhi. Islam sangat memperhatikan status kehalalan makanannya. Kehalalan suatu produk menjadi kebutuhan yang wajib bagi umat muslim, oleh karena itu, jaminan akan produk halal menjadi suatu yang penting untuk mendapatkan perhatian dari negara.Sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) bahwa negara berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Landasan ini juga dipertegas dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni pada Pasal 2 yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, sehingga tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak
melindungi
konsumen
dalam
menjalankan
syariat
agamanya
dalam
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
51
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
mengkonsumsi pangan termasuk dalam mengkonsumsi obat-obatan dan pemakaian kosmetika. Kreteria produk pangan di perdagangan global yaitu bermutu tinggi dan bergizi, Layak dan aman untuk dikonsumsi manusia, diproses dengan teknologi yang ramah lingkungan, Pangan khusus untuk kelompok masyarakat tertentu (umat Islam) harus Halal. Sejak diterbitkannya Undang-undang Rl Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Undang-undang Rl Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, Undang-undang Rl Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Instruksi Presiden Rl Nomor 2 Tahun 1991 Tentang Peningkatan, Pembinaan dan Pengawasan Produksi dan Peredaran Makanan Olahan dan Peraturan Pemerintah Rl Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan maka kehalalan makanan, minuman, obat, kosmetika dan produk lainnya yang semula hanya diatur dalam kitab fiqh kini diatur dalam Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang merupakan paradigma baru dalam pengaturan kehalalan produk. Sebagai konsekuensi logis dari perubahan paradigma tersebut, jaminan kepastian hukum terhadap kehalalan produk dan perlindungan terhadap konsumen maupun produsen selain menjadi tanggung jawab pribadi dan ulama, juga menjadi tanggung jawab Pemerintah cq Departemen Agama. Hal tersebut lebih ditegaskan lagi dalam GBHN Tahun 1999 dan Undang-undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999 bahwa agama yang didalamnya termasuk pembinaan jaminan produk halal menjadi tugas pokok Departemen Agama dan tidak diotonomikan. 4 Pembentukan LPPOM MUI didasarkan amanat dari pemerintah / Negara agar MUI berperan aktif dalam melakukan pemeriksaan dan sertifikasi halal. Untuk itu dilaksanakan nota Kesepakatan Kerjasama antara Departemen Agama dengan MUI. Untuk memperkuat kedudukan MUI lahir Keputusan Menteri Agama Nomor 518 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001yang menyatakan MUI sebagai Lemabga Sertifikasi halal serta melakukan pemeriksaan / audit, penetapan fatwa dan penerbitan Sertifikasi Halal.
4
Panduan Sistim Jaminan Produk Halal, Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 14.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Sertifikasi Halal Produk …
52
Dalam perkembangan selanjutnya kehalalan suatu produk juga diatur dalam Codex, suatu organisasi dunia yang mengatur sistem perdagangan internasional. Dengan demikian kehalalan produksi makanan, minuman, obat dan kosmetika serta produk halal lainnya bukan saja menjadi masalah intern umat Islam tetapi sudah masuk pada sistem produksi dan perdaganagan internasional yang didukung oleh semua negara. Oleh karena itu negara produsen saling berlomba dalam menerapkan sistem produksi halal untuk meningkatkan pangsa pasarnya. Memperhatikan kondisi tersebut diatas, maka jaminan kehalalan suatu produk, bukan saja menjadi kepentingan umat Islam dalam mengkonsumsi makanan, obat, kosmetika dan menggunakan produk halal lainnya tetapi jaminan produk halal sudah menjadi sistem manajemen, dan sistem produksi dari perdagangan internasional. Dengan demikian maka Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar didunia perlu memacu diri agar jangan sampai tertinggal dalam mengembangkap manajemen dan sistem produksi halal, bahkan diharapkan menjadi Pelopor terdepan dalam mengembangkannya.5 Perumusan Masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah perlindungan hukum yang mengatur tentang kehalalan dalam produk pangan untuk melindungi konsumen muslim di indonesiadihubungkan dengan undang - Undang No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen ?
B.
Halal Dalam Perspektif Hukum Islam Dalam perspektif hukum Islam, persoalan halal dan haram menjadi hal yang
sangat penting dan merupakan salah satu inti keberagamaan. Dalam masalah konsumtif, ada dua aspek yang harus memperoleh perhatian setiap muslim; yaitu aspek halal dan thayyib.6 Cukup banyak ayat dan hadis yang menjelaskan hal tersebut, di antaranya sebagai berikut: "Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikutl langkah-langkah syaitan; karena 5
Ibid.
6
DR. Asrorun NI’am Sholeh, Op.,Cit., hlm. 10
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
53
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu" (OS. al-Baqarah [2]: 168). Halal adalah terminologi agama, yang merujuk pada ketentuan- ketentuan baku dalam ajaran agama. Sementara, thayyib adalah terminologi yang merujuk pada kelayakan konsumsi, terkait dengan aspek manfaat - bahaya, serta standar gizi. Sedemikian urgen kedudukan halal dan haram hingga sebagian ulama menyatakan, "Hukum Islam (fiqh) adalah pengetahuan tentang halal dan haram".Atas dasar itu umat Islam, sejalan dengan ajaran Islam, menghendaki agar produk-produk yang akan dikonsumsi dijamin kehalalan dan kesuciannya. Menurut ajaran Islam, mengkonsumsi yang halal, suci, dan baik merupakan perintah agama dan hukumnya adalah wajib. "Hai orang yang beriman! Makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar- benarhanya kepada-Nya kamu menyembah" (QS. al-Baqarah [2]: 172). "Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari yang Allah telah rezkikan , dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya" (QS. al-[5]: 88). Ayat-ayat itu tidak saja menyatakan bahwa mengkonsumsi yang halal dan suci hukumnya wajib, tetapi juga menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan perwujudan dari rasa syukur, ketaqwaan, dan keimanan kepada Allah.Mengkonsumsi yang tidak halal (haram) menyebabkan segala amal ibadah yang dilakukan tidak akan diterima oleh Allah SWT. 7 Di sisi lain semakin tingginya kesadaran konsumen muslim tentang pentingnya makanan halal hal ini merupakan peluang bagi para pelaku usaha untuk memenuhi kebutuhan pasar yang besar karena hampir 87 % penduduk Indonesia adalah muslim. Memperoleh makanan yang terjamin kehalalannya adalah hak konsumen yang dijamin oleh konsitusi. Oleh karena itu keberadaan sebuah payung hukum mengenai hal ini merupakan sebuah keharusan. Penting di ketahui bahwa kehalalan makanan, minuman, obat dan kosmetika dan produk lainnya yang dulu diatur dalam kitab fikih, sekarang di Indonesia sudah diatur dalam UU dan Peraturan Pemerintah, hal ini 7
DR. Asrorun NI’am Sholeh,ibid., hlm. 11
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Sertifikasi Halal Produk …
54
merupakan paradigma baru, yaitu : UU NO. 8 TH. 1999 tentang Perlindungan Konsumen ; UU No. 23 Th. 1992 tentang Kesehatan;
UU no.7 th. 1996 tentang
Pangan; PP . NO. 69 TH. 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Kita wajib mengetahui aturan yang ada di dalam Al-Qur’an sebagai pegangan hidup seorang muslim walapun Undang-undang dalam hukum positif Indonesia telah ada. Penting di ketahui bahwa kehalalan makanan, minuman, obat dan kosmetika dan produk lainnya yang dulu diatur dalam kitab fikih, sekarang di Indonesia sudah diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, hal ini merupakan paradigma baru, yaitu: 1.
Undang-undang nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pasal. 21 huruf d. disebutkan ketentuan lainnya. Dalam penjelasan Undangundang dinyatakan
“Ketentuan lainnya misalnya kata atau tanda halal yang
menjamin bahwa makanan dan minuman dimaksud diproduksi dan diproses sesuai dengan persyaratan makanan halal” 2.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Pasal 30 : Ayat (1) berbunyi : “Setiap orang yang memproduksi dan memasukkan ke dalam wilayah
Indonesia
pangan
yang
dikemasuntuk
diperdagangkan
wajib
mencantumkanlabel pada dalam dan atau diluar kemasanpangan”. Ayat (2) Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurangkurangnya keterangan mengenai nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesi, keterangan tentang halal dan tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa. Dalam penjelasan Pasal 30 Ayat 2 huruf e disebutkan" Keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam. Namun pencantumannya pada label pangan, baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam. Adapun keterangan tentang halal dimaksudkan agar masyarakat terhindar
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
55
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal (haram). Dengan pencantuman halal pada label, pangan dianggap telah menjadi pernyataan dimaksud dan setiap orang yang membuat pernyataan tersebut bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan itu". Pasal 31 Ayat (1) Keterangan pada label, sebagimana dimaksud pada pasal 30 ditulis atau dicetak atau ditampilkan secara tegas dan jelas sehingga dapat mudah dimengerti oleh masyarakat. Ayat (2) Keterangan pada label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa, angka arab dan huruf latin. 3.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Pangan; Pasal 1 huruf 5, Pangan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan eradiasi pangan, dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam Pasal 2 ayat (1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau dikemas pangan. Ayat (2) Pencantuman label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah dilihat dan dibaca. Pasal 10 ayat (1) setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pemyataan tersebut dan wajib mencantum- kan keterangan atau tulisan halal pada label.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Sertifikasi Halal Produk …
56
Ayat (2) pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari label. Pasal 11 ayat (1) untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (1) setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksa- kan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berbeda. Ayat (2) pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompentensi di bidang tersebut. (Dalam penjelasan lembaga keagamaan tersebut adalah Majelis Ulama Indonesia). 4.
Dalam Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan. Pasal 4 huruf c : Konsumen berhak atas informasi yg benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Pasal 8 Ayat 1 huruf h : Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yg tidak
mengikuti ketentuan
berproduksi secara halal sebagai-mana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label
C.
Perlindungan Hukum Positif Yang Mengatur Tentang Kehalalan Dalam Produk Pangan Untuk Melindungi Konsumen Muslim Di Indonesia. Kehalalan suatu produk menjadi kebutuhan yang wajib bagi umat muslim, baik
itu pangan, obat-obatan, kosmetika maupun barang-barang lainnya. Seiring besarnya kuantitas umat muslim di Indonesia yang jumlahnya mencapai 87% dari 250 juta jiwa maka dengan sendirinya pasar Indonesia merupakan pasar konsumen muslim yang demikian besar dalam perdagangan baik dalam skala regional maupun Internasional. Oleh karena itu, jaminan akan produk halal menjadi suatu yang penting untuk mendapatkan perhatian dari negara.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
57
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
Sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) bahwa negara berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Landasan ini juga dipertegas dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni pada Pasal 2 yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, sehingga tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak melindungi konsumen dalam menjalankan syariat agamanya dalam mengkonsumsi pangan termasuk dalam mengkonsumsi obat-obatan dan pemakaian kosmetika. Substansinya, tentu memberi jaminan kemerdekaan memeluk agama masingmasing termasuk penyediaan pangan sesuai agama dan kepercayaannya. Halal bagi umat Islam merupakan syariat yang wajib dijalankan. Ditegaskan dalam QS. a1- Baqarah (2:168 ) yang artinya : “ Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” . Oleh karena itu bagi kaum muslimin, makanan di samping berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan fisik juga berkaitan dengan rohani, iman dan ibadah juga dengan identitas diri, bahkan dengan perilaku. Dari ayat di atas mempunyai arti bahwa Allah menyuruh manusia memakan apa saja di dunia ini yang diciptakanNya, sepanjang batas-batas yang halal dan baik (thayibah). Selain ayat-ayat di atas masih banyak lagi ayat dalam al- Qur'an yang berisi suruhan atau perintah agar manusia berhati-hati dalam memilih makanan dapat memisahkan mana yang halal (dibolehkan) dan mana yang haram (tidak dibolehkan), cara memperoleh makanan itu dan makanan itu baik dari segi kesehatan jasmani maupun rohani. Pengaturan tentang kehalalan suatu produk sebenamya telah ada, yang merupakan hukum positif Indonesia tentang kehalalan dalam produk pangan untuk melindungi konsumen muslim di Indonesia yaitu:
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Sertifikasi Halal Produk …
58
Pertama, Undang-Undang nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100; Pasal. 21 ayat 2. Setiap makanan yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi : a.
Bahan yang dipakai;
b.
Komposisi setiap bahan;
c.
Tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa;
d.
ketentuan lainnya.
Dalam penjelasan Undang-undang dinyatakan
“Ketentuan lainnya misalnya
pencantuman kata atau tanda halal yang menjamin bahwa makanan dan minuman dimaksud diproduksi dan diproses sesuai dengan persyaratan makanan halal”. Kedua, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Sekarang Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 Undang-undang yang baru). tentang Pangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227; Di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 beberapa Pasal berkaitan dengan masalah kehalalan produk pangan yaitu dalam Bab Label dan Iklan Pangan Pasal 30, 34 dan 35. Bunyi Pasal dan penjelasannya tersebut adalah sbb: Pasal 30 : Ayat (1) berbunyi : “Setiap orang yang memproduksi dan memasukkan ke dalam wilayah
Indonesia
pangan
yang
dikemasuntuk
diperdagangkan
wajib
mencantumkanlabel pada dalam dan atau diluar kemasanpangan”. Ayat (2) Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurangkurangnya keterangan mengenai a.
nama produk;
b.
daftar bahan yang digunakan;
c.
berat bersih atau isi bersih;
d.
nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia;
e.
keterangan tentang halal dan tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
59
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
Dalam penjelasan Pasal 30 ayat 2 huruf e disebutkan " Keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam”. Ayat (3) diatur selain keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat menetapkan keterangan lain yang wajib atau dilarang untuk dicantumkan pada label makanan. Namun pencantumannya pada label pangan, baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam. Adapun keterangan tentang halal dimaksudkan agar masyarakat terhindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal (haram). Dengan pencantuman halal pada label, pangan dianggap telah menjadi pernyataan dimaksud dan setiap orang yang membuat pernyataan tersebut bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan itu. Pasal 31 Ayat (1) Keterangan pada label, sebagimana dimaksud pada pasal 30 ditulis atau dicetak atau ditampilkan secara tegas dan jelas sehingga dapat mudah dimengerti oleh masyarakat. Ayat (2) Keterangan pada label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa, angka arab dan huruf latin. Ketiga,dalam Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42; Pasal 4 huruf c : Konsumen berhak atas informasi yg benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Pasal 8 mengenai kewajiban pengusaha yang antara lain adalah : a.
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.
Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Selanjutnya Pasal 8, pengusaha dilarang :
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Sertifikasi Halal Produk …
a.
60
Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.
Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c.
Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenamya;
d.
Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e.
Tidak sesuai dengan mutu, tangkatan, komposisi, proses pengelolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f.
Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan dan promosi penjualan baang dan/atau jasa tersebut;
g.
Tidak
mencantumkan
tanggal
kadaluarsa
atau
jangka
waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h.
Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pemyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i.
Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menutut ketentuan harus dipasat/dibuat;
j.
Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan Di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UUPangan) terdapat beberapa Pasal berkaitan dengar masalah kehalalan produk pangan, yaitu dalam Bab VIII Label dan Iklan Pangan. Pasal 97, ayat (1), (2) dan (3). Bunyi pasal dar. penjelasan pasal tersebut adalah sbb:
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
61
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
Pasal 97 (1)
Setiap orang yang memproduksi Pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan. a.
Setiap
Orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan pada saat memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. b.
Pencantuman
label
di
dalam
dan/atau
pada
Kemasan
Pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2 ) ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia serta memuat paling sedikit keterangan mengenai: a. nama produk; b. daftar bahan yang digunakan; c. berat bersih atau isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor; e. halal bagi yang dipersyaratkan; f. tanggal dan kode produksi; g. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa; h. nomor izin edar bagi Pangan Olahan; dan i. asal usul bahan Pangan tertentu. Dengan pencantuman halal pada label pangan, dianggap telah terjadi pernyataan dimaksud dan setiap orang yang membuat pernyataan tersebut bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut. Menurut penulis penjelasan Pasal 97 ayat (3) huruf e ini yang menyatakan cukup jelas, terasa janggal atau aneh karena bertentangan dengan bunyi ayatnya sendiri, pada ayat 3 di atas berbunyi bahwa keterangan tentang halal wajib dicantumkan,akan tetapi dalam penjelasan dinyatakan cukup jelas. Apalagi bahwa kewajiban ini baru berlaku apabila si produsen ingin menyatakan bahwa produknya halal. Keanehan kedua adalah kebenaran pernyataan halal walaupun tanggung jawab si pelaku usaha, akan tetapi tidak ada kewajiban untuk diperiksakan dulu kehalalannya oleh lembaga yang
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Sertifikasi Halal Produk …
62
berwenang, jadi seakan-akan kehalalan hanya ditentukan oleh produsen, bagi yang tidak "nempercayainya, silahkan buktikan kebenarannya. Keempat, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Pangan. Pasal 1 huruf 5 Pangan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan eradiasi pangan, dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam Pasal 2 Ayat (1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau dikemas pangan. Ayat (2) Pencantuman label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah dilihat dan dibaca. Pasal 10 Ayat (1) setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pemyataan tersebut dan wajib mencantum- kan keterangan atau tulisan halal pada label. Ayat (2) pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari label. Pasal 11 Ayat (1) untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (1) setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berbeda.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
63
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
Ayat (2) pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompentensi di bidang tersebut. (Dalam penjelasan lembaga keagamaan tersebut adalah Majelis Ulama Indonesia). Ayat (2) pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari label. Pasal 11 Ayat (1) untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (1) setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berbeda. Ayat (2) pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompentensi di bidang tersebut. (Dalam penjelasan lembaga keagamaan tersebut adalah Majelis Ulama Indonesia). Kelima, Keputusan Menteri Agama RI Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal Secara teknis tentang pencantuman label "halal" Departemen Kesehatan (Depkes) telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Dalam lampiran SK tersebut yakni pada Bab V tentang persyaratan higiene pengolahan telah dijelaskan aturan-aturan baku dalam proses pembuatan makanan halal dan Persyaratan higiene pengolahan makanan menurut syariat Islam. Ketetapan tersebut kemudian dirubah menjadi Surat Keputusan Nomor 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman Tulisan "halal" pada Label Makanan, dimana pada pasal 8 disebutkan produsen atau importir yang akan mengajukan permohonan pencantuman tulisan "halal" wajib siap diperiksa oleh
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Sertifikasi Halal Produk …
64
petugas Tim Gabungan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk Direktur Jenderal.8 Tahun 2001 Departemen Agama juga mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal, SK Nomor 519 Tahun 2001 tentangLembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal, yaitu adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI, dan SK Nomor 525 Tahun 2001 tentang Penunjukan Peruri sebagai Pelaksana Pencetak Label Halal. Akan tetapi kesemua peraturan diatas belum dapat memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum kepada umat Islam, untuk mengenal pangan dan produk lainnya yang halal. Terjadi pula ketidaksingkronan antara Undang-Undang dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana yang terjadi pada antara Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan iklan Pangan seta tumpang tindih antara peraturan satu dengan yang lainnya. Terbukti dengan masih sedikit perusahaan yang mendaftarkan produknya untuk mendapatkan sertifikasi halal dan bertambahnya tingkat pemalsuan yang dilakukan pelaku usaha terkait dengan labelisasi halal. Keenam, Sekarang sudah ada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (selanjutnya disingkat dengan UU JPH) yang dalam Pasal 65 disebutkan bahwa peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini di undangkan pada Tanggal 17 Oktober 2014. Dan dalam Pasal 66 disebutkan pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Jaminan Produk Halal dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Didalam penjelasan umum UU JPH disebutkan bahwa:
8
http://aries.wordpress.com/2009/09/02/ruu-jaminan-produk-halal-harus-sebagai-penyempuma, diakses 23 April 2013.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
65
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan Produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Jaminan mengenai Produk Halal hendaknya dilakukan sesuai dengan asas pelindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas. Oleh karena itu, jaminan penyelenggaraan Produk Halal bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal. Tujuan tersebut menjadi penting mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, obat-obatan, dan kosmetik berkembang sangat pesat. Hal itu berpengaruh secara nyata pada pergeseran pengolahan dan pemanfaatan bahan baku untuk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, serta Produk lainnya dari yang semula bersifat sederhana dan alamiah menjadi pengolahan dan pemanfaatan bahan baku hasil rekayasa ilmu pengetahuan. Pengolahan produk dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan percampuran antara yang halal dan yang haram baik disengaja maupun tidak disengaja. Oleh karena itu, untuk mengetahui kehalalan dan kesucian suatu Produk, diperlukan suatu kajian khusus yang membutuhkan pengetahuan multidisiplin, seperti pengetahuan di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, dan pemahaman tentang syariat. Berkaitan dengan itu, dalam realitasnya banyak Produk yang beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya. Sementara itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dengan pengaturan Produk Halal belum memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat muslim. Oleh karena itu, pengaturan mengenai JPH perlu diatur dalam satu undang-undang yang secara komprehensif mencakup Produk yang meliputi barang dan/atau jasa yang
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Sertifikasi Halal Produk …
66
terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, dan produk rekayasa genetik serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Pokok-pokok pengaturan dalam Undang-Undang ini antara lain adalah sebagai berikut. a.
Untuk menjamin ketersediaan Produk Halal, ditetapkan bahan produk yang dinyatakan halal, baik bahan yang berasal dari bahan baku hewan, tumbuhan, mikroba, maupun bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik. Di samping itu, ditentukan pula PPH yang merupakan rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk yang mencakup
penyediaan
bahan,
pengolahan,
penyimpanan,
pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk. b.
Undang-Undang ini mengatur hak dan kewajiban Pelaku Usaha dengan memberikan pengecualian terhadap Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan dengan kewajiban mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada kemasan Produk atau pada bagian tertentu dari Produk yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah terhapus,dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Produk.
c.
Dalam rangka memberikan pelayanan publik, Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH yang pelaksanaannya dilakukan oleh BPJPH. Dalam menjalankan wewenangnya, BPJH bekerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, MUI, dan LPH.
d.
Tata cara memperoleh Sertifikat Halal diawali dengan pengajuan permohonan Sertifikat Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh LPH. LPH tersebut harus memperoleh akreditasi dari BPJH yang bekerjasama dengan MUI. Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa halal MUI dalam bentuk keputusan Penetapan Halal Produk yang ditandatangani oleh MUI. BPJPH
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
67
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
menerbitkan Sertifikat Halal berdasarkan keputusan Penetapan Halal Produk dari MUI tersebut. e.
Biaya sertifikasi halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal. Dalam rangka memperlancar pelaksanaan penyelenggaraan JPH, Undang-Undang ini memberikan peran bagi pihak lain seperti Pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah, perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, dan komunitas untuk memfasilitasi biaya sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil.
f.
Dalam rangka menjamin pelaksanaan penyelenggaraan JPH, BPJPH melakukan pengawasan terhadap LPH; masa berlaku Sertifikat Halal; kehalalan Produk; pencantuman Label Halal; pencantuman keterangan tidak halal; pemisahan lokasi, tempat dan alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak halal; keberadaan Penyelia Halal; dan/atau kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.
g.
Untuk menjamin penegakan hukum terhadap pelanggaran Undang-Undang ini, ditetapkan sanksi administratif dan sanksi pidana. Di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 beberapa Pasal berkaitan dengan
masalah kehalalan produk pangan yaitu dalam Bab Label dan Iklan Pangan Pasal 30, 34 dan 35. Bunyi Pasal dan penjelasannya tersebut adalah sbb: Pasal 30 : Ayat (1) berbunyi : “Setiap orang yang memproduksi dan memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemasuntuk diperdagangkan wajib mencantumkanlabel pada dalam dan atau diluar kemasanpangan”. Ayat (2) Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurangkurangnya keterangan mengenai nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia, keterangan tentang halal dan tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Sertifikasi Halal Produk …
68
Dalam penjelasan Pasal 30 Ayat2 huruf e disebutkan" Keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam. Namun pencantumannya pada label pangan, baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam. Adapun keterangan tentang halal dimaksudkan agar masyarakat terhindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal (haram). Dengan pencantuman halal pada label, pangan dianggap telah menjadi pernyataan dimaksud dan setiap orang yang membuat pernyataan tersebut bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan itu". Pasal 31 Ayat (1) Keterangan pada label, sebagimana dimaksud pada pasal 30 ditulis atau dicetak atau ditampilkan secara tegas dan jelas sehingga dapat mudah dimengerti oleh masyarakat. Ayat (2) Keterangan pada label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa, angka arab dan huruf latin.
Dalam Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 4 huruf c : Konsumen berhak atas informasi yg benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Pasal 8 Ayat 1 huruf h : Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yg tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagai-mana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label. Ketujuh, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang dalam Pasal 65 disebutkan bahwa peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini di undangkan pada Tanggal 17 Oktober 2014. Dalam Pasal 4 menyebutkan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal berarti UU JPH ini mewajibkan semua produk yang beredar di Indonesia adalah halal, dan dalam Pasal 67 akan mulai berlaku efektif dan kewajiban ini mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
69
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
sejak Undang-Undang ini diundangkan. Sehingga sekitar lima tahun lagi UU JPH akan mewujudkan perlindungan negara terhadap warganya dari produk nonhalal. 9 Pasal 4 yang mewajibkan setiap produk beredar adalah halal berarti memiliki sifat mandatoryyang ditandai dengan label halal (Pasal 25), maka setiap produk yang tidak bersertifikat halal yang beredar di pasar dapat diasumsikan sebagai produk nonhalal oleh masyarakat. Sampai di sini, meminjam pendapat Muhammad Hasyim Kamali bahwa hukum yang seyogianya memberikan kemanfaatan bagi semua pihak, dapat menjelma menjadi kesulitan (al-mafasid) bagi sebagian pelaku usaha. Pada satu sisi, UU JPH telah memenuhi sifat protektif dari produk nonhalal kepada konsumen dengan memberikan rasa nyaman dalam mengonsumsi produk. Negara wajib hadir memberikan perlindungan bagi pelaku usaha. Adapun perlindungan terhadap pengusaha seperti pada UKM (usaha kecil menengah) yang tidak mampu secara finansial maupun disebabkan kesulitan dalam memperoleh sertifikat halal karena sifat produknya yang rumit, adalah tanggung jawab negara. Ini telah dimaktub dalam UU JPH secara eksplisit maupun implisit. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pasal. Pertama, tegas disebutkan penyelenggaraan produk halal adalah kewajiban pemerintah (Pasal 5). Karena itu, seluruh rangkaian yang berkaitan dengan penyelenggaraan produk halal adalah tugas pemerintah, tentu dengan perpanjang- tanganan dengan pihak terkait, seperti auditor halal dan pelaku usaha sendiri. Kedua, UU JPH memberikan hak bagi setiap pelaku usaha memperoleh informasi, edukasi, sosialisasi, pembinaan dalam produksi halal, serta mendapatkan sertifikat halal secara cepat, efisien, biaya terjangkau (Pasal 23). Pelaku usaha tidak perlu khawatir kesulitan memperoleh sertifikat halal, baik disebabkan kesulitan biaya, keterbatasan pengetahuan, lama waktu pengurusan, maupun cara memperoleh sertifikat halal. 9
UU Halal dan UKM Mustafa Kamal Rokan. Pengajar Hukum Bisnis Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sumatra Utara. Republika selasa 3 maret 2015 halaman 6 Opini.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Sertifikasi Halal Produk …
70
Pemerintah seyogianya secara cermat sekaligus cepat dalam waktu lima tahun ke depan melakukan serangkaian sosialisasi, edukasi, membina serta menyiapkan instrumen yang dapat membuat proses pengurusan sertifikasi secara cepat, efisien, dan biaya terjangkau. Pemerintah mesti memetakan produk dengan cara mengklasifikasi produk yang rumit dengan yang mudah diverifikasi. Ketiga, UU JPH masih menyisakan “celah hukum”, yakni sertifikat halal dan keterangan tidak halal. Pada satu sisi, UU JPH mewajibkan setiap produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia bersertifikathalal (Pasal 4). Namun, produk yang dak halal juga wajib mencantumkan; keterangan tidak halal (Pasal 26 ayat 2) Lalu, bagaimana produk yang tidak ada sertifikat halal dan juga tidak mencantumkan keterangan tidak halal? Penulis melihat, UU JPH masih menyisakan persoalan “produk transisi yaitu “transisi menuju sertifikasi halal atau “transisi menuju keterangan tidak halal” sehingga tidak jelas “jenis kelamin” produknya. Celah hukum ini dapat menjadi celah positif bagi pelaku usaha yang kesulitan biaya, maupun cara memperoleh sertifikat halal, sebab produk yang tidak mempunyai sertifiki tidak bisa diasumsikan sebagai produk nonhalal, tentu selama tidak mencantumkan keterangan tidak halal. Namun ketentuan di atas bisa menjadi celah hukum bagi pelaku usaha yang mangkir dari proses jaminan produk halal. Keempat, masalah biaya UU JPH telah memberikan jalan keluar khusus dengan memberikan peluang memperoleh biaya sertifikasi dari pihak lain (Pasal 44). Yang dimaksud pihak lain adalah pemerintah melalui APBN pemerintah daerah melalui APBD, perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, dan komunitas. Pasal 44 beserta penjelasannya menunjukkan keberpihakan pembuat UU JPH terhadap pelaku UKM, sebab salah satu kendala pengurusan sertifikasi haLal adalah biaya. Tapi, jika tidak satu lembaga pun memberikan bantuan dalam pengurusan biaya sertifikasi, bagaima nasib pelaku UKM. Jika hal itu terjadi kita dapat mengembalikan beban biaya sertifikasi UKM kepada pemerintah sebagaimana pada Pasal 5 UU JPH. Maka kehalalan makanan, minuman, obat, kosmetika dan produk lainnya yang semula hanya diatur dalam kitab fiqh kini diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
71
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
Pemerintah yang merupakan paradigma baru dalam pengaturan kehalalan produk. Sebagai konsekuensi logis dari perubahan paradigma tersebut, jaminan kepastian hukum terhadap kehalalan produk dan perlindungan terhadap konsumen muslim maupun produsen selain menjadi tanggung jawab pribadi dan ulama, juga menjadi tanggung jawab Pemerintah cq Departemen Agama. Hal tersebut lebih ditegaskan lagi dalam GBHN Tahun 1999 dan Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2014 bahwa agama yang didalamnya termasuk pembinaan jaminan produk halal menjadi tugas pokok Departemen Agama dan tidak diotonomikan.
