Vol. 7, No. 1, Hal 1 - 105, Februari 2015, ISSN 2085-1979
Penerapan Komunikasi Kesehatan Untuk Pencegahan Penyakit Leptospirosispada Masyarakat Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Sleman, Yogyakarta Endah Endrawati Penyingkapan Diri Ibas Yudhoyono Dalam Instagram Dan Reaksi Ani Yudhoyono Terhadap Postingan Instagram Ibas Suzy Azeharie dan Wulan Purnama Sari Representasi Kampanye Politik Pemilu 2014 Dalam Game (Analisis Semiotik Dalam Game Jokowi Go! Dan Game Prabowo The Asian Tiger) Janne Halim dan Widayatmoko Perbedaan Sikap Pemilih Pemula Antara Peserta Dan Bukan Peserta “Roadshow Pendidikan Pemilu” Almira Ditrya Kartikatantri, Centurion C. Priyatna, Hanny Hafiar Public Relations & Media Relations (Kritik Budaya Amplop Pada Media Relations Institusi Pendidikan Di Yogyakarta) Adhianty Nurjanah, Wulan Widyasari Dan Frizky Yulianti N Retorika Barack Hussein Obama Dan Susilo Bambang Yudhoyono Dalam Menanggapi Isu Isis Di Dunia Livia dan Soenarto Interpretasi Tagar #Savehajilulung Di Kalangan Netizen Pengguna Twitter H.H. Daniel Tamburian Komodifikasi Berita Dibalik Ideologi Ekonomi Politik Media (Studi Pada Program ‘Polemik‘ Di Radio Sindo Trijaya 104.6 Fm Jakarta) Dyah Rachmawati Sugiyanto
JURNAL KOMUNIKASI UNIVERSITAS TARUMANAGARA Volume 7, Nomor 1, Februari 2015
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara terbit 3 (tiga) kali setahun, diterbitkan oleh Program Studi S.1 Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara, Jakarta. Penanggung Jawab : Dr. Eko Harry Susanto, M.Si Penyunting Kehormatan (Mitra Bestari) Prof. Sasa Djuarsa Sendjaja, MA, Ph.D (Universitas Indonesia) Hermin Indah Wahyuni, Ph.D (Universitas Gajah Mada) Dr. Puji Lestari, S.I.P.,M.Si (Univeritas UPN Veteran Yogyakarta) Dr. Adi Nugroho, M.Si (Universitas Diponegoro) Dr. Suprawoto, SH, M.Si (KEMKOMINFO) Wina Armada Sukardi, SH, MBA Ketua Penyunting Drs. Widayatmoko, MM Wakil Ketua Penyunting Dr.(Can) Riris Loisa, M.Si Anggota Penyunting Drs. Suherman Kusniadji, MM, M.I.Kom Dra. Suzy S Azeharie, MA., M.Phil Ahmad Junaidi, S.S., M.Si Sinta Paramita, S.I.P., M.A Sekretariat Administrasi Ady Sulistyo Purwanti Alamat Jl. Letjen. S Parman No.1 Gedung Utama Lantai 11. Jakarta Barat 11440 Telepon : 021-56960586, Fax : 021-56960584 Hp : 081 8653 538 email :
[email protected] Website : http://journal.tarumanagara.ac.id/index.php/FIKOM
Vol. 7, No. 1, Hal 1 - 105, Februari 2015, ISSN 2085-1979
Penerapan Komunikasi Kesehatan Untuk Pencegahan Penyakit Leptospirosispada Masyarakat Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Sleman, Yogyakarta Endah Endrawati Penyingkapan Diri Ibas Yudhoyono Dalam Instagram Dan Reaksi Ani Yudhoyono Terhadap Postingan Instagram Ibas Suzy Azeharie dan Wulan Purnama Sari Representasi Kampanye Politik Pemilu 2014 Dalam Game (Analisis Semiotik Dalam Game Jokowi Go! Dan Game Prabowo The Asian Tiger) Janne Halim dan Widayatmoko Perbedaan Sikap Pemilih Pemula Antara Peserta Dan Bukan Peserta “Roadshow Pendidikan Pemilu” Almira Ditrya Kartikatantri, Centurion C. Priyatna, Hanny Hafiar Public Relations & Media Relations (Kritik Budaya Amplop Pada Media Relations Institusi Pendidikan Di Yogyakarta) Adhianty Nurjanah, Wulan Widyasari Dan Frizky Yulianti N Retorika Barack Hussein Obama Dan Susilo Bambang Yudhoyono Dalam Menanggapi Isu Isis Di Dunia Livia dan Soenarto Interpretasi Tagar #Savehajilulung Di Kalangan Netizen Pengguna Twitter H.H. Daniel Tamburian Komodifikasi Berita Dibalik Ideologi Ekonomi Politik Media (Studi Pada Program ‘Polemik‘ Di Radio Sindo Trijaya 104.6 Fm Jakarta) Dyah Rachmawati Sugiyanto
DAFTAR ISI
Penerapan Komunikasi Kesehatan Untuk Pencegahan Penyakit Leptospirosispada Masyarakat Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Sleman, Yogyakarta Endah Endrawati ……..……………………………………………………………
1-22
Penyingkapan Diri Ibas Yudhoyono Dalam Instagram Dan Reaksi Ani Yudhoyono Terhadap Postingan Instagram Ibas Suzy Azeharie dan Wulan Purnama Sari …………………..………………...….
23-31
Representasi Kampanye Politik Pemilu 2014 Dalam Game (Analisis Semiotik Dalam Game Jokowi Go! Dan Game Prabowo The Asian Tiger) Janne Halim dan Widayatmoko,.……..……………………………………………
32-40
Perbedaan Sikap Pemilih Pemula Antara Peserta Dan Bukan Peserta “Roadshow Pendidikan Pemilu” Almira Ditrya Kartikatantri, Centurion C. Priyatna, Hanny Hafiar .....................
41-54
Public Relations & Media Relations (Kritik Budaya Amplop Pada Media Relations Institusi Pendidikan Di Yogyakarta) Adhianty Nurjanah, Wulan Widyasari Dan Frizky Yulianti N……………………
55-68
Retorika Barack Hussein Obama Dan Susilo Bambang Yudhoyono Dalam Menanggapi Isu Isis Di Dunia Livia dan Soenarto .......................…................................................................
69-78
Interpretasi Tagar #Savehajilulung Di Kalangan Netizen Pengguna Twitter H.H. Daniel Tamburian……………………………………………………………..
79-93
Komodifikasi Berita Dibalik Ideologi Ekonomi Politik Media (Studi Pada Program ‘Polemik‘ Di Radio Sindo Trijaya 104.6 FM Jakarta) Dyah Rachmawati Sugiyanto ………………………………………..…..............
94-105
Endah indrawati: Penerapan Komunikasi Kesehatan Untuk Pencegahan Penyakit Leptospirosis pada Masyarakat Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Sleman, Yogyakarta
PENERAPAN KOMUNIKASI KESEHATAN UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT LEPTOSPIROSISPADA MASYARAKAT DESA SUMBERAGUNG, KECAMATAN MOYUDAN, SLEMAN, YOGYAKARTA Endah Endrawati Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada Yogkarta Email:
[email protected] Abstract Health communication is used as prevention of disease transmission Moyudan leptospirosis in the District, Sleman, Yogyakarta. Leptospirosis is a disease caused by rats urine contaminated with bacteria leptospira, the disease is contagious and deadly. The problem is that until now the District community Moyudan not know ways to prevent the spread of leptospirosis disease transmission. Researchers chose the practice of health communication application which was held in the village Sumberagung, Moyudan subdistrict, Sleman, Yogyakarta Special Province for the prevention of disease leptospirosis. By taking this case, the application of health communication can be analyzed. Patterns and strategies that can be applied to a reference to see the implementation of health communication at lain.Metode case study is a descriptive case study method. Object of research is the application of health communication practices for the prevention of leptospirosis were performed in village Sumberagung, Moyudan subdistrict, Sleman, Yogyakarta. The results showed that the application of health communication is influenced by three aspects, namely input, process and output. Health communication that do prove to bring about change in knowledge, attitudes and behavior in response to leptospirosis. Keywords: Health Communication, Health Communication Application, Leptospirosis. Abstrak Komunikasi kesehatan adalah suatu proses penyampaian informasi kesehatan untuk mendorong perubahan perilaku individu maupun kelompok guna meningkatkan derajat kesehatan. Komunikasi kesehatan digunakan sebagai upaya pencegahan penularan penyakit leptospirosis di Kecamatan Moyudan, Sleman, Yogyakarta. Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh urin hewan tikus yang tercemar bakteri leptospira, penyakit ini bersifat menular dan mematikan. Permasalahannya adalah hingga kini masyarakat Kecamatan Moyudan belum tahu cara-cara untuk mencegah penyebaran penularan penyakit leptospirosis. Peneliti memilih praktek penerapan komunikasi kesehatan yang diselenggarakan di Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk pencegahan penyakit leptospirosis. Dengan mengambil contoh kasus ini, penerapan komunikasi kesehatan dapat dianalisis. Pola-pola dan strategi yang diterapkan dapat menjadi referensi untuk melihat penerapan komunikasi kesehatan pada kasus lain. Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus deskriptif. Obyek penelitiannya adalah praktek penerapan komunikasi kesehatan untuk pencegahan penularan leptospirosis yangdilakukan di Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan komunikasi kesehatan dipengaruhi oleh tiga aspek yaitu input, proses dan output. Komunikasi kesehatan yang dilakukan terbukti membawa perubahan pada pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam menanggapi penyakit leptospirosis. Kata kunci: Komunikasi Kesehatan, Penerapan Komunikasi Kesehatan, Leptospirosi
1
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 1 – 22
ISSN 2085-1979
Pendahuluan Leptospirosis merupakan penyakit menular akut yang disebabkan oleh infeksi bakteri leptospira yang menyerang hewan dan manusia (zoonosis). Bakteri ini berbentuk spiral dan dapat hidup di dalam air tawar selama kurang lebih satu bulan. Penelitian pertama tentang leptospirosis dilakukan oleh Adolf Weil pada tahun 1886. Dari penelitian tersebut, dilaporkan bahwa penyakit ini menyerang manusia dengan gejala demam, ikterus, pembesaran hati dan limpa, serta kerusakan ginjal. Gejala klinis penyakit ini mirip dengan penyakit infeksi lainnya seperti influensa, meningitis, hepatitis, demam dengue, demam berdarah dengue dan demam virus lainnya, sehingga seringkali tidak terdiagnosis. Leptospirosis dapat mematikan jika memasuki tahap komplikasi karena bisa menyebabkan gagal ginjal dan kerusakan pada lever. Saat ini leptospirosis merupakan zoonosis yang paling tersebar luas di dunia. Tidak hanya di negara berkembang, penyebaran penyakit ini juga terjadi pada negara maju, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Di Indonesia menurut Widoyono (2008) penyebaran leptospirosis terjadi di Pulau Jawa, Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat. Kejadian Luar Biasa (KLB) yang pernah tercatat terjadi di Riau (1986), Jakarta (2002), Bekasi (2002) dan Semarang (2003). Salah satu upaya dalam menanggulangi penyebaran penyakit leptospirosis adalah dengan cara melakukan komunikasi kesehatan kepada masyarakat tentang penyakit ini. Healthy People 2010 mendefinisikan komunikasi kesehatan sebagai seni dan teknik-teknik yang digunakan untuk menginformasikan, memengaruhi, dan memotivasi individu, institusi serta masyarakat tentang isu-isu penting di bidang kesehatan (U.S. Department of Health and Human Services, 2005). Tujuan dari komunikasi kesehatan ini adalah agar masyarakat, kelompok atau individu dapat mengetahui informasi penting seputar masalah kesehatan dan merubah perilaku mereka agar sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Komunikasi kesehatan memiliki manfaat yang sangat besar baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Bagi individu, komunikasi kesehatan dapat membantu menambah pengetahuan akan kesehatan, membangkitkan motivasi untuk meningkatkan kewaspadaan akan kesehatan. Bagi masyarakat, komunikasi kesehatan dapat menjadikan kesehatan sebagai isu dan topik yang penting sehingga dinamika akan informasi kesehatan dapat berkembang lebih cepat. Wabah leptospirosis pernah terjadi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Tepatnya pada tahun 2008, leptospirosis menyerang warga di beberapa desa di Kecamatan Moyudan, Sleman. Hal ini sempat menjadi ancaman dan mendapat perhatian serius dari Pemerintah Kabupaten Sleman, bahkan saat itu pemerintah setempat menyatakan Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk kasus leptospirosis. Menurut Harian Kedaulatan Rakyat (2008) hingga bulan September 2008 sudah ditemukan 19 kasus dengan tiga orang meninggal. Leptopirosis menyerang tiga desa di Kecamatan Moyudan, yaitu Desa Sumberarum dengan empat kasus, Desa Sumberagung, delapan kasus, dan Desa Sumbersari satu kasus. Sementara wilayah lain yang juga mengalami serangan antara lain Desa Sendangmulyo Minggir dua kasus, Desa Sendangagung Minggir tiga kasus, Desa Pondokrejo Tempel satu kasus dan Desa Sidorejo Godean satu kasus. Lokasi yang menjadi endemi dari kasus ini adalah Desa Sumberagung, Moyudan, di mana terdapat delapan kasus leptospirosis. Berdasarkan gambaran tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan penerapan komunikasi kesehatan untuk pencegahan penularan penyakit leptospirosis pada masyarakat Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Sleman, YogyakartaPertanyaan riset untuk penelitian ini adalah: “Bagaimanakah penerapan komunikasi kesehatan untuk pencegahan penularan 2
Endah indrawati: Penerapan Komunikasi Kesehatan Untuk Pencegahan Penyakit Leptospirosis pada Masyarakat Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Sleman, Yogyakarta
penyakit leptospirosis pada masyarakat Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Sleman, Yogyakarta tahun 2008 ?”. Komunikasi kesehatan merupakan upaya sistemastis yang secara positif memengaruhi praktik-praktik kesehatan populasi-populasi besar. Sasaran utama komunikasi kesehatan adalah melakukan perbaikan kesehatan yang berkaitan dengan praktik dan pada gilirannya. Seperti telah disinggung sebelumnya, komunikasi kesehatan berperan dalam upaya pencegahan penularan suatu penyakit. Pada bagian ini akan diulas mengenai seluk beluk komunikasi kesehatan serta posisi komunikasi kesehatan dalam ranah ilmu komunikasi. Penelitian pada komunikasi kesehatan akan dipengaruhi oleh teori-teori, cara pandang dan berbagai hal dalam komunikasi kesehatan yang memiliki relevansi dalam upaya pencegahan penularan leptospirosis. Komunikasi kesehatan Saat ini komunikasi kesehatan merupakan hal penting yang sedang berkembang dan semakin meningkat di bidang kesehatan masyarakat, baik pada sektor komersial maupun nirlaba. Oleh karena itu, sejumlah penulis dan organisasi berusaha mendefinisikannya secara tepat dari waktu ke waktu. Berbagai pengertian mengenai komunikasi kesehatan telah dikemukakan, dan di antaranya mungkin saja terdapat beberapa perbedaan. Hal ini disebabkan karena komunikasi kesehatan pada dasarnya dapat diaplikasikan dalam beberapa hal, oleh sebab itu pengertian komunikasi kesehatan akan berbeda sesuai dengan konteks yang mengikutinya. Namun, hal ini tentu tidak menjadi masalah besar, karena ketika para pakar mencoba menelaah tentang komunikasi kesehatan, poin penting yang menjadi landasannya adalah bahwa komunikasi kesehatan dapat digunakan untuk memengaruhi dan mendukung individu, komunitas, pekerja medis, pembuat keputusan, serta kelompok-kelompok lain guna menerapkan perilaku atau aturan yang pada akhirnya akan meningkatkan derajat kesehatan. Bicara mengenai komunikasi kesehatan tentu tak lepas dari keterkaitannya dengan konsep komunikasi. Untuk dapat memahami komunikasi kesehatan, terlebih dahulu diperlukan pendefinisian yang tepat tentang arti kata komunikasi. Kata komunikasi menurut Encarta Dictionary: English, North Amerika mengandung beberapa hal (Schiavo, 2007). Pertama, proses pertukaran informasi antara individu, misalnya dengan berbicara, menulis, atau melalui simbol-simbol tertentu. Kedua, pesan. Ketiga, tindakan komunikasi. Keempat, adanya kesamaan makna dan simpati. Kelima, saluran komunikasi atau penghubung. Salah satu peran penting komunikasi adalah menciptakan suatu situasi atau keadaan yang dapat dengan mudah menerima gagasan baru sehingga informasi-informasi penting bisa disebarkan, dimengerti, diserap, serta didiskusikan dalam sebuah program yang sedang direncanakan. Untuk menciptakan suasana seperti itu, tentu saja memerlukan adanya pemahaman yang mendalam tentang target audiens yang ingin dicapai. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain seputar kebutuhan, kepercayaan, larangan, perilaku, dan gaya hidup serta norma-norma sosial yang menjadi pedoman komunikasi pada masyarakat tertentu. Pengertian di atas setidaknya dapat digunakan sebagai modal dalam merancang program-program komunikasi kesehatan. Hal yang mendasar dari komunikasi adalah adanya pertukaran informasi, oleh karena itu komunikasi kesehatan seharusnya juga mengandung unsur pertukaran informasi dua arah yang menggunakan saluran umum. Selain itu, komunikasi kesehatan haruslah mudah diakses dan pada akhirnya dapat menciptakan kesamaan pengertian makna di antara anggota tim komunikasi atau target yang ingin dicapai oleh sebuah program komunikasi kesehatan. Terakhir, hal yang penting dan harus diperhatikan adalah penggunaan saluran komunikasi yang efektif, seperti media massa. Salah satu isu utama dalam komunikasi kesehatan adalah memengaruhi individu dan komunitas. Tujuannya meningkatkan derajat kesehatan dengan cara berbagi informasi seputar kesehatan. Centers for Disease Control and Prevention 3
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 1 – 22
ISSN 2085-1979
mendefinisikan komunikasi kesehatan sebagai studi mengenai penggunaan strategi komunikasi untuk menginformasikan dan memengaruhi keputusan individu atau kelompok guna meningkatkan kesehatan (Schiavo, 2007). Kata memengaruhi juga tertuang dalam pengertian komunikasi kesehatan menurut Healthy People 2010, yaitu seni dan teknik-teknik yang digunakan untuk menginformasikan, memengaruhi dan memotivasi individu, institusi, serta masyarakat tentang isu-isu penting di bidang kesehatan dalam meningkatkan kualitas kesehatan. Hal ini menjelaskan bahwa komunikasi kesehatan semakin diakui sebagai unsur yang diperlukan dalam upaya untuk meningkatkan kesehatan pribadi dan publik. Komunikasi kesehatan memberi kontribusi terhadap semua aspek yang berkaitan dengan pencegahan penyakit dan promosi kesehatan, termasuk juga dalam beberapa konteks yang lain, seperti (1) hubungan kesehatan antara pasien-pekerja medis, (2) panduan individu dalam pencarian serta penggunaan informasi kesehatan, (3) panduan individu untuk mematuhi rekomendasi klinis, (4) menyelanggarakan kampanye kesehatan masyarakat (5) penyebaran informasi mengenai risiko-risiko kesehatan bagi penduduk, (6) penggambaran kondisi kesehatan dalam media massa dan budaya pada umumnya, (7) pendidikan bagi konsumen tentang cara untuk mendapatkan akses kesehatan masyarakat dan sistem perawatan kesehatan dan (8) pengembangan alatalat komunikasi kesehatan mutakhir. Komunikasi kesehatan menurut Notoatmodjo (2007) merupakan usaha yang sistemastis untuk memengaruhi secara positif perilaku kesehatan masyarakat dengan menggunakan berbagai prinsip dan metode komunikasi, baik menggunakan komunikasi interpersonal, maupun komunikasi massa. Tujuan utama komunikasi kesehatan adalah perubahan perilaku kesehatan masyarakat yang selanjutnya akan berpengaruh pula kepada meningkatnya derajat kesehatan masyarakat. Guna menyukseskan kesehatan masyarakat, pemanfaatan jasa komunikasi kesehatan memang harus ditingkatkan. Semua analisis mengenai upaya meningkatkan kualitas hidup manusia harus mengikutsertakan peranan ilmu komunikasi, terutama strategi komunikasi, dengan tujuan menyebarluaskan informasi yang dapat memengaruhi individu dan komunitas masyarakat agar dapat membuat keputusan yang tepat demi memelihara kesehatan mereka. Demi menjawab tantangan kesehatan masyarakat dunia dalam upaya meningkatkan kualitas kesehatan, sejak tahun 1982 pemerintah Indonesia telah menyusun suatu tatanan atau program menyeluruh untuk bidang kesehatan, yang dikenal sebagai Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Sistem ini merupakan sub sistem dari suatu sistem pembangunan nasional yang sifatnya menyeluruh. Dengan tidak seimbangnya biaya bidang kesehatan yang tersedia dibandingkan dengan banyaknya masalah yang harus diatasi, maka dalam SKN dicantumkan penentuan prioritas serta perlunya peranan masyarakat dan pihak swasta Tujuan dan sasaran SKN mencangkup: (1) peningkatan kemampuan masyarakat, yaitu menolong diri sendiri dalam menghadapai masalah kesehatan yang sering dijumpai sehari-hari; (2) peningkatan mutu lingkungan hidup; (3) peningkatan status gizi masyarakat; (4) pengurangan kejadian morbiditas dan mortalitas; dan (5) pengembangan keluarga sejahtera (Liliweri, 2009). Dari uraian di atas disebutkan bahwa unsur kemandirian harus terdapat dalam konteks peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Kemandirian yang dimaksud disini adalah adanya upaya dari masing-masing warga masyarakat untuk segera keluar dari masalah kesehatan yang sedang mereka hadapai tanpa harus menunggu pertolongan dari pihak lain. Teori-teori dalam komunikasi kesehatan, merupakan satu kajian yang dipengaruhi olehberbagai disiplin ilmu dan teori yang dalam pendekatan ilmu memiliki arti yang sangat penting. Dalam komunikasi kesehatan, pemahaman yang 4
Endah indrawati: Penerapan Komunikasi Kesehatan Untuk Pencegahan Penyakit Leptospirosis pada Masyarakat Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Sleman, Yogyakarta
baik tentang teori dapat membantu penentuan strategi komunikasi kesehatan yang tepat terhadap suatu masalah kesehatan. Selain itu, penerapan teori juga dapat membimbing peneliti di bidang komunikasi kesehatan dalam melakukan riset komunikasi, program-program pencarian donatur, menganalisis program yang telah dilangsungkan dan mengevaluasi hasil serta pengaruh dari program kesehatan terdahulu. Teori juga dapat menentukan hal-hal yang tepat untuk merancang sebuah program komunikasi kesehatan yang nantinya akan berdampak pada perubahan sosial dan perilaku yang bersifat positif. Sejumlah ahli telah menjabarkan teori-teori di bidang komunikasi kesehatan. Salah satunya ditulis Judith A. Graeff dan kawan-kawan dalam buku Komunikasi Untuk Kesehatan dan Perubahan Perilaku (1996). Sebagian dari teori yang dikemukaan ada yang disebut sebagai model. Model merupakan bentuk penyederhanaan dari teori. Di antara berbagai teori dan model perilaku kesehatan, yang saat ini menonjol di bidang promosi dan komunikasi kesehatan, menurut Graeff, adalah Model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model), Teori Komunikasi untuk Persuasi (Communication for Persuation Theory), Teori Aksi Beralasan (Theory of Reasoned Action), Model Transteoritik (Transtheoretical Model), Precede-Proceed Model, Model Difusi Inovasi (Diffusions of Inovation Model), Teori Pemahaman Sosial (Social Learning Theory) dan Analisis Perilaku Terapan (Applied Behaviour Theory). 1) Model kepercayaan kesehatan (health belief model) Rosenstock mengatakan model kepercayaan kesehatan sangat dekat dengan bidang pendidikan kesehatan. Dalam model ini dijelaskan bahwa perilaku kesehatan merupakan fungsi dari pengetahuan maupun sikap. Secara khusus model ini menegaskan bahwa persepsi seseorang tentang kerentaan dan kemujaraban pengobatan dapat memengaruhi keputusan seseorang dalam perilaku-perilaku kesehatannya. Sementara itu, model kepercayaan yang diungkapkan oleh Becker menyebutkan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh beberapa hal, antara lain percaya bahwa mereka rentan terhadap masalah kesehatan tertentu, menganggap masalah ini serius, meyakini efektivitas tujuan pengobatan dan pencegahan, tidak mahal, serta menerima anjuran untuk mengambil tindakan. Konsep dasar dari model kepercayaan kesehatan ditujukan untuk menjelaskan alasan-alasan orang-orang tidak berpartisipasi dalam program yang dapat membantu mereka mendiagnosa atau mencegah suatu penyakit (National Cancer Institute dan National Institutes of Health, 2002). Asumsi utama dari model ini adalah agar masyarakat terlibat dalam perilaku sehat maka terlebih dulu masyarakat yang dituju oleh sebuah program kesehatan harus sadar akan risiko timbulnya penyakit yang parah atau mematikan dan melihat bahwa keuntungan dari perubahan perilaku lebih penting dari hambatan potensi atau aspek-aspek negatif. (Schiavo, 2007) menjelaskan komponen-komponen kunci dalam model kepercayaan kesehatan: a) Rasa kepekaan: kesadaran individu tentang risiko terjangkit oleh penyakit yang spesifik atau memiliki masalah kesehatan. b) Rasa keburukan: perasaaan subjektif akan suatu penyakit yang spesifik atau masalah kesehatan dapat menjadi buruk (contoh, cacat fisik permanen atau cacat mental) atau membahayakan nyawa dan karena itu patut untuk diberi perhatian yang lebih. c) Rasa keuntungan: persepsi individu terhadap keuntungan dari mengadopsi aksi yang direkomendasikan yang pada akhirnya dapat mengurangi risiko suatu penyakit yang memburuk, tidak wajar, dan mematikan. 5
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 1 – 22
ISSN 2085-1979
d) Rasa keterbatasan: persepsi individu atas biaya dan hambatan untuk mengadopsi aksi yang direkomendasikan (termasuk biaya ekonomi seperti hal-hal lainnya dalam pengorbanan gaya hidup). e) Isyarat untuk bertindak: peristiwa sosial yang dapat mengingatkan pentingnya untuk mengambil suatu tindakan (contoh, tetangga yang terdiagnosa oleh penyakit yang sama atau kampanye media massa). f) Kemampuan diri sendiri: kepercayaan diri individu terhadap kemampuannya untuk menampilkan dan memertahankan perilaku yang direkomendasikan dengan sedikit atau tidak mendapat bantuan sama sekali dari orang lain. Pechmann menunjukkan model kepercayaan kesehatan sebagai model risiko pembelajaran karena tujuannya adalah untuk mengajarkan informasi baru tentang risiko kesehatan dan perilaku yang dapat meminimilasi risiko-risiko tersebut. Seluruh pernyataan yang mendasari model kepercayaan kesehatan adalah bahwa pengetahuan akan membawa perubahan. Sementara itu Andreasen menyebut pengetahuan ini ditujukan kepada target masyarakat melalui pendekatan pendidikan yang pada utamanya memfokuskan kepada pesan, saluran dan juru bicara (Schiavo, 2007). Kontribusi utama dari model kepercayaan kesehatan terhadap bidang komunikasi kesehatan adalah penekanannya terhadap pentingnya pengetahuan dan kebutuhan, bukan langkah-langkah yang harus diambil untuk melakukan perubahan. Namun demikian, setelah dilakukan pengamatan terhadap model ini, ternyata model kepercayaan kesehatan memiliki sejumlah kelemahan. Sejumlah ahli menyadari bahwa model kepercayaan kesehatan tidak memerkirakan atau menerapkan strategi untuk perubahan. 2)
Teori komunikasi untuk persuasi (communication for persuation theory)
Dikatakan oleh McGuire teori komunikasi untuk persuasi menegaskan bahwa komunikasi dapat dipergunakan untuk mengubah sikap dan perilaku kesehatan yang secara langsung terkait dalam rantai kausal yang sama (Graeff, 1996). Efektivitas upaya komunikasi yang diberikan bergantung pada berbagai input (stimulus) serta output (tanggapan terhadap stimulus). Menurut teori ini, perubahan pengetahuan dan sikap merupakan prakondisi bagi perubahan perilaku kesehatan dan perilaku-perilaku yang lain. Variabel-variabel input meliputi: sumber pesan, pesan itu sendiri, saluran penyampai, dan karakteristik penerima dan tujuan pesan-pesan tersebut. Variabelvariabel output merujuk pada perubahan dalam faktor-faktor kognitif tertentu, seperti pengetahuan, sikap, pembuatan keputusan dan juga perilaku-perilaku yang dapat diobservasi. Saat ini fokus komunikasi kesehatan ditujukan lebih untuk menarik perhatian khalayak daripada membujuk mereka, dengan mempertimbangkan langkah-langkah persuasi McGuire yang dituangkan dalam teori ini dapat memberikan kerangka yang valid untuk mendekati donatur atau stakeholder untuk menarik minat mereka agar mau terlibat dalam sebuah program kesehatan. Namun teori ini perlu juga memperhatikan perihal karateristik dan kebutuhan khalayak yang dapat berubah dari waktu ke waktu. Hal ini mengharuskan komunikator untuk memasukkan perubahanperubahan dalam desain dan pengiriman pesan serta merekomendasikan perilakuperilaku yang sesuai dengan gaya hidup dan kebutuhan masyarakat (Graeff, 1996). 3)
Teori aksi beralasan (theory of reasoned action)
Teori aksi beralasan menegaskan peran dari niat seseorang dalam menentukan apakah sebuah perilaku akan terjadi. Hal ini dikemukakan oleh dua ahli komunikasi 6
Endah indrawati: Penerapan Komunikasi Kesehatan Untuk Pencegahan Penyakit Leptospirosis pada Masyarakat Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Sleman, Yogyakarta
Fishben dan Ajzen. Teori ini secara tidak langsung menyatakan bahwa perilaku pada umumnya mengikuti niat dan tidak akan pernah terjadi tanpa niat. Niat-niat seseorang juga dipengaruhi oleh sikap-sikap terhadap perilaku, seperti apakah ia merasa suatu perilaku itu penting. Teori ini juga menegaskan sifat “normatif” yang mungkin dimiliki orang-orang: mereka berpikir tentang apa yang akan dilakukan orang lain – (terutama, orang-orang yang berpengaruh di dalam kelompok) pada suatu situasi yang sama. Theory of reasoned action (TRA) merupakan salah satu teori yang paling penting dalam komunikasi kesehatan. TRA juga sering digunakan dalam mengevaluasi program-program kesehatan. Namun salah satu kekurangan teori ini adalah kurang hati-hati dalam menyimpulkan bahwa tujuan mengadopsi perilaku tertentu selalu menerjemahkan kinerja perilaku aktual. Komunikasi dapat memainkan peran penting dalam mendukung niat perilaku dan meningkatkan kemungkinan sampel datanya bahwa mereka akan menjadi perilaku aktual. Pernyataan ini memerlukan pengembangan alat-alat yang memadai guna memfasilitasi dan memudahkan orang untuk mencoba, mengadopsi dan mengintegrasikan perilaku kesehatan baru dalam gaya hidup mereka. TRA sangat berguna dalam menganalisis dan mengidentifikasi alasan untuk aksi dan pesan yang dapat mengubah sikap masyarakat. 4)
Model transtoeritik
Model transteoritik (atau “model bertahap”, “stages of change”), sesuai namanya, menerangkan dan mengukur perilaku kesehatan dengan tidak bergantung pada perangkat teoritik tertentu. Prochaska dan kawan-kawan mula-mula bermaksud menjelaskan proses apa yang terjadi bila peminum alkohol berhenti minum alkohol dan juga terhadap proses dalam berhenti merokok. Penelitian ini mengidentifikasi empat tahap independen: prakontemplasi, kontemplasi, aksi dan pemeliharaan. “Prakontemplasi” mengacu kepada tahap bila seseorang belum memikirkan sebuah perilaku sama sekali, orang itu belum bermaksud mengubah suatu perilaku. Dalam tahap “kontemplasi”, seseorang benar-benar memikirkan suatu perilaku, namun masih belum siap untuk melakukannya. Tahap “aksi” mengacu kepada keadaan bila orang telah melakukan perubahan perilaku, sedangkan “pemeliharaan” merupakan pengentalan jangka panjang dari perubahan yang telah terjadi. Dalam tahap aksi ataupun pemeliharaan, “kekambuhan” dapat terjadi, yaitu individu kembali pada pola perilaku sebelum tahap “aksi” (Graeff, 1996). Sebagai contoh seorang ibu rumah tangga yang memikirkan dan menimbang keuntungan cara hidup lebih sehat serta lingkungan yang lebih estestis dengan faktor kerugian berupa berkurangnya waktu untuk mengurus anak-anaknya ditambah lagi dengan harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli disinfektan. Apabila hasil “penimbangan keputusan” ini berpihak pada pertimbangan higien, maka hal tersebut berada pada tahap aksi. Dalam keadaan seperti ini, model Transteoritik sejalan dengan teori-teori rasional atau teori-teori pembuat keputusan dan teori ekonomi yang lain, terutama dalam mendasarkan diri pada proses-proses kognitif untuk menjelaskan perubahan perilaku. 5)
Precede-proceed model
Selama lebih dari satu dasawarsa terakhir, Lawrence Green dan rekanrekannya mengembangkan precede-proceed model, yang sekarang ini terkenal untuk merencanakan program-program pendidikan kesehatan. Meskipun model ini mendasarkan diri pada model kepercayaan kesehatan dan sistem-sistem konseptual 7
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 1 – 22
ISSN 2085-1979
lain, model precede merupakan “model” sejati, yang lebih mengarah kepada upayaupaya pragmatik mengubah perilaku kesehatan daripada sekadar upaya pengembangan teori. Green dan rekan-rekan menganalisis kebutuhan kesehatan komunitas dengan cara menetapkan lima “diagnosis” yang berbeda, yaitu; diagonis sosial, diagnosis epidomiologi, diagnosis perilaku, diagnosis pendidikan dan diagnosis adminitrasi atau kebijakan. Dengan model ini, perencana kesehatan menghindarkan diri dari tindakan “menyalahkan korban”, yang sering menyertai upaya-upaya yang mengarah kepada penilaian serta evaluasi kebutuhan secara individual. Sebagai gantinya perencana kesehatan menjaga untuk tetap mengarahkan upaya-upaya di tingkat komunitas. Paling sedikit, baik diagnosis pendidikan maupun perilaku, keduanya menekankan pada hubungan antara perilaku dan lingkungannya. Sesuai dengan perspektif perilaku, fase diagnosis pendidikan model precede memberi penekanan pada faktor-faktor “pradisposisi”, “pemberdayaan” dan “penguatan” (Graeff, 1996). Kelebihan model ini adalah sangat sesuai dengan pemikiran terkini dan memperkuat alasan mengenai pentingnya mempertimbangkan individu sebagai bagian dari lingkungan sosial. Model ini juga mendukung gagasan pemberdayaan individu dan pengembangan kapasitas baik pada tingkat individu dan masyarakat, yang merupakan salah satu komponen paling penting dari perilaku yang berkelanjutan dan perubahan sosial. 6)
Model difusi inovasi (diffusions of inovation models)
Rogers dan Shoemaker menjelaskan model difusi inovasi sebagai model yang menegaskan peran agen-agen perubahan dalam lingkungan sosial, oleh karena itu mengambil fokus yang agak terpisah dari individu sasaran utama (Graeff, 1996). Secara relatif, tetangga, petugas kesehatan atau agen perubahan yang lain ikut membantu menghasilkan perubahan perilaku dengan cara-cara tertentu, misalnya dengan cara meningkatkan kebutuhan akan perubahan, membangun hubungan interpersonal yang diperlukan, mengidentifikasi masalah serta penyebabpenyebabnya, menetapkan sasaran dan jalan keluar yang potensial, memotivasi seseorang supaya menerima dan memelihara aksi, dan memutuskan jalinan yang mengembalikan seseorang pada perilaku lama. Model ini sangat cocok digunakan dalam menyusun sebuah program komunikasi kesehatan. Tujuan komunikasi adalah tercapainya suatu pemahaman bersama (mutual understanding) antara dua atau lebih partisipan komunikasi terhadap suatu pesan (dalam hal ini adalah ide baru) melalui saluran komunikasi tertentu. Dalam komunikasi inovasi, proses komunikasi antara (misalnya petugas kesehatan dan masyarakat) tidak hanya berhenti jika petugas kesehatan telah menyampaikan inovasi atau jika sasaran telah menerima pesan tentang inovasi yang disampaikan petugas. Namun seringkali (seharusnya) komunikasi baru berhenti jika sasaran (masyarakat) telah memberikan tanggapan seperti yang dikehendaki petugas kesehatan yaitu berupa menerima atau menolak inovasi tersebut. 7)
Teori pemahaman sosial (social learning theory)
Teori pemahaman sosial menekankan pada hubungan segitiga antara “orang” (menyangkut proses-proses kognitif), perilaku dan lingkungan dalam suatu proses “deterministik resiprokal” (atau “kausalitas resiprokal”). Dikemukakan oleh Bandura dan Rotter mengenai teori ini, kalau lingkungan menentukan atau menyebabkan terjadi perilaku kebanyakan, maka seorang individu menggunakan proses kognitifnya untuk menginterpresentasikan lingkungan maupun perilaku yang dijalankannya, serta 8
Endah indrawati: Penerapan Komunikasi Kesehatan Untuk Pencegahan Penyakit Leptospirosis pada Masyarakat Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Sleman, Yogyakarta
memberikan reaksi dengan cara mengubah lingkungan dan menerima hasil perilaku yang lebih baik. Oleh karena itu teori pemahaman sosial menjembatani jurang pemisah antara model-model kognitif, atau model-model yang berorientasi pada pembuatan keputusan rasional, dengan teori-teori perilaku. Belajar menyelami (observasi) pengalaman orang lain merupakan tema sentral teori pemahaman sosial. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa, bila kita melihat orang lain (sebuah model) menjalankan sebuah perilaku, maka kemampuan kita “meniru” (reproduce) perilaku tersebut menjadi bertambah. Bandura membagi proses pemahaman menyelami orang lain (vicarious learning) menjadi empat tahap: (1) memperhatikan model, (2) mengingat apa yang telah diobservasi, (3) meniru perilaku, (4) reinforcement perilaku. Reinforcement dapat merupakan penyelaman ketika orang yang belajar melihat seorang model yang memperoleh hasil yang positif dari perilaku yang dijalankannya. Selain itu, orang-orang yang belajar dapat memperoleh reinforcement diri mereka sendiri atau menerimanya dari orang lain (Graeff, 1996). Teori pemahaman sosial melihat perilaku sebagai fungsi “self-efficacy” (selfcondifident) dan harapan hasil dari seseorang. Sesorang menjadi merasa yakin atas kemampuannya karena kehadiran pengalaman berkenaan dengan sebuah perilaku atau ia merasa yakin berdasarkan observasi yang dilakukannya pada orang lain sehubungan pelaksanaan perilaku tersebut di masa lalu. Dengan asumsi bahwa harapan hasil yang positif atau negatif juga tergantung pada pengalaman-pengalam pribadi atau penyelaman terhadap pengalaman orang lain. 8)
Analisis perilaku terapan (applied behaviour theory)
Analisis perilaku terapan merupakan metode sistematis untuk mengamati dan menjabarkan perilaku yang dianggap penting serta mengidentifikasi perilaku yang sulit dan mudah diubah. Analisis ini juga dapat digunakan untuk memperkuat atau memelihara perubahan perilaku yang sudah positif, seperti perilaku tidak merokok, penggunaan sabuk pengaman, penanggulangan diare dan lain sebagainya. Analisis perilaku berangkat dari sistem konseptual ini dalam hal tekanan pada perilaku yang dapat diobservasi (observable behaviour) dan hubungan-hubungan perilaku konsekuens. Reirforcement positif yang timbul seketika dan menonjol dapat merupakan alat yang efektif dalam upaya pengubahan perilaku kesehatan, terutama bila ketiadaan perilaku itu lebih disebakan oleh kelemahan-kelemahan dalam kinerja daripada dalam hal keterampilan. Secara umum komunikator kesehatan perlu mempertimbangkan anteseden dan konsekuens ketika merancang startegi komunikasi bagi semua orang yang ikut berpartipsipasi dalam proses kesehatan: ibu-ibu, anggota keluarga, tenaga pemberi pelayanan kesehatan, supervisor, pemimpin komunitas, pembuat kebijakan dan donatur (Graeff, 1996). Program komunikasi kesehatan yang berorientasi pada masyarakat selayaknya menggunakan analisis perilaku untuk menggunakan fakta yang ada dalam masyarakat serta alasan-alasan yang menjelaskan penyebab sering munculnya perilaku tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi kesehatan merupakan bagian dari ilmu komunikasi yang berfokus pada seorang individu dalam suatu kelompok atau masyarakat menghadapi isu-isu yang berhubungan dengan kesehatan serta berupaya untuk memelihara kesehatannya. Fokus dalam komunikasi kesehatan adalah proses spesifik pada isu-isu yang berhubungan dengan kesehatan dan faktor-faktor yang memengaruhi transaksi tersebut. Proses yang berlangsung antar-ahli kesehatan dan antara ahli kesehatan dengan klien merupakan perhatian utama dalam komunikasi kesehatan. proses tersebut berlangsung baik secara verbal maupun non verbal, lisan atau tulisan, personal maupun impersonal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa 9
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 1 – 22
ISSN 2085-1979
komunikasi kesehatan merupakan aplikasi dari konsep dan teori komunikasi dalam proses yang berlangsung antar-individu atau kelompok terhadap isu-isu kesehatan. Secara lebih mendalam, Rasmuson dan ahli komunikasi lainnya yang terlibat dalam proyek-proyek USAID untuk pengembangan komunikasi kesehatan, memandang komunikasi kesehatan sebagai disiplin ilmu komunikasi terapan yang digunakan untuk memengaruhi secara positif perilaku kesehatan masyarakat. Seperti telah disampaikan sebelumnya, komunikasi kesehatan merupakan ilmu baru yang bersifat multidisipliner dengan disiplin utama ilmu komunikas, maka selanjutnya akan dikemukakan beberapa model atau teori komunikasi yang relevan dengan komunikasi kesehatan (Notoatmodjo, 2005) 1) Model Shanon-Weaver Dalam model ini, komunikasi dipandang sebagai suatu sistem yang mana sumber informasi (source) memilih informasi yang dirumuskan (encode) menjadi pesan (message) dan selanjutnya pesan ini dikirim dengan isyarat (signal) melalui saluran (chanel) kepada penerima (receiver). Kemudian penerima menejermahkan pesan tersebut dan mengirimkannya ke tempat tujuan (destination). Ciri utama dari model ini adalah adanya konsep noise atau pengganggu, yakni faktor-faktor yang memengaruhi atau menghambat pesan-pesan yang disampaikan sepanjang saluran komunikasi, dari sumber informasi ke tempat tujuan (destination). Noise terutama di dalam komunikasi jarak jauh dapat berbentuk hambatan atau gangguan seperti kebisingan, distorsi atau mis-interpretasi yang bersifat psikologis. Hal ini dapat mengubah makna atau arti pesan pada saat disampaikan. Salah satu kekuatan dari model ini, yakni dapat menjelaskan suatu proses penyampaian informasi dari sumber ke tempat tujuan secara rinci. Sedangkan kelemahannya adalah kurang dapat menjelaskan hubungan transaksional (timbal balik) antara sumber informasi dan penerima. Model ini hanya mampu menggambarkan proses penyampaian informasi satu arah (one way event), sedangkan komunikasi yang terjadi antar manusia seharusnya berlangsung secara dua arah (two way event). Contoh aplikasi dari model ini adalah ketika proses komunikasi berlangsung antara tenaga medis dengan pasiennya, di mana tenaga media berperilaku aktif sedangkan pasien dalam keadaan pasif atau bersifat sebagai pendengar saja. 2)
Speech Communication Model
Model ini pertama kali dikembangkan oleh Miller yang melihat proses komunikasi terdiri dari tiga variable, yakni pembicara (speaker), pendengar (receiver) dan umpan balik (feed-back). Dalam hal ini, pembicara menyampaikan pesan atau informasi berdasakan sikap tertentu, sedangkan pendengar menginterpretasikan pesan tersebut berdasarkan sikap yang berbeda. Kemudian pendengar memberikan umpan balik (baik positif maupun negatif) kepada pembicara. Demikian seterusnya sehingga terjadi proses komunikasi yang hidup dan dinamis (Notoatmodjo, 2005). Model ini tampak sangat sederhana (over simplified) untuk menjelaskan proses komunikasi yang kompleks dan rumit dalam realitas, namun sangat mudah dipahami untuk menjelaskan proses komunikasi antar-manusia. Hal-hal inilah yang merupakan kekuatan dan kelemahan dari speech communication model. Leptospirosis merupakan penyakit hewan yang disebabkan oleh beberapa bakteri dari golongan leptospira yang berbentuk spiral kecil disebut spirochaeta, bakteri ini dengan flagellanya dapat menembus kulit atau mukosa manusia normal (Maha, 2006). Penyakit leptospirosis tersebar terutama di daerah tropis dan subtropis, 10
Endah indrawati: Penerapan Komunikasi Kesehatan Untuk Pencegahan Penyakit Leptospirosis pada Masyarakat Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Sleman, Yogyakarta
khususnya di rawa-rawa, sawah, atau daerah pasca banjir. Infeksi bakteri ini dapat menyebabkan penyakit dengan gejala dari yang ringan seperti penyakit flu biasa sampai yang berat atau menimbulkan sindrom termasuk penyakit kuning (ikterus) berat, sindrom perdarahan (perdarahan paru paling sering menyebabkan kegawatan), gagal ginjal sampai menyebabkan kematian. Penyakit ini juga dikenal sebagai penyakit yang berhubungan dengan rekreasi, terutama yang berhubungan dengan air seperti berenang di sungai. Kejadian bencana alam seperti banjir besar juga memungkinkan banyak orang terinfeksi. Gejala klinis leptospirosis mirip dengan penyakit infeksi lainnya seperti influensa, meningitis, hepatitis, demam dengue, demam berdarah dengue dan demam virus lainnya, sehingga seringkali tidak terdiagnosis (Widoyono, 2008). Keluhankeluhan khas yang dapat ditemukan, yaitu: demam mendadak, keadaan umum lemah tidak berdaya, mual, muntah, nafsu makan menurun dan merasa mata makin lama bertambah kuning dan sakit otot hebat terutama daerah betis dan paha. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di daerah beriklim tropis dan subtropis, dengan curah hujan tinggi (kelembaban), khususnya di negara berkembang, di mana kesehatan lingkungannya kurang diperhatikan terutama pembuangan sampah (Maha, 2006). Situs infeksi.com menuliskan penularan leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman leptospira. Pejamu reservoir utama adalah roden/tikus dengan kuman leptospira hidup di dalam ginjal dan dikeluarkan melalui urin saat berkemih (Widoyono, 2008). Manusia merupakan hospes insidentil yang tertular secara langsung atau tidak langsung. Penularan penyakit leptospirosis pada manusia langsung terjadi melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira yang masuk ke dalam tubuh pejamu. Penularan dari hewan ke manusia merupakan penyakit kecelakaan kerja, terjadi pada orang yang merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan misalnya pekerja potong hewan atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan. Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui hubungan seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu (www.infeksi.com, 2006). Penularan langsung terjadi melalui genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan seperti tikus, umumnya terjadi saat banjir. Wabah leptospirosis dapat juga terjadi pada musim kemarau karena sumber air yang sama dipakai oleh manusia dan hewan. Leptospirosis perlu diobati sedini mungkin. Untuk pengobatan leptospirosis dibedakan atas derajat berat-ringannya penyakit, karena itu perlu bagi setiap orang untuk menjalani pengobatan di RS. Tindakan khusus diperlukan bila ada gagal ginjal atau gagal napas (Donny, 2009). Pengobatan kasus leptospirosis masih menjadi perdebatan sejumlah ahli. Sebagian ahli mengatakan bahwa pengobatan leptospirosis hanya berguna pada kasus kasus dini (early stage) sedangkan pada fase ke dua atau fase imunitas (late phase) yang paling penting adalah perawatan (Watt, 1988). Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin, ampisillin, atau amoksisillin, sedangkan leptospirosis yang berat dapat diobati dengan penisillin G, ampisillin, amoksisillin dan eritromisin(Yuliarti, 2007). Obat pilihan adalah Benzyl Penicillin. Selain itu dapat digunakan Tetracycline, Streptomicyn, Erythromycin, Doxycycline, Ampicillin atau Amoxicillin. Pengobatan dengan Benzyl Penicillin 6-8 MU iv dosis terbagi selama 5-7 hari. Atau Procain Penicillin 4-5 MU/hari kemudian dosis diturunkan menjadi setengahnya setelah demam hilang, biasanya lama pengobatan 5-6 hari (Maha, 2006). Kasus leptospirosis kerap ditemukan di negara beriklim tropis (seperti Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Afrika Selatan, Ethiopia, Nigeria dan lainlain). Menurut International Leptsopirosis Society, Indonesia merupakan salah satu 11
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 1 – 22
ISSN 2085-1979
negara tropis dengan kasus kematian leptospirosis relatif tinggi, yaitu berkisar antara 2,5%-16,45% atau rata-rata 7,1 % dan termasuk peringkat tiga di dunia. Angka ini dapat lebih tinggi hingga mencapai 56% pada penderita yang telah berusia lebih dari 50 tahun. Harian Republika (2010) melansir sejak tahun 2006 hingga sekarang di Yogyakarta mulai banyak terjadi kasus leptospirosis. Bahkan pada tahun 2009 di Kabupaten Sleman terjadi KLB leptospirosis yaitu dengan adanya 92 kasus yang terdiagnosis positif dan enam orang diantaranya meninggal. Selama bulan Januari sampai dengan awal Maret tahun 2010 ini, kasus leptospirosis sudah ada sembilan yang positif yaitu tujuh kasus di Bantul, satu kasus di Kulon Progo dan satu kasus di Sleman. Upaya pencegahan dan penanggulangan leptospirosis di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya saat ini terbatas pada pengobatan penderita, sedangkan cara pencegahan penularan leptospirosis dari tikus ke manusia, serta pengendalian tikus agar tidak menularkan leptospirosis kepada masyarakat yang lebih luas, belum pernah dilaksanakan. Hal tersebut disebabkan oleh terbatasnya informasi faktor-faktor yang berasosiasi dengan kejadian leptospirosis. Sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi penyebaran dan penularan penyakit leptospirosis salah satunya adalah dengan cara memberikan pendidikan kesehatan tentang penyakit ini. Menurut Carlyon, pengertian pendidikan kesehatan merupakan kegiatan dengan tujuan yang jelas dengan pengetahuan, sikap dan perilaku yang dirancang untuk keperluan prakasa kesehatan, pencegahan penyakit, atau perubahan status kesehatan individu atau kelompok (Rusmini, 2006). Komunikasi kesehatan merupakan bagian dari pendidikan kesehatan. Sebagai bagian dari proses pendidikan kesehatan, upaya komunikasi kesehatan dapat memberikan kontribusi yang cukup bermakna bagi peningkatan status kesehatan masyarakat. Komunikasi kesehatan pada kenyataannya sangat efektif karena diselenggarakan berdasarkan orientasi pada masyarakat sebagai fokusnya. Tujuan utama komunikasi kesehatan adalah untuk perubahan perilaku kesehatan pada sasaran ke arah yang lebih kondusif sehingga dimungkinkan terjadinya peningkatan status kesehatan sebagai dampak dari program komunikasi kesehatan (Hassan dalam Notoatmodjo, 2005). Dengan adanya penerapan komunikasi kesehatan yang tepat diharapkan dapat menumbuhkan permintaan akan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, seperti keluarga berencana atau pencegahan penularan penyakit infeksi yang aman dan efektif. Penyakit leptospirosis merupakan penyakit yang masih memerlukan perhatian karena dapat memberikan dampak yang merugikan bagi segi kesehatan maupun ekonomi. Program komunikasi kesehatan sangat diperlukan guna menginformasikan kepada masyarakat tentang penyakit ini, serta meningkatkan pengetahuan warga seputar leptospirosis. Menurut Waluyo pengetahuan tentang leptospirosis, meliputi pengetahuan tentang reservoir, cara penularan, pemberantasan, pencegahan ataupun pengobatan serta fungsi unit-unit pelayanan kesehatan masyarakat setempat yang dapat menghindarkan seseorang dari kontak dengan reservoir leptospirosis (Rukmini, 2006). Seperti halnya pendidikan kesehatan, dalam komunikasi kesehatan terjadi proses belajar. Di dalam kegiatan belajar terdapat tiga persoalan pokok yakni masukan (input), proses, dan keluaran (output). Persoalan masukan menyangkut subyek atau sasaran belajar itu sendiri dengan berbagai latar belakangnya. Persoalan proses adalah mekanisme atau proses terjadinya perubahan kemampuan pada diri subjek belajar. Sedangkan keluaran merupakan hasil belajar itu sendiri yang terdiri dari kemampuan baru atau perubahan baru pada diri subjek belajar. 12
