Diana Palmer THE WINTER SOLDIER SANG PRAJURIT MUSIM DINGIN
SANG PRAJURIT MUSIM DINGIN
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana: Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masingmasing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Diana Palmer
SANG PRAJURIT MUSIM DINGIN
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2007
THE WINTER SOLDIER by Diana Palmer Copyright © 2001 by Diana Palmer All rights reserved including the right of reproduction in whole or in part of any form. This edition is published by arrangement with Harlequin Enterprises II B.V. The trademark HARLEQUIN® used pursuant to a license with Harlequin Enterprises II B.V. All characters in this book are fictitious. Any resemblance to actual persons, living or dead, is purely coincidental. SANG PRAJURIT MUSIM DINGIN Alih bahasa: Weny J. Orvalo Editor: Lustatin GM 406 07.027 Sampul dikerjakan oleh Marcel A.W. Hak cipta terjemahan Indonesia: PT Gramedia Pustaka Utama Jl. Palmerah Barat 33-37, Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI, Jakarta, Agustus 2007 288 hlm; 18 cm ISBN 10: 979 – 22 – 3150 – 1 ISBN 13: 978 – 979 – 22 – 3150 – 2
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab percetakan
Untuk J. Nelson
Satu
7
001/I/13
HARI ini hari Senin, hari paling buruk di dunia untuk menebus resep dokter. Di belakang meja layan, apoteker pria yang malang mencoba menjawab dering telepon, membuat ramuan resep, meladeni pertanyaanpertanyaan pelanggan, dan mendelegasikan tugas kepada dua orang asisten. Selalu seperti ini setelah akhir minggu, batin Cy Parks pasrah. Tak ada orang yang ingin mengganggu dokter pada hari libur, jadi mereka semua harus menunggu hingga hari Senin untuk menyampaikan berbagai keluhan mereka. Akibatnya semua orang berduyun-duyun datang ke Jacobsville Pharmacy. Michael, apoteker yang bertugas, tersenyum ramah meskipun pelanggan berdesakan, sudah terbiasa menghadapi kegilaan hari Senin. Kelompok yang menunda kunjungan ke dokter hingga hari Senin itu termasuk aku, renung Cy. Lengannya berdenyut akibat pergulatannya dengan salah satu sapi jantan Santa Gertrudis Jumat sore lalu. Le-
8
001/I/13
ngan kirinya pula, yang pernah terbakar sewaktu terjadi kebakaran rumah di Wyoming. Luka yang menganga itu memerlukan sepuluh jahitan, dan Dr. ”Copper” Coltrain merasa jengkel karena Cy tidak pergi ke UGD tapi malah membiarkan lukanya menunggu selama dua hari dan mengambil risiko terkena gangrene. Ucapan bernada sinis itu langsung menguap; Coltrain seharusnya tak perlu banyak bicara. Selama bertahun-tahun, Cy sudah sering mendapatkan begitu banyak luka sehingga nyaris tak merasa sakit lagi. Saat kemejanya dilepas, luka-luka itu terpampang jelas di depan mata Coltrain, yang langsung bertanya dengan lantang dari mana saja luka tembak sebanyak itu berasal. Cy cuma memandangi Coltrain, dengan mata hijau gelap yang bisa sedingin udara Kutub Utara. Coltrain akhirnya menyerah. Selesai menjahit luka-luka itu, Coltrain menulis resep obat antibiotika kuat dan pereda rasa sakit, lalu mengusirnya pergi. Cy telah memberikan resep itu kepada petugas sepuluh menit yang lalu. Ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya di sekitar meja layan penerimaan resep dan berpikir mungkin ia seharusnya membawa bekal makan siang. Ia mengubah-ubah posisi berdirinya dengan sikap tak sabaran yang jelas-jelas terlihat, sementara mata hijaunya yang berkilau memerhatikan para pelanggan yang berada paling dekat dengan meja layan. Tatapannya berhenti pada sosok seorang wanita berambut pirang yang menunggu dengan tenang seraya mengamatinya dengan rasa geli yang tak bisa disembunyikan. Cy