10
Khusus di Jawa
Barat sudah diatur dalam Perda. Didalam penjelasan umum UU JPH disebutkan bahwa: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan Produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Jaminan mengenai Produk Halal hendaknya dilakukan sesuai dengan asas pelindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas. Oleh karena itu, jaminan penyelenggaraan Produk Halal bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal. Tujuan tersebut menjadi penting mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, obat-obatan, dan kosmetik berkembang sangat pesat. Hal itu berpengaruh secara nyata pada pergeseran pengolahan dan pemanfaatan bahan baku untuk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, serta Produk lainnya dari yang semula bersifat sederhana dan alamiah menjadi pengolahan dan pemanfaatan bahan baku hasil rekayasa ilmu pengetahuan. Pengolahan produk dengan memanfaatkan 10
Panduan Sistim Jaminan Produk Halal, Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 14.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Sertifikasi Halal Produk …
72
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan percampuran antara yang halal dan yang haram baik disengaja maupun tidak disengaja. Oleh karena itu, untuk mengetahui kehalalan dan kesucian suatu Produk, diperlukan suatu kajian khusus yang membutuhkan pengetahuan multidisiplin, seperti pengetahuan di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, dan pemahaman tentang syariat. Berkaitan dengan itu, dalam realitasnya banyak Produk yang beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya. Sementara itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dengan pengaturan Produk Halal belum memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat muslim. Oleh karena itu, pengaturan mengenai JPH perlu diatur dalam satu undang-undang yang secara komprehensif mencakup Produk yang meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, dan produk rekayasa genetik serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
D. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan : Hukum positif yang mengatur tentang kehalalan dalam produk pangan untuk melindungi konsumen muslim di Indonesia telah ada untuk melindungi konsumen muslim di Indonesia, dari Undang-undang tentang Kesehatan, UU tentang pangan, UU Jaminan Produk halal dan undang-undang lainnya, yang pada intinya peraturan – peraturan tersebut dapat menjamin produk halal suatu pangan, serta menyatakan bahwa konsumen dapat mengetahui dengan jelas suatu pangan halal dikonsumsi dengan melihat indikator dari nama produk; daftar bahan yang digunakan; berat bersih atau isi bersih; nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; dan keterangan tentang halal dan tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa.
Dengan berlakunya UU JPH yang memiliki sifat mandatory
dalam Sertifikasi halal dan labelisasi halal menjadi bentuk legitimasi yang memberikan jaminan kepastian hukum untuk produk pangan halal dan dapat berguna
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
73
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
untuk menjadi perlindungan kepada konsumen di Indonesia sesuai dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999. Saran : 1.
Bahwa LPPOM MUI sebagai lembaga yang selama ini memiliki kewenangan dalam proses sertifikasi halal agar di bakukan dan memiliki payung hukum setingkat Undang-undang, sebagai satu-satuna lembaga yang sah mengeluarkan sertifikat halal dengan pengawasan tetap dari pemerintah sebagaimana amanat undang-undang dimaksud.
2.
Harus terciptanya kerjasama antara pemerintah, kaum ulama, pengusaha , kaum akademisi dan para ahli dibidang ang terkait dengan produk pangan untuk menganalisis status berbagai bahan pangan ang masih diragukan kehalalana
DAFTAR PUSTAKA Al- Quran dan Hadis Ali Yafie, 2003, Fiqih Perdagangan Bebas, Teraju Mizan, Jakarta. Deddy Mulyana, 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosda, Bandung. Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, 2000, Ensiklopedi Hukum Islam, Buku 4, PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta Dewan Penyusun Tafsir Tematik, 2014, Tafsir Al-Qur’an Tematik, Kamil Pustaka, Jakarta. Diana candra Dewi, 2007, Rahasia Dibalik Makanan Haram,UIN Malang Pers, Malang. M. Quraisy Syihab, 2003, Wawasan al-Qur’an. Mizan, Bandung . Soeryono Soekamto,2004, Pengantar Penelitian Hukum, Edisi Revisi XIIUniversitas Indonesia (UI) Press, Jakarta.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Sertifikasi Halal Produk …
74
Suharsimi Arikunto, 1998, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta. Thobieb al- Asyhar, 2009, Bahaya Makanan Haram bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian Rohani, PT.al-Mawardi Prima, Jakarta W.J.S. Poerwadarminta, 2000, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Perundang – Undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Undang-undang Rl Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Undang-undang Rl Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan Undang-undang Rl Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Instruksi Presiden Rl Nomor 2 Tahun 1991 Tentang Peningkatan, Pembinaan dan Pengawasan Produksi dan Peredaran Makanan Olahan Peraturan Pemerintah Rl Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan GBHN Tahun 1999 dan Undang-undang Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2014
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
75
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
KAJIAN HUKUM PERSAINGAN USAHA DALAM MEDIA MASSA (Tinjauan Aspek Kemerdekaan Pers dan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers) Oleh: Naungan Harahap Abstract An unhealthy competition phenomenon among national mass media actors in reform era to be more transparence even it has been implemented by dishonesty and damaging public. The situation results in any problems and concern between press idealism and commercial aspects. An implementation of press independency is harmful. It is a consequence of application Act No. 40 of 1999 on press introducing mass media serving as the economic institution. It expected that the concerned parties in media business, press idealism and independency must consider an equal principle and fairness. Because the economic function could be a boomerang to the press. When the capital owner has much intervention to the editorial staff, it has been mad press partiality. Whereas it is represent the press independency, especially in upright the justice and truth. Keywords:
Act of business competition, communication law, mass media, and press independency. Abstrak
Fenomena persaingan usaha tidak sehat antarpelaku media massa nasional pada era reformasi semakin transparan, bahkan dalam menjalankan bisnis media ada dengan cara tidak jujur, dan merugikan masyarakat. Keadaan tersebut menimbulkan berbagai permasalahan serta kekhawatiran antara kepentingan idealisme pers dan aspek komersial. Pelaksanaan kemerdekaan pers pun menjadi terganggu. Masalah ini merupakan salah satu dampak dari diberlakukannya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang memperkenankan media massa berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Diharapkan para pihak yang terkait kepentingan bisnis media, idealisme pers dan kemerdekaan pers seyogianya dapat mendahulukan asas keseimbangan dan keadilan. Karena fungsi ekonomi dapat saja menjadi bumerang bagi pers. Ketika pemilik modal melakukan intervensi terlalu besar dalam bidang redaksi dapat mengakibatkan pers tidak mandiri. Padahal kemandirian adalah wujud independensi pers itu sendiri, terutama dalam menegakkan keadilan dan kebenaran. Kata Kunci: Hukum Persaingan Usaha, Hukum Komunikasi, Media Massa, Kemerdekaan Pers.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Naungan H. Kajian Hukum Persaingan … A.
76
Pendahuluan Persaingan bisnis industri media massa dan kemerdekaan pers dalam
pembangunan kesejahteraan bangsa dewasa ini masih
merupakan
masalah
kontroversi. Di samping berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, pers juga merupakan lembaga ekonomi1. Ternyata fungsi ekonomi yang dimiliki oleh pers menjadi boomerang bagi pers sendiri, artinya masih terjadi banyak pers berpihak kepada kelompok pengusaha media yang lebih kuat dan berkuasa.2 Fenomena ini memperkuat adanya indikasi terganggunya kemerdekaan pers akibat dominasi bisnis pers yang mengutamakan kepentingan komersial daripada idiealisme pers. Padahal tujuan pokok kemerdekaan pers adalah pertama tersedianya segala informasi yang menjadi hak dan milik publik dan kedua terlaksananya fungsi pengawasan terhadap pemerintah, ketiga alat atau sarana pers guna mewujudkan citacita demokrasi dan kesejahteraan.Tulisan ini mencoba menjelaskan dan mebahas keadaan hukum persaingan usaha dirangkai dengan hukum komunikasi, kemerdekaan pers, dan demokrasi serta negara kesejahteraan. Kemerdekaan pers juga telah berkembang yang ditandai dengan berlakunya regulasi di bidang media massa.
Berbagai dukungan terhadap pers lahir di era
reformasi diantaranya, Pertama didapat dari perubahan ketatanegaraan yaitu konstitusi Negara dengan dilakukannya Amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 28F dinyatakan bahwa hak untuk berkomunikasi dan hak untuk mendapatkan informasi merupakan hak asasi manusia.Adanya Pasal 28 dan Pasal 28F merupakan dukungan dan amanat konstitusi bahwa pelaksanaan kemerdekaan pers harus dijamin. Kedua, adanya jaminan perlindungan bagi wartawan Pasal 8 UU Pers. Ketiga, hilangnya birokrasi dalam hal pendirian perusahaan pers dengan dicabutnya ketentuan tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), Keempat tidak ada pembredelan atau penyensoran koran, Kelima adanya transparansi kinerja pemerintah dan semakin dekatnya hubungan antara masyarakat dengan pemerintah karena pers sebagai jembatannya, dan keenam masyarakat mendapat informasi yang lebih banyak
1 2
. Lihat Fungsi Pers Pasal 3 Undang-Undang Nomor. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ibid – hlm. 126
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
77
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
mengenai segala hal.Dengan dukungan tersebutPers di Indonesia kemudian mengalami suatu perkembangan yang pesat. Namun demikian kalangan pers belum dapat mengatasi dampak dari kemerdekaan pers
tersebut dan media massamasih banyak yang berpihak pada
kepentingan bisnis yang sempit daripada kepentingan publik yang lebih luas.3Dampak negatif yang terakhir dirasakan oleh masyarakat yakni adanya pers yang masih menganggap bahwa konsep kemerdekaan pers yang dimilikinya bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Padahal kemerdekaan pers di negaranegara demokratis adalah milik masyarakat yang didelegasikan oleh rakyat melalui proses demokrasi untuk dilaksanakan oleh pers.
B.
TINJAUAN TEORI
1.
Dukungan Pembuatan UU Adanya dukungan pemerintah dalam pembuatan perundang-undangan yang baru
untuk
pembangunan
pers
nasional
dinilai
positif,
terutama
dengan
diberlakukannyaempat regulasi hukum komunikasi di bidang media massa seperti Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukan Informasi Publik (KIP)4. Namun dengan
tercantumnya
yaitu
tersebutmengakibatkan orientasi
fungsi
ekonomi
dalam
perundangan-undangan
pengembangan industri media massa baik cetak
maupun elektronik visi-misinya mulai bergeser dari aspek pers idealis ke aspek pers komersial (bisnis). Pengertian yang dimaksud dengan perusahaan pers menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media
3
. Ibid --- hlm.39 . Empat Undang-undang di bidang media cetak dan elektronik yaitu UU Nomor.40 Tahun 1999 tentang Pers mulai berlaku tanggal 23 September 1999 LNRI Tahun 1999 Nomor 166,UU Nomor 32 Tahun 2005 tentang Penyiaran berlaku tgl. 28 Desember 2002 LNRI Tahun 2002 Nomor 139, UUNomor 11 Tahun 2008 tentahg ITE berlaku tgl. 21 April 2008 LNRI Tahun 2008 Nomor 58, UU Nomor, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP berlaku tgl 30 April 2008 LNRI Tahun 2008 Nomor 61. 4
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Naungan H. Kajian Hukum Persaingan …
78
elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi. Sedangkan penjelasan yang dimaksud dengan fungsi lembaga ekonomi yang dimiliki oleh Pers dalam Pasal 3 Ayat 2 dinyatakan bahwa “pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi”. Dalam penjelasan ayat tersebut disebutkan bahwa “perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi, agar kualitas dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya.” Penjelasan lain mengenai pengaturan fungsi ekonomi tersebut di atas berkaitan dengan Pasal 10 yang menyatakan bahwa “Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawannya dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.” Dalam konteks ini dapat pula diambil makna bahwa Pers bisa berfungsi sebagai lembaga ekonomi yang membawa pesan-pesan untuk pembangunan kesejahteraan demi kemakmuran masyarakat. Berkaitan dengan kepemilikan saham, berlaku ketentuan dalam undangundang PT dan Undang-Undang Pasar Modal. Jadi, sangatlah penting dijelaskan lebih lanjut agar tidak terjadi perbenturan mengenai penjelasan untuk hal tersebut. 2.
Kemerdekaan Pers dan Negara Kesejahteraan Secara intuitif para pakar telah lama yakin tentang adanya korelasi positif kaitan
antara demokrasi, kemerdekaan pers, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan kesejahteraan masyarakat. Bahkan peraih anugerah Nobel, Amartya Send, dalam penelitiannya Development as Freedom5 membuktikan adanya kaitan antara kemerdekaan pers dan keberhasilan upaya pencegahan wabah kelaparan. Hasil penelitian ini kemudian menginspirasi Bank Dunia yang melihat persoalan kemerdekaan pers adalah masalah bisnis dan bukan semata-mata berada di ranah politik dan demokrasi seperti pandangan sebelumnya. Perubahan pandangan Bank Dunia mengenai kemerdekaan pers memiliki dampak besar terhadap penyusunan strategi pembangunan ekonomi di seluruh dunia. Sebab sejak masalah pers diakui sebagai persoalan ekonomi, berbagai institusi internasional di bidang ekonomi mulai menyusun perencanaan dan menjalankan program terkait dengan
5 . Bambang Harymurti, Hak Memberitakan Peran Pers dalam Pembangunan Ekonomi, Kumpulan Tulisan Buku, Tempo dan The World Bank, 2006, hlm. v-vii
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
79
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
kehadiran konsep kemerdekaan pers sebagai bagian dari upaya pembangunannya. Karena itu dalam strategi pembangunan yang efektif, menurut James D.Wolfensohn6 penyampaian informasi dan transparansi merupakan unsur utama yang harus ada. Pers bebas bukan suatu kemewahan, pers menjadi inti pembangunan. Media bisa membongkar korupsi dan mengontrol kebijakan publik serta mengkritisi pemerintah. Pentingnya
peran
Pers
dalam
strategi
pembangunan,
misalnya
dalam
memberantas kemiskinan, pemerintah harus membuka akses kebebasan informasi dan meningkatkan kualitas informasi. Rakyat yang memperoleh informasi yang lebih banyak akan mampu membuat pilihan yang lebih baik6a. Di samping itu fakta-fakta menunjukkan melalui penyampaian gagasan dan inovasi, media pers bisa memperlancar perdagangan antar lintas negara. Demikian pula dalam pembangunan kesejahteraan manusia, peran media sangat penting dengan menyampaikan informasi kesehatan dan pendidikan sampai ke desa-desa terpencil. Pengertian pembangunan kesejahteraan manusia7 dalam tulisan ini maksudnya adalah sosial ekonomi mencakup pendidikan, kesehatan, pekerjaan, pendapatan, pajak, asuransi, dan pensiun. Edmun menekankan negara kesejahteraan memiliki tanggung jawab mempersiapkan hidup sejahtera bagi warganya dan memberi jaminan hari tua di masa depan. Dalam sistem negara modern tujuan demokratisasi dan kemerdekaan pers dapat diartikan sebagai sarana menuju negara kesejahteraan. Mochamad Hatta mengatakan Indonesia dapat digolongkan sebagai penganut negara kesejahteraan. Hal ini, misalnya, dilihat dari tujuan negara Indonesia yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdasarkan kehidupan bangsa, dan keadilan sosial. Adanya keterlibatan pemerintahan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya merupakan upaya mengelola sumber-sumber kekayaan negara untuk kepentingan publik.
6
. James D.Wolfensohn, President The World Bank Group (1995-2005), Perihal Peran Pers Bebas, Tulisan dalam Hak Memberitakan Peran Pers dalam Pembangunan Ekonomi, Tempo dan The World Bank, 2006, hlm.viii-ix 6a.Elvinaro Ardianto dkk, Komunikasi Massa- Suatu Pengantar, Edisi Revisi, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2007, hlm. 203.. 7 .Edmun Conway,50 Gagasan Ekonomi Yang Perlu Anda Ketahui, Erlangga, 2010, hlm.146150
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Naungan H. Kajian Hukum Persaingan …
80
Mochamad Isnaeni Ramdhan8 melalui tulisannya bertajuk “Penegakan Pembukaan UUD 1945, Langkah Nyata Mempertahankan Kehidupan Bernegara,” ia mengatakan dalam menjalankan fungsi-peran pers dan kemerdekaan pers dalam alam demokrasi akhir-akhir ini menjadi permasalahan. Keadaan ini perlu diapresiasi dengan menegakkan kembali nilai-nilai Pembukaan UUD 1945. Beberapa gejala atau fakta penyimpangan dan memudarnya implementasi nilai-nilai 4 pilar kehidupan bernegara telah terjadi dalam menjalankan fungsi dan perannya di alam demokrasi. Bahkan di bidang media, format pers dewasa ini yang dikuasai oleh dominasi elit partai politik ikut meramaikan membangun karakter dan citra bagi pemilik media massa, seraya membunuh karakter lawan politik. Dalam suasana pers seperti ini, objektivitas tidak lagi menjadi nilai pemberitaan, dan kecerdasan bangsa makin tertinggal. Ketika modal dan kekuasaan mengepung media massa, kalangan industri media massa lebih menyerupai “pedagang”, mengendalikan pers dengan memanfaatkan kepemilikan saham atau modal untuk mengontrol isi media.Apabiladikaji, banyak teori yang mencoba menjelaskan keterkaitan antara sistem kapitalis dan institusi media massa. Secara filosofis negara kesejahteraan berlandaskan pada cita hukum (recht-idee) Negara Kesatuan Republik Indonesia. sebagaimana termaktub di dalam konstitusi (pembukaan UUD 1945 alinea kedua dan keempat). Ini berarti bahwa setiap peraturan hukum positif, termasuk hukum persaingan usaha dan hukum pers di Indonesia harus ditarik dari landasan cita hukum tersebut agar penerapan menjadi hukum yang bermartabat, yaitu hukum yang memperoleh kepatuhan dari masyarakat. Hal tersebut diatur dalam UUD 45, antara lain lihat Pasal 27, Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28F, Pasal 28J, Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 34. Untuk itu upaya mewujudkan kesejahteraan bersama bagi bangsa Indonesia merupakan amanat konstitusi yang tak terbantahkan. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia ditinjau dari aspek konseptual (idea) pada nilai-nilai pembukaan konstitusi dimaksud terkandung makna filosofi bangsa yang saling mengkait. Sebagaimana dikemukakan pada aline pertama, mampu mandiri dan bebas dari penjajahan; kedua, mampu menjaga tekad untuk tetap merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur agar mampu berdiri kokoh menjadi suatu negara merdeka 8
. Mochamad Isnaeni Ramdhan, Penegakan Pembukaan UUD 1945, Langkah Nyata Mempertahankan Kehidupan Bernegara, lihat Krisna Harahap, Pemeriksaan Tipikor Yang Mendua di MA, Grafitri Budi Utami, 2011, hlm.266-269.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
81
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
yang dibutuhkan persatuan segenap komponen bangsa menuju masyarakat adil dan makmur; Ketiga, mampu mensyukuri karunia Illahi atas
kemerdekaan bangsa
Indonesia; Keempat, mampu menjalankan tujuan negara melindungi segenap bangsa Indonesia artinya pemerintah harus mampu menjaga, memelihara, mengurus semua kekuatan sumber daya alam, ekonomi, manusia dari intervensi kepentingan asing yang merugikan bangsa Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum dan gotong royong. Di bawah koordinasi pemerintah, negara mewujudkan kesejahteraan bersama, dan pemerintah wajib mengupayakan mencerdaskan kehidupan bangsa, kecerdasan ekonomi, kecerdasan sosial, kecerdasan budaya, kecerdasan hankam, dan kecerdasan beragama.9untuk mendukung pembangunan, media perlu lingkungan yang baik-dalam arti kebebasan, kemampuan yang mensejahterakan.10 3.
Kemerdekaan Pers dan Negara Demokrasi Penelitian Roumeen Islam11 menarik dipaparkan dalam tulisan ini, ia mengkritisi
hubungan antara kemerdekaan pers dan demokrasi. Islam menjelaskan pada umumnya negara-negara yang demokratis juga memiliki pers yang bebas, namun ia mempertanyakan apakah media bebas yang menumbuhkan demokrasi, atau demokrasi yang mengembangkan media bebas. Jelas, dua-duanya bisa terjadi, hanya saja tingkat demokrasi serta kebebasan media berbeda-beda derajatnya. Sesama negara demokratis, tingkat kebebasan medianya tidak sama, dan diantara negara-negara yang relative sama-sama tidak demokratis pun terdapat toleransi terhadap kebebasan media sampai batas tertentu. Ia mengambil contoh dua negara demokratis Rusia dan Amerika Serikat, memiliki sikap yang berbeda terhadap media dan konsep kebebasan media. Misalnya, di suatu negara demokratis jenis liputan tertentu dibatasi sementara di negara demokratis yang lain dibebaskan. Seperti berita-berita ekonomi mungkin tidak dikenal peraturan seketat yang dikenakan terhadap berita-berita politik. Dalam masyarakat demokratis warganya mempunyai hak asasi untuk mengetahui dan mengeluarkan pendapat, dan mendapatkan informasi dari pemerintah mengenai apa dan mengapa yang dilakukannya serta mempersoalkannya. Masyarakat demokratis memiliki anggapan yang kuat mengenai perlunya transparansi dan 9
. Ibid . Ibid 11 . Opcit,Roumeen Islam, Apa Yang Diberitakan Media dan Mengapa,hlm 2-3 10
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Naungan H. Kajian Hukum Persaingan …
82
keterbukaan pemerintah. Hal ini sudah berlangsung lama, lebih dari 200 tahun yang silam Swedia mengeluarkan undang-undang yang – pertama di dunia - menekankan pentingnya tranparansi dalam wilayah publik (public domain). Kemerdekaan pers merupakan bagian dari kebebasan memperoleh dan menyampaikan informasi serta menyatakan pendapat, yang dilaksanakan melalui pers. Dengan demikian kemerdekaan pers dapat dipandang sebagai bagian dari konsep demokrasi. Diantara hak demokrasi dan hak politik rakyat bersumber pada hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan dasar manusia. HAM dan kebebasan dasar manusia itu adalah kebebasan menyatakan pendapat hak secara lisan maupun tulisan, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Di Indonesia, hak itu telah dijamin oleh konstitusi melalui Pasal 28 dan, Pasal 28F perubahan kedua UUD 1945. Namun pers perlu menyadari bahwa tidak semua orang siap untuk demokrasi. Apabila masyarakat tidak menyadari dan tidak menjalankan “spirit” demokrasi , maka masyarakat demokrasi dan “free society” tidak akan terwujudkan. Disisnilah tampak tugas pendidikan yang juga dibebankan kepada Ilmu Komunikasi dan media massa sebagai medium yang mencapai sebanyak mungkin orang.12 Dalam mengemukakan fakta, disatu sisi pers memformulasikan pernyataan tentang kebenaran yang menuntut pemikiran untuk diketahui dan dimengerti. Di sisi lain pers yang mewakili pendapat dan kepentingan umum, berperan seperti layaknya kekuasaan pemegang amanat orang lain, suara rakyat, suara publik, sehingga menjalankan seperti fungsi wakil rakyat di DPR/MPR..13 4.
Dinamika Pers Indonesia Sejarah perjalanan pers di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari proses
demokratisasi dan perjuangan bangsa melawan kaum penjajah, karena pers ikut serta dalam gerakan kaum nasionalis. Pada masa penjajahan meskipun mendapat tekanan dari pemerintah Belanda, keadaan keuangan yang lemah dan kurangnya keterampilan jurnalistik, surat-surat kabar Indonesia tetap terbit untuk menyediakan forum bagi para pemimpin gerakan kemerdekaan. Dinamika sejarah Pers Indonesia selama Kebangkitan
12 13
Ibid, Astrid SSusanto-Sumarno, hlm. 52 Ibid, Artidjo Alkostar, hlm. 49.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
83
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
Nasionalisme,14 seperti disebutkan Mochtar Lubis dalam buku “The Press in Indonesia”, orang bisa melihat semangat nasionalisme yang diungkapkan dalam namanama surat kabar yang diterbitkan Parada Harahap seperti Sinar Merdeka, Bintang Hindia, Bintang Timur, Jakarta Barat, Sinar Pasundan, Semangat, Volskraat, dan Tjaja Timur, sedangkan nama-nama lain yang diterbitkan para tokoh pers adalah Matahari, Kompas, Suara Kemerdekaan, Suara Berjuang, Kilat, Api, Guntur, dan Benih Kemerdekaan, serta koran Kemajuan Hindia yang berubah menjadi Kemajuan Indonesia. Menurut Edward C.Smith15 pers Indonesia selama kebangkitan semangat nasionalisme, pers dilahirkan oleh dorongan semangat tinggi nasionalisme guna menggerakkan para pemimpin nasional yakni adanya tuntutan kebutuhan yang mendesak dan hak rakyat untuk berbicara secara bebas. Pada masa itu pers Indonesia membantu pergerakan dengan menyebarkan berita di kalangan rakyat dan membentuk pendapat umum Indonesia untuk mendukung kemerdekaan dari para penguasa kolonial. Para kaum terdidik yang mampu baca-tulis jumlahnya baru minoritas tapi melalui mereka berita-berita disebarkan sampai kepada rakyat petani di desa-desa. Pers Indonesia pada masa-masa awal perjuangan dalam memberikan informasi lebih bersifat mengobarkan semangat perjuangan dengan emosional daripada rasional. Meskipun serba kekurangan, pada masa lalu pers Indonesia sudah membuat langkah permulaan: membuka jalan bagi para wartawan dan penerbit. Pers Indonesia pada masa itu telah melahirkan konsep tentang pers di kalangan orang Indonesia. Pengertian ini tetap ada pada mereka melalui masa-masa sulit yang datang kemudian. Peredaran surat-surat kabar harian pada masa itu hanya berkisar antara 1.500 s.d 5.000 eksemplar. Namun sebagian besar surat kabar sudah memiliki percetakan sendiri, betapapun kecilnya, sebagain surat kabar masih diset dengan tangan. Untuk memenuhi kebutuhan biaya operasional sehari-hari, koran-koran tersebut bergantung pada pendapatan iklan; para pembaca yang berpenghasilan rendah tidak mampu sepenuhnya menunjang surat kabar. Harga langganan bulanan, meskipun kurang lebih sepertiga nilainya dari surat-surat kabar Belanda. Seperti dikatakan Hasibuan dalam tulisannnya
14 15
Log.Cit, Edward C.Smith, Pembredelan Pers di Indonesia, Grafitipers,1986, hlm.67. . Ibid
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Naungan H. Kajian Hukum Persaingan …
84
mengenai segi ekonomi surat-surat kabar di Hindia, kemajuan surat kabar bergantung pada makin besarnya jumlah pembaca yang punya daya beli untuk membantu meningkatkan nilai iklan surat kabar itu. Di Indonesia indikasi praktek pers bisnis sudah terjadi sejak pada masa Orde Baru (1966-1998), sedangkan sebelumnya yakni pada masa Orde Lama (1945-1965) media massa nasional masih menganut pers perjuangan atau idealis. Pada era Orde Baru ketentuan mengenai media massa yaitu UU Pokok Pers No.11/1966 jo No.4/ 1967 dirubah menjadi UU Pokok Pers No.21/1982, perubahan ini sekaligus menandai era baru dalam pers Indonesia. Selain terkait dengan politik dan hukum, pers Indonesia juga mulai bermain bisnis16. Perkenalan pers Indonesia dengan bisnis semakin akrab setelah keluarnya Peraturan Menteri Penerangan No.01/Per/Menpen/ 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan Surat Keputusan Menpen No.214A/Kep/Menpen/1984 mengenai tata cara memperoleh SIUPP. Sejak itulah pengelolaan pers tak ubahnya dengan mengelola bisnis lainnnya sehinggga mengaburkan makna idealisme yang selama ini menjadi ciri pers Indonesia.17 Bagaimanapun dengan hadirnya regulasi SIUPP pada masa itu telah menjadi tonggak penting bagi munculnya kelompok-kelompok perusahaan media yang bermodal kuat. Dengan kekuatan modalnya mereka bisa memperoleh SIUPP baru dari Departemen Penerangan (sekarang Menkominfo) atau membeli SIUPP surat kabar lain yang kehabisan modal untuk bertahan hidup. Dalam perkembangan selanjutnya, akibat perubahan regulasi di bidang pers ini interaksi yang terjadi bukan lagi antara insan pers dan pemerintah melainkan berkembang antara pengusaha media dan penguasa politik. para pihak saling bersinerji mencari keuntungan: penguasa memperoleh stabilitas sedangkan pengusaha mendapatkan fasilitas.18 5.
Kemerdekaan Pers dan Demokrasi dalam RPJP Kebebasan pers tidaklah bersifat mutlak, dalam konsep hak asasi manusia
kebebasan pers dikategorikan sebagai derogated right atau hak yang dapat 16
. Ofcit --- Ibnu Hamad, hlm.64 . Ibid 18 . Ibid – hlm .65, lihat Sen,Krishna and David T Hill, Media, Cultures, and Politics in Indonesia, Cictoria: Oxford University Press, 2000, ch,2,hlm.51-71, Yasuo Hannazaki, Pers Terjebak (terjemahan), Jakarta, ISAI,1998 dalam Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik. Fenomena SIUPP ini kemudian melahirkan gejala kelompok-kelompok usaha media, seperti Kelompok Kompas Gramedia (KKG), Sinar Kasih Grup, Pos Kota Grup, Presindo Grup, Grafiti/Jawa Pos Grup. 17
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
85
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
diabaikan/dibatasi. Berdasaran uraian di atas, yang dimaksud dengan kemerdekaan pers di sini adalah kemerdekaan pers atau alat komunikasi di Indonesia dalam mencari, mengolah, dan menulis berita yang disalurkan atau diterbitkan melalui media cetak atau media elektronik. Merdeka dalam arti tidak ada campur tangan kekuasaan dalam aturan mengekang kemerdekaan pers, yang diwujudkan dalam bentuk: a. merdeka dari keharusan memilii Surat Izin Terbit atau bentuk lainnya, b. merdeka dari sensor pers,c. merdeka dari pembredelan,d. merdeka dari campur tangan pemerintah dan pihak manapun dalam kegiatan pers.19 Pengabaian terhadap kebebasan pers dapat dilaksanakan apabila terjadi keadaan darurat yang bersifat memaksa dan luar biasa, misalnya bencana alam, kekacauan negara dan darurat militer dan lain-lain. Namun perlu diingat, sesuai dengan Pasal 19 Delarasi HAM/Konvensi Genewa 1948 oleh PBB, pembatasan itu harus dinyatakan dalam undang-undang/peraturan, diberi batasan mana yang harus dibatasi dan memiliki jangka waktu tertentu. Apabila kondisi kembali normal maka kebebasan penuh harus diberlakukan kembali. Tetapi, sebaliknya pembatasan-pembatasan yang bersifat represif berupa delik-delik pidana yang mengandung delik pers (pencemaran nama baik, delik agama, kabar bohong dan lain-lain) dipandang sah dan konstitusional. Pembatasan demikian diakui oleh hukum internasional. Kemerdekaan, seperti kebebasan pers (freedom of the press) atau kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat (freedom of opinion and expression) serta kebebasan berbicara (freedom of the speech) adalah beberapa diantara hak asasi yang paling mendasar. Sama mendasarnya dengan hak untuk hidup yang mencakup hak untuk mencari nafkah dan memperoleh upah yang sesuai dengan jerih payah yang diberikan. Hak asasi yang mendasar ini tidak boleh dibatasi dengan alasan apapun, hampir semua konstitusi yang ada di dunia ini mencantumkan jaminan hak asasi yang mendasar ini. Di Indonesia melalui Pasal 28 UUD 1945 dengan tercantumnya kebebasan mengeluarkan pikiran atau pendapat tersebut maksudnya adalah agar kehidupan demokrasi dapat ditumbuhkan. Tepatnya Pasal 28 menyatakan: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan 19
. Log.Cit, Wikrama Iryans Abidin, Poltik Hukum Pers Indonesia, Grasindo,2005, hlm.38
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Naungan H. Kajian Hukum Persaingan …
86
undang-undang.” Apa yang disebutkan dalam Pasal 28 tersebut, pada hakikatnya merupakan akar sistem dari kebebasan pers Indonesia. Dengan demikian, pasal tersebut menentukan bentuk dan isi konsep dasar dari sistem kebebasan pers di Indonesia. Dalam pembangunan hukum nasional, baik dalam pembentukan peraturan perundangundangan
maupun
aplikasi
program
pembangunan
masyarakat,
Mochtar
Kusumaatmadja mengingatkan kita agar tidak meninggalkan atau mengabaikan arahan konstitusional.20 Maksudnya baik perencanaan maupun pelaksanaan konsep dan undang-undang dimaksut tetap berada pada koridor konstitusi yang berlaku,seperti pembentukan undang-undang pers, kemerdekaan pers, dan undang-undang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat harus mengacu pada arahan nilainilai Pancasila dan UUD 1945 sebagai hukum dasar. Dalam konteks pembangunan nasional di dalam RPJP 2009-2025 ditetapkan bahwa kesejahteraan rakyat merupakan bagian integral dari pembangunan tersebut. Pembangunan kesejahteraan rakyat yang dimaksud adalah yang sejalan dengan pembangunan nasional meliputi pembangunan kesehatan, pendidikan, perumahan, pertahanan dan keamanan, politik (proses demokratisasi), hukum, dan lain sebagainya. Pembangunan nasional sebagai suatu kebijakan besar (grand-design) sebagaimana diuraikan diatas memerlukan perubahan nilai (values) dan sikap (attitude) untuk memberikan arah perubahan masyarakat yang lebih baik, lebih teratur dan lebih tertib dari keadaan masyarakat sebelumnya, Mochtar Kusumaatmadja, mengemukakan, bahwa perubahan tersebut harus dilakukan secara teratur. Untuk mendukung pembenahan sistem dan politik hukum, pemerintah menetapkan Visi-Misi Pembangunan Nasional Tahun 2004-2009 berdasarkan Perpres No.7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009,21 dirumuskan dalam 3 visi sbb; 1). Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai. 2).Terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia, serta 3). Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan. 4).Dengan 285..Lili Rasjidi, Pembangunan Hukum Nasional, Materi kuliah S3 Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, tgl 2 Januari 2008. 21 Buku RPJMN 2004-2009, Sinar Grafika, Maret 2005, Op.Cit, hlm.19.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
87
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
misi mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai, Adil dan Demokratis, yang Sejahtera. 6.
