BAB III SEJARAH EKSPOR KERAJINAN ROTAN DESA TRANGSAN TAHUN 1986-2009
A. Latar Belakang Munculnya Kerajinan Rotan Desa Trangsan 1. Sejarah Perdagangan Rotan di Indonesia a. Deskripsi Tumbuhan Rotan, Budidaya, dan Pengolahannya Rotan merupakan jenis tumbuhan yang berasal dari famili (keluarga/ suku/marga) 1 Palmae (Palem) yang tumbuh menjalar, berumpun-rumpun, dan membelit-belit pada pohon. Dahan-dahannya tinggi dengan panjang batang dari pangkal sampai ke ujung dapat mencapai 100 meter. 2 Batang rotan biasanya langsing dengan diameter beberapa milimeter hingga sepuluh centimeter, beruasruas panjang, tidak berongga, dan banyak yang dilindungi oleh duri-duri panjang, keras, dan tajam. 3 Batang inilah yang banyak dimanfaatkan dan memiliki nilai ekonomis. Tumbuhan ini banyak tersebar di bagian bumi beriklim tropis dan subtropis terutama di daerah khatulistiwa.Di berbagai bagian Asia Tenggara rotan merupakan hasil hutan yang paling penting setelah kayu.
1
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, famili berarti pengelompokan makhluk hidupyang mempunyai sifat atau ciri-ciri yang sama. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Keempat (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 387. 2 Soedjono, Berkreasi dengan Rotan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1987), hlm. 9. 3 J. Dransfield dan N. Manokaran (ed), Sumber Daya Nabati Asia Tenggara No.6: Rotan (Yogyakarta: Gajah Mada University Press bekerja sama dengan Prosea Indonesia, 1996), hlm. 21. 32
33
Di kawasan Indonesia terdapat delapan suku spesies rotan. Delapan suku spesies rotan tersebut yakni Calamus, Daemonorops, Khorthalsia, Plectocomia, Ceratolobus, Plectocomiopsis, Myrialepis,dan Calospatha dengan total jenis mencapai kurang lebih 306 jenis. Dari 306 jenis rotan tersebut, 51 diantaranya sudah dimanfaatkan dan memiliki nilai komersial tinggi serta banyak diperdagangkan.4 Rotan umumnya tumbuh tanpa ditanam dan tidak memerlukan pemeliharaan. Tumbuhan rotan banyak terdapat di hutan-hutan Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan Jawa.5Rotan-rotan tersebut memang ada yang dibiarkan tumbuh tanpa ditanam di hutan-hutan rotan, tetapi ada juga yang sengaja dibudidayakan. Rotan dibudidayakan dalam tiga skala, yakni skala perkebunan untuk penggunaan komersil, skala desa untuk penggunaan domestik dan sebagai suatu hasil bumi penghasil uang, serta budidaya secara eksperimental dalam kebun-kebun kecil. Budidaya rotan di Indonesia sudah dikembangkan sejak masa pemerintahan Hindia Belanda. Perkebunan-perkebunan rotan pertama adalah di kawasan sekitar Barito, Kapuas, dan Kaharjan di Kalimantan sekitar tahun 1850. Misionaris Kristen telah mendorong penanaman dua spesies rotan berumpun berdiameter kecil Calamus caesius dan C. trachycoleus oleh para petani pada pekarangan kecil. Sejak itu luas pekarangan sepanjang dataran rendah aluvial dari Sungai Barito dan ana-anak
4
Ibid., hlm. 13. Febriani Safitri, “Rotan dan Penyebarannya http://geofebrhy.blogspot.com, diakses pada 12 Januari 2015. 5
di
Indonesia”,
34
sungainya di Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan telah meningkat menjadi 15.000 hektar. Menjelang berakhirnya dasawarsa 1980-an perkebunan tingkat desa ini menyumbangkan sekitar 10% dari suplai rotan mentah Indonesia. Peladang berpindah di Kalimantan Timur telah menanam rotan di hutan selama waktu sekitar 15 tahun untuk dipanen kemudian. Uji coba budidaya dari beberapa jenis rotan dimulai pada periode 1980-an, terutama di Jawa. Beberapa perusahaan pemerintah melakukan penanaman beberapa jenis rotan komersil di Jawa dan Kalimantan pada tahun 1988-1993.6 Rotan dipanen terutama yang tumbuh liar di hutan-hutan Kalimantan. Hanya sedikit yang merupakan hasil produksi perkebunan di Kalimantan Tengah dan Selatan. Kelompok-kelompok petani berjumlah tiga sampai lima orang menerobos hutan untuk mengumpulkan rotan. Pengumpulan rotan cukup berbahaya karena masuk hingga pedalaman hutan. Selain itu, dahan yang mati dalam proses penarikan rotan juga cukup berbahaya. 7Dalam proses pemanenan atau pengambilan rotandari hutan setidaknya ada lima tahapan kegiatan yangharus dilakukan seusai tanaman rotan ditemukan, meliputi: (1) Memastikan usia rotan sudah layak tebang; (2) Membersihkan pelepah berduri, agar rotanmudah ditebang; (3) Menguliti rotan, terkadang rotan juga seringdibiarkan sebagaimana adanya;
6 7
J. Dransfield dan N. Manokaran (ed), op. cit., hlm. 31-32. Ibid., hlm. 36-37.
35
(4) Memukuli
batang
rotan
dengan
menggunakanparang
untuk
memastikan tidak ada duritersisa; (5) Mengangkut rotan dari hutan ke tempat pemrosesanlebih lanjut.8 Secara garis besar, terdapat dua proses pengolahanbahan baku rotan asalan menjadi rotan setengahjadi, yakni pemasakan dengan minyak tanah untukrotan berukuran sedang dan besar serta pengasapandengan belerang untuk rotan yang berukurankecil. Pemasakan dengan minyak biasanya dilakukan oleh pengepul besar
dengan
menggunakantiga
drum
yang
telah
dibelah
dua
dan
disambungmenjadi satu. Selanjutnya, puluhan batang rotandimasukkan ke dalam wajan
drum
itu
yang
sebelumnyatelah
diisi
minyak
tanah.
Proses
pemasakancukup bervariasi tergantung besarnya api dan banyaknya rotan yang dimasak,
tetapi
biasanya
pemasakandiperkirakan
akan
memakan
waktu
sekitarenam sampai delapan jam.Usai dimasak, rotan lalu dijemur untuk menghilangkankandungan minyak tanah. Bila cuaca panas dantidak hujan, penjemuran biasanya dilakukan sekitartiga hari. Sedangkan, bila cuaca lembab dan hujan,penjemuran bisa memakan waktu sekitar seminggu.Proses pengolahan dilanjutkan
dengan
beberapaukuran.
prosesmenguliti
Selanjutnya,
rotan
dan
pembentukan
setengah
jadi
siap
rotan
dalam
dipasarkandan
dimanfaatkan untuk kebutuhan pasar di dalam dan luar negeri. Batang rotan banyak dimanfaaatkan untuk membuat keranjang, tikar, mebel/ furnitur, tangkai sapu, pemukul permadani, tongkat, perangkap ikan, perangkap binatang, tirai, kurungan burung, ikatan pada rumah, pagar, jembatan 8
hlm. 6.
