ISSN 2085-8884
Kajian Mengenai Hak Polik Perempuan Dalam Keterwakilannya di Dewan Perwakilan Rakyat Untuk Mewujudkan Prinsip Persamaan Hak di Arena Polik Kedudukan Hak Kekayaan Intelektual Atas Merek Hubungannya Dengan Perlindungan Konsumen Pelaksanaan Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional Kaitannya Dengan Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Kajian Hukum Terhadap Perjanjian Lisensi Paten Sebagai Sarana Alih Teknologi Dalam Rangka Penanaman Modal di Indonesia Konsep Perlindungan Hukum Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional (Folklore) Dari Penyalahgunaan Hak Oleh Pihak Luar Melalui Sui Generis Property System Hak Atas Tanah Ulayat Menurut Tiga Versi Hukum Tanah Nasional (Suatu Kajian Sinkronisasi Antara UUPA, Permen No. 5 tahun 1999 dan Perda Sumatera Barat No. 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya) Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Wanita Dalam Perjanjian Kerja Berdasarkan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
JMJN
Vol. 1
No. 7
Hal. 1-146
Different and Disncve
Februari 2014
i
JURNAL MEDIA JUSTITIA NUSANTARA No. 7 Vol. 1 Februari 2014 ISSN : 2085 -8884 PELINDUNG Pembina : Rektor Universitas Islam Nusantara PENASIHAT Letjen. (Purn) H. Achmad Roestandi, SH ( Ketua Badan Pengurus YIN) Dr. H. Didin Wahidin, M.Pd. (Rektor Uninus) Prof. Dr. H. Achmad Sanusi, SH.,MPA. ( Direktur PPS Uninus) Dr. Suhendra yusuf, MA (Pembantu Rektor I ) Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata (Asisten Direktur I PPS Uninus ) Penanggung Jawab Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Nusantara Mitra Bestari Prof. Dr. H. Achmad Sanusi, SH.,MPA. (Universitas Islam Nusantara) Prof. Dr. H. Agus Rasas, SH.,MS. (Universitas Islam Nusantara) Prof. Dr. H. Lili Rasjidi, SH.,S.Sos., LL.M. ( UNPAD) Prof. Dr. H. Deddy Ismatullah, SH.,MH. ( UIN Bandung) Prof. Dr. H. Juhaya S. Praja ( UIN Bandung) Dr. H. Mardenis ( Universitas Andalas Padang ) Dr. Abu Sanmas , SH.MH. ( UIN Maluku) KETUA PENGARAH Dr. Ir. H. Fontian, SH.,MH.,ME,CFP KETUA PENYUNTING Dr.Hj. Imas Rosidawati Wr, SH.,MH. DEWAN PENYUNTING Dr. Sukendar, SH.,MH. Dr. Aslan Noor, SH.,MH.,CN. Dr. Irfan Fachrudin, SH.,MH. Dr. Ir. H. Edy Santoso, MITH., MH. Dr. Juli Asril, SH.,CN.,MH. Penyunting Pelaksana Sayid M. Rifqi N, SH.,MH. Andini Anggraeni Kusnadi, ST Tansah Rahmatullah, ST. . Produksi dan Sirkulasi Wawan Darmawan Entis Sutisna
Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Uninus Jl. Sukarno Hatta No. 530 Bandung 40286 www.uninus.ac.id. Email :
[email protected]
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
ii
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
PENGANTAR REDAKSI
Jurnal Media Justitia Nusantara (MJN) adalah publikasi dari tulisan-tulisan yang diterbitkan secara berkesinambungan, sebagai wadah pertukaran gagasan, telaah, kajian dan hasil-hasil penelitian dari para dosen/akademisi, para pemerhati hukum dan praktisi hukum, untuk tujuan pengembangan dan pembangunan hukum di Indonesia. Jurnal Media Justitia Nusantara (MJN) terbit setahun 2 kali pada bulan Februari dan September. Pada Edisi ini, redaksi menetapkan 7 naskah yang mengkaji berbagai masalahmasalah hukum di Indonesia, yaitu kajian mengenai hak politik perempuan, kedudukan HAKI atas merek dihubungkan dengan perlindungan konsumen, pelaksanaan putusan badan arbitrase syariah nasional, kajian hukum atas perjanjian lisensi paten dihubungkan dengan penanaman modal, perlindungan hukum terhadap folklore, kajian hukum terhadap hak atas tanah ulayat, serta perlindungan hukum terhadap tenaga kerja wanita. Mudah-mudahan para pembaca dapat memetik manfaat dari tulisan-tulisan yang kami sajikan baik sebagai sarana informasi ilmiah maupun sebagai sarana memperluas cakrawala pemikiran kita tentang ilmu hukum pada umumnya baik secara praktis maupun teoritis. Perlu kami informasikan pula Jurnal Media Justitia Nusantara (MJN) akan terbit kembali pada bulan September 2014, sehubungan dengan itu, kami mengharapkan kepada seluruh civitas akademika dari kalangan dosen, para praktisi hukum, dan pemerhati
hukum serta sidang pembaca pada umumnya dapat
memberikan kontribusi tulisannya untuk dimuat dalam jurnal ilmu hukum MJN edisi mendatang.
Selamat memperluas cakrawala.
Redaksi.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
iii
ISSN : 2085-8884 DAFTAR ISI
Halaman
Susunan Redaksi ………………………………………………………………………. i Pengantar Redaksi ……………………………………………………………………..
ii
Daftar Isi ………………………………………………………………………………. iii
Kajian Mengenai Hak Politik Perempuan Dalam Keterwakilanya di Dewan Perwakilan Rakyat Untuk Mewujudkan Prinsip Persamaan Hak di Arena Politik ...…. 1 Oleh : Iie Mansoer Kedudukan Hak Kekayaan Intelektual Atas Merek Hubungannya Dengan Perlindungan Konsumen .…………….......................................................................... Oleh: Imas Rosidawati WR.
29
Pelaksanaan Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional Kaitannya Dengan Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ..……………………………………………………………............................................. 50 Oleh : Nandang Nurdin Kajian Hukum Terhadap Perjanjian Lisensi Paten Sebagai Sarana Alih Teknologi Dalam Rangka Penanaman Modal di Indonesia ………………………………………. 66 Oleh : Prima Supriadi Yusuf Konsep Perlindungan Hukum Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional (Folklore) Dari Penyalahgunaan Hak Oleh Pihak Luar Melalui Sui Generis Property System……....... Oleh: Mohamad Reza
87
Hak Atas Tanah Ulayat Menurut Tiga Versi Hukum Tanah Nasional (Suatu Kajian Sinkronisasi Antara UUPA, Permen No. 5 tahun 1999 dan Perda Sumatera Barat No. 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya) ................................... 107 Oleh : Aslan Noor Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Wanita Dalam Perjanjian Kerja Berdasarkan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ...... Oleh : Sukendar
128
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
1
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014 KAJIAN MENGENAI HAK POLITIK PEREMPUAN DALAM KETERWAKILANNYA DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP PERSAMAAN HAK DI ARENA POLITIK PRAKTIS Oleh : Iie Mansoer
Abstract The publication of the President Instruction number 9 of 2000 concerning “Gender Mainstreaming” is an indicator that the issue which continually moves has not got the special attention in the various area of development; so that the central government decides the political bases which gives the opportunities to Indonesian women to actively participates in the development, including the development of politics related to gender. The result of the research shows that the affirmative action using 30% quota system on the candidacy of women in the legislative, as it regulated in the acts number 2 of 2008 Jo. the acts number 10 of 2008 do not contradict with the principle of right equality, as it stated in the 1945 Constitution, especially the article 28 D section (1) Jo. the article 28 section (3) Jo. The article 28 I section (2). In the efforts of fulfilling the 30% of women quota for legislative candidate, empirically and factually, there are some problems which make the representation of women in the Indonesian legislative assembly become very low; there are: the existence of wrong opinions that politics only belongs to men in which patriarchy system and social structure has placed women in the unequal position toward men, there is a small number of women who enter the political field as well as the low knowledge of women regarding politics, and the political parties which have not seriously supported women in the political field. Keywords : Political Right Women, Quota, Indonesian Legislative Assembly Abstrak Dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender merupakan indikator bahwa isu yang terus bergulir belum mendapatkan perhatian khusus dalam berbagai bidang pembangunan, sehingga pemerintah Pusat menetapkan pijakan politis yang membuka peluang bagi perempuan Indonesia untuk berpatisipasi aktif di dalam pembangunan termasuk pembangunan politik yang berwawasan gender. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa tindakan khusus sementara (affirmative action) dengan sistem kuota 30 % dalam pencalonan perempuan di legislative, seperti diatur dalamdalam UU No. 2 Tahun 2008 Jo. UU No. 10 Tahun 2008 tidak bertentangan dengan prinsip persamaan hak sebagaimana dianut oleh UUD 1945, khususnya Pasal 28 D ayat (1) Jo. Pasal 28 ayat(3) jo. Pasal 28 I ayat(2).
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Kajian Mengenai Hak Politik …
2
Di dalam upaya memenuhi kuota 30% perempuan untuk calon anggota legislatif, secara empirik dan faktual terdapat kendala yang menyebabkab keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat sangat rendah yakni masih adanya anggapan bahwa dunia politik adalah dunianya lakilaki, di mana sistem dan struktur sosial patriakhi telah menempatkan perempuan pada posisi yang tidak sejajar dengan lakilaki, masih sedikitnya perempuan yang terjun kedunia politik dan rendahnya pengetahuan perempuan tentang politik, serta dukungan partai politik yang belum besungguh-sungguh terhadap perempuan. Kata Kunci : Hak Politik Perempuan, Kuota, DPR
A.
Pendahuluan Salah satu upaya untuk peningkatan keterwakilan perempuan adalah adanya
peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan jaminan terhadap proses politik yang memastikan peningkatan keterwakilan perempuan pada tingkat yang diharapkan. Undang-Undang Partai Politik dan Pemilu adalah salah satu indikator yang sangat penting untuk menjamin peningkatan keterwakilan perempuan yang duduk di DPR. Undang-Undang (UU) Partai Politik dan Pemilu menjadi ukuran untuk melihat bagaimana respon negara terhadap indikator kesetaraan gender. UndangUndang Pemilu dapat memberikan jaminan bagi perempuan untuk dapat mengikuti proses pencalonan sampai terpilihnya dalam pemilu. Di Indonesia, sejak diberlakukannya pasal 65 Undang-Undang Pemilu No.12 Tahun 2003 tentang kuota perempuan 30% pada pemilu 2004, secara terus-menerus dibutuhkan penguatan terhadap UU tersebut dan evaluasi di setiap Pemilihan Umum (pemilu). UU Pemilu ini telah diubah menjadi UU No. 8 Tahun 2008, dengan mencantumkan nomor urut 1 sampai 3 harus ada calon perempuan. Sementara UU No.31 Tahun 2002 tentang Partai Politik belum mencantumkan masalah kuota secara tegas telah diperbaiki dengan UU No.2 Tahun 2008. Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut maka dalam pemilu 2004 dan 2009 terlihat peningkatan yang signifikan pada jumlah calon legislatif (caleg) perempuan, namun belum secara otomatis memberikan kesempatan kepada perempuan untuk terpilih dalam pemilu. Peningkatan jumlah keterwakilan perempuan menjadi sangat penting baik dalam kerangka peningkatan the politics of presence maupun dalam PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
3
kerangka the politic of ideas (kebijakan kesejahteraan Ibu dan Anak serta keluarga) dari kepentingan perempuan sebagai mayoritas penduduk suatu negara.1 Sesungguhnya jaminan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan khususnya di bidang pemerintahan, politik, dan hukum telah ada sejak diundangkannya Undang-Undang Dasar 1946, tanggal 17 Agustus 1945, dalam pasal 27 ayat 1, yang lengkapnya berbunyi : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Undang-undang No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD telah mengamanatkan kepada setiap kebijakan politik untuk mengakomodasi kepentingan perempuan dalam penyusunan daftar caleg, sebagaimana tertuang pada Pasal 65 ayat 1: Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Dareah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kuragnya 30%. Menjelang Pemilu tahun 2009, kaum perempuan yang duduk di DPR berhasil memperjuangkan aspirasinya agar kuota 30% secara tegas dimasukkan dalam UU Pemilu yang baru, yakni UU Nomor 10 Tahun 2008. Dalam Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan bahwa apabila jumlah kuota 30 % tidak dipenuhi oleh partai politik maka kelengkapan berkas dikembalikan. Berkas baru dapat diterima apabila jumlah minimal 30% calon perempuan telah terpenuhi. Upaya meningkatan keterwakilan perempuan menjadi begitu penting untuk memberikan keadilan terhadap perempuan atas hak politiknya.2 Salah satu caranya adalah dengan menghasilkan kebijakan yang melindungi hak politik perempuan. Belajar dari negara-negara di dunia yangtingkat keterwakilan perempuannya baik, maka upaya affirmative action atas pelaksanaanPemilihan Umum (Pemilu) sangatlah penting. Affirmative action dalam bentuk kuota dan zippersystem menjadi kunci keberhasilan masuknya perempuan di dalam lembaga legislatif
1
Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP, Refika Aditama, Bandung , hlm. 4 2
Reni Nuryanti, 2011, Perempuan Berselimut Konflik, Tiara Wacana, Yogyakarta:, hlm. 29
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Kajian Mengenai Hak Politik …
4
Atas tekanan dunia internasional Pemerintah RI meratifikasi terhadap Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) tahun 1984 yang lebih bersifat politis daripada gerakan untuk memperbaiki hak-hak perempuan.3 Perjuangan mengimlemtasikan
para
aktivis
himbauan
perempuan4 CEDAW
dalam
PBB
mepersuasi
kepada
negara
untuk
negara-negara
yang
menandatangani Komvensi tersebut, termasuk negara Indonesia5. Baru mendapat perhatian yang serius dari parlemen RI di era reformasi. Salah satu himbauan CEDAW PBB untuk mengeliminasi segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan adalah dengan melakukan tindakan affirmatif.6 Aksi affirmatif ini adalah juga diskriminasi positif. Salah satu tindakan affirmatif adalah dengan penetapan sisitem kuota sedikitnya 30%
7
dalam institusi-institusi
pembuatan kebijakan negara. Dengan sistem kuota sedikitnya 30% perwakilan perempuan Indonesia dalam pengambilan keputusan diharapkan akan membawa perubahan pada kualitas legislasi berperspektif perempuan dan gender yang adil, perubahan cara pandang dalam melihat dan menyelesaikan bebagai permasalahan politik dengan mengutamakan perdamaian dan cara-cara anti kekerasan, perubahan kebijakan dan peratura undang-undang yang ikut memasukan kebutuhan kebutuhan perempuan sebagai bagian dari agenda nasional,dan membuat perempuan berdaya untuk terlibat dalam berbagai permasalahan yang selama ini tidak mendapat perhatian di Indonesia, yang sensitif gender8. Tujuan penelitian bukan hanya menjelang Pemilu tahun 2014, tetapi untuk berpikir jauh ke depan, karena di masyarakat menunjukkan ada beberapa hal yang harus dipersiapkan untuk sampai pada kuota 30% atau lebih yakni :
3
Mousse, Julia Cleves , 1996, Gender dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta , hlm. 2 Kelompok perempuan peduli politik (KPPP), yaitu terdiri atas solidaritas perempuan gerakan pemberdayaan suara permpuan, koalisi perempuan, kongres wanita indonesia (KOWANI) yang terdiri dari 78 organisasi perempuan. Kaukus perempuan parlemen, jaringan pemberdayaan politik perempuan yang terdiri dari 38 organisasi perempuan, centre for Electoral reform (Cetro) dll. 5 Indonesia meratifikasi konvensi ini pada tanggal 27 Juli 1984. 6 Tindakan affirmatif (affirmative actions) adalah tindakan khusus koreksi dan konvensasi darinegara atas ketidak adilan gender terhadap perempuan 7 30 persen dianggap sebagai jumlah kritis hasil perhitungan PBB yang dapat membantu perempuan untuk memberi pengaruh yang berarti dalam politik. 8 Kompas, senin, 8 desember 2008 4
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
5
1.
Upaya individu untuk meningkatkan kualitas diri di bidang politik, kenyataannya banyak perempuan masih alergi pada politik, khususnya untuk masuk dalam partai politik.
2.
Berusaha meningkatkan kesadaran Partai Politik, yang didominasi oleh laki-laki, untuk memperjuangkan keterlibatan perempuan. Selama sistem Pemilu masih menggunakan partai, mau tidak mau perempuan harus masuk ke dalam partai.
3.
Kebersamaan perempuan, baik partai maupun ormas untuk menjaga supaya persepsi perempuan tentang keterlibatan perempuan di parlemen sama.9
B.
Perumusan Masalah : Berdasarkan hal tersebut di atas, maka identifikasi masalah dibatasi terhadap hal-
hal berikut : 1.
Bagaimanakah Penetapan quota 30 % dikaitkan dengan prinsip persamaan hak yang tercantum dalam UUD 1945 ?
2.
Bagaimanakah Kesiapan partai politik untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan dalam merespon kebijakan pemerintah yang mengakomodasikan kuota 30% di Dewan Perwakilan Rakyat dan eksekutif Partai Politik ?
3.
Bagaimanakah upaya partai politik (parpol) untuk menerapkan kuota 30% dan mendorong
meningkatkan partisipasi kader partai politik perempuan dalam
pemilu 2014, serta
kendala-kendala apa yang menyebabkan representasi
perempuan di legislatife dan eksekutif Partai Politik masih sangat rendah ?
C.
Pembahasan
1.
Penetapan quota 30 % dikaitkan dengan prinsip persamaan hak yang tercantum dalam UUD 1945 Sesungguhnya jaminan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan
khususnya di bidang pemerintahan dan hukum telah ada sejak diundangkannya Undang-Undang Dasar 1946, tanggal 17 Agustus 1945, dalam pasal 27 ayat 1, yang
9
Roundtable Discussion Peningkatan Keterwakilan Perempuan Pada Pemilu 2014,Women Research InstituteJakarta, 2 Februari 2012.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Kajian Mengenai Hak Politik …
6
lengkapnya berbunyi : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.10 Dunia politik yang berkembang di Indonesia,masih dibangun berdasarkan budaya patriarkhi, politik masih dianggap sebagai dunianya laki-laki. Walaupun hak politik perempuan disetarakan setelah Indonesia merdeka, tetapi peran perempuan dalam dunia politik di Indonesia masih sangat terbatas.11 Hal ini terlihat dari hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dari tahun 1955 sampai tahun 2004. Hasil Pemilu tahun 1955, menempatkan perempuan di DPR hanya 6,6 %. Pada Pemilu tahun 1971, anggota DPR perempuan berjumlah 7,7 % , pada pemilu tahun 1977 anggota DPR perempuan berjumlah 9,2 %. Walaupun dalam pemilihan umum tahun 2004 dan 2009 telah digunakan sistem kuota dalam pencalonan legislative terhadap perempuan, tetap saja representative perempuan Indonesia di parlemen tetap rendah. Dimana presentase perempuan di DPR pada periode 2004-2009 hanya 11,3 % (62 dari 550 kursi DPR), sedangkan pada periode 2009 – 2014 hanya 18,04 %. Dari angka-angka ini terlihat bahwa meskipun Indonesia menetapkan kuota 30 % untk keterwakilan di DPR , maupun di DPRD tetapi keterwakilan perempuan dalam dunia politik praktis masih sangat jauh dari yang diamanatkan oleh undang-undang. Begitupun dengan daerah-daerah di Jawa barat yang dijadikan tempat penelitian seperti di Kerawang, Cirebon, Bekasi keterwakilan perempuan di lembaga legislative hanya berkisar di antara 8-11 %, sedang di lembaga eksekutif sudah lebih baik dikisaran 9-13 persen yang menduduki jabatan dari eselon 4 sampai eselon 2. Secara keseluruhan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan di lembaga legislatif Jawa Barat berdasarkan pemilu 2009, sebesar 24%. Hal ini menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan pemilu 2004, sebesar 11%. Peningkatan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif di Jawa Barat, belum mencapai kuota 30 % seperti tercantum dalam Undang-Undang Pemilihan Umum No. 12 tahun 2003 dan UU Pemilihan Umum Nomor 10 tahun 2008. Implementasi
10
Imas Rosidawati, Keterwakilan Perempuan Di Dewan perwakilan rakyat, Kesiapan Partai Politik & Prempuan Indonesia Di Arena Poliktik Praktis, Jurnal Media Nusantara, Kajian Ilmiah Universitas Islam Nusantara, Nomor 02/2007, hlm. 56. 11 Imas Rosidawati, Ibid.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
7
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
partisipasi politik perempuan anggota legislatif Jawa Barat, menunjukkan komitmen moral dan politik yang positif dalam memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan perempuan, seperti pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, sosial, budaya, politik, perlindungan terhadap tindak kekerasan serta perdagangan perempuan Di Yogyakarta yang dijadikan sempel penelitian, diperoleh fenomena menarik yakni untuk posisi di top eksekutif , yakni bupati / walikota, justru kaum perempuan eksis, dengan menduduki hampir 40 %, begitupun dalam kedudukan eksekutif lainnya. Sedangkan di Surabaya keterwakilan perempuan di DPRD wilayah Jawa Timur belum proposional, sebab jumlahnya masih 13,91 persen dari total seluruh anggota dewan. Dari total 1.678 anggota dewan di 38 kabupaten/kota Jawa Timur, jumlah anggota dewan dari kalangan perempuan hanya 234 orang atau 13,91 persen. Dengan demikian jika mengacu pada Undang-undang nomor 10 tahun 2008 yang mengatur tentang keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen, maka jumlah itu kurang proposional. Sementara dari 38 Kabupaten/kota di Jawa Timur, hanya beberapa wilayah yang anggota dewan perempuannya hampir menyamai ketentuan Undangundang. Seperti di Kota Madiun, dari total 30 orang anggota dewan, jumlah perempuannya sebanyak 10 orang atau presentasenya mencapai 33,3 persen, sedangkan di Surabaya dari 50 anggota keterwakilan perempuan sebanyak 15 orang atau 30 persen. Selanjutnya Kota Batu, dari total 25 orang anggota legislatif, keterwakilan perempuan hanya 8 orang, Kota Malang dari total 45 anggota dewan, jumlah anggota dewan kalangan perempuan hanya 11 orang atau 24,4 persen. Kota terakhir yang hampir sesuai dengan Undang-undang adalah Kota Kediri, yang jumlah anggotanya sebanyak 30 orang, dan keterwakilan perempuannya sebanyak 7 orang atau 23,3 persen. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, meski Kota Madiun keterwakilan perempuannya paling banyak di wilayah Jatim, namun masih ada keluhan dari anggota dewan perempuan yang merasa didiskriminatif dan terpinggirkan karena proses pengkaderan parpol yang dirasa masih belum proporsional. Oleh karena itu, selayaknya agar anggota dewan perempuan yang memiliki kompetensi baik, bisa lebih
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Kajian Mengenai Hak Politik …
8
dipercaya memegang komisi-komisi penting, sehingga tidak selalu terpinggirkan dan mampu memegang peranan penting. Upaya affirmative action untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam politik terus disuarakan, seperti pada pelaksanaan pemilu 2009, peraturan perundang-undangan telah mengatur kuota 30% perempuan bagi partai politik (parpol) dalam menempatkan calon anggota legislatifnya. Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (pemilu legislatif) serta UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik telah memberikan mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat. Pasal 8 butir d UU Nomor 10/2008, misalnya, menyebutkan penyertaan sekurangkurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Selain itu, Pasal 53 UU Pemilu Legislatif tersebut juga menyatakan daftar bakal calon juga memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Lebih jauh, Pasal 66 ayat 2 UU Nomor 10/2008 juga menyebutkan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap parpol pada media massa cetak harian dan elektronik nasional. Sementara di Pasal 2 ayat 3 UU Parpol disebutkan bahwa pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Ketetapan kuota 30% sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan. Hasilnya adalah 62 perempuan saat itu terpilih dari 550 anggota DPR RI (11,3%). Sementara itu, dalam Pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi, hanya ada 45 perempuan dari 500 anggota DPR yang terpilih (9%). Kampanye kuota ini adalah bentuk perjuangan politik lanjutan perempuan setelah tuntutan hak pilih bagi perempuan di awal abad 20 tercapai. Kampanye kuota bertujuan untuk melawan domestifikasi, perempuan (melawan politik
patriarki), karena domestifikasi dan
dominasi laki-laki atas perempuan dalam budaya patriarki bukanlah takdir. Untuk itu kampanye kuota tidak selesai dalam wujud keterwakilan perempuan dalam partai politik PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
9
dan parlemen. Dari perspektif keadilan gender, quota 30% adalah salah satu bentuk afirmatif action, dukungan dalam aspek legal yang harus diberikan bagi politisi perempuan agar lebih leluasa masuk dalam arena politik. Budaya patriarki yang melingkupi segala bentuk proses pengambilan keputusan selama ini, karena peraturan ini harus mulai mempertimbangkan kehadiran dan suara perempuan di ruang lingkup mereka.12 Keterwakilan perempuan dari periode ke periode mengalami peningkatan, dan bahkan apabila kita melihat perkembangan dari periode 1999-2004 s.d 2009-2014 kenaikannya cukup signifikan yaitu 9 persen meningkat menjadi 17,7 persen. Namun capaian keterwakilan perempuan pada masing-masing provinsi masih bervariasi jumlahnya, terdapat beberapa provinsi yang tidak ada keterwakilan perempuan, seperti provinsi Lampung, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Provinsi Aceh. Sementara keterwakilan perempuan pada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pencapaiannya sedikit lebih baik dibanding dengan keterwakilan perempuan di DPR. Keterwakilan perempuan di DPD menurut hasil pemilu tahun 2004 sebesar 19,8 persen dan meningkat menjadi 22,7 persen pada pemilu 2009. Namun demikian capaian ini tidak diikuti oleh semua provinsi, seperti pada provinsi Bali dan Provinsi Gorontalo pada pelaksanaan pemilu 2009 keterwakilan perempuan di DPD tidak ada. Sementara terdapat 2 provinsi yang mencapai 37 persen yaitu provinsi Irinjaya Barat dan Kepulauan Riau. Tindakan affirmative (affirmative action) diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan hak atau kesempatan bagi orang yang semula kurang beruntungagar dapat mengenyam kemajuan dalam waktu tertentu.13 Dalam pada itu
affirmative
action dapat juga diartikan sebagai suatu koreksi dan konpenasasi atas diskriminasi, marginalisasi dan eksploitasi yang dialami oleh kelompok-kelompok social yang tertinggal. Koreksi tersebut dilakukan dalam memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna tercapainya kesetaraan dan keadilan di semua bidang kehidupan,
12
Sandra Kartika et. Al (Editor), Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, 2001, Lembaga Studi Pers Dan Pembangunan, Jakarta , hlm.8 13 Shidarta, Konsep Diskriminasi Dalam Perspektif Filsafat Hukum, dalam : Butir-butir Pemikiran Dalam Hukum, memperingati 70 Tahun Prof.Dr.B. Arief Sidharta,SH, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 116.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Kajian Mengenai Hak Politik …
10
social, ekonomi, politik, kebudayaan, pertahanan dan keamanan yang kemungkinan besar sudah lama tidak pernah dinikmati oleh kelompok yang tertinggal.14 Keterwakilan perempuan di lembaga eksekutif juga menjadi tolok ukur pemberdayaan perempuan. Untuk melihat pemberdayaan perempuan di lembaga eksekutif
dilihat
dari
perempuan
yang
telah
menduduki
jabatan
struktural dan jabatan fungsional, yaitu mulai dari eselon IV, III, II dan I, dan sementara
jumlah
yang
dikumpulkan. Seorang maupun fungsional
menduduki
pegawai
untuk
jabatan
menduduki
fungsional belum dapat Jabatan
baik
struktural
sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan pegawai.
Meskipun tidak berbanding lurus pendidikan dan jabatan namun latar belakang pendidikan merupakan faktor penting bagi perempuan dan laki-laki untuk menduduki jabatan tertentu. 15 Hasil penelitian menunjukkan persentase Pegawai Negeri Sipil menurut tingkat pendidikan pada tahun 2009 menunjukkan bahwa persentase latar
belakang
pendidikan PNS secara nasional baik laki-laki maupun perempuan adalah berlatar belakang pendidikan menengah atas (SLTA yaitu 38,07 persen laki-laki dan 36,47 persen perempuan. Kemudian urutan kedua adalah pegawai dengan atar pendidikan Diploma, dan urutan berikutnya atau urutan ketiga adalah pegawai negeri sipil dengan latar pendidikan Strata 1 (S1). Secara umum latar belakang pendidikan laki-laki dan
perempuan
tidak mengalami perbedaan yang nyata untuk setiap jenjang
pendidikan. Pada tingkat pendidikan Sekolah Dasar dan Menengah Pertama laki-laki sedikit lebih banyak dibanding perempuan, hal ini dimungkinkan mereka bekerja sebagai sopir dan kebersihan, karena laki-laki lebih mudah diterima mengingat pekerjaannya memerlukan tenaga yang lebih kuat. Gambaran sampai dengan bulan Juni 2009 bahwa
terjadi distribusi PNS
berdasarkan golongan ruang tidak terjadi kesenjangan yang nyata antara laki-laki dan perempuan, dan bahkan pada golongan tertentu persentase perempuan lebih tinggi . Kesenjangan terjadi
mulai
golongan ruang III dan IV. Sehingga hal ini
14
Ellydar Chaidir, Negara Hukum, Demokrasi dan Konstalasi Ketatanegaraan Indonesia, Penerbit Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007, hlm 49 15 Komariah Emong Sapardjaya, 2004, Perempuan Indonesia Ketinggalan Mengendarai Kendaraan Partai Politik, makalah disajikan pada seminar : Kesiapan Publik Terhadap Pengarusutamaan Gender dalam Politik Pada Pemilu , Bandung, hm.6
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
11
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
menunjukkan rendahnya perempuan dalam proses pengambil keputusan di lembaga Eksekutif. Perempuan yang menduduki jabatan struktural eselon I baru mencapai sekitar 8,7 persen. Tentu pencapaian angka ini masih sangat kecil apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan yang sekarang justru lebih banyak perempuan daripada laki-laki yaitu 50,01 perempuan dan 49,99 penduduk laki-laki. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor selain faktor dominan yaitu sosial budaya patrirkhi yang mengakar kuat di masyarakat Indonesia, dimana perempuan adalah kelas dua. Faktor lain yang disebabkan oleh peran domestik perempuan, yang mengganggu kiprah dan karirnya. Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah harus melaksanakan afirmative action bagi perempuan dengan memberikan kuota bagi perempuan dalam menduduki jabatan terutama eselon I dan II pada setiap instansi pemerintahan Dalam UUD 1945 kata-kata affirmative action secara tekstual tidak ditemukan, tetapi secara tersirat ditemukan dalam Pasal 28 H ayat (2) dan 1945 Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa :
“Setiap
orang
berhak
untuk
mendapat
kemudahan dan perlakukan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat guna mencapai persamaan-persamaan dan keadilan” Selanjutnya dalam Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945, dikatakan bahwa : “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut“ Dari ketentuan secara tersirat itulah dapat dijadikan landasan konstitusional untuk melakukan tindakan affirmative action di Indonesia. Dengan demikian tindakan affirmative action mempunyai landasan konstitusional serta tidak bertentangan dengan UUD 1945. Begitupun dalam hal berpolitik, hal ini dilakukan dengan menerapkan kewajiban kuota 30 % bagi perempuan untuk meningkatkan aktivitas perempuan dalam berpolitik yang nantinya berkorelasi dengan jumlah perempuan yang duduk di badan legislative dan eksekutif. Adanya keinginan untuk meningkatkan / menambah representasi perempuan dalam bidang politik dengan sistem kuota, ternyata tidak mudah karena adanya yang PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Kajian Mengenai Hak Politik …
12
mendukung sistem itu dan juga yang menentangnya, dengan alasan, bahwa kuota menentang prinsip kesempatan dalam kesetaraan bagi semua tidak terkecuali bagi kaum perempuan; juga menerapkan sistim kuota bertentangan dengan demokrasi dan bahwa politis perempuan dipilih karena gendernya bukan karena kualifikasinya. Menurut peneliti tindakan affirmative action dengan menerapkan sistem kuota dalam menambah representasi perempuan Indonesia di parlemen, bukan tindakan yang bersifat permanen. affirmative action menurut peneliti lebih dititik beratkan kepada opportunity (kesempatan), harus ditolak anggapan yang mengartikan kuota sebagai memaksakan jumlah tertentu atau prentase tertentu bagi kelompok tertentu (perempuan), affirmative action harus dipahami sebagai mementingkan kualifikasi tertentu sebagai dasar pertimbangan untuk memberikan kesempatan atau peluang terhadap kaum perempuan di dunia politik praktis sebagai jalan masuk ke lembaga legislative. 2.
Kesiapan partai politik untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan dalam merespon kebijakan pemerintah yang mengakomodasikan kuota 30% di Dewan Perwakilan Rakyat dan Eksekutif Partai Politik. Gerakan politik perempuan di Indonesia di mulai dengan menghembuskan
masalah kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga (KDRT), yang merupakan entry point pergerakan politik perempuan di Indonesia. Dengan memperkuat advokasi KDRT, semakin kuat anggapan bahwa perhatian terhadap nasib perempuan, juga disebabkan karena keterwakilan perempuan di lembaga legislatif sangat lemah, yang membuktikan bahwa perempuan tidak pernah dibawa serta dalam pengambilan keputusan utnuk menentukan arah pembangunan maupun program pembangunan. Karena itu pula arah pembangunan dan program pembangunan tersebut telah banyak menimbulkan bias gender yang sangat merugikan kaum perempuan, padahal mereka adalah penduduk terbanyak, bahkan penyumbang terbanyak dalam berbagai bidang kehidupan. Ketidak adilan inilah yang dinilai banyak kalangan, sehingga memerlukan tindakan affirmatif agar tidak lagi terjadi marjinalisasi bagi perempuan di bidang politik, khususnya di lembaga-lembaga penentu kebijakan. Hal ini sangat didukung
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
13
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet sekarang, sehingga intervensi affirmatif ini dapat berhasil. Beberapa LSM, seperti CETRO dan IFES sangat gencar mengkritik kebijakan kuota keterwakilan perempuan 30% pada daftar calon anggota legislatif yang diterapkan partai politik. Di beberapa daerah, prosentase keterwakilan perempuan pada daftar calon anggota legislatif di masing-masing daerah pemilihan tidak lebih dari 15%. Selain itu, terdapat fenomena kekerabatan dan pertemanan (nepotisme) dalam proses penyusunan daftar calon anggota legislatif. Partai politik saat ini belum memainkan komunikasi politik mereka secara jelas kepada publik mengenai program-program mereka, terutama mengenai keterwakilan perempuan di parlemen. Lemahnya komunikasi politik menjadi barometer eksistensi partai politik di tengah masyarakat pemilihnya, demikian pula para aktivis perempuan belum mampu mendorong wacana-wacana mereka ke dalam tahap implementasi dan advokasi secara menyeluruh. Oleh karena itu, perlu adanya sebuah sinergi antara partai politik dan para aktivis perempuan, untuk secara bersama mengusung agenda-agenda perempuan di masa depan, terutama akses mereka di parlemen. Partai politik tidak boleh berdiri sendiri, dia harus merupakan muara dari pelbagai usaha-usaha publik yang mendorong transparansi dan akuntabilitas pemerintahan. Dengan demikian, partai politik wajib mempromosikan kader-kader perempuan dalam internal partai politik itu sendiri, maupun kader perempuan baik dari dalam internal partai politik itu sendiri, maupun kader perempuan yang tumbuh di masyarakat untuk menempati posisi strategis baik di legislatif maupun eksekutif. Menurut pendapat peneliti, saat ini publik belum siap mendorong para kader perempuan untuk masuk mengambil kesempatan berpolitik pada Pemilu 2009 dan boleh jadi pada pemilu 2014. Arus utama jender (gender mainstream) hampir tidak memiliki strategi dalam mengusung agenda mereka secara jelas, siapa yang maju dan apa yang akan diusung atau dititipkan kepada partai politik. Hal ini terjadi karena tidak adanya komunikasi politik yang bagus baik dari para aktivis perempuan itu sendiri. Untuk itu, pelajaran pada pemilu 2009, perempuan bisa menitipkan agendaagenda mereka kepada partai politik, dengan stategi meningkatkan posisi tawar yang cukup. Jika suatu saat partai politik melamar mereka, jangan ditafsirkan bahwa mereka PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Kajian Mengenai Hak Politik …
14
dibeli, justru yang harus terjadi adalah kesamaan kepentingan untuk mengusung agenda-agenda perempuan yang harus diserahkan kepada ahlinya masing-masing. Pada dasarnya perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk meraih posisi strategis di parlemen maupun sebagai eksekutif, namun iklim yang ada kurang kondusif untuk saat ini. Masih terdapat waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri bagi perempuan agar “lebih matang” memasuki dunia politik. Biasanya para aktivis perempuan segera mundur dari kancah politik, ketika hati nurani mereka tidak bisa memahami intrik internal partai politik yang cenderung tajam, sehingga pada dasarnya menyadari bahwa berpolitik itu bukan habitat mereka, dan cenderung menjauh dari kegiatan politik praktis. Berkenaan dengan kesiapan Partai politik dalam merespon kuota 30 %, peneliti mengambil sampling beberapa partai politik seperti Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera. 1).
Respon Partai Amanat Nasional Partai Amanat Nasional, dalam mengusung keterwakilan perempuan di parlemen
dalam platformnya menyatakan bahwa persamaan hak perempuan mesti diwujudkan secara hukum, sosial, ekonomi dan politik. Kesempatan yang sama mesti diberikan kepada perempuan untuk berkecimpung di segala lapangan kehidupan, dan meyakini perlunya
keadilan
gender,
serta
memperjuangkan
peningkatan
keterwakilan
perempuan di segala lapangan kehidupan.16 Menurut Partai Amanat Nasional, partai politik saat ini belum memainkan komunikasi politik mereka secara jelas kepada publik mengenai program-program mereka, terutama mengenai keterwakilan perempuan di parlemen. Lemahnya komunikasi politik menjadi barometer eksistensi partai politik di tengah masyarakat pemilihnya, demikian pula para aktivis perempuan belum mampu mendorong wacanawacana mereka ke dalam tahap implementasi dan advokasi secara menyeluruh. Oleh karena itu, perlu adanya sebuah sinergi antara partai politik dan para aktivis
16
Riyan Sumindar, Kesiapan Publik, Perempuan dan Politik, makalah disampaikan pada seminar : Kesiapan Publik Terhadap Pengarusutamaan Gender dalam Politik Pada Pemilu 2009, Bandung, 27 Januari 2009, hlm. 2.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
15
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
perempuan, untuk secara bersama mengusung agenda-agenda perempuan di masa depan, terutama akses mereka di parlemen. Partai politik tidak boleh berdiri sendiri, dia harus merupakan muara dari pelbagai usaha-usaha publik yang mendorong transparansi dan akuntabilitas pemerintahan. Dengan demikian, partai politik wajib mempromosikan kader-kader perempuan dalam internal partai politik itu sendiri, maupun kader perempuan baik dari dalam internal partai politik itu sendiri, maupun kader perempuan yang tumbuh di masyarakat untuk menempati posisi strategis baik di legislatif maupun eksekutif. Pada dasarnya perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk meraih posisi strategis di parlemen maupun sebagai eksekutif, namun iklim yang ada kurang kondusif untuk saat ini. Masih terdapat waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri bagi perempuan agar “lebih matang” memasuki dunia politik. Biasanya para aktivis perempuan segera mundur dari kancah politi, ketika hati nurani mereka tidak bisa memahami intrik internal partai politik yang cenderung tajam, sehingga pada dasarnya menyadari bahwa berpolitik itu bukan habitat mereka, dan cenderung menjauh dari kegiatan politik praktis. Perempuan bukan berarti tidak memahami kegiatan politik, namun kematangan yang dimaksud disini adalah baru dalam kapasitas keterwakilan formal saja, belum merupakan representasi wajah perempuan sesunguhnya. Dengan demikian dimulai dari isu-isu strategis sampai dengan program-program yang mengikat dalam sebuah sinergi memperjuangkan masalah-masalah yang dihadapi perempuan dan akses mereka pada pengambilan keputusan di semua tingkat. Partai Amanat Nasional menyediakan dirinya untuk menggabungkan dengan pada elemen-elemen perjuangan isu-isu perempuan dan representasi perempuan di parlemen, dan membuka diri untuk memperoleh masukan-masukan dair masyarakat khususnya berupa agenda politik perempuan untuk diperjuangkan bersama di parlemen. 2).
