PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DENGAR KISAH MEREKA : PENGALAMAN REMAJA THALASSAEMIA MAYOR MENJALANI PROSES TERAPI
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
Disusun Oleh : Setiawati Tjandra 129114005
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI DENGAR KISAH MEREKA : PENGALAMAN REMAJA THALASSAEMIA MAYOR MENJALANI PROSES TERAPI
Disusun Oleh : Setiawati Tjandra NIM : 129114005
Telah disetujui oleh :
Dosen Pembimbing,
Dr. YB. Cahya Widiyanto, M.Si.
Tanggal :
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI DENGAR KISAH MEREKA : PENGALAMAN REMAJA THALASSAEMIA MAYOR MENJALANI PROSES TERAPI
Dipersiapkan dan ditulis oleh : Setiawati Tjandra NIM : 129114005
Telah dipertanggungjawabkan di depan Panitia Penguji pada tanggal 12 April 2017 dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji Nama Penguji
Tanda Tangan
Penguji 1 : Dr. YB. Cahya Widiyanto, M.Si.
____________
Penguji 2 : C. Siswa Widyatmoko, M. Psi
____________
Penguji 3 :Edward Theodorus, M.App.Psy
____________
Yogyakarta, Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Dekan,
Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si.
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERSEMBAHAN
Teruntuk si bungsu, Bayu Michael Candra.. yang kehadiran dan celotehnya selalu dirindukan, yang hingga saat ini masih berjuang dengan thalassaemia, bersama mereka yang juga masih dan akan terus berjuang
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MOTTO
Menunggu dan bersabar, bukan berarti tak berdaya, bukan pula berarti pasrah, ataupun tak bisa berbuat apa-apa.
Menunggu dan bersabar, membuat kita berhenti sejenak, untuk menyadari besarnya daya yang kita punya, dan kembali berjuang melanjutkan perjalanan.
Menunggu dan bersabar, Di setiap detiknya.. membuat kita belajar berjalan bersama dengan segala proses, untuk berani berdamai dengan perasaan-perasaan, untuk mendengarkan pesan yang sesungguhnya ingin disampaikan, untuk sungguh mengerti kasih tak bersyarat, untuk kembali jatuh dan kembali berdiri, dan untuk akhirnya percaya, kita bisa, selama kita masih ada, mau, dan terus berjuang.
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 7 Maret 2017 Peneliti,
Setiawati Tjandra
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DENGAR KISAH MEREKA : PENGALAMAN REMAJA THALASSAEMIA MAYOR MENJALANI PROSES TERAPI Setiawati Tjandra
ABSTRAK Thalassaemia mayor sebagai penyakit kronis yang diturunkan secara genetis menempatkan proses terapi sebagai satu-satunya cara untuk terus bertahan di sepanjang kehidupan. Hanya saja, proses terapi yang terus dijalani menghadirkan gelombang naik dan turun di dalam perjuangan para remaja thalassaemia mayor. Keputusan untuk terus berjuang atau menyerah menjalani proses terapi menjadi bentuk krisis di masa ini. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang pengalaman psikologis remaja thalassaemia mayor dalam menjalani proses terapi serta gambaran dinamika psikologis mereka. Penelitian ini dilakukan terhadap tiga orang remaja thalassaemia mayor menggunakan wawancara semi-terstruktur dengan metode analisis IPA (Interpretative Phenomenological Analysis). IPA membantu peneliti untuk melakukan interpretasi atas makna personal informan terkait proses terapi serta merangkai pengalaman ini secara komprehensif. Penelitian ini menemukan bahwa sikap membohongi diri sendiri dan rasa malas akibat kejenuhan serta pengalaman negatif selama proses terapi menjadi alasan utama remaja thalassaemia mayor enggan berobat. Sebaliknya, ikatan emosional dengan ibu, kehadiran pasangan, dukungan keluarga dan sahabat menjadi hal yang mendorong remaja thalassaemia mayor untuk semangat berobat. Penemuan yang perlu digarisbawahi, demi mendorong remaja thalassaemia mayor untuk terus berobat, tujuan personal merupakan hal yang penting. Dukungan dari orangtua pada remaja thalassaemia mayor dengan menghadirkan kebebasan atas pilihan hidup dan kesempatan menghidupi minat mereka menjadi penting sebagai kekuatan mereka untuk terus berjuang mempertahankan hidup. Kata kunci : thalassaemia mayor, proses terapi, penyangkalan, makna hidup
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HEAR THEIR STORIES : THE EXPERIENCE OF THALASSAEMIA MAJOR ADOLESCENT THROUGH MEDICAL TREATMENT PROCESS Setiawati Tjandra
ABSTRACT In terms of medical treatment, adolescent with thalassaemia major would faced ebb and flow in the ongoing therapy. Repeated exposure to medical regiment enact crisis which also convey the weighty decision about the path to their future life to their hands. In this study, the author explore the psychological experiences during palliative care on adolescent with thalassemia major. The semi-structured interviews are conducted with three adolescent with thalassemia major. Interpretative phenomenological analysis was used as primary analysis. The result shows repeated measure to medical regiment give rise to non-compliance with medication that have roots in three major things: the act of self-denial, boredom as the impact of fed up with therapy, and the negative experience during medical treatment. To the contrary, emotional relationship with mother, the presence of romantic relationship, along with family and peers suppport became the encouragement. Furthermore, the result also shows that the presence of personal purpose in life occupied an important place. As a way to corroborate this finding, the presence of opportunity from parents to choose freely the way of their life and to live in freedom to grab their interest became basic reason for their struggle to keep going with life. Keywords : thalassaemia major, medical treatment, self-denial, life meaning
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Setiawati Tjandra NIM
: 129114005
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : “DENGAR KISAH MEREKA : PENGALAMAN REMAJA THALASSAEMIA MAYOR MENJALANI PROSES TERAPI” beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lainnya untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai peneliti. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Dibuat di
: Yogyakarta
Pada tanggal : 7 Maret 2017
Yang menyatakan,
Setiawati Tjandra
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR
Pengalaman pribadi sebagai seorang caregiver dan perjumpaan dengan para individu dengan thalassaemia menyadarkan peneliti akan arti sebuah perjuangan. Bermula dari kisah mereka tentang berbagai suka duka yang harus mereka alami di usia yang masih muda hingga mengamati perjuangan mereka yang terus berkembang bersama thalassaemia hingga kini, membuat peneliti terusik untuk menuliskan kisah mereka. Karya ini peneliti peruntukkan bagi para individu dengan thalassaemia sebagai sebuah bentuk empati dan dukungan kepada mereka. Selama proses penelitian karya, peneliti mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas anugrah, kasih dan rahmat-Nya, peneliti diberi kesempatan untuk menyelesaikan skripsi berjudul “Dengar Kisah Mereka: Pengalaman Remaja Thalassaemia Mayor Menjalani Proses Terapi” sebagai syarat untuk memperolah gelar Sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penelitian karya ini juga tidak akan selesai tanpa dukungan, bimbingan dan bantuan dalam bentuk apapun dari banyak pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Bapak Dr. YB. Cahya Widiyanto, M.Si., selaku dosen pembimbing, yang tak berhenti untuk menantang peneliti bergerak lebih jauh dan selalu mempercayai peneliti untuk terus berkembang hingga peneliti kini lebih percaya diri. Terimakasih untuk perhatian, dukungan dan juga kepedulian atas apa yang peneliti perjuangkan dalam tulisan ini, yang seringkali memberi pencerahan sekaligus inspirasi bagi peneliti selama ini. 2. Sylvia Carolina M.Y.M., M.Si., selaku dosen yang telah menemani peneliti selama setengah perjalanan penelitian ini dilakukan. Terimakasih atas cinta dan kehangatan yang selalu dibagi. Peneliti belajar banyak bahwa memperjuangkan sesuatu dari hati itu membutuhkan kesabaran dan keberanian.
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3. Dosen dan karyawan Fakultas Psikologi, terimakasih karena sudah memberikan pengetahuan, pelajaran dan pengalaman berharga selama saya menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma. 4. POPTI Kalimantan Barat, ketiga informan yang sangat peneliti cintai, dan juga teman-teman thalassaemia lainnya yang sudah mempercayai peneliti dan bersedia untuk berbagi pengalaman hidup dengan sangat terbuka. Terimakasih atas pengalaman dan juga dukungan kepada peneliti selama ini. Begitu banyak pelajaran berharga yang peneliti peroleh dan tak bisa peneliti ganti dengan apapun. 5. Kedua orangtua peneliti, rumah untuk selalu pulang, yang tak pernah bertanya kapan lulus dan mendukung peneliti secara penuh untuk mengejar apapun yang peneliti yakini dan selalu mengingatkan peneliti untuk tak pernah ragu memperjuangkan mimpi. 6. Dua adik laki-laki tampan di rumah, yang selalu memberi keceriaan dan semangat melalui gurauan untuk cepat lulus, yang membuat peneliti termotivasi untuk segera lulus. 7. Rifki A.P., seorang pendengar juga kawan menulis kisah. Terimakasih untuk kesabaran dan keteduhan dalam menemani di kondisi apapun. Terimakasih sudah mengajarkan untuk menulis dengan hati dan menjadi tangguh. Terimakasih untuk waktu yang diluangkan atas berbagai hal yang bahkan tak bisa peneliti tuliskan satu persatu. Terakhir, terimakasih karena selalu percaya dan tak pernah menyerah dalam mengingatkan “tiada perjuangan yang tak berharga” 8. Suster Dewi dan Mbak Thia, yang sudah peneliti anggap sebagai ibu kedua, yang selalu tau cara untuk memberikan kehangatan, dan menunjukkan pada peneliti sebuah kasih tanpa syarat, dan tempat untuk selalu pulang di saat peneliti jatuh dan menyerah. 9. Mbak Retha, Mas Stanis, Jejes, Ivie, Bayu, Edo, Rikjan, Ara, Lenny, dan Kenang. Terimakasih atas kehadiran dan keceriaan yang membuat peneliti tak pernah ragu menoleh ke belakang serta tak merasa berjalan sendirian. Terimakasih selalu mengingatkan peneliti untuk menikmati proses.
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10. Seluruh teman-teman P2TKP, Grup Babi kesayangan, Menuju S.Psi, Mari Jajan, Begadang sampai sarjana, dan DPS Pak Cahyo serta teman-teman lain yang menemani perjalanan kuliah, terimakasih untuk semangat dan tawa yang tak pernah luput untuk diberikan. 11. Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, terimakasih atas bantuan dan dukungannya selama ini. Keterbatasan, kekurangan dan kesalahan yang peneliti lakukan dalam menyusun tulisan ini tentu tak bisa dipungkiri. Kritik, saran ataupun usaha untuk memperdalam pemahaman akan topik yang diteliti merupakan hal yang berarti bagi peneliti. Semoga tulisan yang belum sempurna ini menyumbangkan pengetahuan yang dapat bermanfaat dan membantu orang lain. Terimakasih dan salam hangat.
Yogyakarta, 7 Maret 2017
Setiawati Tjandra
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................... ................ i HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING .................... ............... ii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................. .............. iii HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................... .............. iv HALAMAN MOTTO .......................................................................... ............... v HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ......................... .............. vi ABSTRAK ........................................................................................... ............. vii ABSTRACT ......................................................................................... ............ viii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........... .............. ix KATA PENGANTAR ......................................................................... ............... x DAFTAR ISI ........................................................................................ ............ xiii DAFTAR TABEL ................................................................................ ............ xvii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ ........... xviii DAFTAR GAMBAR ........................................................................... ............. xix BAB I PENDAHULUAN .................................................................... ................ 1 A. Latar Belakang ......................................................................... ................ 1 B. Pertanyaan Penelitian ............................................................... .............. 11 C. Tujuan Penelitian...................................................................... .............. 12 D. Manfaat Penelitian.................................................................... .............. 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................... .............. 14 A. Thalassaemia sebagai Penyakit Kronis .................................... .............. 15 B. Tentang Thalassaemia.............................................................. .............. 17 1. Definisi thalassaemia .......................................................... .............. 17 2. Perawatan medis thalassaemia mayor ................................ .............. 19 3. Masalah yang dialami penderita thalassaemia mayor ....... .............. 22 C. Penyesuaian Individu terhadap Penyakit Kronis ...................... .............. 28 1. Reaksi awal ketika memiliki penyakit kronis ...................... .............. 28 2. Pentingnya penyesuaian bagi penderita penyakit kronis ...... .............. 30 3. Denial dan keinginan menjadi orang normal ....................... .............. 32 D. Keengganan dalam Proses Terapi ........................................... .............. 34 xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1. Non-Compliant Behaviour .................................................. ................34 2. Ketidakteraturan terapi pada penderita thalassaemia mayor ................37 E. Pencarian Makna Hidup menurut Frankl...................................................39 F. Penelitian tentang Thalassaemia ............................................. .............. 41 BAB III METODOLOGI PENELITIAN............................................. .............. 46 A. Strategi Penelitian .................................................................... .............. 46 B. Keunggulan IPA dalam penyakit kronis .................................. .............. 47 C. Refleksivitas Peneliti.................................................................................50 D. Fokus Penelitian ....................................................................... .............. 52 E. Informan Penelitian .................................................................. .............. 52 F. Saturasi Data ............................................................................ .............. 52 G. Metode Pengambilan Data ....................................................... .............. 53 H. Prosedur Pengambilan Data ..................................................... .............. 55 I. Metode Analisis Data ............................................................... .............. 56 J. Kredibilitas Penelitian .............................................................. .............. 58 K. Pedoman Wawancara ............................................................... .............. 59 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................. .............. 63 A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ...................................... .............. 63 1. Persiapan dan perizinan........................................................ .............. 63 2. Pelaksanaan penelitian ......................................................... .............. 65 B. Informan Penelitian .................................................................. .............. 66 1. Demografi informan ............................................................. .............. 66 2. Latar Belakang Informan ..................................................... .............. 67 C. Hasil Penelitian ........................................................................ .............. 71 1. Informan Dd (18) ................................................................. .............. 71 a. Kesadaran akan thalassaemia dan usaha menjaga kondisi fisik ..... 71 b. Pengalaman proses terapi : berjuang hingga sekedar rutinitas ....... 73 c. Rasa sakit dan ketidakleluasaan beraktivitas ................... .............. 74 d. Kesadaran pribadi : usaha mengatasi keengganan terapi .............. 75 e. Sikap membohongi diri sebagai alasan enggan terapi ..... .............. 77 f. Ketidakberdayaan atas situasi .......................................... .............. 78
xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
g. Keluarga: alasan untuk bertahan...................................... .............. 79 h. Batasan dan ketidaknyamanan diperlakukan seolah anak kecil ..... 82 i. Pengabaian atas terapi dan rasa bersalah pada ibu .......... .............. 84 j. Pasangan: sumber keberartian hidup dan kedekatan emosional..... 85 k. Menjadi seorang musisi dan harapan untuk dipercaya .... .............. 86 l. Citra diri positif dan penerimaan teman sebaya .............. .............. 87 m. Thalassaemia ialah sahabat hidup dan gambaran kematian .......... 88 2. Informan Nn (20) ................................................................. .............. 89 a. Kesadaran dan pemahaman atas kondisi sakit ................. .............. 89 b. Keterbatasan meraih mimpi dan batasan orangtua .......... .............. 90 c. Perasaan tidak dimengerti dan arti kebebasan ................. .............. 92 d. Pengalaman terapi: kejenuhan, rasa sakit, dan ketidakleluasaan .... 93 e. Keinginan untuk sembuh: alasan untuk bertahan ............ .............. 94 f. Rasa malas dan aktivitas kerja sebagai penghambat ........ .............. 96 g. Keinginan menjadi orang pada umumnya ...................... .............. 97 h. Ibu: pendorong proses terapi ......................................... .............. 98 i. Pentingnya keluarga, pasangan dan sahabat ..................... .............. 99 j. Independensi dan pengalaman ditolak ............................. ............ 101 k. Segala impian dan harapan .............................................. ............ 103 l. Thalassaemia hadiah dari Tuhan dan gambaran kematian .......... 104 3. Informan Fa (19) ................................................................. ............ 105 a. Pengetahuan dan pemahaman atas thalassaemia .......... ............ 105 b. Keterbatasan pencapaian angan-angan .......................... ............ 107 c. Berobat: upaya bertahan hidup ........................................ ............ 108 d. Proses terapi: rasa sakit, kejenuhan hingga efek samping terapi .. 109 e. Rasa malas berobat dan ketidakberdayaan atas situasi .. ............ 111 f. Rasa kesal dan keinginan menjadi normal ....................... ............ 112 g. Harapan atas proses terapi ............................................... ............ 113 h. Kebutuhan akan pasangan dan relasi yang dekat .......... ............ 114 i. Batasan dan sikap terhadap batasan ................................. ............ 115 j. Ketidaknyamanan dipandang sebelah mata
xv
.................. ............ 117
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
k. Keluarga dan keinginan untuk terus bersama ................. ............ 117 l. Membanggakan ibu: alasan terus bertahan .................... ............ 119 m. Kekecewaan terhadap ayah hingga merasa tidak berarti .......... 120 n. Thalassaemia serta keoptimisan untuk tetap hidup ....... ............ 121 o. Dilema: kuliah vs terapi dan perasaan tidak dipahami ahli medis 123 D. Analisis Data ............................................................................ ............ 126 1. Alasan Utama Keengganan Menjalani Terapi ..................... ............ 126 a. Sikap membohongi diri.................................................... ............ 127 b. Rasa malas ...................................................................... ............ 130 2. Hal yang Mendorong Proses Terapi ..................................... ........... 133 a. Ikatan emosional dengan ibu ........................................... ............ 133 b. Kehadiran akan pasangan (relasi romantis) ..................... ............ 136 c. Kehadiran keluarga dan sahabat ...................................... ............ 141 d. Alasan untuk tetap bertahan ............................................ ............ 146 E. Pembahasan .............................................................................. ............ 158 1. Alasan utama keengganan menjalani terapi ......................... ............ 158 a. Sikap membohongi diri.................................................... ............ 158 b. Rasa malas ...................................................................... ............ 164 2. Hal yang Mendorong proses terapi ...................................... ........... 165 a. Ikatan emosional dengan ibu ........................................... ............ 165 b. Kehadiran akan pasangan (relasi romantis) ..................... ............ 168 c. Kehadiran keluarga dan sahabat ...................................... ............ 170 d. Alasan untuk bertahan ..................................................... ............ 172 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................... ............ 177 A. Kesimpulan............................................................................... ............ 177 B. Saran ......................................................................................... ............ 178 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... ............ 184 LAMPIRAN ......................................................................................... ............ 192
xvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR TABEL Tabel 1. Pelaksanaan penelitian ..........................................................................65 Tabel 2. Demografi informan ..............................................................................66
xvii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lembar Persetujuan Informan 1 ............................................................193 Lampiran 2. Lembar Persetujuan Informan 2 ............................................................196 Lampiran 3. Lembar Persetujuan Informan 3 ............................................................197 Lampiran 4. Lembar Pernyataan Kesesuaian Hasil Informan 1 ................................198 Lampiran 5. Lembar Pernyataan Kesesuaian Hasil Informan 1 ................................199 Lampiran 6. Lembar Pernyataan Kesesuaian Hasil Informan 1 ................................200 Lampiran 7. Analisis Data Informan 1 .......................................................................201 Lampiran 8. Cluster of Meaning Informan 1 .............................................................238 Lampiran 9. Ringkasan Analisis Tiga Informan ........................................................244
xviii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR GAMBAR Skema Dinamika Psikologis Remaja Thalassaemia Mayor ...................................... 176
xix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang “Aku udah lama malas berobat, hampir tiga tahunan. Bosan aja jalanin hidup yang gitu-gitu terus, suntik lagi, suntik lagi. Sakit. Merasa gitu-gitu aja hasilnya. Gak ada perubahan. Ini penyakit seumur hidup. Rasanya tuh percuma, ngapain juga minum obat. Kalau berobat terus, kan gak sembuh-sembuh juga” – Dd, 18 tahun “(sambil menangis) aku pengen jadi orang normal, yang hidup tanpa tranfusi, suntikan, tanpa obat, dsb. Seolah aku gak sakit. Itu aja. Itu yang buat aku ga mau berobat. Banyak hal yang gak bisa aku capai akhirnya. Apapun yang ingin aku lakukan, nari, dan banyak lagi. Gak kayak orang-orang lain kan. Belum lagi orangtua yang khawatir. Aku gak mau mereka khawatirin terus.” – Nn, 20 tahun Pernahkah Anda bayangkan bila Anda harus berulang kali merasakan sakit karena suntikan dan selalu minum berbagai obat setiap hari, seumur hidup Anda? Bila Anda tahu bahwa diri anda tak akan pernah sembuh, meskipun berjuang sekalipun, apa yang anda rasakan? Lantas, apa yang anda bayangkan untuk dilakukan bila memang harus menjalani hidup begitu adanya? Mencoba mendalami kehidupan individu thalassaemia mayor seperti yang tergambar di atas, penelitian ini berusaha untuk melukiskan berbagai pengalaman yang mereka rasakan di tengah perjuangan mereka. Posisi sebagai seorang caregiver yang telah menemani mereka dan seringkali mendengar keluh kesah mereka, khususnya selama proses terapi, mendorong peneliti untuk mencoba memahami berbagai hal yang mereka rasakan melalui penelitian ini. Kisah Dd (18) dan Nn (20) hanyalah dua dari sekian banyak pengalaman penderita thalassaemia mayor di Indonesia. Tentulah, apa yang mereka
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2
ungkapkan hanya mewakili sebagian kecil dari berbagai pengalaman dan perasaan yang dialami oleh penderita thalassaemia mayor lainnya. Individu dengan thalassaemia mayor adalah orang-orang yang harus selalu berada di bawah bayang-bayang perawatan medis, sepanjang hidup mereka. Perawatan paliatif, merawat untuk meningkatkan kualitas hidup penderita dan tidak menyembuhkan, adalah hal yang akan selalu ditemui oleh para penderita thalassaemia seumur hidupnya (WHO, 2015). Seolah tak cukup, ketidakpastian akan kesembuhan juga disertai dengan beratnya proses terapi yang juga tak terelakkan. Proses pengobatan bagi remaja penderita thalassaemia mayor dilihat sebagai suatu proses yang menyakitkan dan menjadi suatu beban. Hal ini disebabkan oleh proses pengobatan yang selalu didahului oleh pemeriksaan darah secara bertahap, serta menimbulkan rasa bosan dan putus asa karena harus menjalankannya
setiap
bulan
dan
bukan
merupakan
pengobatan
yang
menyembuhkan (Surilena, 2014). Penderita lebih merasa disiksa daripada dikasihi melalui pengobatan tersebut, sehingga mereka sering berusaha untuk menolak dan mengurangi hari-hari dengan pompa infus. Tusukan-tusukan jarum pada kulit menimbulkan kerusakan terhadap citra diri. Penderita akan merasa badannya penuh dengan lubang-lubang hasil tusukan jarum. Perasaan terikat serta gerakan yang tidak bebas timbul pada waktu menggunakan pompa infus juga membuat penderita merasa berbeda dan terbatas (Gandi, 2007). Perawatan di rumah sakit, tindakan pengambilan darah dan penggunaan obat kelasi besi dapat menimbulkan perasaan cemas pada penderita (Shaligram, Girimaji, & Chaturvedi, 2007). Pada penderita yang melakukan tranfusi dan pengobatan secara rutin, akan seringkali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3
menunjukkan reaksi psikososial dan pengalaman buruk, diantaranya ditandai dengan rasa malas, hilangnya nafsu makan, mengalami penurunan berat badan, sulit berkonsentrasi, susah tidur, mudah capek, gangguan mood, merasa tidak memiliki harapan dan munculnya pikiran-pikiran akan kematian atau bunuh diri. Reaksi psikososial ini mengakibatkan para penderita mengalami perasaan akan kecemasan dan ketakutan akan kematian, perubahan citra diri, dan tidak bisa meneruskan rencana hidupnya (Vullo, Modell, & Georganda, 1995; Mulyani & Fahrudin, 2014). Gambaran kondisi yang dialami para penderita thalassaemia di atas mendorong peneliti untuk mengurai pengalaman penderita thalassaemia lebih jauh. Thalassaemia adalah kelainan darah yang diturunkan, bersifat kronis, dan pada umumnya muncul pada masa kanak-kanak (Mulyani & Fahrudin, 2011; Thalassaemia International Federation, 2015). Di Indonesia jumlah penderita penyakit thalassaemia tergolong tinggi dan termasuk dalam negara yang beresiko tinggi terkena thalassaemia (Soelaman, 2010 dalam Mulyani & Fahrudin, 2011). Sejak 2006 sampai 2008, rata-rata pasien baru thalassaemia meningkat sekitar 8% dan diperkirakan banyak kasus yang tidak terdeteksi, sehingga penyakit ini telah menjadi penyakit yang membutuhkan penanganan yang serius (Yayasan Thalassaemia Indonesia, 2009 dalam Indanah, Yetti, & Sabri, 2013). Data Menkes pada tahun 2012 menyatakan bahwa dengan angka kelahiran 23 per mil dari 240 juta penduduk Indonesia, diperkirakan terdapat sekitar 200.000 bayi pembawa sifat thalassaemia dan 3.000 penderita thalassaemia lahir tiap tahunnya (Surilena, 2014). Menurut Ketua Yayasan Thalassaemia Indonesia, Ruswandi, jumlah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 4
penderita thalassaemia mayor di Tanah Air terus mengalami peningkatan. Hingga tahun 2016, jumlah penderita saat ini sudah mencapai 7.238 orang. Meskipun demikian, angka tersebut hanya mencerminkan jumlah pasien yang terdata di rumah sakit-rumah sakit yang ada di Indonesia dan terus naik rata-rata sepuluh persen per tahun. Angka pasti keseluruhan penderita tentunya lebih besar (Widiyatno, 2016). Thalassaemia mayor, salah satu jenis dari penyakit thalassaemia, merupakan suatu kelainan darah serius yang diderita sejak lahir. Oleh karena sifatnya yang kronis, maka kelainan ini akan terus terbawa sepanjang kehidupan individu, artinya penyakit ini merupakan penyakit yang tidak dapat sembuh. Penderita thalassaemia mayor tidak dapat membentuk haemoglobin yang cukup dalam darah mereka sehingga memerlukan tranfusi darah seumur hidup secara teratur Penderita menjalani tranfusi darah sepanjang hidup karena satu-satunya pengobatan thalassaemia mayor adalah melalui pemberian tranfusi darah (Gandi, 2007). Tranfusi darah memang merupakan pilar utama untuk mempertahankan hidup bagi individu dengan thalassaemia mayor. Hanya saja, proses pengobatan ini membuat individu dengan thalassaemia mayor menghadapi sebuah dilema baru. Pemberian tranfusi darah dalam jangka waktu yang lama justru menimbulkan efek samping yaitu penumpukan zat besi dalam jaringan tubuh yang menimbulkan berbagai dampak terhadap keadaan fisik mereka (Vullo, et al. 1995). Penumpukan zat besi dapat terjadi pada organ-organ tubuh seperti jantung, hati, ginjal, limpa, sumsum tulang, dan kulit. Apabila pengobatan yang dilakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 5
hanya berupa tranfusi, perubahan fisik akan sulit dihindari dan dapat menyebabkan terjadinya gangguan fungsi beberapa organ tubuh. Ketika banyak zat besi disimpan dalam jantung, jantung jadi membesar dan terkadang berdetak tidak teratur. Akhirnya, jika zat besi terus disimpan di sana, jantung menjadi tidak mampu memompa darah di sekitarnya dengan cepat dan menyebabkan kegagalan fungsi jantung. Kondisi inilah yang menjadi penyebab utama kematian individu dengan thalassaemia mayor (Gandi, 2007). Dengan kondisi yang telah dipaparkan sebelumnya usaha mencapai usia remaja merupakan suatu perjuangan yang cukup sulit bagi para penderita thalassaemia mayor. Apabila penderita thalassaemia mayor tidak dirawat dan tidak melakukan tranfusi darah sejak usia dini, maka hidup mereka biasanya hanya bertahan kurang dari lima tahun dan meninggal karena gagal jantung akibat anemia berat (Gandi, 2016). Begitu pula tanpa tranfusi yang memadai, penderita thalassaemia mayor akan meninggal pada dekade kedua (Mulyani & Fahrudin, 2014). Tidak hanya itu, tercatat sebesar 71% penderita meninggal pada umur belasan tahun. Hal ini dikarenakan oleh penyakit hati atau terutama kegagalan fungsi jantung akibat pengobatan yang hanya berupa tranfusi saja (Gandi, 2007). Hal yang belum mendapatkan sorotan di sini ialah jenis perawatan medis lain
yang
dapat
berfungsi
untuk
meningkatkan
kualitas
hidup
serta
memperpanjang umur individu dengan thalassaemia mayor, yakni terapi kelasi. Terapi kelasi menjadi proses pengobatan lanjutan yang seharusnya dilakukan oleh penderita thalassaemia mayor selain tranfusi darah. Terapi kelasi merupakan cara untuk mengontrol total zat besi dalam tubuh sebagai akibat dari tranfusi darah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6
Dua bentuk terapi kelasi yang umumnya digunakan adalah Desferrioxamine (Desferal) berupa penyuntikan dan Deferiprone (Ferriprox) serta Deferasirox (Exjade) yang merupakan terapi kelasi alternatif berupa kapsul yang bisa diminum (Gandi, 2007). Bila tranfusi dilakukan teratur dengan terapi kelasi, maka usia individu dengan thalassaemia mayor akan lebih dari dua puluh tahun dan bahkan mampu bertahan hingga usia tujuh puluh tahun bila tidak terjadi penimbunan zat besi di organ-organ tubuh atau komplikasi infeksi (Gandi, 2016). Di sini jelaslah bahwa terapi kelasi memang memegang peranan dalam meningkatkan kualitas hidup individu dengan thalassaemia mayor. Namun demikian, sebagaimana proses lain dalam pengobatan penyakit kronis, proses terapi ini tetap memiliki persoalan mendasar yang belum dapat dipecahkan. Hasil dari pengobatan thalassaemia yang tidak bisa diketahui dan dirasakan dengan cepat menjadi persoalan mendasar yang dihadapi oleh para penyandang thalassaemia. Sedangkan secara nyata, tindakan pengobatan yang dilakukan para individu dengan thalassaemia hanya bersifat paliatif. Perawatan jenis ini menjadi sistem pendukung untuk membantu pasien hidup seaktif mungkin hingga saatnya nanti dan bertujuan untuk mengurangi keparahan gejala penyakit, dan meningkatkan kualitas hidup pasien (WHO, 2015). Hal yang dapat digarisbawahi terkait hal ini ialah bahwa perawatan paliatif tidak mengarah pada usaha untuk menyembuhkan kondisi sakit, melainkan sebuah tindakan supportif untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Keterbatasan yang terlihat dari segala jenis perawatan mengiringi munculnya persoalan lain, yaitu keengganan para penderita thalassaemia untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 7
melakukan proses terapi. Sering timbul penolakan dari para penderita untuk melakukan proses terapi yang mengarah pada penurunan intensitas dalam menjalani proses pengobatan, terlebih pada usia remaja (Gandi, 2007; Vullo, et.al, 1995). Pengabaian akan pengobatan yang hadir dalam keengganan berobat dengan demikian menjadi suatu bentuk tindakan yang dapat mempercepat kematian sendiri. Pengabaian akan pengobatan ini kemudian menjadi penyebab utama yang mendasari fakta sebagian besar dari individu dengan thalassaemia mayor tidak mencapai usia produktif atau usia tua karena meninggal pada usia 19-30 tahun (Yuliani, 2004). Tak hanya itu, fakta menunjukkan individu dengan thalassaemia mayor yang ditranfusi dengan baik namun tidak sering menggunakan desferal biasanya akan meninggal pada usia kurang dari dua puluh tahun (Vullo, et. al., 1995). Dalam hal ini, terapi kelasi menjadi hal yang sangat vital untuk dilakukan demi mencegah terjadi kerusakan organ-organ utama tubuh yang akan mengakibatkan kematian dari penderita (Gandi, 2007). Bila pengabaian akan proses terapi dapat mengakibatkan kematian pada individu dengan thalassaemia, maka keengganan yang dirasakan oleh para remaja thalassaemia mayor saat melakukan proses terapi menjadi suatu hal yang penting untuk dilihat lebih jauh. Peneliti melihat penelitian yang berfokus pada pengalaman remaja thalassaemia mayor dalam menjalani proses terapi akan membantu untuk memahami pengalaman yang dirasakan para penyandang thalassaemia secara lebih utuh dan menyeluruh. Hal ini penting mengingat pengetahuan akan kondisi psikologis dan sudut pandang remaja dengan thalassaemia mayor memegang peranan besar guna memahami proses pengobatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 8
serta keengganan yang kemudian mereka rasakan. Penekanan penelitian pada remaja thalassaemia mayor juga memiliki signifikansi dan urgensi yang kuat. Seperti apa yang sudah disampaikan sebelumnya, tercatat sebesar 71% penderita thalassaemia meninggal pada umur belasan tahun (Gandi, 2007). Bahkan, individu dengan thalassaemia mayor yang ditranfusi dengan baik namun tidak sering menggunakan desferal biasanya akan meninggal pada usia kurang dari dua puluh tahun (Vullo, et. al., 1995). Kondisi tersebut mengilustrasikan masa remaja ialah titik krusial bagi para individu dengan thalassaaemia mayor, sebuah proses yang akan dilalui untuk terus bertahan melanjutkan masa depan ataukah menuju hal yang tidak diharapkan untuk terjadi, seperti kematian. Penekanan atas kondisi ini kemudian perlu diperhatikan karena pada periode ini remaja thalassaemia mayor memegang peran penting dalam menentukan keputusan untuk tetap menjalani proses terapi atau sebaliknya melakukan pengabaian atasnya. Mempunyai suatu penyakit kronis bukanlah suatu hal yang dapat dengan mudah diterima. Tak seorangpun suka merasa dirinya sakit, apalagi menerima dirinya harus menjalani pengobatan seumur hidup. Hal tersebut mengisyaratkan dinamika psikologis pada individu dengan thalassaemia memainkan peranan penting dalam proses pengobatan yang dilakukan penderita. Akan tetapi, seperti apa yang dikemukakan Jain, Bagul, dan Porwal (2013) sebagai latar belakang penelitian
mereka
mengenai
problem
psikososial
dari
remaja
dengan
thalassaemia, “telah banyak hal yang diteliti mengenai thalassaemia mayor tetapi sedikit perhatian yang diberikan pada aspek-aspek psikologis dari penyakit ini.” Sejalan dengan pandangan mereka, peneliti juga menemukan adanya ruang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 9
kosong yang sama berkaitan dengan tinjauan berbagai penelitian mengenai proses pengobatan individu thalassaemia. Berbagai penelitian yang peneliti temui terkait kondisi psikologis lebih mengedepankan faktor-faktor di luar diri individu atau keterkaitan antara individu dengan penyakit dan lingkungan tanpa adanya eksplorasi yang lebih jauh pada pengalaman psikologis individu sebagai pembahasan utama. Aspek psikososial tampaknya menjadi primadona bagi para peneliti yang mencoba menggali perihal thalassaemia. Hal-hal ini meliputi aspek psikososial individu yang berkaitan dengan relasi interpersonalnya (Mussalam, Cappellini, & Taher, 2008), adanya beban dan bentuk reaksi psikososial yang dirasakan (Mulyani & Fahrudin, 2011), maupun munculnya beban psikososial dan kebutuhan akan adanya dukungan sosial (Khurana, Katyal, & Marwaha, 2006; Gharaibeh, Amarneha, & Zamzam, 2009; Wahab, et al., 2011; Indanah, et al., 2013). Penelitian lain lebih menaruh fokus pada keluarga, baik tentang keluarga itu sendiri maupun peranan keluarga bagi individu dengan thalassaemia. Peranan keluarga bagi individu dengan thalassaemia ini sendiri meliputi peran dan fungsi keluarga itu sendiri, fungsi edukasi, tipe pengasuhan, maupun pemahaman orangtua (Hullmann, Wolfe-Christensen, Meyer, McNall-Knapp, & Mullins, 2010; Widayanti, Ediati, Tamam, Faradz, Sistermans, & Plass, 2011; Ishfaq, Bhatti, & Naeem, 2014; Surilena, 2014). Sedangkan beberapa penelitian yang lain justru melihat pengalaman personal ataupun opini keluarga, khususnya ibu dalam pengalamannya merawat anak thalassaemia (Prasomsuk, Jetsrisuparp, Ratanasiri,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 10
T., Ratanasiri, A., 2006; Ammad, Mubeen, Shah, Mansoor, 2011; Saldanha, 2013; Arbabisarjou, Karimzaei & Jamalzaei, 2014; Anum & Dasti, 2015). Begitu pula penelitian yang berfokus pada individu dengan thalassaemia, penelitian terkait thalassaemia lebih mengarahkan pembahasan mengenai kerentanan psikologis maupun kualitas hidup penderita. Dalam paparan mengenai diri beberapa penelitian ini justru mengarahkan pembahasan mengenai diri yang terorientasikan ke luar diri seperti pembahasan mengenai pandangan akan masa depan ataupun pemilihan karir (Bush, Mandel, & Giardina, 1998; Fung, Low, Ha, & Lee, 2008). Selain itu, penelitian yang mengarahkan orientasi pembahasan ke dalam diri justru berkenaan dengan pertumbuhan dan fungsi kognitif (Subroto & Advani, 2003; Safitri, Ernawaty, & Karim, 2015; Raz, Koren, Dan, & Levin, 2016). Sedangkan paparan yang menyentuh dinamika psikologis secara umum berpusat pada kualitas hidup para penderita thalassaemia (Wahyuni, 2010 & Mariani, 2011). Sebagai pengecualian adalah penelitian Purnamaningsih (2014) yang menyuguhkan depresi yang dialami para penderita thalassaemia mayor dan faktor yang mempengaruhinya, Pramita (2008) yang memaparkan harapan pada remaja
penyandang
thalassaemia
mayor,
dan
Lestari
(2013)
yang
mendeskripsikan mengenai pengalaman psikologis individu dengan thalassaemia dalam menghadapi sakitnya serta interaksinya dengan anggota keluarga yang merawatnya. Ruang kosong terkait pembahasan sisi psikologis pada proses terapi dalam berbagai penelitian tentang thalassaemia inilah yang mendorong peneliti untuk mengarahkan fokus penelitian pada pengalaman psikologis selama menjalani
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 11
proses terapi. Keengganan dalam menjalani proses pengobatan serta paparan mengenai alasan-alasan psikologis yang menyertai kondisi tersebut adalah wilayah yang minim dijamah oleh para peneliti. Fred Kleinsinger (2010) juga menawarkan pandangan bahwa adanya keengganan, apa yang disebutnya sebagai noncompliant behavior, dalam proses pengobatan individu dengan penyakit kronis memainkan peranan penting dalam kegagalan penanganan. Oleh karena itu, pemahaman akan pengalaman psikologis remaja thalassaemia mayor selama menjalani proses terapi beserta alasan utama yang mendasari alasan keengganan yang mereka lakukan perlu untuk dilakukan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi sudut pandang baru yang dapat membantu keluarga, profesional kesehatan, praktisi psikolog dan masyarakat umum untuk lebih memahami kondisi psikologis remaja thalassaemia mayor sekaligus sebagai pendorong bagi para individu dengan thalassaemia mayor untuk terus menjalani proses pengobatan melalui pehamanan atas kondisi diri yang semakin baik.
B. Pertanyaan Penelitian Dalam penelitian ini, pertanyaan yang ingin diangkat oleh peneliti adalah “Bagaimana pengalaman dan dinamika psikologis para remaja thalassaemia mayor dalam menjalani proses terapi?”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 12
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah memberikan pemahaman tentang pengalaman psikologis remaja thalassaemia mayor dalam menjalani proses terapi serta gambaran dinamika psikologis mereka.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan bidang keilmuan psikologi klinis-kesehatan khususnya mengenai infomasi akan kondisi psikologis remaja thalassaemia mayor selama menjalani proses pengobatan. Dengan demikian, paparan akan alasan yang menjadi dasar keengganan dalam menjalani proses pengobatan juga memberikan sumbangan terhadap psikolog kesehatan dalam menghadapi klien dengan kondisi yang serupa. Diharapkan pula, penelitian ini dapat memberikan referensi bagi peneliti lain dengan topik yang berkaitan.
2. Manfaat Praktis Penelitian ini berusaha untuk menyuarakan apa yang dirasakan sesungguhnya oleh remaja dengan thalassaemia mayor selama menjalani proses pengobatan. Hal ini termasuk alasan-alasan yang mendasari sikap keengganan dalam menjalani pengobatan sebagai salah satu upaya untuk lebih memahami dan mengerti kondisi mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 13
Adanya
informasi
mengenai
gambaran
kondisi
psikologis
ini
diharapkan pula dapat memberikan pemahaman yang baik bagi keluarga juga para praktisi kesehatan. Pemahaman ini diharapkan dapat menjadi upaya dalam memberikan penanganan yang tepat dan menyeluruh terhadap remaja thalassaemia
mayor.
Keluarga
dan
praktisi
kesehatan
dapat
mempertimbangkan kondisi psikologis remaja thalassaemia mayor dan tidak hanya berfokus pada terpenuhinya berbagai proses pengobatan semata. Dengan mengikutsertakan pertimbangan tersebut, keluarga dan praktisi kesehatan didorong untuk memikirkan alternatif pendekatan yang dapat membuat remaja thalassaemia mayor merasa nyaman dalam menjalani proses pengobatan. Selain itu, penelitian ini juga dapat menyajikan pengalamanpengalaman yang dapat digunakan sebagai refleksi bagi remaja thalassaemia mayor tentang apa yang dapat mereka lakukan dikemudian hari terkait kondisi yang sedang dihadapi. Hal ini berkenaan dengan upaya memberi pemahaman kepada remaja thalassaemia mayor yang enggan menjalani pengobatan menjadi rutin menjalani pengobatan sebagai bentuk dari penerimaan atas kondisi diri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini, peneliti berupaya memberikan gambaran umum tentang thalassaemia sebagai penyakit kronis, dinamika awal yang dialami individu dalam proses menghadapi penyakit kronis serta berbagai aspek yang mempengaruhi individu berpenyakit kronis menjalani suatu proses pengobatan. Pembahasan diawali dengan gambaran singkat mengenai posisi thalassaemia sebagai sebuah penyakit kronis. Pembahasan tersebut diikuti dengan informasi lebih lanjut mengenai thalassaemia seperti definisi thalassaemia, proses pengobatan yang harus dijalani oleh individu dengan thalassaemia, serta masalah fisik dan psikologis yang dialami oleh penderita. Kemudian, peneliti memaparkan pula bagaimana individu dengan thalassaemia melakukan penyesuaian terhadap penyakitnya. Hal ini mencakup reaksi awal individu ketika menghadapi sakit, pentingnya penyesuaian terhadap kondisi sakit, serta gambaran atas denial yang dihadapi oleh mereka juga keinginan untuk menjalani kehidupan sebagaimana orang pada umumnya. Selain itu, dalam pembahasan ini, peneliti juga memaparkan mengenai munculnya keengganan sebagai bentuk tantangan dalam menjalani proses terapi. Pembahasan ini diakhiri dengan penjelasan mengenai alasan mendasar interpretative phenomenology analysis dipergunakan sebagai sarana dalam mendekati pengalaman individu dengan penyakit kronis. Diharapkan, seluruh pemaparan dalam bab dua ini dapat memberikan sebuah konteks yang merangkai pengalaman individu dengan thalassaemia dalam menjalani proses pengobatan.
14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 15
A. Thalassaemia sebagai Penyakit Kronis Studi tentang penyakit kronis bukanlah suatu hal yang baru. Penyakit kronis itu sendiri merupakan istilah payung bagi beberapa penyakit dengan karakteristik yang serupa. Norman & Ruescher (2011) melihat penyakit kronis sebagai “suatu penyakit yang berlangsung selama waktu yang sangat lama, atau bahkan terkadang seumur hidup seseorang.” Penyakit kronis memiliki karakteritik yang berbeda dari penyakit akut. Pada penderita penyakit akut, penderita mengalami suatu keadaan sakit, penderita mendapatkan pengobatan, dan kemudian pada akhirnya akan berujung pada kesembuhan atau kematian. Di lain sisi, model keadaan sakit yang dialami oleh penderita penyakit kronis sedikit berbeda. Seseorang mengalami suatu keadaan sakit dan mengetahui apa yang salah dalam dirinya, mendapatkan sebuah perawatan, namun dirinya akan tetap menderita penyakit tersebut dan berharap kondisinya tidak seburuk seperti halnya sebelum mendapat perawatan. Selain itu, penyakit kronis bersifat progresif dan akan semakin memburuk dari waktu ke waktu jika pengobatan yang seharusnya dijalani oleh penderita tidak dilakukan (Norman & Ruescher, 2011). Mengacu paparan Conrad (1987, dalam Fyrand, 2003) penyakit kronis bisa terbagi menjadi tiga kategori: (1) lived with illnesses (2) mortal illnesses (3) atrisk illnesses. Pada kategori lived with illnesses, seseorang diharuskan beradaptasi dan mempelajari kondisi penyakitnya selama hidup dan biasanya mereka tidak mengalami ancaman terhadap kehidupannya oleh penyakit yang diderita. Penyakit yang tergolong dalam kategori ini yaitu : diabetes, asma, arthritis, epilepsi, dan disabilitas. Kategori kedua, yaitu mortal illnesses, adalah suatu kondisi penyakit
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 16
yang mengancam hidup seseorang. Kondisi ini tidak terpengaruh tahu atau tidaknya seseorang akan penyakit dan gejala yang ia hadapi, ia tetap beresiko menghadapi kematian. Contoh penyakit dalam kategori ini yaitu kanker, HIV/AIDS, dan penyakit kardiovaskuler. Kategori selanjutnya, yaitu at-risk illnesses merupakan kategori yang berbeda dari dua kategori sebelumnya. Kategori ini tidak berfokus pada ancaman yang timbul dari penyakit, akan tetapi menitikberatkan pada risiko yang menyertai penyakit, yakni terjadinya hal-hal yang kemudian menimbulkan risiko kematian akibat pengaruh lingkungan atau perilaku individu yang mempengaruhi penyakit. Penyakit yang tergolong dalam kategori ini yaitu hipertensi, dan penyakit yang berhubungan dengan hereditas seperti hemofilia dan thalassaemia. Melalui paparan Conrad tersebut, secara jelas kita dapat melihat bahwa thalassaemia tergolong ke dalam penyakit kronis, khususnya at-risk illnesses. Adalah sesuatu yang penting untuk menjadi pertimbangan untuk memaparkan thalassaemia dalam konteks sebagai sebuah penyakit kronis. Hal ini mengingat segala macam aspek-aspek yang dihadapi dalam penyakit kronis menjadi ciri khas dalam pengalaman individu dengan penyakit thalassaemia. Untuk itulah, informasi mengenai thalassaemia dan hal-hal terkait penyakit kronis perlu dipaparkan secara menyeluruh.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 17
B. Tentang Thalassaemia 1.
Definisi thalassaemia Thalassaemia adalah kelainan darah yang diturunkan atau diwariskan. Penyakit ini merupakan salah satu kelainan genetik terbanyak di dunia, dan khususnya dialami pada orang-orang yang berasal dari daerah Laut Tengah hingga daerah sekitar khatulistiwa, Timur Tengah atau Asia (Subroto & Fajar, 2003; Chairunisya, 2007). Thalassaemia berasal dari bahasa latin “thalasanemia” yang berarti anemia yang terdapat di dekat laut (Rosu, 2006 dalam Pramita, 2008). Di masa lalu, sebelum penemuan mengenai penyakit ini mendunia, penyakit ini dikenal sebagai Anemia Mediterranean (Vullo, Modell, & Georganda, 1995). Di Indonesia, frekuensi gen thalassaemia diperkirakan sebesar tiga sampai delapan persen. Setidaknya, 200 ribu orang mempunyai thalassaemia trait (bawaan) dan terdapat lebih dari 3000 anak yang menderita penyakit thalassaemia (Gandi, 2007). Berdasarkan
tingkat
keparahannya,
Gandi
(2007)
memaparkan
thalassaemia menjadi tiga jenis: a. Thalassaemia
trait
thalassaemia trait
(Thalassaemia
bawaan).
Orang
dengan
adalah seseorang yang sehat namun ia dapat
meneruskan gen thalassaemia kepada anak-anaknya. Thalassaemia trait disebut juga sebagai Thalassaemia minor. Thalassaemia minor ini sudah ada sejak lahir, dan gen thalassaemia itu akan tetap ada di sepanjang hidupnya namun tidak menunjukkan gejala yang berarti, selain gejala anemia yang sangat ringan sehingga tidak membutuhkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 18
pengobatan ataupun tranfusi darah. Menurut perkiraan, di Indonesia ditemukan tidak kurang dari 200.000 orang thalassaemia trait b. Thalassaemia mayor. Di Indonesia, penderita thalasaaemia mayor lebih sering ditemukan. Penyakit ini merupakan kelainan darah serius yang mungkin terjadi bila kedua orangtua mempunyai gen pembawa sifat thalassaemia. Individu dengan penyakit thalassaemia mayor telah mewarisi gen tersebut sejak mereka dilahirkan (Northen California Comprehensive Thalassaemia Center, 2005). Anak-anak yang memiliki thalassaemia mayor tampak normal saat lahir, tetapi mulai menderita kekurangan darah pada usia antara 3 sampai 18 bulan. Penderita tidak dapat membentuk haemoglobin yang cukup dalam darah mereka. Oleh karena itu, dalam tulang sumsum mereka tidak dapat diproduksi sel-sel darah merah yang cukup. Mereka memerlukan tranfusi darah secara berkala seumur hidupnya. Apabila anak-anak dengan thalassaemia mayor tidak dirawat dan melakukan pengobatan, maka hidup mereka biasanya hanya bertahan antara 1 sampai 8 tahun. Setiap tahun setidaknya 100.000 anak yang lahir di dunia menderita thalassaemia mayor. Di Indonesia tidak kurang dari 3000 anak kecil yang menderita penyakit tersebut. Thalassaemia mayor sering disebut juga sebagai Homozygous Beta Thalassaemia. c. Thalassaemia intermedia. Thalassaemia intermedia secara sederhana berarti thalassaemia yang agak ringan (Vullo, et al., 1995). Thalassaemia jenis ini merupakan kondisi antara thalassaemia mayor
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 19
dan thalassaemia minor. Anak-anak dengan thalassaemia intermedia mulai merasakan masalah dalam hidupnya sedikit lebih lama dibandingkan
mereka
yang
mempunyai
thalassaemia
mayor.
Kebanyakan dari mereka hidup normal sampai berumur 2 tahun lebih, dan sebagian dari mereka yang lebih ringan mungkin tidak mempunyai hasil diagnosa sampai mereka berumur sekitar 7 tahun, atau terkadang lebih tua lagi. Adakalanya, seseorang dengan thalassaemia intermedia yang sangat ringan ditemukan mempunyai thalassaemia hanya di kehidupan dewasanya, sebagai contoh ketika hamil, atau ketika mereka melakukan pemeriksaan medis untuk alasan yang lain. Penderita thalassaemia intermedia mungkin memerlukan tranfusi darah secara berkala namun lebih jarang frekuensinya dibandingkan thalassaemia mayor dan umumnya dapat bertahan hidup sampai dewasa. Namun, ada juga sebagian penderita thalassaemia intermedia yang juga dapat bertahan hidup tanpa harus melakukan tranfusi secara teratur.
2.
Perawatan medis penderita thalassaemia mayor a. Tranfusi darah Tranfusi darah yang dilakukan secara teratur sangat dibutuhkan penderita thalassaemia mayor. Pemberian tranfusi ini bertujuan untuk meningkatkan kadar hemoglobin bagi penderita thalassaemia mayor dan merupakan salah satu cara untuk bertahan hidup. Tranfusi darah dilakukan supaya
penderita
dapat
beraktivitas
secara
normal,
mendukung
pertumbuhan dan perkembangan yang normal serta mencegah terjadinya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 20
kelainan organ tubuh seperti kelainan endokrin dan kegagalan jantung. Umumnya tranfusi dilakukan setiap 2 sampai 5 minggu sekali seumur hidupnya untuk mempertahankan kadar hemoglobin normal (lebih dari 12g/dl sampai 15g/dl) (Gandi, 2007).
b. Terapi kelasi Terapi kelasi ialah salah satu cara untuk mengontrol total zat besi dalam tubuh sebagai dampak tranfusi darah. Menurut Gandi (2007), bila kadar zat besi dalam tubuh berlebihan (mencapai 20 gram), maka akan timbul gejala klinis keracunan zat besi. Akibatnya, terjadi gangguan fungsi beberapa organ tubuh yang dapat menyebabkan kematian pada umur belasan tahun karena penyakit hati atau terutama kegagalan fungsi jantung pada 71% penderita. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, maka penderita thalassaemia memerlukan obat kelasi besi atau pengikat zat besi agar dapat dikeluarkan dari jaringan tubuh. Pemberian obat kelasi besi secara teratur dapat meningkatkan kualitas hidup serta memperpanjang umur penderita thalassaemia. Menurut Gandi (2007), ada dua cara terapi kelasi yang umumnya digunakan penderita thalassaemia mayor : 1. Desferrioxamine (Desferal atau singkatnya DFO). Desferrioxamine merupakan salah satu cara yang telah diakui efektifitasnya dan disetujui pemakaiannya di dunia. Penyuntikan desferal dilakukan di bawah kulit atau di bawah urat nadi untuk mengeluarkan zat besi melalui urine menggunakan pompa infus khusus. Pemakaian alat ini diperlukan karena obat ini hanya efektif bila diberikan secara perlahan-lahan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 21
selama kurang lebih 10 jam per hari (8-12 jam). Efek kelasi besi akan hilang tidak lama setelah infus DFO dihentikan. Idealnya obat ini diberikan lima hari dalam seminggu seumur hidup. Biasanya desferal digunakan selama 8-12 jam setiap kali selama minimal 5 hari per minggu. 2. Deferiprone (Ferriprox) dan Deferasirox (Exjade). Ferriprox dan exjade merupakan obat kelasi alternatif berupa kapsul yang bisa diminum. Ferriprox diminum 3 kali sehari. Obat ini diserap dengan cepat di saluran cerna dan dikeluarkan melalui urine. Exjade baru dipasarkan di Amerika pada November 2005. Obat ini lebih praktis karena hanya diminum sekali sehari, namun harganya lebih mahal dari obat ferriprox. Obat ini sebagian besar akan dikeluarkan melalui tinja dan sisanya melalui urine. Saat ini ferriprox dan exjade banyak digunakan
oleh
penderita
thalassaemia
yang
kurang
patuh
menggunakan obat DFO.
c. Pengangkatan limpa Beberapa pasien melakukan operasi pengangkatan limpa. Limpa pada penderita umumnya membesar karena memompa darah secara berlebihan. Operasi ini dilakukan bila limpa sudah sangat membesar sehingga timbul hiperesplenisme yaitu bila aktivitas limpa berlebihan, maka bukan hanya menghancurkan sel darah merah lebih cepat, tetapi juga sel darah putih dan keping darah yang menurun. Hal ini akan mengakibatkan anak mudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 22
infeksi atau bahaya pendarahan. Pengangkatan limpa baru boleh dilakukan sesudah anak berumur lima tahun, karena sebelum usia lima tahun, resiko terjadinya infeksi yang berat cukup besar. Sesudah pengangkatan limpa, kebutuhan tranfusi darah biasanya berkurang sekitar 50 persen.
d. Cangkok sumsum tulang Cangkok sumsum tulang ini dilakukan dengan mengganti jaringan sumsum tulang penderita dengan sumsum tulang donor. Dr. Indra B. Hutagalung Sp A., mengungkapkan bahwa di negara-negara maju, para ahli melakukan cangkok sumsum tulang bagi penderita Thalassaemia. Biasanya sumsum tulang donor yang cocok diambil dari orangtua, saudara kembar atau saudara kandung penderita. Di Indonesia, tindakan ini masih dalam taraf permulaan. Pencangkokan ini sebaiknya dilakukan sedini mungkin, yakni pada saat anak belum banyak mendapat tranfusi darah, hal ini untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penolakan terhadap jaringan sumsum tulang donor. Biaya cangkok sumsum tulang di Singapora bisa mencapai 1 miliar rupiah (Chairunisya, 2007).
3.
Masalah yang dialami penderita thalassaemia mayor a. Masalah fisik Kondisi penyakit thalassaemia sebagai sebuah penyakit yang diderita sejak umur kurang dari 1 tahun dan berlangsung seumur hidup membuat para penderita thalassaemia mayor mengalami berbagai masalah. Salah satu masalah yang harus dihadapi berkaitan dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 23
keadaan fisik mereka. Pada umumnya, penderita thalassaemia mayor terlihat pucat dan kelelahan serta tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang berat. Kondisi ini menyebabkan penderita thalassaemia mayor tidak diperbolehkan untuk melakukan aktivitas fisik yang berlebihan (Vullo, et al., 1995). Penderita juga mengalami gangguan tumbuh kembang dengan perawakan tubuh yang pendek, sedangkan anak yang mendapatkan tranfusi darah secara teratur pertumbuhannya normal dengan daya tahan tubuh yang lebih baik sehingga tidak mudah sakit (Gandi, 2007). Tranfusi darah yang diperlukan seumur hidup menyebabkan kelebihan zat besi pada para penderitanya. Selain itu, para penderita yang sudah sering mendapatkan transfusi kelebihan zat besi ini akan ditumpuk di jaringan-jaringan tubuh. Penumpukan zat besi terjadi pada organ-organ tubuh seperti jantung, hati, ginjal, limpa, sumsum tulang, dan kulit (Vullo, et al., 1995; Pramita, 2008).