Miranti Rahajeng, “Memproses Rotan”, Warta Ekspor Edisi Juni 2013,
36
dan perahu. Batang rotan juga digunakan sebagai tali tambat kerbau, tambang penambat, tali jangkar, dan jembatan juga dibuat dari rotan. Pinak-pinak daun rotan tua dianyam untuk atap, pinak daun muda digunakan sebagai kertas rokok, tunas mudanya dapat dikonsumsi, buah rotan digunakan sebagai obat, dan “darah naga” digunakan sebagai obat, zat warna, dan pernis.9 b. Sejarah Perdagangan Rotan di Indonesia Sejarah awal pemanfaatan rotan masyarakat di Nusantara tidak diketahui secara pasti.Kurangnya penelitian yang membahas masalah tersebut menjadi salah satu faktor penyebabnya.Namun, pada masa kerajaan Hindu-Budha, rotan sudah menjadi komoditi perdagangan. Apalagi Selat Malaka merupakan jalur perdagangan yang sangat ramai. Pada masa itu, komoditi yang merupakan hasil pemanfaatan pohon palma rotan, dikenal dengan nama badak kering atau darah naga.10 Pada abad ke-7, badak kering sudah dikenal di Tiongkok sebagai obat penghenti pendarahan yang banyak digunakan oleh para dokter Tiongkok. Barang tersebut pernah dikirimkan sebagai upeti atau seserahan oleh Kerajaan Sriwijaya kepada Kerajaan Tiongkok (Dinasti Sung) pada tahun 1018 dan 1156.11 Ketika itu, Kerajaan Sriwijaya tidak keberatan untuk mengakui Tiongkok sebagai negara
9
J. Dransfield dan N. Manokaran (ed), op. cit., hlm. 15-16. Badak kering atau darah naga merupakan getah dari rotan jenis Daemonorphus Blume Indonesia atau rotan jalar. Disebut juga sebagai darah kering karena getah yang mengalir dari pohon dan menetes seperti air gula setelah beberapa waktu membentuk sebuk kristal yang merah sewarna darah. Jadi darah kering adalah nama lain dari badak kering. Baca O.W. Wolters, Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dan Perniagaan Dunia Abad III Abad VII (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), hlm. 136-137. 11 Ibid. 10
37
yang berhak menerima upeti. Hal ini sebagai upaya diplomatiknya untuk menjamin agar Tiongkok tidak membuka perdagangan langsung dengan negeri lain di Asia Tenggara yang dapat merugikan perdagangan Sriwijaya. 12 Itulah sebabnya rotan menjadi salah satu barang mewah yang bermakna politisekonomis pada saat itu. Selat Malaka adalah jalur perdagangan yang cukup ramai. Banyak pedagang muslim dari Arab, Persi (Iran), dan negeri-negeri di Timur Tengah meramaikan perdagangan internasional melalui Selat Malaka sejak abad ke-7 dan ke-8 M. Salah satu komoditi yang diperdagangkan adalah rotan. Pada abad ke-15, rotan menjadi salah satu komoditas perdagangan penting dari trayek-trayek atau jalur utama perdagangan seperti Malaka – pantai timur Sumatera, Jawa Tengah dan Jawa Timur – Sumatera Selatan.13Beberapa daerah seperti Siak, Inderagiri, dan Sampar menghasilkan rotan sebagai salah satu komoditi unggulan. Tom Pires mencatat bahwa Siak misalnya menghasilkan padi, madu, kitin, rotan, obat-obatan, dan emas.14 Selat Malaka tetap menjadi jalur perdagangan yang ramai setelah keruntuhan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-14 M. Palembang berkembang menjadi pusat enclave Islam di di bagian selatan Pulau Emas. Banyak pedagang dari Timur Tengah yang melakukan kegiatannya di Palembang. Pada waktu itu, Palembang sudah berdagang dengan Malaka dan Pahang dengan jung-jung 12
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 99-100. 13 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: Serambi, 2010), hlm. 37-38. 14 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 38.
38
sebanyak 10 atau 12 setiap tahun membawa beras, bahan makanan, katun, rotan, lilin, madu, anggur, emas, besi, dan kapur barus pada abad ke-16 M. 15 Dapat dilihat bahwa rotan menjadi salah satu komoditi yang diperdagangkan saat itu. Pada masa itu, rotan banyak digunakan sebagai tali, dan obat-obatan. Rotan juga dimanfaatkan sebagai bahan pembuat kapal.16 Selain itu, rotan banyak digunakan sebagai bahan pembuatan rumah. Keraton dan rumah-rumah di Maluku diikat oleh tali-tali rotan dan atapnya terdiri dari ola atau gamutu. Adapun rumahrumah umum dindingnya rotan dan lantainya tanah. 17 Rotan-rotan yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di kawasan Nusantara membuktikan bahwa rotan memiliki nilai guna yang tinggi sehingga banyak diperdagangkan. Pemanfaatan rotan di kawasan Nusantara tersebut membuat para pedagang Eropa yang masuk ke kawasan Nusantara pada awal abad ke-16 Mulai tertarik dengan komoditas rotan. Para pedagang Eropa mulai tertarik dengan rotan, tetapi belum menganggap rotan sebagai komoditas bernilai dalam sejarah perdagangan bangsa Eropa di belahan Hindia Timur. Walaupun material rotan ketika itu sudah dibungkus dan dipakseperti barang lain yang diperdagangkan.Namun, bahan rotan tidak dianggap produk komersil sehingga selama berada pada pelayaran maka kumpulan rotan tersebut dimanfaatkan sebagai penyeimbang yang ditempatkan pada lambung kapal.18
15
Ibid., hlm. 44-45. Ibid., hlm. 103. 17 Ibid., hlm. 286-287. 18 Deny Willy Chandra, “Sejarah Awal Perdagangan Internasional Kursi Rotan”, http://www.academia.edu (Diunduh pada 1 Desember 2014) 16
39
John Osterwick yang merupakan staff dari pos dagang di Pelabuhan Hirado, Jepang mencatat mengenai rotan yang diperdagangkan pada September 1615 tertulis “rotane…bundells”. Ketika itu, perusahaan dagang English East India Company(EIC) merapat pertamakali di pelabuhan Hirado, Jepang, di sebelah barat laut Pulau Kyushu pada 1613‐1623.Ada kemungkinan bahwa rotan tersebut dikapalkan dari Batavia (Jakarta) dengan kapal bernamaHoziander untuk selanjutnya dikirim kepada pedagang Tiongkok sebagai bahan dasar pintalan kawat tali. Penggunaan rotan oleh penjelajah Tiongkok sebagai tali kawat pengikat kapal yang berlabuh dengan reputasi daya tahannya terhadap beban, sifat kedap air, daya apung, demikian selanjutnya rotan semakin populer turut digunakan untuk tali berlabuh bagi kapal‐kapal Eropa. George Meister orang Belanda di Jepang pada 1682-1685 memiliki catatan administrasi tentang perdagangan di Dejima, Jepang. Ia mencatat penjualan 30 buah stik tongkat rotan dilengkapi dengan sebuah lambang perusahaan yang dicetak timbul (jockadeki/rottangth met silver beslach). Pada catatan tersebut juga tertera bahwa tongkat rotan tersebut diimpor dari Batavia. Demikian pula catatan perdagangan Belanda di kepulauan Formosa (Taiwan) menuliskan impor produk sejenis tongkat rotan “Javanese Rottangth” juga dengan lambang pada pada bagian pegangan yang digunakan sebagai simbol seremonial bagi otoritas belanda di wilayah tersebut.19Selain itu, VOCyang berdiri pada awal abad ke-17 M juga tertarik terhadap perdagangan rotan. Rotan terutama dimanfaatkan sebagai bahan
19
Ibid.
40
pembuatan kursi yang banyak dipengaruhi oleh furnitur Tiongkok gaya Dinasti Ming.20
Gambar 1. Kursi Gaya Dinasti Mingawal abad ke-17 Sumber: www.jstage.jst.go.jp
Gambar 2. Jenis-jenis kursi Gaya Dinasti Mingawal abad ke-17 Sumber: www.jstage.jst.go.jp
Pada masa itu, komponen furnitur oleh bangsa Eropa dikirim ke Timur kemudian diberi anyaman dan dikirim ke Negara‐negara Eropa. Meskipun tercatat pula batang rotan yang diekspor dari Hindia Timur ke Eropa selanjutnya dikupas menjadi kulit siap anyam setibanya di London.Volume perdagangan di Hindia 20
Andrew Cookson dan Ichimura Shinnichi, “The Early Development of the English Rattan Seat: A Comparison of Ming Dinasty Chinese Seating and English Rattan Chairs, 1660-1700”, www.jstage.jst.go.jp, didownload pada 1 Desember 2014.
41
Timur meningkat tajam. Kursi‐kursi anyaman dibawa oleh kapal‐kapal dagang melalui pos‐pos dagang mulai dari Batavia (Hindia Belanda), Pantai Coromandel, Surat, Bombay,dan Madras (India). Berbagai kursi‐kursi dengan dudukan rotan di berbagai koleksi di Inggris dan Indonesia maka gaya kursi pesisir (Coastal chair) dengan bahan kayu gelap ebony yang diekspor dari Hindia Timur (Pantai Coromandel, Srilanka dan Maluku) merupakan bibit kursi generasi industri pertama dari Hindia Timur. Kursi pesisir kayu ebony (Mollucan chair) dengan anyaman rotan yang dibawa melalui kapal melalui pelabuhan dan pos‐pos dagang Belanda di pesisir Jawa. Sentra industri ukir kayu di Jepara, yang mereproduksi Kursi Indo‐Dutch & Indo‐Portuguese dengan dudukan dan sandaran anyaman diekspor dengan volume yang tinggikhususnya ke Inggris dan Belanda.21
Gambar 3. Model awal kursi dengan dudukan dan sandaran anyaman rotan dari Hindia Timur pada 1670. Sumber: www.academia.edu 21
Deny Willy Chandra, loc. cit.