Respon Partai Demokrat Sebagai kontestan pemilihan umum tahun 2004, 2009, dan 2014 nanti, Partai
Demokrat telah melakukan sosialisasi pada seluruh jajaran partai mengenai undangundang nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum sampai dengan UU nomor 8
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Kajian Mengenai Hak Politik …
16
Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Hasil sosialisasi ini secara nyata
telah menumbuhkan pemahaman yang cukup baik terhadap
pemberlakuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum. Dengan berbedanya system pemilihan umum tahun 2004 dengan system pemilihan umum tahun 1999, maka pola operasional, srategi intem partai dalam rangka pemenangan pemilu serta rekrutmen politik tidak terlepas dari kaidah-kaidah dan norma standar yang secara implisit terkandung di dalam undang-undang pemilihan umum. Dalam hal rekrutmen politik, sebagai partai politik yang bersiftat terbuka (inklusif), Partai Demokrat membuka diri dan memberi kesempatan yang sama kepada seluruh komponen bangsa dengan dengan tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan, dengan tetap menerapkan kebijakan intern partai untuk mendapatkan calon-calon anggota legislatif yang berkualitas, sehingga dapat berkiprah dengan baik dalam tatanan politik praktis, khususnya di Dewan Perwakilan Rakyat untuk menyuarakan kepentingan
rakyat, tetap berpihak kepada rakyat sesuai tugas dan
fungsinya. Sebagai partai terbuka, Partai Demokrat memperhatikan ketentuan perundangan yang berlaku dan seperti telah dikemukakan diatas untuk tetap berpegang pada ketentuan tersebut diawali dengan pemahaman yang baik bagi setiap kader partai. Dengan demikian dalam merespon ketemtuan pasal 65 Ayat (1) bahwa setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten / Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan sekurang-kurangnya 30%, Partai Demokrat telah melakukan langkahlangkah positif untuk memenuhi tuntutan ketentuan tersebut, baik pada tingkatan Dewan Pimpinan Daerah Propinsi Jawa Barat maupun pada tingkatan Dewan Pimpinan Cabang Kabupaten dan Kota. Dengan sifat keterbukaan Partai Demokrat mendorong para perempuan dari berbagai profesi untuk turut serta menjadi calon anggota legislatif. Ini berarti bahwa animo perempuan untuk menjadi anggota legislatif cukup baik dan direspons oleh partai untuk terlibat mengikuti tahapan-tahapan seleksi pemahaman, motivasi dan psikologi sehingga dihasilkan kualitas yang baik sesuai dengan misi partai kader. Dari gambaran tersebut, Partai Demokrat Propinsi Jawa Barat tetap konsisten dengan PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
17
ketentuan pasal 65 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum dan menyambut baik keseteraan gender dalam upaya reformasi struktur social politik dengan tidak mengabaikan aspek kualitas dan moral.17 Bertitik tolak dari doktrin Partai Demokrat diatas, terutama dengan sifat partai yang terbuka berupaya memenuhi kuota 30% perempuan bagi calon anggota legislatif. Partai Demokrat dengan terfokus mengirim calon-calon anggota legislatif perempuan untuk Dewan Perwakilan Daerah Propinsi Jawa Barat sesuai dengan ketentuan dengan tidak mengabaikan aspek kualitas dan moral, kemudian mengenai penempatan nomor urut dilakukan dengan penuh pertimbangan sesuai dengan kebijakan intern partai secara objektif karena yang akan dihadapi bukanlah masalah kecil tetapi masalah bagi kelangsungan berbangsa, berpemerintah dan bernegara di masa yang akan datang. 3)
Respon Partai Keadilan Sejahtera Dengan disahkannya UU pemilu yang menyertakan aspirasi kaum perempuan
pada pasal 65 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, tercantum “setiap partai politik dapat mengajukan calon anggota DPR,DPRI) propinsi, dan DPRI) Kabupaten/kota untuk setiap daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Banyak kalangan yang optimis dan bersemangat. Sebagaimana juga banyak yang pesimis dan bahkan justru merasa ini adalah sebuah perlakuan diskriminatif. Mereka yang optimis memandang bahwa ini adalah salah satu bentuk affirmative polici untuk mendukung peningkatan partisipasi politik perempuan. Sedangkan pandangan diskriminatif berawal dari penolakan pandangan bahwa perempuan hanya dinilai dari sekedar jumlah (kuantitatif) dan maka dari itu berhak memperoleh kuota. Mereka juga menegaskan agar perempuan dinilai dari sudut pandang kualitas, bukan kuantitas.18 PKS dalam hal ini meyakini bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah setara, dengan tentu saja memperhatikan fitrahnya masing-masing Keduanya mengemban amanah ibadah dan juga amanah khilafah. Maka diharapkan keduanya 17
Sumber : Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat Propinsi Jawa Barat, tahun 2009. Hasil wawancara dengan Umi Utami, Kepala Pemberdayaan Perempuan Politik Perempuan Partai Keadilan Sejahtera Jawa Barat, tangal 30 Agustus 2012. 18
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Kajian Mengenai Hak Politik …
18
bekerjasama dengan solid untuk saling melengkapi, karena keduanya memiliki kelebihan dan dan kekurangan masing-masing. PKS juga mendorong kader-kader wanitanya untuk berkiprah di dunia politik, karena kewajiban menunaikan amar ma’ruf nahi munkar diembankan pada kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan.19 Dan keluarga sebagai basic dari pemberdayaan perempuan dalam bidang politik.20 PKS tidak menafikan kebijakan kuota politik 30% kaum perempuan karena merupakan kebijakan yang dirancang, dirumuskan, diputuskan dan disahkan oleh para wakil rakyat yang duduk di legislatif. PKS juga mendukung kebijakan tersebut demi meningkatkan kepekaan warga negara Indonesia khususnya perempuan terhadap problematika umat. Namun, PKS menyadari, bahwa amanah menjadi anggota lagislatif itu tidaklah ringan, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Diharapkan siapapun yang menjadi caleg
lageslatif
dan
kedepannya
menjadi
anggota
lagislatif,
benar-benar
memperjuangkan aspirasi kaum perempuan dan berkontribusi nyata di Indonesia,21 bukan justru terjebak dalam kepentingan pribadi/golongan/partai, pembusukan politik dan beralih wujud menjadi politikus amoral sebagaimana yang telah lama ditunjukan oleh wajah perpolitikan Indonesia. PKS tidak hanya terpaku pada gerakan kuota bagi calon legislatif perempuan, tapi telah mewujudkannya secara demokratis dalam pemilihan umum internal partai untuk menentukan para calon legislatif. Bahkan PKS melampaui kuota dengan menempatkan 37,8% caleg perempuannya untuk DPR pada Pemilu 2009,
perlu
diingat bahwa sistem Pemilu 2009 berbeda dengan sistem pemilu sebelumnya, di mana rakyat Indonesia memilih langsung anggota legislatif yang dipercayai. Sehingga, yang berada pada urutan atas (1 atau 2) belumlah tentu menjadi caleg jadi. Daerah pemilihan Jabar dapat menjadi bahan kasus yang menarik jabar terdiri dari sebelas daeah pemilihan.pada DPRD Jabar, PKS menempatkan 6 (enam) kader perempuannya di urutan 1 dan 2. Enam kader ini tersebar di tujuh daerah pemilihan yang berbeda. Yakni Jabar 1 (Kota Bandung dan Kota Cimahi). Jabar 2 (Kabupaten 19
Sumber : Bidang Kewanitaan Partai Keadilan Sejahtera DPW Propinsi Jawa Barat, Tahun 2004. Sheikh Abd Al Hamd Rabee, Membumikan Harapan Keluarga Islam Idaman, Lembaga Kajian Ketahanan Keluarga Indonesia, Jakarta, 2011, hlm.28. 21 Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera, Terwujudnya Masyarakat madani Yang Adil, Sejahtera, dan Bermartabat, diterbitkan oleh Majelis Pertimbangan Pusat PKS, Jakarta, 2007, hlm. 210. 20
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
19
bandung), Jabar 5 (Kuota Depok), Jabar 6 (Kabupaten Bekasi dan Kota bekasi), dan Jabar 11 (Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalay, dan Kota Tasikmalaya). Maka 6 kader diantara 22 “caleg jadi” menunjukkan angka 27,3 %. Hal ini menunjukan keseriusan PKS dalam mendukung peningkatan partisifasi politik perempuan di legislatif. 3.
Upaya partai politik (parpol) untuk menerapkan kuota 30% dan kendalakendala yang menyebabkan representasi perempuan di legislatife dan eksekutif Partai Politik masih sangat rendah UU Pemilu Tahun 2008 itu menentukan bahwa sistem pemilu 2009 adalah sistem
proporsional terbuka. Di dalam pasal 65 ayat 1 UU Pemilu Tahun 2003 yunto UU Pemilu Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa “Setiap parpol peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kuota untuk setuap daerah pemilihannya dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen “. Pasal ini dianggap sebagai pasal setengah hati, pasal karet, bersifat sukarela karena tidak bersifat mengharuskan parpol melaksanakan ketentuan tersebut dan tidak ada sanksi bagi parpol yang tidak melaksanakannya. Hal ini membuka peluang bagi parpol-parpol yang selama ini didominasi laki-laki untuk mengabaikan aturan itu, dan pada akhirnya, keterwakilan perempuan tetap tidak tercapai22. Dalam imlementasi dari UU Pemilu 2008 itu banyak tantangan dan kendala yang harus dihadapi perempuan legislatif (caleg).setiap partai “harus” menyertakan perempuan caleg sedikitnya 30% perempuan dalam daftar calon anggota partainya atau non-partainya. Lalu konsekuensi dari sistem pemilihan umum dengan sisitem proporsional terbuka membawa kunkuensi yang cukup berat bagi perempuan yang meskipun 30% perempuan calag dipenuhi, namun tentu perempuan (dan juga laki-laki) akan terpilih karena rakyat memilih langsung nama calon, bukan lagin partai. Tantangan pertama adalah dari sistem pemilu baru itu sendiri, yaitu dalam hal bilangan pembagi pemilih (BPP), yakni angka pendapatan suara disuatu walayah dibagi kursi yang diperebutkan. 22
Kompas 28 April 2003.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Kajian Mengenai Hak Politik …
20
Kompetisi di arena kampanye akan sangat keras antar perempuan sendiri mengingat hanya 30%, lalu dengan caleg laki-laki dalam pemilihan terbuka yang mana para laki-laki tidak asing di dunia publik / politik bagi masyarakat. Di sini lah kepiawaian perempuan caleg di uji, apalagi banyak daerah-daerah yang budaya patriarkhinya sangat kuat dan daya penerimaan terhadap perempuan yang berkiprah di dunia publik sangat rendah. Namun, tantangan yang terberat adalah bagi perempuan caleg dari sesama para perempuan itu sendiri di seluruh Indonesi, dengan beragam budaya politik lokalnya, tingkatan keterkungkungan
mereka
dalam budaya
patriarkhi
lokal,
tingkat
pendidikanya, tingkat pemahaman dan kesadaran akan pentingnya suara mereka terwakili dengan memadai, dan tingkat pandangan mengenai politik itu sendiri. Yaitu menghapus keragu-raguan diantara perempuan sendiri tentang anggapan bahwa politik itu buruk dan kotor. Pemahaman makna dari politik yang berpresfektif perempuan harus di pahami terlebih dahulu, yang menjadi platform bagi dirinya sendiri dalam memperjuangkan perbaikan dan perubahan nasib perempuan Indonesia. Sehingga bisa mengkritisi pandangan umum/maskulin bahwa politik adalah alat untuk memperoleh kekuasaan, ketimbang sebagai prasarana/sarana untuk memperbaiki keadaan Indonesia. Sedangkan partai politik adalah salah satu kendaraan arus utama (namun kendaraanya bukan milik pribadi, tetapi milik bersama anggota partainya/partai) yang berlaku di sistem pemilu ini, yang mau tak mau harus diikuti oleh para perempuan indonesia. Selain hal tersebut, seperti telah dikemukakan di atas, perempuan telah tertinggal dalam mengendarai kendaraan partai politik. Hampir tidak ada (keduali Megawati) yang pernah menjadi pimpinan partai politik, padahal menurut aturan perundangundangan salah satu persyaratan sebagai calon legislatif adalah keaktifan calon legislatif. Kedudukan mereka dalam partai hanyalah menjadi anggota biasa, selalu tidak pernah menjadi orang yang diunggulkan. Memang dalam kenyatannya perempuan cerdik cendikia atau perempuan teknokrat telah menjabat kedudukan tertentu di lembaga eksekutif dan yudikatif. Mereka adalah pegawai negeri sipil, hal yang tidak memungkinkan mereka masuk dalam lingkaran legislatif. Undang-undang telah menetapkan bahwa pegawai negeri PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
21
sipil tidak boleh menjadi anggota partai politik. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa tidak ada perempuan yang dapat memenuhi kualifikasi sembagai calon legislatif. Kuota perempuan ini menimbulkan polemik yang cukup menarik, yaitu mengenai setuju dan tidak setuju adanya kuota tersebut. Khususnya yang tidak setuju, menilai bahwa dengan adalah kuota tersebut menunjukklan bahwa perempuan masih perlu mendapat “jatah” yang ditetapkan undang-undang, bukan karena hasil persaingan dengan sesama calon legislatif laki-laki. Lebih lanjut lagi bahkan ada yang berpendapat
bahwa
kuota
tersebut
mengukuhkan
ke-subordinasi-an
kaum
perempuan.23 Dari kaum perempuan sendiri, walaupun menyambut dengan gembira kuota ini, tetapi tetap merasakan bahwa perjuangan masih panjang. Partai politik sendiri tidak terlalu merespon adanya kuota. Selain itu terdapat tujuh alasan, yang oleh Diah Nurwitasari dari partai Keadilan Sejahtera, dilukiskan sebagai keengganan perempuan mengajukan diri sebagai calon legislatif.24 1.
Kurangnya dukungan secara penuh dari partai politik yang bersangkutan.
2.
Tuntutan kualitas pada caleg perempuan lebih ditonjolkan.
3.
Selama ini masyarakat selalu menyaksikan prilaku politik yang cenderung brutal, kurang beradab, serta kotor.
4.
Dengan sistem proporsional daftar terbuka setengah dalam Pemilu 2004, perempuan bakal calon bukan hanya harus berjuang agar namanya masuk di dalam daftar jadi partainya, tetapi harus berada pada urutan pertama atau kedua dalam daftar calon. Alasannya, Pasal 107 (2) UU Pemilu 2003 menyebutkan bahwa “a) nama calon yang mencapai angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP, jumlah suara dibagi kursi yang diperebutkan) ditetapkan sebagai calon terpilihl dan b) nama calon yang tidak mencapai angka BPP, penetapan calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut pada daftar calon di daerah pemilihan bersangkutan”.
5.
Perempuan menghadapi dua tahap yakni tahap penentuan bakal caleg merupakan titik kritis untuk terpenuhinya jumlah 30% perempuan di parlemen, serta tahap 23 24
Komariah Emong Sapardjaya, ibid, hlm. 6 Pikiran Rakyat , 16 Januari 2009.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Kajian Mengenai Hak Politik …
22
pemilihan yang notebene dibutuhkan kemampuan berkompetensi dengan lakilaki. 6.
Sebagaimana dikatakan Diah Nurwitasari, hambatan besar lain akan dihadapi perempuan caleg adalah dana kampanye. Untuk membantu perempuan caleg mengatasi hambatan dana, solusi yang ditawarkan atara lain menggalang dana masyarakat khusus untuk membantu perempuan caleg, sebut saja denga pundi dana itu
sebagai Dana Kuota
Perempuan. Sebenarnya untuk masalah ini menurut Safinaz Asari dari Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, kantor ini memiliki anggaran yang bisa dimanfaatkan untuk membantu kampanye perempuan caleg. 7.
Kendala lain yang akan dihadapi perempuan setelah lolos menjadi calon legislatif partai adalah besarnya daerah pemilihan. Ini sempat terungkap dalam sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu, Saat itu, Ani Soetjipto dari “Cetro” menyebutkan salah satu kendala yang akan dihadapi perempuan caleg adalah besarnya daerah pemilihan. Semakin kecil kursi yang diperebutkan di suatu daerah pemilihan, semakin kecil perempuan akan terpilih. Sebaliknya, semakin besar daerah pemilihan, semakin besar peluang perempuan caleg untuk terpilih asalkan kandidat perempuan ini berada pada nomor urutan jadi. Secara faktual dan empirik, hambatan-hambatan yang dihadapi partai Demokrat
didalam mewujudkan kuota 30% perempuan dalam pemilihan umum tahun 2009 adalah sebagai berikut: 1.
Di tingkat Dewan Pimpinan Cabang (DPC) walaupun penjaringan Calon Anggota Legeslatif Perempuan dilakukan secara terbuka, masih dirasakan sulit terutama untuk wakil dari zona pemilihan yang ada di tingkat kabupaten.
2.
Dengan tingkat pendidikan politik yang masih kurang, menyebabkan animo perempuan untuk menjadi calon anggota legeslatif di zona-zona pemilihan kurang mendapat perhatian.
3.
Dari sosialisasi dengan sasaran para perempuan mengenai tugas dan fungsi legislatif disimpulkan masih adanya keraguan, ketakutan bagi kalangan perempuan untuk terjun di dalam politik praktis.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
23
4.
Dari syarat minimal pendidikan SLTA seperti telah ditetapkan di dalam Undangundang Nomor 12 Tahun 2003, secara kuantitas di zona-zona pemilihan para perempuan memenuhi, tetapi pilihan untuk berpolitik tidak siap.
5.
Di zona-zona pemilihan ataupun daerah pemilihan bagi kalangan perempuan lebih dominan menganggap bahwa politik itu taktik yang jahat, sehingga partisipasi politik melalui partai politik agar dihindari.
6.
Di zona-zona pemilihan, para perempuan lebih memilih mengabdi di bidang yang lain dibanding berperan serta dalam politik praktis.
7.
Real politik yang terjadi saat ini memberikan pemahaman ketidak pastian bagi para perempuan untuk berpolitik. Hambatan-hambatan tersebut ditemui dan dirasakan Partai Politik di dalam
merekrut para perempuan untuk memanfaatkan peluang yang terbuka menjadi calon anggota legislatif sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, terutama dengan dibukanya peluang kuota 30% bagi para perempuan. Dengan demikian pemenuhan kuota 30% perempuan di tiap zona pemilihan dalam jajaran Partai Politik belum merata, lain halnya yang tejadi pada tingkat Dewan Pimpinan Daerah. Bagaimanapun kesiapan Calon Legislatif Perempuan dalam Pemilu, tetap bergantung kepada suara perempuan pemilih dan pemilih perempuan itu sendiri.25 Demikian juga dengan PK Sejahtera yang mengalami kendala dalam mewujudkan partisifasi politik perempuan, khususnya dalam hal politik praktis. Beberapa tantangan yang dihadapi di lapangan, baik secara personal kader maupun sistem, antara laina : 1.
Rendahnya pemahaman mengenai politik pada sebagian kader.
Pemahaman
yang salah menyebabkan persepsi dan penafsiran yang salah pula tentang politik . 2.
Mayoritas kader perempuan PK sejahtera adalah generasi muda, yang belum banyak berpengalaman dalam hal politik praktis, serta kaum ibu muda yang masih memiliki anak balita.
3.
Belum adanya sistem yang kondusif bagi partisipasi politik perempuan. Sistem ini dibutuhkan agar partisipasi politik perempuan dapat bahu membahu dalam 25
Iim Nurochimah, 2003, Kualifikasi Aktivitas Politik Muslimah, dalam Muslimah Menuju Era Siyasah, Gema Insani press, Jakarta ,hlm. 5
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Kajian Mengenai Hak Politik …
24
meningkatkan kontribusi mereka percaturan politik intra maupun exstra parlementer. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa anggota legislatif perempuan di Daerah- daerah cenderung belum berbuat banyak untuk kaumnya. Bahkan, ada anggota legislatif perempuan yang sangat jarang berbicara dalam rapat atau sidang. Kondisi ini dituturkan oleh para ketua Komisi dan saling silang pendapat di antara sesama anggota legislatif perempuan yang menyatakan bahwa sebagian besar anggota legislatif perempuan lebih banyak bersikap pasif, tidak banyak mengemukakan gagasan dan cenderung hanya mengikuti arah pembicaraan yang didominasi anggota laki-laki.26 Ada beberapa hal yang menjadi penyebab “membisunya” anggota legislatif perempuan dalam persidangan. Pertama, menilik dari sebaran latar belakang pendidikan terlihat tidak terlalu banyak anggota legislatif yang latar belakang pendidikannya berkait langsung dengan tugas pokok dan fungsi mereka sebagai anggota legislatif. Tidaklah mengherankan jika dalam sidang-sidang DPRD anggota legislatif perempuan terlihat pasif, tidak banyak mengajukan pendapatdan usulan. Kurangnya keberanian untuk menyampaikan pendapat dan ditambah dengan minimnya pengetahuan bidang politik, sosial dan ekonomi menyebabkan anggota legislative tidak banyak berbicara dalam sidang. Kedua, pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik tidak memilah antara caleg perempuan dan laki-laki, padahal kebutuhan dan tantangan yang dihadapi caleg laki-laki dan perempuan berbeda. Ketiga, sikap anggota legislatif laki-laki yang sinis terhadap usulan program perempuan turut menghambat keberanian anggota legislatif perempuan untuk menyuarakan kepentingan perempuan. Meskipun tidak semua anggota legislatif lakilaki bersikap demikian, suara sinis dan bernada mengejek tersebut membuat anggota legislatif perempuan menjadi enggan mengajukan usul, terutama yang berkait dengan persoalan perempuan.
26
Shafiyyah, Amatullah dan haryati Soeripno, Kiprah Politik Muslimah, Konsep dan Implementasinya, 2003, Gema Insani press, Jakarta , hlm. 17
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
25
Keempat, kurangnya kualitas dan kemampuan anggota perempuan dalam menyampaikan gagasan. Terlebih lagi jumlah anggota perempuan terlampau kecil dibandingkan laki-laki. Akibatnya suara perempuan seakan tidak terdengar di sidangsidang.
Persoalan
kualitas
personal
anggota
legislatif
perempuan
dalam
menyampaikan usulan menjadi faktor penting yangmenentukan apakah anggota lakilaki akan mendukung usulan anggota perempuan atau tidak. Kelima, kurangnya rasa percaya diri para anggota legislatif perempuan. Di parlemen dominasi anggota laki- laki terlihat sangat dominan. Mereka berani berbicara secara keras dan tegas, meskipun tidak jarang substansi pembicaraan tidak terarah. Sikap keras dan tegas. D.
Kesimpulan Dan Saran Dari penelitian di atas kesimpulan yang dapat penulis kemukakan sebagai
berikut: 1.
Tindakan khusus sementara (affirmative action) dengan sistem kuota 30 % dalam pencalonan perempuan di legislative, seperti diatur dalamdalam UU No. 2 Tahun 2008 Jo. UU No. 10 Tahun 2008 tidak bertentangan dengan prinsip persamaan hak sebagaimana dianut oleh UUD 1945, khususnya Pasal 28 D ayat (1) Jo. Pasal 28 ayat(3) jo. Pasal 28 I ayat(2).
2.
Ditetapkannya Intruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender menjadi dasar pijakan politis bagi perempuan untuk berpatisipasi di dalam pembangunan. Salah satu hal untuk mengeliminasi segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan adalah tindakan affirmatif , yang diantaranya diimplementasikan dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen dan partai politik dengan diundangkan secara formal dalam pasal 65 Undang-Undang Pemilu No. 12 tahun 2003. Walaupun ketentuan pasal 65 Undang-Undang Pemilu No. 12 tahun 2003 ini tidak senafas dengan ketentuan yang dianut dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 C ayat (2) Perubahan Kedua, dan Pasal 28 D ayat (3) perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945, laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam berpartisipasi di bidang politik dan
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Kajian Mengenai Hak Politik …
26
pemerintahan termasuk untuk dicalonkan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. 3.
Di dalam upaya memenuhi kuota 30% perempuan untuk calon anggota legislatif, secara empirik dan faktual terdapat kendala yang menyebabkab terhambatnya keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat sangat rendah karena faktor internal seperti rendahnya kualitas sumber daya perempuan, rendahnya pengetahuan perempuan tentang politik, tidak adanya dukungan yang sungguhsungguh dari partai politik, hingga motivasi rendah dari individu perempuan. Serta faktor eksternal seperti nilai-nilai budaya dan agama yang masih tumbuh subur di masyarakat bahwa dunia politik adalah dunianya lakilaki, di mana sistem dan struktur sosial patriakhi telah menempatkan perempuan pada posisi yang tidak sejajar dengan laki-laki
Saran 1.
Politik yang tidak memenuhi kuota 30 % calon legislative peremmpuan seharusnya
tidak
diperkenankan
sebagai
peserta
pemili,
dan
perlu
dipertimbangkan pula kuota 30 % bukan pada calon, tetapi pada hasil dari pemilihan’ 2.
Perempuan terjun ke dunia politik harus mempersiapkan diri agar mampu bersaing dengan laki-laki, untuk itu kaum perempuan harus aktif di dalam kepengurusan partai politik, dan membekali diri dengan memenuhi kapasitas, kompetensi dan kualifikasinya sebagai warga politik dengan tetap dalam koridor kesempurnaan jati diri perempuan.
3.
Partai politik harus member kesempatan dan peluang kepada kaum perempuan untuk lebih aktif dalam berpolitik praktis dengan member kesempatan kepada kaum perempuan untuk menjadi pengurus partai.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
27
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
DAFTAR PUSTAKA
Buku – Buku Ellydar Chaidir, Negara Hukum, Demokrasi dan Konstalasi Ketatanegaraan Indonesia, Penerbit Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007 Imas Rosidawati, Keterwakilan Perempuan di Dewan perwakilan rakyat, Kesiapan Partai Politik & Prempuan Indonesia Di Arena Poliktik Praktis, Jurnal Media Nusantara, Kajian Ilmiah Universitas Islam Nusantara, 2007 Iim Nurochimah, Kualifikasi Aktivitas Politik Muslimah, dalam Muslimah Menuju Era Siyasah, Gema Insani press, Jakarta, 2003 Komariah Emong Sapardjaya, Perempuan Indonesia Ketinggalan Mengendarai Kendaraan Partai Politik, makalah disajikan pada seminar : Kesiapan Publik Terhadap Pengarusutamaan Gender dalam Politik Pada Pemilu, Bandung, 2004 Majelis Pertimbangan Pusat PKS, Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera, Terwujudnya Masyarakat madani Yang Adil, Sejahtera, dan Bermartabat, Jakarta, 2007 Mousse, Julia Cleves, Gender dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996 Niken Savitri, HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP, Refika Aditama, Bandung, 2008 Reni Nuryanti, Perempuan Berselimut Konflik, Tiara Wacana, Yogyakarta ,2011 Riyan Sumindar, Kesiapan Publik, Perempuan dan Politik, makalah disampaikan pada seminar : Kesiapan Publik Terhadap Pengarusutamaan Gender dalam Politik Pada Pemilu 2009, Bandung. 2009 Sandra Kartika et. Al (Editor), Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Jakarta, 2001 Shafiyyah, Amatullah dan haryati Soeripno, Kiprah Politik Muslimah, Konsep dan Implementasinya, Gema Insani press, Jakarta, 2003
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Iie M. Kajian Mengenai Hak Politik …
28
Sheikh Abd Al Hamd Rabee, Membumikan Harapan Keluarga Islam Idaman, Lembaga Kajian Ketahanan Keluarga Indonesia, Jakarta, 2011 Shidarta, Konsep Diskriminasi Dalam Perspektif Filsafat Hukum, dalam : Butirbutir Pemikiran Dalam Hukum, memperingati 70 Tahun Prof. Dr.B. Arief Sidharta, SH, Refika Aditama, Bandung, 2008
Perundang – Undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak azasi manusia UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum UU Nomor 12 Tahun 205 tentang Hak-hak Sipil dan Politik UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai politik UU I Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
29
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014 KEDUDUKAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL ATAS MEREK HUBUNGANNYA DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN Oleh : Imas Rosidawati WR.
Abstract In this era of free trade, Brand right has a very important role in creating a fair trade system. The coming of import product and service to Indonesia emerges a problem when there is a complainabout the product because there are lots of products, original brand or local with no clear information about who the legal distributor is. This obscurity complicates the consumer when experiencing losses because of the product. It is mentioned on TRIPs (Trade Related Intellectual Properties) that every member country must implement the provisions about the brand usage as an effort to protect the consumers. This research results that the legal protection of IPR ( Intellectual Property Rights) through criminal or civil law enforcement, in relation to consumer protection basically means how to make people aware the law about IPR in Brand domain through IPR network expansion. Key words: Free trade, Intellectual Property Rights , Brand Right, Protection Abstrak Dalam era perdagangan bebas, hak Merek merupakan faktor penting dalam menciptakan sistem perdagangan yang fair Masuknya barang dan jasa impor ke Indonesia memunculkan permasalahan ketika ada pengaduan konsumen atas barang dan jasa impor tersebut karena masih banyak barang-barang impor yang bermerek baik merek asli maupun lokal yang tidak diketahui dengan jelas siapa distributornya di Indonesia. Ketidakjelasan ini menyulitkan konsumen bila mengalami kerugian akibat menggunakan produk barang atau jasa tersebut. Dalam TRIPs (Trade Related Intellectual Properties) antara lain disebutkan, bahwa negara anggota wajib melaksanakan ketentuan tentang penggunaan merek sebagai upaya untuk melindungi konsumen. hasil penelitian (research paper) ini adalah bahwa Perlindungan hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) melalui penegakan hukum baik pidana maupun perdata, kaitannya dengan perlindunan konsumen pada dasarnya mengandung arti bagaimana menjadikan masyarakat sadar hukum atas hak Kekayaan Intelektual (HKI) di bidang merek melalui perluasan jaringan HKI. Kata Kunci : Perdagangan Bebas, Hak Kekayaan Intelektual, Hak Merek, Perlindungan Konsumen
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas WR. Kedudukan Hak … A.
30
Pendahuluan Sistem
perlindungan
yang
memadai
terhadap
HKI
akan
menunjang
pembangunan ekonomi masyarakat yang menerapkan sistem tersebut baik di negara maju maupun di negara berkembang. Walaupun demikian harus diakui bahwa seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang sedemikian pesat semakin meningkat pula kesadaran masyarakat mengenai perlunya penelaahan yang lebih seksama dalam upaya menciptakan perlindungan HKI yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Masuknya TRIPs1 dalam WTO, memunculkan anggapan bahwa sistem HKI merupakan salah satu alat bagi negara maju untuk melindungi kepentingan perdagangan mereka, anggapan ini tidak seluruhnya benar karena melalui sistem HKI kepentingan negara yang memiliki sumber daya manusia dengan dengan industri kreatifnya turut terlindungi. Hal ini sangat tergantung bagi negara yang bersangkutan mau memanfaatkannya atau tidak melalui pengembangan sistem HKI yang ada. Pengelompokan sistem HKI secara rinci menurut TRIPs didasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) bahwa yang dimaksud dengan HKI meliputi semua kategori kekayaan intelektual sebagaimana dimaksud dalam BAB II Bagian 1 sampai dengan Bagian 7 Agreement TRIps. Penegakan hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan sebuah komitmen yang harus dipenuhi sebagai konsekuensi Indonesia menjadi anggota World Trade Organization (WTO) yang telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Salah satu agenda WTO adalah TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights). Dalam era perdagangan bebas, hak Merek merupakan faktor penting dalam menciptakan sistem perdagangan yang fair. Merek digunakan dalam kegiatan pedagangan barang atau jasa, dan juga untuk membedakan barang atau jasa sejenis dari produksi satu perusahaan dengan produksi perusahaan lainnnya. Dengan demikian Merek adalah tanda pengenal asal barang atau jasa yang bersangkutan dengan
1
Di Indonesia Persetujuan TRIPs mulai berlaku efektif tanggal 1 Januari 2000, hal ini merujuk pada Pasal 65 Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement 1994), mengenai ketentuan-ketentuan peralihan bagi negara-negara berkembang , negara berkembang harus memberikan perlakuan yang sama dan memiliki kewajiban-kewajiban sampai tahun 2000 untuk melaksanakan kewajibankewajiban substantive lainnya.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
31
produsennya yang menggambarkan jaminan kepribadian (individuality) dan reputasi barang atau jasa hasil usahanya pada waktu diperdagangkan.2 Dalam kehidupan perdagangan selalu ada tindakan yang mencoba meraih keuntungan melalui jalan pintas dengan segala cara, dan dalih walaupun tindakan tersebut melanggar etika bisnis, norma kesusilaan, bahkan melanggar hukum. 3 Bentuk pelanggaran merek seperti penggunaan merek yang sama pada keseluruhannya atau pada pokoknya dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain tanpa hak, atau peniruan, atau pemalsuan merek orang lain yang dipakai pada barang atau jasa yang diperdagangkan.
4
Perbuatan menggunakan Merek atau tanda semacam itu
termasuk golongan perbuatan persaingan tidak sehat atau tidak jujur atau curang (unfair competition). Persaingan usaha tidak sehat (unfair Competition) sangatlah tidak diharapkan terjadi. Pasal 10 bis dari konvensi Paris memuat ketentuan bahwa negara peserta Uni Paris terikat untuk memberikan perlindungan yang efektif agar tidak terjadi persaingan usaha yang tidak sehat . 5 Di dalam menghadapi perdagangan bebas yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 2003, Indonesia diharuskan untuk mengikuti perkembangan dan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian WTO (World Trade Organization), TRIP’S (Trade Related Intellectual Property), WIPO (World Intelectual
Property
Organization), GATT (General Agrement on Tariffs and Trade), dimana Indonesia sebagai negara berkembang akan mengalami banyak tantangan bila tidak mempersiapkan diri dari sekarang khususnya dalam penanggulangan tindak pidana merek.
Berdasarkan data pada Ditjen HKI sampai tahun 2008, pelanggaran yang
paling banyak dan sering terjadi adalah kasus pelanggaran merek sebanyak 1981 kasus, tahun 2010 sampai September tahun 2012 sebanyak 376 kasus, sebagian besar
2
Tim Lindsey et all. (editor), Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 2002, hlm.
132. 3
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis – Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hlm. 69. 4 Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayan Intelektual, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2001, hlm. 218. 5 Muhamad Djumhana, R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual : Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1997, hlm. 188
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas WR. Kedudukan Hak …
32
dari kasus-kasus tersebut berkaitan dengan barang-barang yang secara identik termasuk kemasannya menyerupai merek-merek yang sudah terdaftar. Kebijakan ini dimaksud untuk menjaga, agar persaingan antara kalangan usaha dilakukan secara jujur (fair competition) dengan syarat-syarat yang diperlukan agar perilaku bisnis tidak merugikan konsumen serta ketentuan-ketentuan tentang perlindungan konsumen dapat ditaati oleh pihak-pihak terkait. Tentang penggunaan merek secara tanpa hak saat ini tidak menutup kemungkinan sampai kepemalsuan obat-obatan, makanan, minuman dan kosmetika serta barang-barang lainnya, dan menggunakan merek-merek pihak lain yang sudah terkenal yang dapat merongrong kebijaksanaan suatu pemerintah dibidang perdagangan.
Contoh lain di Amerika
Serikat 12 orang meninggal disebabkan oleh obat-obatan palsu pada tahun 1982, di Norwegia penumpang pesawat “Convoir 580” mengalami kecelakaan ketika menuju Jerman pada tahun 1989, 55 orang penumpang dan krew meninggal, kecelakaan tersebut disebabkan oleh baut tiruan dalam pemasangan ekor pesawat. Praktek-praktek yang tidak beretika atau tidak bermoral diberbagai sektor ekonomi dan politik yang harus dipikul dan ditanggung bersama semua elemen bangsa.6 Kedudukan konsumen menduduki posisi yang penting, namun ironisnya sebagai salah satu pelaku ekonomi, kedudukan konsumen sangat lemah dalam hal perlindungan hukum7. Di Indonesia, konsumen yang selama ini berada pada posisi lemah terkesan hanya menjadi objek pelaku usaha melalui kiat promosi, maupun cara penjualan yang sangat ekspansif. Lemahnya posisi konsumen disebabkan antara lain masih rendahnya kesadaran konsumen di Indonesia8. Undang-undang perlindungan konsumen dalam hal ini memberi ruang dengan pengajuan gugatan perdata. Kesulitan-kesulitan dalam melakukan gugatan terhadap pelaku usaha yang telah merugikan konsumen adalah dimana setiap penggugat haruslah dapat membuktikan, bahwa pihak pelaku usaha sebagai tergugat telah melakukan kesalahan. Dengan demikian setiap pihak yang mendalilkan adanya suatu
6 Ahmad M. Ramli, Cyber Law Dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 4. 7 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Penerbit Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2000, hlm 12. 8 A.Z. Nasution, Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman R.I, Jakarta, 1993-1994, hlm 10.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
33
kesalahan, maka pihak yang mendalilkan tersebut haruslah dapat membuktikan kesalahan pihak yang digugat. Hal ini tentu menyulitkan konsumen untuk membuktikan kesalahan produsen sebagai pihak yang bertindak sebagai pelaku usaha9. Berdasarkan latar belakang masalah seperti diuraikan dimuka, maka timbul pemasalahan, yang dapat diidentifikasikan dibawah ini : bagaimanakah penegakan hukum atas pelanggaran hak merek dan bagaimana kedudukan Hak Kekayaan Intelektual atas Merek kaitannya dengan perlindungan konsumen. B.
Pembahasan
1.
