DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN EKSPOR ROTAN TERHADAP EKSPOR PRODUK ROTAN INDONESIA KE 5 (LIMA) NEGARA PENGIMPOR PRODUK ROTAN PERIODE 1986-2012 Armeity Rossi Triwahyuni I Kadek Dian Sutrisna Artha Program Magister Perencanaan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia Abstract Rattan is a commodity of non-timber forest products in Indonesia and 80% have been exported all over the world, it causes the government issued several policies related rattan trading system. This study was conducted to determine the policy-impact of the restriction on the export of rattan on Indonesian rattan products exports and identify the factors that influence the Indonesian rattan product exports to five countries importing the largest Indonesian rattan products. This study uses panel dataPooled Least Square method. Policy-impact ofthe restriction on export of rattan will decrease to five countries importing the largest rattan products. GDP per capita of the five largest importer of rattan products, real exchange rate, Indonesia and the world economic crisis affects the volume of Indonesian rattan product exports to five countries importing the largest rattan products. Keywords: Indonesian Rattan Products Export; Policy-Impact of the restriction on Export of Indonesian Rattan; Pooled Least Square method. JEL classification codes: E20, F13 Abstrak Rotan merupakan komoditas hasil hutan non-kayu terbesar di Indonesia dan sebesar 80% telah diekspor ke seluruh dunia, hal tersebut menyebabkan pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan terkait tataniaga rotan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dampak dari kebijakan pembatasan ekspor rotan mentah terhadap ekspor produk rotan Indonesia dan mengidentifikasi faktor-faktor apa yang mempengaruhi ekspor produk rotan Indonesia ke lima negara terbesar pengimpor produk rotan. Penelitian ini menggunakan data panel metode Pooled Least Square. Dampak dari kebijakan pembatasan ekspor rotan mentah akan menurunkan permintaan volume ekspor produk rotan ke lima negara terbesar pengimpor produk rotan. GDP perkapita lima negara terbesar pengimpor produk rotan, nilai tukar riil, krisis ekonomi Indonesia dan krisis ekonomi dunia mempengaruhi volume ekspor produk rotan Indonesia ke lima negara terbesar pengimpor produk rotan. Kata kunci: Ekspor Produk Rotan Indonesia; Kebijakan Pembatasan Ekspor Rotan Indonesia; Metode Pooled Least Square. GEL Klasifikasi : E20, F13 PENDAHULUAN Hutan secara umum lebih dikenal sebagai penghasil kayu dan non kayu jenisnya sangat beragam yang tersebar pada kawasan hutan di seluruh daerah di Indonesia. Akibat adanya praktek ilegal loging pemungutan dan pemanfaatan hasil hutan semakin meningkat dan makin tidak terkendali. Dengan semakin berkurangnya hasil hutan berupa kayu, pemungutan hasil hutan mulai beralih pada beberapa hasil hutan non kayu yang salah satu diantaranya yaitu rotan. Sebagai komoditi yang mulai diandalkan untuk penerimaan negara, rotan telah dipandang sebagai komoditi perdagangan hasil hutan yang cukup penting bagi Indonesia. Produk rotan ini juga telah menambah penerimaan ekspor unggulan selain minyak dan gas bumi serta dapat disejajarkan dengan penerimaan ekspor utama pertanian lainnya seperti kopi, karet dan minyak sawit (Erwinsyah, 1999, p.1). Rotan sebagai sumber devisa yang sangat besar bagi negara, karena Indonesia negara terbesar penghasil rotan mentah di dunia (Peter Hirschberger, 2011). Rotan merupakan bahan baku pabrik atau industri besar baik industri baik maupun industri kecil (home industry), sebagai sumber mata pencarian dan atau lapangan pekerjaan serta meningkatkan taraf hidup dan perekonomian masyarakat sekitar hutan. Pemanfaatan rotan secara umum lebih dikenal sebagai bahan untuk membuat meubel atau furnitur, akan tetapi rotan juga
Dampak kebijakan..., Armeity Rossi Triwahyuni, FE UI, 2014
dapat digunakan hampir di semua segi kehidupan manusia seperti konstruksi rumah, isi rumah, perkantoran, jembatan, keranjang, tikar, lampit, tali dan lain-lain. Rotan merupakan komoditas hasil hutan non-kayu tradisional, yang memberi kehidupan bagi sekurangnya dua juta rakyat Indonesia yang umumnya tersebar di Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Pasokan bahan baku rotan Indonesia mencapai sebanyak 80% untuk dipasarkan ke dunia, sedangkan sisanya dihasilkan oleh negara lain seperti Vietnam, Singapura, China dan negara asia lainnya. Apabila 80% pasokan dunia tersebut diolah terlebih dahulu sebelum diekspor, maka Indonesia mempunyai potensi menguasai pasar produk rotan (Achmad Sigit Santoso, 2012, p.1). Persentase total ekspor produk rotan Indonesia terhadap ekspor produk rotan pada periode tahun 2009 sampai dengan tahun 2013, rata-rata hampir mencapai 40% dari ekspor produk rotan dunia. Hal ini terlihat pada tabel di bawah ini menunjukkan bahwa pada tahun 2009, pasar produk rotan Indonesia mencapai 38,96 % dari total ekspor produk rotan dunia walaupun terus mengalami penurunan hingga mencapai angka 29,20% tahun 2012 tetapi total ekspor poduk rotan Indonesia terhadap total ekspor produk rotan dunia kembali mengalami kenaikan pada tahun 2013 mencapai 33,77%.
NO
Tahun
1 2 3 4 5
2009 2010 2011 2012 2013
Tabel 1. Total Ekspor Produk Rotan Indonesia Dengan Total Ekspor Produk Rotan Dunia Total Ekspor Persentase Total Ekspor Total Ekspor Produk Rotan Produk Rotan Indonesia Produk Rotan Dunia terhadap Total Ekspor (Juta US$) (Juta US$) Produk Rotan Dunia (%) 223,76 574,30 38,96 211,78 569,42 37,19 204,02 550,59 37,05 158,13 541,47 29,20 175,67 520,13 33,77
Sumber: BPS (2014)
Pasar utama dunia untuk produk rotan terdiri dari Amerika Serikat, Jerman dan Jepang. Ketiga negara tersebut memiliki pangsa akumulatif tahun 2013 sebesar 39,54%. Produk rotan yang dimaksud adalah kerajinan dan furnitur rotan dengan menggunakan data HS 6 digit yaitu HS 460122, HS 460193, HS 460212, HS 940151 dan HS 940381. Tabel 2. Pasar Utama Produk Rotan di Dunia (US$ Juta)
No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Negara
Dunia Amerika Serikat Jerman Jepang Inggris Perancis Belanda Belgia Spanyol Swiss Kanada Negara Lainnya
2009
2010
2011
2012
2013
Growth 2012/2013
Trend s% 2009 s.d. 2013
574,30 107,26 78,19 39,63 39,33 50,77 26,34 21,97 19,15 14,93 13,72 163,03
569,42 109,64 64,80 38,37 39,18 43,29 31,47 21,63 18,30 16,90 13,97 171,87
550,59 113,09 62,13 37,93 35,29 33,33 27,62 17,90 14,93 16,10 11,80 180,47
541,47 120,69 51,71 41,47 33,89 29,58 27,64 16,52 12,23 13,35 11,12 183,27
520,13 121,06 43,93 38,34 37,04 25,16 20,57 14,26 10,72 13,43 10,94 184,68
-3,94 0,31 -15,04 -7,55 9,31 -14,94 -25,59 -13,71 -12,38 0,56 -1,58 0,77
-2,45 3,44 -12,88 0,12 -2,61 -16,35 -6,06 -10,71 -14,47 -4,38 -6,57 3,19
Pang sa 2013
100 23,28 8,45 7,37 7,12 4,84 3,95 2,74 2,06 2,58 2,10 35,51
Sumber: UNComtrade (2014)
Pasar produk rotan Indonesia di Amerika Serikat menunjukkan penguatan dan sangat potensial untuk berkembang terlihat pada tahun 2013 total impor produk rotan Amerika Serikat senilai US$ 121,06 juta terus meningkat dari tahun 2009 dan pangsanya terhadap dunia mengalami kenaikan 23,28% pada tahun 2013 serta trend impor 2009-2013 menunjukkan kenaikan 3,44% per tahun. Tahun 2013 pasar produk rotan di
Dampak kebijakan..., Armeity Rossi Triwahyuni, FE UI, 2014
Jerman juga menunjukkan pangsa pasar yang cukup besar terhadap dunia yaitu sebesar 8,45% walaupun mengalami jumlah impornya mengalami penurunan dibandingkan tahun 2012 yaitu sebesar 15,04%. Sedangkan total impor produk rotan yang dilakukan oleh negara Jepang walaupun tidak begitu besar tetapi menunjukkan penguatan yang sangat potensial untuk berkembang dengan trend periode 2009-2013 sebesar 0,12% pertahun. Sementara itu, total impor produk rotan yang dilakukan oleh negara Inggris, Perancis, Belanda, Italia dan Belgia cenderung turun dari tahun 2009 dan menunjukkan nilai trends yang negatif selama 5 tahun terakhir dimulai tahun 2009 sampai dengan tahun 2013. Pembatasan Ekspor Bebas Rotan Ekspor
Rotan
Pembatasan Ekspor Rotan
sumber: BPS (2014)