42
Selain dimanfaatkan sebagai kursi rotan, anyaman rotan juga digunakan sebagai penutup jendela pada rumah-rumah bergaya Indis dalam abad ke-18. Kelemahan jendela dengan penutup anyaman rotan adalah tidak dapat melindungi ruangan dalam dari hujan dan panas matahari, juga dari terpaan angin. 22 Pemanfaatan rotan pada masa kolonial tersebut membuktikan bahwa rotanmasih menjadi komoditas perdagangan yang diminati masyarakat di Hindia Belanda. Pada awal abad ke-20, Singapura menjadi pusat perdagangan rotan dari seluruh Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Selama periode tersebut, ekspor rotan dari Kalimantan dan Sulawesi meningkat masing-masing dari 9.400-19.300 ton dan 10.300-21.800 ton. Kebanyakan bahan baku dari Kalimantan diekspor lagi lewat Singapura dan Sulawesi. Sejak itu, pulau-pulau di Indonesia mulai berkembang menjadi pemasok rotan terbesar dunia bahkan setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Indonesia menjadi pemasok dari 90% kebutuhan dunia atas rotan mentahpada periode 1970-an. Pada 1977, Singapura yang tidak memiliki sumber daya rotan memperoleh lebih dari US$21 juta dari memproses dan mengkonversi rotan menjadi produk setengah jadi dengan 90% pasokannya berasal dari Indonesia. Pada tahun yang sama, Hong Kong mengimpor US$26 juta rotan dan produk rotan yang setelah diproses dan dikonversi bernilai ekspor sebesar US$68 juta. Sebagai pembanding bahwa pangsa Indonesia dalam perdagangan tersebut dalam bentuk rotan batangan belum diproses hanya sebesar US$15 juta. Perbandingan ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia menjadi pemasok 22
Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), hlm.75.
43
rotan mentah terbesar di dunia, tetapi tidak banyak keuntungan yang didapat dari ekspor rotan mentah.23 Ekspor rotan mentah berdampak pada industri pengolahan rotan dalam negeri yang tidak berkembang. Rotan-rotan yang didapat oleh industri pengolahan rotan dalam negeri memiliki kualitas lebih rendah sehinggaterjadi kelangkaan bahan baku. Oleh sebab itu, pemerintah kemudian mengambil kebijakan untuk mengembangkan industri pengolahan rotan dalam negeri. Pada tahun 1986 pemerintah mengeluarkanSK Menteri Perdagangan No. 274/KP/X/1986 tentang larangan ekspor bahan baku rotan. Sejak saat itu industri pengolahan rotan nasional mengalami perkembangan yang sangat pesat
24
Perkembangan ini juga berdampak baik bagi industri pengolahan rotan di Desa Trangsan. 2. Sejarah Kerajinan Rotan Desa Trangsan Kerajinan rotan Desa Trangsan telah ada sejak tahun 1927. 25 Kerajinan rotan Desa Trangsan dikembangkan oleh Martosenotono, Wongsowijoyo, dan Lurah Wongsolaksono.Ketiganya adalah seorang abdi Keraton Kasunanan Surakarta. Para pendiri industri pengolahan rotan mendapat inspirasi dari Keraton Kasunanan Surakarta. Ketika itu, Lurah Wongsolaksono mengikuti rombongan 23
J. Dransfield dan N. Manokaran (ed), op. cit., hlm. 16-17. Kementrian Perindustrian Republik Indonesia, “Pengembangan Industri Pengolahan Rotan Indonesia”, http://www.kemenperin.go.id, diakses pada 20 Februari 2015. 25 Wawancara dengan Marjono pada tanggal 9 April 2015; Wawancara dengan Warsino pada tanggal 7 Mei 2015; Wawancara dengan Ibu Warsino pada tanggal 9 April 2015. Sumber lain menyebutkan bahwa kerajinan rotan Desa Trangsan telah ada sejak 1928. Lihat Sriyana, Pj Kepala Desa Trangsan, Sejarah Jati Diri Desa Trangsan, Kecamatan Gatak, Kabupaten SukoharjoTahun 2006, hlm. 3 24
44
Keraton Kasunanan ke Madura. Di sana Lurah Wongsolaksonomelihat pembuatan rotan untuk pertama kalinya dan tertarik pada kelenturan rotan. Lurah Wongsolaksono kemudian mencoba untuk membuat topi krop dari rotan. 26 Topi krop tersebut kemudian dikenakan Lurah Wongsolaksono ketika pisowanan di Keraton Kasunanan Surakarta. Beberapa Bupati dan Pangeran Kusumayudha tertarik
dengan topi
Wongsolaksono.Mereka
kemudian
krop
memesan
yang dikenakan oleh topi
krop
kepada
Lurah Lurah
Wongsolaksono. Beberapa waktu kemudian Lurah Wongsolaksono kembali mendapat kesempatan untuk pergi ke Madura. Sekembalinya dari Madura, Lurah Wongsolaksono membuat kursi malas panjang yang terbuat dari rotan.27Berikut merupakan foto topi krop yang memiliki karakteristik yang mirip dengan topi krop buatan Trangsan yang sudah dikonfirmasi oleh Marjono.28 Hanya saja, topi krop Trangsan terbuat dari rotan.
26
Topi Krop atau topi prop adalah suatu jenis topi berbentuk bulat yang biasa dikenakan oleh mandor dan demang pada masa kolonial Belanda. 27 Wawancara dengan Marjono pada tanggal 9 April 2015 . 28 Wawaancara dengan Marjono pada tanggal 27 Januari 2016.
45
Gambar 4. Topi Krop terbuat dari bahan plastik yang dijual di Pasar Triwindu memiliki karakteristik seperti topi krop buatan Trangsan terbuat dari rotan. Sumber: Dokumentasi Pribadi Setelah itu, Lurah Wongsolaksono mengikuti pameran kerajinan di Alunalun Utara bernama Toko Strelling. Pameran tersebut diselenggarakan pada masa kejayaan Sri Susuhunan Paku Buwono X. Sri Susuhunan Paku Buwono X kemudian tertarik dengan hasil karya Lurah Wongsolaksono dan memesan kursi malas panjang. Lurah Wongsolaksono kemudian mendapat tambahan gelar Lurah Demang Wongsolaksono.Sejak itu, Lurah Wongsolaksono mulai banyak mendapat pesanan dari Keraton Kasunanan Surakarta. Setelah meninggalnya Lurah Demang Wongsolaksono pada 1949 Martosenotono dan Wongsowijoyo terus mengembangkan kerajinan rotan di Desa Trangsan dengan menularkan
46
ilmunya kepada anak, cucu, dan tetangga yang tertarik dengan kerajinan rotan.29 Berikut contoh model kursi malas dari rotan yang memiliki karakteristik seperti buatan Desa Trangsan yang sudah dikonfirmasi oleh Marjono. Hanya saja kerangkanya terbuat dari bambu.30
Gambar 5. Kursi malas yang terbuat dari rotan mirip dengan desain kursi rotan Desa Trangsan, tetapi dengan rangka yang terbuat dari bambu. Sumber: www.media-kitlv.nl
29
Sriyana op. cit., hlm. 3; Wawancara dengan Warsino pada tanggal 7 Mei 2015. Lihat juga Puji Rahayu, “Strategi Kelangsungan Usaha Industri Rotan (Strategi Kelangsungan Indsutri Kerajinan Rotan di Sentra Industri Rotan di Desa Trangsan Kecamatan Gatak Kabupaten Sukoharjo)”, Skripsi, 2011, FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta, hlm. 44. 30 Wawancara dengan Marjono pada tanggal 27 Januari 2016.
47
Gambar 6. Terlihat kursi rotan sejak zaman Paku Buwana X yang masih digunakan hingga masa Paku Buwana XII. Sumber: Album Foto Koleksi Sasana Pustaka Keraton Kasunanan Surakarta Ada juga cerita lainyang berkembang berkaitan dengan sejarah kerajinan rotan di desa ini.Marjono, seorang pengrajin Desa Trangsan menerangkan bahwa ada pedagang kecap Tionghoa di daerah Warung Pelem, Kecamatan Jebres, Surakartamemiliki sambilan sebagai pedagang hasil kerajinan rotan.Dijuluki Nyah Kecap karena merupakan pedagang kecap. Nyah Kecap ini mendatangkan beberapa orang dari Trangsan untuk bekerja sebagai pengrajin rotan di tempat usahanya.Setelah bekerja pada pedagang Tionghoa di Surakarta, pengalaman beberapa pengrajin rotan Desa Trangsan semakin meningkat dan mengembangkan usahanya di desanya sendiri.31Cerita tersebut hanya diketahui oleh pengrajin yang lahir di tahun 1940-an hingga 1950-an.
31
Wawancara dengan Marjono pada tanggal 9 April 2015; Wawancara dengan Warsino pada tanggal 7 Mei 2015.
