DAMPAK SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN AKIBAT RUNTUHNYA JEMBATAN KUTAI KARTANEGARA Socio Economic and Environmental Impact Caused by the Collapse of the Kutai Kertanegara Bridge Bangkit A. Wiryawan1, Achmad Helmi2, Bambang Sudjatmiko3 1 Balai Litbang Sosekling Bidang Sumber Daya Air Pusat Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jl .Sapta Taruna Raya no.26 Komplek PU, Pasar Jumat, Jakarta 12310 Email :
[email protected]
2
3
Pusat Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jl .Sapta Taruna Raya no.26 Komplek PU, Pasar Jumat, Jakarta 12310 Email :
[email protected] Pusat Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jl .Sapta Taruna Raya no.26 Komplek PU, Pasar Jumat, Jakarta 12310 Email :
[email protected] Tanggal diterima: 20 Oktober 2012, Tanggal disetujui: 15 Maret 2013
ABSTRACT Kutai Kartanegara Bridge is vital transportation infrastructure that connects Kutai Kartanegara Regency with Samarinda City and its surrounding. The collapse of the bridge in the late 2011 brought wide impact on the mobility of Kutai Kartanegara people. This paper explores social, economic, and environmental impacts that arose from the change of mobility. Generally, respondent activities were not disrupted by the incident, much to do with rapid adaptation capacity of the people and the availability of alternative facilities replacing the bridge. Nonetheless, there are several changes including the intensity of their activity in several sectors such as trade and mining, the emergence of new river crossing service, and the drastically diminishing activities of tourism near the bridge. The emergence of social, economic and environmental impacts should be managed properly to prevent bigger loss. Keywords: bridge, Kutai Kartanegara, impact, mobility, disaster ABSTRAK Jembatan Kutai Kartanegara merupakan prasarana transportasi yang vital menghubungkan Kabupaten Kutai Kartanegara dengan wilayah-wilayah lain di seberangnya, terutama Kota Samarinda. Runtuhnya jembatan tersebut pada akhir 2011 memberikan dampak secara luas terhadap mobilitas masyarakat di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara. Tulisan ini mencoba meneliti dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang muncul akibat perubahan mobilitas. Secara umum, aktivitas responden penelitian tidak terganggu dengan runtuhnya jembatan ini karena cepatnya adaptasi masyarakat dan tersedianya sarana dan prasarana mobilitas alternatif untuk menggantikan jembatan, seperti pemanfaatan Jembatan Mahalu yang terletak di selatan. Namun demikian, terjadi perubahan intensitas aktivitas di beberapa sektor seperti perdagangan dan pertambangan, munculnya aktivitas baru di sektor jasa penyeberangan, serta berkurangnya secara drastis aktivitas pariwisata di sekitar jembatan. Munculnya dampak-dampak sosial ekonomi dan lingkungan ini harus mampu dikendalikan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar. Kata Kunci : jembatan, kutai kartanegara, dampak, mobilitas, bencana
15
PENDAHULUAN Runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara (JKK) pada tanggal 26 November 2011 silam mengundang keprihatinan. Selain merenggut korban jiwa dan mengakibatkan kerugian materi, peristiwa tersebut juga menimbulkan perubahan pola mobilitas orang dan barang terkait dengan berbagai kegiatan sosial ekonomi di Kabupaten Kutai Kartanegara dan sekitarnya. Dampak tersebut diperkirakan berlangsung dalam beberapa tahun ke depan, hingga berdirinya kembali jembatan baru. (Gambar 1)
Selama 10 tahun beroperasi, jembatan dengan bentang 710 meter di atas Sungai Mahakam tersebut menjadi infrastruktur vital bagi masyarakat di sekitarnya. Manfaat yang sangat dirasakan adalah menjadi pendukung mobilitas keseharian masyarakat karena mampu mereduksi jarak dan waktu tempuh perjalanan dari wilayah Tenggarong ke Samarinda maupun sebaliknya. Dalam konteks studi ini, JKK ditempatkan sebagai sarana yang memfasilitasi mobilitas orang dan barang dari titik origin ke titik destination tertentu terkait dengan kegiatan-kegiatan masyarakat tersebut. Sedangkan dampak sosial ekonomi dikonsepsikan sebagai selisih antara kondisi sosial ekonomi masyarakat ketika jembatan masih normal (before) dan setelah jembatan tersebut runtuh (after). Ketika jembatan masih normal (sebelum runtuh), mobilitas orang atau barang dari origin ke destination berada pada suatu titik (posisi) tertentu. Titik (posisi) tersebut diasumsikan mengalami pergeseran setelah JKK runtuh. Dengan kata lain, setelah jembatan runtuh terjadi perubahan pola mobilitas orang dan barang terkait dengan kegiatan pendidikan, kesehatan, layanan pemerintahan, perdagangan, perkebunan, dan pariwisata.
KAJIAN PUSTAKA
Mobilitas manusia dan barang sudah sejak lama menjadi suatu kebutuhan mendasar bagi setiap individu maupun institusi sosial. Ketiadaan atau larangan mobilitas akan menyebabkan masyarakat
Gambar 1. Jembatan Kutai Kartanegara sebelum runtuh (kiri) dan sesudah runtuh (kanan)
16
sulit berkembang. Hal yang sama berlaku juga dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan baik di bidang ekonomi, sosial, politik, maupun militer (Cooley 1894). Mobilitas penduduk yang tinggi menjadi cermin tingginya aktivitas sosial maupun ekonomi mereka. Hal senada juga diutarakan oleh Prijono Tjiptoherijanto (2000). Meskipun kedua penulis cenderung memandang mobilitas manusia dalam konteks yang lebih permanen, seperti migrasi, namun kerangka berpikir tersebut masih relevan dengan fenomena mobilitas penduduk temporer seperti misalnya mobilitas pekerja komuter seharihari. Infrastruktur jembatan merupakan prasarana penopang mobilitas manusia dan barang dari satu tempat ke tempat lain yang tidak dapat diakses oleh prasarana jalan. Dengan demikian, runtuhnya suatu jembatan berarti akan secara langsung berdampak terhadap terhambatnya mobilitas manusia dan barang tersebut. Keadaan ini apabila dibiarkan lebih jauh akan menyebabkan terhambatnya pembangunan dan perkembangan suatu kawasan.
Dalam penelitian ini, hambatan mobilitas yang muncul akibat runtuhnya Jembatan Kukar akan difokuskan pada mobilitas yang bersifat temporer, dengan skema analisis sebagaimana terlihat pada gambar 2. Adapun yang menjadi variabel penelitian adalah; pendidikan, layanan kesehatan, perdagangan, pertambangan, pariwisata, dan lingkungan.
