BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat, setelah menyelidiki atau mempelajari (KBBI, 2003:912). Pustaka adalah kitab-kitab, buku, buku primbon (KBBI, 2003:912). Dalam skripsi sarjana ini, yang dimaksud tinjauan pustaka adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat setelah menyelidiki atau mempelajari pokok masalah seperti atau yang dekat secara tematik maupun keilmuan dengan yang penulis lakukan ini oleh para penulis terdahulu, baik berupa skripsi sarjana dan makalah. Pustaka yang penulis maksudkan di dalam skripsi ini adalah berupa buku-buku atau kitab yang berkaitan pokok masalah yang penulis kerjakan, yaitu mencakup: puak poi, paisin, kebudayaan Tionghoa, masyarakat Tionghoa, kosmologi orang-orang Tionghoa, Buddha, Konghucu, dan lain-lainnya. Hasil yang penulis peroleh dalam tinjauan pustaka ini adalah sebagai berikut. Reny Syafrida, menulis sebuah skripsi sarjana di Program Studi Sastra China, Fakultas Ilmu Bidaya (FIB) Universitas Sumatera Utara (USU), tahun 2012, yang berjudul Fungsi dan Makna Penyembahan Leluhur pada Masyarakat Tionghoa. Di dalam penelitiannya dikatakan bahwa masyarakat Tionghoa dari dahulu hingga kini masih melestarikan upacara penyembahan leluhur dan mereka masih meyakini bahwa leluhur mereka terdahulu masih berada di tengah kehidupan mereka dan masih mempunyai manfaat di dalam kehidupan mereka.
Universitas Sumatera Utara
Skripsi sarjana ini menjadi bahan pustaka penulis dalam mengkaji sistem kosmologi terutama penyembahan leluhur pada masyarakat Tionghoa. Syeelwem Wilton S., yang juga menulis skripsi sarjana pada Program Studi Sastra China, FIB USU, pada tahun 2014, yang bertajuk Struktur dan Makna Upacara Cheng Beng bagi Masyarakat Tionghoa di Berastagi. Di dalam penelitian ini Syeelwem menjelaskan tentang struktur dan makna paisin sebagai perilaku dan ideologi keagamaan masyarakat Tionghoa, dengan studi kasus yang ada di Kota berastagi, di dalam wilayah budaya Karo Gugung. Skripsi sarjana ini menjadi bahan pustaka untuk kajian penulis dalam mengkaji ritual paisin pada masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Sebuah skripsi sarjana, yang ditulis oleh Yudhistira Siahaan pada tahun 2012 bertajuk Kajian Musikal dan Pertunjukan Barongsai dalam Perayaan Cap Go Meh Masyarakat Tionghoa di Maha Vihara Maitreya, Kompleks Perumahan Cemara Asri Medan. Di dalam skripsi ini dianalisis pertunjukan barongsai dan musik pengiringnya. Sebagai sebuah pertunjukan masyarakat Tionghoa, di dalamnya juga terkandung komunikasi kepada Alam Langit dan Alam Baka dalam sistem kepercayaan Buddha, Tao, dan Konfusius. Skripsi ini menjadi salah satu bahan pustaka penulis dalam mengkaji fungsi dan makna puak poi dalam konteks upacara paisin masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Sebuah penelitian yang berjudul Struktur Musik Tua Pi Ciu yang Dipergunakan oleh Masyarakat Tionghoa di Kota Medan pada Upacara Tiau Sang, dilakukan oleh Muhammad Takari yang didanai oleh Yayasan Ilmu-ilmu Sosial dan The Toyota Foundation pada tahun 1997. Penelitian ini fokus mengkaji upacara kematian di kalangan masyarakat Tionghoa di Kota Medan, terutama yang beragama Buddha. Bahwa upacara kematian itu adalah bagian dari
Universitas Sumatera Utara
perpindahan manusia dari alam dunia ke alam baka. Ritus-ritus yang dilakukan mencakup persiapan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan upacara. Di dalam penelitian ini juga dibahas tentang sistem kosmologi di dalam kebudayaan Tionghoa. Melalui laporan penelitian ini, penulis menggunakan data-datanya untuk mengkaji puak poi dalam ritual paisin di dalam kebudayaan masyarakat Pematangsiantar. Yoan Silviana, pada tahun 2012 menulis sebuah skripsi sarjana di Departemen Sastra China FIB USU. Tajuk skripsinya adalah Fungsi dan Makna Penyambutan Imlek pada Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Di