Penegakan Hukum Atas Pelanggaran Hak Merek Perlindungan
hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada dasarnya
mengandung arti bagaimana menjadikan masyarakat sadar hukum atas hak Kekayaan Intelektual (HKI) termasuk di bidang merek. Penegakan hukum tersebut biasanya dilakukan melalui cara : Pertama, orang – perorangan berhak menggugat pelanggar ke pengadilan atau lembaga yang berfungsi sebagai pengadilan atas dasar pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Upaya hukum mana yang dapat diberikan antara lain : Pembatalan pendaftaran merek, penghapusan pendaftaran merek, ganti kerugian, pemusnahan barang pelanggaran, penetapan sementara , dan lain-lain. Kedua, yang bisa dipakai untuk memaksa orang supaya mentaati Hak Kekayaan Intelektula (HKI) adalah melalui negara. Di banyak negara, negara berhak menghukum orang yang melanggar peraturan perundang-undangan dengan sanksi pidana. Akan tetapi, sanksi pidana jarang sekali dipakai di negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon. 10 Ketiga, melalui Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Di Indonesia
untuk memberikan kesempatan yang lebih luas dalam penyelesaian sengketa, dan untuk lebih menjamin kerahasian serta nama baik para pihak, dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek ini dimuat ketentuan tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa lainnya diluar 9
pengadilan ( arbitrase and
Sidharta, , hlm 45 Tim Lindsey (ed). Hlm. 307.
10
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas WR. Kedudukan Hak …
34
Alternative Dispites resolution / ADR). Tampaknya persoalan merek dpandang sebagai “Commercial Activities” yang menurut pendapat pemerintah memerlukan penyelesaian yang lebih cepat dari perkara-perkara biasa (non-business). Membicarakan “penegakan”, biasanya terpikirkan tentang hanya penegakan hukum secara pidana yaitu negara menggunakan sanksi pidana terhadap orang yang melanggar hak orang lain. Tetapi di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) termasuk Merek, dalam negara yang sudah berkembang penegakan hukumnya tersedia berbagai macam upaya hukum untuk membantu pemegang hak ( pemilik atau pemakai HKI ) untuk melaksanakan hak yang dimilikinya. Upaya tersebut bukan saja sanksi pidana, tetapi juga upaya hukum perdata; pemeriksaan dan sanksi administratif; serta sanksi perdagangan internasional. Dengan diratifikasinya TRIPS, maka beberapa ketentuan dalam perundangundangan Hak Kekayaan Intelektual
di Indonesia telah diamandemen melalui
Undang-undang Nomor 15 Tahu 2001, antara lain bahwa semua kasus perdata HKI berada di bawah jurisdiksi Pengadilan Niaga; kemudian Jika para pihak tidak puas dengan putusan hakim tingkat pertama tidak dapat diajukan banding, namun langsung kasasi ke Mahkamah Agung. Juga diterapkannya penetapan sementara berupa suatu perintah yang diajukan sebelum kasus tersebut diajukan ke Pengadilan Niaga, khususnya untuk mengumpulkan barang bukti dan mencegah barang-barang hasil pelanggaran beredar di pasar. Perjanjian TRIPS mengatur tentang kewajiban negara anggota untuk menyediakan prosedur dan upaya hukum dalam hukum nasional untuk menjamin bahwa HKI dapat secara efektif ditegakkan baik oleh pemegang hak. Dalam pembahasan berikut akan dijelaskan langkah-langkah penegakan HKI Indonesia. Berikut adalah beberapa cara penegakan hukum dibidang merek, serta pemboncengan reputasi (passing off) atas merek terkenal : a.
Gugatan Atas Pelanggaran Merek Terdapat beberapa definisi dari barang-barang tiruan dan bajakan. Namun
demikian sebagai referensi sehubungan dengan pasal 51 Perjanjian TRIPS, barang
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
35
bermerek tiruan dan barang-barang hak cipta bajakan. Menurut perjanjian ini didefinisikan sebagai berikut :11 “Barang-barang bermerek tiruan adalah barang-barang, termasuk kemasannya, yang identik dengan merek yang terdaftar secara sah yang berkenaan dengan barang tersebut, atau merek tersebut tidak dapat dibedakan aspek-aspek utamanya maka hal tersebut dianggap melanggar hak pemilik merek menurut undang-undang” Yang dimaksud dengan pelanggaran merek adalah penggunaan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain secara tanpa hak untuk barang dan/atau jasa yang sejenis. Berkenaan dengan pelanggaran merek tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan berupa gugatan ganti rugi dan/atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut. Gugatan dimaksud diajukan kepada Pengadilan Niaga. Gugatan atas pelanggaran merek sebagaimana tersebut di atas dapat pula diajukan oleh penerima lisensi, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan pemilik merek terdaftar , Pasal 67 UU Merek No. 15 Tahun 2001. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 78 ayat (1) UU Merek No. 15 Tahun 2001, dalam rangka mencegah kerugian yang lebih besar akibat dari pelanggaran merek itu, atas permohonan pemilik merek terdaftar atau penerima lisensi selaku penggugat, hakim dapat memerintahkan tergugat untuk menghentikan produksi, peredaran dan/atau perdagangan barang atau jasa yang menggunakan merek tersebut secara tanpa hak. Dengan demikian sebelum adanya putusan akhir, hakim dapat memberikan putusan provisi yang berupa perintah kepada tergugat untuk menghentikan produksi dan peredaran barang atau jasa yang menggunakan merek secara tanpa hak itu sesuai dengan tuntutan provisi yang diajukan oleh penggugat. Sedangkan apabila tergugat dituntut pula untuk menyerahkan barang yang menggunakan merek secara tanpa hak tersebut, maka hakim dapat memerintahkan bahwa penyerahan barang dimaksud dilaksanakan setelah putusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap.
11
Ade Maman Suherman, Op.,Cit. hlm. 89
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas WR. Kedudukan Hak …
36
Dalam hal ini terhadap putusan pengadilan niaga tidak dapat diajukan banding, tetapi langsung kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini adalah sesuai dengan seluruh system yang berhubungan dengan persoalan merek, bahwa tidak ada banding kepada Pengadilan Tinggi tetapi, langsung dari Pengadilan Niaga ke Mahkamah Agung. Sebelum gugatan diajukan, menurut ketentuan Pasal 85 UU Merek No. 15 Tahun 2001 berdasarkan bukti yang cukup pihak yang haknya dirugikan dapat meminta hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan surat penetapan sementara tentang : 1)
Pencegahan masuknya barang yang berkaitan dengan pelangaran hak Merek;
2)
Penyimpanan alat bukti yang berkaitan dengan pelanggaran Merek tersebut. Inilah yang dinamakan “provisional measures” yang juga sudah dimungkinkan
dalam Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa No. 30 Tahun 1999 dimana maksud dari tindakan putusan sementara melarang bertambah beredarnya barang yang berkaitan dengan pelanggaran hak merek ini serta penyimpanan alat bukti yang berkaitan dengan pelanggaran merek, adalah untuk menjamin jalannya pemeriksaan perkara yang lebih mapan dan dapat memenuhi keinginan “business community” Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar sehingga Pengadilan Niaga diberi kewenangan untuk menerbitkan penetapan sementara guna mencegah berlanjutnya pelanggaran dan masuknya barang yang diduga melanggar Hak atas Merek ke jalur perdagangan termasuk tindakan importasi. Penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek tersebut berbeda dengan tuntutan provisi dalam gugatan atas pelanggaran merek. Penetapan sementara disini diajukan sebelum adanya gugatan, sedangkan tuntutan provisi merupakan bagian dari gugatan atas pelanggaran merek. Sistem seperti ini dalam sistem hukum barat sering disebut dengan “Injuction System”. Menurut Pasal 85 s.d. 88 UU Merek, pihak yang haknya dilanggar dapat meminta kepada hakim di Pengadilan Niaga untuk mengeluarkan putusan sementara untuk mencegah masuknya barang-barang yang diduga hasil pelanggaran merek. Permintaan harus data bentuk tertulis, dan Pengadilan Niaga dengan segera memberitahukan kepada pihak yang diduga melanggar dengan memberi kesempatan
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
37
padanya untuk menyampaikan keberatan atau sanggahan. Jika Pengadilan Niaga telah mengeluarkan putusan sementara, hakim yang memeriksa harus memutuskan apakah akan mengubah atau membatalkan atau menguatka putusan tersebut dalam waktu paling lama 30 hari sejak dikeluarkannya putusan penetapan sementara tersebut. Pasal 54 UU No.10/1995 tentang Kepabeanan mengandung ketentuan tentang pelarangan dan pembatasan ekspor-impor dan kontrol terhadap eks impor barangbarang hasil pelanggaran HKI. Pemegang pemegang merek dapat meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat mengeluarkan surat perintah ke Bea Cukai untuk menunda sementara pelepasan impor atau ekspor yang mana diduga merupakan hasil pelanggaran merek yang dilindungi di Indonesia. Permintaan dari pemilik merek untuk menunda sementara pelepasan barangbarang ekspor atau impor harus dengan menyertakan bukti yang cukup tentang pelanggaran hak, seperti bukti kepemilikan merek, deskripsi rinci yang cukup mengenai barang-barang yang diimpor atau diekspor yang diminta penundaan (Pasal 54 dan 55 UU Kepabeanan). Ini sesuai dengan ketentuan standar dalam perjanjian TRIPS. Permintaan untuk penundaan sementara pelepasan barang-barang impor atau ekspor, wilayah kepabeanan harus diajukan disertakan dengan bukti-bukti adanya pelanggaran merek dan hak cipta, bukti kepemilikan hak cipta dan merek, deskripsi rinci yang cukup mengenai barang-barang yang diimpor atau diekspor yang diminta penundaan. Ini untuk mencegah penyalahgunaan dan untuk mengurangi perdagangan barang-barang hasil pelanggaran merek dan hak cipta. Ketentuan ini (Pasal 55 UU Kepabeanan) sesuai dengan ketentuan standar dalam perjanjian TRIPS. Menurut Pasal 58 UU Kepabeanan, berdasarkan permintaan dari pemegang merek dan pemegang hak cipta, Ketua Pengadilan Negeri setelah mendengar dan menimbang penjelasan juga kepentingan dari pemilik barang-barang impor atau ekspor yang dimintakan penunda dapat mengeluarkan semacam surat ijin kepada pemegang hak untuk memeriksa barang - barang impor atau ekspor yang dimintakan penundaan. Ini sesuai dengan ketentuan perjanjian TRIPS. Menurut Pasal 53 UU Kepabeanan, semua barang-barang yang dilarang atau dibatasi tidak memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan dapat dibatalkan ekspor,atau
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas WR. Kedudukan Hak …
38
diekspor kembali atau dihancurkan dibawah pengawasan dari pejabat Bea Cukai, yang mana sesuai dengan 59 perjanjian TRIPS. Untuk meminta penetapan sementara pengadilam tersebut dikenakan uang jaminan yang besarnya sebanding dengan nilai produk barang dan atau jasa yang akan dikenai tindakan penetapan sementara itu. Hal ini dimaksudkan agar jika ternyata penetapan semetara pengadilan tersebut tidak benar sehingga dibatalkan oleh pengadilan, maka uang jaminan tersebut akan diserahkan kepada pihak yang dikenai penetapan sementara sebagai ganti rugi atas adanya tindakan penetapan sementara itu. Akan tetapi jika ternyata penetapan sementara pengadilan tersebut dikuatkan oleh pengadilan, maka uang jaminan akan dikembalikan kepada pihak yang mengajukan permohonan penetapan sementara. Untuk selanjutnya pihak yang mengajukan permohonan penetapan sementara yang telah dikuatkan oleh Pengadilan Niaga tersebut dapat mengajukan guagatan secara perdata maupun tuntutan pidana. Terhadap penetapan sementara tersebut, tidak dapat dilakukan upaya hukum banding atau kasasi. Begitupun dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek secara tegas menentukan persyaratan yang harus dipenuhi oleh Pemohon dalam mengajukan permohonan Penetapan Sementara yaitu : 1.
melampirkan bukti kepemilikan merek
2.
Melampirkan bukti adanya petunjuk awal yang kuat atas terjadinya pelanggaran merek
3.
Keterangan yang jelas mengenai barang dan/atau dokumen yang diminta, dicari, dikumpulkan dan diamankan untuk keperluan pembuktian
4.
Adanya kekhawatiran bahwa pihak yang diduga melakukan pelanggaran merek akan dapat dengan mudah menghilangkan barang bukti, dan
5.
Membayar jaminan berupa uang tunai atau jaminan bank. Selain itu, putusan sementara yang diputuskan oleh Pengadilan Niaga telah diatur
dalam hal kerugian, dalam praktek di pengadilan Indonesia, berdasarkan yurisprudence diperkuat oleh Surat Edaran Mahkamah Agung. Selain itu, suatu kerugian yang diputus Pengadilan Niaga juga telah diatur dalam UU HKI. Berkaitan dengan biaya perkara, biasanya hal ini dituntut oleh Penggugat dan dihitung bersamasama dengan kerugian yang diderita dan ini diatur dalam Hukum Acara Perdata.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
39
b.
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014 Ketentuan Pidana Atas Pelanggaran Merek Selain melalui gugatan, terhadap pihak yang melakukan pelanggaran hak atas
merek dapat juga dikenakan ketentuan pidana. Penyidikan dalam perkara tindak pidana penggunaan merek secara tanpa hak atas merek yang telah terdaftar agak berbeda dengan tindak pidana yang lain, karena tindak pidana tersebut merupakan delik aduan. Dengan demikian tanpa adanya aduan dari pemilik merek yang terdaftar pihak-pihak lain termasuk Kepolisian tidak dapat melakukan penyidikan, baik itu tertangkap tangan ataupun adanya laporan dari masyarakat yang bukan pemilik merek atau tanpa kuasa dari pemilik merek yang sah. Hal demikian ini akan mempersulit penyidikan, karena ada pemilik merek terdaftar tidak mau mengadukan mereknya yang telah dipakai oleh pihak lain secara tanpa hak (tanpa ijin dari pemilik merek), dengan alasan tidak merasa dirugikan walaupun barang-barang yang merupakan penggunaan merek secara tanpa hak (palsu) telah diketemukan oleh pihak yang berwajib dan tidak jarang juga petugas mengalami kesulitan untuk mencari pemilik merek terdaftar tersebut. Penyidikan terhadap Tindak Pidana Merek, pada hakekatnya penyidikan adalah pembuktian, oleh karena itu sebagaimana penyidikan kejahatan umum lainnya, maka untuk memperoleh pembuktian tersebut, penyidikan kejahatan Hak Kekayaan Intelektual termasuk juga penyidikan tindak pidana Merek dilakukan dengan melalui bentuk-bentuk kegiatan penyelidikan, penindakan (upaya paksa), penyitaan barang bukti, pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan Berkas Perkara kepada Penuntut Umum. Penyidikan oleh Polri tersebut merupakan pintu gerbang dari proses penegakan hukum untuk dapat dilakukan penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum dan dilakukan proses pemeriksaan disidang pengadilan untuk membuktikan bersalah atau tidaknya pelaku kejahatan tersebut. Dalam istilah bahasa Indonesia, berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981, penyitaan adalah pengambil alihan dan/atau menahan benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud aatau tidak berwujud, yang digunakan untuk tujuan pembuktian dalam penyidikan, penuntun dan peradilan. Sesuai dengan Pasal 50 perjanjian TRIPS dalam UU Merek, memberikan hak kepada pengadilan mengeluarkan penetapan sementara untuk mencegah kerugian yang lebih besar bagi pemegang hak. Pencegahan kerugian
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas WR. Kedudukan Hak …
40
dapat dilakukan dengan melakukanp pemantauan pasar untuk mendeteksi tindak pembajakan dan pemalsuan serta untuk mengambil langkah-langkah yang sesuai dalam kaitannya dengan pencegahan dan pemberian hukuman. Keefektifan dalam pemantauan dimaksud bergantung pada luas dan ukuran pasar terkait serta jumlah pelaku-pelaku pasar. Dalam penyidikan tindak pidana Merek selain Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Dep. Keh dan Ham RI diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang Merek. Setiap tindakan yang diambil oleh PPNS dalam upaya paksa terutama dalam hal penangkapan dan penahanan harus meminta bantuan kepada Penyidik Polri untuk melakukannya dan PPNS juga wajib memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikan kepada Penyidik Polri serta menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Polri mengingat ketentuan pasal 107 Undang-undanng Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. UU Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata tidak mengenal dan tidak mengizinkan Penggugat untuk menggajukan klaim untuk menghancurkan atau untuk membuang barangbarang pelanggaran, bahan-bahan, atau komponen produksi mereka tetapi Hakim mungkin dapat melakukan hal tersebut berdasarkan Hukum Pidana dan UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam perjanjian Trade Related aspect of Intellectual Property rights dinyatakan bahwa memang dalam berbagai negara terutama negara berkembang masih kurang dilihat adanya kesadaran untuk mencegah tindakan pidana di bidang hukum Hak Kekayaan Intelektual ini. Maka dianggap sistem bantuan dari Pejabat pada Direktorat Hak Kekayaan Intelektual ini dapat membantu dengan juga melakukan penyidikan. Tetapi segala sesuatu ini sebagai bantuan kepada pihak kepolisian. Tindak pidana dibidang Merek telah diatur tersendiri dalam Undang-undang Merek Nomor 15 tahun 2001. Sekarang ini dengan Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001, ancaman sanksinya diperberat yakni penjara 5 (lima ) tahun dan atau dengan denda maksimum Rp. 1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah) untuk yang
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
41
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya (Pasal 90), dan pidana 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) untuk pengunaan merek yang sama pada pokoknya dengan merek pihak lain untuk barang atau jasa sejenis yang diperdagangkan ( Pasal 91). Jadi di sini ada keringan ancaman hukuman dan denda karena dianggap hanya peniruan pada pokoknya, jadi tidak seperti pada Pasal 90 yang menyatakan bahwa peniruan itu adalah keseluruhannya. Dengan demikian Pasal 91 memakai ancaman hukuman yang agak lebih ringan. Pelanggaran terhadap pasal-pasal dengan ancaman pidana dan atau denda tersebut merupakan delik aduan (klacht delict). Artinya bahwa hanya dengan adanya laporan atau klacht dari si pemilik merek bersangkutan, maka akan dituntut dan dikenakan sanksi tersebut atau diadakan penyidikan. Tanpa adanya pengaduan dari pihak yang merasa dirinya dirugikan maka tidak ada penyidikan dari pihak kepolisian. Menurut hemat penulis, hal ini merupakan suatu kemunduran apabila ancaman hukuman ini dan tuntutan pidana hanya bergantung pada pengaduan dari orang yang merasa dirinya dirugikan. Akan lebih efektif apabila dari pihak penuntut umum sendiri tanpa perlu adanya laporan atau pengaduan dari orang yang berkepentingan, diadakan tindakan-tindakan penuntutan dalam hal terjadi yang tidak wajar dalam pandangan masyarakat. c.
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Sejak TRIPs mulai berlaku secara progresif bagi para anggota WTO di tahun
1996, ada lebih 30 sengketa yang muncul di antara anggota WTO sehubungan dengan pemenuhan kewajiban – kewajiban TRIPs secara penuh. Hampir seluruh sengketa tersebut terselesaikan melalui konsultasi dan di luar pengadilan. Meskipun demikian, sejumlah kecil sengketa diselesaikan melalui pembentukan sebuah panel. Hubungan dagang itu sering menimbulkan konflik-konflik kepentingan. Bahkan walaupun sudah ada persetujuan-persetujuan dalam WTO, masih dimungkinkan terjadi perbedaan interprestasi. Oleh karena itu diperlukan prosedur legal penyelesaian sengketa yang netral yamg telah disepakati bersama. Hal inilah yang dijadikan dasar proses penyelesaian sengketa dimasukkan dalam Persetujuan WTO.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas WR. Kedudukan Hak …
42
Mengingat selama ini persetujuan-persetujuan perdagangn dihasilkan melalui proses negoisasi yang panjang dan komplek, maka diperlukan suatu forum negoisasi perdaganga internasional yang lebih permanen. Kontribusi paling nyata dari WTO adalah terbentuknya system penyelesaian sengketa, yang selama ini menjadi tonggak utama system perdagangan multilateral dan merupakan kontribusi WTO yang paling nyata bagi stabilitas ekonomi global. Sitem penyelesaian sengketa WTO yang sekarang ini lebih kuat, lebih otomatis dan lebih meyakinkan dari pada penyelesaian sengketa pada masa GATT. Ini dapat dilihat dari berkembangnya keragaman-keragaman negara-negara anggota yang menggunkan dan kecenderungan penyelesaian kasus di luar sidang pengadilan sebelum mendapat keputusan final. Sistem tersebut bekerja sesuai dengan yang diharapkan, sebagai sarana utama rekonsiliasi dan mendorong penyelesaian sengketa, bukan hanya sekedar pembuatan keputusan. Dengan mengurangi ruang lingkup aksi sepihak dari suatau negara, penyelesaian sengketa ini juga dapat menjamin perdagangan yang lebih adil bagi negara yang kurang mampu. Sudah banyak negara berkembang yang menggunakan prosedur penyelesaian sengketa WTO untuk mencarai keadilan. Meskipun banyak prosedur WTO yang mirip dengan proses pengadilan, negaranegara anggota yang bersengketa tetap diharapkan melakukan perundingan dan menyelesaikan masalah mereka sendiri. Oleh karena itu tahap pertama yang dilakukan adalah konsultasi antara pemerintah yang terlibat dalam suatu kasus. Bahkan sekiranya kasus tersebut melangkah ketahap berikutnya, konsultasi dan mediasi tetap dimungkinkan. Persetujuan DSU (Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes) juga menutup kemungkinan suatu negara yang kalah dalam kasus tertentu menghalang-halangi pemnghesahan putusan. Di bawah ketentuan WTO, putusan secara otomatis disahkan kecuali ada konsesus untuk menolak hasil putusan – negara yang ingin merintangi putusan harus mendekati seluruh anggota WTO lainnya termasuk pihak lawannya untuk mendukung dibatalkannya keputusan panel12. Jadi
12
Panel adalah seperti pengadilan. Tetapi tidak seperti peradilan yang normal, para panelis dipilih berdasarkan konsultasi dengan negara yang bersengketa, hanya jika tidak ada kesepakatan diantara pihak yang bersengketa, Direktur Jenderal WTO dapat menunjuk panel, namun kejadian ini jarang terjadi.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
43
penyelesaian sengketa WTO mengandung prinsip –prinsip : adil, cepat, efektif dan saling menguntungkan. Kasus Program Mobil Nasional Indonesia
13
adalah salah satu di antara kasus-
kasus pertama yang berkaitan dengan TRIPs yang harus diselesaikan melalui pembentukan sebuah panel. Di Indonesia sendiri untuk lebih memberikan kesempatan yang lebih luas dalam penyelesaian sengketa, dan untuk lebih menjamin kerahasiaan serta nama baik para pihak, UU Merek No. 15 Tahun 2001 tentang Merek memuat ketentuan tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa lainnnya di luar pengadilan ( Arbitrase and Alternative Dispites resolution / ADR ), Pasal 84 UU Merek No. 15 Tahun 2001. Pasal 84 UU No. 15 Tahun 2001 : “Selain penyelesaian gugatan sebagaimana dimaksud dalam Bagian Pertama Bab ini, para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa” Di Indonesia sendiri Undang-undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ( Arbitrase and Alternative Dispites resolution), sudah disahkan DPR sejak tanggal 12 Agustus 1999, yakni UU No. 30 Tahun 1999. Tujuan
Panel terdiri atas 3 (kadang-kadang 5) orang ahli dari berbagai negara yang meneliti bukti-bukti yang ada dan memutuskan pihak yang kalah dan yang menang. Laporan panel disampaikan ke Dispute Settlement Body (DSB) yang hanya dapat menolak laporan tersebut jika terdapat konsesus. Dalam tiap kasus, para panelis dapat dipilih dari daftar tetap WTO yang terdiri atas para ahli yang menguasai bidangnya atau dapat juga dipilih secara independen. Mereka bekerja secara independen dan tidak dapat menerima perintah dari negara manapun. 13
Indonesia pernah menjadi “tergugat” menghadapi Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat pada kasus “Mobil Nasional” ( Indonesia- Certain Measures Affecting the Automobile Industry). Kebijakan Indonesia dalam memberikan kemudahan untuk industri mobil nasional dianggap melanggar ketentuan WTO yang terkait dengan Persetujuan TRIMs dan melanggar prinsip perlakuan nasional dari TRIPs (Pasal 3), karena diskriminasi yang di berlakukan terhadap merek-merek milik pihak asing dan para pemilik merek tersebut, serta terhadap pembatasan-pembatasan yang dimungkinkan dalam kondisi tertentu dalam penggunaan merek. Panel memutuskan agar Indonesia menyesuaikan peraturannya selaras dengan aturan WTO. Indonesia pernah juga menjadi pihak ketiga (third party) bersama dengan beberapa anggota WTYO dalam sengketa antara Uni Eropa menghadapi Argentina sebagai tergugat yuang melakukan diskriminasi dengan menetapkan tindakan safeguard berupa pembatasan impor alas kaki (footwear) yang berasal dari beberapa negara anggota WTO, termasuk Indonesia. Indonesia yang merupakan eksportir utama alas kaki ke Argentina merasa dirugikan karena dikenakan tambahan bea masuk sedangkan negara-negara Brasil, Uruguay, dan Paraguay tidak dikenakan tindakan safeguard. Argentina akhirnya melakukan penyesuaian aturannya selaras dengan aturan WTO. Di samping itu, Indonesia bersama-sama beberapa anggota WTO (Jepang, Brasil, India, Thailand, Chili, dan Korea Selatan) menggugat Amerika Serikat dalam kasus “ US – Continued Dumpingh and Subsidy Offset Act of 2000 “ . Kebijakan AS dianggap bertentangan dengan persetujuan anti dumping. Panel untuk kasus ini dibentuk pada tahun 2001.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas WR. Kedudukan Hak …
44
utama undang-undang ini ialah menyediakan payung hukum bagi penyelesaian sengketa bisnis di luar forum pengadilan yang hasilnya dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa.
14
Tampaknya persoalan merek dpandang sebagai “Commercial
Activities” yang menurut pendapat pemerintah memerlukan penyelesaian yang lebih cepat dari perkara-perkara biasa (non-business). 2.
Hak Kekayaan Intelektual Atas Merek Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen Dengan diratifikasinya World Trade Organization (WTO), maka di era
perdagangan bebas , barang dan jasa yang berasal dari negara lain harus bisa masuk ke dank ke luar dari Indonesia. Masalah akan muncul ketika ada pengaduan konsumen bahwa barang impor yang dibelinya ternyata palsu dan tidak diketahui dengan jelas siapa distributornya di Indonesia. Ketidakjelasan ini menyulitkan konsumen bila mengalami kerugian akibat menggunakan produk barang atau jasa tersebut15. Pada sisi lain masuknya barang dari luar negeri yang memiliki muatan Hak Kekayaan Intelektual termasuk hak atas Merek, Dirjen bea cukai terlebih dahulu harus melakukan pemeriksaan formalitas untuk menetukan apakah muatan dari luar negeri itu melanggar Hak Kekayaan Intelektual atau tidak.16 Konsumen sebagai salah satu pelaku ekonomi memiliki kedudukan lemah dalam hal perlindungan hukum17. Di Indonesia, konsumen yang selama ini berada pada posisi lemah terkesan hanya menjadi objek pelaku usaha melalui kiat promosi, maupun cara penjualan yang sangat ekspansif. Lemahnya posisi konsumen disebabkan antara lain masih rendahnya kesadaran konsumen di Indonesia.18 Untuk melindungi konsumen dari situasi tersebut di atas, maka diberlakukan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang merupakan bagian dari implementasi sebagai suatu negara kesejahteraan. Melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen ditetapkan hak-hak konsumen sebagai penjabaran dari pasal14
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatau Pengantar (Arbitration – Alternative Disputes Resolution – ADR ), Fikahati Aneska, Jakarta, 2002, hlm. 6. 15 Ibid. 16 Ade Maman Suherman, Op.,Cit, hlm.87. 17 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Penerbit Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2000, hlm 12. 18 Mahkamah Agung Indonesa & Fakultas Hukum Indonesia, Hukum Perlindungan Konsumen, UI Press, 2005, hlm. 200.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
45
pasal yang bercirikan negara kesejahteraan, yaitu Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Konsumen membuat sejumlah larangan untuk mencegah kemungkinan timbulnya tindakan yang merugikan konsumen, karena faktor ketidaktahuan, kedudukan yang tidak seimbang, dan sebagainya yang mungkin dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan.19 Dari hal – hal diatas maka dalam rangka upaya yang diperlukan dalam meningkatkan Penegakan hukum HKI kaitannya dengan perlindungan konsumen, yakni melakukan koordinasi dan kerjasama dengan semua pihak-pihak terkait termasuk institusi pemerintah lainnya, universitas, Lembaga Penelitian dan Pengembangan, LSM dan sektor-sektor swasta. Dengan bantuan dari Bank Dunia telah direncanakan oleh Ditjen HKI untuk meningkatkan sistem komputerisasi. Tentu saja peningkatan tersebut tidak hanya menekankan pada usaha, untuk mendukung system administrasi Ditjen HKI tetapi yang lebih penting lagi adalah untuk meningkatkan pelayanan HKI pada masyarakat. Akses yang lebih luas, tanggapan yang lebih cepat dan mekanisme yang lebih transparan akan lebih terjamin dengan adanya peningkatan sistem HKI tersebut. Bentuk lain partisipasi Ditjen HKI dalam kaitannya dengan perlindungan hukum adalah dengan menyediakan saksi ahli. Pada Tahun 2003 Ditjen HKI menyediakan
saksi ahli dalam 25 kasus pelanggaran Hak Cipta, 7 kasus
pelanggaran paten dan 78 kasus pelanggaran merek. Agar sistem HKI Bekerja, maka hal ini tidak hanya bergantung kepada kemampuan kompetensi kantor HKI tetapi juga kepada kesadaran, pemahaman dan pengetahuan pihak- pihak yang terlibat di dalamnya seperti pencipta, penemu, peradilan, pengguna, konsul dan jaksa. Yang bermuara pada pentingnya peningkatan kesadaran, pemahaman pengetahuan masyarakat mengenai peran sistem HKI dalam kemajuan nasional. Lebih jauh penyebaran informasi/sosialisasi yang berkenaan dengan Undang-Undang HKI juga menjadi
peranan penting dalam usaha untuk
meningkatkan sistem HKI di Indonesia. Sejalan dengan kebijaksanaan untuk memberdayakan kantor wilayah di propinsi, Ditjen juga telah mensosialisasikan tentang pentingnya peran dan manfaat sistem HKI 19
Ibid, hlm. 207.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas WR. Kedudukan Hak …
46
kepada gubernur dan menggalang dukungan dari mereka. Melalui hal ini, diharapkan masing-masing institusi yang berkaitan akan memberikan perhatian khusus guna menjamin pelaksana sistem HKI yang tepat di setiap propinsi. Hal ini telah mendapat tanggapan positif. Dengan pembentukan sebuah unit khusus HKI guna melaksanakan tanggung jawab tersebut, beberapa kantor wilayah juga telah memperlihatkan semangat mereka untuk melaksanakan sosialisasi yang bekerja sama dengan Ditjen HKI. Dengan bantuan beberapa organisasi internasional seperti United Nation development Program (UNDP), World Intellectual Property organization (WIPO), Kantor-kantor HKI asing seperti European Patent Office (EPO), IP Austalia dan Japan Patent Office (JP0), serangkaian seminar untuk meningkatkan informasi dan kesadaran masyarakat sampai saat ini telah dilaksanakan di hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, Ujung Pandang, Bandung, Denpasar, Yogyakarta, Padang dan Manado. Usaha-usaha tersebut akan terus dilanjutkan dimasa yang akan datang. Sedikitnya telah terbentuk 90 sentra HKI di berbagai institusi dan propinsi. Melalui sentra HK tersebut sosialisasi HKI dapat lebih lancar dan mudah diatur. Di samping itu, para staf mereka juga dapat memandu pemohon HKI di wilayah mereka dalam mempersiapkan aplikasi/pendaftaran HKI. Beberapa kegiatan lisensi yang mencakup bantuan teknis, pemasaran, produksi, masalah-masalah HKI dan alih teknologi harus bisa dilaksanakan oleh organisasi masyarakat dan swasta seperti halnya sentra HKI. Kesempatan-kesempatan untuk mempermudah lisensi dapat mengurangi masalah pemalsuan dan pembajakan. C.
Penutup Sebagai penutup dikemukana kesimpulan yang dapat penulis kemukakan adalah :
a)
Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual adalah sebuah agenda penegakan hukum di Indonesia yang sangat erat kaitannya dengan perjanjian internasional. Selaku anggota WTO dan WIPO, Indonesia harus mencegah setiap pelanggaran hak kekayaan intelektual atas merek dalam kerangka perlindungan terhadap konsumen. Di satu pihak, Undang-Undang HKI Indonesia telah diberlakukan dan
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
47
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014 disesuaikan guna menjawab perubahan yang cepat dalam hukum dan perkembangan teknologi. Penegakan hukum dilakukan secara terintegrasi antara berbagai instansi terkait, peradilan niaga dan instansi-instansi pendukung lainnya. Kaitannya dengan ketentuan bea cukai mengandung ketentuan tentang pelarangan dan pembatasan ekspor-impor dan kontrol terhadap eks impor barang-barang hasil pelanggaran HKI. Pemegang merek dapat meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat mengeluarkan surat perintah ke Bea Cukai untuk menunda sementara pelepasan impor atau ekspor yang mana diduga merupakan hasil pelanggaran merek yang dilindungi di Indonesia
b)
Perlindungan hukum terhadap konsumen dalam pembelian barang-barang hasil peniruan atau pembajakan ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen belum
terwujudkan
seluruhnya,
terutama
dalam
mewujudkan
tujuan
perlindungan konsumen. Oleh karena itu, untuk menjamin tegaknya hak-hak konsumen
diperlukan upaya pemberdayaan konsumen, serta pembinaan dan
pengawasan terhadap terselenggaranya perlindungan konsumen Dari penyusunan dan penulisan penelitian ini, maka beberapa rekomendasi penulis kemukakan sebagai bahan pertimbangan lebih lanjut, yaitu : a)
Perlunya sosialisasi kepada instansi-instansi terkait dengan memberikan pelatihan dan pendidikan penegakan hukum Hak Kekayaan Intelektual, serta sosialisai hukum perlindungan konsumen terhadap masyarakat, supaya masyarakat mengetahui hak-haknya dalam kerangka perlindungan konsumen.
b)
Untuk penegakkan hukum perlindungan konsumen, harus ada kesadaran moral yang tinggi dari para pelaku usaha , aparat penegak hukum serta masyarakat sebagai konsumen, dan masing-masing pihak menyadari hak dan kewajibannya..
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Imas WR. Kedudukan Hak …
48
DAFTAR PUSTAKA
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis – Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur, Kanisius, Yogyakarta, 1993 Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayan Intelektual, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2001. Ahmad M. Ramli, Cyber Law Dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006 Achmad Zen Umar Purba, , Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Alumni, Edisi Pertama, Bandung, 2005 A.Z. Nasution, Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman R.I, Jakarta, 1993-1994 Ade Maman Suherman, Penegakan Hukum Atas Hak Kekayaan Intelektual Di Indoensia, Jurnal Hukum Bisnis , Jakarta, Volume 23 Tahun 2004 Adi Nugroho, Perilaku Konsumen, Cetakan Pertama, Studia Press, Jakarta, 2002 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Seminar Hukum Atas Merek, Jakarta : Bina Cipta. 1997, Cita Citrawinda Priapantja, Hak Kekayaan Intelektual Tantangan Masa Depan, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Penerbit Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2000. Haggard Stephen, The Political Economy of the Asian Financial Crisis (Washington: Institute for International Economics, 2000) H.S. Kartadjumena, Substansi Perjanjian GATT / WTO Dan Mekanisme Penyelesaian
Sengketa
Sistem,
Kelembagaan,
Prosedur
Implementasi,
Dan
Kepentingan Negara Berkembang, UI Press, Jakarta, 2000 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006. JICA, Capacity Building Program on the Implementasi of the WTO Agreements in Indonesia, Kerjasama Ditjen HKI Departemen Hukum dan Hak Azasi manusia dengan Japan International Cooperation Agency, Jakarta, 2004
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
49
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014 Mahkamah Agung Indonesa & Fakultas Hukum Indonesia, Hukum Perlindungan
Konsumen, UI Press, 2005 Manuel G. Velasquez (Santa Clara University), Etika Bisnis Konsep dan Kasus , penerbit ANDI Yogyakarta , Edisi 5. Muhamad Djumhana, R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual : Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1997 Santos Guilermo S., "The Rule of Law in Unconvetional Warfare", Philippine Law Journal 3 (July, 1965) Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000. Sudargo Gautama, Undang-Undang Merek Baru Tahun 2001, Citra Aditya Bhakti, 2002 Tim Lindsey et all. (editor), Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 2002 Umbach Dieter C., "Basic Elements of the Rule of Law in a Democratic Society", dalam Beatrice Goraawanstschy, et.al., Rule of Law and Democracy in the Philippines (Diliman: University of Philippine, 1985) Yusuf Sofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-insstmmen Hukumnya, Cetakan Kesatu, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000 Undang-Undang :
UUD 1945
UU No. 10 Tahun 1995 tentang Bea Cukai
UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
Riwayat Penulis : Dr. Hj. Imas Rosidawati Wr, SH.,MH. Doktor dalam bidang Ilmu Hukum dari Universitas Padjadjaran Bandung. Tenaga pengajar Kopertis Wilayah IV Jawa Barat – Banten dpk Universitas Islam Nusantara. Sekretaris Program Pascasarjana Program studi Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Nusantara.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Nandang N. Pelaksanaan Putusan …
50
PELAKSANAAN PUTUSAN BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL KA1TANNYA DENGAN KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN PERADILAN AGAMA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006 Oleh : Nandang Nurdin
Abstract Law No. 3 of 2006 on the Amendment of Law No. 7 of 1989 on the Religious Courts brought major changes to the existence of the Religious Courts. The law above strengthen the position of the Religious Courts and adds the absolute authority of the Religious Courts. Religious Court has a duty and authority to examine, decide and settle the case on the first level among people who are Muslims in the areas of marriage, inheritance, wills, grants, endowments, charity, infaq, sadaqah and economic shari'ah. One way of resolving disputes in the field of Islamic economics is through the National Sharia Board of Arbitration (Basyarnas). Key words: Alternative Dispute Resolution, arbitrarion, economic shari'ah. Abstrak Undang - Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama membawa perubahan besar terhadap eksistensi Peradilan Agama. Undang-Undang tersebut selain memperkokoh kedudukan Peradilan Agama, juga menambah kewenangan absolut Peradilan Agama. Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat , hibah, wakaf, zakat , infaq, shadaqah dan ekonomi syari’ah. Salah satu cara penyelesaian sengketa dalam bidang ekonomi syariah melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas).
Key word : Alternatif Penyelesaian Sengketa, Arbitrase, Ekonomi Syariah
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
51
A.