Ketika banyak zat besi disimpan dalam
jantung, jantung jadi membesar dan terkadang berdetak tidak teratur. Akhirnya, jika zat besi terus disimpan disana, jantung menjadi tidak mampu memompa darah disekitarnya dengan cepat dan menyebabkan kegagalan fungsi jantung. Oleh karena itu, pasien yang ditranfusi dengan baik namun tidak sering menggunakan desferal biasanya meninggal pada umur dua puluhan (Vullo, et al., 1995). Selain itu, penumpukan zat besi di kulit juga dapat mengakibatkan kulit penderita menjadi gelap dan mungkin muncul noda-noda yang tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 24
lengkap. Hal tersebut merupakan efek dari kelebihan zat besi pada sel pigment di kulit. Masalah ini akan berkurang atau hilang semuanya setelah penderita mulai menggunakan perawatan desferal secara teratur (Vullo, et al., 1995). Gangguan lain muncul pula pada organ hati dan limpa. Perut penderita buncit akibat pembesaran hati dan limpa. Hati kadang membesar dengan ukuran sedang hingga berat, kulit berwarna kuning. Masalah hati disebabkan oleh virus yang ditularkan melalui tranfusi darah, dan oleh kelebihan zat besi. Hepatitis C adalah infeksi paling utama yang dapat menyebabkan masalah hati (Vullo, et al., 1995). Limpa berfungsi menghancurkan sel darah merah yang sudah rusak. Pada penderita thalassaemia mayor, sel darah merah yang rusak sangat berlebihan sehingga limpa perlu memproduksi sel darah merah yang lebih banyak. Kondisi ini membuat kerja limpa menjadi sangat berat. Akibatnya limpa semakin lama semakin membengkak (Gandi, 2007). Selain efek pada limpa, masalah lain yang timbul pada penderita thalassaemia mayor adalah pada sumsum tulang. Sumsum tulang pipih di muka sebagai pabrik sel darah merah akan berusaha memproduksi sel darah merah sebanyak-banyaknya sebagai kompensasi dari kurangnya sel darah merah dalam tubuh. Akibatnya sumsum tulang ini akan membesar dan memberikan bentuk muka mongoloid yang merupakan wajah khas thalassaemia mayor. Tulang dahi, belakang kepala, dan tulang pipi yang menonjol, sehingga batang hidung penderita tampak masuk kedalam dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 25
jarak antara kedua mata menjadi jauh serta pertumbuhan tulang rahang atas berlebihan sehingga posisi gigi maju ke depan (Gandi, 2007). Banyak penderita thalassaemia tidak berkembang normal pada masa pubertas. Hal ini dikarenakan kelebihan zat besi yang telah merusak kelenjar endokrin yang mengontrol kematangan seksual, atau kelenjar lainnya yaitu kelenjar sex itu sendiri (Vullo, et al., 1995). Sekitar 50-75% penderita thalassaemia mayor mengalami pubertas terlambat akibat penimbunan besi dalam kelenjar endokrin. Pada anak perempuan, payudara belum bertumbuh walaupun sudah mencapai usia 13 tahun, waktu menstruasi juga terlambat bahkan sebagian penderita perempuan tidak bisa menstruasi karena ovuriumnya terganggu. Pada anak laki-laki, testis tidak tampak membesar walaupun sudah berusia 14 tahun. Untuk mencegah timbulnya pubertas tersebut, maka penderita harus memperbaiki gizinya, meningkatkan keadaan kesehatannya dengan pemberian tranfusi darah serta terapi kelasi yang teratur sejak awal agar tercapai kematangan seksual yang normal pada waktunya (Gandi, 2007).
b. Masalah psikologis Selain berbagai dampak fisik dari adanya penyakit thalassaemia, persoalan psikologis juga muncul pada penderita thalassaemia ini. Tubuh yang terlihat kerdil dan pucat karena kekurangan darah, bentuk wajah mongoloid akibat kelainan pada tulang wajah dan juga kulit yang menghitam akibat penumpukan zat besi dapat menyebabkan rendahnya self-esteem penderita Thalassaemia. Perbedaan fisik yang dihadapi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 26
membuat mereka merasa berbeda dengan teman-teman yang lain (Vullo, et al., 1995). Permasalahan yang berhubungan dengan sekolah turut menjadi isu yang penting bagi penderita thalassaemia. Sebesar 70% penderita thalassaemia mengalami kecemasan mengenai sekolahnya, terutama pada kegiatan akademik dan olah raga (Gharaibeh, et al., 2009). Terapi rutin yang harus dilakukan serta kondisi fisik yang mudah lelah membuat kegiatan sekolah dan berbagai aktivitas lain seringkali terhambat. (Khurana, et al., 2006). Peralihan pada masa remaja menuju dewasa memunculkan persepsi baru pada penderita thalassaemia khususnya mengenai orientasi terhadap masa depan. Penelitian menemukan adanya persepsi dari individu dengan thalassaemia bahwa mereka akan sulit mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan. Kesulitan yang dihadapi muncul karena terhambatnya kondisi fisik serta terbatasnya kemampuan akademik. Persepsi inilah yang memunculkan keinginan untuk menikah pada penderita menjadi kecil karena masalah fisik dan kondisi keuangan mereka di masa yang akan datang mereka pandang sebagai suatu kondisi yang memburuk (Khurana et al., 2006; Fung, et al., 2008) Thalassaemia mayor merupakan penyakit seumur hidup, penerimaan keluarga dan penderita terhadap diagnosis penyakit serta cara pengobatan sangat
mempengaruhi
kelangsungan
hidup
penderita.
Dukungan
psikologis dalam hal ini tentunya menjadi satu kebutuhan yang diperlukan oleh penderita thalassaemia mayor. Penyakit kronis akan menimbulkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 27
masalah emosi yang semakin meningkat pada setiap tahap perkembangan kehidupan penderita. Penderita akan merasa bahwa mereka adalah orang yang sangat berbeda, terbatas, atau terisolasi dari orang-orang di sekitarnya. Penderita akan cepat mengalami depresi, diikuti perasaan marah terhadap kenyataan yang terjadi dalam hidupnya (Pramita, 2008). Di sepanjang usia kehidupannya, para penderita thalassaemia mayor harus mendapatkan perawatan secara terus menerus. Kondisi ini menghadirkan kebutuhan atas bantuan dari keluarga untuk perawatan klinis secara rutin seperti tranfusi darah dan terapi kelasi. Penelitian terkait hal ini mengilustrasikan perlakuan yang diberikan oleh keluarga pada para penderita. Dalam penelitiannya, penderita thalassaemia mayor cenderung diperlakukan overprotektif, dimanjakan dan diberikan perhatian yang berlebihan oleh kedua orangtua mereka (Prasomsuk et al., 2007). Perlakuan yang diberikan oleh keluarga ini yang kemudian membuat para individu dengan thalassaemia mayor mengalami proses pengembangan diri yang lebih lambat. Berkenaan dengan hubungan dengan orang terdekat, muncul berbagai penekanan dari penderita thalassaemia maupun keluarga bahwa masa remaja ialah periode yang sulit. Orientasi pemikiran yang bergeser dan membuat remaja mulai berpikir dengan cara orang dewasa memegang peranan mengenai hal ini. Sikap tidak patuh secara umum, termasuk dalam proses terapi, kemudian dimungkinkan muncul karena tepat di masa ini pula ada peralihan penentuan keputusan atas segala bentuk tanggung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 28
jawab ke tangan mereka. Munculnya perasaan menghadapi suatu kesulitan juga
nampak
dalam
hubungan
pertemanan
individu
penderita
thalassaemia. Di masa remaja, individu umumnya akan memiliki kecenderungan untuk menghabiskan waktunya tidak di rumah dan memiliki penekanan untuk beraktivitas bersama dengan teman sebayanya. Hal ini turut menjadi pendukung munculnya perasaan ingin menjadi seperti teman sebaya mereka (Pramita, 2008). Selain itu, penemuan lain menunjukkan bahwa penderita thalassaemia mayor kerap merasa tertekan maupun mudah marah. Tak hanya itu menunjukkan bahwa posisi tertekan juga tampak dari kecenderungan para penderita thalassaema mayor juga sering memikirkan kematian serta kemungkinan bunuh diri pada tahuntahun terakhir. Kesejahteraan psikologis penderita akan terganggu karena berada di antara kehidupan dan kematian (Ghanizadeh, 2007 dalam Pramita, 2008).
C. Penyesuaian Individu Terhadap Penyakit Kronis
1. Reaksi awal ketika memiliki penyakit kronis Reaksi pertama yang dialami oleh kebanyakan orang ketika dokter mendiagnosis adanya masalah kesehatan yang serius adalah reaksi keterkejutan (shock). Shock menjadi merupakan suatu kondisi dimana seseorang menjadi terpaku karena adanya suatu peristiwa membingungkan yang terjadi serta bertindak secara otomatis tanpa adanya suatu keterikatan atas situasi (Shontz, 1975 dalam Sarafino, 2011). Kondisi shock bisa berlangsung hanya beberapa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 29
saat atau bisa juga berlanjut selama berminggu-minggu. Hal ini tergantung pada tingkat tertentu dalam setiap krisis yang dialami oleh seseorang. Kondisi shock akan sangat terlihat ketika krisis datang. Biasanya, setelah beberapa waktu menggunakan strategi koping yang berfokus pada kondisi emosional, seperti penyangkalan, realitas mulai mengganggu: gejala tetap berlangsung atau semakin memburuk, adanya diagnosis tambahan yang menguatkan diagnosa sebelumnya, dan akhirnya menjadi suatu kepastian bahwa penyesuaian akan kondisi tersebut perlu dilakukan (Sarafino, 2011) Seseorang dengan penyakit kronis memiliki kecenderungan untuk menghadapi realitas secepat mungkin hingga mereka mencapai suatu penyesuaian terhadap problem dan implikasi yang dihadapi. Hanya saja, tidak semua orang bereaksi seperti demikian: beberapa mungkin berlaku tenang, sedang yang lain mungkin menjadi tidak berdaya atas adanya kecemasan atau menjadi histeris (Silver & Wortman, 1980 dalam Sarafino, 2011). Seseorang yang menggunakan denial dan strategi penghindaran lainnya sesungguhnya bermaksud untuk mengendalikan respon emosional mereka terhadap stresor, terutama ketika mereka percaya bahwa mereka tidak mampu melakukan apa-apa untuk mengubah situasi yang dihadapi (Carver & ConnorSmith, 2010; Lazarus & Folkman, 1984 dalam Sarafino, 2011). Penelitian Froese et al. (1974, dalam Sarafino, 2011) melalui denial dan mereka yang menggunakan denial sebagai suatu strategi untuk menghadapi krisis cenderung memiliki kecemasan yang lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak menggunakan strategi tersebut. Hanya saja, penghindaran yang berlebihan ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 30
dapat dengan segera menjadi maladaptif terhadap kondisi fisik dan kesejahteraan psikologis penderita (Suls & Fletcher, 1985; Roesch & Weiner, 2001 dalam Sarafino, 2011).
2. Pentingnya penyesuaian terhadap penyakit bagi penderita penyakit kronis Pengetahuan atas adanya penyakit kronis yang serius secara cepat mengubah cara mereka melihat diri dan kehidupannya, bahkan beberapa rencana yang telah mereka buat untuk waktu yang dekat ataupun jangka panjang mungkin menjadi sekedar harapan setelah adanya diagnosis. Hal ini dikarenakan mereka mungkin bisa lebih tidak berdaya, merasa buruk, kesakitan, ataupun merasa terancam atas kondisi yang dihadapi. Semakin besar suatu ancaman dipersepsi oleh penderita dalam berbagai kondisi-kondisi tersebut, semakin susah pula mereka akan dapat mengatasi kondisi yang mereka hadapi (Cohen & Lazarus, 1979; Moos, 1982 dalam Sarafino, 2011). Banyak orang dengan penyakit kronis akan memiliki kesadaran diri tentang masalah kesehatan mereka-dan bahkan melakukan stigma terhadap diri mereka-dan ingin menyembunyikannya dari orang lain (Sarafino, 2011). Berbagai
aspek
dari
prosedur
pengobatan
seringkali
membuat
penyesuaian menjadi sulit dicapai. Sebagai contoh, beberapa perawatan akan terasa menyakitkan atapun melibatkan obat-obatan yang menghasilkan berbagai efek samping, baik yang mengarah pada masalah kesehatan tambahan atau mengganggu fungsi sehari-hari penderita, seperti munculnya kelelahan. Selain itu, prosedur pengobatan lainnya mungkin memiliki jadwal dan membutuhkan komitmen atas waktu yang memerlukan penderita dan keluarga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 31
mereka untuk membuat suatu perubahan besar dalam gaya hidup mereka dan tentunya memberikan kesulitan bagi individu tersebut (Sarafino, 2011). Banyak aspek fisik dan sosial dari lingkungan kita yang dapat memengaruhi cara kita menyesuaikan diri dengan masalah kesehatan kronis (Moos, 1982 dalam Sarafino, 2011). Aspek fisik lingkungan rumah sakit, misalnya, menjadi hal yang sangat membosankan dan membatasi penderita. Kondisi ini dapat menekan semangat juang serta suasana hati individu. Aspek fisik lingkungan rumah yang penuh dengan dukungan dan perhatian, sebaliknya akan membantu penderita dalam melakukan penyesuaian atas kondisi diri. Menghadapi suatu penyakit serius serta masa depan yang belum pasti membuat beberapa orang khawatir secara berlebihan sekaligus membayangkan kemungkinan terburuk terkait kondisi mereka. Lingkungan sosial memiliki peran penting dalam membantu individu dengan penyakit kronis mengatasi hal ini. Lingkungan sosial penderita berfungsi selayaknya sebuah sistem, dimana perilaku setiap individu akan mempengaruhi individu yang lain (Cutrona & Gardner, 2004, Kerns & Weiss, 1994 dalam Sarafino, 2011). Kehadiran dukungan sosial, misalnya, biasanya membantu penderita dan keluarga serta teman-teman untuk mengatasi penyakit tersebut. Secara umum, sumber utama dukungan sosial bagi orang yang berpenyakit kronis biasanya berasal dari keluarga dekat mereka (Miller & Cafasso, 1992; Berg & Upchurch, 2007 dalam Sarafino, 2011). Namun, adanya kehadiran teman-teman dan tetangga juga turut membantu. Selain itu, penderita juga dapat bergabung dalam suatu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 32
support group dengan suatu problem kesehatan tertentu. Kelompok-kelompok ini dapat memberikan informasi dan dukungan emosional. Oleh karena itu, bila seseorang mampu mencapai suatu penyesuaian terhadap kondisi sakitnya, sebagai hasil dari suatu krisis yang dihadapi, maka ia akan mampu (1) menghadapi ketidakmampuan dan rasa sakit atas kondisi sakitnya, (2)
mampu menghadapi kesulitan terkait bakat atau keahlian—
mampu mengevaluasi rencana pendidikan dan karir, serta mencari pekerjaan baru (3) menerima perubahan atas kondisi tubuh, memiliki harga diri, dan meningkatkan kompetensi serta meraih prestasi (4) tidak mengalami kesulitan atas adanya kehilangan suatu aktivitas yang menyenangkan dan pencarian aktivitas yang baru serta perubahan dalam relasi sosial dengan keluarga, teman, ataupun pasangan (5) tidak lagi mengalami perasaan penolakan (denial), kecemasan, dan depresi (6) mampu mematuhi segala prosedur pengobatan yang perlu dijalani. 3.
Denial dan keinginan menjadi orang pada umumnya Berkenaan dengan respon individu terhadap adanya penyakit kronis yang dialami, Elisabeth Kubler-Ross (2009) memberikan gambaran yang cukup utuh melalui wawancaranya dengan 200 orang dengan penyakit kronis. Ia memaparkan bahwa individu yang mendapati dirinya berpenyakit kronis akan menjalani lima fase, yaitu denial, anger, bargaining, depression, acceptance. Salah satu yang menarik dari lima fase Kubler-Ross ini, ialah denial yang merupakan reaksi pertama yang muncul dalam menghadapi penyakit kronis. Denial di sini dapat begitu bernilai sebagai reaksi pertama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 33
karena memberikan individu waktu untuk mengusahakan strategi koping lain dan memberikan motivasi pada individu bahwa ia bisa memperoleh pandangan lain tentang pengalaman yang ia alami. Selain denial yang dipakai sebagai strategi koping, menjadi normal adalah isu lain yang tak asing lagi bagi individu dengan penyakit kronis. Beberapa
penelitian
menemukan
gagasan
“menjadi
normal”
atau
“melanjutkan hidup” adalah hal yang paling sering ditemukan dalam usaha hidup bersama penyakit kronis (Gallo et al. 1992 dalam Taylor, 2008; Admi, 1996; Christian & D’Auria, 1997; Atkin & Ahmad, 2001; Kim & Kang, 2003). Bagi para individu dengan penyakit kronis, mereka seolah hidup dengan “kehidupan ganda”. Sourkes dalam penelitiannya menjelaskan tentang kondisi yang dirasakan oleh individu dengan penyakit kronis, yaitu keinginan mereka untuk menjadi normal dalam kehidupan sehari-hari, dan pada saat yang sama, mereka harus hidup bersama dengan penyakit yang membuat mereka tampak “abnormal” dari penyakitnya (Sourkes, et al., 2005; Sourkes, 2007). Berjuang untuk menjadi individu normal menjadi isu yang muncul pada masa remaja, khususnya remaja pertengahan (Taylor, et al., 2008). Semakin banyak terapi yang harus dilakukan, maka semakin besar tekanan yang diberikan oleh penyakit dan proses terapi pada kehidupan remaja (Gallo et al. 1992 dalam Taylor, et al., 2008). Kebutuhan untuk terlihat sama dengan teman sebaya, untuk dilihat sebagai "normal", yang begitu kuat muncul menyebabkan remaja meninggalkan kebiasaan berkenaan dengan proses
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 34
terapi yang sebelumnya ia terima tanpa banyak kesulitan (Michaud, Suris & Viner, 2007). Demi menunjukkan dirinya yang normal, remaja dengan penyakit kronis mencoba untuk menghadapi berbagai keterbatasan yang diberikan oleh penyakit, yang terkadang mengarah pada sikap menolak proses terapi (Taylor, et al., 2008).
D. Keengganan dalam Proses Terapi 1. Keengganan proses terapi (Non-compliant Behaviour) Individu dengan penyakit kronis akan menemui suatu “proses yang terus berlanjut serta terus bergeser dimana individu akan mengalami suatu interaksi dua arah antara dirinya dan dunianya” (Paterson, 2001 dalam Kralik, Telford, & Koch, 2005). Lebih lanjut, melalui proses ini, individu akan merasakan adanya
pergeseran
perspektif
dan
cara
mereka
memaknai
segala
pengalamannya. Pergeseran ini bersifat dinamis, bisa berujung pada dua titik: pentingnya menjalani dan mempertahankan hidup atau jenuh terhadap proses berulang serta menyerah untuk berjuang. Pengalaman proses terapi yang terus berulang menghadirkan kejenuhan dan perasaan tidak lagi ingin melakukan terapi. Kejenuhan ini menjadi landasaan dari munculnya perasaan enggan untuk menjalani satu-satunya cara bertahan hidup mereka dengan penyakit kronis, yakni proses terapi. Berbagai usaha tentunya telah dilakukan oleh para individu dengan penyakit kronis untuk menyesuaikan diri dengan kondisi mereka yang baru, yakni dengan penyakit kronis. Namun, hal tersebut tidak menghindarkan mereka dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 35
situasi kejenuhan yang dirasakan dan mengarahkannya pada pilihan untuk tidak menjalani proses terapi. Secara konseptual, sikap yang ditunjukkan oleh individu dengan penyakit kronis seringkali dilihat sebagai “non-compliance behaviour” (NCB). Non-compliance behaviour dapat dimengerti sebagai “sejauh mana perilaku seseorang memiliki ketepatan dengan nasihat medis” (Sacket, 1976 dalam Kyngas, Hentinen, & Barlow, 1998). Kelebihan sudut pandang ini, kepatuhan dan ketidakpatuhan dipandang sebagai sebuah usaha aktif sekaligus proses perawatan yang bertanggung jawab, di mana pasien bekerja untuk menjaga kesehatan mereka dengan bekerjasama dengan para ahli kesehatan. Pasien disini bukan hanya mengikuti aturan yang ditata oleh ahli kesehatan, melainkan menunjukkan komitmen aktif untuk peduli secara aktif tentang kesehatannya (Hentinen, 1988 dalam Kyngas, et al., 1998). Hal ini menjadi pembeda utama dengan konsep yang terkadang sering dipertukarkan dengan istilah non-compliance behaviour, yakni non-adherence. NCB menghadirkan pergeseran dari sebuah pendekatan otoriter yang lebih tradisional menjadi sebuah kemitraan kolaboratif antara pasien dan dokter yang didasarkan pada tujuan yang saling menguntungkan sekaligus memberikan pemahaman bersama terkait masalah dan solusi yang potensial. NCB memunculkan sebuah model yang saat ini banyak digunakan yang disertai pengambilan keputusan bersama, di mana dokter dan pasien, setelah diskusi, bersepakat atas masalah mendasar yang dihadapi dan menawarkan jalan menuju penanggulangan (Kleinsinger, 2010). Dengan perspektif ini, suatu keengganan yang muncul dalam proses terapi individu dengan penyakit kronis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 36
tidak serta merta dapat melimpahkan kesalahan pada individu yang dianggap enggan. Penekanan ini dikarenakan adanya fokus pada keputusan bersama. Di sisi lain, NCB menjadi penting untuk dilihat lebih lanjut karena merupakan salah satu penyebab paling umum dari kegagalan pengobatan untuk kondisi kronis, meskipun hal ini tidak secara luas atau secara konsisten diakui (Kleinsinger, 2010). Menggunakan NCB sebagai bingkai melihat keengganan ini menjadi penting karena kepatuhan yang buruk adalah penyebab utama kegagalan pengobatan (Michaud, et al., 2007). Penelitian lain mengindikasikan keengganan paling banyak terjadi di masa remaja. Masa remaja menjadi periode kritis terhadap kepatuhan menjalani terapi karena adanya transisi tanggung jawab atas proses terapi dari orangtua kepada dirinya sendiri (Pai & Ostendorf, 2011; Kyngas, et al., 1998). Masalah ini sangat penting karena selama periode kehidupan mereka, remaja membingkai cara mereka bersikap terhadap pengobatan dan tindakan medis umum (Michaud, et al., 2007). Secara implisit, ini mencerminkan adanya otonomi atas keputusan dalam menjalani terapi yang dipegang oleh remaja berpenyakit kronis. Dengan menaruh perhatian pada hal tersebut, bisa dilihat bahwa konsepsi tentang keputusan bersama dalam NCB dapat merangkai fenomena keengganan yang terjadi pada masa remaja secara komprehensif. Keengganan yang dirasakan oleh remaja dengan penyakit kronis tidak semata dibebankan kepadanya, melainkan juga terletak pada proses interaksi antara ahli kesehatan dengan remaja dalam proses terapi. Memahami ini sebagai fenomena umum, dan menyadari kemungkinan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 37
yang akan terjadi dalam situasi klinis tertentu, adalah langkah pertama untuk mengatasi masalah ini.
2. Ketidakteraturan terapi pada penderita thalassaemia mayor Rutinitas setiap individu thalassaemia mayor dalam menjalani proses terapi bergantung pada kondisi fisik masing-masing penderita (seperti: usia, berat badan, kadar zat besi dan haemoglobin). Namun, setidaknya secara garis besar, mengikuti paparan Gandi (2007), rutinitas proses pengobatan yang harus mereka jalani dapat dijabarkan sebagai berikut. 1. Tranfusi Darah Tranfusi darah dilakukan sesuai dengan kondisi fisik masing-masing penderita Berdasarkan fungsinya, tranfusi darah ini dilakukan untuk meningkatkan kadar haemoglobin dalam tubuh agar penderita dapat bertahan hidup. Secara umum, tranfusi darah ini dilakukan setiap satu bulan sekali. Namun, bila kadar haemoglobin penderita kembali rendah, maka tranfusi darah perlu untuk dilakukan lagi. Untuk itu, adapula pemberian tranfusi yang diberikan lebih dari satu kali setiap bulannya, yakni setiap 2 sampai 5 minggu sekali seumur hidupnya untuk mempertahankan kadar hemoglobin normal (lebih dari 12g/dl sampai 15g/dl).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 38
2. Terapi kelasi : a. Terapi kelasi oral Secara umum, terapi kelasi yang dilakukan secara oral terdiri dari dua jenis yaitu ferriprox atau exjade. Dosis yang diberikan untuk setiap obatnya sangat bergantung pada kondisi fisik masing-masing penderita. Pada umumnya, ferriprox diminum 3 kali sehari. Untuk exjade, jenis ini lebih praktis karena hanya diminum sekali sehari. b. Terapi kelasi desferal Idealnya terapi kelasi jenis injeksi (suntikan desferal) diberikan lima hari dalam seminggu di sepanjang hidup penderita. Biasanya desferal digunakan selama 8-12 jam setiap kali selama minimal 5 hari per minggu.
Paparan di atas menunjukkan kondisi ideal yang setidaknya perlu dipenuhi oleh individu dengan thalassaemia mayor untuk mencegah kondisi fisiknya memburuk. Dengan begitu, kita dapat membedakan individu yang secara umum rajin atau kurang rajin menjalani proses pengobatan berdasarkan jumlah ideal proses terapi yang seharusnya dilakukan oleh penderita dengan proses terapi yang biasanya mereka lakukan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 39
E. Pencarian makna hidup menurut Frankl
Seseorang yang mencari rujukan mengenai pencarian makna hidup tentu tidak akan asing lagi dengan gagasan Viktor Frankl. Pendekatan Frankl menekankan pentingnya kemauan untuk menemukan arti, suatu sistem yang dinamakannya logotherapy. Pendekatan logotherapy secara umum berfokus pada motivasi individu untuk menemukan makna dalam hidupnya. Kata “logos” yang diambil dari bahasa Yunani bisa diterjemahkan sebagai kata “arti” (meaning). Kemudian logotherapy berbicara tentang arti dari eksistensi manusia dan kebutuhan manusia akan arti beserta teknik terapeutik untuk menemukan arti dalam suatu kehidupan (Schultz, 1991). Frankl mengutip Nietzche yang pernah mengemukakan “dia yang memiliki suatu mengapa untuk hidup, bagaimanapun juga dapat menderita dengan sabar”. Frankl percaya bahwa arti dapat ditemukan dalam semua situasi, termasuk penderitaan dan kematian. Ia menulis, hidup ialah suatu penderitaan, dan bertahan ialah mencoba menemukan arti dalam penderitaan tersebut. Apa yang berarti dalam keberadaan manusia, bukan semata-mata nasib yang menantikan kita, tetapi cara bagaimana kita menerima nasib itu (Schultz, 1991). Kata-kata Frankl melukiskan pula pengalaman remaja thalassaemia mayor dalam menghadapi pengalaman sakitnya. Pemaknaan atas pengalaman hidup dan cara mereka melihat hidupnya menjadi sebuah jalan yang mampu menguatkan mereka untuk membuat hidupnya terus bermakna. Manusia dapat kehilangan segala sesuatu yang dihargainya kecuali kebebasan manusia yang sangat fundamental: kebebasan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 40
untuk memilih suatu sikap atau cara bereaksi terhadap takdir kita, kebebasan untuk memilih cara kita sendiri (Schultz, 1991). Menurut Frankl (1972) setiap pengalaman adalah baru dan membutuhkan respon
tersendiri. Seseorang yang sehat selalu memperjuangkan tujuan yang
memberikan makna dari kehidupannya. Ia akan mampu untuk meningkatkan tegangan dan bukan mereduksi tegangan batinnya. Frankl menambahkan bahwa perjuangan dalam meningkatkan tegangan ini, secara terus-menurus akan menghasilkan kehidupan yang penuh semangat dan bahagia. Tanpa adanya pemaknaan atas hidup, maka tidak ada alasan untuk tetap hidup. Frankl percaya bahwa dalam menghadapi situasi yang tidak dapat diubah sekalipun, bahkan sangat traumatis sekalipun, individu mampu bangkit atas dirinya sendiri karena tidak akan ada yang menghambat perkembangan diri individu, ketika individu tersebut memiliki kemauan untuk menemukan makna atau will to meaning (Frankl, 1972). Bagi Frankl, bukan makna hidup itu sendiri yang menjadi tujuan akhir, tetapi yang lebih penting adalah kemauan individu untuk selalu menemukan makna dalam hidupnya (Schultz, 1991). Menurut Frankl (1972), makna kehidupan adalah segi-segi pengalaman yang saling berhubungan, yang memungkinkan individu untuk selalu memiliki arah dan tujuan. Makna kehidupan ini bersifat khas, berbeda satu dengan yang lain. Tugas-tugas dan cara meresponnya pun berbeda satu dengan yang lain. Arti kehidupan tentu saja istimewa dan khas, unik bagi tiap-tiap individu. Arti kehidupan berbeda dari orang yang satu dengan yang lain dan bahkan dari momen
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 41
yang satu dan momen berikutnya. Suatu kehidupan yang penuh arti ditentukan oleh kualitasnya, bukan oleh usia yang panjang.
F. Penelitian tentang Thalassaemia
Penelitian mengenai thalassaemia telah banyak dilakukan. Hanya saja, penelitian yang berfokus pada pengalaman psikologis dari individu dengan thalassaemia mayor masih jarang dilakukan, terutama pengalaman psikologis selama menjalani proses berobat. Berbagai penelitian yang peneliti temui terkait kondisi psikologis justru lebih mengedepankan faktor-faktor di luar diri individu seperti keluarga dan caregiver serta keterkaitan antara individu dengan penyakit dan lingkungan (Prasomsuk, et al., 2006; Widiyati, et al., 2011; Ammad, et al., 2014; Ishfaq, et al., 2014; Anum & Dasti, 2015;). Penelitian-penelitian ini cenderung memaparkan berbagai pengalaman dan tekanan yang dialami oleh orangtua dengan adanya thalassaemia yang dimiliki oleh anak mereka. Pengalaman dan dinamika psikologis anak thalassaemia sebagai individu yang mengalami langsung dan merasakan dampak dari sakit justru tidak mendapatkan sorotan yang cukup. Hal ini penting untuk disadari mengingat dengan melihat dari sudut pandang orangtua, berbagai cara pandang, pengalaman dan perasaan individu dengan thalassaemia sebagai seseorang yang memiliki sakit justru dikesampingkan dan hilang dari sorotan. Menjadi seorang penyandang thalassaemia mayor tentu saja berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan, terutama aspek psikososial. Berbagai terapi yang dilakukan dan kondisi fisik yang berbeda membuat para penyandang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 42
thalassaemia mayor tidak melakukan aktivitas sesuai kehendak mereka, juga mampu
berinteraksi sebagaimana orang
pada umumnya. Aspek psikososial
seringkali menjadi fokus yang dominan ditemukan dalam penelitian-penelitian mengenai thalassaemia. Hal-hal ini meliputi aspek psikososial individu yang berkaitan dengan relasi interpersonalnya (Mussalam, Cappellini, & Taher, 2008), adanya beban dan bentuk reaksi psikososial yang dirasakan (Mulyani & Fahrudin, 2011), dan juga mengenai beban psikososial dan kebutuhan akan dukungan psikososial. Sebagai ilustrasi, penelitian Khurana, Katyal, & Marwaha (2006) membahas mengenai beban psikososial pada individu dengan thalassaemia. Mayoritas penderita thalassaemia tidak puas dengan citra tubuh (body image). Para penderita mengungkapkan bahwa mereka takut akan adanya penolakan dan ejekan dari teman sebaya karena penampilan fisik mereka. Selain itu adapula hambatan yang dialami karena penderita thalassaemia diharapkan tidak melakukan kegiatan yang menguras energi, karena akan berakibat pada kondisi fisik mereka. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Gharaibeh, Amarneha, & Zamzam (2009) menunjukkan bahwa beban yang dirasakan oleh penderita thalassemia mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan mereka seperti edukasi, cuti sekolah, kemampuan dalam hal olahraga, perasaan berbeda dari rekan sebaya dan saudara, interaksi sosial, penyesuaian keluarga, kecemasan, isolasi, dan stigmatisasi. Tidak hanya pasien, beban psikososial juga dirasakan pula pada keluarga penderita. Thalassaemia menjadi peristiwa stress yang dihadapi orangtua dan mereka tidak menggunakan mekanisme koping yang memadai untuk menghadapinya (Saldanha, 2013). Oleh karena itu, dukungan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 43
psikososial sangat penting untuk membantu tekanan emosional yang dirasakan oleh oleh penderita dan keluarga penderita. (Khurana, et al., 2006; Gharaibeh, et al., 2009; Wahab, et.al, 2011; Indanah, et al., 2012). Penelitian-penelitian yang telah dipaparkan cukup berperan dalam menghadirkan informasi mengenai kondisi individu dengan thalassaemia khususnya berkenaan dengan aspek psikososial. Namun demikian, ada kelemahan yang begitu mendasar, khususnya pada penelitian-penelitian yang menyuguhkan informasi dari sudut pandang pasien thalassaemia. Bila dilihat secara seksama bisa tampak bahwa penelitianpenelitian tersebut kurang memberikan penjelasan secara lebih mendetail mengenai kondisi individu (seperti pada Mussalam, Cappellini, & Taher, 2008) dan secara umum hanya menunjukkan bentuk dan jenis respons atas masalah atau penggolongan atas respons tanpa menghadirkan penjelasan yang cukup mengenai mengapa dan bagaimana hal tersebut dapat muncul (dalam Khurana, Katyal, & Marwaha, 2006; Gharaibeh, et al., 2009; Mulyani & Fahrudin, 2011; Wahab, et.al, 2011; Indanah, et al., 2012). Kelemahan ini mendasari kurangnya pemahaman yang dapat diraih mengenai dinamika psikologis invidu thalassaemia secara lebih mendalam berdasar pengalaman riil mereka. Penelitian lain dilakukan oleh Pramita (2008) mengenai harapan pada remaja penyandang thalassaemia mayor. Dari hasil penelitian ditemukan adanya harapan yang tinggi pada para remaja penyandang thalassaemia mayor. Dari empat informan yang berpartisipasi dalam penelitian, keempat informan memiliki karakteristik optimisme, self-esteem, dan afek positif berupa semangat dan antusiasme dalam mencapai tujuan. Penelitian lain juga mengemukakan hal yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 44
sama yakni para penderita thalassemia memiliki pandangan yang positif tentang masa depan mereka. Mereka berekspektasi telah memiliki pekerjaan dan tujuan karir, menjalani hubungan pernikahan, melakukan hubungan seksual dan menjadi orangtua suatu hari nanti. (Bush, et al., 1998). Penelitian Pramita (2008) dan Bush, et.al (1998) setidaknya memiliki dua keunggulan yang patut diapresiasi. Pertama, dengan menggali hal-hal berkaitan dengan harapan serta orientasi masa depan individu thalassaemia, secara tidak langsung, para peneliti menunjukkan cara pandang atas individu thalassaemia secara positif. Para peneliti melihat individu dengan thalassaemia sebagai seseorang yang sedang berjuang atas hidupnya serta masih memiliki harapan dan juga masa depan. Kedua, dengan mengambil sikap seperti di atas hasil dari penelitian mereka juga memungkinkan refleksi publik awam maupun caregiver. Khususnya kesadaran dan pemahaman terhadap berbagai impian yang ingin diraih individu dengan thalassaemia dan bagaimana mereka melihat dirinya di masa depan. Selain persoalan mengenai harapan, penelitian lain yang dilakukan oleh Lestari (2013) menyuguhkan informasi lain mengenai pengalaman psikologis individu dengan thalassaemia dalam menghadapi sakitnya serta interaksinya dengan anggota keluarga yang merawatnya. Dari penelitian yang dilakukan ini reaksi lingkungan sekitar dan keluarga menjadi hal penting yang mendasari pemahaman terhadap kondisi diri. Penekanan yang berbeda yang diberikan ialah adanya spritualitas menjadi titik penting bagi pemaknaan atas kondisi sakit serta turut serta dalam pembentukan perilaku. Penelitian Lestari (2013) merupakan penelitian yang menarik. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha membahas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 45
pengalaman psikologis individu thalassaemia secara begitu mendetail dan komprehensif dibandingkan penelitian lainnya. Hanya saja, usaha eksplorasi yang mendetail tersebut memiliki kelemahan terkait pembahasan yang dilakukan. Dalam penelitian tersebut, hasil yang cukup menyeluruh tidak diiringi fokus utama pembahasan yang cukup jelas. Di sisi lain, meskipun penelitian ini memberikan pemaparan mengenai pengalaman psikologis, ada penekanan utama yang diarahkan kepada interaksi individu thalassaemia dengan lingkungannya. Hal ini memiliki implikasi kurangnya porsi pembahasan mengenai dinamika psikologis individu thalassaemia itu sendiri terkait pengalaman sakitnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Strategi Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman yang dirasakan oleh remaja dengan thalassaemia mayor dalam menjalani proses pengobatan. Untuk mendapatkan gambaran dari masalah penelitian ini, diperlukan penggalian yang mendalam sehingga informasi mengenai pengalaman remaja dengan thalassaemia mayor dalam menjalani proses pengobatan dapat diperoleh secara lengkap dan menyeluruh. Hal tersebut dapat dicapai melalui desain penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif bertujuan menggambarkan suatu permasalahan secara menyeluruh (Cresswell, 2014). Pendekatan kualitatif lebih memungkinkan peneliti untuk mempelajari isu-isu informan secara lebih mendalam dan juga dan diperolehnya informasi yang kaya dan mendetail tentang individu dan kasus yang diteliti (Patton, 2002). Oleh karena itu, dengan menggunakan pendekatan kualitatif,
peneliti
mengharapkan
diperolehnya
informasi
bukan
hanya
pemahaman mendalam mengenai pikiran dan perasaan selama proses pengobatan saja, tetapi juga pandangan akan hal-hal yang mampu mendorong mereka berobat, alasan utama yang mempengaruhi keengganan dalam menjalani proses pengobatan serta makna pengobatan itu sendiri bagi remaja dengan thalassaemia mayor. Pendekatan yang dipilih dalam penelitian ini adalah analisis fenomenologi interpretatif (IPA). Pendekatan ini secara khusus berfokus pada penjelasan rinci dari pengalaman hidup seseorang. Bila mengacu pada Smith et al. (1997) 46
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 47
pendekatan fenomenologi interpretatif bertujuan untuk mengeksplorasi pandangan individu akan dunianya serta memahami perspektif pribadi tentang suatu pengalaman yang dialami, khususnya dalam penelitian ini mengenai pengalaman remaja thalassaemia mayor dalam menjalani proses pengobatan. Keunggulan pendekatan IPA dalam menguraikan pengalaman informantif individu inilah yang menjadi kekuatan peneliti untuk memahami secara lebih dekat pengalaman remaja dengan thalassaemia mayor saat menjalani proses pengobatan sekaligus menangkap gambaran proses mereka dalam menghadapi kondisi tersebut.
B. Keunggulan Interpretative Phenomenology Analysis (IPA) dalam penyakit kronis Interpretative Phenomenology Analysis (IPA) bertujuan untuk menciptakan suatu dialog, mengeksplorasi pandangan individu akan dunianya serta memahami perspektif
pribadi
mengasumsikan
tentang
individu
suatu sebagai
pengalaman seseorang
yang yang
dialami. mampu
Hal
ini
memaknai
pengalamannya, yang berarti mereka secara aktif terlibat dalam memaknai suatu pengalaman, objek dan orang-orang yang ada di dalam hidupnya (Conrad, 1987 dalam Smith, Flowers & Osborn, 1997). Pendekatan IPA memungkinkan pula terjadinya refleksi-diri oleh informan (Smith et al., 1997). Dasar pemikiran dari pendekatan ini memungkinkan informan untuk menceritakan kisah mereka sendiri, dalam kata-kata mereka sendiri, tentang pengalaman dalam menjalani proses pengobatan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 48
Dalam konteks penyakit kronis, IPA berfokus pada cara individu menafsirkan, memahami, dan membicarakan isu-isu berkenaan dengan kesehatan dan penyakit (Smith et al., 1997). Dengan demikian peneliti berusaha untuk memahami pengalaman sebagaimana yang dirasakan oleh informan dari sudut pandangnya. Paparan tersebut menggambarkan poin penting dasar penggunaan IPA dalam menelusuri pengalaman remaja dengan thalassaemia mayor dalam menjalani proses pengobatan. Penekanan atas hal tersebut dapat diberikan karena deskripsi objektif atas penyakit dan proses pengobatan berbeda dengan persepsi subjektif yang dirasakan oleh remaja dengan thalassaemia mayor. IPA dalam hal ini akan membantu menguraikan perbedaan tersebut. Ada alasan-alasan bagi peneliti untuk lebih memilih menggunakan perspektif IPA daripada perspektif lainnya. Hal ini mengacu pada tiga perspektif teoritik yang mendasari IPA, yakni fenomenologi, hermeneutika dan idiografik. Pertama, perlu diperhatikan bahwa fenomenologi pada IPA berbeda dengan perspektif fenomenologi-fenomenologi yang lain, misalnya fenomenologi yang digagas
oleh
Amedeo
Giorgi,
yang
merupakan
pendekatan
psikologi
fenomenologis tertua. Pendekatan Giorgi berusaha sedekat mungkin dengan metode fenomenologi milik Husserl. Perbedaan signifikan antara dua perspektif ini adalah bahwa IPA bersifat interpretatif, sedangkan fenomenologi Giorgi lebih bersikap deskriptif (Smith, 2009). Kedua, prinsip hermeneutika membuat peniliti memiliki peran aktif untuk memaknai dunia personal informan. Informan mengartikan dunianya; kemudian peneliti mencoba untuk mengartikan kegiatan informan yang tengah mengartikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 49
dunianya itu. Peneliti disini memiliki peran ganda, yakni adanya peran peneliti untuk memahami sesuatu seperti apa adanya dengan sudut pandang informan, sekaligus pada saat yang sama menjaga jarak dan bersikap kritis tehadap partisipan sebagai seorang peneliti. Kedua aspek ini mengarahkan peneliti kepada analisis yang lebih kaya dan lebih sesuai dengan totalitas seorang partisipan, dari segala sisi (Smith, 2009) Ketiga, prinsip idiografik membuat peneliti untuk mensituasikan para informan dalam konteks khusus mereka dan mengeksplorasi perspektif personal mereka. IPA berusaha menangkap dan mengungkapkan pengalaman personal dari setiap individu. Dalam hal ini, peneliti IPA mencari informasi idiografik tentang individu-individu, bukan untuk mencari struktur umum fenomena yang diteliti (Smith, 2009). Dari tiga perspektif yang ditunjukkan, dapat dilihat bahwa keunggulan IPA berada pada peran peneliti dalam penelitian. Berdasarkan prinsip fenomenologi IPA, peneliti berusaha untuk memahami partisipan dengan dunianya secara interpretatif. Peneliti memiliki hak untuk memberikan interpretasi atas makna yang disampaikan oleh informan hingga akhirnya melakukan proses struktualisasi atas makna-makna yang muncul dari pengalaman informan. Selain itu, tujuan idiografik dalam IPA memberikan analisis persamaan dan perbedaan antar kasus. Hal ini semakin memberi kekayaan pengalaman dari tiap-tiap informan. Keunggulan pendekatan IPA dalam menguraikan pengalaman subjektif individu juga menjadi kekuatan peneliti untuk memahami secara lebih dekat pengalaman remaja dengan thalassaemia mayor saat menjalani proses pengobatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 50
sekaligus menangkap gambaran proses mereka dalam menghadapi kondisi tersebut. Hal ini berkenaan pula dengan upaya peneliti dalam memahami alasan utama yang mempengaruhi munculnya keengganan yang dirasakan oleh remaja thalassaemia mayor dalam menjalani proses pengobatan. Berikutnya, melalui aktivitas interpretatif yang dilakukan oleh peneliti, peneliti akan mendorong pengalaman tersebut untuk dimengerti dengan melakukan penerjemahan atasnya dengan suatu bentuk penyampaian yang
baru. Peneliti percaya analisis
interpretatif fenomenologis dapat memberi suatu sumbangan yang berarti dalam memperkaya cara psikologi memahami pengalaman individu dalam menghadapi suatu penyakit kronis, khususnya thalassaemia dalam studi ini.
C. Refleksivitas Peneliti Saya ialah seorang caregiver thalassaemia mayor. Saya telah menemani adik kandung saya yang sedang berjuang dengan thalassaemia mayor setidaknya selama 18 tahun. Memiliki seorang adik dengan thalassaemia mayor membuat saya berjumpa dan membangun relasi dengan penderita thalassaemia mayor serta caregiver lainnya dalam POPTI (Perhimpunan Orangtua Penderita Thalassaemia Indonesia) di Kalimantan Barat. Perjumpaan dan interaksi yang intens membuat saya memiliki kedekatan emosional dengan mereka. Adanya kedekatan tersebut membuat saya seringkali mendengar kisah dan keluh mereka yang akhirnya menggerakkan saya untuk memahami mereka lebih jauh. Atas dasar alasan personal tersebut, penelitian ini menjadi bentuk empati dan dukungan saya untuk mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 51
Dalam penelitian ini, saya menyadari ada beberapa hal yang berkaitan dengan latar belakang saya dan turut menjadi bahan pertimbangan selama melakukan penelitian. Saya menyadari latar belakang saya sebagai salah seorang caregiver thalassaemia mayor membuat saya cenderung menempatkan diri pada posisi mereka dan melihat berbagai persoalan dari sudut pandang para penderita. Hal ini mengandung kelemahan, mengingat dengan mengambil sikap tersebut, saya menjadi terfokus mengutamakan cara pandang mereka baik selama proses pengambilan data maupun proses analis data. Dengan demikian, terdapat kemungkinan adanya beberapa hal yang kurang tergali dalam proses pengambilan data karena saya terkadang secara langsung mengafirmasi apa yang mereka ungkapkan. Padahal, bila seorang peneliti lain yang tidak memiliki kedekatan khusus, mungkin saja peneliti akan melihat dengan cara pandang yang berbeda serta berupaya mengeksplorasi detail yang berbeda. Oleh karena itu, melalui cara pandang yang sama, peneliti mencoba dengan penuh kesadaran untuk memanfaatkan afirmasi
secara
tepat.
Dengan demikian, peneliti
dapat
menggunakan kesempatan itu untuk mengeksplorasi hal-hal yang lebih esensial untuk digali tanpa bertanya kembali mengenai hal-hal teknis berupa informasi yang telah peneliti ketahui secara mendalam. Selain itu, adanya kedekatan emosional peneliti dengan ketiga informan membuat peneliti sangat berhati-hati dalam melakukan proses analisis data. Peneliti berusaha untuk mawas diri dalam melakukan interpretasi agar hasil penelitian yang diperoleh bukanlah suatu bentuk penilaian pada mereka (judgement) yang seolah melupakan perjuangan yang telah mereka lakukan dan menyakiti perasaan mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 52
D. Fokus Penelitian Penelitian ini berfokus pada pengalaman yang dialami oleh remaja dengan thalassaemia mayor selama menjalani proses terapi, seperti pikiran dan perasaan informan selama proses terapi, pandangan akan hal-hal yang mampu mendorong informan berobat, alasan utama yang memunculkan keengganan dalam menjalani proses terapi serta makna terapi dan pemaknaan pengalaman hidup itu sendiri dari sudut pandang informan.
E. Informan Penelitian Informan dalam penelitian ini merupakan remaja dengan thalassaemia mayor. Peneliti memilih menggunakan batasan usia remaja telah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia, yaitu individu yang berusia 11-24 tahun.
F. Saturasi Data Saturasi dalam penelitian kualitatif dimaksudkan untuk melihat sejauh mana data yang diperoleh telah mencapai titik jenuh. Dengan kata lain, bila peneliti berusaha mendapatkan data baru, hasil yang akan didapatkan cenderung menunjukkan pengulangan atas data yang telah diperoleh sebelumnya (Grady, 1998 dalam Fusch & Ness, 2015). Jumlah informan dalam penelitian ini sebanyak tiga orang. Hal ini didasarkan pada keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh peneliti. Namun demikian, saturasi tidak selalu mengandalkan jumlah informan sebagai acuan dasar (Morse, Lowery, & Steury, 2014 dalam Fusch & Ness, 2015). Saturasi dalam penelitian kualititatif dapat dilihat dari segi kepadatan (thick) dan kekayaan (rich) data. Kepadatan data mengacu pada banyaknya informasi yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 53
diperoleh dari segi kuantitas (berdasarkan pada jumlah informan dan kuantitas wawancara). Sedangkan kekayaan data mengacu pada kualitas data, yakni data yang berlapis, rumit, detail, dan bernuansa. Berdasarkan kategori tersebut, saturasi dalam penelitian ini menyandarkan diri pada kekayaan data yang ada pada tiaptiap informan (Dibley, 2011 dalam Fusch & Ness, 2015).
G. Metode Pengambilan Data Metode yang digunakan oleh peneliti untuk menggali informasi adalah metode wawancara. Penelitian ini dilakukan dengan menggali pengalaman serta perasaan remaja dengan thalassaemia mayor dalam menjalani terapi. Informasi mengenai hal tersebut hanya dapat tergali melalui pernyataan yang diberikan oleh informan. Berdasarkan hal tersebut, peneliti memilih wawancara sebagai metode dalam pengumpulan data. Menurut Patton (2002) melalui wawancara peneliti dapat menggali pernyataan langsung dari individu mengenai pengalaman, pendapat, perasaan, serta pengetahuan yang mereka miliki. Hal senada diungkapkan Poerwandari (1998), bahwa wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna informantif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain. Wawancara terbuka juga memungkinkan munculnya data yang barangkali tidak dibayangkan sebelumnya, serta memungkinkan responden memberikan jawaban bebas yang bermakna baginya (Poerwandari, 1998).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 54
Jenis wawancara yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan pedoman yang bersifat semi terstruktur. Menurut Smith (2015), teknik wawancara semi terstruktur memungkinkan peneliti untuk mengubah urutan pertanyaan sesuai dengan respon responden. Selain itu, peneliti juga dapat memberikan probing sesuai dengan hal penting yang muncul atau ketertarikan responden. Pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan peneliti akan berupa pertanyaan terbuka, bersifat mengembangkan (menjabarkan) dan tidak mengarahkan.
Patton
(2002)
memudahkan
pewawancara
mengatakan
untuk
bahwa
melakukan
pedoman
eksplorasi,
wawancara
probing,
menanyakan pertanyaan yang akan menjelaskan suatu topik yang ingin diteliti.
dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 55
H. Prosedur Pengumpulan Data 1.
Peneliti mencari dan menentukan informan dengan karakteristik remaja thalassaemia mayor berusia 11 hingga 24 tahun
2.
Pembahasan dan penandatanganan informed consent. Informed consent berisi identitas
peneliti,
tujuan
penelitian,
partisipan
penelitian,
metode
pengambilan data, hak dan kewajiban partisipan, metode penyimpanan data, kerahasiaan data, dan pernyataan kesediaan informan untuk berpartisipasi dalam penelitian. Peneliti juga membicarakan bahwa partisipan berhak membicarakan apapun yang diinginkan sebanyak atau sesedikit yang partisipan inginkan sejauh partisipan merasa nyaman. Partisipan juga berhak menghentikan wawancara bila merasa tidak menginginkan lagi atau merasa tidak nyaman. 3.
Peneliti melakukan wawancara dengan masing-masing informan di waktu dan tempat yang telah disepakati bersama. Wawancara yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara yang bersifat semi terstruktur. Peneliti telah membuat panduan wawancara sebagai acuan namun peneliti dimungkinkan untuk mengubah urutan pertanyaan sesuai dengan respon informan.
4.
Setelah proses wawancara selesai dilakukan, peneliti akan membuat transkrip wawancara dan melakukan analisis pada transkrip yang telah diperoleh.
5.
Melakukan member checking agar frase-frase yang diolah maknanya, yang diperoleh dari wawancara, tidak meleset dari pemaknaan personal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 56
I. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode IPA (Interpretative Phenomenological Analysis). Sebagaimana ditulis oleh Smith, Flowers, dan Larkin (2009), tahap-tahap Interpretative Phenomenological Analysis adalah sebagai berikut : 1. Membaca transkrip berulang kali (reading and re-reading) Tahap pertama analisis dimulai dengan membaca dan membaca ulang transkrip yang telah dibuat. Dengan membaca dan membaca kembali, peneliti akan lebih mendalami diri dalam data asli dan menjadikan informan sebagai fokus dari analisis. Proses ini juga dimaksudkan untuk memperlambat proses pengolahan informasi sehingga menghindarkan diri dari proses reduksi yang mungkin terjadi karena pembacaan secara cepat terhadap content . 2. Memberi catatan pada transkrip (Initial notting) Tahap kedua pada analisis ini dilakukan dengan memberi catatan tentang hal yang bermakna dalam transkrip. Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan seperangkat catatan dan komentar yang komprehensif dan mendetail mengenai data. Hal ini membantu peneliti untuk mengidentifikasi secara spesifik apa yang informan katakan, kemudian memahami, dan berpikir tentang suatu isu. Analasis ini membagi teks menjadi unit makna dan memberikan catatan untuk setiap unit. Catatan yang diberikan dapat berupa hal-hal yang penting bagi informan, kata kunci dari jawaban informan, dan bagaimana informan memandang hal-hal yang disebutkan dalam jawabannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 57
Catatan yang diberikan pada transkrip tersebut disebut exploratory comments/notes. 3. Mengembangkan tema-tema dari transkrip (Developing emergent themes) Di tahap ketiga, analisis dilakukan dengan mengeksplorasi komentar yang telah diberikan untuk mengidentifikasi tema apa saja yang muncul. Dalam aktivitas analisis tema, tema-tema tersebut akan digunakan untuk memetakan hubungan dan pola antara exploratory comments. Di titik ini, tema tidak hanya merefleksikan pikiran dan pandangan informan, tetapi juga interpretasi peneliti. 4. Searching for connections across emergent themes Pada tahap ini, setelah peneliti mendapatkan tema-tema yang muncul dari transkrip informan dan disusun secara kronologis, maka tahap selanjutnya adalah melakukan pengembangan pemetaan dan bagaimana setiap tema yang ada saling berhubungan. Dalam melakukan analisis ini, peneliti perlu membuat skema yang menggambarkan poin dari semua aspek yang menarik dan penting pada para informan. Melalui proses ini, peneliti didorong untuk mengeksplorasi dan mengenalkan sesuatu yang baru dari hasil penelitiannya dalam pengorganisasian analisis tema. Tidak semua tema yang muncul harus digabungkan dalam tahap analisis ini, beberapa tema mungkin akan dibuang. Analisis ini tergantung pada keseluruhan dari pertanyaan penelitian dan ruang lingkup penelitian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 58
J. Kredibilitas Penelitian Validitas kualitatif dilakukan untuk memeriksa akurasi hasil penelitian dari perspektif peneliti, informan, maupun pembaca secara umum (Creswell, 2014). Hal tersebut dilakukan dalam penelitian ini dengan dua cara yaitu member checking dan external auditor. Member checking dilaksanakan dengan melaporkan deskripsi dan tema-tema spesifik kepada informan untuk memastikan bahwa deskripsi atas tema yang dibuat telah akurat (Creswell, 2014). Selain itu, peneliti juga mengajak seorang auditor (external auditor) untuk mereview keseluruhan proyek penelitian, dalam hal ini yaitu dosen pembimbing. Menurut Cresswell (2014) kehadiran auditor dapat membantu peneliti dalam memberikan penilaian secara objektif, mulai dari proses hingga kesimpulan penelitian (keakuratan transkrip, hubungan antara rumusan masalah dan data, tingkat analisis data mulai dari data mentah hingga interpretasi).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 59
K. Pedoman wawancara 1. Untuk mengetahui pengetahuan dan pemahaman informan mengenai thalassaemia a. Sejak umur berapa didiagnosis menderita Thalassaemia Mayor? b. Sejauh ini, apa yang kamu ketahui tentang penyakit Thalassaemia? c. Perawatan seperti apa saja yang perlu dilakukan untuk menjaga kondisi diri agar tetap sehat? d. Sejauh ini, bagaimana usaha yang sudah (informan) lakukan untuk menjaga kondisi diri? 2. Untuk mengeksplorasi tantangan yang dihadapi oleh informan dan respon informan selama menjalani proses terapi a. Sejauh ini, kendala (tantangan) seperti apa yang (informan) hadapi saat menjalani terapi?
Jika gak ada, maksudnya ga ada kendala gimana?