Peran Media Kunci Demokrasi Dalam era demokrasi ekonomi ini tentu saja tidak mudah untuk mewujudkan
tujuan pembangunan nasional masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.22 Permasalahannya semakin berat terutama di tengah situasi yang sedang menghadapi globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika. Di samping itu kebijakan komunikasi dan informasi nasional belum optimal.23 Dengan perkataan lain dikemukakan Sunaryati Hartono24 bahwa bangsa Indonesia mengidamkan suatu masyarakat yang adil dan makmur secara merata yang dicapai dengan cara yang wajar (seimbang, tidak ekstrim) dan berperikemanusiaan, sehingga tercapai keselarasan, keserasian dan ketenteraman di seluruh negeri. Peningkatan peranan media komunikasi dan informasi di satu sisi akan menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan konsolidasi demokrasi,25 sedangkan disisi lain media massa dalam menjalankan fungsinya secara otonom dan independen belum optimal. Jaringanmedia massa masih dihadapkan pada terbatasnya kapasitas, jangkauan, dan kualitas sarana dan prasarana media massa serta kualitas sumber daya manusia. Keadaan ini telah mengakibatkan rendahnya kemampuan masyarakat mengakses informasi.26 Pesatnya kemajuan teknologi komunikasi, informasi dan proses globalisasi telah memberikan pengaruh yang besar terhadap nilai-nilai bisnis yang berkembang dan hidup di Indonesia. Wolfgang G.Friedman27
menggambarkan bahwa globalisasi
22
Lihat Konsideran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Lembaran Negara RI . Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 42, Sinar Grafika, Cetakan Ketiga, Jakarta, Februari 2004, hlm 1. 23 Perpres RI Nomor 7 Tahun 2005 tentang RPJMN,Logcit. hlm. 41-42 . 24 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni Cetakan Kesatu, Bandung, 1991, hlm. 3 3. RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2004-2009, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 125 4. RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) 2005-2025, Undang-Undang RI No.17 Tahun 2007, Fokusmedia, Bandung, 2007, hlm. 33-34. 56.WG.Friedman, New York Times, artikel surat kabar, New York, Lihat laporan Utama Majalah Biskom, Jakarta, Volume Mei 2008, hlm. 8 dan Peranan Hukum Dalam Perekonomian Di Negara Berkembang, Penyunting T Mulya Lubis dan Richard M.Buxbaum,YOI, Jakarta, 1996, hlm.11
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Naungan H. Kajian Hukum Persaingan …
88
merupakan hal yang tidak bisa ditolak lagi oleh setiap bangsa karena di dalamnya dipengaruhi oleh kemajuan teknologi informasi dalam aktifitas manusia. Alfin Toffler mengatakan teknologi komunikasi telah menciptakan globalisasi dunia dan mengakibatkan kegiatan bisnis saling mempengaruhi. Dalam kaitan ini Djuhaendah Hasan28 menyatakan dalam era global pengaruh ekonomi global selalu melekat dalam hukum bisnis. 7.
Fungsi Sosial Pers
a.
Meningkatkan Kesejahteraan Dalam Negara hukum kesejahteraan, yang diutamakan adalah terjaminnya hak-
hak asasi sosial ekonomi rakyat. Pertimbangan-pertimbangan efisiensi dan manajemen lebih diutamakan daripada pembagian kekuasaan yang berorientasi politis, sehingga peran eksekutif lebih besar daripada peran legislatif. Negara tidak hanya menjaga ketertiban dan keamanan, tetapi juga turut serta dalam usaha-usaha sosial dan ekonomi. Dapat dikemukakan bahwa secara formal, konsepsi Negara hukum mempunyai tujuan yakni mencegah kekuasaan absolute, sedangkan secara materil, tujuan Negara hukum modern mewujudkan kesejahteraan (kemakmuran) rakyatnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Mochtar Kusumatmadja yang mengemukakan, bahwa pembangunan dalam arti seluas-luasnya meliputi segala dari kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi dari kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi kehidupan ekonomi belaka. Tentu sejalan dengan tulisan ini diyakini bahwa pembangunan industri media massa dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana terlihat dalam sejarah media massa nasional. b.
Mencerdaskan Bangsa Idealisme yang melekat pada pers sebagai lembaga kemasyarakatan ialah
melakukan sosial kontrol dengan menyatakan pendapatnya secara bebas, tetapi tentu dengan perasaan tanggungjawab bila pers itu menganut social responsibility. Idealisme yang melekat pers dijabarkan dalam pelaksanaan fungsinya. Mengacu pada UU Pers dalam pasal 3 dijelaskan Pers memiliki lima fungsi yaitu menyiarkan informasi, mendidik, menghibur, melakukan kontrol sosial dan ekonomi. 28
Djuhaendah Hasan (ed), Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Pembangunan Hukum Indonesia , Kumpulan tulisan dalam buku, Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, Unpad Bandung, September 2007, hlm.9
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
89
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015 Pada umumnya, pers sudah dianggap sebagai fenomena kehidupan masyarakat
modern. Itulah sebabnya, pers terus ditelaah dan dikaji dari berbagai dimensi pendekatan, mulai dari pendekatan ilmu dan filsafat hingga pendekatan teknis. Bahkan, pers diamati sebagai barometer dan perlambang kebebasan dan hak asasi manusia. Peran serta media massa tidak dapat disangkal bahwa media massa memberikan andil bagi pembinaan dan pengembangan pendidikan. Media massa memang memiliki kelebihan. Disamping memiliki jumlah pembaca dan pemirsa yang terbesar, media memiliki pengaruh besar dikalangan masyarakat. Oleh karena itu, media massa merupakan salah satu mitra kerja yang penting dalam memajukan kegiatan pendidikan yaitu mencerdaskan bangsa. Pers juga diharapkan mampu mensosialisasikan hasil-hasil pembinaan dan pangembangan pendidikan moral dan etika kebangsaan. Untuk sosialisasi mengembangan pendidikan akan berhasil manakala pers dapat mengetahui dan mengerti tentang fungsi sosial media massa, baik secara teori menurut pendapat para pakar maupun pengertian berdasarkan undangundang pers. Harold D Lasswell dan Charles Wright dalam bukunya mengelompokkan fungsifungsi sosial media massa yaitu :29 1).
Fungsi menyiarkan informasi (to inform) atau disebut juga sebagai social surveilance. Menyiarkan informasi merupakan fungsi pers yang utama. Pada fungsi ini, media massa termasuk media televisi, akan senantiasa merujuk pada upaya penyebaran informasi dan interpretasi se objektif mungkin mengenai peristiwa yang terjadi, dengan maksud agar dapat dilakukan kontrol sosial sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam lingkungan masyarakat bersangkutan.
2).
Fungsi mendidik (to educate). Sebagai sarana pendidikan massa, surat kabar dan majalah memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga khalayak pembaca bertambah pengetahuannya. Fungsi mendidik ini bisa secara implisit dalam bentuk artikel atau tajuk rencana, dan berita.
3).
Sebagai social correlation. Dengan fungsi korelasi sosial tersebut, akan terjadi upaya penyebaran informasi yang dapat menghubungkan satu kelompok sosial 29
Harold D Lasswell dan Charles Wright. Investigating Estrada, PCIJ. 2000. hlm.203
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Naungan H. Kajian Hukum Persaingan …
90
dengan kelompok sosial lainnya. Begitupun antara pandangan – pandangan yang berbeda, agar tercapai konsensus sosial. 4).
Fungsi socialization. Pada fungsi ini, media massa selalu merujuk pada upaya pewarisan nilai-nilai luhur dari satu generasi ke generasi selanjutnya, atau dari satu kelompok ke kelompok lainnya.
5).
Fungsi mempengaruhi (to influence). Fungsi mempengaruhi menyebabkan pers memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Sudah tentu surat kabar yang ditakuti ini ialah surat kabar yang independent, yang bebas menyatakan pendapat, bebas melakukan sosial kontrol. Fungsi mempengaruhi dari surat kabar, secara implisit terdapat pada tajuk rencana, opini, dan berita.
6).
Fungsi entertainment. Agar tidak membosankan, sudah tentu media massa perlu juga menyajikan hiburan kepada khalayaknya. Hal-hal yang bersifat hiburan sering dimuat oleh surat kabar, majalah serta televisi untuk mengimbangi beritaberita berat (hard news) dan artikel yang berbobot. Isi surat kabar dan majalah yang bersifat hiburan bisa berbentuk cerita pendek, cerita bersambung, cerita bergambar, teka-teki silang, pojok, karikatur, tidak jarang juga berita yang mengandung minat insani (human interest), dan kadang-kadang tajuk rencana, sedangkan di radio atau televisi bisa dalam pagelaran atau siaran langsung (live). Hanya saja, fungsi hiburan ini sudah terlalu dominan mewarnai siaran televisi kita sehingga fungsi lainnya, seolah telah terlupakan. Untuk itu, fungsi hiburan haruslah ditata agar seimbang dengan fungsi- fungsi lainnya. Sejatinya, fungsi media massa tersebut bersinergi dan sinkron dalam rangka menyajikan pemberitaan yang sehat. Sebab, hanya dengan tontonan yang sehat sajalah yang nantinya dapat melahirkan generasi yang sehat yaitu generasi yang memiliki karakter bangsa.
7).
Di samping fungsi-fungsi pers tersebut masih terdapat fungsi lainnya yaitu lembaga ekonomi. Fungsi lembaga ekonomi di sini dimaksudkan adalah struktur atau badan kelembagaan perusahaan pers yang harus dikelola berdasarkan prinsipprinsip demokrasi ekonomi agar mampu mensejahterakan masyarakat, khususnya karyawan pers.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
91
8).
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015 Sedangkan menurut Smythe fungsi utama media adalah menciptakan kestabilan segmen khalayak,bagi monopoli penjualan iklan kapitalis” 30.
C.
Pembahasan
1.
Proses Hukum Persaingan Usaha Menurut KPPU dan Perdata Hukum persaingan usaha sebenarnya mengatur tentang pertentangan kepentingan
antarpelaku usaha dimana satu pelaku usaha merasa dirugikan oleh tindakan dari pelaku usaha lainnya.31 Dengan kata lain persaingan usaha dapat dipahami sebagai kondisi persaingan diantara pelaku usaha yang berjalan secara tidak fair.32 Hal ini disebabkan pelanggaran terhadap hukum persaingan pada akhirnya akan merugikan masyarakat dan perekonomian negara. Penegakan hukum persaingan usaha dilakukan oleh para pihak dan akan efektif apabila konsep hukum tersebut difasilitasi dengan instrument hukum yang bersifat pemaksa (imperative).33
Instrumen atau alat hukum dimaksud adalah dengan
berlakunya Undang-undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Untuk Indonesia undang-undang antimonopoli memiliki landasan konstitusional yaitu Pancasila dan UUD 1945. Pasal 33 ayat (1) kebebasan berusaha ayat (2), dan (3). Dalam konsiderans ditegaskan bahwa tujuan umum yang hendak dicapai UU Larangan Praktek Monopoli dijelaskan antara lain; ditujukan
untuk
mengarahkan
pembangunan
ekonomi
kepada
terwujudnya
kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan mewujudkan demokrasi ekonomi, serta mencegah pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu. Untuk mengetahui apakah ada atau tidak terjadi suatu kasus persaingan usaha tidak sehat dapat ditinjau dari beberapa indikator yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1999, ketentuan ini menunjukkan tiga kriteria penting, yaitu pertama persaingan
30
Dallas Smythe, Communication: Blindspot of Western Marxism, Canadian Journal of Political and Social Theory, Volume 1, Number 3,1977,hlm.1. 31. Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm.263 32 Ofcit – hlm.10. 33 .Ofcit. hlm. 263
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Naungan H. Kajian Hukum Persaingan …
92
usaha yang dilakukan secara tidak jujur, kedua dilakukan dengan cara melawan hukum, dan ketiga menghambat terjadinya persaingan di antara pelaku.34 Oleh karena itu dari rumusan di atas dapat dikemukakan bahwa hukum persaingan usaha pada umumnya merupakan sengketa perdata35 Namun tidak jarang terjadi pelanggaran pidana terhadap hukum persaingan usaha tersebut, contoh dalam KUHPidana dapat ditemukan pasal yang mengatur persaingan usaha, yakni Pasal 382 bis KUHPidana mengancam pidana bagi orang yang melakukan persaingan curang; “Barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan, atau memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau orang tertentu, diancam karena persaingan curang, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah, bila perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konkuren-konkurennya atau konkuren-konkren lain itu”. Dalam KUHPerdata (BW) ditemukan pasal yang mengatur persaingan usaha yaitu, Pasal 1365 KUHPerdata dinyatakan bahwa “setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannnya untuk mengganti kerugian tersebut.” Pasal ini tidak mengatur tentang persaingan usaha secara khusus, hanya saja karena keluasannya, pasal-pasal pidana dan perdata itu bisa dijadikan dasar oleh mereka yang menderita kerugian akibat perbuatan curang di dalam persaingan usaha. Untuk menyelesaikan dan mempercepat proses penanganan perkara persaingan usaha berdasarkan UU No.5 Tahun 1999 mensyaratkan untuk dibentuknya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Komisi bertugas melakukan penilaian terhadap tindakan-tindakan yang dilarang berdasarkan tiga kategori yang ada (perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, dan posisi dominan). Selain itu komisi memiliki kewenangan seperti melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasuskasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha dan; Memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian di pihak pelaku usaha lain dan masyarakat; serta
34 35
. Ibid, Mustafa Kamal Rokan , hlm. 10 . Ibid
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
93
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang.36 Untuk menghindari tumpang tindih peraturan dalam konteks kasus pers, ruang lingkup pemeriksaan dua lembaga independen yakni KPPU dan Dewan Pers berdasarkan hukum positif ditempatkan pada ranah yang terpisah sesuai hukum yang berlaku. 2.
Struktur Kepemilikan Media Penelitian lain menyebutkan sebetulnya datangnya era reformasi tidak begitu
banyak berpengaruh terhadap struktur kepemilikan atau konglomerasi media. Kebebasan pers sebagai salah satu buah gerakan reformasi justru menambah rasa aman para pengusaha media. Pada masa refomasi, pers bergulat dengan pasar yang semakin membuat jaya kelompok-kelompok media yang sudah mapan secara ekonomis di zaman Orde Baru.37 Laporan Dewan Pers38 menunjukkan; selama 30 tahun Orde Baru (1966-1996) jumlah penerbitan yang memiliki SIUPP hanya sekitar 260. Kemudian setelah reformasi, deregulasi di bidang pers mulai bergulir tahun 1999 jumlah penerbitan melonjak tajam menjadi 1.381. Tahun 2001 jumlahnya bertambah lagi menjadi 1.881. Tapi hanya berselang beberapa bulan saja ternyata 70% berhenti terbit dan akhir tahun 2001 media cetak tinggal 566 penerbitan saja, selebihnya kolep yang akhirnya gulung tikar lalu mati.
Keadaan itu memprihatinkan bagi para pebisnis pers dalam
mengembangkan investasi, karena modal kerja, dan sdm yang tersedia tidak dapat diberdayakan secara optimal.39
36
Ofcit --- Mustafa Kamal Rokan, hlm. 266-270. . Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, Granit, Jakarta, 2004, hlm. 65 38 . Ibid 39 Lihat Pasal 3 Ayat (2) dan Penjelasan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3887); bandingkan - dengan Pasal 3 dan Pasal 5 huruf h Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran bahwa Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk... Memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia Penyiaran diarahkan untuk : mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan, dan memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi. Huruf e dan Pasal 4 huruf b Undangundang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 37
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Naungan H. Kajian Hukum Persaingan …
94
Berdasarkan laporan Dewan Pers fakta-fakta menunjukkan tidak sedikit perusahaan pers tidak sehat menjadi kolep dan gulung tikar karena ditinggalkan oleh pembaca. Sistem pers bertanggung jawab (responsibility) yang disebut terakhir ini pengertiannya kurang jelas karena beban tanggung jawab pers tidak dipastikan ditujukan kepada siapa. Sejak reformasi bergulir seiring dengan era kebebasan pers, orientasi industri media massa baik cetak maupun elektronik mulai bergeser dari pers idealis menjadi pers industri. Bahkan keadaan ini sudah terjadi sejak pada masa Orde Baru, namun proses bisnis pers di era reformasi ini semakin transparan
dan dipicu terbukanya
peluang kebebasan berusaha di bidang media massa. Sama halnya dengan perusahaan-perusahaan lain, perusahaan pers pun pada umumnya bertujuan untuk memperoleh keuntungan materil dan immateril. Pihak Direksi perusahaan pers atau media massa bersangkutan yang akan menentukan segi manakah yang akan mereka utamakan. Segi idiilnya sajakah atau segi komersilnya sepanjang tujuannya tidak bertentangan dengan undang-undang. Mengutamakan segi idiilnya saja, dapat berakibat buruk terhadap perkembangan perusahaan pers yang juga harus memperoleh keuntungan. Sebaliknya, mengutamakan segi komersilnya semata akan bertentangan dengan tujuan Pers sebagai lembaga kemasyarakatan, alat perjuangan nasional. Idealnya pengasuh dan pemilik perusahaan dapat mensinkronkan kedua tujuan antara idiil dan bisnis yang seimbang, tidak membedakan prioritas kegiatan yang dapat merugikan. Perimbangan mengenai segi idiil dan komersil perusahaan pers erat kaitannya dengan sistem pers yang berlaku di suatu negara, sedangkan yang menjadi pokok permasalahan mengenai sistem pers adalah kemerdekaannya. Sistem kemerdekaan pers atau kebebasan pers itu sendiri merupakan bagian dari suatu sistem yang lebih besar, yakni hak asasi manusia untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Untuk itu pendekatan terhadap kemerdekaan pers dapat dilakukan dari dua sisi. Pertama, dari sisi Pers sebagai lembaga kemasyarakatan, alat perjuangan nasional yang mengutamakan sifat-sifat idiil. Disini kita melihat kemerdekaan pers itu sebagai lembaga pembawa pesan-pesan perjuangan nasional demi kepentingan kesejahteraan dan keadilan sosial. Kedua, kehadiran Pers dapat didekati sebagai suatu perusahaan
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
95
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
bisnis sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers. 3.
Kasus Monopoli Media dan Delik Pers Untuk mencapai tujuan-tujuan komersial tidak jarang terjadi group-group media
terlibat persaingan dan menimbulkan persaingan usaha tidak sehat antar media massa cetak dan elektronik. Kini persaingan tidak wajar di lingkungan industri media massa itu makin transparan, baik dalam mencari produk pemberitaan atau jasa informasi maupun dalam monopoli saham kepemilikan perusahaan. Di bidang industri media elektronik terdapat indikasi adanya upaya menuju monopoli oleh “televisi suwasta nasional” menguasai televisi lokal. Televisi tersebut berusaha untuk menguasai jaringan, artinya dengan menguasai jaringan maka prakteknya akan terjadi wajib tayang yaitu program siaran yang diatur oleh televisi nasional dari Jakarta secara sepihak harus disiarkan oleh televisi lokal. Jika hal ini terjadi akibatnya akan dapat merugikan pemirsa televisi lokal di daerah-daerah dan mengancam prinsip-prinsip kemerdekaan pers. Pada umumnya kasus-kasus persaingan tidak sehat di lingkungan industri media massa nasional mencakup praktik penetapan harga, pembagian wilayah pemasaran atau alokasi pasar, kartel, dan kepemilikan saham mayoritas pada dua atau tiga lebih perusahaan. Serta melakukan kegiatan yang dilarang atas publik domain yaitu berupa penyebaran, frekuensi oleh penerbitan media surat kabar, radio, dan televisi oleh grup bisnis, dengan cara melanggar aturan. Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) dalam laporannya disebutkan, MPPI menemukan adanya kasus persaingan kepemilikan saham mayoritas di bidang televisi swasta yang dilakukan kelompok-kelompok televisi swasta nasional antara lain Media Nusantara Citra (MNC). Kelompok media ini
menguasai mayoritas
kepemilikan tiga stasiun televisi swasta nasional yaitu RCTI, Global TV, dan TPI (sekarang bernama MNCTV). Kelompok Bank Mega “Trans TV” dengan “TV-7” milik grup Kompas, kedua kelompok media ini membentuk satu stasiun televisi bernama Trans-7 yang kepemilikan saham mayoritas dimiliki oleh Bank Mega. Grup Bakri ANteve membeli perusahaan Lativi, kerjasama televisi swasta yang disebut
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Naungan H. Kajian Hukum Persaingan …
96
terakhir ini kemudian membentuk TV1 One. Grup koran Media Indonesia mendirikan “Metro TV”, serta Grup “TV Indosiar” dengan Radio “El Sinta”. Di bidang media cetak juga terjadi adanya praktik kepemilikan saham mayoritas grup koran Jawa Pos dengan tv-tv lokal al. “TV Batam”. Grup Harian “Bali Pos” dengan “Bali TV”- “Yogyakarta TV” –“Bandung TV”. Di samping terjadinya kasus persaingan usaha tidak sehat media massa di Indonesia, banyak media massa terkait delik pers dan mendapat klaim dari masyarakat. Bahkan menurut laporan Dewan Pers diantaranya beberapa media massa diperkarakan ke pengadilan melalui perdata dan pidana dengan tuntutan ganti rugi sangat besar jumlahnya.40 Contoh di dalam negeri, seperti kasus-kasus pemceraman nama baik terkait mantan Ketua DPA, Baramuli menuntut majalah Info Bisnis. Tommy Soeharto vs majalah Gatra. Harian Kompas, majalah Tempo dan Koran Tempo digugat oleh Marimutu Sinivasan dari Texmaco. Majalah Time vs Soeharto, dan kasus Prita Mulyasari lawan Rumah Sakit Internasional Ommi.41 Penghinaan atau pencemaran nama baik dan fitnah (libel atau slander), adalah ketentuan hukum yang paling sering digunakan untuk melawan media massa. Dalam KUHP sejatinya tidak didefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan, namun bentuk penghinaan dikenal adanya pencemaran tertulis, penghinaan ringan, fitnah pengaduan, dan fitnah tuduhan. Kategorisasi penghinaan tersebut tidak ada yang secara khusus ditujukan untuk pers; namun demikian , bisa dikenakan untuk pers dengan ancaman hukuman bervariasi antara empat bulan dan enam tahun penjara. Pers sering harus berhadapan dengan anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan dengan Pasal 310 KUHP.42
D.
Kesimpulan Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem demokrasi dan
kemerdeaan pers serta negara kesejahteraan ternyata dalam upaya mensejahterakan masyarakat di Indonesia sudah sejak lama terbukti memiliki korelasi dan hubungan satu sama lain. Demokrasi tidak bisa dipisahkan dengan kemerdekaan pers, demikian pula 40
. Log.cit ---Laporan Dewan Pers . Harian Kompas, Jakarta, Desember, 2009. 42 .Ibid --- hlm.15-18. 41
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
97
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
demokrasi dan kemerdekaan pers merupakan suatu sarana atau alat dalam mencapai tujuan negara kesejahteraan. Kemerdekaan pers umumnya tidak bisa diwujudkan di dalam negara yang tertinggal atau negara yang menganut sistem pemerintahan tidak demokratis. Kemerdekaan pers adalah penting dalam kehidupan pemerintahan yang demokratis, jadi dalam tataran sistem pemerintahan yang otoriter atau demokratis di suatu negara dapat dilihat sejauh mana pelaksanaan konstitusi dan kemerdekaan pers di negara tersebut. Dalam perspektif lebih luas kemerdekaan pers memiliki peran besar tidak hanya dalam mengembangkan demokrasi tapi di bidang hukum ekonomi dan mensejahterakan masyarakat, terutama dalam pembangunan hukum dan pendidikan bangsa.Kebebasan pers akan lebih bermakna jika disertai tanggung jawab hukum dan etika profesi. Peran pers
tidak
bebas
sebebas-bebasnya,
tetapi
kebebasan
itu
harus
bisa
dipertanggungjawabkan atau dengan istilah kebebasan yang bertanggung jawab,43 termasuk di dalamnya kebebasan berusaha yang adil dan seimbang.Hal tersebut diatas menunjukan peran media tidak hanya sebagai sarana pelepas ketegangan atau hiburan, tetapi isi yang disajikan mempunyai peran yang signifikan dalam proses politik, sosial, ekonomi dan pembangunan negara kesejahteraan. Pemusatan kepemilikan terhadap media massa adalah aspek penting penguasaan politik dan ekonomi. Secara juridis kalangan industri media melalui hukum persaingan usaha dan hukum-hukum komunikasi dapat menentang dan berupaya mengurangi berbagai intervensi politik dalam aktivitas yang merugikan masyarakat.Menurut teori pers liberal, hidup matinya pers tidak ditentukan oleh penguasa, tetapi oleh masyarakat atau pasar yang mendukungnya. Jika ia kredibel dan bermanfaat bagi masyarakatnya maka ia tetap hidup. Sebaliknya jika isinya tidak bisa dipercaya dan tidak bermanfaat bagi khalayaknya, ia akan ditinggalkan publik.44 Menurut pengamatan penulis apabila mengacu kepada pendapat tersebut sistem pers yang dianut oleh pers nasional sekarang ini adalah pers liberal.
44
43. Ibid . Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indoensia, Grasindo, 2005, hlm 71-72
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Naungan H. Kajian Hukum Persaingan …
98
DAFTAR PUSTAKA
Buku: A.Muis, Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers, Mario Grafika,CetPertama, Jakarta, 1996. A.Sonny
Keraf,
Etika
Bisnis
Tuntutan
Dan
Relevansinya,Penerbit
Kanisius,Cetakan ke-9 Yogyakarta, 2006. Astim Riyanto,Filsafat Hukum, Yapemdo, 2003. Bagir Manan, Menjaga Kemerdekaan Pers di Pusaran Hukum, Dewan Pers, Nov 2010. Binoto Nadapdap, Hukum Acara Persaingan Usaha, Permata Aksara, 2009, Elvinaro Ardianto dkk, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Edisi Revisi Simbiosa Rekatama Media, 2009. Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Edisi Pertama, 2008. Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, Granit, 2004. Jalaluddin Rachmat, Psikologi Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Cetakan Ketujuh, Bandung, 1992. J.E.Sahetapy, Runtuhnya Etik Hukum, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009. Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha, Bayumedia Publishing, Cetketiga, 2009. J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1-Hukum Pidana material bagian umum,Binacipta, Cetakan Kedua 1987,Bandung,Juli 1987. Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia Sejak Proklamasi hingga Reformasi, Grafitri Budi Utami, Bandung, 2004. Lili Rasjidi,Ira Thania Rasjidi,Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Cetakan Kesembilan, Bandung, 2004. Munir Fuady,Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), Citra Aditya Bakti, Cetakan Kesatu, Bandung, 2002.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
99
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Prakteknya di
Indonesia),RajaGrafindo, 2010. Moch. Faisal Salam, Pertumbuhan Hukum Bisnis Di Indonesia, Pustaka, Cetakan Pertama, Bandung, 2001. Mochtar Kusumaatmadja- Etty R. Agoes, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis),Editor Otje Salman S, Eddy Damian, Edisi Pertama, Pusat studi Wawasan Nusantara,Hukum dan Pembangunan Kerjasama Dengan Alumni, Cetakan Kesatu, Bandung, 2002. Mulya T Lubis, Richard M. Buxbaum (Penyunting), Peranan Hukum Dalam Perekonomian Di Negara Berkembang, Edisi Pertama Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1986. Oemar Seno Adji, Pers.Aspek-Aspek Hukum,Erlangga, Cet Kedua EYD, Jakarta, 1977. R.H. Siregar, Setengah Abad Pergulatan Etika Pers, Kompas-DK PWI, 2005 Komariah Sapardjaja,Lukas Luwarso,Tim Lembaga Informasi Nasional,Dewan Pers dan LIN, Dewan Pers dalam Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Jakarta, Februari 2003. Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis (Business Crime), Prenada Media, Edisi Pertama, Jakarta, Juli, 2003. Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum terjemahan Mohamad Radjab, An Introduction To The Philosophy Of Law, Bharata Karya Aksara, Cetakan Ketiga, Jakarta, 1982. Roemeen Islam ed, The Right To Tell: The Role of Mass Media in Economic Development, World Bank Institute (WBI) – Pusat Data Dan Analisa Tempo, Terjemahan M Hamid, 2006. Satrio. J, Hukum Perikatan,Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku 1, Citra Aditya Bakti, Cetakan Kedua,Bandung, 2001. Samsul Wahidin, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006. Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, Sinar Grafika, Jakarta, 2009
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Naungan H. Kajian Hukum Persaingan … 100 William L.Rivers-Jay W.Jensen – Theodore Peterson,Media Massa & Masyarakat Modern, Edisi Kedua,Prenada Media Group, Jakarta,2008 Wina AS, Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers,Dewan Pers, 2007. Wirjono Prodjodikoro. R, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang dari Sudut Hukum Perdata, Mandar Maju, Cetakan Pertama, Bandung, 2000.
Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945, hasil amandemen Undang-Undang Nomor. 40 Tahun 1999 Tentang Pers Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang RI Nomor. 17 Tahun 2007 tentang RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025)
Jurnal, Makalah, Artikel, dan lainnya Bagir Manan, Catatan Menuju Pers yang Bertanggung Jawab dan Sehat, pada pelatihan Ahli Dewan Pers, Batam, Juni 2010. Rukmana Amanwinata, Kedudukan dan Fungsi Lembaga Negara Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen Dan Usul Komisi Konstitusi, Makalah seminar Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Dengan Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi), Bandung 23 September 2004. Naungan H, Aspek-Aspek Penting Hukum Pers dan Kode Etik Jurnalistik pada Diklat Forum Humas Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan sosialisasi wartawan Jawa Barat,Tgl 27 Desember 2010.dan Februari 2011.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
101
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015 ---------Penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah Dalam Pers, Jurnal Dewan Pers
Edisi No. 2, Nopember 2010 Jurnal Dewan Pers Edisi No.2 November 2010. Jurnal Hukum Bisnis,Volume 24-No.2 Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2005.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Perlindungan Hukum…
102
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PRIVACY DARI SPAMMING BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK Oleh : Tansah Rahmatullah
Abstract Spamming, as an act of dissemination of unsolicited electronic message, has now become a real phenomenon as the result of the development in information and communication technology and caused a new legal issues. Therefore, this research was intended to find out how spamming can be categorized into a breach over privacy, and how legal protection from spamming can be implemented according to the Law Number 11 year 2008 about Information and Electronic Transaction. Based on the results of this research by using normative juridical approach and comparative juridical approach can be seen that The Law of Number 11 of 2008 on Electronic Information And Transactions (ITE) has no determined regulation that especially regulates spamming cases. In Article 26, Article 28 and 33 which is the subject of the study of principal problem studied have obscurity rules. Therefore, Government needs to formulize a legal system specifically intended to regulate spam cases and the act of spamming due to many people have become the victims of it and resulted in huge loss. In addition of policy and regulation, there is user education factor becomes and important aspect in order to avoid the risk of misuse of personal data. Keyword : Spamming, Privacy, Legal Protection ABSTRAK Spamming sebagai perbuatan penyebaran pesan elektronik yang tidak diinginkan/diminta dan tanpa persetujuan penerimanya adalah fenomena sebagai akibat dari berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi dan telah menimbulkan permasalahan hukum baru. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan, yakni bagaimana spamming dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap privasi, dan bagaimana perlindungan hukum terhadap privasi dari spamming berdasarkan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis komparatif dapat diketahui bahwa Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) belum memiliki pengaturan yang secara khusus ditujukan untuk menanggulangi masalah spamming. Pasal 26, Pasal 28 dan Pasal 33 UU ITE yang menjadi bahan kajian atas pokok permasalahan yang diteliti memiliki ketidakjelasan kaidah. Pemerintah perlu untuk segera menyusun sebuah Undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai spam dan perbuatan penyebarannya (spamming) mengingat korban spamming sudah
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
103
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
sangat banyak dengan kerugian yang cukup besar. Selain kebijakan dan regulasi, adalah faktor pendidikan pengguna yang menjadi aspek penting untuk menghindarkan resiko terjadinya penyalahgunaan data pribadi. Kata kunci : Spamming, Privasi, Perlindungan Hukum A.
Pendahuluan
1.
Latar Belakang Media teknologi informasi saat ini banyak digunakan untuk menyelesaikan
persoalan yang rumit secara efektif dan efisien dan telah memberikan banyak manfaat dalam berbagai kehidupan. Akan tetapi, pada waktu yang sama telah menimbulkan sejumlah permasalahan hukum, diantaranya adalah persoalan pelanggaran privasi yang menyangkut data pribadi. Sejalan dengan meningkatnya penggunaan internet, maka kejahatan internet juga semakin tumbuh. Penggunaan internet juga memunculkan banyak masalah seperti penipuan para pemilik kartu kredit dimana mereka dijebak untuk mengungkapkan nomor kartu, password, nama gadis Ibu kandung, nomor rekening, PIN ATM, dan nomor jaminan sosial. 1 Berkat kemajuan teknologi dan pemanfaatannya maka informasi data pribadi seseorang dapat dengan mudah diakses, disimpan, dialihkan, disebarluaskan serta digunakan kepada dan oleh pihak lain secara cepat dan tanpa izin atau sepengetahuan pemilik informasi. Dalam perkembangan ekonomi modern, informasi data pribadi merupakan aset yang sangat berharga yang mempunyai nilai ekonomi tinggi sehingga banyak dimanfaatkan oleh beragam kalangan, baik untuk kepentingan bisnis semata maupun digunakan untuk tujuan kejahatan. 2 Salah satunya adalah Email Scam, yang memiliki modus operandi mengirimkan jutaan email ke jutaan pengguna dan sering diantaranya berbentuk iklan layanan jasa atau produk dengan muatan virus atau dikenal dengan Spam Email. 3 Spam telah menjadi salah satu isu tata kelola Internet yang memengaruhi semua yang terhubung ke Internet. Menurut statistik, sejak 2009 sebanyak 81% lalu-lintas 1
Edy Santoso, Consumer Protection for Online Banking Scams Via E-Mail in Malaysia, UUM JOURNAL OF LEGAL SUDIES, VOL. 3 / 2012, 2012, Hal. 2 2 Shinta Dewi, CYBERLAW Perlindungan Privacy Atas Informasi Pribadi Dalam E-Commerce Menurut Hukum Internasional, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009, Hal. 3 3 Edy Santoso, Op. Cit., Hal. 3
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Perlindungan Hukum…
104
email adalah spam. Dalam periode 2008-2009, jumlahnya bahkan meningkat 24%. Selain fakta mengganggu pengguna, spam juga mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar dalam hal penggunaan bandwidth dan waktu yang terbuang untuk memeriksa atau menghapusnya. 4 Pada periode Oktober-Desember tahun 2010, Sophos, yang merupakan firma keamanan dan kendali bidang teknologi informasi mengatakan bahwa spam email yang semakin marak berkembang menunjukkan potensi yang semakin berbahaya. Spam email tidak lagi hanya berupa iklan promosi atas suatu produk, kini spam berisikan program malware yang berpotensi phishing terhadap data-data pribadi pengguna. 5 Berdasarkan catatan laporan penelitian pada Cisco 2011 Annual Security Report 6
, pada tahun 2011 ditemukan bahwa sampai dengan September 2011 India menjadi
pengirim spam tertinggi dengan jumlah presentase 13,9 %, sementara Amerika yang pada tahun 2010 menduduki peringkat kedua dengan presentase 10,1 % turun peringkat menjadi peringkat sembilan dengan presentase 3,2 %, sedangkan Rusia presentasenya adalah 7,8 %, Vietnam 8 %, dan Indonesia dan Korea Selatan dengan presentase 6 %. Kampanye anti-botnet tahun 2010 mengakibatkan penurunan yang cukup besar dalam persentase spam dalam trafik email. Pada tahun 2011 porsi spam rata-rata 80,26%, dimana melanjutkan tren penurunan setelah puncaknya pada 2009. Sampai dengan akhir tahun 2011 jumlah spam dalam lalu lintas email telah mengalami penurunan. Ada beberapa alasan untuk ini. Pertama, penegakan hukum dan keahlian industri untuk terus menutup pusat komando botnet. Kedua, spammer semakin berfokus pada target surat massal. Meskipun spam mengalami penurunan, namun apa yang tersisa adalah lebih berbahaya dari sebelumnya. Pada tahun 2011 persentase spam berisi lampiran yang berbahaya meningkat lebih dari satu setengah kali dibandingkan dengan tahun
4
Jovan Kurbalija, Sebuah Pengantar Tentang Tata Kelola Internet, APJII-Diplo Foundation, 2010, Hal.
78 5
Hendry Chohwanadi, Urgensi Kriminalisasi Terhadap Ketentuan Pidana Tentang "Spamming” Dalam Hukum Pidana Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2012, Hal. 5 6 Cisco, Cisco 2011 Annual Security Report Highlighting Global Security Threats And Trends, hal.30
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
105
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
sebelumnya dan mencapai 3,8% dari semua lalu lintas email. Selain email dengan lampiran berbahaya ada juga pesan yang berisi tautan ke sumber daya berbahaya. Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisis tentang bagaimanakah perlindungan hukum terhadap Privasi terutama dalam hal penggunaan data pribadi dari perbuatan penyebaran spam (spamming) berdasarkan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik No. 11 Tahun 2008. 2.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisis
tentang bagaimanakah perlindungan hukum terhadap Privacy dari spamming berdasarkan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik No. 11 Tahun 2008, dengan perumusan masalah sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah spamming dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap Privasi ?
2.
Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap Privasi dari Spamming menurut UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ?
B.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan
menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis komparatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mengkaji dan menganalisis data sekunder berupa bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan tersier. 7 Pendekatan yuridis komparatif dilakukan dengan melakukan perbandingan terhadap hukum bidang teknologi informasi di negara lain atau dunia internasional yang mengatur tentang privacy dan spamming. 1.
Spesifikasi Penelitian Spesifikasi
penelitian
ini
adalah
penelitian
deskriptif
analitis
untuk
menggambarkan dan menganalisa masalah yang ada melalui pendekatan penelitian kepustakaan (library research) yang akan disajikan secara deskriptif.
7
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Filsafat Ilmu, Metode Penelitian, dan Karya Tulis Ilmiah Hukum, (Metode Penelitian Hukum), Monograf, Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Islam Nusantara, Bandung, 2012, Hlm. 7
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Perlindungan Hukum…
106
2.
Tahap Penelitian Penelitian hukum normatif ini menggunakan jenis data sekunder karena lebih
menitikberatkan pada studi kepustakaan. Data sekunder sendiri dapat dibedakan menjadi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. 8 a.
Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari peraturan perundangan di Indonesia yaitu UUD 1945, KUHPerdata, UU HAM No. 39 Tahun 1999, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta peraturan perundangan internasional yang terkait dengan permasalahan penelitian ini.
b.
Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisis serta memahami bahan hukum primer, misalnya buku-buku yang relevan, hasil-hasil penelitian para ahli terkait, hasil pertemuan ilmiah (seminar, simposium, diskusi).
c.
Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang akan memberikan petunjuk informasi/penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, index dan lain-lain. Tahapan pertama ditujukan untuk mendapatkan hukum objektif (norma hukum),
yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum yang diangkat yaitu mengenai privasi dan spamming. Tahapan kedua ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban). 9 3.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dan
dokumen. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan tertulis baik itu bahan hukum primer maupun sekunder serta didukung oleh dokumendokumen yang dikelompokkan sesuai kepentingannya. 4.
Analisis Data Dalam penelitian tesis ini, analisis terhadap bahan hukum yang ada dilakukan
secara deskriptif analitis. Hasil kajian dan analisis menggunakan logika hukum, 8
Ibid, Hlm. 25 – lihat juga Sarjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, 1985, Hal. 39 9 Rusli, Hardijan, “Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana?”, Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V No. 3 Tahun 2006, Hlm. 50
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
107
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
penafsiran hukum, argumentasi hukum serta asas-asas hukum yang pada gilirannya menghasilkan kesimpulan sebagai jawaban atas isu hukum yang harus dijawab. 5.
Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan studi kepustakaan sehingga penulis lebih banyak
menggunakan ruang perpustakaan, baik itu perpustakaan Universitas Islam Nusantara, perpustakaan pribadi penulis maupun perpustakaan digital (digital library) dalam melaksanakan penelitiannya. C.
Hasil Penelitian dan Analisis
1.
Spamming Melanggar Privasi. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Task Force
on Spam mengatakan bahwa Spam telah mengikis kepercayaan para pengguna online, menggerogoti produktivitas, menyebarkan virus komputer, sehingga mendongkrak biaya teknologi informasi.10 Saat ini tidak ada konsensus internasional tentang apa yang dimaksud dengan spam.
11
Hal ini tentu saja memiliki pengaruh langsung terhadap kebijakan
pengaturannya. Di Australia misalnya, Spam Act 2003 merujuk spam sebagai pesan elektronik komersial yang tidak diminta/diinginkan (unsolicited commercial electronic messages) (meskipun kata “spam” tidak disebutkan secara spesifik). Pesan elektronik meliputi email, pesan instan, SMS dan pesan lainnya seperti instant messaging (IM), tetapi tidak termasuk komunikasi suara melalui telepon. Pesan tersebut hanya dianggap spam jika dikirim tanpa persetujuan terlebih dahulu dari penerima (pesan yang tidak diinginkan). Satu pesan mungkin spam, dan pesan tidak perlu dikirim dalam jumlah besar, atau diterima secara massal. Spam Act tidak menyinggung pesan massal (bulk) atau satu pesan komersial elektronik yang tidak diminta. Di Asia, Singapura misalnya, dalam Spam control Act 2007 kata spam disebutkan dengan jelas dan didefinisikan sebagai pesan komunikasi komersial yang tidak diminta, yang dikirimkan dalam jumlah banyak melalui surat elektronik atau 10
http://portal.cbn.net.id/cbprtl/cybertech/detail.aspx?x=TechInfo&y=cybertech%7C0%7C0%7C2%7C4138 (diakses pada tanggal 15/4/2015) 11 International Telecommunication Union, ITU Survey on Anti-Spam Legislation Worldwide, 2005.,Hal. 7
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Perlindungan Hukum…
108
pesan teks atau pesan multimedia, yang ditujukan ke nomor telepon seluler dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sebuah pesan dikatakan unsolicited jika penerima (a) tidak meminta untuk menerima pesan, (b) tidak menyetujui untuk menerima pesan. Sementara di Uni Eropa istilah spam tidak didefinisikan atau digunakan, istilah yang digunakan adalah surat elektronik untuk tujuan pemasaran langsung (electronic mail for the purposes of direct marketing), mencakup Email, mesin panggil, faks dan pesan SMS.12 Spam dalam Controlling the Assault of Non-Solicited Pornography and Marketing Act of 2003 (CAN-SPAM Act 2003) Amerika, tidak didefinisikan secara langsung. Istilah atau term yang digunakan adalah Commercial Electronic Mail Message atau pesan surat elektronik komersial yaitu pesan surat elektronik dengan tujuan utamanya adalah iklan komersial atau promosi produk atau layanan komersial (termasuk konten di sebuah situs internet yang dioperasikan untuk tujuan komersial). Spamming dalam penelitian ini didefinisikan sebagai pengiriman informasi dan komunikasi elektronik untuk menampilkan berita iklan dan keperluan lainnya yang mengakibatkan ketidaknyamanan bagi para pengguna. Spam ini biasanya datang tanpa diminta dan sering kali tidak dikehendaki oleh penerimanya. Spamming dapat menimbulkan dampak atau kerugian bagi penerimanya baik itu immateriil maupun materiil. Sementara privasi adalah konsep yang sangat luas, meliputi antara lain kebebasan berpikir, kontrol atas tubuh seseorang, kesendirian dalam satu rumah, kontrol atas informasi tentang diri sendiri, kebebasan dari pengawasan, perlindungan reputasi seseorang, dan perlindungan dari pencarian dan interogasi. 13 Privasi lahir ketika dunia memasuki era modern, dimana segala informasi dapat tersebar dengan mudahnya, saat itu pula mulai terbentuk suatu pemikiran hukum akan kebutuhan perlindungan seseorang untuk tetap dapat dibiarkan dalam kesendirian (seclusion) dan terhindar dari penggunaan data-data pribadi mereka secara semenamena. 14 12
International Telecommunication Union, Op. Cit.,Hal. 7 Daniel J. Solove, Conceptualizing Privacy, California Law Review, Volume 90 | Issue 4 Article 2, 2002, Hal. 1088 14 Frank Thayer, Legal Control of The Press (Concerning Libel, Privacy, Contempt,Copyright, Regulation of Advertising and Postal Laws) sebagaimana dikutip oleh Diptanala Dimitri dalam skripsinya Pelanggaran Hak 13
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
109
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
Samuel Warrens dan Louis D. Brandeis memperkenalkan pertama kali istilah Privacy pada tahun 1890 dalam tulisan yang berjudul The Right to Privacy. 15 Warren dan Brandeis mulai dengan mencatat perkembangan teknologi baru yang merupakan ancaman potensial terhadap privasi dan terfokus pada bagaimana sistem common law bisa berkembang untuk melindungi kepentingan yang kemudian disebut dengan "privacy." 16 Warren dan Brandeis mendefinisikan privasi sebagai "right to be let alone” yang diadopsi dari risalah terkenal Hakim Thomas Cooley berkaitan dengan Hak Kekebalan (personal immunity) yang secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai hak untuk tidak di usik dalam kehidupan pribadinya. Pendapat Cooley ini didasari oleh pemikiran bahwa kerugian tidak hanya muncul dari adanya suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban (breach of duty) tetapi juga bisa disebabkan oleh penghinaan, ketakutan, atau terganggunya kedamaian hidup dan hak ini harus dilindungi oleh hukum. 17 Privasi dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan masalah privasi dalam informasi digital. Informasi digital dapat dikatakan sebagai segala bentuk informasi yang diproduksi, disimpan, dikelola, didistribusikan, dan dikonsumsi dalam format digital yang terdiri dari berbagai teks, angka, audio dan visual. Privasi informasi (information privacy) menurut Jerry Kang didefinisikan sebagai klaim individu untuk mengontrol syarat-syarat mana informasi pribadi (informasi yang dapat diidentifikasi dari individual) dapat diperoleh, diungkapkan, dan digunakan. 18 Spamming dapat mengganggu privasi (nuisance), dimana alamat email dan nomor HP sama saja seperti alamat rumah tempat tinggal kita. Ketika ada informasi dari seseorang yang tidak dikenal mengunjungi rumah tempat tinggal kita tanpa diminta (tidak diinginkan) dan tidak pernah memberikan persetujuan, tentunya akan Privasi (Right to Privacy) oleh Pers Sebagai Dasar Gugatan Perbuatan Melawan Hukum, Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Hubungan Antara Sesama Anggota Masyarakat, Depok, 2011, Hal. 98 15 Samuel D. Warren, Louis D. Brandeis, The Right to Privacy, Harvard Law Review, Vol. IV, No. 5, 1890, Hal. 195 (sumber: www.english.illinois.edu/-people-/faculty/.../right%20to%20privacy.pdf) 16 Daniel J. Solove, Conceptualizing Privacy, Op., Cit, Hal. 1100 (sumber: http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=313103) 17 Shinta Dewi, Op. Cit., Hal. 10 18 Jerry Kang, Information Privacy in Cyberspace Transactions, Stanford Law Review, Vol. 50:1193, 1998, Hal. 1205 (sumber: http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=631723)
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Perlindungan Hukum…
110
membuat kita menjadi tidak nyaman. Spamming melanggar privasi karena mengirimkan informasi (komunikasi) yang mengganggu privasi, berupa informasi yang tidak dikehendaki dan juga melanggar property. Pelanggaran terhadap privasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan dimensi dan aspek dari privasi itu sendiri. Menurut pendapat saya, pelanggaran yang dilakukan oleh aktivitas spamming berkaitan dengan pelanggaran terhadap dimensi privasi yaitu Informational (psychological) privacy, yaitu dimensi yang terkait dengan penentuan bagaimana, kapan, dan sejauh mana informasi mengenai diri suatu individu akan dirilis secara benar kepada orang lain atau organisasi, yang mencakup informasi pribadi seperti data keuangan, detail rekam medis, dan seterusnya, sehingga pada akhirnya seseorang dapat memutuskan siapa yang memiliki akses kepada siapa dan tujuannya untuk apa.19 Dalam dimensi yang lain, pelanggaran spamming terhadap privasi juga berkaitan dengan (1) Privacy of a Person’s Persona (Privasi mengenai pribadi seseorang), bahwa setiap orang mempunyai hak untuk dibiarkan sendiri (the rights to be let alone), dan (2) Privacy of Data About a Person (Privasi dari data tentang seseorang), bahwa hak privasi dapat juga mengikat pada informasi mengenai seseorang yang dikumpulkan dan digunakan oleh orang lain. Penyalahgunaan informasi-informasi yang dikumpulkan atas anggota-anggota suatu organisasi/lembaga atau atas pelanggaran-pelanggaran dari suatu perusahaan termasuk dalam hak privasi seseorang.20 Sedangkan jika menggunakan pendapat Roger Clarke, spamming melanggar dimensi privasi yaitu Privacy of Personal Data (Privasi dari data personal), klaim individual yang menyatakan bahwa data tentang diri mereka sendiri tidak seharusnya secara otomatis tersedia untuk individu dan organisasi lainnya, dan dimana data tentang diri mereka dimiliki oleh orang lain, maka individu tersebut harus memiliki kontrol yang besar terhadap data tersebut berikut penggunaannya. 21 19
Carina B. Paine Schofield and Adam N. Joinson, Privacy, Trust, and Disclosure Online, 2008, Hal. 1415 (sumber: http://gsb.haifa.ac.il/~sheizaf/cyberpsych/02-PaineSchofield%26Joinson.pdf) (diakses pada tanggal 1/4/2015) 20 Thomas J. Imedinghaff dalam Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika (Suatu Kompilasi Kajian), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, Hal. 160-161 21 Roger Clarke, Data Surveillance: Theory, Practice & Policy, (sumber: https://digitalcollections.anu.edu.au/bitstream/1885/46248/25/01front.pdf)
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
111
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
Hak atas privasi terjadi ketika informasi pribadi (property) seseorang diungkapkan, terdapat suatu keuntungan ekonomi yang diharapkan oleh pihak yang melakukan publikasi. Hak atas privasi adalah merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia dan dilindungi oleh hukum, yang dalam Konstitusi Indonesia diatur dalam Pasal 28G UUD 1945, yaitu “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Sejalan dengan pengaturan dalam UUD 1945, Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948 juga mengaturnya dalam Pasal 12 bahwa “No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks”, yang berarti bahwa tidak seorang pun dapat diganggu dengan sewenang-wenang urusan pribadinya, keluarganya,
rumah-tangganya
atau
hubungan
surat-menyuratnya,
juga
tak
diperkenankan pelanggaran atas kehormatannya dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran seperti itu. Menurut Shinta Dewi, pengaturan privasi dalam pasal 12 Universal Declaration of Human Rights 1948 juga berkaitan Informational privacy, yaitu hak untuk menentukan cara seseorang melakukan dan menyimpan informasi pribadinya. 22 Aktivitas spamming berkaitan dengan akses atau penggunaan data dan informasi pribadi secara tidak sah, dengan memanfaatkan kelemahan sistem dan kurangnya kesadaran dari pemilik data dan informasi pribadi (pengguna sistem elektronik). Data pribadi merupakan komponen dari privasi, dimana dalam privasi ada hak seseorang untuk menutup atau merahasiakan hal-hal yang sifatnya pribadi dari penyalahgunaan dan pengambilalihan (konversi) hak atas kepemilikan dan penggunaannya secara sewenang-wenang. Spamming adalah tindakan nyata para spammer dalam mengirimkan pesan, baik itu pesan komersial maupun pesan non-komersial, dimana pesan yang dikirimkan tersebut tidak diinginkan/tidak diminta (unsolicited) dan penerima tidak pernah 22
Shinta Dewi, Op., Cit.,, Hal. 24
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Perlindungan Hukum…
112
memberikan persetujuannya (consent). Spammer telah melanggar kewajiban hukumnya dan telah melanggar hak subjektif orang lain dengan memasuki wilayah pribadi individu, melanggar hak privasi orang, dan menggunakan properti individu dengan tanpa persetujuan (izin). Spamming dapat dikatakan merupakan perbuatan yang tidak menunjukkan kebaikan akhlak pribadi, karena dengan sengaja mengganggu hak orang lain dan dengan saja pula memiliki niat untuk merugikan orang lain. 2.
Perlindungan Hukum Terhadap Privasi dari Spamming Berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 2008. Spamming berkaitan dengan penggunaan data pribadi tanpa izin, dan konstitusi
Indonesia tidak secara eksplisit mengatur mengenai perlindungan data di dalam UUD 1945 (sama halnya dengan privasi). Dengan kata lain, Indonesia belum memiliki kebijakan atau regulasi mengenai perlindungan data pribadi dalam satu peraturan khusus. Pengaturan mengenai hal tersebut masih termuat terpisah di beberapa peraturan perundang-undangan dan hanya mencerminkan aspek perlindungan data pribadi secara umum. UUD 1945 secara implisit mengatur mengenai perlindungan data, terdapat dalam Pasal 28G ayat (1), bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pengaturan spamming berkaitan dengan pengaturan informasi dan data pribadi sebagai landasannya. UU ITE belum secara spesifik mengatur mengenai pengertian informasi dan data pribadi. Pengertian yang terkait dengan hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 angka (1) UU ITE, yaitu”Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya, serta pada Pasal 1 angka (4) UU ITE dinyatakan bahwa “Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik,
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
113
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. (a)
Pasal 26 UU ITE Penelitian ini menemukan bahwa Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) belum memiliki pengaturan yang lengkap terkait penggunaan data pribadi, hal ini dapat terlihat misalnya pada Pasal 26 UU ITE, bahwa: (1) Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan. (2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini. Jika dianalisis, maka pasal tersebut diatas hanya merupakan ketentuan umum dan tidak menjelaskan berbagai isu yang banyak diperbincangkan di dunia Internasional, termasuk aktivitas spamming. Meskipun pada bagian penjelasan Pasal 26 UU ITE tersebut dijelaskan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan perlindungan data pribadi dalam kaitannya dengan pemanfaatan teknologi informasi, bahwa “Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai: (a) Hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan, (b) hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai, dan (c) hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang. Pasal 26 UU ITE berikut penjelasannya tidak memberikan definisi yang jelas dan spesifik mengenai apa itu data pribadi. Definisi data pribadi itu sendiri baru terlihat pada Pasal 1 ayat (27) Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, disebutkan bahwa“Data Pribadi
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Perlindungan Hukum…
114
adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya”. Sama halnya dengan Pasal 26 UU ITE, menurut pendapat saya PP No. 82 Tentang PSTE juga tidak menyebutkan secara jelas apa saja yang menjadi bagian dari data pribadi. Spamming sebagaimana diketahui adalah penggunaan data pribadi secara tidak sah dengan tanpa persetujuan terhadap dua jenis data elektronik, yaitu nomor Handphone (HP) dan elamat elektronik (email). Sebagai pembanding, data pribadi dalam Directive 95/46/EC didefinisikan sebagai “any information relating to an identified or identifiable natural person (data subject); an identifiable person is one who can be identified , directly or indirectly, in particular by reference to an identification number or to one or more factors specific to his physical, physiological, mental , economic, cultural or social identity”, yang berarti data pribadi adalah semua data tentang seseorang (subjek data) yang dapat mengidentifikasi seseorang baik secara langsung maupun tidak langsung terutama mengacu pada nomor identifikasi atau satu atau lebih faktor yang spesifik untuk keadaan fisiknya, fisiologis, mental, identitas ekonomi, budaya dan identitas sosial. Personal Data Protection Act 2012 mendefinisikan data pribadi (personal data) sebagai “data, whether true or not, about an individual who can be identified (a) from that data; or (b) from that data and other information to which the organisation is likely to have access” yang berarti data adalah data, apakah benar atau tidak, tentang seorang individu yang dapat diidentifikasi (a) dari data tersebut; atau (b) dari data dan informasi lainnya yang aksesnya dimiliki oleh organisasi. Sementara itu, menurut World Economic Forum, data pribadi didefinisikan sebagai data (dan metadata) yang dibuat oleh dan tentang orang, yang meliputi : (1) Volunteered data, yaitu data yang dibuat dan secara eksplisit dibagikan oleh individu, misalnya, profil jejaring sosial, (2) Observed data, yaitu data yang diambil dengan merekam tindakan individu, misalnya, data lokasi saat menggunakan ponsel, dan (3) Inferred data, yaitu data tentang individu berdasarkan analisis sukarela atau informasi yang diamati, misalnya, nilai kredit. 23 23 World Economic Forum, Personal Data: The Emergence of a New Asset Class, An Initiative of the World Economic Forum January 2011 (In Collaboration with Bain & Company, Inc), 2011, Hal. 7
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
115
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
Pasal 26 UU ITE juga tidak secara tegas menjelaskan maksud dari “penggunaan” setiap
informasi,
apakah
termasuk
kegiatan
“pengumpulan”,
“pemrosesan”,
“penyimpanan”, “diseminasi” dan sejenisnya. Berkaitan dengan kata “penggunaan”, menarik untuk dibahas teori privasi menurut Daniel Solove, dimana perlindungan terhadap data dan privasi memiliki taksonomi yang terdiri dari 4 kelompok dasar, yaitu: 24 (1)
Information collection (pengumpulan informasi), mencakup pengawasan (surveillance) dan pemeriksaan (interrogation).
(2)
Information processing (pengolahan informasi), melibatkan cara dimana informasi disimpan, dimanipulasi dan digunakan. Mencakup pengumpulan (aggregation),
identifikasi
(identification),
ketidakamanan
(in-security),
penggunaan tambahan (secondary use), dan pengecualian (exclusion). (3)
Information dissemination (penyebaran informasi), mencakup pelanggaran atas kerasahasiaan
(breach
of
confidentiality),
pengungkapan
(disclosure),
penyingkapan (exposure), peningkatan aksesibilitas (increased accessibility), pemerasan (blackmail), penyerobotan (appropriation), dan penyimpangan (distortion). (4)
Invasion (pelanggaran), tidak harus melibatkan informasi pribadi. Mencakup gangguan (intrusion), campur tangan politik (decisional interference), Pasal 26 UU ITE juga tidak secara jelas mendefinisikan “persetujuan” orang
yang bersangkutan. Apakah dalam pasal ini persetujuan dimaksud tergolong pada persetujuan implisit (implied consent atau inferred consent) atau memang harus ada persetujuan secara eksplisit (express consent). Dengan demikian Pasal 26 UU ITE mengandung ketidakjelasan kaidah, baik itu yang berkaitan dengan “kaidah data pribadi”, “kaidah penggunaan”, serta “kaidah persetujuan”. Spamming jelas memberikan dampak yang begitu luas, karena itulah diperlukan pengaturan yang komprehensif dan spesifik untuk memberikan perlindungan terhadap privasi (data pribadi).