Endah indrawati: Penerapan Komunikasi Kesehatan Untuk Pencegahan Penyakit Leptospirosis pada Masyarakat Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Sleman, Yogyakarta
Green dan Keuter mengatakan bahwa melalui proses belajar yang melibatkan peserta secara aktif akan diperoleh pengetahuan yang lebih mantap, sehingga peningkatan pengetahuan akan bertahan lebih lama sebagai dasar perubahan perilaku. Prinsip pokok pendidikan kesehatan adalah proses belajar yang bertujuan untuk mengubah pengetahuan, keterampilan dan perilaku sasaran sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Atas dasar teori inilah dirancang suatu konsep penelitian, dalam upaya meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku warga masayarakat dalam pencegahan penularan penyakit leptospirosis dengan memberikan pendidikan melalui komunikasi kesehatan. Penerapan komunikasi kesehatan yang tepat dinilai mampu memberikan kontribusi guna mencegah penularan penyakit leptospirosis di wilayah Kecamatan Moyudan, Sleman, Yogyakarta. Dengan melaksanakan program-program komunikasi kesehatan yang efektif masyarakat bisa mendapatkan informasi penting yang perlu mereka ketahui seputar leptospirosis. Hal inilah yang nantinya akan mengantarkan pada perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku yang bisa mencegah penularan penyakit leptospirosis pada lingkungan masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu diadakan penelitian untuk melihat penerapan komunikasi kesehatan serta perannya dalam meningkatkan pengetahuan sikap dan perilaku warga masyarakat di Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Sleman, Yogyakarta dalam upaya mencegah penularan penyakit leptospirosis. Untuk tujuan tersebut maka penelitian ini akan menggunakan metode studi kasus guna mengamati penerapan komunikasi kesehatan yang dilakukan dalam upaya pencegahan penularan penyakit leptospirosis. Metode Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai, maka penelitian ini akan menggunakan metode studi kasus guna mengamati penerapan komunikasi kesehatan yang dilakukan dalam upaya pencegahan penularan penyakit leptospirosis. Metode studi kasus merupakan salah satu dari metode kualitatif yang digunakan untuk melakukan penelitian secara terinci tentang seseorang (individu) atau sesuatu unit sosial selama kurun waktu tertentu. Metode ini akan melibatkan peneliti dalam penyelidikan yang lebih mendalam dan pemeriksaan yang menyeluruh terhadap perilaku seorang individu. Di samping itu, studi kasus juga dapat mengantarkan peneliti memasuki unit-unit sosial terkecil seperti perhimpunan, kelompok, keluarga dan berbagai bentuk unit sosial lainnya. Sebuah definisi yang lebih tegas dan bersifat teknis sehingga sangat membantu tentang studi kasus diberikan oleh Robert Yin. Menyebutkan bahwa studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata, bilamana; batasbatas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas; dan di mana multi sumber bukti dimanfaatkan. Pemilihan metode ini didasarkan atas kemampuan metode studi kasus dalam menjawab pertanyaan penelitian “mengapa” dan “bagaimana”. Dengan menggunakan metode ini, diharapkan peneliti dapat menjawab pertanyaan bagaimana penerapan komunikasi kesehatan di Desa Sumberagung dalam pencegahan penularan penyakit leptospirosis. Penelitian dengan menggunakan metode studi kasus membutuhkan investigasi yang mendalam dan holistik terhadap obyek penelitian, yang dalam hal ini adalah penerapan komunikasi kesehatan di Desa Sumberagung. Dalam penelitian studi kasus, peneliti tidak dapat mengontrol obyek penelitian dan tidak dapat memanipulasi perilaku dalam praktek penerapan komunikasi kesehatan masyarakat Desa Sumberagung. Untuk itu diperlukan banyak data dari sumber yang berbeda13
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 1 – 22
ISSN 2085-1979
beda agar penelitian ini dapat menjawab pertanyaan mengenai penerapan komunikasi kesehatan di Desa Sumberagung. Ada tiga jenis penelitian studi kasus menurut Yin (1996) yaitu eksploratori, eksplanatori dan deskriptif. Penelitian ini berusaha memaparkan secara rinci dan mendalam (in-depth) tentang penerapan komunikasi kesehatan yang terjadi di Desa Sumberagung, untuk tujuan tersebut maka jenis studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus deskriptif. Penelitian deskriptif hanya memaparkan situasi atau peristiwa yang terjadi saat ini. Penelitian ini tidak berusaha memprediksi kejadian di massa mendatang. Studi kasus juga berusaha menjawab pertanyaan how dan why sehingga penelitian ini juga bersifat eksplanatoris dan dapat mengarahkan penggunaan studi kasus terkait persoalan operasional yang hanya bisa dilacak pada waktu-waktu tertentu (Yin, 1996). Dalam hal ini, peneliti bertindak sebagai pengamat, membuat kategori perilaku, mengamati gejala, kemudian mencatatnya. Penelitian ini bukan hanya menjabarkan tetapi juga berusaha memadukan, tidak hanya klasifikasi tetapi juga mengorganisasi. Obyek dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Sumberagung yang telah mendapat penyuluhan dari petugas Puskesmas Moyudan mengenai penyakit leptospirosis beserta cara-cara pencegahan penularannya. Aktivitas komunikasi kesehatan yang dilakukan oleh petugas Puskesmas memberikan rangsangan terhadap tindakan warga dalam upaya pencegahan penularan penyakit leptospirosis. Penelitian dilakukan di lingkungan Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Sleman, Yogyakarta. Observasi awal dalam penelitian ini terhadap kejadian luar biasa penyakit leptospirosis yang melanda Kecamatan Moyudan telah dilakukan sejak April hingga Juni 2010. Sedangkan penelitian lapangan dilakukan selama satu bulan sejak Juli hingga Agustus 2010. Teknik-teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Penelitian deskriptif juga menurut Wood disebut sebagai penelitian observasional (Rakhmat, 1984) yang berguna untuk menjelaskan dan merinci gejala yang terjadi. Teknik ini dipakai untuk memperoleh data secara langsung di lapangan dengan memperhatikan penerapan komunikasi kesehatan di masyarakat. Obeservasi dilakukan guna meningkatkan objektivitas data yang dihasilkan dari teknik wawancara yang terkadang masih memiliki kelemahan. Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mengadakan wawancara kepada responden dengan mengajukan sejumlah pertanyaan terkait data yang diperlukan untuk kepentingan penelitian. Wawancara dilakukan secara tatap muka atau berhadapan langsung dengan responden (fisik). Hal ini dilakukan mengingat responden yang akan terlibat memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam memahami setiap pertanyaan, sehingga akan berpengaruh pada keakuratan data. Penelitian ini didukung oleh teori-teori maupun pendapat-pendapat pakar komunikasi, komunikasi kesehatan, dan kesehatan masyarakat yang semuanya diperoleh melalui berbagai literatur, baik itu buku-buku, jurnal-jurnal, maupun artikel-artikel.Setelah peneliti mengumpulkan data, tahap pertama yang dilakukan dalam menganalisis data adalah peneliti membaca, mensintesis dan mengkategorikan data. Pengkategorian data dilakukan sesuai dengan kebutuhan peneliti supaya hasil penelitian tetap fokus. Teknik yang digunakan dalam analisis data adalah teknik perjodohan pola (pattern matching). Teknik ini merupakan logika yang membandingkan suatu pola yang didasarkan pada empiris dengan pola yang diprediksikan. Tujuan dan desain penelitian didasarkan pada proposisi-proposisi yang kemudian dari situ dikembangan pertanyaan-pertanyaan riset. Proposisi dari penelitian ini adalah penerapan startegi komunikasi kesehatan yang terdiri dari input, proses, dan output 14
Endah indrawati: Penerapan Komunikasi Kesehatan Untuk Pencegahan Penyakit Leptospirosis pada Masyarakat Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Sleman, Yogyakarta
Proposisi ini akan membantu peneliti dalam menyusun keseluruhan studi kasus dan mendapatkan penjelasan alternatif untuk diteliti. Jika hasilnya terdapat kesamaan, maka hal itu dapat meningkatkan validitas internal studi kasus yang sedang dilakukan (Yin, 1996). Hasil dari analisis ini akan disajikan dalam format paparan yang lengkap dan tersistematis dengan bahasa yang jelas, ringan juga mudah dipahami. Hasil Penelitian dan Diskusi Pada bagian ini analisis terhadap berbagai hal yang terkait dalam pelaksanaan program seperti permasalahan, pola-pola, serta kecenderungan yang terjadi dalam penerapan komunikasi kesehatan untuk pencegahan penularan leptospirosis di Desa Sumberagung akan diuraikan. Analisis dilakukan secara menyeluruh terhadap input, proses, hingga output. Analisis juga dilakukan terhadap faktor internal dan eksternal yang memengaruhi program komunikasi kesehatan. Hasil analisis diuraikan secara runtut mulai dari perencanaan hingga hasil output program komunikasi kesehatan. 1. Input Untuk menekan dampak negatif dari leptospirosis, yang harus dilakukan pertama-tama adalah menyebarkan informasi penting mengenai penyakit ini ke seluruh warga masyarakat. Pengetahuan warga mengenai suatu penyakit akan memegaruhi sikap dan perilakunya dalam memberantas dan mencegah penularan penyakit tersebut. Atas dasar inilah Dinkes Kabupaten Sleman membuat kebijakan berupa pengadaan program komunikasi kesehatan dalam upaya memberantas dan mencegah penularan leptospirosis. Kebijakan Dinkes Sleman untuk menyelenggarakan program komunikasi kesehatan sebagai upaya tanggap dini terhadap KLB leptospirosis di wilayah Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan ini senada dengan yang dilakukan negara lain dalam upaya pemberantasan penyakit menular. Salah satunya pernah dilakukan di Uganda. Melalui proyek yang dinamai DISH atau Delivery Improved Service for Health, bekerjasama dengan Departemen Kesehatan Uganda (Kementrian Kesehatan) dan Pelayanan Kesehatan Kabupaten (District Health Service) dari 12 kabupaten yang ikut berpartisipasi, memulai inisiatif mutlitahap untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan pria, wanita dan anakanak di Uganda. Tujuan proyek DISH adalah menurunkan angka kesuburan (total fertility rate – TFR) dan kejadian infeksi HIV, dengan meningkatkan ketersediaan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan reproduksi, kesehatan Ibu dan anak secara terpadu oleh tenaga kesehatan umum dan swasta. Proyek DISH menampilkan serangkaian kampanye komunikasi perubahan perilaku yang dirancang secara strategis dan saling berhubungan. Kampanye mengarahkan masyarakat ke fasilitas-fasilitas kesehatan guna mendapaatkan informasi dan pelayanan, serta mendorong perubahan dalam sikap dan perilaku secara individu. DISH dilakukan oleh Pathfinder International. Mitra kerjasamanya adalah JHU/CCP, the University of North Carolina program in International Training ini Health dan E. Petrich and Associates. Proyek ini didanai oleh Agency for International Development (USAID) (Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health dan USAID, 2005). Penerapan komunikasi kesehatan yang dilakukan Dinkes Kabupaten Sleman untuk mencegah penularan suatu penyakit juga sesuai dengan teori komunikasi untuk persuasi (communication for persuation theory) yang menegaskan bahwa komunikasi dapat digunakan untuk mengubah sikap dan perilaku kesehatan yang secara langsung terkait dalam rantai kausal yang sama (Graeff, 1996).Efektivitas upaya komunikasi 15
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 1 – 22
ISSN 2085-1979
yang diberikan bergantung pada berbagai input (stimulus) serta output (tanggapan terhadap stimulus). Menurut teori ini, perubahan pengetahuan dan sikap merupakan prakondisi bagi perubahan perilaku kesehatan dan perilaku-perilaku yang lain. Perencanaan yang dilakukan oleh pihak komunikator program komunikasi kesehatan untuk pencegahan penularan leptospirosis sesuai dengan tahap-tahap dalam kerangka P-Process. Semua bagian yang dibutuhkan sudah dilibatkan dan pembagian tugas juga diuraikan secara rinci. Namun tidak semua tahap dalam kerangka PProcess ini dapat diterapkan ketika menyusun perencanaan program komunikasi kesehatan untuk pencegahan penularan leptospirosis di Desa Sumberagung karena terhambat oleh sempitnya waktu perencanaan. Kasus leptospirosis di Kecamatan Moyudan terjadi secara tiba-tiba sehingga penanganannya membutuhkan tindakan yang cepat. Hal ini menyebabkan pihak komunikator tidak memiliki banyak waktu. Pada proses perencanaan ini hampir semua tahapan sudah dilaksanakan dengan baik, analisis situasi yang dilakukan cukup komprehensif dan mampu memetakan permasalahan yang dihadapi oleh wilayah Moyudan terkait kasus leptospirosis. Pentingnya melakukan perencanaan sebelum melaksanakan program komunikasi kesehatan sesuai dengan model precede-proceed.Lawrence Green dan rekan-rekannya mengembangkan precede-proceed model, yang sekarang ini terkenal untuk merencanakan program-program pendidikan kesehatan. Model precede merupakan “model” sejati, yang lebih mengarah kepada upaya-upaya pragmatik mengubah perilaku kesehatan daripada sekedar upaya pengembangan teori. Green dan rekan-rekan menganalisis kebutuhan kesehatan komunitas dengan cara menetapkan lima “diagnosis” yang berbeda, yaitu; diagnosis sosial, diagnosis epidomiologi, diagnosis perilaku, diagnosis pendidikan dan diagnosis administrasi atau kebijakan. Dengan model ini, perencana kesehatan menghindarkan diri dari tindakan “menyalahkan korban”, yang sering menyertai upaya-upaya yang mengarah kepada penilaian serta evaluasi kebutuhan secara individual. Sebagai gantinya perencana kesehatan menjaga untuk tetap mengarahkan upaya-upaya di tingkat komunitas. Paling sedikit, baik diagnosis pendidikan maupun perilaku, keduanya menekankan pada hubungan antara perilaku dan lingkungannya (Graeff, 1996). 2. Proses Pada tahap ini, program komunikasi kesehatan yang sudah direncanakan sebelumnya diwujudkan melalui pelaksanaan penyuluhan-penyuluhan di wilayah Desa Sumberagung. Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi, program komunikasi kesehatan yang dilakukan di Desa Sumberagung menggunakan dua tipe saluran komunikasi, yaitu saluran interpersonal dan saluran yang berorientasi pada masyarakat. Saluran interpersonal diwujudkan melalui kunjungan langsung para petugas dan kader kesehatan ke rumah-rumah warga untuk melakukan edukasi. Saluran ini dipilih karena sebagian besar warga Desa Sumberagung sama sekali belum memiliki pengetahuan tentang leptospirosis. Bahkan tidak sedikit diantaranya yang baru pertama kali mendengar tentang penyakit ini setelah terjadi kasus dan adanya korban jiwa. Selain karena alasan tersebut, pemilihan saluran ini juga disebabkan karena banyak warga Desa Sumberagung yang masih buta huruf dan tidak lancar berbahasa Indonesia. Untuk mengatasi hambatan ini, petugas dan tenaga kesehatan yang berkeliling ke masyarakat dalam melakukan proses sosialisasi dan edukasi lebih banyak menggunakan bahasa Jawa. Hal ini bertujuan agar masyarakat lebih mudah menerima materi yang diberikan. Petugas juga menggunakan istilah-istilah yang mudah dipahami oleh masyarakat. Penggunaan istilah kedokteran dan medis terkadang justru menjadi 16
Endah indrawati: Penerapan Komunikasi Kesehatan Untuk Pencegahan Penyakit Leptospirosis pada Masyarakat Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Sleman, Yogyakarta
penghambat proses pemahaman karena masyarakat desa cenderung sulit menyebut dan mengingat kembali istilah-istilah tersebut. Namun pada kenyataanya, dari hasil wawancara peneliti dengan warga Desa Sumberagung di tiga dusun, diketahui bahwa masih ada beberapa warga masyarakat yang kurang memahami hal-hal yang diberikan oleh petugas kesehatan. Menurut keterangan dari warga, diakui mereka bahwa memang benar pernah didatangi oleh petugas kesehatan. Sebagian dari petugas yang datang memang melakukan sosialisasi dan edukasi, namun ada juga yang hanya melakukan pendataan tanpa disertai pemberian edukasi. Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat pentingnya melakukan sosialisasi dan mengedukasi warga tentang cara-cara mencegah penularan leptospirosis. Ketika melakukan pendataan, alangkah lebih baik apabila petugas kesehatan juga memanfaatkan momen ini sebagai waktu untuk menyebarkan informasi penting terkait leptospirosis. Dalam pelaksanaan program-program komunikasi kesehatan, petugas dan tenaga kesehatan sebagi pihak komunikator memang memegang peranan yang sangat penting. Komunikator sebagai ujung tombak dari pelaksanaan sebuah program setidaknya turut menentukan keberhasilan program tersebut. Efektif atau tidaknya suatu program salah satunya tergantung dari cara-cara yang digunakan petugas dalam mensosialisasikan dan mengedukasi masyarakat. Peran serta petugas, kader dan tenaga kesehatan dalam melaksanakan program komunikasi untuk merangsang perubahan perilaku tertuang dalam model difusi inovasi.Model ini menegaskan peran agen-agen perubahan dalam lingkungan sosial. Secara relatif, tetangga, petugas kesehatan atau agen perubahan yang lain ikut membantu menghasilkan perubahan perilaku dengan cara-cara tertentu, misalnya dengan cara meningkatkan kebutuhan akan perubahan, membangun hubungan interpersonal yang diperlukan, mengidentifikasi masalah serta penyebabpenyebabnya, menetapkan sasaran dan jalan keluar yang potensial, memotivasi seseorang supaya menerima dan memelihara aksi, dan memutuskan jalinan yang mengembalikan seseorang pada perilaku lama. Saluran kedua komunikasi lain yang digunakan dalam program komunikasi kesehatan untuk pencegahan penularan leptospirosis adalah saluran yang berorientasi pada masyarakat. Saluran ini diwujudkan melalui pengadaan penyuluhan-penyuluhan di wilayah Desa Sumberagung. Penyuluhan dilakukan bertahap mulai dari tingkatan tertinggi (kecamatan) hingga tingkatan terendah (dusun) dengan menggunakan prinsip pemberdayaan masyarakat. Program komunikasi kesehatan yang memerhatikan aspek pemberdayaan masyarakat di dalamnya sesuai dengan salah satu unsur komunikasi kesehatan. dalam salah satu unsur-unsur umum yang biasanya terkandung dalam komunikasi kesehatan, disebutkan bahwa komunikasi kesehatan memberdayakan masyarakat dengan memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang masalah-masalah kesehatan (Schiavo, 2007). Alasan pemilihan saluran komunikasi ini dikarenakan fungsinya yang efektif ketika berhadapan dengan norma-norma masyarakat, serta memberikan peluang bagi anggota khalayak untuk saling memerkuat perilaku satu sama lain. Pada saat penyuluhan, selain melakukan sosialiasai dan edukasi mengenai leptospirosis, petugas penyuluh juga melakukan pelatihan kepada kader-kader kesehatan masyarakat desa atau dusun setempat. Kader-kader kesehatan ini dilatih untuk bisa memberikan pertolongan pertama kepada penderita yang berada dekat dekat dirinya serta bisa menjadi contoh bagi warga masyarakat sekitar. Beberapa pendapat mengatakan, persepsi atau perilaku seseorang dipengaruhi oleh persepsi dan perilaku anggota kelompok di mana ia menjadi anggota, atau oleh jaringan hubungan pribadinya. Orang biasanya cenderung mengandalkan orang lain terutama jika situasinya sangat tidak pasti, atau bisa ditafsirkan secara berbeda, dan jika bukti objektif tidak tersedia. 17
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 1 – 22
ISSN 2085-1979
Kecenderungan orang dalam meniru atau mencontoh perilaku orang lain sejalan dengan penjelasan dari teori pemahaman sosial.Teori pemahaman sosial atau social learning theory menekankan pada hubungan segitiga antara “orang” (menyangkut proses-proses kognitif), perilaku dan lingkungan dalam suatu proses “deterministik resiprokal” (atau “kausalitas resiprokal”) (Graeff, 1996). Kalau lingkungan menentukan atau menyebabkan terjadi perilaku kebanyakan, maka seorang individu menggunakan proses kognitifnya untuk menginterpresentasikan lingkungan maupun perilaku yang dijalankannya, serta memberikan reaksi dengan cara mengubah lingkungan dan menerima hasil perilaku yang lebih baik. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa, bila kita melihat orang lain (sebuah model) menjalankan sebuah perilaku, maka kemampuan kita “meniru” (reproduce) perilaku tersebut menjadi bertambah Dari pengamatan peneliti ada beberapa hal yang perlu dicermati mengenai pelaksanaan program komunikasi kesehatan untuk pencegahan penularan leptospirosis di Desa Sumberagung (baik melalui saluran pertama maupun saluran kedua). Pertama, mengenai intensitas pelaksanaan penyuluhan. Jumlah penyuluhan yang sudah dilakukan terasa kurang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan informasi warga akan leptospirosis. Di Desa Sumberagung pada tahun 2008 pernah terjadi delapan kasus leptospirosis dengan tiga orang korban meninggal. Kondisi ini menyebabkan warga Sumberagung menjadi trauma dan ketakutan akan adanya serangan kedua dari penyakit ini. Oleh karena itu sebagian warga masyarakat mengharapkan pihak Dinkes dan Puskesmas Moyudan mengadakan lagi penyuluhan tentang bahaya dan cara-cara mengatasi leptospirosis. Hal kedua yang perlu dicermati adalah, kurangnya perhatian pihak komunikator dalam mendokumentasikan setiap program yang sudah dilaksanakan. Idealnya setiap program yang sudah terlaksana memilik bukti dokumentasi. Bukti dokumentasi antara lain berupa notulis, daftar hadir peserta, daftar pertanyaan, hasil diskusi antara peserta dengan penyuluh, foto-foto selama program dilaksanakan, dan lain sebagainya. Dokumentasi, selain digunakan sebagai salah satu bukti pelaksanaan program, juga berfungsi untuk mengetahui hal penting yang terjadi selama program berlangsung. Dokumentasi memiliki manfaat besar terutama dalam mengadakan kegiatan monitoring dan evaluasi. Dari dokumentasi yang ada, dapat diketahui kekurangan dan kesalahan dari program sebelum, sehingga akan berpengaruh dalam menentukan startegi untuk program selanjutnya 3. Output Output dari program komunikasi kesehatan di Desa Sumberagung adalah peningkatan pengetahuan, sikap dan perubahan perilaku pada masyarakat sekitar. Hal ini terbukti dari wawancara dan observasi yang dilakukan peneliti dengan responden yang merupakan warga Desa Sumberagung. Perilaku yang dihasilkan disini adalah perilaku kesehatan. Sejalan dengan batasan perilaku menurut Skinner maka perilaku kesehatan (healthbehaviour) adalah respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit, dan faktor-faktor yang memengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2010). Dengan perkataan lain perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable) yang berkaitan dengan pemeliharan dan peningkatan kesehatan. pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi diri dari penyakit 18
Endah indrawati: Penerapan Komunikasi Kesehatan Untuk Pencegahan Penyakit Leptospirosis pada Masyarakat Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Sleman, Yogyakarta
dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan. Perubahan perilaku manusia yang dihasilkan dari peningkatan pengetahuan dan sikap tertera dalam penjelasan model kepercayaan kesehatan (health belief model). Dalam model ini dijelaskan bahwa perilaku kesehatan merupakan fungsi dari pengetahuan maupun sikap. Secara khusus model ini menegaskan bahwa persepsi seseorang tentang kerentaan dan kemujaraban pengobatan dapat memengaruhi keputusan seseorang dalam perilaku-perilaku kesehatannya. Sementara itu, model kepercayaan yang diungkapkan oleh Becker menyebutkan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh beberapa hal, antara lain percaya bahwa mereka rentan terhadap masalah kesehatan tertentu, menganggap masalah ini serius, meyakini efektivitas tujuan pengobatan dan pencegahan, tidak mahal, serta menerima anjuran untuk mengambil tindakan (Notoatmodjo, 2010). Telah menjadi pemahaman umum, perilaku merupakan determinan kesehatan yang menjadi sasaran dari kegiatan komunikasi kesehatan. Dengan perkataan lain komunikasi kesehatan bertujuan untuk mengubah perilaku (behavior change). Perubahan perilaku yang diharapkan dari program komunikasi kesehatan untuk pencegahan leptospirosis antara lain mencakup tiga hal, yaitu mengubah perilaku negatif (tidak sehat) menjadi perilaku positif (sesuai dengan nilai-nilai kesehatan), mengembangkan perilaku positif (pembentukan atau pengembangan perilaku sehat) dan memelihara perilaku yang sudah positif atau perilaku yang sudah sesuai dengan norma /nilai kesehatan (perilaku sehat) atau dengan kata lain memertahankan perilaku sehat yang sudah ada (Notoatmodjo, 2010). Perubahan perilaku manusia juga dijelaskan dalan teori-teori perubahan perilaku yang diadopsi dari berbagai disiplin ilmu. Dari beberapa teori perubahan perilaku yang ada dalam ranah ilmu kesehatan masyarakat, yang sesuai untuk menggambarkan perubahan perilaku dalam penelitian ini adalah teori stimulus organisme (SOR). Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme. Artinya, kualitas dari sumber komunikasi (sources) misalnya kredibilitas kepemimpinan dan gaya berbincang seseorang sangat menentukan keberhasilan perubahan perilaku seseorang, kelompok atau masyarakat. Hosland mengatakan bahwa perubahan perilaku pada hakikatnya adalah sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari: a) Stimulus (rangsang) yang diberikan kepada organisme dapat diterima atau ditolak. Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berati stimulus itu tidak efekif dalam memengaruhi perhatian individu, dan berhenti disini. Tetapi bila stimulus diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut efektif. b) Apabila stimulus telah mendapatkan perhatian dari organisme (diterima) maka ia mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya. c) Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak demi stimulus yang telah diterima (bersikap). d) Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka stimulus tersebut memunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan perilaku). Setelah melakukan pengamatan terhadap objek penelitian dan menganalisis data-data yang ditemukan, diketahui bahwa penerapan komunikasi kesehatan untuk pencegahan penularan leptospirosis di Desa Sumberagung dipengaruhi oleh beberapa faktor penting. Faktor-faktor ini sedikit banyak menentukan keberhasilan program 19
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 1 – 22
ISSN 2085-1979
komunikasi kesehatan tersebut. Faktor ini dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berkaitan dengan pihak-pihak yang menjadi komunikator dalam program komunikasi kesehatan, yang antara lain adalah jumlah tenaga kesehatan yang tersedia, kemampuan petugas dalam menyampaikan materi, dan kualitas materi yang diberikan saat penyuluhan. Sedangkan faktor eksternal berkenaan dengan aspek khalayak yang dituju dari program komunikasi kesehatan, antara lain ketertarikan dan kemampuan masyarakat dalam mengikuti serta menerima informasi yang disampaikan. Hambatan yang ditemui dalam penerapan komunikasi kesehatan adalah kurangnya tenaga kesehatan yang berperan sebagai komunikator, baik dari Dinkes Kabupaten Sleman maupun dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Sleman. Selain itu rendahnya tingkat perhatian dan kemampuan warga dalam memahami materi penyuluhan juga menjadi hambatan dalam penerapan komunikasi kesehatan untuk pencegahan leptospirosis di Desa Sumberagung. Simpulan Penyakit menular masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia. Penyakit menular yang juga dikenal sebagai penyakit infeksi dalam istilah medis adalah penyakit yang disebabkan oleh sebuah agen biologi (seperti virus, bakteria atau parasit). Penyakit menular biasanya bersifat akut (mendadak) dan menyerang semua lapisan masyarakat. Penyebaran penyakit ini tidak mengenal batasbatas daerah adminsitratif sehingga pemberantasan penyakit menular memerlukan kerjasama antar daerah misalnya antar propinsi, antar kota, atau antar daerah. Untuk mencegah penyebaran dan penularan penyakit jenis ini, diperlukan upaya-upaya yang berfokus pada peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat. Pengetahuan yang dimiliki seseorang akan memengaruhi sikap dan perilakunya dalam memandang dan menanggapi suatu penyakit. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang akan suatu penyakit maka semakin tinggi pula perilakunya untuk melakukan tindakan pencegahan. Salah satu cara untuk mencapai perubahan perilaku ini adalah dengan melakukan komunikasi kesehatan. Komunikasi kesehatan merupakan suatu proses penyampaian informasi kesehatan oleh komunikator melalui saluran atau media tertentu kepada komunikan yang secara langsung maupun tidak langsung memromosikan kesehatan serta pencegahan penyakit dengan tujuan memotivasi dan mendorong perubahan perilaku individu maupun kelompok. Ini menunjukkan bahwa secara tidak langsung komunikasi kesehatan membantu seseorang, baik secara sendiri-sendiri ataupun secara kolektif, untuk membuat keputusan berdasarkan pengetahuan mengenai hal-hal yang memengaruhi kesehatan pribadinya dan orang lain. Hal inilah yang diterapkan dalam upaya pencegahan penularan penyakit leptospirosis di Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kebijakan dari Dinas Kesehatan Sleman yang bekerjasama dengan Dinas Pertanian dan Kehutanan Sleman untuk mengadakan program komunikasi kesehatan terbukti cukup efektif dalam memberantas dan mencegah penularan leptospirosis. Dari hasil observasi dan analisis penelitian mengenai penerapan komunikasi kesehatan untuk pencegahan penularan penyakit leptospirosis di Desa Sumberagung dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: Salah satu upaya untuk memberantas dan mencegah penularan penyakit leptospirosis di Desa Sumberagung adalah dengan melaksanakan program komunikasi kesehatan. Komunikasi kesehatan ini bertujuan untuk menyampaikan informasiinformasi penting kepada masyarakat seputar leptospirosis antara lain gejala atau 20
Endah indrawati: Penerapan Komunikasi Kesehatan Untuk Pencegahan Penyakit Leptospirosis pada Masyarakat Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Sleman, Yogyakarta
tanda-tanda leptospirosis, penyebab leptospirosis, cara penularan leptospirosis, cara pencegahan leptospirosis, dan cara pengobatan leptospirosis.Penerapan komunikasi kesehatan melibatkan beberapa pihak yang kompeten di bidang kesehatan, pertanian, dan peternakan. Kasus leptospirosis di Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan terjadi secara tiba-tiba sehingga penanganannya membutuhkan tindakan yang cepat. Karenanya pada tahap perencanaan program komunikasi kesehatan untuk pencegahan leptospirosis ini berlangsung dalam waktu yang sangat singkat. Ini menyebabkan ketika pelaksanaan ada beberapa hal yang tidak dapat berjalan secara optimal. Perencanaan kilat biasa dilakukan karena keterbatasan waktu. Pada pelaksanaannya bentuk-bentuk kegiatan program komunikasi kesehatan sudah sesuai dengan target sasaran dan tujuan yang ingin dicapai. Komunikasi kesehatan yang diadakan menggunakan dua tipe saluran komunikasi, yaitu komunikasi interpersonal dan komunikasi yang berbasis masyarakat. Kedua saluran itu dilihat mampu menjangkau seluruh masyarakat dan efektif ketika berhadapan dengan norma-norma masyarakat, serta memberikan peluang bagi anggota khalayak untuk saling memerkuat perilaku satu sama lain. Namun pada kenyataan, kurangnya tenaga kesehatan yang berfungi sebagai komunikator menjadi faktor penghambat dalam menjalankan program-program. Hasil penerapan komunikasi kesehatan dapat dilihat dari perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam menilai dan menanggapi leptospirosis. Faktor yang memengaruhi penerapan komunikasi kesehatan meliputi aspek input, proses dan output. Input disini adalah berupa kebijakan yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Sleman sebagai pihak berwenang untuk memberantas leptospirosis – dalam hal ini mengadakan program komunikasi kesehatan. Proses adalah tahap pelaksanaan program di masyarakat. Sedangkan output merupakan luaran atau hasil perubahan yang terjadi pada masyarakat dalam bentuk kemampuan baru dalam menanggapi leptospirosis. Kegiatan monitoring dan evaluasi belum dilaksanakan secara maksimal. Daftar Pustaka Atmonobudi, Billy K. Sarwono. (2005). Panduan Lapangan Merancang StrategiKomunikasi Kesehatan. Jakarta: Program STARH. Azwar, S. (2003). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Babcock D.E dan Miller(1994). Client Education: Theory and Practise. Philadelphia: Mosby. Burnard, Philip. (1994). Effective Communication Skills for Health Professionals. London: Chapman & Hall. Departement Of Health & Human Services. Tanpa tahun. Making Health Communication Programs Work (Pink Book). U.S. Departement Of Health & Human Services. Entjang, Indan. (1975). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Bagian Penerbitandan Perpustakaan Biro V, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Ewles, Linda dan Ina Simnett. (1994). Promosi Kesehatan Petunjuk Praktis(terjemahan). Edisi 2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Gochman, David S. (1988). Health Behavior Emerging Research Perspectives.New York: Plenum Press.
21
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 1 – 22
Graeff,
ISSN 2085-1979
Judith A., John P. Elder dan Elizabeth Mills Booth. 1996. KomunikasiuntukKesehatan dan Perubahan Perilaku (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hardy, L.K. dan Coutts, LC. (1985). Teaching for Health: The Nurse as HealthEducator. Singapura: Longman Singapore Publisher Ltd. Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, Universitas Indonesia, danUSAID. 2005. Panduan Lapangan Merancang Strategi Komunikasi Kesehatan. Jakarta: Program STARH. Liliweri, Alo. (2009). Dasar-dasar Komunikasi Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Maha, Masri S. 2006. Gejala Klinis dan Pengobatan Leptospirosis. Jakarta: Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Mantra, I.B. (1997). Strategi Penyuluhan Kesehatan. Jakarta: Departeman Kesehatan Republik Indonesia. Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, Soekidjo. (2007). Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, Soekidjo. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Rakhmat, J. (2002). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Widoyono. (2008). Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasannya. Jakarta: Penerbit Erlangga. Yin, Robert K. 2006. Studi kasus: Desain dan Metode (terjemahan). Jakarta: PTRaja Grafindo Persada. Yuliarti, Nurhaeti. 2007. Hidup Sehat Bersama Hewan Peliharaan. Yogyakarta: Andi Offset.
22
Suzy Azeharie dan Wulan Purnama Sari: Penyingkapan Diri Ibas Yudhoyono Dalam Instagram Dan Reaksi Ani Yudhoyono Terhadap Postingan Instagram Ibas
PENYINGKAPAN DIRI IBAS YUDHOYONO DALAM INSTAGRAM DAN REAKSI ANI YUDHOYONO TERHADAP POSTINGAN INSTAGRAM IBAS Suzy Azeharie dan Wulan Purnama Sari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara Email:
[email protected],
[email protected] Abstrack Edy Baskoro Yudhoyono’s or well known as Ibas is the youngest son of the former President SBY and currently active as a politician for Democratic Party and member of Parliament. Thus it is important for Ibas as a political actor to do self-disclosure and convey political messages through his social media accounts. The main object of this paper is Ibas’s post in his Instagram account as a media for unveiling himself. This paper will also discuss about Mrs. Ani Yudhoyono or Ibas’s mother, the former first lady, in given response and reaction on the Ibas’s post. Methodology used for data collection in this paper is content analysis. The results of the content analysis show that Ibas was frequently post pictures of his family than his political activities. Moreover Ibas himself never respond to all incoming comments from his followers. Eventhough it was positive comments. Surprisingly, reaction and response was given by Mrs. Ani Yudhoyono. In many of Ibas’s post, Mrs. Ani Yudhoyono was sharp and yet keen on responding to the comments coming from Ibas’s followers. Mrs. Ani Yudhoyono response was often received disapproval and negative comments from other followers, because to their concern Mrs. Ani Yudhoyono was not using the right grammar of English and this eventually led to a hot debate between fellow follower's comments. The final conclusion that can be obtained is Ibas did not make his Instagram account as a media unveiling herself but only using his account as a medium for sharing photos. Which appear to be more active in doing communication and self-disclosure is Mrs. Ani Yudhoyono herself. Keywords: Self-Disclosure, Social Media, Instagram, Qualitative Content Analysi. Abstrak Edy Baskoro Yudhoyono atau lebih dikenal dengan nama Ibas merupakan putra bungsu dari mantan presiden SBY dan saat ini aktif sebagai politikus Partai Demokrat dan juga anggota DPR RI. fokus utama dalam penelitian ini adalah postingan Ibas dalam akun instagramnya yang merupakan sarana untuk penyingkapan dirinya, serta bagaimana reaksi Ibu Ani Yudhoyono mengenai postingan-postingan Ibas tersebut. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi. Berdasarkan hasil analisis isi yang dilakukan diperoleh hasil bahwa Ibas lebih sering melakukan posting tentang keluarganya daripada mengenai kegiatan politiknya. Selain itu Ibas tidak pernah sekalipun merespon semua komentar yang masuk dari para follower-nya, baik itu komentar baik ataupun mencela. Respon aktif justru diberikan oleh Ibu Ani. Ibu Ani memberikan komentar dalam bahasa inggris untuk merespon komentar-komentar yang masuk kedalam postingan Ibas. Respon Ibu Ani ini seringkali mendapat celaan dari para follower lainnya, karena dianggap tidak sesuai dengan tata bahasa inggris dan pada akhirnya berujung pada perang komentar antar sesama follower. Kesimpulan akhir yang dapat diperoleh adalah Ibas tidak menjadikan akun instagram sebagai media penyingkapan dirinya, instragram hanya digunakan Ibas sebagai media untuk berbagi foto, dan yang tampak aktif melakukan komunikasi dan penyingkapan diri adalah Ibu Ani. Kata kunci: Penyingkapan Diri, Media Sosial, Instagram, Analisis
23
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 23 - 31
ISSN 2085-1979
Pendahuluan Edhie Baskoro Yudhoyono atau menyebut dirinya sendiri Ibas atau sedang mempopulerkan akronim namanya sebagai EBY merupakan putra bungsu mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekaligus anggota DPR terpilih tahun 2014 mewakili Daerah Pemilihan VII yang meliputi Ngawi, Magetan, Pacitan, Ponorogo dan Trenggalek. Pendidikannya terakhir adalah dari Nanyang Techonology University dengan major International Political Economy. Sementara karir politiknya dimulai sebagai Sekretaris Jenderal Partai Demokrat periode 2010-2015 mendampingi Anas Urbaningrum. Sebelumnya ia adalah Ketua Departemen Kaderisasi DPP Partai Demokrat. Sekitar pertengahan tahun 2011, Ibas mulai menggunakan akun Instagram dengan nama buzz_24. Angka 24 mengacu pada tanggal lahirnya yaitu 24 November 1980. Sampai tulisan ini dibuat tanggal 5 Maret 2015, Ibas telah memposting 371 post dengan postingan terakhir pada minggu ketiga bulan Januari 2015. Jumlah followersnya 135 ribu orang akan tetapi hanya memfollow 11 orang yaitu: Audy Wardhana (suami Azima Rajasa), Reza Rajasa (kakak dari Aliyah Rajasa), Boneka (akun milik Annisa Pohan), Agus Yudhoyono, Ani Yudhoyono, Annisa Pohan, Azima Rajasa (adik Aliyah Rajasa), Beautiful Destinations, Okke Rajasa, Rasyid Rajasa dan Aliyah Rajasa. Kesemua nama yang diikuti di atas kecuali Beautiful Destinations merupakan keluarga dekat Ibas. Tulisan ini akan mencoba menganalisis postingan Ibas di akun Instagramnya dan mengkaitkannya dengan teori penyingkapan diri. Sebagai seorang yang bergelut dalam dunia politik, postingan Ibas menarik untuk diteliti dan dianalisis. Selain itu, akan dibahas juga mengenai reaksi Ani Yudhoyono selaku ibunda Ibas Yudhoyono terhadap tiga buah postingan foto yang diposting dalam Instagram Ibas Yudhoyono. Mengapa tiga foto ini yang diambil karena dalam tiga buah foto ini Ani Yudhoyono memberikan reaksi yang cukup menarik untuk diamati dan relatif banyak memperoleh tanggapan dari masyarakat. Pertanyaan utama yang ingin dijawab adalah bagaimanakah Ibas menyingkapkan dirinya? Hal-hal apa saja yang ia singkap kepada publik? Bagaimana ia merespons pesan-pesan yang ditujukan kepadanya melalui akun Instagram? Sebab sebagai media yang konvergen Instagram juga dapat dimasukan sebagai komunikasi antar personal. Media konvergen sendiri merupakan gabungan antara media komunikasi tradisional maupun internet. Dan untuk mengatakan bahwa sebuah komunikasi antar personal itu efektif, maka menurut Joseph A.DeVito (1989) seperti yang dikutip dalam tulisan Alo Liliweri (1997) ditandai oleh lima aspek yaitu yang pertama adalah keterbukaan, lalu adanya empati, dilanjutkan dengan sikap mendukung, dan kemudian adanya sikap positif dan terakhir adanya aspek kesetaraan. Pertanyaan lain adalah bagaimanakah reaksi Ani Yudhoyono terhadap foto yang diposting oleh Ibas. Pada kurang lebih dua dekade terakhir ini internet muncul sebagai media baru yang digunakan orang untuk berkomunikasi. Kemunculan media baru ini tidak ayal lagi telah menggeser penggunaan media tradisional seperti media cetak dan elektronik lainnya. Pengantar pos yang sekitar 10 tahun yang lalu masih dapat dilihat berkeliling mengantarkan surat dengan menggunakan sepeda kemudian berganti sepeda motor bewarna oranye terang kini hampir tidak pernah melintas lagi. Sebab prtukaran kabar kini dilakukan melalui internet misalnya dengan Whatsapp, BBM, Line, Skype, Email, Viber, atau melalui berbagai media sosial yang ada seperti Twitter, Instagram atau Facebook. Kehadiran media baru dalam format yang lebih efisien dapat menembus ruang dan waktu dalam format yang relatif lebih sederhana. Dunia seakan ada bersatu di bawah jempol jari seseorang. Hal tersebut dikatakan pula oleh Marshall McLuhan dalam 24
Suzy Azeharie dan Wulan Purnama Sari: Penyingkapan Diri Ibas Yudhoyono Dalam Instagram Dan Reaksi Ani Yudhoyono Terhadap Postingan Instagram Ibas
buku Apriadi Tamburaka yang mengatakan bahwa dampak hadirnya media baru adalah terwujudnya konsep global village. Hal tersebut disebabkan komunitas dunia maya terbentuk akibat jaringan internet yang menghubungkan antara komputer satu dengan komputer lain dan antara gadget yang satu dengan gadget yang lain (Tamburaka, 2013). Manusia sekarang dapat bertukar informasi dalam dunia virtual yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Berhubungan melalui internet di dunia digital menjadi sangat menyenangkan karena menurut Ardianto, Komala dan Karlinah, internet dapat dijadikan tempat penyimpanan yang sempurna dalam membuat siaga serta mampu menghimpun orang dalam jumlah yang masif dan utamanya lagi hal tersebut dilakukan secara elektronis (Ardianto,2012). Situs Internet World Stats ini merupakan sebuah situs internasional yang melakukan penelitian mengenai penggunaan internet di lebih 233 negara. Dan dari hasil penelitian terungkap bahwa pengguna internet meningkat dari 1,15 milyar di tahun 2007 menjadi 2,27 milyar di awal tahun 2012 (Kusuma, 2013). Dari grafik di atas diketahui bahwa lebih banyak laki laki yang menggunakan internet daripada perempuan, yaitu 41% berbanding 37%. Yang menarik adalah di negara negara maju perbandingan antar gender itu semakin menipis yaitu 475 juta pengguna perempuan berbanding 483 juta pengguna laki laki. Akan tetapi di negara berkembang perbedaan pengguna internet berdasarkan gender ini cenderung meluas yaitu perempuan 826 juta dan laki laki 980 juta pengguna. Sementara data pengguna internet untuk Indonesia juga menunjukan kemajuan yang siginifikan. Data di bawah ini menunjukan penggunaan internet pada tahun 2014:
Gambar 1.Pengguna Internet di Indonesia (Sumber :http://id.techinasia.com/statistik-pengguna-internet-di-dunia-dan-indonesiaslideshow/, diunduh tanggal 8 Oktober 2014 jam 11.35). Dari grafik di atas nampak bahwa penggunaan internet di negara kita banyak dimanfaatkan untuk berkomunikasi melalui media sosial seperti melalui facebook, dengan 62 juta orang pengguna. Media sosial merupakan media online bagi para penggunanya sehingga menurut Prahastiwi Utari, para penggunanya dapat berpartisipasi dengan mudah sekaligus berbagi informasi dengan cara menyampaikan pesan kepada orang lain selain menyatakan komentar terhadap pesan yang diterima (Utari, 2011). Sementara pendapat lain datang dari Asep Syamsul M.Romli yang mengatakan bahwa media sosial dipakai oleh penggunanya untuk menciptakan dan 25
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 23 - 31
ISSN 2085-1979
berbagi pesan yang bisa dikemas dalam jejaring sosial, blog maupun dunia virtual. Dengan menciptakan dan berbagi pesan trersebut maka pengguna media sosial menurut M.Romli mengajak semua orang yang tertarik untuk ikut serta dalam memberikan kontribusi dan memberikan feedback secara terbuka, berkomentar,berbagi mengenai informasi tentang apa saja maupun kapan saja dengan kecepatan penyebaran dalam hitungan detik. Dengan menggunakan media sosial maka para penggunanya mampu memenuhi kebutuhan untuk aktualisasi diri dan menciptakan personal branding (Romli, 2012). Istilah yang digunakan untuk kelompok ini adalah “eksis”.Karena para penggunanya dapat membuat profi diri sendiri dan membentuk jaringan pertemanan serta menggunggah foto foto pribadi sekaligus dengan cara demikian menyingkapkan diri kepada orang lain. Walaupun seperti yang terlihat pada grafik di atas media sosial yang paling popular adalah Facebook tapi Instagram juga menjadi salah satu favorit pengguna media sosial di tanah air. Data dari Teknopreneur menunjukkan bahwa penggunaan Instagram meningkat 10 kali lipat dan diunduh hampir 250.000 kali per hari di Google Play dengan waktu rata rata yang digunakan orang untuk berselancar di Instagram 257 menit dibandingkan dengan 170 menit untuk twitter (http://www.teknopreneur.com/web-social-network/pengguna-aplikasi-instagrammeningkat-sepuluh-kali-lipat). Menurut www. Tempo.com Instagram merupakan sebuah aplikasi berbagi foto yang kini sedang menjadi trend dunia. Aplikasi Instagram ini memungkinkan pengguna mengambil foto, menerapkan filter digital, dan membagi hasil foto tersebut keberbagai media sosial lainnya. Aplikasi Instagram memiliki kelebihan dibandingkan dengan aplikasi sejenisnya, karena salah satu fitur uniknya adalah dapat memotong foto menjadi bentuk persegi sehingga terlihat seperti hasil kamera Kodak Instamatic dan Polaroid. Kelahiran aplikasi Instagram ini dimulai oleh dua orang pemikir kreatif bernama Kevin Systrom dan Mike Krieger. Pada tahun 2010 Systrom menghasilkan sebuah produk yang diberi nama Burbn, yang merupakan aplikasi dasar yang memiliki empat tab, penggunanya dapat “move” atau mengecek sesuatu yang baru dan juga dapat memposting rencana dan mengabarkan rencana. Aplikasi Burbn ini tidak begitu laku dikarenakan belum sempurnanya penggunaan HTML,yang justru terjadi adalah para pengguna Burbn aktif menggugah foto biasa kehidupan sehariharinya Dari sumber yang sama diketahui bahwa kemudian Systrom bertemu dengan Krieger yang melengkapi kekurangan Burbn. Kolaborasi kedua orang ini melihat trend para pengguna Burbn tersebut dan mulai mempelajari tentang aplikasi popular lainnya dari kategori fotografi. Akhirnya mereka merombak Burbn dan melahirkannya kembali tepat pada 20 September 2010, Systrom dan Krieger meluncurkan Instagram,yang hanya dalam waktu setahun Instagram sudah diunduh oleh 31 juta pengguna. Kepopuleran Instagram yang terus meningkat ini juga mendorong nilai jualnya yang mencapai 1 milliar US ketika dibeli oleh Facebook pada tahun 2012 kemarin. Nama Instagram berasal dari pengertian keseluruhan fungsi aplikasi ini. Kata “Insta” berasal dari kata “Instan”, seperti kamera polaroid yang pada masanya lebih dikenal dengan sebutan “foto instan”. Sedangkan kata “Gram” berasal dari kata “Telegram”, karena cara kerja telegram sendiri adalah untuk mengirimkan informasi kepada orang lain dengan cepat. Oleh karena itulah instagram berasal dari “InstanTelegram” (www.gempak.org, tanggal 15 Mei 2014, diunduh tanggal 13 Oktober 2014 jam 09.26).
