BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka yang Relevan Kepustakaan yang relevan atau sering juga disebut tinjauan pustaka ialah salah satu cara untuk mendapatkan referensi yang lebih tepat dan sempurna tentang informasi/data yang ingin kita teliti. Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, dan pendapat (sesudah menyelidiki atau mempelajari). Sedangkan pustaka adalah kitab, buku, primbon (Alwi dkk, 2003 :912). Memudahkan referensi pendukung, teori dan konsep yang berhubungan dengan tulisan ini, yang dapat dijadikan sebagai bahan acuan pedoman penulis terlebih
dahulu
melakukan
tinjauan
kepustakaan
yang
berguna
untuk
memudahkan penulis dalam mencari data-data tambahan yang berhubungan dengan judul yakni : Tinjauan Pragmatik pada Upacara Mangupa Masyarakat Tapanuli Selatan oleh Asrul Siregar. didalam buku tersebut dikatakan bahwa dalam upacara Mangupa, hal yang paling sering disebut-sebut adalah tondi. Tondi adalah kekuatan, tenaga, semangat jiwa (soul force) yang memelihara ketegaran rohani dan jasmani agar tetap seimbang dan kukuh, keras dan menjaga harmoni kehidupan setiap individu (Harahap, 1991 :226). Tenaga spiritual yang gaib itu dapat dipancarkan kepada orang lain dalam arti mengayomi dan membahagiakan orang lain. Tondi merupakan roh yang berdiri sendiri. dalam keadaan tidak sadar, tondi seseorang berada di luar badan dan jiwanya. Ketika seseorang sedang tidur, misalnya tondi dapat mengembara sesukanya dan bahkan mungkin juga bertemu dan bergabung dengan begu ‘roh jahat’. Pengalaman tondi yang mengembara ketika seseorang sedang tidur nyenyak adalah mimpi bagi orang itu. Mimpi dapat
Universitas Sumatera Utara
ditafsirkan maknanya. Itulah sebabnya bila seseorang akan melakukan suatu perbuatan yang sangat penting, dia meminta agar tondi-nya pergi berkonsultasi dengan roh-roh leluhur untuk mendapatkan petunjuk apakah pekerjaan yang akan ia lakukan pantas untuk dilakukan. Misalnya dengan membaca mantra, menyediakan ramuan tertentu. jika tondi meninggalkan badan, maka orang itu akan sakit, begitu juga bila meninggal dunia, tondi-nya pun akan meninggalkan badannya berubah menjadi tondi ni na mate ‘tondi orang mati’ yang disebut sahala atau simangot atau roh leluhur. dalam keadaan ketakutan yang mendadak, tondi dapat juga meninggalkan badan. Misalnya, seseorang diserang dengan mencacungkan parang ke wajahnya. Orang itu langsung terperanjat. Agar tondi tetap tenang, kuat dan tegar senantiasa di dalam badan, maka di adakanlah berbagai macam upacara mangupa. Upacara mangupa dimaksudkan untuk mengembalikan tondi ke badan atau agar tondi yang ada di badan tetap kuat dan tegar. Latar belakang pelaksanaan mangupa dapat terjadi karena seseorang lolos dari mara bahaya atau rasa syukur atas keberuntungan. Bila seseorang lolos dari mara bahaya atau baik dari sakit, upacara mangupa disebut mangupa mulak tondi tu badan, sedangkan mangupa karena keberuntungan dilakukan karena keberuntungan itu sendiri mengandung mara bahaya juga. Selain itu penulis juga menambahkan referensi yang ditulis oleh Parlaungan Ritonga “ Makna Simbolik dalam Upacara Mangupa Masyarakat Angkola-Sipirok di Tapanuli Selatan”. Pengertian mangupa ialah mempersembahkan dengan cara tertentu sesuatu yang disebut upa-upa kepada orang atau orang-orang tertentu melalui suatu upacara dengan tujuan agar orang atau orang-orang yang dipersembahi upa-upa itu memperoleh berbagai keselamatan.
Universitas Sumatera Utara
Selain buku-buku penulis juga menambahkan referensi dari internet. ada banyak makna yang terkandung dalam mangupa selain fungsi paulak tondi tu badan (memanggil tondi ke badan), upacara mangupa juga memiliki fungsi nasehat, doa dan harapan.
2.2 Teori Yang Digunakan 2.2.1 Teori Semiotika Semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu semion yang berarti“tanda”. Perkembangan semiotika modern, muncul dua ahli yang menjadi pelopor, yaitu Ferdinand de Sauusure dan Charles Sanders Pierce. Menurut Ferdinand de Saussure semiotika adalah cabang ilmu tanda. Ferdinand de Saussure mengembangkan dasar-dasar teori lingusitik umum dan mengatakan bahwa bahasa sebagai sistem tanda, masing-masing terdiri atas dua sisi, yaitu signifian (penanda atau sesuatu yang dapat dipersepsi sebagai tanda) dan signifie (petanda atau isi atau makna tanda itu).