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
Latar Belakang Sistem Hukum dan Peradilan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 yang mencerminkan politik hukum bangsa telah mencapai kemantapannya. Komitmen umat Islam Indonesia terhadap sistem nasional dalam beragam aspek kehidupan masyarakat selama ini telah mengejawantah dan menjadi realitas. Dari kenyataan itu terlihat kemampuan mendudukkan keislaman dalam konstalasi nasional, termasuk dalam bidang hukum dan peradilan, tanpa pernah mengusik, memojokkan dan merugikan umat lain, sesuai dan sejalan dengan jiwa dan prinsip ajaran Islam itu sendiri1. Lahirnya Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UndangUndang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa perubahaa besar terhadap eksistensi Peradilan Agama di Indonesia. Yaitu bertambahnya kewenangan Peradilan Agama berdasarkan Pasal 49 ayat (I) Undang-Undang tersebut bahwa Peradilan Agama disamping bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara di bidang hukum keluarga juga berwenang untuk menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari’ah yang meliputi perbankan syari’ah, lembaga kenangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadalan syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syan’ah dan bisnis syari’ah.2 Maka sejak diundangkan, para pelaku ekonomi syariah dapat menyelesaikan sengketanya melalui Pengadilan tersebut.3 Prosedur dan proses pemecahan perselisihan dalam perbankan syariah kaitannya dengan wewenang pengadilan agama sesuai dengan UU No. 3 tahun 2006 pada prinsipnya sama dengan pemecahan masalah perkawinan dan penerapan talak dan kasus di pengadilan agama lainnya yang membutuhkan adanya dengar pendapat, pengambilan keputusan, dan pemecahan masalah.
Hambatan yang dihadapi
1
Muhammad Tolchah hasan, “Beberapa Catatan Sekliar 10 tahun Undang-Undang Peradilan Agama,” dalam Abdul Gani Abdullah dkk.(Tim Editor), 10 Tahun Undang-Undang Peradilan Agama PPHIM, Jakarta, 1999, hlm.15 2 Abdul Manan, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari‘ah Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama, Makalah, Mahkamah Agung RI, 2008, hlm. I 3 Bahauddin, Problematika Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Pengadilan Agama, http://pa-wates.net/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=38. Diakses:Rabu, 1-8-2012.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Nandang N. Pelaksanaan Putusan …
52
pengadilan agama diantaranya adalah kesiapan infrastruktur sumber daya manusia hakim di Pengadilan Agama, karena
kurangnya pengalaman dalam pemecahan
masalah tersebut dan ketiadaan hukum formal dalam ekonomi syariah, dalam bentuk panduan hukum untuk dilaksanakannya dengar pendapat. khususnya yang berupa undang-undang sebagai pegangan para hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa perkara sengketa ekonomi syariah4 . Penyelesaian sengketa ekonomi syariah selain melalui lembaga litigasi, juga dimungkinkan dilakukan melalui lembaga non-litigasi. Hal itu tergambar dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menentukan sebagai berikut: 1.
Penyelesaian perbankan syariah dilakukan oleh peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
2.
Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.
3.
Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan priasip syariah. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
“penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan akad” adalah upaya sebagai berikut: a.
Musyawarah
b.
Mediasi perbankan;
c.
Melalui badan arbitrase syariah nasional (basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau
d.
Melalui peradilan dalam lingkungan Peradilan umum; Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa
untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat 4
Yulkarnain Harahab , Kesiapan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah , Mimbar hukum : jurnal berkala Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, Penerbit Universitas Gadjah Mada Fakultas Hukum, Tahun Terbit Artikel: 2008 Volume : 20 No : 1 Halaman : 111-122
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
53
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.5 Kata arbitrase dalam perspektif Islam dapat disepadankan dengan istilah tahkim yang berasal dari kata hakama. Secara etimologis, kata itu berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa.6 Selain kata Arbitrase Islam yang berfungsi sebagai lembaga penyelesaian sengketa para pihak, dikenal juga istilah ash-Shulhu, yaitu memuitus pertengkaran atau perselisihan. Kata hakama dalam Al Qur’an terdapat dalam surat An-Nisa ayat 35:
Artinya :“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam7 dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan ekonomi syari’ah belum ada aturan khusus yang mengatur tentang hukum formil (hukum acara) dan hukum materil tentang ekonomi syari’ah. Pengaturan hukum ekonomi syari’ah yang ada selama ini adalah ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih dan sebagian kecil terdapat dalam fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) serta dalam peraturan Bank Indonesia. Melihat kepada kasus-kasus yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa kepada Badan Arbitrase Syari’ah Nasioaal (BASYARNAS) sehubungan dengan sengketa antara Bank Syari’ah dengan nasabahnya, dalam penyelesainya BASYARNAS menggunakan dua hukum yang
5
Lihat Pasal I angka (8) Undang-UndangNomor 3 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa. 6 Satria Effendi Zein, Arbitrase Dalam Islam, Mimbar Hukum nomor 6 tahun V. Yayasan Al Hikmah Dibinbapera, Jakarta, 1994. 7 Hakam adalah juru pendamai.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Nandang N. Pelaksanaan Putusan …
54
berbeda yaitu fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional dan KUH Perdata. Hal ini dilakukan untuk mengisi kekosongan hukum dalam menyelesaikan suatu perkara.8 Badan Arbitase Nasional (BASYARNAS) adalah lembaga hakam (arbitrase syari’ah) satu-satunya di Indonesia yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa mu’amalah yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lainlain.9 Putusan Badan Arbitrase sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, bersifat final, mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat kepada para pihak, Putusan tersebut apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, maka atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri. Khusus untuk putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 08 tahun 2008, putusan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Agama. Jadi berdasarkan Surat Edaran tersebut yang berwenang melaksanakan putusan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) adalah Pengadilan Agama. Pengadilan Agama Jakarta Pusat antara lain, dalam pelaksanaan putusan (eksekusi) Badan Arbitrase Syari’ah Nasional tersebut, dalam perkara antara Dapenda (Dana Pensiunan Angkasa Pura II), sebagai pemohon eksekusi melawan PT. Bank Syari’ah Mandiri sebagai termohon eksekusi I dan PT. Sari Indo Prima sebagai termobon eksekusi II, pihak termohon eksekusi mengajukan perlawanan dengan alasan: pertama, putusan Basyarnas tidak adil, karena Bank diminta bertanggung jawab untuk menanggung renteng kerugian, padahal Bank hanya sebagai fasilitator. Pihak bank menilai, seharusnya PT. San Indo Prima yang dituntut ganti rugi. Kedua, Pengadilan Agama tidak berwenang melakukan eksekusi, karena yang berhak adalah Pengadilan Negeri. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 8 tahun 2008 tentaug Eksekusi Putusan Badan arbitrase Syari’ah Nasional dinilai tidak bisa 8
AbduI Manan, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari‘ah Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama, Makalah, Mahkamah Agung RI, 2008, hlm 2. 9 Abdul, ibid., hlm 3.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
55
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
dijadikan dasar hukum eksekusi putusan arbitrase syari’ah, karena kedudukan SEMA di bawah undang-undang.10 Kemudian keluar lagi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan para pihak yang bersengketa (Pasal 60 dan 61 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999). Berdasarkan ketentuan tersebut, putusan Badan Arbtrase Syariah Nasional pun dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri Berdasarkan uraian di atas, berkaitan dengan kewenangan Peradilan Agama, timbul pertanyaan untuk kepastian hokum peradilan manakah yang berwenang melaksanakan putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional apakah Pengadilan Agama atau pengadilan negeri ? B.
Pembahasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 tentang Perbankan Syari’ah dan
penjelasannya menyatakan: Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagamana dimaksud pada ayat (1) , “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah upaya sebagai berikut: (a). Musyawarah, (b). mediasi perbankan, (c), melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional ( Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain dan/atau (d), melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilian Umum. Ketentuan tersebut, mengisyaratkan adanya keleluasaan dalam menentukan pilihan forum penyelesaian sengketa di bidang perbankan. Sedangkan Undang-Undang Nornor 3 Tahun 2006 menyatakan dengan tegas sengketa ekonomi syari ‘ah menjadi kewenangan pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama. Masalah lain adalah ketika sengketa ekonomi syari’ah diselesaikan oleh Badan Arbitrase Syari’ah, pengadilan di lingkungan peradilan apa yang berwenang melaksanakan putusan badan arbitrase tersebut.
10 Http://karanbogor.com/Catagory-table/399-Eksekusi-terhadap-Aset-Bank-Syari‘ah-mandiri-KembaliTertunda, hlm.2 8
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Nandang N. Pelaksanaan Putusan …
56
Negara Indonesia adalah negara hukum. Tujuan hukum pada dasarnya memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Kesejahteraan hanya dapat terwujud apabila keadilan ditegakkan. Friedman mengutarakan tiga unsur sistem hukum, yaitu struktur, substansi, dan budaya hukum. Berdasarkan pendekatan itu, sistem hukum bukan sekedar kumpulan asas dan kaidah hukum, melainkan mencakup pula kelembagaan dan budaya hukum. Kedudukan Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung, tercantum dalam Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Peradilan Agama. Kewenangannya berdasarkan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, selain yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989, juga berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Dengan dasar itu pula, Pengadilan Agama berwenang melaksanakan putusan Badan Arbitrase Syari’ah atas permohonan salah satu pihak apabila putusan badan arbitase tersebut tidak dilaksanakan secara sukarela Penyelesaian sengketa ekonomi syariah dilaksanakan oleh Pengadilan Agama, sesuai dengan ketentuan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Yang dimaksud ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, meliputi bank syariah asuransi syariah, reasuransi syariah reksa dana syariah, obligasi syariah atau surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga kenangan syariah, bisnis syariah dan lembaga keuangan mikro syariah (penjelasan Pasal 49 huruf (i) UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006). Penyelesaian sengketa ekonomi syariah juga dimungkinkan dilaksanakan oleh suatu lembaga non-litigasi yang disebut Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Badan Arbitrase Syariah Nasional yang semula bernama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMLII) adalah lembaga hakam (Arbitrase Syariah) yang berwenang memeriksa dan memutus
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
57
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
sengketa muamalah (perdata) yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri dan lain-lain yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa dari para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada Badan Arbitrase Syariah Nasional sesuai dengan prosedur Badan Arbitrase Syariah Nasional. Badan Arbitrase Syariah Nasional yang didirikan pada tahun 2003 adalah suatu lembaga arbittase sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat para pihak. Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negen atas permohonan para pihak yang bersengketa (Pasal 60 dan 61 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999). Berdasarkan ketentuan tersebut, putusan Badan Arbtrase Syariah Nasional pun dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri. Dengan bertambahnya kewenangan Peradilan Agama mengadili sengketa ekonomi syariah (berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006) yang sebelumnya menjadi kewenangan Peradilan Umum, maka Mahkamah Agung Republik Indonesia atas pertanyaan beberapa Ketua Pengadilan Agama tentang pelaksanaan (eksekusi) putusan arbitrase syariah memberikan petunjuk yang dituangkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2008. Isi surat edaran tersebut antara lain menyebutkan “dalam hal putusan Badan Arbitrase Syariah tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketuan Pengadilan Agama”. Salah satu dasar pertimbangan Mahkamah Agung bahwa yang berwenang melaksanakan putusan Badan Arbitrase Syariah tersebut Pengadilan Agama adalah karena sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama juga berwenang dan bertugas memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Nandang N. Pelaksanaan Putusan …
58
ekonomi syariah, maka Ketua Pengadlian Agama-lah yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah. Permasalahannya adalah sebagaimana dikemukakan dalan latar belakang, pihak tereksekusi, dalam hal ini PT. Bank Syariah Mandiri Jakarta Pusat, keberatan dengan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Alasannya adalah bahwa Pengadilan Agama tidak berwenang melaksanakan putusan Badan Arbitrase Syariah tersebut karena yang menjadi dasar pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah oleh Pengadilan Agama adalah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2008. Pihak tereksekusi mendalilkan bahwa Surat Edaran Mahkamab Agung di bawah undang-undang, sementara Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menentukan babwa “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri”11. Oleh karena itu menurut pihak tereksekusi yang berbak melaksanakan putusan badan arbitrase syari’ah adalah Pengadilan Negeri. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa Pasal 61 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menentukan bahwa “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan badan arbitrase secara sukarela, Putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”. Sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, apabila putusan (badan arbitrase) tidak dipenuhi secara sukarela seperti yang disebut pada ayat (1) putusan dijalankan menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 637 dan Pasal 639 Rv)12 Setelah diundangkan undang-undang tersebut, maka semua ketentuan acara yang terdapat baik dalam Reglement op de Rechtsvordering, Herziene Indonesiseh Reglement, maupun dalam Reghtsreglement Buitengewesten, dinyatakan tidak berlaku. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 81 Undang-Undang Notnor 30 Tahun 1999: 11 12
Lihat Pasal 61 Undang-Undang Nomor 30 Tahwi 1999. Lihat Pasal 28 Peralihan Prosedur Badan Aibitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
59
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
“Pada saat undang-undang ini berlaku13 ketentuan mengenai arbitmse sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesiseh Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglusreglernent Buitengewesten, staatsblad 1927:227) dinyatakan tidak berlaku”. Jadi sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, apabila putusan badan arbitrase (termasuk putusan Badan Arbitrase Syariah yang pada awalnya bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) tidak dipenuhi secara sukarela oleh pihak yang bersengketa, maka putusan arbitrase tersebut dijalankan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri. Seiring dengan kemajuan ekonomi Islam, telah mendorong kesadaran hukum masyarakat muslim untuk menyelesaikan sengketa ekonomi yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip syariah, di lembaga yang secara materiil menggunakan prinsip-prinsip syariah pula. Hal itu kemudian terwujud dengan masuknya penyelesaian sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan Peradilan Agama, yaitu sejak di undangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Alasan itu pula yang dijadikan pertimbangan Mahkamah Agung Republik Indonesia memberikan wewenang kepada Pengadilan Agama untuk melaksanakan putusan Badan Arbitrase Syariah (Vide Surat Edaran Nomor 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah, poin 4). Disamping itu, Badan Arbitrase Syariah Nasional yang semula bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia adalah lembaga hakam yang secara historis sudah berjalan sejak Islam dilahirkan dan terus hidup hingga sekarang. Lembaga ini memberikan putusan mengenai sengketa tertentu di bidang ekonomi syariah, yaitu yang menyangkut segala kegiatan atau perbuatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah.
13
Undang-Undang Nornor 30 Tahun 1999 diundangkan pada tanggal 12 Agustus 1999
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Nandang N. Pelaksanaan Putusan …
60
Jadi di sisi materiil, sebuah sengketa akibat perbuatan atau kegiatan yang dilaksanakan menurut prinsip-prinsip syariah adalah tepat diselesaikan dengan prinsipprinsip syariah di lembaga syariah. Permasalahan berikutnya adalah bagaimana kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia datam menentukan Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang melaksanakan putusan Badan Arbitrase Syari’ah Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak tercantum dalam tata urutan perundang-undangan Negara Republik Indonesia. Ketetapan MPR nomor III/MPR2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangundangan, dalam Pasal 2 menentukan bahwa peraturan perudang-undangan Republik Indonesia adalah: 1.
Undang Undang Dasar 1945;
2.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyar Republik Indonesia;
3.
Undang-Undang;
4.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
5.
Peraturan Pemerintah;
6.
Keputusan Presiden;
7.
Peraturan Daerah Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 10 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 adalah penyelenggara kekuasaan kehakiman. Badan peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Mahkamah Agung dapat memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta. (Vide Pasal 27 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004). Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi dan keempat lingkungan peradilan berwenang memberikan “petunjuk” kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan.14
14
Lihat Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nornor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
61
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah dilihat dari segi isinya merupakan petunjuk Mahkamah Agung sehubungan dengan pertanyaan yang diajukan beberapa Ketua Pengadilan Agama kepada Mahkamah Agung tentang pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syari’ah. Pertanyaan beberapa Ketua Pengadilan Agama itu muncul berkaitan dengan kewenangan Peradilan Agama memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah. Pengertian menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah termasuk di dalamnya pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Putusan Badan Arbitrage Syari’ah termasuk ke dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, karena putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.15 Berdasarkan Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung tersebut, memberi petunjuk kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan adalah merupakan wewenang Mahkamah Agung. Sehingga dengan demikian Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah yang isinya merupakan petunjuk Mahkamah Agung adalah berdasarkan Undang-Undang yang berlaku dan mengikat semua warga negara Indonesia termasuk pelaku bisnis, baik perorangan maupun badan hukum. Kemudian bagaimana kaitannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah dengan UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 61 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa “dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan badan arbitrase secara sukarela putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”. Sedangkan poin (4) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2008 menyebutkan bahwa: “Dalam putusan Badan Arbitrase Syariah tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan yang 15
Lihat Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Nandang N. Pelaksanaan Putusan …
62
berwenang atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, dan oleh karena sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama juga bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah, maka Ketua Pengadilan Agama lah yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah”. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dilihat dari segi isinya bersifat umum mengatur aspek-aspek yang berkaitan dengan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa di luar lemaga peradilan. Sedangkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah, sesuai dengan namanya dan isi di dalamnya adalah petunjuk Mahkamah Agung khusus berkaitan deagan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah oleh Pengadilan Agama. Berdasarkan hal tersebut, maka berlaku asas hukum khusus mengesampingkan hukum umum, asas lex specialis derogat lex generalis. Dalam hal ini Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2008 mengesampingkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, sepanjang yang diatur dalam surat edaran tersebut. Sebagai sebuah lembaga peradilan, Pengadilan Agama agar dapat bertugas secara oftimal diperlukan perangkat aturan. Sesuai dengan gagasan W. Friedmann, diantaranya adalah substansi hukum yang meliputi adanya peraturan perundangundangan, baik formal maupun material yang jelas dan tegas. Petunjuk Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut mengisi kekosongan hukum formal, yaitu menyangkut kewenangan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah tersebut hanya bertahan dua tahun karena kemudian keluar lagi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2010 yang menyatakan dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan para pihak yang bersengketa (Pasal 60 dan 61 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999). Berdasarkan ketentuan tersebut, putusan Badan Arbtrase Syariah Nasional pun dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri. PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
63
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat para pihak. Hal ini menurut penulis kontra produktif karena sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama juga berwenang dan bertugas memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah, maka menurut hemat penulis Ketua Pengadlian Agama-lah yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah. Jadi di sisi materiil, sebuah sengketa akibat perbuatan atau kegiatan yang dilaksanakan menurut prinsip-prinsip syariah adalah tepat diselesaikan dengan prinsipprinsip syariah di lembaga syariah. Dan secara yuridis memberikan kepastian hukum dan secara sosial petunjuk tersebut memberikan rasa keadilan kepada masyarakat Islam yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar Pasal 29. Sedangkan secara filosofis sangat relevan sengketa ekonomi syariah diselesaikan oleh lembaga yang merupakan refresentasi umat Islam. C.
Kesimpulan dan Saran
1.
Kesimpulan Undang-Undang Nornor 3 Tahun 2006 menyatakan dengan tegas sengketa ekonomi syari ‘ah menjadi kewenangan pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama. Sengketa ekonomi syari’ah yang diselesaikan oleh Badan Arbitrase Syari’ah, yang berwenang melaksanakan putusan badan arbitrase tersebut adalah peradilan negeri, sesuai dengan SEMA RI NO. 8 Tahun 2010 dan UU No. 30 tahun 1999.
2.
Saran Harus ada revisi terhadap UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, terutama pasal-pasal yang berkaitan dengan ekesekusi putusan arbitrase berkaitan dengan arbitrase syariah nasional, karena di sisi materiil, sebuah sengketa akibat perbuatan atau kegiatan yang dilaksanakan menurut prinsip-prinsip syariah adalah tepat diselesaikan dengan prinsip-prinsip syariah di lembaga syariah. Sedangkan secara filosofis sangat
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Nandang N. Pelaksanaan Putusan …
64
relevan sengketa ekonomi syariah diselesaikan oleh lembaga yang merupakan refresentasi umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari‘ah Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama, Makalah, Mahkamah Agung RI, 2008 Muhammad Tolchah hasan, “Beberapa Catatan Sekliar 10 tahun Undang-Undang Peradilan Agama,” dalam Abdul Gani Abdullah dkk.(Tim Editor), 10 Tahun UndangUndang Peradilan Agama PPHIM, Jakarta, 1999. Satria Effendi Zein, Arbitrase Dalam Islam, Mimbar Hukum nomor 6 tahun V. Yayasan Al Hikmah Dibinbapera, Jakarta, 1994 Yulkarnain Harahab , Kesiapan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah , Yogyakarta,
Mimbar hukum : jurnal berkala Fakultas Hukum UGM,
Penerbit
Universitas Gadjah Mada Fakultas Hukum, Tahun Terbit
Artikel: 2008 Volume : 20 No : 1 Perundang-undangan : Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 08 tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan arbitrase Syari’ah Nasional Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 08 tahun 2010 tentang Eksekusi Putusan Badan arbitrase Syari’ah Nasional
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
65
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
Internet : Bahauddin, Problematika Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Pengadilan
Agama,
http://pa-
wates.net/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=38.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Prima SY. Kajian Hukum …
66
KAJIAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN LISENSI PATEN SEBAGAI SARANA ALIH TEKNOLOGI DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL DI INDONESIA Oleh : Prima Supriadi Yusuf Abstract In the Globalization era, an international business development is mostly done among others through licensing and the formation of a joint venture. One form of the business expansion with the licensing system can change the order of the domestic market. Many qualified foreign products enter to Indonesia through the cooperation between foreign and local entrepreneurs in producing and developing its business through patent licensing agreements and know-how transfer. License is a form of granting permission to utilize an Intellectual Property Rights that can be given by the licensor to the licensee. The goals is that the licensee can undertake a business activity, whether in the form of technology or knowledge (know-how) that can be used to create, produce, sell, or market (tangible) specific goods, and which will be used to carry out the activities of certain services by using those licensed intellectual property rights . Keywords: Agreement, Patent Licensing, Investment Abstrak Di Era Globalisasi pengembangan usaha secara internasional banyak dilakukan antara lain dengan melalui pemberian lisensi dan pembentukan perusahaan patungan (joint venture). Salah satu bentuk ekspansi usaha dengan sistem pemberian lisensi dapat mengubah tatanan pasar domestik. Banyak produk-produk asing yang berkualitas masuk ke Indonesia melalui kerja sama dengan pengusaha lokal dalam memproduksi dan mengembangkan usahanya melalui perjanjian lisensi paten dan know how transfer. Lisensi merupakan suatu bentuk pemberian ijin untuk memanfaatkan suatu Hak Kekayaan Intelektual yang dapat diberikan oleh pemberi lisensi kepada penerima lisensi agar penerima lisensi dapat melakukan suatu kegiatan usaha, baik dalam bentuk teknologi atau pengetahuan (know how) yang dapat dipergunakan untuk memproduksi, menghasilkan, menjual, atau memasarkan barang (berwujud) tertentu, maupun yang akan dipergunakan untuk melaksanakan kegiatan jasa tertentu dengan menggunakan Hak Kekayaan Intelektual yang dilisensikan tersebut. Kata Kunci : Perjanjian, Lisensi Paten, Penanaman Modal PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
67
A.
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014 Pendahuluan Pembangunan ekonomi suatu bangsa salah satunya ditentukan dengan
kemampuan bangsa tersebut menguasai teknologi. Melalui teknologi suatu bangsa akan mengalami proses pertumbuhan yang amat cepat. Oleh karena itu keberadaan teknologi sebagai penunjang dalam pembangunan ekonomi menjadi suatu hal yang tidak ditawar lagi.1 Bagi Indonesia, sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, pentingnya peranan teknologi merupakan hal yang tidak terbantah, tetapi perkembangan teknologi tersebut belum mencapai sasaran yang diinginkan. Hal ini telah dirumuskan secara jelas dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, antara lain seperti yang tercantum dalam Bab II yang menyatakan bahwa pengembangan teknologi belum dimanfaatkan secara berarti dalam kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya sehingga belum memperkuat kemampuan Indonesia dalam rangka menghadapi persaingan global. Untuk meningkatkan perkembangan teknologi, diperlukan adanya suatu sistem yang dapat merangsang perkembangan teknologi dalam wujud perlindungan terhadap karya intelektual.2 Hak
Kekayaan
Intelektual
muncul
sebagai
reaksi
atas
tumbuh
dan
berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan telekomunikasi. Selain itu, dalam realitanya penguasaan teknologi sendiri masih menyimpan sejumlah kesenjangan. Beberapa Negara di dunia ini ada yang telah menguasai bahkan mampu mengembangkan teknologi pada tingkat yang paling canggih, namun ada juga negaranegara yang tingkat kemampuan penguasaan teknologi masih sangat terbatas. Dalam konteks ini dapat dibedakan negara-negara yang dikategorikan dalam kelompok pertama disebut negara-negara maju (developed countries), sedangkan negara-negara yang dikategori pada kelompok kedua dikenal dengan sebutan negara-negara berkembang (developing countries).3
1
Budi Agus Riswandi dan M Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm 99. 2 Penjelasan atas Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten , Ibid, aline kedua. 3 Budi Agus Riswandi dan M Syamsudin, op.cit, hlm 99-100.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Prima SY. Kajian Hukum …
68
Untuk menyiasati kesenjangan ini maka kini dapat diterapkan beberapa instrumen hukum yang mampu menciptakan keseimbangan dalam pemanfaatan teknologi tersebut. Mekanisme lisensi wajib Hak Kekayaan Intelektual (HKI) menjadi salah satu bentuk dari instrumen hukum yang dimaksudkan guna meminimalisir kesenjangan tersebut. Harapannya, dengan keberadaan lisensi wajib dalam bidang HKI akan mendorong pemanfaatan teknologi yang merata, khususnya kepada negaranegara berkembang.4 Lili Rasjidi mengatakan bahwa dalam melaksankan pembangunan ekonomi, Indonesia berusaha menarik arus investasi asing untuk memperkuat struktur permodalan dalam negeri. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pembangunan disektor industri meningkat pula karena umumnya modal asing masuk melalui pembangunan industri.5 Masalah investasi akan terkait dengan HKI, karena investasi asing juga identik dengan masuknya HKI ke Indonesia, khususnya yang menyangkut masalah alih teknologi, dalam hal ini lisensi paten sejalan dengan kebutuhan ini.6 Untuk mempercepat pembangunan ekonomi kearah stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, diperlukan permodalan dalam bentuk investasi dengan memanfaatkan penanaman modal dalam negeri dan modal luar negeri/asing secara maksimal yang terutama diarahkan kepada usaha-usaha rehabilitasi, pembaharuan, perluasan dan pembangunan baru di bidang produksi barang-barang dan jasa. Kegiatan penanaman modal/investasi langsung, baik dalam bentuk investasi asing maupun investasi dalam negeri bagi Indonesia, mempunyai kontribusi secara langsung bagi pembangunan. Penanaman modal akan semakin mendorong pertumbuhan ekonomi, alih teknologi dan pengetahuan, serta menciptakan lapangan kerja baru untuk mengurangi angka pengangguran dan mampu meningkatkan daya beli masyarakat.7
4
Budi Agus Riswandi dan M Syamsudin, Ibid, hlm 100. Lili Rasjidi, Pembangunan Hukum Menyongsong Masyarakat Industri Indonesia, Majalah Ilmu Hukum Dan Pengetahuan Masyarakat Padjadjaran, Jilid XXVII, 1998, hlm. 18 6 Saudargo Gautama dalam : Ahmad Ramli, HAKI- Atas Kepemilikan Intelektual, Teori Dasar Perlindungan Rahasia Dagang, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 13. 7 Dhaniswara K. Harjono, Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, Tinjauan Terhadap Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 58. 5
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
69
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014 Penanaman modal akan meningkat apabila tercipta iklim investasi yang kondusif
dan sehat serta meningkatnya daya saing Indonesia sebagai tujuan investasi tersebut. Untuk itu, semua pihak, baik pemerintah, kalangan usaha, dan masyarakat umum, harus dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan kondusif. Untuk saat ini, tantangan di dalam negeri semakin kompleks, peran penanaman modal akan semakin dibutuhkan, tetapi peningkatan penanaman modal tersebut harus tetap dalam koridor yang telah digariskan dalam kebijakan pembangunan nasional yang telah direncanakan dengan tetap memerhatikan kestabilan makro ekonomi dan keseimbangan ekonomi antarwilayah, sektor, pelaku usaha, dan kelompok masyarakat serta mendukung peran usaha nasional dan memenuhi kaidah tata kelola perusahaan yang baik.8 Bangsa Indonesia sedang mengalami persaingan yang semakin meningkat dalam menarik investasi terutama investasi asing. Untuk itu, bangsa Indonesia harus mampu membangun iklim usaha yang kondusif, yaitu memelihara stabilitas makro ekonomi serta terjaminnya kepastian hukum dan kelancaran penanaman modal yang efisien. Di samping itu, pemerintah daerah bersama dengan instansi atau lembaga terkait harus lebih diberdayakan lagi. Pada sisi yang lain di Era Globalisasi hampir tidak ada lagi batas antara satu negara dengan negara lain dalam hal melakukan perdagangan,9 akan memungkinkan produk-produk luar negeri bebas masuk tanpa hambatan yang berarti ke suatu negara. Ini berarti bahwa para pemodal asing dapat memungkinkan untuk menjalin kerjasama dengan pengusaha lokal untuk melakukan kegiatan tertentu dalam hal penerapan advance technology dan high technology. Maka tidak heran, perusahaan-perusahaan besar setingkat world class seperti Philip, Nasional, Toshiba, Toyota dan lainnya, mendirikan pabrik di Indonesia guna memenuhi pangsa pasar Indonesia. Ekspansi pasar secara global dengan standard produk internasional menjadi trend bisnis di abad modern ini.
8
Ibid.58 Dalam era perdagangan bebas, hakekat persaingan menjadi lebih luas lagi meliputi persaingan di antara negara-negara industri maju , persaingan antara negara maju dengan negara-negara berkembang dan persaingan diantara negara – negara berkembang itu sendiri. 9
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Prima SY. Kajian Hukum …
70
Menurut Suyud Margono, Permodalan khususnya dalam bentuk penanaman modal (investasi) asing, biasanya diikuti dengan alih teknologi dan umumnya dengan meknisme perlisensian. Proses alih teknologi dikakukan melalui lisensi merek (wellknown marks), lisensi paten, lisensi hak cipta, lisensi desain industri dan rahasia dagang.10 Alih teknologi perlu dilakukan, sepanjang menguntungkan perekonomian bangsa. Mekanisme pengalihan teknologi juga mencakup transaksi-transaksi dagang internasional mengenai teknologi yang berbeda di tiap negara yang bergantung kepada keadaan politik dan ekonomi serta taraf kemajuan teknologi dari negara yang bersangkutan. Memang betul tujuan kontrak adalah untuk mengatur hak dan kewajiban (hubungan para pihak).11 Perjanjian alih teknologi tidak hanya sebatas pada pengaturan hak dan kewajiban. Masih diperlukan pelaksanaan lebih lanjut setelah selesainya penyerahan hak dan kewajiban, sebab dalam perjanjian alih teknologi mempunyai keterkaitan dengan banyak bidang, termasuk di dalamnya lingkungan dan masyarakat. Akibatnya, dapat berpengaruh pada kehidupan ekonomi negara. Dalam kondisi demikian perlu campur tangan pemerintah dalam pembuatan perjanjian alih teknologi. Dalam hal ada campur tangan pemerintah, akhirnya harus ada campur tangan hukum, haruslah diterapkan dalam batas-batas tertentu yang wajar. Hal ini memang sangat diperlukan dan jangan sampai berlebihan. Dengan demikian, perjanjian alih teknologi di samping mengatur hubungan para pihak tentang hak dan kewajiban, juga diperlukan terciptanya suatu posisi tawar yang seimbang.12 Hal-hal tersebut hendaknya tercermin secara tegas dalam perjanjian alih teknologi.
Dengan
adanya
campur
tangan
pemerintah,
pemerintah
perlu
mempertimbangkan tingkat pengalihan teknologi yang tepat dan berdayaguna di bidang industri. Tampaknya campur tangan pemerintah dalam memilih secara tepat alih teknologi yang mana yang dapat mengembangkan bidang industri merupakan prioritas. Kondisi seperti ini, lebih tepat menggunakan teknologi madya secara 10
Suyud Margono, Hukum Investasi Asing Indonesia, CV Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2008, hlm
3. 11
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 53 Dewi Astutty Mochtar, Perjanjian Lisensi Alih Teknologi Dalam Pengembangan Teknologi Indonesia, Alumni, Bandung, 2001, hlm.6 12
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
71
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
benar guna menjamin ekologi. 13 Sehubungan dengan itu, seyogyanya akan lebih efektif jika pemerintah melakukan intervensi dalam bentuk pemberian izin untuk masuknya teknologi sebagai alternatif untuk menyaring perjanjian lisensi yang ada hubungannya dengan alih teknologi. Berdasarkan latar belakang masalah seperti diuraikan dimuka, maka timbul pemasalahan, yang dapat diidentifikasikansebagai berikut : bagaimanakah Pengertian dan substansi dari perjanjian lisensi atas Hak Kekayaan Intelektual di bidang paten ?; bagaimana proses alih teknologi melalui perjanjian lisensi paten sebagai bentuk penanaman modal dan pengembangan usaha di Indonesia ?, dan bagaimana hambatanhambatan negara Indonesia sebagai negara berkembang dalam perjanjian lisensi paten kaitannya penguasaan teknologi ? B.
Pembahasan
1.
Pengertian dan Substansi Dari Perjanjian Lisensi Atas Hak Kekayaan Intelektual Di Bidang Paten Substansi dari perjanjian lisensi adalah pemberian izin oleh yang berwenang
untuk melakukan suatu perbuatan, yang tanpa izin tersebut perbuatan itu adalah tidak legal bahkan dilarang Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian lisensi adalah perjanjian antara pembeli lisensi (licensor) dengn penerima lisensi (licensee) dimana licensor memberikan izin pada licensee untuk menggunakan hak kekayaan intelektual milik licensor14. Pemberian lisensi oleh licensor kepada licensee untuk menggunakan HKI milik licensor tersebut disertai pembayaran imbalan berupa royalty kepada licensor. Menurut Pasal 1 ayat (13) UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten (selanjutnya disebut UU Paten 2001) memberikan definisi lisensi sebagai izin yang diberikan kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu. Menurut Peraturan Pasal 21 ayat (1) Pemerintah Republik Indonesia No. 20 Tahun 2005, Tentang Alih Teknlogi Kekayaan Intelektual Serta Hasil Penelitian Dan Pengembangan Oleh Perguruan Tinggi Dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan 13
Ibid, hlm. 7 Ibid. hlm.74
14
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Prima SY. Kajian Hukum …
72
(selanjutnya disebut PP No.20 Tahun 2005), disebutkan bahwa “lisensi dilakukan melalui perjanjian lisensi”. Tentunya tidak menutup kemungkinan, bahwa sebagian besar perjanjian ini bersifat internasional. Perjanjian Internasional merupakan sumber hukum yang terpenting15 Rumusan mengenai perjanjian internasional menurut Moctar Kusumaatmadja adalah sebagai berikut16 “Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu”. Perbedaan lisensi paten dengan know-how transfer terletak pada tujuan dari mesing-masing pranata tersebut. Dalam lisensi paten terdapat pemberian ijin dari pemilik paten kepada pemegang lisensi, dengan suatu imbalan untuk menggunakan sesuatu yang sebelumnya tidak boleh digunakannya. Dan dengan know-how transfer, juga terdapat semacam pemberian izin (jadi sebenarnya bukan transfer dalam arti menjual), juga dengan suatu imbalan untuk menggunakan sesuatu, yang sebelumnya pihak yang menerima transfer tidak mengetahui begaimana cara menggunakannya, dan yang dengan alasan-alasan praktis tidak bermaksud mengembangkan sendiri. Jadi, yang dimaksud dengan transfer tersebut sebenarnya sejenis lisensi juga17 Mengenai hal ini, telah diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU Paten 2001. Adanya izin merupakan syarat mutlak adanya lisensi18. Pemberian lisensi pada Paten diatur dalam Pasal 69 UU No.14 Tahun 2001 Tentang Paten. Pasal 69 ayat (1) menegaskan bahwa pemegang Paten berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian Lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. Akan tetapi Pasal 71 ayat(1) menyebutkan bahwa perjanjian Lisensi tidak boleh memuat ketentuan, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan invensi yang 15
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm.76 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional, Bunga Rampai, Alumni,Bandung, 2003, hlm. 107 17 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm.331-332 16
18
Gunawan Widjaja, Lisensi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm 45.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
73
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
diberi Paten tersebut pada khususnya. Jadi jelas bahwa izin dari pihak yang berhak dan berwenang untuk memberikan Paten merupakan suatu hal yang mutlak harus dipenuhi agar terhindar dari sanksi pidana. 2.