26
Suzy Azeharie dan Wulan Purnama Sari: Penyingkapan Diri Ibas Yudhoyono Dalam Instagram Dan Reaksi Ani Yudhoyono Terhadap Postingan Instagram Ibas
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode analisis isi. Sementara data tulisan ini dikumpulkan dari studi pustaka selain dari media internet, media cetak. Informasi dikumpulkan melalui buku-buku dan berbagai dokumen publikasi yang ada. Sementara penelusuran melalui internet memungkinkan didapatnya data dan informasi dengan cepat dan efisien. Hasil Penelitian dan Pembahasan Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat tidak untuk berhubungan dengan manusia lain guna memenuhi kebutuhan fisik maupun sosial mereka. Oleh karena itu manusia harus mampu membina hubungan yang harmonis dengan sesamanya untuk menjamin kebutuhan mereka terpenuhi. Kebutuhan sosial yang akan menjadi pokok bahasan tulisan ini adalah kebutuhan manusia untuk dapat diterima oleh orang lain. Untuk dapat diterima maka terlebih dahulu manusia harus mengungkapkan dirinya pada orang lain. Penyingkapan diri tersebut lazim dikenal dengan istilah self disclosure. Richard West dan Lynn Turner dalam buku yang berjudul Understanding Interpersonal Communication mengatakan bahwa self disclosure merupakan bentuk komunikasi berwujud pesan tentang diri sendiri. Sehingga self disclosure terjadi ketika seorang individu menyampaikan pesan tentang dirinya sendiri kepada orang lain. Dan penyingkapan diri tersebut dilakukan secara sadar dan dilakukan dengan sengaja. Sementara menurut Fisher dalam Iriantara, self disclosure merupakan kajian komunikasi dari perspektif interaksional. Oleh karena itu perhatian utama dalam hal ini adalah aspek interaksi. Dalam interaksi ini pihak pihak yang terlibat adalah komunikator sebagai individu-sosial yaitu individu yang mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya melalui interaksi sosial (Iriantara, 2008). Grafik 1: Analisis Isi Instagram Ibas Yudhoyono
Adapun fungsi self disclosure menurut Joseph A.DeVito dalam tulisan Iriantara adalah untuk membantu manusia untuk memahami dirinya dengan baik atau memandang diri sendiri dalam perspektif baru. Fungsi kedua adalah memberi manfaat untuk meningkatkan kemampuan manusia dalam mengatasi masalah yang ada. Selanjutnya fungsi yang ketiga adalah dengan melakukan self disclosure maka dapat melepaskan beban psikologis sehingga mampu melanjutkan aktivitas. Dengan self disclosure juga dapat membuat orang lain semakin memahami diri kita dan sebaliknya kita pun semakin memahami orang lain. Terakhir fungsi self disclosure adalah untuk membangun hubungan personal jadi tidak semata hubungan fungsional. Hubungan personal yang terwujud karena self disclosure ini membuat komunikasi yang dibangun menjadi k omunikasi yang bermakna yang memungkinkan pertukaran kata, pertukaran pikiran dan pertukaran hati (Iriantara, 2008). Tentu saja bagaimana 27
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 23 - 31
ISSN 2085-1979
cara untuk menyingkapkan diri, berapa banyak hal dari diri seseorang yang bisa diungkapkan pada orang lain, bagaimana cara untuk menyingkapkan diri apakah berbicara secara langsung atau melalui media lain, detail yang mana saja yang mau diungkapkan atau detail mana yang tidak akan pernah diungkapkan atau kapan waktu yang tepat untuk penyingkapan tersebut semuanya mengandung resiko apakah orang lain akan menolak atau tidak. Dari grafik di atas tampak bahwa Ibas Yudhoyono relatif lebih banyak memposting foto keluarganya yaitu 152 posting dari total 320 posting. Seperti diketahui Ibas Yudhoyono menikah dengan Aliyah Rubi Rajasa, putri tertua Ketua Umum PAN Hatta Rajasa. Mereka bertunangan pada bulan April 2011 dan melangsungkan akad pernikahan di Istana Cipanas tanggal 24 November 2011 disusul resepsi megah di Jakarta Convention Centre pada tanggal 26 November 2011 (Detik.Forum tanggal 24 November 2011,diunduh pada tanggal 13 Oktober 2014 pukul 08.05). Aliyah melahirkan Airlangga Satriadi pada Senin 24 Desember 2012 (Kompas.com tanggal 24 Desember 2012,diunduh tanggal 13 Oktober 2013 jam 08.15). Dari 320 posting perbulan Oktober 2014, maka Ibas hanya memposting 22 gambar yang dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan politik. Hal tersebut menarik untuk dicermati karena Ibas Yudhoyono sebelum terpilih sebagai anggota DPR periode 2014-2019 merupakan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat sekaligus mantan anggota DPR. Ia mengundurkan diri sebagai anggota DPR tahun 2013 karena didapati tidak mengikuti Sidang Paripurna DPR akan tetapi menitip absensi.
Gambar 2. Instagram Ibas Yudhoyono 1 (Sumber: data online instagram) Postingan Ibas mengenai kegiatan politiknya antara lain postingannya ketika ia bersepeda onthel dan sedang melambai pada masyarakat sekitar. Dari 22 buah postingannya maka postingan ini merupakan salah satu postingan yang ramai mendapatkan tanggapan followersnya karena Ibas menulis caption “silaturahim dan menyapa petani sayur mayur dengan sepeda ontel agar ketahanan pangan produktif terjaga”. Beberapa followersnya mempertanyakan apa hubungan antara mengendarai sepeda onthel dengan ketahanan pangan produktif? Akan tetapi, Ibas bergeming dan tidak menanggapi pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Kenyataan bahwa komentar maupun pertanyaan yang diajukan followersnya tersebut tidak ia tanggapi, memperlihatkan bahwa Ibas tidak memiliki intensi untuk meningkatkan hubungannya dengan para followersnya. Postingan lain yang dimasukan dalam kategori postingan politik menunjukan gambar Ibas sedang mengatupkan kedua tangannya dan mengucapkan Selamat Idul Fitri 1434 H. Sebuah postingan Ibas lainnya di atas yang diposting sekitar tiga bulan 28
Suzy Azeharie dan Wulan Purnama Sari: Penyingkapan Diri Ibas Yudhoyono Dalam Instagram Dan Reaksi Ani Yudhoyono Terhadap Postingan Instagram Ibas
yang lalu menjadi bukti bahwa ia tidak berniat menjadikan hubungannya dengan followersnya menjadi hubungan yang bermakna. Ketika Ibas memposting gambar singkatan dirinya “EBY” salah seorang followernya yaitu Fahira Siregar menulis sebagai berikut, “Abg boleh minta say hbd buat aku ga yang ke 17?”.Akan tetapi Ibas bergeming dan tidak memberikan respons dengan mengucapkan selamat berulang tahun ke 17 kepada Fahira Siregar. Sebuah komunikasi interpersonal menurut Joseph DeVito dalam Alo Liliweri baru dapat dikatakan efektif bilamana di dalamnya terdapat keterbukaan, empati, bersifat mendukung, bersikap positf dan meletakan diri sejajar (Liliweri,1997:12).
Gambar 3. Instagram Ibas Yudhoyono 2 (Sumber: data online instagram) Apa yang membuat Ibas bersikap seperti itu? Padahal dia adalah politisi yang dalam Pemilihan Umum secara langsung memerlukan suara rakyat?. Penyebabnya bisa bermacam macam. Mungkin karena perkembangan teknologi komunikasi yang pesat dan membuat manusia menjadi lebih individual. Manusia juga didukung tingkat egoisme yang tinggi merasa dapat melakukan hal apapun tanpa orang lain. Dalam posisi Ibas sebagai anak Presiden dan petinggi Partai Demokrat mungkin ia merasa mampu melakukan hal apapun tanpa bantuan orang lain. Penyebab lainya mungkin karena Ibas merasa followersnya tidak setara, tidak equal dengan dirinya. Hal lain yang menarik dari postingan foto Ibas adalah ternyata mantan Ibu Negara Ani Yudhoyono relatif tangkas dan cukup responsif dalam mengomentari foto foto postingan Ibas di media Instagram. Misalnya ketika Ibas memposting fotonya yang saat itu memakai kaos lengan pendek bewarna kuning dan celana pendek serta memakai sandal jepit kurang lebih 80 minggu yang lalu dan ia sambil menggendong anaknya, dengan judul posting “C’mon kid, let’s hit the beach”. Para follower Ibas mulai memberikan komentar seputar gossip yang selama ini menyebutkan bahwa Ibas memiliki tattoo, oleh karena itu ia tidak pernah mengenakan kemeja berlengan pendek. Salah satu follower Ibas yaitu @ganiadhitama mengomentari :”nahlo,gt dong mas dijawab dg fakta,hehehe”. Komentar lainnya datang dari @sophialacubak_season4 yang mengatakan “Mas ibas pake lengan panjang terus,mungkin ingin menutupi tubuhnya yg kurus. Malu dong ah,masa seorang anak presiden badannya cungkring. Hehe makanya di tutup lengan panjang. Bukan karena mas Ibas ada tattoo. Bener kan mas?” Ani Yudhoyono kemudian ikut “nimbrung” dengan memberikan komentarnya :”siiiiip uncle Ibas, be yourself. I love you” yang bila dilihat secara keseluruhan tidak ada hubungan sama sekali dengan postingan Ibas tersebut. Dan hampir semua 29
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 23 - 31
ISSN 2085-1979
komentar Ani Yudhoyono tersebut dibumbui Bahasa Inggris untuk memberikan kesan bahwa Ani adalah seseorang yang berwawasan luas, intelek dan bisa bercakap Bahasa Inggris.
Gambar 4. Instagram Ibas Yudhoyono 3 (Sumber: data online instagram) Komentar lainnya yang datang dari Ani Yudhoyono adalah ketika tanggal 17 Agustus 2013 Ibas memposting fotonya bersama kakaknya Agus Harimurti pada saat Perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan di Istana Merdeka dengan judul posting “Brothers at Independence Day”. Saat para follower Ibas mulai memberikan komentar seperti, @savinatuzzahro “kaka dan adik yang kompak”, atau @sintadhapsari “Aaawww kakak adik yang beda kerjaan tapi 1 tujuan. Lovee banget ya selalu kompak”. Maka Ani Yudhoyono mengomentari dengan cepat “My boys, keep calm and compact. I always pray for you where ever you are. I love you so much”. Komentar Ani Yudhoyono ini lalu dijadikan bulan bulanan olok olok karena kalimat bahasa Inggris tersebut dianggap tidak sesuai dengan tata Bahasa Inggris. Selain itu pemilihan kata “compact” juga menjadi alasan olok-olok lainnya. Beberapa follower mengasosiasikan kata “compact” dengan compact powder atau juga compact disc. Tetapi ada juga beberapa follower yang berusaha membela komentar Ani Yudhoyono, yang pada akhirnya berujung dengan perang komentar oleh para follower baik yang membela maupun mengolok-olok. Postingan lain yang mendapat komentar cukup pedas dari Ani Yudhoyono adalah ketika Ibas memposting foto sekitar lima bulan yang lalu ketika ia menggendong anaknya yang ia sebut “My Little Gatsby” dan kemudian ada yang mengomentari bahwa “Ayahnya aja ganteng apalagi anaknyaaa”. Entah mengapa ibu Ani kemudian mengomentari “Dua2nya ganteng. Gak usah dengar suara orang yang suka sirik. Maju terus anak dan cucuku. Allah selalu melindungimu. Do’a pepo dan memo senantiasa menyertai kalian. Cc @tarieduardw”. Simpulan Media Instagram yang dimiliki Ibas Yudhoyono tidak ia jadikan sebagai media untuk melancarkan pesan pesan politik maupun visi dia sebagai salah seorang politisi. Hal tersebut terbukti dari postingan foto yang bermuatan politik hanya ia posting sebanyak 22 buah dibanding postingan dia tentang keluarganya dan perjalanan pribadinya sebanyak 152 buah. Postingan terakhir pun dilakukannya sekitar minggu ketiga bulan Januari 2015 dengan mengupload foto anaknya. Ibas 30
Suzy Azeharie dan Wulan Purnama Sari: Penyingkapan Diri Ibas Yudhoyono Dalam Instagram Dan Reaksi Ani Yudhoyono Terhadap Postingan Instagram Ibas
Yudhoyono belum mengoptimalkan pemanfaatan Instagram sebagai media berpolitiknya. Sebagai seorang politisi dari Partai Demokrat dan sekarang menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR maka Ibas Yudhoyono tampaknya tidak memanfaatkan media sosial Instagram sebaik baiknya sebagai wahana untuk mendekatkan dirinya dengan followersnya. Hal tersebut terbukti dengan nyaris tidak pernah ia membalas pertanyaan maupun komentar para followersnya. Komentar dari ibunya juga tidak pernah ia tanggapi. Tampaknya bagi Ibas Yudhoyono setelah ia memposting suatu foto maka persoalannya dianggap selesai. Efektifitas komunikasi yang menurut DeVito meliputi lima aspek seperti keterbukaan, empati, mendukung, positif dan setara tidak tampak dari cara-cara Ibas dalam menggunakan media Instagram. Penyingkapan diri yang dilakukan dan menurut Iriantara meliputi elemen akrab, ada ganjaran, mengurangi ketidak pastian dan bersifat timbal balik juga tidak tampak dari pemakaian Instagram Ibas. Hal tersebut cukup aneh karena pada saat banyak sekali tokoh tokoh politik dunia maupun tokoh politik nasional yang menggunakan berbagai media sosial untuk meraih konstituen, mencoba meraih simpati konstituen, dengan mengirim pesan pesan politik Ibas tampak tidak mempedulikan hal tersebut. Sementara Ani Yudhoyono meski saat itu masih berstatus sebagai istri seorang Kepala Negara Republik Indonesia tapi tampaknya mengganggap wajar menulis komentar di media sosial yang dapat dibaca siapapun dalam Bahasa Inggris. Alih alih membiasakan menggunakan Bahasa Indonesia secara benar dan menjadikan Bahasa Indonesia sebagai tuan rumah di negaranya sendiri, ibu negara (kala itu) malah menjadikan Bahasa Inggris sebagai tuan di negara ini. Selain itu reaksi yang sering terlontar dalam kalimatnya acapkali bernada menyerang yang seharusnya ditanggapi dengan tenang dan waskita. Daftar Pustaka Ardianto, Elvinaro et al. (2005). Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung. Simbiosa Rekatama Media. Iriantara, Yosal. (2008). Komunikasi Antarpribadi. Jakarta. Universitas Terbuka. Liliweri, Alo. (1997). Komunikasi Antarpribadi. Bandung. Citra Aditya Bakti. Moleong, J.Lexy. (2005). Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya. Romli,Asep Syamsul.M (2102). Jurnalistik Terapan. Jakarta. Tamburaka, Apriadi (2013). Literasi Media. Jakarta. Rajawali Press. West, Richard dan Lyn H Turner. (2008) Pengantar Teori Komunikasi : Analisis dan Aplikasi. Jakarta:Salemba Humanika Sumber Internet : www.tempo.co/read/news/2012/04/11/061396185/kisah-instagram-dari-0-ke-Rp-91triliun http://Internetworldstats.com/stats.htm, diunduh tanggal 8 Oktober 2014 jam 08.30. Kompas.com tanggal 24 Desember 2012,diunduh tanggal 13 Oktober 2013 jam 08.15. www.gempak.org, tanggal 15 Mei 2014, diunduh tanggal 13 Oktober 2014 jam 09.26. Detik.Forum tanggal 24 November 2011,diunduh pada tanggal 13 Oktober 2014 pukul 08.05. http://id.techinasia.com/statistik-pengguna-internet-di-dunia-danindonesia-slideshow/,diunduh tanggal 8 Oktober 2014 jam 11.35.
31
Janne Halim dan Widayatmoko: Representasi Kampanye Politik Pemilu 2014 Dalam Game (Analisis Semiotik Dalam Game Jokowi Go! Dan Game Prabowo The Asian Tiger)
REPRESENTASI KAMPANYE POLITIK DALAM GAME (ANALISIS SEMIOTIK DALAM GAME JOKOWI GO! DAN GAME PRABOWO THE ASIAN TIGER) Janne Halim dan Widayatmoko Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara Email:
[email protected],
[email protected] Abstract This study aims to determine how the representation of political campaigns in the 2014 elections in the game Jokowi Go! and Prabowo the Asian Tiger. The theory is used to build this research is related to the theory of political communication political campaign message implicit in the second game. then the representation theory to explain the construction of the meaning of a symbol. In addition, the study of political PR is used as a media channel to communicate interpretations political issues specifically, in an effort gathering public support, and the theory of communication and information technology, especially in this game. To answer the research questions, the researcher uses semiotic method proposed by Roland Barthes with the concept of connotation, denotation, and myths to analyze the second game. The results of this study indicate that the game Jokowi Go! There are many political campaign messages conveyed premises represent the community in different ways, while the game Prabowo The Asian Tiger, it can be said that the political campaign messages contained in it is minimal. In the game Prabowo The Asian Tiger even invisible characters that represent the people of Indonesia, as well as the program's mission and vision owned by Mr. Prabowo Keywords: Games , Politics, Representation, Semiotic, Elections Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi kampanye politik dalam pemilu 2014 dalam game Jokowi Go! dan Prabowo the Asian Tiger. Teori yang digunakan untuk membangun penelitian ini adalah teori komunikasi politik terkait pesan kampanye politik yang tersirat dalam kedua game tersebut. kemudian teori representasi menjelaskan konstruksi makna sebuah simbol. Selain itu kajian PR politik digunakan sebagai saluran media untuk mengkomunikasikan interprestasi isu-isu politik yang khusus, dalam upaya pengumpulan dukungan publik, dan teori teknologi komunikasi dan informasi khususnya dalam hal ini game. Untuk menjawab pertanyaan penelitian, peneliti menggunakan metode semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes dengan konsep konotasi, denotasi, dan mitos untuk menganalisis kedua game tersebut. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa game Jokowi Go! banyak terdapat pesan kampanye politik yang disampaikan merepresentasi masyarakat Indoensia dengan cara yang beragam, sedangkan pada game Prabowo The Asian Tiger, dapat dikatakan bahwa pesan kampanye politik yang terdapat di dalamnya sangatlah minim. Di dalam game Prabowo The Asian Tiger bahkan tidak terlihat karakter yang merepresentasikan masyarakat Indonesia, maupun program dan visi misi yang dimiliki oleh Bapak Prabowo. Kata Kunci: Game, Politik, Representasi, Semiotik, Pemilu
32
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 32 - 40
ISSN 2085-1979
Pendahuluan Masyarakat modern sangat dekat dengan gadget, dan mereka sering memainkan game melalui gadget mereka. Selama ini, game hanya dipandang sebagai sarana hiburan semata. Namun bila diperhatikan, game juga dapat dijadikan sebuah media komunikasi, apabila di dalam game tersebut dimasukan pesan-pesan tertentu. Game bahkan juga dapat dijadikan media atau sarana untuk menyampaikan pesan kampanye politik kepada pemain game. Dalam pemilihan presiden 2014, para calon presiden banyak melakukan kampanye politik, dimana salah satu media yang digunakan untuk melakukan kampanye adalah game. Developer game sengaja memasukan pesan kampanye politik tertentu ke dalam game dan melakukan representasi terhadap kedua capres tersebut, agar tercipta citra tertentu yang diinginkan di dalam benak pemain game. Kemampuan game yang dapat menjadi media komunikasi, serta fenomena masyarakat modern yang sering memainkan aplikasi game melalui gadget ini pun disadari oleh kedua pihak capres. Mereka akhirnya memutuskan untuk menjadikan aplikasi game sebagai salah satu media kampanye politik dalam pemilu 2014. Mereka pun menyadari pentingnya menggunakan aplikasi modern yang kreatif untuk mendekati dan menyampaikan pesan kampanye, agar presepsi masyarakat modern, khususnya generasi muda dapat dipengaruhi. Kedua tim capres tersebut akhirnya membuat aplikasi game untuk menyampaikan pesan kampanye kepada masyarakat modern. Kedua game tersebut menjadikan masing-masing capres sebagai tokoh utama dalam game yang mereka ciptakan. Capres Jokowi membuat aplikasi game bernama Jokowi Go!, dan Capres Prabowo membuat aplikasi game bernama Prabowo The Asian Tiger. Aplikasi game ini pun dapat dengan mudah diunduh (download) oleh para pengguna gadget. Game ini sengaja dikonstruksi sedemikian rupa, sehingga hasil representasi sosial dan tokoh capres yang terlihat di dalam game tersebut nampak seperti pahlawan. Masingmasing game berusaha untuk menampilkan dan membangun citra positif capres yang menjadi tokoh utama di dalam game tersebut. Penelitian ini melihat “Bagaimana representasi kampanye politik pemilu 2014 di dalam aplikasi game Jokowi Go! dan game Prabowo The Asian Tiger?” Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dijabarkan diatas, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh penulis adalah: a. Untuk mengetahui makna dibalik pesan-pesan kampanye politik yang disampaikan dalam game, baik melalui bahasa verbal, maupun non-verbal. b. Untuk mengetahui representasi kedua tokoh capres dalam game Jokowi Go! dan game Prabowo The Asian Tiger. Penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat bagi berbagai pihak. Manfaat dari penelitian ini akan dikategorikan menjadi manfaat akademis dan manfaat praktis. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu komunikasi, khususnya di bidang public relations (PR). Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sudut pandangan yang berbeda mengenai kampanye politik yang sering kita jumpai. Setelah membaca penelitian ini, penulis berharap agar para akademisi komunikasi dapat lebih memperhatikan berbagai media kreatif yang dapat dijadikan media komunikasi dan kampanye politik. Penulis juga berharap agar penelitian ini dapat dijadikan acuan dan referensi untuk penelitian lain yang serupa di kemudian hari. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis untuk berbagai pihak, seperti masyarakat, produsen game, dan tim sukses kedua capres.
33
Janne Halim dan Widayatmoko: Representasi Kampanye Politik Pemilu 2014 Dalam Game (Analisis Semiotik Dalam Game Jokowi Go! Dan Game Prabowo The Asian Tiger)
a) Masyarakat: Dengan adanya penelitian ini, diharapkan masyarakat dapat lebih kritis dalam menanggapi pesan-pesan kampanye politik yang terdapat di dalam game. b) Produsen game: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada produsen game dalam bentuk pemikiran kreatif dan sudut pandang yang berbeda mengenai game yang berisi pesan politik. c) Tim sukses capres: Penelitian ini diharapkan dapat membantu tim sukses untuk mengevaluasi game Jokowi Go! dan Game Prabowo The Asian Tiger agar game yang akan dibuat di kemudian hari dapat lebih efektif. Menurut Shanon dan Weaver, komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain, sengaja atau tidak sengaja dan tidak terbatas pada bentuk komunikasi verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni dan teknologi (Cangara, 1998). Pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan pembicaraan yang kita sadari termasuk dalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Suatu sistem kode verbal disebut bahasa. Bahasa merupakan salah satu cara manusia untuk dapat berkomunikasi dan bertukar pikiran serta ide antara satu sama lain. Edward Hall (Mulyana, 2007) membedakan budaya konteks tinggi (high context culture) dengan budaya konteks rendah (low context culture), yang sangat berbeda dalam cara penyandian pesannya. Budaya konteks rendah ditandai dengan komunikasi konteks rendah: pesan verbal dan eksplisit, gaya bicara langsung, lugas, dan berterus terang. Para penganut budaya konteks rendah mengatakan apa yang mereka maksudkan (they sad what they mean), dan memaksudkan apa yang mereka katakana (they mean what they say). Hal ini berlawanan dengan budaya konteks tinggi yang ditandai dengan komunikasi tingkat tinggi: kebanyakan pesan bersifat implisit, tidak langsung, dan tidak terus terang. Pesan yang sebenarnya mungkin tersembunyi dalam perilaku nonverbal pembicara, seperti intonasi suara, gerakan tangan, postur badan, ekspresi wajah, tatapan mata, atau bahkan konteks fisik (dandanan, oenataan ruangan, bendabenda, dan sebagainya). Pernyataan verbal bisa berbeda atau bertentangan dengan pesan nonverbalnya. Menurut Dahlan, komunikasi politik adalah suatu bidang atau disiplin yang menelaah perilaku dan kegiatan komunikasi yang bersifar politik, mempunyai akibat politik, atau berpengaruh terhadap perilaku politik (Cangara, 2011). Denton dan Woodward mendefinisikan komunikasi politik sebagai diskusi yang murni membicarakan tentang pengalokasian berbagai sumber daya (resources), kewenangan resmi seseorang yang diberi kekuasaan untuk membuat peraturan, keputusan legislatif dan eksekutif, serta sangsi-sangsi resmi (Heryanto dan Zarkasy, 2012). Alfian berpendapat bahwa komunikasi politik dapat diibaratkan sebagai sirkulasi darah dalam tubuh (Hamid dan Budianto, 2011). Komunikasi politik mengalirkan pesan politik berupa tuntutan, protes, serta dukungan (aspirasi dan kepentingan) ke jantung (pusat) pemrosesan sistem politik dan hasil pemrosesan tersebut, dialirkan kembali oleh komunikasi politik. Pesan politik adalah pernyataan yang disampaikan baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik secara verbal dan nonverbal, tersembunyi maupun terang-terangan, baik yang disadari maupun tidak disadari yang isinya mengandung bobot politik (Cangara, 2011). Segala pesan dan infromasi yang memiliki unsur atau muatan politik termasuk dalam pesan politik. Pidato politik, undang-undang pemilu, pernyataan politik, iklan politik, dan propaganda politik adalah contoh dari komunikasi yang mengandung pesan politik. 34
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 32 - 40
ISSN 2085-1979
Saluran atau media politik adalah alat atau sarana yang digunakan oleh para komunikator politik dalam menyampaikan pesan-pesan politiknya. Media yang digunakan untuk menyampaikan pesan politik dapat disebut sebagai media politik (Cangara, 2011). Ketika suatu media komunikasi membawa atau menyampaikan pesan politik kepada komunikan, maka media tersebut telah menjadi media politik. Para komunikator politik biasanya memanfaatkan berbagai media komunikasi untuk menyampaikan pesan politiknya. Ketika media komunikasi digunakan untuk menyampaikan pesan politik, maka media tersebut telah menjadi media politik. Radio, TV, koran, majalah, billboard, dan internet biasanya menjadi media yang digunakan untuk menyampaikan pesan politik kepada masyarakat luas. Bernays (Iriantara, 2005) menyebut PR sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan relasirelasi satu unit dengan publik atau publik-publiknya sebagai relasi yang mendasari berlangsungnya kehidupan. McNamara (Iriantara, 2005) mendefinisikan PR berdasarkan tujuan kegiatan PR yang dirumuskannya sebagai aktivitas berkelanjutan untuk menjamin perusahaan memiliki citra yang kuat di mata publik. Scott M Cutlip (2005) memberi definisi PR sebagai fungsi manajemen khusus yang membantu pembentukan dan pemeliharaan garis komunikasi dua arah, saling pengertian, saling menerima dan bekerja sama antara satu organisasi atau perusahaan dan masyarakat yang melibatkan manajemen masalah, membantu manajemen untuk selalu mendapat informasi dan merespons pendapat umum, memdefinisikan dan menekankan tanggung jawab manajemen dalam melayani kepentingan masyarakat, membantu manajemen untuk mengikuti dan memanfaatkan perubahan secara efektif, berfungsi sebagai peringatan awal untuk mengantisipasi kecenderungan dan menggunakan riset, serta komunikasi yang masuk akal dan etis sebagai sarana utamanya. Roland Barthes adalah seorang ahli semiotik yang sangat terkenal dan berperan cukup penting dalam membangun pengetahuan mengenai semiotik. Barthes merupakan seorang yang mempraktikan dan mengembangkan semiologi Saussurean. Barthes akhirnya menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja. Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum dengan makna denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harafiah atau makna yang sesungguhnya, serta meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata tersebut. Denotasi biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Menurut Berger, makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda (Sobur, 2004). Sedangkan Harimurti Kridalaksana mendefinisikan denotasi sebagai makna kata atau sekelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu (Sobur, 2004). Kata konotasi berasal dari bahasa latin “connotare”, yang berarti menjadi tanda, dan mengarah kepada makna-makna kultural uang terpisah atau berbeda dengan kata dan bentuk-bentuk lain dari komunikasi. Makna konotasi adalah makna denotasi yang ditambah dengan segala gambaran, ingatan, dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata tertentu. Konotasi (Sobur, 2014) juga dapat diartikan sebagai aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditumbulkan pada pembicara (penulis) atau pendengar (pembaca). Menurut Chen (2006), game adalah aktivitas yang dilakukan secara sukarela atau tidak ada paksaan dan jelas berbanding terbalik dengan kehidupan nyata, membuat imajinasi yang nantinya dapat masuk ke dunia nyata hingga akhirnya menyerap perhatian para pemain game. Game dimainkan tanpa waktu dan tempat 35
Janne Halim dan Widayatmoko: Representasi Kampanye Politik Pemilu 2014 Dalam Game (Analisis Semiotik Dalam Game Jokowi Go! Dan Game Prabowo The Asian Tiger)
yang spesifik, dan tergantung aturan yang ada. Dalam konteks game, secara teknis dapat dilihat bahwa komunikasi dan interaksi menjadi unsur utama dalam memainkan game. Unsur interaksi yang terjadi di dalam game dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu human computer interaction dan human to human interaction. Human computer interaction adalah interaksi yang terjadi antara konten game dengan pemain game atau player tersebut. Human computer interaction terjadi dalam proses seorang pemain bermain game bermain secara solo (singleplayer), dimana seluruh interaksinya terjadi antara pemain dan game itu sendiri. Metode Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan oleh penulis pada kesempatan ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena-fenomena sosial yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Fenomena sosial yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah kampanye politik yang dilakukan oleh capres 2014 dalam game. Penelitian ini akan menjelaskan mengenai pendekatan dan pesan kampanye politik yang hendak disampaikan kepada khalayak politik melalui game. Penelitian ini bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, factual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat objek tertentu (Kriyantoro, 2006). Metode penelitian ini tidak mementingkan jumlah sample yang digunakan dan perhitungan statistik, sehingga hasil penelitian ini tidak bisa digeneralisasikan secara luas. Subjek yang terdapat dalam penelitian ini adalah game kedua capres 2014 tersebut, yaitu game Jokowi Go! dan game Prabowo The Asian Tiger. Penulis sengaja memilih kedua game tersebut sebagai subjek penelitian karena di dalam game tersebut terdapat banyak muatan atau konten yang berhubungan dengan pesan politik, sehingga kedua game tersebut menjadi sangat menarik untuk diteliti. Objek penelitian adalah istilah untuk menjawab apa yang sebenarnya hendak diteliti dalam sebuah penelitian. Objek dalam penelitian ini adalah simbol-simbol yang memiliki konten atau muatan politik yang terdapat di dalam game Jokowi Go! dan game Prabowo The Asian Tiger. Simbol-simbol yang akan diperhatikan dalam penelitian ini dapat terpresentasikan di dalam background, storyline, karakter, dan kata-kata verbal di dalam game tersebut. Dalam penelitian ini, penulis memutuskan untuk membagi dan mengkelompokan konten-konten di dalam game Jokowi Go! dan game Prabowo The Asian Tiger menjadi 3 kelompok besar, yaitu: 1. Background: Merupakan intepretasi dari lingkungan dan setting lokasi dimana permainan tersebut berlangsung. 2. Karakter: Merupakan intepretasi karakter dan ikon-ikon atau attribut karakter yang dapat diinterprestasikan. 3. Verbal: Kata-kata atau tulisan yang terdapat di dalam game. Hasil Penemuan dan Diskusi Dalam penelitian ini, penulis mengamati tentang konten dan pesan-pesan yang terdapat di dalam game Jokowi Go! dan game Prabowo The Asian Tiger. Penulis ingin menemukan dan menjabarkan mengenai representasi kampanye politik yang dilakukan di dalam kedua game tersebut, melalui penjelasan makna yang terdapat di balik pesan-pesan kampanye politik yang terlihat di dalam game. Setelah melakukan penelitian, penulis menemukan bahwa pesan-pesan kampanye politik yang terdapat di dalam game dapat dimasukankan ke dalam berbagai unsur game, seperti pada latar belakang gambar, karakter, kata-kata verbal, maupun berbagai perlengkapan dan atribut yang digunakan oleh karakter. Tampilan 36
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 32 - 40
ISSN 2085-1979
yang terlihat di dalam game akhirnya membentuk suatu representasi dari berbagai hal yang nyata, seperti keadaan sosial dan sosok tertentu yang mengandung berbagai unsur kampaye politik. Pesan-pesan kampanye politik tersebut dibuat berdasarkan perspektif dan tujuan serta kepentingan masing-masing developer game. Setelah penulis menjabarkan dan menjelaskan satu persatu makna yang terdapat dibalik berbagai unsur yang terlihat di dalam game, penulis akhirnya mengerti mengenai representasi kampanye politik yang dilakukan di dalam game. Penulis juga menemukan adanya perbedaan kampanye politik yang dilakukan di dalam game Jokowi Go! dan game Prabowo The Asian Tiger. Game Jokowi Go! lebih banyak memasukan unsur kampanye politik dibandingkan game Prabowo The Asian Tiger. Game Jokowi Go! juga lebih variatif, karena terdapat banyak background dan kata-kata verbal yang berbeda di dalam game, serta banyak dijumpai karakter lain yang merepresentasikan masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan dan profesi. Tidak hanya itu, kampaye politik yang dilakukan di dalam game Jokowi Go! juga terlihat di bagian opening dan closing game. Pada bagian opening game, pemain game langsung menerima pesan kampanye politik begitu game Jokowi Go! dibuka. Dalam seketika, pemain game akan melihat dan dapat memilih sendiri berbagai kostum karakter game yang memiliki pesan kampanye politik yang berbeda pada tiap kostum tersebut. Pesan kampanye politik yang terdapat di dalam game Jokowi Go! tidak hanya nampak dalam gambar saja, tetapi juga terlihat di dalam berbagai tulisan atau katakata verbal. Ketika pemain game sedang memainkan game Jokowi Go!, pemain game akan sering menemui papan-papan yang berisi tulisan atau kata-kata verbal, seperti kata “Sambut Pemerintahan Baru”, “Kawal Presiden Baru”, “Ayo Bangun Indonesia”, dan sebagainya. Kata-kata verbal tersebut diindikasi sebagai pesan kampanye politik yang bertujuan mengajak seluruh masyarakat Indonesia, khususnya pemain game untuk turut serta dalam melakukan sesuatu. Pada game Prabowo The Asian Tiger, kampanye politik hanya terlihat pada bagian opening dan saat game dimainkan, sedangkan pada bagian closing game, penulis tidak mengindikasi pesan kampanye politik apapun. Pesan kampanye politik yang terlihat pada bagian closing dan saat game dimainkan tidak jauh berbeda, atau bahkan dapat dikatakan serupa, yaitu merepresentasikan Bapak Prabowo ketika berliau menjadi anggota TNI. Berdasarkan berbagai atribut yang dikenakan oleh karakter Bapak Prabowo dan background yang terlihat di dalam game, penulis dapat menyimpulkan bahwa developer game ingin merepresentasikan Bapak Prabowo sebagai sosok pahlawan yang gagah berani, tangguh, tegas, dan mampu melindungi Bangsa Indonesia. Bapak Prabowo juga digambarkan sebagai sosok yang memiliki berbagai kemampuan dan keahlihan yang dapat mengalahkan musuh dan menegakan keadilan. Sayangnya, game Prabowo The Asian Tiger ini hanya memiliki satu background, sehingga latar tempat yang tergambarkan di dalam game ini hanya terdapat satu tempat. Karakter yang ada di dalam game ini juga hanya terdapat karakter Bapak Prabowo dan karakter musuh yang terlihat seperti merepresentasikan teroris, sehingga tidak terlihat adanya variasi karakter di dalam game ini. Di dalam game ini pun tidak terlihat adanya pesan-pesan kampanye politik yang disampaikan dalam bentuk kata-kata verbal Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam game Jokowi Go! banyak terdapat pesan kampanye politik yang disampaikan dengan cara yang beragam, sedangkan pada game Prabowo The Asian Tiger, dapat dikatakan bahwa pesan kampanye politik yang terdapat di dalamnya sangatlah minim. Di dalam game Prabowo The Asian Tiger bahkan tidak terlihat karakter yang merepresentasikan masyarakat Indonesia, maupun program dan visi misi yang dimiliki oleh Bapak Prabowo. 37
Janne Halim dan Widayatmoko: Representasi Kampanye Politik Pemilu 2014 Dalam Game (Analisis Semiotik Dalam Game Jokowi Go! Dan Game Prabowo The Asian Tiger)
Simpulan Setelah penulis melakukan analisis dan pembahasan mengenai game Jokowi Go! dan game Prabowo The Asian Tiger, serta menarik kesimpulan atas hasil analisis tersebut, penulis dapat memberikan beberapa saran ataupun masukan yang kiranya dapat berguna bagi berbagai pihak. Dalam kesempatan kali ini penulis ingin memberikan saran dan masukan kepada berbagai pihan, diantaranya pihak developer game, tokoh politik, serta masyarakat. Representasi kampanye politik yang di lakukan di dalam game Jokowi Go! dapat dikatakan sangat baik, karena representasi tersebut sudah mencangkup berbagai unsur penting yang menjadi perhatian kegiatan kampanye politik, seperti adanya representasi berbagai masalah dan persoalan Bangsa Indonesia yang harus segera di selesaikan, representasi masyarakat dari berbagai kalangan, dan representasi dari visi misi Bapak Jokowi. Representasi sosok Bapak Jokowi sendiri juga terlihat sangat baik, karena Bapak Jokowi digambarkan sebagai orang yang peduli dan dekat dengan masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan, serta memiliki program yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Representasi kampanye politik juga terlihat dalam berbagai bagian game. Oleh sebab itu, maka dapat dikatakan bahwa representasi kampanye politik yang dilakukan dalam game Jokowi Go! sudah sangat baik. Penulis berharap developer game dapat mempertahankan representasi kampanye politiknya tersebut, sehingga pesan kampanye politik dapat tersampaikan dengan baik kepada pemain game. Hal ini berbeda dengan representasi kampanye politik yang terdapat di dalam game Prabowo The Asian Tiger, karena di dalam game ini hanya terdapat sedikit representasi dan pesan kampanye politik. Representasi kampanye politik yang terdapat di dalam game Prabowo The Asian Tiger tidak mewakili berbagai unsur penting yang ada, sehingga representasi yang terlihat sangatlah minim dan tidak terdapat banyak pesan kampanye politik. Seharusnya, representasi kampanye politik di dalam game Prabowo The Asian Tiger dapat lebih mewakili berbagai keadaan sosial dan masyarakat Indonesia, maupun visi misi Bapak Prabowo. Representasi sosok Bapak Prabowo di dalam game Prabowo The Asian Tiger menggambarkan Bapak Prabowo sebagai seorang pahlawan yang tegas, gagah, berani, serta mampu mengalahkan musuh. Representasi tersebut dapat dikatakan cukup baik, karena menunjukan Bapak Prabowo sebagai sosok yang hebat, tetapi penulis merasa akan lebih baik bila Bapak Prabowo juga direpresentasikan sebagai sosok pembela dan pelindung masyarakat Indonesia. Representasi sosok Bapak Prabowo juga harus lebih bersifat positif dan ditingkatkan lagi. Secara keseluruhan, game Jokowi Go! sudah menarik dan terdapat banyak variasi yang unik. Pesan-pesan kampanye politik yang terdapat di dalam game Jokowi Go! juga sudah ditampilkan dengan baik, karena keseluruhan game telah memuat pesan-pesan kampanye politik tersebut secara unik. Setiap bagian game juga sudah dimanfaatkan dengan baik untuk menampilkan pesan-pesan kampanye politik yang hendak disampaikan oleh developer game. Developer game juga tidak lupa untuk memanfaatkan sosial media dalam mempromosikan dan mengenalkan game ini, sehingga cukup banyak orang yang mengetahui game Jokowi Go! melalui sosial media. Pemain game juga dapat menampilkan jumlah nilai atau score yang diperolehnya dalam game Jokowi Go! di halaman akun sosial medianya. Walaupun sudah tergolong menarik dan menyenangkan, tetapi penulis merasa masih terdapat beberapa kekurangan di dalam game Jokowi Go!, diantaranya adalah di dalam game Jokowi Go! tidak ada peringkat juara diantara pemain game dengan 38
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 32 - 40
ISSN 2085-1979
teman-temannya, sehingga seolah game Jokowi Go! hanya dimainkan oleh pemain game seorang diri. Game Jokowi Go! tentu akan lebih seru jika terdapat peringkat juara, sehingga para pemain game dapat saling bersaing untuk menjadi juara pertama. Semakin mereka ingin menjadi juara, maka mereka akan lebih sering memainkan game tersebut, sehingga pesan-pesan kampanye politik yang terdapat di dalam game juga akan semakin sering dilihat dan diterima oleh pemain game. Selain itu, penulis merasa game Jokowi Go! hampir tidak pernah memberikan hadiah kepada pemainnya. Penulis merasa, selayaknya pemain game yang sering memainkan game Jokowi Go! diberikan reward atau hadiah atas kesetiaannya memainkan game Jokowi Go!. Salah satu bentuk hadiah yang dapat diberikan adalah berupa koin atau item khusus yang akan diterima oleh pemain game bila mereka log in ke dalam game. Dengan adanya reward tersebut, penulis merasa pemain game akan lebih bersemangat dan giat memainkan game Jokowi Go!. Hal ini berbeda dengan game Prabowo The Asian Tiger, karena penulis merasa masih banyak kekurangan yang terdapat di dalam game ini. Background dan karakter yang minim atau monoton akan membuat pemain game cepat merasa bosan. Oleh sebab itu, penulis menyarankan agar developer game membuat lebi banyak variasi pada background dan karakter di dalam game Prabowo The Asian Tiger, sehingga pemain game tidak cepat merasa bosan. Akan lebih baik bila background dan karakter yang dibuat dapat merepresentasikan keadaan sosial dan masyarakat Indonesia. Game Prabowo The Asian Tiger juga seharusnya lebih banyak menampilkan pesan-pesan kampanye politik, seperti sisi positif karakter Bapak Prabowo, ataupun visi misi yang beliau miliki. Seharusnya game Prabowo The Asian Tiger dapat lebih dimanfaatkan lagi untuk menyampaikan pesan kepada pemain game. Pesan kampanye politik tersebut juga akan lebih baik bila ditampilkan pada berbagai bagian game, seperti ditampilkan tidak hanya pada saat game dimainkan, tetapi juga pada bagian opening dan closing. Developer game juga seharusnya menampilakan karakter Bapak Hatta Rajasa di dalam game. Karakter Bapak Hatta perlu ditampilkan agar pemain game juga aware terhadap kehadiran Bapak Hatta, yang merupakan wakil Bapak Prabowo. Akan lebih baik jika developer game juga turut menampilkan sisi positif dari Bapak Hatta, agar pemain game juga memiliki pandangan yang positif terhadap Bapak Hatta. Game Prabowo The Asian Tiger juga seharusnya dibuat terhubung dengan berbagai sosial media, agar game ini dapat lebih dikenal oleh pengguna internet. Peringkat juara juga patut dibuat, agar para pemain game dapat bersaing untuk menjadi juara pertama, dan lebih giat memainkan game Prabowo The Asian Tiger, yang akhirnya membuat pemain game lebih sering menerima pesan-pesan kampanye politik. Penulis berharap penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pihak developer game, untuk mengetahui presepsi dan interpresentasi atas pesan-pesan kampanye politik yang terdapat di dalam game, serta pandangan mengenai kedua game tersebut secara keseluruhan. Penulis juga berharap penelitian ini dapat membantu kedua developer game untuk dapat menciptakan game yang lebih menarik lagi. Melalui penelitian ini , penulis juga berharap kedua calon presiden Indonesia, Bapak Jokowi dan Bapak Prabowo dapat mengetahui representasi sosok mereka yang terdapat di dalam game Jokowi Go! dan game Prabowo The Asian Tiger, sehingga mereka dapat mengetahui presepsi masyarakat mengenai mereka berdua, dan dapat lebih menguatkan citra yang sudah melekat pada mereka. Penulis juga berharap dengan adanya penelitian ini, pikiran masyarakat luas dapat lebih terbuka, sehingga mereka menyadari bahwa game ternyata bukan hanya 39