Jika iya, kendala apa?
b. Sejauh ini, pengaruh apa saja yang (informan) rasakan terkait penyakit Thalassaemia? (secara fisik, sosial, psikologis) c. Bagaimana upaya yang biasanya (informan) lakukan untuk mengatasi kendala-kendala tersebut? 3. Untuk mengetahui cara pandang informan atas pengalaman hidup a. Bagaimana perasaan saat memahami kondisi diri sebagai penderita thalassaemia? b. Bagaimana kamu memandang thalassaemia dalam hidupmu?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 60
4. Untuk mengetahui cara pandang informan atas proses terapi a. Selama ini (informan) sudah menjalani berbagai proses terapi, bagi (informan) makna terapi itu apa? b. Coba ceritakan pikiran dan perasaan yang dirasakan (biasanya muncul) selama melakukan proses terapi hingga saat ini? c. Menurutmu, kenapa perasaan-perasaan itu bisa muncul (terjadi)? d. Selama ini menjalani terapi (minum obat, desferal, tranfusi) sebenarnya untuk siapa? (apa yang membuatmu tetap bertahan untuk berobat hingga saat ini) (diri sendiri atau orang lain) e. Dengan apa yang sudah kamu ceritakan tadi, Kalau ada level 1-10, kirakira kamu menilai semangatmu menjalani terapi dimana sekarang? Kenapa? 5. Untuk mengetahui alasan dan sikap informan terhadap keengganan dalam menjalani terapi a. Sejak kapan enggan berobat? b. Menurut (informan) apa yang membuat itu terjadi? c. Apa yang biasanya kamu lakukan jika mulai merasa enggan berobat? d. Bisa ceritakan hal-hal apa sajakah yang kamu butuhkan dan mampu mendorong (informan) berobat secara teratur? e. Seandainya ada orang lain yang bisa membantumu, kira-kira hal apa yang bisa orang lain lakukan untuk mendorongmu menjalani terapi (minum obat)?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 61
6. Untuk mengetahui peran keluarga dan orang terdekat dalam konteks menjalani hidup dengan thalassaemia a. Bagaimana peran atau apa saja yang dilakukan oleh keluarga, terkait kondisimu dengan penyakit thalassaemia? (Kedekatan dengan keluarga atau orang terdekat) b. Adakah batasan-batasan tertentu yang kamu atau keluargamu berikan untuk dirimu sendiri terkait penyakit thalassaemia? Apa yang kamu rasakan terkait hal itu (membantu atau justru menghambat)? Bagaimana kamu menghadapinya (Respon)? c. Ada orangtua, sahabat, keluarga, pacar, menurut (Informan), kehadiran mereka seberapa besar dalam hidupmu sejauh ini? d. Harapanmu, pengennya berapa besar mereka bisa hadir untukmu? 7. Untuk melihat gambaran informan terhadap diri dan masa depan a. Adakah impian-impian yang ingin dicapai dalam hidup? Jika ga ada : Sama sekali ga ada? Ada sesuatu yang kamu inginkan dalam hidup?
Seberapa penting impian (mimpi) ini untukmu?
Punya bayangan dirimu 5 tahun mendatang kamu seperti apa? Kira-kira apa yang kamu capai?
b. Bagaimana informan melihat dirinya saat ini? c. Kamu pernah membayangkan (mengalami) ada seorang sahabat yang juga punya penyakit yang sama,dan sudah meninggalkan kita terlebih dahulu?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 62
Kalau boleh tahu, bagaimana responmu saat mendengar hal tersebut? perasaan, sikap, respon, tanggapan)
8. Pertanyaan penutup untuk mengetahui harapan informan terkait proses terapi dan antisipasi atas hal-hal yang ingin informan sampaikan di luar pertanyaan penelitian. a. Kalau aku Aladin dan aku bisa mengabulkan tiga permintaanmu, selain permintaan akan kesembuhan penyakit (karena mungkin di Negeri Aladin juga belum bisa menyembuhkan), hal apa yang akan kamu minta terkait penyakit mu atau proses terapi?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini akan menjelaskan mengenai pelaksanaan penelitian dan hasil dari penelitian yang telah dilakukan. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap data yang telah didapatkan oleh peneliti. Pada bagian terakhir, kemudian akan dilakukan pembahasan. A. Persiapan Dan Pelaksanaan Penelitian
1.
Persiapan dan perizinan Dalam
penelitian
ini,
peneliti
melibatkan
tiga
orang remaja
thalassaemia mayor sebagai informan. Sebelum melakukan pengambilan data, peneliti meminta kesediaan informan dengan penandatanganan informed consent untuk terlibat dalam penelitian. Dalam proses ini, informed consent dibacakan oleh peneliti. Peneliti menjelaskan setiap poin yang terjabarkan dalam lembar informed consent sehingga informan memahami semua proses dan konsekuenesi dari penelitian yang akan dilakukan. Selain meminta kesediaan informan, peneliti juga meminta izin secara formal kepada setiap orangtua dari informan. Dalam proses persiapan penelitian, peneliti melakukan pendekatan kepada informan untuk memperoleh informasi yang mendalam. Hal ini dilakukan sehingga kepercayaan dan keterbukaan informan pada peneliti dapat terwujud. Pendekatan yang dilakukan oleh peneliti bermula dari pertemanan baik antara peneliti dengan informan melalui interaksi bersama
63
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 64
dalam komunitas Perhimpunan Orangtua Penderita Thalassaemia Indonesia (POPTI) di Kalimantan Barat serta komunikasi yang intens. Pada proses pengambilan data, peneliti membebaskan informan untuk menentukan waktu dan tempat pengambilan data. Peneliti juga mengawali pengambilan data dengan memberi pemahaman kepada setiap informan mengenai tujuan dari penelitian yang dilakukan. Selanjutnya, demi memberikan kenyamanan pada informan sebelum menceritakan hal-hal mengenai dirinya saat wawancara, peneliti selalu melakukan rapport awal. Rapport berupa pertanyaan sederhana mengenai kondisi informan saat itu, aktivitas yang dilakukan informan sebelumnya, ataupun pertanyaan mengenai kegemaran yang disukai dan lain sebagainya. Setelah rapport dirasa cukup, peneliti baru akan memulai proses wawancara. Selama wawancara, peneliti menggunakan teknik wawancara semi terstruktur yang lebih memberikan keleluasaan bagi peneliti untuk menentukan alur wawancara yang nyaman bagi informan dan melakukan probing. Selama proses wawancara berlangsung, setiap kali informan merasa sedih saat mengingat pengalaman tidak menyenangkan, peneliti akan memberikan waktu jeda dan berusaha untuk menghadirkan ketenangan dan juga penghiburan bagi informan. Atas izin dari para informan, peneliti menggunakan alat perekam berupa ponsel untuk merekam proses wawancara. Hasil rekaman suara tersebut kemudian akan di transkrip oleh peneliti sehingga menghasilkan dokumentasi tertulis berupa verbatim dan kemudian melanjutkan ke langkah berikutnya yaitu analisis data.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 65
2. Pelaksanaan penelitian Pelaksanaan penelitian dengan tiga informan dilakukan secara terpisah sesuai dengan kesepakatan antara peneliti dan informan. Berikut ini merupakan waktu dan tempat pelaksanaan penelitian : Tabel 1 Pelaksanaan Penelitian No 1
Keterangan
Informan 1
Informan 2
Informan 3
(Dd)
(Nn)
(Fa)
Perizinan
Sabtu, 4 Juni
Kamis, 9 Juni
Jumat, 10 Juni
kepada orangtua
2016
2016
2016
dan pendekatan
12.30-13.30
12.00-12.30
11.00-12.00
dengan
Rumah Dd
Rumah Nn
Rumah Fa
a. Minggu, 5
a. Minggu, 12
a. Sabtu, 11 Juni
Informan 2
Wawancara Informan
Juni 2016
Juni 2016
2016
15.00-16.30
12.30-13.45
15.30-17.45
Taman
Rumah Nn
Restoran Sari
Universitas
b. Selasa, 14
Bento
Tanjung
Juni 2016
Pura
15.30-17.30
Juni 2016
Killiney Café
15.30-17.00
b. Senin, 13
b. Minggu, 12
Juni 2016
Taman
16.00-16.30
Universitas
Rumah Dd
Tanjung Pura
c. Kamis, 16 Juni 2016 16.00-16.40 Restoran Sari Bento
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 66
B. Informan Penelitian
1. Demografi Informan No
Keterangan
1.
Inisial
2. 3.
4.
5.
Informan 3
Nn
Fa
Usia
18 tahun
19 tahun
19 tahun
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Perempuan
Anak pertama
Anak pertama
dari dua
dari empat
bersaudara
bersaudara
SMP
SMA
SMA
Siswa
Kasir
Mahasiswa
Tionghua-Jawa
Tionghua
Melayu
Islam
Kristen
Islam
Ayah : 48 th
Ayah : 49 th
Ayah : 46 th
Ibu : 44 th
Ibu : 43 th
Ibu : 43 th
Ayah: SMA
Ayah : SD
Ayah : SMA
Ibu: SPG
Ibu : SD
Ayah:
Ayah:
Ayah :
Wiraswasta
Wiraswasta
Wiraswasta
Ibu :
Ibu :
Ibu :
Ibu rumah
Ibu rumah
Pegawai
tangga
tangga
Negeri
Urutan
Anak ke-3 dari
Kelahiran
tiga bersaudara
Pendidikan Terakhir Pekerjaan
7.
Suku
8.
Agama
9.
Usia Orangtua
11.
Informan 2
Dd
6.
10.
Informan 1
Tingkat Pendidikan
Pekerjaan
Ibu : Pascasarjana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 67
2. Latar Belakang Informan Berikut ini adalah tabel yang berisi latar belakang informan mengenai riwayat penyakit
thalassaemia beserta cerita singkat mengenai kondisi
informan dalam menjalani pengobatan a) Informan 1 (Dd) Dd (18) mulai mendapat diagnosis sebagai penderita thalassaemia sejak usia sembilan bulan. Sejak saat itu, ia mulai menjalani pengobatan sebagai pasien thalassaemia mayor hingga kini. Adapun pengobatan yang dijalani olehnya yaitu tranfusi darah setiap tiga minggu hingga satu bulan sekali, penyuntikan desferal, dan konsumsi obat ferriprox, asam folat, Vitamin C, dan Vitamin E. Dalam sebulan, ia membutuhkan tiga hingga empat kantong darah. Pada mulanya, Dd (18) menilai dirinya cukup rajin dalam menjalani rutinitas pengobatan. Hanya saja, sejak dua tahun yang lalu, ia mulai merasakan keengganan dalam menjalani pengobatan tersebut. Penyuntikan desferal yang seharusnya rutin dilakukan setiap 5 kali seminggu juga jarang dilakukan. Dalam sebulan terakhir, Dd (18) hanya melakukan penyuntikan desferal sebanyak empat kali. Begitu pula dengan konsumsi obat yang juga seringkali tidak dilakukan. Menurut orangtua informan, hal ini dikarenakan sewaktu masih kanak-kanak (6-11 tahun), Dd (18) masih penurut. Selain itu aktivitas terapi yang dilakukan Dd (18) juga masih dipandu oleh orangtua. Sejauh ini, kondisi terburuk yang dialami subjek berupa panas tinggi, badan terasa lemah dan lesu. Keluhan khusus yang dirasakan bila Dd (18) tidak menjalani pengobatan yaitu meningginya kadar ferritin dalam tubuh. Sedangkan menurut orangtua,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 68
keluhan yang sering dialami selama membimbing anak dalam menjalani pengobatan yaitu adanya ketidakmauan untuk melakukan penyuntikan tranfusi, adanya penundaan jadwal tranfusi bila Dd (18) sakit, serta emosi anak yang sulit dikontrol. Pengontrolan terhadap anak yang dilakukan oleh orangtua terkait pengobatan yang harus dijalani berupa perhatian yang lebih terkait kondisi fisik, jenis aktivitas yang dilakukan oleh anak serta keteraturan dalam mengonsumsi obat dan konsultasi dokter. b) Informan 2 (Nn) Nn (20) mulai mendapat diagnosis sebagai penderita thalassaemia sejak usia kurang dari setahun. Sejak saat itu, ia mulai menjalani pengobatan sebagai pasien thalassaemia mayor hingga kini. Adapun pengobatan yang dijalani oleh Nn (20) yaitu tranfusi darah setiap tiga minggu hingga sebulan sekali, penyuntikan desferal, dan konsumsi obat ferriprox, asam folat, Vitamin C, dan Vitamin E. Dalam sebulan, ia membutuhkan empat hingga lima kantong darah. Pada mulanya, Nn (20) menilai dirinya cukup sering dalam menjalani rutinitas pengobatan. Hanya saja, sejak lima tahun yang lalu, ia mulai merasakan keengganan dalam menjalani pengobatan tersebut. Penyuntikan desferal yang seharusnya rutin dilakukan setiap 5 kali seminggu juga jarang dilakukan. Begitu pula dengan konsumsi obat yang juga seringkali tidak dilakukan karena malas dan lupa. Menurut orangtua, hal ini dikarenakan sewaktu masih kanak-kanak (6-11 tahun), Nn (20) masih penurut. Selain itu aktivitas pengobatan yang dilakukan Nn (20) juga masih dipandu oleh orangtua. Sejauh ini, kondisi terburuk yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 69
dialami subjek berupa panas tinggi. Keluhan khusus yang dirasakan bila Nn (20) tidak menjalani pengobatan yaitu meningginya kadar ferritin dalam tubuh. Sedangkan menurut orangtua, keluhan yang sering dialami selama membimbing anak dalam menjalani pengobatan yaitu adanya ketidakmauan untuk melakukan penyuntikan tranfusi, adanya penundaan jadwal tranfusi dan terapi kelasi, serta emosi anak yang sulit dikontrol. Pengontrolan terhadap anak yang dilakukan oleh orangtua terkait pengobatan yang harus dijalani berupa perhatian yang lebih terkait kondisi fisik, pembatasan jenis aktivitas yang dilakukan oleh anak serta keteraturan dalam mengonsumsi obat dan konsultasi dokter. c) Informan 3 (Fa) Fa (19) mulai mendapat diagnosis sebagai penderita thalassaemia sejak usia dibawah setahun. Sejak saat itu, Fa (19) mulai menjalani pengobatan sebagai pasien thalassaemia mayor hingga kini. Adapun pengobatan yang dijalani oleh Fa (19) yaitu tranfusi darah setiap dua minggu hingga sebulan sekali, penyuntikan desferal, dan konsumsi obat exjade, asam folat, Vitamin C, dan Vitamin E. Dalam sebulan, ia membutuhkan empat hingga lima kantong darah. Pada awalnya, menurut penilaian diri sendiri dan juga orangtuanya, Fa (19) melihat dirinya sering dalam menjalani rutinitas pengobatan. Hanya saja, sejak empat tahun yang lalu, ia mulai merasakan keengganan dalam menjalani pengobatan tersebut. Penyuntikan desferal yang seharusnya rutin dilakukan setiap 5 kali seminggu juga jarang dilakukan. Dalam sebulan terakhir, Fa (19) sama sekali tidak melakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 70
penyuntikan desferal. Begitu pula dengan konsumsi obat yang meskipun cukup rutin dilakukan, Fa (19) masih seringkali perlu diingatkan terus menerus oleh orangtua. Menurut orangtua, hal ini dikarenakan padatnya aktivitas dan kebosanan yang dialami Fa (19) dalam proses pengobatan. Sejauh ini, kondisi terburuk yang dialami reponden berupa demam tinggi yang mempercepat penurunan haemoglobin (HB) dan juga kadar ferritin yang tinggi dan tentunya memperburuk kondisi tubuh. Menurut orangtua, keluhan yang sering dialami selama membimbing anak dalam menjalani pengobatan yaitu adanya keengganan dari anak untuk menjalani pengobatan atas dasar perasaan bosan serta kesibukan anak yang seringkali terbentur dengan jadwal pengobatan. Pengontrolan terhadap anak yang dilakukan oleh orangtua terkait pengobatan yang harus dijalani berupa konsultasi dokter dan juga pengecekan laboratorium secara rutin mengenai kondisi tubuh anak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 71
C. Hasil Penelitian Dari penelitian yang sudah dilakukan, peneliti memperoleh data hasil wawancara dari setiap informan. Data-data ini kemudian dianalisis oleh peneliti dengan melalui empat tahap yaitu reading and re-reading, initial noting, developing emergent themes, dan structurizing. Tahap reading and re-reading dimulai setelah wawancara dengan tiga informan selesai dilakukan. Pada tahap ini, peneliti melakukan transkrip data wawancara yang kemudian akan dibaca secara berulang kali oleh peneliti untuk mendalami data. Setelah itu, peneliti melanjutkan dengan tahap initial noting, yang berarti peneliti mencatat hal-hal bermakna dan membaginya menjadi unit makna. Bila unit makna telah diperoleh, maka dilihat tema-tema apa saja yang muncul. Tahap ini disebut dengan developing emergent themes. Setelah tahap tersebut, peneliti kemudian melanjutkan penggambaran secara naratif mengenai tema-tema yang muncul pada setiap informan. Berikut ini ialah pemaparan secara naratif setiap informan.
1. Informan Dd (18) a. Kesadaran akan thalassaemia dan usaha menjaga kondisi fisik Selama delapan belas tahun sudah, Dd (18) menjalani hidup sebagai seorang penderita thalassaemia mayor. Ia didiagnosis menderita thalassaemia mayor sejak usia sembilan bulan. Kelas 5 SD merupakan masa dimana ia mulai paham bahwa dirinya adalah seorang penderita thalassaemia. Berbagai pengalaman dalam menjalani proses terapi yang harus ia lalui sejak kecil membuatnya sadar akan kondisi sakit yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 72
dimiliki. Pemahaman Dd (18) akan penyakit saat itu juga terbantu oleh adanya informasi dari seminar thalassaemia dan penjelasan dari dokter mengenai penyakit tersebut. Dd (18) memahami penyakit thalassaemia sebagai penyakit yang tidak bisa memproduksi sel darah merah dan merupakan suatu penyakit genetis. Pemahaman akan thalassaemia dalam dirinya membuat Dd (18) juga menyadari bahwa penyakit tersebut memberikan dampak terhadap kondisi fisiknya dan menuntut proses pengobatan tertentu. Tranfusi darah dan konsumsi obat adalah proses terapi yang ia lakukan selama ini. Dd (18) menjelaskan pula bahwa tranfusi darah adalah hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi kondisi kekurangan darah yang dialami oleh para penderita thalassaemia. Pemahaman Dd (18) mengenai penyakit dan proses terapi juga diiringi dengan pemahaman akan konsekuensi yang akan terjadi bila terapi medis tidak dilakukan. Menurut Dd (18), bila ia belum melakukan tranfusi darah, maka ia akan mudah untuk terserang penyakit, merasa lemah, tidak bertenaga, dan menjadi sulit untuk beraktivitas. Penyakit thalassaemia membuat Dd (18) tidak mampu melakukan aktivitas fisik yang berlebihan seperti olahraga dan aktivitas lainnya yang menguras tenaga. Kondisi ini yang membuat Dd (18) pada akhirnya sulit bermain futsal- aktivitas yang sesungguhnya sangat ia gemari sekaligus membuatnya tidak mampu meraih cita-citanya untuk menjadi seorang pemain futsal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 73
Dari sudut pandangnya, tujuan pengobatan dipahami sebagai usaha untuk menjaga kondisi badan tetap sehat—yang coba diraih dengan memenuhi pengobatan-pengobatan yang telah ditentukan. Pemahaman akan tujuan pengobatan ini sendiri merupakan konsekuensi logis dari adanya pengetahuan yang dimiliki Dd (18) mengenai obat yang harus dikonsumsi beserta tujuan dari obat tersebut, seperti Ferriprox, Exjade, Asam Folat, dan Vitamin E. Hal ini juga berkenaan dengan pemahaman Dd (18) atas perbedaan jenis pengobatan, sebagaimana yang ia tunjukkan terkait pemahaman akan tujuan dari penyuntikan desferal dan kesadaran bahwa penyuntikan desferal lebih efektif membuang zat besi dibandingan terapi oral, yaitu Ferriprox.
b. Pengalaman proses terapi : berjuang hingga sekedar rutinitas Saat menyadari dirinya sebagai seorang penderita thalassaemia, Dd (18) menyatakan dirinya tidak bersedih hati. Ia tidak sedih karena menurutnya masih ada hal yang bisa ia perjuangkan dalam hidup, yaitu kondisi tubuhnya sendiri. Cara pandang ini mendorong Dd (18) untuk memaknai pengobatan sebagai upaya untuk menjaga kondisi tubuh. Proses pengobatan adalah sebuah harapan untuk terus hidup. Dengan berobat, Dd (18) dapat terus melanjutkan hidupnya. Pandangan bahwa tranfusi dan proses terapi yang dijalani sebagai suatu kewajiban, adalah suatu cara yang dilakukan Dd (18) untuk membuat dirinya mau berobat dan tidak lagi merasa malas. Dd (18) mengharapkan adanya perubahan kondisi fisik untuk menjadi lebih putih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 74
karena proses terapi yang dilakukannya selama ini. Namun, seiring dengan berjalannya pengobatan yang terus menerus, semenjak SMP Dd (18) mulai merasakan adanya kejenuhan. Pengobatan yang telah berlangsung sejak usia kecil membuat Dd (18) menganggap proses terapi sebagai suatu hal yang monoton. Dd (18) mengibaratkan
proses pengobatan layaknya
aktivitas sehari-hari yang sudah seharusnya dilakukan seperti mandi dan makan. Hal ini berkaitan pula dengan rentang proses pengobatan yang ia jalani mulai usia 9 bulan hingga masuk ke usia remaja kini. Proses terapi yang terus berulang inilah yang menimbulkan adanya pergeseran cara pandang Dd (18) yang awalnya bertekad memperjuangkan badannya saat usia SD menjadi bosan dan jenuh untuk menjalani proses terapi medis.
c. Rasa sakit dan ketidakleluasaan beraktivitas Kejenuhan untuk menjalani proses pengobatan diiringi pula dengan pengalaman-pengalaman negatif terkait terapi medis yang dirasakan Dd (18). Ingatan mengenai rasa sakit atas penyuntikan merupakan memori masa kecil yang paling diingat oleh Dd (18) selama proses terapi. Alergi saat tranfusi yang menimbulkan bentol-bentol, demam dan rasa nyeri di tulang belakang, rasa sakit serta tangan yang membengkak bila pembuluh vena sulit di dapat saat mau disuntik adalah cerminan pengalaman negatif yang dirasakan Dd (18). Rasa sakit dan waktu yang cukup lama dalam proses penyuntikan desferal membuat aktivitas Dd (18) untuk mengerjakan PR dan berjalanjalan menjadi terganggu. Ketidaknyamanan lain muncul dari rasa sakit atas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 75
penyuntikan desferal dan frekuensi penyuntikan yang berulang. Hal ini mendorong Dd (18) memiliki keinginan akan adanya perubahan prosedur penyuntikan desferal seperti dulu. Menurut Dd (18), awalnya penyuntikan desferal dilakukan dalam satu waktu (setelah tranfusi langsung desferal) sehingga proses penyuntikan hanya sekali saja, tidak seperti sekarang yang harus disuntik berulang kali. Dd (18) menegaskan jika proses penyuntikan desferal dilakukan seperti dulu lagi, ia bersedia untuk melakukan desferal. Selain itu, bila penyuntikan desferal diganti dengan Exjade, yang dikonsumsi secara oral, Dd (18) menyatakan mungkin saja dirinya akan lebih rajin berobat karena tidak akan merasakan sakit saat berobat. Meskipun Dd (18) mengalami pengalaman-pengalaman negatif seperti yang ia ceritakan, Dd (18) menganggap hal tersebut sudah menjadi risiko pengobatan berdasar pengalamannya.
d. Kesadaran pribadi : usaha mengatasi keengganan terapi Dd (18) menyadari bahwa alasannya untuk tidak berobat disebabkan oleh dirinya sendiri yang tidak mau berusaha untuk minum obat. Menurutnya, selain motivasi dari dirinya sendiri, tak ada hal lain yang bisa menjadi pendorong dirinya untuk berobat karena orang lain hanya berperan sebagai orang yang mengingatkan. Dari sudut pandang Dd (18), semangat dan kesadaran diri ialah hal yang penting dalam mendorong dirinya untuk minum obat. Hanya saja, Dd (18) mengakui bahwa meskipun dirinya sadar akan kondisi tubuh yang harus diperjuangkan, berobat tetaplah sulit dilakukan atas dasar malas dan jenuh.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 76
Kejenuhan yang Dd (18) rasakan selama menjalani proses terapi mendorong adanya keengganan dalam menjalani proses terapi yang seharusnya dilakukan. Perasaan enggan yang dirasakan oleh Dd (18) pada akhirnya menjadi suatu bentuk pengabaian atas proses terapi. Dd (18) menegaskan bahwa ia tahu ia perlu mengonsumsi obat, tetapi rasa malas selalu menjadi penghalang untuknya. Rasa malas adalah hal lain yang membuat Dd (18) enggan berobat. Rasa malas menurut Dd (18) muncul dari situasi monoton yang membuatnya merasa capek dan bosan untuk terus melakukan proses terapi. Rasa malas telah menjadi perasaan dominan yang dirasakan selama menjalani proses pengobatan. Keengganan untuk minum obat dan rasa malas ini telah ia rasakan sejak SMP kelas 8, tepatnya sejak usia 15 atau 16 tahun karena tidak adanya perkembangan dari proses pengobatan. Selain kemalasan untuk desferal¸ bentuk pengabaian atas kondisi diri lainnya yang dilakukan oleh Dd (18) adalah tetap mengkonsumsi minuman bersoda hingga kekenyangan yang akhirnya menghambat dirinya untuk minum obat. Persoalan kesadaran tersebut secara tidak langsung menjadi dasar atas tindakan beresiko yang dilakukan oleh Dd (18) terkait aktivitas kegemarannya. Aktivitas yang dijalani Dd (18) ia pandang bukan yang melatarbelakangi kelalaiannya dalam minum obat. Dd (18) menyatakan bahwa dia tidak akan merasa lelah jika melakukan sesuatu yang ia suka, seperti bermain futsal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 77
e. Sikap membohongi diri sebagai alasan enggan terapi Penilaian atas semangat diri untuk menjalani proses terapi diletakkan pada level lima dari sepuluh sebagai level maksimal. Menurut Dd (18), penilaian ini menggambarkan bahwa dirinya tidak memiliki kesadaran untuk harus tetap minum obat dan menjalani penyuntikan desferal. Sebagai alasan utama Dd (18) mengungkapkan usaha membohongi diri sendiri adalah hal yang mendasari keengganan yang ia rasakan. Hal sederhana seperti selalu membawa obat ketika berpergian menurutnya adalah hal yang mudah dilakukan, namun usaha membohongi diri selalu membuatnya tidak melakukan hal tersebut. Menurut Dd (18), pembohongan diri adalah faktor utama dari pengabaiannya menjalani pengobatan. Berkenaan dengan pembohongan diri yang ia lakukan, hal ini mengarah pada keinginan dirinya untuk merasakan apa yang orang lain rasakan. Ia mengungkapkan bahwa ia ingin beraktivitas sebagaimana orang lain tetapi merasa tak bisa melakukannya karena harus tetap berobat. Dengan membohongi diri sendiri, ia ingin menganggap dirinya sehat dan tidak memiliki sakit, sama seperti orang pada umumnya sehingga ia tidak perlu menjalani proses pengobatan seperti minum obat, tranfusi, desferal dan sebagainya. Pembohongan diri ini terutama dikarenakan perasaan bahwa ia tidak mengalami perubahan apapun atas pengobatan yang ia jalani selama ini. Perasaan tidak mengalami perubahan apapun atas kondisi diri inilah yang menurut Dd (18) membuatnya akhirnya ingin membohongi dirinya sendiri. Ia sendiri menggarisbawahi bukan pandangan orang lain yang menjadi alasan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 78
pembohongan dirinya melainkan dirinya sendiri yang ingin merasa sebagaimana yang orang sehat rasakan. Ia merasa dengan membohongi dirinya sendiri, yakni pandangan bahwa dengan tidak berobat ia seperti orang
yang
tidak
sakit,
membuatnya
seperti
orang
sehat.
Ia
menggarisbawahi pula hal ini muncul karena ia sendiri berpikiran bahwa dirinya sendiri tak bisa melakukan apapun untuk mengubah kondisi sakitnya yang tak akan bisa sembuh.
f. Ketidakberdayaan atas situasi Ketidakberdayaan atas kondisi yang dialami menjadi persoalan lain yang dihadapi Dd (18) terkait penyakitnya. Dd (18) merasa bosan menjalani hidup yang begitu-begitu saja, hanya tranfusi lalu minum obat, terus menerus berlanjut terlebih penyakit thalassaemia merupakan penyakit seumur hidup yang tidak dapat sembuh. Dd (18) menyatakan bahwa ia merasa jenuh melakukan aktivitas pengobatan yang terusmenerus, begitu-begitu saja, dan tidak ada perubahan yang terjadi atas penyakitnya. Ia juga menyadari bahwa harapan untuk sembuh adalah sesuatu yang tidak bisa ia harapkan. Oleh karena itu, Dd (18) melihat proses terapi sebagai suatu hal yang percuma dilakukan secara terus menerus. Hal ini memunculkan kepesimisan dalam diri Dd (18) terkait proses pengobatan yang seharusnya ia jalani. Sebagai alasan untuk tetap menjalani pengobatan Dd (18) mengungkapkan bahwa berobat untuk keluarga daripada diri sendiri adalah hal yang menjadi prioritasnya. Hal ini menurut Dd (18) dikarenakan ia tidak merasakan adanya perubahan dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 79
menjalani pengobatan. Perubahan hanya terlihat ketika melakukan uji ferritin dan cek darah yang menunjukkan kadar zat besi dalam tubuh yang berkurang. Perubahan yang terjadi menurut Dd (18) tidak berdampak (terlihat) secara langsung. Selain itu, Dd (18) menjelaskan bahwa rasa malas yang ia rasakan hanya hadir saat menjalani proses terapi selain tranfusi darah. Selain itu, ia juga tahu bahwa dirinya lebih rajin melakukan tranfusi dibandingkan melakukan desferal atau minum obat. Adapun pengabaian atas kondisi diri ini juga berkaitan dengan pandangan Dd (18) terkait risiko kematian yang kurang mendukung berjalannya proses pengobatan. Dd (18) mengaku lebih rajin melakukan transfusi dibandingkan penyuntikan desferal karena menurutnya, risiko kematian yang disebabkan tidak melakukan transfusi memiliki jangka waktu yang lebih pendek dibanding risiko kematian yang muncul perlahan bila tidak melakukan suntik desferal.
g. Keluarga : alasan untuk bertahan Bagi Dd (18), keluarga memiliki peran yang besar dalam proses pengobatan. Keluarga adalah alasan Dd (18) bertahan dan terus menjalani proses terapi hingga saat ini. Keluarga sudah merawat Dd (18) dari kecil hingga besar, membeli obat-obatan mahal, menjaga, dan begitu menyayangi dirinya. Bila keluarga tidak ada, Dd (18) akan merasakan suatu kehilangan yang besar. Ia akan semakin malas berobat jika tidak ada kehadiran keluarga dalam hidupnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 80
Orangtua bagi Dd (18) adalah sosok yang mampu mendorong dirinya menjalani pengobatan. Adanya kedekatan emosional dengan ibu dan peran ibu yang besar dalam proses terapi membuat ibu menjadi sosok penting dalam hidup Dd (18). Sosok ayah di sisi lain menjadi sosok yang ditakuti. Rasa takut akan dimarahi membuat Dd (18) rajin berobat. Secara umum, Dd (18) beranggapan bahwa ia memiliki interaksi yang dekat dengan keluarga. Hanya saja, jika dibandingkan dengan anggota keluarga yang lain, Dd (18) kurang memiliki kedekatan dengan ayah. Dd (18) menilai ayahnya sebagai sosok yang pendiam, tidak terlalu terbuka, dan tidak dekat dengan anaknya. Menurut Dd (18), hal ini juga dikarenakan kesibukan ayah dalam bekerja. Sejauh ini Dd (18) melihat bahwa semua anggota keluarga memberikan perhatian padanya, meski tidak semua anggota keluarga bisa selalu hadir menemani proses terapi karena aktivitas masing-masing yang sulit untuk ditinggalkan. Namun, Dd (18) juga menyadari adanya kemungkinan
bahwa
anggota
keluarga
mungkin
sudah
capek
mengingatkan dirinya untuk minum obat sehingga terkadang ia minum obat sendiri. Selain itu, Dd (18) juga menilai bahwa memang yang bisa orang lain lakukan untuknya hanya sebatas mengingatkan dirinya untuk minum obat dan mengingatkan agar tidak capek. Hal ini sejalan dengan pengalaman Dd (18) sejauh ini. Dd (18) merasa keluarga hanya cenderung mengingatkan. Bagi Dd (18), hal ini berbeda dengan apa yang dialami dulu, ketika ada tindakan langsung yang dirasakannya melalui perawatan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 81
terutama oleh ibu. Pengalaman Dd (18) saat langsung ditemani oleh sang ibu ke Jakarta untuk berobat. Tidak seperti sekarang yang pengobatannya lebih secara oral dan membuat dirinya hanya sekedar diingatkan saja. Berkaitan dengan kehadiran orang-orang terkasih, Dd (18) memberikan angka 10 untuk mengilustrasikan pentingnya kehadiran keluarga, sahabat, dan pasangan. Dd (18) menginginkan mereka dapat selalu hadir untuk dirinya. Dd (18) berharap keluarga suatu saat dapat hadir semuanya saat proses pengobatan berlangsung. Hal ini karena Dd (18) merasa keluarganya tidak selalu hadir dalam proses pengobatan hingga sejauh ini. Hanya sang ibu yang biasanya menemani dirinya. Ayah sibuk bekerja, sedangkan saudaranya yang lain sedang melanjutkan studi di luar kota. H Kehadiran akan keluarga dalam proses terapi menjadi harapan Dd (18). Dd (18) berharap keluarga dapat selalu memberikan semangat, baik dalam hal membelikan barang ataupun melalui kedekatan yang lebih lagi dengan keluarga. Kedekatan dengan sang ayah menurut Dd (18) juga memungkinkan dirinya untuk lebih termotivasi dalam berobat. Keluarga yang hangat dan nyaman akan membuat Dd (18) merasa lebih enak dan semangat dalam menjalani pengobatan. Berkenaan dengan dukungan yang ia rasakan selama ini Dd (18) merasa belum menemukan bentuk support yang dinilainya efektif dalam menjalani pengobatan. Sebagai contoh bentuk dukungan sewaktu kecil. Saat itu, Dd (18) diberikan mainan yang ia suka sebagai bentuk dukungan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 82
tetapi Dd (18) pada akhirnya kembali merasa malas setelah beberapa lama. Meski belum mendapatkan dukungan yang dinilainya efektif, Dd (18) melihat suasana hati turut menjadi salah satu penentu proses pengobatan. Dd (18) memaparkan bila ia merasa bahagia, ia akan minum obat. Selain hadiah berupa barang yang ia sukai, perhatian dan kehadiran dari keluarga, sahabat maupun pacar menurutnya juga dapat mengatasi kebosanan dan perasaan monoton dari setiap proses pengobatan yang harus ia jalani.
h. Batasan dan ketidaknyamanan diperlakukan seolah anak kecil Tak ada seorangpun yang akan merasa nyaman bila diberi sebuah batasan. Perasaan yang sama pula dirasakan oleh Dd (18) sebagai seorang remaja penderita thalassaemia, yang karena kondisi sakitnya, seringkali merasa dibatasi oleh keluarganya. Batasan hadir sebagai suatu peran yang diberikan oleh keluarga dalam “menjaga” orang yang dikasihinya. Di mata Dd (18), batasan terkadang membuatnya merasa terbebani dan terganggu, terutama
perlakuan
dari
kedua
orangtuanya
yang
dianggap
memperlakukannya seperti anak kecil. Hal ini tak lain tak bukan karena adanya batasan tertentu yang orangtuanya berikan terkait hidupnya. Di usianya yang menginjak usia remaja, Dd (18) masih merasakan adanya ketidakbebasan untuk bermain dengan teman sebayanya. Selain larangan untuk tidak boleh bergabung dengan tim sepak bola sekolah dan kegiatan lain yang memungkinkan Dd (18) menjadi kelelahan seperti olahraga, ia juga merasa batasan yang diberikan terkadang menjadi halangan atas pencapaian yang sesungguhnya ia inginkan dalam hidupnya. Ia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 83
menggarisbawahi ketidakmungkinannya untuk pergi ke Jogja untuk mengambil jurusan musik—sesuatu yang penting baginya. Hal ini dikarenakan orangtuanya yang tidak mengizinkan karena keterbatasan fisik yang ia miliki. Menurut Dd (18), keluarganya khawatir bila ia jauh dari keluarga, maka ia tidak akan merawat dirinya sendiri. Padahal menurutnya, ia bisa mengatasi hal tersebut secara mandiri. Dd (18) menyatakan kepercayaan dirinya bahwa ia bisa menjaga kesehatan badannya sendiri paling tidak sebesar 80%. Sebagai respon atas batasan yang diberikan, Dd (18) memberikan sikap-sikap tertentu. Dd (18) cenderung menjadi seorang yang pembangkang dan tidak mau mendengarkan apa yang disampaikan oleh orangtuanya terkait proses pengobatan. Hal ini lebih dikarenakan ketidaknyamanan yang dirasakan oleh Dd (18) atas perlakuan layaknya anak usia 10 tahun. Sesungguhnya, Dd (18) menyadari bahwa batasan yang diberikan dari orangtua terkadang membantunya untuk menjaga kondisi fisik. Ia juga bersyukur atas perhatian dari keluarga yang begitu menyayanginya. Hanya saja, Dd (18) merasa terganggu bila terus diperlakukan seperti itu. Batasan dari kedua orangtua membuat dirinya tidak bisa bebas bermain dengan teman-teman di usianya yang sudah remaja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 84
i. Pengabaian atas terapi dan rasa bersalah pada ibu Sosok ibu menjadi penting dalam hidup Dd (18). Ibu selalu menemani Dd (18) untuk berobat dan merawatnya hingga kondisi tubuhnya bagus seperti sekarang. Ibu adalah seseorang yang menjadi pendorong dirinya untuk rajin berobat. Hal ini terlebih karena adanya perasaan bersalah yang muncul dalam interaksi Dd (18) dan sang ibu. Perasaan bersalah ini kerap kali muncul karena Dd (18) menyadari telah menyia-nyiakan usaha yang dilakukan oleh ibunya dalam menjaga kesehatan dirinya dengan sikapnya yang malas berobat. Selain itu adakalanya perasaan tersebut timbul karena penyesalan setelah bertengkar dengan sang ibu terkait permintaan proses pengobatan yang seharusnya Dd (18) jalani. Dd (18) menggarisbawahi bahwa ingatan atas usaha ibunya dalam merawat dirinya hingga kini memegang peranan besar dalam mendorongnya untuk berobat. Hanya saja, Dd (18) juga mengakui bahwa perubahan sikapnya untuk lebih rajin berobat tidak bertahan lama. Selain perasaan bersalah, Dd (18) juga akan merasa aneh bila ibunya, yang biasanya setiap hari mengingatkan minum obat, tidak mengingatkan dirinya. Bila itu terjadi, maka ia akan merasa bersalah dan minum obat sendiri tanpa diingatkan.
j. Pasangan : sumber keberartian hidup dan kedekatan emosional Kehadiran akan adanya relasi romantis turut mengambil peran penting bagi Dd (18). Berdasarkan cerita dari informan Dd (18), ia telah beberapa kali menjalani relasi romantis. Saat ini, ia di tengah pencarian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 85
untuk membangun hubungan dengan seseorang. Bagi Dd (18) kehadiran sosok kekasih dapat membawa perubahan pada dirinya termasuk rutinitasnya dalam menjalani pengobatan. Setiap kali menjalin relasi romantis, ia selalu terbuka dengan kekasihnya terkait kondisi sakit yang ia miliki. Pemahaman atas kondisi sakit yang ia miliki membuat kekasihnya selalu mengingatkan dirinya untuk menjaga kondisi fisik, seperti tidak boleh kelelahan dan selalu menjalani proses terapi (tranfusi dan terapi kelasi). Selama ini, ia lebih cenderung menuruti setiap permintaan kekasihnya untuk lebih teratur berobat demi menjaga kondisi fisik. Pengalaman atas adanya sosok kekasih membuat Dd (18) memandang relasi romantis sebagai sarana pendukung untuk lebih rajin dalam menjalani pengobatan. Baginya, kehadiran sosok kekasih dapat membuat dirinya merasa lebih berarti. Inilah yang mendorong dirinya untuk menjaga kesehatannya. Hanya saja, sayangnya saat ini ia sedang tidak menjalani relasi romantis dengan siapapun. Untuk itulah ia menekankan bahwa kehadiran kekasih menjadi penting untuknya saat ini. Kehadiran pasangan memungkinkan Dd (18) untuk lebih menurut dalam proses pengobatan. Hal ini mengacu pada alasan bahwa dukungan dari anggota keluarga cenderung sudah biasa dilakukan dan membuatnya merasa bosan. Berbeda dengan keluarga, sosok pasangan dianggap sebagai sosok baru yang Dd (18) sayangi. Selain itu, sosok pasangan bagi Dd (18) dirasa lebih dekat secara emosional. Kondisi tersebut membuat Dd (18) merasa lebih berarti dan bahagia menjalani hidup.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 86
k. Menjadi seorang musisi dan harapan untuk dipercaya Impian dan harapan menjadi sebuah tanda akan adanya gambaran diri seseorang di masa depan. Menabung agar bisa memiliki Motor Gede yang diimpikan sejak usia lima tahun, tampil bersama band untuk mengisi acara, juga menjalani kehidupan sebagai mahasiswa dan tetap menjalani tranfusi serta pengobatan adalah imaginasi yang Dd (18) bayangkan akan terjadi dalam hidupnya dalam lima tahun ke depan. Adapun impian lain Dd (18) menjadi seorang musisi. Dd (18) mengungkapkan impiannya untuk menjadi seorang musisi karena bermain dan mendengarkan musik membuat Dd (18) merasa nyaman. Semua beban yang sebelumnya Dd (18) rasakan dirasa akan menghilang bila ia mendengar musik. Hilangnya kesempatan untuk melakukan aktivitas olahraga membuat Dd (18) menggunakan musik sebagai alternatif pelampiasan dari aktivitas yang disenangi. Atas dasar itu, Dd (18) menganggap mimpinya menjadi seorang musisi adalah suatu hal yang penting. Meskipun impian ini penting bagi Dd (18), dirinya juga memiliki kekhawatiran akan terwujudnya hal tersebut. Selain tidak adanya izin dari kedua orangtua untuk melanjutkan kuliah di Jogja mengambil jurusan musik, ia juga khawatir akan kemampuannya sendiri terkait keterampilannya dalam bermusik. Sebagai sebuah harapan, Dd (18) mengharapkan adanya perubahan pandangan dari orangtua tentang dirinya yakni kepercayaan untuk kuliah di Jogja. Ia berharap orangtua dapat mempercayai dirinya untuk merawat dirinya sendiri secara mandiri. Selain itu, Dd (18) juga mengharapkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 87
adanya izin dari orangtua untuk bebas melakukan berbagai aktivitas meskipun hal itu dapat membuatnya lelah. Dd (18) memiliki pandangan yang melatarbelakangi hal ini, yakni memandang bahwa kelelahan yang ia rasakan dapat ditanggulangi dengan mudah, yaitu dengan tranfusi saja.
l. Citra diri positif dan penerimaan teman sebaya Perasaan sedih menurut Dd (18) bukanlah perasaan yang dominan muncul akibat kondisi sakitnya. Pemahaman adanya sesuatu yang perlu diperjuangkan dalam hidup mendorong Dd (18) untuk memperjuangkan kondisi tubuhnya. Dd (18) juga melihat bahwa kondisi sakitnya tidak membuat dirinya minder dan memandang dirinya cukup terbuka terkait kondisi sakit yang ia alami. Ia merasa hal ini sepenuhnya karena perawatan telah ia jalani sejak ia kecil sehingga tidak banyak perubahan fisik yang terjadi seperti remaja thallasaemia yang lain. Meskipun demikian, terkait proses terapi, Dd (18) melihat dirinya sebagai seorang pembangkang terhadap rutinitas berobat. Di sisi lain secara umum ia memandang dirinya juga tergolong menjadi anak yang cukup manja. Hal ini karena selain ia adalah seorang anak bungsu ia juga menderita thallasaemia sehingga banyak hal yang ia inginkan cenderung dipenuhi oleh keluarga. Dd (18) memandang bahwa penyakit yang ia derita tidak berpengaruh pada interaksinya dengan lingkungan sosial. Hal ini dikarenakan kehadiran teman-teman yang tidak pernah membeda-bedakan dirinya, melainkan menerima ia seutuhnya. Hal ini diperkuat pula dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 88
kehadiran keluarga dan sahabat yang membuat Dd (18) tidak merasa kesepian dan tidak monoton hidupnya. Secara sosial, Dd (18) tidak merasakan adanya dampak yang muncul karena thalassaemia. Selama ini, menurut Dd (18), ia tidak pernah dijauhi oleh teman-teman karena kondisi sakit yang ia miliki. Dd (18) melihat semua teman-temannya tidak pernah membeda-bedakan dirinya dengan orang lain dan mampu menerimanya secara total.
m. Thalassaemia ialah sahabat hidup dan gambaran kematian Dd (18) melihat thalassaemia dalam hidupnya sebagai suatu hal yang memiliki dua sisi, yakni sebagai cobaan sekaligus rasa syukur. Thalassaemia dipandang sebagai sahabat yang menemani hidupnya. Hal ini mendorong Dd (18) untuk bersyukur karena meski memiliki sakit, perhatian orang sekitar justru tertuju padanya. Ia banyak mendapatkan rasa sayang serta perhatian dari keluarga dan teman. Daripada menganggap thalassaemia sebagai sebuah beban, ia lebih memilih untuk lebih menikmati hidupnya apa adanya. Menurutnya, dengan merasa terbebani karena penyakit pun, kenyataan yang ia hadapi tidak akan pernah berubah. Sebagai sebuah harapan, Dd (18) mengharapkan ketiadaan penyakit thalassaemia di dunia. Ia mengibaratkan ketiadaan penyakit sebagai kesembuhan bagi semua penderita thalassaemia di dunia. Menurut Dd (18), harapan ini ia lakukan demi dirinya sendiri dan juga orang lain yang menderita hal yang sama. Pandangan tersebut berdasarkan pengalamannya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 89
akan rasa sakit dan juga kesusahan yang dirasakan oleh orangtua penderita karena penyakit thalassaemia. Bagi Dd (18), kematian merupakan suatu hal yang wajar. Dirinya beranggapan bahwa penyebab kematian bukan hanya karena Thalassaemia saja, tapi bisa juga dikarenakan sebab lain. Dd (18) tidak merasa takut dalam menghadapi kematian karena dirinya berpikir setiap orang pada akhirnya akan meninggal, hanya beda waktu saja. Hal serupa ditunjukkan Dd (18) dalam menanggapi kematian temannya yang juga menderita penyakit Thalassaemia , ia berpikir bahwa setiap orang pada akhirnya akan meninggal. Namun demikian, Dd (18) juga menyatakan perasaan sedih jika mendengar adanya informasi mengenai kematian teman yang juga punya penyakit Thalassaemia. Begitu pula bila ada orang terdekatnya yang meninggalkan dirinya, meski bukan karena penyakit Thalassaemia.
2. Informan Nn (20) a. Kesadaran dan pemahaman atas kondisi sakit Nn (20) adalah seorang remaja pasien thalassaemia mayor yang telah berjuang dengan sakitnya selama 20 tahun. Ia didiagnosis menderita thalassaemia mayor sejak ia belum menginjak usia setahun. Masa SMA adalah masa dimana ia mulai paham bahwa dirinya adalah seorang penderita thalassaemia
mayor. Saat memahami kondisi dirinya yang
memiliki sakit, Nn (20) merasa sedih karena merasa dirinya tidak seperti orang pada umumnya. Perasaan sedih juga dikarenakan dirinya merasa terbatasi dalam mengejar cita-cita dan tak lagi bisa melakukan aktivitas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 90
yang ia sukai karena sakit. Meski demikian, Nn (20) mencoba untuk berpasrah dan memandang pengalaman sakit ini sebagai sebuah jalan yang diberikan oleh Tuhan untuknya. Nn (20) memiliki pengetahuan akan penyakit thalassaemia mayor sebagai suatu penyakit yang membuat penderita mengalami kekurangan darah merah sehingga mengharuskan penderitanya untuk melakukan tranfusi darah. Pengetahuan akan penyakit disertai pula oleh pemahaman Nn (20) akan tujuan dari proses terapi, yakni tujuan dari tranfusi darah yang dilakukan untuk menambah darah serta tujuan dari desferal dan obatobatan demi menjaga kondisi badan. Selain pengetahuan akan tujuan dari setiap proses terapi, ia juga memiliki pemahaman atas konsekuensi yang akan terjadi bila dirinya tidak berobat. Secara fisik, Nn (20) memandang bahwa penyakit thalassaemia tidak terlalu memberikan perubahan fisik pada tubuhnya seperti yang dialami oleh teman-teman thalassaemia lainnya. Selain wajah face cooley yang menjadi ciri khas penderita thalassaemia, ia merasa perkembangan tubuhnya berlangsung dengan baik. Hal ini menurutnya dikarenakan keteraturan pribadi dalam melakukan penyuntikan desferal.
b. Keterbatasan meraih mimpi dan batasan orangtua Selain berbagai pengaruh fisik yang dirasakan oleh Nn (20), penyakit thalassaemia juga membuat Nn (20) merasa terbatasi dalam mencapai cita-cita dan relasinya dengan orang lain. Nn (20) bercita-cita
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 91
untuk dapat bekerja di bidang kesehatan seperti menjadi perawat, dokter, dan pekerjaaan lain yang berada di dunia kesehatan. Di lain sisi, ia menyadari bahwa pekerjaan ini dapat memberikan resiko kelelahan pada dirinya, seperti apa yang disampaikan oleh sang ibu. Tak hanya itu, kondisi sakit juga tidak memungkinkan dirinya untuk melakukan aktivitas yang sesungguhnya ia sukai yaitu menari. Keterbatasan ini tentunya membuat Nn (20) merasa tidak nyaman. Keterbasan yang dirasakan oleh Nn (20) tidak hanya keterbatasan untuk meraih cita-cita. Batasan juga muncul dari hal lain seperti sikap keluarga terhadap diri penderita seperti yang dirasakan oleh Nn (20). Menurut Nn (20), sesungguhnya batasan yang diberi oleh orangtua bukanlah larangan, melainkan bentuk kekhawatiran orangtua akan kondisi dirinya. Adapun batasan-batasan yang dirasakan oleh Nn (20) seperti tidak boleh sendirian dan harus ditemani oleh orang lain karena khawatir terjadi sesuatu padanya. Selain tidak boleh sendirian, ibu juga tidak memperbolehkan Nn (20) untuk menempuh perjalanan yang jauh. Kekhawatiran orangtua bahwa Nn (20) akan kelelahan membuat ia kesulitan meraih cita-citanya untuk bekerja di bidang kesehatan, salah satunya sebagai perawat. Tak hanya itu, Nn (20) juga kesulitan dalam mengekplorasi aktivitas yang ia sukai yaitu menari dikarenakan kekhawatiran yang sama. Kemudian, kekhawatiran orangtua akan tidak adanya orang lain yang bisa mengurus dirinya bila Nn (20) jauh dari orangtua membuat Nn (20) tidak bisa kuliah ke luar kota untuk mengambil
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 92
jurusan sastra. Pada akhirnya, berbagai batasan yang diberikan oleh orangtua pada akhirnya justru membuat Nn (20) tidak memiliki kepastian akan arah yang akan dituju dan memillih untuk bekerja saja
c. Perasaan tidak dimengerti dan arti kebebasan Meskipun orangtua selalu memberi batasan untuknya, Nn (20) menyampaikan bahwa dirinya justru bersikap sebaliknya. Hingga saat ini, ia menyampaikan bahwa ia tak pernah memberi batasan untuk dirinya sendiri. Nn (20) justru memiliki keteguhan diri bahwa ia harus bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan. Namun, Nn (20) tak bisa memungkiri bahwa Nn (20) merasa tidak nyaman dengan batasan yang diberikan dan menginginkan adanya kebebasan terkait hal tersebut. Baginya, batasan justru menghambatnya untuk maju. Batasan yang diberikan oleh orangtua membuatnya diperlakukan seperti anak kecil. Ia memberikan penekanan meskipun batasan adalah bentuk kasih sayang, dirinya juga tidak suka bila diperlakukan seperti itu terus menerus. Nn (20) telah mencoba menyampaikan apa yang dirasakan olehnya kepada orangtua, namun respon yang ia dapatkan justru membuatnya merasa tidak dimengerti. Nn (20) hanya ingin dipandang sebagai seseorang yang telah dewasa. Nn (20) seringkali melawan batasan yang telah diberikan orangtua. Namun di satu sisi, terkadang ia terpaksa menurut karena ia mencoba memahami kekhawatiran kedua orangtua tentang kondisi sakitnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 93
Bagi Nn (20), kepercayaan dan kebebasan yang diberikan oleh orangtua adalah hal paling berarti dan paling ia butuhkan untuk rajin menjalani pengobatan. Hal tersebut bagi Nn (20) adalah bentuk dukungan terbesar yang akan mendorongnya minum obat. Nn (20) menggarisbawahi dirinya tidak menginginkan apapun selain kebebasan dari orangtua untuk membuat keputusan dan memilih hal-hal yang ia suka, bisa berkumpul dengan teman-teman dan tidak terlalu dibatasi lagi. Bila Nn (20) mendapatkan itu semua, ia akan lebih rajin berobat. Kebebasan untuk melakukan segala sesuatu yang ia sukai beririsan pula dengan sarana pendukung lainnya yaitu suasana hati. Suasana hati memegang peranan penting bagi Nn (20) dalam proses pengobatan yang ia jalani. Nn (20) menyatakan terkait hal ini terkadang ia menjadi malas untuk minum obat bila suasana hatinya sedang buruk. Nn (20) mengaku setiap kali suasana hatinya memburuk ia menjadi risau dan tidak mau berobat. Malas dan tidak peduli adalah efek dari suasana hatinya yang memburuk. Ia menekankan bahwa permintaan ibu dan perasaan senang adalah pendorong baginya untuk lebih rajin berobat. Perasaan senang setelah pergi bersama teman-teman tersebut menurutnya kerap kali mendorong perasaan ingin menjalani pengobatan dari dalam dirinya.
d. Pengalaman terapi : kejenuhan, rasa sakit dan ketidakleluasaan Proses terapi yang dilakukan secara terus menerus serta banyaknya pengobatan yang harus Nn (20) lakukan membuat ia merasa jenuh dan bosan. Hal ini sudah ia rasakan sejak di bangku SMP kelas tiga. Semenjak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 94
itu, Nn (20) mulai memiliki keinginan untuk tidak lagi berobat. Kejenuhan untuk menjalani proses pengobatan diiringi pula dengan pengalaman negatif terkait terapi medis yang dirasakan Nn (20). Nn (20) mengalami ketidakleluasaan untuk bergerak dan beraktivitas secara bebas setiap kali melakukan desferal. Ketidaknyamanan lain muncul dari rasa sakit dan bekas suntikan karena suntikan yang selalu berulang. Hal ini mendorong Nn (20) untuk memilih terapi secara oral yang menurutnya lebih nyaman dibandingkan ketidakleluasaan yang dirasakan karena menggunakan desferal. Sebagai sebuah harapan berkenaan penyakit dan proses terapi, Nn (20) memiliki harapan akan kuantitas tranfusi yang dijalani dapat berkurang, tranfusi darah yang biasanya dua kali dalam sebulan, dapat menjadi sekali saja dalam sebulan.
e. Keinginan untuk sembuh: alasan untuk bertahan Proses pengobatan dipahami Nn (20) sebagai usaha yang dilakukan untuk diri sendiri demi menjaga dirinya untuk tetap sehat dan mampu mengejar apapun yang ia inginkan. Melakukan tranfusi darah, dan keteraturan dalam melakukan terapi kelasi (mengkonsumsi berbagai obat dan melakukan desferal) adalah usaha-usaha yang dilakukan Nn (20) untuk menjaga kondisi fisiknya, meski ia menggarisbawahi bahwa terkadang dirinya masih sering kali lupa. Keinginan untuk sembuh adalah harapan yang membuat Nn (20) terus berjuang menjalani proses terapi hingga kini. Keinginannya untuk sembuh menjadi keinginan yang seringkali muncul bila dirinya berobat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 95
Bagi Nn (20), selama masih ada sahabat dan juga orangtua yang selalu menunggunya untuk pulang, Nn (20) akan terus berpikir bahwa dirinya harus sehat. Keinginan untuk memperoleh kesembuhan juga dilakukan agar
Nn
(20)
dapat
mengejar
cita-cita
dan
mengembangkan
kemampuannya dalam menari. Keinginan untuk sembuh dikarenakan Nn (20) ingin menjadi orang lain yang hidup tanpa rutinitas pengobatan. Keinginan untuk sembuh juga tidak terlepas dari keinginannya untuk membuat ibu lebih tenang dan tidak lagi mengkhawatirkan kondisi dirinya. Kesadaran diri ialah sesuatu yang penting bagi individu dalam melakukan berbagai hal yang rutin. Hal ini jugalah yang dirasakan oleh Nn (20) terutama sejak ia menginjak masa SMA. Nn (20) menyadari bahwa dirinya seharusnya sudah bisa mengatur diri sendiri dan mulai lebih rajin berobat. Ia berpikiran bahwa semua orang tidak mungkin selalu ada baginya sehingga perlu usaha yang datang dari diri sendiri. Segala manfaat dari proses terapi menurut Nn (20) akan dirasakan pribadi sehingga usaha perlu dikembangkan diri sendiri sedangkan orang lain hanya berperan sebagai pendukung. Nn (20) menyadari bahwa pengobatan yang ia jalani sepenuhnya berguna bagi dirinya sendiri, agar tetap sehat dan bisa meraih segala hal yang diinginkan atau dicita-citakan. Ia beranggapan ada kalanya terjadi mukjizat yang tidak diketahui kapan datangnya sehingga usaha adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan. Hal inilah yang membuatnya memiliki keinginan untuk berobat berdasar keinginan sendiri selain demi kesembuhan. Keinginan ini terutama karena adanya harapannya untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 96
sembuh demi bisa terus sehat dan bisa berkumpul bersama orang-orang yang ia sayangi.