dalam skripsi ini dibahas secara detil tentang hari raya Imlek dalam kebudayaan Tionghoa, termasuk di Kota Pematangsiantar. Ia juga membahas fungsi dan makna benda-benda yang lazim digunakan di dalam konteks penyambutan tahun baru China ini, seperti: lampion, kue keranjang, ikan, ayam, bakmi, dan lainlainnya. Skripsi ini menjadi bahan pustaka penulis dalam mengkaji puak poi di dalam kebudayaan Tionghoa. Kami juga sama-sama melakukan penelitian budaya Tionghoa di Pematangsiantar. Namun perbedaannya Silviana mengkaji fungsi dan makna Imlek, sedangkan penulis mengkaji puak poi. Daniel Tong, seorang penulis budaya Tionghoa, pada tahun 2010, menulis sebuah buku yang bertajuk Tradisi dan Kepercayaan China. Tong di dalam buku ini menjelaskan berbagai tradisi upacara dalam kebudayaan China, seperti Imlek, Ceng Beng, dan lain-lainnya. Beliau juga menjelaskan praktik-praktik kultural dalam kebudayaan China pada umumnya seperti organisasi berdasarkan kampung halaman, klen dan kekerabatan, perkawinan, kepercayaan, dan lain-lain. Buku ini menjadi rujukan penulis di dalam melihat kebudayaan masyarakat Tionghoa pada umumnya.
Universitas Sumatera Utara
Ernst Cassirer, seorang penulis budaya internasional ternama, tahun 1987, menulis buku yang berjudul Manusia dan Kebudayaan. Satu hal yang menarik dalam konteks penelitian ini, di dalam buku ini dijelaskan bahwa kebudayaan sangat berkaitan erat dengan tradisi dan bahasa. Melalui buku ini penulis melihat bahwa manusia umumnya memiliki tradisi dan bahasa dalam kebudayaannya yang memperjelas identitas manusia tersebut. Demikian pula puak poi jelas mempertegas identitas masyarakat Tionghoa di mana pun di dunia ini, termasuk di Kota Pematangsiantar. Jhuenhyie, seorang penulis kebudayaan masyarakat Tionghoa, pada tahun 2000, menulis sebuah buku yang berjudul Kebudayaan China. Di dalam buku ini dijelaskan tentang konsep hidup masyarakat Tionghoa, kebudayaan, agama, dan ritual. Buku ini menjadi bahan pustaka penulis dalam rangka penelitian puak poi ini.
2.2 Konsep Pengertian konsep dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:588) adalah gambaran mental dari suatu objek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Menurut Melly (dalam Koentjaraningrat, 1991:21), konsep merupakan defenisi apa yang kita amati, konsep menentukan veriabel-variabel mana yang kita inginkan, untuk menentukan empiris. Dalam hal ini defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar dan penyamaan persepsi tentang apa yanag akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini, konsep yang penulis jelaskan adalah: (1)
Universitas Sumatera Utara
kebudayaan, (2) upacara, (3) paisin, (4) tradisi puak poi, dan (5) masyarakat Tionghoa.
2.2.1 Kebudayaan Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kroeber dan Kluckhohn (1952) mengumpulkan berpuluh-puluh defenisi yang dibuat ahli-ahli antropologi dan membaginya atas 6 golongan, sebagai berikut. (1) Deskriptif, yang menekankan unsur-unsur kebudayaan, (2) Historis, yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan, (3) Normatif, yang menekankan hakekat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku, (4) Psikologis, yang menekankan kegunaan kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup, (5) Struktural, yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur, (6) Genetika, yang menekankan terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia (P.W.J. Nababan, 1984:49). Herskovist dan Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah ini disebut dengan cultural determinism. Herskovist memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganik.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Mulyana dan Rakhmat, budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari diri manusia, sehingga banyak orang cenderung menganggapnya
diwariskan
secara
genetis.
