BAB I PENDAHULUAN
Dalam bukunya yang berjudul Black Muslim in America, Eric Lincoln mengilustrasikan cerita saat Wallace D. Fard datang ke sebuah perumahan kulit hitam di Detroit, Michigan, pada tahun 1930. Fard mengetuk pintu demi pintu untuk menawarkan dagangan yang kebanyakan berupa kain dan permadani. Ia berkata bahwa barang-barang tersebut berasal dari Afrika, kampung halamannya sekaligus kampung halaman semua orang yang tinggal di perumahan tersebut. Orang-orang mulai bertanya kepada Fard mengenai Afrika. Ia menjelaskan bahwa tempat ini adalah asal-muasal semua peradaban dan bahwa manusia kulit hitam adalah “manusia asli” yang dikehendaki oleh Tuhan, sementara manusia dengan warna kulit yang berbeda adalah hasil dari mutasi genetik yang dilakukan oleh seorang ilmuwan gila bernama Yakub yang ingin melawan ketentuan Tuhan. Sebagai “manusia asli”, orang-orang Afrika pun harus terikat pada agama asli mereka, yaitu Islam. Ceramah Fard yang tadinya dilakukan dari pintu ke pintu berkembang menjadi pertemuan besar yang dihadiri oleh para warga, di mana dia memberikan ceramah mengenai ajaran Islam. Inilah awal mula terbentuknya Nation of Islam (NOI), yaitu ketika sekelompok warga kulit hitam di Detroit menyatakan masuk Islam dan berjanji untuk menjauhi laranganlarangan Allah seperti minum alkohol dan makan babi.1 Meski menyandang nama Nation of Islam, ajaran Islam yang diperkenalkan oleh Wallace Fard alias Fard Muhammad, yang kemudian dilanjutkan oleh Elijah Muhammad, sangat berbeda dengan yang dipelajari oleh Muslim pada umumnya. Bagi pengikut NOI, kesetiaan mereka pada Islam tidak dinyatakan melalui kesaksian “Allah adalah Tuhanku dan Muhammad adalah utusan Allah,” melainkan kesaksian bahwa “Allah adalah Tuhanku dan Elijah Muhammad adalah utusan Allah.” Mereka percaya bahwa Elijah Muhammad adalah mahdi yang dikirim oleh Tuhan ke muka bumi. Di samping itu, NOI memberikan banyak doktrin yang tidak berdasar dari Al-Qur'an. Contohnya doktrin “Sejarah Yakub” yang, seperti telah disebutkan di atas, menceritakan asal muasal manusia kulit putih dan non-hitam lainnya.2 Doktrin semacam ini tentu saja tidak hanya memunculkan rasa kebanggaan sebagai kulit hitam, namun juga menimbulkan kebencian terhadap kaum kulit putih. Meskipun membawa nama organisasi yang berarti Bangsa Islam, kelompok ini pada 1 2
C. Lincoln, The Black Muslims in America, S.J. Reginald Saunders and Co., Toronto, 1961, p. 10. Malcolm X & A. Haley, Otobiografi Malcolm X, Ufuk Press, Jakarta, 2012, pp. 242-246.