Runtuhnya Jembatan Kukar
Terhambatnya mobilitas warga
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Gambar 2. Skema Analisis
METODE PENELITIAN Responden yang menjadi sasaran dalam tulisan ini adalah anggota masyarakat yang bertempat tinggal di Tenggarong dan Tenggarong Seberang (dan kecamatan-kecamatan di sekitarnya). Mereka dipilih secara purposif, dan diupayakan orang-orang yang selama ini sering menggunakan Jembatan Kutai Kartanegara (user), serta orang-orang yang paling merasakan dampak negatif runtuhnya jembatan tersebut, yang juga meliputi pejabatpejabat pemerintah dari berbagai Dinas/Instansi Kabupaten Kutai Kartanegara dan petugas yang terlibat dalam operasi tanggap darurat.
Dampak Sosial Ekonomi dan Lingkungan Akibat Runtuhnya Jembatan Kutai Kertanegara Bangkit A Wiryawan, Achmad Helmi, Bambang Sudjatmiko Selama penelitian ini berlangsung, tim peneliti berhasil mewawancarai sebanyak 82 responden, terdiri dari 57 orang di Tenggarong dan 25 orang di Tenggarong Seberang yang dicatat dalam lembaran kuesioner sebagai panduan. Rincian dari jumlah responden tersebut dalam dilihat pada tabel 1. Selain itu tim juga mengumpulkan informasi secara kualitatif dari sejumlah narasumber dengan beragam latar belakang. Berikut ini sebagian profil dari responden. Dari 57 responden di Tenggarong, sebanyak 67% di antaranya berjenis kelamin laki-laki dan sisanya perempuan. Sedangkan dari 25 responden di Tenggarong Seberang, sebanyak 84% laki-laki dan 16% perempuan. Dilihat dari latar belakang pendidikan untuk responden di Tenggarong, 5% berpendidikan sekolah dasar (SD), 18% SLTP, 37% SLTA dan 40% lulus perguruan tinggi. Sedangkan responden di Tenggarong Seberang, 24% berpendidikan SD, 20% SLTP, 24% SLTA dan 32% perguruan tinggi. Berdasarkan usia reponden, sebanyak 47% persen di Tenggarong berusia antara 41-55 tahun, 42% berusia 26-40 tahun, 7% berusia kurang dari 26 tahun dan 4% berusia di atas 55 tahun. Sedangkan responden di Tenggarong Seberang, sebanyak 45% berusia antara 41-55 tahun, 43% berusia 26-40 tahun, 7% berusia kurang dari 26 tahun dan sisanya 5% berusia di atas 55 tahun.
Dilihat dari jenis pekerjaan, sebanyak 63% responden di Tenggarong bekerja sebagai PNS, 24% sebagai pedagang, 7% sebagai pegawai swasta, 2% sebagai nelayan, 2% sebagai buruh dan 2% sebagai petani. Sedangkan di Tenggarong Seberang, sebanyak 36% bekerja sebagai PNS, 24% pedagang, 16% pegawai swasta, 8% petani, 8% buruh, 4% pelajar dan 4% nelayan. Pengumpulan data dan observasi lapangan untuk kajian ini dilakukan selama empat hari pada tanggal 7-10 Desember 2011 di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur. Ketersediaan waktu yang relatif singkat tersebut sekaligus merupakan keterbatasan dalam penelitian ini. Pasca penelitian ini dilakukan, sangat terbuka kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan kondisi masyarakat maupun kebijakan pemerintah daerah setempat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Selama sepuluh tahun memfasilitasi berbagai aktivitas masyarakat, Jembatan Kutai Kartanegara telah berpengaruh signifikan terhadap pola mobilitas masyarakat di sekitarnya. Setelah jembatan tersebut runtuh, pola mobilitas masyarakat berubah dan mengganggu sebagian dari kegiatan sosial ekonomi. Dalam penelitian ini diketahui dari 57 orang responden yang tinggal di wilayah Tenggarong,
Tabel 1. Data Responden Data Responden Jumlah Responden Jenis Kelamin Pendidikan < SD SLTP SLTA > Kuliah/Sarjana Usia < 26 Tahun 26-40 41-55 > 55 Tahun Pekerjaan PNS Pedagang Pegawai Swasta Buruh Petani/Nelayan Lain-lain
Tenggarong 57 67% laki-laki 33% perempuan
Tenggarong Seberang 25 84% laki-laki 16% perempuan
Total 82 75% laki-laki 25% Perempuan
2 10 22 23
6 5 6 8
8 15 28 31
3 25 27 2
2 11 11 1
5 36 38 3
36 14 4 1 2 -
9 6 4 2 3 1
45 20 8 3 5 1
17
sebanyak 62% di antaranya mengaku melewati JKK setiap hari, 9% menyatakan sering, 11% menyatakan jarang dan 18% mengatakan sangat jarang. Sedangkan masyarakat di wilayah Tenggarong Seberang, dari hasil survei sebanyak 25 orang responden, 55% di antaranya mengaku setiap hari melewati jembatan tersebut, 5% menyatakan sering, 20% jarang dan 20% sangat jarang (lihat gambar 3). a. Dampak di Bidang Pendidikan
Frekuensi mobilitas masyarakat dalam kegiatan pendidikan mengalami perubahan setelah JKK runtuh, terutama mereka yang tinggal di wilayah Tenggarong. Dari 57 responden, hanya 26% warga Tenggarong yang tetap menyeberang Sungai Mahakam setiap hari, 2% sering, 28% jarang dan 44% sangat jarang. Sedangkan kecenderungan yang berbeda ditunjukkan oleh masyarakat di wilayah Tenggarong Seberang. Mereka tampak memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap keberadaan JKK dan Kota Tenggarong dalam memfasilitasi kegiatan pendidikan. Hal itu ditunjukkan oleh hasil survei pasca runtuhnya JKK. Dari 25 responden, 63% di antaranya menyatakan tetap melakukan
mobilitas setelah runtuhnya JKK. Hal ini berarti tingkat mobilitas masyarakat Tenggarong Seberang dalam kegiatan pendidikan tidak mengalami perubahan yang berarti pasca runtuhnya JKK. Sedangkan 6% responden lainnya menyatakan sering, 12% mengatakan jarang dan 19% sisanya menyatakan sangat jarang. (Gambar 3)