Janne Halim dan Widayatmoko: Representasi Kampanye Politik Pemilu 2014 Dalam Game (Analisis Semiotik Dalam Game Jokowi Go! Dan Game Prabowo The Asian Tiger)
digunakan sebagai sebuah sarana hiburan saja, tetapi game juga dapat dijadikan sebuah media komunikasi. Masyarakat diharapkan sadar bahwa di dalam game juga terdapat berbagai pesan yang hendak disampaikan kepada dirinya, sehingga mereka dapat lebih selektif dalam menerima pesan-pesan tersebut. Dalam konteks penelitian ini, penulis mengharapkan agar pemain game dapat menyadari pesan-pesan kampanye politik yang terdapat di dalam kedua game tersebut, dan menyeleksi berbagai pesan yang telah di terimanya, agar para pemain game tidak langsung atau terlalu mudah terpengaruh atas pesan-pesan kampanye politik tersebut. Penulis berharap agar seluruh pemain game dapat lebih kritis dan selektif atas berbagai pesan kampanye politik yang terdapat di dalam game. Daftar Pustaka Argenti, Paul A. (2010). Komunikasi korporat: corporate communication. Jakarta: Salemba Humanika. Bungin, Burhan.(2006). Sosiologi komunikasi teori, paradigma, dan diskursus teknologi komunikasi di masyarakat. Jakarta: Kencana. Butterick, Keith. (2013). Pengantar public relations: teori dan praktik. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Coombs, W. Timothy. (1999). Ongoing crisis communication; planning, managing, and responding. California: SAGE Publications, Inc. Cutlip, Center, dan Broom. (2006). Effective public relations. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Jefkins, Frank. (2003). Public relations. Jakarta: Erlangga. Nova, Firsan. (2009). Crisis public relations bagaimana pr menangani krisis perusahaan. Jakarta: Grasindo Purwanto, Djoko. (2011). Komunikasi bisnis. Jakarta: Erlangga. Windriati, Fiki Astuti. (2011). Analisa Manajemen Krisis PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) Cabang Pontianak Dalam Peristiwa Tenggelamnya Kapal Di Alur Pelayaran Pelabuhan. Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Veteran Yogyakarta
40
Almira Ditrya Kartikatantri, Centurion C. Priyatna, dan Hanny Hafiar: Perbedaan Sikap Pemilih Pemula Antara Peserta Dan Bukan Peserta “Roadshow Pendidikan Pemilu”
PERBEDAAN SIKAP PEMILIH PEMULA ANTARA PESERTA DAN BUKAN PESERTA “ROADSHOW PENDIDIKAN PEMILU” Almira Ditrya Kartikatantri, Centurion C. Priyatna, dan Hanny Hafiar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung Email:
[email protected] Abstract This study aims to determine the differences in attitudes between students of D3 Communication Studies, University of Indonesia as a participant and student D3 and Political Studies Social Sciences University of Indonesia, which is not a participant ‘Roadshow Pendidikan Pemilu’ in the General Election of 2014 raised as one requirement for undergraduate exams S1 Department of Public Relations Faculty of Communication Sciences, University of Padjadjaran. This study used quantitative methods, based on Persuasion Theory (Instrumental Theory of Persuasions) proposed by Holland, Janis, and Kelly. The test used is the Mann-Whitney test with a descriptive analysis techniques and interferential. The results showed that there were significant differences in attitudes between the samples. Based on these results, the authors suggested that the team AyoVote fix the contents of the message to make it more structured and more interesting to be delivered to the participants, so the effect will be more significant given. Also to increase the frequency of implementation of activities, so that more people who know a variety of basic science and politics will be aware of their obligations as Indonesian people who have the right to vote to determine the future of his country. This means that the activities carried out successfully change the attitudes of participants became more positive and match the AyoVote Team expectation. Based on these results, the authors suggested that the team AyoVote fix the contents of the message to make it more structured and more interesting to be delivered to the participants, so the effect will be more significant, also to increase the frequency of implementation of activities, so the more people who know the basic politic and conscious political duty as Indonesian people who have the right to vote to determine the future of his country. Keywords: Attitude, Voters Starter Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan sikap antara mahasiswa D3 Studi Komunikasi Universitas Indonesia sebagai peserta dan mahasiswa D3 Studi Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia yang bukan sebagai peserta “Roadshow Pendidikan Pemilu” dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014. Dalam penelitian ini digunakan metode kuantitatif, berdasarkan Teori Persuasi (Instrumental Theory of Persuassions) yang dikemukakan oleh Hovland, Janis, dan Kelly. Pengujian yang digunakan adalah uji beda Mann-Whitney dengan teknik analisis deskriptif dan interferensial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sikap yang signifikan antara sampel yang mengikuti dengan yang tidak mengikuti kampanye “Roadshow Pendidikan Pemilu” yang diadakan oleh tim AyoVote. Artinya kegiatan yang dilakukan berhasil mengubah sikap peserta kegiatan menjadi lebih positif sesuai dengan harapan pelaksana kegiatan. Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis menyarankan agar tim AyoVote membenahi isi pesan supaya lebih terstruktur dan lebih menarik untuk disampaikan kepada peserta, sehingga pengaruh yang diberikan akan dapat lebih signifikan dan menambah frekuensi pelaksanaan kegiatan, sehingga makin banyak orang yang tahu berbagai ilmu dasar politik dan sadar akan kewajibannya sebagai masyarakat Indonesia yang memilki hak pilih untuk menentukan masa depan negerinya. Kata Kunci: Sikap, Pemilih Pemilu
41
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 41 - 54
ISSN 2085-1979
Pendahuluan Indonesia merupakan negara demokrasi yang menitikberatkan kekuasaan kepada rakyatnya. Segala kebijakan, baik yang baru ataupun yang diperbaharui, akan dikatakan sah apabila rakyat sudah mengangguk kepada segala rancangan kebijakan yang baru ataupun yang diperbaharui tersebut. Hal ini tidak terlepas dari ‘ritual’ pemilihan pemimpin baru yang dilaksanakan lima tahun sekali, yaitu Pemilihan Umum. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah sarana demokrasi yang telah digunakan di sebagian besar negara di dunia termasuk Indonesia yang memiliki masyarakat yang heterogen. Pemilihan Umum 9 April 2014 yang akan datang dan semua Pemilu yang hendak dilaksanakan diharapkan menjadi langkah awal terbentuknya masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, memiliki kebebasan berekspresi dan berkehendak, dan mendapatkan akses terpenuhinya hak-hak mereka sebagai warga negara. Masyarakat (warga negara) adalah komponen penentu berhasil atau tidaknya pelaksanaan Pemilu. Seperti apa yang saya jelaskan tadi, kekuatan pemilihan oleh masyarakatlah yang bisa menentukan nasib negara dan bangsa, selama lima tahun kedepan. Setiap warga negara, apapun latar belakang suku, agama, ras, jenis kelamin, status sosial, dan golongan, memiliki hak yang sama untuk berserikat dan berkumpul, menyatakan pendapat, menyikapi secara kritis kebijakan pemerintah dan pejabat negara. Hak ini disebut hak politik yang secara luas dapat langsung diaplikasikan secara kongkret melalui pemilihan umum. Sastroatmodjo (1995:67) menyatakan negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat dalam kerangka demokrasi Pancasila. Di mana untuk mewujudkan pola kehidupan sistem kedaulatan rakyat yang demokratis tersebut adalah melalui pemilihan umum. Dengan pemilihan umum tersebut, rakyat Indonesia ingin turut serta secara aktif untuk berpartisipasi dalam memilih wakil mereka dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah karena partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Pemilihan umum merupakan salah satu bentuk partisipasi politik sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat, karena pada saat Pemilu itulah, rakyat menjadi pihak yang paling menentukan bagi proses politik disuatu wilayah dengan memberikan suara secara langsung. Partisipasi merupakan salah satu aspek penting dari demokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi (partisipasi) merupakan orang yang paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinya adalah orang itu sendiri. Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga negara, maka masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan yang mempengaruhi hidupnya dengan keikutsertaan warga negara dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Kegiatan warga negara biasa dibagi dua mempengaruhi isi kebijakan umum dan ikut menentukan pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Dibutuhkan kesadaran politik warga negara dalam partisipasi politik masyarakat, artinya sebagai hal yang berhubungan pengetahuan dan kesadaran akan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan lingkungan masyarakat dan kegiatan politik menjadi ukuran dan kadar seseorang terlibat dalam proses partisipasi politik. Sayangnya, seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat makin apatis, makin hilang kesadaran politiknya. Data Pemilu pada tabel di bawah diharapkan dapat menjelaskan fenomena menurunnya angka partisipasi masyarakat Indonesia pada tiap pelaksanaan Pemilu. 42
Almira Ditrya Kartikatantri, Centurion C. Priyatna, dan Hanny Hafiar: Perbedaan Sikap Pemilih Pemula Antara Peserta Dan Bukan Peserta “Roadshow Pendidikan Pemilu” Tabel 1 Data Partisipasi Pemilih Pemilu Tahun 2004-2009
Tahun
Pemilih Terdaftar (jiwa)
2004** 2004*** 2004**** 2009 2014
148.000.369 155.048.803 152.246.188 171.265.442 185.822.507
Menggunakan Hak Pilih (%) 84,07 78,23 76,63 70,99 -
Tidak Menggunakan Hak (%) 15,93 21,77 23,37 29,01 -
Suara Sah (%) 91,19 97,83 97,94 85,57 -
Suara Tidak Sah (%) 8,81 2,17 2,06 14,43 -
Tidak Menggunakan Hak (%) 23,34 23,47 24,95 29,01 -
Sumber: Komisi Pemilihan Umum, 2014 ** *** ****
: Legislatif : Pilpres putaran I : Pilpres putaran II
Data partisipasi pemilih pada tiga kali Pemilu legislatif, seperti ditunjukkan dalam Tabel 1.1, menunjukkan kecenderungan penurunan. Dari angka 92,99 persen di Pemilu 1999, turun menjadi 84,07 persen pada Pemilu 2004. Lalu, terus turun pada angka 70,99 persen di Pemilu 2009. Jumlah pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu legislatif atau kerap disebut golongan putih atau ‘golput’ juga terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Golongan putih atau yang sering disebut ‘golput’ adalah sebuah istilah yang digunakan kepada mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya. Para penganut ‘golput’ ini seringkali berlasan bahwa mereka netral atau tidak memihak siapa-siapa, kadang kurang informasi, atau memang apatis dengan dunia politik karena melihat sejarah politik Indonesia yang dinilai makin buruk. Persentase ‘golput’ ini diawali dengan angka 7,01 persen Pemilu 1999, meningkat menjadi 15,93 persen pada Pemilu 2004, dan kemudian naik hampir dua kali lipat menjadi 29,01 persen pada Pemilu 2009 lalu. Angka 29 persen ini setara dengan 49,7 juta pemilih dari total 171 juta pemilih terdaftar. Terus bertambahnya jumlah ‘golput’ ini dapat terjadi karena dua hal. Pertama, makin terkikisnya partisipasi masyarakat Indonesia, atau penulis mensinyalir bahwa peran dari pemilih pemula sangat mendominasi mengingat pemilih pemula yang baru memasuki usia hak pilih sebagian besar belum memiliki jangkauan politik yang luas untuk menentukan ke mana mereka harus memilih. Selain itu, ketidaktahuan dalam soal politik praktis, membuat pemilih pemula sering tidak berpikir rasional dan lebih memikirkan kepentingan jangka pendek. Sehingga, terkadang apa yang mereka pilih tidak sesuai dengan yang diharapkan. Menurut pasal 1 ayat (22) UU No 10 tahun 2008 (Mahkamah Agung : 2008) “Pemilih adalah warga negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin, kemudian pasal 19 ayat (1 dan 2) UU No. 10 tahun 2008 menerangkan bahwa pemilih yang mempunyai hak memilih adalah warga negara Indonesia yang didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih dan pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pemah menikah.” Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pemilih pemula adalah warga negara yang didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih, dan baru mengikuti Pemilu (memberikan suara) pertama kali sejak Pemilu yang diselenggarakan di Indonesia dengan rentang usia 17-21 tahun. Layaknya sebagai pemilih pemula, mereka tidak memiliki pengalaman voting pada Pemilu sebelumnya 43
ISSN 2085-1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 41 - 54 Tabel 2 Data Partisipasi Pemilih Pemula Pemilu Tahun 2004-2009
Tahun 2004 2009 2014
Pemilih Terdaftar (jiwa) 148.000.369 171.265.442 185.822.507
Jumlah Pemilih Pemula ±26.000.000 ±34.000.000 50.054.460
Jumlah Pemilih Pemula (%) 22% 24% 31%
Sumber: Komisi Pemilihan Umum, 2014
Pemilih pemula merupakan subjek dan objek dalam kegiatan politik, dalam kegiatan politik termasuk didalamnya adanya kegiatan pemilihan umum. Pemilih pemula sebagai objek dalam kegiatan politik, yaitu mereka yang masih memerlukan pembinaan dalam orientasi kearah pertumbuhan potensi dan kemampuannya ke depan dapat berperan dalam bidang politik. Pada Pemilu 2004 ada 26 juta pemilih pemula dari jumlah 148 juta jiwa pemilih dalam pemilu. Jumlah itu mencapai 22 persen dari keseluruhan pemilih dalam pemilu. Jumlah tersebut lebih besar daripada jumlah perolehan suara parpol terbesar pada waktu itu, yaitu Partai Golkar yang memperoleh suara 24.461.104 (21,62 persen) dari suara sah. Intinya Pemilih Pemula memiliki pengaruh yang besar dalam tiap pelaksanaan Pemilu.Mereka sebagai penerus bangsa perlu memiliki wawasan dan pengetahuan dalam bidang politik termasuk kegiatan pemilihan umum agar mereka jangan sampai tidak ikut berpartisipasi politik ‘golput’ pada pelaksanaan pemilihan umum. ‘Golput’ merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab atas pembangunan dan kelangsungan bangsa dan negara. Dengan demikian meskipun hanya pemula, tetapi partisipasi mereka ikut menentukan arah kebijakan di Indonesia ke depan. Dalam konteks tersebut, pemilih pemula perlu mengerti apa makna demokrasi dalam sebuah negara dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka lakukan dalam kegiatan Pemilu legislatif merupakan kegiatan yang berguna bagi negara. Dengan begitu mereka memposisikan sebagai warga negara yang mempunyai kewajiban untuk menggunakan haknya sebagai warga negara. Dalam upaya itu, mereka memerlukan pendidikan politik untuk membimbing mereka ke arah yang lebih baik karena pada dasarnya pemilih pemula sangat minim sekali pengalaman dalam dunia politik. Untuk penelitian kali ini objek penelitian yang dipilih oleh peneliti adalah mahasiswa vokasi/D3 tahun pertama atau kedua dengan rentang umur 17-19 tahun sebagai salah satu golongan pemilih pemula. Mahasiswa yang sudah genap berusia 17 tahun inilah yang disebut Pemilih pemula. Pemilih pemula biasanya berada di bangku Sekolah Menegah Atas atau Perkuliahan tahun pertama dan kedua. Masalah yang kini terjadi pada para pemilih pemula di Indonesia adalah ketika mereka, para pemilih yang masih duduk di bangku SMA atau kuliah, tidak mengetahui informasi yang tepat tentang hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara, khususnya patisipasi mereka dalam dunia politik Indonesia. Informasi yang didapatkan pun seringkali terlau dalam dan luas sehingga sulit dimengerti, atau terlalu kaku baik dari segi penyampaiannya ataupun bentuk informasi. Sehingga para pemilih khususnya pemilih pemula tidak tertarik untuk menyimak informasi yang diberikan. Faktor-faktor inilah yang membuat para pemilih pemula semakin apatis. Apalagi dengan berbagai masalah politik yang mencuat ke permukaan, mereka makin mantap memilih untuk menutup mata dengan dunia politik. Inilah yang harus di antisipasi oleh Pemerintah dan seharusnya ada solusi untuk hal ini. 44
Almira Ditrya Kartikatantri, Centurion C. Priyatna, dan Hanny Hafiar: Perbedaan Sikap Pemilih Pemula Antara Peserta Dan Bukan Peserta “Roadshow Pendidikan Pemilu”
Masa-masa awal perkuliahan adalah masa yang tepat untuk memulai pemberian materi dan pendidikan mengenai pentingnya partisipasi dalam pemilihan umum dan untuk membangun partisipasi politik di kalangan pelajar secara positif agar pelajar sudah terbiasa berpikir kritis. Sehingga rasa apatis yang tertanam karena kurangnya informasi akan pentingnya partisipasi politik dalam negara demokratis, dapat menurun dan lama kelamaan menghilang. Untuk itu, Komisi Pemilihan Umum sudah menyiapkan salah satu strategi penyampaian informasi yaitu dengan mengadakan penyuluhan. Penyuluhan bagi pemilih pemula tersebut akan dilakukan berdasarkan kerjasama dengan berbagai sekolah di berbagai daerah. KPU akan memberikan berbagai pendidikan politik yang berkenaan dengan pelaksanaan pemilihan umum dan manfaatnya bagi negara. Salah satu hal yang mendasari dilakukannya penelitian ini adalah berbagai kontroversi yang terjadi berkenaan dengan Sosilaisasi Pemilu yang diupaykan melalui berbagai cara oleh KPU. Hasil wawancara pra-riset penulis dengan salah satu anggota KPU Jawa Barat yang juga merupakan dosen Ilmu Humas Fikom Unpad, Ibu Evie Ariadne, mengatakan bahwa KPU sendiri belum paham betul esensi dari kata sosialisasi. Sosialisasi merupakan kegiatan yang diadakan untuk menyadarkan kembali kewajiban atau nilai yang sudah terlebih dahulu tertanam dalam diri masingmasing individu. Dari istilah yang digunakan saja sudah menuai kontroversi, apalagi dalam pelaksanaannya. Menanggapi hal ini, banyak sekali organisasi lain yang juga membantu mewujudkan melek politik bagi para pemilih, khususnya pemilih pemula, mulai dari berbagai lembaga pendidikan seperti universitas dan juga LSM yang berperan sebagai wadah informasi yang nantinya juga aktif menyebarkan pengetahuan politik. Salah satu LSM tersebut adalah AyoVote. AyoVote adalah LSM yang baru terbentuk pada tanggal 1 Juni 2013 yang sampai sekarang aktif menyebarkan informasi politik yang ringan dan memang seharusnya diketahui oleh seluruh pemilih di Indonesia. AyoVote menyadari bahwa informasi dan proses sosialisasi yang diadakan kurang mendapatkan perhatian para pemilih pemula. Oleh karena itu, AyoVote mulai menggerakkan kegiatan penyebaran informasi politik yang sederhana dan memang harus diketahui. Mulai dari pembuatan micro-site hingga berbagai event sosialisasi ringan. Salah satunya adalah kegiatan ‘Roadshow Pendidikan Pemilu’ yang diadakan ke berbagai SMA, Universitas, dan perkantoran di daerah Jakarta. Acara ini terdiri dari pemaparan materi dan simulasi sederhana mulai dari simulasi penentuan dan pemilihan partai dan calon legislatif, hingga cara mengetahui asal atau latar belakang para calon legislatif. Dari kegiatan inilah nantinya tim AyoVote akan memaparkan berbagai informasi politik dengan cara yang lebih menyenangkan, berbeda dengan penyampaian materi yang formal seperti yang dilakukan oleh guru dalam proses belajar mengajar. Dalam penelitian kali ini, peneliti akan menggunakan teori Instrumental Theory of Persuasion oleh Hovlan, Janis, dan Kelley dalam Tan (1981:93). Teori ini merupakan turunan dari teori Stimulus – Organism – Response (S-O-R). Menurut teori S-O-R ini, efek yang di timbulkan adalah reaksi terhadap stimulus, sehingga seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan. Proses Instrumental of Persuasion yang menerangkan mengenai pembentukan sikap, juga terdiri dari stimuli, organisme, dan repson. Hovland, Janis, dan Kelley dalam Tan (1981:93) mendefinisikan “Komunikasi persuasif sebagai proses dimana komunikator mengirimkan stimuli (biasanya secara verbal) untuk merubah sikap individu lain”. 45
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 41 - 54
ISSN 2085-1979
Asumsi dasar dari penelitian ini adalah “Sikap dapat dirubah melalui pengubahan opini (informasi) yang dimiliki komunikan tentang suatu objek melalui komunikasi yang bersifat persuasif” (Tan, 1981:93). Yang akan diteliti adalah bagaimana Roadshow Pendidikan Pemilu dapat mengubah pendangan peserta mengenai perilaku politik dan juga Pemilu dan akhirnya dapat mengubah sikap peserta yang tadinya mungkin apatis hingga dapat memenuhi kewajibannya dengan menggunakan hak pilihnya dengan baik dan benar. Penelitian ini akan menggunakan metode kuasi eksperimental dengan tujuan untuk membuktikan teori yang digunakan sekaligus memperlihatkan perbandingan dan melihat kefektifan kegiatan kampanye dalam bentuk Roadshow yang dilakukan oleh AyoVote, seberapa jauh pengaruhnya dalam membentuk sikap pemilih pemula. Peneliti akan melakukan penelitian di dua jurusan vokasional (kepada mahasiswa tingkat 1) di Universitas Indonesia. Selain menjadi tujuan pelaksanaan Roadhsow Pendidikan Pemilu oleh AyoVote, peneliti memilih mahasiswa Vokasi Universitas Indonesia tingkat 1 hingga 2 karena rentan umur mereka yang masih dapat dikatakan pemilih pemula. Berdasarkan hasil wawancara peneliti menemukan fakta dimana sebagian besar mahasiswa vokasi studi ilmu komunikasi dan ilmu sosial dan politik belum terlalu mengetahui tetnang berbagai informasi yang dibutuhkan dalam Pemilu Legisltasif 2014 dan juga latar belakang calon yang diusung berbagai partai. Berikut hasil wawancara dari perwakilan kedua perwakilan mahasiswa masing-masing bidang studi, “Calonnya kebanyakan Mba, saya malas kalau harus cari tahu tantang masing-masing calon. Lagipula rumah saya di Palembang, saya tidak mungkin bisa pulang hanya untuk memilih. Ya, walaupun ini Pemilu saya yang pertama, tapi saya akan golput saja.” Hasil wawancara diatas menunjukkan kurangnya informasi yang dimiliki oleh mahasiswa dan belum ada rasa bertanggung jawab dalam menggunakan hak pilihnya. Berikut hasil wawancara mahasiswa perwakilan D3 studi Ilmu sosial dan Ilmu Politik, “Mengerti kok Mba, kalau informasi Pemilu. Tapi saya dan beberapa teman saya memang apatis karena calonnya sangat banyak dan sama saja seperti tahun-tahun sebelumnya, sulit sekali memantaunya. Ya, kami belum menemukan cara yang tepat, tapi saya memang rencana golput. Nanti saja saya nyoblos nya, waktu pemilihan Presiden” Hasil wawancara tersebut dapat menyimpulkan hasil wawancara sederhana yang lain, bahwa ketertarikan mahasiswa di Vokasi Universitas Indonesia khususnya pada Studi Ilmu Komunikasi yang menjadi peserta kegiatan dan Studi Ilmu Sosial dan Politik sebagai non-peserta masih rendah. Hasil wawancara pada mahasiswa dari kedua studi dapat mengasumsikan bahwa kedua kelompok memiliki karakteristik yang sama, seperti berlatar belakang Ilmu Sosial, memiliki ketertarikan yang sama, dan memiliki rentan umur yang sama. Karakteristik ini memenuhi persyaratan dilakukannya Uji Beda, yaitu dilakukan pada dua kelompok yang hampir sama. (Campbell & Stanley, 1966:47-48) Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut, Apakah Terdapat Perbedaan Sikap Pemilih Pemula Antara Mahasiswa D3 Studi Komunikasi Universitas Indonesia Sebagai Peserta dan Mahasiswa D3 Studi Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia yang Bukan Sebagai Peserta “Roadshow Pendidikan Pemilu” Dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014? Penelitian ini menggunakan teori Instrumental Theory of Persuasion oleh Hovland, Janis, dan Kelley yang menyatakan bahwa respon yang muncul berhubungan dengan stimuli yang diperoleh dari lingkungan sekitarnya. Teori ini merupakan turunan dari teori Stimulus – Organism – Response (S-O-R). Menurut 46
Almira Ditrya Kartikatantri, Centurion C. Priyatna, dan Hanny Hafiar: Perbedaan Sikap Pemilih Pemula Antara Peserta Dan Bukan Peserta “Roadshow Pendidikan Pemilu”
teori S-O-R ini, efek yang di timbulkan adalah reaksi terhadap stimulus, sehingga seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan. Model komunikasi persuasi dari Hovland, Janis, dan Kelley memandang proses persuasi sebagai suatu proses dimana individu (source) mengirimkan stimulus kepada individu lain (audience) dengan tujuan untuk mengubah sikap atau perilakunya. Sikap dapat diubah dengan cara mengubah opini atau informasi yang dimiliki seseorang mengenai suatu objek. Salah satunya dengan mempelajari opini atau ide baru yaitu melalu terpaan persuasive yang menyertakan argument untuk meyakinkan audiens sehingga mau menerima opini/ide tersebut. Model ini menjelaskan bagaimana komunikasi persuasif mampu mempengaruhi perubahan opini seseorang serta selanjutnya mampu mengubah sikap dan perilaku seseorang tersebut sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunikator. “Persuasive Communications is the process by which an individual (the communicator) transmit stimuli (usually verbal) to modify the behavior of other individual (the audience)”. (Hovland, Jannis and Kelleys: 1953, dalam Tan, 1981:93). Proses Instrumental of Persuasion yang menerangkan mengenai pembentukan sikap, juga terdiri dari stimuli, organisme, dan repson. Hovland, Janis, dan Kelley dalam Tan (1981:93) mendefinisikan “Komunikasi persuasif sebagai proses dimana komunikator mengirimkan stimuli (biasanya secara verbal) untuk merubah sikap individu lain”. Menurut Hovland, Janis, dan Kelley dalam, mereka menjelaskan bahwa: “Attitude can be changed by changing related opinions (or information) that a person has about the object. Opinions are like other “habits” in that they tend to persist unless the person undergoes some new learning experience” (Tan, 1981:93) “One way in which a new opinion can be learned is by exposure to persuasive communication learning of new opinions is governed bu principles which apply equally to the learning of various other verbal and motor skills” (Tan, 1981:93). Pada kedua penjelasan diatas dapat diketahui bahwa asumsi dasar dari penelitian ini adalah “Sikap dapat dirubah melalui pengubahan opini (informasi) yang dimiliki komunikan tentang suatu objek melalui komunikasi yang bersifat persuasif” (Tan, 1981:93). Hal ini terjadi karena diyakini opini seseorang terhadap suatu objek selalu berubah-ubah begitu pula halnya dengan sikap. Salah satu cara dimana opini baru dapat dipelajari adalah dengan memaparkan pada pembelajaran komunikasi persuasif dari opini atau ide yang diterapkan berdasarkan prinsip yang mana setara dengan pembelajaran dari beberapa variasi kemampuan verbal dan motorik. Landasan dari kegiatan kampanye adalah kegiatan persuasif yang bertujuan untuk mengubah sikap, oleh karena itulah penelitian ini menggunakan model persuasi dari Hovland, Janis, dan Kelley yang cukup tepat untuk mempelajari dan memahami pembentukan sikap. Sikap dapat diubah berdasarkan cara mengubah opini atau informasi yang dimiliki seseorang mengenai suatu objek. Salah satunya dalam mempelajari opini/ide baru yaitu melalui terpaan persuasif yang menyertai argumen untuk meyakinkan komunikan agar mau menerima opini/ide baru tersebut. Opini adalah jawaban verbal sebagai sebuah respon dari stimulus Komunikan. Sedangkan sikap adalah respon implisit yang menunjukan orientasi dari sebuah objek, individu, kelompok ataupun simbol-simbol tertentu. (Tan, 1981:95). Bagaimana opini tersebut dapat sampai berpengaruh terhadap sikap komunikan dijelaskan dalam teori ini bahwa komunikasi persuasi melalui penyebaran opini-opini baru yang dibarengi argumentasi kuat akan mendukung terbentuknya pemahaman baru serta perubahan 47
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 41 - 54
ISSN 2085-1979
sikap terhadap komunikan melalui dua kondisi, yaitu mental rehearsal dan incentive of acceptance dari opini-opini baru terebut. Mental rehearsal adalah kondisi dimana komunikan menerima opini baru tersebut, mengingatnya, serta mempelajari opini tersebut kemudian membadingkannya dengan pemahaman terhadap opini tersebut sebelumnya. Proses mempelajari opini baru tersebut bergantung pada motivasi komunikan apakah ia termotivasi untuk mempelajari opini tersebut atau langsung menolak. Kemudian kondisi kedua adalah incentive for acceptance, yaitu hal yang mendukung si komunikan untuk menerima opini tersebut, misalnya kredibilitas dari komunikator apakah dapat dipercaya atau tidak. Berdasarkan teori ini kegiatan Roadhsow Pendidikan Pemilu dengan target sasaran (audience) Mahasiswa Vokasi tingkat 1 – 2 Universitas Indonesia dapat diteliti efektifitasnya. Dimana pada penelitian ini akan digambarkan bagaimana materi dari komunikator (Tim AyoVote) disalurkan melalui pemamparan materi dan simulasi yang berisi pesan yang didasari argumentasi yang kuat sehingga dapat mengubah opini peserta mengenai politik dan akhirnya sadar akan kewajiban mereka untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2014. Dengan metode kuasi eksperimental/uji beda dapat digambarkan dan diukur seberapa jauh pengaruh kegiatan Roadshow Pendidikan Pemilu dengan Sikap Pemilih pemula dalam membentuk perilaku politik mereka, melalui pengukuran berbagai komponenkomponen komunikasi (karakteristik komunikator dan pesan) dari Roadshow Pendidikan Pemilu serta komponen-komponen Sikap (baik kognisi, afeksi, maupun konasi) dari mahasiswa vokasi UI selaku peserta yang diterpa oleh kegiatan Roadshow Pendidikan Pemilu oleh Tim AyoVote. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen. Tan mengatakan, dalam bukunya Mass Communications Theories and Research, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, banyak perhatian diberikan kepada pengujian hipotesis kausal. Ada empat kondisi harus ditetapkan sebelum kita dapat menyimpulkan bahwa variabel X menyebabkan variabel Y yaitu variasi bersamaan, urutan waktu, kontrol kesalahan varians, dan pengendalian pengaruh lain yang mungkin ada pada Y. Desain eksperimen adalah metode yang paling efisien yang dapat diandalkan untuk memenuhi semua empat kondisi yang tercantum. Eksperimen adalah desain penelitian di mana para peneliti memiliki kontrol penuh atas penyebab diduga (variabel bebas/independen) dan di mana mereka mencoba untuk mengendalikan variabel-variabel lain yang mungkin yang mungkin mempengaruhi variabel kontrol/dependen. Para peneliti mengontrol variabel independen dengan memanipulasi atau memproduksinya. Pengaruh lain yang mungkin terjadi terhadap variabel kontrol/dependen dikendalikan melalui tugas acak dari subjek dengan kondisi yang berbeda sedang dipelajari. (Tan, 1981:33) Desain eksperiemn yang digunakan adalah nonequivalent control group design (pre test – post test yang tidak ekuivalen). Eksperimen itu sendiri adalah observasi di bawah kondisi buatan (artificial condition) di mana kondisi tersebut dibuat dan diatur oleh peneliti. Sedangkan penelitian eksperimental adalah penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian serta adanya kontrol. Eksperimen yang paling sering digunakan seringkali melibatkan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang diberikan pre-test (pengukuran kemampuan awal) dan post-test (pengukuran kemampuan akhir). 48
Almira Ditrya Kartikatantri, Centurion C. Priyatna, dan Hanny Hafiar: Perbedaan Sikap Pemilih Pemula Antara Peserta Dan Bukan Peserta “Roadshow Pendidikan Pemilu”
Dalam pelaksanaan penelitian eksperimen, kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebaiknya diatur secara intensif sehingga kedua variabel mempunyai karakteristik yang sama atau mendekati sama. Yang membedakan dari kedua kelompok ialah bahwa grup eksperimen diberi treatment atau perlakuan tertentu, sedangkan grup kontrol tidak diberikan treatment atau sama seperti keadaan biasanya. (Campbell & Stanley, 1966:47-48) Dalam kaitannya dengan penelitian ini, uji beda digunakan untuk melihat perbedaan sikap (variabel Y) antara kelompok peserta (kelompok eksperimen) Roadshow Pendidikan Pemilu (variabel X) dengan yang bukan peserta kegiatan tersebut. Dengan demikian metode kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada paradigma filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengantujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2011:11). Analisis statistik inferensial ditujukan untuk mencari hubungan antara variabel X dan variabel Y. Untuk mengetahui derajat hubungan (koefisiesn korelasi ) di antara variabel-variabel (X dan Y) diperlukan sebuah prosedur statistik yang dinamakan analisis hubungan, dengan menggunakan ukuran asosiasi yang disesuaikan dengan jenis skala pengukuran data. (Rakhmat, 2007:134). Skala yang digunakan adalah skala ordinal. Pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik skala Likert. Skala Likert merupakan suatu skala yang digunakan untuk mengungkap sikap pro dan kontra, positif dan negatif, setuju dan tidak setuju terhadap suatu objek sosial (Azwar, 2001:97). Teknik perhitungan data dari kuesiioner yang telah di isi responden dengan memberikan bobot nilai (5 4 3 2 1) atau (1 2 3 4 5) untuk pertanyaan tutup berskala ordinal. Bobot yang diberikan untuk pertanyaan positif atau mendukung penelitian ini adalah (5 4 3 2 1). Sebaliknya, untuk pertanyaan negatif atau yang tidak mendukung penelitian, bobot yang diberikan adalah (1 2 3 4 5). Menurut Azwar (2001:132) analisis statistik inferensial dimaksudkan untuk mengambil kesimpulan dengan pengujian hipotesis. Data dari kuesioner yang berupa data dalam skala ordinal terlebih dahulu diolah. Skor-skor yang diperoleh dari setiap indikator, ditransformasikan ke dalam skala Likert. Dalam hal ini, makin tinggi nilai skor suatu indikator maka semakin dekat indikator tersebut dengan fakta yang ada. Analisis dilakukan dengan menggunakan teknik distribusi untuk mengetahui jumlah persentase responden di kelompok eksperimen dan kelompok kontrol serta menggunakan analisis Mann Whitney untuk menguji perbedaan antara dua mean berdasarkan variabel Roadshow Pendidikan Pemilu serta variabel tingkat keberhasilan kampanye. Rumus Mann Whitney:
= Jumlah sampel 1 = Jumlah sampel 2 = Jumlah peringkat 1 = Jumlah peringkat 2 = Jumlah rangking pada sampel = Jumlah rangking pada sampel 49
ISSN 2085-1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 41 - 54
Berdasarkan pada kerangka pemikiran dan paparan alasan pembentukan hipotesis yang telah penulis uraikan, maka hipotesis mayor penelitian yang dibentuk adalah hipotesis komparatif yang dirumuskan sebagai berikut: “Terdapat Perbedaan Sikap Pemilih Pemula yang Signifikan antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol pada Kampanye “Roadshow Pendidikan Pemilu” dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014”. Hasil Penelitian dan Diskusi Untuk mengetahui pengaruh program Roadshow “Pendidikan Pemilu” dengan sikap pemilih pemula terhadap Pemilu 2014, peneliti menggunakan analisa data menggunakan uji beda dimana analisanya dilakukan dengan analisa nonparametrik yaitu uji mann whitney. Berikut hasil Uji masing-masing HIpotesis Minor yang tercantum: Tabel 3. Hasil Uji Hipotesis Perbedaan Kognitif antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol pada Kampanye Sumber : Pengolahan Data 2014 Variabel Aspek Kognitif
Kelompok A1 A2 A3 A4
-
B1 B2 B3 B4
Nilai p
keterangan
0,000 0,006 0,115 0,010
Bermakna Bermakna Tidak bermakna Bermakna
Hasil uji statistik sikap pemilih pemula terhadap Pemilu 2014 dari aspek kognitif, diketahui berdasarkan hasil pengujian diatas pada kelompok eksperimen (A) dan kontrol (B) menunjukan adanya perbedaan yang bermakna (p<0,05) untuk semua aspek sikap kognitif, diketahui terdapat satu buah persamaan (tidak ada perbedaan) penilaian diantara kedua kelompok tersebut terhadap sikap politik pemilih pemula terhadap Pemilu 2014, yaitu pada poin A3-B3 (Pemilih Pemula adalah warga negara yang didaftarkan oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih, dan baru mengikuti pemilu (memberikan suara) pertama kali sejak pemilu yang diselenggarakan di Indonesia dengan rentang usia 17-21 tahun atau sudah/pernah menikah Ini berarti untuk aspek pengetahuan mengenai usia pemilih Pemilu antara kelompok eksperimen dan kontrol menunjukan persamaan tingkat kognitif mengenai pengetahuan usia pemilih pemilu. Namun butir pertanyaan lainnya menunjukan perbedaa yang signifikan/bermakna. Hasil Uji Hipotesis dengan menggunakan metode hitung Mann Whitney menunjukan ada 3 butir pertanyaan dari 4 butir peryataan yang diajukan pada aspek kognitif yang memiliki p-value < 0,05. Maka dapat disimpulkan, berdasarkan presentase hasil perhitungan, maka H0 ditolak, dan H1 diterima, artinya Terdapat Perbedaan Kognitif yang Signifikan antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol pada Kampanye “Roadshow Pendidikan Pemilu. Dapat disimpulkan bahwa materi yang disampaikan dalam kegiatan tersebut berhasil membuat peserta kegiatan tahu dan percaya akan berbagai fakta yang disajikan dalam materi tersebut. Karena menurut Azwar (1995:24), komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang 50
Almira Ditrya Kartikatantri, Centurion C. Priyatna, dan Hanny Hafiar: Perbedaan Sikap Pemilih Pemula Antara Peserta Dan Bukan Peserta “Roadshow Pendidikan Pemilu”
benar mengenai objek sikap. Sekali kepercayaan itu telah terbentuk, maka ia akan menjadi dasar pengetahuan seseorang mengenai apa yang diharapkan objek tertentu. Artinya kegiatan Roadshow Pendidikan Pemilu mempengaruhi kognisi pesertanya. Butir pernyataan nomor tiga memang tidak menunjukan perbedaan yang bermakna atau signifikan, walaupun mengalami penambahan skor. Hal ini dikarenakan pertanyaan tersebut mengandung beberapa fakta yang diyakini secara berbeda oleh kedua kelompok. Menurut Disna Harvens selaku pemateri dalam kegiatan ini, pengertian mengenai Pemilih Pemula belum banyak disampaikan oleh pihak KPU. Banyak dari peserta yang bahkan belum mengerti apa maksud dari Pemilih Pemula dan mengapa mereka disebut Pemilih Pemula. Hasil uji statistik sikap pemilih pemula terhadap Pemilu 2014 aspek afektif diketahui berdasarkan hasil pengujian diatas pada kelompok eksperimen (A) dan kontrol (B) menunjukan adanya perbedaan yang bermakna (p<0,05) untuk semua aspek sikap, kecuali untuk aspek afektif yang diketahui terdapat satu buah persamaan (tidak ada perbedaan) penilaian diantara kedua kelompok tersebut terhadap sikap politik pemilih pemula terhadap Pemilu 2014, yaitu pada poin A2-B2 (Anda senang dengan materi Pendidikan Politik yang disampaikan oleh Pemateri). Begitu pula untuk aspek afektif khususnya mengenai afeksi responden atas materi yang disampaikan pemateri memberikan persamaan nilai afeksi yang sama. Walaupun hasil pengujian hipotesis pada faktor afektif terlihat banyak yang tidak bermakna karena selisih angka yang tidak signifikan, nyatanya skor kelompok eksperimen cenderung meningkat di tiap pertanyaan yang diajukan. Begitu juga pada aspek lain. Hasil Uji Hipotesis dengan menggunakan metode hitung Mann Whitney menunjukan ada 1 butir pertanyaan dari 2 butir peryataan yang diajukan pada aspek kognitif yang memiliki p-value < 0,05. Dengan mempertimbangkan kenaikan skor kelompok eksperimen pada kedua butir pernytaan, maka dapat disimpulkan, H0 ditolak, dan H1 diterima, artinya Terdapat Perbedaan Afektif yang Signifikan antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol pada Kampanye “Roadshow Pendidikan Pemilu. Hasil pengujian diatas ini dapat dikatakan wajar, karena komponen Afektif (perasaan) menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap (Azwar, 1995:24) dan banyak peneliti yang mengalami kesukaran dalam mengukur emosi sedih, gembira, senang, takut sebagai sebuah akibat dari pesan (Rakhmat, 2009:234). Rasa senang yang tercantum pada butir pernyataan ke-2, tidak dapat langsung tercipta dari perjumpaan pertama atau pemaparan pertama pada materi yang sebelumnya tidak banyak disukai. Selain penjelasan Disna Harvens selaku pemateri dari Tim AyoVote yang tercantum pada penjelasan distribusi frekuensi aspek afektif, menurut Achmad Rifky, Mahasiswa D3 Studi Komunikasi UI, yang merupakan salah satu anggota kelompok eksperimen, kegiatan Roadshow Pendidikan Pemilu dinilai bagus karena memberikan informasi yang berguna bagi Pemilih Pemula. Namun disisi lain, banyak temannya yang mengaku tidak senang dengan materi yang diberikan karena menyangkut politik, namu tetap puas dengan hasilnya karena banyak informasi yang berguna di dalamnya.
