BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Individu yang bekerja pada suatu organisasi atau perusahaan menginginkan keberhasilan dalam tugas yang dikerjakannya dan hasil dari pekerjaannya tersebut dapat
memuaskan
baik
bagi
perusahaan
maupun
bagi
individu
itu
sendiri.
Kekhawatiran individu akan hasil yang ada akan sangat mempengaruhi performansi kerja, oleh karena itu hasil dari pekerjaan yang dikerjakan oleh masing-masing individu tersebut perlu dinilai sampai dimana performansi kerja tersebut. Performansi kerja berkaitan erat dengan keberhasilan seseorang dalam melaksanakan pekerjaan. Jewell & Siegall (1998) menyatakan bahwa performansi kerja adalah tingkatan keberhasilan seseorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Selanjutnya, Jewel & Siegall (1998) menyatakan bahwa karyawan yang berkualitas merupakan aset bagi organisasi atau perusahaan dalam menghadapi persaingan kerja. Performansi kerja yang tinggi dari setiap karyawan merupakan hal yang sangat diinginkan oleh organisasi. Semakin banyak anggota yang berprestasi kerja tinggi, maka prestasi kerja dan produktivitas organisasi secara keseluruhan akan semakin meningkat dan organisasi dapat bertahan dalam persaingan bisnisnya. Seperti yang dikemukakan oleh Reksohadiprodjo & Handoko (1987) performansi kerja
karyawan dari suatu organisasi memegang peranan yang sangat penting. Oleh
karena itu, maju mundurnya organisasi sangatlah tergantung pada naik turunnya prestasi kerja karyawan. 1
2
Baik buruknya performansi
kerja
karyawan antara satu dengan yang lain
akan berbeda-beda meskipun jenis pekerjaan yang dikerjakan sama. Sejalan dengan itu, As’ad (1990) mengatakan bahwa perbedaan di dalam performansi kerja
tidak
bernilai positif dan melihat kerja hanya sebagai suatu beban, sehingga karyawan cenderung terpaksa dalam melakukannya. Lebih lanjut As’ad (1990) mengemukakan bahwa sangat perlu adanya penghargaan terhadap tenaga kerja sesuai dengan sifat dan keadaannya. Tenaga kerja bukan barang mati melainkan makhluk hidup yaitu manusia yang mempunyai pikiran, perasaan, dan kemauan. Penghargaan yang dimaksud adalah pemeliharaan agar tenaga kerja dapat bertahan lama dan lebih efisien dalam melaksanakan pekerjaannya. Krisis moneter yang berkepanjangan dan situasi politik yang tidak menentu dapat menyebabkan kinerja
menjadi buruk dan turunnya performansi
produktivitas suatu perusahaan. Indikasi rendahnya performansi produktivitas
Indonesia
ialah
besarnya
kesenjangan
kerja
serta
kerja
sekaligus
pendapatan,
besarnya
pengangguran dan rendahnya pendidikan rata-rata tenaga kerja. Secara komperatif kondisi produktivitas sumber daya insani (SDI) Indonesia dibandingkan dengan SDI mancanegara masih tergolong rendah yaitu peringkat ke-98. Sebaliknya, peringkat SDI Filipina 84, Thailand 66, Malaysia 52, Brunai 42, Singapura 37, Hongkong 25, Australia 9, Belanda 8, dan Jepang peringkat pertama (Hadipranata, 2000). Bila potensi dasar yang dimiliki individu tidak didukung oleh aspek-aspek lain dalam diri dan luar individu, kemungkinan besar potensi tersebut tidak dapat teraktualisasikan secara maksimal, akibatnya banyak problem yang berkaitan dengan proses dan hasil kerja yang timbul dalam kondisi seperti itu. Seperti misalnya secara
3
intelektual
mempunyai
kecerdasan
yang
tinggi
tapi
ternyata
malah
tidak
menghasilkan performansi kerja yang memadai. Kasus lain menunjukkan adanya individu
yang tercatat mempunyai skill yang memadai ternyata sering tidak mampu
mencapai target pekerjaan. Hal ini dapat dilihat dari performansi kerja yang dihasilkan. Peran kepemimpinan sangat diperlukan bagi peningkatkan performansi kerja karyawan.