48
Mayoritas penduduk Desa Trangsan pada waktu itu berprofesi sebagai petani. Kehadiran kerajinan rotan di desa ini disambut dengan baik. Beberapa orang juga mulai belajar membuat rotan.Pesanan paling banyak berasal dari Keraton Kasunanan Surakarta. Kerajinan rotan mulai berkembang menjadi pekerjaan sampingan sebagian penduduk Desa Trangsan pada 1950-an. Bahan baku rotan pada waktu itu kebanyakan didatangkan dari Surabaya yang sebenarnya adalah rotan dari Kalimantan dan Sulawesi. Di Desa Trangsan juga terdapat rotan tetapi jenis rotannya sangat kecil sehingga kurang bagus untuk digunakan. Beberapa pengrajin menjual hasil karyanya di pasar-pasar sekitar Desa Trangsan, sementara beberapa menjual di Surakarta dan Yogyakarta. Berikut merupakan contoh model kursi rotan seperti kursi rotan buatan Desa Trangsan:
Gambar 7. Kursi rotan yang digunakan untuk menerima tamu VIP Komandan Pangkalan Panasan sejak tahun 1946. Sumber: Dokumentasi Pribadi, Foto diambil di Museum Sejarah Opsir Muda Udara I Adi Soemarmo
49
B. Sarana dan Prasarana Industri Kerajinan Rotan Desa Trangsan Sebuah unit produksi harusmelalui langkah-langkah tertentu yang dinamakan dengan proses produksi. Kegiatan produksi merupakan suatu proses atau kegiatan utama sebagai suatu usaha atau badan usaha yang memiliki makna suatu proses kombinasi dan koordinasi materi-materi dan kekuatan-kekuatan (input, sumber daya, jasa-jasa dan produksi dalam hal pembuatan suatu barang dan jasa). Dengan kata lain dapat dikatakan sebagai suatu proses mengubah input menjadi output sehingga nilai barang tersebut bertambah, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari nilai tambah dari barang atau jasa yang telah dihasilkan.32 Produksi barangguna mendapatkan hasil yang maksimal, maka perlu dilakukan beberapa strategi. Usaha kerajinan rotan, dimana para mengrajin mengubah rotan mentah dan menjadikan sebuah benda dengan nilai jual yang lebih tinggi harus dapat mengoordinasikan faktor-faktor produksi supaya faktor yang satu dengan yanglainnya dapat berjalan secara selaras sehingga usaha tersebut dapat terus berjalan. Dalam proses produksi, pengrajin rotan Desa Trangsan membutuhkan modal, tenaga kerja, peralatan kerja dan bahan baku. Bahan baku utama dari kerajinan rotan yaitu rotan. Rotan sendiri dibagi menjadi dua jenis utama yaitu rotan yang keras, dan besar digunakan untuk rangka, sedangkan rotan yang kecil dan lentur digunakan sebagai rotan anyam dan rotan tali. Bahan lain yang digunakan untuk kerajinan rotan selain rotan yaitu anyaman dari debok (pelepah pisang), pandan laut, seagrass, hingga eceng gondok. Bahan32
Puji Rahayu, “Strategi Kelangsungan Industri Rotan”, Skripsi, FISIP UNS Surakarta, 2011, hlm. 52.
50
bahan tersebut didatangkan ke Desa Trangsan dari berbagai daerah, seperti Surabaya, Malang, Jepara, Tasikmalaya, dan lain-lain. Setelah kering pelepah pisang/ eceng gondok baru dianyam. Pelepah pisang/ eceng gondok harus benarbenar kering sebelum bisa digunakan untuk kerajinan, apabila pelepah pisang/ eceng gondok masih basah maka hasil dari kerajinan tersebut tidak akan bisa bertahan lama karena diserang jamur/ membusuk. 1. Periode Sebelum Ekspor 1950-1985 a. Modal Setiap usaha dalam bidang ekonomi berbentuk apapun, modal merupakan faktor
utama
yang
harus
dimiliki
oleh
pengusaha/
pengrajin
untuk
penyelenggaraan dan menunjang proses produksi. Dengan tersedianya modal dalam jumlah yang yang mencukupi maka proses produksi akan dapat berjalan dengan lancar. Selain itu, jumlah modalyang tersedia juga akan sangat menentukan hasil yang akan diperoleh. Industri dalam ruang lingkup kecil/ industri rumah tangga biasanya memiliki modal yang sangat terbatas, pemilik hanya memiliki modal pas- pasan. Modal yang terbatas akan mengganggu produksi.Apabila pesanan melonjak banyak pengusaha yang kebingungan karena untuk memenuhi pesanan yang melonjak, maka secara bersamaan pengusaha harus membeli bahan baku dalam jumlah yang besar pula, selain karena melonjaknya pesanan, masalah yang dihadapi pengusaha kecil akibat permasalahan modal yaitu apabila pesanan yang sudah jadi namun tidak kunjung diambil/ dibayar oleh pemesan, maka hal ini juga akan menjadi masalah bagi pengrajin yang memiliki modal pas-pasan.
51
Tahun 1950-1986 kerajinan rotan masih dijadikan pekerjaan sampingan selain pertanian oleh penduduk Desa Trangsan. Modal yang dikeluarkan oleh pengrajin tidaklah besar. Modal yang di dikeluarkan hanya digunakan untuk membeli bahan baku rotan, sedangkan peralatan yang digunakan masih sederhana dan tidak emerlukan biaya yang besar. Modal yang didapatkan berasal dari sisa penjualan pertanian.33 b. Tenaga Kerja Industri kerajinan rotan di Trangsan ini cukup penting dalampenyerapan tenaga kerja, terutama penduduk sekitar Desa Trangsan. Seperti yang telah dijelas bahwa Stayle dan Morse membuat penggolongan jenis industriberdasarkan jumlah tenaga kerja sebagai berikut ini: a. Industri kerajinan rumah tangga memiliki tenaga kerja antar 1-4 orang. b. Industri kecil memiliki jumlah tnaga kerja antar 5-19 orang. c. Industri sedang memiliki jumlah tenaga kerja antara 20-49 orang. d. Industri besar memiliki jumlah tenaga kerja lebih dari 50 orang.
Kerajinan rotan Desa Trangsan dalam mengelola usaha ini mereka dibantu oleh para anggota keluarganya. Adapun minimnya jumlah tenaga kerja yang membantu tersebut antara lain disebabkan oleh minimnya modal yang mereka miliki. Semakin kecil modal awal yang dikeluarkan, maka jumlah tenaga kerja yang dimiliki juga semakin sedikit. Alasan utama mengapa terjadi hal yang demikian adalah karena untuk menggunakan atau memanfaatkan tenaga kerja yang lebih banyak. Namun demikian apabila permintaan pesanan sedang
33
Wawancara dengan Warsinopada tanggal 22 November 2015.
52
meningkat, dan jumlah tenaga kerja tetap mereka dirasa tidak sanggup mengerjakan dalam waktu yang telah ditentukan, para pengrajin biasanya memperkerjakan atau mengambil tenaga kerja dari luar, dalam arti tenaga kerja sementara, jika order sudah selesai dikerjakan, mereka sudah tidak bekerja lagi.34 c. Alat Produksi Alat produksi yang digunakan oleh pengrajin rotan mengalami perubahan. Perubahan alat produksi dikarenakan tuntutan zaman. Alat-alat produksi mengalami perkembangan untuk efisiensi dan kecepatan dalam bekerja. Pengrajin mulai meninggalkan peralatan lama yang dirasa kurang efektif dan digantikan dengan peralatan yang baru. 1) Alat Pemanas Rotan Awal kerajinan rotan di Desa Trangsan, pengrajin rotan menggunakan peralatan seadanya yang biasanya mudah dijumpai disekitar mereka. Alat yang digunakan untuk memanaskan rotan/ untuk membuat lengkungan pada rotan pada awanya hanya berupa blarak. Blarak dibakar dan api dari blarak ini digunakan untuk memanaskan dan melengkungkan rotan. Alat ini digunakan sejak tahun 1960-an sampai tahun 1980-an.35 2)Alat pemasang paku Pengrajin membutuhkan peralatan untuk menguatkan sambungan antar rotan. Alat yang digunakan untuk menguatkan sambungan antar rotan bianya berupa rotan tali/ paku. Alat yang digunakan untuk memasang paku pada awalnya hanya berupa palu. Pengusaha/ pengrajin rotan yang besar mulai meninggalkan 34 35
Puji Rahayu, op. cit, hlm 57. Wawancara dengan Warsino pada tanggal 7 Mei 2015.