51
ISSN 2085-1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 41 - 54
Table 4. Hasil Uji Hipotesis Perbedaan Konatif antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol pada Kampanye “Roadshow Pendidikan Pemilu Variabel Aspek Afektif
Kelompok A1 A2 A3
-
B1 B2 B3
Nilai p
keterangan
0,009 0,012 0.000
Bermakna Bermakna Bermakna
Sumber : Pengolahan Data 2014 Hasil uji statistik sikap pemilih pemula terhadap Pemilu 2014 aspek konatf diketahui berdasarkan hasil pengujian diatas pada kelompok eksperimen (A) dan kontrol (B) menunjukan adanya perbedaan yang bermakna (p<0,05) untuk semua aspek sikap. Hal ini menunjukan adanya perbedaan sikap yang signifikan secara konatif antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Hasil Uji Hipotesis dengan menggunakan metode hitung Mann Whitney menunjukan ada seluruh butir pernyataan pada aspek konatif yang diajukan memiliki p-value < 0,05. Dengan jelas maka dapat disimpulkan, H0 ditolak, dan H1 diterima, artinya Terdapat Perbedaan Konatif yang Signifikan antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol pada Kampanye “Roadshow Pendidikan Pemilu. Komponen Konatif (perilaku) berisi mengenai perilaku dan sikap yang menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada di dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya (Azwar, 1995:24). Kegiatan “Roadshow Pendidikan Pemilu” terbukti mampu merubah konasi pesertanya. Hal ini dibuktikan dengan signifikannya nilai seluruh butir pernyataan yang ada. Landasan dari kegiatan kampanye adalah kegiatan persuasif yang bertujuan untuk mengubah sikap, oleh karena itulah penelitian ini menggunakan model persuasi dari Hovland, Janis, dan Kelley yang cukup tepat untuk mempelajari dan memahami pembentukan sikap. Penelitian ini membahas tentang kampanye Roadhsow Pendidikan Pemilu yang diselenggarakan oleh Tim AyoVote pada mahasiswa D3 Studi Ilmu Komunikasi dan Studi Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia. Sesuai dengan teori yang digunakan yaitu, Instrumental Theory Of Persuassion yang dikemukakan oleh Hovland, Janis, dan Kelley (dalam Tan, 1981:93) mendefinisikan “Komunikasi persuasif sebagai proses dimana komunikator mengirimkan stimuli (biasanya secara verbal) untuk merubah sikap individu lain”. Berdasarkan hasil penelitian dengan cara penyebaran angket, wawancara, dan jika dilihat secara keseluruhan hasil pengujian ditemukan lebih banyak pengujian yang signifikan adanya perbedaan penilaian atas Program Roadshow “Pendidikan Pemilu” dan Sikap Politik Pemilih pemula terhadap Pemilu 2014 diantara kelompok eksperimen dan kontrol, dimana secara deskriptif terjadi peningkatan atau perubahan skor sikap setelah dilakukannya kegiatan Program Roadshow “Pendidikan Pemilu”. Hasil pengujian ini menyatakan bahwa H0 pada hipotesis mayor dan minor ditolak, yang berarti ada perbedaan yang bermakna diantara kedua kelompok yang dibandingkan. Hal tersebut menunjukan terdapat perbedaan sikap yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dalam Kampanye “Roadshow Pendidikan Pemilu” terhadap sikap pemilih pemula pada Pemilihan Umum Legislatif 2014. Kesimpulannya, kampanye “Roadhsow Pendidikan Pemilu” yang dilakukan oleh Tim AyoVote memberikan perbedaan yang signifikan terhadap sikap peserta kegiatan yang merupakan pemilih pemula terhadap Pemilihan Umum Legisltaif 2014. 52
Almira Ditrya Kartikatantri, Centurion C. Priyatna, dan Hanny Hafiar: Perbedaan Sikap Pemilih Pemula Antara Peserta Dan Bukan Peserta “Roadshow Pendidikan Pemilu”
Faktanya, memang banyak responden yang mengaku mendapatkan banyak informasi setelah mengikuti kegiatan ini. Berdasarkan hasil pengujian serta pemaparan diatas maka peneliti menyimpulkan bahwa H1 diterima, yaitu Terdapat Perbedaan Sikap Pemilih Pemula yang Signifikan antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol pada Kampanye “Roadshow Pendidikan Pemilu” dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014. Hasil uji analisis regresi sederhana Karena telah terbukti adanya perbedaan sikap yang terjadi antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, sesuai dengan desain eksperimen yang digunakan, maka peneliti melakukan Uji Regresi Sederhana untuk membuktikan bahwa faktor X yang terdiri dari faktor komunikator dan pesan pada kegiatan kampanye “Roadshow Pendidikan Pemilu” lah yang mempengaruhi sikap peserta dan juga untuk memperkuat hasil dari Uji Beda yang telah dilakukan. Pembahasan hasil perhitungan regresi linear sederhana Setelah diperoleh hasil penilaian responden di atas, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pembahasan hasil penelitian untuk mengukur seberapa besar kemampuan indikator-indikator menjelaskan variabel komunikator dan pesan kampanye “Roadshow Pendidikan Pemilu” terhadap Sikap Pemilih Pemula pada Pemilihan Umum Legislatif 2014. Dari hasil Perhitungan Regresi Linear Sederhana dengan menggunakan Software Gretl for Windows (hasil pengujian terlampir) dapat diketahui besarnya keeratan hubungan antara variabel X dan Y sebesar r = 0,69 dengan nilai koefisien determinasi sebesar 0,481 artinya besar pengaruh variabel X terhadap variabel Y sebesar 48,1%. Sesuai dengan penjelasan pada tabel interval koefisien dan tingkat hubungannya, nila r = 0,69 masuk pada kategori kuat. Artinya hubunga variabel X yaitu Roadhsow Pendidikan Pemilu memiliki pengaruh yang kuat terhadap variabel Y yaitu sikap Pemilih Pemula. Nilai koefisien determinasi dapat dinterpretasikan sebagai pengaruh variabel sebab terhadap variabel akibat. Jadi dalam penelitian ini 48,1% sikap Pemilih Pemula pada Pemilu 2014 dipengaruhi oleh kampanye “Roadhsow Pendidikan Pemilu” . Untuk memperkuat bukti dari pengaruh yang diberikan maka dilaukan uji normalitas. Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah data variabel dependent dan variabel independent mengikuti distribusi normal. Pengujian normalitas dilakukan melalui grafik berikut: Dasar pengambilan keputusan. Jika pada grafik di atas, data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti garis diagonal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas. Jika pada grafik di atas, data menyebar jauh dari garis diagonal dan/atau tidak mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas. Dari grafik di atas tidak terlihat titik-titik menyebar di sekitar garis diagonal serta penyebarannya mengikuti garis diagonal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas. Kesimpulannya, hasil analisa regresi sederhana menunjukan adanya pengaruh yang kuat dan signifikan dari variabel X terhadap Y. Hal ini membuktikan dengan pasti bahwa teori Instrumental of Persuassion dengan asumsi dasar “Sikap dapat dirubah melalui pengubahan opini (informasi) yang dimiliki komunikan tentang suatu objek melalui komunikasi yang bersifat 53
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 41 - 54
ISSN 2085-1979
persuasif” (Tan, 1981:93) yang digunakan peneliti adalah benar, bahwa faktor komunikator dan pesan yang ada dalam kegiatan kampanye “Roadshow Pendidikan Pemilu” mempengaruhi sikap Pemilih Pemula pada Pemilihan Umum 2014. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian penulis, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Terdapat perbedaan kognitif antara mahasiswa D3 Studi Komunikasi Universitas Indonesia sebagai peserta dan mahasiswa D3 Studi Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia yang bukan sebagai peserta “Roadshow Pendidikan Pemilu” dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014. Berbagai faktor yang mempengaruhi dan materi yang diberikan pada saat kampanye berlangsung berhasil mempengaruhi kognisi peserta dalam kampanye tersebut. Terdapat perbedaan afektif antara mahasiswa D3 Studi Komunikasi Universitas Indonesia sebagai peserta dan mahasiswa D3 Studi Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia yang bukan sebagai peserta “Roadshow Pendidikan Pemilu” dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014. Roadshow Pendidikan Pemilu mampu memberikan rangsangan afeksi yang dapat digunakan untuk membentuk persepsi dan meningkatkan motivasi untuk menggunakan hak pilih pemilih pemula pada Pemilihan Umum Legislatif 2014. Terdapat perbedaan konatif antara mahasiswa D3 Studi Komunikasi Universitas Indonesia sebagai peserta dan mahasiswa D3 Studi Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia yang bukan sebagai peserta “Roadshow Pendidikan Pemilu” dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014. Roadshow Pendidikan Pemilu berhasil meyakinkan para peserta untuk menggunakan hak pilihnya pada saat Pemilihan Umum Legislatif 2014 dan juga membuat para pesreta tidak segan untuk membagikan informasi mengenai Pemilu dan mengajak teman-teman mereka untuk menggunakan hak pilihnya pada saat Pemilu Legisltaif berlangsung nanti. Daftar Pustaka Azwar, Saifuddin. (1995). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, Saifuddin. (2001). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Azwar, Saifuddin. (2007). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, Edisi 2, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Campbell, Donald T. and Stanley, Julian C..(1966). Experimental And QuasiExperimental Design for Research. Chicago: Rand Mc.Nally Collage Publishing Company. Rakhmat, Jalauddin. (1990). Teori-teori Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Rakhmat, Jalauddin. (2004). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Rakhmat, Jalauddin (2009). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Sastroatmodjo, Sudijono.(1995). Partisipasi Politik. Semarang : IKIP Semarang Press. Sugiyono. (2006). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabet. Tan. Alexis.S .(1981). Mass Communication, Theories and Research. America: Grid Pub., Indiana University
54
Adhianty Nurjanah, Wulan Widyasari dan Frizky Yulianti N: Public Relations & Media Relations (Kritik Budaya Amplop Pada Media Relationsinstitusi Pendidikan Di Yogyakarta)
PUBLIC RELATIONS & MEDIA RELATIONS (KRITIK BUDAYA AMPLOP PADA MEDIA RELATIONS INSTITUSI PENDIDIKAN DI YOGYAKARTA) Adhianty Nurjanah, Wulan Widyasari dan Frizky Yulianti N Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Email:
[email protected] Abstract Research Public Relations and Media Relations (Critique : Culture Envelopes on Media Relations In Educational Institutions In Yogyakarta) aims to determine how the media relations activities that have been done 10 Public Relations Higher Education, including the possibility of granting cultural envelope in media relations activities during this do. The object of this study is ten (10) Universities in Yogyakarta that consists of three (3) State University (PTN) and seven (7) Colleges (PTS). Variations and types of media relations activities have been conducted by 10 universities. The reason is because the electoral college to ten (10) college is a big college in the city of Yogyakarta who own Public Relations and media relations activities that have a systematic and well-planned. In the course of media relations, Public Relations universities do culture accepting envelopes to reporters on the grounds reimburse the costs of transport and not as a "bribe" so that they publicized the news and as a means of imaging the institution. Publicist colleges feel that culture provides envelopes to reporters did not violate the code of ethics of their profession as a Public Relations, On the other hand for journalists, cultural granting envelope can interfere with the independence and constitute a violation of the code of ethics of their profession as journalists. Yet there are also journalists who will receive an envelope in their reporting activities. The discrepancies in the implementation of the code of ethics of journalism, is strongly influenced by the integrity of journalists and policies that apply to each media institution. Keywords: Public Relations, Media Relations, Culture envelope Abstrak Penelitian Public Relations dan Media Relations (Kritik Budaya Amplop Pada Media Relations Institusi Pendidikan Di Yogyakarta) bertujuan untuk mengetahui bagaimana kegiatan media relations yang telah dilakukan 10 Public Relations / Humas Perguruan Tinggi tersebut, termasuk kemungkinan adanya budaya pemberian amplop dalam kegiatan media relations yang selama ini dilakukan. Objek penelitian ini adalah sepuluh (10) Perguruan Tinggi di Yogyakarta yang terdiri dari tiga (3) Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan tujuh (7) Perguruan Tinggi Swasta (PTS) . Beragam variasi dan jenis kegiatan media relations telah dilakukan oleh 10 perguruan tinggi tersebut. Alasan pemilihan perguruan tinggi tersebut dikarenakan ke sepuluh (10) perguruan tinggi tersebut merupakan perguruan tinggi yang besar di Kota Yogjakarta yang sudah memiliki Public Relations dan mempunyai kegiatan media relations yang tersistematis dan terencana. Dalam kegiatan media relations, Public Relations perguruan tinggi melakukan budaya pemberian amplop kepada wartawan dengan alasan mengganti biaya transportasi dan bukan sebagai “uang sogok” agar berita mereka terpublikasikan dan sebagai sarana pencitraan institusi. Public Relations perguruan tinggi merasa bahwa budaya memberikan amplop kepada wartawan tidak melanggar kode etik profesi mereka sebagai Public Relations. Dilain pihak bagi wartawan, budaya pemberian amplop dapat mengganggu independensi dan merupakan bentuk pelanggaran kode etik profesi mereka sebagai wartawan. Meskipun demikian masih ada juga wartawan yang mau menerima amplop dalam kegiatan peliputan mereka. Adanya perbedaan dalam
55
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 55 - 68
ISSN 2085-1979
mengimplementasikan kode etik profesi jurnalistik, sangat dipengaruhi oleh integritas wartawan dan kebijakan yang berlaku pada masing-masing institusi media. Kata Kunci: Public Relations, Media Relations, Budaya amplop
Pendahuluan Era keterbukaan informasi mengharuskan setiap badan publik memberikan informasi seluas-luasnya secara transparan kepada masyarakat, salah satu diantara badan publik tersebut adalah institusi pendidikan / perguruan tinggi. Adanya transparansi terhadap setap informasi publik dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam mengawal dan mengontrol setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui lembaga pemerintahannya. (Depkominfo:2008). Melalui UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Badan Publik mempunyai kewajiban menyediakan informasi menurut kategori yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008 Tahun 2008. Kesengajaan tidak menyediakan informasi dapat dikenakan pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp. 5 juta. Dari ketentuanketentuan tersebut kerja pers seharusnya dapat terbantu dan akan semakin banyak informasi berkualitas yang bisa disampaikan pers ke publik. (Depkominfo: 2008). Namun demikian adanya UU tersebut tidak menjamin keamanan pihak pers dalam melaksanakan tugasnya. Masih banyak kasus kekerasan terhadap pers, baik kekerasan secara fisik maupun non fisik. Kekerasan fisik terhadap pers seperti tindakan pemukulan kepada jurnalis, atau kasus pembunuhan wartawan Udin yang sampai saat ini juga belum tertangani dengan baik. Adapun kekerasan non fisik dimana pada saat melakukan tugasnya wartawan tidak dapat independent karena adanya pemberian “amplop” yang menjadi sebuah budaya yang dilakukan seorang Public Relations dalam menjalankan aktivitas media relationsnya. Dalam hal ini aktivitas media relations yang dilakukan Public Relations sebagai wakilnya manajemen institusi pendidikan tinggi Universitas. Menurut Harlow (dalam Grunig, James E, 1984: 7) yang dimaksud Public Relations adalah fungsi manajemen yang membantu mendirikan dan memelihara hubungan komunikasi yang saling menguntungkan, keterbukaan dan kerjasama antara organisasi dan publiknya, melibatkan manajemen problem dan issu, membantu manajemen untuk tetap terinfomasi dan responsive terhadap publiknya. Sedangkan tujuan sentral Public Relations adalah untuk menunjang manajemen yang berupaya mencapai tujuan organisasi atau perusahaan. Meskipun tujuan setiap organisasi berbeda tergantung dari sifat organisasi tersebut, tetapi dalam kegiatan humas terdapat kesamaan yakni membina hubungan yang harmonis antara organisasi dengan publik dalam membentuk citra positif. Hubungan yang baik atau harmonis dalam Public Relations mengandung arti luas, yakni sikap yang menyenangkan (favorable), itikad baik (goodwill), toleransi (tolerance), saling pengertian (mutual understanding), saling mempercayai (mutual confidence), saling menghargai (mutual appreciation), dan citra baik (good image). Dalam menjalankan fungsinya Public Relations institusi pendidikan tinggi Universitas memposisikan sebagai sumber informasi yang terpercaya bagi masyarakat dan media. Public Relations institusi pendidikan tinggi / Universitas melakukan penyebaran informasi tentang kebijakan, program, kegiatan positif serta promosi institusi pendidikan tinggi Universitas kepada masyarakat melalui kegiatan media relations. Adapun yang dimaksud dengan media relations adalah menurut Yosal Iriantara (2005:23) adalah bagian dari Public Relations eksternal yang membina dan mengembangkan hubungan baik dengan pers sebagai sarana komunikasi antara 56
Adhianty Nurjanah, Wulan Widyasari dan Frizky Yulianti N: Public Relations & Media Relations (Kritik Budaya Amplop Pada Media Relationsinstitusi Pendidikan Di Yogyakarta)
organisasi dengan publik untuk mencapai tujuan organisasi. Menurut Frank Jefkins media relations merupakan usaha mencapai publikasi atau penyiaran yang maksimal atas suatu pesan atau info hubungan masyarakat dalam menciptakan pengetahuan dan pemahaman bagi khalayak dari perusahaan yang bersangkutan. Selain itu menurut Rosady Ruslan bahwa Media Relations (Hubungan pers) adalah suatu kegiatan humas dengan maksud menyampaikan pesan atau komunikasi mengenai aktivitas yang bersifat kelembagaan, perusahaan atau institusi, produk atau kegiatan yang sifatnya perlu dipublikasikan melalui kerja sama dengan media massa untuk menciptakan publisitas dan citra positif di mata masyarakat. Tujuan pokok media relations adalah menciptakan pengetahuan dan pemahaman bukan hanya menyebarkan informasi atau pesan demi citra yang indah saja dihadapan khalayak. (Abdullah 2004: 4). Selain itu menurut Nurudin (2008:13) bahwa tujuan media relations tidak sekedar memberikan informasi semata tetapi menciptakan citra positif bagi sebuah lembaga yang bersangkutan. Semakin baik media relations yang kita lakukan, maka semakin baik pula citra lembaga atau perusahaan kita. Secara rinci tujuan media relations bagi organisasi adalah sebagai berikut: 1. Untuk memperoleh publisitas seluas mungkin mengenai kegiatan serta langkah lembaga organisasi yang baik untuk diketahui umum. 2. Untuk memperoleh tempat dalam pemberitaan media (liputan, laporan, tajuk, ulasan) secara wajar, objektif dan seimbang (balance) mengenai hal-hal yang menguntungkan lembaga dan organisasi. 3. Untuk memperoleh umpan balik dari masyarakat mengenai upaya dan kegiatan lembaga atau organisasi. 4. Untuk melengkapi data atau informasi bagi pimpinan lembaga atau organisasi bagi keperluan pembuatan penilaian (assesment) secara tepat mengenai situasi atau permasalahan yang mempengaruhi keberhasilan kegiatan lembaga atau perusahaan. 5. Mewujudkan hubungan yang stabil dan berkelanjutan yang dilandasi oleh rasa saling percaya dan menghormati. (Wardhani, 2008:12). Adapun aktivitas / kegiatan dalam media relations berupa pers briefing, press release, pres tour, resepsi pers dan wawancara pers.(Soemirat, 2007: 128-129) Melalui kegiatan media relations yang baik akan memberikan pencitraan positif bagi institusi pendidikan tinggi / Universitas. Media massa bisa digunakan oleh praktisi Public Relations untuk membangun image positif dan pencitraan organisasi karena media massa sangat efektif sebagai pembuat opini publik. Pengaruh media massa sebagai sumber informasi masyarakat semakin memudahkan pekerjaan praktisi Public Relations yang ingin terus menerus mengabarkan kepada khalayak mengenai kesuksesan organisasinya. Sama halnya ungkapan fenomenal Abraham Lincoln “public opinion is everything” maka jika seluruh media massa mengungkapkan perusahaan Anda baik maka tentu publik akan percaya bahwa perusahaan Anda baik, namun begitupun sebaliknya jika seluruh media massa mengatakan perusahaan Anda buku maka publik akan percaya bahwa perusahaan Anda buruk. Namun demikian belum semua praktisi Public Relations institusi pendidikan tinggi / Universitas menyadari peran pekerja media sebagai partner yang dapat membantu mencapai tujuan organisasinya untuk membangun image positif di masyarakat. Kegiatan media relations yang mereka pahami hanya terbatas pada kliping koran dan mengundang wartawan liputan jika dibutuhkan. Kebanyakan praktisi Public Relations menganggap cara terbaik untuk menjalin hubungan baik dengan rekan wartawan ialah dengan memberikan fasilitas berupa uang tunai / amplop. Padahal menurut kode etik profesi wartawan setiap jurnalis dilarang untuk 57
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 55 - 68
ISSN 2085-1979
menerima uang. Pemberian uang tunai atau “amplop” bagi wartawan kemudian membudaya hampir pada semua aktivitas media relations yang dilakukan oleh Public Relations Perguruan Tinggi di Yogyakarta. Dari penjelasan diatas, penulis ingin meneliti lebih jauh, bagaimana kegiatan media relations yang telah dilakukan sepuluh (10) Public Relations Perguruan Tinggi tersebut, termasuk kemungkinan adanya budaya pemberian amplop dalam kegiatan media relations yang selama ini dilakukan. Metode Penelitian Penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif menurut Whitney (dalam Nazir, 1988: 63) yaitu penelitian untuk pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tatacara masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatankegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.Penelitian ini menggunakan metode studi kasus, metode studi kasus adalah memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus, dari sifat-sifat khas tersebut akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum. (Nazir, 1988:66). Sedangkan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa cara yaitu: a. Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka anatara si penanya dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan panduan wawancara atau interview guide (Nazir, 1988: 234). b. Dokumentasi adalah kegiatan mengumpulkan data dengan memanfaatkan semua dokumen-dokumen penting yang menyangkut perusahaan secara umum, misalnya company profile, web site perusahaan, media internal dan lain-lain. c. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan buku-buku sebagai sumber data dan acuan teori yang berhubungan dengan penelitian yang diambil yaitu mengenai Public Relations dan Media Relations. d. Focus Group Discussion (FGD) merupakan metode penelitian dimana menggunakan kelompok diskusi terfokus dengan memilih orang-orang yang dianggap mewakili sejumlah publik atau populasi yang berbeda. Data dalam penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan suatu prosedur yang menghasilakan data deskriptif berupa kata tertulis, atau lisan orang-orang atau perilaku yang diamati (Moleong, 2001: 103). Analisis data yang bersifat kualitatif mengharuskan peneliti untuk melakukan aktivitas secara serempak dengan pengumpulan data, interpretasi data dan menulis laporan penelitian (Creswell, 1994: 145). Dengan demikian analisis data tidak dilakukan secara terpisah dengan pengumpulan data, tetapi merupakan kegiatan yang dilakukan bersama-sama. Teknik yang dilakukan dalam uji validitas data yaitu dengan teknik triangulasi. Menurut Moleong (2001: 178), triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Dalam penelitian ini, peneliti mengunakan triangulasi sumber. Menurut Patton (dalam Moleong, 2001 : 178) menyebutkan triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Penulis memilih 10 Public Relations dari 10 Universitas di Yogyakarta dan 5 wartawan media cetak nasional sebagai narasumber dalam penelitian ini. Sepuluh (10) Public Relations Universitas diantaranya adalah Ibu Wiwit Wijayanti (Public Relations UGM), Bapak Nurhadi (Public Relations UNY), Ibu RTM Maharani (Public Relations UIN), Ibu Karina Utari Dewi (Public Relations UII), Ibu Ratih Herningtyas (Public Relations UMY),
58
Adhianty Nurjanah, Wulan Widyasari dan Frizky Yulianti N: Public Relations & Media Relations (Kritik Budaya Amplop Pada Media Relationsinstitusi Pendidikan Di Yogyakarta)
Ibu Dewi Soyuswati (Public Relations UAD), Bapak Endar Martanto (Public Relations UPN), Ibu Th. Dyah Wulandari (Public Relations UAJY), Ibu Aquelina Yunaeni Mariati (Public Relations USADAR) dan Ibu Indriani (Public Relations STIKES Aisiyah) Yogyakarta. Sedangkan untuk lima (5) wartawan media cetaknya adalah wartawan yang ditugaskan di desk pendidikan pada saat penelitian ini berlangsung diantaranya adalah Bapak Haris Firdaus (Warwatan Kompas), Ibu Rahajeng (Wartawan Kedaulatan Rakyat), Ibu Laela Rohmatin (Wartawan Harian Jogja), Ibu Pristiqa A.Wirastami (Wartawan Tribun) dan Ibu Heditia Damanik (Wartawan Radar Yogya).
Hasil Penelitian dan Diskusi 1. Peran dan Aktivitas Media Relations Public Relations Universitas Di Yogyakarta
Posisi peran public relations di tingkat universitas khususnya di daerah Yogyakarta lebih banyak berada di tingkat pelaksanaan atau sebagai communication facilitator dan communication technician. Peran mereka tidak berada dalam posisi strategis yang menjadi posisi ideal bagi public relations yakni sebagai problem solving facilitator. Peran Public Relations Officer (PRO) di universitas di Yogyakarta lebih pada kegiatan publisitas dengan media massa (Media Relations) seperti mengundang rekan pers, menuliskan press release, mengadakan jumpa pers, menyelenggarakan press tour dan press gathering. Secara keseluruhan pekerjaan Public Relations universitas di Yogyakarta lebih fokus pada kegiatan media relations, meski terkadang mereka juga melakukan kegiatan promosi, menyusun iklan di public area juga melakukan kerjasama dengan pihak nasional dan internasional, namun tugas harian mereka didominasi oleh kegiatan media relations. Seluruh narasumber sepakat bahwa memang mereka perlu untuk melakukan kegiatan media relations yang setara. Hal ini disampaikan Ratih Herningtyas sebagai Kepala Biro Humas dan Protokol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang sepakat bahwa hubungan antara Public Relatios universitas dan wartawan adalah hubungan simbiosis mutualisme karena saling membutuhkan. “Idealnya, kalau kita bayangkan hubungan humas dengan media itu ya harus partner. Dalam artian tidak boleh ada satu yang lebih penting atau ada yang lebih membutuhkan diantara yang lain. Karena wartawan itu butuh berita, sedangkan kita sebagai institusi membutuhkan publikasi atau berita yang ada di institusi kita. Jadi, idealnya tidak ada hubungan yang timpang antar institusi dengan media.” (wawancara Ratih Herningtyas humas UMY, 20 Februari 2015). Hal di atas senada dengan apa yang disampaikan oleh Sam Black dan Melvin L. Sharpe bahwa kegiatan media relations lebih kepada hubungan komunikasi dua arah diantara pihak organisasi dan media baik itu media cetak, media televisi, media radio, maupun media online. Karena komunikasi yang terjalin merupakan proses komunikasi dua arah sehingga relasi antara keduanya harus seimbang karena antara Public Relations dan wartawan / media memiliki rasa saling membutuhkan. Aktivitas media relations yang dilakukan oleh Public Relations memang bertujuan menjalin saling pengertian, mewujudkan hubungan baik dengan kalangan insan pers agar bisa melakukan publikasi yang berimbang di media massa. Sedangkan jika dirunut dari stuktur organisasi, posisi Public Relations Universitas, di Yogyakarta lebih banyak di area teknis, karena memang posisi mereka dalam institusi pendidikan tidak dalam posisi manajerial. Kekuasaan mereka dalam mengambil keputusan terbatas pada kasus dan permasalahan teknis sedangkan untuk isu dan kasus strategis telah ditentukan oleh pimpinan mereka terlebih dahulu. Struktur organisasi mereka tidak langsung berada di bawah pembuat kebijakan seperti rektor universitas, melainkan berada dalam sebuah divisi dengan interaksi minim 59
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 55 - 68
ISSN 2085-1979
dengan pembuat kebijakan. Universitas Gajah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta merupakan contoh universitas yang secara tidak langsung menjadi sebuah divisi yang dibawahi oleh supervisor seperti Sekretaris Eksekutif atau Sekretaris Universitas yang kemudian akan berhubungan langsung dengan Rektorat. Dalam perekrutan sebagai Public Relations universitas, ternyata 6 dari 10 univeritas (Univeritas Gajah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Islam Negeri, Universitas Stikes Aisiyah dan Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta) memilih kriteria bahwa jika ingin menjadi public relationsnya harus memiliki gelar sarjana Ilmu Komunikasi atau setidaknya memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang public relations. Hal ini bisa menjadi sebuah rujukan positif bahwa lulusan Ilmu Komunikasi masih diperhitungkan untuk menduduki posisi sebagai public relations meski hanya di tingkat universitas dan melakukan pekerjaan teknis. Aktivitas atau kegiatan media relations yang dilakukan Public Relations universitas yang regular dan kontinyu dilakukan setiap hari ialah menuliskan dan mengirimkan release ke sejumlah wartawan pendidikan di Yogyakarta. Contohnya seperti Universitas Gajah Mada, mereka lebih mengandalkan pengiriman press release karena pengiriman rilis ini tanpa biaya, mereka hanya mengirim release melalui email dan keesokan harinya berita mereka banyak dimuat di media massa bahkan Wiwit Wijayanti selaku Kepala Bidang Public Relations di UGM mengklaim bahwa kegiatan inilah yang paling berhasil dilakukan. Senada dengan Wiwit Wijayanti, RTM. Maharani sebagai Public Relations UIN sadar betul tentang perlunya kegiatan media relations bahkan tidak cukup hanya dengan melakukan press release, Ia dan tim di Public Relations UIN juga harus menjalin hubungan personal dengan rekan wartawan. “Selain mengirimkan release, kita juga menjalin hubungan personal yang baik sehingga hubungan tersebut lebih abadi. Hubungan personal yang bisa membuat harmonis dan abadi. Kalau untuk pelaksanaan media relations itu semua wajib bagi staff saya. Jadi tidak hanya saya saja sebagai kepala divisi humas yang harus menjalankan media relations atau hubungan personal dengan wartawan, tapi semua yang ada di bagian humas wajib juga melakukan media relations.” (Wawancara RTM Maharani Public Relations UIN, 19 Februari 2015). Mengamati jawaban dari narasumber di atas juga mewakili tentang berelasi dengan wartawan tidak hanya sebatas menuliskan press release namun juga butuh relasi yang menumbuhkan rasa empati. Rekan media juga manusia sosial yang memiliki hak untuk dihargai dan dihormati sehingga jalinan komunikasinya juga harus dilakukan dengan human communication yang pernuh rasa empati, manusiawi, saling menghargai agar relasi ini tetap berjalan baik. Selain itu, jawaban dari RTM Maharani tersebut juga semakin memperteguh bahwa organisasi bahkan lembaga pendidikan seperti universitas sekalipun tetap membutuhkan publikasi di media massa hal ini selaras dengan sebuah idiom “advertising telling people you’re good, PR convincing them you’re good”. Mereka sadar betul bahwa media massa merupakan sebuah alat hebat untuk menciptakan opini baik buruknya sebuah institusi. Hal ini tidak mengherankan karena media massa memiliki andil besar dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat luas sehingga mereka bisa dijadikan sebagai referensi yang kredibel bagi public untuk menilai baik/buruknya sebuah institusi. Menurut Peter Henshall dan David Ingram bahwa press release ialah cerita yang ditulis oleh insan pers atau humas dan dikirim setiap surat kabar dan stasiun penyiaran (Wardhani, 2008: 80). Harapannya dengan mengirimkan release tersebut maka akan semakin banyak pula publikasi dari institusinya. Keberhasilan sebuah 60
Adhianty Nurjanah, Wulan Widyasari dan Frizky Yulianti N: Public Relations & Media Relations (Kritik Budaya Amplop Pada Media Relationsinstitusi Pendidikan Di Yogyakarta)
press release ialah jika release tersebut disiarkan melalui media massa karena dinggap perlu diketahui khalayak ramai. Untuk memenuhi keinginan tersebut maka insan humas harus sadar betul jika ingin mengirimkan release maka sebaiknya informasi yang diberikan harus akurat, sesuai kenyataan serta menaati kaidah jurnalistik. Meskipun Frank Jefkins menilai bahwa press release tidak semata hanya berupa lembaran berita, karena press release bisa dilakukan dengan mengirimkan foto – foto unik dan caption yang unik sehingga memiliki news value untuk disiarkan di media massa. Akan tetapi, hampir seluruh Public Relation universitas di Yogyakarta memahami press release sebagai sebuah berita tulisan meski disertai dengan foto untuk melengkapi tulisan release tersebut. Selain melaksanakan press release, kegiatan media relations yang dilakukan berikutnya ialah jumpa pers atau press conference. Sama halnya seperti press release kegiatan jumpa pers merupakan kegiatan yang memenuhi standar peran Public Relations hanya sebatas communication facilitator atau communication technician.. Mereka juga mengundang para wartawan untuk hadir ke ruang tempat jumpa pers, menemani rekan pers selama jumpa pers langsung untuk kemudian melakukan wawancara ataupun mendengarkan narasumber jumpa pers. Konferensi pers ini dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dari universitas jika ada informasi penting, pengumuman tentang kerjasama internasional, ataupun penemuan hasil karya dosen dan mahasiswa di universitas yang bersangkutan. Untuk sebagian rekan wartawan waktu adalah aspek penting dalam pelaksanaan konferensi pers, mereka akan merasa tertolong jika waktu pelaksanaan jumpa pers sesuai dengan jadwal undangan. Karena rekan wartawan bekerja juga berdasarkan pada deadline, mundurnya waktu pelaksaan jumpa pers juga akan berimplikasi pada mundurnya waktu mereka untuk menulis berita agar mencapai target. Catatan lainnya ialah rekan wartawan juga membutuhkan kebebasan waktu untuk melakukan pengambilan gambar foto. Di beberapa institusi biasanya tidak memberikan kesempatan luas bagi wartawan untuk mengambil gambar sesuai dengan kebutuhan mereka. Kesalahan lain yang mungkin dilakukan oleh Public Relations di tingkat universitas ialah ketika jumpa pers berlangsung, tidak ada informasi jelas mengenai cara penulisan nama narasumber jumpa pers. Karena moderator jumpa pers hanya menyebutkan nama yang mungkin bisa berakibat pada kesalahan penulisannya, misalkan moderator menyebutkan namanya “Suharto” yang seharusnya ditulis “Soeharto” ataupun kedengarannya “Doni Rahayu” namun seharusnya tertulis “Dhony Rahajoe” sehingga ini menyebabkan wartawan melakukan kesalahan penulisan nama narasumber. Dalam hal ini seharusnya Public Relations tersebut menyiapkan semacam name tag bagi setiap narasumber sehingga insan pers langsung mengetahui cara penuliskan nama mereka dan menyiapkan rangkuman atau catatan yang dapat dibagikan ke rekan wartawan terkait dengan isi dari konfrensi pers yang akan dilakukan. Menurut Wardhani (2008) ada dua jenis jumpa pers yakni konferensi yang direncanakan dan konferensi pers yang tidak direncanakan. Konferensi pers yang direncanakan biasanya merupakan konferensi pers yang materi penyampaiannya berupa kebijakan baru, peluncuran program baru, pengembangan usaha, seminar, atau special event tertentu. Sedangkan konferensi pers yang tidak direncanakan biasanya merupakan hasil klarifikasi suatu masalah atau ada kebijakan yang sifatnya mendadak dan ingin segera dipublikasikan. Praktek di lapangan bahwa undangan di jumpa pers yang dilakukan oleh Public Relations tingkat universitas sifatnya direncanakan, meskipun kegiatan atau undangan diberikan kurang dari seminggu, setidaknya informasi yang mereka berikan masih bernilai positif dan jarang mengklarifikasi isu yang menerpa institusi 61
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 55 - 68
ISSN 2085-1979
pendidikan. Sebab memang pihak univeritas terutama di Yogyakarta jarang terkena isu negatif. Selain kegiatan media relations yang telah dijelaskan di atas, beberapa Public Relations telah melakukan improvisasi untuk menjalin relasi positif dengan insan media. Hal ini selain dikarenakan pemahaman mereka tentang pentingnya berhubungan baik dengan media massa, juga karena didukung oleh ketersediaan dana untuk menyelenggarakan segala perencanaan di media relations. Meskipun tim peneliti tidak berhasil untuk mendapatkan data berapa banyak dana yang dibutuhkan untuk melakukan segala kegiatan, namun inilah semakin memperkuat asumsi tim peneliti bahwa perlu ada standarisasi bagi staf yang bekerja sebagai Public Relations di tingkat universitas. Universitas yang memiliki kegiatan media relations paling mencolok adalah Universitas Negeri Yogyakarta dan Universitas Islam Indonesia. Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) sadar betul banyaknya publik yang harus dihadapi. Tak heran jika kemudian Divisi Public Relatios yang dahulu bergabung dengan hubungan internasional akhirnya pada tahun 2011 ini terbagi menjadi dua biro yang berdiri sendiri yakni Kantor Urusan Internasional dan Kemitraan (KUIK) dan Kantor Humas, Promosi dan Protokol (KHPP). Terbaginya menjadi dua divisi yang berbeda memberi keleluasaan bagi Public Relations Universitas Negeri Yogyakarta untuk menyusun kegiatan termasuk masalah pendanaannya. Bahkan UNY di bawah Kantor Humas, Promosi dan Protokol telah ada 4 divisi yakni divisi internal, divisi eksternal, divisi promosi dan divisi protokoler. Selain rutin melakukan press conference, press release, dan press tour, pihak Universitas Negeri Yogyakarta juga melakukan sponsorship untuk kegiatan yang diselenggarakan asosiasi wartawan. Sama halnya seperti UNY, Universitas Islam Indonesia juga sadar perlunya perlakuan positif bagi rekan wartawan karena sejak Juli 2013 kampus UII telah menyediakan press room yang memiliki ruang kerja, ruang meeting, komputer terkoneksi dengan internet yang kesemuanya diperuntukan bagi rekan media. Bahkan mereka tidak hanya melakukan kegiatan yang berkaitan dengan fungsi Public Relations, akan tetapi juga telah melakukan audit dan evaluasi dengan membagikan kuesioner kepada rekan media untuk memberikan penilaian terhadap kinerja Public Relations UII. Hasil evaluasi tersebut diharapkan bisa semakin meningkatkan kepercayaan media terhadap humas UII karena setiap wartawan yang menjadi mitra publikasi UII akan merasa memiliki hak suara dan dihormati keberadaannya sebagai mitra. Sedangkan keistimewaan yang ditawarkan oleh Universitas Gajah Mada ialah, mereka memiliki forum formal untuk setiap wartawan yang meliput di kawasan UGM. Setiap wartawan akan dicatat datanya untuk kemudian mendapatkan informasi harian terkait kegiatan yang akan diselenggarakan di UGM. Melalui forum formal inilah mereka akan selalu mendapatkan update informations dan menjadikan wartawan sebagai pihak eksternal pertama yang mengetahui karena informasi akan selalu diupdate melalui sms blasting, email blasting, bahkan group di blackberry messanger (BBM). Hal lain yang penting adalah bahwa wartawan juga membutuhkan Public Relations yang bisa dihubungi setiap saat. Kaitannya ialah wartawan akan selalu mencari Public Relations universitas untuk memberikan atau informasi guna melengkapi bahan liputan yang dibatasi oleh deadline sehingga wartawan membutuhkan sosok Public Relations yang cepat, sigap dan tanggap langsung bisa dihubungi dan langsung bisa memberikan jawaban atas kebutuhan informasi wartawan. Akan tetapi, sayangnya dari 10 Public Relations univesitas hanya dua yaitu Universitas Gajah Mada dan Universitas Islam Indonesia yang berprofesi sebagai Public Relations, sedangkan yang lain merangkap sebagai dosen atau staf 62
Adhianty Nurjanah, Wulan Widyasari dan Frizky Yulianti N: Public Relations & Media Relations (Kritik Budaya Amplop Pada Media Relationsinstitusi Pendidikan Di Yogyakarta)
pengajar sehingga sering kali komunikasi harus tertunda karena Public Relations kadang lebih mendahulukan tugasnya untuk mengajar karena sebagai dosen tugas utamanya ialah mengajar bukan menjawab pertanyaan rekan wartawan. Ini juga perlu menjadi bahan pertimbangan di pihak manajemen universitas karena kebutuhan tersebut, maka kriteria untuk memilih orang yang berhubungan dengan media sebaiknya adalah mereka yang hanya bertugas sebagai Public Relations tanpa “berpoligami” menjadi dosen. Kegiatan media relations adalah hubungan dengan media komunikasi untuk melakukan publisitas atau merespon kepentingan media terhadap kepentingan organisasi. (Philip Lesly, 1991:7). Dengan demikian media relations merupakan relasi yang dibangun dan dikembangkan organisasi dengan media untuk menjangkau publiknya guna meningkatkan pencitraan, kepercayaan dan tercapaianya tujuan indivu maupun tujuan organisasi. Dalam hal ini institusi pendidikan tinggi atau Universitas menggunakan media massa sebagai medium penyampai pesan dan pencitraan kepada publiknya. Semakin banyak akses yang didapat publik dari media massa berkaitan dengan institusi pendidikan tinggi / Universitasnya maka diharapkan semakin besar pula tingkat kepercayaan publik. Dalam melakukan aktivitas media relationsnya pemberian amplop kepada wartawan tingkat universitas di Yogyakarta masih membudaya. Seluruh narasumber mengakui bahwa dalam melakukan kegiatan media relations pemberian amplop kepada wartawan adalah hal yang wajar, misalkan Ratih Herningtyas sebagai Kepala Biro Humas dan Protokol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta mengakui bahwa pemberian amplop kepada wartawan adalah hal yang wajar dan tidak menyalahi etika profesi kehumasan. “Memang budaya pemberian amplop masih kami lakukan, akan tetapi menurut Kami pemberian amplop kepada wartawan itu hal yang wajar, karena kami memberi amplop (uang) hanya sedikit jumlahnya dan itu wajar hanya sekedar uang pengganti transport dan tidak ada hubungannya dengan unsur pemberitaan bukan sebagai uang sogok supaya berita kami muncul” (wawancara Ratih Herningtyas Humas UMY, 20 Februari 2015). Pemberian amplop kepada wartawan dalam kegiatan media relations dikalangan wartawan maupun dikalangan Public Relations memang masih banyak diperdebatkan. Hal ini terkait dengan kategori pemberian amplop itu sendiri apakah amplop itu adalah pemberian akomodasi liputan ataupun uang transportasi. Bahkan persoalan jumlah uang yang akan dijadikan subsidi transportasi bagi wartawan juga menjadi pembahasan khusus di kalangan Public Relations universitas di Yogyakarta. Berdasarkan hasil focus group discussion yang dilakukan tim peneliti didapatkan data bahwa uang transport yang diberikan kepada wartawan beragam berkisar Rp 50.000 – Rp 150.000/kegiatan/wartawan. Bahkan salah satu Public Relations universitas yang menjadi narasumber kami menyampaikan bahwa besaran isi uang dalam amplop itu tergantung pada waktu kegiatan mereka mengundang wartawan. Jika saat peliputan adalah hari biasa (weekday) besarannya adalah Rp 100.000, sedangkan saat hari libur (weekend) besarannya lebih besar yaitu Rp. 150.000 dengan asumsi pada saat hari libur (weekend) wartawan tersebut akan menghabiskan waktu liburnya untuk melakukan peliputan sehingga harus lebih diapresiasi. Adanya perdebatan terkait boleh tidaknya wartwan menerima amplop dikarenakan dalam Kode Etik Profesi Jurnalistik yang menjadi acuan bagi wartawan dalam menjalankan profesi kewartawanan, tidak ada pasal yang menyebutkan melarang bagi jurnalis untuk menerima amplop, akan tetapi yang ada adalah pada point (5) melarang wartawan untuk menerima suap dan dan tidak menyalahgunakan profesi. Adapun Kode Etik Jurnalistik terdiri dari hal-hal sebagai berikut: 63
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 55 - 68
ISSN 2085-1979
a. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar b. Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi. c. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat. d. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul serta tidak menyebutkan identitas korban asusila e. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi. f. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latarbelakang, dan off the record sesuai kesepakatan g. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab. Kode Etika Jurnalistik adalah acuan bagi wartawan dalam menjalankan profesi ke-Wartawan mereka, namun dalam implementasi dilapangan berbeda-beda dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kode etik jurnalistik tersebut. Namun secara umum kode etik jurnalistik berisi hal-hal berikut yang bisa menjamin terpenuhinya tanggung-jawab seorang wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya diantaranya sebagai berikut (Yassin : 2014): a. Independensi: Dalam menjalankan tugas jurnalistiknya wartawan harus independen yaitu tidak memihak. Wartawan harus dapat mencegah terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest), sehingga wartawan harus bisa menyampaikan fakta secara apa adanya. b. Kebebasan: Dalam menjalankan profesinya wartawan diberikan kebebasan yang bertanggungjawab. Artinya wartawan juga bebas menyampaikan realitas kepada masyarakat tetapi tetap penuh tanggung jawab. c. Kebenaran: Dalam melaksanakan aktivitas jurnalistiknya, wartawan harus senantiasa memelihara kepercayaan masyarakat pembaca atau pemirsanya bahwa berita yang ditulisnya adalah akurat, berimbang dan bebas dari bias dan mengandung kebenaran d. Tidak memihak: Laporan berita dan opini yang disampaikan wartawan harus netral. Artinya opini pribadi wartawan tidak boleh dicampuradukan dengan berita. e. Adil atau Fair: Wartawan dalam menjalankan tugas kewartawanannya harus menghormati hak-hak orang yang terlibat dalam beritanya serta memeprtanggungjawabkan kepada publik bahwa berita itu benar dan adil. f. Tanggung jawab: Tugas atau kewajiban wartawan adalah mengabdikan diri kepada kesejahteraan umum dengan memberi masyarakat informasi yang memungkinkan masyarakat membuat penilaian terhadap suatu masalah yang dihadapi. Wartawan dalam hal ini tidak boleh menyalahgunakan kekuasaannya sebagai wartawan untuk motif pribadi. g. Bernilai ibadah: Setiap peristiwa realitas yang diangkat menjadi berita, Wartawan harus menghindarkan diri dari boncengan kepentingan pihak yang hendak memperalat media. Kesadaran insan wartawan akan upaya yang dilakukan memiliki nilai ibadah. Jika ini yang menjadi filter wartawan, niscaya wartawan akan menjalankan tugas mulia sebagai seorang pembawa berita kebenaran Adanya perbedaan wartawan dalam menafsirkan aturan dalam kode Etik Jurnalistik sering membuat Public Relations Perguruan Tinggi kebingungan dalam menyikapi budaya pemberian amplop wartawan dalam kegiatan media relations yang mereka lakukan. Hal ini dikarenakan masih adanya perbedaan persepsi antara Public 64
Adhianty Nurjanah, Wulan Widyasari dan Frizky Yulianti N: Public Relations & Media Relations (Kritik Budaya Amplop Pada Media Relationsinstitusi Pendidikan Di Yogyakarta)
Relations dan Wartawan. Public Relations memandang bahwa pemberian amplop itu hanya sekedar upaya memberikan apresiasi terhadap kerja wartawan sebagai mitra Public Relations dan haya sebagai uang pengganti transportasi bukan sebagai uang sogokan yang berpengaruh pada esensi pemberitaan. Akan tetapi bagi wartawan itu dapat mempengaruhi independensi wartawan dalam melakukan kegiatan peliputannya dan melanggar kode etik jurnalistik. Hal lain yang kami temukan dalam penelitian ini, memang belum ada kesamaan persepsi juga dikalangan media terkait dengan pemberian amplop tersebut. Ada sebagian institusi media yang menganggap wartawan “haram” menerima amplop dari narasumber karena alasan akan dapat mempengaruhi objektivitas pemberitaan. Akan tetapi ada sebagian juga yang menganggap tidak haram asal tidak mempengaruhi esensi pemberitaan. Terlepas dari perdebatan itu, memang persepsi tentang “haram” atau “halal”nya amplop bagi wartawan sangat dipengaruhi oleh kebijakan institusi media dan integritas dari wartawan itu sendiri. Seperti yang diungkapkan Wartawan Bernas Yogyakarta “Selama pemberian amplop itu tidak mempengaruhi pemberitaan yang disampaikan ke khalayak dan bukan untuk menyogok wartawan agar tidak menulis informasi yang harus ditulis, hal itu tidak masalah bagi kami.” (Rahajeng, Wartawan Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, 28 Maret 2015) Hal berbeda justru disampaikan oleh wartawan Harian Jogja, “Sudah ada aturan yang jelas dalam Kode Etik Jurnalistik, bahwa wartawan dilarang menerima amplop dari narasumber manapun, karena sangat memungkinkan mempengaruhi keobjektifan dalam hal pemberitaan. “ (Laila Rohmatin, Wartawan Harian Jogja Yogyakarta, 28 Maret 2015). Mencermati jawaban dari narasumber di atas, pemberian amplop ini adalah hal yang sangat sensitif dikalangan Wartawan. Dengan menerima amplop dari narasumber wartawan akan mengalami konflik kepentingan dan itu akan berdampak pada profesi kewartawanannya. Menurut Fedler dalam bukunya Reporting For The Media (1997) terdapat lima bentuk konflik kepentingan yang dapat mempengaruhi wartawan dalam menjalankan profesinya. Kelima hal tersebut adalah sebagai berikut: a. Hadiah atau freebies yaitu segala sesuatu yang diberikan oleh narasumber kepada wartawan sehingga pemberian itu bisa mengakibatkan bias berita b. Junkets atau jalan-jalan gratis yaitu narasumber mengajak wartawan meliput sebuah acara dengan fasilitas yang memungkinkan wartawan datang tanpa mengeluarkan biaya c. Terlibat dalam kegiatan yang diliput yakni mengingat seringnya wartawan meliput kegiatan kantor publik wartawan bisa saja dilibatkan. Keterlibatan wartawan dalam kegiatan tersebut bisa saja menimbulkan bias d. Free Launching yakni pekerjaan kedua yang dilakukan wartawan. Selain sebagai wartawan mereka juga memiliki pekerjaan di perusahaan lain. Persoalannya adalah wartawan yang memiliki pekerjaan kedua di dalam organisasi / perusahaan umumnya dimanfaatkan oleh organisasi / perusahaan untuk membantu publisitas mereka e. Pillow Talk yaitu konflik kepentingan yang terkait dengan pekerjaan suami / istri wartawan. Seorang wartawan akan sulit berlaku objektif meliput peristiwa terkait dengan keluarganya sendiri f. Amplop yaitu usaha sumber berita yang ingin mempengaruhi wartawan dengan menggunakan amplop. Dengan demikian pemberian amplop kepada wartawan akan berdampak langsung maupun tidak langsung dalam proses jurnalistiknya yang meliputi proses mencari, mengumpulkan, data dan fakta, melakukan interaksi dengan narasumber dalam 65
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 55 - 68
ISSN 2085-1979
bentuk wawancara dan konfirmasi lalu menyusunnya untuk dijadikan menu berita sampai menyebarluaskan kepada khalayak atau masyarakat 2. Kritik Terhadap Budaya Amplop Oleh Public Relations Universitas Di Yogyakarta
Universitas sebagai institusi pendidikan tinggi memang tepat ketika menggunakan kegiatan media relations sebagai sarana publikasi dan pencitraan positif institusi pendidikan tingginya. Berbagai kegiatan dilakukan dalam media relations seperti press release, press conference dan beragam kegiatan yang lain yang dapat mempererat hubungan harmonis simbosis mutualisme dengan wartawan. Namun demikian untuk mewujudkan hubungan harmonis tersebut, Public Relations melakukan pemberian amplop kepada wartawan dengan alasan sebagai pengganti uang transport. Meskipun bukan sebagai “uang sogok”, namun sebagai institusi pendidikan sudah seharusnya budaya pemberian amplop ini dapat dihilangkan, meskipun secara bertahap. Public Relations Universitas sudah seharusnya menghormati dan menghargai kode etik profesi wartawan yang dijadikan sebagai pedoman wartawan dalam melakukan tugas jurnalistiknya. Sebagaimana Public Relations juga memiliki etika profesi kehumasan yang dijadikan sebagai guiding dalam menjalankan tugas kehumasannya. Public Relations institusi pendidikan sudah seharusnya lebih kreatif, inovatif bagaimana mengelola peristiwa agar memiliki news value sehingga tanpa amploppun wartawan akan mempublikasikannya karena memang menarik dan layak dipublikasikan. Budaya amplop harus dihilangkan, dikarenakan pemberian amplop kepada wartawan akan berdampak langsung maupun tidak langsung dalam proses jurnalistiknya yang meliputi proses mencari, mengumpulkan, data dan fakta, melakukan interaksi dengan narasumber dalam bentuk wawancara dan konfirmasi lalu menyusunnya untuk dijadikan menu berita sampai menyebarluaskan kepada khalayak atau masyarakat. Wartawan akan mengalami konflik kepentingan ketika sudah menerima amplop dari narasumber, ada unsur “pekewuh” kalau dalam bahasa jawa, atau sungkan jika harus menulis yang sifatnya “mengkritik”. Wartawan juga merasa tidak enak jika informasi dan peristiwa tentang institusi narasumber tidak dimuat. Adanya perasaan sungkan tersebut akan sangat mempengaruhi dalam proses pemberitaannya dan pada akhirnya profesionalisme Wartawan ditantang. Apakah dengan amplop wartawan tetap bisa bersikap independen, tidak memihak sehingga bisa menyampaikan fakta dan realitas secara akurat, berimbang dan bebas dari bias serta mengandung kebenaran dan penuh tanggung jawab kepada masyarakat, sehingga integritas wartawan tetap terjaga. Meskipun dalam implementasinya, terdapat perbedaan menginterpretasikan Kode Etik Jurnalistik dilapangan. Adanya perbedaan tersebut, sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang berlaku dimasing-masing institusi media. Ada media yang sangat patuh pada aturan kode etik profesi jurnalistik yang disusun oleh Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) pasal 13 telah menyebutkan “ Jurnalis dilarang menerima uang sogokan” dan aturan yang dikeluarkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pasal 4 menyebutkan bahwa “Wartawan Indonesia menolak imbalan yang dapat mempengaruhi objektifitas pemberitaan, sehingga menerima amplop adalah hal yang dilarang. Sehingga jika diketahui ada wartawannya yang menerima amplop, sanksi tegas yaitu pemecatan dapat dilakukan kepada wartawan yang bersangkutan. Biasanya aturan semacam ini diberlakukan pada institusi media massa dengan skala besar dalam hal ini institusi media sudah mampu memberikan kesejahteraan yang layak kepada wartawannya. Dalam hal ini wartawan tidak hanya memperoleh salary yang layak tetapi juga diberikan komponen–komponen lain selain gaji misalnya ada 66
Adhianty Nurjanah, Wulan Widyasari dan Frizky Yulianti N: Public Relations & Media Relations (Kritik Budaya Amplop Pada Media Relationsinstitusi Pendidikan Di Yogyakarta)
uang transport, uang komunikasi, dll yang dapat mendukung aktivitas profesi kewartawanannya. Selain itu juga dipengaruhi oleh integritas wartawannya. Wartawan yang memiliki idealisme untuk selalu menjaga profesionalismenya sebagai wartawan, selalu ingin berkata jujur, kritis, independen, sehingga memiliki kebebasan dalam mengkritik, menyampaikan fakta secara adil dan bertanggungjawab kepada masyarakat akan sangat hati-hati dalam melakukan aktivitas media relationnya terutama dalam hal penerimaan amplop. Wartawan tersebut akan menolak secara tegas untuk menerima amplop dalam menjalankan tugas peliputannya. Simpulan Kesadaran universitas akan peran public relations terhitung baik, karena seluruh narasumber tersebut memiliki divisi public relations bahkan UNY sudah memiliki Divisi Public Relations yang lebih terintergrasi membagi menjadi Divisi Internal dan Divisi Eksternal. Seluruh Universitas yang menjadi objek penelitian ini menjalankan peran public relations, namun masih terbatas pada communicator technician dan communications facilitator sehingga posisi public relations tersebut masih berada di level teknis belum masuk pada level manajerial. Kesepuluh universitas tersebut memiliki kesadaran tentang pentingnya melakukan kegiatan media relations meskipun kegiatan media relations tersebut masih terbatas pada penulisan dan pengiriman press release, press conference dan undangan peliputan. Sedangan Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Gajah Mada dan Universitas Islam Indonesia telah memiliki kegiatan media relations yang lebih komprehensif seperti memberikan sponsorship, menyelenggarakan press tour bahkan menyediakan press room juga mendirikan forum khusus untuk wartawan di institusinya. Masih ada perbedaan dalam mengintepretasikan Kode Etik Jurnalistik di kalangan wartawan, ada sebagian wartawan yang menganggap boleh menerima amplop karena sifatnya membantu biaya transportasi (bukan suap) dan asalkan tidak mempengaruhi pemberitaan, akan tetapi ada juga wartawan yang memaknai penerimaan "amplop" sebagai hal yang dilarang karena tidak sesuai dengan Kode Etik Profesi Jurnalistik. Perbedaan memaknai aturan Kode Etik Jurnalistik sangat dipengaruhi oleh kebijakan institusi media yang bersangkutan dan integritas dari masing-masing individu wartawan. Public Relations institusi pendidikan tinggi sudah seharusnya lebih kreatif, inovatif dalam mengelola peristiwa agar memiliki news value sehingga tanpa amploppun wartawan akan mempublikasikannya karena memang menarik dan layak dipublikasikan. Perlunya Public Relations Perguruan Tinggi tergabung dalam asosiasi kehumasan agar mendapatkan pengetahuan terutama mengenai Kode Etik Profesi Kehumasan untuk semakin menambah profesionalisme di diri public relations tingkat untiversitas di Yogyakarta. Public Relations Perguruan Tinggi sebaiknya tidak menganggarkan dana amplop untuk wartawan. Hal ini akan berdampak pada integritas wartawan dalam melakukan profesinya dan akan sangat berpotensi memunculkan wartawan abal-abal atau wartawan tanpa surat kabar. Saat ini Public Relations Perguruan Tinggi tidak memiliki wadah perkumpulan sehingga perlu dibuat forum komunikasi atau asosiasi Public Relations perguruan tinggi untuk berbagi pengalaman dan permasalahan karena karakter persoalan di tingkat universitas berbeda dengan perusahaan lainnya. Setiap institusi media wajib untuk meningkatkan kesejahteraan para wartawannya, dengan memberikan salary yang layak dilengkapi dengan komponen uang transportasi dan uang komunikasi yang dapat mendukung wartawan pada saat peliputan sehingga tidak ada lagi wartawan yang melakukan praktik "amplop" ketika meliput dilapangan. Jika memang Kode Etik Jurnalistik merupakan acuan profesi wartawan, peneliti 67
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 55 - 68
ISSN 2085-1979
menyarankan bagi AJI ataupun PWI untuk dapat melakukan kontrol yang efektif dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja profesi wartawannya. Daftar Pustaka Abdullah, Aceng (2001). Press Relations: Kiat Berhubungan dengan Media Massa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Abdul Sahar Yasin (2014). Hitam Putih Wartawan Indonesia. Jombang, Jawa Timur: Amanda Press. Baskin, Otis , Craig Aronoff and Dan Lattimore (1997). Public Relations The Profession and Practic. Mc Graw Hill. Bungin, Burhan (2005). Metodologi Penelitian Kuantitatif. Komunikasi, Ekonomi dan Kebijakan Publik Serta Ilmu –ilmu Sosial lainnya. Prenada Media : Jakarta . Cutlip, Scott M , Allen H.Center dan Glen M.Broom. (2006) Effective Public Relations . Jakarta: Prenada Media Group. De Lozier, Laura Grunig and James Grunig (1995). Manager's Guide to Excellence in Public Relations and Communication Management: Lawrence Earlbaum Associates Fred Fedler et al (1997). Reporting For The Media, Sixt Edition, Forth Worth: Harcourt Brace College Publishers. Grunig, James E, and E. Hunt (1984). Managing Public Relations. Harcourt : Brace Jovanovich College Publishers. Iriantara, Yosal. (2005). Media Relations: Konsep, Pendekatan dan Praktik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Nazir, Muhammad (1988). Metode Penelitian. Jakarta:Ghalia. Nurudin (2010), Hubungan Media, Konsep dan Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Moleong J, Lexy. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ruslan, Rusady (2003) . Manajemen PR dan Media Komunikasi, Jakarta : Raja Grafindo Persada. Wahidin Saputra & Ruli Nasrullah. (2010). Public Relations 2.0, Teori dan Praktik Public Relations di Era Cyber. Jakarta: Gramata Publishing.