Gambar1.Total Ekspor Rotan Mentah dan Produk Rotan Indonesia ke Dunia Permintaan volume ekspor produk rotan Indonesia ke dunia mengalami kenaikan mulai pada tahun 1986 sampai dengan tahun 1995. Dilanjutkan pada tahun 1996 terjadi penurunan permintaan volume ekspor produk rotan, dan mengalami kenaikan pada tahun 1997 dan kembali mengalami penurunan yang cukup signifikan pada tahun 1998. Permintaan volume ekspor produk rotan Indonesia ke dunia mulai kembali menunjukkan kenaikan pada tahun 1999 sebesar 111.500 ton. Kenaikan permintaan terhadap volume ekspor produk rotan terus mengalami kenaikan sampai dengan tahun 2003. Pada tahun 2004 permintaan volume ekspor produk rotan mengalami penurunan menjadi sebesar 134.207 ton, kondisi penurunan permintaan ekspor produk rotan terus berlangsung hingga tahun 2012, walaupun sempat mengalami kenaikan pada tahun 2007. Gambar 1. menunjukkan bahwa pada periode pembebasan ekspor rotan mentah pada tahun 1992-1998, justru terjadi penurunan volume total ekspor rotan yang cukup signifikan dimulai tahun 1992 sebesar 53.297 kg hingga menjadi 1.283 kg pada tahun 1996. Periode pembebasan ekspor rotan ini dimulai ketika Menteri Perdagangan telah mengeluarkan SK No. 179/Kp/VI/92 yang berisi pencabutan terhadap SK Menteri Perdagangan sebelumnya, yaitu No. 179/Kp/XI/86 tentang larangan ekspor kelompok rotan bahan mentah, kelompok rotan barang setengah jadi dan kelompok rotan barang adalah bebas diekspor. SK tersebut tidak mengubah ketentuan atas ekspor Lampit yang diatur dalam SK No. 410/Kp/XII/88 tanggal 8 Juni 1992 yang memperbolehkan ekspor lampit, tetapi dengan sistem kuota. Ekspor hanya boleh dilakukan oleh Eksportir Terdaftar Lampit Rotan (ETLR) yang diakui Menteri Perdagangan. Meskipun terkesan pemerintah telah membebaskan ekspor rotan, tetapi peralihan dari larangan ekspor ke pajak ekspor sebenarnya tetap bertendensi untuk menghambat ekspor rotan keluar negeri dan menjamin pasokan bahan baku rotan dalam negeri. Dalam SK yang ditandatangani tanggal 8 Juni 1992 tersebut, secara eksplisit menyebutkan bahwa ekspor untuk bahan mentah dan rotan bahan setengah jadi dikenakan pajak sebesar US$ 15/kg untuk ekspor rotan mentah dan US$ 10/kg untuk ekspor rotan setengah jadi. Pajak tersebut dianggap cukup tinggi, karena rata-rata rotan mentah Indonesia di negara konsumen utama pada saat itu hanya sebesar US$ 2,1/kg, sedangkan untuk rotan setengah jadi hanya sebesar US$ 3,1/kg. (Widyaningrum dan Mulyoutami, 2003). Pada tanggal 3 Desember 1996, pemerintah baru mencabut SK 534/KMK/012/1992 mengenai ketentuan pajak ekspor sebesar US$ 10/kg dihapus melalui SK No 666/KMK/017/1996. Hal ini diperkuat dengan Letter of Intent antara pemerintah Indonesia dan IMF pada tahun 1998, yang salah satu poin kesepakatannya adalah menghapus larangan-larangan ekspor kecuali
Dampak kebijakan..., Armeity Rossi Triwahyuni, FE UI, 2014
untuk alasan keamanan dan kesehatan (butir 38) dan mengganti pajak ekspor dengan resources rent taxes, dengan besaran maksimal sebesar 10% pada akhir Desember 2000 (Paket perundingan IMF-Indonesia tahap III). Dalam perkembangan selanjutnya, periode pembatasan ekspor rotan yaitu tahun 1999-2012, dimulai saat pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 440/MPP/Kep/9/1998 tanggal 25 September 1998 Tentang Ketentuan Ekspor Rotan Bulat menetapkan bahwa Rotan bulat yang dapat diekspor adalah rotan yang sudah dirunti, dicuci, diasap atau dibelerangi dan rotan bulat yang sudah dipoles halus yang berasal dari Hutan Alam Produksi maupun dari hasil budi daya. Pada tahun 2004 Pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan mengenai Pengaturan Ekspor Rotan, yang menetapkan bahwa rotan yang dapat diekspor adalah jenis rotan Taman, Sega dan Irit yang berasal dari hasil budi daya baik dalam bentuk asalan maupun dalam bentuk setengah jadi melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 355/MPP/Kep/5/2004 tanggal 27 Mei 2004. Dilanjutkan dengan Peraturan Menteri Perdagangan No.12/M-DAG/PER/6/2005 tanggal 30 Juni 2005, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tidak terlalu berbeda dengan kebijakan tahun sebelumnya dengan memperbolehkan ekspor rotan yang berasal dari hutan alam, namun harus dalam bentuk rotan setengah jadi. Dalam kebijakan tersebut pemerintah juga menetapkan kuota ekspor untuk setiap tahunnya dengan memperhatikan ketersediaan bahan baku rotan industri dalam negeri dan kelestarian sumber daya hutan dan lingkungan hidup. Namun, dampak dari kebijakan tersebut justru menyebabkan perkembangan industri pengolahan rotan nasional menjadi terhambat dan kegiatan usaha tersebut menjadi lesu, hal tersebut dikarenakan para pengumpul dan eksportir rotan Indonesia lebih memilih untuk menjual rotan setengah jadi tersebut ke luar negeri daripada ke dalam negeri. Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 36/M-DAG/PER/2009, berisi mengenai ketentuan jenis dan jumlah rotan yang boleh diekspor dan hanya dapat dilakukan dari daerah penghasil rotan serta penerapan wajib pasok untuk rotan Non Taman/Sega/Irit. Tujuannya untuk memenuhi permintaan bahan baku rotan di dalam negeri untuk terjaminnya bahan baku rotan, adanya investasi bahan baku rotan, meningkatkan perekonomian daerah penghasil maupun industri rotan, kebijakan tersebut mulai berlaku pada bulan Oktober 2009. Namun, Peraturan Menteri Perdagangan tersebut dianggap belum mengakomodir industri rotan di dalam negeri, karena rotan mentah tetap dapat di ekspor (KPPU, 2010). Oleh karenanya, pada tanggal 30 Nopember 2011 dalam rangka pemanfaatan rotan secara berkesinambungan dan menjaga ketersediaan bahan baku bagi industri rotan serta mendukung peningkatan ekspor, pemerintah mengeluarkan paket peraturan dalam mengatur tata niaga rotan melalui peraturan Menteri Perdagangan Nomor 35/M-DAG/PER/11/2011 tentang Ketentuan Ekspor Rotan dan Produk Rotan. Peraturan tersebut juga diikuti dengan Permendag Nomor 36/M-DAG/PER/11/2011 tentang Pengangkutan Rotan Antar Pulau dan Permendag Nomor 37/M-DAG/PER/11/2011 tentang Barang yang dapat disimpan di Gudang Dalam Penyelenggaraan Sistem Resi Gudang (SRG). Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 35/M-DAG/PER/11/2011 dan 36/M-DAG/PER/11/2011 tersebut mulai akan berlaku pada tanggal 1 Januari 2012. Sedangkan peraturan Menteri Perdanganan Barang yang dapat Disimpan Di Gudang Dalam Penyelenggaraan Sistem Resi Gudang (SRG) mulai berlaku pada 30 Nopember 2011. Dalam perjalanannya, kebijakan tataniaga rotan tidak selamanya berjalan mulus. Sebelum tahun 1979 sampai tahun 2003, Pemerintah terkesan tidak serius dalam mengambil kebijakan perdagangan rotan untuk melarang dan memperbolehkan ekspor rotan. Mulai tahun 1986 hingga 2004, industri pengolahan rotan Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat yaitu meningkat dari hanya 20 perusahaan menjadi 1.060 perusahaan. Hal ini sebaliknya terjadi di Taiwan dan Eropa, dimana banyak industri pengolahan rotan yang gulung tikar akibat sulitnya pasokan bahan baku yang mengandalkan pasokan dari Indonesia, dengan demikian banyak perusahaan pengolahan rotan Taiwan dan Eropa yang mengalihkan usahanya ke Indonesia, khususnya di daerah Cirebon1. Dalam perkembangan selanjutnya ketika ekspor bahan baku rotan dibuka kembali pada tahun 2005, industri pengolahan rotan nasional perkembanganya mulai terhambat dan kegiatan usaha tersebut menjadi lesu, sehingga berdampak pada terjadinya pengangguran, kredit macet, berkurangnya perolehan devisa dan menurunnya kontribusi industri pengolahan rotan nasional dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Sebaliknya di negara-negara pesaing seperti China, Taiwan dan Italia, industri pengolahan rotannya bangkit kembali dan berkembang pesat. Permintaan yang tinggi akan produk rotan tersebut untuk menaikan kapasitas produksinya. Akibatnya, permintaan akan bahan baku yang berupa rotan mentah pun menjadi tinggi. Tingginya permintaan akan produk rotan diduga menjadi pemicu kelangkaan dan naiknya harga bahan baku rotan dalam negeri. Oleh karena itu para pengumpul dan eksportir rotan Indonesia lebih memilih untuk menjual rotan mentahnya ke luar negeri daripada ke dalam negeri. Setelah beberapa kali mengeluarkan kebijakan menutup kemudian melarang ekspor rotan asalan dan setengah jadi, pemerintah mengeluarkan kebijakan memperbolehkan ekspor rotan yang berasal dari hutan 1
Positioning Paper KPPU terhadap Kebijakan Ekspor Rotan, 2010
Dampak kebijakan..., Armeity Rossi Triwahyuni, FE UI, 2014
alam, namun bagi pelaku industri barang jadi rotan kebijakan pemerintah ini mengeluarkan kebijakan memperbolehkan ekspor rotan setengah jadi melalui Peraturan Menteri Perdagangan No.12/MDAG/PER/6/2005 tanggal 30 Juni 2005. Namun, bagi pelaku industri barang jadi rotan kebijakan pemerintah ini masih membuat petani lebih memilih melakukan ekspor dibandingkan menyuplai bahan baku rotan untuk industri dalam negeri. Pada tahun 2009, pemerintah melarang ekspor rotan untuk memenuhi permintaan pelaku industri pelaku industri produk rotan karena tidak ketersediaan bahan baku rotan di dalam negeri melalui peraturan Menteri Perdagangan No. 36/M-DAG/PER/2009. Peraturan Menteri ini berisi bahwa ekspor rotan hanya dapat dilakukan dari daerah penghasil rotan dan penerapan wajib pasok untuk rotan Non Taman/Sega/Irit dan mulai berlaku pada bulan Oktober 2009. Pembatasan ekspor tersebut bertujuan untuk terjaminnya bahan baku rotan, adanya investasi bahan baku rotan, meningkatkan perekonomian daerah penghasil maupun industri rotan. Namun, Peraturan Menteri Perdagangan tersebut dianggap belum mengakomodir industri rotan di dalam negeri, karena rotan tetap dapat di ekspor.2 Oleh karenanya, pada bulan November 2011 dalam rangka pemanfaatan rotan secara berkesinambungan dan menjaga ketersediaan bahan baku bagi industri rotan serta mendukung peningkatan ekspor, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 35/M-DAG/PER/11/2011 tentang ketentuan ekspor rotan dan produk rotan. TINJAUAN REFERENSI Landasan teori untuk yang mendasari penggunaan variabel-variabel pada model ini diambil dari teori makro dan ekonomi internasional khususnya perdagangan luar negeri. Kebijakan luar negeri, merupakan salah satu bagian dari kebijakan ekonomi makro, adalah tindakan atau peraturan pemerintah yang mempengaruhi struktur/komposisi arah transaksi perdagangan dan pembayaran internasional dalam neraca perdagangan (Balance of Trade) Karena merupakan salah satu bagian, maka kebijakan perdagangan luar negeri tidak independen, melainkan saling mempengaruhi terhadap kebijakan ekonomi makro seperti kebijakan industri, kebijakan fiskal, kebijakan moneter, kebijakan investasi, kebijakan tenaga kerja serta kebijakan-kebijakan lainnya. Perdagangan internasional diartikan sebagai proses tukar menukar yang didasarkan atas kehendak sukarela dari masing-masing pihak yang harus mempunyai kebebasan menentukan apakah mau melakukan perdagangan atau tidak. Perdagangan hanya akan terjadi jika tidak ada satu pihak yang memperoleh keuntungan dan tidak ada pihak lain yang dirugikan. Manfaat yang diperoleh dari perdagangan internasional tersebut disebut manfaat perdagangan atau gainsfrom trade. Pada dasarnya perdagangan internasional merupakan kegiatan yang menyangkut penawaran (ekspor) dan permintaan (impor) antar negara. Pada saat melakukan ekspor, negara menerima devisa untuk pembayaran. Devisa inilah yang nantinya digunakan untuk membiayai impor. Ekspor suatu negara merupakan impor bagi negara lain, begitu juga sebaliknya (Budiono, 1999). Dengan berbagai pengecualian, perdagangan internasional dianggap sebagai suatu akibat dari adanya interaksi antara permintaan dan penawaran yang bersaing. permintaan (demand) dan penawaran (supply) akan tampak dalam bentuknya yang sudah dikenal serta merupakan suatu interaksi dari kemungkinan produksi dan preferensi konsumen. Terdapat beberapa faktor yang menjadi pendorong semua negara di dunia untuk melakukan perdagangan luar negeri. Dari faktor-faktor tersebut empat yang terpenting dinyatakan di bawah ini : • Memperoleh barang yang tidak dapat dihasilkan di dalam negeri • Mengimpor teknologi yang lebih modern dari negara lain • Memperluas pasar produk-produk dalam negeri • Memperoleh keuntungan dari spesialisasi (Sukirno, 2004). Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perdagangan internasional adalah karena adanya perbedaan permintaan dan penawaran suatu negara. Perbedaan ini terjadi karena : (a) tidak semua negara memiliki dan mampu menghasilkan komoditi yang diperdagangkan, karena faktor-faktor alam negara tersebut tidak mendukung, seperti letak geografis dan kandungan buminya, dan (b) perbedaan pada kemampuan suatu negara dalam menyerap komoditi tertentu pada tingkat yang lebih efisien. Dasar pemikiran teori permintaan dan teori penawaran pada perdagangan internasional adalah bahwa perdagangan antara dua negara terjadi karena adanya perbedaan permintaan dan penawaran. Misalnya, di Indonesia permintaan terhadap barang X (kain) sedikit, sedangkan permintaan barang X di Amerika Serikat banyak. Indonesia akan menjual sisa X, setelah dikurangi jumlah yang dikonsumsi di pasar domestik, ke Amerika Serikat. Sebaliknya, permintaan terhadap Y (televisi) di Indonesia lebih besar daripada di Amerika Serikat, maka Amerika Serikat akan mengekspor sebagian televisi yang diproduksinya (Tambunan, 2000).
2
Positioning Paper KPPU terhadap Kebijakan Ekspor Rotan, 2010
Dampak kebijakan..., Armeity Rossi Triwahyuni, FE UI, 2014
Permintaan ini berbeda misalnya, karena perbedaan pendapatan dan selera masyarakat. Sedangkan penawaran berbeda, misalnya karena perbedaan di dalam jumlah dan kualitas faktor-faktor produksi, tingkat teknologi dan eksternalitas (Nopirin, 1999). Ketika perekonomian disebut terbuka berarti pengeluaran negara di tiap tahun tertentu tidak sama dengan output barang dan jasanya. Suatu negara bisa melakukan pengeluaran lebih banyak ketimbang produksinya dengan meminjam dari luar negeri, atau bisa melakukan pengeluaran lebih kecil dari produksinya dan memberi pinjaman pada negara lain. Y = C + I + G +NX ..................................................... (2.1) Keterangan: Y = Pendapatan perkapita C = Konsumsi I = Investasi NX = Net Ekspor (EX - IM) Dari persamaan identitas kita ubah menjadi: Y = C + I + G + (EX - IM) ............................................. (2.2) (EX - IM) = Y- (C + I + G) ............................................. (2.3) Persamaan ini menunjukkan bahwa dalam perekonomian terbuka, pengeluaran domestik tidak perlu sama dengan output barang dan jasa. Jika output melebihi pengeluaran domestik, kita mengekspor perbedaan itu: ekspor neto adalah positif. Jika output lebih kecil dari pengeluaran domestik, kita mengimpor perbedaan itu: ekspor neto adalah negatif. Dari : Y – C – G = S .................................................................. (2.4) Dimana S adalah tabungan nasional. Didapatkan identitas untuk sistem perekonomian terbuka S = I + (EX - IM) ............................................................ (2.5) Menjadi : S – I = (EX – IM) ............................................................ (2.6) Dari persamaan (2.6) di atas, EX – IM adalah neraca perdagangan (trade balance), S – I adalah arus modal keluar neto (net capital outflow), terkadangdisebut juga investasi asing neto (net foreign investment). Arus modal keluar netoadalah jumlah dana yang dipinjamkan penduduk domestik ke luar negeri dikurangijumlah dana yang dipinjamkan orang asing kepada kita. Jika arus modal keluarneto adalah positif, maka tabungan nasional kita melebihi investasi dan kitameminjamkannya kepada pihak asing. Sebaliknya jika arus modal keluar netoadalah negatif, perekonomian kita mengalami arus modal masuk: investasimelebihi tabungan, dan perekonomian membiayai investasi ekstra ini denganmeminjam dari luar negeri. Jadi arus modal keluar neto ini mencerminkan arusdana internasional untuk membiayai akumulasi modal. Identitas perhitungan pendapatan nasional menunjukkan bahwa arus modal keluar neto selalu sama dengan neraca perdagangan. Arus Modal Keluar Neto = Neraca Perdagangan S – I = EX – IM .............................................................. (2.7) Jika S – I dan EX – IM adalah positif, kita memiliki surplus perdagangan (trade surplus). Dalam kasus ini, kita adalah negara pendonor di pasar uang dunia, dan kita mengekspor lebih banyak barang serta jasa dari pada mengimpornya. Jika S – I dan EX – IM adalah negatif, kita memiliki defisit perdagangan (trade deficit). Dalam kasus ini, kita adalah negara pengutang di pasar uang dunia, dan kita mengimpor lebih banyak barang serta jasa dari pada mengekspornya. Jika S – I dan EX – IM adalah nol, kita memiliki perdagangan berimbang (balanced trade) karena nilai ekspor sama dengan nilai impor. Sistem perekonomian terbuka (open economy) merupakan sistem perekonomian yang bebas berinteraksi dengan perekonomian lainnya di dunia (Mankiw, 2006). Perekonomian ini berinteraksi dengan dua cara. Pertama, membeli serta menjual barang dan jasa pada pasar produk dunia. Kedua, membeli serta menjual asset, atau modal, seperti obligasi dan saham pada pasar keuangan dunia. Menurut Batiz and Batiz (1994) ekspor domestik dipengaruhi oleh harga relatif dan pendapatan negara mitra dagang. Selain faktor tersebut hubungan perdagangan antar negara yang mempengaruhi aktivitas ekspor adalah nilai tukar mata uang setiap negara. Nilai tukar mata uang (kurs) memainkan peranan sentral dalam hubungan perdagangan internasional, karena kurs memungkinkan dapat membandingkan hargaharga barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara. Hal ini juga dijelaskan oleh Salvatore (1996) bahwa dalam melakukan transaksi perdagangan antar negara-negara, mereka menggunakan mata uang asing bukan mata uang negaranya. Mereka membutuhkan mata uang standar seperti US$ untuk bertransaksi. Secara simbolik ekspor domestik dapat disimbolkan sebagai X*t yang digambarkan sebagai : X*t = X*t (PR, Y*, ER)…………………………….…… Persamaan (1.1) Dimana: : Ekspor domestik X *t
Dampak kebijakan..., Armeity Rossi Triwahyuni, FE UI, 2014
PR : Harga relatif barang luar negeri terhadap barang domestik : Pendapatan rill negara mitra dagang Y* ER : Nilai tukar Dalam teori Perdagangan Internasional (Global Trade) disebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor dapat dilihat dari sisi permintaan dan sisi penawaran (Krugman dan Obstfeld, 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan volume ekspor tersebut, diantaranya adalah : a. Variabel harga Menurut Lipsey (1995) harga permintaan suatu komoditi berhubungan secara negatif. Artinya, jika harga semakin rendah maka jumlah permintaan volume ekspor akan semakin tinggi, dengan faktor lain tetap. Sebaliknya semakin besar harga maka permintaan volume ekspor akan semakin menurun. b. Variabel pendapatan perkapita Apabila pendapatan seseorang meningkat, orang akan cenderung untuk membeli barang lebih banyak. Kecenderungan orang untuk membeli barang akan meningkatkan permintaan ekspor. Semakin tinggi pendapatan riil perkapita suatu negara maka akan semakin besar permintaan volume ekspornya, dan sebaliknya apabila pendapatan riil perkapita menurun maka permintaan volume ekspor akan menurun. c. Variabel nilai tukar Nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang negara lain memiliki pengaruh yang positif terhadap perkembangan ekspor. Artinya jika terjadi kenaikan nilai tukar mata uang maka permintaan volume ekspor akan meningkat sebaliknya apabila terjadi penurunan nilai tukar mata uang akan menurunkan permintaan volume ekspor. Kuota Ekspor Kuota ekspor adalah pembatasan jumlah barang yang diekspor. Tujuan dari kuota ekspor adalah untuk keuntungan negara pengekspor, agar dapat memperoleh harga yang lebih tinggi. Dengan demikian, diharapkan harga di pasaran dunia dapat ditingkatkan. Kuota ekspor yang diterapkan oleh setiap negara memiliki beberapa tujuan, antara lain : 1) mencegah barang-barang yang penting agar tidak jatuh ke negara yang dianggap berbahaya; 2) menjamin ketersediaan barang di dalam negeri dalam jumlah yang cukup; 3) mengadakan pengawasan produksi serta pengendalian harga dalam menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri. Kuota ekspor biasanya dikenakan terhadap bahan mentah yang merupakan komoditas perdagangan penting.