Sejak dioperasikan kurang lebih sepuluh tahun terakhir, Jembatan Kutai Kartanegara (JKK) dipergunakan oleh siswa atau peserta didik, guru dan tenaga kependidikan, baik yang berdomisili di Tenggarong maupun Tenggarong Seberang (dan kecamatan lain di sekitarnya). Siswa yang bersekolah di Tenggarong pada umumnya beralasan kualitas pendidikan di Tenggarong dianggap lebih baik daripada di Tenggarong Seberang. Selain itu terdapat pula sejumlah mahasiswa dari Tenggarong Seberang yang kuliah di Universitas Kutai Kartanegara Tenggarong, maupun sebaliknya warga Tenggarong yang kuliah di Samarinda melewati jembatan tersebut. Kendati kegiatan mereka cukup padat, namun waktu tempuh menuju kampus menjadi relatif lebih singkat melalui JKK hanya sekitar 20-30 menit. Akibat gangguan mobilitas tersebut, masyarakat di Kutai Kartanegara beradaptasi dengan melakukan beberapa pilihan tindakan untuk tetap dapat melangsungkan kegiatan di bidang pendidikan. Dari 57 responden di wilayah Tenggarong, 71% di antaranya menggunakan ferry, 20% memilih rute lain, 3% pindah sekolah, dan 6% sisanya menyatakan tidak tahu. Sedangkan warga di sisi Tenggarong Seberang, dari 25 responden yang diwawancarai, 60% di antaranya menyatakan menggunakan ferry, 6% memilih rute lain, 7% pindah sekolah, 20% pindah tempat tinggal (sewa rumah, kos, menumpang di rumah milik saudara), dan sisanya 7% menyatakan tidak tahu. (Gambar 4). Setelah jembatan runtuh, siswa-siswa warga Tenggarong Seberang (dan kecamatan-kecamatan di sekitarnya) yang bersekolah di Tenggarong, serta guru dan tenaga kependidikan yang bekerja di Tenggarong harus menggunakan ferry dan ketinting. Pada pagi hari ferry dan ketinting dari Tenggarong Seberang ke Tenggarong dipenuhi oleh murid sekolah, guru dan tenaga kependidikan. Demikian pula ketika siang atau sore pada jam pulang sekolah, ferry dan ketinting dari Tenggarong ke Tenggarong Seberang dipenuhi oleh siswa, sejumlah guru, dan tenaga kependidikan.
Gambar 3. Frekuensi mobilitas warga Kutai Kartanegara melintasi jembatan
18
Pada jam-jam padat tersebut mereka harus antre, karena jumlah ferry, dan ketinting tidak sebanding dengan kebutuhan mereka. Antrean tersebut terlihat semakin panjang ketika ferry dan ketiting
Dampak Sosial Ekonomi dan Lingkungan Akibat Runtuhnya Jembatan Kutai Kertanegara Bangkit A Wiryawan, Achmad Helmi, Bambang Sudjatmiko bervariasi. Dari 57 responden di Tenggarong, 40% di antaranya mengaku biaya yang dikeluarkan menjadi lebih tinggi, 37% menyatakan waktu tempuh lebih lama, 5% mengatakan kualitas layanan menurun, 12% menyatakan tidak mengalami kendala yang berarti dan sisanya 6% tidak menjawab. Jawaban yang tidak jauh berbeda didapati dari warga di wilayah Tenggarong Seberang. Dari 25 responden, 44% menyatakan waktu tempuh lebih lama, 28% mengaku biaya yang dikeluarkan menjadi lebih tinggi, 4% tidak menjawab dan 24% menyatakan tidak mengalami kendala yang berarti. Dari uraian di atas terlihat dampak dari perubahan mobilitas dalam kegiatan pendidikan tersebut cukup luas secara geografis. Sebab masyarakat yang merasakan dampaknya bukan hanya bertempat tinggal dalam radius dekat, melainkan juga yang bertempat tinggal jauh dari JKK. Namun sejauh penelitian ini dilakukan, masyarakat masih bisa menerima atau mentoleransi gangguan yang mereka alami. Dengan demikian dampak yang ditimbulkan dapat dikatakan dalam intensitas atau tingkat yang rendah. Pada saat penelitian ini berlangsung juga belum diketahui adanya siswa yang putus sekolah akibat runtuhnya JKK.
Gambar 4. Pilihan transportasi alternatif pasca runtuhnya jembatan
juga dipenuhi oleh sepeda motor. Sebuah ketinting dibatasi hanya boleh membawa maksimal sebanyak 12 buah sepeda motor (dengan pengendaranya). Oleh karena itu, banyak guru dan orang tua mulai prihatin karena cukup banyak siswa dari Tenggarong Seberang (dan kecamatan-kecamatan di sekitarnya) yang sering terlambat masuk kelas.
Setiap siswa yang menggunakan jasa ferry atau ketinting tersebut dipungut Rp 1.000 untuk sekali menyeberang. Pergi-pulang sekolah mereka harus mengeluarkan Rp 2.000 dan dalam satu bulan orang tua mereka harus menambah pengeluaran sekitar Rp 50 ribu. Bagi kalangan menengah bawah kenaikan pengeluaran tersebut cukup signifikan. Setiap sepeda motor dipungut Rp 2.000 untuk sekali menyeberang, sehingga dalam satu bulan dibutuhkan biaya tambahan bagi pengendara sepeda motor sebesar Rp 100 ribu. Sejumlah warga yang ditanya tentang masalah yang dihadapi akibat gangguan mobilitas dalam kegiatan pendidikan, memberikan jawaban yang
Hal itu didukung dengan tingkat adaptasi masyarakat yang cukup baik. Misalnya mereka berangkat dari rumah lebih awal agar tidak terlambat masuk sekolah atau kantor. Sejumlah orang tua juga mulai memindahkan sekolah anaknya ke tempat lain yang lebih dekat dan tidak perlu menyeberang. Terdapat pula orang tua yang memindahkan tempat tinggal anaknya (kos atau menumpang di rumah saudara) agar lebih dekat dengan lokasi sekolah sehingga tidak perlu menggunakan jasa ferry atau ketinting. Adaptasi masyarakat tersebut dapat bersifat sementara atau darurat karena hanya dimotivasi untuk menghindari kondisi transportasi yang tidak lancar. Dengan demikian adaptasi secara spontan tersebut diperkirakan tidak memiliki keberlanjutan yang tinggi. Perkembangan berupa terbitnya kebijakan pemerintah daerah dan ketersediaan sarana transportasi yang jumlahnya semakin banyak serta ketersediaan fasilitas pendidikan baru yang dibangun, dapat membuka terjadinya perubahan bentuk adaptasi. Untuk mengetahui daya tahan masyarakat beradaptasi dalam jangka panjang masih diperlukan penelitian lanjutan.