Proses Alih Teknologi Melalui Perjanjian Lisensi Sebagai Bentuk Penanaman Modal dan Pengembangan Usaha di Indonesia Menurut Pasal 1 ayat (1) UU Paten 2001, yang dimaksud dengan paten adalah
hak khusus yang diberikan negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi untuk lama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada orang lain untuk melaksanakannya. Lebih lanjut Pasal 2 ayat (1) UU yang sama meneragkan bahwa Paten diberikan untuk invensi yang baru dan mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam industri. Jadi kata kunci dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut adalah “dapat diterapkan dalam industri”. Jadi dengan demikian, penemuan baru dibidang teknoogi tersebut harus dapat diterapakan dalam industri, guna meningkatkan efisiensi dan efektifitas dari produk yang dihasilkan. Oleh karena itu, pada bab sebelumnya disebutkan bahwa salah satu alasan mengapa banyak pengusaha lokal mendirikan joint venture dengan para pemegang lisensi paten asing adalah mempercepat proses pengembangan usaha bagi industri-industri padat modal dengan memanfaatkan sebagian proses produksi melalui teknologi yang dilisensikan, disamping itu melalui lisensi, pihak pemberi lisensi maupun pihak penerima lisensi dapat melakukan trade off (atau barter) teknologi. Lantas pertanyaanya, mengapa harus menggunakan paten asing bukankah peneliti lokal juga sudah banyak yang menjadi inventor?. Hal yang sangat disayangkan bahwa hasil invention lokal sebagian besar belum teruji, bahwa hasil penemuannya belum mampu diterapkan di bidang industri dan belum banyak terbukti untuk meningkatkan produksi secara efektif dan efisien. Sebagian besar invention lokal masih berbentuk hasil pengujian labolatorium. Berbeda dengan beberapa hasil invention lokal yang sudah mampu diterapkan dalam industri kita, seperti Landasan putar “sosrobahu” dan klip rel kereta api “KA-Clip”19 19
Sosrobahu adalah sistem landasan putar untuk menggeser beton dengan berat ratusan ton, ditemukan oleh Ir. Tjokorda Raka sukawati, sedangkan KA-Clip klip rel Kreta Api yang ditemukan oleh Ir. Novi. Dikutip dari majalah GATRA, Kebangkitan Iptek Nasional, Edisi Khusus 17 Agustus 2004, Agustus, 2004.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Prima SY. Kajian Hukum …
74
Jadi, memang tidak dapat kita pungkiri bahwa pengusaan teknologi baru sebagian besar masih dikuasai negara-negara maju. Oleh karena itu, alasan inilah yang kemudian digunakan oleh pengusaha lokal untuk menggandeng pengusaha luar yang memeliki paten asing yang dapat diterapkan dan dipasarkan dalam industri nasional. Kebijakan ini diambil mengingat tingkat teknologi idustri nasional belum setaraf dengan teknologi luar negeri, maka diperlukan partner asing yang memiliki lisensi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan teknologi perusahaannya. Dengan demikian, perusahaan lokal tersebut dapat mengurangi investasinya dalam bidang riset untuk menemukan teknologi baru tersebut. Sehingga dengan cara ini para pengusaha lokal dapat lebih fokus dalam ekspansi dan operasional bisnisnya. Salah satu caranya yang dianjurkan adalah sistem joint venture dengan minoritas modal asing, partner nasional mengadakan persetujuan know-how dengan partner asing pemegang lisensi asing. Dengan joint-venture tersebut, dimaksudkan suatu bentuk kerjasama dalam satu perusahaan baru antara orang atau badan hukum negara asing dengan warga negara Indonesia atau badan hukum yang dimiliki warga negara Indonesia. Perusahaan joint-venture diharuskan berbentuk Perseroan Terbatas (PT), dimana ada saham yang dimiliki warga negara Indonesia disamping warga negara atau badan hukum negara asing tersebut. Selain itu menurut Undang-undang No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal saham joint-venture harus paling sedikit
5 %
dimiliki oleh badan atau warga negara Indonesia. Menurut Friedman, penggabungan know-how ke dalam joint venture biasanya merupakan babak pertama menuju kerja sama yang lebih permanent, yang pada saatnya akan beralih pada kerja sama berdasarkan penggabungan modal20. Hal yang perlu diperhatikan dalam sistem joint-venture adalah kalau saham terbanyak dikuasai oleh pemilik asing ini berarti bahwa rekanan nasional mempunyai posisi yang sangat lemah dan kadang-kadang digunakan sebagai boneka saja, termasuk kebijakan teknologi, sehingga dalam hal tertentu dalam bidang teknologi yang dianggap sebagai rahasia perusahaan, tertutup bagi rekanan nasional. Lebih parah lagi kalau dalam perjanjian ini dimana perusahaan asing diberi banyak kemungkinan untuk
20
Richad Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm. 61
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
75
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
memasukan teknologi yang usang atau tidak laku lagi dinegaranya atau menghasilkan produk dengan mutu yang kurang baik atau bermacam-macam pembatasan dan larangan seperti larangan mengekspor, keharusan untuk mengalihkan semua knowhow dan paten-paten, dsb. Untuk menghindari hal-hal tersebut diatas, seyogyanya para pengusaha lokal harus mengetahui sejauh mana hukum positif kita yang mengatur perlindungan licensee (penerima lisensi) yang diberikan licensor paten dan know-how transfer. Menurut Pasal 1 ayat (1) PP No.20 Tahun 2005 Tentang Alih teknologi, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan alih eknologi adalah pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan atau orang, baik yang berada dalam lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri atau sebaliknya. Dengan tujuan untuk menyebaruaskan ilmu pengetahuan dan teknologi dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi guna kepentingan masyarakat dan negara. Menurut UU No.14 Tahun 2001 Tentang Paten (lebih lanjut disebut UU Paten 2001, bahwa dalam mengembangkan usahanya dengan cara menggunakan lisensi paten orang lain baik dari
licensor asing, maupun lokal. Maka pihak licensee
(penerima lisensi) harus memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan pengalihan paten, guna melindungi kepentingannya, dengan memperhatikan beberapa ketentuan UU Paten 2001, sebagai berikut: 1.
Licensee berhak untuk mendapatkan segala macam informasi yang berhubungan dengan HAKI yang dilisensikan, yang diperlukan olehnya untuk melaksanakan lisensi yang dialihkan tersebut. Lisensi dapat dialihkan sebagian atau seluruhnya, bergantung pada perjanjian tertulis antara para pihak (Pasal 66 ayat (1) UU paten 2001).
2.
Hak eksklusif yang dilindungi oleh negara bagi pemegang paten adalah dalam pelaksanaan paten produk dan paten proses (Pasal 16 ayat (1) UU Paten 2001)
3.
Agar diperhatikan, bahwa pengalihan paten harus disertai dokumen asli paten berikut hal lain yang berkaitan dengan paten (Pasal 66 ayat (2) UU Paten 2001) dan segala bentuk pengalihan paten wajib dicatat dan diumumkan (Pasal 66 ayat
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Prima SY. Kajian Hukum …
76
(3) UU Paten 2001. Sebab pangalihan paten yang tidak memperhatikan hal-hal tersebut diatas (Pasal 66 UU Paten 2001), akan mengakibatkan pengalihan hak paten ini tidak sah dan batal demi hukum (Pasal 66 ayat (4) UU Paten 2001). 4.
Perjanjian lisensi paten tersebut tidak diperbolehkan memuat ketentuan, baik langsung mauun tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia (Pasal 71 ayat (1) UU Paten 2001).
5.
Bahwa lisensi tersebut berlaku selama jangka waktu yang diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia (Pasal 69 ayat (1) UU Paten 2001). Lamanya Perlindungan terhadap paten adalah 20 (dua puluh tahun) untuk paten (Pasal 8 ayat (1) UU Paten 2001) dan 10 (sepuluh) tahun untuk paten sederhana (Pasal 9 UU Paten 2001).
6.
Agar memperhatikan, bahwa lisensi tersebut benar-benar dapat bermanfaat yang mengandung inovasi baru yang dapat memiliki “added value” dan diterapkan dalam industri (Pasal 5 UU Paten 2001).
7.
Penatapan besarnya royalty dilakukan dengan memperhatikan tata cara yang lazim digunakan dalam perjanjian Lisensi Paten atau perjanjian lain yang sejenis (Pasal 78 ayat (3) UU Paten 2001) Dalam penanaman modal secara Joint Venture (kerja sama antara pemilik modal
asing dengan pemilik modal nasional) atau Joint Enterprise (kerja sama antara perusahaan nasional dengan perusahaan asing) kita mengenai suatu persetujuan (agreement) yang bernama: "Franchise And Brand Use Agreement". Persetujuan itu digunakan apabila suatu perusahaan nasional (dalam negara) berhasrat memproduksi suatu barang yang telah mempunyai merk, telah terkenal, dan dilindungi oleh Undangundang Pateri, seperti halnya Coca Cola, Honda, Toyota, Bata, Rokok 555 dan lain sebagainya, dalam persetujuan itu ditentukan hal-hal yang wajib ditaati, ketentuan bagi keuntungan, cara-cara kerja dan lain sebagainya. Ketentuan tentang produk, menyangkut tentang mutu, bentuk, ukuran, berat dan rasa yang harus sama dengan produk-produk aslinya yang telah dilindungi hukum paten. Dengan demikian, kerja sama usaha ini dapat diarahkan pada produksi barangbarang yang belum bisa ditangani sendiri oleh tenaga-tenaga Indonesia ataupun karena
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
77
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
terikat oleh hak paten, tenaga-tenaga ahli Indonesia sebelum terjadinya kerja sama ini tidak berani untuk melanggar hak paten tersebut walaupun kemampuan untuk memproduksi. Dengan demikian, jelas bahwa kerja sama antara perusahaan nasional dengan perusahaan asing yang menanamkan modalnya di Negara Indonesia, yang memproduksi
barang-barang
yang
dilindungi
paten,
sangat
menguntungkan
perusahaan nasional, lebih-lebih kalau dikaitkan dengan pembangunan sarana fisik, alih teknologi dan kemungkinan-kemungkinan dimiliki saham-sahamnya oleh para pengusaha nasional. Apabila ditempkan pada bidang pertambangan, maka Perjanjian Lisensi (License Agreement) merupakan suatu perjanjian yang memiliki ciri-ciri dibuat oleh suatu badan publik dengan swasta, adanya ursur kuasa, dan pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi, serta merupakan perjanjian standard. Dalam hal ini, meskipun ada unsur publiknya, akan tetapi perjanjian, ini merupakan perjanjian yang sifatnya kontraktual (perdata). 3.
Hambatan-hambatan negara Indonesia Sebagai Negara Berkembang Dalam Perjanjian Lisensi Paten Kaitannya Denganm Penguasaan Teknologi Hambatan utama dalam perjanjian alih teknologi adalah adanya posisi yang tidak
seimbang antara pemberi teknologi yang biasanya merupakan negara maju, dan penerima teknologi yang biasanya merupakan negara berkembang seperti Indonesia. Hambatan lainnya adalah kurang siapnya aturan hukum mengenai alih teknologi bagi negara Indonesia sebagai penerima teknologi. Pembatasan-pembatasan
dalam perjanjian lisensi, yang bagaimana yang
diijinkan dan bagaimana yang dilarang hanya berdasarkan pada Pasal 71 UU paten, yang menyatakan bahwa : Dengan demikian harus ada penjelasan dan memberikan kepastian mengenai pengertian dari pasal ini melalui peraturan pemerintah tentang lisensi paten, tanpa penjelasan atas pasal ini kedudukan penerima lisensi dalam negeri akan tetap lemah dan akan mempengaruhi alih teknologi dan perkembangannya. Pengalihan teknologi dapat terjadi dengan jalan pemindahan hak paten dan melalui lisensi paten. Walaupun di suatu negara belum ada undang-undang paten,
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Prima SY. Kajian Hukum …
78
lisensi dapat dilakukan untuk pengallihan teknologi. Dengan demikian terjadinya lisensi know how dan hak kekayaan lainnya seperti desain industri, merek dagang. Keadaan daya saing yang tidak seimbang antara perusahaan industri negara maju dan negara berkembang dalam penghalihan teknologi, menyebabkan sering terjadinya pembatasan usaha dagang dan industri yang merugikan penerima teknologi negara berkembang. Pada hakekatnya para lisensor (pemberi teknologi) cenderung sering memaksakan syarat-syarat yang sangat memberatkan terhadap pihak lisensi (penerima teknologi) yang pada umumnya dalam posisi yang lemah dalam proses tawar menawar. Kecendrungan semacam inilah yang harus diatasi dengan larangan tersebut, yakni melarang adanya klausula-klausula dalam perjajian lisensi yang memberatkan pihak penerima lisensi. Perjanjian pemberian lisensi paten merupakan salah satu jenis lisensi industrial yang umumnya diatur dalam Hukum Perdata. Selanjutnya, dikatakannya bahwa perjanjian lisensi paten Hak-hak untuk menikmati dan menegakkan ketentuan-ketentuan lisensi bergantung kepada sifat kontraktual lisensi itu, daripada kenyataan terlibatnya hak-hak paten. Berbeda dengan pendapat tersebut di atas ialah yang dikemukakan oleh Sumantoro, yaitu bahwa perjanjian lisensi adalah kontrak pemberian teknologi untuk menggunakan hak proses dengan imbalan. Perjanjian lisensi paten berbeda dari perjanjian umum lainnya, karena pemilik paten atau pemegang paten hanya memberikan lisensi kepada penerima lisensi, sedangkan hak patennya masih tetap menjadi milik pemilik paten tersebut dan bukan menjadi milik penerima lisensi. Sebagai aturan umum, lisensi paten bersifat personal dan tidak dapat dialihkan, kecuali jika syarat-syarat yang terdapat dalam perjanjian tersebut menunjukkan adanya maksud untuk mengizinkan pengalihan. Dalam hal perjanjian lisensi paten, ketentuan dasar pemberian lisensi diatur dalam Undang-undang tenfang Paten (Undang-undang Nomor 14 Tahun2001), khususnya dalam Pasal 69-87. Namun, rincian ketentuan mengenai lisensi dalam wujud peraturan pelaksanaannya sampai kini belum ditetapkan. Ini berarti bahwa perjanjian alih teknologi diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual, sedangkan pemberian lisensi paten berdasarkan ketentuan Undangundang Paten (Undang-undang Nomor 14 Tahnn 2001).
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
79
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014 Oleh karena itu, dasar hukum untuk mengatur perjanjian lisensi paten akan tetap
menggunakan ketentuan-ketentuan umum dalam KUH Perdata, terutama ketentuanketentuan perjanjiannya, walaupun "kebebasan dalam membuat perjanjian" akan dibatasi oleh ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 71 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Melalui perjanjian lisensi ini pemberi teknologi memberikan hak kepada penerima teknologi untuk suatu jangka waktu tertentu dan dengan syarat-syarat dan kondisi-kondisi yang disetujui bersama, memanfaatkan dan menggunakan teknologi dari pemberi teknologi untuk tujuan tertentu. Kebebasan untuk mengadakan perjanjian dalam bentuk dan macam apapun didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan bahwa "Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Pasal ini merupakan dasar hukum dari asas Kebebasan Berkontrak. Seperti telah disebutkan terdahulu, memang belum ada suatu peraturan perundang-undangan yang secara jelas dan tegas mengatur tentang perjanjian lisensi. Namun, secara taklangsung terdapat beberapa ketentuan yang ada kaitannya dengan masalah perjanjian proses alih teknologi, yaitu di antaranya dapat bersumber pada: 1.
Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan: "Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Ketentuan pasal inilah yang merupakan dasar hukum bagi berlakunya asas kebebasan berkontrak. Dasar hukum ini kalau dikaitkan dengan Undang-undang Paten dapat ditelusurt melalui penerapan asas Lex Speciali Derogat Lex Generali. Maksudnya ialah Lex Speciali adalah Undangundang Paten sedangkan Lex Generali adalah Undang-undang Perjanjian Lisensi.
2.
Undang-undang tentang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007, Undangundang ini menyatakan: "Perusahaan perusahaan modal asing berkewajiban menyelenggarakan dan atau menyediakan fasilitasfasilitas latihan dan pendidikan di dalam dan atau di luar negara secara teratur dan terarah bagi warga negara Indonesia dengan tujuan agar berangsur-angsur tenagatenaga warga negara asing dapat diganti oleh tenagatenaga warga negara Indonesia".
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Prima SY. Kajian Hukum …
80
Dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban ini segi yang terpenting yang perlu diperhatikan dalam kontrak lisensi ialah adanya hubungan secara timbal balik antara hak dan kewajiban tersebut. Hak pemberi lisensi akan merupakan kewajiban bagi penerima lisensi. Demikian juga sebaliknya, apa yang menjadi kewajiban bagi pemberi lisensi akan merupakan hak bagi penerima lisensi. Banyak hak dan kewajiban pemberi dan penerima lisensi yang timbul dari perjanjian yang mereka buat sesuai dengan asas kebebasan berkontrak. Namun, ada beberapa hak dan kewajiban yang kareria sifatnya, dianggap akan selalu ada dalam perjanjian lisensi, walaupun ada kemungkinan pengaturan yang jelas untuk beberapa hal tersebut tidak dijumpai/ada. Bila hak dan kewajiban pemberi dan penerima lisensi dijabarkan lebih rinci, mencakup: a.
Kewajiban Pemberi Lisensi
1)
Kewajiban untuk mengusahakan dan menjamin hak-hak yang dilisensikan dapat digunakan oleh penerima lisensi. Pemberi lisensi harus menjamin bahwa hak-hak yang dilisensikan itu akan dapat digunakan oleh penerima lisensi.
2)
Kewajiban menjaga hak-hak yang dilisensikan itu dalam keadaan baik. Pemberi lisensi di bidang know-how misalnya, berkewajiban untuk menjaga agar knowhow yang dilisensikan adalah akurat dan terjaga kerahasiaannya.
3)
Jaminan (warranty) Dalam beberapa perjanjian lisensi, pemberi lisensi biasanya akan mencantumkan "No Warranty Clause". Dengan dicantumkannya klausula ini pemberi lisensi tidak memberikan jaminan apapun kepada penerima lisensi, kecuali mengenai hal-hal yang dengan jelas dan eksplisit disebutkan dalam perjanjian lisensi yang biasanya mencakup:
a)
Bahwa pemberi lisensi berhak memberikan lisensi;
b)
Bahwa informasi yang diberikan itu memenuhi standar yang umum digunakan untuk bidang tersebut.
b.
Kewajiban Penerima Lisensi meliputi:
1)
Kewajiban membayar Royalti Membayar royalti merupakan kewajiban utama dari penerima lisensi. Yang sering dipermasalahkan adalah berapa besar dan bagaimana cara pembayaran
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
81
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014 royalti harus dilakukan. Permasalahan lainnya yang masih ada kaitannya dengan royalti ialah:
a)
Mulai kapan royalti harus dibayarkan;
b)
Apakah pembayaran royalti tadi bebas dari pembayaran pajak;
c)
Apakah atas keterlambatan pembayaran royalti akan dikenakan bunga atau sanksi.
2)
Kewajiban lain. Penerima lisensi pada dasarnya dibebani dengan kewajiban untuk menggunakan hak-hak yang diperolehnya dari perjanjian lisensi. Namun, kewajiban tersebut tidak diwajibkan kepada penerima lisensi dalam beberapa hal seperti misalnya: Apabila penerima lisensi setuju membayar suatu jumlah minimal royalti tertentu tanpa melihat apakah akan menggunakan haknya atau tidak.
3)
Penerima lisensi juga berkewajiban untuk: a)
Tidak melakukan sanggahan atas keabsahan hak yang dilisensikan;
b)
Kewajiban untuk tidak melakukan kompetisi;
c)
Kewajiban menjaga kerahasiaan;
d)
Kewajiban menjaga kualitas dari produk;
e)
Kewajiban untuk memenuhi dan mematuhi persyaratan-persyaratan serta peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sehubungan dengan hak dan kewajiban antara penerima dan pemberi lisensi tersebut bila dikaitkan dengan syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata) termasuk dalam lingkup pengertian subjek hukum. Hal tersebut karena menyangkut para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Dengan adanya subjek hukum, harus ada objek yang diperjanjikan. Yang dimaksud dengan objek yang diperjanjikan oleh masingmasing pihak adalah "teknologi" dan atau "alih teknologinya" yang berupa paten dan merek. Adapun mengenai hak dan kewajiban pemilik paten di antaranya ialah: 1.
Mempunyai hak atas temuannya dan berkewajiban untuk mendaftarkan dalam Daftar Umum Paten;
2.
Berkewajiban menjaga kerahasiaan penemuannya dalam tempo 12 (dua belas) bulan sebelum permintaan paten diajukan; PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Prima SY. Kajian Hukum … 3.
82
Berhak atas paten dalam jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun sejak tanggal penerimaan permintaan paten. Untuk paten sederhana 10 (sepuluh) tahun;
4.
Pemegang paten berkewajiban untuk melaksanakan patennya di wilayah negara Indonesia;
5.
Pemegang paten untuk proses yang bersangkutan berhak atas ketentuan Pasal 17 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, melakukan upaya hukum terhadap produk yang diimpor tersebut jika produk telah dib.uat di Indonesia dengan menggunakan proses yang dilindungi paten;
6.
Berkewajiban untuk mejaga kerahasiaan penemuan yang dimintakan paten. Berkewajiban mencatatkan di Kantor Paten dan dimuat dalam Daftar Umum Paten dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Di samping itu hak dan kewajiban pemegang paten meliputi:
1.
Pemegang paten berhak untuk sating memberikan lisensi dalam menggunakan paten pihak lainnya berdasarkan persyaratan yang wajar;
2.
Pemegang lisensi yang patennya dibatalkan tidak berkewajiban untuk meneruskan pembayaran royalti yang seharusnya masih wajib dibayar, tetapi wajib membayar royalti untuk sisa jangka waktu lisensi yang dimilikinya kepada pemegang paten yang berhak; Berkewajiban untuk membayar biaya tahunan untuk tahun kedelapanbelas dan berikutnya, paten dianggap berakhir pada akhir batas waktu kewajiban pembayaran biaya tahunan untuk tahun yang kedelapanbelas tersebut.
C.
Penutup Sebagai penutup akan dikemukakan beberapa kesimpulan dan saran sebagai
berikut : Kesimpulan 1.
Secara substansi dan yuridis pengalihan teknologi merupakan suatu bentuk perjanjian lisensi, dalam hal ini lisensi paten, demikian juga dengan penggunaan hak paten asing berdasarkan lisensi. Atas dasar itu untuk terlaksananya alih
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
83
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014 teknologi ada 3 hal penting yang harus dipenuhi yaitu perjanjian, pengaturan alih teknologi dan paten.
2.
Perluasan usaha melalui perjanjian lisensi paten menjadi alternatif bentuk indirect investment dalam bisnis di abad modern sekarang ini. Salah satu cara bisnis sistem ini yang dianjurkan adalah bentuk joint venture, dengan minoritas modal asing. Penggunaan lisensi paten dipandang sebagai cara yang lebih efektif dan efisien untuk mengurangi resiko dan memperkecil biaya investasi. Aspek hukum yang mengatur mengenai masalah paten diatur oleh Undangundang No.14 Tahun 2001 Tentang Paten, yang mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan paten, seperti perlindungan, pengalihan hak dengan perjanjian tertulis, pembayaran royalty dan sebagainya, yang harus diperhatikan oleh para penerima lisensi (licensee). Secara lebih detail, mengenai pengalihan teknologi diatur oleh PP No.20 Tahun 2005 Tentang alih teknologi. Sedangkan, aspek hukum lain yang mengikat adalah perjanjian lisensi paten itu sendiri, sebagai suatu bentuk undang-undang bagi para pihak yang menyepakatinya
3.
Hambatan utama negara Indonesia sebagai negara berkembang dalam perjanjian lisensi paten kaitannya penguasaan teknologi adalah posisi tawar yang tidak seimbang antara pemberi teknologi dan penerima teknologi dalam perjanjian alih teknologi.
Saran 1.
Para pihak dalam perjanjian alih teknologi harus memahami secara baik hal-hal yang berhubungan dengan peraturan yang dikeluarkan pemerintah baik yang berupa perundang-undangan maupun yang berupa peraturan pelaksananya seperti undang-undang tentang paten
2.
Para pihak yang terlibat secara langsung atau tak langsung dalam perjanjian lisessi alaih teknologi memahami betul rumusan dari isi perjanjian yang akan dilaksanakan.
3.
Untuk memperjelas hubungan para pihak di dalam proses pengalihan teknologi, perlu adanya pengaturan nasional mengenai hukum kontrak berupa undangundang di samping undang-undang alih teknologi, dalam pengaturan tersebut
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Prima SY. Kajian Hukum …
84
memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa (dwingen recht) agar alih teknologi benar-benar terjadi sehingga dapat mempercepat kemampuan negara Indonesia dalam penguasaan teknologi dan menghindari dari perjanjian / kontrak yang hanya menguntungkan salah satu pihak saja seperti pemberi hak lisensi alih teknologi dengan perjanjian yang tidak seimbang karena posisi tawar penerima hak lisensi alih teknologi yang berada dalam posisi lemah. Hal ini untuk melindungi posisi penerima alih teknologi dari hambatan yang dapat mempengaruhi keadaan ekonomi negara penerima alih teknologi. 4.
Hambatan utama negara Indonesia sebagai negara berkembang dalam perjanjian lisensi paten kaitannya penguasaan teknologi adalah posisi tawar yang tidak seimbang, hal ini dapat dieliminir dengan adanya rujukan dalam kaitannya dengan alih teknologi. Alasannya ialah bahwa dasar perjanjian lisensi paten bisa terjadi alih teknologi. Namun, dalam Undang-undang Paten Indonesia Undangundang Nomor 14 Tahun 2001 ) belum diatur tentang Perjanjian Lisensi Paten dalam bentuk Peraturan Pemerintah, sehingga perlu segera dibuat agar jelas pelaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Budi Agus Riswandi dan M Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004 C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke20, Alumni, Bandung, 1994 Dewi Astutty Mochtar, Perjanjian Lisensi Alih Teknologi Dalam Pengembangan Teknologi Indonesia, Alumni, Bandung, 2001 Ditjen HKI Dep.Hum &HAM , Kompilasi Undang-undang Republik Indonesia di Bidang Hak Kekayaan Intelektual, diterbitkan oleh Ditjen HKI DepKeh dan HAM bekerjasama dengan Japan International Co-Operation Agency (JICA), Jakarta, 2004
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
85
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014 Ditjen HKI Dep.Hum &HAM, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual,
diterbitkan oleh Ditjen HKI Dep.Hum &HAM, Jakarta, 2004 Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, Tinjauan Terhadap Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007 Gunawan Widjaya, Lisensi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003 __________, Seri Hukum Bisnis Lisensi , Rajawali Press, Jakarta, 2001 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, 2002 ________ dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004 _________ dan Liza Sonia Rasjidi, “Pengantar Metode Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah Hukum”, Monograf, Bandung, Januari 2005 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001 Mochtar
Kusumaatmadja,
Fungsi
dan
Perkembangan
Hukum
Dalam
Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, Tanpa Tahun Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pemblnaan Hukum Nasional Binacipta, Bandung, 1976 Richard Quinney, The Prophetic Meaning of Modern Welfare State, 1999 Richad Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta, 2003 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002 Saudargo Gautama dalam : Ahmad Ramli, HAKI- Atas Kepemilikan Intelektual, Teori Dasar Perlindungan Rahasia Dagang, Mandar Maju, Bandung, 2000 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1988
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Prima SY. Kajian Hukum …
86
Suyud Margono, Hukum Investasi Asing Indonesia, CV Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2008 Tim Lindsey , Edi Damian, at all,
Hak Kekayaan Intelektual Suatu
Pengantar,Alumni, Bandung, 2002 Yudha
Bhakti
Ardhiwisastra,
Hukum
Internasional,
Bunga
Rampai,
Alumni,Bandung, 2003 . UNDANG-UNDANG UUD 1945 UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten. UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4724). UU No.1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing. PP No. 20 Tahun 2005 Tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual Serta Hasil Penelitian dan Pengembangan Oleh Perguuan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan UU RI No. 25 Th. 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan nasional RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) Tahun 2004-2009, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Kedua, 2006 MAKALAH/INTERNET/MAJALAH Imas Rosidawati, Perjanjian Lisensi Paten Dan Know-How Transfer Sebagai Bentuk Investasi, Jurnal Tridharma Majalah Ilmiah Kopertis Wilayah IV Jawa Barat , Nomor 6 Tahun XXI Januari 2009, Bandung, , 2009 Lili Rasjidi, Pembangunan Hukum Menyongsong Masyarakat Industri Indonesia, Majalah Ilmu Hukum Dan Pengetahuan Masyarakat Padjadjaran, Jilid XXVII, 1998 http://www.intraclipper.com/Detail.Asp?Cid=100&Cat=4&Lid=19851&MType= 1
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
87
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014 KONSEP PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL (FOLKLORE) DARI PENYALAHGUNAAN HAK OLEH PIHAK LUAR MELALUI SUI GENERIS PROPERTY SYSTEM Oleh : Mohamad Reza Abstract
The concept of western individualistic intelligentsia rights is not possible to protect the rights of local communities or indigenous groups on intellectual property (traditional knowledge / folklore). As a result, a lot of rights abuse (misappropriation) of works of Indonesian folklore, and its potential economy has been enjoyed by foreigners, as in the case of misappropriation of Jepara carving. This study aim to examine the concept of Intellectual Property Rights Protection in the field of folklore in order to utilize the economic potential of Jepara carving that can be optimal for the benefit of local communities. The research method of this study is normative juridical approach, with the specification of legal research analytical description to obtain description of the facts which accompanied by an accurate analysis of the legislation associated with theories of law in the legal protection of traditional cultural expressions (folklore) to prevent misappropriation by outsiders. The results showed that the Copyright Act is not sufficiently represent Related Rights owned by the craftsmen carving and local communities / indigenous community stakeholders Jepara as the original folklore. Keywords: Folklore, indigenous peoples, Intellectual Property Rights
Abstrak Konsep Hak Kekayaan Intelekual masyarakat barat yang individualistik tidak memungkinkan untuk melindungi hak-hak dari masyarakat lokal atau suku bangsa asli atas kekayaan intelektual (traditional knowledge/folklore), akibatnya, banyak terjadi penyalahgunaan hak (misappropriation) atas karya-karya folklore Indonesia, dan potensi ekonominya lebih banyak dinikmati oleh orang asing seperti pada kasus misappropriation ukiran Jepara. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji konsep perlindungan HKI bidang folklore dalam rangka pemanfaatan potensi ekonomi ukiran Jepara yang optimal bagi keuntungan masyarakat lokal, Metode penelitian menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, dengan spesifikasi penelitian hukum bersifat deskriptif analitis adalah untuk memperoleh gambaran atau uraian mengenai fakta-fakta disertai analisis yang akurat terhadap peraturan perundangundangan yang berlaku dihubungkan dengan teori-teori hukum dalam perlindungan PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
M. Reza. Konsep Perlindungan…
88
hukum terhadap ekspresi budaya tradisional/folklore agar tidak terjadi misappropriation oleh pihak luar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa UU Hak Cipta belum cukup merepresentasi Hak Terkait yang dimiliki oleh para pengrajin ukiran dan masyarakat lokal/adat Jepara sebagai komunitas pemangku asli folklore. Kata kunci: Folklore, masyarakat adat, HKI (Hak atas Kekayaan Intelektual)
I.
Pendahuluan Globalisasi telah membawa Indonesia ke persimpangan jalan antara kebutuhan
dan kenyataan dari situasi ini terjadi pada salah satu bidang hukum Kekayaan Intelektual. Hak Kekayaan Intelektual (untuk selanjutnya disebut sebagai HKI) adalah hak-hak (wewenang/kekuasaan) untuk berbuat sesuatu atas kekayaan intelektual yang berupa hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan seterusnya. Sesuai dengan hakikatnya, HKI dikelompokkan sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak berwujud (intangible)1. Uruguay Round menghasilkan perdebatan antara negara-negara maju dan negaranegara berkembang berkenaan dengan gagasan memasukkan perlindungan HKI ke dalam sistem perdagangan dunia, berupa kesepakatan General Agreement on Tariffs and Trade (untuk selanjutnya disebut sebagai GATT) atau Agreement Establishing the World Trade Organization (untuk selanjutnya disebut sebagai WTO Agreement). Hasilnya, dengan kemenangan di pihak negara-negara maju, adalah Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (untuk selanjutnya disebut sebagai TRIPs Agreement) yang juga mengadopsi konvensi-konvensi lainnya di bidang HKI seperti Paris Convention dan Berne Convention (dua konvensi utama di bidang industrial property dan copyright)2. Konsekuensinya, Indonesia sebagai negara berkembang harus meratifikasi TRIPs Agreement tersebut dan menyesuaikan hukum nasionalnya terhadap GATT/WTO Agreement. Penyesuaian tersebut menyebabkan masuknya konsep Barat tentang property dan ownership ke dalam pemikiran hukum di negara-negara berkembang, 1 2
Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 38-39. Agus Sardjono, Membumikan HKI di Indonesia, Bandung, CV. Nuansa Aulia, 2009, hlm. 5.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
89
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
termasuk Indonesia. Sedangkan, di sisi lain, masyarakat Indonesia dilihat belum siap menghadapi aturan-aturan tersebut3. Konsep
masyarakat
Barat
yang
individualistik
dan
kapitalistik
tidak
memungkinkan (preclude) pengakuan terhadap hak masyarakat secara kolektif. Sistem Barat ini juga tidak memungkinkan untuk melindungi hak-hak dari masyarakat lokal atau suku bangsa asli (traditional communities and indigenous people) atas kekayaan intelektual (traditional knowledge/folklore) yang pada umumnya tidak dimiliki secara individual oleh anggota masyarakat yang bersangkutan4. HKI adalah hak bagi pemilik karya intelektual, sifatnya individual, perorangan, privat. Masyarakat mendapat kemaslahatannya melalui mekanisme pasar. Karya intelektual yang telah mendapat atau telah dikemas dengan hak eksklusif merupakan property pemiliknya dan menciptakan mekanisme pasar (permintaan dan penawaran). Pelaksanaan
sistem
HKI
dalam
memenuhi
kebutuhan
masyarakat
banyak
menimbulkan hal tersebut , sehinga dapat dikatakan HKI merupakan pendorong bagi pertumbuhan perekonomian5. Penggunaan rezim HKI yang tidak mungkin terelakkan lagi dapat kita lihat bahwa semua ini bermula dari adanya prinsip-prinsip yang lahir dalam GATT/ WTO Agreement yang salah satunya meliputi liberalisasi perdagangan. Dengan proses ratifikasi, maka Indonesia merupakan negara yang juga telah menyetujui ketentuan internasional yang memasukkan aspek HKI ke dalam salah satu objek yang bisa diperdagangkan. Ratifikasi ini dapat dikatakan bahwa kebutuhan untuk memproteksi dan memberikan penghargaan terhadap karya intelektual merupakan satu kebutuhan yang tidak dapat terelakkan lagi. Di samping memang HKI ini yang mempunyai arti penting sebagai bukti penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.6 Hak Cipta sebagai bagian dari hak kekayaan intelektual , pengaturanya saat ini berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2002, diarahkan kepada penciptaan iklim yang lebih
3
Menurut Erlyn Indarti, ratifikasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia justru melepas segala permasalahan HaKI ke permukaan. Baca lebih lanjut dalam Erlyn Indrati, Hak Atas Kekayaan Intelektual Bagi Aparat Penegak Hukum POLRI, Semarang: Klinik HaKI Fakultas Hukum UNDIP, 2000 4 Erlyn Indrati, Hak Atas Kekayaan Intelektual Bagi Aparat Penegak Hukum POLRI, Semarang, hlm. 8. 5 Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, (Bandung: Alumni, 2002), hlm. 1415. 6 Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 9.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
M. Reza. Konsep Perlindungan…
90
baik bagi tumbuh dan berkembang serta terlindunginya karya intelektual guna melancarkan arus perdagangan. Hal yang belum terakomodir salah satunya adalah perlindungan terhadap pengetahuan tradisional (traditional knowledge) dan ekspresi budaya tradisional (untuk selanjutnya disebut sebagai folklore). Menurut Edi Setyawati, walaupun kata pengetahuan tradisional sering dibedakan dengan sebutan folklore (kesenian atau kebudayaan rakyat), namun dalam pelajaran ilmu sosial atau budaya, keduanya sering dianggap sinonim. World Intellectual Property Organization (untuk selanjutnya disebut WIPO) 7 . Terminologi folklore sendiri sebenarnya pernah dipisahkan dari pembicaraan mengenai traditional knowledge oleh WIPO dan UNESCO8. Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa dalam bentuk ekspresi folklore, seperti, tari-tarian, lagu-lagu, desain (batik, ukir-ukiran, seni patung), karya sastra, dan lain sebagainya. Zulfa Aulia mengungkapkan dalam penelitiannya, bahwa perlindungan HKI atas Pengetahuan Tradisional yang memuat folklore di dalamnya menjadi penting dilakukan karena didasarkan pada tiga pertimbangan, yaitu:9 1.
Nilai ekonomi.
2.
Pengembangan karakter bangsa yang terdapat dalam pengetahuan tradisional (traditional knowledge) dan folklore.
3.