Ketika
seseorang
berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosiobudaya ini tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia (Mulyana dan Rakhmat, 2006:25). Definisi lainnya adalah dari Melville Jean Herskovits (1895-1963) yang merupakan seorang antropolog Amerika. Dua poin penting dalam memahami konsepsi tentang antropologi: pertama, dia adalah seorang humanis yang bersangkutan dengan totalitas perilaku budaya dan, kedua, dia percaya bahwa metode induktif adalah satu-satunya metodologi berlaku untuk antropologi. Dalam keduanya dia mengungkapkan pengaruh meresap Franz Boas, gurunya di Columbia University. Presentasi paling lengkap dari pandangan Herskovits terhadap kebudayaan ditemukan dalam tulisannya Man and His Work (1948), direvisi dan diringkas sebagai Cultural Anthropology (1955). Menurut Herskovits budaya adalah bersifat inklusif (meluas dan universal), untuk itu perlu memahami perilaku dan ideasional, kelompok, dan individu. Orientasi humanistiknya jelas yaitu berpusat
Universitas Sumatera Utara
pada kepentingan dalam individu, yang dianggapnya sebagai peserta aktif dalam membentuk budaya. Sebagai individu itu penting dalam pandangannya tentang budaya, sejarah juga penting dalam mengkaji ide perubahan budaya. Akulturasi, reinterpretasi, retensi, dan sinkretisme adalah konsep yang dia kemukakan dalam membantu merumuskan dan masing-masing memiliki dimensi historisnya. Oposisi Herskovits yang diterapkan antropologi adalah berbasis pada relativisme budaya. Dia bersikeras bahwa konsep relativisme memiliki relevansi untuk semua pembelajaran budaya dan meminta perhatian pada pengaruh budaya pada persepsi. Dia merasa bahwa penting untuk membedakan antara istilah "absolut" yang bervariasi dari budaya yang satu ke budaya yang lain, dan istilah "universal," yang merupakan konsekuensi dari kondisi manusia; dan dia menyimpulkan bahwa tidak ada kriteria mutlak nilai atau moral, atau bahkan, psikologis untuk waktu atau ruang, dalam konteks nilai-nilai universal dalam budaya manusia" (1948:76). Relativisme budaya membuatnya menolak istilah "primitif," meskipun oleh para antropologi telah digunakan secara luas. Dari berbagai defenisi tersebut, dapat diperoleh pengertian bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku benda-benda yang bersifat nyata, misalnya polapola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Upacara Upacara menurut Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:1994) adalah 1. tanda-tanda kebesaran, 2. peralatan menurut adat istiadat, 3. rangkaian tindakan atau perbuatan yang terkait kepada aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama, 4. perbuatan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting. Istilah upacara selalu dikaitkan dengan budaya menjadi upcara budaya. Budaya atau kebudayaan adalah keseluruah yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Siklus hidup pada masyarakat Tionghoa adalah suatu konsep antropologi budaya yang berarti lingkaran hidup mulai saat kelahiran, kematian, dan alam setelah kematian. Melukiskan siklus hidup dari warga yang dianggap warga ratarata, merupakan salah satu cara yang dapat mengungkapkan banyak keterangan mengenai suatu kebudayaan. Khususnya, diperhatikan kejadian-kejadian yang dianggap penting dalam kebudayaan yang bersangkutan, yaitu upacara-upacara yang menandakan perubahan kedudukan para warga masyarakat, atau upacara peralihan (Ihromi, 2006). Istilah upacara budaya dalam penelitian ini merupakan sebuah kegiatan yang bersifat sosial. Banyak sekali peradatan dan upacara perayaan ini, yang masih tetap dilakukan oleh masyarakat Tionghoa menurut waktu yang ditentukan. Masyarakat Tionghoa masih mempertahankan tradisi leluhur, bukan hanya di belahan Asia saja. Di negara seperti Indonesia sekalipun, masyarakat Tionghoa masih tetap teguh melaksanakan tradisinya. Menurut Lina Wang dalam majalah
Universitas Sumatera Utara
Festival China (2010), wanita profesional yang menekuni feng shui dan mengerti banyak tentang peradatan Tionghoa, dalam berbagai hal warna merah sangat memegang peranan dalam berbagai upacara dan peradatan masyarakat Tionghoa. Dalam penelitian ini warna merah juga digunakan pada puak poi yang terbuat dari kayu.