P
Pw
P*
S B
A
D Q
0
Q0 Q2 Q*
Q1
Gambar 2.1 Kurva Kuota Ekspor Keterangan: 0Q0 : jumlah barang konsumsi sebelum ada kuota ekspor 0Q1 : jumlah barang produksi sebelum ada kuota ekspor 0Pw : harga barang di dunia 0Q* : jumlah ekspor barang pada pasar persaingan sempurna 0P* : harga barang pada pasar persaingan sempurna 0Q2 : pembatasan kuota ekspor rotan mentah Q0Q2 : jumlah ekspor barang yang diperkenankan pemerintah setelah kuota ekspor
Dampak kebijakan..., Armeity Rossi Triwahyuni, FE UI, 2014
Penelitian yang dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor yang menentukan permintaan ekspor telah banyak dilakukan diantaranya adalah penelitian Khumar dan Dhawan (1991) melakukan penelitian empiris dengan menggunakan metode data panel secara terpisah untuk perdagangan Pakistan dengan setiap negara mitra dagang utamanya, yaitu Inggris, Jerman Barat dan Amerika Serikat guna mengetahui dampak flutuaksi nilai tukar dan faktor penentu ekspor lainnya terhadap permintaan ekspor ke setiap negara mitra dagang menggunakan data tahun 1974-1985. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa fluktuasi nilai tukar bilateral memiliki pengaruh signifikan terhadap volume ekspor Pakistan ke negera-negara mitra dagang tersebut kecuali untuk ekspor Pakistan ke Inggris. Fluktuasi nilai tukar riil lebih berpengaruh secara signifikan dari variasi nilai tukar nominal. Selanjutnya adalah penelitian yang menganalisis dampak dari kebijakan pemerintah mengenai rotan salah satunya adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Halidi (2005). Penelitian tersebut menganalisis dampak dari kebijakan tataniaga rotan dalam periode 1976-2003 terhadap peningkatan nilai ekspor produk rotan Indonesia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan tataniaga rotan berpengaruh positif terhadap ekspor produk rotan. Penelitian Ika Virnaristanti (2008) yang melakukan identifikasi faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap ekspor mebel dan kerajinan rotan Indonesia ke Jepang pada periode tahun 1986-1996 dengan menggunakan analisis regresi linear berganda. Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekspor mebel dan kerajinan rotan Indonesia ke Jepang dipengaruhi secara signifikan oleh produksi domestik mebel dan kerajinan rotan, harga ekspor mebel dan kerajinan rotan di pasar internasional, pendapatan perkapita Indonesia, pendapatan per kapita Jepang, jumlah penduduk Indonesia, jumlah penduduk Jepang dan dummy kebijakan pelarangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi. Penelitian Adrian Ramadhan (2008) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing ekspor furnitur rotan Indonesia. Hasil penelitian menunjukan bahwa kebijakan tataniaga rotan pada tahun 2005 berpengaruh negatif terhadap daya saing ekspor furnitur rotan Indonesia. Penelitian Agus Priyono (2009) menganalisis faktor-faktor penentu kinerja dan pengaruh peraturan Ekolabel Uni Eropa terhadap ekspor furnitur Indonesia ke negara-negara Uni Eropa pada periode 1990-2008 dengan menggunakan data panel. Hasil penelitian menemukan adanya pengaruh PDB riil perkapita Indonesia dan PDB rill perkapita negara-negara Uni Eropa memiliki dampak positif terhadap jumlah ekspor furnitur Indonesia. Variabel jarak berpengaruh negatif dan signifikan, sedangkan nilai tukar riil Indonesia berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap ekspor furnitur Indonesia. Selain itu, empat variabel bersifat inelastis atau tidak terlalu responsif terhadap perubahan ekspor Indonesia. Dummy dari Peraturan Ekolabel No 1980/2000 tidak berpengaruh terhadap ekspor furnitur Indonesia. Penelitian Andre C. Jordaan & Joel Hinaunye Eita (2007) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kayu potensial Afrika Selatan ke 68 (enam delapan) mitra dagangnya periode tahun 1997-2004 dengan menggunakan Model Gravity. Variabel bebas yang digunakan adalah PDB 68 (enam delapan) mitra dagang Afrika Selatan dan nilai tukar. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa PDB importir berpengaruh positif pada permintaan ekspor produk kayu. Penelitian Ashinta Damayanti (2013) menganalisis dampak kebijakan ekspor rotan terkait kebertahanan perusahaan industri rotan dan pertumbuhan tenaga kerja dengan menggunakan regresi probit (kebertahanan) dan regresi least square (pertumbuhan) periode tahun 1995-2004. Hasil dari penelitian ini kebijakan pelarangan ekspor rotan membawa pengaruh yang positif terhadap kemampuan bertahan perusahaan barang jadi rotan, pertumbuhan tenaga kerja dan pertumbuhan nilai tambah perusahaan sedang meskipun tidak berpengaruh terhadap perusahaan besar. Penelitian mengenai dampak atau pengaruh dari kebijakan ekspor rotan telah banyak dilakukan dengan menggunakan variabel-variabel yang berbeda-beda. Dalam penelitian Halidi (2005) variabel bebas yang digunakan adalah nilai ekspor rotan asalan, tingkat keunggulan komparatif komoditas barang jadi rotan serta dummy kebijakan ekspor rotan pada periode tahun 1976-2003. Sedangkan pada penelitian Ika Virnaristanti (2008) menggunakan variabel bebas adalah GDP Jepang, serta dummy kebijakan ekspor rotan pada periode tahun 1976-2003. Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Adrian Ramadhan (2008) adalah nilai ekspor furnitur rotan dan dummy kebijakan ekspor rotan. sedangkan dalam penelitian Agus Priyono (2009) menggunakan variabel bebas PDB riil perkapita negara-negara Uni Eropa, nilai tukar riil Indonesia, dan dummy Peraturan Ekolabel No 1980/2000 pada periode tahun 1990-2008. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini menganalisis pengaruh dari kebijakan ekspor rotan yang telah dilakukan oleh pemerintah periode tahun 1986-2012 ke 5 (lima) negara terbesar pengimpor produk rotan yaitu Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Inggris dan Perancis dengan menggunakan data panel dalam program software eviews-8. Penelitian ini menggunakan 6 (enam) variabel bebas yaitu PDB riil perkapita, harga ekspor produk rotan, nilai mata uang riil masing-masing negara pengimpor produk rotan Indonesia dan menggunakan dummy kebijakan pembatasan ekspor rotan mentah, dummy krisis ekonomi Indonesia dan dummy krisis ekonomi dunia.