f. Rasa malas dan aktivitas kerja sebagai penghambat Meski Nn (20) memiliki keinginan yang kuat untuk sembuh, ia menyadari dirinya masih seringkali tidak menjalani proses terapi secara maksimal. Ia sadar bahwa ia lumayan rajin transfusi tetapi malas melakukan desferal dan minum obat. Rasa malas adalah dorongan emosional yang tak terelakkan dan menjadi penghambat proses pengobatan yang Nn (20) lakukan. Nn (20) mengakui bila ia sudah terserang rasa malas ia akan cenderung malas berobat terutama bila suntik desferal karena ketidakleluasaan yang dirasakan. Nn (20) juga menyatakan dirinya sendiri bingung mengapa ia seringkali malas padahal ia sadar berobat juga untuk kebaikan dirinya sendiri. Tak hanya rasa malas yang dominan, Nn (20) menyatakan faktor lain yang menghambatnya untuk berobat seperti lupa. Nn (20) menjelaskan bahwa dirinya seorang pelupa. Padahal ia menyatakan bahwa sebenarnya selama kerja ia pun selalu membawa obat dalam saku celana, hanya saja ia seringkali lupa untuk meminumnya. Selain itu, banyaknya dosis salah satu jenis obat tertentu menjadi salah satu alasan yang membuatnya sering lupa minum obat. Tak hanya itu, ia mengakui ia selalu membawa obat tetapi malas minum obat karena minder dan takut dilihat oleh teman sebaya. Ia menyadari bahwa ia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 97
seringkali lupa bila sedang pergi ke luar tetapi selalu rajin dan ingat bila di rumah. Hal lain yang menghambat Nn (20) untuk menjalani pengobatan yakni padatnya aktivitas kerja. Nn (20) bekerja sebagai seorang admin dan mulai bekerja dari pagi hari hingga sore hari setiap harinya. Hal itu membuat Nn (20) tidak memiliki waktu untuk berobat. Selain tidak adanya waktu luang, ia juga merasa tidak enak hati pada atasan dan rekan kerjanya bila ia harus seringkali izin meminta waktu untuk tranfusi darah.
g. Kepasrahan dan keinginan menjadi orang pada umumnya Ada kalanya sakit yang diderita Nn (20) membuatnya pasrah menerima keadaan. Seperti ketika ia harus menuruti anjuran ibunya yang memintanya untuk tidak lagi menari supaya tidak kelelahan. Nn (20) sendiri menyatakan keinginannya untuk kembali terjun ke dunia tari tapi ia pasrah atas kondisi dirinya karena tidak lagi memungkinkan dan menganggapnya sebagai jalan dari Tuhan. Di sisi lain, ia juga menerima kondisinya sebagai penderita Thallassaemia meski merasa sedih. Nn (20) merasa bahwa ia tidak bisa melakukan apapun untuk mengubah kondisinya. Selain itu, ia beranggapan tidak semua orang yang sehat itu sempurna dan tidak pernah sakit. Perasaan ingin seperti orang pada umumnya yang sehat dan bebas melakukan apa saja dan tak perlu khawatir akan kelelahan adalah hal yang dominan dirasakan Nn (20) terkait penyakitnya. Keinginan untuk menjadi orang normal inilah yang membuat Nn (20) pada akhirnya malas berobat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 98
Nn (20) ingin merasakan apa yang dirasakan orang yang tidak punya penyakit dengan tidak mengonsumsi obat seperti layaknya orang sehat. Menurutnya, dengan mengkonsumsi obat pun dirinya tidak akan bisa sembuh. Dengan tidak mengonsumsi obat, Nn (20) menganggap dirinya tidak sakit sehingga dapat terlihat seperti orang yang sehat. Ia memandang orang normal adalah orang yang bebas melakukan apa saja yang disukai, tidak perlu transfusi, tidak tergantung pada obat, dan orang yang meski sakit pun, sakit yang dialami mereka tidak setiap saat seperti yang dia alami. Perasaan ini juga didorong oleh adanya keinginan Nn (20) untuk tidak terlihat sakit di hadapan orang lain. Ia sendiri sebenarnya tahu bahwa pandangan ini tidak hanya karena ia membawa dan mengonsumsi obat, tapi juga karena pengalamannya yang merasa dianggap sebagai orang yang sakit karena sering tidak masuk sekolah.
h. Ibu : pendorong proses terapi Bagi Nn (20), keluarga memiliki peran yang besar dalam proses pengobatan. Keluarga adalah orang yang selalu memberikan dukungan pada Nn (20), meski dukungan tersebut dalam bentuk batasan-batasan untuk dirinya. Keluarga begitu berarti bagi Nn (20), terutama ibu. Nn (20) sangat menyayangi ibu karena dalam hidup Nn (20), ibu adalah orang yang selalu merawat dirinya, menjaganya dan selalu mengingatkannya untuk berobat sedari kecil. Sewaktu kecil, segala hal terkait proses pengobatan diatur oleh sang ibu dan selalu dituruti oleh Nn (20). Ibu jugalah yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 99
menjadi pendorong Nn (20) untuk rajin berobat. Nn (20) menyatakan bahwa ia akan rajin berobat jika diminta oleh sang ibu. Setiap kali dirinya malas untuk berobat, ia akan ingat akan pesan ibunya untuk minum obat dan desferal. Ibunya juga orang yang mengingatkannya bahwa kondisi sakitnya bukanlah suatu hal yang main-main. Kekhawatiran pada ibu merupakan alasan yang membuat dirinya terus berobat. Ia khawatir pada sang ibu bila sesuatu yang buruk terjadi padanya. Selain itu ia khawatir ia tidak lagi bisa melihat ibunya dan tidak bisa berkumpul bersama temantemannya bila memang ia harus pergi.
i. Pentingnya keluarga, pasangan dan sahabat Berkaitan dengan kehadiran orang-orang terkasih, Nn (20) memberikan angka 10 untuk mengilustrasikan pentingnya kehadiran keluarga, sahabat, dan pasangan. Nn (20) menginginkan mereka dapat selalu hadir untuk dirinya. Sejauh ini, Nn (20) melihat bahwa tidak semua anggota keluarga bisa selalu hadir menemani proses terapi. Biasanya, hanya ibu dan nenek Nn (20) yang menemaninya berobat. Bagi Nn (20), ia merasa sendirian bila berada di rumah. Meskipun beberapa anggota keluarga berada di rumah, ia tetap merasa sepi karena semuanya memiliki kegiatan sendiri-sendiri. Nn (20) juga menjelaskan bahwa dirinya kurang memilki kedekatan dengan sang ayah. Menurut Nn (20), semakin ia dewasa ia semakin jauh dari ayahnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 100
Saat ini, Nn (20) memiliki empat orang teman dekat sejak kelas 3 SMA yang sering membantu, mengajari dan selalu mendukung dirinya. Adapula kehadiran beberapa teman lain yang juga menerima dan selalu mendukung Nn (20). Bagi Nn (20), kehadiran teman-temannya sangat berarti dan membuat dirinya ingin selalu bisa bersama-sama. Mengenal mereka seolah membuat Nn (20) mendapatkan keluarga baru. Kegiatannya bersama teman-teman di luar membuat Nn (20) merasa berguna dan setidaknya masih ada hal yang bisa ia lakukan. Selain kebebasan dan kepercayaan dari orangtua, berkumpul bersama teman menjadi salah satu hal yang mampu mendorong Nn (20) menjalani pengobatan. Selain itu, kehadiran akan adanya relasi romantis turut mengambil peran penting bagi Nn (20). Menurut kisahnya, ia telah menjalani relasi romantis sebanyak dua kali, termasuk hubungan yang ia jalani saat ini. Saat ini, ia telah menjalin relasi romantis selama setahun enam bulan. Menurut Informan Nn, relasi romantis yang saat ini ia jalani berbeda dengan hubungan yang ia bangun sebelumnya. Relasi romantisnya yang pertama hanya berjalan kurang dari lima bulan. Pada hubungan romantisnya yang pertama, ia menceritakan bahwa dirinya sama sekali tidak terbuka tentang kondisi sakitnya pada pacar. Saat itu, ia khawatir pacarnya tidak akan mampu menerima kondisi dirinya. Kekhawatiran ini menjadi nyata saat sang pacar akhrinya memilih untuk memutuskan hubungan setelah Nn terbuka mengenai kondisi dirinya yang memiliki sakit. Pada hubungan romantis yang kedua (yang saat ini ia jalani), ia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 101
merasa bahwa sang kekasih dapat menerima dirinya apa adanya. Meski Nn telah
terbuka
tentang
kondisi
sakitnya,
sang
kekasih
masih
mempertahankan hubungan bahkan terus mendukungnya hingga saat ini dalam situasi apapun, termasuk perhatiannya untuk selalu mengingatkan Nn untuk tranfusi, desferal dan minum obat. Relasi romantis dianggap sebagai sarana pendukung untuk lebih rajin dalam menjalani pengobatan. Menurut Nn (20), kehadiran kekasih memberinya semangat untuk terus berobat agar dapat terus bersama-sama. Di mata Nn (20), pasangannya adalah satu-satunya orang yang mau menerima dirinya apa adanya dan tetap bertahan menjalin relasi romantis dengan kondisinya yang memiliki sakit. Bagi Nn (20), sikap pasangan yang selalu menjaga dan mengingatkan dirinya untuk berobat sangat berarti untuknya. Terlebih pasangannya saat ini juga mendukung Nn (20) untuk mengejar cita-citanya dan mengembangkan kemampuan dirinya dalam hal menulis. Hal itu membuatnya semangat dan merasa ingin terus melakukan pengobatan.
j. Independensi dan pengalaman ditolak Tidak semua orang bisa menerima diri kita apa adanya. Sebagian lagi bersedia untuk menerima diri kita seutuhnya. Hal ini turut pula dirasakan oleh Nn (20). Memiliki keterbatasan fisik membuat Nn (20) pernah mengalami penolakan dari lingkungan sebayanya sewaktu ia duduk di bangku SMP. Ia dianggap sebagai seseorang yang penyakitan dan hidup dengan bergantung pada obat-obatan. Terlebih, Nn (20) mendapatkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 102
penolakan dari seseorang yang pernah dekat dengannya yang kebetulan seringkali mengantar-jemput Nn (20) kemanapun. Konflik internal yang terjadi membuat teman Nn (20) mengatakan hal yang tidak menyenangkan pada Nn (20). Kekhawatiran Nn (20) akan terulangnya pengalaman yang sama membuat Nn (20) tidak ingin lagi bergantung pada orang lain semenjak saat itu. Nn (20) mengungkapkan bahwa ia sebelumnya tidak pernah terbuka dengan teman-temannya karena ia minder. Ini menjadi alasannya tidak berobat karena cemas teman-temannya tahu ia sakit. Pengalaman di masa SMP merupakan masa-masa di mana ia paling merasa minder atas kondisi sakitnya. Hal ini terutama karena ada pengalaman di masa lalu yang membuatnya merasa sedih karena dibilang penyakitan oleh temantemannya. Hal ini mulai berubah sejak ibunya bercerita tentang kondisinya semua teman-temannya sekarang tahu kondisinya. Ia merasa temantemannya menerimanya. Nn (20) menyatakan bahwa ia ingin mandiri dan pantang serta tidak suka merepotkan orang lain siapapun itu. Ia menyatakan bahwa bila diberikan kesempatan untuk ke luar tanpa diantar oleh orangtuanya ia akan lebih rajin dan semangat berobat. Hal ini karena ia merasa malu dan mencegah agar orang lain tidak melabelinya sebagai anak manja. Terkadang ia merasa tidak enak dengan temannya yang selalu mengantarkannya meski sang teman sendiri mengatakan tidak perlu khawatir. Ia berpikiran selagi ia bisa melakukan hal tersebut sendiri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 103
mengapa ia harus meminta bantuan dan merepotkan orang lain. Selain itu ia juga mengungkapkan bahwa ia selalu senang setelah diizinkan pergi jalan-jalan ke luar. Seringkali ia merasa disalahartikan kalau keinginannya untuk keluar sendiri karena ia ingin mencoba hal-hal aneh. Sedangkan menurut Nn (20) hal tersebut ia lakukan semata karena ia tidak ingin merepotkan ibunya untuk mengantarkan ke tempat yang lumayan jauh. Ia berpikir tanpa harus mengantarkan dirinya sang ibu sudah memiliki banyak hal yang perlu diurus. Hanya saja menurutnya ibunya kerap kali kurang mau mengerti kondisinya. Ia sendiri tidak pernah bercerita kepada ibunya bahwa bila ia pergi keluar seringkali ia berjualan beberapa barang sehingga bisa mendapat penghasilan. Nn (20) tidak ingin lagi merepotkan atau meminta uang lagi kepada orangtuanya. Meskipun demikian sang ibu seringkali menganggap dirinya hanya menghabiskan uang saja karena belum mendapat hasil yang signifikan. Di sisi lain, berkenaan dengan perasaan tidak ingin merepotkan ini Nn (20) juga memiliki keinginan untuk bisa kuliah ke luar kota sehingga bisa merasakan hidup sendiri dan menjadi mandiri. Ia juga melihat bahwa kebanyakan anak Thalassaemia yang ia kenal memiliki keinginan untuk mandiri.
k. Segala impian dan harapan untuk diri dan orangtua Impian dan harapan membuat seseorang tetap hidup demi meraih segala sesuatu yang ia impikan. Bagi Nn (20), keinginan untuk sembuh adalah hal yang ia impikan. Keinginan untuk sembuh dilakukan untuk mencapai hal yang sangat ia gemari yaitu menjadi seorang profesional.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 104
Keinginan untuk membahagiakan kedua orangtua juga menjadi hal yang ia impikan. Meski dirinya sakit, ia berpikir bahwa harus tetap sehat agar bisa membahagiakan kedua orangtuanya. Nn (20) menyadari bahwa dirinya sering
mengecewakan
orangtuanya
dan
masih
memiliki
banyak
kekurangan, terutama sang ibu. Keinginan untuk sembuh juga dilakukan karena adanya keinginan untuk bisa terus bersama dengan orang-orang terkasih. Nn (20) juga mengungkapkan beberapa harapan terkait diri dan orangtua. Nn (20) mengharapkan adanya perubahan pandangan dari orangtua tentang dirinya yakni kepercayaan bahwa ia telah dewasa. Berkenaan dengan diri, Nn (20) memiliki harapan bahwa dirinya mampu meyakini orangtua bahwa ia dapat mandiri dan tidak harus selalu bergantung pada orang lain. Kemudian, Nn (20) juga mengharapkan adanya perubahan diri terkait sikapnya sendiri yakni dapat menjalani pengobatan secara teratur dan tidak merasa malas lagi agar kondisi fisiknya lebih baik lagi.
l. Thalassaemia hadiah dari Tuhan dan gambaran kematian Bagi Nn (20) thalassaemia merupakan hadiah dari Tuhan. Ia tidak berpikir untuk mengubah jalan hidupnya karena merasa itu memang sudah takdirnya dan tinggal menerima serta menjalaninya. Nn (20) merasa ada sesuatu yang mungkin bisa ia pelajari dari kehidupan yang ia jalani. Nn (20) memandang penyakit hanya membuatnya mendapatkan perawatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 105
lebih dibandingkan orang pada umumnya, namun hal ini tak kan menghambat kemauannya. Kematian tidak menjadi hal yang ditakutkan oleh Nn (20). Ia beranggapan bahwa kematian pasti akan terjadi dan tidak dapat dicegah oleh siapapun. Hal yang ia takutkan hanya Tuhan dan orangtuanya. Mendengar informasi adanya teman thalassaemia
yang meninggal
membuat Nn (20) lebih memperhatikan diri. Nn (20) tetap berpasrah dan ikhlas untuk apapun yang terjadi padanya esok hari. Nn (20) beranggapan bahwa penyebab kematian bukan hanya karena Thalassaemia saja, tapi bisa juga dikarenakan sebab lain. Nn (20) menceritakan bahwa ia pernah membayangkan dirinya berada dalam posisi tersebut. Orang yang ia khawatirkan ialah orang-orang yang ia sayangi, yaitu ibunya dan teman-temannya. Ia khawatir ia tidak lagi bisa melihat ibunya dan tidak bisa berkumpul bersama temantemannya. Hal yang sama juga dirasakan Nn (20) bila ada keluarga dekatnya yang meninggalkan Nn (20) terlebih dulu, meski bukan karena penyakit Thalassaemia .
3. Informan Fa (19) a. Pengetahuan dan pemahaman atas thalassaemia Sebagai seorang penderita thalassaemia mayor, Fa (19) adalah seorang remaja yang berhasil menempuh perjalanan yang cukup panjang hingga duduk di bangku perkuliahan. Sejak usia dibawah setahun, Fa (19) telah didiagnosis menderita thalassaemia mayor. Fa (19) mulai memahami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 106
bahwa dirinya adalah seorang penderita thalassaemia mayor di usianya yang ke-5. Pengalaman seringkali mengunjungi rumah sakit sejak kecil untuk melakukan proses terapi, yaitu tranfusi darah membuatnya menyadari kondisi sakitnya. Fa (19) memaparkan pengetahuannya akan penyakit thalassaemia mayor sebagai suatu kelainan genetis yang menyebabkan tubuh penderita tidak mampu memproduksi sel darah merah. Kondisi tersebut membuat sel darah merah dari penderita harus ditambah dari luar. Pengetahuan akan penyakit disertai pula oleh pemahaman Fa (19) akan tujuan dari proses terapi, yakni tujuan dari tranfusi darah yang dilakukan untuk bertahan hidup serta tujuan dari desferal dan obat-obatan demi membuang zat besi yang menumpuk dalam tubuh. Fa (19) memahami bahwa penyakit yang dimilikinya berdampak pada kondisi fisiknya. Semakin lama, Fa (19) merasa kondisi fisiknya semakin melemah. Ia menilai bahwa kondisi fisiknya saat ini tidak seperti kondisi sewaktu kecil yang menurutnya masih seperti orang pada umumnya. Kini Fa (19) merasa tubuhnya tak lagi kuat untuk berjalan. Ia juga akan merasa kehabisan tenaga bila ia belum melakukan tranfusi.
b. Keterbatasan pencapaian angan-angan Setiap orang pasti memiliki impian. Suatu mimpi dan harapan yang ingin diwujudkan sekaligus sebuah ilustrasi akan gambaran dirinya di masa depan. Hanya saja, terkadang apa yang kita impikan tidak selalu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 107
sesuai dengan harapan dan tidak semudah apa yang sesungguhnya kita hadapi dalam hidup. Selain berbagai pengaruh fisik yang dirasakan oleh Fa (19), penyakit thalassaemia juga membuat Fa (19) merasa terbatasi, terutama dalam meraih mimpinya. Sama halnya dengan orang-orang pada umumnya, Fa (19) juga punya sesuatu yang ingin ia wujudkan. Pertumbuhan tinggi badan yang terhambat karena sakit, membuat Fa (19) gagal melanjutkan sekolah ke jenjang SMK untuk melatih keterampilan dalam hal tata boga, merias, atau keterampilan lain yang memang menjadi minatnya. Tinggi badan yang tidak memenuhi syarat adalah alasan utama gagalnya Fa (19) tidak melanjutkan sekolah ke SMK yang sesuai dengan minatnya, melainkan SMA. Adapun isu terkait tinggi badan ini juga menghadirkan batasan lain yang hadir terkait pandangan orang lain terhadap Fa (19). Adanya isu mengenai prasyarat tinggi badan minimal jika ingin mendaftar menjadi seorang guru membuatnya merasa ada diskriminasi yang tak adil. Terlebih lagi ketika pamannya menyampaikan candaan lebih baik dirinya menjadi guru PAUD atau SD saja, karena badannya yang kecil. yang meremehkan dirinya. Ia menganggap candaan tersebut meremehkan dirinya dan merasa tidak adil lantaran ia berpandangan bahwa kemampuan seseorang tidak bisa dinilai hanya berdasarkan kondisi fisiknya saja. Selain itu, Fa (19) juga menceritakan bahwa ia sesungguhnya bercita-cita menjadi seorang dosen pada awalnya. Hanya saja, keterbatasan fisik berupa kelelahan yang seringkali ia rasakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 108
selama menjalani proses kuliah menjadi penghalang baginya untuk mencapai impian tersebut. Fa (19) mengungkapkan ketidakyakinannya bahwa dengan kondisi fisik saat ini, dirinya masih mampu melanjutkan studi ke jenjang S2. Untuk itulah, Fa (19) mengurungkan niatnya untuk menjadi dosen dan lebih memilih untuk membuka bimbingan belajar setelah menyelesaikan perkuliahan di jenjang S1.
c. Berobat : upaya bertahan hidup Segala macam proses pengobatan yang harus dilakukan oleh Fa (19) dimaknai sebagai upaya untuk tetap bertahan hidup. Tanpa menjalani proses pengobatan, Fa (19) melihat kemungkinan dirinya untuk tidak ada di dunia ini sangat besar. Melakukan tranfusi darah, terapi kelasi (mengkonsumsi berbagai obat dan melakukan desferal) dan menjaga pola kesehatan, makan, tidur dan istirahat adalah usaha-usaha yang dilakukan Fa (19) untuk menjaga kondisi fisiknya. Bahkan sejak kecil, Fa (19) sudah memiliki kepekaan untuk menjaga kondisi fisiknya. Sewaktu kecil, ia selalu berinisiatif untuk mengajak orangtuanya untuk tranfusi setiap kali ia merasa pusing. Permintaan Fa (19) untuk tranfusi juga mempertimbangkan kondisi keuangan keluarganya di kala itu. Hal ini dikarenakan proses terapi membutuhkan biaya yang cukup besar. Usaha Fa (19) untuk menjaga kondisi fisik juga tampak dari usahanya untuk membuat reminder berupa alarm yang bertujuan untuk mengingatkannya minum obat. Hanya saja, usaha ini menurutnya tidak efektif, karena hanya berhasil di waktu-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 109
waktu awal, dan gagal karena dirinya yang seringkali kelelahan dan menunda hingga berujung pada kelupaan.
d. Proses terapi: rasa sakit, kejenuhan hingga efek samping terapi Seiring berjalannya waktu, proses terapi yang dilakukan secara terus menerus membuat Fa (19) merasa jenuh dan bosan. Hal ini sudah ia rasakan sejak di bangku SMA. Semenjak itu, Fa (19) mulai memiliki keinginan untuk tidak lagi berobat dan mempertanyakan alasan untuk berobat bila tidak ada kesembuhan yang ia peroleh. Kebosanan ini hadir karena proses terapi menurut Fa (19) terus berulang tanpa akhir. Ia merasa jenuh melakukan aktivitas pengobatan yang begitu-begitu saja, dan juga dengan hasil yang begitu-begitu saja, yakni hanya untuk menjaga agar kadar ferritin dalam tubuh tidak bertambah. Tidak adanya perubahan yang dirasakan dan pandangan bahwa segala perawatan hanya berguna untuk mempertahankan kehidupan serta menunda kematian membuat Fa (19) merasa malas berobat. Hal ini menurutnya juga diperkuat dengan karena jenis obat yang selalu sama dengan hasil yang sama pula. Kondisi ini berujung pada kesimpulan bahwa mengabaikan pengonsumsian obat adalah hal yang wajar karena pengobatan menurutnya tidak membawa perubahan. Proses terapi selama ini ia lakukan hanya untuk keluarga, bukan untuk dirinya sendiri. Hal ini dikarenakan bagi Fa (19), seberat apapun itu, pengobatan menjadi rutinitas yang memang harus dilakukan dan sudah seharusnya ia jalani.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 110
Kejenuhan untuk menjalani proses pengobatan diiringi pula dengan pengalaman negatif terkait terapi medis yang dirasakan Fa (19). Selama menjalani proses pengobatan, Fa (19) menyampaikan pengalaman negatif terkait terapi medis yang dirasakan olehnya. Salah satunya yakni reaksi dari salah satu terapi oral yang membuatnya mual dari pagi hingga esok hari. Menurutnya, hal ini dapat dikarenakan dirinya yang sudah terlalu lama tidak mengonsumsi obat tersebut. Pengalaman tersebut membuat dirinya tidak pernah lagi menggunakan obat tersebut dan menggantinya dengan obat yang lain. Di lain sisi, rasa sakit yang disebabkan oleh penyuntikan desferal turut menjadi alasan Fa (19) tidak rajin melakukan terapi tersebut. Penyuntikan desferal membuat bagian tubuh Fa (19) yang disuntik menjadi bengkak, merah, ruam dan panas. Berdasar pengalaman Fa (19), bila ia mulai merasakan panas pada bagian tubuh yang disuntik, maka area suntikan biasanya akan membekas dan membiru. Efek lain yang Fa (19) anggap menyusahkan ialah hal teknis dalam proses penyuntikan desferal, seperti proses menyuntik, dan kesediaan untuk terbangun di malam hari demi melepas suntikan desferal. Hal ini juga diperkuat oleh kesulitan Fa (19) untuk bergerak dan beraktivitas secara bebas setiap kali melakukan desferal. Pengalaman negatif seperti itulah yang membuat Fa (19) malas untuk melakukan terapi desferal, meskipun dirinya melakukan proses pemasangan desferal secara mandiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 111
e. Rasa malas berobat dan ketidaberdayaan atas situasi Tidak adanya perubahan yang dirasakan dan pandangan bahwa segala perawatan hanya berguna untuk mempertahankan kehidupan serta menunda kematian membuat Fa (19) merasa malas berobat sejak SMA. Hal ini menurutnya juga diperkuat dengan karena jenis obat yang selalu sama dengan hasil yang sama pula. Kondisi ini berujung pada kesimpulan bahwa mengabaikan pengonsumsian obat adalah hal yang wajar karena pengobatan menurutnya tidak membawa perubahan. Fa (19) melihat rasa malas menjadi salah satu faktor utama yang membuatnya tidak mengonsumsi obat. Ia mengakui meski sering diingatkan oleh sang ibu ia terkadang menunda dan melakukan hal lain hingga pada akhirnya ia lupa mengonsumsi obat. Terkadang penundaan ini membuatnya tertidur dan tidak melakukan pengobatan meski alat yang dibutuhkan telah ia siapkan. Terkait hal ini Fa (19) merasa bahwa dirinya masih kekanakan, ia merasa ingin selalu diingatkan dan disuruh untuk melakukan pengobatan. Kelalaian pribadi menurut Fa (19) terkadang berdampak pada kondisi tubuhnya hingga ia sampai perlu diopname karena kemalasannya untuk menjalani pengobatan. Rasa malas, capai, bosan menjadi alasan yang kerap kali ia temui saat akan menjalani pengobatan. Ia sendiri tidak paham mengapa ia tidak bisa tergerak bila ia sudah merasa malas meski tahu bahwa obat ialah sarana untuknya mempertahankan hidup.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 112
Fa (19) sendiri memiliki kesadaran bahwa dirinya melakukan pengabaian atas proses pengobatan. Ia sadar tidak rutin menjalani salah satu proses pengobatan (desferal) karena merasa prosesnya yang menyakitkan. Ia ingin ada perubahan terkait proses transfusi yang dilakukan. Perubahan ini menurutnya menurunkan rasa sakit yang dirasakan dan lebih praktis. Sisi praktis ini dipandang Fa (19) menguntungkan baginya. Hal ini seperti yang ia rasakan ketika mengonsumsi obat baru yang memiliki dosis tunggal dan lebih praktis. Meskipun demikian ia mengakui tetap saja sering lalai meminum obat. Berkenaan dengan proses pengobatan Fa (19) juga mengakui bahwa suasana hati memiliki peran penting. Bila suasana hatinya sedang bagus ia akan berobat tanpa disuruh.
f. Rasa kesal dan keinginan menjadi orang normal Meski mengaku pasrah atas kondisi diri, Fa (19) terkadang merasa sebal saat berpikir mengapa sakit yang ia derita tak bisa sembuh. Rasa kesal ini juga ia rasakan saat ia menyadari bahwa sakit yang ia alami juga menghambat pertumbuhannya. Fa (19) juga merasa bahwa meski ia tetap dapat melakukan banyak hal, terkadang tumbuh keinginan dalam dirinya untuk menjadi orang lain. Hal ini berkaitan dengan berbagai hambatan yang muncul akibat sakit yang ia alami seperti larangan kuliah di luar kota. Ia merasa larangan itu muncul berkaitan dengan dirinya yang belum dipandang sebagai sosok yang rajin, mandiri, dan mampu mengatur diri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 113
sendiri terutama dalam proses pengobatan. Pemahaman akan penyakit thalassaemia yang tidak bisa sembuh mendorong Fa (19) untuk berpikir bahwa dengan tidak meminum obat, ia bisa terlihat seperti orang sehat pada umumnya. Ia beranggapan akan mengasyikkan bila bisa menjadi orang sehat yang bebas melakukan berbagai hal, tidak mudah merasa kelelahan, dan tidak perlu menjalani pengobatan.
g. Harapan untuk proses terapi Dalam rentang satu hingga sepuluh, Fa (19) menilai semangatnya berada pada angka tujuh. Baginya, kondisi yang ia alami tidak dapat ia ubah lagi sehingga segala rutinitas pengobatan memang seharusnya ia jalani, meskipun disertai perasaan malas yang kerap ia rasakan. Berkenaan dengan hal ini Fa (19) sendiri memiliki harapan agar jarak waktu antartransfusi bisa lebih panjang dibandingkan sekarang. Selain itu ia menyimpan harapan agar ditemukan obat yang enak dan mujarab sehingga pasien bisa terdorong untuk mengonsumsi obat. Sebagai sebuah harapan terkait penyakit dan proses terapi, Fa (19) berharap adanya inovasi atas obat yang diberikan, seperti adanya variasi rasa, sehingga lebih mendorong seseorang untuk tertarik dan menumbuhkan semangat meminum obat. Obat yang sejauh ini berasa pahit atau berbentuk tablet dalam jumlah yang banyak menurutnya menimbulkan rasa malas untuk mengonsumsi. Adapun harapan lain yang Fa (19) rasakan yakni harapan bahwa semoga proses pengobatan bisa ditiadakan, tidak terus-menerus, tetapi ia juga memandang hal tersebut cukup mustahil terjadi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 114
h. Kebutuhan akan pasangan dan relasi yang dekat Berkaitan
dengan
kehadiran
orang-orang terkasih,
Fa
(19)
memberikan angka 10 untuk mengilustrasikan pentingnya kehadiran keluarga, sahabat, dan pasangan. Fa (19) akan merasa senang bila ada teman yang perhatian padanya dan mengingatkannya untuk tetap semangat berobat. Selain itu, kehadiran akan adanya sosok pasangan turut mengambil peran penting bagi Fa (19). Hingga usianya sekarang, ia belum pernah menjalani relasi romantis. Sebelumnya, menjalin relasi romantis ialah hal yang belum menjadi perhatian utamanya. Meski belum pernah menjalin relasi romantis, ia mengaku memiliki seorang sahabat laki-laki yang dinilainya cukup dekat dan dirasa mampu mendengarkan dan memahami dirinya. Oleh karena itulah, ia mengharapkan adanya sosok kekasih sebagai sarana pendukung untuk lebih rajin dalam menjalani pengobatan dan merawat kondisi fisiknya. Kehadiran pasangan dinilai Fa akan membuatnya lebih semangat karena merasa disayangi dan lebih dibutuhkan. Selain itu, adanya relasi dekat baik melalui kehadiran sosok kekasih ataupun teman dekat membuatnya merasa tidak harus mengurus semuanya sendirian. Di mata Fa (19), kehadiran pasangan akan membuat Fa (19) lebih semangat karena merasa disayangi dan lebih dibutukan. Fa (19) menegaskan adanya perbedaan kehadiran pasangan dan kehadiran keluarga yang sudah bertemu setiap hari. Bagi Fa (19), kehadiran teman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 115
dekat dan juga pasangan tidak akan membuatnya merasa harus mengurus semuanya sendiri yang seringkali membuatnya bosan dan tidak memiliki semangat. Fa (19) juga mengungkapkan harapannya tentang kebutuhannya untuk memiliki relasi yang dekat dengan orang lain. Relasi dan perhatian dari teman sebaya menurut Fa (19) sendiri adalah sesuatu yang penting baginya dibanding perhatian ibu yang ia anggap sudah biasa. Ia ingin teman-temannya dekat dengannya dan memberi perhatian. Namun, Fa (19) sendiri merasa bahwa jaringan pertemanannya kecil dan teman-teman yang ia miliki tergolong cuek. Ia juga berpikiran bisa jadi karena temantemannya tidak tahu bahwa ia berada dalam kondisi sakit dan perlu mengonsumsi obat sehingga mereka terlihat cuek. Pentingnya relasi ini mendorong dirinya untuk berkuliah dan memilki banyak kenalan karena ia pikir dirinya kurang pandai bersosialisasi sehingga kuliah sendiri menjadi sarana baginya untuk mengenal banyak orang serta memilki kawan dekat. Hal ini berkaitan erat dengan keinginannya untuk memiliki teman yang bisa mendukungnya. Sejauh ini hal tersebut cukup baginya, hanya saja teman yang ia pandang bisa mendukungnya berada jauh darinya sekarang ini.
i. Batasan dan sikap terhadap batasan Menjadi seorang penderita thalassaemia memang tak bisa disangkal adalah sebuah batasan untuk setiap penderita. Namun demikian, batasan juga bisa muncul dari hal lain seperti sikap keluarga terhadap diri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 116
penderita seperti yang dirasakan oleh Fa (19). Fa (19) menceritakan bahwa kekhawatiran dari orangtua akan dirinya yang kelelahan membuat Fa (19) sulit untuk mencoba hal-hal baru. Selain batasan untuk tidak boleh terlalu kelelahan, Fa (19) juga tidak diperbolehkan untuk tidur malam dan telat makan agar kondisi badannya tidak menurun. Menurut Fa (19), ayahnya memiliki peran penting terkait batasan yang diberikan. Ia merasa hidupnya terlalu diatur oleh sang ayah. Hal ini menimbulkan ketidaknyamanan dalam diri Fa (19) karena ia adalah pribadi yang tidak suka diatur. Sebagai respon atas batasan yang diberikan, Fa (19) mencoba untuk menerima dan memandangnya secara positif yakni untuk kebaikan dirinya sendiri. Hanya saja, Fa (19) juga menginginkan adanya sedikit kebebasan terkait jam keluar malam. Ia menyadari bahwa adanya perlakuan berbeda yang diberikan oleh orangtuanya pada ia dan adiknya. Ia menyadari bahwa hal itu karena kondisi sakitnya, hanya saja ia memandang bahwa ia masih sadar akan batasan-batasan yang ia miliki. Terkadang, di saat tidak ada yang mengawasi, Fa (19) menyampaikan bahwa dirinya akan semakin nakal untuk melakukan aktivitas yang dilarang oleh orangtua. Hal ini dikarenakan keinginannya untuk bisa melakukan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan dan mencoba untuk melakukannya sendiri, bukan dari pengalaman orang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 117
j. Ketidaknyamanan dipandang sebelah mata Dalam interaksinya dengan lingkungan sosial, Fa (19) merasa minder dengan kondisi wajahnya yang memiliki ciri khas thalassaemia, yaitu face cooley. Hal ini membuat Fa (19) merasa jelek dan seringkali diperbandingkan dengan wajah saudara-saudaranya. Fa (19) seringkali merasa tidak nyaman dan kesal dengan kehadiran orang lain yang seringkali memperbandingkan dirinya dengan orang lain dikarenakan kondisi sakitnya. Fa (19) ingin dirinya dilihat sebagaimana orang pada umumnya dilihat. Namun, faktanya ia seringkali mendapatkan perlakuan yang berbeda dari orang sekitarnya dan lingkungan, seperti keresahan akan aturan yang mengacu pada standar fisik tertentu. Hal ini membuat dirinya merasa resah dan kesal karena kondisi fisiknya terpengaruh dengan sakit yang ia miliki. Ia juga merasa kesal karena seolah-olah kemampuan dinilai berdasarkan fisik semata. Perlakuan serupa juga ditemui dengan temannya yang sering mengolok-olok dirinya karena kondisi fisiknya. Hal tersebut ia pandang seolah-olah meremehkan kemampuan yang ia miliki, dan lebih menekankan pada kondisi fisik
k. Keluarga dan keinginan untuk terus bersama Hadirnya keluarga adalah hal penting bagi Fa (19). Fa (19) menginginkan keluarga dapat selalu ada untuknya, baik saat tranfusi atau kapanpun. Keluarga menjadi alasan Fa (19) untuk bertahan menjalani pengobatan. Hal ini berdasar pada keinginan Fa (19) untuk dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 118
berkumpul selama Fa (19) masih memiliki keluarga untuk menikmati kebersamaan. Keluarga juga memiliki peran yang cukup besar terkait proses pengobatan Fa (19), terutama ibu. Setiap pagi, ibu adalah orang yang selalu membangunkannya untuk minum obat. Ibu akan marah padanya bila Fa (19) kelupaan minum obat. Untuk menghindari kemarahan sang ibu, biasanya Fa (19) akan menuruti permintaan ibunya. Namun, meskipun dengan cara seperti itu, Fa (19) masih saja sering lupa karena penundaan yang dilakukan. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mendorong Fa (19) rajin menjalani pengobatan. Adapun untuk mendorong semangat Fa (19) dalam menjalani penyuntikan desferal, sang ibu memberikan reward berupa uang sejumlah Rp 10.000,- setiap kali ia melakukan desferal. Meskipun pada awalnya upaya ini cukup berhasil bagi Fa (19), namun Fa (19) menyatakan rasa malas yang ia miliki dan juga rasa sakit akibat desferal membuatnya dirinya kembali tidak mau melakukan desferal. Selain peran ibu, Fa (19) juga merasakan dukungan dari adik laki-lakinya. Fa (19) menilai dukungan yang diberikan oleh sang adik berupa tindakan yang dilakukannya, seperti menjemput Fa (19) dari rumah sakit dan menemani Fa (19) selama di rumah sakit bila sang ibu tidak hadir. Kehadiran nenek yang selalu merawat di rumah sakit saat kedua orangtua Fa (19) tidak ada, juga turut menjelaskan adanya dukungan dari keluarga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 119
l. Membanggakan ibu: alasan terus bertahan Ibu adalah seseorang yang sangat berarti bagi Fa (19) dan membuat ia bertahan berobat hingga saat ini. Fa (19) sangat menyayangi sang ibu. Ibu menjadi seseorang yang selalu mendukung dalam kondisi apapun. Di saat Fa (19) merasa sangat lelah untuk sekolah, dan seringkali diolok karena kondisi fisiknya yang kecil dan pucat, ibu adalah orang yang selalu hadir menguatkannya. Ibu adalah alasan Fa (19) bertahan untuk terus berobat hingga kini. Ia terus berobat karena ia tak mau melihat ibunya sedih bila sesuatu yang buruk memang terjadi padanya. Ibu menjadi pendorong Fa (19) untuk rajin berobat, terutama bila dirinya dimarahi oleh sang ibu. Bila dimarahi oleh ibu, Fa (19) akan teratur minum obat dan desferal selama seminggu penuh. Hal ini terlebih karena Fa (19) tidak ingin melihat ibunya sedih bila sesuatu yang buruk sungguh terjadi padanya. Selain itu, Fa (19) juga menghindari kemungkinan munculnya konflik antara dirinya dan sang ibu. Fa (19) menggarisbawahi bahwa dirinya tidak pernah berpikir untuk menjalani proses pengobatan karena dirinya sendiri. Kepasrahan dan ketidakberdayaan atas kondisi sakitnya menjadi alasan utama atas pandangan tersebut. Selama ini, Fa (19) bertahan demi memberikan sesuatu yang bisa membanggakan sang ibu. Fa (19) menegaskan selama dirinya masih ada, ia akan terus bertahan. Usaha ini Fa (19) tunjukkan dengan tetap bertahan dalam bangku perkuliahan, meski sesungguhnya ia sering merasa kelelahan dan ingin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 120
berhenti kuliah. Hal yang membuatnya bertahan hingga saat ini yakni janji Fa (19) dengan sang ibu bahwa apapun yang terjadi, ia tidak boleh berhenti kuliah di tengah jalan. Sesakit apapun dirinya, Fa (19) hingga saat ini belum pernah menyampaikan keluh kesah dan kesulitan yang ia lalui di proses perkuliahannya kepada sang ibu. Ia khawatir bahwa hal ini akan membuat ibunya sedih dan ia tidak ingin melihat hal itu terjadi. Ikatan emosional yang sangat dekat dengan sang ibu inilah yang akan membuat Fa (19) merasa sangat sedih bila ia mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari sang ibu. Menurutnya, bila sang ibu, orang yang selalu menguatkannya, mampu melakukan hal itu, orang lain akan lebih memungkinkan untuk melakukan hal yang sama.
m. Kekecewaan terhadap ayah hingga merasa tidak berarti Sosok ayah di sisi lain menjadi sosok yang tidak disukai Fa (19). Ia memandang ayahnya sendiri bermuka dua. Di hadapan orang lain, ayahnya tampak menyayangi dirinya. Namun, bila tidak ada orang lain bersama keluarga, hal sebaliknya terjadi, yaitu tidak peduli dan sering menyakiti perasaannya. Fa (19) merasa tidak diperhatikan dan tidak didukung oleh sang ayah. Pertengkaran dengan sang ayah juga seringkali terjadi. Bagi Fa (19), sikap ayahnya membuat Fa (19) merasa dirinya tidak berarti dan selalu
menyusahkan
orang
lain.
Menurutnya,
sang
ayah
lebih
memperhatikan sang adik daripada dirinya. Meski sering merasa kecewa dengan sikap sang ayah, Fa (19) menginginkan sang ayah bisa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 121
memberikan perhatian yang serupa seperti perhatian yang diberikan kepada sang adik.
n. Thalassaemia serta keoptimisan tetap hidup Fa (19) memaknai thalassaemia dalam hidupnya sebagai rencana dari Tuhan yang akan menuntunnya ke sebuah rencana lain yang lebih indah. Fa (19) percaya bahwa rencana Tuhan baik dan indah sehingga ia memandang bahwa keinginannya untuk menjadi orang sehat pada umumnya pun tak perlu dihiraukan lagi dan mencoba terus menjalani hidupnya saat ini. Fa (19) juga memandang dirinya sebenarnya memiliki semangat tinggi atas apapun yang bisa dilakukan tetapi juga lemah karena sakit yang ia derita. Berkenaan dengan kondisi sakit yang dialami, Fa (19) sendiri merasa pasrah atas kondisi yang ia miliki karena tak lagi bisa melakukan apapun untuk mengubahnya. Ia menerima bahwa hal tersebut mungkin sebagai rencana yang indah dari Tuhan untuknya. Isu tentang kematian memang selalu membayangi individu dengan penyakit kronis. Pengalaman Fa (19) juga tak lepas dari hal tersebut. Fa (19) menyatakan pernah menemui teman atau sahabat dekatnya yang juga mengidap penyakit yang sama telah pergi meninggalkannya. Berdasar pengalamannya ia menemukan justru temannya yang berusia lebih muda yang meninggal terlebih dahulu. Menurut Fa (19) temannya ini memiliki kondisi yang berbeda dengannya, terutama berkenaan dengan usia yang telah menginjak remaja saat sang teman tahu bahwa dirinya mengidap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 122
thalassaemia. Hal ini membuat Fa (19) beranggapan bahwa mungkin saja ia meninggal karena ada gangguan lain atau bukan karena thalassaemia atau memang merupakan takdirnya. Ada kalanya saat Fa (19) mengetahui ada orang dekatnya meninggal, muncul pandangan dalam dirinya yang melihat bahwa orang yang tidak terkena thalassaemia juga bisa meninggal, apalagi orang dengan
thalassaemia. Namun demikian, ia tetap
berpandangan optimis atas hidupnya karena menemukan fakta ada orang lain yang juga bisa tetap bertahan seperti peneliti Pipit Senja—yang mencapai usia lanjut—ataupun artis Ussy Sulistyowati—yang telah memiliki anak. Infoman sendiri menyadari bahwa ia memiliki kekhawatiran atas dirinya sendiri sehingga kekhawatiran tersebut mendorongnya untuk menjaga kondisi diri. Hal ini terutama karena ia memandang dirinya masih seringkali bandel dalam menjalani pengobatan meski selalu diingatkan oleh sang ibu agar tidak muncul efek yang buruk terhadap kondisi dirinya. Ia sendiri belum bisa membayangkan bila dirinya sendiri yang pergi menghadap Tuhan. Fa (19) menekankan bahwa ia begitu menyayangi ibunya dan hal tersebut juga adalah yang paling dikhawatirkan oleh ibunya. Ibu dan nenek ialah dua orang yang paling tidak bisa melihat ia pergi meninggalkan keduanya. Fa (19) mengatakan bahwa ibunya tidak ingin melihat anaknya pergi mendahului dirinya. Sedangkan nenek Fa (19) memiliki harapan ingin melihat dirinya sembuh terlebih dahulu sebelum
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 123
dirinya sendiri meninggal. Fa (19) sendiri merasa sedih akan hal itu dan memiliki ketakutan atas hal tersebut.
o. Dilema: kuliah vs terapi dan perasaan tidak dipahami ahli medis Kebimbangan untuk memilih antara aktivitas kuliah dan jadwal terapi menjadi masalah utama yang dirasakan oleh Fa (19). Padatnya aktivitas perkuliahan menurut Fa (19) menjadi salah satu hambatan untuk melakukan proses terapi. Fa (19) seringkali merasa bingung karena aktivitas perkuliahan yang seringkali bertabrakan dengan jadwal Fa (19) untuk melakukan tranfusi darah. Fa (19) sesungguhnya memiliki keinginan dan merencanakan upaya untuk lebih rajin minum obat. Namun, seringkali aktivitas seperti tugas perkuliahan, agenda kelompok dan aktivitas lain yang membutuhkan waktunya membuat Fa (19) tidak bisa menjalani proses desferal yang juga membutuhkan waktu yang luang. Selain itu padatnya aktivitas di luar juga pada akhirnya membuat Fa (19) seringkali ketiduran karena kelelahan. Padatnya aktivitas perkuliahan ini sendiri beririsan dengan keluh kesah Fa (19) terkait proses terapi, terutama tuntutan dari tenaga medis rumah sakit yang membuatnya tidak nyaman. Fa (19) merasa tidak dipahami terkait aktivitas perkuliahan yang selama ini ia lakukan. Salah satu tenaga medis pernah memberikan nasihat pada dirinya untuk lebih mementingkan diri, dalam hal ini proses pengobatan dibandingkan kuliah. Hal ini menurut Fa (19) adalah sesuatu yang mengusiknya karena bagi Fa (19), kuliah dan tranfusi adalah dua hal yang sama penting untuk kebaikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 124
dirinya. Bila dirinya seringkali bolos dan tidak lulus dalam mata kuliah tertentu, tentu masa studi yang ia tempuh akan semakin lama. Oleh karena itulah, Fa (19) kesal karena merasa tenaga medis menasihati tanpa mengerti kondisi yang sebenarnya ia hadapi. Ia merasa kurang dipahami dan merasa tenaga medis tidak mempertimbangkan perasaannya bila dinasihati seperti itu.
Berdasarkan penjabaran tema-tema pada setiap informan, perasaan malas, bosan dan jenuh adalah perasaan dominan yang membuat para informan enggan menjalani proses terapi. Selain kejenuhan dan rasa bosan yang dirasakan informan untuk menjalani proses terapi, ditemukan pula bahwa membohongi diri sendiri adalah alasan utama yang membuat setiap informan pada akhrinya enggan menjalani pengobatan. Bagi para informan, sikap membohongi diri sendiri ini muncul karena keinginan mereka untuk merasakan apa yang orang lain rasakan, bebas melakukan berbagai hal dan tidak perlu melakukan berbagai proses terapi. Membohongi diri sendiri adalah sarana informan untuk merasa bahwa dirinya sehat dan tidak memiliki sakit, sama seperti orang pada umumnya. Bagi para informan, pembohongan diri ini dikarenakan perasaan bahwa ia tidak mengalami perubahan apapun atas pengobatan yang ia jalani selama ini, dan kesembuhan adalah hal yang tak bisa mereka dapatkan, meski dengan berobat sekalipun. Kejenuhan menjalani proses terapi juga hadir karena proses terapi yang terus menerus berulang tanpa akhir. Kondisi ini berujung pada kesimpulan bahwa mengabaikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 125
pengonsumsian obat adalah hal yang wajar karena pengobatan menurutnya tidak membawa perubahan dan kesembuhan. Di sisi yang lain, dapat dilihat pula beberapa hal yang menurut para informan dapat mendukung mereka untuk menjalani proses terapi. Adanya ikatan emosional dengan ibu seperti ingatan tentang ibu dan rasa bersalah pada informan Dd (18), perasaan sayang dan kekhawatiran tidak bisa melihat ibu pada informan Nn (20), dan keinginan untuk membanggakan ibu pada informan Fa (19) merupakan hal yang dapat mendorong para informan untuk berobat. Selain itu, alasan bertahan untuk keluarga dan adanya tujuan dalam hidup juga menjadi alasan lain untuk terus melanjutkan proses terapi. Kemudian, kehadiran akan adanya relasi romantis dan peran dari pasangan juga turut mengambil peran dalam mendukung para informan untuk rajin berobat. Hal ini dikarenakan kehadiran pasangan dirasa berbeda dengan kehadiran keluarga, dimana adanya pasangan membuat informan merasa hidupnya lebih berarti. Meskipun demikian, kehadiran dari keluarga dan teman terdekat juga menjadi hal yang tak kalah penting bagi informan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 126
D. Analisis Data Pada tahap ini, peneliti melakukan pemetaan terhadap tema-tema yang muncul dan bagaimana tema-tema tersebut saling berhubungan. Tema-tema yang muncul merefleksikan pertanyaan utama dari penelitian ini, yaitu bagaimana pengalaman psikologis remaja thalassaemia mayor yang enggaan berobat dalam pengalamannya menjalani proses pengobatan. Melalui tahap ini, gambaran mengenai pengalaman psikologis dalam menjalani pengobatan pada remaja thalassaemia mayor dapat terlihat. Secara umum, tema-tema yang muncul dapat dikelompokkan dalam dua kategori besar yakni tema-tema yang menghambat proses pengobatan dan tema-tema yang mendukung proses pengobatan. Secara lebih detail, gambaran tersebut akan dijelaskan sebagai berikut : 1. Alasan Utama Keengganan Menjalani Terapi Proses pengobatan yang berlangsung dalam waktu yang sangat panjang, terus menerus berulang hingga waktu yang tidak dapat ditentukan memunculkan adanya suatu sikap enggan yang para informan tunjukkan dalam menjalani proses terapi. Seperti yang disampaikan oleh ketiga informan, keengganan untuk menjalani pengobatan sudah dirasakan beberapa tahun belakangan, pada usia remaja. “Mulai merasa malas dan enggan minum obat jujur sih dari SMP. Sejak kelas 8. Sekarang 18, berarti kira-kira umur 15-16”(Dd, 210-214) “Aku gak mau berobat, mulai waktu aku SMP kelas 3, usia 15 tahun. Itu masa berat ce..” (Nn, 163-165)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 127
“Nida sejak SMA 1 kak malas rasanya mau berobat. Bosan.... Nida pengen tuh loh gak harus berobat. Kadang Nida kepikiran, kenapa harus tetap minum obat?” (Fa, 281-285) Sebagai alasan keengganan yang para informan rasakan, pembohongan diri dan rasa malas menjadi alasan utama yang melatarbelakangi pilihan tersebut. a. Sikap membohongi diri Membohongi diri sendiri adalah salah satu alasan utama yang membuat para informan tidak menjalani proses terapi. Membohongi diri sendiri dilakukan sebagai cara para informan untuk menganggap dirinya sehat dan tidak memiliki sakit. Dengan tidak menjalani terapi dan mengonsumsi obat, para informan menganggap bahwa dirinya tidak sakit sehingga dapat terlihat seperti orang sehat. “Sekarang 18, berarti kira-kira umur 15-16. Tapi sebenarnya ce.. paling tepat sih membohongi diri sendiri sih ce. Umm.. maksudnya membohongi diriku sendiri kalau aku tuh gak sakit, jadi aku orang sehat, ga ada penyakit. Jadi aku ga minum obat.” (Dd, 213-219) “Nida juga kadang kepikir sih, kenapa sih harus minum obat, sebenernya ye kak… biar Nida kelihatannya macam sehat. Faak usah minum obatlah jadinya.. jadi ngapain sih minum obat, Nida kadang merasa gitu.” (Fa, 318-323) “Nida pikir ngapain lah Nida minum obat kak, toh gak berubah sembuh, keliatan kayak Nida orang sehat juga kan kalau ndak berobat” (Fa, 332-335)
“Ya pengen aja kayak orang normal lain ya ce, yang bisa bebas ngapain aja, gak usah tranfusi, ga takut capek dll. Pengen aja rasanya gak berobat kayak apa, kan aku jadi kayak orang yang gak punya sakit.” (Nn, 196-201) Berkenaan dengan pembohongan diri yang para informan lakukan, hal ini terjadi sebagai keinginan para informan untuk merasakan apa yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 128
orang lain rasakan seperti dapat melakukan berbagai hal yang disukai secara bebas dan tidak perlu menjalani proses pengobatan seperti minum obat, tranfusi, desferal. Para informan mengungkapkan bahwa mereka ingin beraktivitas sebagaimana orang lain, tetapi merasa tak bisa melakukannya karena harus tetap berobat. “aku anggap aja aku kayak orang normal lain. Maksud aku, aku beranggapan kalau aku tuh sehat, ga ada penyakit apa-apa. Jadi makanya aku ga mau minum obat.”(Dd, 224-228)
“Iya, Nini malas.. yah namanya.. istilahnya.. Nini pengen.. pengen banget.. bisa jadi orang normal sebenarnya.. jadi untuk berobat tuh pasti ada rasa malas, aku pengen jadi normal loh, ngapain juga kan harus minum obat, aku ga akan sembuh juga.. Aku gak sakit. Pasti gitu. Ada terlintas hal seperti itu, pasti ada kalau tiap kali mau minum obat. Jadi pengen sehari ajagak minum obat itu bagaimana, seolah aku ga ada sakit. “ (Nn, 202-213) “Dari situ tuh, Nini suka mikir bisa gak sih kalau Nini ga tergantung minum obat, bisa gak sih.. pasti ada aja pikiran seperti itu yang terlintas. Bisa gak aku tanpa obat, aku mau kayak orang sehat, kayak gitu ce jadinya kemarin. Jadinya malas berobat.” (Nn, 237-244) “Perasaan malas itu pasti ada.. Tapi yang jelas malasnya itu karena Nini mau kayak orang normal, ga usah berobat dll ce.. Gak ada alasan lain lagi. Nini pengen banget bisa jadi orang normal sebenarya.” (Nn, 264-269) “Nida juga kadang pengen jadi orang lain.. Kyknya asik rasenye kalau bisa kayak orang normal. Makanya Nida ga berobat kadangkadang. Orang normal ya orang yang ga mesti hidup kayak Nida, bisa bebas ngapain aja sesuka Nida. Gak dibatasin ini itu. Gak usah tranfusi seumur hidup. Gak minum obat, desferal pasti enak kak. Bisa ngelakuin hal yang Nida suka gak mudah capek, ga usah berobat minum obat, dll.” (Fa, 787-798) Pada informan Dd (18), informan menggarisbawahi bukan pandangan orang lain yang menjadi alasan pembohongan dirinya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 129
melainkan dirinya sendiri yang ingin merasa sebagaimana yang orang sehat rasakan. “Ce… apa pulak dilihat orang, kan aku tuh membohongi diri sendiri, bukan karena aku takut diliatin orang minum obat ataupun takut dilihat sakit. Bukan. Gimana yaa.. mau kayak (jeda) mau jadi orang normal gitu ce. Umm.. gimana ya.. Tak bisa ce, susah dijelaskan. Aduh.. gimana ya. Karena mau.. apa ya mau merasakan jadi orang normal tuh sperti apa gitu loh. Bukan karena aku dilihat orang lain berobat, tapi aku sendiri yang berbohong sama diri sendiri” (Dd, 394-407) Tak hanya itu, pembohongan diri ini terutama dikarenakan perasaan bahwa para informan tidak mengalami perubahan apapun atas pengobatan yang mereka jalani selama ini. Perasaan tidak mengalami perubahan apapun atas kondisi diri inilah yang membuat informan Dd (18) dan Fa (19) akhirnya ingin membohongi dirinya sendiri. Hal ini berlandaskan pada ketidakberdayaan informan atas situasi yang tak bisa para informan ubah yakni dengan mengkonsumsi obatpun, kondisi yang mereka hadapi selalu sama dan mereka tidak akan sembuh.