53
alat pemasang paku manual dan menggatinya dengan alat pemasang paku berupa senapan angin. Penggunaan senapan angin untuk pemasangan paku jauh lebih cepat dibandingkan dengan palu manual. Pengrajin hanya membutuhkan sekali tekan untuk memasang paku, sedangkan untuk palu pengrajin membutuhkan beberapa pukulan supaya paku terpasang. 3) Alat pengecat Pengecatan
dalam
kerjinan
rotan
difungsikan
untuk
finising/
mempercantik tampilan kerjainan rotan. Selain untuk mempercantik tampilan, pengecatan rotan ditujukan untuk pengawetan rotan. Rotan yang telah dicat akan lebih awet jika dibandingkan dengan rotan tampa cat. Rotan yang telah di cat kurang disenangi oleh jamur/ hewan- hewan kecil yang dapat merusak rotan. Rotan akan lebih cepat rusak apabila sudah terkena jamur atau dimakan oleh hewah- hewan kecil, selain terkena panas matahari secara langsung atau terkena air.Peralatan yang digunakan untuk mengecat pada awalnya hanya menggunakan kuas. Pengrajin mengecat kerajinan rotan yang sudah jadi dengan dikuas. 4)Alat potong Alat potong dibutuhkan dalam kerajinan rotan. Alat potong digunakan untuk memotong bahan, yakni rotan. Rotan yang di dapat oleh pengrajin biasanya berupa batang- batang panjang. Batang- batang rotan yang panjang ini diukur dan dipotong oleh pengrajin sesuai dengan kebutuhan. Alat yang digunakan untuk memotong batang rotan berupa gergaji untuk rotan besar yang biasanya digunakan sebagai rangka, sedangkan gunting digunakan untuk memotong rotan kecil/ tipis. Rotan kecil/ tipis digunakan sebagai rotan anyam atau rotan tali.
54
5) Amplas Kerajinan rotan yang telah dibentuk, sebelum dicat maka rotan tersebut dihaluskan. Rotan dihaluskan dengan diamplas. Pengamplasan dimaksudkan untuk menghilangkan serat-serat kasar pada rotan.36 2. Periode Ekspor 1986-2009 a. Modal Permintaan kerajinan rotan untuk ekspor yang semakin besar pada pertengahan 1980-an menyebabkan pengrajin rotan di Desa Trangsan kesulitan, baik dari segi permodalan maupun tenaga kerja. Bantuan yang diberikan pemerintah pada tahun 1980-an berupa pelatihan dan peralatan yang jumlahnya terbatas, karena peralatan tersebut diberikan kepada kelompok bukan kepada setiap pengrajin.37 Pengrajin menambah modal mereka dengan cara menggadaikan barang berharga mereka, terutama tanah/ bangunan kepada Bank untuk mendapatkan bantuan modal. Bantuan modal yang telah dicairkan oleh pihak Bank begitu terasa manfaatnya ketika orderan kerajinan meningkat. Bantuan hutang dari Bank digunakan oleh pengrajin untuk membeli bahan baku, meremajakan/ mengganti peralatan serta untuk menggaji karyawan. Adanya bantuan hutang dari Bank dirasakan sangat berdampak kepada kemajuan usahanya. Krisis ekonomi global, yang mengakibatkan batalnya pesanan barang/ menurunnya permintaan ekspor kerajinan rotan berdampak kepada kehidupan
36
Wawancara dengan Agung pada tanggal 8 Juli 2015.
37
Wawancara dengan Mujiman pada tanggal 22 November 2015.
55
ekonomi pengrajin. Pengrajin yang mempunyai hutang di Bank mulai kesulitan untuk membayar hutang tersebut. Tunggakan yang semakin menumpuk dan tidak terbayar, menyebabkan Bank terpaksa menyita barang jaminan. Pengrajin rotan di Desa Trangsan banyak yang kehilangan barang yang dijadikan jaminan karena disita oleh Bank. b. Tenaga Kerja Tenaga kerja pengrajin didatangkan dari daerah Wonogiri, Pacitan, Gunung Kidul, Jepara, Grobogan, Kudus. Pekerja menginap di tempat kerja. Tenaga kerja pengrajin biasanya mengerjakan kerajinan rotan secara borongan namun ada juga yang secara harian. tahun 1990-an upah buruh perhari sekitar Rp1.700,00. setiap minggu dibayarkan. Upah buruh harian diberlakukan untuk buruh baru/ awal-awal bekerja di kerajinan rotan, sedangkan untuk yang sudah mahir mereka bekerja secara borongan. Borongan setiap orang bisa mendapatkan upah sampai Rp100.000,00 setiap hari pada tahun 1997. Pekerja borongan biasanya bekerja lembur sampai pagi untuk mendapatkan hasil yang lebih. Upah borongan setiap kursi sekitar Rp7.000,00 tergantung kerumitan. 38 Tingkatan pekerja, untuk pekerja pemula biasanya bekerja sebagai pengamplas kerajinan rotan yang sudah jadi sebelum rotan masuk tahap finising. Tingkatan pekerja selanjutnya yaitu bekerja sebagai penganyam, pekerja sebagai penganyam memerlukan keahlian untuk mengayam rotan, berbeda dengan tenaga amplas. Tenaga amplas hanya membutuhkan ketekunan dan kerja keras. Tingkatan tenaga kerja pengrajin selanjutnya yaitu finishing. pekerja pengrajin yang bekerja pada
38
Wawancara dengan Sunarto pada tanggal 9 April 2015.
56
bidang finishing mmbutuhkan ketelitian dan keahlian untuk pengecatan, supaya rotan mempunyai nilai jual yang lebih tinggi dan lebih awet. Tingkatan pekerja paling tinggi yaitu pekerja rangka. Pekerja rangka membutuhkan pengalaman, kreativitas dan detail, karena sangat menentukan kerapihan bentuk anyaman.39 c. Peralatan 1) Alat Pemanas Rotan Tahun 1980-an pengrajin mulai beralih menggunakan minyak tanah untuk memanaskan rotan. Penggunaan kompor minyak ini dirasa lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan blarak. Tahun 1980an persediaan blarak untuk memenuhi kebutuhan pengrajin mulai berkurang dan mulai tahun 1986 pengrajin rotan di Desa Trangsan mulai dijarkan pelatihan pengolahan rotan. Kompor minyak lebih cepat untuk memanaskan rotan, walaupun pengrajin harus menambah ongkos untuk membeli minyak tanah, sedangkan blarak didapatkan dengan gratis. Penggunaan kompor minyak dirasa mulai kurang efektif ketika masyarakat di Desa Trangsan mulai menganal kompor gas. Penggunaan kompor gas untuk keperluan industri rotan di Desa Trangsan mulai ada sejak tahun 1995. Peralihan dari kompor minyak ke kompor gas ini seiring dengan permintaan kerajinan rotan yang terus meningkat. Permintaan kerajinan rotan yang terus meningkat, memaksa pengrajin harus bekerja lebih cepat serta ditunjang dengan peralatan yang memadai. Peralatan pemanas rotan dengan kompor gas akan membuat lebih cepat panas dibandingkan dengan kompor minyak. 2) Alat Pemasang Paku
39
Wawancara dengan Warsino pada tanggal 7 Mei 2015.
57
Pengrajin besar mulai menggunakan senapan angin pada tahun 1980-an, sedangkan pengrajin kecil baru menggunakan senapan angina pada tahun 1990an.40 Peralatan lain yang menunjang kecepatan pengrajin dalam menggabungkan rotan yaitu bor mesin. Pengrajin mulai mengganti bor manual dengan bor mesin. Bor mesin digunakan untuk melubangi rotan. 3) Alat Cat Penggunaan kuas mulai ditinggalkan oleh pengrajin dan digantikan dengan spet. Spet dengan tenaga kompresor mulai digunakan oleh pengrajin di desa Trangsan pada tahun 1990-an. Pengguaan spet dengan tenaga kompresor lebih cepat jika dibandingkan dengan kuas. Pengecatan dengan sistem spet, pengrajin cukup menuangkan cat ke dalam tabung, dan pengrajin tinggal menakan tuas, maka rotan dengan cepat dicat, hal ini berbeda dengan cara dikuas, apabila dikuas, pengrajin harus mengoleskan kuas secara bertahap pada bagian rotan. 4) Alat Potong Pengrajin rotan di Desa Trangsan mulai mengganti alat potong mereka yang berupa gergaji potong manual. Gergaji potong manual digantikan dengan gergaji mesin. Gergaji potong mesin bekerja lebih cepat jika dibandingkan dengan gergaji potong manual. Pengrajin rotan mulai menggunakan gergaji mesin sejak awal 1990-an. 5) Amplas Alat pengamplas mulai kemajuan sejak awal tahun 1990-an. Bersamaan dengan mulai digunakan alat potong, alat pengamplas rotan juga mengalami
40
Wawancara dengan Agung pada tanggal 8 Juli 2015.