68
Livia dan Suenarto: Retorika Barack Hussein Obama Dan Susilo Bambang Yudhoyono Dalam Menanggapi Isu Isis Di Dunia
RETORIKA BARACK HUSSEIN OBAMA DAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DALAM MENANGGAPI ISU ISIS DI DUNIA Livia dan Suenarto Praktisi Publik Relations dan Universitas Mustopo Beragama Email:
[email protected],
[email protected] Abstract This research discuss about the rhetoric performed by Barack Hussein Obama as President of the United States and Susilo Bambang Yudhoyono as President of the Republic of Indonesia in delivering feedback over the ISIS issue that circulating around the world. ISIS is an organization who commit acts of terrorism in the name of Islam. The United States is known as ‘anti-Islam’ country’s, while Indonesia has the largest Muslim population in the world. Therefore, author used Roland Barthes semiotic to reveal differences in this two figures seen from their rhetoric of verbal and non-verbal language. Thus, we can reveal how this two figures performed their rhetoric over the ISIS issue that conveyed to the international community. Keywords: Public Relations, Speech, Rhetoric, ISIS Abstrak Penelitian ini membahas mengenai retorika yang dilakukan oleh Barack Hussein Obama selaku Presiden Amerika Serikat dan Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden Republik Indonesia dalam memberikan tanggapan mengenai isu ISIS yang beredar di dunia. ISIS merupakan sebuah organisasi yang melakukan tindakan terorisme dengan mengatasnamakan Islam. Amerika Serikat merupakan negara yang dikenal sebagai negara ‘anti Islam’, sedangkan Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Oleh karena itu, penulis menggunakan semiotik Roland Barthes untuk mengungkapkan perbedaan retorika kedua tokoh dilihat dari bahasa verbal dan non verbalnya. Dengan demikian, dapat terlihat seperti apa retorika yang dilakukan oleh kedua tokoh yang ingin disampaikan kepada masyarakat internasional terkait isu ISIS. Kata Kunci: Public Relations, Pidato, Retorika, ISIS
Pendahuluan Isu terorisme yang sedang menjadi bahan perbincangan dunia adalah terkait tindakan organisasi Islamic State in Iraq and Syria (ISIS). ISIS merupakan sebuah organisasi yang memiliki tujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam. Prosedur kerja organisasi ISIS dalam mewujudkan tujuannya lebih mengarah pada kekerasan yang brutal dan perebutan wilayah kekuasaan dari pemerintah sehingga kasus ini tidak lagi dianggap sebagai masalah agama tetapi juga pada terorisme. Dunia diguncangkan dengan teror dari organisasi ISIS dari munculnya video di internet yang berjudul ‘A Message to America’. Video tersebut berisikan adegan eksekusi seorang wartawan Amerika yang bernama James Foley. Dalam selang waktu 2 minggu, kembali beredar video yang memperlihatkan adegan eksekusi wartawan Amerika yang bernama Steven Scotlof. Barack Obama selaku Presiden Amerika Serikat segera mengambil tindakan dan memberikan reaksi terhadap kasus itu. Obama seringkali melakukan pidato bukan hanya terkait kasus eksekusi dua orang wartawan Amerika, tetapi juga terkait tindakan terorisme yang dilakukan oleh ISIS. 69
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 69 - 78
ISSN 2085-1979
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turut memberikan pernyataan dan komentar terhadap isu ISIS yang mulai meluas ini. Barack Obama dan Susilo Bambang Yudhoyono merupakan tokoh yang memiliki posisi paling berpengaruh di negara pemerintahannya masin- masing. Barack Obama merupakan presiden dari Amerika Serikat yang dikenal sebagai sebuah negara maju, sedangkan Susilo Bambang Yudhoyono merupakan presiden dari Indonesia yang merupakan sebuah negara berkembang. Dalam menghadapi isu ISIS yang sedang marak menyerang dunia, sebagai pemimpin negara, kedua aktor politik tersebut memberikan komentar dan tanggapannya dalam bentuk pidato. Pidato yang dilakukan menjadi begitu penting mengingat posisi Obama dan SBY sebagai seorang presiden yang mewakili negara dan rakyatnya dalam berpandangan mengenai suatu isu. Sebagai seorang aktor politik, tentu Obama dan SBY harus lebih berhatihati dalam memilih kata-kata serta cara penuturan pidato yang baik, terlebih dalam menanggapi kasus global seperti isu ISIS. Hal ini dikarenakan pemilihan bahasa verbal dan nonverbal yang dilakukan dapat mempengaruhi makna dari pidato yang disampaikan. Dari penelitian ini, penulis akan membandingkan bagaimana gaya retorika yang dilakukan oleh kedua aktor politik tersebut. Retorika yang dilakukan bukan hanya meliputi bahasa yang digunakan dalam teks pidatonya, tetapi juga melibatkan bahasa nonverbal yang ditunjukkan dalam melakukan retorika. Penelitian ini hanya menganalisis retorika yang dilakukan oleh Barack Obama dan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai aktor politik dalam menanggapi isu ISIS di dunia dalam United Nations General Assembly pada tanggal 24 September 2014. Penelitian ini mengumpulkan data berupa rekaman video pidato yang dilakukan oleh Obama dan SBY yang akan dianalisis menggunakan metode semiotik. 1. Lima Hukum Retorika (Five Canons of Rhetoric) Rhetorica ad Herenium untuk pertama kalinya menguraikan lima hukum retorika. Lima hukum retorika adalah penemuan (invention), penyusunan (arrangement), gaya (style), penyampaian (delivery) dan ingatan (memory). Tabel 1. Five Canons of Rhetoric Canon Invention Arrangement Style Delivery Memory
Definition Determination of topics and supporting material Structure of the speech Use of language to create a desired effect on the audience Presentation of the speech, involving verbal (vocal) and nonverbal aspects Remembering what to say in a speech
Sumber : Rhetorical Theory (Borchers, 2006) 2. Pembagian Retorika Retorika adalah bagian dari ilmu bahasa (linguistic), khususnya ilmu bina bicara. Sebagai bagian dari ilmu bina bicara, Heryanto dan Zarkasy (2012) menguraikan cakupan retorika, yaitu:
70
Livia dan Suenarto: Retorika Barack Hussein Obama Dan Susilo Bambang Yudhoyono Dalam Menanggapi Isu Isis Di Dunia
a. Monologika adalah ilmu tentang seni berbicara secara monolog, yaitu hanya seorang yang berbicara. Bentuk-bentuk yang tergolong dalam monologika adalah pidato, kata sambutan, kuliah, makalah, ceramah dan deklamasi. b. Dialogika adalah ilmu tentang seni berbicara secara dialog, di mana dua orang atau lebih berbicara atau mengambil bagian dalam satu proses pembicaraan. Bentuk dialogika yang penting adalah diskusi, tanya jawab, perundingan, percakapan dan debat. c. Pembinaan Teknik Bicara. Efektivitas monologika dan dialogika tergantung pada teknik bicara. Oleh karena itu teknik bicara ini merupakan bagian yang penting dalam retorika. Perhatian ini lebih diarahkan pada pembinaan teknik bernafas, teknik mengucap, bina suara, teknik membaca dan bercerita. 3. Tipologi Pidato Rakhmat menyatakan bahwa dalam retorika, terdapat sejumlah tipe pidato yang menentukan pendekatan dan proses yang berbeda-beda dalam penyelenggaraannya (dalam Heryanto dan Zarkasy, 2012). a. Tipe impromptu. Tipe ini biasanya merupakan ungkapan perasaan pembicara, karena pembicara tidak memikirkan terlebih dahulu pendapat yang disampaikannya. Gagasan dan pendapatnya datang secara spontan, meski memungkinkan orator untuk terus berpikir. b. Tipe manuskrip. Orasi dilakukan dengan cara membawa naskah. Kelebihannya, kata-kata dapat dipilih sebaik-baiknya, pernyataan dapat dihemat, dan dapat diterbitkan atau diperbanyak. Kelemahannya, interaksi dengan pendengar kurang, umpan balik kurang diperhatikan dan bersifat monoton. c. Tipe memoriter. Pesan pidato ditulis kemudian diingat kata demi kata. Kelebihannya, memungkinkan ungkapan yang tepat, organisasi pesan yang terencana, dan pemilihan bahasa yang tepat, serta gerak dan isyarat yang terintegrasi. Kelemahannya, kurang terjalinnya hubungan antara pembicara dan pendengar, memerlukan waktu dalam persiapan dan kurang spontan. d. Tipe ekstemporer. Jenis pidato yang paling baik dan paling sering dilakukan oleh juru pidato yang mahir. Orasi telah dipersiapkan sebelumnya berupa outline dan pokok-pokok penunjang pembahasan. Outline hanya merupakan pedoman untuk mengatur gagasan yang ada dalam pikiran, terjadi interaksi dengan pendengar, fleksibel dan lebih spontan. 4. Tipologi Orator Politik Dalam menyampaikan pidato politik, dibutuhkan kesadaran diri bahwa seorang orator akan membawa nama lembaga yang diwakilinya atau jika secara internasional maka membawa nama negaranya. Oleh karena itu, harus senantiasa menyadari tipologi orator yang sedang diperankannya. Heryanto dan Zarkasy (2012) menguraikan tipologi orator dalam Public Relations politik antara lain seperti berikut: a. Noble Selves: orang yang menganggap dirinya paling benar, mengklaim lebih hebat dari yang lain dan sulit menerima kritik. Jika tipe ini yang ada dalam praktisi Public Relations politik, maka tentu akan menghambat proses komunikasi yang sedang dilakukan. b. Rhetorically Reflector: tidak punya pendirian yang teguh, hanya menjadi cerminan orang lain. Tipe seperti ini akan melemahkan lembaga atau kandidat, karena orator tak memiliki kapasitas untuk membangun diskursus, berpolemik atau mempertahankan ide dan konsep. 71
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 69 - 78
ISSN 2085-1979
c. Rhetorically Sensitive: adaptif dan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ini merupakan tipe ideal karena tahu bagaimana dan kapan harus mencerminkan diri publik (public self) dan diri pribadi (private self). Cenderung fleksibel, tetapi memiliki konsep diri yang jelas, sehingga bisa menunjukkan ketegasan dan kewajibannya di depan khalayak. 5. Semiotik Sosial Dalam semiotik sosial, Sudibyo, Hamad dan Qodari (dalam Sobur, 2012) menyatakan ada tiga unsur yang menjadi pusat perhatian penafsiran teks secara kontekstual, yaitu: a. Medan Wacana (field of discourse): menunjuk pada hal yang terjadi: apa yang dijadikan wacana oleh pelaku mengenai sesuatu yang sedang terjadi di lapangan peristiwa. b. Pelibat Wacana (tenor of discourse) menunjuk pada orang-orang yang dicantumkan dalam teks; sifat orang-orang itu, kedudukan dan peranan mereka. c. Sarana Wacana (mode of discourse) menunjuk pada bagian yang diperankan oleh bahasa: bagaimana komunikator menggunakan gaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) dan pelibat (orang-orang yang dikutip); apakah menggunakan bahasa yang diperhalus atau hiperbolik, eufemistik atau vulgar. 6. Semiotika Roland Barthes Roland Barthes adalah seorang keturunan Prancis dan merupakan kritikus sastra dalam bidang semiotika. Barthes lahir di Cherbough, Prancis, tahun 1915. Melalui hasil karyanya, Barthes menganalisis makna dibalik teks, seperti film, pertunjukan, koran, dan pameran. Barthes melakukan eksplorasi terhadap cara simbol mengandung makna. Khususnya, Barthes tertarik pada struktur tanda dan cara bagaimana mereka menyampaikan makna (Borchers, 2006: 272). Tabel 2. Barthes’s Three Levels of Meaning Meaning Linguistic
Variation Denotative Connotative
Coded Iconic Noncoded Iconic
Definition Literal meaning for the words contained in image. What is implied by the words in the image. Deliberate and obvious story told by the images Nondiscursive and emotional meaning that arises from the totality of an image.
Sumber : Timothy Borchers (2006) Barthes (dalam Borchers, 2006) mengidentifikasikan tiga tipe pesan yang terkandung dalam suatu gambaran visual. Pertama adalah pesan linguistik, yang dihasilkan dari kata-kata yang terkandung dalam gambar. Kata-kata ini dapat menunjukkan makna denotatif dan konotatif. Dalam melakukan penelitian ini, penulis akan menganalisis kajian makna yang terdapat dalam retorika yang dilakukan oleh Barack Obama dan Susilo Bambang Yudhoyono menggunakan analisis semiotik dari Roland Barthes. Sehingga akan didapatkan penafsiran yang sesuai dengan tujuan dari penulisan penelitian ini. Dari pembahasan di atas, maka penulis akan merumuskan kerangka pemikiran dalam penelitian ini. Isu ISIS yang muncul belakangan ini telah mampu menarik perhatian dari berbagai negara, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia. Isu ISIS ini pada awalnya 72
Livia dan Suenarto: Retorika Barack Hussein Obama Dan Susilo Bambang Yudhoyono Dalam Menanggapi Isu Isis Di Dunia
tidak terlalu dipedulikan hingga pada tahun 2014, mulai ditanggapi secara serius oleh negara adidaya Amerika Serikat. Bentuk tanggapan yang dilakukan oleh Amerika Serikat salah satunya adalah dengan melakukan retorika. Dalam bentuk pidato inilah, kedua tokoh menyampaikan pesannya dengan menggunakan bahasa verbal (katakata) dan nonverbal (bahasa tubuh). Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisis bahasa verbal dan nonverbal yang digunakan oleh kedua tokoh. Penulis akan melakukan interpretasi terhadap retorika yang dilakukan secara keseluruhan Metodologi Penelitian Pada penelitian ini, metode penelitian yang dipakai adalah penelitian kualitatif. Penggunaan metode ini dikarenakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna. Dalam penelitian kualitatif tidak menekankan pada generalisasi, tetapi lebih menekankan pada makna (Sugiyono, 2011). Penggunaan metodologi penelitian kualitatif ini dikarenakan pada penelitian ini, penulis akan melakukan interpretasi terhadap makna-makna yang ada dibalik bahasa verbal dan nonverbal dalam retorika Barack Obama dan Susilo Bambang Yudhoyono. Dari judul penelitian yang dilakukan telah jelas terlihat bahwa penelitian ini akan menggunakan metodologi kualitatif karena hasil penelitian yang didapatkan akan berupa uraian penjelasan dan bukan berupa analisis angka-angka. Penelitian ini berdiri pada paradigma kritis, yaitu paradigma yang menggunakan prinsip dasar ilmu sosial interpretif dengan tujuan untuk menginterpretasikan dan memahami pengalaman manusia dalam konteksnya. Paragdima kritis dalam ilmu komunikasi mampu membebaskan dan membangkitkan kesadaran kritis, baik bagi yang mendominasi ataupun yang terdominasi (Yasir, 2012). Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif dikarenakan data yang dikumpulkan dan dianalisis adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Data akan dianalisis dan ditelaah setiap bagiannya satu demi satu untuk memperoleh makna dibaliknya. Dalam penelitian ini, yang menjadi subjek utama penelitian adalah retorika yang dilakukan oleh Barack Obama dan Susilo Bambang Yudhoyono dalam menanggapi isu ISIS di dunia dalam United Nations General Assembly pada tanggal 24 September 2014. Retorika tersebut didapat penulis dari rekaman video yang diunduh melalui situs YouTube. Objek dalam penelitian ini adalah bahasa verbal dan nonverbal yang memiliki makna konotasi yang digunakan selama melakukan retorika dalam bentuk pidato terkait topik ISIS. Bahasa verbal yang dianalisis berupa kata-kata yang diucapkan atau naskah pidato, sedangkan bahasa nonverbal yang dianalisis berupa ekspresi wajah dan bahasa tubuh. Penelitian ini akan menggunakan observasi dalam meneliti mengenai retorika yang dilakukan oleh Barack Obama dan Susilo Bambang Yudhoyono, sehingga data primer yang dikumpulkan oleh penulis didapat dari rekaman pidato kedua tokoh tersebut yang dapat dilihat dan diunduh melalui situs jejaring sosial YouTube. Dalam penelitian ini, data sekunder akan didapatkan melalui studi kepustakaan atau riset perpustakaan. Riset perpustakaan ini dilakukan dengan mencari data atau informasi riset melalui membaca jurnal ilmiah, buku-buku referensi dan bahan-bahan publikasi yang tersedia di perpustakaan (Ruslan, 2010). Pada penelitian ini, penulis menentukan unit analisis dengan mengklasifikasikan konten yang terdapat dalam retorika Barack Obama dan Susilo Bambang Yudhoyono menjadi dua bagian besar, yaitu: 1) Bahasa Verbal: berupa kata-kata yang diucapkan dan terdapat dalam naskah teks pidato yang dibacakan oleh orator. 73
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 69 - 78
ISSN 2085-1979
2) Bahasa Nonverbal: dalam penelitian ini, bahasa nonverbal yang dianalisis berupa intonasi suara, ekspresi wajah, dan gerakan tangan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis semiotik dalam menganalisis data-data primer dan sekunder yang telah didapatkan. Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda, studi mengenai tanda dan segala yang berhubungan tandatanda lainnya, cara berfungsinya, pengiriman, dan penerimaan oleh penggunaannya. Tujuan analisis semiotik adalah menemukan makna tanda-tanda dan termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah teks tertentu, seperti pesan-pesan teks atau tokoh iklan, narasi film, dan berita (Ruslan, 2010). Proses analisis data dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 3. Proses Analisis Data No Proses Analisis 1. Analisis Level Denotasi
2.
Analisis Level Konotasi
Deskripsi Denotasi adalah makna kamus dari terminologi kata atau objek (literal meaning of a term or object), dan merupakan suatu deksripsi dasar (Ruslan, 2010: 227). Setiap unit analisis dalam retorika akan dianalisis makna denotasinya, yaitu makna apa adanya. Konotasi adalah makna kultural yang melekat pada terminologi (the cultural meanings the become attached to a term) (Ruslan, 2010: 228). Setiap tanda yang ada dalam proses penyampaian retorika akan dianalisis makna konotasinya, yaitu makna yang berkaitan pada bagaimana pandangan budaya pihak yang melihatnya.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Mitos utama dalam kasus terorisme organisasi ISIS adalah melekatnya pandangan ‘Terorisme Islam’ pada sejumlah masyarakat non Muslim. Trauma-trauma yang dialami oleh Amerika terkait kasus terorisme oleh kelompok yang juga mengatasnamakan Islam telah menimbulkan pandangan negatif. Sejak kemunculan isu teroris di Amerika yang bermula dari kejadian 9-11, masyarakat Amerika mulai memiliki pandangan yang buruk terhadap kaum muslim di seluruh dunia. Pidato Barrack Obama dalam menanggapi isu ISIS yang ada di dunia menunjukkan bahwa Amerika bersedia untuk memberikan bantuannya dalam usaha memberantas kelompok teroris ini. Tetapi, dalam tindakan ini Amerika tidak akan bekerja sendiri melainkan dengan membentuk koalisi dengan berbagai negara dan memberikan dukungan pada Irak dan Suriah untuk bertindak. Amerika bertindak sebagai ‘pahlawan’ bagi negara di dunia yang terancam akan kehadiran ISIS. SBY dalam pidatonya menyampaikan bahwa ISIS merupakan sebuah organisasi yang menyembunyikan dirinya di balik Islam yang palsu. Islam palsu ini merupakan mitos bagi rakyat Indonesia yang melekat pada teroris yang mengatasnamakan Islam sebagai dasar dari tindakan kejinya. Islam palsu merupakan sebuah kepercayaan yang dijadikan dasar oleh para ekstremis dalam melakukan segala tindakan yang sebenarnya sangat berlainan dari Islam. Dalam sosok presiden SBY telah melekat mitos bahwa SBY adalah seorang yang ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Hal ini banyak mendapatkan keluhan dari rakyat Indonesia selama pemerintahannya berlangsung. Dalam pidato yang 74
Livia dan Suenarto: Retorika Barack Hussein Obama Dan Susilo Bambang Yudhoyono Dalam Menanggapi Isu Isis Di Dunia
dibawakan, SBY seperti ragu-ragu dalam memberikan solusi untuk mengatasi isu terorisme ini. SBY menyamakan kasus-kasus global yang ada dengan solusi yang berupa imbauan dan bukan tindakan militer. Berbeda dengan Amerika yang memutuskan untuk bertindak dengan tegas dalam melakukan pemberantasan teroris ini. Dari bahasa verbal dan nonverbal yang ditunjukkan oleh Obama melalui retorikanya, dapat disimpulkan bahwa Obama berusaha untuk menyelesaikan pertentangan dengan Islam yang selama ini telah melekat pada Amerika Serikat sebagai sebuah negara yang anti Islam. Obama berusaha untuk menetralkan situasi dengan memberikan berbagai solusi dan tindakan untuk menumpas kelompok teroris yang mengatasnamakan agama Islam. Sedangkan pada retorika yang dilakukan oleh SBY, disimpulkan bahwa SBY terlihat tidak berani dalam mengambil keputusan maupun memberikan solusi untuk menanggapi kasus ISIS ini. Sebagai seorang presiden dari negara dengan penganut muslim terbanyak di dunia, reaksi dan tanggapan SBY terhadap kasus ISIS ini lebih tidak tegas dibandingkan dengan Obama. SBY lebih berhati-hati dan tidak mau melakukan penyerangan terhadap kelompok lawan dan hanya memberikan himbauan saja. Amerika Serikat merupakan sebuah negara yang memiliki ‘masa lalu’ dengan terorisme Islam, yaitu sejak terjadinya tragedi 9/11 yang telah menghancurkan gedung World Trade Center (WTC). Dari sudut pandang warga Amerika Serikat beredar mitos bahwa terorisme adalah Islam dan begitu juga sebaliknya. Sementara di Indonesia, yang merupakan sebuah negara dengan mayoritas penduduk muslim tentu memiliki pandangan yang sama sekali berbeda. Masyarakat Indonesia menganggap bahwa kelompok terorisme yang mengatasnamakan Islam merupakan kelompok yang bersemunyi di balik ‘Islam palsu’. Obama melalui retorikanya berusaha untuk menetralkan pandangan rakyatnya terhadap Islam dan terorisme dengan tegas. Sedangkan SBY, tidak melakukan retorika untuk memperbaiki pandangan mengenai terorisme dan Islam di mata masyarakat dunia dengan tegas. SBY memberikan retorikanya agar masyarakat menolak dan menyadari bahwa ISIS bukanlah Islam sebenarnya. Namun, dilihat dari bahasa nonverbal yang dilakukannya, SBY kurang ekspresif dan tegas dalam menyampaikan maksudnya. Berikut perbedaan antara retorika kedua tokoh dilihat dari verbalnya, yaitu: Tabel 4. Perbandingan Teks Pidato Dimensi Medan Wacana (field of discourse)
Barrack Hussein Obama
Kasus ISIS bukan kasus agama melainkan militer Penyampaian pemecahan masalah dengan tindakan yang pasti Tidak membela kaum muslim tetapi tidak menjatuhkan (bersikap netral)
Susilo Bambang Yudhoyono
Pelibat Wacana (tenor of
Sumber dari tiga sisi (kaum muslim, Amerika Serikat, umat agama lain)
Kasus ISIS hanyalah satu dari banyak kasus global Pemecahan masalah hanya berupa himbauan Menceritakan tindakan Indonesia dalam menanggapi ISIS Tidak fokus dalam membahas mengenai Islam dan ISIS Netral dalam mengambil keputusan (tidak bersikap menyerang) Hanya melihat dari satu sisi (Indonesia) Perspektif dari umat Islam
75
ISSN 2085-1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 69 - 78
discourse)
Perspektif secara militer Pesan ditujukan khususnya kepada Irak dan Suriah, serta kaum muslim
Pesan ditujukan kepada semua pihak
Sarana Wacana (mode of discourse)
Low Context Eksplisit Labelisasi Persuasif
High Context Implisit Persuasif
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka penulis memperoleh kesimpulan bahwa terdapat beberapa perbedaan antara retorika yang dilakukan oleh Barack Hussein Obama dan Susilo Bambang Yudhoyono terkait isu ISIS baik dari bahasa verbal maupun nonverbal. Dari bahasa verbal dan nonverbal yang ditunjukkan oleh Obama melalui retorikanya, dapat disimpulkan bahwa Obama berusaha untuk menyelesaikan pertentangan dengan Islam yang selama ini telah melekat pada Amerika Serikat sebagai sebuah negara yang anti Islam. Obama berusaha untuk menetralkan situasi dengan memberikan berbagai solusi dan tindakan untuk menumpas kelompok teroris yang mengatasnamakan agama Islam. Sedangkan pada retorika yang dilakukan oleh SBY, disimpulkan bahwa SBY terlihat tidak berani dalam mengambil keputusan maupun memberikan solusi untuk menanggapi kasus ISIS ini. Sebagai seorang presiden dari negara dengan penganut muslim terbanyak di dunia, reaksi dan tanggapan SBY terhadap kasus ISIS ini lebih tidak tegas dibandingkan dengan Obama. SBY lebih berhati-hati dan tidak mau melakukan penyerangan terhadap kelompok lawan dan hanya memberikan himbauan saja. Amerika Serikat merupakan sebuah negara yang memiliki ‘masa lalu’ dengan terorisme Islam, yaitu sejak terjadinya tragedi 9/11 yang telah menghancurkan gedung World Trade Center (WTC). Dari sudut pandang warga Amerika Serikat beredar mitos bahwa terorisme adalah Islam dan begitu juga sebaliknya. Sementara di Indonesia, yang merupakan sebuah negara dengan mayoritas penduduk muslim tentu memiliki pandangan yang sama sekali berbeda. Masyarakat Indonesia menganggap bahwa kelompok terorisme yang mengatasnamakan Islam merupakan kelompok yang bersemunyi di balik ‘Islam palsu’. Obama melalui retorikanya berusaha untuk menetralkan pandangan rakyatnya terhadap Islam dan terorisme dengan tegas. Sedangkan SBY, tidak melakukan retorika untuk memperbaiki pandangan mengenai terorisme dan Islam di mata masyarakat dunia dengan tegas. SBY memberikan retorikanya agar masyarakat menolak dan menyadari bahwa ISIS bukanlah Islam sebenarnya. Namun, dilihat dari bahasa nonverbal yang dilakukannya, SBY kurang ekspresif dan tegas dalam menyampaikan maksudnya. Simpulan Dalam melakukan penelitian ini, penulis menyadari terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian. Keterbatasan tersebut antara lain penulis tidak dapat melakukan wawancara baik langsung ataupun tertulis dengan pelaku utama pidato yaitu Barack Obama dan Susilo Bambang Yudhoyono. Sehingga penulis tidak dapat melakukan klarifikasi dan perbandingan langsung hasil analisis dengan pernyataan dari kedua tokoh tersebut. Retorika yang dilakukan oleh kedua tokoh sebenarnya sudah bagus karena sudah memiliki kelima unsur dari lima hukum retorika. Dari keseluruhan naskah pidato pun hal yang disampaikan saling berkaitan dalam topik yang sedang dibahas. 76
Livia dan Suenarto: Retorika Barack Hussein Obama Dan Susilo Bambang Yudhoyono Dalam Menanggapi Isu Isis Di Dunia
Kedua tokoh memiliki ciri dan gaya retorika yang berbeda satu sama lainnya namun tetap memiliki kekuatan pengaruh dalam kata-katanya. Retorika yang dilakukan Barack Obama terlihat rapi dan sempurna dari segi penyusunan kata pada teks pidato, kesesuaian antara gerakan tubuh dan teks, serta pandangan yang selalu mengarah ke audiens. Pemberian jeda pada setiap pergantian kalimat menjadi kelebihan tersendiri bagi retorika Obama karena jeda yang ada memberikan waktu bagi audiens untuk memahami apa yang sedang dibicarakan dan juga memberi waktu bagi Obama untuk bersiap memulai kalimat selanjutnya. Namun, Obama harus lebih berhati-hati dalam mengontrol emosinya selama melakukan retorika. Sepanjang pidato, Obama seringkali mengerutkan kening dan mengepalkan tangan untuk memperkuat bahasa verbal. Memang, hal itu menambah kekuatan kata-kata namun frekuensi penggunaan yang terlalu sering menyebabkan Obama terlihat sedang marah dan tidak tenang. Terlebih dengan gerakan tangan saling mengaitkan jari yang juga menandakan adanya gejolak perasaan negatif dalam dirinya. Retorika yang dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono terlihat rapi pada penyusunan teks pidato yang dilihat dari keterkaitan antar kalimat yang ada. Pembawaan pidato yang tenang dan kalem menunjukkan bahwa SBY memang percaya diri dalam membawakan pidato tersebut yang juga didukung dengan gerakan tangan steepling selama melakukan pidato. Saran untuk SBY adalah harus menyesuaikan antara gerakan tangan yang dilakukan dan kata verbal yang diucapkan. Ada beberapa gerakan tangan yang tidak memiliki arti dan tidak berhubungan dengan apa yang sedang dibicarakan saat itu. Ketidaksesuaian ini dapat mengaburkan maksud pesan yang disampaikan karena audiens akan menjadi bingung. Sebaiknya dalam pengucapan kata verbal juga diberikan jeda sedikit sehingga audiens dapat memahami terlebih dahulu apa yang sedang dibicarakan oleh orator. Bagi para orator yang melakukan retorika dengan tujuan untuk mendapatkan feedback yang diharapkan, ada baiknya selain memperhatikan kata-kata yang akan diucapkan juga memperhatikan gerakan tubuh yang dilakukan. Banyak orator yang tidak menganggap gerakan tubuh itu penting dan cenderung hanya berfokus pada kata yang diucapkan. Hal ini merupakan persepsi yang salah. Meskipun kata-kata yang dipersiapkan bagus dan menarik, namun jika dilakukan tanpa gerakan tubuh yang sesuai maka keefektifan retorika tersebut akan berkurang. Dalam mempersiapkan sebuah pidato seharusnya pembicara melakukan latihan dahulu untuk mengoreksi apakah ada kesalahan atau ketidakcocokan pada naskah pidato atau pada gerakan tubuh yang dilakukan. Sebelum melakukan pidato ada baiknya orator mencari tahu terlebih dahulu dalam forum seperti apa dan siapa audiens yang akan mendengarkan pidato tersebut. Kepada masyarakat luas, disarankan sebelum menerima secara langsung apa yang dikatakan atau disampaikan oleh pembicara dalam sebuah pidato ada baiknya untuk secara kritis memahami terlebih dahulu maksud sebenarnya dari dilakukannya pidato tersebut. Hindari untuk menerima langsung semua apa yang dibicarakan oleh orator tanpa mengetahui data-data dan fakta yang ada. Kepada akademisi dan universitas, disarankan untuk memberikan pembelajaran mengenai retorika secara lebih mendalam lagi khususnya untuk konsentrasi public relations. Hal ini dikarenakan retorika merupakan suatu bentuk komunikasi yang akan sangat bermanfaat bagi praktik di dunia kerja nantinya.