“Dari SMP kelas 8 mulai membohongi diri sendiri. Karena gimana ya.. soalnya aku merasa ga ada perubahan, perkembangan baik itu desferal, minum obat. Lagipula ini kan ga sembuh.” (Dd, 229-234) “Nida sejak SMA kak malas rasanya mau berobat. Bosan.... Nida pengen tuh loh gak harus berobat. Kadang Nida kepikiran, kenapa harus tetap minum obat? Toh nanti juga gini-gini jak kak hasilnya. Ga ada perubahan sama sekali. Nanti feritin turun, terus nanti naik lagi, nanti turun, naik lagi, gitu-gitu jak, udah itu kita udah tau pasti ga sembuh. Minum obat tuh Cuma buat jaga feritin segitu gitu aja, Cuma buat terus hidup jak, udah lah malas. Mau minum obat atau gak tuh kondisinya pasti sama gitu-gitu aja. Pokoknya semua perawatan thalassemia tuh dilakuin pun cuma untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 130
mempertahankan diri. Misalnya jatuh umurnya 50, jadi ya usahanya cuma biar sampai 50 aja. Supaya ga lebih cepat dari itu aja.” (Fa, 281-300) “Gimana ya.. buat apa minum obat. Toh minum obat juga gak berubah, Nida tahu gak akan sembuh juga. Nida tuh separah apa sih harus menjalani pengobatan terus-terusan. Toh sakitnya gitugitu aja, udahlah Nida biarkan jak.” (Fa, 324-329) “Cuman ya gimana.. Nida bilang gimana gak capek.. 2 minggu sekali harus tranfusi kadang, udah tranfusi paling hasilnya pun gitu-gitu. Habis itu ngulang lagi begitu begitu terus. Mana tranfusi harus cocokin jadwal kuliah lagi. Mau konsul ke dokter juga sekarang susah gara-gara jadwal, Nida berobat pun gak ada sembuh kak, makanya Nida malas betul mau berobat, macam orang sehat” (Fa, 481-491) b. Rasa malas Rasa malas adalah perasaan dominan yang dirasakan oleh para informan
ketika
menjalani
proses
pengobatan.
Para
informan
menyampaikan bahwa rasa malas inilah yang seringkali membuat ketiga informan tidak menjalani pengobatan. Berdasarkan apa yang disampaikan informan, rasa malas hadir dari kejenuhan para informan untuk melakukan proses pengobatan yang terus menerus.
“Yaa.. itu kan dulu waktu masih SD, masih sadar itu harus diperjuangkan badannya. Sekarang udah SMP, udah lama kan jalaninnya. Aku udah makin sadar ya.. kerasa rasanya tranfusi terus menerus, obat terus.. mulai bosan sekarang. Jenuh.” (Dd, 246-252)
“Gak rajin berobat soalnya malas ce... Monoton gitu. Monotonnya tuh gimana ya.. begitu-begitu aja terus, jadi capek. Ya udah gimana lagi ya. Aku sadar, tapi capek, pokoknya seperti bosan begitu ce. Aku bosan begitu terus” (Dd, 120-126)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 131
“Jadinya sering nunda, malas, pasti ada.. dari setiap anak-anak thalassaemia itu pasti berpikir berobat terus obat terus.. capek.Nini juga gitu. Masa setiap hari berpuluh-puluh obat yang di hadapi gitu…” (Nn, 214-219) “Sebenarnya ada waktu dimana Nida jenuh ngurus badan. Jenuh melakukan aktivitas itu terus-terusan.. lagipula udah sering dilakukan, dan selalu begitu-begitu saja… disuntik ya sakit. Hasilnya juga gitu-gitu aja, entah sampai kapan, Nida tahu ini juga ga akan sembuh juga, bisa apa lah kak, cuma bisa begini” (Fa, 460-469) “Bolak balik rumah sakit Nida sebel rasanya, bosan. Kondisi yang harus di suntik, terus ke Rumah sakit lagi, habis suntik, tranfusi, terus besok dateng lagi. Kayak ga ada ujungnya. Jadi kayak mau gimanapun Nida berobat, Nida kayaknya udah tau kalau ini bakal gini-gini aja kak hasilnya. Gini gini jak tuh maksudnyaa kan minum obat tuh bosan, gitu-gitu aja. Minumnya tiap hari, pagisiang-malam. Hasilnya juga cuma biar feritin-nya gak nambah kan. Bukan bisa sembuh. Manalah nida mau berobat kak.” (Fa, 199-213) Selain kejenuhan, rasa malas hadir pula dari pengalaman negatif yang dirasakan oleh para informan, terutama rasa sakit akibat suntikan yang berulang serta keterbatasan para informan untuk melakukan berbagai aktivitas secara bebas karena suntik desferal “Ape ya.. desferal sekarang tuh diperut, jadi tuh gak nyaman, sakit gak enak, kalau dulu kan tinggal ganti infus aja, suntiknya sekali. Sekarang kan beda, suntiknya berkali-kali. seandainya desferalnya kayak dulu persis ya mau.” (Dd, 355-361) “Nini paling ya karena rasa malas, dari desferal tuh nimbulin rasa males. Ah malas ah, soalnya pengen nya leluasa tidurnya, bisa gerak bebas kalau mau beraktivitas, nontonnya gini gini. Jadinya aku nyaman juga.. makanya aku malas karena itu sih, ga bebas rasanya.” (Nn, 187-195) “Desferal tuh malesnya kalo misalnya gak apa ya.. gak leluasa gerak soalnya kalau pakai desferal. Makanya malas, kalau misalnya gak leluasa mau ngapa-ngapain aja sih kalau desferal.” (Nn, 245-250)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 132
“Kalau malasnya tranfusi, cukup rutin sih.. malasnya tuh karena yaa suntik, suntik lagi, suntik lagi, sakit ce. Lalu itu sampai berbekas yang susah hilang kalau berkalikali disuntik. Jadinya malas.”(Nn, 258-263) “Kalo desferal ga rutin. Nida orangnya malesan. Males bukan karena makai itu, tapi sakit. Soalnya jadi bengkak, merah, ruam, panas. Kalau udah panas, ada bekas, terus biru-biru. Makanya Nida males” (Fa, 40-45) “Nida paling malas desferal karena sakit, terus ribet harus nusuk sana sini, Nida pasang sendiri desferalnya” (Fa, 450-452) “Soalnya kalau pasang desferal agak susah gerak. Terus bangun tengah malem buat nyabut desferal. Kalau siang susah gerak.” (Fa, 772-775) Secara mendasar paparan informan mengenai kengganan untuk menjalani pengobatan mengarah pada adanya usaha membohongi diri. Pembohongan diri yang para informan lakukan menurut mereka adalah jalan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang pada umumnya, yaitu menjadi orang sehat yang tak harus melakukan rutinitas berobat. Pembohongan diri ini juga didorong oleh pandangan informan bahwa mereka tak melihat adanya perubahan atas situasi yang mereka alami dan ketidakmampuan untuk mengubah kondisi mereka untuk menjadi sembuh. Di sisi lain, rasa malas juga memainkan peranan penting atas keengganan untuk berobat tersebut. Kejenuhan atas pengobatan yang berulang serta pengalaman
negatif,
seperti
rasa
sakit
karena
suntikan
dan
ketidakleluasaan untuk bergerak bebas, adalah dua hal yang menjadi alasan rasa malas tersebut muncul.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 133
2. Hal yang Mendorong Proses Terapi a. Ikatan emosional dengan ibu Dalam berbagai aspek kehidupan, ibu memiliki andil yang besar. Hal serupa juga didapati pada pengalaman para informan selama menjalani proses terapi. Bagi para informan, ibu memiliki peran yang besar dalam mendukung dan menemani mereka selama proses terapi. Untuk itulah, sosok ibu menjadi sosok yang sangat penting dan berarti bagi para informan, terutama atas adanya ikatan emosional yang mendorong untuk menjalani proses terapi. Bentuk ikatan emosional yang terjalin dengan sosok ibu memiliki karakteristik yang berbeda-beda di setiap informan. Pada informan Dd (18), ikatan emosional hadir dalam bentuk rasa bersalahnya pada ibu. Perasaan bersalah ini kerap kali muncul karena Dd (18) menyadari telah menyia-nyiakan usaha yang dilakukan oleh ibunya dalam menjaga kesehatan dirinya dengan sikapnya yang malas berobat. Selain itu adakalanya perasaan tersebut timbul karena penyesalan setelah bertengkar dengan sang ibu terkait permintaan proses pengobatan yang seharusnya Dd (18) jalani. Dd (18) menggarisbawahi bahwa ingatan atas usaha ibunya dalam merawat dirinya hingga kini memegang peranan besar dalam mendorongnya untuk berobat. “Biasanya juga mulai rajin kalau habis berantem sama mama. Misalnya mama marah-marah. Suruh desferal atau apa, ujungujungnya aku ngelawan mama, terus berantem kan, lalu mama nangis. Terus ujung-ujungnya aku merasa bersalah, dan mau berubah. Tiap kali merasa bersalah, pasti berubah rajin.” (Dd, 275-28)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 134
“… sama mama tuh nurut karena selalu keingat, gimana dulu mama sering bawa aku ke Jakarta untuk berobat, biar kondisi tubuh aku tuh bagus sampai sekarang.” (Dd, 308-312) “..terus karena mama juga udah merawat aku dari kecil, terus aku malah udah besar gini gak mau minum obat, biasanya merasa bersalah juga. Merasa bersalah karena, mama udah merawat aku kan, tapi malah pas besar nih aku hancurin. Aku merasa bersalah.” (Dd, 422-430) Pada informan Nn (20), ikatan emosional hadir sebagai rasa sayang yang begitu besar pada ibu. Ibu adalah orang yang selalu merawat dirinya, menjaganya dan selalu mengingatkannya untuk berobat sedari kecil. Nn (20) menyatakan bahwa ia akan rajin berobat jika diminta oleh sang ibu. Setiap kali dirinya malas untuk berobat, ia akan ingat akan pesan ibunya untuk minum obat dan desferal. Nn (20) menegaskan ibu yang membuat ia menurut dan selalu mau berobat, meskipun dalam kondisi malas sekalipun. “..tapi biasanya kalau lagi malas ya pasti ingat kata mama lah.. ingat kata mama yang nyuruh kayak gini loh, nyuruh aku minum obat, desferal. Terus kalau di suruh mama ya minum, ya nurut kalau desferal kadang-kadang.” (Nn, 144-150) “Nini akan lebih rajin berobat cuma kalau disuruh mama.. Selain itu ya cuma disuruh mama baru rajin” (Nn, 542-545)
“Nini paling sayang sama mama. (menangis) Mungkin bawaan Nini dari kecil, dari satu tahun empat bulan itu, mama selalu ngurusin Nini, jagain Nini, dari situ pasti mama sering kesusahan, kayak kemarin Nini jatuh, mama yang ngerawat, pokoknya lebih ke mama. Jadi mama yg buat Ni nurut dan sll mau berobat, biarpun malas” (Nn, 762-768) Tak hanya itu, Nn (20) juga menggambarkan kekhawatirannya untuk meninggalkan sang ibu bila memang pada akhirnya ia harus meninggalkan sang ibu terlebih dulu. Ia juga khawatir dirinya yang tak akan lagi bisa melihat sang ibu bila suatu saat ia pergi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 135
“Nini sebenarnya pernah membayangkan diri sendiri dalam posisi itu.. hanya sekedar membayangkan. Yang Nini khawatirin pasti mama, (menangis) takut jg ga bisa lihat mama lagi besok” (Nn, 851-856) Pada Fa (19), ibu adalah seseorang yang sangat ia sayangi dan selalu mendukungnya dalam kondisi apapun. Di saat Fa (19) merasa sangat lelah untuk sekolah, dan seringkali diolok karena kondisi fisiknya yang kecil dan pucat, ibu adalah orang yang selalu hadir menguatkannya. “Nida tuh sayang banget sama mamak, soalnya dulu tuh waktu Nida pucat, capek, ga mau sekolah, cuma Mamak yang support, tiap Nida diiejek orang karena Nida pucat, mirip mayat, kan ada tuh orang yang ngejek fisik Nida waktu Nida mau kuliah, kayak anak SD. Nida kan kuat kata Mamak, mamak yang nguatin. “ (Fa, 649-652) Pada informan Fa (19), ikatan emosional hadir dalam bentuk ketidakinginan informan melihat ibunya sedih. Ibu menjadi pendorong Fa (19) untuk rajin berobat, terutama bila dirinya dimarahi oleh sang ibu. Bila dimarahi oleh ibu, Fa (19) akan teratur minum obat dan desferal selama seminggu penuh. Hal ini terlebih karena Fa (19) tidak ingin melihat ibunya sedih bila sesuatu yang buruk sungguh terjadi padanya. Selain itu, Fa (19) juga menghindari kemungkinan munculnya konflik antara dirinya dan sang ibu.
“Usaha yang Nida lakukan ya.. apa ya kak. Gini kak.. Nida sendiri bakal rajin kalau habis diomel Mamak, kalau udah diomel, langsung seminggu full, mau minum obat, mau desferal. Nida tuh takut dimarahi mamak. Takut mamak sedih juga. Nanti malah berantem kan Nida gak suka sebenernya.” (Fa, 359-367) “Sebenarnya (suara bergetar dan menangis), Nida berobat cuma karena Nida gak pengen jak lihat mamak Nida sedih kalau Nida kenapa-kenapa.” (Fa, 492-496)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 136
“(geleng kepala). Nida kan cengeng, kalau ngomong pasti Nida nangis. Kalau Nida nangis, dan ngomong sakitnya perasaan Nida, gimana tertekannya Nida buat berjuang pasti Mamak ikut nangis, jadi Nida gak mau ngomong sama mamak. Nida gak mau lihat mamak sedih. Nida gak pernah bilang apa-apa jadinya ke mamak kalau Nida tahu itu bakal buat mamak sedih, biarpun Nida yang sakit kak.” (Fa, 531-542) Adanya ikatan emosional yang sangat dekat dengan sang ibu inilah yang akan membuat Fa (19) merasa sangat sedih bila ia mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari sang ibu. Menurutnya, bila sang ibu, orang yang selalu menguatkannya, mampu melakukan hal itu, orang lain akan lebih memungkinkan untuk melakukan hal yang sama.
“Jadi makanya Nida sedih kalau mamak ngomongnya agak pedes, Nida bakal mikir, mamak jak gitu ke Nida, apalgi orang lain. Mamak orang yang biasa nguatkan Nida dalam kondisi apapun.” (Fa, 658-663) Mengacu pada setiap pengalaman informan, dapat dilihat bahwa ikatan emosional dengan ibu memainkan peran dalam mendukung berjalanan proses terapi. Hal ini terekspresikan dalam berbagai bentuk ikatan emosional seperti rasa bersalah, rasa sayang yang besar, dan ketidakinginan untuk melihat ibu bersedih yang disampaikan oleh setiap informan. b. Kehadiran akan pasangan (relasi romantis) Setiap orang tentunya mendambakan kehadiran seseorang istimewa di dalam hidupnya untuk menemani dalam berbagai proses. Kehadiran mereka inilah yang akan membawa nuansa dan makna tersendiri bagi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 137
masing-masing orang di sepanjang rentang kehidupannya. Hal serupa juga dirasakan oleh para informan, dimana adanya pasangan yang hadir dalam sebuah relasi romantis turut mengambil peran penting dalam hidup para informan, khususnya dalam memberi semangat untuk lebih rajin berobat ataupun terus bertahan menjalani proses pengobatan. Ketika informan memiliki latar belakang relasi romantis yang berbeda satu sama lain. Seperti yang disampaikan oleh informan Dd (18), meskipun saat ini ia sedang tidak menjalin relasi romantis dengan siapapun, pengalaman atas hadirnya sosok kekasih memungkinkan ia untuk lebih menurut dalam proses pengobatan. Bagi By (18), yang telah beberapa kali menjalin relasi romantis, kehadiran sosok kekasih dapat membawa perubahan pada dirinya dalam menjalani pengobatan. Setiap kali menjalin relasi romantis, ia selalu terbuka dengan kekasihnya terkait kondisi sakit yang ia miliki. Pemahaman atas kondisi sakit yang ia miliki membuat kekasihnya selalu mengingatkan dirinya untuk menjaga kondisi fisik, seperti tidak boleh kelelahan dan selalu menjalani proses terapi (tranfusi dan terapi kelasi). Hal inilah yang kemudian membuatnya melihat sosok kekasih sebagai hal yang penting baginya “Selain itu.. yang bisa buat aku semangat sejujurnyaa ya.. ada sih.. Umm.. mungkin pengganti Santi (mantan) kali ya ce, hehe. Pengganti santi nih orang yang bener-bener bisa aku sayang ce.. yang gimana yaa.. yang bukan dalam status keluarga ce. Justru dari luar keluarga yang bisa buat semangat. Gimana yaa.. udah biasa ce, uda bosan kalau keluarga, hehe. Kalau pacar sejauh ini gak ada.” (Dd, 486-496)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 138
Hal yang sama juga disampaikan oleh informan Fa (19). Informan Fa (19) berbeda dengan kedua informan lainnya. Hingga usianya sekarang, ia belum pernah menjalani relasi romantis. Sebelumnya, menjalin relasi romantis ialah hal yang belum menjadi perhatian utamanya. Meski belum pernah menjalin relasi romantis, ia mengaku memiliki seorang sahabat laki-laki yang dinilainya cukup dekat dan dirasa mampu mendengarkan dan memahami dirinya. Oleh karena itulah, ia mengharapkan adanya sosok kekasih sebagai sarana pendukung untuk lebih rajin dalam menjalani pengobatan dan merawat kondisi fisiknya. Ia mengandaikan kemungkinan hadirnya sosok pasangan dalam hidupnya yang akan memberi perhatian dan semangat untuk berobat.
“Selain itu.. Nida (tertawa), lagi sedeng nih Nida kak.. malu Nida, kan misalnya nih punya pacar yang ingetin, jangan lupa minum obat ya.. kan kita kan gak ada, ga usah pacar, temen deket aja deh yang ingetin Nida. Kalau gini kan Nida sendiri, harus begini, harus begitu. Sendirian beda, bosan ga ada semangat.” (Fa, 419427) Informan Dd (18) dan Fa (19) menggambarkan adanya perbedaan antara perhatian yang mereka dapatkan dari keluarga dan pasangan. Berbeda dengan keluarga yang sudah sering ditemui, sosok pasangan dianggap sebagai sosok baru yang kedua informan sayangi. Bagi informan Dd (18), sosok pasangan juga dirasa lebih dekat secara emosional. Kondisi tersebut membuat kedua informan merasa lebih berarti dan bahagia dengan kehadiran pasangan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 139
“Kalau ada pacar sih nurut ya. Dulu soalnya nurut.. kalo sekarang sih gak ada pacar. Pacar lebih nurut soalnya kalau pacar tuh gimana ya.. dekat. Ga ada malu-malunya. Lebih dekat secara emosional, kalau benar-benar sama orang yang kita sayang, lawan jenis, sayang yang benar-benar beda sama sayangnya keluarga tuh lebih mau dengar gitu, merasa lebih berarti dan bahagia. Bisa sayang dia. Bahagia aja karena diingetin pacar.” (Dd, 314-325) “Kalau punya pacar juga mungkin bakal bantu Nida lebih semangat, karena merasa lebih disayang dan dibutuhkan, Nida juga bisa lebih sayang ke dia. Beda kan sama keluarga yang tiap hari ketemu.” (Fa, 444-449) “Bedanya sama keluarga? umm.. gimana ya. Susah jelasinnya, kalau pacar tuh kayak orang baru yang ngingetin dan lebih-lebih karena aku sayang. Lebih dekat secara emosional, keluarga iya sih, cuman beda aja kalo sama pacar. Jadi tuh pasti mau dengar. Kalau keluarga tuh udah bosan. Kehadiran pacar, kayak dulu waktu sama Santi, mungkin itu bisa buat aku semangat minum obat. Dulu soalnya aku rajin minum obat. Kalau sekarang belum punya pacar” (Dd, 326-339)
Berbeda dengan kedua informan sebelumnya yang belum memiliki pasangan, informan telah menjalin relasi romantis selama setahun lebih. Bagi informan Nn (20), pasangannya saat ini adalah satu-satunya orang yang mau menerima dan tetap bertahan menjalin relasi romantis dengannya walaupun dengan kondisinya yang punya penyakit. Kehadiran pasangan membuat Nn (20) semangat dan merasa ingin terus melakukan pengobatan. “Nini punya pacar. Dia sangat mensupport Nini cc. Jadi semangat. Meski beda agama dan ras. Tapi menurut Nini, dia satu-satunya cowok Nini yang tahu kalau Nini punya sakit. Kalau dari kawan dan dari cowok lain yang kenal Nini punya sakit cuma dia” (Nn, 599-606)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 140
“Dimas banyak tahu soal Nini yang sakit.. Banyak tahu kok dari mama sebenarnya, sempet mama telpon dia, mama bilang Nini tuh sakit dan harus minum obat, tapi dia tuh tetap mau menerima Nini dan menjaga Nini, dia sering ingatin juga untuk minum obat dan gak pulang malam. Itu berarti buat Nini. Kalau gitu, Nini jadi pengen tranfusi, dan ingatin Nini tranfusi. Desferal juga. Jadi kan Nini merasa ada penyemangatnya.” (Nn, 625-636) “Dia orang yang sangat ce. Sangat mensupport dan menerima, nini pernah pacaran sebelumnya, tapi dia tahu penyakit Nini dan dia langsung ninggalin. Nini baru dua kali pacaran, dan baru yang sekarang bisa menerima.” (Nn, 637-644) Bagi Nn (20), sikap pasangan yang selalu menjaga dan mengingatkan dirinya untuk berobat sangat berarti untuknya. Terlebih pasangannya saat ini juga mendukung Nn (20) untuk mengejar cita-citanya dan mengembangkan kemampuan dirinya dalam hal menulis. “Yang buat dia beda sama yang lain dan mendorong Nini kalau dari dia sih selalu ingetin untuk minum obat dan ingetin bulan ini sudah tranfusi belum. Dia pasti selalu tanya begitu.” (Nn, 645649) “… kalau dari support Dimas gak ada, malasnya Nini pasti tambah bertambah” (Nn, 786-788) “Dimas selalu dukung Nini untuk masukin tulisan-tulisan Nini, di suruh share ke blog. Dan Nini merasa ada yang mau support citacita Nini dan membantu dan menerima Nini.” (Nn, 817-822) Dapat dilihat dari apa yang disampaikan ketiga informan kehadiran pasangan dipandang memiliki peranan penting dalam mendukung berjalannya proses terapi. Hanya saja, bila ditilik lebih lanjut terdapat perbedaan nuansa berkenaan dengan cara setiap informan melihat dan memaknai kehadiran pasangan dalam hidupnya. Sebagai seseorang yang memiliki kekasih, informan Nn (20) memaknai kehadiran pasangan penting untuknya karena ia mendapatkan bentuk dukungan riil yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 141
datang dari pasangannya. Dengan demikian, adanya dukungan yang ia peroleh dari pasangan menggambarkan adanya hal yang ia terima dari pasangannya sehingga kehadiran pasangan menjadi penting. Pada informan yang lain, yaitu Dd (18) dan Fa (19) yang saat ini belum menjalani relasi romantis, mereka memaknai kehadiran pasangan sebagai seseorang yang memungkinkan dirinya merasa lebih berarti, dibutuhkan dan diperhatikan. Oleh karena itulah, kehadiran pasangan memberikan kesempatan bagi Dd (18) dan Fa (19) untuk merasa bahwa dirinya dapat berarti bagi orang lain. c. Kehadiran keluarga dan sahabat Kehadiran orang terkasih seperti keluarga dan sahabat adalah bentuk dukungan terbesar bagi para informan. Dalam rentang satu hingga sepuluh, ketiga
informan
sama-sama
memberikan
angka
sepuluh
untuk
mengilustrasikan pentingnya kehadiran orang terkasih bagi mereka. “1-10 ya.. pengennya mereka hadir buat aku sih 10. Alasannya karena ngefek, ga ada keluarga tuh gimana ya.. rasanya kehilangan besar, kemungkinan besar tambah malas berobat” (Dd, 547-552) “Kehadiran mereka semua (ada papa mama, ada teman deket, cc koko, anggota keluarga lain, sosok pengganti santi, dan juga orang-orang lain yang disayang) Besar lah ce. Banget. Kalau di rentang 1-10, mereka 10. Jelas.” (Dd, 513-519) “Kehadiran semua orang yang Nini sayang dalam hidup Nini, sangat penting. 10. Penting karena komplit. Nini senang semuanya ada dalam hidup Nini, apalagi kalau waktu berobat, Nini akan terus berusaha. Lebih sedihnya sih kalau gak ada mama, kalau mama mungkin Nini pengobatannya pasti jadi semakin kurang, kalau dari support Dimas, malasnya Nini pasti tambah bertambah. Kalau Yayang, pasti semangatnya jadi kurang, ketawanya juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 142
jadi kurang, soalnya Yayang tuh orangnya lucu dan asik banget, sering buat Nini ketawa, dimanapun dia, entah di sekolah atau di jalan pokoknya asik (menangis). Kalau ga ada mereka, pasti Nini ga berobat ce. Ga bisa bayangin.” (Nn, 777-796) “Kalau bagi Nida, pengennya 10 sih. Kehadiran mereka buat Nida sangat penting. Kalau semuanya hadir ya.. Buat nemenin Nida kalau Nida tranfusi atau kapanpun Nida sakit.” (Fa, 689-693) Pada informan Dd (18), berharap keluarga dapat selalu memberikan semangat, baik dalam hal membelikan barang ataupun melalui kedekatan yang lebih lagi dengan keluarga. Kedekatan dengan sang ayah menurut Dd (18) juga memungkinkan dirinya untuk lebih termotivasi dalam berobat. Keluarga yang hangat dan nyaman akan membuat Dd (18) merasa lebih enak dan semangat dalam menjalani pengobatan.
“Dd punya harapan, kalau mungkin keluarga juga bisa hadir semua kapan-kapan. Terus harapan lainnya, mungkin tetap selalu beri semangat, caranya mungkin bisa beli barang, atau bisa lebih dekat lagi sama keluarga.. disini mungkin lebih ke papa ya.. yang lain sih udah dekaat. jadi tuh rasanya nyaman, enak. Kalau dekat sama papa, mungkin ya.. mungkin lebih motivasi berobat, yaa ga langsung sih.. Cuma pasti ada prosesnya, lebih semangat, lebih hangat lagi sama keluarga, jadinya menjalani pengobatan tuh lebih enak, semangat” (Dd, 566-581) “Gak dekat disini juga karena papa sibuk kerja, jadi jarang nemenin, kadang-kadang, dan jarang. Ya.. mungkin.. pengen sih kalau papa bisa nemenin kapan-kapan lagi.” (Dd, 291-296) Harapan yang sama juga disampaikan oleh informan Fa (19). Menurutnya, hadirnya keluarga juga adalah hal penting. Fa (19) menginginkan keluarga dapat selalu ada untuknya, baik saat tranfusi atau kapanpun. Keluarga menjadi alasan Fa (19) untuk bertahan menjalani pengobatan. Hal ini berdasar pada keinginan Fa (19) untuk dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 143
berkumpul selama Fa (19) masih memiliki keluarga untuk menikmati kebersamaan.
“Kalau bagi Nida, pengennya 10 sih. Kehadiran mereka buat Nida sangat penting. Kalau semuanya hadir ya.. Buat nemenin Nida kalau Nida tranfusi atau kapanpun Nida sakit. Nida pikirnya sejauh ini kan Nida masih punya mereka. Nah, jadi Nida masih pengen kumpul gitu, makanya Nida mau berobat, biar Nida berumur panjang biar masih bisa sama-sama.” (Fa, 689-698)
Selain kehadiran keluarga, adanya peran teman dan sahabat juga memberi arti sendiri bagi para informan. Seperti yang diungkapkan oleh informan Dd (18), ia melihat bahwa kehadiran sahabat justru membuat ia tidak merasa kesepian dan tidak monoton hidupnya. “Kan tadi udah ada pengganti santi nih ceritanya.. jadi tuh pasti kemungkinan mau minum obat tuh, kemungkinan mau merawat badan, dengan ditambah lagi ada keluarga, ada Budi, kawan dekat aku, aku ga akan sama sekali merasa kesepian ce” (Dd, 519-526) “Kalau ada mereka semua, aku senang. kalau merasa senang tuh pasti minum obat. Jadi tuh ga dibawa sedih gitu loh ce.. ga ada monoton lagi hidupnya. Monoton disini bosan jalanin hidup yang gitu-gitu terus, yaa tranfusi minum obat, tranfusi minum obat, ga ada perkembangan sembuhnya. Mmm.. aku akan merasa senang kalau.. dapat perhatian dari orang lain, keluarga dan pacar.” (Dd, 527-539) Hal serupa juga diungkapkan oleh Nn (20). Kehadiran temantemannya sangat berarti dan membuat dirinya ingin selalu bisa bersamasama. Mengenal mereka seolah membuat Nn (20) mendapatkan keluarga baru. Kegiatannya bersama teman-teman di luar membuat Nn (20) merasa berguna dan setidaknya masih ada hal yang bisa ia lakukan. Selain kebebasan dan kepercayaan dari orangtua, keinginan untuk selalu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 144
berkumpul bersama teman menjadi salah satu hal yang mampu mendorong Nn (20) menjalani pengobatan. “…mau rajin jadinya.. merasa ada yang bisa aku lakukan ce, setidaknya buat aku kayak merasa berguna, dan aku senang juga, bisa kumpul sama kawan, dan bisa buat akuu apa ya... pokoknya kayak jadinya pengen terus berobat.” (Nn, 575-581) “Gimana ya ce.. kenal mereka, bisa sama-sama mereka buat Nini merasa pengen terus bisa kayak gini sama mereka, mereka ada tuh punya arti buat Nini ce. Nini jadi pengen terus berobat. Menurut Nini jarang loh ada yang mau nganter Nini, mereka perhatian, dan mendapat keluarga baru.” (Nn, 616-624) Sama halnya dengan kedua informan lainnya, informan Fa (19) juga melihat pentingnya kehadiran selain keluarga, yakni sahabat. Bagi Fa (19), relasi dan perhatian dari teman sebaya menurut Fa (19) sendiri adalah sesuatu yang penting baginya dibanding perhatian ibu yang ia anggap sudah biasa. Ia ingin teman-temannya dekat dengannya dan memberi perhatian. Hal ini tergambarkan melalui harapan yang dimilikinya untuk memiliki relasi yang dekat dari teman sebaya. Bagi Fa (19), kehadiran teman dekat tidak akan membuatnya merasa harus mengurus semuanya sendiri yang seringkali membuatnya bosan dan tidak memiliki semangat “kan kita kan gak ada, ga usah pacar, temen deket aja deh yang ingetin Nida. Kalau gini kan Nida sendiri, harus begini, harus begitu. Sendirian beda, bosan ga ada semangat.” (Fa, 423-427) “Soalnya gimana ya.. kalau mama kan udah biasa gitu bah, mungkin Nida gak punya kawan kali ya.. atau mungkin kawan Nida terlalu cuek disini. Pengen jak.. Ada yang perhatiin lebih ke Nida, dekat gitu. Pengen teman-teman Nida tahu Nida punya sakit” (Fa, 434-441)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 145
Hal menarik lainnya yang disampaikan oleh para informan yakni berkenaan dengan kebahagiaan yang mereka rasakan karena kehadiran teman dan sahabat yang mempengaruhi berjalannya proses terapi. Bagi para informan, adanya perhatian yang diberikan oleh mereka membuat para informan merasa bahagia. Bila mereka merasa bahagia, maka para informan akan melakukan proses berobat. “Kalau ada mereka semua, aku senang. kalau merasa senang tuh pasti minum obat. Jadi tuh ga dibawa sedih gitu loh ce.. ga ada monoton lagi hidupnya. Monoton disini bosan jalanin hidup yang gitu-gitu terus, yaa tranfusi minum obat, tranfusi minum obat, ga ada perkembangan sembuhnya. Mmm.. aku akan merasa senang kalau.. dapat perhatian dari orang lain, keluarga dan pacar.” (Dd, 527-539) “Nini suka ce, diizinkan ketemu sama kawan, gak terlalu dibatasin, ngumpul.. nah kalau gitu, Nini tuh senang pasti Nini rajin dan pulang langsung minum obat.” (Nn, 555-559) “Iya.. lebih merasa happy kalau di luar kan, pulang-pulang pasti merasa pengen desferal, pasti ada pikiran kayak gitu, mau rajin jadinya..” (Nn, 572-575)
“Umm.. pernah sih, pas Nida mau tranfusi darah. Kan Nida bawa termos untuk nyimpan darah ya.. terus kawan Nida lihat. Karena muka Nida cemberut, kawan Nida tanya kenapa. Nida bilang lah Nida malas capek.. harus bolak balik Rumah Sakit buat ngurus surat ya.. terus kawan Nida bilang gak boleh begitu, ga boleh. Nida senang sih ada yang perhatian kan ke Nida ternyata. Jadi semangat.” (Fa, 470-480)
Melihat apa yang para informan sampaikan, dukungan sosial berupa kehadiran orang terkasih seperti keluarga dan sahabat adalah hal yang penting bagi mereka. Para informan menyampaikan adanya harapan bahwa keluarga dapat selalu hadir menemani mereka dalam kondisi apapun, terutama saat menjalani proses terapi. Sama halnya dengan keluarga,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 146
sahabat juga memberi makna tersendiri bagi setiap informan seperti sebagai pemberi semangat bahkan hingga membuat para informan merasa berguna dan merasa hidupnya tidak lagi monoton dan kesepian. Kehadiran keluarga dan sahabat memunculkan adanya keinginan para informan untuk tetap bisa selalu bersama-sama dengan orang yang mereka kasihi. d. Alasan untuk tetap bertahan 1) Keluarga atau diri sendiri Keluarga bagi para informan adalah sebuah alasan untuk terus bertahan menjalani proses terapi. Tidak adanya perubahan atas kondisi sakit yang dihadapi dan rasa sayang pada keluarga yang melebihi dirinya sendiri adalah alasan para informan berobat bukan untuk dirinya sendiri. Kondisi ini khususnya terjadi pada informan Dd (18) dan Fa (19). Berkaitan dengan hal ini, Dd (18) menyatakan : “alasan ku bertahan sampai saat ini juga keluarga. Keluarga yang telah merawat sampai sekarang, kalau ada apa-apa keluarga yang merawat. Kalau tiba-tiba aku putus asa gitu kan, payah ya.. dan aku tuh sayang banget sama keluargaku, sayang tuh.. mereka merupakan bagian terbesar dalam hidupku, tanpa keluarga, aku gak bisa melakukan apa-apa. Itu sih yang kerasa.” (Dd, 733-745) “Selama menjalani pengobatan, tranfusi, desferal, minum obat, sebenarnya buat keluarga. Jelas, soalnya karena mereka semua udah mengeluarkan biaya yang cukup besar, untuk berobat, sayang juga ke aku, terus karena mama juga udah merawat aku dari kecil” (Dd, 416-423) Sebagai alasan untuk tetap menjalani pengobatan Dd (18) mengungkapkan bahwa berobat untuk keluarga daripada diri sendiri adalah hal yang menjadi prioritasnya. Hal ini menurut Dd (18)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 147
dikarenakan ia tidak merasakan adanya perubahan dalam menjalani pengobatan. “Kalau alasan kenapa gak berobat untuk diri sendiri ya karena merasa gitu-gitu aja hasilnya. Gak ada perubahan ce. Soalnya kan ini penyakit seumur hidup. Nah, rasanya tuh percuma, kalau berobat terus, toh gak sembuh-sembuh juga. Terkadang cuma bisa menghambat aktivitas aja. Berobat emang untuk bertahan hidup.. Iya.. tapi tetap aja intinya untuk keluarga, kalau aku sendiri yaa udah mulai malas karena merasa begitu-begitu saja dan gak akan sembuh.” (Dd, 432-445) Pada Fa (19), sosok keluarga hadir dalam sosok ibu. Ibu menjadi alasannya bertahan untuk terus berobat. Hal ini dikarenakan ia tak mau melihat ibunya sedih bila sesuatu yang buruk memang terjadi padanya. Selain itu, keinginan untuk memberikan sesuatu yang bisa membanggakan sang ibu juga menjadi alasan lain ia bertahan dan terus melanjutkan proses pengobatan. “Sebenarnya (suara bergetar dan menangis), Nida berobat cuma karena Nida gak pengen jak lihat mamak Nida sedih kalau Nida kenapa-kenapa.” (Fa, 492-496) “Nida ga pernah mikir untuk diri Nida sendiri. Sebenarnya Nida cuma pengen kalau Nida panjang umur, Nida pengen kasih sesuatu yang bisa banggakan Mamak, gitu.. Selama Nida masih ada Nida bertahan.” (Fa, 497-501) Berbeda dengan kedua informan lainnya, informan Nn (20) memilih dirinya sendiri sebagai alasannya bertahan untuk menjalani pengobatan. Keinginannya untuk sembuh adalah harapan yang membuat Nn (20) terus berjuang menjalani proses terapi hingga kini. Nn (20) menyadari bahwa pengobatan yang ia jalani sepenuhnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 148
berguna bagi dirinya sendiri, agar tetap sehat dan bisa meraih segala hal yang diinginkan dan dicita-citakan, serta tidak membuat ibunya khawatir akan dirinya lagi. “Nini pengen berobat untuk diri Nini sendiri ce.. karena Nini pengen sembuh.” (Nn, 662-664) “Nini pengen bisa mengejar cita-cita, ngembangin kemampuan Nini, dance, dan terus gak mengkhawatirkan mama juga, kalau Nini sembuh kan mereka ga perlu lagi khawatirin Nini terus.” (Nn, 668-672) Nn (20) juga beranggapan bahwa tidak semua orang selalu ada untuknya. Untuk itulah, ia harus bisa berjuang untuk hidupnya sendiri. Ia juga beranggapan bahwa ada kalanya terjadi mukjizat yang tidak diketahui kapan datangnya sehingga usaha adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sejauh ini. Hal inilah yang membuatnya memiliki keinginan untuk berobat berdasar keinginan sendiri selain demi kesembuhan. “Nini berpikir semua orang gak mungkin selalu ada untuk kita. Jadi mungkin sebenarnya diri kita ya diri kita sendiri yang berusaha. Kita yang menjalani sendiri. Apapun yang terjadi ya kita yang merasakan” (Nn, 801-807) “Pengobatan yang Nini jalani, selama ini buat diri kita sendiri lah, biar kita sehat terus, biar kita bisa mengejar apapun cita yang kita mau. Kan datangnya mukjizat gak ada yang tahu. Nini ya usaha. Cuman bisa usaha, meskipun yaa.. cuma ya itu, kadang lupa ce.” (Nn, 135-142) Tak hanya itu, keinginan untuk sembuh ini juga dilakukan demi bisa terus sehat dan bisa berkumpul bersama orang-orang yang Fa (19) sayangi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 149
“Gimana ya ce… kalau berobat, pas tranfusi gitu, Nini cuma terus ngerasa kalau aku harus sehat demi.., terus sehat gitu, karena masih mumpung banyak kawan, ada orangtua, yang nunggu di rumah ibaratnya, ada kawan yang masih ada buat aku, jadi Nini berpikir harus sehat.” (Nn, 151-158) “Kalau nini sendiri sih jadi selalu berpikir, Nini harus sembuh, gara-gara terutama orangtua, dan adanya dia dan kawan-kawan Nini, khususnya pemusik itu, jadinya dapat keluarga baru. Jadi dari situ Nini berpikir, oh.. Nini harus benar-benar menjalani pengobatan. Biar Nini bisa sehat terus dan ngumpul terus sama dia dan orang yang Nini sayang.” (Nn, 650-659) 2. Impian sebagai tujuan personal dan pemaknaan atas hidup Impian adalah sesuatu yang sungguh-sungguh seseorang inginkan untuk terjadi dalam hidupnya. Tiap-tiap orang tentu memiliki impian, siapapun dia, dan sesederhana apapun itu. Impian menjadi sebuah harapan yang membuat seseorang untuk tetap ada, pemberi semangat yang membuatnya terus hidup dan bertahan dari apapun demi meraih impian yang ingin diwujudkan. Sama halnya dengan orang lain, ketiga informan juga memiliki sesuatu yang berarti untuk mereka wujudkan dalam hidup. Impian menjadi hal penting bagi tiap informan. Keinginan untuk memaknai hidup melalui pencapaian tujuan personal ialah hal yang membuat para informan terus bertahan menjalani pengobatan. a. Informan Dd Menabung agar bisa memiliki Motor Gede yang diimpikan sejak usia lima tahun, tampil bersama band untuk mengisi acara,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 150
juga menjalani kehidupan yang sebagai mahasiswa yang tetap menjalani tranfusi dan pengobatan adalah imaginasi yang Dd (18) bayangkan akan terjadi dalam hidupnya dalam lima tahun ke depan. “Aku bayangin aku besok kalau apa.. lima tahun ke depan, ya aku udah punya Mo-Ge, kan aku udah nabung, terus..jadi mahasiswa, ngisi acara band sama tementemen, tetap tranfusi tetap berobat lah. Ya gitu lah ce… tetap kayak gini gini, tetap harus berobat.” (Dd, 756-763) Adapun impian lain yang tidak kalah penting untuk Dd (18) yakni menjadi seorang musisi. Bagi informan, musik membuat ia merasa nyaman dan seolah menghilangkan berbagai beban dalam hidup yang ia rasakan. Hilangnya kesempatan untuk melakukan aktivitas olahraga membuat Dd (18) menggunakan musik sebagai alternatif pelampiasan dari aktivitas yang disenangi.
“Selain itu pengen jadi musisi ce. Gimana ya.. soalnya main musik itu, bahkan dengar aja bisa buat aku enjoy gitu. Semua beban yang sebelumnya ada, sekali denger musik tuh hilang semua ce. Beban penyakit, tugas, dan hal hal lain.. dan itu biasanya hilang. Pentingnya mimpi ini buatku 8 nilainya. Musik buatku itu penting. Aku ga bisa melakukan aktivitas lain, seperti olahraga, jadinya ya melampiaskan ke musik, itu yang buat musik jadi penting buat aku.” L 695-708 Hanya saja, meski Dd (18) memiliki impian yang ingin diwujudkan, ia memiliki kekhawatiran akan terwujudnya impian tersebut. Selain keraguan akan kemampuan diri yang dirasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 151
kurang, batasan dari orangtua turut menjadi hal utama yang membuat informan khawatir untuk mencapai impian mereka. “Tapi aku juga takut mimpi ini gak bisa aku capai. Terkait kemampuan sih, soalnya buta not, kurang skillnya jadi butuh bimbingan lagi, kayak les. Tapi lebih karena takut ga bisa keluar dan kuliah ke Jogja untuk ambil jurusan musik. Kayak mama dan papa gak mengijinkan karena adanya keterbatasan fisik ini. Ya gitulah..” (Dd, 713-721) Tak hanya itu, sebagai respon atas apa yang ia rasakan, informan Dd (18) mengungkapkan ketidaknyamanan terhadap batasan yang telah orangtuanya berikan “Tapi sebenarnya beban mungkin ada sedikit ya.. kadangkadang kepikiran. Misalnya, aku pengen banget bisa gabung sama tim sepakbola sekolah kan, pengen ikut kegiatan yang sifatnya olahraga itu gak bisa, dilarang sama orangtua kuliah Jogja, jadinya kayak umur 18 tahun tapi perlakuannya seperti 10 tahun. Jadi itu mengganggu karena itu.” (Dd, 604-613) “Gak nyaman kan kalau diperlakukan kayak umur 10 tahun. Gmna yaa.. sjujurnyaaku bersyukur mendapatkan keluarga yang begitu sayang sama aku. Terganggu juga iya pasti.. diperlakukan seperti itu, dgn usia segini ga bisa bebas banyak hal. Main sm teman terutama. Ga bisa olahraga sama teman, keluar kuliah. Harapannya ya bisa diijinkan meski buat capek, kan habis itu bisa tranfusi kan sebenarnya. Lagian juga gampang, kalau kurang darah, cek HB, kasih ke PMI, terus tranfusi kan.” (Dd, 614-627)
Sebagai sebuah harapan, Dd (18) mengharapkan adanya perubahan pandangan dari orangtua tentang dirinya yakni kepercayaan untuk kuliah di Jogja. Hal ini dikarena ia yakin bahwa ia sudah mampu merawat dirinya sendiri. Oleh karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 152
itu, ia berharap orangtua dapat mempercayai dirinya untuk merawat dirinya sendiri secara mandiri. Selain itu, Dd (18) juga mengharapkan adanya izin dari orangtua untuk bebas melakukan berbagai aktivitas meskipun hal itu dapat membuatnya lelah.
“80% lah percaya pada diri sendiri bahwa aku bisa rawat badanku sendiri” (Dd, 733-735) “Harapannya ya bisa diijinkan meskipun membuat capek, kan habis itu bisa tranfusi kan sebenarnya kalau capek. Lagian juga gampang, kalau kurang darah, cek HB, kasih ke PMI, terus tranfusi kan.” (Dd, 622-627) “Harapannya sih bisa diijinkan keluar, aku juga pasti bisa lebih mandiri. Keluarga takut, aku gak terawat kalau sendiri, takut ga tranfusi, desferal, minum obat.. ya menurut aku, aku gak begitu, kan bisa cari perkumpulan yayasan di Jogja, di RS. Sardjito, sama seperti di Pontianak, setidaknya bisa rajin tranfusi, meskipun mungkin desferal belum tentu.. obatnya sih pasti rajin.” (Dd, 722-732)
b. Informan Nn (20) Menjadi seorang penari profesional adalah hal yang Nn (20) bayangkan terjadi di masa depan hidupnya. Selain di dunia tari, Nn (20) juga memiliki impian untuk bekerja di dunia kesehatan. Namun, kecintaannya pada dunia tari membuatnya memiliki keinginan untuk sembuh sebagai impian yang Nn (20) inginkan untuk terjadi dalam hidupnya. Keinginannya untuk sembuh menjadi harapan yang membuat Nn (20) terus berjuang menjalani proses terapi hingga kini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 153
“Nini jujur awalnya ingin bisa kerja di bidang kesehatan, jadi perawat, dokter, pokoknya di bidang kesehatan. Juga dunia tari. Pengen banget yang namanya terjun ke dunia tari” (Nn, 88-93) “Beberapa tahun ke depan.. Pengen ke dunia tari, bisa jadi penari profesional. Nini suka banget nari, pengen sembuh.” (Nn, 746-749) “Kalau nini sendiri sih jadi selalu berpikir, Nini harus sembuh, gara-gara terutama orangtua, dan adanya dia dan kawan-kawan Nini, khususnya pemusik itu, jadinya dapat keluarga baru. Jadi dari situ Nini berpikir, oh.. Nini harus benar-benar menjalani pengobatan. Keinginan informan untuk sembuh membawa informan ke impiannya yang lain yaitu membahagiakan orangtua, terutama ibu. Bagi Nn (20), membahagiakan kedua orangtua adalah hal yang ia impikan. Meski dirinya sakit, ia berpikir bahwa ia harus tetap sehat agar bisa membahagiakan kedua orangtuanya. “Iya dunia tari, kesehatan sama pengennya sih pasti mau bahagiain orangtua ce, mama.. Umm cuman Nini tahu saat ini masih belum, masih jauh. Kadang, walaupun Nini sakit, nini berpikir ga harus sehat buat bisa bahagiain orangtua. Selain untuk membuat ibu lebih tenang dan tidak lagi mengkhawatirkan kondisi dirinya, keinginan untuk sembuh bagi Nn (20) juga dilakukan demi bisa terus sehat dan bisa berkumpul bersama orang-orang yang ia sayangi. “Gimana ya ce… kalau berobat, pas tranfusi gitu, Nini cuma terus ngerasa kalau aku harus sehat demi.., terus sehat gitu, karena masih mumpung banyak kawan, ada orangtua, yang nunggu di rumah ibaratnya, ada kawan yang masih ada buat aku, jadi Nini berpikir harus sehat.” Nn 151-158
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 154
“Kalau nini sendiri sih jadi selalu berpikir, Nini harus sembuh… Nini harus benar-benar menjalani pengobatan. Biar Nini bisa sehat terus dan ngumpul terus sama dia dan orang yang Nini sayang.” (Nn, 650-651; 656-659) Sama halnya dengan informan Dd (18), meski Nn (20) memiliki impian untuk menjadi seorang penari profesional dan sangat mencintai dunia tari, ia menyampaikan adanya batasan dari orangtua untuk melakukan itu. “Nini suka banget nari, pengen sembuh. Tp mama takut Nini kecapean. Ni kemarin sempat ikut sih 2 tahunan di dunia tari, tapi udahlah kata mama udah besar, ga usah ikut nari lagi nanti drop. yaudah Nini ga ikut lagi.. pasrah ce. meski pengen” (Nn, 748-754) Tak hanya itu, informan menyampaikan pula bahwa berbagai hal yang ia sukai juga tak bisa ia lakukan karena larangan dari orangtuanya, seperti beraktivitas di luar dan berkumpul bersama teman. Padahal menurutnya, hal tersebut mampu mendorongnya minum obat dan membuat ia merasa berguna. “Mama lebih batasin karena khawatir aku kecapekan karena cita-cita dan hal yang aku suka, keluar sama kawan, susah” (Nn, 387-390) “dari keluarga.. banyak sih. Dari keluar rumah tuh.. sebenarnya harus lebih banyak ditemani orang, gak boleh keluar sendiri. Alasannya sih takut kenapa-kenapa. Lebih karena takut kalau trjadi apa-apa. Takut kenapa-kenapa di jalan makanya ditemani sama teman. Kalau mau keluar pokoknya susah.” (Nn, 414-423) “Bisa bebas itu sgt berarti buat Nini.Nini mrasa ada yg bs Ni lakukan.kalau itu bisa terpenuhi, Nini bahagia, Nini lebih seneng aktivitas di luar, lebih merasa berguna” (Nn, 560-564)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 155
“Umm.. menurut Nini yang paling bisa bantu dorong Nini berobat ya dikasih kebebasan itu tadi dari papa mama. Seenggaknya percaya sama Nini, bebas milih apapun yang Nini suka.” (Nn, 305-309) “Buat Nini, kepercayaan dari papa mama ke Nini, izin dari papa mama ke Nini untuk apapun yang pengen Nini lakuin, itu support terbesar ce, itu hal yang buatku bakal mendorong aku minum obat. Cuma itu sebenarnya.” (Nn, 327-333) Sebagai sebuah harapan, Nn (20) berharap dirinya dapat diberikan kebebasan untuk melakukan hal yang ia sukai dan tidak lagi diperlakukan sebagai anak kecil. Bahkan, ia berjanji akan adanya sikap rajin dalam berobat bila orangtua memberikan kebebasan.