2.2.3 Paisin Paisin adalah sebuah konsep religi orang-orang Tionghoa, baik itu yang beragama Buddha, Konghucu (Konfusius), maupun Tao, yang secara umum dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sembahyang. Istilah ini berasal dari bahasa etnik Hokkian. Paisin dapat dimaknai sebagai sembahyang, sebagai sarana komunikasi manusia kepada Tuhan (Thien), juga Dewa dan Dewi, termasuk juga kepada leluhur yang telah mendahului kematiannya dan meninggalkan semua keturunan di dunia ini. Intinya melalui paisin manusia berdoa dan memohon petunjuk kepada Tuhan dan para Dewa yang ada di Alam Langit dan leluhur yang berada di dalam kehidupan lain di Alam Baka. Paisin ini secara antropologis dapat dikategorikan sebagai upacara. Di dalamnya ada pelaku upacara yaitu orang yang melaksanakan paisin dengan berbagai tujuan, harapan dan doa. Selain itu, ada waktu upacara, yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu, apakah dalam berbagai hari raya atau dalam konteks ketika manusia memerlukan petunjuk dari Tuhan, para Dewa, maupun leluhur di Alam Baka. Paisin ini juga dilakukan di tempat tertentu seperti altar keluarga, vihara, kelenteng, dan lain-lain. Dengan demikian, paisin dapat dimaknai sebagai upacara bersembahyang dengan berbagai tujuan yang terdapat di dalam
Universitas Sumatera Utara
kebudayaan masyarakat Tionghoa di seluruh dunia, terutama yang menganut sistem religi Buddha, Konghucu, maupun Tao.
2.2.4 Tradisi Puak Poi Semua aktivitas manusia yang berhubungan dengan religi didasarkan atas suatu getaran jiwa yang biasanya disebut dengan emosi keagamaan. Emosi keagamaan ini biasanya dialami setiap manusia, walaupun getaran emosi itu hanya berlangsung beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang kembali. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan bersifat religi. Sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri khusus untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu di antara pengikut pengikutnya. Dengan demikian emosi keagamaan merupakan unsur-unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur yang lain yaitu: sistem keyakinan, sistem upacara keagamaan, dan suatu umat yang menganut religi itu. Sejarah penggunaan puak poi dengan prinsip Yin Yang dan Sheng telah ada tercatat sejak zaman Musim Semi dan Gugur, yaitu kira-kira 600-an Seb. M. Tentunya dengan metode dan konsep yang berbeda, yaitu mereka menggunakan batang-batang bambu untuk menyusun garis Yang dan garis Yin dan konsepnya adalah mencari tahu atau memprediksi keadaan atau situasi dengan membaca gejala atau sinyal dari alam. Puak poi dalam ilmu metafisik Tiongkok, termasuk bagian dari budaya. Bukan hanya sebagai alat atau sarana berkomunikasi dengan Dewa dan leluhur tetapi juga lebih ke arah membaca tanda alam yang berkaitan dengan permasalahan atau pertanyaan kita. Namun demikian di dalam sebahagian besar
Universitas Sumatera Utara
kegiatan ritual dan upacara penghormatan yang penulis amati, puak poi ini merupakan alat atau sarana berkomunikasi dengan alam lain. Kehadiran puak poi itu sebenarnya untuk bertanya kepastian jawaban kepada Tuhan atau para Dewa. Puak poi itu tidak hanya untuk ciam si (pembakaran dupa dan aktivitas paisin) tetapi juga berkaitan dengan kegiatan membersihkan altar, mengangkat sajian, mengambil buah dan juga bertanya kepada Dewa atau roh leluhur. Jawaban Tuhan atau Dewa dan leluhur melalui puak poi itu adalah dimanifestasikan pada bagian terbuka dan bagian tertutup, sama seperti koin memiliki dua bagian, sisi muka dan sisi belakang yang terdiri dari dua buah seperti pisang yang dibelah dua.