Dampak kebijakan..., Armeity Rossi Triwahyuni, FE UI, 2014
Berdasarkan teori dan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor suatu negara. Faktor-faktor tersebut adalah pendapatan perkapita dan nilai tukar mata uang yang berpengaruh positif terhadap permintaan ekspor sedangkan faktor harga berpengaruh negatif terhadap permintaan. HIPOTESIS PENELITIAN 1) GDP per kapita 5 (lima) negara importir produk rotan terbesar berpengaruh positif terhadap permintaan volume ekspor produk rotan, maka GDP per kapita meningkat, orang akan cenderung untuk membeli barang lebih banyak. Kecenderungan orang untuk membeli barang akan meningkatkan permintaan ekspor; 2) Harga ekspor produk rotan Indonesia ke masing-masing negara mitra dagang (P) memiliki hubungan negatif terhadap permintaan volume ekspor produk rotan Indonesia.Harga ekspor produk rotan murah akan mendorong permintaan ekspor produk rotan Indonesia; 3) Nilai tukar mata uang riil (ER) memiliki hubungan positif terhadap permintaan volume ekspor produk rotan Indonesia.Meningkatnya nilai ER, mengakibatkan lemahnya nilai tukar rupiah (depresiasi). Hal tersebut mengakibatkan peningkatan ekspor produk rotan Indonesia, karena harga produk rotan relatif lebih murah; 4) Dummy pembatasan ekspor rotan mentah berpengaruh positif terhadap permintaan volume ekspor produk rotan Indonesia. Pembatasan ekspor rotan mentah akan menyebabkan peningkatan penawaran rotan domestik (bahan baku melimpah). Peningkatan bahan baku menurunkan harga domestik sehingga industri akan berproduksi lebih banyak dan output meningkat (meningkatkan volume ekspor); 5) Dummy krisis ekonomi Indonesia pada tahun 19971998 berpengaruh negatif terhadap permintaan volume ekspor produk rotan Indonesia; 6) Dummy krisis ekonomi dunia pada tahun 2008-2012 berpengaruh negatif terhadap permintaan volume ekspor produk rotan Indonesia. Dalam penelitian ini diharapkan kebijakan pembatasan ekspor rotan mentah bernilai positif sehingga meningkatkan volume ekspor produk rotan Indonesia ke lima negara pengimpor rotan. METODE Sebagai variabel terikat (dependent) pada penelitian yaitu volume ekspor produk rotan Indonesia ke lima negara pengimpor produk rotan dunia. Model Tipe data yang digunakan merupakandatapanelperiode tahun1986-2012.Periode yang digunakan tersebut bertujuan mengetahui dampak kebijakan pemerintah dalam memberlakukan pembatasan dan pembebasan ekspor rotan mentah Indonesia. Produk rotan yang akan diteliti yaitu: kerajinan rotan menggunakan HS 4601 dan HS 4602; dan furnitur rotan menggunakan HS 9301 dan HS 9403. Sedangkan variabel bebas terdiri dari GDP per kapita 5 (lima) negara pengimpor produk rotan. Harga ekspor produk rotan Indonesia ke masing-masing negara mitra dagang, ER (nilai tukar riil), dummy pembatasan ekspor rotan mentah, dummy krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1997-1998 dan dummy krisis ekonomi dunia tahun 2008-2012. Negara yang digunakan untuk unit cross section panel yaitu 5 (lima) negara mitra dagang terbesar pengimpor produk rotan duniayaitu Jepang, Amerika, Jerman, Inggris dan Perancis. Data diambil dari berbagai sumber, beberapa diantaranya adalah UNCOMTRADE, Trade Map, World Bank, Kementerian Perdagangan dan Badan Pusat Statistik. Untuk mengetahui dampak kebijakan pembatasan ekspor rotan mentah terhadap permintaan volume ekspor produk rotan maka digunakan variabel dummy periode kebijakan pembatasan ekspor rotan mentah dan periode kebijakan bebas ekspor rotan mentah. Mengacu pada penelitian yang dilakukan Jayasinghe dan Sarker (2008) serta Lee dan Shin (2006), karena kedua penelitian dengan menambahkan variabel GDP percapita 5 (lima) negara pengimpor terbesar produk rotan, Harga eksporproduk rotan di 5 (lima) negara pengimpor terbesar produk rotan dan nilai tukar riil serta melihat pengaruh krisis ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 dan krisis ekonomi dunia 2008 sampai dengan tahun 2012, maka model penelitian adalah: LnEkspor =
0+
1LnYRijt
–
2LnPijt
+
3LnERijt
+
4DPX
-
5DKI
-
6DKD
+ e ijt
Berikut ini adalah penjelasan dari variabel yang digunakan dalam penelitian ini: 1) Ekspor produk rotan Indonesia(LnEkspor) Ekspor sebagai variabel dependen merupakan pendekatan terhadap kinerja perdagangan Indonesia ke mitra dagang utama baik untuk komoditi tertentu atau secara keseluruhan. Beberapa variabel independen digunakan sebagai determinan dari variabel ekspor tersebut. (Tinbergen, 1962 dan Pöylönen, 1963). Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah volume ekspor produk rotan
Dampak kebijakan..., Armeity Rossi Triwahyuni, FE UI, 2014
Indonesia ke 5 (lima) negara pengimpor produk rotan terbesar yaitu Jepang, Amerika Serikat, Jerman, Inggris dan Perancis. 2) LnYR (Pendapatan Domestik Bruto rill (PDB rill) perkapita) (LnYRit) Pendapatan Domestik Bruto rill (PDB rill) perkapita 5 (lima) negara pengimpor produk rotan digunakan untuk membatasi pengaruh faktor inflasi dan untuk melihat pertumbuhan ekonomi yang mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. PDB rill perkapita negara mitra merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja produk ekspor Indonesia karena pendapatan negara mitra dagang mempengaruhi jumlah permintaan ekspor. (Malik, 2004). Sedangakan negara pengimpor produk rotan Indonesia, peningkatan PDB rill perkapita suatu negara akan cenderung untuk meningkatkan permintaan barang dan jasa (Andre C. Jordaan & Joel Hinaunye Eita, 2011 Gunawardhana, 2005 and Gu, 2005 Agus Priyono, 2009) 3) Harga Free On Board atau FOB(LnPjt) Harga Free On Board atau FOB ke masing-masing negara tujuan dalam bentuk US$ ini merupakan pendekatan untuk faktor variabel harga. Harga berdampak negatif terhadap nilai perdagangan internasional (Lucia Paliu-Popa, 2009)apabila harga ekspor produk rotan murah akan meningkatkan permintaan ekspor produk rotan Indonesia. 4) Real Exchange Rate (LnERijt) Real Exchange Rate (ER) Variabel nilai tukar riil (realexchange rate) negara Jepang, Amerika Serikat, Jerman, Inggris dan Perancis. Diasumsikan jika nilai ER naik, maka rupiah akan terdepresiasi (nilai rupiah melemah), yang mengakibatkan peningkatan ekspor Indonesia, karena harga komoditas relatif lebih murah. Ketidakpastian nilai tukar berdampak positif pada perdagangan internasional (Asseery and Peel, 1991 dan IMF, 1984). 5) Dummy kebijakan larangan ekspor rotan Dummy kebijakan larangan ekspor rotan bernilai 1 berarti pemerintah memberlakukan kebijakan larangan ekspor rotan sedangkan bernilai 0 berarti ekspor rotan dibebaskan. Jika diberlakukan kebijakan pelarangan ekspor bahan baku akan menurunkan harga input sehingga akan menguntungkan bagi industri domestik (Jeonghoi Kim, 2010). 6) Dummy Krisis Ekonomi Indonesia pada tahun 1997-1998 Dummy krisis ekonomi Indonesia bernilai 1 berarti Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi pada 1997 dan 1998 dan bernilai 0 berarti Indonesia tidak mengalami krisis ekonomi pada tahun 1986 sampai dengan 1996 dan 1999 sampai 2012.Tahun1997-1998 merupakan krisis depresiasi mata uang dan berdampak langsung terhadap permintaan ekspor (Tulus T.H. Tambunan, 2010). 10) Dummy Krisis Ekonomi Dunia pada tahun 2008-2012 Dummy krisis Ekonomi Dunia bernilai 1berarti seluruh dunia sedang mengalami krisis ekonomi dimulai tahun 2008 sampai dengan 2012 dan bernilai 0 berarti seluruh dunia sedang tidak mengalami krisis ekonomi pada tahun 1986 sampai dengan 2007. Krisis ekonomi yang terjadi seluruh dunia menyebabkan penurunan permintaan volume ekspor (Masahiro Kawai, 2009).
HASIL DAN ANALISIS Hasil dari pengolahan data panel menggunakan metode pooled least square terkait pengaruh kebijakan pembatasan ekspor rotan mentah terhadap permintaan volume ekspor produk rotan Indonesia dan faktorfaktor yang mempengaruhi permintaan volume ekspor produk rotan Indonesia ke lima negara pengimpor ekspor produk rotan periode tahun 1986-2012, adalah sebagai berikut:
Konstanta
Tabel 3. Hasil Regresi Panel Data Menggunakan Metode Pooled Least Square Variabel Metode Pooled Least Square -62,36 (-8,97)***
Dampak kebijakan..., Armeity Rossi Triwahyuni, FE UI, 2014
7,76 (10,73)*** -0,26 Harga FOB (-0,84) -1,99 Nilai Tukar Mata Uang Riil (-1,60)* Dummy Kebijakan Pembatasan -0,78 Ekspor Rotan (-3,57)*** -1,25 Dummy Krisis Indonesia (-3,69)*** -0,78 Dummy Krisis Dunia (-2,86)*** R-squared 0,57 Adjusted R-squared 0,55 F-statistik 28,79 Catatan: ***/**/* signifikan pada level 1%, 5%, 10% (t-statistik) PDB Riil perkapita
Analisis Pengaruh Variabel Kebijakan Pembatasan Ekspor Rotan lndonesia Terhadap Permintaan Volume Ekspor Produk Rotan Indonesia Kondisi perkembangan ekspor produk rotan Indonesia mengalami kondisi fluktuatif, salah satu alasan kondisi ini terjadi dikarenakan pemerintah bertindak tidak tegas dalam mengeluarkan regulasi terkait rotan. Hasil dari regresi data panel dengan metode Pooled Least Square variabel dummy kebijakan pembatasan ekspor rotan pada periode 1986 sampai dengan 1991 dan tahun 1999 sampai dengan tahun 2012 menunjukkan nilai -0,78 pada level α = 1% signifikan, artinya kebijakan pembatasan ekspor rotan mentah secara statistik signifikan menurunkan volume ekspor produk rotan. Hasil ini tidak sesuai dengan hipotesis penelitian dikarenakan beberapa faktor yang menyebabkan penurunan volume ekspor produk rotan, diantaranya adalah (i) kelangkaan bahan baku di dalam negeri (Rahman, 2011); (ii) penyelundupan bahan baku rotan ke luar negeri, (Direktorat Jenderal Bea Cukai, Kementerian Keuangan, 2014, p.1) (iii) Disain dan kualitas produk rotan Indonesia kurang menarik dibandingkan disain dari negara China (Mulyadi, Fadillah, Yunita, Jacob & Mulyati, 2003); (iv) belum pulihnya krisis ekonomi di Eropa dan menguatnya nilai tukar rupiah terhadap rupiah nilai Euro menekan ekspor mebel dan kerajinan rotan Indonesia, sedangkan negara eropa merupakan pasar produk rotan Indonesia (Muhammad Yazid, 2012), (v) adanya produk subsitusi rotan seperti rotan plastik (Antique, Sukirno, 2011, p.6). Surat Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO) tanggal 1 Oktober 2007 yang ditujukan ke Kementerian Perdagangan berisi mengenai adanya kelangkaan bahan baku rotan mentah didalam negeri disebabkan karena musim penghujan disentra penghasil bahan baku rotan, sehingga petani mengalihkan pekerjaannya pada pekerjaan lain dan mengusulkan agar dilakukan penghentian sementara terhadap pemberian kuota ekspor rotan. Tanggal 14 Maret 2008 Menteri Perindustrian mengirimkan surat No. 293/M-IND/3/2008 ke Presiden menyatakan bahwa Industri pengolahan rotan dalam negeri telah mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan baku rotan karena rotan mentah diekspor dan diselundupkan ke luar negeri, yang kemudian melalui surat No. 965/IAK/8/2008 Direktur Jenderal Industri Agro dan Kimia ke Kementerian Perdagangan mengusulkan agar produk rotan yang dapat diekspor minimal dalam bentuk rotan setengah jadi (poles, kulit dan hati rotan), agar ekspor rotan yang diberikan kepada perusahaan adalah pengekspor yang berdomisili di daerah penghasil bahan baku rotan mentah dan jumlah kuota ekspor rotan diperhitungkan setelah perusahaan tersebut melakukan pasokan ke industri di dalam negeri. Analisis Pengaruh Variabel Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Riil Perkapita Negara Mitra Dagang Terhadap Permintaan Volume Ekspor Produk Rotan Indonesia Hasil regresi data panel dengan menggunakan metode Pooled Least Square, menunjukkan bahwa PDB riil per kapita 5 (lima) negara pengimpor produk rotan Indonesia signifikan dan berpengaruh positif terhadap jumlah permintaan produk ekspor rotan Indonesia. Dari hasil regresi tersebut didapatkan nilai koefisien untuk variabel PDB riil per kapita 5 (lima) negara pengimpor produk rotan Indonesia adalah sebesar 7,76 dan signifikan pada level α = 1% terhadap permintaan volume ekspor produk rotan Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan 1% PDB riil per kapita 5 (lima) negara terbesar pengimpor produk rotan akan meningkatkan permintaan volume ekspor produk rotan Indonesia sebanyak 7,76% (ceteris paribus), yang menunjukkan bahwa PDB riil per kapita 5 (lima) negara pengimpor produk rotan Indonesia memiliki hubungan elastis dengan jumlah permintaan
Dampak kebijakan..., Armeity Rossi Triwahyuni, FE UI, 2014
volume ekspor produk rotan Indonesia. Hasil yang diperoleh tersebut sesuai dengan teori bahwa permintaan ekspor akan sangat bergantung pada aktivitas perekonomian luar negeri/negara mitra dagang ekspor produk rotan Indonesia. PDB riil per kapita mewakili tingkat pendapatan rata-rata negara, dimana peningkatan PDB riil per kapita menunjukkan peningkatan pendapatan dan konsumsi. Oleh karena itu, PDB riil per kapita menjadi salah satu variabel yang mempengaruhi permintaan ekspor produk rotan Indonesia. Peningkatan pendapatan riil per kapita suatu negara berarti kesejahteraan penduduk adalah lebih baik. Ketika penduduk suatu negara secara ekonomi lebih baik, mereka cenderung untuk meningkatkan permintaan barang dan jasa yang diproduksi dalam negeri atau diimpor. Dengan demikian, kebutuhan impor akan meningkat. Analisis Pengaruh Variabel Hubungan Antara Harga Ekspor (P) Terhadap Permintaan Volume Ekspor Produk Rotan Indonesia Hasil regresi data panel menggunakan metode Pooled Least Square menunjukkan bahwa harga FOB ke masing-masing 5 (lima) negara pengimpor produk rotan Indonesia tidak signifikan terhadap permintaan ekspor produk rotan Indonesia ke negara Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Inggris, dan Perancis. Variabel harga yang tidak signifikan terhadap permintaan ekspor produk rotan tersebut, disebabkan karena variabel yang digunakan adalah harga FOB. Harga FOB merupakan biaya yang dibayarkan oleh eksportir meliputi biaya angkutan (freight), asuransi laut, biaya import, dan consular fees tidak termasuk biaya angkutan sampai ditempat tujuan. (Chairul Anwar, 2001).