“Nini sebenarnya pengen sesekali dianggap udah lebih dewasa, ga usah diperlakukan kayak anak kecil lagi, sebenarnya gitu sih ce.. sekalipun itu sayang ce, aku kadang gak suka kayak gitu terus” (Nn, 405-410) Nini sebenarnya gak pengen apa-apa sih ce, cuma pengen bisa keluar, bebas milih keputusan buat aku atau hal-hal yang Nini suka ce, diizinkan ketemu sama kawan, gak terlalu dibatasin, ngumpul.. nah kalau gitu, Nini tuh senang pasti Nini rajin dan pulang langsung minum obat. Nini janji.” (Nn, 551-559) c. Informan Fa Keinginan
untuk
memberikan
sesuatu
yang
dapat
membanggakan sang ibu adalah satu-satunya impian yang membuat Fa (19) tetap bertahan. Fa (19) mengungkapkan selama ia masih ada, ia akan tetap bertahan untuk. Hal ini ia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 156
tunjukkan dengan tetap kuliah, meski sesungguhnya ia sudah merasa sangat lelah karena keterbatasan fisiknya. “Nida ga pernah mikir untuk diri Nida sendiri. Sebenarnya Nida cuma pengen kalau Nida panjang umur, Nida pengen kasih sesuatu yang bisa banggakan Mamak, gitu.. Selama Nida masih ada Nida bertahan. Nida kuliah meskipun Nida sakit, seenggaknya Nida pengen mama Nida bangga, gak cuma ape denger omongan dari orang lain yang banggain anaknya, sedangkan Nida kan ga pernah rangking. Terus kemarin ada kan kawan Mamak yang anaknya udah pada wisuda, Mamak bilang ‘Banggenye gak liat anak orang nih udah pada wisuda’. Memang sih mamak ga bermaksud buat gimane, tapi kan Nida rasenya sedih. Nida juga beberapa mata kuliah harus ngulang, IP Nida paspasan, Cuma 3,35 aja.. Mama ngarep Nida bisa cumlaude. Emang sih mamak bilangnya yang penting Nida bisa lulus, gak ngarep perlu cumlaude. Tapi Nida ngerasa, beda. Mamak pengen Nida bisa banggein dia. Nida juga sebenarnya pengen berhenti kuliah, tapi Nida ingat janji sama Mamak, karena dari awal udah komitmen ga boleh berhenti tengah jalan sama Mamak, apapun yang terjadi. Nida sering merasa capek, ngos-ngosan kak kalau kuliah, berat, tapi Nida inget omongan sama mamak.” Fa 497- 530 Berkenaan dengan rasa lelah yang ia rasakan selama kuliah, informan juga menyampaikan bahwa seberat apapun perjuangannya itu, ia tak akan menceritakan pada sang ibu. Hal ini dikarenakan ia tak ingin melihat sang ibu bersedih. “(geleng kepala). Nida kan cengeng, kalau ngomong pasti Nida nangis. Kalau Nida nangis, dan ngomong sakitnya perasaan Nida, gimana tertekannya Nida buat berjuang pasti Mamak ikut nangis, jadi Nida gak mau ngomong sama mamak. Nida gak mau lihat mamak sedih. Nida gak pernah bilang apa-apa jadinya ke mamak kalau Nida tahu itu bakal buat mamak sedih, biarpun Nida yang sakit kak.” Fa 531-542 Informan sendiri mengungkapkan selain dorongan untuk tetap berjuang demi membanggakan sang ibu ada hal lain yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 157
juga membuatnya terinspirasi untuk tetap bertahan. Hal tersebut ialah gairah yang didapatinya setelah mengetahui bahwa ada beberapa
individu
dengan
Thalassaemia
yang
mampu
melangkah jauh seperti peneliti Pipit Senja—yang mencapai usia lanjut—atau artis Ussy Sulistyowati—yang telah memiliki anak. Fakta tersebut mendorongnya untuk dapat melakukan hal yang sama. “….tapi Nida optimis sih, toh Pipit Senja salah satu peneliti juga thalasaemia, udah nenek-nenek, sakit Thalassaemia Mayor. Terus Ussy istrinya Andika Pratama juga, malah punya anak, jadi Nida positive thinking aja” Adanya impian yang dimiliki oleh setiap informan menjadi suatu tujuan personal yang membuat para informan . Impian memberikan makna personal bagi setiap informan untuk terus bertahan hingga mereka dapat meraih tujuan personalnya. Sebuah semangat yang terus menyala bagi para informan. Keinginan menjadi seorang musisi, Keinginan untuk sembuh demi meraih cita-cita dan bebas melakukan apapun yang disukai, keinginan untuk terus hidup bersama dengan orang terkasih, keinginan untuk membanggakan dan membahagiakan orangtua adalah impian yang informan sampaikan dan membuat mereka terus bertahan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 158
E. Pembahasan Melalui eksplorasi atas pengalaman psikologis dalam menjalani proses terapi pada remaja thalassaemia mayor, peneliti memperoleh dua kategori utama. Kategori pertama mengarah pada hal-hal yang memunculkan keengganan dalam menjalani proses terapi dan tentu menghambat berjalannya proses berobat. Kemudian, kategori yang lain mengarah ke hal yang sebaliknya, yakni mendukung proses pengobatan. A. Alasan Utama Keengganan Menjalani Terapi 1. Sikap membohongi diri a. Keinginan untuk menjadi normal & merasakan apa yang orang lain rasakan Tampaknya benar, pesan seorang anak berumur 11 tahun yang mengungkapkan normal,
tidak
“Bila anak-anak adalah anak yang
memiliki
sakit,
mereka
akan
senang
diperlakukan secara spesial. Tapi, jika anak-anak memiliki sakit, mereka ingin diperlakukan secara normal.” (Sourkes, 2008). Pesan yang disampaikan olehnya menjadi hal yang tepat untuk mengilustrasikan pengalaman hidup remaja dengan thalassaemia mayor. Keinginan untuk diperlakukan secara normal dalam pernyataan tersebut menunjukkan pentingnya pandangan dan perlakuan yang diberikan oleh orang lain terhadap diri secara normal. Di sisi yang lain, keinginan diperlakukan secara normal juga mengilustrasikan sebuah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 159
harapan yang diinginkan oleh individu yang memiliki sakit untuk menjadi seseorang yang normal. Keinginan untuk “menjadi” orang normal dan “diperlakukan” secara normal, bagi remaja thalassaemia mayor dalam penelitian ini, tidak sebatas harapan adanya pandangan dan perlakuan yang diperolehnya dari orang lain untuk membuatnya seperti orang normal. Keinginan untuk “menjadi” orang normal terwujud sebagai sebuah usaha aktif dari para remaja thalassaemia mayor sendiri untuk bisa “merasakan” apa yang orang normal rasakan. Usaha yang dilakukan oleh remaja thalassaemia mayor ini hadir dalam bentuk pembohongan diri. Membohongi diri sendiri dilakukan sebagai cara para informan untuk menganggap dirinya sehat dan tidak memiliki sakit dengan tidak melakukan proses pengobatan. Pembohongan diri ini kerap kali ditemukan dalam remaja dengan thalassaemia saat menghadapi berbagai keterbatasan yang ditimbulkan oleh penyakit yang ia miliki. Penelitian Atkin & Ahmad (2001) menunjukkan bahwa penyangkalan atas kondisi sakit dengan tidak melakukan terapi pada usia remaja merupakan jalan utama yang ditempuh agar tampak normal. Para remaja menolak apapun yang membuat mereka tampak berbeda dengan orang lain. Salah satu cara yang ditemukan muncul
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 160
ialah penolakan untuk menjalani terapi kelasi ataupun usahausaha lain yang dapat dilakukan untuk menjaga kondisi diri. Pembohongan diri juga menghadirkan perasaan tenang bagi informan. Seperti yang disampaikan oleh informan Dd (18) “Ada kalanya aku merasa tenang aja, akhirnya aku bisa kayak orang lain, ya.. meski membohongi diri sendiri. Aku sadar, tapi emang menenangkan.” Dengan membohongi diri seolah tidak memiliki sakit, keinginan informan untuk merasakan apa yang orang lain rasakan menjadi terwujud. Membohongi diri dalam ini mengambil peran sebagai suatu strategi yang dilakukan oleh remaja thalassaemia guna tetap memegang kontrol atas hidupnya dan mencoba mengendalikan kondisi yang dimiliki (Frydenberg, 1997; Hill, 1994 dalam Atkin & Ahmad, 2001). Lebih lanjut, Sourkes dalam penelitiannya menjelaskan tentang kondisi yang dirasakan oleh individu dengan penyakit kronis, yaitu hidup dalam dua kehidupan : mereka merindukan untuk menjadi normal dalam kehidupan sehari-hari, dan pada saat yang sama, mereka hidup bersama dengan penyakit yang membuat mereka tampak “abnormal” dari penyakitnya (Sourkes, et al., 2005). Kondisi yang dipaparkan oleh Sourkes ini menjelaskan usaha membohongi diri sendiri sebagai hal yang
memungkinkan
untuk
dilakukan
oleh
remaja
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 161
thalassaemia mayor sebagai caranya merespon harapannya untuk menjadi normal yang sulit untuk dilakukan. Tercapainya keinginan remaja thalassaemia mayor untuk menjadi orang normal dan merasakan apa yang orang lain rasakan, di lain sisi menghadirkan pengorbanan lain, yaitu proses pengobatan. Anggapan bahwa mereka tidak memiliki sakit, bagi para informan dapat terwujud dengan tidak menjalani proses terapi. Ketiga informan memaparkan keinginan untuk merasakan apa yang orang lain rasakan salah satunya yaitu dengan tidak harus terus melakukan proses terapi, seperti orang pada umumnya. Para informan akan merasa dirinya sehat dan tidak memiliki sakit bila proses terapi tidak dilakukan. Oleh karena itulah, usaha membohongi diri sendiri yang dilakukan para informan mengarahkan pada keengganan para informan untuk menjalani proses terapi. “… Para remaja mengutarakan kebencian mereka terhadap terapi karena hal tersebut membuat mereka tampak berbeda. Tanda-tanda yang mengisyaratkan adanya perbedaan mereka dengan orang lain, seperti keharusan untuk mengkonsumsi obat-obatan demi mempertahankan hidup serta harus berpikir mengenai kesehatan mereka lebih sering daripada teman-teman mereka merupakan sebuah beban dan pada kesempatan lain, hal ini cukup untuk membuat mereka menghentikan perawatan.” (Christian&D’Auria 1997, Atkin&Ahmad 2001, Hokkanen et al. 2004, McEwan et al. 2004, Huus & Enskar 2007 dalam Taylor, et al., 2009)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 162
Membohongi
diri
sendiri
sebagai
sarana
untuk
merasakan apa yang orang lain rasakan bisa dilihat sebagai salah satu bentuk ekspresi denial. Hanya saja, denial dalam konteks ini tidak dimengerti sebagai kondisi penyangkalan karena para informan tidak mampu menerima kondisi sakit mereka, tapi sebaliknya sebagai suatu strategi penerimaan atas kondisi sakit mereka. Bila meminjam gagasan Fromm (dalam Braune, 2014) tentang harapan, kita bisa melihat bahwa membohongi diri sendiri di sini merupakan suatu cara individu dengan thalassaemia untuk mencipta harapan. Harapan yang digunakan untuk terus melanjutkan hidup serta menghidupi mimpi mereka. Penegasan akan denial sebagai sarana pencipta harapan muncul terutama karena denial yang digunakan sebagai strategi tidak bersifat pasif dengan sekedar berharap dan tanpa usaha pun juga hanya menunggu, tetapi merupakan suatu usaha aktif untuk terus mempertahankan kemungkinan yang begitu kecil diraih, yaitu menjadi sembuh atau dapat menjalani hidup seperti orang normal. Keinginan atas adanya kesembuhan yang secara tersirat yang kemungkinannya begitu kecil ini bisa dimengerti sebagai suatu harapan seperti apa yang disampaikan oleh Fromm “setidaknya masih ada kesempatan (meskipun kemungkinan itu sangat kecil) untuk meraih objek dari suatu harapan.” (Fromm, 1968 dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 163
Braune, 2014). Pemahaman akan pembohongan diri terkait kondisi yang mereka hadapi sekarang, yakni belum mendapati adanya obat yang mampu memberi kesembuhan, tidak lantas menghambat mereka untuk menghidupi harapan untuk bisa merasakan apa yang orang normal rasakan dan terus melanjutkan hidup berbekal harapan itu.
b. Tidak adanya perubahan atas situasi, Tidak akan sembuh Tidak adanya perubahan yang dirasakan atas proses terapi dan ketidakmampuan para informan untuk mengubah kondisi mereka menjadi sembuh turut menjadi alasan mendasar para informan melakukan pembohongan diri. Seperti yang disampaikan oleh informan Dd (18) dan Fa (19), ketidakberdayaan informan atas situasi yang tak bisa para informan ubah yakni dengan mengkonsumsi obatpun, kondisi yang mereka hadapi akan selalu sama dan tidak akan pernah sembuh. Kondisi yang dialami oleh remaja thalassaemia mayor ini bukan tanpa sebab. Kondisi yang dialami oleh para informan dapat dijelaskan sebagai Learned Helplessness, suatu keadaan dimana seseorang berusaha untuk menanamkan kepercayaan pada dirinya sendiri bahwa apapun usaha yang dilakukan tidak akan ada gunanya. Learned Helplessness pada awalnya terjadi ketika individu melihat suatu situasi sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 164
keadaan stress yang tidak menyenangkan atau memberatkan. Ketika seseorang percaya bahwa dirinya tidak mampu untuk mengontrol atau memprediksi peristiwa atau hasil yang akan terjadi di lingkungan sekitarnya, maka dirinya akan merasa frustasi pada situasi tersebut, dan akan mengembangkan situasi tidak berdaya (Roussi, 2008).
2. Rasa malas Rasa malas adalah perasaan dominan yang dirasakan oleh para informan ketika menjalani proses pengobatan. Para informan menyampaikan bahwa rasa malas inilah yang seringkali membuat ketiga informan tidak menjalani pengobatan. Hal ini dikarenakan adanya kejenuhan atas pengobatan serta pengalaman negatif yang terus berulang serta, seperti rasa sakit karena suntikan dan ketidakleluasaan para informan untuk bergerak bebas saat terapi. Ini senada dengan konsep learned helplessness yang merupakan : “…. fenomena psikofisiologis dimana individu mengembangkan kondisi tidak berdaya yang muncul setelah adanya pemaparan berulang terhadap kejadiankejadian negatif yang mana seseorang mempersepsikan tidak adanya kontrol yang dimiliki. (Maier & Seligman, 1975). Seperti yang telah dipaparkan diatas, learned helplessness sendiri menjadi suatu konsep yang penting dan potensial dalam memahami usaha individu menghadapi suatu penyakit kronis. Hal ini dikarenakan individu dengan penyakit kronis sering dihadapkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 165
pada konfrontasi berulang terhadap situasi negatif yang tidak bisa terkontrol dalam konteks menghadapi penyakit yang diderita (Smalheer, 2011). Kondisi tersebut membuat seseorang bersikap tidak berdaya dan mengabaikan kesempatan untuk untuk mengalami perubahan atau merasa lebih baik dengan tidak berobaat (Ntim, 2012).
B. Hal yang Mendorong Proses Terapi 1. Ikatan emosional dengan ibu Ikatan emosional dengan ibu menjadi salah satu pendorong bagi para informan untuk menjalani proses terapi. Tiap-tiap informan memiliki ikatan emosional yang khas dengan sang ibu. Rasa bersalah yang dirasakan Dd (18) terhadap sang ibu adalah hal yang mampu mendorong dirinya berobat. Pada informan Nn (20), ikatan emosional hadir dalam bentuk rasa sayang serta rasa khawatir bahwa ia tak akan lagi bisa melihat sang ibu bila suatu saat ia pergi. Tak hanya itu, Nn (20) juga menggambarkan kekhawatirannya untuk meninggalkan sang ibu bila memang pada akhirnya ia harus meninggalkan sang ibu terlebih dulu. Informan lainnya, Fa (19) menyampaikan ketidakinginannya melihat sang ibu sedihlah yang terus mendorongnya berobat. Ikatan emosional yang dirasakan oleh tiap informan pada sang ibu tentu tidak muncul begitu saja. Ikatan emosional dengan ibu hadir karena peran andil ibu yang besar dalam setiap pengalaman informan dalam menjalani
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 166
proses terapi. Bagi ketiga informan, ibu menjadi sosok yang sangat penting dan berarti sehingga mampu mendorong mereka untuk menjalani proses terapi. Penelitian Wiebe et al., (2005) menunjukkan bila remaja mempersepsikan ibu mereka sebagai pihak yang tidak terlibat, maka mereka cenderung memiliki kepatuhan terhadap terapi yang rendah dan kontrol metabolisme yang parah, tetapi bagi mereka yang mempersepsikan ibu sebagai pihak yang kolaboratif, maka mereka akan memiliki kondisi yang sebaliknya. Di sisi lain, munculnya rasa bersalah sebagai landasan teraturnya proses terapi yang dialami Dd (18) adalah hal yang wajar. Adapun demikian, dinamika yang membentuk rasa bersalah ini cukup kompleks. Penelitian Rasmussen, Dunning, Cox & O’Connel (2008) dapat membantu mengilustrasikan hal ini. Mereka menemukan bahwa rasa bersalah ini bersifat dua arah, melibatkan tidak hanya sang anak tetapi juga ibu. Ibu merasa bersalah dan menyalahkan dirinya sendiri karena telah menurunkan secara genetis potensi sakit kepada anak. Tak hanya itu, perasaan bersalah juga hadir karena ia memiliki pengetahuan bahwa anaknya menyadari keinginannya agar sang anak dapat melakukan terapi secara rutin. Keinginan yang terkadang membayangi anak dan justru membuat sang anak merasa tertekan dan akhirnya tidak mengindahkan proses terapi. Di lain sisi, anak juga merasa bersalah karena kondisi sakit yang ia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 167
alami membuat sang ibu mencurahkan pengorbanan yang besar untuk
dirinya. Atas
dasar hal
tersebut,
keinginan untuk
membebaskan ibu dari beban yang ditanggung membuat sang anak memunculkan kesadaran diri untuk bertanggung jawab atas kondisi dirinya. Dalam kasus yang diteliti oleh peneliti, tanggung jawab atas kondisi diri ini ditunjukkan dengan menjalani proses terapi. Rasa bersalah merupakan bagian dari hidup seseorang dengan penyakit kronis (Phillips 2000, Whittemore et al. 2005 dalam Rasmussen, et al., 2008). Philips menawarkan konsep rasa bersalah dengan dua komponen utama yakni : “perasaan yang seseorang rasakan ketika ia telah melakukan sesuatu yang salah” atau “tidak melakukan suatu hal yang seharusnya ia lakukan” dan merasa “buruk” atas hal itu. Kondisi Dd (18) mencerminkan kondisi yang sama. Ingatan atas pengorbanan sang ibu yang telah menemani proses terapi sejak ia kecil membuat Dd (18) merasa bersalah. Ia merasa bersalah karena dirinya tidak menjalani proses terapi, suatu hal yang sudah sepatutnya ia lakukan. Pada informan Nn (20) dan Fa (19), kekhawatiran dan ketidakinginan untuk melihat sang ibu sedih bila sesuatu yang buruk terjadi pada diri mereka memicu kesadaran pribadi untuk menjalani proses terapi. Persoalan tentang pentingnya kesadaran yang berlandas pada relasi emosional ini telah ditilik oleh Atkin dan Ahmad (2001). Penelitian Atkin dan Ahmad (2001)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 168
menunjukkan bahwa ikatan emosi yang kuat dengan anggota keluarga secara perlahan dapat memunculkan kesadaran bahwa proses terapi bukan hanya persoalan kepentingan diri individu dengan penyakit kronis saja, tetapi juga memunculkan dampak bagi anggota keluarga mereka. Seperti halnya perasaan khawatir ataupun sedih yang dirasakan oleh keluarga bila sesuatu yang buruk terjadi pada mereka. Di lain sisi, individu dengan penyakit kronis sendiri kemudian juga merasakan hal yang sama bila mereka mendapati keluarganya bersedih karena dirinya. Dalam hal ini, perasaan bersalah juga seringkali menyertai perasaan sedih yang mereka rasakan. 2. Kehadiran akan pasangan (relasi romantis) Selanjutnya, kehadiran pasangan turut menjadi hal penting bagi informan untuk mendorong berjalannya proses terapi. Bagi para informan, kebutuhan untuk menjalin relasi romantis adalah hal yang dianggap mampu mendorong mereka untuk lebih rajin berobat. Seperti yang para informan sampaikan, penderita penyakit kronis menghadirkan pasangan sebagai seseorang yang mampu memberikan kenyamanan, dukungan emosional dan juga relasi yang lebih intim (Seiffge-Krenke, 2000; Eshel et al., 2007). Kehadiran pasangan bila memperhitungkan usia para informan saat ini, mereka berada pada kategori remaja akhir. Di masa remaja akhir, ketika anak muda sudah siap memasuki
keintiman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 169
psikologis yang lebih kuat, mereka mencari seseorang yang menawarkan pertemanan, kasih sayang, dan dukungan sosial (Brown, 2004; Collins & van Dulmen, 2006 dalam Berk, 2012). Seperti yang sudah dipaparkan diatas, relasi romantis ialah ciri perkembangan pada masa remaja akhir. Relasi romantis yang dipersepsi oleh para informan sebagai hal penting untuk diwujudkan ini, sejalan dengan apa yang juga dirasakan oleh remaja pada umumnya. Beberapa penelitian telah menunjukkan hal itu (Helgeson et al,. 2007 dan Gerhardt, et al., 2007). Hanya saja, hasil penelitian ini menunjukkan adanya makna yang berbeda terhadap kehadiran pasangan dalam pengalaman hidup remaja thalassaemia mayor. Kehadiran pasangan bagi para informan dipandang sebagai seseorang yang mampu membuat informan merasa lebih berarti dan bahagia. Secara khusus, informan Dd (18) dan Fa (19) mengilustrasikan bahwa kehadiran pasangan memberikan kesempatan mereka untuk merasa bahwa dirinya dapat berarti bagi orang lain. Yalom (1980) memaparkan adanya kebutuhan untuk menjalin hubungan romantis yang menegaskan keinginan tersirat para informan untuk menghindari perasaan kesepian. Yalom (1980) menulis, “pertemuan dengan kesendirianlah yang secara mendasar membuat seseorang membentuk keterikatan yang mendalam dan bermakna dengan orang lain”. Ia menggarisbawahi hal ini sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 170
salah satu akar dari konflik dan kecemasan setiap orang, yakni isolasi eksistensial. Ia menekankan ‘isolasi eksistensial’ adalah kesadaran paling dalam dari diri individu bahwa setiap orang terlahir untuk sendirian. Tiap-tiap orang lahir di dunia sendirian dan akan mati sendirian, sehingga dalam menjalani keberadaan di dunia ini individu itu sendirilah yang akan berjuang dengan keras dan menentukan bagaimana arah kehidupannya. Kesadaran akan adanya kesendirian sebagai hal yang mendasari keberadaan tiap manusia di dunia membuat setiap orang takut akan kesendirian.. Memiliki relasi yang dekat dengan orang lain, memberi dan menerima satu sama lain adalah sesuatu yang penting selama menjalani keberadaan dalam hidup ini (Yalom, 1980).
3. Kehadiran keluarga dan sahabat Kehadiran orang terkasih seperti keluarga dan sahabat adalah bentuk dukungan terbesar bagi para informan untuk menjalani proses terapi. Kehadiran keluarga bagi para informan penting bagi individu dalam menghadapi penyakitnya. Lebih lanjut lagi, ada peran yang muncul hanya dengan kehadiran keluarga dalam kehidupan individu. Sikap individu dalam menghadapi penyakit saling berkaitan dengan bagaimana keluarga mereka bersikap terhadap penyakitnya dan respon yang ditunjukkan kepada individu berpenyakit kronis (Admi, 1996; Kyngas, et al., 1997). Keluarga menjadi rekan terbaik bagi individu penyakit kronis dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 171
membimbing mereka menjalani proses terapi. Adanya dukungan dari keluarga dan teman menjadi suatu hal yang krusial dalam proses kepatuhan menjalani proses terapi pada remaja dengan penyakit kronis (de Weerdt et al, 1990; Grey et al, 1991; Kyngas, 1992, Burroughs et al., 1993 dalam Kyngas et.al, 1998). Sama halnya dengan keluarga, kehadiran para sahabat juga memberi makna tersendiri bagi setiap informan seperti sebagai pemberi semangat bahkan hingga membuat para informan merasa berguna dan merasa hidupnya tidak lagi monoton dan kesepian. Secara umum, remaja merasa bahwa berkumpul bersama teman dan mampu melakukan suatu hal bersama-sama teman sebayanya adalah bagian terbaik serta penting bagi hidupnya (Gallo et al. 1992 dalam Taylor, 2008; Kim & Kang, 2003). Sahabat merupakan sumber utama dukungan dan menurunkan tingkat kepentingan perbedaan yang mereka miliki dalam kehidupan sosial. Kehadiran sahabat membuat mereka lebih berfokus pada kesamaan yang mereka miliki dibandingkan dengan perbedaan mereka dengan rekan sebaya lainnya (Christian & D’Auria, 1997). Hal menarik lainnya yang diungkapkan oleh para informan dalam penelitian ini ialah keluarga dan sahabat tidak hanya hadir sebagai pemberi dukungan semata, tetapi juga memunculkan keinginan para informan untuk tetap bisa selalu bersama-sama dengan orang yang mereka kasihi dengan terus menjalani proses terapi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 172
4. Alasan untuk bertahan Hal menarik lainnya yang ditemukan dalam penelitian ini yakni perihal alasan untuk bertahan yang disampaikan oleh para informan. Alasan untuk bertahan dibagi menjadi dua kelompok yaitu (1) berkenaan dengan keputusan berobat untuk keluarga atau diri sendiri dan (2) tujuan personal dalam hidup. Sebagian informan menyampaikan dirinya berobat untuk keluarga, bukan untuk dirinya sendiri. Tidak adanya perubahan yang terjadi selama berobat dan keinginan untuk tidak membuat ibu sedih ialah alasan yang menjelaskan pilihan para informan. Berbeda dengan kedua informan lainnya, informan Nn (20) melihat dirinya sendiri sebagai alasan bertahan untuk menjalani proses terapi. Pandangan akan kemungkinan hadirnya mukzijat membuat informan merasa berusaha dan berjuang adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan. Adanya perbedaan ini menunjukkan variasi dari sebuah tujuan
personal.
Frankl
mengutip
Nietzche
yang
pernah
mengemukakan “dia yang memiliki suatu mengapa untuk hidup, bagaimanapun juga dapat menderita dengan sabar”. Apa yang berarti dalam keberadaan manusia, bukan semata-mata nasib yang menantikan kita, tetapi cara bagaimana kita menerima nasib itu (Schultz, 1991). Frankl percaya bahwa dalam menghadapi situasi yang tidak dapat diubah sekalipun, bahkan sangat traumatis sekalipun, individu mampu bangkit atas dirinya sendiri karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 173
tidak akan ada yang menghambat perkembangan diri individu, ketika individu tersebut memiliki kemauan untuk menemukan makna atau will to meaning (Frankl, 1972). Bagi Frankl, bukan makna hidup itu sendiri yang menjadi tujuan akhir, tetapi yang lebih penting adalah kemauan individu untuk selalu menemukan makna dalam hidupnya. Penjelasan ini tampaknya mengilustrasikan pengalaman para individu dengan thalassaemia. Keinginan untuk memaknai hidup melalui pencapaian tujuan personal seperti keinginan menjadi seorang musisi, keinginan untuk sembuh demi meraih cita-cita dan bebas melakukan apapun yang disukai, keinginan untuk terus hidup bersama dengan orang terkasih, keinginan untuk membanggakan serta membahagiakan orangtua adalah impian yang disampaikan oleh masing-masing informan dan menjadi alasan para informan terus bertahan. Adanya berbagai impian ini secara tersirat menggambarkan
usaha
para
remaja
dengan
thalassaemia
mewujudkan hasrat pencarian makna dalam hidupnya atau dalam kata-kata Frankl sendiri: ‘will to meaning’. Hanya saja, pencapaian atas impian ini seringkali dihalangi oleh batasan yang datang baik dari orangtua maupun lingkungan. Mengacu pada kondisi inilah, kesempatan untuk memaknai hidup dengan pemberian kebebasan untuk memilih dan melakukan hal yang disukai menjadi penting untuk dipahami dan diberikan oleh orangtua juga lingkungan para
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 174
individu dengan thalassaemia mayor. Di sisi yang lain, tujuan personal yang dikemukakan oleh tiap-tiap informan seolah memberikan jawaban atas refleksi Eugenia Georganda dalam menghadapi thalassaemia : “Apa arti hidup dan apa yang aku tuju dalam kehidupan?” Menjadi seorang musisi, sembuh demi menjadi penari profesional dan bebas melakukan apapun yang disukai, terus hidup bersama orang terkasih, membanggakan serta membahagiakan orangtua adalah impian yang disampaikan oleh masing-masing informan dan menjadi sumber kekuatan bagi individu dengan thalassaemia untuk terus melanjutkan hidup. Impian personal para informan
tersebut
senada
dengan
ungkapan
hati
Eugenia
Georganda (1991) dalam refleksinya. Semua orang harus menjawab pertanyaan di atas, bila mereka ingin menjalani hidup yang bermakna. Keberadaan individu dengan thalassaemia akan jauh lebih menyakitkan dan sulit dibandingkan keberadaan orangorang lain yang tidak berpenyakit kronis. Tantangan yang perlu mereka hadapi sebagai individu dengan penyakit kronis akan selalu hadir dan begitu besar sehingga akan sangat sulit bagi mereka untuk mencari suatu alasan untuk bertahan dalam kehidupan. Menghidupi semua tujuan personal ini dalam pikiran akan menjadi alasan mendasar yang membuat individu dengan penyakit kronis tetap bertahan menjalani proses terapi serta memberi mereka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 175
kekuatan untuk terus melanjutkan hidup dan berjuang di setiap hari di sepanjang tahun keberadaan mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
176
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Melalui eksplorasi atas pengalaman psikologis dalam menjalani proses terapi, peneliti memperoleh dinamika psikologis pada remaja thalassaemia mayor. Di dalam dinamika psikologis ini, peneliti memperoleh dua kategori utama: (1) hal-hal yang menjelaskan munculnya keengganan untuk melakukan proses terapi, yaitu pembohongan diri dan rasa malas serta (2) hal-hal yang mampu mendukung berlangsungnya proses terapi seperti interaksi dengan orang terkasih dan alasan personal untuk bertahan. Hal menarik dalam penelitian ini ialah sikap membohongi diri tidak dilihat sebagai bentuk penyangkalan (denial) atas kondisi sakit yang dimiliki, melainkan sebuah strategi untuk mempertahankan kontrol atas jalannya hidup dan upaya menghidupi harapan. Selain itu, adanya tujuan personal (impian hidup masing-masing informan) adalah kekuatan bagi remaja thalassaemia mayor untuk terus berjuang di setiap hari dalam kehidupan mereka. Untuk itulah, kesempatan dan dukungan orangtua menjadi penting dalam menghadirkan kebebasan atas pilihan hidup dan minat mereka
177
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 178
B. Saran 1. Kepada individu dengan thalassaemia Keinginan untuk menjadi orang normal dan merasakan apa yang orang lain rasakan ialah harapan yang wajar dimiliki oleh para individu dengan thalassaemia. Seperti yang sudah ditunjukkan oleh beberapa penelitian sebelumnya, keinginan untuk menjadi normal ini bila dalam kadar yang wajar dan situasi yang tepat merupakan sarana coping bagi individu dengan thalassaemia. Merasa dirinya adalah orang yang normal dalam menjalani hidup sehari-hari, di saat dirinya tidak sedang melakukan pengobatan merupakan cara yang tepat untuk menjalani hari sebagaimana orang normal dan tidak memandang diri sendiri berbeda dengan orang lain. Hanya saja, bila penyangkalan ini disertai dengan keputusan untuk tidak melakukan pengobatan (sebagai cara untuk tampak seperti orang normal), maka penyangkalan yang dilakukan perlu dilihat kembali. Adanya kesadaran pribadi dari masing-masing individu dengan thalassaemia untuk melihat sejauh mana penyangkalan itu mereka gunakan menjadi penting untuk dilakukan. Batasan dari orangtua menjadi isu utama yang seringkali dihadapi oleh individu dengan thalassaemia. Batasan yang dirasakan oleh individu dengan thalassaemia sesungguhnya ialah bentuk perhatian dan kekhawatiran dari orangtua terhadap anak. Pada umumnya, batasan yang diberi oleh orangtua berkenaan dengan keterbatasan para individu dengan thalassaemia untuk melakukan berbagai aktivitas yang sesungguhnya ingin dilakukan oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 179
mereka, namun tak diberi izin oleh orangtua karena dapat membuat mereka kelelahan dan berpengaruh pada kondisi fisik. Tak hanya itu, izin untuk pergi jauh juga sulit diberikan karena kekhawatiran adanya suatu hal yang buruk terjadi bila jauh dari orangtua. Sebagai sebuah cara mengatasi situasi tersebut, individu dengan thalassaemia perlu menunjukkan usaha lebih dan kesungguhan terkait berbagai hal yang sungguh disukai kepada orangtua. Hal ini penting untuk membuktikan bahwa meskipun sakit, individu dengan thalassaemia punya kemampuan, dan dapat mengurus diri sendiri sehingga kepercayaan dan kebebasan untuk melakukan hal yang disukai pun dapat diberikan oleh orangtua. Selain itu, keterbukaan untuk menyampaikan berbagai perasaan serta kesulitan yang dialami kepada orangtua juga perlu dilakukan agar orangtua mampu memahami perasaan yang dirasakan oleh individu dengan thalassaemia.
2. Kepada orangtua dari anak dengan thalassaemia Orangtua diharapkan lebih memperhatikan kondisi psikologis anak dengan thalassaemia, dalam hal kegiatan harian maupun saat melakukan proses terapi. Pemberian batasan yang seringkali diberikan pada anak memang merupakan suatu bentuk perhatian dan kekhawatiran akan kondisi anak. Hanya saja, pemberian batasan diharapkan pula dapat dilakukan secara seimbang sehingga tidak membuat anak akhirnya merasa tidak nyaman bahkan kehilangan kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai hal yang disukai. Meski anak memiliki sakit, perlu dipahami bahwa anak thalassaemia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 180
terkadang juga membutuhkan perhatian dan ingin dilihat orangtua sebagai dirinya seutuhnya, yang memiliki harapan serta berbagai hal yang dapat membuatnya bahagia, bukan hanya terfokus dengan kondisi sakitnya. Orangtua dalam hal ini memegang peran penting untuk memberi ruang bagi anak thalassaemia, dengan membebaskan mereka melakukan hal-hal yang disukai dan menghidupi mimpi-mimpinya. Melalui kesempatan yang diberikan orangtua inilah, anak-anak thalassaemia dapat memberikan makna untuk kehidupannya sendiri. Dalam proses menjadi seorang caregiver yang akan selalu menemani anak di kondisi apapun, kesediaan dari orangtua untuk mendengarkan keluhan anak dan mencoba memahami sudut pandang anak ialah sesuatu yang berarti bagi anak. Selain itu, terkait batasan-batasan yang diberikan kepada anak, orangtua perlu memberikan pemahaman dengan menggunakan komunikasi yang hangat. Komunikasi yang hangat lebih baik digunakan oleh orangtua sehingga anak dapat memahami posisi orangtua Dengan cara ini, batasan hadir sebagai saran untuk anak sehingga anak tidak lagi merasa tidak dipahami, diperintah, maupun dikekang oleh orangtua.
3. Kepada praktisi kesehatan Mendapati klien yang seringkali tidak memenuhi anjuran proses terapi, khususnya remaja menjadi hal yang umumnya dijumpai oleh praktisi kesehatan. Dalam kondisi ini, bertanya kepada pasien tentang perasaan mereka serta kesulitan yang mereka rasakan selama proses terapi merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Dalam proses ini, dibutuhkan kesediaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 181
dari praktisi kesehatan untuk mendengarkan kisah para remaja dengan empati dan tanpa adanya penilaian yang diberikan. Hal ini penting untuk dilakukan sehingga remaja merasa dimengerti dan dipahami atas kondisi yang dihadapi. Dengan mendengarkan kisah mereka, praktisi kesehatan dapat lebih memahami kesulitan yang menghambat para remaja untuk tidak memenuhi proses terapi secara lebih menyeluruh. Ketika kesulitan yang dirasa para remaja dapat dipahami praktisi, maka praktisi dapat mengajak mereka untuk mencari tahu bersama usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi kesulitan yang dirasakan. Melalui cara ini, kesepakatan praktisi dan remaja adalah proses yang diharapkan terjadi. Proses ini memberikan kesempatan atas keterlibatan para remaja secara langsung untuk merawat dirinya. Ini bukan lagi sebuah perintah dari praktisi melainkan diskusi bersama untuk mendorong berjalannya proses terapi yang lebih baik.
4. Kepada peneliti selanjutnya Dalam penelitian ini, peneliti menyadari bahwa usaha penggalian data pengalaman seringkali tak bisa dilepaskan dari konteksnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti membuat beberapa pertanyaan terkait hal-hal yang seringkali muncul dalam obrolan peneliti dengan remaja thalassaemia mayor dan merupakan sesuatu yang penting bagi mereka (seperti relasi dengan orang-orang terdekat, impian hidup dan persepsi atas pengalaman hidup dan kematian). Hanya saja, sebagai satu hal yang peneliti sadari, pertanyaan tersebut justru memunculkan jawaban yang meluas sehingga tema-tema yang muncul tidak hanya terfokus pada proses terapi saja. Hal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 182
inilah
yang
menjadi
kelemahan
dalam
penelitian
ini
dan
dapat
dipertimbangkan oleh peneliti selanjutnya. Peneliti selanjutnya, setidaknya bisa menjadikan ini sebagai titik tolak untuk mempertimbangkan area yang digali selama proses pengumpulan data. Dengan begitu, meskipun ada usaha untuk mengeksplorasi masalah dan memahami secara lebih menyeluruh, hasil wawancara yang diperoleh masih berada dalam satu cakupan dan fokus yang sama. Selain itu, tema-tema yang sudah peneliti peroleh namun berada di luar fokus penelitian justru kurang mendapat sorotan yang cukup dan tidak tergali secara mendalam. Setidaknya ada hasil dalam penelitian ini yang sebenarnya menarik untuk diteliti lebih lanjut, yakni makna relasi romantis bagi remaja thalassaemia mayor, hubungan emosioanl antara remaja thalassaemia mayor dengan ibu, serta dinamika perasaan bersalah yang dialami oleh remaja thalassaemia dengan caregiver-nya. Relasi dengan ibu menjadi menarik untuk diteliti mengingat hasil dari penelitian ini yang semakin menunjukkan adanya ambivalensi pandangan remaja terhadap ibu. Ibu pada penelitian ini dipersepsi memberikan adanya batasan. Namun, di satu sisi ibu menjadi sosok penting yang mendorong remaja thalassaemia mayor untuk menjalani proses pengobatan karena ikatan emosional yang dimiliki. Peneliti menyadari bahwa penelitian ini merupakan jalan memutar, dengan memahami keengganan, peneliti berusaha untuk memahami bagaimana hal yang sebaliknya dapat diusahakan, yakni lebih rajin menjalani proses terapi. Sebuah penelitian lain yang mampu menyertakan dua sisi,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 183
yakni menyajikan perbandingan individu-individu yang rajin berobat dan enggan berobat tentu akan memudahkan dalam mendapat gambaran permasalahan yang utuh dan mampu menjelaskan bagian yang hilang dari kedua proses tersebut. Dengan demikian, alasan mendasar seorang individu thalassaemia menjadi rajin dan tidak rajin menjalani terapi dapat tergambar secara jelas dan lebih mudah dipahami.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA Admi, H. (1996). Growing up with a chronic health condition: a model of an ordinary lifestyle. Qualitative Health Research, 6(2), 163-183. DOI: 10.1177/104973239600600203 Ammad, S. A., Mubeen, S. M., Shah., S.F. UI., & Mansoor, S. (2011). Parents’ opinion of quality of life (QOL) in Pakistani thalassaemic children. Journal of Pakistan Medical Association 61(5). http://jpma.org.pk/PdfDownload/2780.pdf Anum, J. & Dasti, R. (2015). Caregiver burden, spirituality and psychological well-being of parents having children with thalassemia. Journal of Religion and Health 55(3), 941-955. DOI: 10.1007/s10943-015-0127-1 Arbabisarjou, A., Karimzaei, T., & Jamalzaei, A. (2014). The perception of biological experience in patients with major thalassemia: A qualitative research. Global Journal of Health Science. http://www.ccsenet.org/journal/index.php/gjhs/article/view/37139/21852 Atkin, K. & Ahmad, W.I. (2001). Living a ‘normal’ life: young people coping with thalassaemia major or sickle cell disorder. Social Science & Medicin 53(5). DOI: 10.1016/S0277-9536(00)00364-6 Berk, L. E. (2012). Development through the life edisi ke lima. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bush, S., Mandel, F.S., & Giardina P.J. (1998). Future orientation and life expectations of adolescents and young adults with thalassemia major. Annals of The New York Academy of Sciences. DOI: 10.1111/j.17496632.1998.tb10494.x Braune, J. (2014). Erich Fromm’s Revolutionary Hope. Rotterdam: Sense Publishers. Chairunisya. (2007, April 19). Penderita thalassaemia terus meningkat. Pontianak Post, hh. 21, 27. Christian, B.J. & D’ Auria, J.P. (1997). The child’s eye: memories of growing up with cyctic fibrosis. Journal of Pediatric Nursing 12(1). DOI: 10.1016/S0882-5963(97)80016-4 Creswell, J. W. (2014). Reseach design : Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches (ed. Ke-3). USA : University of Nebraska-Lincoln
184
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 185
Eshel, Y., Sharabany, R., & Friedman, U. (1998). Friends, lovers and spouses: Intimacy in young adults. British Journal of Social Psychology, 34, 41-57 Fung, A.S.M., Low, L.C.K., Ha,S.Y., & Lee, P.W.H (2008). Psychological vulnerability and resilience in children and adolescents with thalassemia major. Hongkong Journal of Paediatric (13) 239-252. Diunduh dari http://hkjpaed.org/pdf/ 2008;13;239-252.pdf Fusch, P. I., & Ness, L. R. (2015). Are we there yet? Data saturation in qualitative research. The Qualitative Report, 20(9), 1408 - 1416 Frankl, V. E. (1972). Man’s search for meaning. New York: Pocket Books. Fyrand, Live. (2003). Rheumatoid arthritis, social networks and social support: a cross-sectional survey of female patients with rheumatoid arthritis and a controlled trial of a social network intervention. Tesis yang tidak diterbitkan. Norway: Oslo City Department of Rheumatology Diakonhjemmet Hospital Department of Research and Development Diakonhjemmet University College. Gandi, M. (2007). Kliping artikel Dr. Melissa Gandi tentang thalassaemia & permasalahannya di Kalimantan Barat. Gandi, M. (2016, September, 10). Wawancara personal penulis dengan Dr. Melissa Gandi Georganda, E. (1991, 4 Februari). Thalassemia and fears. Thalassaemia International Federations News, (4). Gerhardt, C.A., Vannatta, K., Valerius, K.S., Correll, J., & Noll, R.B. (2007). Social and romantic outcomes in emerging adulthood among survivors of childhood cancer. Journal of adolescent health 40. DOI:10.1016/j.jadohealth.2006.12.004 Ghanizadeh, A., Khajaviam, S., & Ashkani, H. (2006). Prevalence of psychiatric disorders, depression, and suicidal behavior ini child and adolescent with thalassaemia major. Journal of Pediatric Hematology/Oncology 28(12), 781-784. DOI: 10.1097/01.mph.0000243665.79303.9e Gharaibeh, H., Amarneha, B. H., & Zamzam, S. Z. (2009). The psychological burden of patients with beta thalassemia major in Syria. Pediatrics International, 51(5), 630-636. DOI:10.1111/j.1442-200X.2009.02833.x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 186
Hagedoorn, M. & Molleman, E. (2006). Facial disfigurement in patients with head and neck cancer: the role of social self-efficacy. Health Psychology 25(5). DOI: 10.1037/0278-6133.25.5.643 Helgeson, V .S., Reynolds, K.A., Escobar, O., Siminerio, L, & Becker, D. (2007). The role of friendship in the lives of male and female adolescents: Does diabetes make a difference? Journal of Adolescent Health 40 , 36-43 Hullmann, S. E., Wolfe-Christensen, C., Meyer, W. H., McNall-Knapp, R. Y., & Mullins, L. L. (2010). The relationship between parental overprotection and health-related quality of life in pediatric cancer: The mediating role of perceived child vulnerability. Quality Of Life Research, 19(9), 13731380.doi:10.1007/s11136-010-9696-3 Indanah, Yetti, K., & Sabri, L. (2013). Dukungan sosial meningkatkan “selfcare behavior” anak. Jurnal Keperawatan Anak 1(2), 113-119. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=137422&val=5091 Ishfaq, K., Bhatti, R., & Naeem, S.B. (2014). Mothers’ awareness and experiences of having a thalassemic child: a qualitative approach. International Conference on Social Sciences and Humanities. http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/summary?doi=10.1.1.712.5532 Jain, M., Bagul. A. S., & Porwal A. (2013). Psychosocial problems in thalassemic adolescents and young adults. Chronicles of Young Scientists 4(1). DOI:10.4103/2229-5186.108800 Kim, S.J. & Kang, K.A. (2003). Meaning of life for adolescents with a physical disability in Korea. Journal of Advanced Nursing 43(2). DOI: 10.1046/j.1365-2648.2003.02689_1.x Kleinsinger, F. (2010). Working with the noncompliant patient. The Permanente Journal 14(1). https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2912714/pdf/prjl.14.1.054. pdf Koerner, A.F. & Maki, L. (2004) Family communication patterns and social support in families of origin and adult children’s subsequent intimate relationships. (Paper presented at the annual meeting of the National Communication Association, Chicago). Khurana, A., Katyal, S., & Marwaha, R. (2006). Psychosocial burden in thalassemia. Indian Journal Of Pediatrics 73(10), 877-880 http://www.springerlink.com/content/ qr36h45886 107 009/
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 187
Kralik, D., Telford, K., & Price, K. (2005). Women's experiences of fatigue in chronic illness. Journal of Advanced Nursing, Nov. 52 (4) :372-80. Kubler-Ross, E. (2009). On death and dying. Oxon: Routledge Kyngas, H., Hentinen, M., & Barlow, J.H. (1998). Adolescents’ perceptions of physicians, nurses, parents and friends: help or hindrance in compliance with diabetes self-care?. Journal of Advanced Nursing 27, 760-769. DOI: 10.1046/j.1365-2648.1998.00608.x Lestari, D. W. D. (2013). Pengalaman psikologis individu dengan thalasemia. Tesis tidak dipublikasikan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mariani, D. (2011). Analisis faktor yang mempengaruhi kualitas hidup anak thalassemia di RSU kota Tasikmalaya. Tesis tidak dipublikasikan. Universitas Indonesia, Jakarta. Maier, S.F. & Seligman, M. E. P. (1976). Learned helplessness: theory and evidence. Journal of Experimental Psychology: General 105(1), 3-46. DOI: 10.1037/0096-3445.105.1.3 Michaud, P.A., Suris, J.C., & Viner, R. (2007). The adolescent with a chronic condition. Switzerland: WHO. Mulyani & Fahrudin, A. 2011. Reaksi psikososial terhadap penyakit di kalangan anak penderita talasemia mayor di kota Bandung. Informasi 16 (03). http://puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/5ffe7388af3791d5caaefc52af613 08c.pdf Mussalam, K., Cappellini, M. D., & Taher, A. (2008). Challenges associated with prolonged survival of patient with thalassemia: Transitioning from childhood to adulthood. American Academy of Paediatric;121;e1426-e1429 DOI:10.1542/peds.2007-1944 Norman, R. A., & Ruescher, L. (2011). 100 Question and Answers About Chronic Illness. Sudbury: Jones and Bartlett Publishers Ntim, G.M. (2012). Breaking the Cycle of ‘Learned Helplessness’. http://www.huffingtonpost.com/giftymaria-ntim/empowerpatients_b_1547049.html diakses pada 27 April 2016 Pai, A. L. H., & Ostendorf, H. M. (2011). Treatment adherence in adolescents and young adults affected by chronic illness during the health care transition from pediatric to adult health care: A literature review. Children’s Health Care, 40, 16-33.DOI:10.1080/02739615.2011.537934
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 188
Patton, M.Q. (2002). Qualitative Research and Evaluation Methods. Thousand Oaks, CA: Sage Publication Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia-PHTDI (2011). Thalasemia Artikel. on line. Diunduh dari http://www.phtdi.org/content/view/15/ pada tanggal 10 Januari 2012 Poerwandari, E. K. (1998). Metode penelitian sosial. Jakarta : Universitas Terbuka Pramita, A. (2008). Harapan (hope) pada remaja penyandang thalassaemia mayor. Skripsi tidak dipublikasikan. Universitas Indonesia, Jakarta. Prasomsuk S, Jetsrisuparp A, Ratanasiri T, Ratanasiri A. (2006). Lived experiences of mothers caring for children with thalassemia major in Thailand. J Spec Pediatr Nurs. 12(1):13-23. Purnamaningsih, K. A. R. (2014). Depresi dan faktor-faktor yang mempengaruhi pada penderita thalassemia beta mayor. Tesis tidak dipublikasikan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Rasmussen, B., Dunning, T., Cox, H., & O’Connell, B. (2008). The motherdaughter guilt dynamic: effects of type 1 diabetes during life transitions. Journal Compilation. DOI: 10.1111/j.1365-2702.2008.02342.x Raz, S., Koren, A., Dan, O., & Levin, C. (2016). Cognitive functions in adults with beta thalassemia major: before and after blood transfusion and comparison with healthy controls. Annals of The New York Academy of Sciences. DOI: 10.1111/nyas. 13103 Roussi, P., & Krikeli, V. (2008). Meaning-making and chronic illness: cognitive and narrative approaches. Hellenic Journal of Psychology 5, 147-178 Safitri, R., Ernawaty, J., & Karim, D. (2015). Hubungan kepatuhan tranfusi dan konsumsi kelasi besi terhadap pertumbuhan anak dengan thalasemia. JOM 2(2). Saldanha, S. J. (2013). Stress and coping among parents of children having thalassemia. International Journal of Science and Research 4 (7). http://www.ijsr.net/archive/v4i7/SUB156456.pdf Sarafino, E. P., & Smith, T. W. (2011). Health psychology : Biopsychosocial interactions (7th ed.). United States of America : John Willey & Sons Inc. Schultz, D. (1991). Psikologi pertumbuhan: Model-model kepribadian sehat. Yogyakarta: Kanisius.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 189
Seiffge, I. & Krenke. (2003). Testing theories of romantic development from adolescence to young adulthood: evidence of a developmental sequence. International Journal of Behavioral Development 27(6), 519-531. DOI: 10.1080/06150250344000145. Shaligram, D., Girimaji, S.C., & Chaturvedi, S.K. (2007). Psychological problems and quality of life in children with Thalassemia. Indian Journal of Pediatrics 74. http://medind.nic.in/icb/t07/i8/icbt07i8p727.pdf Smallheer, Benjamin A. (2011). Learned helplessness and depressive symptoms in patients following acute myocardial infarction. Tesis yang tidak diterbitkan. Nashville: Vanderbilt University. Smith, J. A., Flowers, P., & Osborn, M. (1997). Interpretative phenomenological analysis and the psychology of health and illness. Material discourses of health and illness, 68-91. Smith, J.A., Flowers, P., & Larkin, M. (2009). Interpretative phenomenological analysis:Theory, methods, and research. London : Sage Publication Smith, J. A. (2015). Qualitative psychology : A practival guide to research methods (ed. Ke-3). London : Sage Publication Sourkes, B., Frankel, L., Brown, M., Contro, N., Benitz, W., Case, C., et al. (2005). Food, Toys, and Love: Pediatric Palliative Care. Curr Probl Pediatr Adolesc Health Care 35. DOI: 10.1016/j.cppeds.2005.09.002 Sourkes, B.M. (2007). Armfuls of time: the psychological experience of the child with a life-threatening illness. Med Princ Pract 16, 37–41.DOI: 10.1159/000104546 Subroto, F., & Advani, N. (2003). Gangguan fungsi jantung pada thalassemia mayor. Sari Pediatri 5 (1) Sulistiyani, W. (2006). Penyesuaian diri psikososiospiritual pada penderita thalasemia di Semarang: Penelitian kualitatif pendekatan fenomenologis. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Diponegoro, Semarang. Surilena, 2014. Peran relasi keluarga pada psikopatologi remaja penderita talasemia. Journal of Medicine 13(2). Taylor, R.M., Gibson, F., & Franck, L.S. (2008). The experience of living with a chronic illness during adolescence: a critical review of the literature. Journal of Clinical Nursing 17 (23). DOI: 10.1111/j.13652702.2008.02629.x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 190
Thalassaemia International Federations. (2015). Beta Thalassaemia. https://www.thalassaemia. org.cy/. Diakes tanggal 10 November 2015 Thalassemia Support Foundation. (2005). Helping Patients Find Hope, http://www.helpthals.org, diakses pada 12 Oktober 2015 Vullo, R., Modell, B., & Georganda, E. (1995). Apa itu Thalasemia? (Andrianto Gandhi, Penerjemah). Thalassaemia International Federations Wahab, I.A., Naznin, M., Nora M.Z., Suzanah A.R., Zulaiho M., Faszrul A.R., Kamaruzaman W.S., (2011). Thalassaemia: a study on the perception of patients and family members. Med J Malaysia 66(4). http://www.emjm.org/2011/v66n4/Thalassaemia.pdf Wahyuni, M. S. (2010). Perbandingan kualitas hidup anak penderita talasemia dengan saudara penderita talasemia yang normal. Tesis tidak dipublikasikan. Universitas Sumatera Utara. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26797/7/Cover.pdf Wiebe, D.J., Berg, C.A., Korbel, C., Palmer, D.L., Beveridge, R.M., Upchurch, R., et al. (2005). Children’s appraisals of maternal involvement in coping with diabetes: enhancing our understanding of adherence metabolic control, and quality of life across adolescence. Journal of Pediatric Psychology 30(2) pp. 167-178. DOI: 10.1093/jpepsy/jsi004 WHO (2015). Palliative care. Diunduh dari http://www.who.int/cancer/palliative/definition/en/ tanggal 27 Desember 2015 Widayanti, C. G., Ediati, A., Tamam, M., Faradz, S. H., Sistermans, E. A., & Plass, A. C. (2011). Feasibility of preconception screening for thalassaemia in Indonesia: exploring the opinion of Javanese mothers. Ethnicity & Health, 16(5), 483-499. doi:10.1080/13557858.2011.564607 Widiyatno, E. (2016). Jumlah penderita talasemia meningkat. Artikel online diunduh dari http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/05/19/o7f2n4284jumlah-penderita-thalassemia-terus-meningkat pada tanggal 29 Juni 2016. Yalom, I.D. (1980). Existential psychotherapy. New York: Basic books. Yayasan Thallasaemia Indonesia. (1987). Thalassaemia (lengkap). Jakarta: PT. Bumi Prakarsa Cipta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 191
Yuliani, R. (2004). Sumber stress, srategi coping dan karakteristik penyesuaian terhadap penyakit thalasemia mayor. Tesis tidak dipublikasikan. Universitas Indonesia, Jakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 192
LAMPIRAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 193
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA Kampus III Universitas Sanata Dharma Paingan, Maguwoharjo, Depok, Sleman
LEMBAR PERSETUJUAN (INFORMED CONSENT)
Berkaitan dengan tugas akhir mengenai pengalaman psikologis remaja Thalassaemia Mayor dalam menjalani proses terapi, saya: Nama
: Setiawati Tjandra
Status
: Mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
NIM
: 129 114 005
akan berperan sebagai peneliti dalam proses pengambilan data sehubungan dengan penelitian ini. Penelitian ini akan melibatkan informan penelitian dengan kriteria seorang remaja dengan Thalassaemia Mayor yang berusia 11 hingga 24 tahun. Mengacu pada kriteria tersebut, saya memohon kesediaan Anda : Nama
:
Sebagai : Informan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini karena Anda memenuhi kriteria tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk memahami faktor apa saja yang mendasari remaja Thalassaemia Mayor mengalami keengganan dalam menjalani pengobatan. Proses pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara yang melibatkan pertanyaan-pertanyaan mengenai kasus yang sedang saya teliti serta adanya penggunaan alat perekam untuk membantu keseluruhan proses. Oleh karena itu, saya memohon kesediaan waktu dari Anda untuk pengambilan data. Selama wawancara, mungkin Anda akan mengingat peristiwa sedih atau peristiwa tidak menyenangkan terkait pengalaman Anda dalam menjalani pengobatan sebagai seorang dengan Thalassaemia Mayor. Apabila hal tersebut terjadi, peneliti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 194
berkewajiban memberikan waktu jeda dan berusaha menghadirkan ketenangan bagi Anda. Dalam setiap proses ini, Anda bebas mengajukan keberatan jika merasa ada hal yang tidak sesuai dengan harapan. Anda juga berhak menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Sehingga bila Anda telah bersedia mengikuti penelitian ini, Anda juga bebas mengundurkan diri setiap saat. Diharapkan penelitian ini akan mendorong Anda untuk semakin memahami diri Anda melalui bentuk refleksi atas jawaban dari pertanyaan yang akan diajukan. Informasi yang disampaikan dalam keseluruhan proses ini akan diolah untuk kepentingan penelitian dan bersifat rahasia. Keterangan mengenai identitas serta informasi yang Anda berikan akan sepenuhnya menjadi tanggung jawab peneliti sehingga Anda diharapkan dapat memberikan informasi dengan apa adanya.
Setiawati Tjandra, Peneliti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 195 195
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 196
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 197
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 198
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 199
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 200
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lampiran 7. Analisis Data Informan 1 (Dd) No
Transkrip
Tema
Komentar
1
Umm.. itu, penyakit yang tidak bisa Pengetahuan dan
Informan memiliki pemahaman yang baik tentang
2
memproduksi sel darah merah. Apa pemahaman tentang penyakit
penyakitnya
3
lagi ya.. Umm. Intinya kan itu. Inti dan terapi medis
4
dari orang yang sakit thalassaemia ya
5
orang yang gak bisa memproduksi sel
6
darah
7
berdasarkan karena orang tua sama-
8
sama punya penyakit anemia, bawa
9
bibit, makanya kemungkinan besar
10
anaknya bisa punya penyakit ini,
11
Thalassaemia Mayor. Udah, itu aja.
12
Kalau
13
thalassaemia
14
biasanya dia pendek, tidak bisa dan terapi medis
15
berkembang, terus mereka itu lemah,
16
orang yang ga terawat, biasanya
Pemahaman informan mengenai pengaruh dan
17
orang yang ga mampu, ga bisa
konsekuensi penyakit terhadap kondisi diri
18
merawat anaknya, sehingga anaknya
19
biasa perutnya besar, lalu pendek,
20
hidungnya besar, karena perubahan
merah.
Nah,
pengaruh.. tuh
ini
tuh
penderita Pengetahuan dan secara
Adanya pemahaman akan hal negatif yang akan
fisik pemahaman tentang penyakit
terjadi pada diri informan bila perawatan supportif tidak dilakukan secara teratur
201
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 202 21
yang disebabkan oleh penumpukan
22
zat besi dan dapat menghambat
23
pertumbuhan seorang anak.
24
Yang aku rasain secara fisiknya, jika Pengaruh penyakit terhadap
Ungkapan
25
belum tranfusi darah ya lemah, susah diri informan
keterbatasan aktivitas & fisik akibat penyakit
26
melakukan aktivitas, dan merasakan
27
makin lama makin hitam kulitnya
Kesadaran informan atas keterbatasan fisik yang
28
kalo gak desferal. Susah beraktivitas
dirasakan bila perawatan supportif tidak dilakukan
29
seperti misalnya mau ke sekolah,
30
anak thalassaemia tuh, yang belum
31
tranfusi biasanya lebih mudah untuk
32
terserang penyakit, sehingga tubuh
33
anak lemah karena, demam ataupun
34
pilek, sehingga anak sulit untuk
35
beraktivitas
36
Kalau secara sosial ga ada sih ce.. Penerimaan sosial dari teman Penerimaan
37
soalnya
38
membeda-bedakan aku, akan tetapi
Informan tidak merasakan pengaruh sosial atas
39
dapat menerima aku secara total.
penyakit
40
Aku gak pernah dijauhi teman-teman
Informan memiliki pandangan akan diri yang positif
41
karena punya sakit. Umm.. mungkin Penerimaan sosial dari teman terkait sosial & body image proses pengobatan
42
karena aku tidak mempersalahkan.. sebaya
teman-teman
aku
tidak sebaya
ketidaknyamanan
dari
relasi
informan
sosial
atas
mempengaruhi
pandangan positif tentang lingkungan
dilakukan sejak kecil
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 203 43
mereka tahu aku punya sakit, aku
44
terbuka kalau orang lain tanya. Mm.. Citra diri positif
Penerimaan sosial dan pembawaan diri informan
45
menurutku,
(terbuka & friendly) membentuk citra diri positif
46
friendly, jadi orang lain gak merasa
47
mengganggu
48
penyakit. Tidak merasa minder juga,
49
karena aku gak merasa berbeda
50
dengan orang lain Aku gak merasa
51
minder juga salah satunya karena aku
52
sadar sih tubuh aku sudah terawat
53
dari kecil, dari awal aku sudah
54
memiliki kondisi tubuh yang bagus
55
jadi perubahan fisiknya gak terlalu
56
keliatan kayak teman lain, sehingga
57
tidak lagi merasa minder.
aku
kalo
orangnya
aku
juga
punya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 204 58
Perawatan
yang
perlu
59
untuk menjaga kondisi badan ya yang kondisi fisik
60
teratur. Teratur minum obat, harus
61
teratur menjalani pengobatan, biar
Pemahaman informan tentang proses pengobatan
62
sehat. Berobat teratur biar kondisi
beserta tujuan
63
badannya terjaga. Pengobatan yang
64
aku tahu ya minum obat, tranfusi..
65
terus suntik desferal. Minum eee..
66
kan anak thalassaemia itu kulitnya
67 68
agak.. agak ape ye.. kayak berminyak Pengetahuan dan gitu dan warnanya gelap kayak hitam pemahaman tentang penyakit
69
tembaga kan.. jadi harus rajin-rajin dan terapi medis
70
minum Vitamin E sama asam folat
71
Tranfusi
72
thalassaemia.. itu ga kekurangan pemahaman tentang penyakit
tujuan yang mendukung informan menjalani proses
73
darah. Kan karena dia kekurangan dan terapi medis
pengobatan
74
darah,
75
darahnya
76
Banyaknya jumlah kantong darah Pengetahuan dan
Pemahaman
77
buat tranfusi tergantung dari Hb pemahaman tentang penyakit
pengobatan yang sejalan dengan kondisi diri
78
sebenarnya.
79
kantong, kalo Hb 9 ke atas, cuma
gunanya
makanya
Kalo
dilakukan Usaha untuk menjaga
biar
harus
Hb
anak Pengetahuan dan
Pemahaman informan yang bersifat mendukung berjalannya proses pengobatan
Pemahaman tentang proses pengobatan beserta
ditranfusi
rendah
3 dan terapi medis
informan
mengenai
prosedur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 205 80
dua kantong saja.
81
Obat yang aku minum tuh ada Pengetahuan dan
Pemahaman mengenai proses pengobatan beserta
82
Ferriprox, ada Exjade, Asam Folat, pemahaman tentang penyakit
tujuan yang mendukung informan menjalani proses
83
sama Vitamin E. Kalau ferriprox itu dan terapi medis
pengobatan
84
untuk membuang zat besi. Kalo
85
Vitamin C itu untuk diminum setelah
86
memakai desferal. Vit. E itu ya yang
87
buat kulit itu lah.. asam folat juga
88
sama fungsinya. Desferal tujuannya
89
sama
90
membuang zat besi, tapi tuh untuk
91
yang lebih gimana ya.. lebih efektif.