2.2.5 Bentuk Puak poi Puak poi terbuat dari dua potong bambu, masing-masing berbentuk setengah lingkaran. Masing-masing memiliki dua sisi, yaitu sisi tertutup dan sisi terbuka. Pada masa sekarang puak poi boleh dibuat dari bahan kayu (apa saja jenisnya). Zaman dahulu puak poi warnanya berasal dari warna asli pada bambu, sedangkan pada saat sekarang ini puak poi dapat juga dibuat dari kayu yang keseluruhan permukaannya diberi cat warna merah. Secara umum. dalam kebudayaan Tionghoa, warna merah merupakan simbol keagungan atau kehokian. Warna merah dan kuning juga adalah sebagai indeks dari kebudayaan China pada umumnya. Warna ini begitu dominan di tempat-tempat permukiman orang-orang Tionghoa, terutama pada saat-saat upacara adat atau agama mereka, seperti: Imlek, Ceng Beng, dan lain-lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1: Puak poi yang Berwarna Merah Terbuat dari Kayu
Sumber: Dokumentasi Sanni Tung, 2015
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2: Puak poi yang Terbuat dari Bambu
Sumber: Dokumentasi Sanni Tung, 2015
2.2.6 Tata Cara Upacara Paisin dan Makna Hio Tata cara upacara paisin atau sembahyang di dalam masyarakat Tionghoa (Tao, Konfusius, dan Buddha) biasanya dimulai dengan pembakaran hio. Kemudian memegang kedua puak poi itu di dalam genggaman. Seterusnya bertanya, dapat secara berkata seperti bahasa biasa sehari-hari, atau berbisik-bisik, dan juga di dalam kalbu saja. Dari hasil penelitian lapangan, bahasa yang digunakan oleh orang Tionghoa di Pematangsiantar dalam bertanya kepada Tuhan/ Dewa atau leluhur yang hidup di Alam Baka, umumnya menggunakan bahasa Indonesia, atau ada yang sebahagian menggunakan bahasa Hokkian (sebagai suku yang paling banyak jumlahnya di antara suku-suku lainnya pada masyarakat Tionghoa di daerah ini). Setelah itu puak poi diasapi oleh asap yang
Universitas Sumatera Utara
dikeluarkan oleh hio yang telah ditancapkan di dupa dan dibakar. Kemudian dilemparkan ke atas atau langsung ke lantai.
Universitas Sumatera Utara
Bagan 2.1: Proses Upacara Paisin dan Penggunaan Puak Poi
Dilakukan tindakan berdasarkan jawaban
DIPEROLEH JAWABAN
dilakukan tiga kali
Sengpoi ( jawaban ya )
Jiupoi ( jawaban antara ya dan tidak )
Kampoi ( jawaban tidak )
Media Puak Poi
DUPA hio, altar, sesajian, dll
Bertanya kepada Thien / Dewa di Alam Langit
Bertanya kepada leluhur di Alam Baka atau makhluk gaib
ORANG-ORANG TIONGHOA (Tao, Konghucu, Buddha)
KEBUDAYAAN TIONGHOA
Universitas Sumatera Utara
Seterusnya kedua buah puak poi tadi mendarat di lantai, dan posisinya adalah indeks jawaban dari pertanyaan yang telah diajukan pada upacara paisin tersebut. Jawaban hanya tiga saja, yaitu: (a) sengpoi, (b) jiupoi, dan (j) kampoi. Seperti telah diuraikan sebelumnya, sengpoi adalah jawaban ya, kemudian jiupoi belum ada jawaban, dan kampoi adalah penolakan. Untuk merespons jawaban kedua dan ketiga, dapat diulang dua kali lagi dengan masa jedah 3 sampai 5 menit. Demikian kronologi paisin dalam konteks penggunaan puak poi ini. Namun secara kultural religius berdasarkan penelitian lapangan, diperoleh maknamakna mengenai pembakaran dupa, hio, jumlah hio, warna hio, tata cara atau aturan paisin, cara penghormatan kepada Tuhan, Dewa, dan para leluhur, arti pai, dan lain-lainnya seperti yang penulis uraikan berikut ini. Hio artinya harum. Namun istilah hio ini sendiri mencakup keseluruhan dupa, yaitu bahan pembakar yang dapat mengeluarkan asap yang berbau sedap/harum. Dupa yang dikenal pada zaman Nabi Khonghucu berwujud bubuk atau belahan kayu. Membakar dupa mengandung makna sebagai berikut. a. Jalan Suci itu berasal dari kesatuan hatiku ( Too Yu Siem Hap ), hatiku dibawa melalui keharuman dupa (Siem Ka Hiang Thwan). b. Selain itu dupa juga untuk menentramkan pikiran, memudahkan konsentrasi, meditasi. c. Dalam mitologi Tionghoa mitologi dupa ialah untuk menyampaikan atau mengirimkan doa kita melalui wewangian/ asap yang terus menjunjung tinggi hingga ke segala arah Tata cara sembayang rakyat atau paisin atau juga minjian xinyang, dalam peradaban masyarakat Tionghoa biasanya dibagi ke dalam 3 tata cara, yaitu cara Buddha Mahayana, Kong Hu Cu, dan Tao.