Respons berbagai pihak terhadap gangguan mobilitas pasca runtuhnya JKK dapat dikatakan cukup baik. Dari pihak pemerintah, ditunjukkan dengan pemberian dukungan dibukanya dermagadermaga baru yang dikelola sendiri oleh masyarakat. Selain itu juga dikerahkannya sejumlah petugas
19
untuk memperlancar antrean dan arus lalu-lintas di sekitar dermaga. Pemerintah daerah bekerjasama dengan TNI juga membangun dermaga baru yang dapat digunakan untuk berlabuh ferry ukuran besar. Respons yang baik juga ditunjukkan oleh kalangan pengusaha atau operator ketinting dan ferry dengan menambah jumlah armada. Sehingga antrean penumpang berangsur-angsur menurun hari ke hari. Meskipun penyeberangan makin lancar, namun sayang penyediaan sarana transportasi tersebut tidak diimbangi dengan jaminan keselamatan bagi para penggunanya. Kekhawatiran terhadap ancaman keselamatan itu terbukti dengan tenggelamnya sebuah ketinting pada hari Sabtu 24 Desember 2011 yang mengakibatkan satu orang hilang dan delapan buah sepeda motor tenggelam ke dasar Sungai Mahakam.
b. Dampak terhadap Layanan Kesehatan
Dilihat dari mobilitas terhadap akses kesehatan masyarakat Tenggarong Seberang mengaku terganggu akibat runtuhnya JKK (52% dari 25 responden) karena mereka biasa mengakses layanan kesehatan di Tenggarong. Selebihnya (48%) masih bisa memanfaatkan fasilitas kesehatan seperti Puskesmas dan Polindes atau Rumah Sakit di Samarinda. Di sisi Tenggarong, 55% dari 57 responden justru tidak terganggu. (Gambar 5)
Sebagian warga Tenggarong Seberang (42% dari 25 responden) memanfaatkan ferry penyeberangan untuk tetap mendapatkan layanan kesehatan. Pindah fasilitas seperti berobat ke Puskesmas dan Polindes setempat yang tidak perlu menyeberang juga menjadi alternatif sebanyak 37% responden. Melalui rute lain untuk ke rumah sakit di Samarinda juga dilakukan oleh 11% responden. Selebihnya (5%) menjawab tidak tahu dan (5%) menjawab lainnya. Sedangkan masyarakat Tenggarong yang memerlukan pelayanan kesehatan seperti ke RS di Samarinda sebagian besar dari 57 responden (44%) memilih menggunakan rute darat yang lebih jauh, menggunakan ferry penyeberangan (36%), pindah fasilitas seperti memanfaatkan layanan kesehatan yang tersedia di Tenggarong (11%), tidak tahu (6%) dan lainnya (3%) sebagaimana dapat dilihat pada gambar 5. Kendala yang dihadapi responden di Tenggarong Seberang untuk mendapatkan fasilitas kesehatan adalah waktu tempuh menjadi lebih lama (38%) dari 25 responden, biaya yang dikeluarkan lebih besar untuk transportasi (25%), tidak tahu (25%), tidak menghadapi kendala berarti (8%) dan mengeluhkan kualitas layanan menjadi menurun (4%).
Kendala yang sama juga dihadapi masyarakat Tenggarong seperti biaya perjalanan mejadi lebih besar (31%) dari 25 responden, waktu tempuh menghabiskan waktu lebih lama (26%), tidak tahu (21%), kualitas layanan menjadi menurun (18%) dan menjawab tidak ada kendala (4%).
Gambar 5. Pilihan transportasi alternatif untuk layanan kesehatan pasca runtuhnya jembatan
20
JKK sebelum runtuh juga dimanfaatkan masyarakat untuk mengakses berbagai macam layanan kesehatan. Rumah Sakit Umum (RSU) di tingkat kabupaten, yaitu AM Parikesit terletak di Kota Tenggarong. RSU ini memang lebih kecil dibandingkan dengan RSU Samarinda, tetapi memiliki peralatan kedokteran, dokter umum dan spesialis, serta tenaga medis yang cukup memadai. Warga Tenggarong Seberang yang bertempat tinggal tak jauh dari Sungai Mahakam lebih memilih RSU AM Parikesit untuk memperoleh layanan kesehatan. Salah satu penyebabnya, sering tidak tersedia tenaga medis dan layanan tutup di Puskesmas
Dampak Sosial Ekonomi dan Lingkungan Akibat Runtuhnya Jembatan Kutai Kertanegara Bangkit A Wiryawan, Achmad Helmi, Bambang Sudjatmiko atau Puskesmas Pembantu Tenggarong Seberang. Sedangkan masyarakat yang tempat tinggalnya semakin jauh dari tepi Sungai Mahakam memilih ke RSU Samarinda karena lebih dekat.
Selain memfasilitasi warga yang sakit, JKK juga menjadi sarana bagi para dokter dan tenaga medis lainnya untuk menuju maupun pulang dari RSU AM Parikesit dan Puskesmas di Tenggarong Seberang. Sebelum JKK runtuh, pada pagi hari sebelum berangkat ke Tenggarong Seberang biasanya sebagian dokter masih bisa praktek atau memberi layanan kesehatan dengan membuka klinik di Tenggarong. Pada sore hari setiba dari Tenggarong Seberang mereka juga masih praktek. Tetapi kini setelah jembatan runtuh, hal semacam itu sangat sulit dilakukan karena mereka harus berangkat ke Puskesmas dan klinik di Tenggarong Seberang lebih pagi, dan pulang ke Tenggarong lebih sore daripada biasanya. Sebagian dokter bahkan memperpanjang tugas jaga di Puskesmas atau klinik di Tenggarong Seberang (dan kecamatan-kecamatan di sekitarnya) satu-dua hari supaya waktu gilir tugas jaganya bisa lebih lama.