Pemberlakuan rezim Hak Kekayaan Intelektual yang tidak dapat dihindari lagi. Nilai ekonomi menjadi satu hal yang penting dalam konsep ini, karena bisa saja
dengan nilai-nilai kebudayaan yang ditampakkan nantinya dapat menghasilkan keuntungan ekonomi yang bisa jadi hal itu tidak bernilai sedikit. Aspek lain yang juga merupakan alasan penting dalam melakukan usaha proteksi terhadap nilai-nilai folklore ini adalah bahwa acapkali keberadaan satu kebudayaan tertentu atau folklore ini mampu menonjolkan identitas atau ciri khas tertentu bagi suatu daerah bahkan suatu negara sekalipun.10 Keberadaan Reog Ponorogo yang sudah
7
Adrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 174. Ibid., hlm. 175. 9 Zulfa Aulia, Perlindungan Hukum atas Pengetahuan Tradisional, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2006, hlm. 8 10 Arif Lutviansori, Hak Cipta dan Perlindungan Folklore di Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, hlm. 4-5. 8
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
91
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
pasti akan menunjukkan daerah Ponorogo sebagai daerah yang secara komunal “mempunyai” kesenian ini, ukiran Jepara sudah pasti menunjukan tempat dimana individu atau komunal di daerah Jepara memiliki keterampilan seni ukir itu. Tari Kecak. Setiap orang yang mendengar nama Tari Kecak sudah pasti akan teringat bahwa tarian ini adalah berasal dari Bali. Hal ini hanya merupakan contoh yang masih dalam taraf daerah. Hal ini akan memberikan satu identitas tertentu terhadap negara yaitu Indonesia dalam pembangunan karakternya melalui aspek-aspek kesenian seperti ini. Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang memiliki khasanah budaya yang sangat beragam dan kaya dengan bobot artistiknya yang tinggi. Namun demikian, kekayaan itu tidak berjalan seiring dengan kesejahteraan penduduknya. Bangsa Indonesia belum mampu memanfaatkan secara optimal kekayaan sumber daya, baik yang bersifat alamiah maupun yang beraspek budaya. Bangsa Indonesia belum sepenuhnya menyadari bahwa pengetahuan tradisional dan ekspresi folklore, yang merupakan bagian inheren dari kehidupan kita sehari-hari, justru memiliki potensi ekonomi yang luar biasa. Bangsa inipun belum sepenuhnya memiliki kemampuan, terutama dari sudut pandang teknologi, untuk mengelola dan memanfaatkan kekayaan sumber daya hayati yang melimpah. Pada kenyataannya, potensi ekonomi lebih banyak dinikmati oleh perusahaan-perusahaan dari negaranegara maju. Dalam beberapa media massa yang terbit di Indonesia, pernah diberitakan adanya beberapa paten (utility patent) maupun (design patent) di luar negeri, atas “teknologi tempe”, desain patung Bali, desain batik, dan sebagainya, yang pada dasarnya merupakan upaya menggali potensi ekonomis dari penggunaan GRTKF11 Indonesia oleh pihak-pihak lain di luar Indonesia.12 Faktor utama yang menjadi kendala bagi penerapan HKI di Indonesia adalah masalah perbedaan konsep HKI yang individualistik dan budaya masyarakat Indonesia yang komunalistik dan mengedepankan konsep komunitas. Budaya gotong royong merupakan salah satu ciri yang menonjol dalam masyarakat Indonesia. Nilai ini telah menimbulkan konsepsi tersendiri mengenai masalah kepemilikan. Bagi masyarakat
11 12
Genetic Resources, Traditional Knowledge, and Folklore. Agus Sardjono, Op. Cit., hlm. 104-105.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
M. Reza. Konsep Perlindungan…
92
Indonesia, hak milik memiliki fungsi sosial yang boleh dinikmati oleh masyarakat lainnya. Sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya pemegang HKI, selama ini tidak memandang sebagai pelanggaran serius bila HKI-nya dimanfaatkan atau dipergunakan oleh orang lain, meskipun tanpa melalui izin si pemegang benda tersebut.13 Sedangkan konsep ini berbeda dengan HKI yang berasal dari Barat di mana dalam konsep Barat, setiap pemanfaatan atas kepemilikan seseorang dapat dianggap sebagai pelanggaran HKI apabila tidak mendapat izin dari pemiliknya secara sah. Kasus folklore yang marak terjadi di Indonesia, di antaranya adalah kasus kesenian batik, angklung, tarian tradisional Reog Ponorogo dari Ponorogo Jawa Timur, nyanyian daerah Rasa Sayange dari Maluku, tarian pendet dari Bali yang sudah menjadi icon dari bangsa Indonesia terancam kepemilikannya oleh bangsa asing (Malaysia), 14 serta naskah cerita rakyat I La Galigo dari Bugis, dan desain ukiran Jepara yang melibatkan orang-orang asing. Kasus ukiran Jepara merupakan warning bagi kita semua betapa sistem perlindungan HKI masih belum sepenuhnya dipahami oleh banyak pihak, bahkan termasuk para penegak hukum sendiri atas pengambilan hak-hak masyarakat Jepara secara tidak sah oleh orang asing atas karya tradisional mereka berupa ukir-ukiran yang khas itu. Kasusnya dapat digambarkan sebagai berikut: sebuah perusahaan milik orang asing (Inggris) telah membuat katalog, yang di dalamnya terdapat gambargambar desain ukiran Jepara. Perusahaan itu telah mendaftarkan katalog tersebut ke kantor HKI dalam rangka memperoleh perlindungan hak cipta. Belakangan, gambargambar itu muncul di dalam website yang digunakan oleh orang asing lainnya (Belanda) untuk mempromosikan kegiatan usahanya sebagai pedagang mebel. Para pengukir Jepara yang tidak melakukan pendaftaran dan terancam tuduhan melakukan pelanggaran desain jika mereka mengekspor hasil karya mereka ke luar negeri, khususnya ke Eropa. Ini akan menjadi sebuah ironi yang menyedihkan ketika para pengukir tradisional justru terancam haknya untuk menggunakan desain tradisional milik mereka sendiri. Penyalahgunaan atau perusakan nilai budaya (misappropriation) yang dilakukan 13
Adi Sulistiyono, Mekanisme Penyelesaian Sengketa HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual), (Solo: Sebelas Maret University Press, 2004), hlm. 34. 14 Arif Lutviansori, Op. Cit., hlm. vii.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
93
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
oleh pihak-pihak dari negara maju atas GRTKF dari masyarakat lokal di negara-negara berkembang membuktikan adanya nilai ekonomis tersebut. Dalam konteks Indonesia, akankah kita membiarkan potensi ekonomi itu menjadi hanya sekedar potensi bagi masyarakat lokal Indonesia sendiri, ataukah kita akan menggali potensi itu, dan kemudian memanfaatkannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal Indonesia. Indonesia memberikan perlindungan atas ciptaan yang tidak ada penciptanya (traditional knowledge/folklore) di bawah rezim Hak Cipta. Hak cipta adalah suatu rezim hukum yang dimaksudkan untuk melindungi para pencipta agar mereka dapat memperoleh manfaat ekonomi atas hasil karya ciptanya. Manfaat ekonomi itu dapat diperoleh dari hak khusus seorang pencipta untuk mengumumkan dan memperbanyak hak cipta. Termasuk tindakan mengumumkan antara lain: menyiarkan, mementaskan, mempertunjukkan, mendistribusikan, menjual, atau tindakan apapun yang membuat karya cipta seseorang dapat dilihat, didengar, atau dibaca oleh orang lain dengan menggunakan alat, media, atau sarana apapun. Folklore juga diatur dalam pasal 31 ayat (1) huruf a yang secara tersirat menyebutkan jangka waktu perlindungan folklore yang tidak mengenal batas waktu. Kedua rumusan ini menimbulkan banyak permasalahan terkait relevansinya dengan konsep Hak Cipta yang selama ini digunakan sebagai acuan dalam memberikan perlindungan di bidang seni sastra dan ilmu pengetahuan. Perlindungan folklore dalam UU Hak Cipta kurang tepat, karena walaupun sudah ada pengaturan khusus dalam UU Hak Cipta, kasus-kasus misappropriation tetap saja terjadi. Hal ini menunjukkan perlindungan HKI masih belum optimal dan banyak disalah pahami oleh berbagai pihak, bahkan termasuk para penegak hukum sendiri. Karena pengaturan mengenai folklore diatur di bawah rezim Hak Cipta, demikian pula hak-hak para pengrajin ukiran dan masyarakat lokal Jepara dilindungi dengan UU Hak Cipta. Dalam penelitian ini fokus terhadap permasalahan bagaimana implementasi UU Hak Cipta terhadap perlindungan folklore ukiran jepara dan sistem apakah yang sebaiknya diterapkan untuk mengoptimalkan perlindungan folklore ini.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
M. Reza. Konsep Perlindungan… II.
94
Metode Penelitian Metode penelitian digunakan sebagai alat untuk membantu serta menjawab
permasalahan dalam pokok penelitian melalui prosedur dan teknik dengan menggunakan langkah-langkah penelitian, dengan menggunakan metode penelitian secara normatif, dengan mendeskripsikan ilmu hukum pada lapisan dogmatik hukum. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Yuridist normatif. Spesifikasi penelitian menggunakan deskriftif analisis, yaitu suatu metode penelitian
yang
bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, dalam hal ini menganalisis mengenai pentingnya perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional untuk memperoleh pemahaman yang mendalam, dan untuk mememukan bentuk perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional yang relevan. Penelitian ini dilakukan melalui : Penelitian Kepustakaan. Langkah pertama dalam penelitian kepustakaan ini data yang dicari adalah data sekunder memperoleh bahan hukum primer berupa bahan hukum peraturan perundang undangan
untuk
yang mengikat seperti
nasional, konvensi Internasional, perjanjian
internasional yang relevan dengan masalah yang dikaji. Bahan hukum sekunder yang meliputi referensi hukum dan non hukum berupa Rancangan Undang-undang, hasil penelitian, lokakarya, seminat, dan karya tulis dari kalangan hukum dan juga bahan hukum tersier berupa kamus, ensiklopedia dan berbagai artikel dimedia cetak, dan dari internet. Sebagai pendukung data sekunder dilakukan penelitian lapangan dimaksudkan sebagai pelengkap, yaitu untuk mendukung analisis bahan-bahan hukum primer, sekunder dari tertier. Adapun teknik pengumpulan informasi (data hukum) nya dilakukan dengan cara wawancara mendalam (indepth interview) terhadap para pihak yang berkopeten yang meliputi pejabat-pejabat di Direktorat Jendral HKI Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI. Teknik Pengumpulan Data Dilakukan dalam rangka mengkaji dan meneliti berbagai sumber data sekunder seperti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier untuk mendapatkan landasan teoritis, berupa hukum positif,
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
95
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
tulisan-tulisan dan pendapat para akhli. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Normatif kualitatif. .15 III. Hasil Penelitian dan Analisis A.
Implementasi UU Hak Cipta terhadap perlindungan folklore ukiran Jepara Indonesia sebagai negara yang memiliki karya seni dan budaya tidak terkecuali
dalam hal expressions of folklore sungguh memiliki potensi yang luar biasa. Dan potensi ini nampaknya masih tersembunyi dan belum dimanfaatkan secara optimal. Misalnya, wilayah Yogyakarta. Yogyakarta sebagai salah satu bagian dari Indonesia, adalah salah satu daerah di Indonesia yang memiliki expressions of folklore relatif lebih banyak dibandingkan dengan daerah yang lain. Hal ini tidak mengherankan apabila Yogyakarta mendapatkan julukan Kota Budaya. Dari kondisi ini sangat jelas bahwa Indonesia membutuhkan suatu model perlindungan atas expressions of folklore. Secara yuridis Indonesia sebenarnya telah memiliki model perlindungan atas expressions of folklore dengan berbasis kepada ketentuan hukum Hak Cipta. Sebagaimana diketahui, di dalam ketentuan Pasal 10 UU Hak Cipta, expressions of folklore merupakan bagian yang dilindungi oleh hukum Hak Cipta. Akan tetapi, ketentuan hukum Hak Cipta ini masih memerlukan ketentuan pelaksana. Hingga kini ketentuan pelaksana tersebut belum ada sehingga ketentuan ini dianggap belum dapat diefektifkan dalam memberikan perlindungan atas expressions of folklore. Ketentuan hukum Hak Cipta dianggap tidak memberikan perlindungan atas expressions of folklore, menyebabkan kasus-kasus di seputar expressions of folklore marak terjadi. Sebagai contoh kasus yang terjadi di Indonesia, di antaranya adalah: kasus kesenian batik, angklung, tarian tradisional Reog Ponorogo dari Ponorogo Jawa Timur, nyanyian daerah Rasa Sayange dari Maluku, tarian Pendet dari Bali yang sudah menjadi icon dari bangsa Indonesia terancam kepemilikannya oleh bangsa asing (Malaysia), dan kasus misappropriation karya ukiran Jepara oleh orang asing. Contoh-contoh kasus lain berkaitan dengan upaya pengambilan folklor oleh pihak asing.
15
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm.
245
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
M. Reza. Konsep Perlindungan… 1.
96
Batik Parang Batik yang diklaim oleh Malaysia sebagai batik milik bangsa Malaysia adalah
batik dengan motif parang, yang sama persis dengan motif parang yang sangat terkenal di daerah Jawa sebagai motif batik tradisional.16 Dari beragam pengertian seni batik dari Undang-undang Hak Cipta No. 12 Tahun 1987 hingga UU Hak Cipta saat ini, dapat disimpulkan bahwa seni batik yang dilindungi adalah seni batik yang bukan tradisional, dengan alasan bahwa seni batik tradisional telah menjadi milik bersama (public domain). Sehingga warga negara Indonesia mempunyai kebebasan tanpa perlu khawatir dianggap melakukan pelanggaran. Bukti tertulis lain yang bisa digunakan sebagai alat bukti untuk menunjukkan bahwa batik adalah karya tradisional bangsa Indonesia terdapat di dalam buku ejaan lama terbitan tahun 1934 yang berjudul Recept Batik: Dari Kaen Poetih Sampai Djadi Batik Jang Bagoes, karya Liem Boen Hwat yang diterbitkan Drukkerij Fortuna Pekalongan, terdiri dari dua jilid. Jilid kedua diterbitkan pada tahun 1937 berjudul Recept Batik: Babaran Roepa-Roepa Kleur Antero Jang Paling Baroe dan Praktis.17 Bukti lainnya yaitu istilah batik itu sendiri. Karena sesungguhnya batik itu adalah proses, yang di dalam bahasa Jawa disebut dengan mbatiki. 18 Jadi kalau Malaysia mengklaim bahwa batik itu adalah miliknya, sangat pantas jika masyarakat Indonesia mengecam tindakan tersebut. Karena di dalam batik versi Indonesia dengan batik Malaysia sekalipun prosesnya memiliki kesamaan,19 namun kualitas dan batik yang dihasilkan sangat berbeda. Indonesia memiliki batik yang halus dengan motif yang beraneka ragam dengan perpaduan warna yang menarik. Batik yang dihasilkan oleh Malaysia, sekalipun sudah dikenal oleh masyarakat internasional, batik yang dihasilkan merupakan produk kelas menengah ke bawah, motifnya tidak jauh dengan batik-batik yang ada di pasaran, konturnya sederhana, dan 16 “Batik Parang Dipatenkan Malaysia”, http://batikindonesia.info/2006/03.31/batik-parang-dipatenkanmalaysia, diakses tanggal 18 April 2014. 17 Stefanus Osa Triyatna, “Semangat Nasionalis Pembatik Pekalongan”, Kompas, (11 Februari 2008), http://koransaya.blogspot.com/2008/02/salut-kepada-pembatik-pekalongan.html, diakses tanggal 18 April 2014. 18 Termasuk di dalamnya proses membuat pola, pemberian malam, pencelupan, dan ngiseni. Hasil wawancara dengan Ibu Poppy Savitri, Kepala Sub Direktorat Kearifan Lokal dan Folklore pada tanggal 16 September 2008. (Lihat Ratih Listyana Chandra, Op. Cit., hal. 93). 19 Karena canting dan malamnya diimpor dari Indonesia. Para pengrajin batiknya sendiri banyak yang berasal dari Indonesia atau warga negara Indonesia yang telah lama tinggal di Malaysia. Ibid.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
97
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
mengandalkan bright colour yang fungsinya hanya sebagai sarung pantai. 20 Batik Indonesia tercipta dari rasa, bukan hasil pemikiran sesaat. Kekuatan batik Indonesia itu ada pada desain yang lebih filosofis, bukan sekedar hitung-hitungan nilai ekonomis semata. 2.
Lagu Rasa Sayange Lagu Rasa Sayange yang diklaim oleh pemerintah Malaysia sebagai lagu milik
bangsanya dipergunakan sebagai jingle iklan pariwisata negara Malaysia dan dikumandangkan pada peringatan hari ulang tahun Malaysia yang ke-50. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik mengatakan pihaknya menemukan beberapa bukti yang menunjukkan lagu Rasa Sayange milik Indonesia yaitu pada rekaman milik Lokananta dalam bentuk piringan hitam. Rekaman dalam bentuk piringan hitam itu direkam oleh Lokananta Solo, perusahaan rekaman milik negara, pada tahun 1958 yang kemudian dibagi-bagikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 15 Agustus 1962 sebanyak 100 keping bertepatan saat pelaksanaan pesta olahraga Asian Games di Jakarta. Presiden Soekarno memberikan piringan hitam tersebut sebagai cenderamata
21
kepada pimpinan
kontingen tiap negara peserta Asian Games dimana lagu Rasa Sayange menjadi salah satu dari delapan lagu yang ada. Menteri kebudayaan dan Pariwisata juga telah berbicara dengan Gubernur Maluku, Albert Ralahalu dan telah meminta kepada Gubernur Maluku untuk mencari informasi dan bukti seputar lagu Rasa Sayange tersebut. Dari Gubernur Maluku itu muncul informasi telah ditemukan pencipta lagu Rasa Sayange bernama Paulus Pea. Sementara Chris Pattikawa, musisi asal Maluku berpendapat bahwa lagu Rasa Sayange diperkenalkan pada masyarakat Malaysia oleh Syaiful Bachri, konduktor Orkestra Symphony Jakarta (RRI) yang hijrah ke Malaysia tahun 1960-an dengan membawa seluruh partitur lagu-lagu milik Orkestra Symphony Jakarta, di antaranya
20
Stefanus Osa Triyatna, Op. Cit. Diketahuinya rekaman tersebut merupakan cindera mata tampak dari sampulnya yang ada tulisannya “Souvenir from Indonesia”, untuk ‘the Fourth Asian Games’. Menurut Kepala PPN Lokananta, Roektiningsih, lagu itu direkam dan digandakan atas perintah dari Presiden RI waktu itu Ir. Soekarno kepada Menteri Penerangan R. Maladi. Pita reel master rekamannya masih ada dengan nomor register 253. (Lihat Imron Rasyid, “Ditemukan Bukti Lagu “Rasa Sayange” Asli Indonesia”, www.tempointeractive.com/hg/nasional/2007/10/09/ brk,20071009-109313.id.html, diakses terakhir tanggal 18 April 2014). 21
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
M. Reza. Konsep Perlindungan…
98
terdapat lagu Rasa Sayange.22 Bukti lain yang mendukung bahwa lagu Rasa Sayange adalah milik Indonesia diungkapkan oleh Dharma Oratmangun, ketua PAPPRI (Persatuan Artis, Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Penata Musik Rekaman Indonesia), bahwa pada tahun 1951, Benky Lukawabessy, menyanyikan lagu Rasa Sayange pada peresmian gereja Maranatha dimana Presiden Soekarno hadir.23 Ahli telematika, Roy Suryo, menemukan bukti yang lain di dalam Arsip Nasional berupa satu rekaman video yang menceritakan kehidupan di Indonesia antara tahun 1927-1940, produksi NV Haghefilm, Den Haag Holland yang berjudul Insulinde Zooals het Left en Werkt dimana lagu Rasa Sayange diputar dalam produksi film tersebut. Dengan adanya film yang dibuat oleh NV Haghefilm tersebut mengenai kehidupan di Indonesia antara tahun 1927-1940, menurut Dwi Anita, pengamat dan konsultan HKI, dapat dijadikan bukti konkret bahwa lagu tersebut adalah memang milik bangsa Indonesia sejak tahun 1927. Atau setidak-tidaknya sejak tahun 1958 dengan bukti piringan hitam yang direkam oleh Lokananta dan dibagikan kepada negara peserta Asian Games pada tahun 1962 sepanjang Malaysia tidak dapat membuktikan sebagai pemilik atas lagu Rasa Sayange tersebut dengan bukti yang ada sebelum tahun-tahun tersebut. Lebih lanjut, Dwi Anita menyatakan bahwa hal selanjutnya yang perlu dicermati adalah jangka waktu perlindungan atas Ciptaan tersebut. Di dalam Pasal 29 ayat (1) UU Hak Cipta, dicantumkan bahwa Hak Cipta atas lagu berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia. Paulus Pea yang diyakini Pencipta lagu Rasa Sayange dikabarkan telah meninggal dunia. Namun belum dapat dipastikan kapan tepatnya Paulus Pea wafat sehingga tidak diketahui kapan berakhirnya perlindungan Hak Cipta atas lagu tersebut.24 Namun, sebagai lagu daerah yang termasuk dalam bagian hasil kebudayaan
22
Menkokesra, “Lagu “Rasa Sayange” Terbukti Milik Indonesia”, http://www.menkokesra.go.id/content/view/5576/39/, diakses pada tanggal 18 April 2014. 23 Gatra, “Lagu Rasa Sayange Terbukti Milik RI”, majalah digital Gatra.com edisi 12 Oktober 2007, http://www.gatra.com/2007-10-12/artikel.php?id=108598, diakses pada tanggal 18 April 2014. 24 Antara, “Pemerintah Diminta Segera Sampaikan Bukti Lagu ‘Rasa Sayange’”, http://www.indonesia.go.id/en/indexl.php?option=com_content&do_pdf=l&id=6300, diakses pada tanggal 18 April 2014.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
99
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
rakyat, negara memegang Hak Cipta yang berlaku tanpa batas waktu.25 Pembuktian berdasarkan rekaman milik Lokananta dalam bentuk piringan hitam tersebut tidak terlalu kuat karena rekaman yang digunakan dalam jingle iklan pariwisata negara Malaysia adalah versi yang berbeda dengan rekaman milik Lokananta tersebut. Selain itu, bukti bahwa Paulus Pea adalah Pencipta lagu Rasa Sayange juga kurang kuat. Klaim Maluku sebagai tempat asal lagu tersebut lebih didasarkan pada rasa familiar rakyat akan lagu tersebut yang sudah turun-temurun, juga dialek Ambon yang kental pada lagu Rasa Sayange, daripada bukti yang valid akan identitas dan asal dari pencipta lagu tersebut.26 Dilihat dari kacamata perlindungan Hak Cipta, minimnya bukti kuat tentang identitas dan asal lagu Rasa Sayange tersebut menimbulkan keraguan bahwa Indonesia adalah pemilik sah lagu tersebut.27 Oleh karenanya karakter perlindungan di bawah rezim Hak Cipta kurang tepat. Lagu Rasa Sayange merupakan suatu bentuk folklore bangsa yang seharusnya dilindungi secara khusus. 3.
Reog Ponorogo Tari Barongan yang diklaim sebagai budaya milik Malaysia, mempunyai
kesamaan dengan tari Reog Ponorogo yang berasal dari Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Indonesia. Yang membedakan antara tarian Barongan dan Reog Ponorogo adalah jalan ceritanya. Alur cerita pada tarian Barongan yaitu cerita tentang Nabi Sulaiman yang sedang berbicara dengan berbagai binatang di sebuah hutan, termasuk dengan Harimau yang di atasnya terdapat burung Merak. Sedangkan pada Reog Ponorogo, diceritakan tentang perjalanan Prabu Kluno Siwandono yang berangkat dari Ponorogo menuju Kediri untuk melamar Putri Songgo Langit. Lalu dalam perjalanan dihadang Singo Barong, yaitu Harimau berhiaskan burung Merak.28 Indonesia memiliki bukti yang cukup kuat atas kepemilikan Reog Ponorogo
25
Indonesia, Undang-Undang Tentang Hak Cipta, UU No. 19 Tahun 2002, Op. Cit., Ps. 31 ayat (1) huruf
a. 26
http://www.antara.co.id/arc/2007/10/3/gubernur-maluku-bersikeras-lagu-rasa-sayange-milikindonesia. 27 Prayudi Setiadharma, “The Rasa Sayange Incident and Preservation of Cultural Heritage”, IP Community, APIC/JIII, No. 11, (March, 2008), hal. 17-18. 28 Waskito Andinyono, “Reog Diduga Dijiplak Malaysia, Warga Ponorogo Protes”, http://detiknews.com/read/2007/11/21/175846/855701/10/reog-diduga-dijiplak-malaysia-warga-ponorogoprotes, diakses pada tanggal 18 April 2014.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
M. Reza. Konsep Perlindungan…
100
tersebut. Dhadhak Merak,29 yang merupakan properti utama dalam sebuah pertunjukan tari Barongan, dibuat di Indonesia, yaitu di Kabupaten Ponorogo. Jika tari Barongan memang merupakan budaya milik Malaysia, kenapa properti utama berupa dhadhak merak harus dibuat di luar tempat budaya itu diklaim. Walaupun secara alur cerita berbeda, namun dari secara keseluruhan antara tari Barongan dan tari Reog Ponorogo bisa dikatakan sama. Malaysia seharusnya berbesar hati mengakui bahwa Reog Ponorogo yang disebut sebagai tari Barongan itu sebagai tari tradisional milik bangsa Indonesia yang kemudian dikembangkan di Malaysia. Kasus-kasus semacam ini seharusnya membuat bangsa Indonesia sadar akan pentingnya perlindungan bagi warisan kebudayaannya. Jika Malaysia bersikukuh mengakui batik, reog ponorogo, bahkan lagu Rasa Sayange, cantumkan kata ‘versi’. Jadi batik versi Malaysia, Reog Ponorogo versi Malaysia, atau lagu Rasa Sayange versi Malaysia. Hal ini sesuai dengan hakikat dari folklore itu sendiri yang diwariskan secara lisan sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi, folklore dengan mudah berubah. Namun hal ini tidak bisa dengan serta-merta dilakukan apabila kemudian terdapat bukti-bukti yang mampu membuktikan bahwa suatu folklore adalah milik bangsa tertentu. Seperti halnya batik, reog ponorogo, dan lagu Rasa Sayange yang diklaim Malaysia, Indonesia mempunyai alat bukti yang cukup banyak untuk membuktikan bahwa folklore tersebut adalah milik sah bangsa Indonesia. Kasus-kasus
penyalahgunaan
hak
atas
folklore
seperti
pada
kasus
misappropriation ukiran Jepara di atas bisa terjadi, apa saja faktor-faktor yang menghambat perwujudan perlindungan folklore (ukiran Jepara) di Indonesia, hal ini perlu segera dianalisis, agar masyarakat adat Jepara tidak lagi dirugikan dan dapat memanfaatkan potensi ekonomi dari folklore ukiran Jepara yang sudah mereka miliki secara turun-temurun tersebut. Masyarakat lokal adalah masyarakat komunal dan religius yang menempatkan kepentingan bersama lebih tinggi dari kepentingan individu, meskipun itu tidak berarti pula bahwa individu kehilangan hak-haknya. Dalam suatu masyarakat yang religius, faktor budaya masyarakat yang kurang peduli terhadap hak milik, kurang memelihara
29 Topeng kepala seekor Macan dan seekor Merak yang bertengger di atasnya lengkap dengan bulu-bulu ekornya yang disusun menjulang ke atas.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
101
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
hak milik sendiri dan masyarakat kolektif ini, orientasi anggota-anggotanya tidak pada kebahagiaan duniawi (materialism), melainkan kebahagiaan hidup sesudah mati. Ekspresi dari sikap batin yang religius biasanya diwujudkan dalam bentuk kesediaan atau keikhlasan untuk menolong orang lain, keikhlasan untuk mengorbankan kepentingan individu demi kesejahteraan bersama. Contoh kasus yang terjadi pada ukiran jepara dapat dianalisis, pihak asing memanfaatkan Hak Cipta yang diperolehnya dari pendaftaran katalog berisi desaindesain ukiran Jepara untuk menggugat salah satu pengrajin ukiran Jepara karena dianggap telah menjiplak Hak Cipta dan Desain miliknya. Dampaknya, sebagian besar pengrajin ukiran Jepara tidak berani memproduksi ukiran Jepara karena takut akan dilaporkan ke Polisi. B.
Perlindungan Melalui Sui Generis Sistem Pengaturan di dalam undang-undang sui generis bersifat sederhana. Artinya, apa
yang diatur di dalam undang-undang tersebut mudah dimengerti dan dipahami oleh masyarakat secara luas, dan pelaksanaannya pun tidak membutuhkan prosedur yang rumit sebagaimana halnya perundang-undangan HKI. Karakteristik ini sejalan dengan pola pikir masyarakat yang juga sederhana. Pola pikir sederhana ini antara lain tercermin dalam sistem hukum adat yang bersifat terang dan tunai. Hukum Adat tidak mengenal lembaga hukum yang bersifat abstrak sebagaimana halnya lembaga hukum “kekayaan intelektual”. Undang-undang sui generis itu hendaknya tidak mengabaikan unsur-unsur yang berlandaskan pada norma agama. Hal ini sejalan dengan sistem hukum adat yang bersifat magis religius. Unsur ini menjadi faktor utama yang menyebabkan masyarakat tidak terlampau bersifat materialistik. Ukuran penghargaan tidak hanya sekadar bersifat material dalam bentuk imbalan ekonomis, sebagaimana reward dalam rezim HKI. Penghargaan juga mencakup penghargaan terhadap sistem kepercayaan atau keyakinan bahwa pengetahuan tradisional (termasuk ekspresi kebudayaan/ folklore) adalah merupakan karunia Tuhan yang harus disyukuri dan diamalkan untuk kesejahteraan umat manusia. Undang-undang sui generis itu hendaknya tetap berlandaskan kepada sistem kemasyarakatan yang sangat menghargai kebersamaan. Ini sejalan dengan sistem
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
M. Reza. Konsep Perlindungan…
102
hukum adat yang tidak individualistik. Dengan kata lain bahwa undang-undang sui generis itu hendaknya tidak berlandaskan pada prinsip atau paham individualisme sebagaimana rezim HKI. Mengadopsi sistem individualistik hanya akan berarti mengulangi
kekeliruan
rezim
HKI
yang
telah
terbukti
kurang
berhasil
implementasinya. Undang-undang sui generis itu harus mampu menjamin atau sekurang-kurangnya memberikan kemungkinan yang besar agar pemanfaatan pengetahuan tradisional (termasuk ekspresi kebudayaan/ folklore) beserta praktikpraktik yang terkait dengannya benar-benar dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini undang-undang yang bersangkutan harus dapat memberikan kepastian bahwa masyarakat yang menjadi custodian dari folklore yang bersangkutan benar-benar akan memperoleh manfaat dari ekspresi kebudayaan tradisional (folklore) yang bersangkutan. Prinsip-prinsip Hukum Adat yang dapat diakomodasi ke dalam undang-undang sui generis antara lain: Pertama, pengaturan di dalam undang-undang sui generis bersifat sederhana. Artinya, apa yang diatur di dalam undang-undang tersebut mudah dimengerti dan dipahami oleh masyarakat secara luas, dan pelaksanaannya pun tidak membutuhkan prosedur yang rumit sebagaimana halnya perundang-undangan HKI. Karakteristik ini sejalan dengan pola pikir masyarakat yang juga sederhana. Pola pikir sederhana ini antara lain tercermin dalam sistem hukum adat yang bersifat terang dan tunai. Hukum Adat tidak mengenal lembaga hukum yang bersifat abstrak sebagaimana halnya lembaga hukum “kekayaan intelektual”. Kedua, undang-undang sui generis itu hendaknya tidak mengabaikan unsurunsur yang berlandaskan pada norma agama. Hal ini sejalan dengan sistem hukum adat yang bersifat magis religius. Unsur ini menjadi faktor utama yang menyebabkan masyarakat tidak terlampau bersifat materialistik. Ukuran penghargaan tidak hanya sekadar bersifat material dalam bentuk imbalan ekonomis, sebagaimana reward dalam rezim HKI. Penghargaan juga mencakup penghargaan terhadap sistem kepercayaan atau
keyakinan
bahwa
pengetahuan
tradisional
(termasuk
ekspresi
kebudayaan/folklore) adalah merupakan karunia Tuhan yang harus disyukuri dan diamalkan untuk kesejahteraan umat manusia. Ketiga, undang-undang sui generis itu hendaknya tetap berlandaskan kepada
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
103
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
sistem kemasyarakatan yang sangat menghargai kebersamaan. Ini sejalan dengan sistem hukum adat yang tidak individualistik. Dengan kata lain bahwa undang-undang sui generis itu hendaknya tidak berlandaskan pada prinsip atau paham individualisme sebagaimana rezim HKI. Mengadopsi sistem individualistik hanya akan berarti mengulangi
kekeliruan
rezim
HKI
yang
telah
terbukti
kurang
berhasil
implementasinya. Keempat, undang-undang sui generis itu harus mampu menjamin atau sekurangkurangnya memberikan kemungkinan yang besar agar pemanfaatan pengetahuan tradisional (termasuk ekspresi kebudayaan/folklore) beserta praktik-praktik yang terkait dengannya benar-benar dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini undang-undang yang bersangkutan harus dapat memberikan kepastian bahwa masyarakat yang menjadi custodian dari folklore yang bersangkutan benar-benar akan memperoleh manfaat dari ekspresi kebudayaan tradisional (folklore) yang bersangkutan.
IV.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Kasus-kasus
penyalahgunaan
hak
atas
folklore
seperti
pada
kasus
misappropriation ukiran Jepara di atas bisa terjadi, apa saja faktor-faktor yang menghambat perwujudan perlindungan folklore (ukiran Jepara) di Indonesia, hal ini perlu segera dianalisis, agar masyarakat adat Jepara tidak lagi dirugikan dan dapat memanfaatkan potensi ekonomi dari folklore ukiran Jepara yang sudah mereka miliki secara turun-temurun tersebut. 2.
Sehubungan
dengan
keberatan-keberatan
terkait
dengan pemberlakuan
rezim HKI (Pasal 10 UU Hak Cipta) dalam hal perlindungan folklore ini, maka Pemerintah mempertimbangkan untuk membuat undang-undang sui generis. Beberapa negara mengusulkan sistem perlindungan sui generis sebagai alternatif untuk melindungi pengetahuan tradisional. B.
Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis mengusulkan beberapa usulan
penyempurnaan sehubungan perlindungan hukum folklore yang sesuai dengan budaya
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
M. Reza. Konsep Perlindungan…
104
setempat agar tidak terjadi misappropriation oleh pihak luar dengan membuat konsep perlindungan hukum sui generis, adapun konsep yang penulis usulkan adalah sebagai berikut : 1.
Undang-undang sui generis itu hendaknya tetap berlandaskan kepada sistem kemasyarakatan yang sangat menghargai kebersamaan. Ini sejalan dengan sistem hukum adat yang tidak individualistik. Dengan kata lain bahwa undang-undang sui generis itu hendaknya tidak berlandaskan pada prinsip atau paham individualisme sebagaimana rezim HKI.
2.
Pemerintah Indonesia harus melakukan sosialisasi secara terus-menerus untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya produk folklore dan meningkatkan awareness masyarakat dalam melakukan pendokumentasian traditional knowledge.
3.
Pemerintah seharusnya lebih proaktif dalam melindungi dan memasyarakatkan folklore ini. Pemerintah daerah harus bisa melihat bahwa folklore ini adalah merupakan keunggulan daerahnya yang memiliki daya saing maupun potensi ekonomi untuk dikomersialkan secara global.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Jakarta: Sinar Grafika, 2009 Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001 Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, (Bandung: Alumni, 2002 Adi Sulistiyono, Mekanisme Penyelesaian Sengketa HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual), Solo, Sebelas Maret University Press, 2004 Agus Sardjono, Membumikan HKI di Indonesia, Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2009
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
105
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014 Arif Lutviansori, Hak Cipta dan Perlindungan Folklore di Indonesia,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010 Erlyn Indrati, Hak Atas Kekayaan Intelektual Bagi Aparat Penegak Hukum POLRI, Makalah pada pelatihan HaKI, Semarang: Klinik HaKI Fakultas Hukum UNDIP, 2000 Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung: Alumni, 2002 Arif Lutviansori, Hak Cipta dan Perlindungan Folklore di Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010 Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001 Adi Sulistiyono, Mekanisme Penyelesaian Sengketa HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual), Solo: Sebelas Maret University Press, 2004 Darji Darmodiharjo & shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007 Peter Mahmud Mardzuki, Penelitian Hukum Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005, Ed. I, Cet. 4 Rizaldi siagian, Jenis-jenis Pemanfaatan Atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Folklor yang Perlu Dilindungi dan Diimplikasi Pemanfaatannya, simposium menuju undang-undang sui generis perlindungan terhadap pemanfaatan pengetahuan tradisional dan ekspresi folklor, Jakarta, 2006 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 2000 Sri Mamudji, et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005 Sri Rejeki Hartono, Perspektif HKI dalam Menjawab Tantangan Perdagangan Global, Semarang: SPM HKI UNDIP, 2000
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
M. Reza. Konsep Perlindungan…
106
Zulfa Aulia, Perlindungan Hukum atas Pengetahuan Tradisional, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2006
Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Undang-Undang Tentang Hak Cipta, UU No. 19 Tahun 2002, ps. 10 ayat (2), LN. Tahun 2002 No. 85, TLN. No. 4220 Lampiran Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2015 Lampiran Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2015
Lain-lain Black's Law Dictionary (9th ed, 2003) Menkokesra,
“Lagu
“Rasa
Sayange”
Terbukti
Milik
Indonesia”,
http://www.menkokesra.go.id/content/view/5576/39/, diakses pada tanggal 18 April 2014 Stefanus Osa Triyatna, “Semangat Nasionalis Pembatik Pekalongan”, Kompas, (11 Februari 2008), http://koransaya.blogspot.com/2008/02/salut-kepada-pembatikpekalongan.html, diakses tanggal 18 April 2014 Tonton Taufik, “Kasus Ukiran Jepara: Sebuah Pelajaran Berharga”, dalam http://www.export-import-indonesia.com, diakses tanggal 10 Februari 2014 Waskito Andinyono, “Reog Diduga Dijiplak Malaysia, Warga Ponorogo Protes”,
http://detiknews.com/read/2007/11/21/175846/855701/10/reog-diduga-
dijiplak-malaysia-warga-ponorogo-protes, diakses pada tanggal 18 April 2014
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
107
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014 HAK ATAS TANAH ULAYAT MENURUT TIGA VERSI HUKUM TANAH NASIONAL (Suatu Kajian Sinkronisasi Antara UUPA, Permen No. 5 Tahun 1999 dan Perda Sumatera Barat No. 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya) Oleh : Aslan Noor
Abstract To maintain the existance of communal land is an effort to protect the existence and the lives of indigenous peoples who are considered not competitive due to the swift pace of development. However, in reality the pace of national development cannot avoid the use of communal land as one of the targets of its place development activity. West Sumatra province which has a lot of communal land that affected by the economic development of the region in the form of plantations, fishery and others investment. It is good to maintain the existance of communal land, but on the other hand a high economic growth are needed to deacrease poverty. So, it is necessary to seek a proper concept of secondary rights which will be applied on those comunal land which maintain the balance between between retaining and utilization. Keywords: Communal Land, Economic Development Abstrak Mempertahankan eksitensi tanah ulayat, merupakan proteksi terhadap keberadaan dan kehidupan masyarakat adat yang dianggap belum mampu berkompetitif akibat derasnya laju pembangunan. Namun, dalam situasi konkret, lajunya pembangunan nasional tidak bisa terhindari dari penggunaan tanah ulayat sebagai salah satu sasaran tempat akhtivitas pembangunan tersebut. Provinsi Sumatera barat yang memiliki cukup banyak tanah ulayat terkena kawasan pembangunan ekonomi berupa perkebunan, prikanan dan lain-lain sebagai wahan berinvestasi. Mempertahankan tanah ulayat agar tetap eksis disatu pihak, namun dipihak lain dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk mengentas kan kemiskinan, maka perlu mencari konsep yang tepat tentang hak secunder yang akan diterapkan di atas tanah ulayat tersebut dan bersifat ballances antara mempertahankan dan pemanfaatannya Kata Kunci : Tanah Ulayat, Pembangunan Ekonomi PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Aslan N. Hak Atas Tanah … A.
108
Pendahuluan Secara hirarkhis konstitusional, terdapat tiga aturan perundang-undangan yang
mengatur keberadaan (existence) Hak Atas Tanah Ulayat, yaitu : Pasal 3 dan 5 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Peraturan Daerah Sumatera Barat No. 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Pasal 3 UUPA mengekspresikan pengakuan hak ulayat sebagai hak masyarakat hukum adat sepanjang tatanan hukum, masyarakat dan obyek ulayat (tanah dan segala sesuatu yang ada di atasnya, seperti : binatang, sungai-sungai dan tanaman/hutan) masih ada. Selanjutnya PMA 5 Tahun 1999 menjelaskan lebih lanjut tentang cara-cara menentukan obyek ulayat serta Pasal 5 UUPA mengharuskan subyek ulayat itu ditentukan dan tunduk kepada hukum adat setempat di tempat masyarakat hukum tersebut berada. Pada saat ini, telah terbit Perda Sumatera Barat No. 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, yang pada intinya mengatur tentang subyek Hak Atas Tanah Ulayat serta cara pendaftarannya. Namun, substansi terhadap pengaturan subyek serta cara-cara pendaftaran tanah hak ulayat pada perda tersebut belum terlihat sinkron dengan kedua aturan yang bersumber dari UUPA dan Hukum Adat Minangkabau, yang berikut ini akan dibahas dan dipaparkan secara hirarkhisparadigmatik. Dari hal tersebut di atas, maka pada tulisan ini permasalahan yang dibahas fokus terhadap bagaimanakah hak atas tanah ulayat menurut tiga versi hukum tanah nasional yaitu berdasarkan UUPA, Permen No. 5 Tahun 1999 Dan Perda Sumatera Barat No. 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat Dan Pemanfaatannya, dan bagaimanakah sinkronisasi antara uupa, pma no. 5 th. 1999 dan perda sumatera barat no. 6 th. 2008 tentang tanah ulayat dan pemanfaatannya
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
109
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
B.
Pembahasan
1.
Sistem Pemilikan Tanah Dalam Hukum Adat Minangkabau
a.