Universitas Sumatera Utara
(a) Semuanya menggunakan satu atau tiga batang hio. (b) Susunan meja sembayang secara umum: teh, air putih, arak (ciri Taoisme dan Konfusianisme), lambang Taiji Yinyang, air putih lambang taichi, teh lambang yin, arak lambang yang. (c) Lima macam buah atau lima warna, lambang lima unsur. Kalau agama Buddha, ada yang mengaitkan dengan 5 Dhyani Buddha. (d) Tiga batang hio lambang San Cai/ Sanguan/ Taiji Liangyi, Triratna, dan Sanqing. (e) Satu batang hio lambang Taiyi dalamm konsep religi Taoisme. Cara penghormatan kepada Tuhan, Dewa, atau para leluhur adalah sebagai berikut. (1) Kepalan yang membentuk delapan kebajikan dan orang tua, cara Konghucu. (2) Kepalan yang membentuk bola Taiji adalah cara Tao. (3) Anjali atau merangkapkan kedua telapak tangan/ cara Buddha. Tiga arti Pai: (a) Pai pertama membalas jasa Alam Langit dan Bumi (yi bai baoda tiandi en), (b) Pai kedua membalas jasa orang tua (er zhai bai baodao fumu en), (c) Pai ketiga membalas jasa para guru (san bai baodao enshi en). Menurut kedua informan kunci penulis, secara umum, jumlah hio ganjil adalah untuk Dewa, Tuhan, tokoh yang berjasa untuk masyarakat luas,
dan
mahluk suci lainnya. Ganjil dalam metafisika Tiongkok adalah lambang dari unsur Yang atau positif. Yang berjumlah genap adalah untuk leluhur, arwah yang meninggal, dan setan gentayangan.
Universitas Sumatera Utara
Ketika melangkah masuk ruang sembahyang juga harus kaki kiri dahulu yang maknanya adalah kita harus mengutamakan sifat-sifat kebajikan kita. Menancapkan hio dengan tangan kiri juga artinya kita akan selalu menancapkan kebajikan di alam langit dan alam bumi. Namun demikian, di dalam masyrakat awam timbul keyakinan bahwa melangkah dengan kaki kiri akan membuat rezeki melimpah. Sebaliknya, jika dimulai dengan langkah kaki kanan adalah mengacaukan tatanan alam semesta dan mengundang bencana. Pada umumnya orang Tionghoa (Buddha, Tao, dan Konfusius) melakukan sembahyang (paisin) mengunakan 1 atau 3 batang hio. Secara sosioreligius ketiga batang hio ini adalah indeks dari aspek-aspek berikut. (a) Satu batang hio biasanya ditujukan dalam konteks berkomunikasi dengan Kauw Siu Thao, Para Dewa-Dewi di rumah untuk hari biasa, kecuali Ce It dan Cap Go setiap bulannya. (b) Tiga batang hio umumnya untuk Pai Thien (Ti Kong) dan para DewaDewi. (c) Lima batang hio biasanya untuk usaha atau perniagaan (oleh karena itu khusus untuk Dewa Hok Tek Ceng Sin dan Dewa Cai Sen). (d) Enam batang hio biasanya untuk keperluan orang lain. (e) Tujuh batang hio biasanya untuk mohon khusus dan juga untuk sesuatu hal membalikan kepada orang lain. (f) Delapan batang hio biasanya dalam hal ini bila berbagai kesialan di dalam hidup seseorang terus-menerus menimpanya.