Tahun 1986 1987 1988 1989 1990 1991
Tabel 4. Volume Ekspor Produk Rotan Dengan Harga FOB Periode 1986-1991 Harga Free on Board (US$) Volume Ekspor Produk Rotan Amerika Jerman Jepang Inggris Indonesia (Kg) Serikat 88.361.476 2,39 1,86 6,38 3,67 102.489.775 2,81 2,91 5,49 3,50 104.282.201 2,91 3,46 5,54 2,95 103.668.999 2,88 2,90 4,18 3,34 86.531.911 2,96 3,09 3,04 3,34 104.934.842 2,99 3,20 4,05 3,41
Perancis 3,32 3,15 2,59 2,87 3,58 3,77
Variabel harga Free on Board (FOB) tidak mempengaruhi permintaan ekspor poduk rotan Indonesia juga terlihat pada periode kebijakan pembatasan ekspor rotan dimulai tahun 1986 sampai dengan 1988 terlihat dimana permintaan total volume ekspor produk rotan meningkat sedangkan faktor varibel harga di Amerika Serikat dan Jerman juga meningkat. Sedangkan pada tahun 1989 terjadi penurunan permintaan ekspor variabel harga FOB ke Amerika Serikat juga mengalami penurunan, namun pada tahun 1990 terjadi penurunan permintaan total volume ekspor produk rotan, tetapi harga FOB ke Amerika Serikat mengalami kenaikan. Hal tersebut dikarenakan keunikan produk rotan sangat diminati oleh 5 (lima) negara pengimpor produk rotan Indonesia sehingga faktor variabel kenaikan harga tidak menjadi masalah utama dalam permintaan volume ekspor rotan (Anton Suwarjo, 2011).
Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Tabel 5. Volume Ekspor Produk Rotan Dengan Harga FOB Periode 1999-2012 Harga Free on Board (US$) Volume Ekspor Produk Rotan Amerika Jerman Jepang Inggris Indonesia (Kg) Serikat 111.500.059 2,96 2,79 2,66 2,81 116.805.926 3,15 2,91 3,06 2,82 113.753.103 3,06 2,65 2,85 2,58 128.484.537 2,90 2,29 2,71 2,32 135.694.593 2,99 2,07 2,59 2,31 134.207.311 3,08 2,48 2,57 2,86 124.976.613 3,03 2,71 2,66 3,57 123.525.530 3,06 2,55 2,88 3,20 138.573.373 3,27 2,53 2,75 0,94
Dampak kebijakan..., Armeity Rossi Triwahyuni, FE UI, 2014
Perancis 2,58 2,49 2,37 2,18 2,15 2,34 2,61 2,32 2,32
2008 2009 2010 2011 2012
99.749.299 70.997.353 64.962.864 62.684.652 41.445.601
3,78 3,55 3,74 3,83 4,91
3,03 2,94 3,14 3,34 3,42
3,63 3,96 4,03 3,58 4,99
2,85 2,86 3,17 3,26 3,96
2,71 2,82 2,83 3,26 3,52
Pada periode kebijakan pembatasan ekspor rotan tahun 1999-2012 terlihat juga faktor variabel harga Free on Board sangat fluktuatif sehingga tidak mempengaruhi permintaan total volume produk ekspor rotan Indonesia. Salah satu penyebab hal tersebut dikarenakan adanya peralihan peminatan produk rotan alam ke produk rotan sintesis yang diproduksi oleh China (Handoyo, 2014). Besaran angka elastisitas yang kurang dari 1 menunjukkan bahwa permintaan volume ekspor produk rotan Indonesia bersifat inelastis terhadap harga lima negara pengimpor produk rotan Indonesia, artinya apabila ada perubahan harga di lima negara pengimpor produk rotan Indonesia maka akan menimbulkan perubahan yang sedikit terhadap permintaan volume produk ekspor rotan Indonesia. Analisis Pengaruh Variabel Hubungan Antara Nilai Tukar Riil Terhadap Permintaan Volume Ekspor Produk Rotan Indonesia Hasil nilai tukar riil menunjukkan signifikan terhadap permintaan volume ekspor produk rotan pada data panel dengan menggunakan metode Pooled Least Square.Hasil regresi menunjukkan nilai -1,19 artinya jika variabel nilai tukar riil naik sebesar 1% maka permintaan volume ekspor produk rotan Indonesia akan turun sebesar 1,19% (ceteris paribus). Tabel 6. Volume Ekspor Produk Rotan Dengan Nilai Tukar Periode 1986-1991 Volume Nilai Tukar Ekspor Tahun Amerika Produk Rotan Jerman Jepang Inggris Perancis Serikat Indonesia 1986 88.361.476 1445,95 826,62 722,49 2521,00 546,27 1987 102.489.775 1619,14 902,77 849,87 3066,21 731,32 1988 104.282.201 1760,80 921,91 963,39 3521,80 811,21 1989 103.668.999 1848,79 991,92 891,41 3358,28 793,32 1990 86.531.911 1925,99 1069,71 903,83 3441,79 954,66 1991 104.934.842 2000,51 1121,14 1037,43 3424,64 1004,30 Periode kebijakan pembatasan ekspor rotan tahun 1999-2000, menunjukkan bahwa permintaan volume ekspor produk rotan mengalami kenaikan namun pada tahun 2001 mengalami penurunan, dan mengalami kenaikan di tahun 2002 sampai dengan 2003, hal ini diikuti dengan kenaikan nilai tukar mata uang asing. Kenaikan dan penurunan permintaan volume ekspor produk rotan ini terus berlangsung hingga tahun 2012.
Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Tabel 7. Volume Ekspor Produk Rotan Dengan Nilai Tukar Periode 1999-2012 Volume Nilai Tukar Ekspor Amerika Produk Rotan Jerman Jepang Inggris Serikat Indonesia 111.500.059 5726,56 2859,98 4002,10 9060,97 116.805.926 6737,77 2962,5 5167,11 10095,66 113.753.103 7573,10 3268,06 5331,32 10798,94 128.484.537 8002,04 7112,27 5618,66 11767,94 135.694.593 8267,10 8875,43 6513,28 9108,72 134.207.311 8745,52 10516,71 7680,31 15722,30 124.976.613 9701,56 12101,72 8840,58 17684,57 123.525.530 10771,46 13872,05 9659,21 19836,97 138.573.373 11630,85 16509,84 10667,83 23406,44 99.749.299 13401,53 20645,11 14462,41 24703,11
Dampak kebijakan..., Armeity Rossi Triwahyuni, FE UI, 2014
Perancis 2717,39 2745,42 3007,57 7311,27 9043,24 10651,96 12101,72 13623,68 16063 19739,96
2009 2010 2011 2012
70.997.353 64.962.864 62.684.652 41.45.601
14553,69 15519,16 16449,12 16861,93
21140,66 21610,29 24168,64 22927,09
17565,29 20644,57 25044,88 26403,94
22205,45 23079,90 25274,69 16160,07
20306,90 20773,06 23219,51 22012,89
Dampak perubahan nilai tukar mata uang nasional suatu negara akibat depresiasi atau devaluasi terhadap neraca pembayaran melalui transaksi berjalan dapat digambarkan oleh kurva yang menyerupai huruf J dan disebut efek kurva – J. Neraca transaksi perdagangan akan turun untuk beberapa periode setelah devaluasi atau depresiasi mata uang domestik. Perubahan dalam harga terjadi lebih cepat daripada perubahan dalam kuantitas perdagangan. Pada awalnya, perubahan kuantitas perdagangan adalah kecil karena pembeli memerlukan waktu dalam mengubah perilaku mereka. Perjanjian kontrak sebelum depresiasi berakhir dan dilakukan negoisasi ulang sehingga dapat dilakukan identifikasi alternatif produk. Pada akhirnya respon kuantitas menjadi lebih besar, karena pembeli akan melakukan penggantian pada produk yang lebih murah harganya (Pugel, 2004:615). Dampak perubahan kuantitas yang lebih besar menghasilkan keseimbangan neraca transaksi perdagangan.Pola perilaku neraca transaksi perdagangan sebagai akibat perubahan nilai tukar sering disebut kurva J. Hal ini karena bentuk beberapa periode pertama dari respon terhadap depresiasi, neraca perdagangan memburuk untuk kemudian mulai membaik. Penjelasan ini menegaskan bahwa perlu waktu bagi depresiasi mata uang suatu negara agar mempunyai dampak positif terhadap neraca transaksi perdagangan. Dalam jangka panjang, depresiasi mempunyai dampak terhadap perbaikan neraca transaksi perdagangan melalui peningkatan daya saing internasional yang berakibat pada kenaikan nilai ekspor. Depresiasi juga berdampak pada penurunan impor sebagai akibat pengalihan pengeluaran penduduk domestik serta meningkatnya permintaan agregat oleh penduduk luar negeri terhadap produk domestik sehingga pada akhirnya meningkatkan ekspor (Idah Zuhroh dan David Kaluge, 2007). Analisis Pengaruh Variabel Periode Krisis Ekonomi Indonesia Terhadap Permintaan Volume Ekspor Produk Rotan Indonesia Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 telah terbukti memberi dampak buruk bagi industri produk rotan di Indonesia ini terlihat dengan menurunnya volume total ekspor produk rotan Indonesia pada tahun 1997 dari sebesar 104.934 ton menjadi 21.224 ton. sedangkan untuk nilai volume dari senilai US$ 194,9 juta pada tahun 1997 menjadi senilai US$ 60,8 juta. Penurunan jumlah produksi produk rotan seharusnya tidak terjadi pada kondisi krisis ini karena merupakan kondisi ini merupakan kondisi yang menguntungkan bagi sektor industri yang bergerak pada usaha tersedianya bahan baku yang melimpah di dalam negeri seperti industri rotan. Tulisan Yudanto dan Santoso (1998), sektor manufaktur yang memiliki resourse base dalam negeri kuat dan berorientasi ekspor seperti industri barang jadi rotan diuntungkan pada saat krisis karena adanya depresiasi nilai tukar rupiah. Namun, perusahaan industri rotan di Indonesia kurang bisa memanfaatkan kondisi melemahnya nilai tukar, hal ini dikarenakan dampak yang melanda krisis ekonomi di Indonesia menjadikan Indonesia kurang dipercaya oleh pihak luar negeri ini terlihat dari banyaknya Letter of Credit (L/C) dari Indonesia tidak diterima oleh pihak luar negeri. Hasil regresi time series variabel dummy krisis Indonesia hanya berpengaruh dan signifikan terhadap permintaan ekspor produk rotan Indonesia ke negara Jepang dan Jerman, sementara permintaan ekspor produk rotan Indonesia ke Amerika Serikat, Belanda dan Inggris berpengaruh tetapi tidak signifikan. Sedangkan variabel dummy krisis Indonesia berpengaruh dan signifikan terhadap permintaan ekspor produk rotan Indonesia ke Jepang, Amerika Serikat, Jerman, Belanda dan Inggris ditunjukkan dengan hasil regresi panel. Hasil ini sesuai dengan model yang ada dalam penelitian ini. Analisis Pengaruh Variabel Periode Krisis Ekonomi Indonesia Terhadap Permintaan Volume Ekspor Produk Rotan Indonesia Hasil regresi data panel dengan metode Pooled Least Square menunjukkan bahwa periode krisis ekonomi Indonesia signifikan menurunkan permintaan volume ekspor produk rotan Indonesia ke negara Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Inggris dan Perancis. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 memberikan dampak currency crisis yaitu melemahnya mata uang Indonesia terhadap mata uang negara lain. Penurunan nilai tukar rupiah yang semakin tajam ini juga disertai dengan pemutusan akses peminjaman modal dari luar negeri menyebabkan komoditas produksi dan semakin sedikit kesempatan kerja akibat semakin terdepresiasi Rupiah maka barang domestik lebih mahal daripada barang luar negeri, akibatnya masyarakat cenderung bergantung terhadap barang impor. Pada saat yang sama, laju inflasi 1997 mencapai 45,5 % dari tahun sebelumnya. Tekanan inflasi ini akibat dari dampak lanjutan dari melemahnya nilai tukar rupiah yang kemudian disusul dengan kenaikan
Dampak kebijakan..., Armeity Rossi Triwahyuni, FE UI, 2014
harga dalam negeri yang kemudian menimbulkan panic buying ekspektasi masyarakat terhadap kenaikan harga. Dampak dari kenaikan harga dalam negeri tersebut juga telah terbukti memberi dampak buruk bagi industri produk rotan di Indonesia ini terlihat dengan menurunnya volume total ekspor produk rotan Indonesia pada tahun 1997 dari sebesar 104.934.842 kg menjadi 21.224.920 kg pada tahun 1998. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tulus T.H. Tambunan (2010) yang menyatakan bahwa penurunan nilai mata uang suatu negara akan memberikan dampak langsung terhadap ekspor dan impor negara tersebut. Analisis Pengaruh Variabel Periode Krisis Ekonomi Dunia Terhadap Permintaan Volume Ekspor Produk Rotan Indonesia Hasil regresi data panel dengan metode Pooled Least Square menunjukkan bahwa periode krisis ekonomi dunia tahun 2008-2012 signifikan menurunkan permintaan volume ekspor produk rotan Indonesia ke negara Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Inggris dan Perancis. Penurunan permintaan ekspor produk rotan Indonesia tidak lepas dari krisis yang dialami oleh hampir semua negara di Eropa dan Amerika. Krisis finansial di Benua Eropa bergerak ke arah yang semakin tidak menguntungkan. Badai krisis tidak cukup menyerang negara non inti zona euro seperti Yunani, Portugal, dan Irlandia, tetapi juga mengguncang inti zona Euro termasuk Italia dan Spanyol karena interkoneksi sistem perekonomian antar negara anggota. Pertumbuhan ekonomi telah berhenti di Eropa. Kondisi yang sama nyaris terjadi di Amerika Serikat yang belum sepenuhnya pulih dari krisis utang sejak tahun 2008. Lembaga Capital Economics memprediksi pertumbuhan ekonomi Amerika hanya 2% pada tahun 2013 (Ari Mulianta Ginting, 2013). Keadaan yang terjadi di Eropa dan Amerika tentu sangat berdampak bagi ekspor Indonesia, mengingat kawasan tersebut merupakan pasar tradisional yang menyerap hampir dari 30% produk tanah air. Kemudian negara tujuan lainnya yang merupakan juga target pasar dari barang-barang ekspor Indonesia adalah negara-negara yang berada di Eropa dan diikuti oleh Amerika, Cina, dan Australia. Lesunya perekonomian negara tujuan tersebut mengakibatkan negara-negara tesebut menurunkan permintaan mereka terhadap barang dan jasa dari Indonesia. Penurunan ini tentunya berdampak kepada turunnya ekspor Indonesia. Terlebih lagi pada tahun 2012 seperti yang telah diuraikan di atas bahwa perekonomian negara-negara Eropa dan Amerika masih belum bisamengatasi krisis dan berdampak pada penurunan ekspor Indonesia. Pada saat inilah negara-negara yang menjadi pasar non tradisional perlu dilirik, seperti Amerika Latin, Timur Tengah, dan Afrika yang masih menyisakan ruang untuk tumbuh secara ekonomi sehingga mampu mendorong permintaan produk nusantara terutama pasar ekspor produk rotan. Krisis ekonomi tahun 2008 yang melanda seluruh dunia menyebabkan penurunan volume ekspor hampir di seluruh negara di dunia, termasuk permintaan volume ekspor produk rotan Indonesia yang mengalami penurunan pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Masahiro Kawai (2009). SIMPULAN Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa adanya kebijakan pembatasan ekspor rotan tahun 1986 sampai dengan 1991 dan tahun 1999 sampai dengan tahun 2012 signifikan menurunkan permintaan volume ekspor produk rotan ke 5 (lima) negara pengimpor produk rotan dengan menggunakan data panel metode Pooled Least Square. Pengaruh dari kebijakan pembatasaan ekspor rotan mentah ini tidak memberikan dampak meningkatnya ekspor produk rotan Indonesia ke lima negara pengimpor produk rotan, diperkirakan karena beberapa hal berikut ini, yaitu: (i) kelangkaan bahan baku di dalam negeri (Rahman, 2011); (ii) penyelundupan bahan baku rotan ke luar negeri (Direktorat Jenderal Bea Cukai, Kementerian Keuangan, 2014, p.1), (iii) Disain dan kualitas produk rotan Indonesia kurang menarik dibandingkan disain dari negara China, (Mulyadi, Fadillah, Yunita, Jacob & Mulyati, 2003); (iv) belum pulihnya krisis ekonomi di Eropa dan menguatnya nilai tukar rupiah terhadap rupiah nilai Euro menekan ekspor mebel dan kerajinan rotan Indonesia, sedangkan negara eropa merupakan pasar produk rotan Indonesia (Muhammad Yazid, 2012), (v) adanya produk subsitusi rotan seperti rotan plastik (Antique, Sukirno, 2011, p.6). Berdasarkan hasil analisa dan estimasi, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan volume ekspor produk rotan Indonesia ke 5 (lima) negara pengimpor terbesar produk rotan (Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Inggris, dan Perancis) periode tahun 1986-2012, adalah variabel periode krisis yang dialami Indonesia pada tahun 1997 dan 1998 dan krisis yang melanda dunia pada tahun 20082012, PDB riil per kapita negara mitra dagang serta nilai tukar riil lima negara terbesar pengimpor produk rotan Indonesia. REKOMENDASI
Dampak kebijakan..., Armeity Rossi Triwahyuni, FE UI, 2014
Berdasarkan hasil dari penelitian dampak kebijakan pembatasan ekspor rotan dan indentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan volume ekspor produk rotan Indonesia dalam penelitian ini, maka direkomendasikan: 1) Apabila kebijakan pemerintah terus diterapkan sebaiknya pemerintah juga melakukan pengawasan terhadap kebijakan tersebut sehingga kebijakan tersebut akan berjalan lebih efektif, seperti melakukan pengawasan terhadap terjadinya penyelundupan rotan mentah ke luar negeri. 2) Agar kebijakan berjalan lebih efektif dan efisien sebaiknya pemerintah dalam membuat kebijakan pembatasan ekspor rotan merntah juga harus memperhatikan faktor-faktor seperti pendapatan riil perkapita negara mitra dagang, stabilitas nilai tukar dan situasi ekonomi negara-negara mitra dagang.