58
perubahan. Alat potong elektrik maupun alat amplas yang moderen merupakan satu alat, tetapi alat amplas sedikit dimodifikasi. Alat potong yang digunakan untuk memotong berupa ujungnya, sedangkan alat untuk mengamplas berupa badannya yang telah ditempeli amplas. C. Perkembangan dan Peran KoperasiSerba Usaha Manunggal Trangsan Jaya Kemajuan dunia perdagangan tidak dapat dilepaskan dari pembangunan di bidang ekonomi yang pelaksanaanya dititikberatkan pada sektor industri. Salah satu kendala dalam melakukan pembangunan di Indonesia khususnya di bidang ekonomi, adalah faktor perangkat hukum yang masih perlu ditingkatkan dan dikembangkan guna mengimbangi kemajuan masyarakat. Memasuki era perdagangan bebas, usaha-usaha kecil perlu ditingkatkan dan dikembangkan agar mampu bersaing dalam hal mutu, harga, dan sistem manajemen mutu terpadu agar dapat menembus pasar nasional maupun internasional.41 Perangkat hukum guna melindungi industri dari persaingan antar sesama, maupun pengusaha yang lebih besar. Untuk menguragi persaingan dan menekan biaya produksi, maka diperlukan sebuah perangkat hukum yang berwujud koperasi. Koperasi merupakan sebuah lembaga hukum yang menaungi anggotaanggotanya, dan dapat memberikan bantuan modal, peralatan, bahan baku, maupun pemasaran produk.
41
Ranty Fauza Rayana, Perlindungan Desain Industri, (Jakarta: Grasindo, t.th), hlm.5.
59
Pendirian Koperasi Rotan di Desa Trangsan bermula dari gagasan pengrajin dan pengusaha rotan di Desa Trangsan pada saat pertemuan rutin di Balai Kecamatan pada tahun 2006. Pendirian koperasi ini bertujuan untuk menghindari persaingan. Koperasi Rotan Desa Trangsan berbadan hukum pada tahun 2007 dengan dikeluarkanya surat keputusan dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal No 518/ 138/ BH/ II/ 2007 dengan nama “Koperasi Serba Usaha “Trangsan Manunggal Jaya”. Pendirian Koperasi Rotan Desa Trangsan mengacu pada pasal 6 UU No. 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian. Secara rinci tahapan pendirian koperasi adalah sebagai berikut: 1. Perwakilan dari anggota Pengrajin dan pengusaha rotan Desa Trangsan, menghubungi
Kantor
Koperasi
Kabupaten
Sukoharjo
untuk
mendapatkan penjelasan awal mengenai persyaratan dan tata cara pendirian koperasi. 2. Selanjutnya mengajukan Proposal Pengesahan Akta Pendirian Koperasi dengan nomer registrasi 05/KSU-TMJ/I/2007 3. Atas dasar proposal tersebut, pejabat koperasi akan memberikan penyuluhan 4. Penyuluhan dan rapat pembentukan koperasi pengrajin dan pengusaha di Desa Trangsan 5. Sejak rapat pembentukan tersebut, koperasi telah dapat menjalankan aktivitas usahanya.
60
6. Pengurus mengajukan permohonan pengesahan koperasi sebagi badan hukum ke Kantor Koperasi Sukoharjo. 7. Pejabat Kantor Koperasi setempat melakukan verivikasi dan penelitian atas kebenaran data-data yang diajukan oleh pengurus koperasi tersebut. Koperasi Serba Usaha “Trangsan Manunggal Jaya” mempunyai aturan yang tertulis dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Aturan mengenai tujuan dan usaha diatur dalam Bab III Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Keanggotan koperasi ini diatur dalam Bab IV, sedangkan kepengurusan diatur dalam Bab V. Rapat angota diatur dalam AD/ART dalam Bab VIII, dan Bab VIII mengatur tentang pengelolaan usaha.42 Pendirian Koperasi Serba Usaha “Trangsan Manunggal Jaya” pada awalnya untuk simpan pinjam. Simpan pinjam ditujukan untuk menambah modal pengusaha rotan dengan bunga lunak. Pemberian bantuan pinjaman modal ditujukan untuk menambah modal pengusaha yang kekurangan modal akibat kebanjiran orderan, tetapi tidak jarang para pengusaha kuwalahan memenuhi pesanan karena kekurangan modal untuk membeli bahan baku. Koperasi Manunggal Trangsan, pada awal berdirinya selain bertujuan untuk simpan pinjam kepada anggota, koperasi ini juga bertujuan sebagai pemasok bahan baku kepada anggota, karena sistem perdagangan bahan baku rotan dari Sulawesi/ Kalimantan dikuasai oleh pedagang/ tengkulak dengan sistem pengadaan/ harga yang tidak
42
Anggaran Dasar Koperasi Serba Usaha “Trangsan Manunggal Jaya”.
61
stabil. Awal pendirian koperasi, jumlah anggota/ pendiri Koperasi Manunggal Trangsan berjumlah 25 anggota.43 Pada saat krisis ekonomi global melanda perekonomian di Eropa dan Amerika, yang menjadi tempat tujuan ekspor utama kerajinan rotan Trangsan, banyak pesanan yang dibatalkan yang mengakibatkan pengusaha rotan di Desa Trangsan mengalami kesulitan keuangan dan memaksa pengusaha untuk meminjam modal tambahan ke koperasi. Pada saat itu peran “Koperasi Serba Usaha Manunggal Trangsan Jaya” menjadi sangat dibutuhkan, tetapi krisis global yang berkepanjangan, menyebabkan banyak pengrajin yang terus meminjam ke koperasi untuk menutup kerugian. Hutang pengusaha yang terus menumpuk menyebabkan banyak pengusaha tidak dapat mengembalikan angsuran pinjaman ke koperasi. Uang koperasi banyak macet, berdampak pada sulitnya roda perekonomian di koperasi sangat terganggu. Macetnya
uang
koperasi
yang
berlarut-larut
memaksa
pengurus
mengambil langkah untuh menyelamatkan koperasi dari kehancuran. Pengurus memaksa menarik uang macet dari pengusaha. Sejak saat itu simpan pinjam di Koperasi Rotan Desa Trangsan ditiadakan. Koperasi tersebut beralih fungsi menjadi penyuplai bahan baku untuk pengrajin. Untuk menghindari kemacetan modal lagi, maka bakan baku tidak boleh di hutang oleh anggota. Setiap anggota yang membeli bahan baku harus membayar dengan kontan, apabila dihutang, maka jangka waktu pelunasan tidak lebih dari dua minggu.
43
Laporan Pertanggungjawaban Pengurus/ Pengawas KSU Manunggal Trangsan Tahun 2007
62
Koperasi menyediakan bahan baku ditujukan untuk memperingan harga beli bahan baku anggota-anggotanya. Bahan baku yang dijual oleh koperasi harganya dibawah dari harga rotan yang dijual pada umumnya. Sebelum koperasi menjual bahan baku rotan, disekitar Desa Trangsan sudah ada empat penjual rotan. Setelah koperasi menjual bahan baku rotan, maka anggota-anggota memilih untuk membeli rotan ke koperasi, walaupun kadang mereka juga masih membeli rotan ke tempat lain. Hal itu biasanya disebabkan kosongnya rotan jenis tertentu di gudang koperasi.44 Jumlah keanggotaan koperasi Manunggal Trangsan dari awal berdiri sampai tahun 2009 tidak mengalami perubahan atau masih tetap, yakni berjumlah 25 orang.45 D. Dinamika Ekspor Kerajinan Rotan Desa Trangsan 1. Periode Sebelum Ekspor (1950-1985) Pada tahun 1950, industri kerajinan rotan di Desa Trangsan belum menjadi mata pencaharian pokok. Pengrajin rotan jumlahnya masih relatif sedikit. Kerajinan rotan Desa Trangsan masih bersifat tradisional atau manual. Peralatan yang digunakan masih sangat sederhana, yakni berupa gergaji tangan, kompor atau anglo, paku, palu, gunting, dan bor tangan. Model kerajinan rotan masih sangat sederhana seperti pada pembuatan kursi yang banyak dicampur dengan bambu, beberapa jenis keranjang untuk berbelanja di pasar, dan rak-rak piring.46
44
Wawancara dengan Suparji pada tanggal 7 April 2015. Laporan Pertanggungjawaban Pengurus/ Pengawas KSU Manunggal Trangsan Tahun 2007 46 Wawancara dengan Marjono pada tanggal 9 April 2015. 45
63
Warsino sebagai anak Demang Wongsolaksono melanjutkan usaha ayahnya dalam merintis usahanya dari skala rumah tangga sejak tahun 1950. Pekerjanya hanya dia dan anggota keluarganya saja. Pasar penjualan juga masih terbatas di beberapa kota, misalnya Warsino yang menjual sekitar di Kota Surakarta dan Yogyakarta. Kemudian ada juga yang memasarkannya ke Jawa Timur. Secara keseluruhan, pemasaran rotan Trangsan terbatas di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sejak tahun 1976, Warsino secara resmi mendirikan usahanya dengan nama Warna Warni. Sejak itu, Warsino meningkatkan skala produksnya sehingga tergolong menjadi industri kecil karena jumlah pekerjanya mencapai belasan orang. Tidak terjadi peningkatan dalam hal skala usaha dagang Warsino karena keterbatasan modal hingga tahun 2009. Jumlah produksi yang bisa dihasilkan Warsino setiap bulan sekitar 50-200 pcs per bulan. Jenis-jenis hasil produksi yang dihasilkan berupa kursi, meja, takraw, dan beragam furniture sesuai permintaan pelanggan. 47 Warsino adalah salah satu pengusaha dan pengrajin yang tetap mempertahankan pasar lokal karena keterbatasan modal dan kekurangmampuan dalam produksi sesuai target jika ingin melakukan sub ekspor. Pada tahun 1976, pemerintah melakukan pembinaan terhadap para pengrajin rotan Desa Trangsan. Pada pelatihan tersebut, pengrajin diajarkan cara membuat rak buku dan rak popok. Sebelumnya, para pengrajin selalu mencampur
47
Wawancara dengan Warsino pada tanggal 7 Mei 2015.