Pierce (dalam Zoest, 1992: 1) “Mengusulkan kata semiotika sebagai sinonim kata logika. Menurut Pierce, logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran itu, menurut hipotesis teori Pierce yang mendasar dilakukan melalui tandatanda. Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Dengan mengembangkan teori semiotika, Pierce memusatkan pada fungsinya tanda pada umumnya”.
Lebih jelasnya untuk mempermudah mengkaji sebuah tanda yang ada didalam masyarakat Pierce ( dalam Sobur, 2003:42) membagi tanda atas tiga bagian yaitu ikon, indeks, simbol. Ikon adalah hubungan antara tanda dan
Universitas Sumatera Utara
acuannya berupa hubungan kemiripan. Misalnya, sebuah peta geografis dengan sebuah potret. Indeks adalah hubungan tanda dengan acuannya karena adanya hubungan sebab akibat. Misalnya, asap berarti api karena api umumnya penyebab asap. Simbol adalah hubungan antara tanda dan konsepnya bersifat arbitrer dan konvensional. Misalnya, anggukan kepala yang menandakan persetujuan dan tanda kebahasaan. Dua pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa Pierce memandang semiotika sebagai tanda pada umumnya dan segala sesuatu bisa menjadi tanda. Saussure juga memandang semiotika sebagai sistem tanda yang utama. Sesuai dengan hipotesis bahwa semiotika meengkaji semua proses kebudayaan sebagai proses komunikasi serta merupakan suatu studi yang mempelajari tentang tanda dan lambang yang mempunyai makna sesuai dengan pemahaman si pengirim dan si penerima. Penelitian ini lebih menitikberatkan kepada semiotika komunikasi. Ferdinand de Saussure berpendapat semiotika komunikasi adalah tanda sebagai bagian dari proses komunikasi. Artinya, dikatakan tanda adalah apabila seorang pengirim menyampaikan sesuatu maksud dengan menggunakan kode atau benda kepada penerima dan penerima mengerti apa yang disampaikan oleh pengirim. Oleh karena itu, setiap tanda memberi makna atau informasi apa saja yang terkandung di dalamnya. 2.2.2 Teori Makna Ferdinan de Saussure mengatakan bahwa tanda memiliki dua entitas yaitu signifier dan signified’ atau ‘tanda dan makna’ atau ‘penanda dan tanda’. Keduanya saling berkaitan satu sama lain. Kombinasi keduanya dalam semiotika
Universitas Sumatera Utara
disebut tanda. Istilah tanda dapat pula diidentikkan dengan bentuk yang mempunyai makna. Makna
merupakan
hubungan
antara
penanda-penanda
dan
objeknya.Makna sangat berperan dalam suatu tanda karena suatu tanda mengandung makna dan informasi. 2.2.3 Teori Fungsi Fungsi menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1991 :19) ada tiga yaitu : 1. Sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencermin angan-angan kolektif. 2. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. 3. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
Menurut Koentjaraningrat (dalam Danandjaja, 1991:76) mengatakan: “Fungsi yang paling menonjol dalah sebagai penebal emosi keagamann dan kepercayaan. Hal ini disebabkan manusia yakin akan adanya mahlukmahluk gaib yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya dan yang berasal dari jiwa orang mati, atau manusia yakin adanya dengan gejalagejala yang tidak dapat diterangkan dan dikuasai oleh akalnya, atau manusia percaya akan adanya suatu kekuatan sakti dalam alam, atau manusia mendapat suatu firman dari Tuhan, atau semua sebab tersebut diatas. Fungsi-fungsi ini berkaitan dengan makna dan tanda yang ada dalam upacara mangupa tersebut. Tanda-tanda ini merupakan suatu bentuk pencerminan angan-angan masyarakat Ankgola. Mereka menciptakan fungsi setiap tanda itu berdasarkan aturan-aturan yang ada pada kebudayaan mereka. Mereka mematuhi adat sesuai dengan ciri khas mereka sendiri dan menjaganya agar dapat diwariskan secara turun temurun.
Universitas Sumatera Utara
Seperti pendapat dari Admansyah(1994:53), “Adat itu merupakan ketentuan hukum sehingga merupakan norma-norma sesuai dengan ciri khas dari suatu suku atau tiap suku atau bangsa akan memupuknya menurut falsafah daerah atau negerinya masing-masing. Dengan demikian berarti generasi demi generasi akan mewarisinya sebagai pusaka yang diamanahkan oleh para leluhurnya dahulu yang harus diteruskan turun temurun secara sadar dan penuh tanggung jawab”.
Universitas Sumatera Utara