Universitas Sumatera Utara
(g) Sembilan batang hio, sebagai indeks puji-pujian untuk semua makhluk dan Dewa-Dewi (paling baik kalau melakukan paisin ini pada jam 9 malam di rumah). (h) Dua belas batang hio sebagai ikon agar semua makluk dapat kebahagiaan. (i) Tiga puluh enam batang hio sebagai simbol kesuksesan dan keharmonisan. (j) Seratus delapan batang hio bila terdesak oleh keadaan atau ada permintaan khusus sekali. Norma-norma menempatkan hio dalam konteks upacara paisin. (1) Usahakan saat menancapkan hio membentuk pola berjejer seperti kipas. (2) Tancaplah hio dengan hormat, jangan sembarangan. (3) Khusus untuk 7 batang hio hanya digunakan bila terpaksa saja (keadaan terdesak). (4) Khusus menggunakan 108 batang hio merah untuk sembahyang kepada Thien (Tuhan) tepat jam 12 malam. Lalu sampaikan permintaan atau permohonan. Berdoa harus dengan hati yang tulus pada Thien. Setiap habis melaksanakan upacara paisin (sembahyang), bakar Toa Kim satu kunci, tulis nama, umur, shio dan alamat permohonan lalu dibakar di tempat yang bersih. Lakukanlah 3 malam berturut-turut. (5) Hio warna merah khusus mohon sesuatu. (6) Hio warna kuning untuk sembayang biasa. (7) Hio warna hijau biasanya untuk orang meninggal. Umumnya dalam sistem religi Tao, lima batang hio melambangkan lima arah. Tujuh batang melambangkan tujuh bintang utara. Dua belas batang melambangkan dua belas satuan waktu bumi. Ini semua berkaitan dengan ritual yang ditujukan untuk kasus-kasus khusus. Dua belas batang hio untuk permintaan
Universitas Sumatera Utara
kepada Thien dan harus dilakukan jam 12 malam karena saat itu suasana hening dan sunyi. Jam 12 malam dilakukan sembahyang (paisin) ini berkaitan dengan pergantian qi alam semesta, saat itu unsur Yang menguat dan unsur Yin melemah dan dalam satuan pengertian zi pada 12 cabang bumi adalah mulainya sesuatu yang baru. Artinya adalah berkaitan dengan perubahan waktu. Ritual orang Tionghoa memiliki banyak nilai filsafatnya dan arti tersembunyi, seperti mengapa harus menaruh hio di antara ke dua alis, kenapa harus diletakkan di tengah dada dan sebagainya. Arti meletakkan hio di tengah dada adalah menyalakan hio hati dan api hio hati itu harus selalu dijaga, artinya adalah kita harus melakukan kebajikan dan biarlah kebajikan kita itu bagaikan asap hio yang harum dan memberikan kebahagian kepada sekitar kita. Untuk posisi di antara dua alis, ini berkaitan dengan titik jalan darah. Namun demikian, dapat juga diartikan penghubung antara langit, bumi, dan manusia.
2.2.7 Masyarakat Tionghoa Orang-orang Tionghoa (biasa disebut China) di Indonesia adalah salah satu kelompok di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokien), Tenglang (Tiociu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa Indonesia mayoritas berasal dari China Selatan yang menyebut diri mereka dengan orang Tang, sementara orang China Utara menyebut diri mereka sebagai orang Han. Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia,
bahkan sebelum Republik Indonesia
Universitas Sumatera Utara
dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari China menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinastidinasti yang berkuasa di China. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari China ke Nusantara dan sebaliknya. Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia. Hal ini sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
2.3 Landasan Teori Teori merupakan yang alat terpenting dari suatu pengalaman. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10). Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian didalam ilmu pengetahuan. Sebagai pedomaan dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini. Adapun teori yang penulis pergunakan adalah seperti teori yang akan diuraikan sebagai berikut.