1
dasarnya berorientasi terhadap perjuangan ras. Agama Islam dijadikan sebagai simbol yang bisa menjadi pemersatu kolektif. Hal ini menegaskan perkiraan yang dinyatakan oleh Dr. Bull Gallagher, seorang pengajar di Talladesa College pada tahun 1945, “There are signs that the Pan Islamic movement may harden into a new political nationalism, based on race, which may replace the Islam of an international an interracial brotherhood.”3 Islam dianalogikan sebagai sebuah kekuatan yang bisa melawan kulit putih, yang selalu identik dengan kejahatan. Islam dijadikan sebagai identitas baru karena warga Afrika-Amerika pada waktu itu merasa bahwa agama Kristen, yang tadinya mereka anut, tidak berhasil memberikan perlindungan kepada mereka. Alih-alih, agama Kristen diidentikkan dengan agama orang kulit putih yang juga pernah menjadi slave masters mereka. Hal ini juga bisa dijelaskan dengan apa yang disebut Emily Durkheim sebagai “panji klen” atau totem. Totem, yang dalam hal ini berbentuk agama Islam, menjadi jawaban atas kebutuhan integrasi orang-orang yang hidup terpisah. Totem menjadi instrumen yang memberi keyakinan kepada orang-orang bahwa kelompok tetap penting. Konsekuensi dari pentingnya kelompok adalah bahwa masing-masing anggota kelompok memiliki tanggung jawab yang harus mereka jalankan demi solidaritas sosial.4 Kelompok memiliki fungsi untuk mewariskan pemikiran, pengalaman, standar maupun aturan berperilaku, atau apa yang disebut Durkheim sebagai “fakta sosial”. Fakta sosial inilah yang mengendalikan individuindividu yang berada dalam kelompok.5 Dengan segala kontroversinya, NOI mampu bertahan hingga saat ini sebagai sebuah organisasi. NOI tidak mempublikasikan jumlah pengikutnya, namun Lawrence Mamiya, seorang dosen studi agama dan Afrika di Vassar College, memperkirakan jumlah anggota NOI saat ini sekitar 50.000 orang. Dari jumlah tersebut, banyak di antaranya merupakan narapidana.6 Pemimpin NOI saat ini, Louis Farrakhan Muhammad, aktif berpidato di berbagai tempat. Setiap tanggal 26 Februari, tanggal kelahiran Fard Muhammad, anggotaanggota NOI berkumpul untuk merayakan Saviour Day.7 Tahun 2012 lalu mereka merayakan Saviour Day di United Center, Chicago, sedangkan di tahun 2013 mereka menyelenggarakan serangkaian acara di Hotel Hilton, Chicago.8 NOI juga vokal dalam menanggapi isu-isu 3
Lincoln, p. 27. P. Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010, pp. 56-57. 5 Jones, p. 45. 6 N. MacFarquhar, 'Nation of Islam at a Crossroad as Leader Exits', New York Times (online), 26 February 2007.
, diakses pada 28 Desember 2012. 7 ‘About Saviours’ Day’, Nation of Islam (online), 2012, , diakses pada 8 November 2012. 8 ‘Saviour’s Day 2013 Official Schedule’, Nation of Islam (online), 2013, 4
2
sosial. Sebagai contoh, pada tanggal 23 Juli 2012, Louis Farrakhan bersama para pengikutnya melakukan march di jalan-jalan Chicago untuk memprotes banyaknya kekerasan dengan senjata api di kota tersebut.9 NOI juga menyuarakan opini mereka melalui newsletter berjudul Final Call yang mereka terbitkan secara berkala. Selain memuat agenda-agenda terbaru NOI, Final Call juga berisi kritik terhadap pemerintahan Amerika Serikat (AS). Terdapat dua hal yang membuat fenomena NOI menarik untuk diteliti. Pertama, doktrin-doktrin yang diperkenalkan NOI banyak dinilai tidak masuk akal, tetapi masih tetap mampu menarik masyarakat AS yang selama ini dianggap sudah maju. Kedua, apabila mengikuti berita-berita yang diterbitkan dalam Final Call, akan dengan mudah ditemukan nuansa kecurigaan dan yang mempertegas adanya perbedaan ras. Contohnya: berita mengenai beberapa anggota parlemen yang ingin menjatuhkan pemerintahan Presiden Obama karena dia berkulit hitam, atau berita mengenai pemuda kulit putih yang melakukan kekerasan terhadap pemuda kulit hitam. Hal ini membuat penulis bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di tengah masyarakat AS saat ini, terutama warga Afrika-Amerika. AS telah memilih presiden dari ras kulit hitam untuk dua kali masa jabatan, akan tetapi masih terdapat banyak pergerakan dengan sentimen agama dan ras, seperti yang ditunjukkan oleh NOI. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa sekalipun pergerakan hak sipil di Amerika Serikat sudah berlalu hampir 50 tahun, masih banyak warga Afrika-Amerika yang hidup dengan kondisi ekonomi yang jauh dari cukup dan masih mengalami diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari. Hasil survei yang dilakukan oleh Pew Research Center, misalnya, menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga keluarga kulit hitam hanya sebesar 61,8% dari pendapatan rumah tangga kulit putih pada tahun 2008. Pada tahun 2009, persentase warga kulit putih yang memiliki tempat tinggal mencapai 75%, sementara pemilik rumah kulit hitam hanya mencapai 48%. Angka ini bahkan lebih kecil dibandingkan kepemilikan rumah kaum Hispanik yang mencapai 50%. Menariknya, meski angka-angka hasil survei ini telah dipublikasikan, terdapat perbedaan persepsi mengenai hubungan antarras di AS yang dirasakan oleh kaum kulit putih dan kaum kulit hitam. Hasil survei Pew Research Center tahun 2009 menunjukkan bahwa hampir setengah warga kulit hitam, yaitu sebesar 48%, percaya bahwa diskriminasi terhadap kelompok mereka masih terjadi. Sementara itu, hanya 13% warga kulit putih yang merasa bahwa diskriminasi masih berlangsung. Sebanyak 81% warga kulit hitam berkata bahwa AS masih perlu melakukan perubahan untuk menyetarakan
, diakses pada 21 Mei 2013. 9 J. Garcia, ‘Nation of Islam Joins Fight to Stop Violence in Chicago,’ ABC News (online), 23 July 2012, , diakses pada 8 November 2012.
3
hak kulit hitam dan kulit putih. Untuk isu terakhir ini, 36% warga kulit putih setuju, sedangkan 54% sisanya percaya bahwa pemerintah AS telah melakukan perubahan yang diperlukan untuk menyetarakan hak warga berkulit putih dan berkulit hitam.10 Data hasil kedua survei ini di atas kelak tidak bisa dilepaskan dalam proses meneliti relevansi pergerakan NOI dengan kehidupan orang kulit hitam di AS. Penelitian ini sendiri, selain bisa memberikan kontribusi pengetahuan mengenai NOI, juga dapat membantu melihat kondisi sosial-politik dan ekonomi AS dewasa ini dan kaitannya dengan hubungan antarras di negara tersebut. Untuk tujuan-tujuan itu, penulis mengajukan pertanyaan pokok berikut: Apa relevansi gerakan Nation of Islam dengan kehidupan warga Afrika-Amerika masa kini? Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis akan menggunakan dua konsep, yaitu imperialisme struktural dan color-blindness. Secara umum, imperialisme dapat dimaknai sebagai hubungan dominasi yang dilakukan oleh center terhadap periphery. Dominasi ini bisa terjadi dalam bidang-bidang ekonomi, politik, militer, komunikasi dan budaya. Selama ini istilah imperialisme lebih banyak dimengerti sebagai hubungan dominasi yang terjadi antarnegara. Akan tetapi, menurut Johan Galtung, situasi ini juga dapat terjadi di dalam sebuah negara. Galtung berargumen bahwa imperialisme membawa sistem yang dapat menimbulkan konflik kepentingan. Salah satu kepentingan yang paling utama ditunjukkan melalui kondisi hidup, yang dapat direpresentasikan melalui jumlah pendapatan serta standar hidup lain yang berkaitan dengan materi. Menurut teori ini, konflik atau disharmoni kepentingan akan muncul apabila kesenjangan kondisi hidup di antara center dan periphery meningkat. Sebaliknya, tidak akan ada konflik, atau dengan kata lain tercipta harmoni kepentingan, apabila kesenjangan kondisi hidup di antara center dan periphery menurun atau hilang sama sekali11 Sementara itu, colorblindness merupakan sebuah gagasan yang diperkenalkan untuk mengatasi diskriminasi ras. Konsep ini percaya bahwa mengabaikan atau mengesampingkan perbedaan ras akan membantu tercapainya harmoni sosial. Namun, dalam banyak kasus hasil yang dicapai justru sebaliknya: masyarakat yang bisa menikmati hak istimewa karena ras mereka menjadi menutup mata terhadap pengalaman-pengalaman buruk yang dihadapi oleh ras lainnya. Contoh peristiwa yang terjadi di AS setelah gagasan colorblindness dipromosikan adalah menurunnya sensitifitas terhadap kebudayaan ras lain, seperti tidak diajarkannya 10
‘Pew Center Research Data Note: Attitudes about Race’, Pew Research Center (online), 30 March 2012, , diakses pada 28 Desember 2012. 11 J. Galtung, ‘A Structural Theory of Imperialism’, Journal of Peace Research, vol. 8, no.2, 1971, pp. 81117.