Menurut
Suwandi
(Suranta,
2002)
keberadaan
pemimpin
dalam
perusahaan adalah sangat penting karena ia memiliki peranan yang sangat strategis dalam mencapai tujuan perusahaan. Kepemimpinan merupakan tulang punggung pengembangan organisasi karena tanpa kepemimpinan yang baik akan sulit untuk mencapai tujuan organisasi. Berbagai penelitian telah membahas tentang peran kepemimpinan dalam perusahaan. DeGroot (Suranta, 2002) melakukan studi untuk menguji hubungan antara
gaya
kepimpinan
kharismatik
dan
keefektifan
kepemimpinan,
kinerja
bawahan, kepuasan bawahan usaha bawahan dan komitmen bawahan. Hasil riset tersebut menyatakan bahwa kepemimpinan kharismatik lebih efektif pada saat kinerja kelompok
meningkat
dibandingkan
pada
saat
kinerja
individual
meningkat.
Penelitian lain tentang kepemimpinan dilakukan oleh Nugraheni (2002) yang menyimpulkam bahwa gaya kepemimpinan transformasional mempunyai korelasi yang positif dengan motif berprestasi (r = 0.516 dengan p < 0. 01) Kepemimpinan
merupakan
aspek
yang
penting
dan
kompleks
dalam
kehidupan organisasi atau perusahaan. Berhasil atau tidaknya kegiatan perusahaan seringkali dikaitkan dengan keberadaan pimpinan dalam perusahaan tersebut. Tanpa
4
kepemimpinan yang efektif maka kegiatan perusahaan sulit untuk diarahkan pada pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Kartono (1998) membagi beberapa tipe kepemimpinan
antara lain: Tipe kharismatik, militeristis, otoriter, laissez faire dan
tipe demokratis Sejauh ini gaya kepemimpinan perfeksionis belum banyak diungkap, dengan segala keterbatasan yang ada penulis mencoba akan mengungkap sisi lain dari tipe kepemimpinan yang selama ini belum banyak menjadi perhatian para pemerhati psikologi industri. Menurut Hewitt & Flet (1995) perfeksionisme terkait dengan self-oriented yaitu menetapkan standar yang amat tinggi terhadap diri dan kritik dan pengawasan diri yang berlebihan yang membuat seseorang tidak bisa menerima kesalahan atau kegagalan. Pendek kata, dimensi perfeksionisme mengandung hasrat untuk terusmenerus berusaha agar tidak pernah salah atau gagal. Perfeksionisme Self-oriented yang tinggi mempunyai potensi adaptif sebagai hasrat yang sehat untuk mencapai prestasi atau menghasilkan karya besar, namun bila berinteraksi dengan life event yang negatif, dapat menghasilkan depresi. Hewitt & Flet (1995) mengembangkan teori tentang perfeksionisme dan alat ukurnya. Mereka menyebut alat ukur perfeksionisme mereka sebagai Multidimensional Perfectionism Scale (MPS). Analisis faktor terhadap MPS menghasilkan tiga komponen perfeksionisme: Selforiented perfectionism sebagai dimensi intrapersonal, other oriented perfectionism dan socially prescribed perfectionism sebagai dimensi sosial atau interpersonalnya. Hamachek (Aditomo dan Retnowati, 2004) membagi perfeksionisme menjadi 2 macam: perfeksionisme normal dan perfeksionisme neuritik. Menurut Hamachek
5
perfeksionisme normal dapat menetapkan standar pencapaian mereka dalam batasbatas
keterbatasan
dan
kekuatan
mereka.
Sebaliknya
perfeksionisme
neuritik
menetapkan standar pencapaian yang lebih tinggi dari yang biasanya dapat dicapai. Mereka sulit untuk puas karena memandang bahwa dirinya tidak pantas untuk merasa puas dan merasa bahwa dirinya tidak berharga karena gagal mencapai standar yang mereka tetapkan sendiri. Dalam dunia kerja, biasanya seorang karyawan akan melakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh agar mendapatkan hasil sesuai atau bahkan lebih dari standar yang telah ditetapkan perusahaan. Standar perusahaan sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan yang digunakan oleh pimpinan perusahaan tersebut. Jika pimpinan perusahaan tersebut bersikap demokratis maka ia akan mengadakan musyawarah dengan karyawannya untuk menentukan standar minimum yang harus dicapai dalam melaksanakan tugas, sehingga perusahaan akan menentukan standar pencapaian keberhasilan sesuai dengan kondisi karyawannya. Hewitt & Flet (1995) mengemukakan perfeksionisme memiliki karakteristik adaptif maupun maladaptif. Karakteristik adaptifnya adalah adanya standar yang tinggi, berusaha keras untuk mencapai prestasi, harga diri dan aktualisasi diri. Karakteristik maladaptif adalah menyalahkan dan mengkritik diri sendiri, perasaan bersalah, marah, narsistik dan depresi. Adler (Aditomo dan Retnowati, 2004), bahwa dalam hubungannya dengan kesehatan mental, perfeksionisme akan mempunyai sifat ganda yang sangat berbeda. Pertama perfeksionisme dapat menjadi sifat yang adaptif dan mendorong seorang individu untuk mencapai prestasi tinggi. Di sisi lain perfeksionisme juga dapat menjadi sifat maladaptif, misalnya apabila standar-standar yang ditentukan itu begitu tinggi sehingga individu tersebut akan merasa gagal dalam melaksanakan sesuatu.