77
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 69 - 78
ISSN 2085-1979
Daftar Pustaka Borchers, Timothy. (2006). Rhetorical Theory: An Introduction. Toronto: Thomson Wadsworth Hendrikus, Dori Wuwur. (1991). Retorika: Terampil Berpidato, Berdiskusi, Berargumentasi, Bernegosiasi. Yogyakarta: Kanisius Heryanto, Gun Gun., dan Irwa Zarkasy. (2012). Public Relations Politik. Bogor: Ghalia Indonesia Ruslan, Rosady. (2010). Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada Sobur, Alex. (2012). Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Yasir. (2012). Paradigma Komunikasi Kritis: Suatu Alternatif Bagi Ilmu Komunikasi. Jurnal Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Riau, (Online), Jilid 1, No 1
78
H.H. Daniel Tamburian: Interpretasi Tagar #Savehajilulung Di Kalangan Netizen Pengguna Twitter
INTERPRETASI TAGAR #SAVEHAJILULUNG DI KALANGAN NETIZEN PENGGUNA TWITTER H.H. Daniel Tamburian Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara Email:
[email protected] Abstract #SaveHajiLulung Tagar had become so phenomenal virtual world for people all over the world. This study aims to determine how the interpretation tagar #SaveHajiLulung among netizens twitter users considering the mismatch context with the content of the tweet hashtag netizen. The theory used include communication theory, mass communication, new media, social media, netizens and the theory of reputation. The method used is descriptive qualitative. The data collection techniques are interviews with key informants and users tagar #SaveHajiLulung, observation and study of literature. The results showed tagar #SaveHajiLulung interpretation is a form of sarcasm and harsh criticism against the figure of Haji Lulung. Keywords: Interpretation, Reputation, Personal Reputation Abstrak Tagar #SaveHajiLulung sempat menjadi begitu fenomenal bagi masyarakat dunia maya di seluruh dunia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana interpretasi tagar #SaveHajiLulung di kalangan netizen pengguna twitter mengingat ketidaksesuaian konteks tagar dengan isi dari tweet netizen. Teori yang digunakan diantaranya teori komunikasi, komunikasi massa, new media, media social, netizen dan teori reputasi. Metode penelitian yang digunakan ialah deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan yaitu wawancara dengan key informan dan pengguna tagar #SaveHajiLulung, observasi dan kajian pustaka. Hasil penelitian ini menunjukkan interpretasi tagar #SaveHajiLulung merupakan bentuk sindiran dan kritik keras terhadap sosok Haji Lulung. Kata Kunci: Interpretasi, Reputasi, Personal Reputation
Pendahuluan Internet adalah salah satu bentuk new media. Memasuki tahun 2000, internet telah memasuki fase baru yang disebut web 2.0, dimana fase ini bisa disebut sebagai titik awal dari kemudahan bagi manusia dalam berkomunikasi. Bagaimana tidak, melalui web 2.0. tidak hanya sebagian orang, namun semua pihak bisa ikut berpartisipasi dan berekspresi. Perkembangan teknologi ini ibarat membuka alam semesta baru bagi para pengguna media, dimana setiap orang bisa memiliki area mereka masing-masing yang dapat menghubungkannya dengan dunia luar. Tak bisa dipungkiri, internet telah membantu kita dalam kehidupan seharihari. Mengakses dan memilah informasi bahkan menyampaikan pesan kepada komunikan bukan lagi hal yang sulit untuk dilakukan. Dengan internet, manusia seolah tak lagi mengenal batasan jarak dan waktu, komunikator dan komunikan dapat terhubung kapanpun dan dimanapun. Tidak hanya penduduk dunia, pengguna internet di Indonesia-pun ikut menikmati kemudahan berkomunikasi,dibuktikan dengan pernyataan APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) yang menyatakan jumlah pengguna internet pada tahun 2013 mencapai 71,19 juta, meningkat 13 persen dibanding tahun 2012 yang mencapai sekitar 63 juta pengguna (sumber: www.apjii.or.id, diakses tanggal 24 Maret 2013, pukul 15:16). Berdasarkan survey di 79
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 79 - 93
ISSN 2085-1979
tahun 2012, APJII bahkan sempat memprediksi pengguna internet di Indonesia akan mencapai 139.000.000 atau lebih dari setengah dari jumlah penduduk Indonesia. Terdapat bermacam-macam aplikasi di internet yang dapat digunakan sebagai tempat bertukar informasi dan komunikasi. Salah satu aplikasi yang dapat dimanfaatkan adalah media sosial. Saat ini media sosial menjadi suatu trend yang berkembang di masyarakat. Dengan bantuan teknologi media jejaring sosial (facebook,twitter) seseorang bisa melakukan komunikasi dari mulut ke mulut tanpa bertatap muka dengan cepat dan lebih luas lingkup penyebarannya (Santosa, 2011). Media sosial merupakan suatu medium yang digunakan untuk bersosialisasi dengan menggunakan internet. Keberadaan media sosial ini memudahkan pengguna untuk berinteraksi lebih mudah dengan orang-orang dari seluruh belahan dunia, serta biaya yang lebih murah dibandingkan menggunakan telepon. Selain itu, dengan adanya media sosial, penyebaran informasi dapat berlangsung dengan cepat. Terdapat banyak aplikasi di internet yang termasuk dalam media sosial. Contoh beberapa media sosial adalah Facebook, Twitter, Path, Instagram, Linkedn, dsb. Masing-masing media tersebut menawarkan kelebihan dan fasilitas yang dapat digunakan dan menarik perhatian penggunanya. Twitter merupakan sebuah situs untuk layanan untuk teman, keluarga, dan rekan kerja untuk berkomunikasi dan tetap terhubung melalui pertukaran cepat. Twitter adalah kombinasi dari berbagai bentuk komunikasi, namun perbedaan utamanya adalah bahwa posting, atau tweet, hanya terbatas untuk 140 karakter atau kurang (http://tweeternet.com/). Pengguna Twitter dapat mengirim update status yang dinamakan tweet, mengikuti dan melihat update tweet dari pengguna lain dan mengirim balasan umum atau pesan langsung (direct message) untuk terhubung denganpengguna lain. Untuk mendapatkan informasi dari pengguna lain pemilik akun harus mengikuti (follow) akun yang diminati. Tweet-tweet dari pengguna lain akan muncul pada halaman timeline pemilik akun. Untuk menulis tweet, pengguna bisa me-retweet pesan yangditemukan dan disukai, atau balas dengan tweet yang diawali tanda “@” lalu ketikkan nama orang tersebut (Kusuma, 2009). Terdapat beberapa istilah-istilah yang umum ditemui pada Twitter, yaitu: a. Timeline adalah daftar tweet terbaru dari pengguna Twitter yang diikuti pemilik akun, termasuk tweet yang dibuat pemilik akun. b. Direct Message (DM) yaitu fasilitas berkirim pesan antar pengguna secara lebih private. DM hanya bisa dilakukan oleh pihak yang diikuti (difollow). c. Trending topics adalah daftar tema yang tengah hangat diperbincangkan di kalangan pengguna Twitter. d. Tweet merupakan informasi yang terdiri dari pesan 140 karakter. Tweet berisi berita terbaru ("apa yang sedang terjadi") yang berkaitan denganhal-hal yang pemilik akun gemari. e. Reply tweet atau response tweet (RT) adalah komentar atau balasan atas tweet. f. Retweet adalah menyalin seluruh isi tweet dari akun lain. g. Follow adalah mengikuti akun dan informasi yang disampaikan olehseorang pengguna. h. Follower adalah pengikut atau yang mengikuti akun seseorang. i. Mention (@) digunakan untuk menyebut username pihak yang akan diajak berkomunikasi. Penggunaan simbol ini berada di awal sebelum menuliskan username pihak yang dituju. j. Hastags atau tanda pagar/tagar (#) adalah tanda yang digunakan untuk menandai kata kunci untuk topik diskusi atau informasi yang dibagikan agar mudah dicari (Kusuma, 2009 : 17). 80
H.H. Daniel Tamburian: Interpretasi Tagar #Savehajilulung Di Kalangan Netizen Pengguna Twitter
Jakarta merupakan salah satu kota yang paling aktif dalam menggunakan akun twitter diurutkan berdasarkan lokasi geografis pengguna ketika mengunggah tweet. Hal ini dibuktikan dengan hasil survei Semiocast (2012) menunjukkan Jakarta menduduki peringkat pertama sebagai kota dengan peringkat tweet terbanyak dari dua puluh kota besar dunia. Hal ini yang memicu mudahnya twitter Indonesia mendobrak trending topic bahkan hingga cakupan dunia. Beberapa kata kunci atau hashtag berhasil didorong menjadi topik paling banyak diperbincangkan di twitter. Salah satu trending topic yang belum lama ini meroket hingga belahan dunia ialah tagar #SaveHajiLulung. Tagar ini mampu bertahan selama 3 hari berturut-turut dalam deretan 10 teratastrending topic worldwide. Beberapa artis Hollywood seperti Taylor Swift dan Justin Bieber bahkan sempat dibuat penasaran dengan sosok Haji Lulung (sumber: www.twitter.com). Tagar #SaveHajiLulung merupakan tagar yang dibuat oleh masyarakat Indonesia untuk wakil ketua DPRD DKI Jakarta, Abraham Lunggana atau yang lebih dikenal dengan panggilan Haji Lulung. Nama Haji Lulung mulai dikenal publik sejak konflik pertamanya dengan Ahok di tahun 2013 terkait penggusuran pedagang kaki lima di daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ahok yang saat itu menjabat sebagai wakil gubernur DKI Jakarta bermaksud ingin menertibkan para pedagang liar dan merelokasi mereka ke Blok G. Para pedagang yang telah mendapat pernyataan resmi itupun mengabaikan keputusan pemerintah dan bersikeras untuk bertahan di lapak mereka yang terdahulu. Para pedagang merasa aman karena mereka telah membayarkan sejumlah uang pada “preman” Tanah Abang yang belakangan baru diketahui terkait dengan Ketua DPW PPP DKI, Abraham Lunggana. Perdebatanpun tak terelakan terjadi antara Ahok dan Haji Lulung. Selang beberapa waktu, kisruh diantara Haji Lulung dan Ahok kembali terjadi. Kali ini melibatkan DPRD DKI Jakarta dan disebabkan oleh dugaan Ahok terhadap adanya anggaran dana siluman dalam APBD DKI Jakarta. Kisruh ini semakin memanas karena tidak ditemukannya jalan keluar ketika rapat mediasi di Kementrian Dalam Negeri. Media massapun turut meliput proses mediasi ini. Haji Lulung menjadi pihak DPRD yang lebih mendominasi rapat mengingat jabatannya yang memang penting. Namun situasi yang menjadi sorotan ialah saat Haji Lulung mengiterupsi pidato penutup Ahok, terlebih saat pertemuan ditutup terdengar lontaran kasar yang diucapkan salah seorang anggota DPRD kepada Ahok yang berbau SARA. Tidak hanya itu, penyebab lain kemunculan tagar #SaveHajiLulung ialah gaya berbahasa Haji Lulung yang sempat dikutip oleh Tempo yaitu “saya meludah saja jadi duit”. Pernyataan dari Haji Lulung ini secara tidak langsung menyulut perhatian masyarakat akan sosok Haji Lulung yang tak biasa. Hal inilah yang kemudian memunculkan ide-ide akan pembuatan sosok Haji Lulung menjadi meme. Sosok Haji Lulung yang fenomenal-pun langsung menjadi sorotan netizen pengguna Twitter. Tepat di malam tanggal 5 Maret 2015 tagar #SaveHajiLulung meroket menjadi trending topic di dunia. Tidak tanggung-tanggung, tagar #SaveHajiLulung mampu bertahan di deretan 10 teratas trending topic worldwide selama tiga hari berturut-turut. Beberapa artis lokal seperti Addie MS dan artis Hollywood (Taylor Swift dan Justin Bieber) bahkan sempat mengomentari tagar #SaveHajiLulung ini. Berbeda dengan tagar-tagar yang pernah menjadi trending topic sebelumnya seperti #SaveAhok dan #SaveKPK yang berisi dukungan dan pujian, tagar #SaveHajiLulung lebih dikategorikan berisi ledekan dan cemoohan. Masyarakat merespon dan memberikan feed back terhadap sikap seorang Haji Lulung melalui media sosial seperti twitter. Enda Nasution (dalam Hasanuddin dkk, 2010). menyatakan bahwa medial sosial lebih banyak digunakan untuk mendobrak simbol81
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 79 - 93
ISSN 2085-1979
simbol otoratif, seperti lembaga pemerintahan, politisi, partai politik, dan juga orang tua Fungsi Twitter sebagai media aspirasi dan wadah bagi warga untuk menyampaikan aspirasi politiknya sudah tidak bisa diremehkan lagi. Hal ini juga didukung dengan pernyataan dari Stevan Stieglitz dan Lin Dan Xuan (2012) dalam jurnal penelitiannya yang berjudul Social Media And Political Communication: A Social Media Analytics Framework. Bila Twitter dapat menjadi wadah yang memadai bagi penggunanya untuk bisa menyampaikan saran-saran politiknya, maka penulis akan melihat dari sisi sebaliknya. Dimana twitter sebagai media sosial ternyata juga bisa menimbulkan reputasi baik ataupun buruk bagi subjek yang bersangkutan. Seperti yang terjadi dengan Haji Lulung. Sebetulnya, media jejaring sosial tidak hanya memiliki kekuatan sosial, politik, dan budaya, tetapi dari perspektif komunikasipun berperan pula tidak hanya sebagai alat atau media komunikasi, tetapi akan membentuk publisitas dan pencitraan individu atau lembaga (Junaedi, 2011 : xiii). Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, penulis tertarik untuk meneliti mengenai “Interpretasi Tagar #SaveHajiLulung di Kalangan Netizen Pengguna Twitter”. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan guna mengetahui bagaimana interpretasi tagar #SaveHajiLulung di kalangan netizen pengguna twitter. Untuk itu penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Bodgan dan Taylor dalam Basrowi mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamati (Basrowi, 2008). Kemudian masih dalam Basrowi menurut Miles dan Huberman, metode kualitatif adalah metode yang berusaha mengungkapkan berbagai keunikan yang terdapat dalam individu, kelompok, masyarakat atau organisasi dalam kehidupan sehari-hari secara menyeluruh, rinci, dalam dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah (Basrowi, 2008). Mayer dan Greenwood dalam Silalahi mengatakan bahwa penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara cermat suatu permasalahan juga berfokus pada pertanyaan dasar “bagaimana” dengan berusaha mendapatkan dan menyampaikan fakta-fakta dengan jelas, teliti dan lengkap tanpa banyak detail yang tidak penting seperti pada penelitian eksploratif (Silalahi,). Di pihak lain Burhan Bungin mengatakan bahwa desain penelitian deskriptif kualitatif mengimplementasikan teorisasi dengan model deduksi. Model tersebut menggunakan teori sebagai alat penelitian untuk memilih dan menentukan masalah, melakukan pengamatan hingga menganalisis data (Bungin, 2010). Riset kualitatif bertujuan untuk memperjelas fenomena dengan sedalamdalamnya dengan mengumpulkan data. Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling, bahkan populasi atau samplingnya sangat terbatas. Jika data yang terkumpul sudah mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya. Disini yang ditekankan adalah persoalan kedalaman (kualitas) data bukan banyaknya (kuantitas) data (Kriyantono, 2006). Subjek dalam konsep penelitian merujuk pada responden, informan yang hendak dimintai informasi atau digali datanya. Dalam sebuah penelitian, subjek penelitian memiliki peran yang sangat strategis kerena pada subjek penelitian, itulah data tentang variabel yang akan diamati dalam penelitian tersebut (Amirin dalam Idrus, 2009). Subjek dari penelitian ini adalah 5 netizen twitter pengguna tagar #SaveHajiLulung. 82
H.H. Daniel Tamburian: Interpretasi Tagar #Savehajilulung Di Kalangan Netizen Pengguna Twitter
Objek Penelitian Penelitian ini dilakukan guna mengetahui bagaimana interpretasi tagar #SaveHajiLulung di kalangan netizen pengguna twitter dan juga bagaimana pandangan masyarakat terhadap Haji Lulung. Untuk mengetahuinya, penulis akan menjadikan tagar #SaveHajiLulung yang muncul dari tanggal 5 Maret 2015 hingga 7 Maret 2015 di twitter sebagai objek penelitian ini. Lokasi dan Waktu Penelitian Penulis akan melakukan penelitian pada tagar #SaveHajiLulung di Twitter yang menjadi trending topic world wide dari tanggal 5 Maret 2015 – 7 Maret 2015. Teknik Pengumpulan Data untuk memperkuat informasi yang akan diperoleh maka metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan wawancara, observasi dan kajian pustaka. Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu (Sugiyono, 2010). Sedangkan menurut Samiaji Sarosa wawancara adalah satu alat yang paling banyak digunakan untuk mengumpulkan data penelitian kualitatif. Wawancara memungkinkan peneliti mengumpulkan data yang beragam dari para responden dalam berbagai situasi dan konteks (Sarosa, 2012). Tenik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara semiterstruktur (Semiscructure Interview). Wawancara jenis ini sudah termasuk dalam kategori in-depth interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas dibandingkan wawancara. Tujuan dari wawancara semiterstruktur ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka dimana pihak yang dijadikan sebagai informan atau narasumber dimintai pendapat dan ide-idenya (Sugiyono, 2013). Teknik pengumpulan data yang kedua dalam penelitian ini yaitu dengan observasi. Menurut Indriantoro dan Supomo dalam Ruslan observasi diartikan sebagai proses pencatatan pola perilaku subjek (orang), objek (benda-benda) atau keadaan yang sistematika tanpa adanya pertanyaan atau komunikasi dengan individu-individu yang diamati. Melalui observasi, peneliti belajar tentang prilaku, dan makna mengenai prilaku tertentu (Ruslan, 2010). Sedangkan menurut Burhan Bungin, metode observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan (Bungin, 2010). Suatu kegiatan pengamatan dapat dikategorikan sebagai kegiatan pengumpulan data penelitian apabila pengamatan digunakan dalam penelitian dan telah direncanakan secara serius, pengamatan berkaitan dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, pengamatan dicatat secara sistematik dan dihubungkan dengan proporsi umum dan bukan dipaparkan sebagai sesuatu yang menarik perhatian dan yang terakhir pengamatan dapat dicek dan dikontrol mengenai keabsahannya (Bungin, 2010). Teknik pengumpulan data yang ketiga dalam penelitian ini yaitu dengan kajian pustaka. Menurut Sandjaja dan Heriyanto, studi kepustakaan merupakan hal yang penting dalam suatu penelitian, karena informasi yang relevan dengan masalah penelitian dapat ditemukan melalui studi kepustakaan (Sandjaja dan Heriyanto, 2006). Dalam penelitian ini, penulis memanfaatkan buku-buku bacaan yang berkaitan dengan Ilmu Komunikasi, hasil penelitian terdahulu, serta bahan bacaaan lainnya untuk mendukung teori yang penulis gunakan dalam penelitian ini. Kajian pustaka diperoleh dari berbagai sumber, seperti jurnal ilmiah dan buku. Penulis menggunakan informasi mengenai teori dan konsep yang ditemukan tersebut untuk mendukung penelitian ini. Hasil Penemuan dan Diskusi Fenomena tagar #SaveHajiLulung yang dijadikan netizen sebagai media untuk menyampaikan pendapatnya tentu membentuk suatu pandangan masyarakat terhadap 83
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 79 - 93
ISSN 2085-1979
sosok Haji Lulung. Serupa dengan apa yang diutarakan oleh Effendi Gazali dalam wawancaranya dengan penulis bahwa media sosial seperti twitter adalah cerminan dari masyarakat dan hidup dalam masyarakat. Bukan hanya itu, Boni Hargens seorang pengamat politik di Indonesia juga menjelaskan tweet-tweet tersebut merupakan kritik keras terhadap sosok Haji Lulung. Untuk itu dalam bab ini, penulis akan menganalisis lebih dalam mengenai gambaran atau pandangan dan juga reputasi Haji Lulung di mata netizen pengguna twitter. Interpretasi tagar #SaveHajiLulung di Kalangan Netizen Pengguna Twitter a)
Akun @bebiben Akun twitter ini dimiliki oleh seorang pria bernama Benyamin. Ia merupakan orang yang pertama kali mengupload tweet candaan satir dengan tagar #SaveHajiLulung di tanggal 5 Maret 2015. Melalui wawancara yang dilakukan dengan penulis, Benyamin menceritakan awalnya ia hanya melihat-lihat ramainya pemberitaan mengenai Haji Lulung di portal-portal berita yang ada di twitter. Setelah membaca berita-berita tersebut, Benyamin mengaku menganggap Haji Lulung sebagai sosok yang super power, terlebih karena pekerjaan Haji Lulung yang diketahui sebagai “preman” di Tanah Abang dan juga sosok Haji Lulung yang selalu kontroversial di setiap kemunculannya. Terinspirasi dengan Chuck Noris, seorang aktor asal Amerika Serikat, akhirnya hal ini membuat Benyamin terpikir untuk menjadikannya sebagai guyonan di twitter, hingga terjadilah fenomena tagar #SaveHajiLulung. Mengenai pemilihan nama tagar dengan penggunaan kata “save” yang artinya sangat bertolak belakang dengan candaan dan sindiran terhadap Haji Lulung, Benyamin mengaku kalau itu adalah bentuk sikap muaknya terhadap tren sosial yang terjadi di masyarakat belakangan ini, berupa penggunaan kata “save” untuk mendukung satu pihak yang sedang terlibat masalah sosial. Contohnya seperti #SaveAhok yang ditujukan kepada gubernur DKI Jakarta dan #SaveKPK yang ditujukan untuk lembaga pemberantasan korupsi. Bagi Benyamin, Haji Lulung adalah sosok yang kontroversial dan berkarakter. Ia mengakui latar belakang Haji Lulung yang terkenal sarat akan kekerasan, namun ia tidak memungkiri bagaimana Haji Lulung dapat mencapai jabatannya seperti sekarang. Dalam pernyataannya, Benyamin tidak menganggap remeh kemampuan Haji Lulung yang bisa merakit kesusksesannya dari seorang pemungut sampah, hingga menjadi wakil ketua DPRD DKI Jakarta. Ia menilai perjuangan Haji Lulung bukanlah hal yang bisa dianggap remeh dan tak semua orang bisa melakukannya. Namun di sisi lain, Benyamin juga menilai Haji Lulung memiliki strategi komunikasi ataupun cara penyampaian pesan yang buruk. Menurut Ardianto dalam jurnal yang berjudul Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Harian Pikiran Rakyat Dan Harian Kompas Sebagai Public Relations Politik Dalam Membentuk Branding Reputation Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa bila sebuah pemerintahan ataupun tokoh politik menggunakan strategi komunikasi atau public relations yang tidak tepat, juga pemilihan komunikator atau media komunikasinya tidak tepat pula maka hal tersebut akan menimbulkan reputasi yang buruk (Ardianto, 2012 : 30). Benyamin kemudian juga mengakui tagar #SaveHajiLulung yang dibuatnya merupakan sindiran sekaligus kritikan yang bersifat sarkasme. Tanpa ada niat menjatuhkan, ia menerangkan kritikan tersebut muncul dari sikap-sikap Haji Lulung yang terus menerus menyerang Ahok. Bebiben yang mengaku sebagai pendukung Ahok mengungkapkan, turunnya kredibilitas Haji Lulung dimatanya disebabakan karena sikap Haji Lulung yang melawan dan menentang kebijakan Ahok. Penertiban PKL Tanah Abang yang Benyamin nilai sebagai kebijakan baik dari Pemprov DKI 84
H.H. Daniel Tamburian: Interpretasi Tagar #Savehajilulung Di Kalangan Netizen Pengguna Twitter
dan juga memberi dampak positif bagi warga Jakarta dinilai tak sepatutnya dicegah oleh Haji Lulung. Apalagi, di sisi lain, Haji Lulung menjabat sebagai wakil ketua DPRD DKI Jakarta yang seharusnya bekerja untuk kepentingan rakyat dan bukan memprioritaskan kepentingannya sendiri. b)
Akun @rockadocta Akun twitter @rockadocta dimiliki oleh seorang penyiar radio bernama Diana Leiwakabessy. Diana menceritakan bahwa dirinya adalah orang yang suka mengikuti perkembangan tren yang ada di masyarakat. Sehingga ketika ia melihat tagar #SaveHajiLulung menjadi begitu fenomenal di twitter, iapun tanpa pikir panjang ikut menggunakan tagar tersebut. Diana mengakui bahwasanya tagar #SaveHajiLulung merupakan bentuk kritikan yang digunakan untuk menyindir sikap-sikap Haji Lulung. Ia menilai kasus dana siluman APBD 2015 Jakarta itu sudah menimbulkan sentimen di masyarakat karena sikap Haji Lulung yang selalu menentang kebijakan Ahok. Di sisi lain, Diana juga mengungkapkan kekecewaanya terkait respon yang dimunculkan Haji Lulung dan rekan-rekannya yang menyerang Ahok di rapat mediasi kasus dugaan korupsi APBD 2015. Mengenai sosok Haji Lulung, Diana mengungkapkan: “Dia adalah orang yang disegani, dia punya reputasi yang baik tapi kadang sebagai public figure, sebagai orang yang tindak tanduknya diperhatikan sama masyarakat koq dia kayanya agak kurang ya.. kurang bisa menempatkan diri sebagaimana mestinya. Gua sih menganggap haji lulung itu lebih mementingkan diri atau golongannya sendiri aja, bukan masyarakat luas” Melalui penjelasannya di atas, Diana menilai Haji Lulung sebagai sosok yang tidak mementingkan kepentingan masyarakat. Dalam kata lain, Haji Lulung dinilai memiliki dan tanggung jawab sosial yang buruk. Selaku anggota DPRD, mengedepankan kepentingan masyarakat banyak ialah kewajiban. Jika Haji Lulung tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik, itu menandakan kredibilitasnya menurun. Haji lulung juga dirasa belum memenuhi aspek tanggung jawab sosial. c)
@pangeransiahaan
Pemilik akun ini bernama Pangeran Siahaan. Pangeran mengakui dirinya adalah orang memperhatikan tren sosial. Ia termotivasi menggunakan tagar #SaveHajiLulung karena melihat isinya yang menarik dan lebih mengarah ke candaan segar. Dalam wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan Pangeran, ia mengaku menyukai isi dari tweet-tweet berisi tagar #SaveHajiLulung yang bernada humor sekaligus ingin menyindir Haji Lulung dengan candaan-candaan tersebut. Lebih jelasnya ia mengungkapkan tagar tersebut berupa bentuk hinaan terhadap Haji Lulung. Dengan adanya tagar tersebut, masyarakat seolah memberikan respon terhadap apa yang telah dilakukannya. “Sosok yang sama dengan politisi kebanyakan di Indonesia yang seolah mewajarkan hidup dengan KKN. Terkesan seperti selama tidak di ketahui public ya tidak apa-apa. Bagi saya dia itu termasuk preman kelas atas atau bisa dibilang mafia”
85
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 79 - 93
ISSN 2085-1979
Pangeran menyatakan, kritik tersebut dimunculkan olehnya untuk tindakantindakan Haji Lulung sebagai ketua DPRD DKI Jakarta yang ia nilai selalu berbeda visi dan misi dengan Pemprov DKI. Hal ini ia ungkapkan karena melihat Haji Lulung yang terus menyerang kebijakan Pemprov DKI, contohnya saat Ahok akan menertibkan pedagang kaki lima di tanah abang. Pangeran menilai langkah Haji Lulung tidak bisa menunjukkan kalau ia tidak terlibat dalam daftar orang yang berpengaruh di Tanah Abang. Hal ini kemudian menimbulkan opini akan Haji Lulung yang sangat berpengaruh di daerah Tanah Abang tersebut. d)
@tikabanget
Akun ini dimiliki oleh seorang ibu rumah tangga yang juga aktif dalam menyuarakan pendapatnya di media social twitter, namanya ialah Atika Nurkoestanti. Wanita yang akrab dipanggil Tika ini menilai Haji Lulung sebagai sosok yang berpengaruh di dunianya. Lebih lanjut, Diana mengutarakan, sebagai pemegang kekuasaan di Tanah Abang, apalagi untuk jangka waktu yang tidak singkat, membuktikan Haji Lulung memiliki pengaruh yang sangat kuat ke berbagai bidang. Yang bisa terlihat ialah pengaruhnya ke dunia preman dan dunia pengusaha. Haji Lulung, di mata Tika juga merupakan sosok yang memiliki banyak anak buah mengingat kekuasaannya yang begitu besar. Terkait tagar #SaveHajiLulung, Diana mengakui itu adalah bentuk sindiran sosial yang bisa ia sampaikan untuk mengomentari sikap-sikap Haji Lulung. Baginya, media sosial seperti twitter adalah salah satu cara untuk mengungkapkan kemuakan sekaligus keputusasaan yang ia rasakan. Menurut Diana, Haji Lulung sama seperti kebanyakan tokoh politik yang ada saat ini, yang selalu memprioritaskan kepentingan pribadi ataupun golongannya sendiri. Sikap Haji Lulung selama ini dinilai tidak mementingkan kesejahteraan bersama yang jelas-jelas merupakan kewajibannya atau pilihan yang harus dijalaninya sebagai wakil rakyat. e)
Akun @doggudoggu
Akun ini dimiliki oleh seorang wanita bernama Bernadette. Bernadette merupakan orang yang aktif di twitter. Dalam wawancaranya dengan penulis, Bernadette sempat mengatakan adanya perubahan pesan yang berusaha ia sampaikan ke masyarakat. Hal tersebut terungkap melalui wawancara antara Bernadette dengan penulis. Berikut penuturan Bernadette: “Sebenernya hashtag #SaveHajiLulung tuh gua mau gambarin supreme evil. Gua lupa gua ngetweet apa sih, basically, this guy is so evil. Bahkan evilnya tuh melebihi, i don’t know darth vader atau apalah gitu. Tapi along the way tweet ini tuh malah berubah jadi kaya Chuck Norris. ” Sama seperti keempat narasumber sebelumnya, Bernadette juga mengungkapkan tagar #SaveHajiLulung ialah bentuk kritik keras yang ia layangkan kepada Haji Lulung. Walaupun ia tidak meyakini, pesan yang ia sampaikan melalui tweet tersebut bisa dimengerti, tapi sebagian dari dirinya merasa berharap Haji Lulung bisa menyadarai ketidaksukaannya terhadap sikap-sikap yang ditunjukkan Haji Lulung.Dalam wawancaranya, Bernadette menyamakan Haji Lulung dengan Darth Vader, tokoh antagonis dalam film Star Wars. lebih jelasnya, Bernadette mengungkapkan bagaimana sosok Haji Lulung dimatanya. Bernadette mendefinisikan sosok Haji Lulung sebagai mafia atau mobster berdasarkan latar belakang Haji Lulung yang secara resmi memang memiliki pekerjaan dalam bidang jasa keamanan, perparkiran, dan penagihan utang (https://id.wikipedia.org/wiki/Lulung_Lunggana, 86
H.H. Daniel Tamburian: Interpretasi Tagar #Savehajilulung Di Kalangan Netizen Pengguna Twitter
diakses tanggal 27 Juni 2015 pukul 13.01 WIB). Hal ini menjelaskan bagaimana sosok Haji Lulung memang sangat identik dengan kekerasan dan dunia preman. Penjabaran dari kelima netizen pengguna twitter diatas terkait sosok Haji Lulung mengacu pada pandangan bahwa sebagai wakil ketua DPRD DKI Jakarta, Haji Lulung masih belum menjalankan kewajibannya dengan baik, ia dinilai tidak cukup peduli dan mengedepankan kepentingan masyarakat banyak. Selain itu, latar belakang Haji Lulung yang memang berasal dari dunia kekerasan, ternyata membangun image negatif mengenai gambaran netizen twitter tentang sosoknya. Kesan preman seolah sudah melekat pada diri wakil ketua DRPD DKI Jakarta ini. Menurut pengamat politik sekaligus dosen Universitas Indonesia, Boni Hargens latar belakang Haji Lulung ia nilai memang akan menimbulkan image negatif, namun bagaimana reputasinya bisa dikonfirmasi melalui perilaku Haji Lulung di DPRD. Terkait strategi komunikasi Haji Lulung yang buruk, menurut Ardianto (2012) dalam jurnalnya yang berjudul Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Harian Pikiran Rakyat Dan Harian Kompas Sebagai Public Relations Politik Dalam Membentuk Branding Reputation Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan banyak kebijakan suatu pemerintah yang disampaikan menimbulkan reputasi yang buruk, karena strategi komunikasi atau public relations-nya tidak tepat, juga pemilihan komunikator atau media komunikasinya tidak tepat pula. Sehingga dapat disimpulkan, strategi komunikasi yang buruk dari Haji Lulung bisa menyebabkan reputasi yang buruk juga bagi dirinya. Fombrun (dalam Ardianto, 2012 : 25) menyatakan adanya empat sisi yang bisa dijadikan sebagai acuan untuk menilai reputasi korporat, yaitu: a. Credibility (Kredibilitas di mata para investor) Merupakan citra yang ditujukan kepada investor (yayasan) di mana credibility ini mempunyai 3 karakteristik yaitu, memperlihatkan profitabilitas, dapat mempertahankan stabilitas dan adanya prospek pertumbuhan yang baik. b. Trustworthiness (Terpecaya dalam pandangan karyawan) Citra ini di mata karyawan, di mana organisasi mendapat kepercayaan dari karyawan (karyawan percaya pada organisasi), organisasi dapat memberdayakan karyawan dengan optimal dan organisasi dapat menimbulkan rasa memiliki dan kebanggaan bagi karyawan. c. Reliability (Keterandalan di mata konsumen) Citra ini dibangun untuk konsumen, melalui selalu menjaga mutu produk atau jasa, menjamin terlaksananya pelayanan prima yang diterima konsumen. d. Responsibility (Tanggung jawab sosial) Citra untuk masyarakat sekitar, seberapa banyak atau berarti organisasi membantu pengembangan masyarakat sekitar, seberapa peduli organisasi terhadap masyarakat dan jadilah perusahaan yang ramah lingkungan. Mengacu pada pengertian mengenai reputasi diatas maka bila sebuah perusahaan memiliki reputasi yang baik, hal tersebut akan mempengaruhi keharmonisan hubungan perusahaan dengan stake holders yang ada di perusahaan, dengan kata lain keuntungan yang dihasilkan akan menjadi lebih banyak. Para pelanggan rata-rata juga menyukai produk-produk dari perusahaan yang memiliki reputasi baik (Morley dalam Ardianto, 2012 : 30). Sama halnya dengan yang terjadi di pemerintahan, yang membedakan ialah perusahaan mengacu pada keuntungan atau profit sedangkan pemerintahan bersifat non profit. Kebijakan yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh politik akan membentuk reputasi dari tokoh itu sendiri yang hasilnya bisa dilihat berupa dukungan dari masyarakat. Tokoh politik bisa menjaga reputasi dengan membuat kebijakankebijakan yang sesuai dengan aspirasi rakyatnya, dan menjadikan rakyatnya sebagai 87
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 79 - 93
ISSN 2085-1979
pemilih yang loyal terhadap dirinya. Sebuah pemerintahan ”jualannya” untuk memelihara dan meningkatkan reputasi bukan produk atau jasa, melainkan sebuah kebijakan yang memadukan kepentingan top down (pemerintah) dan bottom up (rakyat) melalui kegiatan komunikasi atau public relations yang efektif (Ardianto, 2012 : 30). Layaknya korporat, seorang tokoh politik dapat diketahui reputasinya dilihat dari sisi kredibilitas, kepercayaan, keterandalan dan tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat. Kredibilitas Haji Lulung sebagai wakil ketua DPRD DKI Jakarta, menurut pengamat politik dan dosen Universitas Indonesia, Boni Hargens dapat dilihat dari melalui 3 unsur utama legislatif, yaitu bugdgeting, legislasi dan etika. Fungsi budgeting dapat dijalankan melalui pengawasan terhadap RAPBD (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Fungsi legislasi merupakan bentuk dukungan yang bisa diberikan oleh DPRD kepada eksekutif terhadap kebijakankebijakan baik yang memihak rakyat. Sedangkan etika penilaian etika bisa dinilai dari bagaimana Haji Lulung menghadapi masalah-masalah yang muncul dan bagaimana ia menghadapi lawan politiknya. Kepercayaan ialah bagaimana netizen twitter dapat mempercayai sosok seperti Haji Lulung. Keterandalan merupakan aspek yang akan berjalan senada dengan kepercayaan terhadap Haji Lulung. Sedangkan tanggung jawab sosial dapat dilihat dari sisi Haji Lulung menjalani kewajibannya sebagai wakil rakyat, melakukan upaya untuk membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat, bertindak atas nama dan untuk rakyat Jakarta, selain itu refleksi moral atau etis terhadap peran dan segala tuntutan-tuntutan kewajibannya tadi (Berdasarkan wawancara dengan Boni Hargens, 27 Juni 2015, pukul 12.06 WIB). 1. Kredibilitas Haji Lulung Kredibilitas Haji Lulung sebagai wakil ketua DPRD DKI Jakarta, menurut Boni Hargens dapat dilihat melalui 3 fungsi legislatif, yaitu bugdgeting, legislasi dan etika. Fungsi budgeting dapat dijalankan melalui pengawasan terhadap anggaran. Fungsi legislasi merupakan bentuk dukungan yang bisa diberikan oleh DPRD kepada eksekutif terhadap kebijakan-kebijakan baik yang memihak rakyat. Sedangkan penilaian fungsi etika bisa dinilai dari bagaimana Haji Lulung menghadapi masalahmasalah yang muncul dan bagaimana ia menghadapi lawan politiknya. Penulis akan menganalisa kredibilitas Haji Lulung melalui penilaian netizen terhadap kredibilitas Haji Lulung sebagai wakil ketua DPRD DKI Jakarta dan juga sikap Haji Lulung yang dinilai netizen twitter sebagai penyebab munculnya kritikan keras terhadap dirinya. Berikut adalah rangkuman wawancara penulis dengan kelima narasumber terkait kredibilitas Haji Lulung: @bebiben: “Kalo untuk secara langsung kredibilitasnya aku gabisa nilai. Isitilahnya gini sih, dia tuh ga pernah muncul di media sebagai wakil ketua DPRD. Kontribusi dia ga pernah ada gitu di media. Yang ditampilin Haji Lulung sebagai wakil ketua DPRD melakukan ini, aku belom pernah liat. Gatau ngga pernah dimunculkan atau aku ga pernah liat.” @rockadockta: “Saya rasa tidak bisa karena dia belum memberikan kontribusinya untuk warga jakarta”
88
H.H. Daniel Tamburian: Interpretasi Tagar #Savehajilulung Di Kalangan Netizen Pengguna Twitter
@pangeransiahaan: “Saat kasus Tanah Abang, Haji Lulung sudah jelas-jelas terlibat dalam deretan oknum-oknum kotor yang ada di Tanah Abang. Lagipula kesalahannya menyebutkan UPS menjadi USB itu menunjukkan dia itu tidak kredibel” @tikabanget: “Aku belum liat prestasinya. Antara mungkin aku yang ga update atau ya mungkin emang belum ada” @bernadette: “Tidak sama sekali. Dari cara dia salah mengucapkan UPS jadi USB aja itu udah nunjukin kalo dia tuh tidak kredibel.” Dari penyataan kelima narasumber diatas, terlihat jelas netizen twitter mempertanyakan kredibilitas Haji Lulung melalui kontribusinya terhadap warga Jakarta. Karena memang hingga sekarang, belum ada aksi nyata dari Haji Lulung untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan yang baik untuk rakyat. Hal ini berhubungan dengan yang diutarakan oleh akun @bebiben terkait kritikan keras yang ia layangkan ke Haji Lulung melalui tagar #SaveHajiLulung. Ini merupakan bentuk protesnya terhadap sikap Haji Lulung yang menyerang kebijakan baik dari Pemprov DKI terkait kasus Tanah Abang. Kasus yang kemudian sempat diwarnai keributan antara Haji Lulung dan Ahok yang waktu itu menjabat sebagai wakil gubernur DKI Jakarta dinilai lucu oleh akun @bebiben karena disatu sisi, Haji Lulung sebagai wakil rakyat seharusnya mendukung dengan baik kebijakan untuk mengurangi kemacetan tersebut. Hal yang sama juga diungkapkan oleh akun @rockadockta, @doggudoggu dan @pangeransiahaan. Perlawanan terhadap Ahok ini secara gamblang mengungkapkan fungsi legislasi Haji Lulung yang tidak berjalan. Diperjelas oleh akun @pangeransiahaan, perbedaan visi misi diantara Haji Lulung dan pemprov DKIlah yang akhirnya menimbulkan banyak kritik dari netizen twitter. Kemudian, keterlibatan Haji Lulung dalam kasus korupsi dana APBD juga diungkapkan oleh akun @rockadocta sebagai salah hal yang memicu kritik terhadap Haji Lulung. Keterkaitan Haji Lulung dengan kasus dana siluman APBD DKI Jakarta, pada akhirnya menggiring opini netizen twitter bahwasanya Haji Lulung tidak menjalankan fungsi budgeting dengan benar. Dimana seharusnya anggota DPRD seperti Haji Lulung dapat melakukan pengawasan terhadap anggaran belanja daerah dan tidak membiarkan dana tersebut kemudian menggelembung hingga berlipat-lipat jumlahnya seperti yang dituduhkan Ahok. Turunnya kredibilitas Haji Lulung sebagai akibat dari kasus korupsi yang melibatkan dirinya, didukung oleh pernyataan pakar komunikasi politik Effendi Gazali yang menyatakan penyebab reputasi Haji Lulung menjadi negatif dikarenakan masalah hukum yang menyangkutpautkan dirinya. Namun Effendi Gazali menjelaskan reputasi Haji Lulung masih dapat berubah menjadi lebih baik apabila nantinya Haji Lulung terbukti tidak bersalah. Hal tersebut terungkap dalam wawancara penulis dengan Effendi Gazali, berikut kutipannya: “Pasti pada awalnya, reputasinya negatif lalu akan terbukti seperti ini, sampai dia diperiksa polisi, reputasinya masih negatif. Tapi kalau nanti dia terbukti tidak terkait, itu reputasinya bisa balik. Karena patokannya hukum, dia ngelanggar hukum atau ngga.” Di sisi lain, pengamat politik Boni Hargens juga mengungkapkan hal serupa, yakni keterkaitan Haji Lulung dengan kasus korupsi akan semakin memperburuk 89
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 79 - 93
ISSN 2085-1979
kredibilitasnya yang memang sudah dinilai rendah oleh masyarakat. Dalam wawancaranya, Boni Hargens menyatakan: “Ya otomatis ngga dong, saya kira dengan latar belakang Lulung sebagai dari dunia kekerasan ya trus juga bisnis-bisnisnya dianggap tidak ada korelasinya dengan dunia itu, tentu saja dia tidak mendapat simpati dari publik. Nah ketika dia menjadi DPRD juga mulai dari terpilihnya sampe proses kerja, semua orang udah ngga percaya sama dia, artinya kredibilitasnya udah ngga ada. Apalagi ketika kemudian mereka menjadi aktor utama dalam kasus RAPBD yang menjadi kontroversi.” Di lain pihak, fungsi etika dari Haji Lulung kembali dipertimbangkan oleh netizen twitter karena melihat sikapnya saat menyerang Ahok di kasus penertiban pedagang kaki lima Tanah Abang. Haji Lulung yang memerintahkan Ahok untuk memeriksakan kejiwaannya dirasa tidak etis menanggapin rekan politiknya seperti itu. Hal ini diungkapkan oleh akun @rockadocta dan @pangeransiahaan. Penyerangan terhadap Ahok juga sempat terjadi kembali di rapat mediasi antara Ahok dengan DPRD terkait dana APBD DKI Jakarta. Dimana salah satu anggota DPRD dengan jelas melontarkan makian terhadap Ahok yang saat itu juga sedang terbakar emosi. Walaupun Haji Lulung tidak secara langsung ikut mencaci Ahok, namun dalam beberapa kesempatan, ia terlihat membela rekan-rekannya di DPRD. Hal ini lagi-lagi menggiring opini mengenai Haji Lulung yang tidak menjalankan fungsi etikanya sebagai wakil rakyat. Fungsi etika menurut Boni Hargens bagaimana Haji Lulung menghadapi masalah-masalah yang muncul dan bagaimana ia menghadapi lawan politiknya. Penyerangan terhadap Ahok secara personal terlebih mengandung unsur SARA jelas dinilai tidak beretika. 2. Kepercayaan dan Keterandalan Netizen Twitter Terhadap Haji Lulung Menurut Fombrun (dalam Ardianto, 2012 : 25) unsur kedua dalam menentukan reputasi ialah kepercayaan. Pengamat politik Boni Hargens, mengungkapkan unsur kepercayaan kemudian akan menimbulkan rasa keterandalan. Sehingga jawaban mengenai apakah tokoh politik tersebut dapa diandalkan atau tidak, akan terjawab di sub bab ini. Secara keseluruhan, kelima narasumber menyatakan ketidakpercayaannya terhadap sosok Haji Lulung. Akun @bebiben dan @rockadocta misalnya mengungkapkan dirinya mempertimbangkan beberapa hal diantaranya Haji Lulung yang selama ini lebih dikenal dengan kontroversinya ketimbang kontribusinya terhadap rakyat. Ia menilai kinerja Haji Lulung tidak nyata. Selain itu langkah Haji Lulung yang selalu bertentangan dengan Ahok selaku pembuat kebijakan yang memihak rakyat dinilai semakin memperjelas bahwa Haji Lulung dalam hal ini tidak bekerja untuk rakyat. Hal serupa dinyatakan oleh akun @tikabanget yakni sebagai wakil rakyat, Haji Lulung belum dinilai cukup mewakili rakyat itu sendiri. @tikabanget: “Mempercayai untuk apa dulu? Untuk jadi preman dan jalur-jalur tersembunyi lobby sana sini aku percaya sih. Kalo sebagai wakil rakyat, rakyat mana yang dia wakili? Kalo aku sih gak merasa terwakili, mungkin buat sekelompok rakyat yang lain kali ya”
90
H.H. Daniel Tamburian: Interpretasi Tagar #Savehajilulung Di Kalangan Netizen Pengguna Twitter
Boni Hargens selaku pengamat politik juga mengungkapkan hal senada terkait kepercayaannya terhadap sosok Haji Lulung. Ia mengungkapkan bahwasanya yang ditunjukkan oleh Haji Lulung selama ini memang memperjelas kalau ia terlibat dalam suatu kelompok kepentingan yang mana kepentingannya tersebut selalu bertentangan dengan kehendak rakyat.