64
rotan dengan bambu, tetapi setelah adanya pelatihan, para pengrajin mampu membuat rinjing dan kepek/ tas belanja tanpa campuran bahan lain.48 Pada 1979, Departemen Perindustrian Kabupaten Sukoharjo melakukan pembinaan dengan mengirimkan beberapa pengrajin rotan mengikuti studi banding ke Cirebon. Pelatihan tersebut sangat bermanfaat dalam mengembangkan kemampuan pengrajin dan pengusaha rotan Trangsan.49
Gambar 8. Seorang pria sedang menganyam keranjang rotan pada tahun 1982. Sumber: www.media-kitlv.nl 2. Periode Ekspor Rotan (1986-2004) Pada 1986, pemerintah bekerja sama dengan PT. Jaka Utama memberikan pelatihan kepada para pengrajin rotan di Trangsan. Pada waktu itu, PT. Jaka Utama mendatangkan ahli dari luar negeri. Mr. Ghusman adalah guru rangka yang didatangkan dari luar negeri pada 1986. Ia mengajarkan teknik-teknik dasar dalam membuat rangka produk-produk kerajinan rotan yang memiliki nilai jual ekspor. Ia juga mengajarkan standar-standar yang harus diperhatikan bagi produk kerajinan rotan agar bernilai ekspor. Kepada pengrajin yang mengikuti pelatihan 48
Wawancara dengan Marjono pada tanggal 9 April 2015; Wawancara dengan Sunarto pada tanggal 10 April 2015. 49 Wawancara dengan Mujiman pada tanggal 31 Maret 2015.
65
diberikan sertifikat. 50 Kemudian didatangkan lagi beberapa ahli lain dari luar negeri. Jerg Than adalah ahli kerajinan rotan yang didatangkan dari Singapura pada 1987. Selain itu, diadakan pula pendidikan dan pelatihan manajemen Kopinkra yang diselenggarakan oleh Departemen Perindustrian, Departemen Tenaga Kerja, dan Departemen Koperasi bekerja sama dengan Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen. Pelatihan ini sangat bermanfaat bagi pengrajin Desa Trangsan terutama yang ingin membuka usaha sendiri. Pada 1988 didatangkan lagi ahli yang bernama Mr. Ghusto. Para pengrajin cukup senang karena pelatihan membuat kemampuan mereka menjadi berkembang. Pelatihan tersebut juga membuka peluang bagi mereka untuk melakukan ekspor.
51
Bukti dari
keikutsertaan pelatihan tersebut berupa sebuah sertifikat.52 Kerjasama tersebut membuat para pengusaha rotan mulai menerima pesanan dari luar negeri pada 1987. Namun, mayoritas pengusaha rotan masih bergantung kepada PT. Jaka Utama untuk melakukan ekspor. Dengan demikian, para pengusaha menyuplai produk-produk mereka kepada PT. Jaka Utama kemudian perusahaan yang meneruskan melakukan kegiatan ekspor ke luar negeri. Seorang pengusaha rotan Desa Trangsan dapat menyuplai sebanyak satu hingga dua kontainer setiap bulan.53 Kegiatan ekspor juga dipengaruhi oleh SK Menteri
50
Sertifikat Nomor 027/1.00/BIPIK/STK/JATENG/VII/86, Sunarto Narto Wiyono. 51 Wawancara dengan Sunarto pada tanggal 10 Mei 2015. 52 Sertifikat Nomor 025/DJIK/S/VII/1987, Koleksi Mujiman. 53 Wawancara dengan Marjono pada tanggal 9 April 2015.
Koleksi
66
Perdagangan No. 274/KP/X/1986 tentang larangan ekspor bahan baku rotan sehingga pengusaha bisa mendapatkan bahan baku dengan kualitas ekspor.54 Ada beberapa pengrajin yang kemudian bekerja di PT. Jaka Utama. Beberapa pengrajin berharap dapat menambah pengalaman dan pengetahuan tentang kerajinan rotan. Setelah dirasa cukup memiliki kemampuan, beberapa pengrajin membuka usaha sendiri di Desa Trangsan. Salah satu pengrajin tersebut adalah Mujiman. Setelah bekerja di PT. Jaka Utama, ia memutuskan untuk membuka usaha sendiri di Desa Trangsan. 55 Sementara itu, ada beberapa pengusaha yang melepaskan diri dari PT. Jaka Utama dan melakukan kegiatan ekspor sendiri setelah dirasa mampu. Pelarangan ekspor bahan baku dan dimulainya ekspor kerajinan rotan Desa Trangsan pada 1987 berdampak pada peningkatan produksi dan unit usaha di Desa Trangsan. Berikut merupakan dinamika produksi kerajinan rotan Desa Trangsan:
54
Biro Umum dan Humas Departemen Perindustrian, “Pengembangan Industri Pengolahan Rotan Indonesia”, www.kemenperin.go.id, diakses pada 12 Desember 2014. 55 Wawancara dengan Mujiman pada tanggal 31 Maret 2015.
67
Tabel 5. Dinamika Pertumbuhan Kerajinan Rotan Desa Trangsan Tahun 1987-1993
Unit Usaha
Tenaga Kerja
1987
84
1988
Tahun
Nilai Tiap Tahun (Rp) Produksi
Bahan Baku
379,0
2.088.750,0
385.500,0
17
25,0
190.250,0
9.250,0
1989
100
425,0
2.374.212,5
87.196,3
1990
100
425,0
2.492.932,0
91.557,0
1991
150
425,0
2.617.578,0
96.134,0
1992
150
425,0
2.650.297,0
97.335,0
1993
150
1.025,0
3.690.000,0
461.250,0
Sumber: Diolah dari Laporan Tahunan Dinas Perindustrian Kabupaten Sukoharjo Tahun 1987-1993.
Periode 1987 hingga 1993 terlihat terjadi peningkatan dalam hal produksi kerajinan rotan di Desa Trangsan kecuali pada 1988. Peningkatan dipengaruhi oleh mulai dirintisnya ekspor kerajinan rotan Desa Trangsan ke luar negeri. Sejak 1987, mulai banyak pesanan yang datang dari luar negeri. Namun demikian, pada 1988 sempat mengalami penurunan karena adanya broker yang mempermainkan harga sehingga pengusaha dan pengrajin rotan mengalami kelesuan. Hal ini tidak berlangsung terlalu lama karena pengusaha dan pengrajin rotan Desa Trangsan dapat mengatasi permasalahan ini. Dimulainya ekspor rotan Desa Trangsan telah mempengaruhi juga pertumbuhan serapan tenaga kerja. Hal ini tentu sangat mendukung pengurangan pengangguran. Selain itu, keuntungan yang didapat dari
68
ekspor kerajinan rotan juga mempengaruhi pertumbuhan unit usaha di Desa Trangsan. Pemesanan dapat dilakukan melalui tour guide ketika ada wisatawan asing melakukan kunjungan ke Desa Trangsan. Ada yang memesan melalui makelar. Ada pembeli dari luar negeri memesan langsung kepada pengusaha rotan, terutama setelah berkembangnya internet pada 1990-an. Biasanya pembeli mengirimkan desain yang mereka inginkan dan ketentuan ukuran. Jumlah pesanan juga ditentukan oleh pembeli, bisa satu hingga lima kontainer. Pemesan biasanya akan membayar uang muka terlebih dulu, setelah satu bulan baru dibayar secara penuh. Oleh karena seorang pengusaha rotan terkadang kurang sanggup untuk memenuhi pesanan, maka pengusaha tersebut meminta bantuan kepada rekanan lainnya yang disebut sistem sub.56 Sebagian besar negara pemesan rotan asal Desa Trangsan berasal dari Eropa. Beberapa negara pemesan di antaranya Inggris, Belanda, Yunani, Denmark, Amerika Serikat, Australia, Jerman, Perancis, Timur Tengah, China, Hong Kong, India, Jepang, dan beberapa negara di Amerika Latin. Masing-masing pemesan dari berbagai negara tersebut memiliki kriterianya sendiri-sendiri. Misalnya Spanyol menginginkan kerajinan rotan bentuk anyaman. Kemudian Amerika Serikat lebih suka desain anyaman klasik. Kemudian Taiwan menyukai furniture. Jepang lebih suka memesan kerajinan untuk kebutuhan rumah tangga. Korea lebih suka berbagai jenis kerajinan tangan. Jenis pesanan dari luar negeri berupa kursi meja, rak buku, kebutuhan rumah tangga, kursi malas, ayunan, perabotan rumah
56
Wawancara dengan Marjono pada tanggal 9 April 2015
69
tangga, dan beragam jenis furniture lainnya. Jenis kerajinan yang paling banyak dipesan adalah berbagai macam jenis kursi dari rotan. Pada saat pengiriman barang, tanggungan kerusakan sesuai dengan perjanjian awal. Ada yang kerusakan dalam perjalanan dari pabrik sampai kapal ditanggung pihak ketiga. Setelah masuk ke pelabuhan, kerusakan ditanggung produsen. Ada pemesan yang bersedia menanggung kerusakan sejak dari kapal hingga pelabuhan. Ada yang hanya akan membayar barang yang tidak mengalami kerusakan saja. Kendala yang biasa dihadapi oleh pengusaha berorientasi ekspor adalah dalam hal perawatan selama proses pengiriman barang. Pemasaran ke luar negeri juga menjadi kendala karena pengusaha umumnya kurang memiliki biaya untuk melakukan pemasaran ke luar negeri. Selain itu, kendala utama pengusaha ekspor adalah dalam hal permodalan, karena untuk melakukan kegiatan ekspor memerlukan modal yang besar. Ekspor rotan Desa Trangsan mencapai puncak pada 1990-an. Pada saat itu, jalan-jalan desa dipenuhi dengan rotan. Hampir semua masyarakatnya mulai menggantungkan diri pada kerajinan rotan. Banyak pekerja didatangkan dari luar desa. Pada waktu itu, hampir 90% produksi rotan untuk komoditi ekspor, sedangkan pasar lokal hanya 10%.57
57
Wawancara dengan Suparji pada tanggal 7 April 2015.