6
Pemimpin atau atasan perusahaan yang memiliki perfeksionisme maladaptif selalu memiliki keinginan untuk meraih kesempurnaan karena termotivasi oleh ketakutan untuk gagal. Pimpinan ingin mendapatkan hasil kerja karyawan dengan sempurna tanpa mempertimbangkan aspek kelebihan maupun kekurangan yang dimiliki karyawan, karena di mata mereka sendiri apa yang dilakukan karyawan atau bawahan tidak pernah cukup baik (Frances, 2004). Akibat gaya perfeksionisme dapat terjadi salah persepsi atau persepsi yang buruk antara pimpinan dengan bawahannya. Sebagai contoh, bawahan pada umumnya melaporkan bahwa sangat sedikit pengakuan dan penghargaan yang diberikan atasannya dan tuntutan kerja yang terlalu tinggi. Di lain sisi atasan memandang dirinya telah memberikan kesempatan untuk mengembangkan karir bagi pegawainya dengan memberikan target pekerjaan yang wajar. Contoh lain karyawan tidak bisa menerima dengan gaya kepemimpinan yang dipakai atau diterapkan atasannya dalam memimpin pernyataan yang mungkin tidak ada keseimbangan. Persepsi karyawan yang menganggap bahwa pimpinan atau atasan terlalu menuntut hasil kerja dengan sempurna dapat memunculkan sikap tidak bersemangat serta mengurangi pemahaman untuk bertanggung jawab dalam meningkatkan prestasi dan karir kerjanya di masa yang akan datang, hal ini disebabkan oleh persepsi bawahan atas cara dan hasil penilaian prestasi kerja yang dianggap mencerminkan otoritas atasan yang mendominasi dalam pengambilan kebijakan dan wewenangnya dalam menjalankan suatu organisasi dengan tidak memperhatikan kondisi karyawan. Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang penulis buat adalah:
apakah ada hubungan antara persepsi terhadap gaya kepemimpinan
7
perfeksionis dengan perfomansi kerja karyawan? Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut, penulis ingin menguji secara empirik dengan melakukan penelitian dengan judul “Hubungan antara persepsi terhadap kepemimpinan perfeksionis dengan performansi kerja”.
B. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui hubungan persepsi karyawan terhadap gaya kepemimpinan perfeksionis dengan performansi kerja. 2. Untuk mengetahui tingkat persepsi terhadap gaya kepemimpinan perfeksionis dan performansi kerja karyawan. 3. Untuk mengetahui seberapa besar sumbangan atau peran persepsi terhadap gaya kepemimpinan perfeksionis terhadap performansi kerja karyawan. 4. Untuk mengetahui aspek yang dominan dari variabel persepsi terhadap gaya kepemimpinan perfeksionis terhadap performansi kerja karyawan.
C. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah : 1. Pemimpin perusahaan Diharapkan
dapat
memberikan
informasi
bagi
seorang
pemimpin
untuk
mengetahui bagaimana cara memimpin yang baik di suatu perusahaan. Pemimpin dapat memahami persepsi terhadap gaya kepemimpinan perfeksionis berkaitan dengan performansi kerja karyawan.
8
2. Karyawan perusahaan Diharapkan dapat memberikan masukan tentang keterkaitan antara persepsi terhadap gaya kepemimpinan perfeksionis dengan performansi kerja karyawan. 3. Bagi personalia Diharapkan
berguna
sebagai
bahan
pengkajian
dan
dalam
mengatasi
permasalahan yang terjadi di perusahaan terutama yang berkaitan dengan
pola
kepemimpinan yang berkembang di perusahaan dan performansi kerja. 4. Bagi ilmuwan psikologi Memberikan kontribusi bagi ilmuwan dalam upaya pengembangan di bidang psikologi industri pada khususnya dan di bidang psikologi pada umumnya. 5. Bagi peneliti selanjutnya Diharapkan dapat menambah wawasan terhadap bidang psikologi, khususnya psikologi industri dan organisasi yang berkaitan antara persepsi terhadap gaya kepemimpinan perfeksionis dengan performansi kerja karyawan