24 Daniel J. Solove, A Taxonomy of Privacy, University of Pennsylvania Law Review, Vol. 154, NO. 3, 2006, Hal. 488 (sumber: http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=667622)
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Perlindungan Hukum…
116
(b) Pasal 28 UU ITE Pasal 27 sampai dengan Pasal 35 UU ITE mengatur mengenai perbuatan yang dilarang, dalam pengamatan saya tidak terdapat Pasal yang khusus mengatur mengenai spam dan spamming. Namun, jika dianalisis dan dibandingkan dengan konteks perbuatannya, maka spamming memiliki keterkaitan dengan Pasal 28 UU ITE, disebutkan bahwa : (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Jika dikaitkan dengan unsur-unsur perbuatan melawan hukum, maka dalam spamming unsur kesalahannya adalah dengan sengaja, unsur melawan hukumnya adalah tanpa hak artinya bahwa pelaku secara sadar memang tidak memiliki hak untuk mengirimkan spam atau pelaku memang secara nyata bukanlah orang yang berhak mengirimkan atau menyebarkan berita/informasi, unsur perbuatannya adalah menyebarkan (baik secara massal maupun tidak), objeknya adalah informasi berupa berita atau promosi, yang mengakibatkan kerugian, maka baik ayat (1) maupun ayat (2) keduanya sangat kontradiktif. Bahwa pada ayat (1) ruang lingkup objeknya adalah terbatas pada berita bohong dan menyesatkan, sedangkan pada ayat (2) ruang lingkup objeknya adalah informasi. Pada Ayat (1) memiliki akibat yaitu adanya kerugian, baik secara materiil maupun immateriil, sedangkan pada ayat (2) tidak ada akibat melainkan memiliki tujuan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat berdasarkan atas suku, agama, ras, dan (SARA). Kondisi yang kontradiktif ini membuat kaidah tentang perbuatan spamming menjadi kabur dan tidak jelas. (c)
Pasal 33 UU ITE Perbuatan spamming dalam penelitian ini dapat dijuga dianalisis dan
dibandingkan dengan Pasal 33 UU ITE, bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
117
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya” Jika dihubungkan dengan perbuatan spamming, maka dapat dianalisis sebagai berikut : 1.
Subjek (orang), orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 21 UU ITE adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum.
2.
Kesalahan, dengan sengaja dan tanpa hak. Spamming adalah perbuatan yang secara sadar dilakukan untuk tujuan bisnis dan kriminal.
3.
Melawan hukum, melawan hukum, bahwa spammer telah melanggar kewajiban hukumnya dengan memasuki wilayah pribadi individu, melanggar hak privasi orang, dan menggunakan properti individu dengan tanpa persetujuan (izin). Unsur melawan hukum dalam pasal ini juga berkaitan dengan unsur bertentangan dengan hak subjektif orang lain, yaitu hak sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Rumusan pasal 28G ayat (1) UUD 1945 memiliki nuansa perlindungan yang sama dengan Article 12 Universal Declaration of Human Rights 1948 yang menyatakan bahwa “tidak seorangpun dapat diganggu dengan sewenangwenang urusan pribadinya, keluarganya, rumah-tangganya atau hubungan surat-menyuratnya, juga tak diperkenankan pelanggaran atas kehormatannya dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran seperti itu”. Sementara dalam Article 12 Universal Declaration of Human Rights 1948 yang kemudian diadopsi ke dalam Article 17 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966, disebutkan bahwa, “tidak ada seorang pun yang boleh dicampuri secara sewenang-wenang atau secara tidak sah masalah pribadinya, keluarganya, atau hubungan surat menyuratnya, demikian pula secara tidak sah diserang kehormatan atau nama baiknya. Dan Setiap orang
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Perlindungan Hukum…
118
berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau serangan demikian”. 4.
Perbuatan, melakukan tindakan apapun. Pasal 33 UU ITE tidak memberikan batasan mengenai apa yang dimaksud dengan “tindakan”. Sementara spamming adalah tindakan/perbuatan aktif dimana para spammer melakukan tindakan secara nyata dalam bentuk mengirimkan pesan, baik itu pesan komersial maupun pesan
non-komersial,
dimana
pesan
yang
dikirimkan
tersebut
tidak
diinginkan/tidak diminta (unsolicited) dan penerima tidak pernah memberikan persetujuannya (consent). 5.
Akibat, terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya. Pengiriman pesan spam baik itu dalam bentuk bom email, spam virus, dan sms broadcash secara terus menerus dapat mengakibatkan terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya, bahkan dapat mengakibatkan sebuah sistem elektronik menjadi mati total. Berdasarkan penelitian, UU ITE tidak menyebutkan secara jelas apa yang dimaksud dengan “gangguan sistem elektronik”, yang diatur hanyalah sistem elektronik itu sendiri 25 serta mengandung pengertian yang luas. Dampak spamming terhadap sistem elektronik diantaranya adalah memperlambat layanan mailserver karena pesan dalam jumlah besar (bulk) akan memenuhi kotak surat (mailbox) sehingga mailserver menjadi sibuk. Spamming juga dapat menghabiskan resource jaringan internet sehingga akses internet menjadi lamban. Ketidakjelasan kaidah mengenai terganggunya sistem elektronik berakibat pada adanya kekosongan hukum dimana salah satu unsur perbuatan melawan hukum tidak terpenuhi yaitu akibat dalam hal ini adalah “terganggunya sistem elektronik”. Pasal 33 UU ITE juga tidak mengatur mengenai delik formil yang mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.
25
Pasal 1 angka 5 UU ITE, bahwa Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
119
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
Sebagai perbandingan, Spam Control Act Singapura mendefinisikan spam secara jelas dengan menambahkan delik formilnya, “Bahwa demi tujuan undangundang ini, pesan elektronik akan dianggap/digolongkan dikirim dalam jumlah/banyak besar jika seseorang atau pihak yang berwenang mengirim – (a)
Lebih dari 100 pesan elektronik berisikan pesan yang sama atau mirip selama periode 24 jam;
(b)
Lebih dari 1000 pesan elektronik berisikan pesan yang sama atau mirip selama periode 30 hari;
(c)
Lebih dari 10000 pesan elektronik berisikan pesan yang sama atau mirip selama periode satu tahun.” 26
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa menurut undang-undang ini pesan yang dianggap sebagai pesan spam merupakan pesan yang disebarkan dengan jumlah tertentu dalam rentang periode waktu yang telah ditentukan. Dan pada bagian lain, Spam Control Act memberikan pengecualian terhadap pesan elektronik, bahwa undang-undang ini tidak berlaku jika pesan elektronik dikirim oleh pemerintah atau lembaga negara berkaitan dengan keadaan berbahaya bagi publik, kepentingan keamanan publik dan pertahanan negara. D.
Penutup
1.
Kesimpulan
(a)
Spamming sebagai perbuatan penyebaran pesan elektronik yang tidak diinginkan/diminta dan tanpa persetujuan penerimanya adalah melanggar privasi dan melawan hukum dalam bentuk penggunaan data pribadi tanpa persetujuan yang mengakibatkan kerugian. Spamming melanggar privasi pribadi seseorang (person’s persona) karena setiap orang mempunyai hak untuk dibiarkan sendiri (the rights to be let alone). Spamming juga melanggar privasi dari data personal (Privacy of Personal Data), bahwa data tentang diri mereka sendiri tidak seharusnya secara otomatis tersedia untuk individu dan organisasi lainnya, dan dimana data tentang diri mereka dimiliki oleh orang lain, maka individu tersebut harus memiliki kontrol yang besar terhadap data tersebut berikut penggunaannya.
26
Pasal 6 Spam Control Act
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Perlindungan Hukum…
120
(b)
Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai perbuatan spamming dan spam itu sendiri. Sebagaimana tergambar dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai undang-undang khusus untuk menanggulangi kejahatan bidang teknologi informasi. Dengan kata lain, UU ITE memiliki kekosongan atau ketidakjelasan kaidah dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan perbuatan spamming, baik itu dalam Pasal 26, 28, maupun Pasal 33.
2.
Saran
(a)
Spamming telah menimbulkan kerugian yang semakin mengkhawatirkan, terutama berkaitan dengan pelanggaran terhadap privasi (data pribadi) dan properti. Maka negara, jika tidak ingin dianggap lalai dalam memberikan perlindungan terhadap privasi, baik itu informasi maupun data pribadi, harus segera merumuskan suatu peraturan yang secara khusus mengatur tentang spam dan perbuatan penyebarannya (spamming), dengan secara lengkap memasukan delik formil dan materiilnya, mengingat kebutuhan yang sudah semakin mendesak, karena korban spamming sudah sangat banyak dengan kerugian yang cukup besar.
(b)
Hal lain yang lebih penting selain kebijakan dan regulasi, adalah faktor pendidikan pengguna. Penting bagi pemerintah untuk secara komprehensif memberikan pendidikan dan sosialisasi kepada pengguna (masyarakat) untuk mulai peduli terhadap data pribadinya. Sehingga akan menghindarkan resiko terjadinya penyalahgunaan data pribadi, ketika instrument hukum yang memberikan perlindungan secara maksimal belum terbentuk.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
121
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
DAFTAR PUSTAKA
BUKU : Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika (Suatu Kompilasi Kajian), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Filsafat Ilmu, Metode Penelitian, dan Karya Tulis Ilmiah Hukum, (Metode Penelitian Hukum), Monograf, Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Islam Nusantara, Bandung, 2012 Shinta Dewi, CYBERLAW Perlindungan Privacy Atas Informasi Pribadi Dalam E-Commerce Menurut Hukum Internasional, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009 Sarjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, 1985 JURNAL : Carina B. Paine Schofield and Adam N. Joinson, Privacy, Trust, and Disclosure Online, 2008 Daniel J. Solove, Conceptualizing Privacy, California Law Review, Volume 90 | Issue 4 Article 2, 2002 Daniel J. Solove, A Taxonomy of Privacy, University of Pennsylvania Law Review, Vol. 154, NO. 3, 2006 Edy Santoso, Consumer Protection for Online Banking Scams Via E-Mail in Malaysia, UUM JOURNAL OF LEGAL SUDIES, VOL. 3 / 2012, 2012 Jerry Kang, Information Privacy in Cyberspace Transactions, Stanford Law Review, Vol. 50:1193, 1998 Rusli, Hardijan, “Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana?”, Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V No. 3 Tahun 2006 Samuel D. Warren, Louis D. Brandeis, The Right to Privacy, Harvard Law Review, Vol. IV, No. 5, 1890 RISET & REPORT Cisco, Cisco 2011 Annual Security Report Highlighting Global Security Threats And Trends
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Tansah R. Analisis Perlindungan Hukum…
122
International Telecommunication Union, ITU Survey on Anti-Spam Legislation Worldwide, 2005 Jovan Kurbalija, Sebuah Pengantar Tentang Tata Kelola Internet, APJII-Diplo Foundation, 2010 World Economic Forum, Personal Data: The Emergence of a New Asset Class, An Initiative of the World Economic Forum January 2011 (In Collaboration with Bain & Company, Inc), 2011 KARYA ILMIAH : Diptanala Dimitri, Pelanggaran Hak Privasi (Right to Privacy) oleh Pers Sebagai Dasar Gugatan Perbuatan Melawan Hukum, Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Hubungan Antara Sesama Anggota Masyarakat, Depok, 2011 Hendry Chohwanadi, Urgensi Kriminalisasi Terhadap Ketentuan Pidana Tentang "Spamming” Dalam Hukum Pidana Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2012 INTERNET : http://portal.cbn.net.id/cbprtl/cybertech/detail.aspx?x=TechInfo&y=cybertech%7 C0%7C0%7C2%7C4138 (diakses pada tanggal 15/4/2015) Roger Clarke, Data Surveillance: Theory, Practice & Policy (sumber: https://digitalcollections.anu.edu.au/bitstream/1885/46248/25/01front.pdf) UNDANG-UNDANG & PERATURAN Controlling the Assault of Non-Solicited Pornography and Marketing Act of 2003 (CAN-SPAM Act 2003) Amerika Directive 95/46/EC on the protection of individuals with regard to the processing of personal data and on the free movement of such data International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik Personal Data Protection Act 2012
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
123
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
Spam Act 2003 Australia Spam control Act 2007 Singapura Undang-undang Dasar 1945 Universal Declaration of Human Rights 1948 UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Juli A, Imas RW. Akuisisi Saham …
124
AKUISISI SAHAM HUBUNGANNYA DENGAN INVESTASI ASING DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Juli Asril 1 Imas Rosidawati Wiradirja2 University of Islam Nusantara, Jl. Soekarno Hatta No.530 Bandung, Indonesia. 1 E-mail:
[email protected] 2 E-mail :
[email protected]
Abstract Share acquistion is a very popular form of acquistion carried out in every company takeover. Share acquistion will, however, become an extraordinary matter when it creates monopoly and business competition. Acquistion is therefore still deemed as a controversial decision as it possesses dramatic and complex implications, detrimental as wel as beneficial to many parties. With respect to the above, this research needed to study : First, what are the legal implications when share acquistion of a national company by a foreign company creates business competitions, and second, what legal protection is there for minority sharehoders who suffered through the acquistion of a national company by a foreign company. Keywords
: Share acquistion, Competition, Foreign investation Abstrak
Akuisisi saham merupakan bentuk akuisisi yang sangat popular dan biasa dilakukan dalam setiap pengambilalihan perusahaan, namun akuisisi akan menjadi hal yang luar biasa bilamana akuisisi tersibut menimbulkan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Oleh karena itu akuisisi masih sering dipandang sebagai keputusan yang controversial karena memiliki dampak yang komplek, terutama bila dikaitka dengan implikasinya terhadap perekonomian nasional dan menimbulkan persaingan usaha di Indonesia. Permasalahan yang akan diteliti adalah pertama bagaimana akibat hukum dari akuisisi saham suatu perusahaan nasional oleh perusahaan asing menimbulkan persaingan usaha, kedua bagaimana perlindungan hukum kepada pemegang saham minoritas yang dirugikan dalam akuisisi suatu perusahaan nasional oleh perusahaan asing. Kata Kunci : Akuisisi Saham, Persaingan, Investasi Asing
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
125
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
A.
Pendahuluan Dalam melaksankan pembangunan ekonomi, Indonesia berusaha menarik arus
investasi asing untuk memperkuat struktur permodalan dalam negeri. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pembangunan disektor industri meningkat pula karena umumnya modal asing masuk melalui pembangunan industri. 1 Untuk mempercepat pembangunan ekonomi kearah stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, diperlukan permodalan dalam bentuk investasi dengan memanfaatkan penanaman modal dalam negeri dan modal luar negeri/asing secara maksimal yang terutama diarahkan kepada usaha-usaha rehabilitasi, pembaharuan, perluasan dan pembangunan baru di bidang produksi barang-barang dan jasa termasuk jasa perbankan. Kegiatan penanaman modal/investasi langsung, mempunyai kontribusi secara langsung bagi pembangunan. Penanaman modal akan semakin mendorong pertumbuhan ekonomi, alih teknologi dan menciptakan lapangan kerja baru untuk mengurangi angka pengangguran dan mampu meningkatkan daya beli masyarakat.2 Penanaman modal akan meningkat apabila tercipta iklim investasi yang kondusif dan sehat serta meningkatnya daya saing Indonesia sebagai tujuan investasi tersebut. Untuk itu, semua pihak, baik pemerintah, kalangan usaha, dan masyarakat umum, harus dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan kondusif.Tantangan di dalam negeri semakin kompleks, peran penanaman modal akan semakin dibutuhkan, tetapi peningkatan penanaman modal tersebut harus tetap dalam koridor yang telah digariskan dalam kebijakan pembangunan nasional yang telah direncanakan dengan tetap memerhatikan kestabilan makro ekonomi dan keseimbangan ekonomi antarwilayah, sektor, pelaku usaha, dan kelompok masyarakat
serta
mendukung
peran usaha nasional dan memenuhi kaidah tata kelola perusahaan yang baik.3 Dalam
pelaksanaan
pembangunan
perlu
adanya
perencanaan
pembangunan sebagai arah dan prioritas pembangunan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya 1 Saudargo Gautama dalam : Ahmad Ramli, HAKI- Atas Kepemilikan Intelektual, Teori Dasar Perlindungan Rahasia Dagang, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 13. 2 Dhaniswara K. Harjono, Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, Tinjauan Terhadap Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 58. 3 Dhaniswara K. Harjono, Ibid.58
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Juli A, Imas RW. Akuisisi Saham …
126
disebut UUD 1945. Salah satu sektor yang diberi perhatian khusus oleh pemerintah adalah sektor hukum dan ekonomi, dalam hal ini adalah mengenai perusahaan yang berbadan hukum, yaitu Perseroan Terbatas.Perseroan Terbatas dinilai sebagai salah satu bentuk usaha yang paling banyak dipergunakan dalam dunia usaha di Indonesia, karena merupakan badan hukum (legal entity), yaitu badan hukum "mandiri" (person standi in juducio).4 Keberadaan Perseroan Terbatas (PT) sangat penting dan strategis untuk menggerakkan dan mengarahkan kegiatan pembangunan di bidang ekonomi, terutama dalam rangka menghadapi arus globalisasi dan liberalisasi perekonomiandunia yang semakin kompleks.Oleh sebab itu, diperlukan suatu penciptaan iklim usaha yang sehat dan efisien, sehingga terbuka kesempatan yang cukup luas bagi Perseroan Terbatas untuk tumbuh dan berkembang secara lebih dinamis sesuai dengan perkembangan dunia usaha.Upaya penciptaan iklim usaha yang sehat dan efisien dalam rangka peningkatan pembangunan ekonomi tersebut, operasionalnya harus tetap mengacu pada asas kekeluargaan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945. Salah satu ketentuan baru tersebut menegaskan kembali kedudukan dan tugastugas organ-organ Perseroan Terbatas (PT) tanpa menghilangkan mata rantai sampai dengan hak-hak terhadap pemegang saham berikut masalah perlindungan hukum bagi pemegang saham, di antaranya perlindungan hukum bagi Pemegang saham Minoritas, sebagai masalah yang menarik dan up to date, karena masalah tersebut sering menjadi polemik yang berkepanjangan dan memerlukan solusi serta perumusan perspektif ke depan, sehingga dibutuhkan penanganan yang efektif dan efisien.Perlindungan hukum bagi Pemegang Saham Minoritas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) menjadi sangat penting karena dalam Perseroan Terbatas (PT) tidak terhindarkan adanya Pemegang Saham Mayoritas, Direksi dan Dewan Komisaris yang kurang bermoral (moral hazard) dalam mengurus Perseroan Terbatas (PT) serta tidak bertindak baik dalam mengelola perusahaan. 4
Rudhy Prasetya, Kedudukan Mandiri dan Pertanggungjawaban dari Perseroan Terbatas. PT. Citra Aditya, Bandung, 2001, hlm.12
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
127
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
Sebagai sebuah badan usaha, perusahaan didirikan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Tujuan untuk mendapatkan keuntungan atau profit motive merupakan kepentingan pokok dari para pemegang saham (shareholder). Guna mewujudkan hal tersebut, perusahaan melaksanakan aktivitasnya dan saling berinteraksi dengan pihak-pihak lain. Pihak-pihak tersebut juga mempunyai kepentingan dengan perusahaan dan dikenal dengan stakeholder. Untuk penguasaan modal suatu Perseroan Terbatas , sering dilakukan melalui akuisis. Akuisisi dalam konsepsi awalnya merupakan bentuk pengembangan usaha yang relative dapat dilakukan secara lebih cepat, dibandingkan dengan cara lain yang banyak memakan waktu dan biaya. Melalui akuisisi seorang pengusaha misalnya dapat dengan cepat dan mudah menguasai suatu bidang usaha tertentu tanpa harus bersusah payah merintis usaha dari awal.Fenomena akuisisi ini sangat nyata diIndonesia melalui akuisisi beberapa bank besar oleh perbangkan asing. Pengaturan dibidang perbankan memberikan keleluasaan kepada investor perbankan untuk memiliki saham perbankan nasional sampai dengan 99 %. Krisis telah menunjukkan bahwa membuka pasar terlalu cepat dalam era globalisasi tanpa disertai dengan mempersiapkan/ mengembangkan cara kerja dan infrastruktur pasar lokal/domestik tidak akan memberikan hasil yang baik5. Contoh akuisisi pada bidang lain seperti akuisisi Indofood atas Bogasari dan akuisisi Kalbe Farma atas Dankos Laboratiries. Dalam skala internasional misalnya akuisisi Singapore Technologies Telemedia (STT) atas PT. Indonesia Satelindo ( PT. INDOSAT) dan akuisisi SONY atas Columbia Picture. Akuisisi sebagai sarana investasi, khususnya investasi asing memegang peranan penting untuk menghimpun dana untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menunjang pembangunan nasional. Dalam mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi, Indonesia membutuhkan nilai investasi yang sangat besar. Pada tahun 2011 pemerintah mentargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 % dan kebutuhan akan investasi minimal Rp. 1.165 Triliun. 5
Zuhayr Mikdashi, Financial Intermediation in the 21st Century, First Published, Palgrave, New York 2001, Hlm154
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Juli A, Imas RW. Akuisisi Saham …
128
Pengaruh dari akuisisi terhadap perseroan yakni dengan akuisis akan menguasai dan mengontrol jalanya perusahaan yang akhirnya menguasai satu cabang produksi mulai dari hilir sampai hulu yang pada akhirnya berujung pada monopoli dan menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Akibat akuisisi ini berakibat juga kepada komposisi kepemikian saham dan memunculkan kepemilikan saham mayoritas dan minoritas yang posisinya dalam keadaan lemah. Dalam perseroan berlaku prinsip one share one vote yang artinya setiap satu saham memiliki satu suara dalam perlindungan suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan majority rule.Untuk mencapai maksud dan tujuan perseroan, maka prinsip tersebut tetap dipertahankan. Akan tetapi minority right juga harus konsisten dijalankan dan diperhatikan. Kurangnya perhatian hal tersebut dapat merugikan kepentingan perusahaan, shareholder dan stakeholders. Penetapan prinsip one share one vote dan majority rule dalam keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang terlalu dijunjung tinggi (extreme),dapat mengakibatkan perusahaan tidak menjadi berkembang dan hancur karena telah banyak terjadi kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Pemegang Saham Mayoritas terhadap Pemegang Saham Minoritas menjadi sangat dominan, karena perseroan didirikan oleh para pemegang saham adalah bertujuan untuk kepentingan umum pemegang saham yang mendirikannya, bukan hanya kepentingan sebagian pemegang saham saja, maka hukum melalui rangka pembuat Undang-Undang harus mengupayakan agar sistem one share one vote dalam implementasinya tidak sampai memungkinkan terjadinya dominasi Pemegang Saham Mayoritas terhadap Pemegang saham Minoritas. Penelitian ini mengkaji Bagaimana akibat hukum dari akuisisi saham suatu perusahaan nasional oleh perusahaan asing yang dapat menimbulkan persaingan usaha.
B.
Investasi Asing Kaitanya Dengan Pembangunan Ekonomi Indonesia Aspek hukum dalam kegiatan ekonomi umumnya dapat dilihat dari dua sisi
dalam dua kepentingan yang tidak setara dimana dari sisi tujuan ekonomi itu sesungguhnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Hukum hanya dipandang sebagai faktor eksternal yang bermanfaat dan dapat dimanfaatkan dalam
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
129
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
rangka mengamankan kegiatan dan tujuan ekonomi yang akan dicapai, sehingga hukum benar-benar dimanfaatkan dalam rangka melindungi kepentingannya terhadap kepentingan lain maupun kepentingan yang lebih luas6. Sisi lainnya hukum dipandang dari sisi negara dimana hukum dapat dimanfaatkan untuk menjaga keseimbangan, kepentingan di dalam masyarakat untuk dipakai sebagai alat untuk mengawasi beberapa jauh terjadi penyimpangan terhadap perilaku para pelaku ekonomi terhadap kepentingan lain yang lebih luas7. UUD 45 pada Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum dan dalam penjelasan UUD 45 disebutkan dalam bab umum bahwa Undang-undang dasar ialah hukum dasar yang tertulis yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggara negara meskipun tidak tertulis8. Fungsi hukum menjamin keteraturan dan ketertiban9.Menegakkan hukum sebagai salah satu aspek penerapan hukum adalah fungsi atau tindakan mempertahankan hukum agar hukum ditaati, berjalan atau dijalankan sebagaimana mestinya10. Hukum mengemban fungsi ekspresif yaitu mengungkapkan pandangan hidup, nilai-nilai budaya dan keadilan. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law). Regulasi yang terstruktur ditujukan untuk melindungi kekuatan pasar yang luar biasa dan untuk membatasi potensi konflik dan kepentingan dan untuk mengurangi risiko yang berlebihan pada institusi keuangan yang melakukan kegiatan diluar kemampuan
institusi
tersebut
dan
yang
bukan
merupakan
kegiatan
utamanya11.Perangkat Hukum yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan hukum di bidang kegiatan ekonomi harus memenuhi asas keseimbangan, asas pengawasan publik dan asas campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi12. Khususnya asas
6
Sri Redjeki Hartono, Pembinaan Cita Hukum Dan Penerapan Asas-asas Hukum Nasional No.2, Majalah Hukum Nasional Edisi Khusus 50 Tahun Pembangunan Nasional, Jakarta 1995, Hlm 124 7 Ibid 8 Lihat UUD 1945 9 Mochtar Kusumaatmadja, Arief Sidharata, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Ke 1, Edisi Pertama, Alumni, Bandung, 1999, Hlm 50 10 Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa, Cetakan Pertama, UII Press, Yogyakarta, Juli 2005, Hlm 83 11 Marion V. Williams, Liberalising s Regulated Banking System, Avebury, 1996, Hlm 6 12 Neni Sri Imaniyati, Hukum Bisnis Telaah Tentang Pelaku Dan Kegiatan Ekonomi, Edisi Pertama, Cetakan Pertama,Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009, Hlm 57
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Juli A, Imas RW. Akuisisi Saham …
130
campur tangan negara salah satunya adalah melindungi kepentingan negara dan kepentingan umum terhadap kepentingan perusahaan dan pribadi. Sebagai contoh pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1999 Tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank, selanjutnya disebut dengan PP Merger. Merger, konsolidasi dan akuisisi Bank dalam Pasal 5 PP Merger Perbankan harus memperhatikan : 1.
Kepentingan Bank yaitu dalam rangka meningkatkan kesehatan dan atau permodalan Bank.
2.
Kreditor menyangkut pengembalian dana terhadap kreditor yang bersangkutan termasuk pula nasabah penyimpan dana.
3.
Pemegang saham minoritas
adalah hak pemegang saham minoritas untuk
menjual sahamnya kepada Bank dengan harga wajar. 4.
Karyawan Bank adalah kepentingan hak-hak karyawan Bank sesuai dengan ketentuan di bidang ketenagakerjaan.
5.
Kepentingan rakyat banyak dan persaingan yang sehat dalam melakukan usaha Bank. Perbankan menyebutkan bahwa untuk menciptakan sistem perbankan yang
sehat, efisien, tangguh dan mampu bersaing dalam era globalisasi dan perdagangan bebas, diperlukan upaya yang dapat mendorong Bank memperkuat dirinya melalui merger, konsolidasi dan akuisisi.Merger perbankan menyebutkan bahwa dalam melakukan aktifitas merger, konsolidasi, dan akuisisi tersebut, perbankan wajib menghindari timbulnya pemusatan kekuatan ekonomi pada suatu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat Dampak globalisasi, adalah kuatnya arus liberalisasi perdagangan dan investasi oleh negara maju ke negara berkembang13. Liberalisasi dapat diartikan sebagai proses atau usaha yang digunakan untuk melaksanakan atau menerapkan paham liberalisme dalam kehidupan seperti pada ketatanegaraan, perdagangan dan sebagainya.Akibat
13
Endang Sutrisno, Hukum & Globalisasi, Cetakan I, Genta Press, Yogyakarta, Desember 2007, Hlm 90
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
131
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
liberalisme ekonomi lahirlah beberapa pelaku ekonomi yang menjadi besar dan mampu mengontrol pasar, sehingga memunculkan kekhawatiran14. Globalisasi adalah suatu perubahan zaman sehingga terjadi perubahan pula pada segala aspek kehidupan manusia yaitu aspek keagamaan, sosial budaya, ekonomi dan keuangan, politik dan keamanan, pendidikan dsb 15 .Globalisasi bukan merupakan fenomena baru dalam sejarah peradaban dunia. Sebelum memasuki abad 20 globalisasi dipandang sebagai gelombang masa depan dimana dua dekade sebelum perang dunia pertama, arus uang internasional telah mengikatkan Eropa lebih erat dengan Amerika Serikat, Asia, Afrika dan Timur Tengah16. Pasar keuangan dunia menunjukkan adanya kekuatan globalisasi diabad 20 dimana globalisasi tersebut menghilangkan batas-batas negara ditandai dengan arus investasi/modal dibeberapa negara17.Ciri-ciri utama globalisasi adalah: 1.
Peningkatan konsentrasi dan monopoli berbagai sumber daya dan kekuatan ekonomi oleh perusahaan-perusahaan transnasional maupun oleh perusahaanperusahaan dan dana global.
2.
Kebijakan dan mekanisme pembuatan kebijakan nasional yang meliputi bidangbidang sosial, ekonomi, budaya dan teknologi yang sekarang ini berada dalam yuridiksi suatu pemerintah dan masyarakat dalam satu wilayah negara bangsa bergeser menjadi dibawah dibawah pengaruh atau diproses badan-badan internasional
atau
perusahaan
besar
serta
pelaku
ekonomi,
keuangan
internasional. Globalisasi diartikan sebagai fenomena teknologi, ekonomi, sosial, politik dan budaya yang diawali dengan perdagangan barang, jasa, faktor produksi dan diikuti oleh integrasi ekonomi antar-negara18. Beberapa kencendrungan yang mempengaruhi persaingan dunia dalam era global adalah19 : 14
E. Thomas Sullivan & Jeffrey L. Harrison, Understanding Antitrust and Its Economic Implications, Mathew Bender & Co, Inc, 1998, Hlm 3 – 5 Ningrum Natasya Sirait, Indonesia dalam Menghadapi Persaingan Internasional, Dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap USU, 2 September 2006) 15 Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Edisi Pertama, Cetakan ke-1, Prenada Media, Desember 2005, Hlm 57 17
Ilhan Meric, Gulser Meric, Global Financial Markets at the Turn of The Century, Elsevier Science Ltd, Oxford, UK, 2001, Hlm 3 18 Joseph Stiglitz, The Roaring Nineties, Penguin Books, 2003, Hlm 202 - 240. Trade and Globalization dalam Charles Wheelan, Naked Economics, Undressing The Dismal Science,
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Juli A, Imas RW. Akuisisi Saham …
132
1.
Berkurangnya perbedaan antar negara.
2.
Kebijakan industri yang lebih agresif.
3.
Kesadaran dan perlindungan nasional terhadap kekayaan yang penting.
4.
Arus teknologi yang lebih bebas.
5.
Kebangkitan berangsur-angsur pasar skala besar yang baru.
6.