92
Lebih efektif dari ferriprox. Soalnya
93
satu kali desferal itu bisa buang
94
banyak zat besi dibandingkan harus
95
minum ferriprox beberapa kali.
96
Tapi gimana ya.. tranfusinya sih rajin Kesadaran
pribadi
97
ce.. tapi untuk minum obat sama pengabaian
proses
98
desferalnya gak.
kayak
obat
tadi.
Untuk
medis
atas Pemahaman informan atas efektivitas pengobatan terapi (desferal) tidak sejalan dengan sikap berobat yang seharusnya dilakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 206 99
Mmm.. kenapa kayak gitu soalnya Persepsi
100
kalau tranfusi itu menurut aku fatal terapi
101
akibatnya kalau tidak melakukan
102
perawatan tersebut. Bisa langsung
Persepsi yang mendorong pengabaian atas kondisi
103
kekurangan
diri (kurang mendukung proses pengobatan)
104
jantung.. mungkin bisa langsung gak
105
ada. Kalau desferal kan beda, ya…
106
menurut aku desferal sama tranfusi
107
ya sama fungsinya dan penting
108
emang. Kalau zat besi menumpuk
109
memang juga akan membuat gagal
110
jantung, dan akibatnya juga fatal
111
yaitu kematian. Tapi.. itu untuk
112
jangka lama ce, jangka panjang.
113
Kalau tranfusi kan beda, kalau gak
114
tranfusi hari ini, waktunya tranfusi
115
gak tranfusi, mungkin dua minggu ke
116
depan, aku udah gak ada. Kalau
117
desferal kan gak apa kalau gak
118
dilakukan, waktunya masih panjang
119
sampai akhirnya fatal.
120
Gak rajin berobat soalnya malas ce... Kelelahan
darah,
dan
tentang
urgensi Informan menggunakan informasi sebagai alasan untuk melakukan pengabaian atas proses pengobatan
gagal
&
kejenuhan Informan merasa jenuh dan tidak berdaya atas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 207 121
Monoton
gitu.
Monotonnya
tuh untuk menjalani proses terapi proses terapi yang terus berulang dan tak bisa diubah
122
gimana ya.. begitu-begitu aja terus,
123
jadi capek. Ya udah gimana lagi ya.
124
Aku sadar, tapi capek, pokoknya
125
seperti bosan begitu ce. Aku bosan
126
begitu terus
127
Selain berobat, gak ada lagi Usaha Sikap pasif dan kegemaran Pengabaian atas kondisi fisik dengan dasar minat
128
lain sih biar kondisi badan tetap fit. yang
129
Usaha biar badan gak capek gitu?
130
Gak ada kayaknya ce. Umm.. gimana
131
ya.. aku merasa tidak capek untuk
132
melakukan sesuatu yang memang aku
133
suka. Iya. Biasanya keluar terus, main
134
futsal.. Main futsal ya menurutku gak
135
capek. Sama sekali. Soalnya aku
136
suka.
137
Mama yang suruh gak boleh terlalu Batasan orang tua
Ketidakpatuhan informan atas batasan mengarah
138
capek. Aku gak mau dengar biasanya.
pada pengabaian kondisi diri
139
Bosan soalnya di rumah terus, kan Sikap terhadap batasan
140
tinggal sendiri di rumah. Cece koko
Sikap tidak patuh terhadap batasan ortu karena
141
kuliah kan.
merasa kesepian di rumah?
142
Sejujurnya sih, pesan-pesan yang di Sikap terhadap batasan
Pandangan informan yang kontradiktif tentang
menghambat
proses diri mendorong pengabaian atas kondisi fisik
pengobatan Sifat pasif informan dalam menjaga kondisi tubuh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 208 143
kasih sama mama kayak gak boleh
batasan
144
capek sama sekali ga membantu ce.
145
Tapi ya.. biasanya ada sih kadang-
146
kadang membantu, kalau misalnya
147
gak capek, dan nurutin, HB nya itu
148
bisa bertahan sampai lama, sampai
149
sebulan lebih
150
Umm.. pengobatan itu buat aku Persepsi atas proses terapi
Pemahaman informan atas kondisi memunculkan
151
upaya untuk menjaga kondisi tubuh.
pesimis dan kepasrahan atas situasi
152
Nah, thalassaemia kan ga mungkin
153
sembuh, jadi ga mungkin
154
upaya untuk sembuh, jadi.. ya hanya
155
upaya untuk menjaga kondisi tubuh
156
aja. Cuma sebatas itu.
157
Umm.. perasaan yang sering kali Pengalaman negatif terapi Proses pengobatan sebagai suatu keseharian yang
158
muncul saat berobat? gak ada sih ce, medis
159
udah terlalu biasa aja, karena udah
160
biasa gitu ce, jadi udah ibaratnya
161
kayak kamu harus mandi, harus
Adanya Pengalaman negatif (tidak menyenangkan)
162
makan, jadi berobat tuh udah seperti
yang dialami informan saat proses pengobatan
163
itu. Terus dari 9 bulan soalnya udah
164
tranfusi kan. Yang diingat ya nangis
kan ada
monoton
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 209 165
ce, soalnya sakit harus disuntik masih
166
kecil. Sakit.
167
Iya. Kadang sih
168
dominan jadinya malas, capek, bosan, penghambat proses terapi
169
pokoknya malas aja. Jadi kadang gak
170
mau pergi karena itu semualah.
perasaan
yang Dorongan emosional sebagai Informan merasa sangat lelah untuk menjalani proses pengobatan
Informan lebih mengutamakan dorongan emosional
171
dibandingkan kewajiban untuk berobat
172
Aku pengen bisa beraktivitas kayak Keinginan
173
orang lain juga, tapi aku sayangnya pada umumnya (sehat)
174
gak bisa. Gak bisa karena kondisi
175
tubuh
176
(penekanan intonasi), kayak ga boleh diri informan
177
olahraga
178
melakukan aktivitas yang menguras
Adanya kesenjangan (gap) antara keinginan dan
179
tenaga.
keterbatasan diri
180
Kalau pikiran-pikiran tertentu yang Keinginan
181
muncul sewaktu tranfusi. Umm.. pada umumnya (sehat)
yang sehat adalah hal yang menyenangkan, meski
182
yang
tidak bisa ia lakukan
183
kepikiran pengen kayak orang lain,
184
sehat, pasti asik, tapi gak bisa.
185
Bayangan orang normal itu ya orang Keinginan
186
yang bisa melakukan aktivitas, tanpa orang pada umumnya (sehat)
ga
memungkinkan
berlebihan,
paling
sering
ga
sih
menjadi
orang Harapan informan untuk merasakan kehidupan sebagaimana orang pada umumnya
ce Pengaruh penyakit terhadap Informan merasa sedih dan kecewa dengan kondisi diri?
bisa
menjadi
orang Informan mengimaginasikan bahwa menjadi orang
bosan,
untuk
menjadi Persepsi informan tentang orang pada umumnya : Gambaran diri ideal informan?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 210 187
harus
khawatir
dengan
188
badannya, keluarga juga jadinya gak
189
khawatir.
190
Sejak SD kelas 5 udah paham kalau Pengetahuan dan
Kesadaran dan pemahaman informan atas kondisi
191
aku sakit, menurut aku.. aku cukup pemahaman tentang penyakit
diri
192
menjalaninya saja.. gak bisa diapa- dan terapi medis
193
apain lagi selain dijalani. Menjalani
Pemahaman
194
pengobatan,
mendorong mulainya kepasrahan atas kondisi diri
195
Lebih Kepasrahan atas kondisi sakit tepatnya sadar karena mulai dirawat
196
itu, disuntik dll, lalu mulai paham ada
197
seminar
198
mendapatkan penjelasan dari dokter,
199
aku jadi tahu apa itu thalassaemia
tranfusi,
kondisi
dll.
thalassaemia,
informan
mengenai
kondisi
diri
jadi
mayor. 200
Kalau perasaan saat itu, kalau sedih Pemaknaan atas pengalaman Informan memaknai hidup sebagai suatu perjuangan,
201
sih gak ya.. umm.. gak sedihnya hidup “thalassaemia” dan
namun ia sendiri terhambat dengan dorongan
202
karena
emosionalnya
203
diperjuangkan dalam hidup, yaitu dorongan emosional sebagai
204
badan sendiri sebenarnya.. aku tau hambatan atas usaha
205
kalau
206
perjuangkan, kondisi aku.. tapi ya itu,
207
kadang-kadang sulit juga, kayak yang
ada
badan
sesuatu
itu
yang
harus
bisa
aku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 211 208
sebelumnya diceritakan, malas, sakit,
209
dll.
210
Mulai merasa malas dan enggan Keengganan berobat sejak Informan mengalami keengganan menjalani proses
211
minum obat jujur sih dari SMP. Sejak remaja
212
kelas 8.
213
Sekarang 18, berarti kira-kira umur Membohongi diri
Membohongi diri sendiri sebagai orang yang sehat
214
15-16. Tapi sebenarnya ce.. paling
merupakan alasan informan enggan berobat
215
tepat sih membohongi diri sendiri sih
216
ce. Umm.. maksudnya membohongi
217
diriku sendiri kalau aku tuh gak sakit,
218
jadi aku orang sehat, ga ada penyakit.
219
Jadi aku ga minum obat.
220
Alasan lain selain rasa bosan? Ya Keinginan
221
bosan.
222
sih sebenarnya gak ya ce.. tapi kalau
223
untuk yang lain tuh (Minum obat dan
Kesadaran informan atas keenganan menjalani
224
desferal), aku anggap aja aku kayak
pengobatan
225
orang normal lain. Maksud aku, aku Membohongi diri
pengabaian atas kondisi diri
226
beranggapan kalau aku tuh sehat, ga
227
ada penyakit apa-apa. Jadi makanya
228
aku ga mau minum obat.
229
Dari SMP kelas 8 mulai membohongi Ketidakberdayaan
pengobatan sejak usia remaja (15-16)
menjadi
Umm, kalau untuk tranfusi pada umumnya (sehat)
orang Membangun persepsi diri sebagaimana orang sehat sebagai bentuk pembohongan diri
dan
persepsi
yang
mendorong
Denial?
atas Membohongi diri sendiri adalah cara informan untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 212 230
diri sendiri. Karena gimana ya.. situasi
mempertahankan diri atas situasi yang tidak berubah
231
soalnya
?
232
perubahan, perkembangan baik itu Membohongi Diri
233
desferal, minum obat. Lagipula ini
234
kan ga sembuh.
235
Aku membohongi diri sendiri karena Ketidakberdayaan
236
gimana ya jelasinnya.. aku merasakan situasi = alasan membohongi situasi
237
betul gak ada perubahan soalnya. Diri
238
Gimnaa
239
perubahan. Perubahannya ya paling
Informan mempersepsikan tidak adanya perubahan
240
waktu cek ferritin, cek darah, kadar
tentang kondisi berdasar perubahan yang bersifat
241
zat besi berkurang baru ketahuan.
konkrit (bisa dirasa langsung)
242
Tapi kalau dalam diri sendiri, gak
243
merasa ada yang berubah. Cuma
244
kalau di cek aja.. ga langsung
245
berdampak.
246
Yaa.. itu kan dulu waktu masih SD, Kelelahan
247
masih sadar itu harus diperjuangkan untuk menjalani terapi
248
badannya. Sekarang udah SMP, udah
249
lama kan jalaninnya. Aku udah makin
250
sadar ya.. kerasa rasanya tranfusi
251
terus menerus, obat terus.. mulai
aku
ya..
merasa
ga
ga
merasa
ada
atas Persepsi informan atas tidak adanya perubahan mendorong
informan
melakukan
pembohongan diri
ada
dan
kejenuhan Proses pengobatan yang bersifat jangka panjang memberi kejenuhan pada informan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 213 252
bosan sekarang. Jenuh.
253
Sebenarnya tentu suatu waktu ada Kelelahan
254
waktu dimana aku jenuh untuk untuk menjalani terapi
255
mengurus badan. Jenuh melakukan
256
aktivitas itu terus-terusan.. lagipula Ketidakberdayaan
257
udah sering dilakukan, dan selalu situasi
258
begitu-begitu saja… disuntik ya sakit.
259
Hasilnya juga gitu-gitu aja, entah
260
sampai kapan, ga akan sembuh juga,
261
bisa apa.
262
Hal-hal yang bisa aku lakukan untuk Usaha
263
diri sendiri biar mau minum obat kondisi fisik
proses pengobatan akhirnya tidak bersifat efektif
264
lagi… Ada, kayak anggap kalau
karena masih bergantung pada dorongan emosional
265
tranfusi dan yang lain-lain itu hal
dalam diri
266
yang wajib, kadang-kadang kayak
267
gitu, cuman ya nanti kadang-kadang
(Cara pandang yang konstruktif tapi sayangnya tidak
268
balik
efektif)
269
membohongi diri sendiri lagi, kalau
270
lagi rajin aja sih baru mikir gitu..
271
Rajin berobatnya (tranfusi) umm.. pas Pengaruh penyakit terhadap Proses pengobatan sebagai pelarian atas kewajiban
272
malas sekolah. Malas sekolahnya diri informan
(sekolah) yang didorong oleh kondisi diri yang
273
karena capek, merasa kurang darah,
lemah
lagi
ke
semula,
dan
untuk
aku
kejenuhan Informan merasa jenuh dan tidak berdaya atas situasi yang terus berulang dan tidak bisa ia ubah
atas
menjaga Usaha informan membangun persepsi positif tentang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 214 274
ga ada tenaga sih ce.
275
Biasanya juga mulai rajin kalau habis Ikatan emosional dengan Ibu
Rasa bersalah pada ibu sebagai faktor pendorong
276
berantem
proses berobat
277
mama marah-marah. Suruh desferal
278
atau
279
ngelawan mama, terus berantem kan,
280
lalu mama nangis. Terus ujung-
281
ujungnya aku merasa bersalah, dan
282
mau berubah. Tiap kali merasa
283
bersalah, pasti berubah rajin. Ya
284
Cuma paling berubahnya paling lama
285
tiga minggu aja. Karena ujung-
286
ujungnya pasti merasa malas lagi.
287
Dekat semuanya kalau keluarga.. Kurangnya kehadiran ayah & Informan memiliki relasi yang dekat dengan
288
kecuali mungkin papa kurang sih, harapan untuk ayah
mayoritas keluarga, kecuali ayah
289
kalau dibanding yang lain. Karena
Informan memiliki harapan atas kehadiran ayah
290
papa pendiam, gak terlalu terbuka,
dalam proses pengobatan
291
dan gak dekat dengan anaknya. Gak
292
dekat disini juga karena papa sibuk
293
kerja, jadi jarang nemenin, kadang-
294
kadang, dan jarang. Ya.. mungkin..
295
pengen sih kalau papa bisa nemenin
apa,
sama
mama.
Misalnya
ujung-ujungnya
aku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 215 296
kapan-kapan lagi.
297
Umm. Menurutku sih ga ada yang Peran & Makna keluarga
Keterbatasan
298
bisa
pengobatan
299
mendorong minum obat selain aku Ikatan emosional dengan ibu
300
sendiri. Heeh. palingan papa ya..
301
Papa suruh minum obat biasanya. Pentingnya
302
Sebenarnya karena takut.. takut kena pribadi
punya otoritas & punya ikatan emosional dengan
303
marah sama papa.
dirinya
304
Biasanya mama juga sih.. Kalau
305
orang lain gak.. saudara gak sih,
306
soalnya
307
paling sekarang cuma diingetin aja
308
terus. Cuma itu. Sama mama tuh
309
nurut karena selalu keingat, gimana
310
dulu mama sering bawa aku ke
311
jakarta untuk berobat, biar kondisi
312
tubuh aku tuh bagus sampai sekarang.
313
yang bisa orang lain lakukan hanya
orang
beda
sebatas ingetin
lain
lakukan
rasanya.
untuk
Lagipula
peran
eksternal
terhadap
proses
Peran pengaruh eksternal cenderung minim bagi Kesadaran informan, kecuali figur yang dipandang informan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 216 314
Kalau ada pacar sih nurut ya. Dulu Peran relasi romantis
Kehadiran relasi romantis (pasangan) memberi
315
soalnya nurut.. kalo sekarang sih gak
informan
316
ada pacar. Pacar lebih nurut soalnya
mendorongnya untuk menjalani terapi medis
317
kalau pacar tuh gimana ya.. dekat. Ga
318
ada
319
secara emosional, kalau benar-benar
320
sama orang yang kita sayang, lawan
321
jenis, sayang yang benar-benar beda
322
sama sayangnya keluarga tuh lebih
323
mau dengar gitu, merasa lebih berarti
324
dan
325
Bahagia aja karena diingetin pacar.
326
Bedanya
327
gimana ya. Susah jelasinnya, kalau
terhadap usaha informan untuk menjalani proses
328
pacar tuh kayak orang baru yang
berobat.
329
ngingetin dan lebih-lebih karena aku
330
sayang.
331
emosional, keluarga iya sih, cuman
332
beda aja kalo sama pacar. Jadi tuh
333
pasti mau dengar. Kalau keluarga tuh
334
udah bosan.
335
Kehadiran pacar, kayak dulu waktu
malu-malunya.
bahagia.
Bisa
sama
Lebih
Lebih
sayang
keluarga?
dekat
kebahagiaan
&
keberartian
yang
dekat
dia.
umm.. Peran relasi romantis
secara
Ikatan emosional dengan pasangan berpengaruh
Keberartian hidup?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 217 336
sama Santi, mungkin itu bisa buat
337
aku semangat minum obat. Dulu
338
soalnya aku rajin minum obat. Kalau
339
sekarang belum punya pacar
340
Karena yang selama ini keluarga Peran & makna keluarga
Perbedaan
341
bayu lakukan cuma mengingatkan.
pengobatan
342
Mungkin lebih merawat, kayak dulu
343
ya… mama tuh benar-benar merawat
Informan melihat adanya perubahan sikap orang tua
344
gitu, sekarang mama lebih cuma
dalam proses pengobatan yang dulunya merawat
345
mengingatkan aja. Padahal, dulu tuh
dalam
346
merawat benar-benar kayak mama
mengingatkan
347
langsung nemanin ke Jakarta, tranfusi
348
dan suntik desferal langsung juga di
Penyampaian rasa kehilangan, kekecewaan atas
349
satu waktu, benar-benar dirawat.
perubahan peran ibu yang dirasakan oleh informan?
350
Kalau sekarang tuh kan sifatnya lebih
351
ke minum aja pengobatannya, jadi
352
benar-benar cuma bisa diingatkan.
353
Kalau dulu kan langsung benar
354
dirawat.
355
Ape
356
diperut, jadi tuh gak nyaman, sakit medis
357
gak enak, kalau dulu kan tinggal
ya..
desferal
sekarang
sikap
bentuk
orang
tua
tindakan,
terhadap
menjadi
tuh Pengalaman negatif terapi Upaya penghindaran atas rasa sakit
proses
sekedar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 218 358
ganti infus aja, suntiknya sekali. Pilihan
359
Sekarang
360
berkali-kali. seandainya desferalnya
361
kayak dulu persis ya mau.
362
Kendala tertentu.. Um.. misalnya kalo Pengalaman negatif terapi Pengalaman negatif selama terapi medis dan
363
pas tranfusi ada alerginya, Bentol- medis
ketidakberdayaan
364
bentol di seluruh badan, demam, dan
kepasrahan atas kondisi diri
365 366
tulang belakang rasanya sakit dan Kepasrahan atas kondisi sakit nyeri seperti disuntik-suntik. Umm..
367
Cuma itu aja sih ce.
368
kayak mau tranfusi, terus vena nya ga
369
dapat, lalu jadi bengkak-bengkak
370
tangannya, sakit. Umm..kalau situasi
371
seperti itu ya udah menganggap itu
372
biasa aja ce.. udah terbiasa soalnya,
373
jadi ya diterima aja. Ga bisa ngapa-
374
ngapain lagi juga.
375
Umm.. aktivitas kayak jalan atau Kegemaran
376
ngeband? Ga ada pengaruh terhadap menghambat
377
proses pengobatan sih menurutku. pengobatan
proses pengobatan (minum obat) kesengajaan
378
Kalau
melakukan kelalaian
379
Kekenyangan, perutnya penuh. Atau Kesadaran
kan
beda,
kekenyangan
menjalani
terapi
suntiknya berdasar kenyamanan
atas
situasi
memunculkan
Biasa kalau
iya
yang Informan secara sadar memilih untuk melakukan proses pilihan yang membuatnya tidak bisa melakukan
sih. pribadi
atas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 219 380
kekenyangan
381
soalnya aku suka, (tertawa) soda-soda medis
382
gitu, sebenarnya kan kata dokter ga
383
boleh minum soda kalau mau minum
384
obat. Aku tahu sebenarnya sadar kok,
385
tapi aku suka. Jadi ga minum obat.
386
Iya.
387
kegiatanku di luar kayak ngeband pengabaian
388
atau sama teman, sama sekali gak medis
Kesengajaan tidak membawa obat sebagai bentuk
389
menurutku. Kan sebenarnya obatnya
pembohongan diri
390
bisa
391
fleksibel sebenarnya obat bisa di
392
bawa. Ya ga dibawa karena aku
393
membohongi diri sendiri itu ce
Hehe.
dibawa
minum
Jadi
coca-cola, pengabaian
bukan
masukin
tas.
karena Kesadaran
Kan
proses
pribadi proses
terapi
atas Denial? terapi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 220 394
Ce… apa pulak dilihat orang, kan aku Membohongi diri sendiri
Harapan informan untuk menjadi normal dengan
395
tuh membohongi diri sendiri, bukan
membohongi
396
karena
397
minum obat ataupun takut dilihat pada umumnya (sehat)
398
sakit. Bukan. Gimana yaa.. mau
399
kayak (jeda) mau jadi orang normal
400
gitu ce. Umm.. gimana ya..
401
Tak bisa ce, susah dijelaskan.
402
Aduh.. gimana ya. Karena mau.. apa
403
ya mau merasakan jadi orang normal
404
tuh sperti apa gitu loh. Bukan karena
405
aku dilihat orang lain berobat, tapi
406
aku sendiri yang berbohong sama diri
407
sendiri
408
Karena merasa bahwa membohongi Membohongi diri sendiri
Informan mengganggap dirinya tidak sakit sebagai
409
diri sendiri itu jadinya kayak orang
alasan
410
normal, gak punya sakit. Termasuk
pengobatan
411
tranfusi, minum obat, desferal. Ada
412
kalanya aku merasa tenang aja,
413
akhirnya aku bisa kayak orang lain,
414
ya.. meski membohongi diri sendiri.
415
Aku sadar, tapi emang menenangkan.
aku takut diliatin
orang Keinginan
menjadi
dirinya
sendiri
yang
bahkan
orang membuatnya mengesampingkan penilaian orang lain atas kondisi dirinya
pendorongnya
untuk
tidak
menjalani
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 221 416
Selama
menjalani
417
tranfusi,
desferal,
418
sebenarnya
419
soalnya karena mereka semua udah ibu
420
mengeluarkan
yang cukup
Kebutuhan informan (kegemaran aktivitas, malas,
421
besar, untuk berobat, sayang juga ke
jenuh, minuman coke) lebih diutamakan dibanding
422
aku, terus karena mama juga udah
kewajiban dalam proses pengobatan.
423
merawat aku dari kecil, terus aku
424
malah udah besar gini gak mau
425
minum
426
bersalah juga. Tapi gimana lagi lah
427
ce.. malas. Merasa bersalah karena,
428
mama udah merawat aku kan, tapi
429
malah pas besar nih aku hancurin.
430
Aku merasa bersalah. Tapi gimana
431
ya.. namanya malas.
432
Kalau alasan kenapa gak berobat Pesimisme
433
untuk diri sendiri ya karena merasa Ketidakberdayaan
434
gitu-gitu aja hasilnya. Gak ada situasi
dipengaruhi
435
perubahan
ketidakberdayaan diri dan situasi
436
penyakit seumur hidup. Nah, rasanya
437
tuh percuma, kalau berobat terus, toh
buat
obat,
ce.
pengobatan, Peran & makna keluarga minum
obat,
keluarga.
Jelas,
biaya
biasanya
Soalnya
Rasa bersalah ketika tidak berobat & keinginan informan untuk berobat demi keluarga terhambat
ikatan
emosional dengan oleh dorongan emosional.
merasa
kan
ini
informan
& Informan memandang alasan keluarga lebih penting atas daripada internal karena motif internal sangat oleh
internalisasi
informan
atas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 222 438
gak sembuh-sembuh juga. Terkadang
439
cuma bisa menghambat aktivitas aja.
440
Berobat
441
hidup.. Iya.. tapi tetap aja intinya
442
untuk keluarga, kalau aku sendiri yaa
443
udah mulai malas karena merasa
444
begitu-begitu saja dan gak akan
445
sembuh.
446
Yang aku harapin dengan menjalani Harapan
447
pengobatan? Mau harapan apa lah
448
ce.. mau sembuh udah jelas gak bisa Pesimisme informan
Informan merasa pesimis atas hidup sekaligus
449
kan. Tapi ada sih.. mungkin jadi
berharap akan adanya perubahan fisik yang lebih
450
putih.
baik dengan berobat.
451
Soalnya sekarang kan hitam ce, ga
452
putih lagi kayak dulu, hitam gara-
453
gara zat besi numpuk
454
Tapi ya gak juga sih.. hehehe jujur, Pesimisme
455
ga ada harapan ce, aku tau, tapi
456
gimanalah..
457
Meninggal lah ce nanti kalau ga
458
merawat badan ce, jadinya aku
459
minum obat lah. Iya.. yang penting
emang
untuk
bertahan
Harapan
Harapan atas penyakit dan proses terapi
Adanya harapan informan untuk terus hidup
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 223 460
keep moving on lah. Keep moving on
461
dengan berobat, ya itu harapan untuk
462
terus hidup.
463
Mmm.. semangat untuk menjalani Kesadaran
pribadi
464
pengobatan 5 ce.. soalnya aku ga ada pengabaian
proses
465
sadar-sadarnya.
466
Iyaa.. ga ada sadar-sadarnya harus
467
desferal, harus minum obat.
468
iya. (tertawa). Sebenarnya aku sadar
469
kalau aku sendiri yang gak punya
470
kesadaran untuk mau minum obat.
471
Cuma ya gimana ce.. kembali ke ke
472
alasan
473
membohongi diri sendiri. Aku juga
474
gak bisa ngapa-ngapain ce.
475
Umm.. gaa ada yang bisa buat aku Pentingnya kesadaran pribadi Kebimbangan informan antara usaha untuk berobat
476
sadar. Eh, mungkin ada sih..
477
Kalau aku mau usaha sih pasti bisa.
478
Umm..
479
minum obat, rajin-rajin desferal,
Informan menyadari pentingnya kesadaran pribadi
480
umm.. itu dari diri sendiri. Tapi tuh
untuk berobat
481
ce.. desferal tuh sakit, habis itu
medis
atas Informan merasa tidak berdaya atas situasi, tidak terapi bisa berbuat apa-apa dan memilih membohongi diri sendiri sacara sadar.
sebelum-sebelumnya,
Usaha
untuk
vs pengalaman negatif proses pengobatan (rasa Pengalaman negatif proses sakit) yang mengarah pada kemalasan untuk berobat
rajin-rajin terapi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 224 482
waktunya lama, jadi tuh gimana yaa,
483
aktifitas tuh jadi terganggu, jadi
484
malas. umm.. Aktivitas kayak harus
485
kerja pr, trus jalan-jalan..
486
Selain itu.. yang bisa buat aku Peran relasi romantis
Informan melihat relasi romantis sebagai hal yang
487
semangat sejujurnyaa ya.. ada sih..
baru
488
Umm.. mungkin pengganti Santi
pengobatan dibanding keluarga.
489
(mantan) kali ya ce, hehe. Pengganti
(Kebaruan cara menjadi sesuatu yang penting bagi
490
santi nih orang yang bener-bener bisa
perubahan
491
aku sayang ce.. yang gimana yaa..
pengobatan)
492
yang bukan dalam status keluarga ce.
493
Justru dari luar keluarga yang bisa
494
buat semangat. Gimana yaa.. udah
495
biasa ce, uda bosan kalau keluarga,
496
hehe. Kalau pacar sejauh ini gak ada.
497
Peran keluarga sejauh apa ya.. jauh Peran & makna keluarga
Rasa syukur dan terima kasih atas hal yang diberi
498
lah
keluarga menjadi alasan dalam menjalani proses
499
dilakukan keluarga ce, merawat aku
500
dari kecil sampai besar, harus beli
501
obat obatan yang mahal itu, terus
502
umm intinya menjaga, merawat dan
503
sayang sama aku.
pasti.
Banyak
yang
sudah
terapi
dan
berbeda
persepsi
serta
mendukung
informan
tentang
proses
proses
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 225 504
Umm..
belum
505
support yang efektif bantu.. rasanya
506
tuh gimana ya.. kayak ga efek.
507
Misalnya, pernah kan dibelikan X-
Kebingungan
508
Box, mainan yang aku suka banget
mengatasi/menemukan dukungan efektif
509
waktu kecil, awalnya semangat tapi
510
tuh
511
Gimana ya.. belum menemukan ce,
512
aku sendiri gak tau.
513
Kehadiran mereka semua (ada papa Dukungan sosial
Pandangan informan terkait pentingnya dukungan
514
mama, ada teman deket, cc koko,
sosial dalam proses pengobatan
515
anggota
516
pengganti santi, dan juga orang-orang
517
lain yang disayang) Besar lah ce.
518
Banget. Kalau di rentang 1-10,
519
mereka 10. Jelas. Kan tadi udah ada
520
pengganti santi nih ceritanya.. jadi
521
tuh pasti kemungkinan mau minum
522
obat tuh, kemungkinan mau merawat
523
badan, dengan ditambah lagi ada
524
keluarga, ada Budi, kawan dekat aku,
525
aku ga akan sama sekali merasa
malas
menemukan
lagi
keluarga
beberapa
lain,
sih Ketidakefektifan reward
Informan merasa dukungan bentuk hadiah material tidaklah efektif.
informan
untuk
lama.
sosok
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 226 526
kesepian ce
527
Kalau
528
senang. kalau merasa senang tuh pasti terapi medis
yang mendorong perasaan senang sebagai motivasi
529
minum obat. Jadi tuh ga dibawa sedih
menjalani proses pengobatan.
530
gitu loh ce.. ga ada monoton lagi
531
hidupnya.
532
jalanin hidup yang gitu-gitu terus, yaa
533
tranfusi minum obat, tranfusi minum
534
obat,
535
sembuhnya.
536
Mmm.. aku akan merasa senang
537
kalau.. Dibelikan barang, terus dapat
538
perhatian dari orang lain, keluarga
539
dan pacar.
540
Gimana yaa.. misalnya, tiap hari Ikatan emosional dengan ibu
Pengaruh ketidakhadiran figur ibu dalam rutinitas
541
dengar mama ingatin minum obat,
pengobatan
542
ngomel kalau ga minum obat, kalau
543
ga denger, pasti rasanya ada yang
Ketidakhadiran (perubahan) peran ibu meningkatkan
544
aneh, jadi aku minum obat sendiri.
kesadaran personal
545
Kayak sadar sendiri sama merasa
546
bersalah mungkin ya..
547
1-10 ya.. pengennya mereka hadir Peran & makna keluarga
ada
ga
mereka
Monoton
ada
semua,
disini
aku Pengaruh suasana hati dalam Informan menitikberatkan pada pengaruh eksternal
bosan
perkembangan
Pentingnya keluarga bagi informan dalam proses
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 227 548
buat aku sih 10. Alasannya karena
549
ngefek, ga ada keluarga tuh gimana
550
ya..
551
kemungkinan besar tambah malas
552
berobat. Sebenarnya aku juga pasti
553
jadi bisa nyadar kalau mungkin
554
mereka udah capek ingetin aku
555
minum obat terus, jadi kadang-
556
kadang pasti minum sendiri. Minum
557
obat kan biar kondisi tubuh gak
558
makin buruk. sejauh ini semua care.
559
Keluarga tidak selalu hadir nemenin. Kurangnya
560
Paling hanya mama, cc kalau pas lagi keluarga
561
pulang liburan ke rumah. Papa sibuk
562
terus soalnya kerja. Saudara kuliah di
563
luar, jadi ya mama yang paling selalu
564
ada. Ya aku paham sih kondisinya
565
gimana.
566
Bayu punya harapan, kalau mungkin
Kehadiran keluarga, khususnya ayah bagi informan
567
keluarga juga bisa hadir semua Harapan
dianggap mampu mendorong motivasi berobat dan
568
kapan-kapan. Terus harapan lainnya,
memberi kenyamanan selama proses berobat.
569
mungkin tetap selalu beri semangat,
rasanya
kehilangan
pengobatan
besar,
kehadiran Informan merasa kurangnya kehadiran keluarga dalam proses berobat dan mencoba memahami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 228 570
caranya mungkin bisa beli barang,
Pentingnya support lingkungan bagi informan
571
atau bisa lebih dekat lagi sama
selama proses pengobatan
572
keluarga.. disini mungkin lebih ke
573
papa ya.. yang lain sih udah dekaat.
Harapan akan kehadiran keluarga dalam proses
574
jadi tuh rasanya nyaman, enak. Kalau
terapi
575
dekat sama papa, mungkin ya..
576
mungkin lebih motivasi berobat, yaa
577
ga langsung sih.. Cuma pasti ada
578
prosesnya, lebih semangat, lebih
579
hangat lagi sama keluarga, jadinya
580
menjalani pengobatan tuh lebih enak,
581
semangat
582
Bayu lihat pengalaman sakit ya.. Pemaknaan
583
sebagai cobaaan iya.. kadang merasa pengalaman
584
ini cobaan, sangat jenuh.. tapi ada (thalassaemia)
585
juga
586
menerima, ya caranya dengan melihat
587
ini sebagai sahabat yang menemani
588
hidup
589
Bersyukur
590
disayang dan diperhatikan orang lain,
591
keluarga terutama.. teman juga Iya
masa
aku,
dimana
jadi karena
aku
aku
mulai
bersyukur.
banyak
sekali
positif
atas Dukungan dari lingkungan mendorong informan hidup memaknai pengalaman hidup secara positif.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 229 592
bersyukur,
karena
593
banyak orang yang peduli, care dan
594
sayang banget sama aku kan.
595
Kata mama harus bersyukur..
596
Gimana ya ce.. aku pikirnya tuh mau pengalaman hidup
mendorong informan memilih dan memaknai hidup
597
dibebani pun, ngerasa itu sebuah
secara positif
598
beban, ga akan berubah kenyataan,
(Dibanding
599
dan ga akan sembuh juga, jadi lebih
menikmati dan bersyukur atas hidup)
600
baik
601
Lagipula kalau aku sekarang ada
602
penyakit, aku merasa orang lebih care
603
sama aku.
604
Tapi sebenarnya beban mungkin ada Sikap terhadap batasan
Keterbatasan diri & ketidaknyaman informan atas
605
ya..
perlakuan terhadap diri
606
Misalnya, aku pengen banget
607
gabung sama tim sepakbola sekolah
Ketidakmampuan informan untuk mengeksplorasi
608
kan, pengen ikut kegiatan yang
hal yang ia sukai karena keterbatasannya serta
609
sifatnya
ketidaknyaman atas perlakuan diri
610
dilarang sama orangtua juga kuliah
611
Jogja, jadinya kayak umur 18 tahun
612
tapi perlakuannya seperti 10 tahun.
613
Jadi itu mengganggu karena itu.
bersyukur
penyakit
dan
kadang-kadang
olahraga
itu
ini,
Pemaknaan
positif
atas Kepasrahan atas situasi dan dukungan sosial
merasa
terbebani,
memilih
untuk
dinikmati.
kepikiran.
gak
bisa Batasan Orangtua
bisa,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 230 614
Gak nyaman kan kalau diperlakukan Sikap terhadap batasan
Informan mengungkapkan ketidaknyamanannya atas
615
kayak umur 10 tahun. Gmna yaa..
perlakuan
616
sjujurnyaaku bersyukur mendapatkan
Meskipun ia bersyukur, namun di satu sisi merasa
617
keluarga yang begitu sayang sama Harapan
terganggu dan terbatasi aktivitasnya.
618
aku. Terganggu juga iya pasti..
619
diperlakukan seperti itu, dgn usia
620
segini ga bisa bebas banyak hal. main
621
sm teman terutama. Ga bisa olahraga
622
sama
623
Harapannya ya bisa diijinkan meski
624
buat capek, kan habis itu bisa tranfusi
625
kan
626
gampang, kalau kurang darah, cek
627
HB, kasih ke PMI, terus tranfusi kan.
628
Dengan kondisi ini ya aku melihat Citra diri
Karena kondisinya yang sakit, informan melihat
629
aku sebagai seseorang yang manja
dirinya sebagai pribadi yang manja, sangat disayang
630
jelas ya. Karena bungsu dan punya Sikap terhadap batasan
keluarga, dan keras kepala (tidak menurut ketika
631
penyakit, jadinya sangat disayang
harus terapi medis).
632
keluarga,
633
diturutin. Selain itu, pembangkang
634
sih, ga mau nurut perkataan orang
635
tua, tapi lebih karena proses berobat
teman,
sebenarnya.
mau
keluar
diberikan
keluarga
padanya.
kuliah.
Lagian
apa
yang
juga
cenderung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 231 636
ya.
637
Ya sadar kalau aku emang ga mau Dorongan emosional sebagai Informan masih menitikberatkan adanya dorongan
638
minum obat dan desferal, aku tahu itu penghambat proses terapi
emosional dalam diri (rasa malas) hingga ia
639
harus tapi.. lebih karena ga mau
melakukan pengabaian atas proses pengobatan
640
berobat sih. Lagi-lagi karena malas
641
dan membohongi diri sendiri itu..
642
udah sih itu aja.
643
Mendengar kabar kalau ada temen Gambaran
644
thalassaemia yang meninggal tentu kematian
645
sedih ya. Tapi umm.. sejujurnya
646
kalau perasaan biasa aja sih ce,
Keterikatan
647
soalnya aku berpikir kalau setiap
membentuk persepsi atas kematian yang tidak
648
orang pasti pada akhirnya akan
terelakkan
649
meninggal, jadi aku mengganggap itu
650
sudah
651
mengganggap itu udah biasa.
hal
yang
biasa.
Jadi
mengenai Informan memiliki kesiapan dan memahami risiko terburuk dari kondisi yang dihadapi
emosional
dengan
teman
senasib
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 232 652
Umm.. maksudnya pikiran kalau aku Gambaran
653
meninggal begitu? Sedih tentu kalo kematian
654
ada yang meninggal, untuk perasaan
655
lain ga ada. Paling ya lagi-lagi
656
berpikir, bahwa setiap orang pada
657
akhirnya meninggal,
658
waktu saja, jadi itu hal yang biasa.
659
Jadi ga perlu takut, karena gimana ya
660
ce.. meninggal toh bukan cuma
661
karena thalassaemia, bisa juga karena
662
yang lain kan ce. Kalau orang
663
terdekat meninggal ya sama sih.
664
Sedih juga, lagi-lagi aku berpikir
665
bahwa semua orang pada akhirnya
666
akan meninggal ce.
667
Kalau boleh berharap.. permintaan Harapan
Harapan yang dimiliki informan berkaitan dengan
668
selain kesembuhan
keinginan terjadinya perubahan atas kondisi sakit
669
selain sembuh total.
670
motor gitu bukan pengobatan ya..
671
hehe umm.. Kalau boleh aku mau
672
minta
673
obatnya ce. Lalu mungkin boleh ga
yang
mengenai Informan memiliki kesiapan dan memahami risiko terburuk dari kondisi yang dihadapi
hanya beda
penyakit
pertama,
ya..
Kalau minta
ditemukan
yang
juga
terikat
secara
emosional
dengan
lingkungan sosialnya
Harapan atas kesembuhan penyakit dan proses terapi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 233 674
aku minta kalo penyakit thalassaemia
675
ini ga ada aja di dunia?
676
Ibaratnya penyakit ini ga ada di dunia
677
biar
678
thalassaemia ga sakit thalassaemia
679
lagi dan semuanya bisa sembuh..
680
Umm.. kalau semuanya udah sembuh
681
semua aku ga punya permintaan lagi
682
ce.. hehe
683
Aku minta thalassaemia ga ada lagi Harapan atas penyakit dan Keterikatan emosional dengan lingkungan sosial
684
di dunia itu demi aku dan orang lain proses terapi
685
yang menderita karena hal yang
686
sama. Jadi, sekarang terutama kalo
687
orangtua yang Thalassaemia nih..
688
biasanya nih, kan ada orang yang
689
udah susah hidupnya, dan itu pasti
690
menyulitkan. Jadi aku pengen itu bisa
691
sembuh semua, dan ga ada yang
692
kesusahan lagi. Biar ga sakit.
semua
orang
yang
sakit
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 234 693
Impian yang pengen aku capai dalam Impian
Musik penting bagi informan sebagai sarana katarsis
694
hidup jelas pengen punya Mo-Ge
dan impian bagi diri (sesuatu yang ingin dicapai)
695
(Motor Gede). Selain itu pengen jadi
696
musisi ce. Gimana ya.. soalnya main
697
musik itu, bahkan dengar aja bisa
698
buat aku enjoy gitu. Semua beban
699
yang sebelumnya ada, sekali denger
700
musik tuh hilang semua ce. Beban
701
penyakit, tugas, dan hal hal lain.. dan
702
itu
703
mimpi ini buatku 8 nilainya. Musik
704
buatku itu penting. Aku ga bisa
705
melakukan
706
olahraga, jadinya ya melampiaskan
707
ke musik, itu yang buat musik jadi
708
penting buat aku.
709
Umm..
710
pemain futsal, hal yang aku suka, dan diri informan
711
sifatnya refreshing. Cuman kan gak
712
boleh capek toh.
Kesenjangan antara harapan dan keterbatasan diri
713
Tapi aku juga takut mimpi ini gak Kepesimisan meraih cita-cita
Informan merasa pesimis untuk mencapai mimpi
714
bisa aku capai. Terkait kemampuan
karena skill & batasan dari orangtua terkait kondisi
biasanya
hilang.
aktivitas
sebenarnya
Adanya bayangan akan diri di masa depan
Pentingnya
lain,
dulu
seperti
pengen Pengaruh penyakit terhadap Kepasrahan informan atas kondisi fisik yang menghambat tercapainya impian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 235 715
sih, soalnya buta not, kurang skillnya Batasan orang tua
716
jadi butuh bimbingan lagi, kayak les.
717
Tp lbih karena takut ga bisa keluar
718
dan kuliah ke Jogja untuk ambil
719
jurusan musik. Kayak mama dan
720
papa gak mengijinkan karena adanya
721
keterbatasan fisik ini. Ya gitulah..
722
Harapannya sih bisa diijinkan keluar, Harapan
Informan
723
aku juga pasti bisa lebih mandiri.
kepercayaan
724
Keluarga takut, aku gak terawat kalau
kemampuan personal khususnya dalam mengurus
725
sendiri, takut ga tranfusi, desferal,
diri.
726
minum obat.. ya menurut aku, aku
727
gak
728
perkumpulan yayasan di Jogja, di RS.
729
Sardjito, sama seperti di Pontianak,
730
setidaknya
731
meskipun mungkin desferal belum
732
tentu.. obatnya sih pasti rajin.
733
80% lah percaya pada diri sendiri Kepercayaan diri
Keluarga memiliki arti penting bagi informan dalam
734
bahwa aku bisa rawat badanku
menjalani proses pengobatan.
735
sendiri, alasan ku bertahan sampai Makna
736
saat ini juga keluarga. Keluarga yang kehadiran keluarga
begitu,
bisa
kan
bisa
rajin
sakitnya
cari
menginginkan yang
adanya
diberikan
orang
perubahan tua
atas
Harapan adanya perubahan persepsi dari orang tua tentang diri
tranfusi,
&
pentingnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 236 737
telah merawat sampai sekarang, kalau
738
ada apa-apa keluarga yang merawat.
739
Kalau tiba-tiba aku putus asa gitu
740
kan, payah ya.. dan aku tuh sayang
741
banget sama keluargaku, sayang tuh..
742
mereka merupakan bagian terbesar
743
dalam hidupku, tanpa keluarga, aku
744
gak bisa melakukan apa-apa. Itu sih
745
yang kerasa.
746
Gak. Kalau desferal diganti Exjade Pilihan
747
mungkin mau rajin ce. Soalnya ga berdasar kenyamanan
748
sakit.
749
Punya mimpi atau gak menurutku sih Pentingnya kesadaran pribadi Informan menyadari hal penting
750
ga berpengaruh sama minum obat,
751
desferal atau gak ce, karena apa ya..
752
karena impian gak akan mengubah
Informan menyadari bahwa perubahan sikap terkait
753
karakter pribadi seseorang ce. Aku
pengobatan hanya bisa terjadi atas kehendak diri
754
tau persis aku yang ga mau usaha dan
sepenuhnya.
755
minum obat.
756
Aku bayangin aku besok kalau apa.. Impian
757
lima tahun ke depan, ya aku udah
758
punya Mo-Ge yang aku mau dari
menjalani
terapi Kesediaan informan untuk menjalani pengobatan bila terhindar dari rasa sakit.
yang mampu
mendorong proses pengobatan
Bayangan informan akan dirinya di masa depan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 237 759
kecil,
kan
760
terus..jadi mahasiswa,
761
band
762
tranfusi tetap berobat lah. Ya gitu lah
763
ce… tetap kayak gini gini, tetap harus
764
berobat
sama
aku
udah
nabung,
ngisi acara
temen-temen,
tetap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lampiran 8. Cluster of Meaning Informan 1 (Dd) 1. Pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit dan terapi medis Pengetahuan akan penyakit Thalassaemia Mayor Pengetahuan mengenai prosedur pengobatan Pemahaman mengenai prosedur pengobatan
Pemahaman akan proses pengobatan Pemahaman akan tujuan pengobatan Pemahaman mengenai tujuan dari pengobatan yang dilakukan Pemahaman atas konsekuensi pengabaian
2. Pengaruh penyakit terhadap diri informan Fisik lemah dan tidak bertenaga bila tidak tranfusi Perubahan fisik (kulit semakin hitam) bila tidak desferal Kesulitan beraktivitas dan mudah sakit PROSES TERAPI Persepsi positif atas proses terapi Pengobatan sebagai upaya untuk menjaga kondisi tubuh tetap sehat Terapi adalah upaya mempertahankan kondisi tubuh Usaha untuk menjaga kondisi fisik Usaha teratur minum obat, tranfusi darah dan desferal Rajin mengkonsumsi Vitamin E Pandangan proses terapi sebagai hal yang wajib dilakukan, tanpa pengecualian apapun Pengalaman negatif terapi medis Rasa sakit karena suntikan Disuntik berulang kali sejak kecil Menangis karena sakit Ketidakbebasan beraktivitas Ketidak nyaman karena proses terapi yang lama Alergi darah: bentol-bentol seluruh badan, tangannya bengkak, demam Keengganan berobat sejak remaja Malas dan enggan berobat sejak SMP, usia 15-16 tahun Kelelahan dan kejenuhan untuk menjalani terapi Kemalasan dan kejenuhan berobat (monoton) Hasil terapi begitu-begitu aja jenuh Kelelahan untuk melakukan terapi Persepsi terapi selayaknya rutinitas pengobatan ibarat kegiatan sehari-hari : berobat sama halnya seperti harus mandi, makan setiap hari
238
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 239
Persepsi atas proses terapi yang kurang mendukung Persepsi yang mendorong pengabaian atas kondisi diri Bila tidak tranfusi sekali saja, akibatnya fatal, bisa langsung meninggal saat itu, atau mungkin seminggu (jangka waktu pendek). Berbeda dengan tidak desferal dan minum obat yang akibatnya juga kematian, namun dalam jangka waktu yang panjang (Tidak desferal atau minum obat sekali, tidak mengakibatkan kematian saat itu juga, berbeda dengan tranfusi darah) Pilihan menjalani terapi berdasarkan kenyamanan Lebih nyaman kalau diinfus, beda dengan yang sekarang prosesnya berulang kali Suntik Desferal diganti obat tablet agar tidak sakit Ketidakberdayaan atas situasi Kesadaran bahwa terapi tidak berujung pada kesembuhan Sudah mencoba berjuang dari kecil (SD), semakin lama semakin paham terapi ini menjemukan dan tidak berujung kesembuhan Merasa tidak pernah ada perubahan selama terapi tidak akan pernah sembuh meski terus berobat karena thalassaemia penyakit seumur hidup Semangat menjalani pengobatan 5, menyadari bahwa dirinya tidak memiliki kesadaran untuk mau berobat KELUARGA Peran dan makna keluarga Alasan Bertahan : keluarga Keterlibatan keluarga dan pengorbanan keluarga dalam proses terapi Makna & pentingnya kehadiran keluarga; Tanpa mereka akan kehilangan besar, dan tak lagi mau berobat. Tak lagi bersemangat hidup Keluarga yang merawat, menjaga, mendukung, dan menyayangi sejak kecil Kurangnya kehadiran keluarga : Sosok ayah Ikatan emosional dengan ibu Rasa bersalah pada ibu bila membuat ibu menangis karena tidak patuh berobat Rasa bersalah dan rasa sayang karena mengingat pengorbanan ibu yang berusaha keras merawatnya sejak kecil, namun dirinya sekarang justru mengabaikan kondisi fisiknya (dengan tidak berobat) Batasan dari orang tua Sulit untuk beraktivitas di luar (Mama suruh di rumah aja gak boleh capek) Dilarang kuliah ke luar kota Kepesimisan meraih cita-cita, karena kondisi fisik Tidak boleh bermain futsal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 240
Sikap terhadap batasan Tidak mau mendengar nasihat mama Keputusan untuk tetap bermain futsal Tidak patuh ketika diminta melakukan desferal Harapan atas adanya perubahan pandangan dari orangtua tentang diri Harapan pandangan orangtua dapat berubah. Usia 18 tahun dan tidak lagi diperlakukan masih kecil seperti 10 tahun Tidak ingin diperlakukan seperti anak kecil, merasa terganggu dan tidak nyaman RELASI SOSIAL (INTERAKSI DENGAN LINGKUNGAN SOSIAL) Dukungan sosial Kebutuhan akan dukungan sosial Pentingnya kehadiran orang terkasih (keluarga, sahabat dan pasangan) nilai 10 Kehadiran mereka membuat ia tak lagi kesepian dan berarti Penerimaan sosial : Sahabat menerima seutuhnya, tidak membeda-bedakan dirinya dengan orang lain, informan merasa tak lagi monoton hidupnya Tidak pernah dijauhi oleh teman-teman karena informan terbuka bahwa dirinya punya sakit Peran relasi romantis Ketidakhadiran pasangan (habis putus) Pentingnya kehadiran pasangan baru (pacar baru) Belum punya pacar lagi kehadiran pacar dirasa mendukung dan membuat hidup berarti Kebutuhan untuk merasa berarti dan dibutuhkan Keterlibatan dari orang terdekat selain keluarga (adanya kedekatan secara emosional, beda dengan keluarga yang tiap hari bertemu) INTERNAL Pentingnya kesadaran pribadi Pemahaman akan pentingnya kesadaran diri untuk terapi Sadar bahwa semuanya harus dari kesadaran pribadi untuk mau berobat. Kesadaran bahwa keputusan terapi harus dari diri sendiri Rajin minum obat, tranfusi dan desferal itu harus dari diri sendiri, bukan orang lain Kesadaran pribadi atas pengabaian proses terapi – kelalaian Kesadaran atas keengganan menjalani terapi Kesadaran diri yang kurang dalam menjaga proses terapi Tranfusi rajin, tapi yang lain-lain gak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 241
Kesadaran atas pengabaian yang berdasarkan pilihan pribadi Sengaja tidak membawa obat ke dalam tas padahal bisa ia lakukan Mengabaikan proses terapi Mengabaikan kondisi diri yang sakit Pemaknaan atas pengalaman hidup (positif) Thalassaemia sebagai bentuk perjuangan Thalassaemia ialah sesuatu yang harus diperjuangkan dalam hidup Thalassaemia sebagai sahabat Thalassaemia : sahabat yang menemani hidup dan membuatnya bersyukur. Bersyukur atas pengalaman sakit Melihat pengalaman sakit sebagai beban juga tidak akan merubah kenyataan, lebih baik disyukuri Bersyukur karena thalassaemia membuat ia disayang dan diperhatikan oleh orang lain, terutama keluarga dan sahabat Badan adalah hal yang patut diperjuangkan selalu Citra diri (positif) : Karakter yang terbuka dan bersahabat (friendly) Keterbukaan diri (bahwa ia memiliki sakit) Pandangan diri yang positif (bahwa ia tidak berbeda dengan orang lain) Kepercayaan diri atas kondisi fisik Tidak merasa minder karena memiliki kondisi fisik yang bagus (melakukan terapi sejak kecil) Pribadi yang manja dan sangat disayang oleh keluarga Kepasrahan atas kondisi sakit Berpasrah atas kondisi sakit Tidak ada yang bisa dilakukan selain terus menjalani hidup dengan berobat Penerimaan dan kepasrahan Hanya bisa menerima dan tidak bisa lagi melakukan apa-apa selain berobat Pengaruh suasana hati dalam terapi medis Pentingnya suasana hati yang bahagia Kehadiran orang terkasih membuat ia senang dan tidak monoton hidupnya. Dengan merasa bahagia, maka akan terus berobat Perhatian dan pemenuhan materi sebagai alasan bahagia Merasa senang bila dibelikan barang dan mendapat perhatian dari orang yang dikasihi Membohongi diri Membohongi diri sebagai pilihan pribadi Rasa tenang dengan membohongi diri (seolah orang normal) Pandangan diri sebagai orang sehat Menganggap diri sendiri sebagai orang yang tidak sakit (orang normal) dan tidak memiliki sakit sehingga ia tidak perlu melakukan proses terapi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 242
Membohongi diri sejak SMP Tidak boleh beraktivitas berlebihan, padahal suka berolahraga karena kondisi fisik tidak memungkinkan membohongi diri merasa diri normal Keinginan menjadi orang pada umumnya (sehat) Keinginan untuk menjadi normal Tidak berobat bukan karena takut dilihat orang lain, tapi ingin menjadi orang normal. Karena tidak mungkin terjadi, maka membohongi diri Imaginasi menjadi orang sehat Imaginasi bahwa menjadi orang yang sehat adalah hal yang menyenangkan, meski tidak bisa ia lakukan Konsep orang normal (sehat) Orang normal adalah orang yang bisa melakukan aktivitas tanpa harus khawatir dengan kondisi badan dan tidak mengkhawatirkan keluarga Dorongan emosional (rasa malas) sebagai penghambat proses terapi Rasa malas : alasan tidak berobat Pokoknya malas aja, udah capek, jadi gak mau berobat Kemalasan untuk pergi terapi Tahu bahwa berobat itu penting, namun malas Pilihan menjalani terapi berdasar kenyamanan Pilihan menghindari rasa sakit Keinginan mengganti desferal menjadi exjade Harapan prosedur Desferal seperti dulu “desferal sekarang tuh diperut, jadi tuh gak nyaman, sakit gak enak, kalau dulu kan tinggal ganti infus aja, suntiknya sekali. Sekarang kan beda, suntiknya berkali-kali. seandainya desferalnya kayak dulu persis ya mau.” GAMBARAN AKAN DIRI DI MASA DEPAN Impian (+) : Impian sebagai musisi Menjadi seorang musisi, karena musik membuat ia merasa hidup dan melupakan beban hidupnya Memiliki Mo-Ge Imaginasi akan masa depan (lima tahun mendatang) menjadi mahasiswa dan menampilkan band bersama teman-teman. Harapan : Ketiadaan penyakit thalassaemia (relatedness) Tidak ada penyakit thalassaemia di dunia, agar semua penderita sembuh total dan keluarga tidak lagi kesusahan Harapan atas adanya perubahan pandangan dari orangtua tentang diri kepercayaan mampu merawat diri sendiri secara mandiri Harapan terhadap kondisi fisik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 243
Badan menjadi lebih putih dengan terus desferal agar zat besi tidak menumpuk Keep moving on dengan berobat, harapan untuk terus hidup Kehadiran keluarga selalu selama proses terapi Gambaran mengenai kematian Persepsi atas kematian meninggal adalah hal yang wajar terjadi pada semua orang Tiap orang pasti akan meninggal, hanya waktu tiap orang yang berbeda-beda Kesedihan atas rekan senasib Sedih bila mendengar teman senasib yang meninggalkan dirinya terlebih dahulu Kepesimisan meraih cita-cita Khawatir tidak bisa kuliah di luar kota karena tidak diizinkan orangtua. (menjadi musisi) Faktor X Sikap pasif & kegemaran yang menghambat Persepsi yang mendorong pengabaian pandangan tentang kegemaran Aku merasa tidak capek untuk melakukan sesuatu yang memang aku suka seperti main futsal. Aku tidak pernah capek sama sekali Suka minum coca-cola sampai kekenyangan dan perut penuh, padahal dokter menganjurkan untuk tidak minum soda bila mau berobat Ketidakefektifan reward Mencoba berbagai reward untuk mendorong proses terapi tapi gagal. (X-box sebagai mainan kesukaan sejak kecil, dibelikan kedua orang tua, namun juga tidak bertahan lama dalam mendorong diri utk terus berobat)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lampiran 9. Ringkasan Analisis Tiga Informan
No
Pertanyaan
1.