Ibu-ibu warga Tenggarong Seberang yang akan melahirkan biasanya juga memanfaatkan layanan RSU AM Parikesit Tenggarong. Dahulu sebelum jembatan runtuh, mereka yang akan berobat atau ibu-ibu yang akan melahirkan di Rumah Sakit Tenggarong biasanya menggunakan mobil ambulans melewati JKK. Sekarang setelah jembatan runtuh, mobil ambulan harus diseberangkan dengan ferry, dan sudah barang tentu waktu tempuh perjalanannya menjadi lebih panjang. Sampai dengan penelitian ini dilakukan tidak ada ferry yang khusus dipergunakan untuk mengangkut mobil ambulans. Artinya mobil ambulan diangkut dengan ferry yang dalam waktu yang sama juga mengangkut mobil-mobil lain. Oleh karena itu, ketika terjadi antrean panjang mobil yang mau masuk ferry, perjalanan mobil ambulans tersebut ikut terhambat. Mereka masih berharap masalah keterlambatan mobil ambulans tersebut bisa di atasi setelah dermaga darurat yang kini dibangun dapat berfungsi seperti yang direncanakan. Berdasarkan uraian di atas, perubahan mobilitas di bidang layanan kesehatan akibat runtuhnya JKK tidak berdampak terlalu luas secara geografis. Sebab masyarakat yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap fasilitas kesehatan hanya mereka yang bertempat tinggal di Tenggarong Seberang. Itupun hanya warga yang tinggal di tepian Sungai Mahakam. Warga yang tempat tinggalnya dalam radius yang semakin jauh dari tepi Mahakam lebih banyak mengakses layanan kesehatan ke Samarinda.
Meskipun berdasarkan cakupan geografis dampaknya tidak terlalu luas, namun dari sisi urgensi hal tersebut tidak bisa dianggap ringan. Layanan kesehatan mencakup kecepatan dan ketepatan penanganan karena menyangkut keselamatan jiwa seseorang. Dengan demikian dampak pada layanan kesehatan akibat runtuhnya JKK dapat dikategorikan dalam intensitas atau tingkat sedang.
Masyarakat melakukan dua jenis adaptasi terhadap gangguan mobilitas di bidang kesehatan ini. Mayoritas responden (44%) di Tenggarong Seberang yang biasa berobat ke Kota Tenggarong beralih ke Kota Samarinda meskipun jaraknya lebih jauh. Sedangkan 36% responden tetap ke kota Tenggarong dengan menyeberang menggunakan ferry atau ketinting. Sejauh penelitian ini dilakukan, belum dapat diidentifikasi apakah pilihan tempat berobat warga tersebut berdasarkan tingkat urgensi atau kritisnya penyakit yang membutuhkan penanganan cepat.
Data lain dari Pusat Data Elektronik RSU AM Parikesit Tenggarong yang diakses pada 8 Desember 2011 atau 12 hari pasca runtuhnya JKK menyebutkan terjadinya penurunan jumlah pasien dari Tenggarong Seberang yang berobat ke RSU AM Parikesit Tenggarong. Selama 12 hari sejak JKK runtuh (periode 26 November – 8 Desember 2011), angka kunjungan pasien dari Tenggarong Seberang sebanyak 30 kali kunjungan. Sedangkan pada periode sebelumnya selama satu bulan (1-31 Oktober 2011) sebanyak 128 kali kunjungan. Sehingga secara statistik menunjukkan penurunan hampir 50% jika dihitung dengan rentang waktu yang sama. Namun data tersebut tidak cukup untuk membuat justifikasi penurunan tersebut karena waktu pengamatan yang terlalu singkat. Adaptasi masyarakat yang dilakukan secara spontan tersebut bisa jadi hanya bersifat sementara, dengan keberlanjutan yang rendah. Kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan tersebut dikhawatirkan berdampak buruk, berupa kualitas kesehatan yang cenderung menurun. Oleh sebab itu diperlukan respons dari pemerintah untuk memberikan layanan yang lebih baik.
Selama penelitian ini berlangsung, pemerintah daerah setempat belum menunjukkan respons yang signifikan terhadap kesulitan masyarakat tersebut. Respons pemerintah daerah yang sudah tampak, baru sebatas pembangunan dermaga dan penyediaan ferry ukuran besar yang diharapkan dapat memfasilitasi penyeberangan ambulan dengan cepat. Masih diperlukan regulasi yang mendukung pengoperasiannya.
21
c. Dampak terhadap Kegiatan Perdagangan
JKK selama ini juga memfasilitasi masyarakat di Kutai Kartanegara dalam menjalankan kegiatan di sektor perdagangan. Dari penelitian ini diketahui frekuensi mobilitas masyarakat di Tenggarong maupun Tenggarong Seberang melewati JKK cukup tinggi sebelum JKK runtuh. Dari 57 responden di Tenggarong, sebanyak 57% di antaranya mengaku setiap hari melewati JKK, 18% sering melewati, 9% jarang, dan 16% sangat jarang. Sedangkan dari 25 responden di Tenggarong Seberang, sebanyak 63% menyatakan setiap hari melewati JKK, 6% mengaku sering, 12% mengatakan jarang dan 19% sangat jarang. Namun frekuensi mobilitas masyarakat di sektor perdagangan berubah setelah JKK runtuh. Perubahan paling menyolok terjadi pada masyarakat di Tenggarong. Dari 57 responden di Tenggarong, hanya tinggal 24% yang menyatakan setiap hari melewati JKK, 7% sering, 20% jarang dan 49% sangat jarang. Sedangkan bagi masyarakat di Tenggarong Seberang, dari 25 responden yang diwawancarai, sebanyak 44% menyatakan setiap hari, 6% sering, 25% jarang dan 44% sangat jarang.
Penelitian ini juga menelusuri mobilitas masyarakat di sektor perdagangan setelah JKK runtuh. Dari 57 responden di Tenggarong, 39% diantaranya menyatakan memilih rute memutar yang lebih jauh, 29% tetap menyeberang Sungai Mahakam menggunakan ferry, 15% menyatakan tetap berdagang tapi tanpa harus menyeberang dan sisanya 17% tidak menjawab. Sedangkan bagi masyarakat Tenggarong Seberang, mobilitas pasca runtuhnya JKK tetap tinggi. Dari 25 responden, sebanyak 38% diantaranya menggunakan ferry, 6% memilih rute memutar dan 56% sisanya tidak menjawab. Baik masyarakat di Tenggarong maupun Tenggarong Seberang, mayoritas menyatakan mobilitas di bidang perdagangan terganggu dengan
runtuhnya JKK, yaitu 60% dari 57 responden di Tenggarong mengaku terganggu, demikian pula 62% dari 25 responden di Tenggarong Seberang menyatakan terganggu.