Susunan Masyarakat Adat minangkabau Masyarakat adat Minangkabau terbentuk, bermula dari persekutuan manusia
yang terikat dalam satu kesatuan masyarakat hukum adat, yang anggotanya satu sama lain memandang sesama mereka di dalam segala segi kehidupan, serta mempunyai orang-orang tertentu yang berkuasa, bertindak atas nama serta untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Berbeda dengan di Jawa, faktor territorial sebagai unsur pokok yang merupakan tali pengikat, sedangkan dalam adat Minangkabau faktor genealogi yang mengikat kesatuan. Dalam perkembangan berikutnya, gabungan faktor genealogis dan territorial dijadikan dasar pengikat persekutuan hukum terbentuknya nagari. Faktor genealogi yang dijadikan sebagai dasar organisasi masyarakat Minangkabau, yaitu garis keturunan ibu dan disebut sistem masyarakat matrilinial. Sebagai satu kesatuan dalam perkembangan dari satu keluarga besar (paruik). Dalam perkembangan berikutnya paruik, akan membelah diri menjadi jurai-jurai. Pada awalnya suku tidak merupakan persekutuan hukum, hanya bagian-bagian suku yang merupakan persekutuan hukum. Perkembangan selanjutnya beberapa suku bersama-sama menempati suatu daerah (territorial) yang disebut nagari. Dengan demikian, nagari adalah persekutuan hukum yang tersusun berdasarkan faktor genealogis dan territorial dan biasanya nagari dapat dibentuk sedikit-dikitnya oleh empat suku.1 Paruik adalah pesekutuan hukum yang dalam bahasa Indonesia disebut keluarga besar (matrilineal), yang anggotanya dalam lingkaran lima generasi, sebagai berikut: Ibu, saudara-saudara laki-laki ibu, saudara-saudara perempuan ibu, anak-anak laki-laki dari saudara nenek perempuan, anak-anak laki-laki ibu, anak-anak perempuan ibu, anak-anak laki-laki dari anak-anak saudara perempuan ibu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibu, nenek perempuan, saudara-saudara laki-laki dari nenek perempuan, saudara-saudara perempuan dari nenek perempuan, anak-anak laki-laki
1 Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, Hlm. 8
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Aslan N. Hak Atas Tanah …
110
dari saudara perempuan moyang, anak-anak perempuan dari saudara perempuan moyang, ibu nenek perempuan, saudara-saudara laki-laki moyang, saudara-saudara perempuan moyang, anak-anak laki-laki dari saudara-saudara perempuan puyang, anak-anak perempuan dari saudara perempuan puyang. Suku ialah satu kesatuan masyarakat dimana anggotanya satu dengan yang lainnya berhubungan dalam pertalian darah dari garis keturunan perempuan. Kampung adalah kelanjutan dari paruik, apabila paruik telah berkembang menjadi jurai-jurai dalam satu wilayah yang berdekatan. Nagari adalah persekutuan hukum yang berdiri diatas faktor territorial dan geneologis, lahirnya satu nagari harus dibentuk oleh sekurang-kurangnya empat suku. Hal ini telah merupakan aturan ketatanegaraan, seperti dinyatakan dalam kata adat, sebagai berikut: Nagari bakaampek suku Nan bahindu babuah paruik Kampung batuo Rumah batungganai Lingkungan wilayah persekutuan hukum adat (alam Minangkabau) terdiri dari nagari-nagari, semacam bentuk negara-desa yang cukup otonom. 2 Nagari-nagari yang dipimpin oleh penghulu (pemuka adat) dari garis matrilineal (saudara laki-laki dari ibu), apabila saudara laki-laki dari ibu tidak ada, penghulu diambil dari keluarga (suku/klain) lain, yang lazim disebut niniek mamak (ketua adat nagari). b.
Pengertian, Jenis dan Hakikat Pemilikan Tanah di Minangkabau Konsep kepemilikan menurut adat Minangkabau merujuk kepada sistem
matrilineal. konsep kepemilikan diartikan dalam arti luas adalah sebagai pemilikan terhadap kekuasaan politik, budaya, adat, agama, keluarga (suku), wilayah, dan harta kekayaan dalam lingkungan wilayah nagari. Kepemilikan dalam arti sempit sama dengan harta kekayaan Harta kekayaan dalam arti luas, yaitu keseluruhan harta kekayaan dalam arti material dan immaterial. Kekayaan dalam arti material adalah kekayaan atas harta 2
Franz Von Benda-Beckmann, Properti Dan Kesinambungan Sosial Kesinambungan Dan Perubahan Dalam Pemeliharaan Hubungan-Hubungan Properti Sepanjang Masa Di Minangkabau (Alih Bahasa Indira Sombolon), Grasindo, Jakarta, 2000, Hlm. xxxiii
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
111
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
benda yang berwujud, seperti benda tetap (tanah) dan benda bergerak (kerbau, sapi, emas), harta kekayaan material bersumber dari harta pusako dan harta pencaharian. Harta kekayaan yang immaterial adalah harta kekayaan terhadap sesuatu yang tidak berwujud, seperti gelar, kekuasaan adat, dan agama. Harta kekayaan dalam arti sempit berupa harta benda yang paling utama dan pertama adalah tanah. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan adat yang ada samapai sekarang terhadap harta pusaka ditujukan pada tanah, karena harta benda yang berkaitan dengan tanah menjadi obyek kajian ini Konsep hak ulayat digunakan untuk menunjukkan bentuk tertinggi hubungan penguasaan tanah yang diemban oleh dan berada dalam komunitas atau perangkat pemerintahannya. Baik istilah ulayat maupun istilah hak berasal dari bahasa Arab. Hak berarti kekusaan, wewenang, sedangkan ulayat berarti penjagaan, perwalian. Di daerah Minangkabau dan Indonesia pada umumnya, kosakata ulayat atau wilayat mengandung makna ruang, areal, daerah dan distrik.3 Sebelum konsep hak ulayat diterapkan, prinsip penguasaan dan penggunaan tanah merujuk kepada pepatah Minagkabau, yaitu: Nan barimbo rajo, rajo (Yang punya rimba adalah raja) Nan Bautan kareh, penghulu (Yang punya hutan keras adalah penghulu) Nan bautan lambuik, kamanakan (Yang punya hutan lunak adalah kemenakan) Pepatah tersebut diartikan oleh Kroesen, sebagai: Hutan dibawah penguasaan pemerintahan nagari, hutan keras yang bermanfaat tapi belum dimanfaatkan berada dibawah
penguasaan
penghulu,
sedangkan
hutan
lunak,
areal
yang
telah
dibudidayakan, berada dibawah penguasaan kemenakan. Sejak zaman Hindia Belanda, hubungan kepemilikan komunal dinyatakan sebagai hubungan hak ulayat atau hak guna komunal, dalam bahasa Belanda disebut beschikkingrecht. Beberapa batasan pengertian hak ulayat, menurut Van Vollenhoven bahwa hak ulayat berlaku meliputi seluruh wilayah negari. Risumi dan Kroesen menyebutkan bahwa hak ulayat meliputi tanah-tanah yang tidak ditanami dan hutanhutan yang berada dalam wilayah nagari. Pada umumnya, hak ulayat diartikan sebagai hak komunitas masyarakat hukum adat, berbeda dengan di Minangkabau, sejauh 3
Franz Von Benda-Beckmann, Properti … Ibid, Hlm.173
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Aslan N. Hak Atas Tanah …
112
wilayah nagari telah dipusakoi atau yang telah menajdi pusaka salah seorang penduduk buah gadang, hubungan penguasaan dan pemilikan berada hanya pada kelompok ini. Tanah-tanah yang tidak ditanami saja yang disebut sebagai ulayat nagari dan berlaku diseluruh nagari-nagari. Harta Pusaka (pusako) berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti benda-benda yang menyangga kehidupan, dalam bahasa Indonesia berarti benda-benda yang diwariskan. Dalam adat Minangkabau, kata pusako mewujudkan ideologi garis keturunan dan pewarisan matrilineal. Harta pusaka digambarkan dalam pepatah adat yang paling terkenal dan mengandung prinsip sistem pewarisan matrilineal yang dapat dikatakan langgeng, sebagai berikut: Dari niniek turun ka mamak
(Dari orang tua turun ke paman)
Dari mamak ka kamanakan
(Dari paman turun kemenakan)
Patah Tumbuah hilang baganti (Patah tumbuh hilang berganti) Pusako alam baitu juo
(Harta pusaka tetap begitu)
Pusaka dibagi kedalam dua katagori dasar, yaitu: material (harta) dan immaterial (kebesaran). Pusaka dalam pengertian harta benda, meliputi: hutan-tanah, sawahladang, dan pandam pakuburan. Pusaka immaterial meliputi: suku, adat istiadat, pepatah petitih, dan gelar. Dalam adat Minangkabau, kekayaan terdiri dari sako dan pusako. Sako diartikan warisan yang tidak bersifat benda. Sako diartikan juga sebagai segala kekayaan asal, yang tidak berwujud. Kekayaan yang immaterial ini juga disebut dengan pusako kebesaran, seperti: (1). Gelar Penghulu (2). Garis keturunan Ibu, yang juga disebut dengan Sako indu atau perilaku, atau peribawa yang diterima dari aliran darah sepanjang garis ibu, istilah ini disebut juga istilah matrilineal (3). Pepatah petitih dan hukum adat (4). Tata krama atau adat sopan santun Sako sebagai kekayaan tanpa wujud diwariskan secara turun temurun, menurut jalur, sebagai berikut: (1). Gelar penghulu diwariskan kepada kemenakan yang laki-laki
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
113
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
(2). Garis keturunan diwariskan secara turun temurun kepada anak perempuan (3). Pepatah-petitih dan hukum adat diwariskan kepada semua anak dan kemenakan dalam suatu nagari dan kepada seluruh ranah minang. Pada dasarnya pemilikan hak atas tanah adat Minangkabau, dikenal hanya pemilikan bersama, yang merupakan harta peninggalan atau pewarisan dari leluhurnya, istilah ini lazim disebut harato pusako. Pusako atau harato pusako adalah segala kekayaan materi atau benda, yang termasuk di dalamnya: hutan tanah; tabek dan parak; rumah dan pekarangan; pandam pekuburan; perhiasan dan uang; balai dan mesjid; peralatan dan lainnya.4 Pusako merupakan jaminan utama untuk kehidupan dan perlengkapan bagi anak kemenakan di Minagkabau, terutama untuk kehidupan yang berlatar belakang kehdupan desa agraris. Perubahan kehidupan ekonomi ke arah industri dan usaha jasa dan berkembangnya kehidupan kota, maka peranan harta pusaka sebagai sarana penunjang kehidupan ekonomi orang minang menjadi makin lama makin berkurang. Namun demikian, peranan harta pusaka sebagai simbol kebersamaan dan kebanggaan keluarga dalam sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau tetap bertahan. Harta pusaka sebagai alat pemersatu keluarga masih tetap berfungsi dengan baik. Namaun, sebaliknya, harta pusaka sebagai milik kolektif tidak jarang pula menjadi biang keladi dalam menimbulkan silang-selisih dalam keluarga Minang. Harta pusaka, yang dahulu dikenal dengan Harta Pusaka Tinggi dan Harta Pusaka Rendah, kini diakui menjadi empat macam,5 sebagai berikut: (1)
Harta Pusaka Tinggi Harta pusaka tinggi adalah harta yang diwarisi secara turun temurun dari beberapa generasi menurut garis keturunan ibu, baik yang bersifat material maupun yang bersifat moral
(2)
Harta Pusaka Rendah adalah harta yang diperoleh dari turunan pusaka tinggi secara langsung
4
Amir M. S, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 1999, Hlm. 92 5 Agustiar Syah Nur, Kredibilitas Penghulu Dalam Kepemimpinan Adat Minangkabau, Lubuk Agung, Bandung, 2002, Hlm. 25
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Aslan N. Hak Atas Tanah … (3)
114
Harta Pusaka pencaharian adalah harta pusaka yang diperoleh oleh pasangan suami istri dalam perkawinan, harta ini dapat dibagi antara suamai dan istri, kalau terjadi perceraian dan anak-anaknya dapat mewarisi harta dari kedua orang tuanya
(4)
Harta Suarang adalah harta yang sudah dimiliki oleh suami atau istri sebelum perkawinan berlangsung, harta ini adalah milik pribadi masing-masing dan dapat diwariskan kepada anak-anaknya Dalam kesempatan yang ditemukan pembagian harta pusaka dibedakan kedalam
empat bagian,6 sebagai berikut: (1)
Harta Pusaka Tambilang Ruyuang, yaitu harta yang dikumpulkan nenek moyang dengan cara mengolah hutan sebagai harta pusaka yang turun temurun, melalui para anggota buah gadang dare generasi ke generasi
(2)
Harta Pusaka Tambilang Ameh, yaitu harta yang diperoleh dari hasil jual beli dengan emas (uang)
(3)
Harta Pusaka Tambilang Basi, yaitu harta berupa tanah yang diperoleh dare pembukaan lahan baru
(4)
Harta Pusaka Tambilang Kai’tan, yaitu harta yang diperoleh melalui hibah. Penggolongan harta pusaka yang sering digunakan istilah harta pusaka tinggi dan
harta pusaka rendah. Perbedaan harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah menunjukkan jarak waktu saat dijadikan harta pusaka. Harta pusaka tinggi diperoleh leluhur dimana pewaris pertama tidak diketahui identitasnya dan asal usulnya lagi, sedangka pusaka rendah adalah pewarisnya masih dapat diketahui identitas dan asal usulnya. Hakikat hak komunal dalam masyarakat adat Jawa berbeda dengan hak komunal dalam masyarakat adat Minangkabau dalam hal subyek dan obyeknya. Pada masyarakat adat Jawa subyek hak komunal adalah desa dan obyeknya adalah tanah komunal
persekutuan
hukum
adat
yang
diperuntukkan
untuk
kepentingan
pemerintahan desa disebut hak komunal desa. Subyek hak komunal dalam masyarakat adat Minangkabau adalah garis matrilineal (milik keluarga) dan obyeknya adalah harta pusaka milik keluarga tidak terbagi. Harta pusaka dibagai dua dan dikenal dengan istilah pusaka tinggi dan pusaka rendah. Dalam istilah harta pusaka tinggi digunakan 6
Franz Von Benda-Beckmann, Properti …op.,cit, Hlm.183
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
115
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
istilah hak milik komunal puyang dan pusaka rendah digunakan istilah hak milik komunal payung. c.
Hak Ulayat Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat Minangkabau terbagi dalam
dua kelompok, yaitu Paruik dan Kaum, pentingnya sistem penguasaan lahan dalam menjaga keutuhan kelompok. Bila dilihat sifat khusus hukum adat, yang berkaitan dengan penguasaan lahan yang mendasar,7 sebagai berikut: a.
Lahan yang dikuasai individu berdasarkan hak milik perorangan
b.
Lahan yang dikuasai kaum, dengan luas dan tingkat keturunan yang berpariasi, berdasarkan hak milik kaum
c.
Lahan yang dikuasai oleh kelompok setempat, yaitu masyarakat nagari Ketentuan adat Minangkabau, menekankan perbedaan hak milik yang dibeli
sendiri (harta pencaharian) dan hak milik yang berasal dari warisan nenek moyang (harta pusaka), dan mengatur hukum waris dan pelepasan hak atas kedua macam harta tersebut. Harta pusaka selalu menjadi hak milik kaum, dengan demikian, tanah pusaka juga adalah tanah kaum. Dalam ketentuan adat, harta pencaharian berubah menjadi harta pusaka rendah, manakala harta tersebut diwariskan, dan setelah beberapa generasi ia menjadi harta pusaka tinggi. Hak Ulayat bisa jadi dimiliki oleh kaum atau peruik, yang terdapat dalam suatu suku atau nagari. Dengan demikian dapat digambarkan pergeseran hak adat Minagkabau: harta pusaka tinggi (HPT) >> harta pusaka rendah (HPR) >> . harta pusaka tinggi (HPT) >> harta pusaka rendah (HPR) Hak pemilikan tanah kaum, mungkin merupakan bentuk kepemilikan lahan yang paling besar dan tidak boleh diperjual belikan, kecuali dengan alasan-alasan khusus, sesuai dengan ketentuan adat. Di samping perlu ada persetujuan dari semua anggota kaum yang sudah dewasa dan kepala kaum, yaitu mamak kepala waris. Tanah kaum juga tidak bisa dipecah, kecuali setelah lima generasi, ketika di dalam kaum tersebut telah terbentuk unit-unit baru yang otonom. Sebenarnya pembelahan kaum, merupakan hal yang biasa terjadi dan jarang menimbulkan sengketa pembagian lahan. Namun,
7 Hans-Dieter Evers dan Rudiger Korff, Urbanisme Di Asia Tenggara Makna dan Kekuasaan Dalam Ruangan-Ruangan Sosial, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2002, Hlm 333
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Aslan N. Hak Atas Tanah …
116
tanah kaum juga tidak dapat digadaikan dan hak pemanfaatannya boleh dikatakan berpindah tangan secara permanen. Hubungan kepemilikan bersama hak atas tanah dalam masyarakat Minagkabau, konsep utamanya adalah hak Ulayat dan hak Pusako. Pada saat keluarga besar (Buah Gadang) yang tadinya otonom bergabung membentuk sebuah komunitas yang disebut Nagari, mereka harus menyerahkan sebagian haknya kepada kemunitas yang baru terbentuk itu, berikut perangkat pemerintahannya. Namun, berkenaan dengan tanah yang mereka miliki sebelum nagari itu terbentuk, tidak ada lagi hak yang harus diserahkan. Tanah ini telah menjadi tanah hak pusako (tanah milik kaum), yang telah diturunkan melalui beberapa generasi anggota kelompok sesuai dengan ketentuan hukum adat. Negari tidak mempunyai kewenangan atas tanah hak pusako. Segala persoalan mengenai tanah hak pusako, akan diputuskan oleh orang-orang dalam silsilah keturunan yang lebih tua (Pusako Sakato Niniek Mamak). Untuk mengawasi wilayah atau tanah yang dinyatakan sebagai areal nagari, yang belum menjadi hak pusako kaum (keturunan matrilineal), dipikul oleh kelompok itu secara bersama-sama. Tanah inilah yang disebut dengan tanah hak ulayat (ulayat saja), dan kewenangannya dipegang oleh perangkat pemerintahan nagari atau dibagi-bagikan kepada keluarga satu kaum atau satu keturunan atau kepada penghulu yang telah ikut mendirikan nagari itu. Untuk penamaan tanah tersebut, bergantung kepada siapa yang mengemban wewenang itu. Apabila kewenangannya ada pada penghulu, maka namanya disebut tanah ulayat penghulu, apabila kewenangannya ada pada nagari disebut tanah ulayat nagari. Dewasa ini, hubungan pada tingkat penggunaan dan pemanfaatan hak atas tanah, terpusat pada konsep harato (harta kekayaan), yang dikenal dalam adat Minangkabau. Harato pusako disebut juga harta kekayaan warisan, harta pencaharian atau harta yang diperoleh sendiri pegegang haknya adalah perorangan, harato suarang yang merupakan harta kekayaan atas tanah yang diperoleh pasangan suami istri, haknya dipegang bersama oleh suami-istri. Konsep ulayat, merupakan bentuk tertinggi hubungan kepemilikan hak atas tanah yang diemban oleh dan berada pada komunitas atau perangkat pemerintahannya, baik istilah ulayat maupun istilah hak berasal dari bahasa Arab. Hak berarti kekuasaan,
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
117
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
wewenang, ulayat berarti penjagaan, perwalian. Dalam penggunaan saat ini di Minangkabau, pada umumnya kosakata ulayat atau wilayat, mengandung makna ruang: area, daerah, dan distrik. Untuk melihat hubungan masyarakat dengan tanahnya, dapat dilihat dari ungkapan atau pepatah adat Minangkabau yang berlaku sejak pra Islam, Islam, kolonial, dan sampai sekarang, sebagai berikut: Nan barimbo rajo-rajo (Yang punya hutan rimba adalah raja) Nan bautan kareh, panghulu (Yang punya hutan keras adalah penghulu) Nan bautan lambuik, kamanakan (Yang punya hutan lunak adalah kemenakan) Menurut Kroesen, Westenenk, dan Willinck pepatah tersebut di atas diartikan bahwa rujukan terhadap rajo (raja), bukan raja Minangkabau, karena raja Minangkabau tidak mengemban kontrol sosial-politik apaun atas tanah. Mereka menafsirkan rajo sebagai raja di dalam nagari, merujuk kepada lembaga-lembaga tertinggi nagari. Lebih lanjut, pepatah tersebut di atas, dimaknai,8 sebagai berikut: Hutan berada dibawah penguasaan pemerintahan Nagari. Hutan keras yang bermanfaat, tapi belum dimanfaatkan berada dibawah penguasaan penghulu. Hutan lunak, areal yang sudah dibudidayakan berada dibawah penguasaan kemenakan. Terjemahan rajo menjadi pemerintahan Nagari diperluas menajdi tanah rajo (tanah milik rajo). Tanah rajo adalah sebidang tanah yang terletak diantara nagari yang berbatasan, yang berstatus tanah tidak bertuan. Tidak seorangpun diijinkan mengelolanya, dan orang percaya bahwa setiap pelanggaran akan mendapat sanksi magis. Tanah rajo juga dipakai sebagai medan perang antar nagari yang dapat berupa, perang batu dan perang bedil. Sejak penjajahan Belanda, kepemilikan bersama atas tanah komunal dinyatakan sebagai hak ulayat. Para penulis Belanda menterjemahkan hak ulayat sebagai beschikkingsrecht, yaitu hak guna komunal. Ada beberapa ketidak sepakatan dikalangan penulis Belanda mengenai sampai batas mana hak ulayat itu diberlakukan di Nagari, dan siapa pemegang haknya. Beberapa orang berpendapat bahwa hak ulayat 8
Franz Von Benda-Beckmann, Properti …., Op. Cit, Hlm. 174
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Aslan N. Hak Atas Tanah …
118
berlaku meliputi seluruh nagari (Van Vollenhoven dan Westenenk), dalam laporan yang lain menyebutkan bahwa tanah ulayat adalah tanah yang tidak ditanami dan hutan yang berada di dalam wilayah nagari (Resumi dan Kroesen).9 Hubungan pusako dalam pengertian hak, legitimasi individual anggota kaum untuk menggunakan dan memanfaatkan harta pusaka, yang merupakan harta pusaka turun-temurun, dinyakan dalam istilah ganggam bauntuak, dapatan,dan pabaoan. Hubungan kaum dengan pusaka tidak ditetapkan dengan suatu konsep khusus. Hubungan itu menyangkut seseorang yang memiliki hak atas tanah secara turuntemurun dalam persekutuan masyarakat hukum. Hubungan dapat diperinci dalam dua cara, yaitu: (1). Dengan menyatakan bahwa Mamak berhak (mempunyai hak mengontrol). (2). Kamanakan bamiliek ( kamanakan
memegang kepemilikan).
Perincian ini dapat digambarkan dalam pepatah Minangkabau, sebagai berikut: Hak bamiliek – harato bapunyo
(hak adalah bersama)
Hak nan banampu – harato nan bamiliek (harta adalah milik) Hak nan tagantuang – miliak nan takabiah (hak adalah bergantung) Arati miliek : nan disauaki
(milik adalah bermasing)
Pepatah ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Westenenk, 10 sebagai berikut: Hak Bamiliek
(The common right of disposal is transformed into possession)
Harato bapunyo (One has limited ownership of individual property objects) Hak nan Banampu
(Hak are the rights held in common)
Harato nan Bamiliek
(The harato are possessed individually)
Hak nan Tagantuang
(The hak is hanging (not specifically assigned))
Miliek Takabiah
(The milik is personal possession)
Arati Maliek nan Disauki (Milik means what is derived (from the hak)) Dua hal yang dapat disimpulkan dari pepatah tersebut di atas, sebagai berikut: 1.
Bahwa hubungan pusako mempunyai dua aspek: (1). Kontrol sosial politik, yaitu hak yang menggantung, abstrak, dan tidak reifikasi (dibendakan), hak ini milik seluruh kelompok, tetapi diemban oleh Mamak, pemimpin kelompok. (2). Aspek
9
Ibid, Hlm. 175 Ibid, Hlm. 202-203
10
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
119
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014 yang lain adalah kepemilikan secara material, milik, dimiliki, dan dibagikan antara kamanakan, para anggota kaum secara individual. Hak dan milik menunjukkan dua aspek yang berbeda: komunal dan indivualistis atau hubungan orang dengan barang. Mamak berhak atas semua harato kamanakannya, yang dipegang dan dimiliki para kamanakan itu sebagai milik. Mamak, sebagai anggota kelompok, secara umum juga mempunyai sejumlah milik untuk digunakan sendiri, tetapi tidak berarti bahwa dia mempunyai hak atas kepemilikan itu. Di dalam adat Minangkabau hak dan milik tidak dapat digabungkan dalam satu orang atau kelompok, konsep hak milik di Indonesia saat ini disebandingkan dengan istilah eigendom, tidak dikenal dalam adat.
2.
Bahwa karakterisasi abstrak hak dan milik tidak menunjukkan sebuah legitimasi untuk penggunakan dan pemanfaatan objek pemilikan. Hak tidak tidak menyebabkan Mamak boleh menggunakan dan memanfaatkan pemilikan dibawah kekuasaannya. Milik menggambarkan sebuah hubungan kepemilikan, tetapi bukan legitimasi. Mengenai hak ulayat dalam rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Provinsi
Sumatera Barat Tahun 2001, menyebutkan dalam Pasal 1, ayat (1): (f). Hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat (g). Tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atas dan di dalamnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat (h). Tanah ulayat nagari adalah tanah ulayat yang merupakan kekayaan nagari selain dari tanah ulayat suku, kaum, yang penguasaannya berada pada pemerintah nagari bersama kerapatan adat nagari (KAN) dan dimanfaatkan untuk kepentingan anak nagari (i). Tanah ulayat suku adalah tanah ulayat yang merupakan kepunyaan suku yang penguasaannya berada pada penghulu suku dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama (j). Tanah ulayat kaum adalah tanah ulayat yang merupakan kepunyaan masingmasing kaum dalam suatu suku yang pengaturannya berada pada Mamak Kepala Waris
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Aslan N. Hak Atas Tanah …
120
(l). Penghulu suku adalah pemegang sako dan pusako yang diwarisi secara terus menerus menurut sistem kerabatan matrilineal yang berfungsi sebagai penguasa ulayat menurut barih balabeh dalam satu kesatuan ulayat nagari (m). Mamak Kepala Waris adalah laki-laki tertua menurut adat dan atau yang dituakan dalam satu kaum (p). Kerapan Adat Nagari adalah lembaga perwalian permusyawaratan dan permufakatan adat tertinggi, yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang adat ditengah-tengan masyarakat nagari (s). Ganggam Bauntuak adalah peruntukan tanah diperoleh anggota kaum untuk memakai dan menikmati hasil atas bagian tanah ulayat kaum dalam pengawasan Mamak Kepala Waris Di Sumatera Barat, dalam kenyataannya masih terdapat hak ulayat sebagai mana yang diakui oleh Pasal 3 UUPA, yang pengurusan, penguasaan, dan penggunaannya didasarkan pada ketentuan hukum adat setempat. Terdapat tiga jenis tanah ulayat, yaitu: tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku, dan tanah ulat kaum yang diatur menurut hukum adat pada tiap nagari yang ada. 2.
Sinkronisasi antara UUPA, PMA No. 5 Th. 1999 dan Perda Sumatera Barat No. 6 Th. 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya Secara konseptual (normatif), Hak Ulayat diakui keberadaannya sebagaimana
diatur dalam Pasal 3 UUPA. Senada dengan Pasal 3 UUPA, Pasal 5 UUPA telah pula memperkuat keberadaan tanah ulayat dan sekaligus peletak dasar yang menempatkan kedudukan hukum adat sebagai landasan utama pengaturan materi muatan UUPA. Demikian pula Pasal 1 sampai dengan 6 PMA No. 5 Tahun 1999 telah pula memperkuat bahwa subyek (kepemilikan) tanah ulayat adalah masyarakat hukum adat, bukan bersifat perorangan dan tidak dapat berakhir kecuali seluruh masyarakat selaku pemilik ulayat menyetujuinya untuk diakhiri. Dari uraian tersebut di atas, semakin menunjukkan pentingnya mempertahankan keberadaan (pelestarian/pengabadian) Hak Ulayat sebagai Hak Milik Persekutuan Masyarakat Hukum Adat di Wilayah Provinsi Sumatera Barat. Pengaturan ”asas (kaedah fundamental) dan tujuan” dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 4 Perda tersebut dianggap eksklusif (taat asas). Artinya, asas dan tujuan
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
121
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
dari pengaturan tanah ulayat telah sesuai dengan asas dan kaedah yang terkandung dalam UUPA (Pasal 1) dan kaedah-kaeda pemilikan (penentuan subyek dan obyek) dalam Pasal 1 sampai dengan 6 PMA No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Sebagai hasil proses normatifisasi dari UUPA (Pasal 3 dan Pasal 5), Perda tersebut seharusnya memuat pula proses normatifisasi ke dalam materi muatan (segi substansialnya) yang dituangkan dalam bentuk pasal-pasalnya. Namun, dalam pengaturan substansial tersebut terdapat beberapa klosula yang sulit untuk dilaksanakan di lapangan. Artinya, disamping belum sinkron (tidak taat asas) dalam proses pengelolaan administrasi pertanahan dan pembangunan perekonomian Masyarakat minang kabau (sebagai salah satu fungsi tanah ulayat yang diatur dalam Pasal 7 Perda tersebut) melalui penanaman investasi akan mengalami hambatan. Hal tersebut, akan dibahas lebih lanjut pada materi berikut : 3.
Sinkronisasi Materi Muatan (Segi Substansial) Perda Sumbar No. 6 Th. 2008 Yang Dianggap Perlu Penjabaran Lebih Lanjut Pasal-Pasal dalam Perda Sumatera Barat No. 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat
dan Pemanfaatannya yang dianggap perlu penjabaran (penyempurnaan) lebih lanjut dengan suatu peraturan Kepala BPN bagi keperluan pengelolaan pelayanan pertanahan terdiri dari : a.
Pengaturan Tentang Pendaftaran Subyek dan obyek hak Tanah Ulayat 1).
Pasal 5 Jenis Tanah Ulayat terdiri dari Tanah Ulayat Nagari, Tanah Ulayat Suku, Tanah Ulayat Kaum dan Tanah Ulayat Rajo.
2).
Pasal 6 (1)
Penguasa dan pemilik tanah ulayat sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 adalah : a.
Ninik mamak KAN untuk Tanah Ulayat Nagari;
b.
Penghulu – penghulu suku mewakili semua anggota suku sebagai pemilik Tanah Ulayat Suku, masing – masing suku di Nagari;
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Aslan N. Hak Atas Tanah … c.
122
Mamak Kepala Waris mewakili anggota kaum masing – masing jurai/paruik sebagai pemilik Tanah Ulayat dalam kaum;
d.
Lelaki Tertua Pewaris Rajo mewakili anggota kaum dalam garis keturunan ibu adalah pemilik tanah ulayat rajo.
(2)
Pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah ulayat sebagaimana dimaksud dalam pasal (4) berdasarkan norma – norma hukum adat Minangkabau dan sebutan lainnya, yang ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.
3)
Pasal 8 Untuk menjamin kepastian hukum dan keperluan penyediaan data/informasi pertanahan, tanah ulayat sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dapat didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota dengan ketentuan : a.
Terhadap Tanah Ulayat Nagari dapat didaftarkan, yang bertindak sebagai subjek pemegang hak adalah ninik mamak KAN diketahui oleh Pemerintahan Nagari dengan status Hak Guna Usaha, Hak Pakai atau Hak Pengelolaan;
b.
Terhadap Tanah Ulayat Suku dapat didaftarkan, sebagai subjek pemegang hak adalah Penghulu – penghulu Suku, dengan status hak milik;
c.
Terhadap Tanah Ulayat Kaum dapat didaftarkan, sebagai subjek pemegang hak adalah anggota kaum dan mamak kepala waris, dengan status hak milik;
d.
Terhadap Tanah Ulayat Rajo dapat didaftarkan, sebagai subjek pemegang hak adalah anggota kaum dan pihak ketiga, diketahui oleh laki – laki tertua pewaris rajo, dengan status hak pakai dan hak kelola;
e.
Terhadap bagian Tanah Ulayat yang sudah diberikan izin oleh penguasa dan pemilik tanah ulayat kepada perorangan yang dikerjakan secara terus menerus dan sudah terbuka sebagai sumber kehidupan, bila dikehendaki dapat didaftarkan, setelah memenuhi “Adat di Isi Limbago di Tuang”;
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
123
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014 f.
Tata cara dan syarat permohonan pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a, akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Secara konseptual, pengaturan hukum tentang subyek hak atas tanah dapat dilihat dari hukum keperdataan, hukum pidana dan Hk Tanah Nasional. Hal itu dilakukan, karena sampai hari ini hukum tanah itu tidak mandiri yang memunculkan hal-hal krusial di lapangan. Sesungguhnya, subyek Hak Atas tanah terdiri dari : 1.
Individual (Naturlijke persoon) yang terdiri dari perorangan, keluarga waris, keluarga marital dan joint pinter) yang tunduk pada Ketentuan Hk Keperdataan
2.
Perkumpulan masyarakat ( perkumpulan masyarakat biasa (maschap) dan perkumpulan masyarakat hukum adat (gemenschafen) yang tunduk pada asas dan kaedah hukum adat setempat
3.
Badan Hukum (Rech Persoon) terdiri dari Badan Hukum Publik yang tunduk Pada UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Aset Negara dan Badan Hukum Privat yang tunduk pada UU No. 1 Th. 1995 jo UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perusahaan Terbatas
4.
Yayasan berdasarkan UU No. 16 Tahun 2001 tentang yayasan
5.
Koperasi berdasarkan UU No. 25 Tahun 1992
6.
Wakaf berdasarkan UU No. UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Tentang koperasi
Dari uraian tersebut diatas, maka pengaturan subyek hak ulayat dalam Pasal 6 dan 8 tidak memenuhi kaedah-kaedah hukum baik subyek hukum perdata, hukum pidana maupun hukum tanah nasional. Sehingga, pelaksanaan pasal 8 tersebut mesti dipertegas dengan kebijakan pertanahan nasional agar subyek (Pemegang hak) tanah ulayat dapat didaftar dan tunduk pada UUPA (UU No. 5 Tahun 1960) sebagaimana telah diuraikan di atas. Substansi tentang pemegang hak atas tanah ulayat yang benar adalah Nama Persekutuan masyarakat hukum adat setempat sesuai nama GELAR ADAT keturunan kaum, suku dan nagari, bukanlah penguasa adat (Kepala Adat Nagari untuk tanah ulayat nagari, Penghulu untuk tanah ulayat suku dan Mamak Kepala Waris untuk tanah ulayat kaum). Karena, pemilik (pemegang hak) tidak sama kapasitasnya dengan
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Aslan N. Hak Atas Tanah …
124
penguasa adat. Penguasa adat tidak memiliki, tetapi mengatur (regelen), mengurus (bestuuren) dan mengendalikan (tozichthouden) pengelolaan tanah ulayat, yang memiliki adalah lembaga persekutuan masyarakat hukum adat setempat, baik masyarakat hukum adat keturunan kaum, suku maupun nagari. Sementara itu, belum dipertegasnnya pengaturan-pengaturan tentang batas-batas tanah ulayat kaum, suku dan nagari, cukup mempersulit pengukuran dan pemetaan guna penetapan batas obyek pendaftaran tanah ulayat tersebut. Maka, dapat dijadikan dasar penetapannya melalui pepatah adat, sebagai berikut : Ka bukik baguliang aia (berbatasan ke arah air bergulir) Ka gunuang balinjuang (berbatasan ke gunung/ke hutan yang ditandai dengan pohon linjuang) Ka darek batanam batu (Ke darat ditandai/ditanam batu). Kemudian, munculnya jenis tanah ulayat rajo, rajo (seperti di Tanah Jawa) sesungguhnya bukan lah subyek hak, tapi penguasa pengelolaannya saja, sedangkan subyek haknya adalah kaum yang secara matrelineal chart berada di tangan kaum perempuan garis keturunan ibu (nama gelar adat keturunan kaum). Sekalipun pada Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 8 huruf f Perda tersebut menjanjikan pengturan tentang subyek dan tata cara pendaftaran tanah ulayat akan diatur lebih lanjut dengan Perda Kabupaten/Kota setempat, namun kekeliruan atas subyek, obyek alas hak pada Perda tersebut akan berimbas pada pengaturan ke bawahnya yanglebih bersifat doktrinal. b.
Pengaturan tentang kemungkinan di atas hak ulayat dapat dibebani hak secunder dalam Perda Sumatera Barat No. 6 Th. 2008
Pasal 9 Ayat (3) Pemanfaatan Tanah Ulayat untuk kepentingan Badan Hukum dan atau perorangan dapat dilakukan berdasarkan Surat Perjanjian untuk pengusahaan dan pengelolaan oleh penguasa dan pemiliknya berdasarkan kesepakatan masyarakat adat dengan badan hukum dan atau perorangan dalam jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan modal, bagi hasil dan atau bentuk lain yang disepakati berdasarkan musyawarah dan mufakat di KAN, diketahui oleh Pemerintahan Nagari;
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
125
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
Pasal 10 (1) Investor dapat memanfaatkan tanah ulayat dengan mengikut sertakan penguasa dan pemilik tanah ulayat berdasarkan kesepakatan masyarakat adat yang bersangkutan sebagai pemegang saham, bagi hasil dan dengan cara lain dalam waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian; c.
Pelaksanaan ketentuan pada ayat (2) dan (3), dapat dilakukan setelah badan hukum dan atau perorangan yang memerlukan tanah ulayat, memperoleh izin lokasi guna kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah dari Pemerintah setempat sesuai kewenangannya;
d.
Ketentuan dan tata cara untuk proses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 11 Apabila perjanjian penyerahan hak penguasaan dan atau hak milik untuk pengusahaan dan pengelolaan tanah yag diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 berakhir, maka status penguasaan dan atau kepemilikan tanah kembali ke bentuk semula. Pasal 9 ayat 3 Perda tersebut terkesan belum taat asas tata aturan yang berkaitan, seperti aturan dalam UU No. 1 Tahun 1995 jo UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pada aturan perseroan terbatas tersebut, bahwa pernyataan modal berupa saham merupakan inbreng. Artinya, Tanah ulayat yang dihitung sebagai penyertaan saham harus merupakan asset perusahaan. Jika demikian, Tanah Ulayat mesti dilepaskan jika hendak menjadi asset perusahaan. Hal ini, tentunya bertentangan dengan asas perda tersebut yang diatur dalam pasal 1 sampai dengan 4. Sementara Pasal 8 sampai dengan 10 terlihat cheos, karena mencampuradukkan saham dengan ketentuan bagi hasil. Artinya, terdapat kekeliruan pengaturan yang menggabungkan penyertaan tanah ulayat sebagai saham disatu pihak, dan dipihak lain ada keinginan untuk sistem bagi hasil. Oleh karena itu, pentingnya kebijakan pertanahan nasional untuk mengkoreksi dan sekaligus menyambungkan antara Perda tersebut dengan UUPA dalam kaitannya dengan penanaman modal (investasi) di atas tanah ulayat, seperti akan dibahas berikut ini :
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Aslan N. Hak Atas Tanah … C.
Kesimpulan dan Saran
1.
Kesimpulan
a.
Mempertahankan
126
eksitensi tanah ulayat, merupakan proteksi terhadap
keberadaan dan kehidupan masyarakat adat yang dianggap belum mampu berkompetitif akibat derasnya laju pembangunan. Namun, dalam situasi konkret, lajunya pembangunan nasional tidak bisa terhindari dari penggunaan tanah ulayat sebagai salah satu sasaran tempat akhtivitas pembangunan tersebut. Mau tidak mau, pada saat ini, Provinsi Sumatera barat yang memiliki cukup banyak tanah ulayat terkena kawasan pembangunan ekonomi berupa perkebunan, prikanan dan lain-lain sebagai wahan berinvestasi. b.