Sejauh ini, apa yang (informan) ketahui tentang penyakit Thalassaemia?
2.
Perawatan seperti apa saja yang perlu dilakukan untuk menjaga kondisi diri agar tetap sehat?
Informan 1 (Dd) Tema Komentar Informan memiliki pemahaman tentang thalassaemia dan penyebab penyakit Pengetahuan dan pemahaman Adanya pemahaman tentang penyakit akan hal negatif yang dan terapi medis akan terjadi pada diri informan bila perawatan supportif tidak dilakukan secara teratur Pemahaman informan yang bersifat Usaha menjaga mendukung kondisi fisik berjalannya proses pengobatan Pemahaman tentang penyakit Pemahaman informan dan terapi medis tentang proses pengobatan beserta tujuan Pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit dan terapi medis
Informan 2 (Nn) Tema Komentar
Pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit dan terapi medis
Pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit dan terapi medis
Pemahaman informan atas proses pengobatan yang sejalan dengan kondisi sakit
244
Informan memiliki pemahaman tentang thalassaemia terkait penyebab penyakit dan konsekuensinya
Informan memiliki pemahaman tentang terapi medis yang akan mendukung dirinya untuk menjalani proses tersebut
Informan 3 (Fa) Tema Komentar
Pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit dan terapi medis
Informan memiliki pemahaman tentang apa itu thalassaemia dan konsekuensi dari penyakit
Pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit dan terapi medis
Informan memiliki pemahaman tentang terapi medis yang akan mendorong dirinya menjalani proses tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 245 Pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit dan terapi medis
Pemahaman yang mendukung informan menjalani proses pengobatan
3.
Sejauh ini, bagaimana usaha yang sudah (informan) lakukan untuk menjaga kondisi diri?
Informan berusaha teratur minum obat Usaha informan agar kondisi badan untuk menjaga terjaga (minum obat, tranfusi darah, kondisi diri desferal, minum Vit.E dan asam folat)
Pengabaian atas kondisi fisik dengan Sikap pasif & dasar minat diri (tetap kegemaran yang bermain futsal karena suka) mendorong menghambat proses pengabaian atas pengobatan kondisi fisik
Informan memiliki pengetahuan tentang terapi medis yang harus dilakukan Usaha informan penderita untuk menjaga thalassaemia kondisi fisik dengan terapi Adanya usaha yang dilakukan informan untuk menjaga kondisi fisik
Kecenderungan pilihan informan terhadap proses terapi medis berdasar kenyamanan dibandingkan Sifat pasif informan konsekuensi dalam menjaga tidak melakukan kondisi tubuh terapi Pilihan informan Kesediaan informan terapi medis untuk menjalani
Informan memiliki pengetahuan tentang terapi medis yang wajib Usaha informan dilakukan untuk menjaga kondisi fisik Adanya usaha dengan terapi dan dari informan hidup teratur untuk menjaga (makan, istirahat) kondisi fisik selain berobat, seperti pola makan, tidur dan istirahat
Informan memberikan penekanan pada Pilihan menjalani pilihan atas terapi kenyamanan dalam (kenyamanan) proses terapi dibandingkan konsekuensi tidak melakukan terapi Kesadaran pribadi atas
Informan memilih jenis terapi medis yang menurutnya lebih praktis
Informan menyadari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 246 berdasarkan pengobatan kenyamanan dan terhindar dari alasan praktis sakit.
bila rasa
4. Kesadaran pribadi atas pengabaian proses pengobatan Sejauh ini, kendala (tantangan) seperti apa yang (informan) hadapi saat menjalani pengobatan?
Pemahaman informan atas efektivitas pengobatan (desferal) atas tidak sejalan dengan sikap berobat yang seharusnya dilakukan
Pengalaman negatif terapi medis (Rasa sakit, perbedaan cara desferal)
Adanya upaya penghindaran atas rasa sakit Pilihan menjalani terapi berdasar kenyamanan
pengabaian proses terapi
dirinya tidak melakukan desferal karena rasa sakit akibat desferal Ketidakpatuhan Kesadaran desferal pribadi atas mempengaruhi pengabaian naiknya kadar proses terapi feritin (zat besi) Pengaruh aktivitas kerja sebagai penghambat berjalannya terapi medis (tranfusi dan desferal)
Aktivitas kerja yang menghabiskan waktu informan sebagai salah satu penghambat untuk berobat
Pengalaman negatif terapi
Informan merasa kesulitan untuk memberi Rasa sakit dari prioritas terkait suntikan berulang dan dua hal yang bekas suntikan Dilema memilih sama pentingnya menjadi alasan prioritas : yaitu kuliah dan informan untuk malas padatnya aktivitas tranfusi. tranfusi kuliah vs jadwal terapi medis Aktivitas dan Ketidakleluasaan jadwal kuliah untuk bergerak – yang padat alasan malas desferal membuat proses terapi menjadi terhambat
Pengalaman negatif (efek samping dari terapi medis ferriprox)
Pengalaman negatif yang dialami informan membuat dirinya tidak melakukan pengobatan (minum obat)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 247 Informan merasa tidak dipahami Informan merasa bimbang untuk membuat prioritas dari dua hal yang sama penting
Pengalaman negatif selama terapi medis Pengalaman dan ketidakberdayaan negatif terapi atas situasi medis memunculkan kepasrahan atas kondisi
5.
Sejauh ini, pengaruh apa saja yang (informan)
Pengaruh penyakit terhadap diri informan (kondisi fisik
Ungkapan ketidaknyamanan informan atas keterbatasan aktivitas
Pengaruh penyakit pada kondisi fisik & efektivitas terapi
Selain ciri khas thalassaemia (facial cooley), informan tidak merasakan
Perasaan tidak dipahami oleh Informan merasa tenaga medis tidak suka pada sikap ahli medis yang menurutnya tidak melihat dari sudut pandang informan dan merasakan kesulitan yang informan rasa Usaha untuk berobat Dilema memilih terhambat oleh prioritas : padatnya padatnya aktivitas aktivitas kuliah vs jadwal perkuliahan yang terapi medis membuat informan kelelahan Pengaruh Seiring waktu, penyakit terhadap informan diri informan menyadari (kondisi fisik adanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 248 rasakan terkait penyakit Thalassaemia?
yang lemah)
& fisik akibat penyakit medis Kesadaran informan atas keterbatasan fisik yang dirasakan bila perawatan supportif tidak dilakukan
Penerimaan dari relasi sosial mempengaruhi Penerimaan dari Rasa minder pandangan positif teman sebaya karena penyakit tentang lingkungan (Tidak adanya & pengaruh pada Penerimaan dari Informan tidak relasi sosial) teman sebaya merasakan pengaruh sosial atas penyakit
adanya pengaruh yang lemah) terhadap kondisi fisik. Pengaruh fisik tidak terjadi karena informan rutin desferal
Meskipun minder kondisi penerimaan lingkungan mengubah pandangnya
sempat dengan sakit,
cara
perubahan kondisi fisik karena penyakit, yaitu kondisi fisik yang kian lemah, lemas dan seolah tidak bertenaga Ciri khas thalassaemia (face cooley) membuat informan merasa minder dan merasa berbeda Pengalaman dengan negatif karena saudaranya sakit Adanya perasaan kesal atas pandangan orang lain yang membandingkan kondisi fisik informan dengan saudaranya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 249
Informan memiliki pandangan akan diri yang positif terkait Penerimaan dari sosial & body image teman sebaya proses pengobatan (Citra diri positif) dilakukan sejak kecil, badan terawat
Pengaruh penyakit terhadap diri informan (malas sekolah karena capek)
Terhambatnya pertumbuhan Informan merasa Pengaruh fisik tidak nyaman karena penyakit terhadao menggagalkan penyakit membuat diri informan untuk informan terbatasi mengolah dalam hal cita-cita (terhambatnya keterampilan diri dan relasi pertumbuhan dengan masuk fisik) SMK, jurusan yang sesuai dengan minatnya Informan merasa tidak terima dan kesal dengan Adanya kekhawatiran pandangan orang informan tentang lain yang menilai kemungkinan bahwa Pengalaman berdasar pada karena dirinya tidak diterima negatif kondisi fisik oleh lingkungan kondisi sakit semata. karena sakit & usaha informan untuk (dipandang Informan tidak (-) memahami situasi sebelah mata) suka dan merasa tersebut dipandang sebelah mata Informan mengalami dengan kondisi pengalaman tidak fisiknya sekarang menyenangkan dari Informan teman sebaya, berupa mendapatkan ejekan dan pandangan Pengalaman perlakuan tidak ketergantungan negatif karena menyenangkan terhadap obat-obatan sakit (kondisi dari teman fisik) sebaya karena kondisi fisik
Pengaruh penyakit terhadap diri informan (Keterbatasan cita-cita dan keterbatasan informan dalam berelasi karena penyakit)
Proses pengobatan sebagai pelarian atas Pengalaman kewajiban (sekolah) karena sakit yang didorong oleh kondisi diri yang lemah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 250
6.
Kepasrahan dan Informan merasa kesedihan atas sedih dan pasrah atas kondisi sakit kondisi sakit Bagaimana upaya (respon) yang biasanya (informan) lakukan untuk mengatasi kendala-kendala tersebut?
Keterbiasaan & ketidakberdayaan atas situasi mendorong Kepasrahan atas kepasrahan atas Rasa minder kondisi sakit kondisi sakit sebagai penghambat terapi
7.
Bagaimana perasaan saat memahami kondisi diri sebagai penderita thalassaemia?
Kepasrahan atas kondisi sakit
Pemahaman informan mengenai kondisi diri mendorong mulainya (pemahaman atas kepasrahan atas kondisi sakit kondisi diri sejak kelas 5)
Informan sempat merasa minder sebelum akhirnya menerima situasi dan terbuka tentang kondisi sakit
yang kecil Informan merasa tidak terima dan kesal dengan pandangan orang lain yang menilai berdasar pada Perasaan tidak kondisi fisik terima atas semata. pandangan yang merendahkan Informan tidak kemampuan suka dan merasa informan dipandang sebelah mata dengan kondisi fisiknya sekarang
Informan merasa sedih dengan kondisi sakit yang membatasi dirinya dan mencoba Kesadaran akan pasrah terhadap kondisi sakit & situasi Kesedihan & kepekaan kepasrahan atas informan “tapi ya udah…tapi kondisi sakit terhadap kondisi mungkin..” : keluarga terkait kegundahan informan biaya berobat untuk berpasrah sekaligus menolak realita yang dihadapi?
Informan menyadari kondisi sakit sejak usia 5 tahun karena rutinitas pengobatan yang dilakukan Kesadaran dan usaha informan untuk berobat waktu usia dini Adanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 251 kepekaan informan atas kondisi sakit dan kondisi keluarga Keinginan untuk menjadi orang lain muncul karena keterbatasan yang dirasakan informan akibat penyakit Informan memaknai hidup sebagai suatu Pemaknaan atas perjuangan, namun ia pengalaman sendiri terhambat hidup dengan dorongan thalassaemia (+) emosionalnya (rasa malas untuk terapi medis)
Keterbatasan untuk meraih impian Pemahaman dan membuat informan kepasrahan atas menyadari kondisi kondisi sakit sakit sejak SMA Kepasrahan yang sedikit terpaksa?
Perbedaan cara pandang antara informan dan orang tua tentang Keinginan untuk kondisi sakit ? menjadi orang pada umumnya Kepercayaan diri yang dirasakan (sehat) informan vs pandangan atas ketidakmandirian informan dari orang tua Kekhawatiran dan pandangan orangtua membatasi informan untuk mengeksplorasi dan memenuhi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 252
Penerimaan sosial dan Keterbukaan diri pembawaan diri dan citra diri informan (terbuka & yang positif friendly) membentuk kepercayaan diri dan citra diri positif 8.
Pemaknaan positif atas thalassaemia (sahabat hidup dan bentuk Bagaimana kamu syukur atas kasih) memandang thalassaemia dalam hidupmu?
Pemaknaan positif atas pengalaman hidup
Keinginan untuk mengambil peran dalam keluarga
keinginannya untuk kuliah ke luar Informan memiliki hasrat untuk berperan dalam keluarga, namun terbatas karena kondisi Informan melihat pengalaman sakit secara positif, yaitu rencana Tuhan yang akan membawanya ke suatu rencana yang lebih indah
Kepasrahan dan Dukungan dari Pemaknaan lingkungan positif atas thalassaemia mendorong informan (pengalaman memaknai Pemaknaan informan pengalaman hidup sakit sebagai Pemaknaan Kepasrahan atas atas thalassaemia secara positif. sebuah rencana positif yang hidup dan sebagai hadiah dan indah Tuhan) dilakukan pemaknaan takdir dari Tuhan mengarahkan positif memunculkan informan untuk thalassaemia kepasrahan atas pasrah dan tetap pengalaman hidup berjuang Kepasrahan atas Informan merasa situasi dan dukungan kesal dan tidak sosial mendorong adil bila dirinya Pengalaman informan memilih dan diperbandingkan negatif karena memaknai hidup dengan orang kondisi sakit secara positif lain yang (Dibanding merasa menurutnya terbebani, memilih sering tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 253 untuk menikmati dan bersyukur atas hidup)
9.
Selama ini (informan) sudah menjalani berbagai proses pengobatan, bagi (informan) makna pengobatan itu apa?
10. Harapan berobat?
Persepsi atas proses terapi (sebagai upaya menjaga kondisi tubuh)
Pemahaman informan atas kondisi memunculkan pesimis dan kepasrahan atas situasi
Pengobatan Adanya harapan sebagai harapan informan untuk terus untuk bertahan hidup hidup
Harapan (perubahan fisik) pesimisme informan
Informan merasa pesimis atas hidup sekaligus berharap akan adanya perubahan fisik yang
mempertimbangk an kondisi sakitnya Kepasrahan atas pengalaman sakit membuat Pemaknaan atas informan pengalaman menerima hidup hidup sebagai rencana yang indah dari Tuhan untuknya. Adanya pemahaman atas pengobatan yang mendorong informan menjalani proses Pemaknaan atas berobat Persepsi pengobatan yang Persepsi (+) pengobatan positif dan pengobatan Penekanan atas sebagai upaya mendorong informan sebagai upaya “jak (hanya), bertahan hidup untuk berobat bertahan hidup ndak lebih ndak demi diri sendiri kurang” ? kepasrahan informan atas pengalaman menjalani pengobatan? Motivasi instrinsik : Kesadaran Harapan Keinginan berobat informan atas Harapan Keinginan untuk untuk diri sendiri. realitas Kesembuhan terbebas dari terapi Informan memiliki Keinginan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 254 terhadap pengobatan
11.
lebih baik berobat.
dengan
Proses pengobatan sebagai suatu keseharian yang monoton
Coba ceritakan pikiran dan perasaan yang dirasakan (biasanya muncul) selama melakukan proses pengobatan hingga saat ini?
Pengalaman (-) proses terapi (Perasaan Adanya pengalaman monoton dan negatif (tidak sakit disuntik) menyenangkan) yang dialami informan saat proses pengobatan Informan merasa Dorongan sangat lelah untuk menjalani proses emosional sebagai terapi penghambat proses terapi Informan (Rasa malas, mengutamakan dorongan emosional capek, bosan) dibandingkan
keinginan untuk terlepas dari kondisi sakit sehingga dirinya bisa mengejar mimpi dan tidak merasa menyusahkan orang lain Selain kepulihan, Harapan informan memiliki (atas kepulihan harapan akan dan berkurangnya berkurangnya kuantitas tranfusi (2 kuantitas kali sebulan menjadi pengobatan) 1 kali sebulan) Ikatan emosioanl untuk dengan orang Dorongan terkasih dan harus sehat demi orang terkasih & dukungan kehadiran orang menjadi (Keinginan untuk terkasih motivasi informan terus sehat berobat dan berkumpul untuk bersama orang (tranfusi) terkasih) Harapan untuk menjadi orang lain muncul karena Keinginan untuk adanya imaginasi menjadi orang informan untuk pada uumnya memperoleh kebebasan melakukan berbagai hal serta kebebasan dari terapi
informan untuk terbebas dari rutinitas terapi yang berkebalikan dengan realita yang dihadapi
Informan merasa kesal dan seringkali menyangkal Penolakan atas (tidak bisa kondisi sakit menerima) fakta atas penyakit thalassaemia yang tidak bisa sembuh Informan merasa jenuh atas rutinitas terapi Kejenuhan dan yang terus kelelahan untuk menerus menjalani terapi dilakukan dan hasil terapi yang tidak dirasakan secara langsung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 255 kewajiban untuk berobat Harapan informan untuk merasakan kehidupan sebagaimana orang pada umumnya
Keinginan menjadi orang pada umumnya Informan merasa sedih dan kecewa dengan (sehat) Dorongan kondisi diri? emosional penghambat Gap antara keinginan proses terapi dan keterbatasan diri Informan mengimaginasikan Keinginan bahwa menjadi orang menjadi orang yang sehat adalah hal pada umumnya yang menyenangkan, (sehat) meski tidak bisa ia lakukan Keinginan untuk Persepsi informan menjadi orang tentang orang pada pada umumnya umumnya = gambaran (sehat) diri ideal? 12.
medis.
Dorongan rasa malas lebih besar dibandingkan kewajiban untuk menjaga kondisi fisik
Ketidaknyamanan yang dirasakan oleh Proses pengobatan Keterbatasan Menurutmu, Kelelahan dan informan karena yang bersifat jangka informan untuk kenapa perasaan- kejenuhan akan ketidakleluasann panjang memberi beraktivitas perasaan itu bisa proses untuk bergerak kejenuhan pada secara bebas muncul (terjadi)? pengobatan menjadi pendorong informan karena desferal munculnya kemalasan untuk
oleh informan
Kemalasan kejenuhan berobat
Kemalasan dan kejenuhan menjalani terapi dan membuat informan tidak melakukan desferal dan tranfusi
Kejenuhan menjalani terapi
Kejenuhan informan atas proses pengobatan yang tidak memberi perubahan atas kondisi
ketidakberdayaan Kepasrahan & kepasrahan informan atas atas situasi sakit pengalaman sakit Penghindaran atas rasa sakit Pengalaman sebagai alasan negatif proses malas dan tidak terapi & pilihan melakukan berobat berdasar desferal kenyamanan Informan
lebih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 256 melakukan desferal
13.
Selama ini, apa yang membuatmu tetap semangat dan bertahan menjalani pengobatan?
Peran dan makna Rasa bersalah ketika keluarga tidak berobat & keinginan informan untuk berobat demi keluarga terhambat oleh dorongan Informan memiliki emosional. Motivasi motivasi instrinsik instrinsik untuk untuk berobat demi kesehatan guna Ikatan emosional Kebutuhan informan berobat (kegemaran aktivitas, mencapai impian dengan ibu jenuh, (keluarga & rasa malas, minuman coke) lebih bersalah) diutamakan dibanding kewajiban dalam proses pengobatan. Informan memandang Informan memiliki alasan keluarga lebih keinginan untuk penting daripada Motivasi Pesimisme terlepas dari kondisi internal karena motif instrinsik dan informan & sakit sehingga dirinya internal sangat harapan ketidakberdayaan bisa mengejar mimpi dipengaruhi oleh informan untuk atas situasi dan tidak merasa internalisasi informan sembuh menyusahkan orang atas ketidakberdayaan lain diri dan situasi Kepercayaan diri Keluarga memiliki arti Kehadiran orang Dorongan untuk dan penting bagi informan terkasih dan harus sehat &
memilih prosedur terapi dengan cara lain (suntik melalui vena) berdasar kenyamanan dan alasan praktis
Kekhawatiran melihat ibu sedih bila sesuatu yang Ikatan emosional buruk terjadi dengan Ibu padanya mendorong informan berobat
Ikatan emosional Informan dengan ibu memiliki harapan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 257 makna pentingnya kehadiran keluarga
dalam menjalani keinginan untuk proses pengobatan. terus sehat sebagai motivasi berobat
kehadiran terkasih motivasi untuk (tranfusi)
orang bahwa dirinya menjadi (Keinginan mampu informan informan untuk membanggakan berobat terus bertahan orang tua selama demi dirinya masih membanggakan ada. ibu) Komitmen dan ikatan emosional dengan ibu membuat informan memiliki semangat dan tekad yang kuat untuk membanggakan orangtua meskipun membutuhkan usaha yang berat bagi informan Motivasi Kepasrahan Kehadiran orang instrinsik informan atas terkasih memberi (terus hidup dan kondisi sakit & informan dukungan adanya tekad rutinitas dan harapan agar Kepasrahan dan pengobatan yang berobat) terus menjalani hidup ketidakberdayaan terus menerus bersama-sama dengan atas situasi membuatnya sungguh-sungguh berobat bukan menjalani proses untuk dirinya terapi medis. sendiri lagi, melainkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 258 keluarga
14. Dengan apa yang sudah kamu ceritakan tadi, Kalau ada level 1-10, kira-kira kamu menilai semangatmu menjalani pengobatan dimana sekarang? Alasan?
kesadaran atas pengabaian proses terapi (Kurangnya semangat menjalani terapi (5))
Informan merasa tidak berdaya atas situasi, tidak bisa berbuat apa- Semangat apa dan memilih menjalani terapi membohongi diri sendiri sacara sadar.
Ketidakhadiran keluarga karena kesibukan kerja membuat informan berjuang lebih Pilihan informan untuk memendam perasaan sakit Ikatan emosional karena situasi dengan ibu yang menekan daripada melihat ibu sedih sebagai bentuk sayang kepada ibu Keputusan informan untuk Informan mengalami memikirkan perubahan cara kondisi saat ini pandang terkait (here & now) semangat berobat mendorong Semangat untuk (dari 5 menjadi 8) informan untuk bertahan bertahan menjalani Keinginan untuk meskipun rasa pengobatan (7) memperbaiki sikap malas tidak malas agar dapat terhindarkan. bertahan demi tercapainya mimpi Keinginan berbanding terbalik dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 259 sikap yang ditunjukkan 15. sejak kapan enggan atau malas berobat? 16.
Menurut (subjek), apa yang membuat itu terjadi?
Ketidakmauan Kelelahan dan Keengganan berobat sejak usia Ketidakmauan berobat kejenuhan Kejenuhan dan Informan mulai berobat sejak remaja (15 tahun) sejak usia remaja (15 – berobat sejak kelelahan untuk masa berobat karena rasa minder remaja (SMP 16 tahun) remaja (SMP menjalani terapi sejak SMA dengan teman sebaya kelas 8) kelas 3) Informan menggunakan informasi sebagai Persepsi informan alasan untuk tentang urgensi melakukan pengabaian terapi yang atas proses pengobatan Pengalaman kurang negatif terapi mendukung Persepsi yang medis mendorong pengabaian atas kondisi diri (kurang mendukung proses pengobatan) Informan merasa Kelelahan jenuh dan tidak informan untuk berdaya atas proses menjalani proses pengobatan (situasi pengobatan yang terus menerus)
Rasa minder dan Adanya perasaan keinginan informan pesimis terkait untuk bergerak lebih pengobatan yang leluasa menjadi dilakukan? alasan tidak Keinginan untuk melakukan desferal terbebas dari Keinginan untuk pengobatan terbebas dari pengobatan Ketidakberdayaan karena kejenuhan atas situasi berobat & tidak adanya Informan mengalami perubahan yang pengalaman tidak dirasakan pengalaman menyenangkan dari penolakan dari teman sebaya, berupa teman sebaya ejekan dan pandangan ketergantungan terhadap obat-obatan adanya kekhawatiran Kecemasan akan akan terjadinya terulangnya pengalaman sama pengalaman (pandangan ditolak ketergantungan obat)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 260
Membohongi diri
Membohongi diri sendiri sebagai orang yang sehat merupakan alasan informan enggan berobat
yang membuat informan malas berobat Rasa minder & penolakan lingkungan mempengaruhi keputusan untuk Dorongan menjalani terapi emosional (malas medis dan minder) Pengalaman sebagai negatif terapi Informan memiliki penghambat kekhawatiran akan proses terapi pandangan orang lain tentang dirinya karena pengalaman informan sebelumnya
Membangun persepsi diri sebagaimana orang sehat sebagai bentuk pembohongan diri
Membohongi diri
Informan tidak rutin desferal karena merasakan pengalaman negatif pemakaian desferal (sakit , berbekas, bengkak)
Informan masih bergantung pada ibu dalam mengingatkan untuk minum obat
Informan merasa dirinya berbeda dari Kesadaran informan Perasaan berbeda orang lain karena Kesadaran atas atas keenganan dengan orang efek penyakit pengabaian Rasa malas dan menjalani pengobatan lain (demam, tranfusi) proses terapi penundaan yang dan persepsi yang membuat teman seringkali mendorong sebaya menyadari dilakukan bahwa dirinya sakit pengabaian atas membuat kondisi diri informan pada akhirnya tidak Denial? minum obat
Ketidakberdayaan Membohongi
diri Kelelahan
dan Rasa
minder
dan Kemalasan
dan Kemalasan
dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 261 atas situasi
sendiri adalah cara informan untuk mempertahankan diri atas situasi yang tidak berubah
dorongan emosional (rasa minder dan malas) sebagai penghambat terapi
Persepsi informan atas tidak adanya perubahan situasi mendorong informan melakukan pembohongan diri Keinginan untuk Ketidakberdayaan menjadi orang atas situasi = Informan pada umumnya mempersepsikan tidak alasan Membohongi diri adanya perubahan Pembohongan tentang kondisi diri berdasar perubahan yang bersifat konkrit (bisa dirasa langsung)
kelelahan menjalani kejenuhan terapi medis berobat mengarahkan informan untuk malas berobat
Informan memiliki harapan yang besar untuk menjadi orang Dorongan normal. emosional Keinginan menjadi sebagai normal dan penghambat pembohongan diri terapi sebagai pribadi yang tidak sakit merupakan alasan pendorong informan tidak minum obat.
Informan melakukan pembohongan diri sebagai orang yang tidak memiliki sakit
Proses pengobatan Kelelahan yang bersifat jangka menjalani Kelelahan dan panjang memberi Pembohongan kejenuhan untuk kejenuhan pada Keinginan untuk diri menjalani terapi informan menjadi orang Nuansa yang kuat pada umumnya atas harapan informan (sehat) untuk terbebas dari terapi medis dan
kejenuhan menjalani terapi membuat informan tidak melakukan desferal dan tranfusi Informan merasa bingung atas sikapnya yang seringkali tidak mau berobat Rasa malas, penghindaran atas sakit, dan perasaan bahwa tidak adanya perubahan yang dirasakan mendorong informan tidak menjalani terapi Tidak mengkonsumsi obat agar tampak seperti orang sehat sebagai bentuk pembohongan diri ?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 262 menjalani kehidupan sebagaimana orang pada umumnya
Keinginan untuk tampak sehat karena tidak menjalani terapi mendorong informan untuk tidak minum obat Kejenuhan untuk Tidak adanya menjalani terapi perubahan atas berobat kondisi dan kejenuhan untuk terapi Ketidakberdayaan memunculkan & keputusasaan keputusasaan
Informan merasa Kelelahan dan jenuh dan tidak kejenuhan untuk berdaya atas situasi menjalani proses yang terus berulang terapi dan tidak bisa ia ubah
Informan menyadari pilihan pribadinya Kesadaran tidak untuk tidak menjalani melakukan terapi terapi medis karena medis karena rasa minder terhadap rasa minder pandangan teman sebaya
Informan secara sadar memilih untuk melakukan pilihan Kegemaran yang yang membuatnya menghambat tidak bisa melakukan (kesadaran proses pengobatan pribadi atas (minum obat) pengabaian minum minuman terapi) bersoda sebelum minum obat kesengajaan melakukan kelalaian
Informan memiliki Pengalaman persepsi tentang negatif karena perngobatan karena proses terapi pengalaman buruk Pembohongan yang dialami dan diri Keinginan untuk mengimaginasikan terbebas dari dirinya dapat pengobatan bertahan tanpa terapi medis
Denial? Kesadaran atas Kesengajaan tidak Pengalaman pengabaian membawa obat negatif terapi proses terapi sebagai bentuk pembohongan diri
Rasa sakit dari suntikan berulang dan bekas suntikan menjadi alasan informan untuk malas tranfusi
Imaginasi sebagai orang sehat bila tidak berobat sebagai pembohongan diri
Informan kesadaran menyadari informan atas kelalaian pribadi kelalaian pribadi yang dilakukan dalam proses dengan melakukan terapi penundaan untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 263 minum obat ataupun desferal sehingga dirinya lupa. Informan memandang dirinya sebagai orang yang kekanakan Keinginan untuk Harapan informan menjadi normal Informan merasa Keinginan untuk menjadi normal bertolak belakang kelelahan dan menjadi orang dengan membohongi dengan tindakan yang bosan dengan Keinginan Kejenuhan dan dirinya sendiri yang seharusnya rutinitas pada umumnya menjadi orang kelelahan untuk bahkan membuatnya dilakukan? pengobatan yang dengan normal menjalani terapi Membohongi diri mengesampingkan terus berulang penilaian orang lain Harapan informan dan tidak atas kondisi dirinya yang kuat untuk berhenti menjadi orang normal Gambaran diri ideal Keterbatasan informan? informan untuk Informan bergerak dan Informan memiliki mengganggap dirinya Keinginan keinginan untuk kelalaian pribadi Membohongi diri tidak sakit sebagai menjadi orang Pengalaman yang seringkali menjadi orang normal sendiri alasan pendorongnya pada umumnya negatif terapi Orang normal : orang menunda untuk tidak menjalani (sehat) yang tidak tranfusi membuat proses pengobatan terapi desferal dan tidak bergantung pada obat & darah tidak dilakukan orang lain Dorongan Informan masih Kesadaran Selain pelupa, rasa Keinginan untuk Gambaran diri emosional (rasa menitikberatkan ada informan tidak malas juga menjadi orang ideal informan ?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 264 malas) penghambat proses terapi Persepsi informan tentang orang pada umumnya Usaha yang kalah dengan rasa malas karena pengalaman negatif yang dirasakan Pentingnya kesadaran pribadi 17.
Apa yang biasanya kamu lakukan jika malas minum obat?
Usaha menjaga kondisi fisik (proses terapi adalah kewajiban)
dorongan emosional terapi karena rasa dalam diri hingga ia malas dan lupa melakukan pengabaian atas proses pengobatan
memegang peran pada umumnya penting dalam (sehat) Informan berlangsungnya suatu memiliki terapi medis keinginan untuk hidup Pelupa menjadi Lupa sebagai sebagaimana Gambaran diri ideal alasan informan pendorong tidak orang pada informan? untuk tidak minum menjalani terapi umumnya obat Kebimbangan informan antara usaha Pengalaman untuk berobat vs negatif dari Informan merasa pengalaman negatif teman sebaya khawatir pengalaman proses pengobatan terkait buruk terjadi lagi (rasa sakit) yang ketergantungan karena bergantung mengarah pada informan pada pada orang lain kemalasan untuk orang lain berobat Informan Usaha informan Sikap pasif informan memiliki inisiatif Dorongan membangun persepsi dalam megatasi untuk emosional positif tentang proses kondisi diri yang meningkatkan (malas) sebagai pengobatan akhirnya malas minum obat Usaha untuk perilaku minum penghambat tidak bersifat efektif menjaga kondisi obat dengan Terapi karena masih Selain malas, fisik membuat alarm bergantung pada informan tidak sebagai reminder. (Sikap pasif dorongan emosional minum obat karena (Reminder alarm informan & dalam diri pelupa dan Reminder pelupa sebagai ketidakefektifan menjadi tidak faktor tidak Cara pandang yang Ketidakleluasaan usaha) efektif karena menjalani terapi konstruktif tapi bergerak menjadi usaha informan medis (minum sayangnya tidak alasan tidak desferal masih kalah obat)) efektif dengan kelelahan akibat aktivitas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 265 dan dorongan emosional seperti rasa malas serta penundaan
18. Rasa bersalah pada ibu ikatan emosional sebagai faktor dengan ibu pendorong proses (rasa bersalah) berobat
Bisa kamu ceritakan hal-hal yang mampu mendorongmu berobat teratur?
Peran romantis
Kehadiran relasi romantis (pasangan) relasi memberi informan kebahagiaan & keberartian
Peran romantis
Ikatan dan kedekatan emosional dengan pasangan berpengaruh relasi terhadap usaha informan untuk menjalani proses berobat.
Motivasi pribadi Berobat untuk diri berobat sendiri Kepercayaan dari orangtua dan Pentingnya kebebasan untuk kepercayaan dan memilih hal yang kebebasan dari disukai menjadi orangtua motivasi informan untuk berobat Informan menginginkan adanya kebebasan, khususnya segala hal yang Harapan berkaitan dengan informan untuk dirinya, demi memperoleh mendukung informan kebebasan untuk rajin minum terhadap batasan obat.
Pentingnya menjaga suasana Pengaruh suasana hati yang positif hati dalam proses demi terapi meningkatkan berjalannya proses terapi
Kemarahan ibu dan keterikatan emosional yang kuat Kemarahan ibu (kekhawatiran dan ikatan akan membuat emosional dengan ibu sedih dan ibu adanya konflik dengan ibu) mendorong Pentingnya suasana informan untuk hati yang gembira melakukan terapi bagi informan Kebebasan membuat Informan informan merasa mengharapkan Arti penting bermakna dan Harapan akan adanya inovasi kebebasan dalam bahagia atas hidupnya adanya inovasi pada terapi oral hidup informan atas terapi oral (ada varian rasa Kebebasan pada obat) untuk meningkatkan meningkatkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 266
Keberartian hidup?
Peran romantis
Informan melihat relasi romantis sebagai hal yang baru dan berbeda serta mendukung proses pengobatan dibanding relasi keluarga. (Kebaruan cara menjadi sesuatu yang penting bagi perubahan persepsi informan tentang proses pengobatan) Informan menyadari hal penting yang mampu mendorong proses pengobatan
Pentingnya kesadaran pribadi
Informan menyadari bahwa perubahan sikap terkait pengobatan hanya bisa terjadi atas kehendak diri sepenuhnya. Informan menyadari Kesadaran akan bah wa perubahan pentingnya sikap terkait kemauan pribadi pengobatan hanya bisa untuk berobat terjadi atas kehendak diri sepenuhnya.
perilaku berobat karena informan merasa bahagia Suasana hati yang negatif (badmood) akan membuat informan malas Pengaruh menjalani terapi Harapan adanya suasana hati medis. perhatian dari dalam terapi teman sebaya medis Pentingnya menjaga suasana hati yang positif agar informan mau minum obat dan desferal Bagi informan, dukungan terbesar dari orang tua adalah kepercayaan akan Pentingnya suasana hati dan kemampuan dirinya kepercayaan serta izin untuk orang tua bagi melakukan berbagai hal yang disukai informan Peran relasi romantis Hal itu dapat membuatnya bahagia Kesadaran informan Peran keluarga untuk menjalani dan terapi masih belum suasana hati terlepas dari peran dalam terapi ibu medis
semangat berobat
Informan memiliki keinginan untuk mendapat perhatian dari teman sebaya
Kehadiran pasangan akan membuat informan merasa lebih berarti dan dibutuhkan dibandingkan kehadiran keluarga yang setiap hari bertemu Harapan atas kehadiran orang terdekat selain keluarga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 267
Informan menitikberatkan pada Pentingnya perasaan senang yang suasana hati hadir dari kehadiran (senang) untuk orang terkasih sebagai minum obat motivasi menjalani proses pengobatan.
Suasana hati gembira penting untuk mendorong informan menjalani terapi Pilihan pribadi dan support lingkungan memiliki peran Motivasi penting dalam instrinsik dan mendukung dukungan sosial berjalannya proses pengobatan (terapi medis) Kehadiran pasangan dan penerimaan lingkungan terhadap diri informan Peran relasi membuatnya merasa romantis berarti dan bermakna (pasangan) hingga informan memiliki keinginan untuk terus hidup dan melakukan pengobatan Informan menginginkan adanya kebebasan, khususnya segala hal yang Pentingnya berkaitan dengan kepercayaan dan dirinya, demi kebebasan mendukung informan untuk rajin minum obat.
Tidak pacar
punya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 268 Pentingnya suasana hati yang gembira bagi informan Interaksi dan kehadiran teman Pengaruh sebaya membuat kehadiran teman informan merasa bagi suasana hati bermakna Ikatan dan Kebermaknaan atas hidup hadir dari rasa dukungan dengan orang senang atas hal-hal yang disukai yang terkasih mendorong informan untuk terus berobat Penerimaan pasangan terhadap kondisi informan
Peran romantis
Peran romantis
Informan merasa pasangannya mampu relasi mendukung dan menerima dirinya apa adanya. Informan sosok sebagai system Kehadiran relasi yang mendukung menerima
memiliki pasangan support pasangan selalu dan informan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 269 apa adanya membuat informan merasa berarti. Hal ini memberinya motivasi untuk menjalani terapi medis. 19.
Pentingnya kesadaran pribadi (keterbatasan peran eksternal)
Seandainya ada orang lain yang bisa membantumu, kira-kira hal apa yang bisa orang lain lakukan untuk mendorongmu menjalani pengobatan (minum obat)?
Peran pengaruh eksternal cenderung minim bagi informan, kecuali figur yang Kehadiran teman dipandang informan sebaya sebagai Ikatan emosional punya otoritas & dukungan sosial dengan ibu punya ikatan emosional dengan Peran keluarga dirinya
Ketidakefektifan reward
Informan merasa dukungan bentuk hadiah material tidaklah efektif.
Dukungan dari orangtua berupa Informan memiliki reward sahabat yang hadir reward sebagai mendorong sebagai support pendorong terapi informan untuk system melakukan terapi desferal Faktor eksternal tidak berpengaruh (tidak efektif) bagi informan untuk mendorong proses berobat
Peran ibu
Kebingungan informan untuk mengatasi/menemukan dukungan efektif
Peran Ibu
Peran ibu dalam Ketidakefektifan mengatur semua reward sebagai Dominansi proses terapi-- nurut motivasi dalam dorongan terapi emosional (rasa malas) dan penghindaran atas rasa sakit membuat reward tidak berhasil dilakukan Kesadaran informan Support dari Adanya support
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 270 untuk menjalani teman sebaya terapi masih belum (dukungan sosial) terlepas dari peran ibu Harapan adanya relasi yang dekat Ketidakinginan untuk bergantung dengan orang lain
Pentingnya kebebasan dan kepercayaan Kepercayaan orang orangtua bagi tua akan mendorong informan berajalannya proses terapi 20.
Bagaimana peran atau apa saja yang dilakukan oleh keluarga, terkait kondisimu dengan penyakit thalassaemia? (Kedekatan dengan keluarga atau orang terdekat)
Informan memiliki relasi yang dekat Kurangnya dengan mayoritas kehadiran ayah & keluarga, kecuali ayah memiliki harapan untuk Informan ayah harapan atas kehadiran ayah dalam proses pengobatan
dari teman sebaya membuat informan merasa senang dan diperhatikan Harapan adanya relasi yang dekat dan perhatian dari teman sebaya
Ibu memegang peran penting dalam proses berobat Ibu memiliki Peran dan makna penting keluarga pengambilan keputusan (Peran ibu dalam pelaksanaan proses terapi) medis
Peran & makna Informan melihat keluarga adanya perubahan sikap orang tua dalam Peran ibu (Perbedaan sikap proses pengobatan orang tua dulu yang dulunya merawat dan sekarang) dalam bentuk
peran dalam Peran & makna keluarga terkait (Peran ibu dalam terapi proses berobat)
Sikap pasif informan dalam menjaga kondisi fisik Ketergantungan informan pada ibu untuk selalu mengingatkan Perasaan kecewa dan sedih atas sikap ayah
Ibu memiliki peran penting dalam hidup Ketidakdekatan informan terutama emosional dengan untuk mengantar ayah jemput Informan memilki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 271 tindakan, menjadi sekedar mengingatkan Penyampaian kehilangan, perubahan peran yang dirasakan informan?
pengalaman negatif dengan ayah secara fisik dan emosional
rasa atas ibu oleh
Pandangan ayah tentang informan memunculkan konsep diri negatif pada informan. Perasaan sedih informan karena merasa dirinya tidak berarti dan menyusahkan keluarga Ketidakhadiran ayah sebagai support system
Rasa syukur dan hutang budi (terima kasih) atas segala dukungan finansial Peran & makna maupun emosional hal keluarga yang diberi keluarga menjadi alasan dalam menjalani proses pengobatan. Ikatan emosional Ketidakhadiran dengan ibu (perubahan) peran ibu
(Kurangnya kehadiran keluarga)
Takut dimarahi Peran & makna oleh ibu bila Kurangnya kehadiran keluarga tidak berobat keluarga bagi Perasaan mendorong informan (peran ibu dalam kesepian dan informan untuk terapi) kesendirian minum obat informan Peran & makna Ibu berperan dalam Pengalaman Informan keluarga meningkatkan negatif karena memiliki
rasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 272 (Pengaruh ketidakhadiran figur ibu)
21.
Adakah batasan-
meningkatkan (peran ibu dalam perilaku minum obat kondisi fisik & sayang yang kesadaran personal— terapi medis dan desferal ikatan emosional besar dengan ibu merasa bersalah (minum obat dan dengan ibu desferal) Ibu memiliki arti penting bagi informan terutama dalam memberi suppport emosional dan menguatkan informan dalam setiap kondisi Informan Informan merasa merasakan Kurangnya kurangnya kehadiran adanya kehadiran Peran dan makna kehadiran dan perhatian keluarga dalam proses keluarga keluarga berobat dan mencoba saudara dan memahami nenek dalam proses berobat Kehadiran keluarga, khususnya ayah bagi informan dianggap mampu mendorong Rasa sedih dan motivasi berobat dan kekhawatiran Harapan akan Ikatan memberi kenyamanan akan adanya kehadiran emosioanal selama proses berobat. penolakan dari keluarga dengan ibu orang terkasih Pentingnya support (ibu) lingkungan bagi informan selama proses pengobatan Batasan orang tua Ketidakpatuhan Batasan orang Informan merasa Batasan dari Batasan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 273 batasan tertentu yang kamu atau keluargamu berikan untuk dirimu sendiri terkait penyakit thalassaemia?
(menjaga kondisi informan atas batasan tua (ruang gerak) fisik ) mengarah pada pengabaian kondisi fisik
ruang geraknya orangtua terbatasi karena batasan orangtua. Ibu memiliki peran dalam menentukan ruang gerak informan yang cukup membuat dirinya merasa terbatasi Informan memiliki keinginan untuk mencapai cita-cita tetapi merasakan adanya batasan yang datang dari orang tua
Adanya pandangan yang berbeda dari informan dan Batasan orang tua Sikap terhadap orangtua terkait batasan kondisi sakit (Kesulitan untuk mengeksplorasi informan Batasan orangtua berbagai hal) Informan melihat dirinya memiliki kepercayaan diri untuk meraih mimpi, sedangkan orangtua membatasi eksplorasi anak Kecemasan orangtua
diberikan orangtua berupa upaya untuk menjaga kondisi fisik informan agar tidak memburuk (drop)
Kekhawatiran orangtua akan kondisi fisik informan membuat informan sulit mengeksplorasi pengalaman atas hal baru
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 274 akan kondisi anak akhirnya menutupi orangtua untuk melihat keinginan dan potensi yang sesungguhnya dimiliki anak. Kekhawatiran orangtua untuk Inpian melepas informan (Keinginan membuat dirinya mencapai mimpi tidak bisa mencapai dan batasan ortu) mimpi
Berbagai macam aturan membuat informan terbatasi dan merasa tidak nyaman karena bergantung dengan Batasa orangtua orang lain bila harus dan ditemani selalu ketidaknyamanan kemana-mana
22.
Apa yang kamu rasakan terkait hal itu (membantu atau
Informan memiliki pandangan adanya perbedaan sikap dari orangtua Sikap tidak patuh Sikap terhadap Meski seringkali Sikap terhadap terhadap batasan ortu batasan membangkang, batasan karena merasa (Sikap melawan informan tetap (tidak patuh) kesepian di rumah? pada batasan & memahami alasan
Informan merasa tidak suka dan menginginkan Keinginan untuk kebebasan untuk diperhatikan terlepas dari kekangan Batasan dari orang tua Adanya keinginan untuk diperhatikan oleh ayah
Sikap terhadap batasan (Penerimaan informan atas
Informan memandang batasan yang diberikan secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 275 justru menghambat)? Bagaimana kamu menghadapinya (Respon)?
patuh karena sikap ibu terpaksa) menurut terpaksa
Sikap terhadap batasan (Pandangan yang kontradiktif)
Harapan (perubahan persepsi dari orang tua tentang diri)
Sikap terhadap batasan (Ketidaknyaman informan atas perlakuan terhadap diri)
positif, yakni bentuk sayang dan perhatian orang tua terhadap dirinya Ketidaknyamanan Informan informan atas memiliki Pandangan informan perlakukan orangtua Sikap terhadap keinginan untuk yang kontradiktif yang batasan terbebas dari Keinginan tentang batasan, memperlakukannya (Keinginan batasan dan informan untuk membantu sekaligus seperti anak kecil informan untuk mendapat bebas menghambatnya untuk terbebas dari perlakuan yang beraktivitas Keinginan informan batasan) sama meskipun untuk bebas sakit (karena ia melakukan apapun sadar batasan) Informan menginginkan adanya perubahan Ketidaknyamanan Usaha informan Keinginan kepercayaan yang informan atas sikap untuk informan untuk diberikan orang tua orangtua yang mengabaikan mandiri dan tidak atas kemampuan memperlakukan (melampaui) bergantung pada personal khususnya dirinya sebagai anak batasan demi orang lain dalam mengurus diri. kecil mengeksplorasi Sikap terhadap batasan hal baru Informan mengungkapkan ketidaknyamanannya atas perlakuan yang diberikan keluarga padanya. Meskipun ia bersyukur, namun di satu sisi merasa
dan batasan) meski
Meski informan Sikap terhadap merasa tidak nyaman batasan dengan batasan yang diberikan orangtua, Keinginan informan mencoba informan untuk memahami alasan mandiri dan tidak orangtua bergantung pada
Keinginan lebih untuk melampaui batasan dan mengeksplorasi hal baru
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 276 terganggu dan orang lain terbatasi aktivitasnya.
Berbagai usaha yang dilakukan informan menunjukkan sikap informan yang pantang menyerah dan tekad kuat untuk hidup mandiri Informan menunjukkan adanya usaha untuk melampaui batasan demi hidup mandiri dan tidak lagi merepotkan orangtua mengingat usia saat ini
Informan memiliki keinginan untuk menjalin relasi yang lebih luas dengan orang lain demi pengembangan diri Informan memandang Sikap terhadap batasan orangtua batasan sebagai suatu hambatan keinginan informan untuk mandiri dan Keinginan informan tidak merepotkan untuk tidak orang lain merepotkan orang
Informan memandang batasan orangtua sebagai suatu hambatan
Keinginan informan untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 277 lain, terutama orang tua Adanya keinginan informan untuk mandiri dan tidak lagi merepotkan orangtua Keinginan untuk yang tidak berhasil oleh hidup mandiri dipahami dan tidak orangtuanya, begitu pula dengan penderita merepotkan thalassaemia lain orang tua Perhatian dan kasih informan untuk orangtua? Informan merasa tidak nyaman bila harus merepotkan Keinginan untuk orang lain karena mandiri dan tidak kondisinya, meskipun merepotkan sahabat dekatnya orang lain sekalipun (Perasaan tidak nyaman bila Informan memiliki merepotkan sahabat dekat yang orang lain) hadir membantu dan memberi dukungan sosial Informan merasa Pengalaman khawatir pengalaman negatif dari buruk terjadi lagi teman sebaya karena bergantung pada orang lain
tidak merepotkan orang lain, terutama orang tua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 278 Keinginan untuk Kebulatan tekad mandiri dan tidak informan untuk tidak merepotkan lagi bergantung pada orang lain orang lain Informan merasa sedih dan tidak dimengerti oleh Sikap terhadap orangtua terkait batasan keinginan terbesarnya yang tidak ingin bergantung pada orang lain. 23.
Ada orang tua, sahabat, keluarga, pacar, menurut (Informan), kehadiran mereka seberapa besar dalam hidupmu sejauh ini?
Pandangan informan terkait pentingnya (Dukungan dukungan sosial dalam Kurangnya sosial) proses pengobatan kehadiran Peran andil yang keluarga dalam besar dari orang Pentingnya kehadiran proses terdekat (10) orang yang berarti pengobatan (terdekat) Sebagai support system Informan menitikberatkan pada Pentingnya dukungan eksternal kehadiran orang yang mendorong terdekat perasaan senang pengaruh suasana sebagai motivasi hati menjalani proses pengobatan.
Informan menyadari kurangnya kehadiran keluarga dalam proses berobat, selain sosok ibu
Ketidakhadiran ayah dalam memberi suppport emosional
Adanya kehadiran keluarga dalam Peran dan makna proses keluarga sejauh pengobatan (8-9) terutama ibu Keluarga dan orang (nilai 8 hingga 9) terkasih dalam Pentingnya hidupnya memiliki kehadiran orang Informan arti penting bagi terkasih dalam menyadari informan untuk proses berobat adanya berjuang menjalani (10) perbedaan sikap pengobatan antara ayah dan ibu dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 279 memberikan perhatian padanya Informan berharap keluarga dapat selalu hadir untuknya dalam setiap kondisi
24.
Kalau harapanmu, pengennya berapa besar mereka bisa hadir untukmu?
25.
Adakah impianimpian yang ingin dicapai dalam hidup?
Keluarga khususnya ibu memiliki arti penting bagi informan Peran dan makna dalam merawat dan keluarga (8) Peran dan makna Pentingnya keluarga berjuang menjaga Peran dan makna keluarga bagi informan dalam dirinya keluarga Ikatan ( kehadiran :10) proses pengobatan (10) emosioanal Kebermaknaan Adanya ikatan informan untuk dengan ibu emosional yang kuat bertahan demi antara informan menjalani hidup dengan ibu. bersama-sama dengan keluarga Kehadiran keluarga, khususnya ayah bagi Harapan (8) Informan informan dianggap Pandangan informan Peran kehadiran memiliki mampu mendorong terkait pentingnya Harapan akan orang terdekat Harapan keinginan untuk motivasi berobat dan dukungan sosial serta adanya kehadiran menjalin relasi memberi kenyamanan dalam proses berobat keluarga dalam penekanan (Keinginan untuk sosial dengan selama proses berobat. yang juga tidak tanggung jawab proses menjalin relasi harapan adanya terlepas dari usaha pengobatan pribadi atas sosial yang luas) dukungan sosial Pentingnya support pribadi untuk tetap kondisi sakit dari relasi yang lingkungan bagi berjuang (motivasi terjalin informan selama instrinsik) proses pengobatan Selain Mo-Ge, musik Pengaruh Kepasrahan informan Pengaruh Keputusasaan penting bagi informan penyakit terhadap kondisi sakit penyakit terhadap untuk meraih Impian informan sebagai sarana katarsis terhadap diri yang menghambatnya diri informan mimpi karena dan impian bagi diri informan mencapai impian keterbatasan fisik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 280 (sesuatu yang ingin (kesenjangan dicapai) impian dan keterbatasan diri) Adanya bayangan diri di masa depan
Pengaruh penyakit terhadap Kepasrahan informan atas kondisi fisik yang diri informan menghambat tercapainya impian. (Kesenjangan antara harapan dan keterbatasan diri)
Informan merasa pesimis untuk mencapai mimpi Kepesimisan karena skill & batasan meraih cita-cita— dari orangtua terkait batasan ortu kondisi sakitnya Meskipun
demi
Impian yang dimiliki bertentangan dengan kondisi fisik informan (tidak boleh kelelahan) Batasan yang diberikan orangtua mengacu pada kekhawatiran terhadap kondisi fisik informan
Kepasrahan atas Batasan dari ketidakmungkinan orangtua mencapai mimpi. menghambat mimpi Meskipun demi kebaikan informan, batasan yang diberikan orangtua membatasi informan untuk berkembang dan mengeksplorasi hal yang ia sukai Impian Informan merasa (Keinginan untuk bersalah karena membahagiakan belum bisa orang tua) membahagiakan orang tua dan sering Ikatan emosional mengecewakan orang dengan ibu tua karena sikapnya yang tidak penurut
Informan melakukan kompromi atas impian yang ingin dicapai karena kondisi fisik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 281 kebaikan informan, batasan yang diberikan orangtua membatasi informan untuk berkembang dan mengeksplorasi hal yang ia sukai Sikap terhadap Ketidakmampuan Kepasrahan informan batasan informan untuk atas kondisi sakit dan (ketidaknyaman mengeksplorasi hal Kepasrahan atas batasan orang tua informan atas yang ia sukai karena mimpi dan yang menghambat perlakuan keterbatasannya serta batasan orang tua informan mencapai terhadap diri) ketidaknyaman atas impian perlakuan diri 26. Keinginan untuk Selain tidak ingin mandiri dan tidak merepotkan orang merepotkan lain, informan merasa lain Karena kondisinya orang malu bila harus terus yang sakit, informan (Kekhaawatiran bergantung pada melihat dirinya pandangan orang lain di usianya Bagaimana Citra diri sebagai pribadi yang negatif tentang yang ke 20 tahun. informan melihat (keras kepala dan manja, sangat diri) dirinya saat ini? manja) disayang keluarga, dan Keinginan bahwa keras kepala (tidak Citra diri proses pengobatan menurut ketika harus (Orang yang tidak menghambat terapi medis). terus berjuang kemauan serta dan sadar atas keinginan untuk tidak kondisi sakit) bergantung pada orang lain 27. Kamu pernah Gambaran Informan memiliki Kesadaran untuk Informan memahami (mengalami) ada mengenai kesiapan dan lebih risiko terburuk dari seorang sahabat kematian memahami risiko memperhatikan kondisi sakit yang yang juga punya terburuk dari kondisi diri dihadapi dan bersikap
Citra diri (pribadi sekaligus tangguh)
Pandangan terhadap kemampuan diri lemah untuk mengatasi kelemahan yang dimiliki Positif?
kesadaran informan untuk lebih memperhatikan
Kepergian rekan senasib membuat informan sedih sekaligus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 282 penyakit yang sama, dan sudah meninggalkan kita terlebih dahulu? Kalau boleh tahu, bagaimana responmu saat mendengar hal tersebut?
(Kesiapan: semua yang dihadapi orang pasti akan Gambaran meninggal suatu Keterikatan emosional mengenai saat) dengan teman senasib kematian membentuk persepsi atas kematian yang tidak terelakkan
pasrah atas hidupnya
diri
Perjumpaan informan Gambaran dengan kematian mengenai teman senasib kematian menyadarkan informan untuk lebih bertanggung jawab atas kondisi fisik
menyadarnya untuk lebih menjaga kondisi fisik
Keterikatan emosional dengan teman senasib membentuk persepsi atas kematian yang tidak terelakkan
Gambaran mengenai kematian
Gambaran mengenai kematian (Kesiapan: kematian itu pasti ada, lebih Informan memiliki takut Tuhan dan kesiapan dan orangtua) memahami risiko terburuk dari kondisi yang dihadapi Ikatan emosional dengan ibu Gambaran mengenai kematian
Melihat realita yang ada, informan memiliki pandangan yang optimis terhadap harapan hidupnya Informan Gambaran mendapatkan mengenai kasih sayang kematian yang besar dari (kekhawitiran keluarga, orang terkasih terutama ibu. Ikatan emosional yang ditinggalkan) ini membuat informan
Informan memiliki kesiapan dan memahami bahwa Keoptimisan risiko kematian pada menjalani hidup akhirnya akan dihadapi semua orang Informan merasakan adanya ikatan emosional yang kuat dengan orang terkasih(kekhawatiran bila ia harus pergi) serta adanya penerimaan informan atas kemungkinan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 283 terburuk dari kondisi sakit
28.
Harapan yang dimiliki informan berkaitan dengan keinginan terjadinya perubahan Kalau aku atas kondisi sakit Aladin dan aku (tidak adanyanya bisa penyakit thalassaemia mengabulkan Harapan atas & adanya obat yang tiga adanya obat yang menyembuhkan) yang permintaanmu, juga terikat secara menyembuhkan selain & ketiadaan emosional dengan Harapan permintaan akan penyakit lingkungan sosialnya (Keinginan untuk kesembuhan menjalani penyakit (karena (permintaan atas pengobatan mungkin di kesembuhan semua secara teratur Negeri Aladin penderita dan tidak tanpa rasa malas) juga belum bisa ada lagi orang lain menyembuhkan), yang menderita karena hal apa yang thalassaemia) akan kamu minta terkait penyakit Harapan atas mu atau proses penyakit & Keterikatan emosional pengobatan proses terapi dengan lingkungan (kesembuhan sosial (teman senasib) semua penderita thalassaemia)
Informan mengharapkan adanya perubahan sikapnya atas proses terapi medis dan adanya perubahan persepsi orangtua terkait kondisi sakit sebagai harapan yang ingin dikabulkan informan
khawatir bila harus meninggalkan mereka lebih dulu.
Informan mengharapkan Harapan akan adanya inovasi adanya inovasi pada terapi oral atas terapi oral (ada varian rasa pada obat) untuk meningkatkan semangat berobat
Kepulihan dan harapan atas berkurangnya kuantitas terapi (tranfusi dan dosis terapi oral)
Selain kepulihan atas penyakit, informan berharap akan berkurangnya kuantitas tranfusi dan obat