Akibat gangguan mobilitas setelah runtuhnya JKK tersebut, sebagian masyarakat mampu beradaptasi dengan melakukan beberapa pilihan tindakan agar mampu bertahan di sektor perdagangan. Dari 57 responden di Tenggarong, 12% di antaranya menyatakan mengubah pola pemasaran, 17% mencari pasar alternatif, dan 59% sisanya tidak memberikan jawaban. Sedangkan 25 responden di Tenggarong Seberang, sebanyak 8% diantaranya memilih menimbun komoditas, 46% menjawab tidak tahu dan sisanya 46% memberikan jawaban lain seperti berhenti dari aktivitasnya, seperti terlihat pada gambar 6.
Sejumlah warga masyarakat yang ditanyai tentang masalah apa yang dihadapi dalam melakukan kegiatan perdagangan setelah JKK runtuh, memberikan jawaban yang beragam. Dari 57 responden di Tenggarong, sebanyak 38% di antaranya menjawab biaya yang dikeluarkan dalam aktivitas perdagangannya menjadi lebih besar, 33% menyatakan waktu tempuh lebih lama, 14% menyatakan harga komoditas naik, 10% mengaku tidak menghadapi kendala yang berarti dan sisanya 5% tidak menjawab. Masyarakat di Tenggarong Seberang memberikan jawaban yang tidak jauh berbeda. Dari 25 responden, sebanyak 30% diantaranya menyatakan waktu tempuh lebih lama, 22% menyatakan biaya yang dikeluarkan lebih besar, 22% mengaku tidak menemui kendala yang berarti, 17% menyatakan harga komoditas naik dan sisanya 9% tidak memberikan jawaban, seperti yang ditunjukkan gambar 7. JKK memiliki peran yang amat penting dalam kegiatan perdagangan, terutama sebagai sarana menyalurkan berbagai macam komoditas dari
Gambar 6. Strategi Adaptasi Masyarakat di Bidang Perdagangan
22
Dampak Sosial Ekonomi dan Lingkungan Akibat Runtuhnya Jembatan Kutai Kertanegara Bangkit A Wiryawan, Achmad Helmi, Bambang Sudjatmiko Tenggarong ke Tenggarong Seberang (dan kecamatan-kecamatan di sekitarnya). Kebutuhan pelbagai jenis kebutuhan hidup sehari-hari banyak yang dipasok dari agen-agen yang berdomisili di Tenggarong dan disalurkan ke Tenggarong Seberang (dan kecamatan-kecamatan sekitarnya) melalui JKK. Setelah jembatan tersebut runtuh, kini disalurkan melalui ferry atau ketinting. Biaya transportasi kemudian meningkat dan selisih biaya tersebut dibebankan kepada konsumen. Oleh karena itu, menjadi mudah dipahami manakala harga sejumlah barang di Tenggarong Seberang terjadi kenaikan setelah jembatan tersebut runtuh. Informasi yang diperoleh menyebutkan bahwa setelah JKK runtuh harga barang di Kota Tenggarong tidak mengalami kenaikan. Barang-barang tersebut dipasok dari Samarinda, Kutai Barat dan Kutai Timur melalui jalan darat yang tidak perlu menyebarangi sungai Mahakam. Barang-barang tersebut juga dipasok dengan ferry menyusuri Sungai Mahakam. Berbeda dengan kondisi di Tenggarong, runtuhnya JKK telah memukul sektor perdagangan di wilayah Tenggarong Seberang terutama dalam radius yang dekat dari jembatan, seperti Desa Loa Lepu, Teluk Dalam, dan Jongkang kesemuanya
di Kecamatan Tenggarong Seberang yang dilalui jalan raya Tenggarong-Samarinda yang melewati Jembatan Kukar. Sebagian besar pelaku usaha kecil di jalur tersebut seperti warung kelontong, warung makan dan penjual buah-buahan mengaku usahanya redup setelah putusnya JKK. Sebelum JKK runtuh banyak kendaraan dan orang berlalu-lalang. Namun sejak JKK runtuh, jalur tersebut berubah sepi yang mengakibatkan jumlah pembeli menurun sangat drastis. Bahkan sejumlah pemilik warung makan memutuskan untuk menutup warungnya dengan alasan selain sepinya pembeli juga kesulitan belanja bahan sayur-mayur karena harus menyeberang sungai ke Tenggarong.
Mereka berharap jalur Tenggarong-Samarinda yang melewati jembatan Kukar dihidupkan kembali dengan cara menempatkan dermaga penyeberangan di lokasi yang bisa membuat kendaraan dan lalulintas orang melewati tempat usaha mereka seperti sebelum JKK runtuh. Sebab jika usaha mereka mati, dikhawatirkan angka pengangguran dan kemiskinan akan meningkat. Sementara itu wilayah-wilayah di sisi Tenggarong Seberang yang berada jauh dari JKK tidak terlalu merasakan dampak runtuhnya JKK, misalnya Kota Kecamatan Tenggarong Seberang yang berjarak sekitar 20 kilometer dari bekas JKK. Daerah ini tidak memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap Kota Tenggarong sehingga tidak terlalu merasakan dampak runtuhnya JKK. Demikian pula Kecamatan Sebulu yang berjarak sekitar 75 kilometer dari bekas JKK tidak terlalu merasakan dampak putusnya JKK.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa cakupan dampak yang ditimbulkan oleh perubahan mobilitas terhadap kegiatan perdagangan atau perekonomian secara geografis hanya signifikan di wilayah Tenggarong Seberang. Terutama wilayah yang berada di sekitar tapak JKK atau tidak jauh dari tepi Sungai Mahakam. Meskipun hanya menyangkut sedikit pelaku usaha, namun dikhawatirkan dapat menimbulkan efek berantai berupa bertambahnya angka kemiskinan dan pengangguran akibat kehilangan mata pencaharian. Sehingga intensitas dampak yang ditimbulkan dapat dikategorikan dalam tingkat tinggi.
Gambar 7. Permasalahan mobilitas di sektor perdagangan pasca runtuhnya jembatan
Sebagian masyarakat yang hidup dari berdagang di Tenggarong Seberang tidak menunjukan kemampuan beradaptasi pasca runtuhnya JKK. Sebagai contoh, pengusaha warung makan di Tenggarong Seberang menutup usahanya. Sebab biasanya mereka berbelanja bahan makanan dan sayuran segar pada pagi buta ke Pasar Tenggarong. Setelah JKK tidak berfungsi, mereka tidak berani menyeberang pada pagi buta dengan ketinting.