DAFTAR REFERENSI Anwar, Chairul. (2001). Hukum Perdagangan Internasional: Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri. Aprileny, Imelda. (2005). Tesis: Analisis Kinerja Ekspor Dan Daya Saing Industri Elektronika Indonesia. Depok: Universitas Indonesia. Arize, A. (1995). The Effects of Exchange Rate Volatility on U.S. Exports: An Empirical Investigation. Southern Economic Journal 62, 34–43. Arisyi F., et.al. (2012) Krisis Keuangan Global Dan Pertumbuhan Ekonomi: Analisa Dari Perekonomian Asia Timur: Jakarta Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Asseery, A., & Peel, D. A. (1991). The Effects Of Exchange Rate Volatility On Exports. Economics Letters, 37, 173-177. Batiz Fransico L R dan Luis A. Reivera Batiz. (1994) “International Finance and Open Economy Macroeconomi”. New York : Second Edition. Damayanti, Ashinta. (2013). Tesis:Pengaruh Kebijakan Larangan Ekspor Bahan Baku Terhadap Pertumbuhan dan Kemampuan Bertahan Perusahaan Pada Industri Barang Jadi Rotan di Indonesia. Depok: Universitas Indonesia. Direktorat Jenderal Bea Cukai, Kementerian Keuangan. (2014). Penyelundupan 12 Kontainer Berhasil Digagalkan Kpu Bea Dan Cukai Tanjung Priok. Agustus 2014. http://www.beacukai.go.id/index.html?page=media-center/berita/penyelundupan-12-kontainerberhasil-digagalkan-kpu-bea-dan-cukai-tanjung-priok.html. Eita, Joel. dan Andre C. Jordaan. (2007). South Africa’s Wood Export Potential Using a Gravity Modal Approach. Department of Economics Working Paper Series, 23. Erwinsyah. (1999). Kebijakan Pemerintah dan Pengaruhnya terhadap Pengusahaan Rotan di Indonesia. Environmental Policy and Institutional Strengthening IQC. Darvas Zsolt. (2012). Real Effective Exchange Rates for 178 Countries: A New Data Base. Bruegel Working Paper 2012/06. Bruegel. Gujarati, D. (2003). Dasar-dasar Ekonometrika. Erlangga. Jakarta. Ginting, Ari Mulianta. (2013).Pengaruh Nilai Tukar Terhadap Ekspor Indonesia. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol.7 No.1. Halidi. (2005). Tesis: Analisis Dampak Kebijakan Tataniaga Rotan di Indonesia. Depok: Universitas Indonesia. Hady, Hamdy, (2001). Ekonomi Internasional; Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional, Jakarta: Ghalia Indonesia:, halaman 32. Hirschberger, Peter. (2011). Global Rattan Trade: Pressure on Forest Resources: Analysis and Challenges. Vienna, Austria: WWF Report International Monetery Fund. (1984). Exchange Rate Volatility and World Trade, IMF Occasional Paper. No. 28, Washington: International Monetary Fund. International Trade Centere. (2008). Trade Statistic for International Business Development. Switzerland: Author. Jiangying, Gu. (2008). AGravity Analysis of China’s Export Growth. Simon Fraser University. Kawai, Masahiro. (2009). The Impact of The Global Financial Crisis on Asia and Asia’s Ressponses: AEEF Conference, Kiel. Kim, Jeonghoi. (2010). Recent Trends in Export Restrictions. OECD Trade Policy Papers No. 101. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (1996). Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 666/KMK.017/1996 Tentang Penetapan Besarnya Tarif dan Tata Cara Pembayaran Serta Penyetoran Pajak Ekspor. Jakarta: Author. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. (2005). Analisis Perkembangan Agroindustri Rotan. Jakarta: Author. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. (2001). Indonesian Rattan A Natural Marvel., Jakarta: Author. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. (2012). Info Komoditas Prioritas Rotan Indonesia. Jakarta: Author.
Dampak kebijakan..., Armeity Rossi Triwahyuni, FE UI, 2014
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. (2005). Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 12/M-DAG/PER/6/2005 Tentang Ketentuan Ekspor Rotan. Jakarta: Author. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. (2007). Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 29/M-DAG/PER/7/2007 Tentang Perubahan Atas Lampiran Peraturan Menteri Perdagangan No. 12/MDAG/PER/6/2005 Tentang Ketentuan Ekspor Rotan. Jakarta: Author. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. (2008). Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 28/M-DAG/PER/7/2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 12/MDAG/PER/6/2005 Tentang Ketentuan Ekspor Rotan. Jakarta: Author. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. (2009). Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 33/M-DAG/PER/7/2009 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 12/MDAG/PER/6/2005 Tentang Ketentuan Ekspor Rotan. Jakarta: Author. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. (2009). Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 36/M-DAG/PER/8/2009 Tentang Ketentuan Ekspor Rotan. Jakarta: Author. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 35/M-DAG/PER/11/2011 Tentang Ketentuan Ekspor Rotan Dan Produk Rotan. Jakarta: Author. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 36/M-DAG/PER/11/2011 Tentang Pengangkutan Rotan Antar Pulau. Jakarta: Author. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 37/M-DAG/PER/11/2011 Tentang Barang Yang Dapat Disimpan Di Gudang Dalam Penyelenggaraan Sistem Resi Gudang. Jakarta: Author. Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia. (1998). Peraturan Menteri Perindustrian danPerdagangan Republik Indonesia No. 440/MPP/Kep/9/1998 Tentang Pengaturan Ekspor Rotan Bulat. Jakarta: Author. Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia. (2003). Peraturan Menteri Perindustrian danPerdagangan Republik Indonesia No. 32/MPP/Kep/1/2003 Tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Jakarta: Author Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia. (2004). Peraturan Menteri Perindustrian danPerdagangan Republik Indonesia No. 355/MPP/Kep/5/2004 Tentang Pengaturan Ekspor Rotan. Jakarta: Author. Komisi Pengawas Persaingan Usaha. (2010). Positioning Paper KPPU terhadap Kebijakan Ekspor Rotan. Jakarta: Author. Krugman, Paul R dan Obstfeld, Maurice. (2003).International Economics, Theory and Policy USA: (6th ed.). Kumar, Ramesh dan Dhawan, Revinder. (1991). Exchange rate Volatility & Pakistan Export to Develeopment World, 1974-1985. World Development, pp. 1225-1240. Lipsey, Richard G. 1995. Pengantar Mikroekonomi Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara. Mankiw, N. Gregory. (2006). Makroekonomi (6th ed.). Jakarta: Erlangga. Malik Afia. (2004). Demand for Textile and Clothing Export of Pakistan, pp 1-14. Manurung Jonni J., et.al. (2005). Ekonometrika Teori dan Aplikasi Jakarta: Gramedia. Mustafa Khalid and Mohammed N. (2004). Volatility of Exchange Rate and Export Growth in Pakistan: The Structure and Interdependence in Regional Marketsthe Pakistan Development Review 43: 4 Part II pp. 813– 828 Nachrowi, Djalal dan Usman. (2006). Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta:Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Nopirin. (1999). Ekonomi Internasional, (3th ed) Yogyakarta: Bhakti Profesindo (BPFE UGM). Paliu-Popa, Lucia. (2009). Price Categories Used in International Trade. MPRA Paper No. 18566. Poyhonen, P. (1963). A Tentative Model for Volume in Trade Between Countries. Weltwirtschaftliches Archiv, 90(I), 93-100. Prempeh, Yvonne Afua Brehene. (1993). Non-Timber Forest Products, Trade Policies and the Conservation of Forest Resources in South Sulawesi: The Case Of Rattan. Jakarta: Dalhousie University Halifax. Priyono, A. (2009). Tesis: Determinant Factors of Indonesian Furniture Export to European Union. Depok: Universitas Indonesia. Rahman, Ainur. (2011). Saat Kebijakan Berpihak Ke China. 13 November 2013. http://www.stabilitas.co.id/view_articles.php?article_id=205&article_type=0&article_category=8. Ramadhan, Adrian. (2009). Skripsi: Analisis Daya Saing Industri Furniture Rotan Indonesia Bogor: Institut Pertanian Bogor. Salvatore, Dominick. (1996). Ekonomi Internasional, Jakarta: Erlangga. Sukirno, Sadono. (2004). Makro Ekonomi Teori Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa. Sukirno, Antique. (2011). Pengusaha Tolak Penutupan Ekspor Rotan. 8 November 2011. http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/262419-pengusaha-tolak-penutupan-ekspor-rotan.
Dampak kebijakan..., Armeity Rossi Triwahyuni, FE UI, 2014
Tambunan, Tulus. (2000). Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: LP3PES. Tambunan, Tulus.H. (2010). The Indonesian Experience with Two Big Economic Crices: Modern Economy Journal ,1,156-167 Tinbergen, J. (1966). Shaping the World Economy: Suggestion for an International Economic Policy. The Economic Journal, 76(301), 92-95. Virnaristanti, Ika (2008). Skripsi: Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Mebel Dan Kerajinan Rotan Indonesia Ke Jepang. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Yazid, Muhammad. (2012).Ekspor Mebel Dan Rotan Memasuki Masa Penurunan. 26 Mei 2012.http://industri.kontan.co.id/news/ekspor-mebel-dan-rotan-memasuki-masa-penurunan Zuhroh Idah & David Kaluge. (2007). Dampak Pertumbuhan Nilai Tukar Riil Terhadap Pertumbuhan Neraca Perdagangan Indonesia (Suatu Aplikasi Model Vector Autoregressive, Var). Journal of Indonesian Applied Economics.
Dampak kebijakan..., Armeity Rossi Triwahyuni, FE UI, 2014