Mempertahankan tanah ulayat agar tetap eksis disatu pihak, namun dipihak lain dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk mengentas kan kemiskinan, maka perlu mencari konsep yang tepat tentang hak secunder yang akan diterapkan di atas tanah ulayat tersebut dan bersifat ballances antara mempertahankan dan pemanfaatannya. Konsep tersebut adalah menempatkan Hak Pakai (Private) di atas tanah tersebut. Sehingga, disamping dapat menjadi agunan bagi pengusaha yang membutuhkan modal, juga menjadikan perjanjian di atas tanah tersebut sebagai sumber kesejahteraan masyarakat hukum di sekitar tanah ulayat tersebut. Hanya saja, yang perlu diatur dan dipertegas adalah cara pembagian hasil perjanjian dengan pihak ke tiga tersebut kepada anggota masyarakat ulayat oleh masing-masing penguasa adat.
2.
Saran
a.
Untuk keperluan pendaftaran tanah ulayat, sebaiknya ada Kebijakan Kepala Badan Pertanahan Nasional yang dapat menterjemahkan Perda Sumatera Barat No.6 Tahun 2008 tersebut, yang memperjelas kedudukan subyek, obyek dan kemungkinan hak-hak yang muncul bagi keperluan pembangunan ekonomi (khususnya investasi) di atas tanah ulayat tersebut, yang bersifat secunder. Dengan demikian, keberadaan Tanah Ulayat tetap terjaga dan langgeng serta dapat bermanfaat bagi pelaku ekonomi negara dan sekaligus meningkatkan taraf hidup (kesejahteraan) masyarakat adat yang termariginal, miskin dan hidup di bawah standar.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
127
b.
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014 Secara hirarchis konstitusional, Pengaturan guna keperluan pendaftaran tanah ulayat merupakan domein (ranah) hukum tanah yang bersumber dari UUPA. Jika Perda belum sinkron dengan UUPA, berarti pendaftaran tanah ulayat harus diatur dengan peraturan perundang-undangan yang pada tataran teknis merupakan materi muatan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Amir M. S, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 1999 Agustiar Syah Nur, Kredibilitas Penghulu Dalam Kepemimpinan Adat Minangkabau, Lubuk Agung, Bandung, 2002 Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Rineka Cipta, Jakarta, 1997 Franz
Von
Benda-Beckmann,
Properti
Dan
Kesinambungan
Sosial
Kesinambungan Dan Perubahan Dalam Pemeliharaan Hubungan-Hubungan Properti Sepanjang Masa Di Minangkabau (Alih Bahasa Indira Sombolon), Grasindo, Jakarta, 2000 Hans-Dieter Evers dan Rudiger Korff, Urbanisme Di Asia Tenggara Makna dan Kekuasaan Dalam Ruangan-Ruangan Sosial, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Sukendar. Perlindungan Hukum …
128
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA WANITA DALAM PERJANJIAN KERJA BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN Oleh: Sukendar
Abstract Every labor has the right and the same chance to get job and a decent living without being differentiated by his/her gender, ethnic, race, religion, and political affiliation. Getting a job should be based on their interest and job performance, including the chance for women, so they can actively involve in development process. In other words, women rights and obligation should be given equally with men. However, according to the nature as a woman, the legal protection for women in their portions as labors couldn’t be applied equally with men. So that, it is needed a specific rule which regulates legal protection toward women labors that should be contained in employment agreement and must be adhered to by each party. There will be a legal consequence if it is violated. Key words: Women Labors, Legal Protection, Employment Agreement
Abstrak Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dari penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk kesempatan kepada kaum wanita sehingga kaum wanita mempunyai kesempatan untuk berperan aktif dalam suatu proses pembangunan. Dengan perkataan lain, hak dan kewajiban wanita untuk mendapatkan pekerjaan telah dianggap sejajar dengan kaum pria. Namun demikian, sesuai dengan kodratnya sebagai wanita, maka perlindungan hukum terhadap kaum wanita dalam kedudukannya sebagai tenaga kerja, tidaklah dapat disamaratakan dengan kaum pria.untuk itu, maka diperlukan suatu aturan khusus yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap tenaga kerja wanita yang harus tertuang dalam suatu perjanjian kerja, yang harus ditaati oleh para pihak dan ada konsekuensi hokum apabila dilanggar. Key Word : Tenaga Kerja Wanita, Perlindungan Hukum, Perjanjian Kerja PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
129
A.
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014 Pendahuluan Dalam era persaingan bebas dewasa ini, bidang industri mempunyai peranan
yang sangat penting. Salah satu tujuan dari pembangunan di bidang industri ini adalah untuk memperluas lapangan pekerjaan yang juga sekaligus untuk memperluas kesempatan usaha. Dengan diberikannya kemungkinan memperluas kesempatan usaha ini maka bermuncullah usaha – usaha di bidang industri ini baik industri berskala kecil yang dikelola secara individu maupun industri besar yang dimiliki perusahaan besar. Dengan bermunculannya usaha – usaha di bidang industri ini dengan sendirinya telah membuka lapangan kerja bagi masyarakat pencari kerja. Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dari penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, tcrmasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat.1 Pasal 5 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan manyatakan bahwa : Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Pernyataan Pasal 5 UU No. 13 Tahun 2003 tersebut selaras dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi : Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi: Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Pekerjaan merupakan hak bagi setiap orang, maka tidak boleh ada orang yang menghalangi hak tersebut dengan cara membedakan jenis kelamin, suku, ras. agama, dan aliran politik. Lapangan kerja yang tersedia ini tidak saja diberikan kepada lakilaki, juga kesempatan kepada kaum wanita sehingga kaum wanita mempunyai kesempatan untuk berperan aktif dalam suatu proses pembangunan. Dengan perkataan lain, hak dan kewajiban wanita untuk mendapatkan pekerjaan telah dianggap sejajar dengan kaum pria.
1
Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan Tahun 2003, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 16
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Sukendar. Perlindungan Hukum …
130
Untuk bekerja di sektor formal, biasanya melalui proses seleksi penerimaan lowongan kerja. Apabila tenaga kerja yang bersangkutan lulus dari proses seleksi penerimaan lowongan kerja, maka biasanya antara tenaga kerja dengan pengusaha akan membuat perjanjian kerja, bisa secara tertulis atau lisan, tapi pada umumnya dibuat perjanjian kerja secara tertulis, yang akan melahirkan suatu hubungan kerja yang berisi hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi masing-masing pihak. Hak dari pihak yang satu merupakan kewajiban bagi pihak lainnya, demikian juga sebaliknya kewajiban pihak yang satu merupakan hak bagi pihak lainnya sedangkan untuk bekerja pada pekerjaan informal, perjanjian kerja antara pemberi pekerjaan dengan penerima pekerjaan biasanya dilakukan secara lisan.2 Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis maupun tidak tertulis pada dasarnya sama-sama mempunyai kekuatan yang mengikat kedua belah pihak. Pada pekerjaan yang informal, seperti pembantu rumah tangga, perjanjian kerja dilakukan melalui kesepakatan lisan. Kesepakatan tersebut memuat jenis pekerjaan, waktu pelaksanaan pekerjaan dan besarnya upah yang harus dibayar. Hal yang sama sebenarnya bisa juga dilakukan terhadap perjanjian kerja yang formal. Meskipun perjanjian kerja tidak dibuat secara tertulis, tetap saja kedua belah pihak wajib memenuhi kewajibannya sesuai dengan apa yang telah disepakati. Pada prinsipnya, apabila kedua belah pihak telah menyepakati jenis pekerjaan, jam kerja, besarnya upah dan sebagainya, maka itulah undang-undang yang harus dilaksanakan. Bagi perusahaan, perjanjian kerja ini dapat menjadi pedoman dalam sebuah hubungan kerja yang akan mendukung kepentingan perusahaan. Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial telah membawa nuansa baru dalam dunia ketenagakerjaan, yaitu nuansa Hukum Formal & Hukum Acara-nya yang menempatkan dokumen-dokumen tertulis pada tingkat kepentingan yang tinggi dalam proses peradilan. Di sisi lain, pekerja/buruh juga perlu berhati-hati dengan perjanjian kerja. Melihat proses pembuatan perjanjian kerja yang saat ini seolah-olah lebih banyak menjadi wewenang dari perusahaan dengan memakai
2
Sehat Damanik, Outsourcing & Perjanjian Kerja Menurut UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Sebagai Penuntun Untuk Merncxanakan Melaksnakan Bisnis Outsourcing & Perjanjian Kerja, DSS Publishing, Jkarta, 2006, hlm. 127
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
131
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
perjanjian yang bersifat baku atau
take it or leave it dan mengecilkan peranan
kesepakatan sebagai hasil dari perundingan.3 Dengan demikian, merancang suatu perjanjian kerja yang benar dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku merupakan hal yang sangat penting dan strategis. karena, kontrak (perjanjian kerja) memuat segala konsekuensi yang menjadi hak dan kewajiban baik pengusahan maupun pekerja/buruh dan merupakan pegangan/dasar hukum bila terjadi perselisihan di kemudian hari. Oleh karna itu dengan memahami ketentuan hukum tentang perjanjian kerja serta menguasai perencanaan perjanjian kerja secara baik akan memberikan kemudahan bagi pengusaha dan/atau pekerja/buruh dalam persidangan, baik secara litigasi atau non litigasi jika teriadi perselisihan hubungan industrial nanti di kemudian hari. Berkaitan dengan hubungan kerja, telah banyak peraturan dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatur hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh termasuk pekerja wanita dengan tujuan agar diketahui dan dilaksanakan oleh mereka yang terlibat dalam proses produksi, sehingga dapat menciptakan suatu hubungan kerja yang harmonis serta ketenangan kerja di lingkungan perusahaan. Namun demikian, sesuai dengan kodratnya sebagai wanita, maka perlindungan hukum terhadap kaum wanita dalam kedudukannya sebagai tenaga kerja, 4tidaklah dapat disamaratakan dengan kaum pria.untuk itu, maka diperlukan suatu aturan khusus yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap tenaga kerja kaum wanita ini. Dalam Undang – Undang 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, mengenai perlindungan hukum bagi tenaga kerja wanita telah diatur dalam pasal 76,81,82, 83, dan 84 yang berbunyi antara lain sebagai berikut : bahwa dalam Pasal 76 dinyatakan dengan jelas pekerja / buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 ( delapan belas ) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00; juga pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja / buruh perempuan hamil yang menurut dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara
3 Seluk Beluk Perjanjian Kerja dari sudut pandang Hukum dan Persiapan Dalam Menghadapi Perselisihan Hubungan Industrial, http://hrdforum.wordpress.com/2007/03/29/ Seluk Beluk Perjanjian Kerja 4 Tetti Samosir, Implementasi Penggunaan Hak Politik Permbpuan Melalui Lembaga Legislatif Dalam Mewujudkan Prinsip Persamaan Hak Berdasarkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, Disertasi, Univeristas Padjadjaran, Bandung, 2010, hlm. 67.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Sukendar. Perlindungan Hukum …
132
pukul 23.00 s.d 07.00. Kemudian dalam Pasal 82 dinyatakan juga bahwa pekerja / buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 ( satu setengah ) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 ( satu setengah bulan ) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Juga Pekerja / buruh yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja. (Pasal 83) UU Ketenagakerjaan. Dari ketentuan Pasal 76, 81, 82, 83, dan 84 Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 tersebut diatas diketahui bahwa undang – undang ini telah cukup memberikan perlindungan hukum bagi pekerja wanita. Namun demikian, apakah perlindungan hukum yang diberikan terhadap tenaga kerja wanita berdasarkan Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 ini telah memuaskan bagi semua pihak yang terlibat didalamnya yaitu pihak tenaga kerja wanita dan pihak pengusaha. Selain itu dalam implementasi-nya masih banyak kendala dan peyimpangan dari peraturan yang ada, sehingga menimbulkan permasalahan yang sepenuhnya belum dapat terselesaikan dengan adil dan bijaksana. Dalam mengkaji perlindungan hukum tenaga kerja wanita berdasarkan Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 ini, yang menjadi permasalan adalah : Bagaimana akibat hukum atau sanksi terhadap pihak pengusaha yang tidak melaksanakan ketentuan tentang hak – hak yang melindungi pekerja wanita berdasarkan Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 ? B.
Pembahasan
1.
Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Wanita Negara Indonesia sebagai negara hukum atau rechstaat mengutamakan
kesejahteraan rakyat sebagaimana dimaksudkan dalam arti welfare state. Tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya berdasarkan Pancasila dalam masyarakat adil dan makmur. Masyarakat Indonesia sebagian besar adalah merupakan tenaga kerja dan keluarganya, karena itu kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya mempunyai andil
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
133
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
yang besar dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materil maupun spiritual tidak dapat dicapai bila tenaga kerja dan keluarganya tidak sejahtera. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya merupakan bagian dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.5 Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyebutkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dari pengertian hubungan kerja tersebut di atas jelaslah bahwa hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh yang memuat unsur pekerjaan, upah dan perintah.6 Adapun yang dimaksud dengan perjanjian kerja menurut Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003, adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. Berdasarkan pengertian dari hubungan kerja dan perjanjian kerja di atas, dapat dtarik beberapa unsur dari hubungan kerja (perjanjian kerja) yakni: a)
7
Adanya unsur work atau Pekerjaan. Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan seizin majikan (pengusaha) dapat menyuruh orang lain.
b)
Adanya Unsur Perintah. Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah
pengusaha
untuk
melakukan
pekerjaan
sesuai
dengan
yang
diperjanjikan. 5
Arifin P. Soeria Atmadja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara, Gramedia, Jakarta, 1986, Hlm. 3 6 Azhary, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya, UI Press, Jakarta, 1995, hlm. 21 7 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 72.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Sukendar. Perlindungan Hukum …
134
Di sinilah perbedaan hubungan kerja dengan hubungan lainnya, misalnya hubungan antara dokter dengan pasien, pengacara dengan klien. Hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja karena dokter, pengacara tidak tunduk pada perintah pasien atau klien. c)
Adanya Upah. Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja), bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Dengan dipenuhinya ketiga unsur tersebut diatas, jelaslah ada hubungan kerja
baik yang dibuat dalam bentuk perjanjian kerja tertulis maupun lisan, untuk memenuhi rasa keadilan. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menegakkan hukum yang adil atau berkeadilan, yaitu : a.
Aturan hukum yang ditegakkan
b.
Pelaku penegakan hukum
c
Lingkungan sosial sebagai tempat hukum yang berlaku.8 Dalam merealisasikan rasa keadilan mengenai penyelesaian perselisihan
hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha, maka yang dibutuhkan adalah adanya dukungan dari perkembangan dibidang hukum, baik hukum materiil maupun hukum formilnya. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah metode penyelesaian sengketa yang paling lama dan lazim digunakan dalam penyelesaian sengketa, baik sengketa yang bersifat publik maupun yang bersifat prifat. Untuk sengketa yang lebih menekankan pada kepastian hukum metode penyelesaian yang tepat adalah litigasi.9 Begitu juga pada saat berbicara bila terjadi perselisihan hubungan industrial antara pekerja dengan pengusaha. Pemerintah melalui Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian
perselisihan
hubungan
industrial
telah
mengatur
tata
cara
8
Bagir Manan, Sistem Peradilan Beribawa ( suatu pencarian ). Fakultas Hukum UII.Press, Yogyakarta.2005, Hlm : 9 - 11 9 Susanti Adi Nugroho, “ Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukuk serta Kendala Implementasinya “. Kencana, Jakarta. 2008. Hlm : 127.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
135
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
penyelesaiannya, yaitu : Penyelesaian melalui bipartit; Penyelesaian melalui mediasi; Penyelesaian melalui konsiliasi; dan Penyelesaian melalui arbitrase Penyelesaian melalui bipartit, bila terjadi perselisihan hubungan pekerja dengan pengusaha wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila penyelesaian perselisihan melalui bipartit tidak terdapat musyawarah dan mufakat, salah satu pihak menolak untuk berunding maka perundingan bipartit dianggap gagal, dan penyelesaian dapat dilanjutan melalui mediasi. Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten / kota. Bila dalam hal kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui mediasi, tidak tercapai kesepakatan penyelesaian, perselisihan dapat diteruskan melalui konsilisai.10 Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan kabupaten / kota. Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya. Bila tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan dapat didaftarkan ke pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri setempat. Penyelesaian melalui arbitrase, penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan antara serikat pekerja / serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Di dalam penyelesaian perselisihan persengketaan haruslah taat asas, yaitu : a.
Asas Kebebasan Makna kebebasan kekuasaan kehakiman, bearti bahwa dalam menjalankan tugasnya seorang hakim bebas dari campur tangan pihak lain serta bebas dari paksaan, arahan, maupun rekomendasi dari luar lingkungan kekuasaan peradilan.
b.
Asas Wajib Mendamaikan Menurut ajaran Islam, apabila ada perselisihan atau sengketa sebaiknya melalui pendekatan “ ishlah “ atau damai ( QS. 49 : 10 ). Kewajiban hakim untuk
10
Gunawan Widjaya, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 40.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Sukendar. Perlindungan Hukum …
136
mendamaikan pihak – pihak yang bersengketa, sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. c.
Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan. Makna dan tujuan asas ini adalah suatu proses pemeriksaan yang relatif tidak memakan waktu yang lama sampai bertahun – tahun, sesuai dengan kesederhanaan hukum acara itu sendiri.
d.
Asas Legalistis (tidak membeda-bedakan ) dan Asas Equality (Persamaan Hak). Baik asas legalistis maupun persamaan hak, keduanya mengandung hak asasi setiap orang. Asas legalistis meliputi hak asasi yang berkenaan dengan hak perlindungan hukum dan asas persamaan hak meliputi hubungan dengan persamaan di hadapan hukum. Dari beberapa perlindungan terhadap pekerja, salah satunya adalah perlindungan
terhadap harkat dan martabat nya sebagai manusia, baik tenaga kerja pria maupun wanita.11 Tenaga kerja wanita memerlukan perlindungan khusus yang berbeda dengan tenaga kerja pria, hal ini antara lain disebabkan oleh harkat dan martabat kaum wanita sangat berbeda dengan kaum pria. Selain itu, perbedaan yang sangat mendasar antara kaum pria dan wanita ini adalah dari sudut biologis. Secara biologis, tenaga kerja wanita ini akan mengalami haid, kehamilan bahkan melahirkan.12 Dalam hal ini akan terjadi kontradiksi antara pengusaha yang menginginkan agar tenaga kerjanya terus bekerja secara aktif untuk menjalankan pekerjaan dan sebaliknya dengan keadaan biologis demikian tenaga kerja wanita memerlukan waktu istirahat pada saat mengalami hal – hal seperti diatas. Sedangkan di dalam hubungan kerja, pekerja wanita mempunyai tenaga atau ketahanan fisik tidaklah sebagaimana kaum pria juga berbeda dari segi keamanan Untuk mengatasi hal inilah maka diperlukan suatu ketentuan khusus yang mengatur tentang tenaga kerja wanita, khususnya perlindungan terhadap tenaga kerja wanita yang sedang mengalami suatu keadaan sesuai dengan kodratnya sebagai 11
Susanti Adi Nugroho,Op.Cit., hlm : 128
12
Abdul Ghofur Anshori, “ Peradilan Agama Di Indonesia, Pasca UU Nomor 3 Tahun 2006”.UII Press, Yogyakarta, 2007. Hlm : 61
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
137
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
wanita. Upaya kearah ini telah diwujudkan dengan dibuatnya ketentuan yang diatur berdasarkan Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003, khususnya Pasal 76,81, 82, 83 & 84. Pasal 76 1. 2.
3.
1.
2.
1.
2.
Pekerja / buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 ( delapan belas ) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00. Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja / buruh perempuan hamil yang menurut dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s.d 07.00. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja / buruh perempuan antara pukul 23.00 s/d 07.00 wajib : a. Memberikan makanan dan minuman bergizi; dan b. Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja b. Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja / buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 s/d 05.00. c. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 3 ) dan ayat ( 4 ) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 81 Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) diatur dalam perjanjian kerja. Peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pasal 82 Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah bulan) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran berhak memperoleh istirahat 1,5 ( satu setengah ) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Pasal 83 Pekerja / buruh yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Sukendar. Perlindungan Hukum …
138
Pasal 84 Setiap pekerja / buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 79 ayat ( 2 ) huruf b, c dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh. Dari ketentuan berapa pasal dalam Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 sebagaimana diuraikan diatas, Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 i cukup memberikan perlindungan bagi tenaga kerja wanita, implementasi ketentuan tersebut masih akan tergantung dari para pengusaha untuk mematuhinya atau tidak, oleh karena itu diperlukan suatu sanksi tegas terhadap para pengusaha yang tidak mematuhi / melaksanakan ketentuan – ketentuan tersebut agar perlindungan terhadap tenaga kerja wanita dapat terwujud sebagaimana yang diharapkan. 2.
Akibat Hukum Bagi Pengusaha Yang Tidak Melaksanakan Ketentuan Pasal 76, 81, 82, 83 Dan 84 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 Dari ketentuan yang terdapat khususnya Pasal 76,81, 82,
83 & 84 diatur
berdasarkan Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 terdapat beberapa perlindungan yang diberikan terhadap tenaga kerja wanita yang diperinci sebagai berikut : a. b. c. d.
Perlindungan terhadap tenaga kerja wanita yang sedang mengalami haid. Perlindungan terhadap tenaga kerja wanita yang masih menyusui bayinya Perlindungan terhadap tenaga kerja wanita pada saat sebelum dan sesudah melahirkan Perlindungan terhadap tenaga kerja wanita yang mengalami keguguran kandungan Mengenai perlindungan terhadap tenaga kerja wanita yang sedang mengalami
haid, pengusaha tidak mewajibkan pekerja wanita untuk bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Dengan adanya perkataan “ tidak boleh mewajibkan “ dalam bunyi Pasal 81 ayat ( 1 ) berdasarkan undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 mengandung pengertian bahwa jika seseorang tenaga kerja wanita sedang mengalami haid pengusaha tidak mewajibkan pekerja wanita untuk bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada hari pertama dan kedua saat haid, tenaga kerja wanita diberikan kebebasan untuk bekerja atau tidak.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
139
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014 Kemudian perlindungan yang diberikan terhadap tenaga kerja wanita yang masih
menyusui bayinya, pengusaha diwajibkan memberikan kesempatan bagi tenaga kerja wanita untuk menyusui bayinya pada jam kerja. Dengan adanya ketentuan ini berdasarkan Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 83 ayat ( 1 ) ditentuan bahwa : “ pengusaha harus menyediakan fasilitas bagi pekerja wanita di lingkungan perusahaan untuk menyusukan bayinya “. Selanjutnya perlindungan terhadap tenaga kerja wanita tersebut menurut pemikiran / perhitungan dokter / bidan akan melahirkan dalam jangka waktu satu setengah bulan kemudian, kepada tenaga kerja wanita tersebut harus diberikan waktu istirahat. Dan kemudian setelah melahirkan akan diberikan waktu istirahat. Dan kemudian setelah melahirkan akan diberikan waktu satu setengah bulan sejak ia melahirkan. Hal ini ditentuan dalam Pasal 82 ayat ( 1 ) berdasarkan Undang – undang No 13 Tahun 2003. Perlindungan hukum lainnya terhadap tenaga kerja wanita ini adalah dalam hal tenaga wanita tersebut mengalami keguguran berdasarkan Undang – undang No 13 Tahun 2003 Pasal 82 ayat ( 2 ), bagi tenaga kerja kerja yang mengalami keguguran kandungan ini akan diberikan waktu istirahat selama satu setengah bulan. Dilihat dari berbagai perlindungan hukum terhadap tenaga kerja wanita yang diatur berdasarkan Pasal 76,81, 82, 83 & 84 diatur berdasarkan Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 sebagaimana yang telah diuraikan diatas dapat dimengerti bahwa undang – undang ini sebenarnya telah memberikan perlindungan hukum yang layak bagi tenaga kerja wanita yang sedang mengalami hal – hal tertentu sesuai dengan kodratnya sebagai wanita. a.
Tuntutan Pidana Terhadap Pengusaha Yang Melakukan Pelanggaran Terhadap Ketentuan Pasal 76 Dan Pasal 82 Dalam hal melaksanakan pekerjaannya pekerja wanita , dalam hal ini pengusaha
diwajibkan memberikan perlindungan hukum sebagaimana diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, bila terdapat atau terjadi pelanggaran hukum terhadap mereka maka pengusaha akan dikenakan sanksi pidana baik itu berupa pidana penjara maupun denda.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Sukendar. Perlindungan Hukum …
140
Adapun perlindungan hukum yang diberikan kepada pekerja wanita apabila terjadinya pelanggaran tindak pidana terhadap pekerja wanita berdasarkan Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003, akan dikenakan sanksi sebagimana yang diatur dalam pasal – pasal berikut ini : 1)
2)
Pasal 185 ayat ( 1 ) diketahui bahwa pasal ini berisikan sanksi pidana terhadap Pengusaha yaitu, tindak pidana kejahatan. Adapun bentuk sanksi Pidana yang diberikan adalah : “ Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 , dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun. Dan / atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan palng banyak Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah). Pasal 187 ayat (1) diketahui bahwa pasal ini berisikan sanksi pinadana terhadap pengusaha yaitu merupakan tindak pidana pelanggaran. Adapun bentuk sanksi pidana yang diberikan adalah: “ Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat1(satu) bulan dan Paling lama 12 (dua belas) bulan. Dan / atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Dari isi kedua pasal tersebut sangatlah jelas, perlindungan hukum yang diberikan
oleh pemerintah terhadap pekerja wanita bukanlah suata hal yang main-main. Pemerintah begitu sangat memperhatikan dan menjamin kaum wanita dalam hal melaksanakan pekerjaannya. b.
Sanksi Administrasi Terhadap Pengusaha Yang Tidak Melaksanakan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Berdasarkan undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 yang berbunyi sebagai
berikut , Barang siapa : 1) Tidak memberlukan kesempatan sepatutnya kepada pekerja wanita untuk menyusukan bayinya pada jam kerja sebagaimana dimaksut dalam Pasal 76,81, 82, 83 & 84 diatur berdasarkan Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003, tidak memberi istirahat pekerja wanita sebelum dan / atau sesudah melahirkan sebagaimana dimaksud berdasarkan Pasal 76,81, 82, 83 & 84 diatur berdasarkan Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003. 2) Tidak memberi istirahat terhadap pekerja wanita yang mengalami gugur kandungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76,81, 82, 83 & 84 diatur berdasarkan Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003. 3) Tidak memberi perpanjangan istirahat kepada pekerja wanita sebelum saat melahirkan anak sebagaimana dimaksud dalam dari ketentuan berdasarkan Pasal 76,81, 82, 83 & 84 diatur berdasarkan Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
141
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014 Dari ketentuan Pasal 187 dan Pasal 183 berdasarkan Undang – undang Nomor 13
Tahun 2003 seperti yang diuraikan diatas, dapat diketahui bahwa pelanggaran berdasarkan Pasal 76,81, 82, 83 & 84 diatur berdasarkan Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003, pengusaha dapat dikenakan sanksi administratif oleh menteri ataupun sanksi yang berupa hukuman pidana penjara paling lama 1 ( satu ) tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- ( seratus juta rupiah ) dengan perincian sebagai berikut : a.
b.
Bagi pengusaha yang melanggar / tidak melaksanakan ketentuan pasal 76,81, 82, 83 & 84 diatur berdasarkan Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 akan dikenakan sanksi administratif oleh menteri. Bagi pengusaha yang melanggar / tidak melaksanakan pasal 76,81, 82, 83 & 84 diatur berdasarkan Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 yang berupa hukuman pidana penjara paling lama 1 ( satu ) tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- ( seratus juta rupiah ). Adapun sanksi administrasi terhadap pengusaha yang tidak
melaksanakan
kewajibannya ditegaskan atau diatur dalam pasal 190 ayat (2) , yaitu berupa : Teguran ; Peringatan tertulis ; Pembatasan kegitan usaha ; Pembekuan kegiatan usaha ; Pembatalan persetujuan ; Pembatalan pendaftaran ;Penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi ; dan Pencabutan izin. c.
Tuntutan Perdata Terhadap Pengusaha Yang Melakukan Pelanggaran Terhadap Ketentuan Pasal 76 Dan 82 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003. Dengan adanya ketentuan yang mengatur tentang perlindungan hukum bagi
tenaga kerja wanita sebagaimana diatur berdasarkan Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003, dengan sendirinya menimbulkan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan perlindungan hukum. Dengan adanya hak tenaga kerja wanita untuk memperoleh perlindungan hukum tersebut, maka tenaga kerja wanita ini dapat menuntut kepada pengusaha agar hak yang diperolehnya tersebut dapat dipenuhi oleh pengusaha.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Sukendar. Perlindungan Hukum …
142
Dengan kata lain, dapat dikemukakan bahwa apabila pengusaha telah melanggar hak tenaga kerja wanita dengan cara tidak memberikan terhadap tenaga kerja wanita berdasarkan Pasal 76,81, 82, 83 & 84 diatur berdasarkan Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003, tenaga kerja wanita tersebut dapat melakukan tuntutan ganti rugi kepada pengusaha yang bersangkutan. Dalam KUH Perdata, salah satu ketentuan yang mengatur masalah ganti rugi ini adalah Pasal 1243 yang berbunyi sebagai berikut : “Ganti kerugian karena tidak sepenuhnya suatu perikatan barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikan, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukan”. Dari ketentuan pasal 1243 KUH Perdata diatas diketahui bahwa ganti kerugian yang diatur dalam pasal ini adalah yang menyangkut masalah tidak dipenuhinya perikatan oleh salah satu pihak. Tidak dipenuhinya perikatan ini, dalam hukum perdata dikenal dengan istilah wanprestasi. Menurut R. Subekti, wanprestasi seorang debitur terdiri dari empat macam, yaitu: 1)
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan
2)
Melakukan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
3)
Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat
4)
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan Kalau diperhatikan mengenai unsur – unsur dari wanprestasi seperti yang
diuraikan diatas maka untuk adanya wanprestasi itu terlebih dahulu telah ada suatu perjanjian yang menimbulkan kewajiban bagi kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut. Apabila kewajiban tersebut tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, maka pihak tersebut dianggap telah melakukan wanprestasi, sehingga memberikan hak kepada orang lain untuk menuntut ganti rugi. Sehubungan dengan perlindungan hukum bagi tenaga kerja wanita ini, maka apabila jenis perlindungan tersebut telah dibuat dalam suatu perjanjian antara pengusaha dengan tenaga kerja wanita dan ternyata pengusaha tidak melaksanakannya bearti pengusaha tersebut dianggap telah melakukan wanprestasi sehingga
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
143
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
memberikan hak kepada tenaga kerja wanita tersebut untuk melakukan / menuntut ganti rugi kepada pengusaha yang bersangkutan. Sehubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini, yang dipermasalahkan adalah bukan kepada tenaga kerja wanita berdasarkan perjanjian antara pengusaha dengan tenaga kerja wanita yang bersangkutan, akan tetapi kewajiban pengusaha untuk memberikan perlindungan hukum kepada tenaga kerja wanita sebagaimana berdasarkan Pasal 76,81, 82, 83 & 84 diatur berdasarkan Undang– undang Nomor 13 Tahun 2003. Dengan demikian dapat diartikan bahwa apabila pengusaha tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan Pasal 76,81, 82, 83 & 84 diatur berdasarkan Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003, tidaklah relevan jika pengusaha tersebut dapat dituntut ganti rugi berdasarkan wanprestasi sebagaimana yang diatur dalam pasal 1243 KUH Perdata. Selain dari ketentuan tentang ganti rugi yang diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata, masalah ganti rugi kerugian ini juga diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut : “Tiap perbuatan yang melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang lain karena salahnya menerbitkan kerugian tersebut “. Sehubungan dengan tidak dilaksanakannya berdasarkan Pasal 76, 81, 82, 83 & 84 diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 oleh pengusaha apakah dapat dikategorikan bahwa pengusaha tersebut telah melakukan wanprestasi. Perbuatan melanggar hukum tidak hanya perbuatan yang melanggar undang – undang saja, tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat sendiri atau bertentangan dengan kesusilaan atau dengan kepatutan di dalam masyarakat baik terhadap diri sendiri maupun barang orang lain. Yang dimaksud perbuatan yang melanggar hukum itu adalah perbuatan yang : Bertentangan dengan undang – undang; Bertentangan dengan hak orang lain ; Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat ; dan Bertentangan dengan kesusilaan atau dengan kepatutan dalam masyarakat baik terhadap diri sendiri maupun barang orang lain. Karena perbuatan pengusaha yang tidak melaksanakan atau melanggar berdasarkan pasal 76,81, 82, 83 & 84 diatur berdasarkan undang – undang
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Sukendar. Perlindungan Hukum …
144
nomor 13 tahun 2003 dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum, maka dengan sendirinya ia dapat dituntut secara perdata agar memberikan ganti rugi kepada tenaga kerja wanita yang dirugikan berdasarkan ketentuan pasal 1365 KUH Perdata.
C.
Penutup Berdasarkan uraian pada bab – bab terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan
serta diberikan saran – saran sebagai berikut : Kesimpulan 1.
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dari penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk kesempatan kepada kaum wanita sehingga kaum wanita mempunyai kesempatan untuk berperan aktif dalam suatu proses pembangunan. Dengan perkataan lain, hak dan kewajiban wanita untuk mendapatkan pekerjaan telah dianggap sejajar dengan kaum pria.
2.
Namun demikian, sesuai dengan kodratnya sebagai wanita, maka perlindungan hukum terhadap kaum wanita dalam kedudukannya sebagai tenaga kerja, tidaklah dapat disamaratakan dengan kaum pria.untuk itu, maka diperlukan suatu aturan khusus yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap tenaga kerja wanita yang harus tertuang dalam suatu perjanjian kerja, yang harus ditaati oleh para pihak dan ada konsekuensi hokum apabila dilanggar, seperti sanksi administrasi atau sanksi yang berupa hukuman pidana penjara dan tuntutan ganti rugi berdasarkan wanprestasi sebagaimana yang diatur dalam pasal 1243 KUH Perdata.
Saran 1.
Agar Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 dapat dilaksanakan secara efektif, maka diharapkan Menteri Tenaga Kerja segera mengeluarkan peraturan pelaksanaan Undang – Undang tersebut.
2.
Diharapkan kepada aparat penegak hukum untuk dapat melaksanakan dengan tegas ketentuan tentang sanksi administratif dan pidana berdasarkan undang – undang no. 13 tahun 2003.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
145
Media Justitia Nusantara No. 7 Vol. 1 Februari 2014
DAFTAR PUSTAKA Arifin P. Soeria Atmadja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara, Gramedia, Jakarta, 1986 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009 zhary, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif Tentang UnsurUnsurnya, UI Press, Jakarta, 1995 Bagir Manan, Sistem Peradilan Beribawa ( suatu pencarian ). Fakultas Hukum UII.Press, Yogyakarta.2005 Gunawan Widjaya, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005 Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan Tahun 2003, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004 Sehat Damanik, Outsourcing & Perjanjian Kerja Menurut UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Sebagai Penuntun Untuk Merncxanakan Melaksnakan Bisnis Outsourcing & Perjanjian Kerja, DSS Publishing, Jkarta, 2006 Susanti Adi Nugroho, “ Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukuk serta Kendala Implementasinya “. Kencana, Jakarta. 2008 Tetti Samosir, Implementasi Penggunaan Hak Politik Permbpuan Melalui Lembaga Legislatif Dalam Mewujudkan Prinsip Persamaan Hak Berdasarkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, Disertasi, Univeristas Padjadjaran, Bandung, 2010 Perundang – Undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata/Burgerlijk Wetboek)
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4279).
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
Sukendar. Perlindungan Hukum …
146
Republik Indonesia. Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan ILO Convention mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan
Republik Indonesia. Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Republik Indonesia. Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan
Riwayat Penulis : Dr. Sukendar, SH.,MH. Lahir di Ciamis, 18 November 1959. Doktor dalam bidang Ilmu Hukum dari Universitas Padjadjaran Bandung. Dosen Tetap Prodi Magister Ilmu Hukum Pacasarjana Universitas Islam Nusantara.
PPs UNINUS Prodi Ilmu Hukum
PEDOMAN PENULISAN NASKAH
Jurnal Media Justitia Nusantara (MJN) merupakan jurnal yang sepenuhnya diperiksa oleh penyunting ahli PPS yang berkompeten di bidangnya. Redaksi menerima artikel ilmiah berupa hasil penelitian, gagasan, kajian, dan konsepsi dalam bidang ilmu hukum. Pengiriman naskah : 1.
Naskah dikirimkan dalam bentuk hard copy dengan dilengkapi file dalam bentuk compact disc (CD).
2.
Naskah tulisan asli, belum pernah dimuat di media lain, atau sedang dalam proses untuk dimuat di media lain. Untuk naskah yang pernah disampaikan dalam ceramah/diskusi/seminar harap disebutkan dalam catatan kaki.
3.
Seluruh naskah yang masuk ke redaksi akan diperiksa oleh penyunting ahli sesuai dengan bidang kajian naskah. Aspek yang diperiksa menyangkut kesahihan informasi, kontribusi substantif naskah terhadap bidang kajian, serta kualitas tulisan.
Ketentuan naskah : 1.
Naskah diketik dalam format MS.Word dengan kertas ukuran A4, spasi 1,5. Huruf Times New Roman ukuran 12 pt. Keseluruhan naskah antara 15 sampai paling banyak 20 halaman untuk artikel dan 20 sampai dengan 30 halaman untuk hasil penelitian disertai abstrak (maksimum 200 kata) dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Naskah diberi nomor halaman dengan angka latin.
2.
Naskah tulisan dapat ditulis dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris. Apabila menggunakan bahasa Indonesia hendaknya memperhatikan kaidah-kaidah yang baku, istilah-istilah asing ditulis dengan huruf miring pada kata tersebut.
3.
Naskah disusun dengan urutan : Judul, nama penulis (tanpa gelar), abstrak, dan kata kunci tidak lebih dari 5 kata. Isi mencangkup : Pendahuluan, pembahasan, penutup, dan daftar pustaka. Jika penulis lebih dari satu orang, nama penulis dicatumkan berurutan kebawah, dengan nama penulis utama dicantumkan di baris paling atas.
4.
Apabila dalam naskah ada keterangan, atau kutipan harus disebutkan sumbernya dan ditulis dalam catatan kaki (footnote).
5.
Daftar pustaka berisi pustaka yang dirujuk dalam tulisan saja. Pustaka dalam daftar pustaka diurutkan secara alfabetis berdasarkan nama penulis tanpa gelar. Penulis orang asing ditulis family name nya dahulu baru nama depan. Penulisan pustaka tanpa diberi nomor.
6.
Tata cara penulisan daftar pustaka : -
Untuk buku : Nama penulis, Judul Buku, Penerbit, Kota terbit, Tahun terbit.
-
Untuk jurnal /artikel/hasil seminar : Nama penulis, Judul artikel
Judul Jurnal , nomor terbitan, Kota terbit, Tahun terbit, nomor halaman.
-
Contoh : Ningrum Natasya Sirait, Perilaku Asosiasi Pelaku Usaha Dalam Konteks UU No. 5 /1999, Makalah, Jurnal Hukum Bisnis Vol.19, Yayasan pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, Juni 2002, hlm. 56-57
7.
Redaksi berhak memperbaiki tata bahasa dari naskah yang akan dimuat tanpa mengubah isi.
Diterbitkan Oleh Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Uninus