23
Selain itu biaya produksi makanan menjadi semakin tinggi akibat ongkos tambahan yang dikeluarkan, sementara itu jika harga jual makanan dinaikkan berisiko tidak bisa diterima oleh pelanggannya. Sejumlah pemilik toko kelontong, buah-buahan, dan bensin eceran di Tenggarong Seberang hanya bisa pasrah. Mereka selama ini menggantungkan hidupnya dari keramaian pengguna jalan yang berlalu-lalang melewati JKK. Kini warung-warung mereka kehilangan pelanggan, setelah lalu-lintas kendaraan di jalur Tenggarong-Samarinda sepi. Kegagalan mereka beradaptasi dalam jangka panjang akan merasakan dampak runtuhnya JKK. Aset dan kapabilitas yang telah mereka bangun dan miliki selama ini akan mengalami perubahan negatif.
Pemerintah menunjukkan respon yang cukup baik dengan membangun dermaga ferry ukuran besar di dekat tapak JKK. Pada saat dermaga dan penyeberangan tersebut nantinya beroperasi diperkirakan akan dapat menghidupkan kembali jalur di Tenggarong Seberang yang sebelumnya mati pasca runtuhnya JKK. d. Dampak terhadap Kegiatan Pertambangan
Sebelum JKK runtuh, setiap hari kapal-kapal ponton (tongkang) pengangkut batubara berlalulalang di bawah jembatan tersebut dari lokasi penambangan (bagian hulu) menuju ke hilir, tempat bersandarnya kapal besar yang akan mengangkut batubara ke luar Kalimantan. Frekuensi ponton (tongkang) yang melintas di bawah JKK cukup padat, yang menurut informasi mencapai 20-30 buah per hari. Kapal ponton ini tergolong besar karena mampu memuat batubara sekitar 40 ribu metrik ton (ukuran 300 feet). Oleh karena itu ombak yang ditimbulkan oleh kapal-kapal tersebut acapkali cukup besar dan bisa berdampak terhadap perjalanan ferry kecil dan ketinting. Setelah sampai di dermaga tepi pantai, muatan batubara tersebut sudah ditunggu oleh kapal-kapal besar. Setiap kapal besar bisa menampung batubara sebanyak volume ponton. Setelah JKK runtuh, aktivitas tersebut menjadi sangat terganggu. Kapal-kapal ponton yang memuat batubara tidak bisa melewati bekas jembatan, karena masih banyak reruntuhan dan kendaraan (motor dan mobil) yang belum dapat dievakuasi. Pada saat penelitian dilakukan sejumlah ponton tertahan karena tidak bisa melewati bawah jembatan, baik ponton berisi batabura untuk dibawa ke kapal-kapal besar, maupun ponton kosong yang akan mengambil batubara di lokasi-lokasi penambangan. Pada saat penelitian ini dilakukan belum dapat diperoleh informasi seputar kebijakan pemerintah daerah atau pemerintah provinsi untuk mengatasi terhentinya
24
kapal-kapal ponton tersebut. Apabila masalah ini tidak segera terpecahkan, maka kerugian yang terkait dengan kegiatan pertambangan diperkirakan semakin tinggi.
Sungai Mahakam merupakan jalur transportasi utama untuk pengangkutan batubara. Runtuhnya JKK untuk sementara waktu sangat mengganggu lalu-lintas tongkang atau kapal ponton yang mengangkut batubara. Selama penelitian ini berlangsung sampai hari ke-12 sejak runtuhnya JKK, tongkang-tongkang pengangkut batubara tersebut belum diperbolehkan melewati bekas JKK yang runtuh. Hal ini karena di dasar sungai yang berada di bawah bekas JKK masih teronggok reruntuhan jembatan dan sejumlah kendaraan yang masih dalam proses evakuasi. Kondisi tersebut menyulitkan pengusaha batubara dan berpotensi menimbulkan kerugian cukup besar.
Sebagian besar perusahaan tambang hanya bisa pasrah dengan kebijakan penutupan jalur transportasi Sungai Mahakam tersebut. Mereka tak punya pilihan lain kecuali hanya menunggu dibukanya kembali jalur tersebut. Berdasarkan informasi dari beberapa narasumber, sejumlah perusahaan tambang telah berupaya mengantisipasi kerugian akibat berhentinya pendistribusian batubara dengan berbagai cara. Misalnya bagi perusahaan yang memiliki lapangan eksploitasi di bagian hilir, mereka mengoptimalkan produksi di areal tersebut. Selain itu juga “meminjam” batubara milik perusahaan lain yang tidak terkendala transportasi di bagian hilir untuk memenuhi pesanan agar tidak terhenti. Kendati demikian perlu disadari bahwa upaya tersebut hanya bersifat sementara dan tidak akan bertahan dalam jangka panjang. Dari paparan tersebut, dampak yang ditimbulkan oleh runtuhnya JKK bagi kegiatan pertambangan dapat dikategorikan dalam tingkat tinggi. Sehingga perlu kebijakan pemerintahan untuk menyelesaikannya karena kegiatan pertambangan memberikan kontribusi cukup besar bagi pendapatan daerah. Namun pada saat laporan penelitian ini disusun diperoleh informasi bahwa Pemda Kutai Kartanegara telah membuka kembali jalur transportasi Sungai Mahakam bagi kapal pengangkut batubara. Namun belum diketahui secara pasti besarnya kerugian yang ditimbulkan selama penutupan sementara jalur tersebut. e. Dampak di Bidang Pariwisata
Keberadaan JKK bukan hanya berfungsi memfasilitasi mobilitas pelbagai kegiatan, tetapi jembatan tersebut juga sebagai obyek wisata. Bahkan jembatan yang disebut sebagai “golden
Dampak Sosial Ekonomi dan Lingkungan Akibat Runtuhnya Jembatan Kutai Kertanegara Bangkit A Wiryawan, Achmad Helmi, Bambang Sudjatmiko gate” Kalimantan Timur tersebut dalam sepuluh tahun terakhir ini dinyatakan sebagai icon Kabupaten Kutai Kartanegara. Pada saat weekend atau hari-hari libur banyak wisatawan dari luar Kota Tenggarong berkunjung menikmati keindahan jembatan tersebut. Di sekitar jembatan telah dalam beberapa tahun terakhir ini dibangun ruang terbuka yang lazim dipergunakan untuk pentas seni. Kemudian tidak jauh dari jembatan ini terdapat obyek wisata Pulau Kemala yang juga dikunjungi oleh wisatawan dari luar Tenggarong. Kunjungan wisatawan ke Tenggarong telah menghidupkan pedagang-pedagang makanan, minuman, buahbuahan, souvenir yang menjual dagangannya di tepi Sungai Mahakam. Setelah jembatan runtuh, tidak ada lagi kegiatan pariwisata di sekitar jembatan tersebut. Kegiatan pedagang-pedangan makanan, minuman, buahbuahan dan souvenir memang masih ada tetapi jauh berkurang. Ruang terbuka di bawah jembatan yang runtuh kini merupakan lokasi (spot) yang tertutup, tidak boleh dikunjungi oleh siapapun kecuali petugas-petugas dan pejabat-pejabat yang berkepentingan dengan proses evakuasi reruntuhan dan kendaraan (sepeda motor dan mobil) yang masih berada di bawah jembatan. Sampai dengan penelitian ini dilakukan di lokasi tersebut masih berdiri tenda-tenda pos komando dari berbagai instansi yang bertanggungjawab terhadap kegiatan evakuasi.