Persaingan dari NDC (Non Development Country). Pada masa yang akan datang pembangunan ekonomi Indonesia menghadapi dua
tantangan utama yang terkait dengan proses globalisasi dan desentralisasi, yaitu : Pertama, Meningkatkan daya saing industri nasional meialui peningkatan efisiensi dan pembangunan
keunggulan
kompetitif
yang
pada
gilirannya
akan
memperkukuh ketahanan dan pertumbuhan ekonomi. Kedua, Melaksanakan proses desentralisasi ekonomi secara bertahap agar potensi sumber daya ekonomi diseluruh daerah dapat segera tergerakan secara serempak menjadi kegiatan ekonomi yang meluas yang didukung oleh semakin tumbuhnya prakarsa, desentralisasi ekonomi ditempuh secara hatihati agar tidak menimbulkan permasalahan yang dapat menghambat pencapaian tujuan pembangunan ekonomi nasional secara menyeluruh. Pembangunan ekonomi Indonesia pada masa yang akan datang harus berbeda dari wujud perekonomian Indonesia sebelum terjadinya krisis. Wujud perekonomian yang akan dibangun harus lebih adil dan merata, mencerminkan peningkatan peran daerah dan pemberdayaan seluruh rakyat berdaya saing dengan basis efisiensi, serta menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup, sebagai berikut : Pertama, Pembangunan ekonomi dilaksanakan berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang meningkat, merata dan berkeadilan. Kedua, Pembangunan ekomomi berlandaskan pengembangan otonomi daerah dan peran serta aktif masyarakat secara nyata dan konsisten. W.W. Norton and Company, London, 2002, Hlm 187 – 205(Ningrum Natasya Sirait, Indonesia Dalam Menghadapi Persaingan Internasional, Dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap USU, 2 September 2006) 19 Michael E. Porter, Teknik Menganalisi Industri dan Pesaing (dalam terjemahan), Cetakan Kelima, Erlangga, Jakarta, 1993, Hlm 258
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
133
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
Ketiga, Pembangunan ekonomi harus menerapkan prinsip efisiensi yang didukung oleh peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan teknologi untuk memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan daya saing nasional Keempat, Pembangunan ekomoni berorientasi pada perkembangan globalisasi ekonomi internasional dengan tetap mengutamakan ekonomi nasional. Kelima, Pembangunan ekonomi makro harus dikelola secara hati¬hati, disiplin dan bertanggungjawab
dalam
rangka
menghadapi
ketidakpastian
yang
meningkatkan akibat proses globalisasi. Keenam, Pembangunan ekonomi dilaksanakan berdasarkan kebijakan yang disusun secara transparan dan bertanggung-gugat, baik dalam pengelolaan publik, pemerintah, maupun masyarakat. Ketujuh, Pembangunan ekonomi harus berlandaskan keberlanjutan sistem sumber daya alam,
lingkungan
hidup
dan
sistem
sosial
kemasyarakatan
untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pembangunan ekonomi Indonesia dewasa ini tidak terlepas dari pengaruh ekonomi dunia yang terjadi, sebagai contoh akibat gejolak keuangan global pasca krisis Lehman Brothers pada pertengahan September 2008.Krisis keuangan yang melanda Lehman Brothers ini, membawa pengaruh pada perlambatan ekonomi dunia dan berdampak juga bagi Indonesia. Menurut Bambang Prijambodo, Direktur Perencanaan Makro Bapenas, setidaknya ada 4 pengaruh pokok dari gejolak keuangan global pasca krisis Lehman Brothers, yaitu :20 Pertama, Meningkatnya pergerakan arus modal, terutama jangka pendek keluar dari berbagai negara.Motifnya tidak sepenuhnya karena fundamental ekonomi di negara tujuan yang buruk, tetapi lebih dari pada kepentingan investor untuk melakukan konsolidasi keuangan global denganberbagai potensi kerugian yang berkaitan dengan subprime mortgage.Tarikan modal jangka pendek ini selanjutnya mengakibatkan kelangkaan likuiditas, terutama sisi eksternalnya,
20 Bambang Prijambodo. Direktur Perencanaan Makro Bapenas, Gejolak Keuangan dan Pemulihan Ekonomi Dunia, Kompas, Jum'at 12 Desember 2008, HIm 48.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Juli A, Imas RW. Akuisisi Saham …
134
yang pada gilirannya memperlemah nilai tukar mata uang pada hampir semua negara. Kedua, Meningkatnya kehati-hatian sektor keuangan untuk menyalurkan dana kepada dunia usaha dan masyarakat. Negara-negara yang mengandung eksposur tinggi terhadap subprime mortgage dan derivatifnya akan sangat berhati-hati dalam menyalurkan dana. Ketiga, Melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia lebih besar dari yang dperkirakan. Ekonomi AS dalam triwulan 111-2008 turun 0,3-0,5 % dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (annualized) meskipun masih tumbuh positif 0,7-0,8 dibandingkan dengan triwulan 111-2007. Dari data PDB AS triwulan 1112008, beberapa unsur pergerakan ekonomi mulai melemah. Konsumsi masyarakat tidak tumbuh (turun) 0,2 %, penurunan investasi semakin besar, dan dukungan ekspor jauh melemah (menandakan ekonomi di AS melambat cukup besar. Apabila ekonomi AS pada triwulan IV-2008 masih tumbuh negatif, per definisi, ekonomi AS mengalami resesi. Penurunan ekonomi juga mulai terjadi di Uni Eropa, Inggris dan Jepang yang tumbuh negatif 0,8 %, 0,5-2,0 %, dan 0,4 % dibandingkan triwulan 11-2008. Ekonomi Asia relatif masih belum mengalami penurunan, tetapi perlambatan yang Iebih besar dari perkiraan yang terjadi di beberapa negara. Ekonomi China tumbuh cukup tinggi yaitu 9,0 % pada triwulan 111-2008, Iebih rendah dari ekspektasi banyak kalangan yang sekitar 10 %. Secara ringkas ekonomi dunia pada tahun 2008 belum mengalami resesi global, tetapi terdapat indikasi awal bahwa ekonomi beberapa negara maju dipastikan sudah mengalami resesi memasuki
tahun
2009.
Proyeksi
IMF
terbaru
November
2008
memperkirakan ekonomi dunia tahun 2009 akan mengalami resesi global dengan hanya tumbuh 2,2 %, seperti resesi pendek pada tahun 2001. Keempat, Menurunnya harga komoditas dunia. Penurunan harga komoditas yang terjadi sejak Juli 2008 akan Iebih ditekan lagi oleh ekspetasi dari perlambatan ekonomi dunia yang Iebih besar akibat gejolak keuangan global. Dengan turunnya harga komoditas dunia, tekanan inflasi global yang bersumber dan harga komoditas mereda lebih cepat dari yang diperkirakan.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
135
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
Dari hal-hal yang dikemukakan di atas
yang terjadi pada tahun 2008-2010
bahwa gejolak keuangan global yang bermula dari Amerika Serikat ini,mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara-negara di Asia.Perlambatan ekspor dan aliran modal swasta karena pengaruh krisis global dapat dipastikan menekan pasar di Asia. Kepala Kantor Integrasi Ekonomi Regional ADB (Asia Development Bank) di Hongkong, Jong-Wha Lee mengungkapkan, 21 bahwa tahun 2009 menjadi tahun yang sulit bagi kawasan pasar yang sedang berkembang di Asia. ADB merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi regional Asia pada tahun 2009 menjadi 5,8 %, melambat dari 6,9 tahun ini dan 9 % pada tahun 2007. Dalam Asian Development Outlook 2008 yang dirilis sebelum krisis merebak, ADB semula memprediksikan perekonomian ekonomi kawasan berkembang Asia pada tahun 2009 akan tumbuh 7,2 %, kesulitan yang dihadapi perekonomian Asia dapat dikelola jika negara-negara Asia secara kolektif merespons dengan tepat. Krisis ekonomi global menuntut para pengambil kebijakan untuk mengelola tekanan terhadap sistem finansial sekaligus sektor riil.Kemampuan untuk mempertahankan pertumbuhan permintaan domestik jadi penentu seberapa kuat perekonomian regional Asia bisa bertahan dari guncangan krisis. Gejolak ekonomi global membalikan itu semua, dengan rezim neraca modal yang relatif terbuka, tingginya porsi asing di pasar modal dan pasar obligasi, serta pengalaman trauma krisis 1997/1998 yang membuat investor lokal sensitif terhadap pergerakan nilai tukar rupiah, Indonesia menjadi sangat rentan menjadi sasaran pelarian modal jangka pendek. Penarikan dana portofolio asing menjadi salah satu pemicu ambruknya saham dan nilai tukar mata uang. Sejauh ini, dampak Iangsung terhadap sistem perbankan nasional yang megelola hampir 80 % aset finansial relatif terbatas. Kendati sebagian modal asing sudah meninggalkan pasar finansial Indonesia, perekonomian nasional masih tetap rentan terhadap resiko pelarian modal asing. Indonesia rentan terhadap risk aversion (dicampakkan investor yang menghindari risiko investasi) dan penarikan modal mendadak. Pelarian modal dan meningkatnya kecenderungan investor untuk
21 Krisis Tekan Pasar Berkembang, ADB Pekomendasikan Permintaan Domestik Didorong, Kompas, Jum'at 12 Desember 2008, Him. 21.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Juli A, Imas RW. Akuisisi Saham …
136
menghindari resiko membuat tekanan terhadap suku bangsa dan nilai tukar juga meningkat. Pada sisi lain negara-negara sedang berkembang sangat membutuhkan investasi, khususnya investasi asing, karena investasi ini dapat mempercepat laju pembangunan di negara tersebut. Kondisi Indonesia saat ini, keberadaan investasi sangat dibutuhkan sekali karena investasi, khususnya investasi asing dapat membantu dalam meningkatkan pendapatan negara, meningkatkan perekonomian masyarakat, serta pendapatan asli daerah, apalagi sekarang ini Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan ekonomi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Investasi asing telah memainkan peranan yang sangat penting dalam menunjang kelangsungan pembangunan nasional.Supaya pembangunan nasional dapat berjalan sebagaimana mestinya diperlukan dana yang sangat besar jumlahnya, antara lain dapat diperoleh melalui investasi asing disamping investasi dalam negeri. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam menghimpun dana untuk membiayai pembangunan nasional, diantaranya memberi peluang yang lebih besar kepada masyarakat dan dunia usaha yang diwujudkan dengan mengundang investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Oleh karena itu investasi asing sangat berperan dan besar manfaatnya dalam membangun perekonomian nasional. Menurut Adi Harsono sebagaimana dikutip Salim HS dan Budi Sutrisno, manfaat positif dari adanya investasi asing atau perusahaan asing, adalah :22 1.
Perusahaan asing membayar gaji pegawainya lebih tinggi dibanding gaji rata-rata nasional.
2.
Perusahaan asing menciptakan lapangan pekerjaan lebih cepat dibandingkan perusahaan domestik sejenis.
3.
Perusahaan asing tidak segan-segan mengeluarkan biaya dibidang pendidikan
4.
Perusahaan asing cenderung mengekspor lebih banyak dibandingkan perusahaan domestik. Selain manfaat positif dari penanaman modal asing dalam membantu upaya-
upaya pembangunan kepada perekonomian negaranegara penerima, ternyata 22
Salim HS dan Budi Sutrisno, Op.Cit, Hlm 84-85
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
137
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
penanaman modal asing dapat pula berdampak negatif terhadap perekonomian negara penerima yaitu :23 1.
Penanaman modal asing dapat menimbulkan sengketa dengan negara penerima atau penduduk asli setempat, khususnya dinegara-negara sedang berkembang.
2.
Penanaman modal asing oleh Multinational Enterprise dapat mengontrol atau mendominasi
perusahaan-perusahaan
lokal.
Sebagai
akibatnya
dapat
mempengaruhi kebijakan-kebijakan ekonomi atau bahkan kebijakan-kebijakan politis dari negara penerima. 3.
Multinational Enterprise banyak dikecam telah mengembalikan keuntungankeuntungan dari kegiatan bisnisnya kenegara dimana perusahaan induknya berada. Praktik seperti ini sedikitnya telah mengurangi cadangan persediaan mata uang asing (foreigh exchange reserves) dari negara penerima.
4.
Adanya tuduhan terhadap Multinational Enterprise dalam kegiatan usahanya ternyata telah merusak lingkungan sekitar lokasi usahanya, terutama di negaranegara
sedang
berkembang
Pasalnya
Multinational
Enterprise
telah
menggunakan zat-zat yang membahayakan lingkungan atau menerapkan teknologi yang tidak atau kurang memperhatikan kelestarian lingkungan. 5.
Multinational Enterprise dikritik telah merusak aspek-aspek positip dari penanaman modal itu sendiri di negara-negara sedang berkembang. Misalnya, adanya praktik Multinational Enterprise yang acapkali menerapkan kegiatankegiatan usahanya yang bersifat restriktif (restrictive business practiles). Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan yaitu
Investasi asing sangat berperan dalam menunjang kelangsungan pembangunan nasional. Keberadaan investasi itu akan bermanfaat: 1.
Sebagai modal kerja di samping modal dalm negeri
2.
Membawa manajemen dan etika bisnis yang lebih professional
3.
Meningkatkan sumber daya manusia
4.
Sebagai sarana alih teknologi
23
Ibid, Hlm 7-8
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Juli A, Imas RW. Akuisisi Saham …
138
C. Investasi Asing Melalui Akuisisi Saham Perusahaan Nasional Oleh Perusahaan Asing Setiap pelaku usaha ingin mengembangkan usahanya dan mendapatkan keuntungan sebesar mungkin. Ada dua cara yang dapat digunakan setiap pelaku usaha dalam mengembangkan usahanya, yaitu yang pertama melalui kemampuannya sendiri dan yang ke dua melalui merger dan akuisisi.Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dewasa ini yang tidak mengenal batas territorial suatu negara, akuisisi sebagai salah satu cara pengembangan perusahaan berkembang demikian cepat melewati batas teritorial suatu negara, sehingga banyak akuisisi yang dilakukan perusahaan-perusahaan transnasional di mancanegara, tidak terkecuali di Indonesia. Di era pasar global sekarang ini, perusahaan transnasional merupakan pelaku utama perdagangan internasional dan investasi dalam globalisasi ekonomi.Perusahaanperusahaan transnasional
ini
sedang
berusaha
mengintegrasikan pasar-pasar
nasionalnya kedalam perekonomian global melalui perdagangan lintas negara, baik dalam bentuk perdagangan antar perusahaan itu sendiri maupun perdagangan antara perusahaan transnasional tersebut dengan mitra dagangnya diluar negeri. Akibat kompetisi dalam perdagangan dunia yang semakin tajam dewasa ini dan didorong keinginan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, membuat beberapa perusahaan transnasional melakukan merger dan mengakuisisi perusahaan lainnya dalam rangka meningkatkan daya saingnya.Oleh karena itu merger dan akuisisi menjadi trend baru perusahaan-perusahaan transnasional diera global sekarang ini.Di era global sekarang ini merger dan akuisisi tidak hanya terjadi diantara perusahaan-perusahaan yang beroprasi dalam batas¬batas teritorial suatu negara melainkan juga melibatkan perusahaan-perusahaan dimanca negara lainnya. Maraknya akuisisi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan transnasional terhadap perusahaan lainnya dimanca Negara saat ini, membawa pengaruh yang sangat besar terhadap perdagangan dan investasi dunia dewasa ini. Hal ini terlihat dari besamya arus modal asing langsung dari negara-negara maju kenegara-negara berkembang saat ini, sebagaimana contoh terlihat dalam tabel dibawah ini :24
24
Mudrajat Kuncoro, Op.Cit, Hlm. 322
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
139
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
Tabel : 9 Perubahan Sumber Investasi ke Negara Sedang Berkembang 1990 Sumber Investasi
1997
(dalam Miliar (dalam %) (dalam miliar (dalam %) dolar AS) dolar AS)
Total
100,7
100,0
300,6
100,0
A. Pemerintah
56,3
55,9
44,2
14,7
B. Swasta
44,4
44,1
256,1
85,3
1. Pinjaman Komersial
16,6
37,4
103,2
34,4
2. Investasi Asing Langsung ( PMA)
24,5
55,2
120,4
40,1
3. Investasi Portofolio
3,2
7,2
32,5
10,8
Sumber : Global Development Finance
Oleh karena itu keberadaan perusahaan transnasional sebagai salah satu pelaku investasi asing Iangsung melalui merger dan akuisisi, memegang peranan penting dalam meningkatkan arus investasi bagi negara-negara berkembang dewasa ini.Berikut ini contoh praktik merger dan akuisisi oleh perusahaan transnasional baik di Indonesia maupun dimanca negara lainnya: a.
Januari 2007, dua perusahaan telekomunikasi, yaitu Nokia dari Finlandia dan Siemens dari Jerman meresmikan merger kedua perusahaan tersebut dan akan membentuk perusahaan baru dengan nama "Nokia Siemens", dengan komposisi kepemilikan saham 50% Nokia dan 5C% Siemens dan memperkerjakan 60.000 karyawan yaitu gabungan dari karyawan Nokia dan Siemens. Sinergi Nokia Siemens menghasilkan total aset 15,8 Miliar Euro dan estimasi budget yang ditentukan untuk snergi kedua perusahaan ini sekitar 1,5 miliar Euro pertahunnya sampai tahun 2010. Setelah merger operasional Nokia Siemens menargetkan pertumbuhan market 5% pertahun melalui merger pangsa pasar Nokia Siemens akan membesar dan menjadi perusahaan telekomunikasi terbesar ketiga didunia setelah Alcatel Lucent dan Ericson Marconi. Angka penjualan Siemens mencapai75,4 Miliar Euro dengan pendapatan sebesar 3,1 miliar Euro dan pada
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Juli A, Imas RW. Akuisisi Saham …
140
tahun 2005 pendapatan Siemens sebesar 15,8 Miliar US$. Siemens berdiri 155 tahun lalu, sebelum merger bisnis jaringan telekomunikasi Siemens telah beroprasi di 100 negara dengan pelanggan 190 negara. Merger Nokia Siemens merupakan cara efektif untuk memperluas pasar dan memperbanyak produk bagi pasar global melalui merger ini, diharapkan Nokia Siemens Networks akan menguasai 50% pasar di Eropa, 24% Asia Pasifik dan sisanya di Timur Tengah dan Amerika Latin. Selain Cina dan India , Indonesia merupakan pasar yang potensial dan sampai saat ini penguasaan pasar Siemens di Indonesia sebesar 43%. Pelanggan jaringan telekomunikasi Siemens di Indonesia, diantaranya PT. Telkom, PT. Indosat, PT. Exelcomindo dan Hutchison Telecom Indonesia.25 b.
6 Juni 2008, dua perusahaan telkekomunikasi, yaitu Qatar Telecom (Q. Tel) milik Pemerintah Qatar mengakuisisi saham PT. Indosat, BUMN dari Indonesia. Qatar Telecom berdiri tahun 1987 dan masuk pasar modal tahun 1998, memiliki nilai aset 12 miliar US $ (setelah mengakuisisi Indosat) dengan komposisi saham 55% milik otoritas Investasi Qatar, 35,2% milik Publik dan 9,8% mllik Dana Pensiun Qatar. Qatar Telecom mengakuisisi 40,82 % saham PT. Indosat yang dimiliki Asia Mobile Holding (AMH, sahamnya dimiliki 75% Singapore Technologies Telemedia, Pte.Ltd dan 25% Qatar Telecom) melalui Singapore Technologies Telemedia, Pte.Ltd anak perusahaanTemasek Holding, dengan nilai akuisisi 1,8 miliar US$ atau setara dengan 16,7 Triliun. Qatar Telecom mengakuisisi PT.Indosat yang merupakan perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di Indonesia, untuk mewujudkan visi 2020 nya yaitu menjadi 20 besar provider telekomunikasi dunia. Sebelum mengakuisisi PT.Indosat, jumlah pelanggan Qatar Telecom per Desember 2007 masih kecil dibandingkan PT. Indosat. Ekspensinya ke 16 negara hingga Desember 2007 hanya mendulang pelanggan 16,3 juta, setelah mengakuisisi PT. Indosat jumlah pelanggan Qatar Tekecom berlipat ganda menjadi 2,75 kali yaitu sekitar 44 juta. Pendapatan Qatar Telecom hingga Desember 2007 hanya naik dari 1,2 miliar US$ menjadi 2,9 US$
25
Gatot Widakdo, Nokia Siemens Targetkan Pertumbuhan Pasar 5 Persen, Kompas, 5 Desember 2006,
Hlm 19.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
141
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
dan setelah mengakuisisi PT.indosat pendapatan proforma Qatar Telecom meningkat menjadi 4,6 miliar US$.26 c.
27 November 2006, dua lembaga keuangan, yaitu Acorn Co Ltd dan The Bank of Tokyo - Mitsubishi UFJ Ltd dari Jepang mengakuisisi sekitar 238,41 juta lembar saham atau 75,41 % dari keseluruhan saham yang dikeluarkan Bank Nusantara Parahyangan, Tbk (Bank BNP) yang berkantor pusat di Bandung. Acorn Co. Ltd yang berkedudukan di Tokyo merupakan perusahaan yang bergerak dalambidang industri jasa pembiayaan yang memberikan pinjaman kepadaindividu dan perusahaan kelas menengan dan kecil. Sedangkan TheBank of Tokyo Mitsubishi UFJ Ltd (BTMU) yang berkedudukan diTokyo, merupakan salah satu Bank berkelas Intetnasional, dengan kegiatan utama usaha perbankan komersial. Melalui akuisisi ini, Acorn Co Ltd menguasai 55,41% saham Bank BNP dan The Bank Of Tokyo - Mitsubishi UJF, Ltd menguasai 20% nya. Modal Bank BNP pasca akuisisi mencapai lebih dari Rp. 300 miliar dan dana pihak ketiga tahun 2007 mencapai Rp. 3,4 triliun. Pasca akuisisi ini diharapkan Bank BNP dapat lebih maju dan mendukung pengembangan usaha kecil dan menengah. Tahun 2007, sebesar 66,36% kredit Bank BNP disalurkan melalui usaha kecil dan menengah (UKM).27 Keputusan untuk melakukan merger, akuisisi atau konsolidasi perusahaan
bukanlah suatu hal yang mudah dan sederhana, karena banyak permasalahan hukum yang sangat sensitif yang harus diselesaikan dibalik pelaksanaan merger, akuisisi atau konsolidasi tersebut. Adapun masalah-masalah yang timbul dalam praktik merger, akuisisi atau konsolidasi antara lain: 1.
Masalah Perpajakan Dalam proses merger, akuisisi atau konsolidasi perusahaan masalah perpajakan
merupakan suatu hal yang sangat pelik dan perlu mendapat perhatian yang serius. Masalah perpajakan tersebut terkait erat dengan 2 metode dalam proses merger, 26
Muchamad Nafi dan Sapto Pradityo, Langkah Gelap Temasek, Tempo, Edisi 16-22 Juni 2008. Hlm. 102-105 dan Lihat Pula Sapto Pradityo dan Bunga Mangiasih, Setelah Temasek Pergi, Tempo, Edisi 16-22 Juni 2008. Hlm. 106-107 Serta Lihat Pula Yosep Srayogi, Vennie Melyani dan Bambang Herymurti, Pisah Ranjang, Terbang Tinggi, Tempo, Edisi 16-22 Juni 2008, Hlm. 108. 27 75 Persen Saham BNP Diakuisisi, Kompas, 19 Desember 2007, Hlm. 1-8
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Juli A, Imas RW. Akuisisi Saham …
142
akuisisi atau konsolidasi yaitu metode penyatuan kepentingan (pooling of interest method) dan metode pembelian (purchase method). Dalam metode penyatuan kepentingan, semua aktiva, utang dan modal dari perusahaan-perusahaan yang terkait merger, akuisisi atau konsolidasi tidak dinilai kembali dan semata-mata berdasarkan nilai yang tercatat pada buku perusahaan. Oleh karena itu menurut metode penyatuankepentingan, dalam proses merger, akuisisi atau konsolidasi tidak pernah terjadi pengalihan aktiva, utang dan modal darid perusahaan yang melakukan merger, akuisisi atau konsolidasi dan karenanya sejak semula perusahaan yang melakukan merger, akuisisi dan konsolidasi dianggap satu kesatuan dari perusahaan penerima merger, pengakuisisi atau hasil konsolidasi. Sebaliknya berdasarkan metode pembelian, merger, akuisisi atau konsolidasi merupakan pembelian oleh perusahaan penerima merger, pengakuisisi atau hasil konsolidasi atas aktiva, utang dan modal dari perusahaan yang melakukan merger, akuisisi atau konsolidasi. Apabila metode penyatuan kepentingan dan metode pembelian, dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf c Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ke empat atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, yang menyebutkan bahwa harta yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal tidak termasuk sebagai objek pajak penghasilan pada waktu pengalihan harta tersebut. Maka bilamana dikemudian hari harta tersebut dialihkan melebihi harga pada saat perolehannya, kelebihannya tersebut akan dikenakan pajak penghasilan. Dari hal tersebut akan timbul masalah, yaitu perusahaan-perusahaan yang melakukan merger, akuisisi atau konsolidasi akan mencatatkan merger, akuisisi atau konsolidasi yang dilaksanakannya berdasarkan metode penyatuan kepentingan, tujuannya untuk menghindari kewajiban pembayaran pajak penghasilan terutama apabila harga pembelian lebih tinggi, meskipunsebenarnya merger, akuisisi atau konsolidasi tersebut dilakukan dengan metode pembelian. Hal ini dapat terjadi karena :28 a.
Tidak adanya peraturan hukum yang mengatur tentang pelaksanaan merger, akuisisi atau konsolidasi yang menetapkan persyaratan-persyaratan tertentu dalam pemakaian salah satu dari kedua metode merger, akuisisi atau konsolidasi.
28
Ibid, Hlm 157
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
143
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
b.
Prinsip Akuntansi Indonesia menyerahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manajemen perusahaan untuk memilih salah satu dari ke dua metode merger, akuisisi atau konsolidasi itu. Mengenai metode merger, akuisisi atau konsolidasi ini belum ada pengaturan
dalam UUPT, karenanya direksi Perseroan Terbatas (PT) diberi kebebasan untuk memilih atau menentukan dasar perhitungan konversi saham-saham.Bila mana yang dipilih adalah harga pasar (market price) maka metode merger, akuisisi atau konsolidasi yang digunakan adalah metode pembelian.Sebaliknya jika yang dipilih adalah harga buku (book value) maka metode merger yang digunakan adalah metode penyatuan kepentingan. 2.
Masalah intern dari perusahaan yang di merger, diakuisisi atau dikonsolidasi. Sebelum merger, akuisisi atau konsolidasi dilaksanakan perusahaan penerima
merger, akuisisi atau konsolidasi harus mengadakan penelitian yang menyeluruh dan seksama mengenai kondisi perusahaan yang akan melakukan merger, akuisisi atau konsolidasi. Hal tersebut perlu dilakukan, karena bilamana suatu waktu perusahaan penerima merger, akuisisi atau konsolidasi mengetahui adanya kecurangan dari perusahaan yang dimerger, diakuisisi ataudikonsolidasi yaitu tidak melaporkan kondisi yang sebenarnya, maka berakibat merger, akuisisi atau konsolidasi tersebut dapat dibatalkan. Adapun kondisi-kondisi yang harus diteliti dari perusahaan yang melakukan merger, akuisisi atau konsolidasi antara lain meliputi: a.
Keadaan Saham/Pemegang Saham Keadaan saham yang perlu diketahui misalnya apakah saham yang dikeluarkan sudah disetor penuh oleh pemegang saham atau baru sebagian, apakah sahamsahamnya dibebani gadai atau tidak, apakah jumlah saham dan pemegang saham yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan atau perubahannya ataupun daftar saham/daftar pemegang saham sudah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
b.
Kedudukan dan wewenang Direksi serta dewan komisaris Dalam hal ini yang perlu diketahui adalah menyangkut prosedur pengangkatan direksi dan dewan komisaris, yaitu apakah pengangkatannya sudah sesuai dengan
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Juli A, Imas RW. Akuisisi Saham …
144
ketentuan Perundang-undangan dan Anggaran Dasar Perusahaan.Selanjutnya perlu juga diteliti menyangkut keputusan-keputusan direksi dan dewan komisaris selama ini, apakah telah sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan dan anggaran dasar perusahaan. c.
Aktiva dan Pasiva Perusahaan Perlu diteliti keadaan yang sebenarnya balk dari harta maupun kewajiban perusahaan yang dimerger, diakuisisi atau dikonsolidasi secara jelas dan akurat. Hal ini terkait dalam menentukan harga merger, akuisisi atau konsolidasi. Di lain pihak untuk menghindari adanya tuntutan dari pihak ketiga setelah merger, akuisisi atau konsolidasi dilangsungkan atas harta perusahaan yang dimerger, diakuisisi atau dikonsolidasi maka perlu juga diteliti, apakah harta perusahaan yang dimerger, diakuisisi atau dikonsolidasi dijadikan agunan atau tidak, apakah tersangkut suatu perkara dan diletakkan sita jaminan atau tidak.
d.
Perizinan Perlu diteliti semua perizinan perusahaan yang dimerger, diakuisisi atau dikonsolidasi apakah telah lengkap dan masih berlaku, misalnya, Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia mengenai pengesahan anggaran dasar PT dan perubahannya yang memerlukan persetujuan, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Surat Keterangan Domisili Perusahaan, Hinder Ordonatie (HO) dan sebagainya.
3.
Masalah Monopoli Proses merger, akuisisi atau konsolidasi erat kaitannya dengan monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat, karena merger yang merupakan penggabungan dua perusahaan menjadi satu perusahaan, akuisisi yang merupakan pengambilalihan suatu saham perusahaan oleh perusahaan pengakuisisi dan konsolidasi yang merupakan pembentukan suatu perusahaan baru sebagai hasil penggabungan beberapa perusahaan, dapat berdampak mengurangi persaingan dan sangat potensial dalam mengubah struktur pasar. Perusahaan hasil merger dan akuisisi horizontal misalnya berpotensi besar dalam meningkatkan kekuatan pasar melalui penguasaan pangsa pasar yang lebih besar. Kekuatan ini akan menjadikannya dominan, sehingga bisa mengarah pada
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
145
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
oligopoli bahkan monopoli yang dapat merugikan pelaku usaha lain dan masyarakat secara umum. 4.
Masalah Karyawan Dalam merger, akuisisi atau konsolidasi perusahaan, umumnya akan diikuti
dengan restrukturisasi organisasi sehingga akan terjadi perubahan kedudukan dan pengurangan karyawan perusahaan yang tidak potensial. Mengenai hal ini di Indonesia belum ada ketentuan yang tegas mengenai kedudukan karyawan pada perusahaan yang merger, yang melakukan akuisisi atau yang dikonsolidasi tersebut.Oleh karena itu, suatu hal yang bijaksana apabila suatu merger, akuisisi atau konsolidasi yang akan menimbulkan masalah bagi karyawan, diadakan pembahasan tentang rencana merger, akuisisi atau konsolidasi tersebut dengan serikat karyawan dan serikat kerja.Dalam konsolidasi Bank Mandiri pengurangan karyawan terjadi sebesar 9,5 % dari 19.000 karyawan yang tercatat pada saat konsolidasi menjadi 17.735 karyawan pada akhir tahun 2002,29 yang selengkapnya diuraikan dalam tabel di bawah ini ; 5.