2.3.1 Teori Fungsionalisme Untuk mengkaji fungsi dan makna dari tradisi puak poi, peneliti menggunakan teori fungsionalisme yang ditawarkan oleh Malinowski. Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang
Universitas Sumatera Utara
menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi-institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran, dan pasar terwujud. Teori fungsionalisme dalam ilmu Antropologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Malinowski lahir di Cracow, Polandia, sebagai putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya adalah guru besar dalam Ilmu Sastra Slavik. Jadi tidak mengherankan apabila Malinowski memproleh pendidikan yang kelak memberikannya suatu karier akademik juga. Tahun 1908 Malinowski lulus Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dri Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya Malinowski gemar membaca buku mengenai folkor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga Malinowski menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Malinowski kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman (Koentjaraningrat, 1987:160). Malinowski kemudian mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsionalisme kebudayaan, atau a functional theory of culture. Malinowski kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika Malinowski menjadi guru besar Antropologi di University Yale tahun 1942. Sayangnya tahun itu Malinowski juga meninggal dunia. Buku mengenai fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Crains dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski, 1944). Selanjutnya Malinowski (T.O. Ihromi 2006), mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa
Universitas Sumatera Utara
semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat. Dengan
kata
lain,
pandangan
fungsionalisme
terhadap
kebudayaan
mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang telah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Menurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan. Ahli teori fungsionalisme dalam disiplin antropologi lainnya, RadcliffeBrown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakatnya. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individuindividu dapat berganti setiap waktu. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikan Radcliffe-Brown berikut ini. By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such
Universitas Sumatera Utara
a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).
Sejalan pula dengan pandangan Radcliffe-Brown, artefak budaya puak poi dalam kebudayaan Tionghoa, dapat dianggap sebagai bahagian dari struktur sosial masyarakatnya. Puak poi pada upacara paisin dalam budaya Tionghoa ini adalah salah satu artefak dan sekaligus sebahagian aktivitas yang dapat menyumbang kepada keseluruhan aktivitas masyarakat, yang pada masanya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya dalam hal ini masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar, misalnya lingkungan yang heterogen secara etnik di Sumatera Utara, penguatan identitas dan kumpulan etnik di dalam masyarakat Tionghoa, masalah perubahan kebudayaan, transmisi nilai-nilai religi baru yang merubah nilai-nilai religi lama, dan masalah-masalah sosial dan kebudayaan lainnya.
2.3.2 Teori Semiotik Dalam membahas makna-makna yang terkandung dalam tradisi puak poi pada masyarakat Tionghoa, secara lebih mendetail, penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu
Universitas Sumatera Utara
objek secara representative. Istilah semiotik sering digunakan dengan bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua merujuk pada ilmu tentangnya. Baik semiotik atau semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung di mana istilah itu popular (Endaswara, 2008:64) Menurut Barthes dalam (Kusumarini, 2006), “denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.” Barthes adalah penerus pemikiran Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna. Di sisi lain, Barthes kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama dapat saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan order of signification, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifiersignified yang diusung Saussure. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk system sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi
Universitas Sumatera Utara
penanda baru yang kemudian memiliki pertanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Dalam konteks penelitian ini penulis menggunakan teeori semiotik yang ditawarkan Barthes tersebut. Penulis mengkaji makna-makna pada artefak, yang mencakup: (a) puak poi itu sendiri, (b) benda-benda upacara di dalam aktivitas paisin (sembahyang) seperti: dupa, hio (warna, jumlah, asap), (c) “jawaban” dari hasil lemparan puak poi, (d) altar, dan lain-lainnya. Selain itu juga, penulis mengkaji makna-makna teks (bahasa) yang ditanyakan oleh para penanya dalam upacara paisin ini melalui media puak poi. Makna yang dikaji adalah mencakup makna denotatif dan konotatif dengan pendekatan semiotik Barthes.
Universitas Sumatera Utara