Bangunan dengan bentang sekitar 710 meter tersebut merupakan pemandangan yang indah sehingga menarik untuk dikunjungi. Pemerintah juga melengkapi area di sekitar jembatan tersebut dengan sejumlah fasilitas misalnya taman, panggung terbuka dan gedung pertemuan. Namun setelah JKK runtuh, objek wisata tersebut turut hilang. Bangunan jembatan yang menjadi kebanggaan masyarakat di Kalimantann Timur
tersebut lenyap dari pandangan. Selain itu arena publik seperti taman dan panggung terbuka yang sebelumnya disediakan dan menjadi objek kunjungan masyarakat dialihfungsikan untuk tenda-tenda darurat.
Salah satu pilihan bagi masyarakat maupun pelaku wisata saat ini adalah mengunjungi objek wisata lain terdekat, antara lain Museum Kerajaan Kutai Kartanegara. Sedangkan pelaku usaha yang biasa memanfaatkan area sekitar jembatan untuk berjualan praktis tak bisa lagi membuka usahanya di area tersebut. Dengan demikian dampak runtuhnya JKK bagi sektor pariwisata cukup besar. Respons pemerintah terkait kegiatan pariwisata hingga laporan ini disusun belum ditunjukkan secara signifikan. Sebab area terbuka untuk publik di sekitar JKK masih difungsikan untuk tenda-tenda darurat. Untuk mengukur secara pasti dampak ekonomi yang ditimbulkan diperlukan penelitian lebih lanjut. f. Dampak di Bidang Lingkungan
Dermaga-dermaga penyeberangan baru yang muncul di beberapa lokasi, merupakan titik keramaian yang baru di tepian Sungai Mahakam (Gambar 8). Keramaian itu ditandai dengan lalulintas kendaraan di sekitar dermaga maupun di sepanjang jalan menuju dermaga yang meningkat drastis dibanding kondisi sebelum JKK runtuh. Meningkatnya keramaian di lokasi tersebut diperkirakan akan mendorong masyarakat untuk menciptakan aktivitas ekonomi maupun membangun permukiman yang baru dalam beberapa waktu ke depan. Jika bangunan-bangunan baru di lokasi tersebut bermunculan, dikhawatirkan akan berpotensi melahirkan dampak lanjutan yang saat ini belum terlihat namun diperkirakan bisa terjadi pada waktu mendatang. Dampak lanjutan tersebut
Gambar 8. Munculnya dermaga-dermaga baru menyebabkan lalu-lintas di sepanjang jalan menuju dermaga yang sebelumnya sepi, berubah sangat ramai setelah JKK runtuh.
25
berupa masalah lingkungan seperti sanitasi dan permukiman yang tidak layak huni. Tidak tertutup kemungkinan pula di kemudian hari muncul tempattempat hiburan malam yang dapat menimbulkan masalah sosial.
Persoalan lain yang juga berpotensi muncul adalah pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah maupun alih fungsi lahan. Ketidaksesuaian fungsi lahan di tepian sungai dapat menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem, selain juga masalah estetika. Aliran Sungai Mahakam yang memiliki riwayat pernah meluap juga akan menjadi masalah berikutnya jika di sepanjang tepi sungai terdapat banyak hunian.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis sebagaimana uraian yang telah dipaparkan pada tulisan ini, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Setelah Jembatan Kutai Kartanegara runtuh, frekuensi dan intensitas penggunaan ferry dan ketinting semakin tinggi. Kondisi tersebut akan berlangsung hingga 3-5 tahun kedepan atau sebelum jembatan baru selesai dibangun. Intensitas dan frekuensi penggunaan alat transportasi dari Tenggarong – Loa Janan – Samarinda (maupun sebaliknya) semakin tinggi. 2. Runtuhnya jembatan menyebabkan intensitas dan frekuensi penggunaan jembatan Mahakam dan Mahulu, sebagai jalur darat alternatif yang paling reliable, semakin tinggi. 3. Jalur alternatif lain yang juga bertambah tinggi intensitasnya adalah jalur sungai di antara Kecamatan Tenggarong Seberang dan Kota Tenggarong, dengan memanfaatkan jasa penyeberangan ferry (umumnya kendaraan roda 4) dan ketinting (umumnya kendaraan roda 2).
4. Keberlanjutan usaha ekonomi masyarakat di Tenggarong Seberang sangat tergantung dari lalu-lintas yang melewati Jembatan Kutai Kartanegara menuju Samarinda dan sebaliknya, sebelum jembatan tersebut runtuh. Runtuhnya jembatan membuat aktivitas ekonomi masyarakat Tenggarong Seberang di sekitar jembatan menurun secara signifikan.
DAFTAR PUSTAKA Tjiptoherijanto, Prijono. 2000. Mobilitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi. Makalah disampaikan dalam Simposium Kementerian
26
Transmigrasi dan Kependudukan, 25-26 Mei 2000. Cooley, Charles Horton. 1894. The Theory of Transportation, dalam Publication of the American Economic Association. Dinas Perhubungan. 2007. Tataran Transportasi Lokal. Jakarta: PT Adhiyasa Decision. Glaser, Barney G dan Anselm L. Strauss. 1967. The Discovery of Grounded Theory; Strategis for Qualitative Research. New York: Aldine. MICD UGM dan Puslitbang Sosekling. 2011. Laporan Kajian dampak Runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Laporan Penelitian. Murzaki. 2007. Mari Mengenal Kaltim. Samarinda: Biro Humas Setdaprov Kaltim. Undang-Undang No 38 tahun 2004 tentang Jalan. Undang-Undang No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.