Masalah perlindungan hukum bagi pemegang saham minoritas Perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas dalam proses merger,
akuisisi atau konsolidasi merupakan salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian, karena kedudukan pemegang saham minoritas itu sangat Iemah dan sering dirugikan, meskipun UUPT sendiri telah mengingatkan bahwa dalam proses merger, akuisisi atau konsolidasi harus memperhatikan kepentingan pemegang saham minoritas (Pasal 126 ayat (1) butir a UUPT). Dalam proses merger, akuisisi atau konsolidasi permasalahan terhadap pemegang saham minoritas baru timbul manakala pemegang saham mayoritas mendukung dan menyetujui rencana merger, akuisisi atau konsolidasi dan sebaliknya pemegang saham minoritas tidak menyetujui rencana merger, akuisisi atau konsolidasi tersebut, karena dinilai akan merugikan kepentingannya atau merugikan kepentingan perusahaan secara keseiuruhan.
29
Wawancara, Op.Cit.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Juli A, Imas RW. Akuisisi Saham …
146
D.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan serta analisis dari masalah akuisisi saham dalam kaitannya dengan investasi asing pada perusahaan nasional dan implikasinya terhadap persaingan usaha, maka di bawah ini akan kemukakan beberapa kesimpulan: 1.
Akibat hukum dari akuisisi saham suatu perusahaan nasional olehperusahaan asing menimbulkan persaingan usaha, yaitu akandikenakan sanksi oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha berupa : Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kepemilikan saham mayoritas yang menimbulkan peluang untuk melakukan monopoli dan penyalahgunaan posisi dominan; dengan cara melepas sebagian saham perusahaan yang diakuisisi dengan syarat saham tersebut tidak boleh dijual kepada pihak yang masih beraviliasi dengan perusahaan pengakuisisi; Melepas hak suara, hak mengangkat Direksi dan Komisaris pada perusahaan yang diakuisisi; dan membayar denda.
2.
Perlindungan hukum kepada pemegang saham minoritas yang dirugikan dalam akuisisi suatu perusahaan nasional oleh perusahaan asing, yaitu dengan cara : Pemberlakukan prinsip mayority Rule minority protection; Pemberlakuan prinsip super
mayority
dalam
RUPS;
Pemberian
hak
appraisal;
Permohonan
pemeriksaanperusahaan; Pemberian wewenang untuk mengajukan gugatan derivatif. Saran Dalam rangka menarik investor asing menanamkan modalnya di Indonesia dan untuk mencegah serta menghindari timbulnya persaingan usaha tidak sehat khususnya melalui akuisisi saham perusahaan nasional oleh perusahaan asing, maka penulis kemukakan beberapa saran yang kiranya dapat berguna, yaitu: 1.
Dalam revisi UUPT yang akan datang, perlu diatur dengan jelas masalah persyaratan dalam pelaksanaan merger dan akuisisi Perseroan Terbatas, khususnya kriteria boleh tidaknya merger dan akuisisi dilakukan, karena merger dan akuisisi sangat rentan terhadap monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
147
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
2.
Perlu diadakan penyempurnaan ketentuan-ketentuan dalam UUPT dan Undangundang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, khususnya Pasal-Pasal yang mengatur dan terkait dengan masalah merger, akuisisi dan konsolidasi perusahaan, untuk menghindari timbulnya kerugian dan sekaligus memberikan perlindungan bagi perseroan dan pemegang saham minoritas dalam pelaksanaan merger, akuisisi dan konsolidasi perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Edisi Pertama, Cetakan ke-1, Prenada Media, Desember 2005 Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa, Cetakan Pertama, UII Press, Yogyakarta, Juli 2005 Budi Agus Riswandi dan M Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004. Dewi Astutty Mochtar, Perjanjian Lisensi Alih Teknologi Dalam Pengembangan Teknologi Indonesia, Alumni, Bandung, 2001. Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, Tinjauan Terhadap Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007. Endang Sutrisno, Hukum & Globalisasi, Cetakan I, Genta Press, Yogyakarta, Desember 2007 E.Thomas Sullivan & Jeffrey L. Harrison, Understanding Antitrust and Its Economic Implications, Mathew Bender & Co, Inc, 1998 Gunawan Widjaya, Lisensi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003 __________, Seri Hukum Bisnis Lisensi , Rajawali Press, Jakarta, 2001 Ilhan Meric, Gulser Meric,
Global Financial Markets at the Turn of The
Century, Elsevier Science Ltd, Oxford, UK, 2001 Marion V. Williams, Liberalising s Regulated Banking System, Avebury, 1996 Mochtar Kusumaatmadja, Arief Sidharata, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Ke 1, Edisi Pertama, Alumni, Bandung, 1999
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Juli A, Imas RW. Akuisisi Saham …
148
Neni Sri Imaniyati, Hukum Bisnis Telaah Tentang Pelaku Dan Kegiatan Ekonomi, Edisi Pertama, Cetakan Pertama,Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009 Rudhy Prasetya, Kedudukan Mandiri dan Pertanggungjawaban dari Perseroan Terbatas. PT. Citra Aditya, Bandung, 2001 Salim HS. Dan Budi Sutrisno, Hukum investasi di Indonesia. RajaGrafindo Persada, mataram 2007 Saudargo Gautama dalam : Ahmad Ramli, HAKI- Atas Kepemilikan Intelektual, Teori Dasar Perlindungan Rahasia Dagang, Mandar Maju, Bandung, 2000 Suyud Margono, Hukum Investasi Asing Indonesia, CV Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2008. Sri Redjeki Hartono, Pembinaan Cita Hukum Dan Penerapan Asas-asas Hukum Nasional No.2, Majalah Hukum Nasional Edisi Khusus 50 Tahun Pembangunan Nasional, Jakarta 1995 Zuhayr Mikdashi, Financial Intermediation in the 21st Century, First Published, Palgrave, New York 2001 Perundang – Undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945. Undang-undang Rl Nomor 78 Tahun 1958 Tentang Penanaman Modal Asing Undang-undang Rl Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing Undang-undang Rl Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Undang-undang Rl Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Undang-undang Rl Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan terbatas Sumber Lain : Bambang Prijambodo. Direktur Perencanaan Makro Bapenas, Gejolak Keuangan dan Pemulihan Ekonomi Dunia, Kompas, Jum'at 12 Desember 2008 Muchamad Nafi dan Sapto Pradityo, Langkah Gelap Temasek, Tempo, Edisi 1622 Juni 2008
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
149
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
PENYANDERAAN (GIJZELING) SEBAGAI INSTRUMEN MEMAKSA DALAM HUKUM PERPAJAKAN Oleh : Fontian Abstract Tax is a compulsory levy for every citizen who governed with legislation which is the basis of taxation. Tax authorities have the authority to use force/actions to be taken to enable the taxpayer to pay the tax. Coercion can be direct ie the seizure and auction of goods or execution of which is called before the execution must be carried out stage as warning, reprimand, installment payment or the tax authorities actively enforced by issuing a forcing letter. Gijzeling will apply with the condition of the taxpayer does not immediately pay off their tax debt while the tax authorities have been doing things like letters of reprimand, letters of forced, confiscation. Gijzeling is temporarily restraining the freedom of taxpayers by placing certain somewhere. Gijzeling did not result in the abolishment of tax debt and tax collection due to the cessation of implementation based on tax laws, the tax debt is paid off if already paid or due to expiry. This study will examine the actions of Gijzeling in the enforcement of tax law as a repressive force of law and legal protection of the taxpayers as a tax payment to the Gijzeling -taking attempt. Research Method described by structured research conducted by scientific normative juridical approach, ie legal research to library materials and secondary data from the study of the principles contained in the laws and methods of comparative law. Analysis with descriptive analytical research specifications also conducted to analyze Gijzeling For Forcing Instruments of Taxation Law. The study found Gijzeling in a last-ditch attempt taxation sufficient morally and psychologically for taxpayers who do not have good faith to pay taxes which Gijzeling must be done carefully in accordance with applicable regulations, because otherwise it would result in excess counter-productive that does not comply with the law. Law Protection of taxpayers regarding the implementation of Gijzeling has been regulated in detail in the form of quantitative and qualitative terms, and go through the other steps first. Keywords: Tax, Tax Billing, Gijzeling
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Fontian. Penyanderaan (Gijzeling) …
150
Abstrak Pajak adalah pungutan wajib bagi setiap warga negara yang diatur dengan peraturan perundang-undangan yang merupakan dasar pemungutan pajak. Fiskus memiliki kewenangan untuk melakukan paksaan/tindakan yang harus diambil agar wajib pajak membayar pajaknya. Pemaksaan dapat bersifat langsung yaitu dengan penyitaan dan pelelangan barang-barang atau disebut dengan eksekusi yang mana sebelum eksekusi dilakukan harus dilakukan tahapan seperti pemberian peringatan, teguran, angsuran pembayaran atau terakhir fiskus aktif dengan cara mengeluarkan surat paksa. Penyanderaan akan dilakukan dengan kondisi wajib pajak tidak segera melunasi utang pajaknya sementara itu fiskus telah melakukan hal-hal seperti surat teguran, surat paksa, penyitaan. Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan wajib pajak dengan menempatkannya disuatu tempat tertentu. Penyanderaan tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan berhentinya pelaksanaan penagihan pajak karena berdasarkan Undang-undang perpajakan, utang pajak lunas apabila sudah dibayar atau karena kadaluwarsa. Penelitian ini akan mengkaji tindakan penyanderaan (Gijzeling) dalam rangka penegakan hukum perpajakan sebagai kekuatan hukum yang bersifat represif dan perlindungan hukum wajib pajak sebagai upaya pembayaran pajak terhadap penyanderaan (Gijzeling). Metode penelitian diuraikan dengan terstruktur secara ilimiah yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum terhadap bahan pustaka dan data sekunder berupa kajian terhadap asas-asas yang terdapat dalam perundang undangan serta metode perbandingan hukum. Analisis dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis juga dilakukan untuk menganalisis Penyanderaan (Gijzeling) Sebagai Instrumen Memaksa Dalam Hukum Perpajakan. Penelitian menemukan Penyanderaan (Gijzeling) dalam perpajakan merupakan upaya terakhir yang cukup memadai secara moral dan psikologis bagi wajib pajak yang tidak mempunyai itikad baik untuk membayar pajak yang mana Gijzeling harus dilakukan secara hati-hati sesuai dengan peraturan yang berlaku, karena jika tidak akan menghasilkan ekses kontra produktif yang tidak sesuai dengan tujuannya. Perlindungan hukum bagi wajib pajak dengan diterapkannya upaya penyanderaan (Gijzeling) telah diatur secara rinci berupa syarat kuantitatif dan kualitatif serta harus melalui tahapan-tahapan lainnya terlebih dahulu. Kata Kunci: Pajak, Penagihan Pajak, Penyanderaan
A.
Pendahuluan Pajak merupakan salah satu jenis pungutan wajib bagi setiap warga negara yang
diatur dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemungutan pajak. Hukum pajak disebut hukum fiskal dimana dari peraturan-peraturannya meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
151
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
Hukum pajak mempunyai kekuatan memaksa dengan beberapa tingkatan untuk memaksa kepada wajib pajak agar melunasi utang pajaknya melalui juru sita pajak atau putusan hakim melalui jalur pidana dengan memberikan sanksi-sanksi yang diatur oleh undang-undang. Utang pajak dapat dihapus dengan pembayaran, kompensasi (perjumpaan utang), pembebasan, daluwarsa (verjaring) dan pembatalan. Aspek kepatuhan pajak sangat penting dalam pembangunan suatu negara dimana kepatuhan adalah menyangkut perilaku warga negara dalam pemenuhan kewajiban kenegaraannya1. Sanksi pajak dapat berupa hukuman administrasi (tata usaha) dan hukuman pidana (strafrechtelijk) yang mana untuk menghindari para wajib pajak tidak memenuhi
kewajibannya,
fiskus
memiliki
kewenangan
untuk
melakukan
paksaan/tindakan yang harus diambil agar wajib pajak membayar pajaknya. Pemaksaan dapat bersifat langsung yaitu dengan penyitaan dan pelelangan barang-barang atau disebut dengan eksekusi yang mana sebelum eksekusi dilakukan, harus dilakukan tahapan seperti pemberian peringatan, teguran, pencicilan pembayaran atau terakhir yang bersifat aktif dengan mengeluarkan surat paksa. Penyanderaan dapat dilakukan dengan kondisi wajib pajak tidak segera melunasi utang pajaknya sementara itu fiskus telah melakukan hal-hal seperti surat teguran, surat paksa, penyitaan. Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya disuatu tempat tertentu. Syarat kuantitatif dan kualitatif diperlukan untuk melakukan penyanderaan dimana syarat kuantitatif adalah utang pajak minimal sebesar Rp100.000.000,- sedangkan syarat kualitatif adalah itikad baiknya wajib pajak. Pejabat yang berwenang untuk melakukan penyanderaan adalah juru sita pajak. Penyanderaan dikenal dengan istilah liftsdwang, di Indonesia dikenal dengan istilah peruluran dan para ahli hukum dibidang perpajakan istilah penyanderaan banyak diperdebatkan karena mengandung konotosi negatif. Juru sita Pajak bertugas: 1.
Melaksanakan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus.
2.
Memberitahukan surat paksa.
1 Timbul Hamonangan Simanjuntak, Dimensi Ekonomi Perpajakan Dalam Pembangunan Ekonomi, Cetakan 1, Raih Asa sukses, Jakarta 2012, Hlm 194
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Fontian. Penyanderaan (Gijzeling) …
152
3.
Melaksanakan penyitaan atas barang penanggung pajak berdasarkan surat perintah melaksanakan penyitaan.
4.
Melaksanakan penyanderaan berdasarkan surat perintah penyanderaan. Penyanderaan terhadap penanggung pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang
pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak karena berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, utang pajak hapus apabila sudah dibayar atau karena kadaluwarsa, dengan demikian penyanderaan penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak sampai dengan utang pajak dilunasi2.
B.
Identifikasi Masalah
1)
Bagaimanakah tindakan penyanderaan (Gijzeling) dalam rangka penegakan hukum perpajakan sebagai kekuatan hukum yang bersifat represif?
2)
Bagaimanakah perlindungan hukum wajib pajak sebagai upaya pembayaran pajak terhadap penyanderaan (Gijzeling)?
C.
Perpajakan Indonesia Konsep keadilan dalam pajak secara umum memiliki dua pengertian yaitu
keadilan horizontal artinya setiap obyek pajak yang sama harus dipajaki sama dan yang kedua adalah keadilan vertikal yang pengertiannya mendekati kepada daya pikul, kemampuan dari setiap masyarakat wajib pajak3. Rochmat Soemitro menyebutkan dalam buku tentang dasar-dasar hukum pajak dan pajak pendapatan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat kontra prestasi langsung yang dapat ditunjukkan serta digunakan untuk membayar pengeluaran umum negara. Soemitro menyebutkan pengertian hukum pajak mengandung tiga unsur yaitu 4 : 1.
Adanya unsur kumpulan peraturan.
2.
Unsur pemerintah atau pemungut pajak.
2
Diaz Priantara, Perpajakan Indonesia, Mitra Wacana Media, Jakarta, Januari 2012, Hlm 130
3
Adrian Sutedi, Hukum Pajak, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, September 2011, Hlm 255 Sumyar, Dasar-Dasar Hukum Pajak Dan Perpajakan, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Andi Offset, Yogyakarta,, 2004, Hlm 1 4
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
153
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
3.
Unsur rakyat sebagai pembayar pajak.
1.
Fungsi Pajak
a.
Fungsi Budgetter Pajak merupakan alat untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara untuk membiayai pengeluaran negara
b.
Fungsi Mengatur – regulen Pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan. Hukum pajak mengandung aspek hukum tata negara dan hukum pidana.
2.
Pengenaan Pajak
a.
Stelsel Pajak (cara memungut pajak) Beberapa cara untuk memungut pajak yang dalam bahasa Belanda disebut stelsel
atau system5. Stelsel pajak terdiri dari tiga sistem yaitu pemungutan pajak di depan, pemungutan pajak di tengah dan pemungutan pajak di belakang. 1)
Stelsel riil/nyata adalah pengenaan pajak yang berdasarkan pada kondisi obyek pajak yang sebenarnya misal penghasilan orang pribadi. Pengenaan pajak ini dengan sistem pemungutan dibelakang (naheffing) yang dilakukan setelah tahun pajak berakhir yang menguntungkan wajib pajak karena jika ada perubahan penghasilan akan dihitung juga pada akhir masa pajak. Negara disisi lain terlambat mendapatkan pemasukan uang dimuka karena pajak akan baru diterima di akhir periode/tahun pajak berakhir.
2)
Stelsel Anggapan (fictieve stelsel). Pengenaan pajak didasarkan pada anggapan hukum (fictie) dasarnya yaitu penghasilan yang diterima oleh wajib pajak sama besarnya setiap tahun pajak. Stelsel ini menerapkan sistem pemungutan pajak di depan (voor heffing). Negara diuntungkan karena uang pajak masuk didepan tetapi akan menjadi lain jika penghasilan wajib pajak berubah. Wajib pajak dapat saja dirugikan jika
5
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Edisi Revisi, Cetakan Kelima, Refika Aditama, Bandung, 2004, Hlm 6
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Fontian. Penyanderaan (Gijzeling) …
154
penghasilan menurun atau negara dirugikan jika penghasilan wajib pajak mengalami kenaikan. 3)
Stelsel Campuran Stelsel ini merupakan campuran dari dua stelsel dimana pengenaan pajak dilakukan pada awal tahun pajak dan akan dikoreksi berdasarkan keadaan yang sesungguhnya. Stelsel ini digunakan pada pajak penghasilan.
3.
Subyek Pajak Subyek pajak adalah orang pribadi, badan atau kesatuan lainnya yang memenuhi
syarat-syarat subyek. Orang pribadi sebagai subyek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subyek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subyek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi: a.
Perseroan terbatas.
b.
Perseroan komanditer.
c.
Perseroan lainnya.
d.
Badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun.
e.
Firma.
f.
Kongsi.
g.
Koperasi.
h.
Dana pensiun.
i.
Persekutuan dan perkumpulan.
j.
Yayasan.
k.
Organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya.
l.
Kontrak investasi kolektif.
m.
Bentuk usaha tetap.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
155
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan subyek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subyek pajak, termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama. a.
Subyek pajak dalam negeri Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan disebutkan bahwa: 1)
Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia yaitu orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
2)
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria: a).
Pembentukannya berdasarkan ketentuan Peraturan perundang-undangan.
b).
Pembiayaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
c).
Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
d).
Pembukuannya diperiksa oleh aparat Pengawasan fungsional negara.
3)
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
b.
Subyek pajak luar negeri
1.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia yaitu orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
2.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Fontian. Penyanderaan (Gijzeling) …
156
dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. 4.
Wajib Pajak Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Orang atau badan yang memenuhi syarat-syarat subyektif merupakan subyek pajak, tetapi belum tentu merupakan wajib pajak dimana untuk menjadi wajib pajak, subyek pajak itu harus memenuhi syarat-syarat obyektif yaitu menerima penghasilan kena pajak (PKP). Kewajiban pajak merupakan kewajiban publik dan tidak dapat dialihkan ke pihak lain. Subyek pajak secara teoritis akan berubah statusnya menjadi wajib pajak apabila yang bersangkutan memperoleh penghasilan kena pajak dan akan berlaku sebaliknya apabila yang bersangkutan tidak lagi memperoleh penghasilan6.
D.
Ketetapan Pajak Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kepatuhan kewajiban perpajakan WP dilakukan dengan menelusuri kebenaran SPT, pembukuan atau pencatatan dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari WP7. Pemeriksa pajak dapat membuat ketetapan pajak yang mana ketetapan pajak tersebut sudah merupakan produk hukum dan apabila wajib pajak tidak memberikan tanggapan tertulis atau tidak menghadiri pembahasan akhir hasil pemeriksaan wajib dibuatkan berita acara tidak memberikan tanggapan/berita acara ketidakhadiran WP 6 7
Rochmat Soemitro, Op.cit, Hlm 64 Diaz Priantara, Perpajakan Indonesia, Mitra Wacana Media, Tanpa Kota, Januari 2012, Hlm 61
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
157
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
dan SKP (surat ketetapan pajak) dan STP (surat tagihan pajak) diterbitkan berdasarkan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan yang disampaikan kepada WP atau berdasarkan tanggapan tertulis WP yang disetujui oleh pemeriksa8. Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi surat ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, surat ketetapan pajak nihil, atau surat ketetapan pajak lebih bayar. Pasal 1 Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 selanjutnya disebut dengan UU KUP disebutkan bahwa: 1.
Surat ketetapan pajak kurang bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
2.
Surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
3.
Surat ketetapan pajak nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
4.
Surat ketetapan pajak lebih bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang. Surat ketetapan pajak berfungsi sebagai berikut9:
1.
Sarana untuk melakukan koreksi fiskal terhadap WP tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban materiil dalam memenuhi ketentuan perpajakan.
2.
Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi perpajakan.
3.
Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak.
4.
Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar.
8
Djoko Mulyono, Hukum Pajak, Konsep Dan Aplikasi Dan Penuntun Praktis, Andi, Yogyakarta 2010, Hlm 176 9 Aristanti Widyaniingsih, Hukum Pajak Dan Perpajakan Dengan Pendekatan Mind Map, Cetakan Kesatu, Alfabeta, Bandung, 2011, Hm 245
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Fontian. Penyanderaan (Gijzeling) …
158
5.
Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang. Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah: 1.
Pada suatu saat, untuk pajak penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga.
2.
Pada akhir masa, untuk pajak penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh pengusaha kena pajak atas pemungutan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah.
3.
Pada akhir tahun pajak, untuk pajak penghasilan. Direktorat jenderal pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan
pajak atas semua surat pemberitahuan yang disampaikan wajib pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada wajib pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian surat pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak.
E.
Cara Hapusnya Utang Pajak Beberapa cara yang dapat diterapkan bagi hapusnya utang pajak sebagai berikut:
1.
Pembayaran Utang pajak akan hapus jika dilakukan pembayaran lunas dengan cara yang sesuai dengan undang-undang. Pembayaran lunas harus dilakukan dengan mata uang Rupiah Indonesia
2.
Kompensasi (perjumpaan utang) Dapat dilakukan apabila terjadi adanya kelebihan pembayaran dari jenis pajak yang lain sehingga dapat diperhitungkan kelebihan tersebut terhadap kekurangan pembayaran pajak lainnya. Cara ini hanya dapat dilakukan dengan kondisi sbb :
3.
a).
Utang pajak yang satu dengan utang pajak jenis lain.
b).
Utang pajak yang satu jenis, tetapi dari tahun yang berbeda.
Pembebasan
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
159
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
Ada dua macam pembebasan yaitu : 1)
Kwijtschelding (peniadaan utang) Hapusnya pajak karena ditiadakan oleh fiskus dengan alasan tertentu.
2)
Ontheffing (pembebasan) Hapusnya utang pajak karena subyek pajak telah memenuhi hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang untuk dibebaskan. Sebelum diberikannya pembebasan ini subyek pajak telah dikenakan pajak terlebih dahulu.
4.
Daluwarsa (verjaring) Daluwarsa diatur dalam KUH Perdata pasal 1946 dimana disebutkan bahwa daluwarsa adalah alat untuk memperoleh suatu hak atau dibebaskan dari suatu kewajiban karena lampaunya suatu jangka waktu sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang
5.
Pembatalan Dalam hukum pajak tidak ada perikatan yang batal demi hukum berdasarkan ajaran
material. Pajak hanya dapat dibatalkan jika
surat ketetapan pajak
dibatalkan oleh pejabat yang berwenang menurut ajaran formal.
F.
Sanksi Pajak Dalam hukum pajak dikenal dua macam hukuman yaitu :
1.
Hukuman administrasi (tata usaha) Adanya tambahan akibat dari utang pajak. Tidak menyampaikan SPT pajak penghasilan akan dikenakan pidana denda atau pidana penjara.
2.
Hukuman pidana (strafrechtelijk) Hukuman pidana dijatuhkan oleh hakim dapat berupa denda sejumlah uang atau hukuman penjara sesuai dengan kesalahan yang diperbuat wajib pajak.
G.
Penagihan Pajak Fiskus memiliki peraturan-peraturan untuk memberikan tindakan-tindakan yang
harus diambil berupa pemaksaan agar wajib pajak membayar pajaknya untuk menghindari para wajib pajak tidak memenuhi kewajibannya. Pemaksaan ada yang
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Fontian. Penyanderaan (Gijzeling) …
160
bersifat langsung yaitu dengan penyitaan dan pelelangan barang-barang yang berutang atau lazimnya disebut dengan eksekusi. Pasal 1 angka 9 dalam UU Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa selanjutnya disebut dengan UU Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa disebutkan bahwa penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita. Juru sita pajak melaksanakan penyanderaan berdasarkan surat perintah penyanderaan dari pejabat sesuai dengan izin yang diberikan oleh menteri atau gubernur. Penyanderaan tetap dapat dilaksanakan terhadap penanggung pajak yang telah dilakukan pencegahan dimana biaya penyanderaan dibebankan kepada penanggung pajak yang disandera dan diperhitungkan sebagai biaya penagihan pajak10. Sita dan lelang merupakan alat paksa yang bersifat langsung dalam pelunasan pajak, walaupun penanggung pajak tidak membayar pajak yang terutang tetapi karena penguasaan atas kekayaan miliknya telah ada pada fiskus, fiskus berwenang untuk melelangnya guna mendapatkan uang untuk pelunasan utang pajak tersebut11. Penyanderaan merupakan alat paksa yang bersifat tidak langsung dimana fiskus diberikan kewenangan yang berkenaan dengan diri wajib pajak yaitu penyitaan atas badan (diri) orang yang berutang pajak yang disebut dengan sita badan atau penyanderaan (gizeling)12. Penyanderaan dalam hukum pajak sama dengan penyanderaan dalam hukum perdata mengingat perikatan yang terjadi dalam hukum pajak antara wajib pajak
10
Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Formal, Cetakan Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta 2010, Hlm
143 11
Marihot P. Siahaan, Utang Pajak Pemenuhan Kewajiban dan Penagihan Dengan Surat Paksa, Cetakan Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, September, 2004, Hlm 555 12 Ibid, Hlm 556
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
161
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
dengan negara dasarnya adalah sesuai dengan perikatan yang diatur dalam hukum perdata yaitu perikatan yang lahir karena undang-undang13. Peraturan Pemerintah nomor 137 tahun 2000 Tentang Tempat Dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, Dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa dalam pasal 4 selanjutnya disebut dengan PP nomor 137 tahun 2000, permohonan izin penyanderaan memuat sekurangkurangnya : 1.
Identitas Penanggung Pajak yang akan disandera.
2.
Jumlah utang pajak yang belum dilunasi.
3.
Tindakan penagihan pajak yang telah dilaksanakan.
4.
Uraian tentang adanya petunjuk bahwa Penanggung Pajak diragukan itikad baik.
5.
Pelunasan utang pajak. PP Nomor 137 Tahun 2000 selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan bahwa
penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung pajak yang tidak melunasi utang pajak setelah lewat jangka waktu 14 hari terhitung sejak tanggal surat paksa diberitahukan kepada penanggung pajak. Surat Perintah Penyanderaan dalam pasal 5 PP Nomor 137 Tahun 2000 memuat sekurang-kurangnya : 1.
Identitas penanggung pajak.
2.
Alasan penyanderaan.
3.
Izin penyanderaan.
4.
Lama penyanderaan.
5.
Tempat penyanderaan. Sebelum eksekusi dilakukan harus dilakukan tahapan sbb14:
1.
Dengan cara memberikan peringatan.
2.
Memberikan teguran.
3.
Disusul dengan aturan pencicilan pembayaran atau tidak serta terakhir yang bersifat aktif dengan mengeluarkan surat paksa.
13
Marihot P. Siahaan, Utang Pajak Pemenuhan Kewajiban dan Penagihan Dengan Surat Paksa, Cetakan Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, September, 2004, hlm 595 14 R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukuk Pajak, edisi ke 4, cetakan pertama , Refika Aditama, Bandung, Juni, 2003, Hlm 196
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Fontian. Penyanderaan (Gijzeling) …
162
Wajib pajak dapat dilakukan tindakan penagihan pajak oleh fiskus apabila wajib pajak tidak membayar sesuai dengan ketentuan atau membayar pajak sebagaimana mestinya15. Kondisi tertentu memungkinkan fiskus dapat melakukan penagihan pajak tanpa menunggu jatuh tempo pembayaran pajak. Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang no 19 tahun 2000 dikatakan bahwa juru sita pajak dapat melakukan penagihan pajak dengan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus diterbitkan apabila : 1.
Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama lamanya atau berniat untuk itu.
2.
Penanggung pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan.
3.
Terdapat tanda-tanda bahwa penanggung pajak akan membubarkan badan usahanya,
menggabungkan
usahanya
memekarkan
usahanya,
memindahtangankan perusahaan yang dimiliki/ dikuasainya atau melakukan perubahan bentuk lainnya 4.
Badan usaha akan dibubarkan oleh negara.
5.
Terjadi penyitaan atas barang penanggung pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda tanda kepailitan.
H.
Surat Paksa Setelah diberikan teguran wajib pajak tetap tidak melakukan kewajibannya
terhitung 21 hari maka akan diterbitkan surat paksa oleh dirjen pajak cq kantor pelayanan pajak. Pengeluaran surat paksa tersebut tidak melalui proses pengadilan. Surat paksa berupa ketentuan tertulis mempunyai titel executioral yang mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan hakim yang tidak dapat diajukan banding ataupun kasasi. Surat paksa secara substansial beriskan perintah-perintah kepada wajib pajak untuk membayar pajak terutangnya beserta jangka waktu yang diberikan untuk memenuhi kewajibannya dan dengan ancaman akan dilakukan penyitaan jika
15
Marihot P. Siahaan, Utang Pajak Pemenuhan Kewajiban dan Penagihan Dengan Surat Paksa, Cetakan Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, September, 2004, Hlm 356
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
163
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
pembayaran tidak dilakukan. Penyampaian surat tidak boleh melalui pos, dan harus dilakukan oleh juru sita. Surat paksa secara umum yang berisikan perintah untuk membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak diterbitkan jika memenuhi hal- hal sebagai berikut16: 1.
Penanggung pajak (PP) tidak melunasi utang pajak sampai dengan jatuh tempo dan telah diterbitkan surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis.
2.
Bahwa terhadap penanggung pajak telah dilakukan penagihan seketika dan sekaligus.
3.
Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Terbitnya surat paksa diawali dengan terbitnya surat teguran yang mana surat
teguran diterbitkan karena wajib pajak tidak membayar pajaknya setelah jatuh tempo tujuh hari lamanya.
I.
Sita (beslag) Penyitaan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh juru sita pajak untuk
menguasai barang penanggung pajak untuk dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku17. Penyitaan juga sangat diperlukan dalam hukum pajak selain dalam hukum perdata dan hukum pidana. Penyitaan merupakan tindakan penagihan lebih lanjut setelah surat paksa yang diterbitkan selama 2 hari (2*24 jam) tidak dipatuhi berupa pembayaran pajak terutang. Segala bentuk kekayaan dari pada wajib pajak dapat dijadilan obyek sita yang sebanding nilanya dengan utang wajib pajak tersebut. Juru sita adalah pihak yang berwenang melakukan penyitaan dengan membawa surat perintah dari kepala kantor pelayanan pajak. Beberapa barang dikecualikan dalam penyitaan yaitu: a.
Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
16
Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, Edisi Revisi, Salemba Empat, Jakarta, 2004, hlm
17
Marihot P. Siahaan Op.cit, hlm 41
40
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Fontian. Penyanderaan (Gijzeling) …
164
b.
Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang berada di rumah.
c.
Perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara.
d.
Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan penanggung pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan.
e.
Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp20.000.000,Penyitaan tidak mengubah status kepemilikan suatu barang, yang terjadi adalah
penguasaan barang tersebut yang mana barang tersebut dapat saja dititipkan oleh penanggung pajak atau orang lain dan tetap dapat dipakai selama status kepemilikan barang tersebut tidak berpindah dan merusak barang-barang tersebut. Barang sitaan akan dilikuidasi melalui pelelangan untuk melunasi utang pajaknya jika setelah penyitaan dilakukan dan wajib pajak belum membayar kewajiban pajaknya maka
J.
Penyanderaan Upaya yang dilakukan fiskus untuk memaksa wajib pajak membayar pajaknya
adalah dengan beberapa langkah pemaksaan. Upaya terakhir adalah dengan penyanderaan atau sita badan yang merupakan alat paksa yang bersifat tidak langsung. Sandera adalah alat paksa lainnya yang akan digunakan jika upaya-upaya diatas tidak mengalami kemajuan. Penyanderaan tidak masuk lapangan hukum pidana karena sandera merupakan alat paksa perdata. Kondisi sandera tidak seperti penjara umumnya yang diperlakukan seperti terpidana. Wajib pajak akan ditempatkan pada suatu tempat tertentu yang membatasi ruang geraknya yang nantinya akan membuat ia merasa tidak nyaman dengan harapan agar wajib pajak segera membayar utangnya. Pencegahan juga merupakan satu cara untuk membatasi ruang gerak wajib pajak dari aktifitasnya dengan anggapan wajib pajak dapat memperlambat atau mempersulit proses penagihan pajak. Fiskus dapat melakukan penyanderaan jika wajib pajak tidak segera melunasi utang pajaknya setelah fiskus melakukan hal-hal seperti surat teguran, surat paksa,
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
165
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
penyitaan. Syarat kuantitatif dan kualitatif diperlukan untuk melakukan penyanderaan yang mana syarat kuantitatif adalah utang pajak sebesar Rp100.000.000,- sedangkan syarat kualitatif adalah mengenai itikad baiknya. Pejabat yang berwenang untuk melakukan penyanderaan adalah juru sita pajak. PP 137 Tahun 2000 dalam pasal 7 disebutkan bahwa jangka waktu penyanderaan selama-lamanya 6 bulan terhitung sejak penanggung pajak ditempatkan dalam tempat penyanderaan dan dapat diperpanjang untuk paling lama 6 bulan. Surat penyanderaan harus disampaikan langsung kepada penanggung pajak dan salinannya disampaikan kepada kepala tempat penyanderaan dengan 2 orang saksi. Mahkamah Agung dalam hal ini juga menerbitkan Perma nomor 1 tahun 2000 tentang lembaga paksa badan. Tempat penyanderaan bagi wajib pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut18 : 1.
Tertutup dan terasing dari masyarakat.
2.
Mempunyai fasilitas terbatas.
3.
Mempunyai sistem pengamanan dan pengawasan yang memadai. Persyaratan untuk melepasakan penyanderaan adalah :
1.
Utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas.
2.
Jangka waktu yang ditetapkan dalam surat perintah penyanderaan telah dipenuhi.
3.
Berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
4.
Berdasarkan pertimbangan tertentu menteri keuangan. Penanggung pajak yang disandera dapat melakukan gugatan terhadap penyanderaan dirinya untuk memberikan rasa keadilan tetapi tidak dapat diajukan selama yang bersangkutan dalam penyanderaan. Penyanderaan tidak dapat dilakukan dalam kondisi sbb:
1.
Penanggung pajak sedang beribadah.
2.
Penanggung pajak sedang mengikuti sidang resmi.
3.
Penanggung pajak sedang mengikuti pemilu.
18
Marihot P. Siahaan, Op.cit, hlm 572
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Fontian. Penyanderaan (Gijzeling) …
166
Pasal 11 PP No 5 Tahun 1998 Tentang Penyanderaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa disebutkan juga bahwa penanggung Pajak yang melarikan diri dari tempat penyanderaan disandera kembali berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang dahulu diterbitkan terhadapnya, yang mana masa penyanderaan kembali adalah sama dengan masa penyanderaan menurut Surat Perintah Penyanderaan yang dahulu diterbitkan terhadapnya tanpa memperhitungkan masa penyanderaan yang telah dijalani sebelum Penanggung Pajak melarikan diri. Biaya penyanderaan dibebankan kepada Penanggung Pajak yang disandera dan diperhitungkan sebagai biaya penagihan pajak sesuai dengan paal 13 pada PP yang sama, termasuk dalam biaya penyanderaan antara lain, biaya hidup selama dalam penyanderaan di rumah tahanan negara dan biaya penangkapan dalam hal Penanggung Pajak melarikan diri dari rumah tahanan negara. Biaya penyanderaan merupakan salah satu biaya penagihan yang harus ditanggung oleh Penanggung pajak yang disandera. PP Penyanderaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa mengatur tentang pemulihan nama baik (rehabilitasi) dan ganti rugi bagi penanggung pajak jika gugatannya dimenangkan oleh pengadilan. Rehabilitasi nama baik dilaksanakan oleh Pejabat dalam bentuk satu kali pengumuman pada media cetak harian yang berskala nasional dengan ukuran yang memadai, yang dilakukan paling lambat 30 hari sejak diterimanya permohonan Penanggung Pajak. Besarnya ganti rugi yang diberikan Pejabat kepada Penanggung Pajak adalah sebesar Rp100.000,- hari selama masa penyanderaan yang telah dijalaninya. Ganti rugi diberikan paling lambat 30 hari sejak diterimanya permohonan Penanggung Pajak di pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
K.
Analisis
1
Penyanderaan (Gijzeling) dalam rangka penegakan hukum perpajakan sebagai kekuatan hukum yang bersifat represif Hukum pajak adalah hukum yang tunduk kepada norma- norma hukum19.
Hukum harus memiliki kekuatan paksa agar mempunyai wibawa kepada para pelaku hukum. Hukum pajak mengatur semua milik wajib pajak yang dimiliki sekarang atau 19
Rochmat Soemitro, Op.cit, Hlm 90
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
167
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
dikemudian hari baik berupa harta bergerak maupun harta tidak bergerak yang menjadi jaminan untuk pembayaran pajaknya, dan paksaan dapat dilakukan dengan secara langsung (parate executie) tanpa melalui pengadilan. Perma nomor 1 tahun 2000 tentang lembaga paksa badan menekankan pada dua hal yaitu : a.
Penegasan perbuatan hukum debitor, penanggung atau penjamin utang yang tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar kembali utang-utangnya dengan kondisi mampu untuk membayar. Hal ini merupakan pelanggaran hak azasi manusia yang nilainya lebih besar daripada pelanggaran hak azasi atas pelaksanaan paksa badan terhadap yang bersangkutan.
b.
Istilah Imprisonment for civli debts yang memberikan kesan terjadinya intervensi hukum pidana terhadap masalah-masalah perdata (utang piutang). Penyanderaan yang dilakukan terhadap penanggung pajak sebenarnya tidak
melakukan
tindakan
pidana
sehingga
wajib
pajak
tidak
boleh
dirampas
kemerdekaannya, tetapi lembaga penyanderaan tetap harus diberlakukan mengingat penanggung pajak tersebut melakukan pelanggaran hukum pajak yaitu tidak membayar pajak yang terutang tepat waktu dan tidak mengindahkan tindakan penagihan pajak yang telah dilakukan oleh juru sita pajak terhadapnya20. Tindakan imprisonment dalam ruang lingkup masalah utang piutang
dalam
bentuk gijzeling adalah tindakan kriminalisasi terbatas yang mempunyai tujuan positif bukannya balas dendam21. Penyanderaan dalam hukum pajak dilakukan karena wajib pajak bukannya melakukan tindakan pidana perpajakan melainkan hanya tidak membayar kewajiban pajaknya setelah dilakukan beberapa upaya penagihan berupa pemaksaan oleh fiskus yang tidak melewati jalur pengadilan atau putusan hakim seperti halnya dalam perkara pidana. Konteks pemaksaan dalam ruang lingkup keperdataan menjadi sebanding dengan tujuan pengumpulan atau mobilisasi pajak sebagai dana utama dalam APBN untuk kelangsungan pembangunan. Penyanderaan dengan cara melakukan pengurungan terhadap wajib pajak merupakan kombinasi antara pemaksaan secara perdata dan 20
Marihot P. Siahaan, Utang Pajak Pemenuhan Kewajiban Dan Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, Cetakan Pertama, Rajawali Pers, Jakarta, September 2004, Hlm 586 21 Ibid, hlm 26
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Fontian. Penyanderaan (Gijzeling) …
168
secara pidana dengan melakukan pemaksaan terhadap diri subyek hukum sebagai pihak yang disandera yang memiliki utang berupa pengurungan. Penyanderaan ini bukan terhadap obyek hukum pajak yang memiliki nilai ekonomis yang akhirnya dapat dijual tetapi lebih mengarah kepada pemaksaan terhadap subyek hukum pajak untuk mau membayar utang pajaknya. Utang pajak dengan sendirinya akan hapus jika pada masa penyanderaan wajib pajak membayar utang pajaknya. Perikatan yang timbul karena undang-undang salah satunya dalam ruang lingkup hukum perpajakan yang mana kesetaraan antara pihak yaitu fiskus dalam hal ini adalah negara dengan pihak wajib pajak yaitu masyarakat tidak berimbang. Penyanderaan dalam hukum perpajakan sangat diatur pelaksanaannya agar tidak melanggar hak azasi manusia karena yang dikenakan sita adalah subyek hukum wajib pajak, hal tersebut terlihat dalam pelaksanaan penyanderaan terhadap utang pajak yang telah melebihi 14 hari terhitung sejak wajib pajak menerima surat paksa untuk melunasi utang pajaknya. Penyanderaan merupakan alat paksa yang bersifat ekstra psikologis terhadap wajib pajak yang menganggu kenyamanan dan kebebasannya karena permasalahan yang terjadi adalah itikad baiknya si wajib pajak untuk melunasi utang pajaknya. Permasalahan yang akan timbul adalah jika masa penyanderaan tersebut berakhir karena pembatasannya adalah 2*6 bulan si wajib pajak tetap tidak beritikad baik untuk memenuhi kewajibannya. Penyanderaan dalam HIR mengandung perbedaan yang signifikan karena melihat dari perspektif upaya terakhir jika tidak ada barang-barang wajib pajak yang mencukupi untuk memenuhi tanggung jawab pajaknya. Pasal 209 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) mengatur tentang penyanderaan yang mana disebutkan bahwa jika tidak ada atau tidak cukup barang untuk memastikan penjalanan keputusan, maka ketua pengadilan negeri atas permintaan pihak yang menang dengan lisan atau dengan surat, memberi perintah dengan surat pada orang yang berkuasa untuk menjalankan surat sita, supaya orang yang berhutang itu disenderakan (digijzel). Penyanderaan merupakan cara-cara eksekusi putusan hakim selain melakukan penyitaan dan menjual lelang barang milik pihak yang kalah apabila tidak memenuhi putusan hakim. Penyanderaan menurut HIR adalah menyuruh tahan pihak yang kalah
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
169
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
di dalam rumah lembaga pemasyarakatan dengan maksud untuk memaksanya supaya memenuhi keputusan Hakim. Alat eksekusi penyanderaan itu hanya boleh dipergunakan, jika barang-barang untuk memenuhi isi keputusan itu tidak ada atau tidak cukup. Ini adalah alat eksekusi yang penting sifatnya, karena menyangkut kebebasan manusia. Biaya penahanan itu, terutama biaya pemeliharaan orang yang disandera, untuk sementara ditanggung oleh pihak yang mengajukan permintaan untuk menyandera. Ongkos-ongkos itu di kemudian hari, kalau orang yang ditahan itu memenuhi sanderanya, akan disuruh menanggung oleh yang disanderakan seperti yang disebutkan dalam pasal 216 HIR. Pasal 216 HIR disebutkan bahwa segala biaya pemeliharaan orang yang disanderakan itu dipertanggungkan pada pihak yang dapat izin akan menyanderakan itu, dan akan dibayarnya lebih dahulu kepada penjaga penjara tiap-tiap kali untuk tiga puluh hari lamanya, menurut aturan yang telah ada untuk hal itu, atau yang akan diadakan oleh Menteri Kehakiman. Jika penagih utang itu tidak memenuhi kewajiban ini sebelum hari yang ketiga puluh satu, maka atas permintaan barang yang berutang itu atau atas permintaan penjaga penjara, ketua pengadilan negeri dengan segera memberi perintah supaya orang yang berutang itu dilepaskan dari penyanderaan. Pasal 210 HIR disebutkan bahwa penyanderaan itu diperintahkan untuk enam bulan lamanya, karena hukuman membayar sampai seratus rupiah; untuk setahun lamanya, karena hukuman membayar lebih dari seratus sampai tiga ratus rupiah; untuk dua tahun lamanya, karena hukuman membayar lebih dari tiga ratus sampai lima ratus rupiah; untuk tiga tahun lamanya, karena hukuman membayar lebih dari lima ratus rupiah.Biaya perkara yang turut ditanggungnya tidak termasuk pada waktu menghitung yang tersebut di atas ini. Penyanderaan yang dikenakan kepada pihak yang kalah tidak dapat dibebankan kepada anak dan turunan keluarganya sedarah dan keluarganya semenda dalam keturunan yang ke atas sesuai dengan pasal 211 HIR Pihak yang berutang tidak dapat dikenakan tindakan penyanderaan dalam kondisi sebagai berikut: a.
Di dalam rumah, yang dipergunakan untuk melakukan agama, selama ada kebaktian.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Fontian. Penyanderaan (Gijzeling) …
170
b.
Pada tempat-tempat, di mana kuasa umum bersidang, selama ada. Pihak yang dikenakan penyanderaan berdasarkan pasal 213 HIR dapat
mengajukan perlawanan terhadap penjalanan penyanderaan itu, berdasarkan pernyataan bahwa perbuatan itu melawan hukum dan atas itu ia meminta putusan dengan segera. Ketua pengadilan negeri memerintahkan penyanderaan itu atau patut atau tidaknya orang yang berutang itu disanderakan dahulu dan sementara itu menangguhkan penyanderaan sampai dengan perlawanan itu diputuskan oleh pengadilan negeri. Putusan pengadilan negeri atas keberatan dilakukan penyanderaan terhadap pihak yang berutang dapat diajukan banding ke pengadilan tinggi, akan tetapi dalam hal ini putusan pengadilan negeri itu boleh juga dijalankan lebih dahulu. Pasal 221 HIR dijelaskan bahwa walaupun telah dijalankan paksaan badan, maka segala barangbarang orang yang berutang itu masih tetap menanggung utangnya yang menyebabkan ia disanderakan. Asas perundang-undangan Lex Specialis Derogat Legi Generali berlaku bagi HIR, karena telah terbit UU KUP yang lebih khusus mengatur tentang tata cara perpajakan yang mengatur hal berbeda dalam konteks langkah yang harus ditempuh terlebih dahulu sebelum dapat dilakukannya penyanderaan. 2.
Perlindungan hukum wajib pajak dikaitkan dengan Penyanderaan (Gijzeling) sebagai upaya pembayaran pajak Pasal 1 Angka 5 UU Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa disebutkan bahwa
pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Juru sita Pajak, menerbitkan: a.
Surat perintah penagihan seketika dan sekaligus.
b.
Surat paksa.
c.
Surat perintah melaksanakan penyitaan.
d.
Surat pencabutan sita.
e.
Pengumuman lelang.
f.
Surat penentuan harga limit.
g.
Pembatalan lelang.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
171
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
h.
Surat perintah penyanderaan dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan penanggung pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak menurut undang-undang dan peraturan daerah. Juru sita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi
penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan surat paksa, penyitaan dan penyanderaan. Penyanderaan harus merupakan tindakan terakhir jalan tersebut hanya akan ditempuh jika tidak ada jalan lain lagi dan pula hanya bilamana ternyata bahwa yang terutang pajak walaupun ia mampu membayar utang pajaknya itu enggan atau tidak sudi memenuhi kewajibannya22. Tahapan yang dilakukan pada penyanderaan merupakan tahapan terakhir bagi jurusita pajak agar wajib pajak membayar utang pajakanya, hal ini menggambarkan bahwa proses tersebut merupakan proses yang selektif dan ketat agar dapat memberikan kesempatan bagi wajib pajak memenuhi kewajibannya yang merupakan juga secara tidak langsung memberikan perlindungan hukum bagi wajib pajak. Tahapan penyanderaan dapat dipersamakan dengan tindakan terakhir dalam prinsip pidana yaitu ultimum remedium dalam arti sempit setelah tahapan administratif tidak efektif bagi wajib pajak maka tindakan penyanderaan merupakan upaya terakhir setelah tindakan administratif lainnya yang telah diterapakan tidak berhasil. Norma administratif merupakan watch dog yaitu alat pemaksa berupa ketentuan pidana supaya norma-norma administratif tersebut ditaati23 yang mana dalam konteks pajak alat pemaksa tersebut adalah norma adminstratif terhadap ketentuan kombinasi administratif dan pidana dalam UU Perpajakan. Wajib pajak yang tidak memiliki itikad baik dalam kondisi mampu untuk memenuhi kewajiban pajaknya merupakan pengecualian untuk melakukan penerapan tahapan diatas karena kemauan pembayar pajak diragukan itikad baiknya. Pajak merupakan perikatan yang terbentuk berdasarkan undang-undang bukannya perjanjian yang mana hal ini menunjukkan pentingnya pajak bagi negara dan itikad baik bagi wajib pajak merupakan hal yang penting untuk dapat memenuhi target penerimaan 22
R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Cetakan keduapuluh dua, Oktober 2010, Refika Aditama, Hlm 202 23 Eddy O.S Hiariej, Perkembangan Hukum Pidana Pajak, Cetakan Pertama, Remaja Rosdakarya, Bandung, Agusutus, 2003, Hlm 203
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Fontian. Penyanderaan (Gijzeling) …
172
negara demi biaya pembangunan nasional sehingga pemaksaan dengan cara penyanderaan layak dikenakan kepada wajib pajak yang tidak beritikad baik Hakikat penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya dirumah tahanan negara, hal ini mirip atau hampir sama dengan penahanan tersangka pelaku tindak pidana, maka penyanderaan penanggung pajak dilaksanakan secara sangat selektif, hati-hati dan merupakan upaya terakhir penagihan pajak24. Penyanderaan yang dikenakan kepada wajib pajak tidak merupakan bagian dari sanksi pajak yang bersifat administratif atau hukuman pidana tapi merupakan suatu cara yang bersifat represif secara terbatas kepada wajib pajak agar membayar utang pajaknya. Sita dan lelang merupakan alat paksa atas kekayaan milik wajib pajak yang telah ada/dikuasai oleh fiskus yang mana fiskus berwenang untuk melelangnya untuk pelunasan utang pajak sementara itu penyanderaan adalah alat paksa yang bersifat tidak langsung yang mana fiskus diberikan kewenangan melakukan penyitaan atas badan (diri) orang yang berutang pajak. Perlindungan wajib pajak terhadap penyanderaan didominasi dalam tahapan menuju tindakan penyanderaan berupa tahapan peringatan dan teguran yang mana penyanderaan merupakan alat tekan kepada wajib pajak dengan membatasi kemerdekaannya secara terbatas. Penyitaan terhadap benda yang memiliki nilai ekonomis dengan penyitaan terhadap diri wajib pajak sama-sama memiliki substansi jaminan pembayaran utang pajak, yang mana perbedaan prinsip terkandung dalam hal benda yang disita dapat dilikuidasi untuk pembayaran utang pajak, sedangkan penyanderaan yang mendorong itikad baik wajib pajak untuk membayar utang pajaknya tidak mengandung nilai ekonomis langsung, melainkan mengandung nilai psikologis ekonomis. Kebendaan yang dapat dikenakan penyitaan adalah sebagai berikut25: a.
Kebendaan yang dimiliki terpidana atau untuk keseluruhannya atau sebagian dipergunakannya sendiri atau baik untuk keseluruhan ataupun sebagian diperolehnya karena tindak pidana yang dilakukan
24
Anang Mury Kurniawan, Upaya Hukum Terkait dengan Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak, Edisi Pertama, Graha Ilmu, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 2011, Hlm 144 25 Jan Remmenlink, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003, Hlm 500
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
173
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
b.
Kebendaan yang telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana yang bersangkutan.
c.
Kebendaan dengan bantuan mana tindak pidana dilakukan dan dipersiapkan.
d.
Kebendaan dengan bantuan mana penyidikan kejahatan yang bersangkutan dihalang-halangi.
e.
Kebendaan yang dibuat atau dimaksudkan untuk melakukan suatu tindak pidana.
f.
Hak-hak kebendaan atas atau hak-hak perseorangan berkenaan dengan kebendaan yang disebutkan dalam huruf a-e Istilah Imprisonment for civil debts memberikan kesan terjadinya intervensi
hukum pidana sebagai bagian hukum publik terhadap masalah masalah perdata (utang piutang)26. Dalam cakupan sempit dalam tindak pidana korupsi terdapat kesamaan terhadap pidana uang pengganti. Tindakan belum melunasi pajak bukan merupakan tindakan pidana, tindakan pidana baru dapat dikenakan jika wajib pajak melakukan perbuatan pidana yang dilarang dalam undang-undang perpajakan. PP No 137 Tahun 2000 dalam Pasal 16 Tentang Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak Dan Pemberian Ganti Rugi Disebutkan Bahwa: a.
Dalam hal gugatan penanggung pajak dikabulkan oleh pengadilan dan putusan pengadilan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap, penanggung pajak dapat mengajukan permohonan rehabilitasi nama baik dan ganti rugi.
b.
Permohonan penanggung pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pejabat yang menerbitkan surat perintah penyanderaan.
c.
Rehabilitasi nama baik dilaksanakan oleh pejabat dalam bentuk 1 kali pengumuman pada media cetak harian yang berskala nasional dengan ukuran yang memadai, yang dilakukan paling lambat 30 hari sejak diterimanya permohonan penanggung pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
d.
Besarnya ganti rugi yang diberikan pejabat kepada penanggung pajak adalah sebesar Rp100.000,- setiap hari selama masa penyanderaan yang telah dijalaninya.
26
Jurnal Hukum Bisnis, Lembaga Paksa Badan, Volume 15, September Jakarta, 2001, hlm 25
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Fontian. Penyanderaan (Gijzeling) …
174
e.
Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diberikan paling lambat 30 hari sejak diterimanya permohonan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
f.
Tata cara pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Perlindungan hukum bagi wajib pajak cukup jelas diatur dalam PP No 137 Tahun
2000 terhadap penyanderaan berupa rehabilitasi nama baik wajib pajak dan ganti rugi ekonomis berupa uang harian atas penyanderaan diri wajib pajak.
KESIMPULAN 1.
Gijzeling merupakan upaya terakhir yang bersifat represif ekonomis, berupa pengekangan terhadap kebebasan wajib pajak sementara waktu, yang cukup memadai secara moral dan psikologis bagi wajib pajak yang tidak mempunyai itikad baik untuk membayar pajak. Gijzeling harus dilakukan secara hati-hati sesuai dengan peraturan yang berlaku, karena jika tidak akan menghasilkan ekses kontra produktif yang tidak sesuai dengan tujuannya.
2.
Perlindungan
hukum
bagi
wajib
pajak
dengan
diterapkannya
upaya
penyanderaan telah diatur secara rinci berupa syarat kuantitatif dan kualitatif serta harus melalui tahapan-tahapan lainnya terlebih dahulu, kecuali terhadap langkah fiskus yang akan dilakukan jika waktu penyanderaan berakhir sementara itu wajib pajak belum sanggup membayar kewajiban pajaknya .
SARAN 1.
Sebaiknya Gijzeling tidak dilakukan dalam rumah tahanan negara tetapi berupa tahanan rumah khusus yang disediakan dan dikontrol sepenuhnya oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan maksud kondisi rumah tahanan khusus tersebut dapat dikondisikan
secara
spesifik
untuk
memaksa
wajib
pajak
memenuhi
kewajibannya mengingat langkah penyanderaan merupakan upaya perdata yang bersifat represif. 2.
Perlindungan hukum bagi wajib pajak termasuk gugatan yang dikabulkan oleh pengadilan berupa rehabilitasi yang memadai misal pemberitaan tidak hanya
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
175
Media Justitia Nusantara No. 10 Vol. 1 September 2015
pada 1 surat kabar tetapi 2 surat kabar berskala nasional agar nama baik subyek pajak terpulihkan dengan maksimal dan pengaturan lebih rinci terhadap wajib pajak yang tetap tidak mampu membayar pajaknya setelah upaya penyanderaan telah dilakukan oleh fiskus.
DAFTAR PUSTAKA
Adrian Sutedi, Hukum Pajak, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta,September 2011 Aristanti Widyaniingsih, Hukum Pajak Dan Perpajakan Dengan Pendekatan Mind Map, Cetakan Kesatu, Alfabeta, Bandung, 2011 Anang Mury Kurniawan, Upaya Hukum Terkait dengan Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak, Edisi Pertama, Graha Ilmu, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 2011 Diaz Priantara, Perpajakan Indonesia, Mitra Wacana Media, Jakarta, Januari 2012 Djoko Mulyono, Hukum Pajak, Konsep dan aplikasi dan penuntun praktis, Andi, Yogyakarta 2010 Eddy O.S Hiariej, Perkembangan Hukum Pidana Pajak, Cetakan Pertama, Remaja Rosdakarya, Bandung, Agusutus, 2003 Remmenlink Jan, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003, Hlm 500 Jurnal Hukum Bisnis, Lembaga Paksa Badan, Volume 15, September Jakarta, 2001 Marihot P. Siahaan, Utang Pajak Pemenuhan Kewajiban dan Penagihan Dengan Surat Paksa, Cetakan Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, September, 2004 _________________ Utang Pajak Pemenuhan Kewajiban Dan Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, Cetakan Pertama, Rajawali Pers, Jakarta, September 2004
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Fontian. Penyanderaan (Gijzeling) …
176
__________________, Hukum Pajak Formal, Cetakan Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta 2010 Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Edisi Revisi, Cetakan Kelima, Refika Aditama, Bandung, 2004 R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukuk Pajak, edisi ke 4, cetakan pertama , Refika Aditama, Bandung, Juni, 2003 _____________________, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Cetakan keduapuluh dua, Refika Aditama,Oktober 2010 Sumyar, Dasar Dasar Hukum Pajak dan Perpajakan, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Andi Offset, Yogyakarta, 2004 Timbul Hamonangan Simanjuntak, Dimensi Ekonomi Perpajakan Dalam Pembangunan Ekonomi, Cetakan 1, Raih Asa sukses, Jakarta 2012 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, Edisi Revisi, Salemba Empat, Jakarta, 2004
Peraturan Perudang-undangan KUH Perdata Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Undang-undang No 19 tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 37 tahun 2000 tentang Tempat dan tata cara penyenderaan, rehabilitasi nama baik penanggung pajak dan pemberian ganti rugi dalam rangka penagihan pajak dengan surat paksa Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000 Tentang Tempat Dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, Dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep - 21 8/PJ/2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyanderaan Dan Pemberian Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak Yang Disandera
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
PEDOMAN PENULISAN NASKAH Jurnal Hukum Media Justitia Nusantara (MJN) merupakan jurnal yang sepenuhnya diperiksa oleh penyunting ahli PPS yang berkompeten di bidangnya. Redaksi menerima artikel ilmiah berupa hasil penelitian, gagasan, kajian, dan konsepsi dalam bidang ilmu hukum. Pengiriman naskah : 1. Naskah dikirimkan dalam bentuk hard copy dengan dilengkapi file dalam bentuk compact disc ( (CD). 2. Naskah tulisan asli, belum pernah dimuat dimedia lain, atau sedang dalam proses untuk dimuat di media lain. Untuk naskah yang pernah disampaikan dalam ceramah/diskusi/seminar harap disebutkan dalam catatan kaki. 3. Seluruh naskah yang masuk ke redaksi akan diperiksa oleh penyunting ahli sesuai dengan bidang kajian naskah. Aspek yang diperiksa menyangkut kesahihan informasi, kontribusi substantive naskah terhadap bidang kajian, serta kualitas tulisan. Ketentuan naskah : 1. Naskah diketik dalam format MS.Word dengan kertas ukuran A4, spasi 1,5. Huruf Times New Roman ukuran 12 pt. Keseluruhan naskah antara 15 sampai paling banyak 20 halaman untuk artikel dan 20 sampai dengan 30 halaman untuk hasil penelitian disertai abstrak (maksimum 200 kata) dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Naskah diberi nomor halaman dengan angka latin. 2. Naskah tulisan dapat ditulis dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris. Apabila menggunakan bahasa Indonesia hendaknya memperhatikan kaidah-kaidah yang baku, istilah-istilah asing ditulis dengan huruf miring pada kata tersebut. 3. Naskah disusun dengan urutan : Judul, nama penulis (tanpa gelar), abstrak, dan kata kunci tidak lebih dari 5 kata. Isi mencangkup : Pendahuluan, pembahasan, penutup , dan daftar pustaka. Jika penulis lebih dari satu orang, nama penulis dicatumkan berurutan kebawah, dengan nama penulis utama dicantumkan di baris paling atas. 4. Apabila dalam naskah ada keterangan, atau kutipan harus disebutkan sumbernya dan ditulis dalam catatan kaki (footnote). 5. Daftar pustaka berisi pustaka yang dirujuk dalam tulisan saja. Pustaka dalam daftar pustaka diurutkan secara alfabetis berdasarkan nama penulis tanpa gelar. Penulis orang asing ditulis family name nya dahulu baru nama depan. Penulisan pustaka tanpa diberi nomor. 6. Tata cara penulisan daftar pustaka : - Untuk buku : Nama penulis, Judul Buku, Penerbit, Kota terbit, Tahun terbit. - Untuk jurnal /artikel/hasil seminar : Nama penulis, Judul artikel
Judul Jurnal , nomor terbitan, Kota terbit, Tahun terbit, nomor halaman. - Contoh : Ningrum Natasya Sirait, Perilaku Asosiasi Pelaku Usaha Dalam Konteks UU No. 5 /1999, Makalah, Jurnal Hukum Bisnis Vol.19, Yayasan pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, Juni 2002, hlm. 56-57 7. Redaksi berhak memperbaiki tata bahasa dari naskah yang akan dimuat tanpa mengubah isi.
Diterbitkan Oleh Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Uninus