3. Tanggung Jawab Sosial Haji Lulung Di Mata Netizen Pengguna Twitter Pengamat politik, Boni Hargens menyatakan untuk menilai tanggung jawab sosial atau akuntabilitas dari seorang anggota DPRD seperti Haji Lulung bisa dinilai dari dua unsur, yaitu obligasi dan responsibilitas. Obligasi ialah kewajiban, sesuatu yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari peran yang telah ambil. Bisa dilihat dari apakah mereka menjalankan kewajiban-kewajiban dasar mereka sebagai wakil rakyat seperti, membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat, bertindak atas nama dan untuk rakyat Jakarta. Sedangkan responsibilitas lebih merujuk pada refleksi moral atau etis terhadap peran dan segala tuntutan-tuntutan kewajibannya. Dari sisi obligasi seperti yang diutarakan oleh Boni Hargens diatas, kelima narasumber mengungkapkan penilaiannya terhadap unsur tanggung jawab social yang dimiliki Haji Lulung. Dimana Haji Lulung yang dirasa masih belum terlihat kontribusinya terhadap rakyat Jakarta. Salah seorang narasumber yaitu akun @doggudoggu juga menyatakan posisi Haji Lulung sebagai bagian dari kelompok kepentingan menjadi salah satu penyebab dirinya tidak dapat menjalankan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat. @doggudoggu: “Tidak. Dia itu sudah terlibat dengan circle yang negatif. Mafia. Yang mana pasti berlawanan degan tugas melayani rakyat” Boni Hargens selaku pengamat politik sempat menjelaskan pernyataan serupa terkait sosok Haji Lulung di matanya. Baginya Haji Lulung yang selama ini berhubungan dengan premanisme akan sulit untuk mendukung kepentingan rakyat, secara hal tersebut berlawanan dengan kepentingan kelompok mereka. “Lulung itu strong person. Orang kuat. Dalam pengertian negatif ya atau bos. Dia punya jaringan, dia punya klien dan kelompok seperti ini they used to use violence sebagai mekanisme to defend themselves. Jadi kekerasan dan bisnis politik itu menyatu dalam system mereka. Nah itu yang membuat mereka menjadi kuat dan otomatis seluruh kepentingan mereka itu kebanyakan bertentangan dengan kepentingan rakyat. Karena dia bekerja untuk kelompok.” Perihal responsibility yang dijelaskan oleh Boni Hargens, ia menambahkan dengan Haji Lulung dan rekan-rekannya itu terus menerus menyerang Ahok secara personal, itu menandakan Haji Lulung tidak terbuka terhadap niat-niat baik pemerintah. Hal ini merujuk ke beberapa kasus diantaranya kericuhan yang terjadi di rapat mediasi yang dilakukan Ahok dan DPRD dimana salah seorang anggota DPRD menyerang Ahok dengan cacian yang bernada SARA berikut kutipan wawancara yang dilakukan dengan penulis. Untuk menutup sub bab ini, penulis akan menjabarkan bagaimana reputasi Haji Lulung di mata netizen berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan. Akun @bebiben memandang reputasi Haji Lulung dari dua sisi, dimana Haji Lulung merupakan orang yang memiliki visi dan misi dalam karirnya. Dimana ia bisa bertarung dengan hidupnya sebagai anak jalanan di pinggiran Tanah Abang kemudian 91
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 79 - 93
ISSN 2085-1979
menapaki kesuksesan dengan caranya sendiri. Akun @bebiben tidak memungkiri itu, namun disisi lain ia juga mengakui apa yang ditunjukan Haji Lulung merupakan upaya untuk melindungi wilayah kepentingannya. Berbeda dengan akun @doggudoggu, @pangeransiahaan, @rockadocta dan akun @tikabanget yang menyatakan dengan tegas bahwa Haji Lulung kurang pantas untuk menjabat sebagai wakil rakyat atau orang yang siap bekerja untuk rakyat. Yang menjadi penyebab lagi-lagi karena latar belakang Haji Lulung yang tidak sesuai dengan bidang ini. Apa yang diutarakan oleh kedua netizen ini, diperjelas oleh pernyataan dari Boni Hargens yang berbicara sebagai pengamat politik yaitu tidak adanya korelasi antara latar belakang Haji Lulung sebagai orang yang memegang kekuasaan besar di Tanah Abang dengan jabatannya sebagai wakil rakyat akan mengurangi simpati masyarakat terhadapnya. Simpulan Kesimpulan dari permasalahan dalam penelitian ini yaitu interpretasi tagar #SaveHajiLulung mengarah pada kesimpulan yang negatif tentang sosok Haji Lulung. Tagar #SaveHajiLulung dijadikan sebagai sebuah bentuk sindiran, sekaligus kritikan keras yang ditujukan kepada Haji Lulung. Sebagai wakil ketua DPRD DKI Jakarta, ia dinilai sebagai sosok yang kontroversial dan tidak mementingkan kepentingan masyarakat. Apa yang digambarkan oleh netizen yakni prioritas Haji Lulung hanyalah sekedar golongannya sendiri. Selain latar belakang Haji Lulung yang dinilai tidak berhubungan dengan jabatannya sekarang, beberapa peristiwa yang sempat melibatkan Haji Lulung juga menjadi penyebab sosoknya menjadi negatif di mata netizen pengguna twitter. diantarnya kasusnya dengan Ahok perihal penertiban pedagang kaki lima di Tanah Abang, yang kemudian membentuk interpretasi yang negatif tentang Haji Lulung. Di sisi lain, yang menjadi permasalahan ialah sikap dan gaya bicara Haji Lulung yang dirasa kurang baik sebagai seorang tokoh politik. Melalui penelitian ini penulis berharap dapat memberikan saran dan masukan kepada pihak terkait yaitu Haji Lulung diantaranya Haji Lulung dapat mengoreksi sikap-sikapnya yang dirasakan kurang baik oleh netizen twitter. Semoga kelaknya, Haji Lulung sebagai tokoh politik bisa lebih menempatkan dirinya dalam berbagai situasi dan mempertimbangkan statusnya sebagai wakil rakyat. Selain itu, penulis juga mengharapkan adanya perubahan yang bisa ditunjukkan seperti Haji Lulung, dengan cara meningkatkan kinerjanya sebagai wakil rakyat dan mendukung kebijakan-kebijakan baik dari Pemprov DKI. Sebagai warga Jakarta, penulis tentunya menginginkan adanya hubungan yang harmonis antara DPRD DKI Jakarta dan Pemprov DKI agar kelaknya semakin fokus dalam menyejahterakan warga Jakarta dan tidak menyibukan diri dengan kasus-kasus pelik seperti yang sebelumnya terjadi. Daftar Pustaka Ardianto, Elvinaro. (2005). Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Ardianto, ElvinarO. (2011). Media Jejaring Sosial dari Perspektif Komunikasi dan Kualifikasi Sarjana Komunikasi Teknologi Komunikasi, dalam Fajar Junaedi, Komunikasi 2.0 Teoritisasi dan Implikasi. Yogyakarta: Aspikom. Basrowi. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta. Biagi, Shirley. (2010). Media Impact: Pengantar Media Massa. Jakarta: Salemba Humanika. Bungin, Burhan. (2009). Penelitian Kualitatif. Jakarta : Kencana 92
H.H. Daniel Tamburian: Interpretasi Tagar #Savehajilulung Di Kalangan Netizen Pengguna Twitter
Bungin, Burhan. (2011). Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta : Kencana Cutlip, Scott M, Allen H. Center, & Glen M. Broom. (2009). Effective Public Relations Edisi Kesembilan. Jakarta: Prenada Media Group Flew, Terry. (2008). New Media: An Introduction. Third Edition. Australia: Oxford University Press. Hasanuddin, dkk. (2011). Anxieties / Desires. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Jefkins, Frank. (2003). Public Relations. Jakarta: Erlangga. Junaedi, Fajar. (2011) Komunikasi 2.0 Teoritisasi dan Implikasi, Matu Padi Pressindo Kotler dan Keller. (2012). Marketing Management. 14th edition. New Jersey: Prentice Hall. Kuncoro, Mudrajad. (2003). Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta: Erlangga. Kusuma, Yuliandi. (2009). Pintar Twitter: Blogging Mudah di Mana Saja, Tip Berbisnis via Twitter, Tip & Trik Gampang Kelola Twitter. Jakarta: Grasindo. Kriyantono, Rachmat. (2006). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Prenada Media Group. Mayfield, Anthony. (2008). What is Social Media? UK: iCrossing Mondry. (2008). Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik. Bogor: Ghalia Indonesia Mulyana, Deddy. (2013). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nurudin. (2007). Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Puntoadi, Danis. (2011). Menciptakan Penjualan Melalui Social Media. Jakarta: PT Elex Komputindo. Rumanti, Maria Assumpta. (2004). Dasar-dasar Public Relations Teori dan Praktik. Jakarta: PT. Grasindo Ruslan, Rosady. (2010). Manajemen Public Relations dan Media Komunikasi. Edisi Revisi 10. Jakarta: PT Grafindo Persada. Sandjaja, B dan Heriyanto A. (2006). Panduan Penelitian. Jakarta: Prestasi Pustaka. Santosa, Hedi Pudjo. (2011). Implikasi Media Sosial Pada Perkembangan Ilmu Komunikasi. Dalam Fajar Junaedi,Komunikasi 2.0, Teoritisasi dan Implikasi (hlm. 29-48). ASPIKOM. Sarosa, Samiaji. (2012). Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Indeks. Silalahi, Ulber. (2009). Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama. Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta. Susanto, Eko Harry. (2010). Komunikasi Manusia: Esensi dan Aplikasi Dalam Dinamika Sosial Ekonomi Politik, Jakarta: Mitra Wacana Media. Vardiansyah, Dani. (2004). Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia. Vivian, John. (2008). Teori Komunikasi Massa. Edisi ke-delapan. Jakarta : Prenada Media Kencana. Wiryanto. (2004). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Gramedia Widiasarna
93
Dyah Rachmawati Sugiyanto: Komodifikasi Berita Dibalik Ideologi Ekonomi Politik Media (Studi Pada Program ‘Polemik‘ Di Radio Sindo Trijaya 104.6 Fm Jakarta)
KOMODIFIKASI BERITA DIBALIK IDEOLOGI EKONOMI POLITIK MEDIA (STUDI PADA PROGRAM ‘POLEMIK‘ DI RADIO SINDO TRIJAYA 104.6 FM JAKARTA) Dyah Rachmawati Sugiyanto Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Email:
[email protected] Abstract Through the media political economy approach, this study reveals how the commodification taken place on a media company that produced actual information in a program. The results showed that the commodification of news on talk show program of Polemik Sindo Trijaya runs behind the ideology of the political economy of media. In the commodification of the concentration of media content is known that more frequent lifting polemic political topic. Politic is considered the most attractive political issue than the issue of cultural, economic, and health. The commodification in the public discussion of the concentration, it is known that the Polemik is aimed at educating the public (listener) to act on the knowledge that they had heard. This indicates that the editorial team cares with the audience, not as disclosed Mosco that commodification is not overly concerned with the audience. In the commodification of the concentration of workers, shown that the editorial team works together to support the ideals of the concept of a talkshow program, find the right sourceperson, while the editors are behind the ideology of the political economy of the media itself. Keywords: Commodification, Radio Talkshow, Media Political Economy Abstrak Melalui pendekatan ekonomi politik media, penelitian ini mengungkap bagaimana komodifikasi berlangsung pada sebuah perusahaan media yang mengemas informasi aktual dalam sebuah program. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komodifikasi berita dalam program talkshow Polemik Sindo Trijaya berlangsung di balik ideology ekonomi politik media. Dalam komodifikasi dalam konsentrasi isi media diketahui bahwa Polemik lebih sering mengangkat topic politik. Politik dianggap isu paling menarik dibandingkan isu kebudayaan, ekonomi, dan kesehatan. Komodifikasi dalam konsentrasi pembahasan mengenai khalayak, diketahui bahwa Polemik bertujuan mendidik publik (pendengar) untuk bersikap atas pengetahuan yang telah didengarnya. Hal ini menunjukkan bahwa Tim redaksi masih peduli dengan khalayak, tidak seperti yang diungkapkan Mosco bahwa komodifikasi tidak terlalu konsen dengan khalayak. Komodifikasi pada konsentrasi pekerja, diketahui bahwa tim redaksi bekerja sama mendukung idealisme konsep program talkshow, selektif memilih dan mengundang narasumber demi menjaga kekhasan talkshow, yang sebenarnya mereka berada dibalik ideology ekonomi politik media itu sendiri. Kata kunci: Komodifikasi, Talksow Radio, Ekonomi Politik Media
Pendahuluan Media massa tak henti-hentinya menjadi objek yang menarik untuk diteliti. Beragam kajian media baik terkait dengan pemberitaan suatu peristiwa ataupun perusahaan media itu sendiri merupakan objek riset yang penting. Hal itu menjadi penting karena media massa merupakan pilar ke empat dalam pembangunan di suatu Negara. Penelitian ini mengungkap bagaimana komodifikasi berlangsung pada 94
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 94 - 105
ISSN 2085-1979
sebuah perusahaan media yang mengemas informasi actual dalam sebuah program yang bermanfaat bagi publik dan sarat dengan ideologi ekonomi media. Dalam konteks ekonomi politik media, proses perubahan nilai guna menjadi nilai tukar dikenal dengan istilah komodifikasi. Praktik komodifikasi semakin tampak tidak membutuhkan pertimbangan konteks social, selain terus-menerus menunjukkan performanya di pasar bebas. Dengan kata lain, komodifikasi adalah manfaat bisnis. Pada penelitian ini, peneliti tertarik untk melakukan riset ekonomi politik media pada Program Polemik, sebuah program berita produk radio Sindo Trijaya yang dikemas dalam bentuk talkshow akhir pekan dan berlangsung di luar studio. Polemik sebenarnya lanjutan dari talkshow Bincang Sabtu yang sudah sejak 2001. Saat itu nama Radio Sindo Trijaya masih Trijaya. Bincang Sabtu mengudara pukul 09.0011.00 WIB, dengan menghadirkan empat narasumber, dipandu seorang host, dan tidaka da bedanya dengan Polemik saat ini. Sedikit mengenai perubahan nama, pada 2005 MNC mengakuisisi Trijaya 100%. Pada 2005 itu ada perubahan nama pada Program ‘Bincang Sabtu’ menjadi ‘Polemik’. Alasannya, agar karakter talkshow terasa lebih kuat. Bindang Sabtu dan Polemik mengusung konsep talkshow perdebatan. Selain itu, untuk mempertegas positioning talkshow itu sendiri. Dengan mengambil nama Polemik, diharapkan akan jauh lebih mudah melekat di ingatan pendengar. Perkembangannya; radio ini setiap minggu outside broadcast, yang diliput media di Indonesia yang bertahan 2001 sampai 2014, mungkin radio yang seperti ini menjadi model satu-satunya di dunia. Outside broadcast maksudnya siaran di luar studio, live di 50 kota, pada frekuensi 104.6 FM (Jakarta). Nama ‘Polemik’ dicetuskan oleh salah satu direktur utama 2005, Pak Tito namanya, dalam rapat redaksi. Bentuknya unik, talkshow yang diselenggarakan media, radio, dan mengundang media. Sindo gak peduli media mana aja yang datang, baik grup maupun bukan. Program ini seolah menghipnotis pendengar untuk tidak berfikir bahwa ini adalah upaya Sindo Trijaya dalam menjalankan praktik komodifikasi. Untuk itu, peneliti menetapkan tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis praktik komodifikasi Radio Sindo Trijaya dalam program Polemik. Manfaat penelitian ini adalah untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang ilmu komunikasi, khususnya komunikasi politik dan kajian media. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan perencanaan dan evaluasi dewan redaksi Sindo Trijaya dalam mengemas program-program beritanya yang lain. Komunikasi politik, yaitu (kegiatan) komunikasi yang dianggap komunikasi politik berdasarkan konsekuensi-konsekuensinya (actual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia di dalam kondisi-kondisi konflik (Nimmo, 2004). Komodifikasi merupakan kata kunci yang dikemukakan Karl Marx sebagai “Ideologi” yang bersemayam di balik media. Menurutnya, kata itu bisa dimaknai sebagai upaya mendahulukan peraihan keuntungan dibandingkan tujuan-tujuan lain. Dengan demikian, komodifikasi Seperti yang diungkapkan Janet Wasko dalam artikelnya yang berjudul The Political Economy of Communication, bahwa Sebuah perhatian utama dari ekonom politik adalah pada alokasi sumber daya dalam masyarakat kapitalis. Melalui studi kepemilikan dan kontrol, ekonom politik mendokumentasikan dan menganalisis hubungan kekuasaan, sistem kelas, dan ketidaksetaraan struktural lainnya “A primary concern of political economists is with the allocation of resources (material concerns) within capitalist societies. Through studies of ownership and control, political economists document and analyze relations of power, a class system, and other structural inequalities” (Wasko, 2004). Georg Lukacs (1885-1971) dalam History and Class Conciousness menjelaskan bahwa kapitalisme menguasai seluruh dimensi kehidupan masyarakat 95
Dyah Rachmawati Sugiyanto: Komodifikasi Berita Dibalik Ideologi Ekonomi Politik Media (Studi Pada Program ‘Polemik‘ Di Radio Sindo Trijaya 104.6 Fm Jakarta)
sehingga interaksi dalam kehidupan masyarakat ini selalu ditandai oleh pemiskinan makna hidup yang autentik. Kebebasan untuk mengaktualkan dimensi kemanusiaan dalam masyarakat sebagai ciri autentik kehidupan masyarakat yang mampu memaknai kebebasan dirinya kemudian diganti oleh adanya aktivitas pertukaran nilai uang yang secara objektif menimbulkan keterasingan hidup. Proses ini disebut komodifikasi. Dalam studi media, menurut Oscar H. Gandy Jr dalam The Political Economy Approach: A Critical Challenge (1997), determinasi ekonomi mewujud dalamperspektif yang melihat media semata-mata sebagai capitalist venture. Fungsifungsi di balik beroperasinya sebuah media hanya dilihat sebagai factor sekunder Selanjutnya, Mosco menyamakan komodifikasi dengan spasialisasi dan strukturisasi. Komodifikasi diartikan sebagai proses transformasi nilai guna menjadi nilai tukar. “Commodification is the process of transforming use values into exchange values.” Dalam konteks industri komunikasi, Mosco menunjukkan tiga aspek dalam konsentrasi komodifikasi, yakni isi media, khalayak, dan pekerja. “When it has treated the commodity, political economy has tended to concentrate on media content, to a lesser extent, on media audiences. It has paid considerably less attention to the commodification of labor in the communication industries.” Pernyataan Mosco di atas mengemukakan bahwa menurutnya, ekonomi politik dalam perlakuannya terhadap komoditas cenderung berfokus pada konten media, tidak terlalu konsen pada khalayak media, bahkan kurang memperhatikan para pekerja di industry komunikasi. Komodifikasi isi media dianggap sebagai langkah awal untuk memahami komodifikasi dalam kegiatan komunikasi. Baik Lukacs, Baran, dan Davis, maupun Mosco, pada intinya berpendapat bahwa muara komodifikasi itu adalah manfaat bisnis. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan ekonomi politik. Ekonomi politik adalah sebuah studi hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan, yang saling mendukung produksi, distribusi, dan konsumsi sumber daya. Fokus penelitian ini adalah pada tiga hal yaitu Komodifikasi Isi Berita, Komodifikasi Khalayak, dan Komodifikasi Pekerja Media Pendekatan ekonomi politik berada dalam ranah tradisi kritis. Paradigma kritis critical paradigm adalah semua teori sosial yang mempunyai maksud dan implikasi praktis dan berpengaruh terhadap perubahan sosial. Paradigma ini tidak sekedar melakukan kritik terhadap ketidakadilan sistem yang dominan yaitu sistem sosial kapitalisme, melainkan suatu paradigma untuk mengubah sistem dan struktur tersebut menjadi lebih adil. Dalam penelitian ini, peneliti mengkritisi program talkshow sebagai sebuah strategi Radio Sindo Trijaya dalam memperoleh keuntungan melalui komodifikasi isi berita, khalayak, dan pekerja media. Data penelitian kualitatif diperoleh melalui teknik wawancara mendalam. Wawancara dilakukan dalam beberapa kali pertemuan, dengan pertanyaan yang tidak terstruktur. Kendala yang dihadapi peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah waktu yang tersedia untuk melakukan pertemuan relative singkat, sehingga peneliti harus menemui para informan beberapa kali. Data sekunder didapatkan melalui observasi, yaitu dengan menghadiri Talkshow Polemik yang diselenggarakan setiap Sabtu di Warung Daun. Selama proses penelitian ini, peneliti hadir tidak lebih dari 5 kali. Peneliti juga mendengarkan program-program siaran Sindo Trijaya lainnya seperti Sindo Hot Topic, Jakarta Punya Cerita, Indonesia Bersaing, Tokoh Bicara, dan Talk to CEO. 96
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 94 - 105
ISSN 2085-1979
Data sekunder lainnya adalah penelusuran data melalui internet dan sumbersumber buku untuk menunjang teori dalam penelitian ini. Peneliti menetapkan seorang informan kunci yang terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program talkshow Polemik, yaitu Pemimpin Redaksi (Pemred). Selain informan kunci, data dan informasi penelitian ini didukung oleh penjelasan-penjelasan dari informan lainnya, yaitu Produser, newswriter, dan penanggungjawab media sosial Sindo Trijaya. Alasan peneliti memilih mereka sebagai informan adalah karena menganggap kedua jabatan tersebut adalah yang bertanggungjawab terhadap penentuan konsep dan konten isu, serta pelaksanaan talkshow di ‘lapangan’. Hasil Penemuan dan Diskusi A.
Komodifikasi Isi Berita
Proses komodifikasi tampak sejak awal tim redaksi menentukan topik dengan menjaring isu dari berbagai berita yang terbit di surat kabar. Misalnya, topik yang sedang hangat diberitakan adalah mengenai Calon Presiden (Capres) dan Tenaga kerja Indonesia (TKI) Satinah. “Terkait kasus Satinah, apanya yang kita (redaksi) mau angkat, moratorium TKI, menyelamatkan Satinah, atau apa yang mau kita angkat. Dari kasus Satinah, apa yang mau kita polemikkan, musti ada pro dan kontra. Misalnya terakhir, hentikan TKI di Arab Saudi,” demikian ungkap Pemred menirukan ucapannya ketika rapat perencanaan. Masih terkait konten, selain media massa cetak dan online, televisi dan media sosial juga menjadi referensi ide. Saat ini sedang marak di sosial media tentang satinah: save Satinah; Capres untuk kasus Aburizal Bakrie, Jokowi yang dipertanyakan orang; dan isu pemilu: kecurangan, kampanye pemilu yang gak mendidik. “Nanti hari kamis kita meeting lagi, harus segera kita putuskan mana yang akan diambil sebagai tema pertama, ke dua, ke tiga, jadi cadangannya ada dua,” jelas Pemred Sindo Trijaya. Pada kesemapat yang berbeda, Produser melengkapi pernyataan Pemred bahwa selain surat kabar (dalam hal ini disebutkan Koran Tempo dan Kompas), media televisi (TV One), dan media online, Program ‘Sindo Hot Topic’ juga turut memberikan kontribusi yang baik dalam hal pilihan ide untuk tema Polemik. Produser mencermati respon pendengar dari jumlah tweet dan pesan singkat yang masuk ke redaksi. Selain itu, reporter juga menjadi referensi sekunder dalam memberikan masukan ide topik Polemik. Pola pengumpulan isu berita, seperti yang diungkapkan oleh Pemred, dilakukan olehnya bersama produser. “Kita media massa, kita harus mengambil satu tema yang diperbincangkan di publik. Sesuatu yang diperbincangkan publik pasti akan menimbulkan pro dan kontra. Sebagian besar yang kita ambil itu yang diperbincangkan publik, baik itu di media sosial, online atau di manapun, karena kita mendiskusikannya secara komprehensif, ada pihak pro, kontra, dan ada solusi,” tegas Pemred. “…yang berpolemik di publik itu sudah pasti mendapat urutan nomor satu untuk kita diskusikan. Ada juga kita mengambil satu isu yang dipolemikkan, namun tidak sedang hangat diperbincangkan publik, tapi masih menjadi persoalan yang belum selesai. Misalnya soal banyaknya produk impor. Hampir tidak ada media yang angkat. Paling hanya 1 atau 2 media yang mengangkat, itupun hanya media bisnis,” jelasnya. Pemred Sindo Trijaya 104.6 FM Jakarta, juga mengatakan bahwa brainstorming biasanya dilakukan di saat current issue sedang landai. “Misalnya koruptor nggak ada yang tertangkap,” sebutnya. “Begitu landai, kita harus ambil satu 97
Dyah Rachmawati Sugiyanto: Komodifikasi Berita Dibalik Ideologi Ekonomi Politik Media (Studi Pada Program ‘Polemik‘ Di Radio Sindo Trijaya 104.6 Fm Jakarta)
tema yang tersembunyi tapi penting untuk kita diskusikan, ini menyangkut kepentingan banyak orang,” tandasnya. “Misalnya impor sementara kita akan menghadapi masa ekonomi ASEAN, dari mulai buah-buahan, semua produk, semua impor. Lalu kita ambil judul ‘Belenggu Impor’. Lalu misalkan soal swasembada beras, pendidikan, kurikulum, dan lain-lain,” tambahnya. Ketika peneliti menggali lebih dalam tentang isu yang paling dianggap tidak penting, Pemred menjawab bahwa penting atau tidak penting tergantung media dan kondisi, sesuatu bisa gak penting di radio tapi menjadi penting di Koran, sesuatu yang tidak dianggap penting di TV tetapi penting di radio, dan sebaliknya. “Dalam konteks Polemik, yang nggak penting itu jika gak ada isu tetapi tibatiba kita ngomongin kebudayaan, sejarah, hal-hal yang sifatnya wacana. Itu nggak tertarik orang. Apalagi dua jam orang ngomongin wacana itu males. Kecuali kita kita ngomongin politik, KPK, impor, mafia, respon orang lumayan banyak,” lugas Pemred. Ia menambahkan, wacana politik pun orang nggak terlalu tertarik, misalnya mencari capres masa depan, kecuali pada musim politik saat ini. Politik tidak selalu menarik bagi pendengar, kecuali TKI itu responnya selalu banyak, karena itu kasus yang gak kelar, demikian juga dengan impor. “Kalau ngomongin hal yang terlalu teknis, misalnya kenapa produksi minyak terus turun di Indonesia, orang tidak peduli minyak sedikit atau turun, yang penting harga minyak murah. Kecuali bahas harga kenaikan BBM. Ngomongin teknis dua jam di radio, lebay, Kecuali satu jam di studio diselingi lagu. Ini kan dua jam nonstop gak ada lagu,” ungkapnya. Pernyataan Pemred didukung oleh Produser yang mengatakan bahwa isu politik bukanlah satu-satunya isu yang terbesar. Isu lain yang menandinginya adalah isu kesehatan. “(Isu) kesehatan kadang lebih penting buat mereka (pendengar),” ungkapnya. Tahap penggalian informasi terasa lebih dalam ketika peneliti menyinggung idealisme pada inti skenario Polemik. “Kalo idealismenya, kita ingin memberikan sumbangsih penyelesaian terhadap sesuatu masalah, ada solusi lah. Kedua, kita pengen masyarakat/ publik/ pendengar tahu masalah apa yang sedang terjadi sehingga mereka punya jawaban, dan mereka punya jawaban dan pilihan-pilihan untuk menentukan apa yang musti mereka lakukan. Ini kan di-relay sekitar 50 radio di seluruh Indonesia. Omongan radio lebih masuk ke otak pendengar daripada media massa lain, karena mendengarkan radio itu kan musti konsentrasi,” papar Pemred. Selain memberi solusi dari persoalan, Sindo Trijaya juga memberi pilihanpilihan ke pendengar mengenai sikap yang musti dilakukan. Misalnya soal mencari Caleg, bukan Caleg biasa. Redaksi ingin menginformasikan sekaligus mendidik pendengar untuk memilih Caleg dengan benar, karena caleg di DPR itu menentukan masa depan. “Pendengar harus pilih yang serius, pilih yang jujur, biar mereka ada pilihan. Tapi dari sisi komersial, kan kita juga butuh pendengar, kita butuh eksposure juga, kita butuh iklan. Kita pengen misi kita dapat tapi juga kita tidak kehilangan popularitas. Pendengarnya tetap banyak, orang yang hadir juga banyak dan talkshow itu jadi menarik. Itu soal kemasan dan narasumber yang hadir, yang musti kita tampilkan,” ungkap Pemred. Talkshow Polemik mengudara selama dua jam, dan jika sedang menampilkan edisi berisi kasus, redaksi mengaku pada saat itu mereka sedang mencoba mengklarifikasi persoalan. “Misalkan terkait soal Dinasti Atut Cenat Cenut. Kita menghadirkan juru bicaranya atut, pengamat hukum, Partai Golkar. Ratu Atut kan tersangka, terus kita mau bahas apa, fokusnya apa dari kasus ini. Judul yang dipilih pun sengaja bersifat umum,” ungkap Pemred. “Kita hanya ingin menyampaikan pesan bahwa Ratu Atut tersangka, ditahan, bagaimana masa depan dinastinya dan masa depan Banten. Tapi kan sebelum kita 98
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 94 - 105
ISSN 2085-1979
menuju itu, kita harus tanya dulu menurut juru bicaranya, mengapa Ratu Atut dipenjara, apakah dia terlibat korupsi apa enggak sih sebenernya. Kita mengklarifikasi ke jubirnya. Setelah itu kita tanya ke (partai) Golkar. Golkar itu juga kita hadirkan karena dia sebagai orang partai kan. Jika Ratu Atut dipenjara, bagaimana partainya bersikap? Turun atau bagaimana? Lalu kita tanya ke pengamat hukum, jika Atut dipenjara, Banten gimana? Apakah dia harus mundur apa enggak?,” demikian Pemred menambahkan. Praktik komodifikasi berita sangat lekat kaitannya dengan bagaimana redaktur menyajikan fakta. Fakta yang disajikan dalam Polemik Sindo Trijaya digali dari narsum. “Kita mulai dari fakta, misalnya “Siapa Peduli Energi”. Kenapa kita bahas itu? Karena kita merasa idealisme kita itu nanti pemerintahan baru, anggota DPR baru, punya visi tentang energy itu seperti apa. Karena pertama, BBM kita subsidinya sudah 300 triliyun, itu bukan sedikit, dan itu subsidi. Subsidi itu nggak tepat sasaran, yang menikmati orang kaya. Jadi kita mensubsidi orang kaya 300 triliyun. Sementara desa lebih butuh. Uang 300 trilyun itu kalo untuk membangun jembatan bisa dari Sabang sampai Merauke. Nah, itu fakta,” ulas Pemred. Lalu yang ke dua, lanjutnya, kita punya energy namanya gas, BBG murah, sehat, bersih, dan nggak dipake. Kita lebih memilih mensubsidi BBM dari pada BBG. Padahal BBG itu murah dan banyak jumlahnya, kenapa kok bisa begitu? Nah, itu menjadi salah satu pertanyaan kunci kita saat bertanya ke narasumber. Itu fakta yang dari awal yang sudah kita kumpulkan. Ia melengkapi dengan menjelaskan bahwa fakta didapat dari data, diantaranya media dan data resmi perusahaan misalnya PGN dan Media. “Subsidi keseluruhan kita lihat dari APBN. BBG nggak berkembang kita lihat di berita PGN bilang kita gak punya SPBG, SPBG gak dibangun oleh pemerintah. Pemerintah lebih suka membangun SPBU, dan swasta juga nggak mau bangun SPBG karena apa? Karena siapa yang pakai SPBG? Karena nggak ada yang menggunakan, jadi tidak ada yang berinvestasi. Kenapa tidak dibangun? Apa salahnya ini? Apa yang terjadi? Bagaimana menurut partai? Mengapa ini terjadi? Ternyata ini kemudian terungkap, bahwa ternyata menurut mereka ada mafia BBM yang gak pengen BBG tumbuh. Karena kalau BBG tumbuh orang-orang yang menikmati BBM ini akan kehilangan rejekinya. Jadi dibiarkan saja BBG gak tumbuh biar BBM itu terus diimpor, jual beli, tanker, dan lain-lain. Itu milyaran jumlahnya. Itu fakta baru yang dingin disampaikan. Biar masyarakat juga ngerti,” ulas Pemred. Ketika menentukan narsum, tim redaksi menentukan kriteria narasumber, redaksi menacari tahu yang bersangkutan pro atau kontra terhadap suatu masalah. Ini melibatkan pengalaman. Berdasarkan apa yang pernah anggota Tim redaksi baca dan hadapi. “Pengalaman dan pengetahuan berpengaruh terhadap konten. Kalau tidak berpengalaman, asal saja kita bikin, tiba-tiba semua pro atau kontra. Kalau kurang paham ya kita cari di google untuk mendapatkan referensi dalam menganalisis sikap yang bersangkutan pro atau kontra terhadap isu yang akan dibahas,” ungkap Pemred. B.
Komodifikasi Khalayak
Dari sisi pendengar, kadang jika isu sedang landai, pendengar tidak bertanya. Namun jika ada beberapa isu yang sedang marak, redaksi memilih salah satu. Biasanya ada wartawan atau pendengar yang menanyakan mengapa pilih isu tersebut, padahal ada isu lain yang dianggap lebih ramai. Respon interaktif sama saja animonya, baik saat ada isu maupun tidak. Isu kurang populer memang tidak sebanyak saat Polemik membahas isu aktual, seperti politik korupsi, hukum. Isu ekonomi atau kesehatan dianggap kurang menarik. 99
Dyah Rachmawati Sugiyanto: Komodifikasi Berita Dibalik Ideologi Ekonomi Politik Media (Studi Pada Program ‘Polemik‘ Di Radio Sindo Trijaya 104.6 Fm Jakarta)
Sedangkan mengenai konsep mengundang media, ini muncul dari Direktur Utama Trijaya yang pertama. “Kenapa undang media karena waktu itu dia pengen Trijaya itu setiap minggu (Sabtu) mengemas isu menjadi berita dan diliput media, supaya nama kita ada di mana-mana, tujuan utamanya itu,” ungkap Pemred yang sudah bekerja lebih dari 10 tahun di stasiun radio milik MNC tersebut. Talkshow Polemik Sindo Trijaya 104.6 FM Jakarta ini lebih banyak dihadiri media elektronik dan online daripada media cetak. Menurut Pemred, program ini sengaja dijadwalkan setiap sabtu karena relative dianggap tidak ada program radio lainnya yang menjadi saingan. Dan dampaknya sekarang di media, Sabtu adalah Polemik, apapun isunya, sudah menjadi agenda media. Tidak ada acara dari lembaga survey atau manapun yang sabtu bentrok dengan jadwal Polemik. “Karena mereka (media lain) mikir Sabtu bentrok sama Polemik nanti (acara mereka) bisa sepi. Jadi mereka bikin setelah kita. Karena kita sudah konsisten puluhan tahun, gak pernah berhenti kecuali hari libur dan lebaran,” ujarnya. Secara pribadi, Pemred mengungkapkan, Polemik itu diibaratkannya seperti masjid. Ketika seseorang memiliki tanah dan bangun masjid, maka masjid itu sudah bukan milik yang punya tanah, tapi sudah menjadi milik masyarakat. Maka siapapun boleh solat di situ. “Polemik sudah jadi milik publik. Jadi seperti masjid, di mana semua orang bisa berdebat, berdiskusi di situ. Dan namanya masjid adalah untuk kebaikan, bukan menyerang pihak satu atau pihak dua. Kita jaga itu, kalo ada yang pro dan kontra kita cari solusi. Nggak bisa yang hadir kontra semua atau pro semua,” urainya. Lebih jauh, ia mengungkapkan bahwa Pers itu adalah kepercayaan. Begitu publik sudah melihat media/pers berat sebelah, tidak akan lagi bisa dipercaya, dan hanya partisan, maka tidak akan ada media lain yang mau datang. Jadi sebisa mungkin dijaga independensinya, minimal objektivitasnya dan tidak menyerang suatu pihak. Terkait dengan harapan terhadap audiens, kedua informan sepakat bahwa redaksi tidak dapat memprediksi, tugas mereka adalah memaparkan fakta. Soal apakah diterima oleh pendengar atau tidak, dipahami cepat atau lambat, kembali ke individu pendengar masing-masing. “Serapi apapun agenda setting yang kita bikin, ini media masa, anonim. Kita bisa saja lihat dari respon misalnya sms yang muncul tiba-tiba mereka bilang “mafia migas ini yang bikin kita hancur” nah itu berarti sudah paham dengan diskusi kita. Atau “terang aja BBG gak akan berkembang karena ada orang berkurang rejekinya” nah itu berarti sudah paham,” ujar Pemred. Ia juga menegaskan bahwa seseorang yang mendengarkan Talkshow Polemik, maka dia akan lebih peduli dengan bangsa ini, anti korupsi, lebih cerdas, lebih paham persoalan, dan dia akan punya pilihan-pilihan dalam menjalani hidupnya. Berdasarkan pandangan etimologi social Williams, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan sebelum menerapkan ekonomi politik menjadi ilmu atau deskripsi intelektual soal system produksi, distribusi, dan pertukaran – Mosco menyebutnya sebagai konsumsi. Ekonomi politik berarti kebiasaan, praktik, dan pengetahuan mengenai bagaimana mengelola rumah tangga dan masyarakat. Artinya, konteks ekonomi politik bersentuhan dengan sejumlah hal, termasuk pengetahuan sosial, dalam ‘memuaskan’ kebutuhan masyarakat. Dari penjelasan narasumber dan dikaitkan dengan pandangan etimologi di atas, tampak bahwa Sindo Trijaya 104.6 FM Jakarta berupaya memenuhi kebutuhan informasi dan pengetahuan para pendengarnya. Hal yang menjadi temuan menarik bagi peneliti adalah bahwa khalayak Polemik bukan hanya pendengar dari kalangan masyarakat umum, melainkan juga media. Sindo Trijaya jelas tidak hanya menjadikan publik sebagai sasaran, tetapi juga media massa yang diundang, untuk kepentingan popularitasnya. Dengan menyelenggarakan program ini di hari Sabtu, di mana biasanya isu sedang landai, perhatian media akan tersedot pada program ini. 100
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 94 - 105
ISSN 2085-1979
Lagi-lagi ini erat kaitannya dengan hegemoni dan kekuasaan pemilik media yang melakukan agenda setting.
Gambar 1: Diskusi dengan tema 'Deadlock Ahok' menyoroti perseteruan Gubernur DKI Jakarta Basuki Purnama (Ahok) dengan DPRD DKI Jakarta. (Sumber: bon/ sindonews.com) C.
Komodifikasi Pekerja Media
Tim redaksi Polemik dituntut untuk menghasilkan program yang mampu membuat rating radio berada di posisi atas (bahkan teratas). Terkadang, tuntutan yang berdasarkan pemikiran ekonomi media tidak dibarengi dengan tuntutan menyajikan program yang berkualitas dan layak didapat oleh pendengar/ audiens. Padahal, untuk mencapai rating tertinggi, sebuah program sudah pasti haruslah berkualitas. Menurut pandangan peneliti, sebuah kualitas tidak dapat diukur dari jumlah pendengar saja, melainkan dari hal-hal lain seperti dampaknya terhadap pemberitaan di media hingga isu dapat diketahui publik lebih luas, isi pesan dari pendengar melalui media sosial atau pesan singkat yang menunjukkan bahwa mereka paham atau tidak, bahkan dampaknya pada kebijakan yang diambil sebuah perusahaan/ institusi pemerintah. Dampak dalam konteks kualitas memang tidak dapat dikuantifikasikan dalam nominal semata. Peneliti mengibaratkan hal tersebut adalah investasi. Hegemoni pada sudut pandang ekonomi politik idealnya mempertimbangkan sisi kualitas dan kuantitas. Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan Murdock dan Golding yang berusaha mengadaptasi pandangan ideology Marx tentang pendekatan ekonomi politis untuk analisis media massa (1977), pernyataan Marx dalam The German Ideology memerlukan tiga proporsi empiris hingga dapat divalidasi secara memuaskan: bahwa produksi dan distribusi gagasan dipusatkan di tangan para pemilik sarana-sarana produksi kapitalis; bahwa karena itu gagasan-gagasan mereka semakin mengemuka dan mendominasi pemikiran kelompok-kelompok sub ordinat. Ekonomi politik media melibatkan tiga komponen penting, yakni pemilik sarana produksi kapitalis (pemilik modal), dominasi pemikiran (hegemoni), dan upaya mempertahankan ketidaksetaraan antara kelas penguasa dan kelas tertindas (subordinat). Dalam mengelola suatu program talkshow, apalagi yang melibatkan pihak luar yaitu narasumber, tidak bisa dilakukan sendirian, melainkan butuh tim yang lengkap. Ada tim riset yang mengelola isu, baca koran dan ngasih isu-isu, ada yang berfikir 101
Dyah Rachmawati Sugiyanto: Komodifikasi Berita Dibalik Ideologi Ekonomi Politik Media (Studi Pada Program ‘Polemik‘ Di Radio Sindo Trijaya 104.6 Fm Jakarta)
tentang isu apa yang akan diangkat, dan eksekusi narasumber. Harus banyak ide dan gagasan muncul. “Selama ini tim masih belum maksimal karena kerja timnya belum sesuai yang diharapkan. Memang sih kita gak bisa menginginkan orang dalam tim seperti kita yang memahami talkshow itu secara utuh dan mengerti maksud dari produksi ini. Ini lebih sulit dari mengajari orang naik sepeda. Kalo naik sepeda ada sepedanya, ada cara genjotnya,” ungkap Pemred. Selanjutnya, mengenai host, Pemred mengatakan bahwa frame yang diterapkan tim dalam mengangkat sebuah isu adalah menyeluruh. “Kita tidak mempermasalahkan kenapa Atut dipenjara, karena itu masalah hukum, kita menghindari itu. Implikasinya yang sebenarnya yang mau kita cari. Bahasannya bisa melebar ke mana-mana. Itu urusan narasumber yang ngomong nanti. Jadi, kita biarkan saja itu beredar di lapangan nanti. Pintar-pintar hostnya aja, kalo ada fakta baru ya dikembangin. Karena di Polemik itu kita gak bisa kasih pertanyaan 1-10. Kita cuma menentukan apa yang kita inginkan, dengan memberikan/menetapkan gambaran yang besar. Kalo kita kasih pertanyaan nanti jadinya kaku, karena menyangkut 4 narasumber. Jadi, Hostnya gak bisa host sembarangan,” akunya. Khusus untuk kriteria host, Produser Polemik mengatakan bahwa syarat utama untuk terpilih menjadi host Polemik adalah smart dan berkarakter. Saat kajian ini disusun, Host Polemik Sindo Trijaya adalah Pangeran Ahmad Nurdin, seorang jurnalis pria yang juga mengelola rubrik Opini di Koran Sindo. Dirinya terpilih karena kesepakatan grup yang menilainya adalah sosok yang saat ini sesuai dalam rangka menggantikan Host Polemik yang sebelumnya, yaitu Latief Siregar, Aryo Ardi, dan Fadly Sungkara. Host Polemik hingga saat ini belum pernah dilakoni sosok perempuan. Menurut penjelasan Produser kepada peneliti, bukan berarti perempuan tidak memiliki kemungkinan untuk menjadi Host Polemik, namun memang untuk saat ini tim redaksi belum menemukan sosok yang diharapkan. Sementara, menurut pengamatan peneliti, Polemik Sindo Trijaya tidak jarang menampilkan narasumber perempuan, walaupun jumlahnya selalu lebih sedikit dibandingkan narasumber pria yang dihadirkan. “Narasumber perempuan pernah ada juga, tetapi memang jarang karena Polemik ini berat dan harus diadu antara pro dan kontra,” ujar Produser.
Gambar 2. Delapan narasumber dalam Edisi Spesial 2 Tahun ‘Polemik’ Sindo Trijaya (sumber: Sindotrijaya.com) Terkait fenomena ini, peneliti menemukan fakta bahwa ada keterkaitan antara ekonomi politik media dengan peran perempuan. Ideologi atau cara berfikir redaksi Polemik, secara sadar diungkapkan dalam pernyataan di atas. Berdasarkan sudut pandang peneliti, kenyataan tersebut secara implisit menyatakan bahwa perempuan 102
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 94 - 105
ISSN 2085-1979
masih dipandang tidak setara dengan pria. Perempuan seolah dianggap hanya mampu mengerjakan/ menghadapi permasalahan ringan dan cenderung memiliki sedikit ruang untuk berargumen (dalam hal pro dan kontra). Padahal fakta menunjukkan bahwa Prof. Dr. Siti Zuhro, seorang peneliti perempuan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah berhasil meraih predikat narasumber terbaik versi RRI pada 2012 lalu. Wacana tersebut didukung oleh gambar berikut, bahwa dalam edisi Spesial 2 tahun ‘Polemik’ Sindo Trijaya mengahdirkan delapan narasumber yang tidak satupun berjenis kelamin perempuan. Namun demikian, Produser Polemik mengakui ada banyak (walaupun jumlahnya lebih sedikit dari pria) narasumber wanita, Selain Siti Zuhro (Peneliti Senior LIPI), sosok lain yang dipandang berkualitas antara lain Dewi Aryani (Politisi PDIP), Eny Hafid (Ekonom Indef), Fahira Fahmi Idris (DPD RI), dan yang lainnya. “… bikin talkshow itu soal pola pikir, bahan pengetahuan, bahan bacaan, karakter, sikap. Jadi itu juga penting berpengaruh. Apalagi talkshow ini rawan orang bermain. Kalau ada produser yang ada pesanan dari pihak tertentu untuk mengangkat suatu isu/ tema, itu adalah tantangan tersendiri. Kita harus pastikan bahwa orang yang bekerja itu punya tujuan agar talkshow ini menjadi bagus,” tambahnya. “Kerja saya sendiri belum maksimal,” aku Pemred. Lebih jauh ia mengungkapkan bahwa dalam arti mendelivered pesan-pesan ruh Polemik kepada tim yang mengelola talkshow ini setiap harinya belum sampai. Tetap saja Pemred harus terlibat karena ini seperti barang mewah yang harus dijaga setiap minggu. “Karena Polemik itu Sindo Trijaya dan Sindo Trijaya adalah Polemik. Polemik itu sikap kita terhadap suatu peristiwa. Karena sikap, maka redaksi utama yang harus terlibat jadi gak bisa dilepas, kalo talkshow lain bisa dilepas karena hanya satu dua orang yang tampil, itu bisa kita percaya. Tapi Polemik Sindo Trijaya 104.6 FM Jakarta melibatkan media lain yang menyorot kita dan ini acara yang bergengsi sudah puluhan tahun. Jangan sampai karna ada satu tema yang kita angkat itu merusak semuanya,” tegasnya. Sumber masalah terkait tim kerja, justru bisa muncul dari sisi narasumber. Tim pernah belum berhasil mendapatkan narasumber hingga pukul 23.00 WIB, hari Jum’at. Itu karena mereka idealis menginginkan untuk mendapatkan dan menghadirkan narasumber yang terbaik. “Tapi biasanya kalo sampai jam 11 malam kita nggak dapet, ya kita cari yang ada aja tapi yang ngomongnya bagus. Kita pun pernah putus asa karena itu. Narasumber cuma dua, kita harus cari dua lagi. Saking kita pengen nyari yang sempurna. Harus empat, bukan hanya empat yang pro dua, yang kontra belum dapat. Sampai kapanpun kita bakal tetep cari yang kontra. Sampai besok pagi, kita tunggu sampai jam 6. Tapi biasanya sampe jam 11 begitu kita nggak dapet akhirnya kita cari yang ada aja, tapi yang ngomongnya bagus,” urai Pemred. “Kenapa sampe jam 11 bukannya kita terburu-buru. Nyari sudah dari hari kamis, tapi karena kita mau cari yang terbaik berpolemik, karena kita mau menampilkan yang pro dan kontra. Kalo semua pro, jadi seminar, bukan diskusi. Diskusi kan harus ada yang pro dan kontra. Diskusi satu arah ya nggak seru,” lanjutnya. Pernyataan itu didukung oleh produser yang menyatakan bahwa biasanya setiap kamis tim redaksi mulai mengerucutkan tema-tema atau apa yang terjadi dari Senin hingga Kamis. Bahkan tim redaksi juga bisa saja tiba-tiba berputar arah jika Jum’at atau Sabtu akan terjadi sesuatu yang besar, seperti kejadian Ratu Atut yang ditahan KPK pada Jum’at, tema bisa saja berubah untuk Sabtu menjadi tema kasus Ratu Atut. 103
Dyah Rachmawati Sugiyanto: Komodifikasi Berita Dibalik Ideologi Ekonomi Politik Media (Studi Pada Program ‘Polemik‘ Di Radio Sindo Trijaya 104.6 Fm Jakarta)
“…dan yang kita pilih adalah benar-benar yang berpolemik, hot, menarik,” ungkap Produser. Terkait pesan, redaksi tidak pernah bermaksud untuk menekankan atau memojokkan suatu pihak, tetapi memberikan sebuah gambaran dari pernyataanpernyataan yang dilontarkan narasumber. Redaksi lebih dominan mengangkat wacana yang sedang hangat menjadi polemik di publik. “Tidak pernah ada conclusion dari host di akhir, paling closing harapan. Konklusion datang dari narasumber atau closing statement. Misalnya mencari Kapolri, atau polisi harapan rakyat. Di akhir talkshow pasti hostnya akan menyampaikan semoga polisi kita makin baik, semoga gaji polisi meningkat. Itu bukan kesimpulan, itu harapan. Harapan/ Keinginan media adalah keinginan publik, jadi kita mewakili publik,” ungkap Pemred yang juga pernah berperan sebagai Host Polemik. Positioning Polemik sebagai satu-satunya talkshow (politik) di radio yang konsisten setiap minggu dengan isu-isu yang menarik, dan positioning itu sudah melekat di masyarakat. “Masyarakat sudah tau, Sabtu itu Polemik. Bahkan sekarang positioning itu sudah sampai ke Warung Daun. Warung Daun itu Polemik. Bahkan ada narasumber diundang acara di Warung Daun bukan Polemik, dia menghubungi kita. Bener nggak, ada acara Sindo? Kan itu di Warung Daun. Dikiranya Warung Daun itu punya kita,” ungkap Pemred. Menurut penjelasan dari informan lain, selain di Warung Daun, Polemik juga pernah diselenggarakan di tempat lain sebanyak dua kali, yaitu di Doubletree, Hotel Hilton Jakarta. “Dari sisi popularitas dan positioning, Polemik itu sudah dapet. Tugas kita sekarang tinggal mempertahankan dan membuat orang jadi gak bosen. Menjaga kualitasnya,” tandas Pemred. “Kalau masalah idealisme, kami menjaga Polemik tetap hot dan selalu jadi trigger untuk media-media lain, yang terjadi seperti itu kita mempengaruhi media dan pemerintah, tentunya ini dibantu media lain,” jelas Produser Ketika peneliti bertanya mengenai kompensasi berupa bonus atau honor tambahan bagi para pekerja yang hadir dan bekerja di hari Sabtu, Pemred mengatakan bahwa tidak ada upah/ bonus tambahan bagi mereka. Berdasarkan fakta tersebut, sesuai dengan apa yang diungkapkan Strinati (Strinati: 2009) bahwa kepatuhan media massa kepada pemilik modal dan kekuasaan politik diwujudkan dengan upaya berkompromi kepada pasar melalui produk-produk ‘budaya’ komersial. Ekonomi politis ingin mengkaji organisasi media sebagai lembaga yang menjadi perantara struktur ekonomi media dengan hasil budayanya, tapi sukar untuk membandingkannya dengan pernyataan bahwa apa yang mereka kerjakan amat dibatasi oleh kebutuhan untuk menghasilkan dan menyebarkan ideology kelas penguasa. Jadi, ekonomi politis terperangkap antara model konspirasi dan otonomi, di mana keduanya tidak ingin diterima. Simpulan Komodifikasi berita dalam program talkshow Polemik Sindo Trijaya berlangsung di balik ideologi ekonomi politik media. Idealisme tim redaksi merupakan perwujudan dari tujuan perusahaan media pada umumnya, yaitu ekonomi politik media untuk menguasai pasar (publik/ pendengar). Komodifikasi dalam konsentrasi isi berita diketahui bahwa Polemik lebih sering mengangkat topik politik. Namun, Politik bukanlah satu-satunya isu paling menarik. Isu kesehatan juga dianggap menarik karena berdampak pada segmen publik yang sangat luas. Tim redaksi sangat memprioritaskan isu dalam perencanaan program Polemik, disusul dengan pemilihan narasumber yang dianggap tepat. 104
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 1, Februari 2015, Hal 94 - 105
ISSN 2085-1979
Komodifikasi dalam konsentrasi pembahasan mengenai khalayak, diketahui bahwa Polemik bertujuan mendidik publik (pendengar) untuk bersikap atas pengetahuan yang telah didengarnya. Hal ini menunjukkan bahwa Tim redaksi masih peduli dengan khalayak, tidak seperti yang diungkapkan Mosco bahwa komodifikasi tidak terlalu konsen dengan khalayak. Komodifikasi pada konsentrasi pekerja, diketahui bahwa tim redaksi bekerja sama mendukung idealisme konsep program talkshow, selektif memilih dan mengundang narasumber demi menjaga kekhasan talkshow, yang mana sebenarnya mereka berada dibalik ideologi ekonomi politik media itu sendiri. Loyalitas dan integritas tim terhadap misi ekonomi politik media tidak seimbang dengan upah/ kompensasi yang mereka terima. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Mosco bahwa kurangnya perhatian pada para pekerja di industri komunikasi. Daftar Pustaka Burton, Graeme. (2008). Pengantar untuk Memahami Media dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra Downing, John D.H, Denis McQuail, Philip Schlesinger, Ellen Wartela. (2004). The SAGE Handbook of Media Studies. California: SAGE Publication. Halim, Syaiful. (2013). Postkomodifikasi Media, Analisis Media Televisi dengan Teori Kritis dan cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra. Kriyantono, Rachmat. (2006). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media. Mosco, Vincent. (1996). The Political Economy of Communication, Rethinking and Renewal. London: Sage Publication. Mosco, Vincent (2009). The Political Economy of Communication. London: Sage Publication. Strinati, Dominic. (2009). Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Sleman: Ar-Ruzz Media. Sudibyo, Agus. (2004). Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta: LkiS Sutrisno, Mudji. dan Hendar Putranto. 2005. Teori-teori kebudayaan. Jakarta: Kanisius
105
Dyah Rachmawati Sugiyanto: Komodifikasi Berita Dibalik Ideologi Ekonomi Politik Media (Studi Pada Program ‘Polemik‘ Di Radio Sindo Trijaya 104.6 Fm Jakarta)
KETENTUAN PENULISAN JURNAL KOMUNIKASI UNIVERSITAS TARUMANAGARA
Jurnal Komunikasi terbit 3 (tiga) kali setahun. Penyunting menerima sumbangan naskah artikel dari berbagai kalangan akademisi, praktisi, dan pemerhati ilmu komunikasi.
Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan memperhatikan ketentuan penulisan karya ilmiah yang lazim. Artikel dapat berupa ringkasan laporan penelitian, kajian pustaka, analisis peraturan perundang-undangan, dan timbangan buku dalam konteks ilmu komunikasi.
Penulis harus menjamin bahwa naskah yang dikirimkan kepada penyunting bukan merupakan karya plagiarisme. Apabila karya tersebut sudah pernah dipresentasikan di tempat lain (kuliah umum, seminar) maka penulis wajib memberikan catatan tentang waktu dan tempat presentasi tersebut.
Penulisan abstrak maksimum 250 kata, untuk artikel bahasa Indonesia, abstrak ditulis dalam bahasa Inggris, demikian pula sebaliknya, dengan mencantumkan kata kunci dari artikel.
Naskah diketik dengan menggunakan program Microsoft word, dengan jumlah 20 s.d. 25 halaman, di atas kertas ukuran A4 dengan font "Tahoma" 12 poin, berspasi 1,5. Naskah dikirimkan ke alamat penyunting dalam bentuk hard copy dan soft copy.
Penulisan sumber kutipan dan daftar pustaka menggunakan sistem nama-tahun, yang diletakkan dalam badan karangan. Tata cara penulisannya dapat mengacu pada sistem APA atau Chicago Manual.
Artikel yang diterima penyunting akan diseleksi, dengan kemungkinan untuk diedit atau dikembalikan untuk deperbaiki/dilengkapi. Artikel yang telah diterima oleh penyunting tidak akan dikembalikan. Isi artikel di luar tanggung jawab redaksi.
Penulis dari luar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara, dapat mengirimkan naskah menggunakan email.
Redaksi Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Jl. Letjen. S Parman No. 1, Jakarta Barat 11140 Kampus I Gedung Utama Lantai 11 Telp : 021-56960586 Fax 021-56960584 email :
[email protected] Website : www.untar.ac.id/fikom
136
Redaksi Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Jl. Letjen. S Parman No.1 Gedung Utama Lantai 11. Jakarta Barat 11440 Telepon : 021-56960586, Fax : 021-56960584 email :
[email protected] Website : www.untar.ac.id/fikom