4
sejarah kehidupan dan pergerakan kulit hitam di dalam kelas meskipun mayoritas siswanya berkult hitam. Selain itu, juga muncul pendapat-pendapat yang beranggapan bahwa aksi afirmatif, yang memberikan semacam hak “istimewa” kepada kelompok minoritas agar mereka bisa sejajar dengan dan mendapatkan hak yang sama dengan kelompok mayoritas, tidaklah penting.12 Melalui kedua konsep di atas, penulis akan melihat pembagian sektor periphery dan center dalam masyarakat AS dewasa ini. Penulis menempatkan kelompok warga AfrikaAmerika sebagai periphery di AS, sedangkan warga berkulit putih adalah center-nya. Konsep ini akan membantu menjelaskan dua hal penting, yaitu: (1) dominasi kulit putih terhadap warga Afrika-Amerika dalam berbagai bidang, terutama ekonomi dan sosial, serta (2) konflik kepentingan yang terjadi antara NOI dengan kulit putih, yang diakibatkan oleh terdapatnya kesenjangan dalam kondisi kehidupan kedua kelompok ini. Upaya penyelesaian masalah kesenjangan ini terhambat, antara lain, karena berlakunya konsep colorblindness dalam masyarakat AS. Masyarakat kulit putih yang berada di center lupa bahwa tetangga periphery mereka memiliki sejarah perbudakan dan segregasi yang panjang, yang mempengaruhi keadaan psikologis serta kemampuan mereka bertahan hidup di tengah masyarakat AS yang modern. Di sisi lain, mayoritas Afrika-Amerika menyadari bahwa mereka adalah kelompok minoritas yang hidup di tengah dominasi kulit putih. Kulit putih dianggap sebagai kelompok yang berhak membentuk norma dan struktur sosial, yang melupakan “kebutuhan khusus” kaum minoritas seperti diterapkannya aksi afirmatif dan sensitifitas kultural. Pengabaian ini memunculkan upaya dari kelompok kulit hitam untuk mempertahankan diri dan identitas mereka. Di sinilah kita dapat menilai relevansi pergerakan NOI dalam memperjuangkan kehidupan Afrika-Amerika modern. Skrispi ini akan terdiri dari empat
bab. Setelah Bab Pendahuluan, Bab 2 akan
membahas diksriminasi yang terjadi di masa setelah perang saudara dan selama masa pergerakan sipil, dan bagaimana diskriminasi tersebut mempengaruhi kehidupan kelompok Afrika-Amerika dan karakter gerakan NOI. Selanjutnya, Bab 3 akan memperkenalkan konsep colorblindness beserta konsekuensinya terhadap hubungan antarras di AS, dan khususnya terhadap kehidupan warga Afrika-Amerika. Bab ini juga akan membahas bagaimana gerakan NOI menyikapi konsep colorblindness. Skripsi akan ditutup dengan Bab 4, yang berisikan sejumlah kesimpulan dan inferens yang bisa diambil dari kasus yang diteliti. 12 A.O.E Scruggs, Colorblindness: The New Racism?, Teaching Tolerance No. 36, Fall 2009, , diakses pada 28 Desember 2012.
5