70
Tabel 6. Ekspor UD. Agung Rezeki sebagai Sub Kontrak dengan PT. Sarana Alam Tahun 1993-1996
Tahun
Jumlah Ekspor per Tahun
Jenis Barang
1993
30 Set
Furniture dari rotan
1994
25 Set
Furniture dari rotan
1995
27 Set
Furniture dari rotan
1996
33 Set
Furniture dari rotan
Tujuan Sub Kontrak PT Sarana Alam Sub Kontrak PT Sarana Alam Sub Kontrak PT Sarana Alam Sub Kontrak PT Sarana Alam
% Keuntungan Per Tahun dari Penjualan 10% 10% 10% 10%
Sumber: Diolah dari Dokumen Penjualan UD. Agung Rezeki Tahun 1993-2010 Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa salah satu unit usaha di Desa Trangsan melakukan sub kontrak dengan perusahaan yang lebih besar. Hal yang demikian dialami oleh semua pengusaha asli Desa Trangsan yang ingin melakukan ekspor kerajinan rotan. Tabel di atas juga menunjukkan bahwa kapasitas produksi sebuah unit usaha yang melakukan sub kontrak masih sangat kecil. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi keuangan pengusaha yang masih belum mencukupi untuk memproduksi hasil kerajinan dengan jumlah yang lebih besar. Setelah beberapa tahun UD. Agung Rezeki mulai mampu untuk melakukan ekspor secara mandiri. Jenis- jenis barang yang dieksport berupa kursi, meja, lamp table. Gambar barang-barang komoditas ekspor dapat dilihat pada gambar pada halaman 73 dan 76. Lebih lengkapnya lihat tabel 7:
Tabel 7. Ekspor UD. Agung Rezeki Tahun 1997-2010 Tahun
Jumlah Ekspor per Tahun
Jenis Barang
Negara Tujuan
% Keuntungan Per Tahun dari Penjualan
1997
9 Kontainer
Kursi, Meja
Inggris
20%
1998
18 Kontainer
Kursi, Meja
Inggris
20%
1999
30 Kontainer
Kursi, Meja
Inggris
20%
2000
39 Kontainer
Lamp Table
Inggris
20%
2001
40 Kontainer
Lamp Table
Inggris
20%
2002
26 Kontainer
Kursi, Meja, Lamp Table
Inggris
20%
2003
25 Kontainer
Kursi, Meja, Lamp Table
Inggris
20%
2004
28 Kontainer
Kursi, Meja, Lamp Table
Inggris
20%
2005
7 Kontainer
Kursi, Meja, Lamp Table
Denmark
20%
2006
10 Kontainer
Kursi, Meja, Lamp Table
Denmark
20%
2007
6 Kontainer
Kursi
Amerika Serikat
20%
2008
7 Kontainer
Kursi
Amerika Serikat
20%
2009
4 Kontainer
Kursi
Amerika Serikat
20%
2010
10 Kontainer
Kursi
Amerika Serikat
20%
Sumber: Diolah dari Dokumen Penjualan UD. Agung Rezeki Tahun 1993-2010
71
72
Tabel 7 menunjukkan pada tahun 1997-2004 tujuan eksport kerajinan rotan oleh UD Agung Rejeki ke Negara Inggris. Tahun 2005-2006 tujuan ekspor kerajinan rotan ditujukan ke Denmark, sedangkan tahun 2007-2010 tujuan ekspor kerajinan rotan ke Negara Amerika Serikat. Perubahan tujuan eksport didasarkan oleh pesanan. Pesanan bisa langsung orang melalui tour guide maupun oleh broker atau pihak ketiga. UD Agung Rezeki hanya salah satu contoh yang merintis usahanya dari sub ekspor menjadi eksportir. Ada beberapa pengusaha yang merintis usahanya dari lokal menjadi sub ekspor, tetapi belum mampu untuk melakukan ekspor sendiri. Suparji adalah salah satu pengusaha yang merintis usahanya dari skala lokal karena hanya memiliki 5-19 orang pekerja saja pada tahun 1990-an. Jenis produksi kerajinan rotan yang dihasilkannya sama dengan pengusaha lainnya, yakni meja, kursi, dan beragam furniture dari rotan. Mendekati pertengahan periode 1990-an, ia telah mampu melakukan sub ekspor. Jumlah pekerjanya meningkat lebih dari 20 orang pengrajin. Oleh karena hanya sub ekspor, maka perusahaan rekanan yang mengurus semua keperluan ekspor. Perusahaan rekanan tersebut hanya memberikan target jumlah produksi yang harus mereka buat dalam waktu satu bulan kepada pengusaha sub ekspor.58 Sekitar tahun 1997, UD. Agung Rezeki telah berhasil melakukan ekpsor sendiri. Oleh sebab itu, jumlah pekerjanya bertambah hingga lebih dari 60 orang pengrajin.
58
Wawancara dengan Suparji pada tanggal 21 Januari 2016.
73
Pada 1990-an, seorang pengusaha ekspor rotan Desa Trangsan dapat memperoleh keuntungan bersih sekitar 10%-20% dari nilai jual produk atau atau mencapai Rp40.000.000,00 sampai Rp50.000.000,00 dalam sekali pengiriman. Satu kontainer yang dikirimkan nilainya mencapai Rp30.000.000,00. Ketika sedang banyak pesanan, seorang pengusaha besar di Desa Trangsan mampu mempekerjakan hingga 100 orang pengrajin pada 1990-an. Gambar 9. Beberapa jenis lamp table yang terbuat dari rotan.
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Lamp table seperti gambar di atas dipasarkan di dalam negeri sekitar Rp100.000,00 sampai Rp2.000.000,00 atau bergantung pada tingkat kerumitan pembuatannya. Lamp table memiliki harga ekspor yang lebih tinggi, yakni sekitar 10% sampai dengan 30% lebih tinggi dari harga jual yang ditetapkan produsen. Oleh sebab itu, jika lamp table di tingkat lokal seharga Rp1.000.000,00 maka harga lamp table yang diekspor seharga Rp1.100.000,00 sampai Rp1.300.000,00.
74
Sementara itu, di pasar luar negeri harga lamp table bisa sepuluh sampai dua puluh kali lipat dari harga beli langsung antara pengusaha luar negeri (buyer) kepada pengusaha pengrajin rotan.59 Pada 1990, Perkumpulan untuk Peningkatan Usaha Kecil melaksanakan pelatihan kepada pengrajin Desa Trangsan. Salah satu peserta pelatihan ini adalah Sunarto Narto Wiyono. Pelatihan ini sangat bermanfaat dalam meningkatkan keterampilan pengrajin rotan. Setiap peserta yang telah mengikuti pelatihan mendapat sertifikat.60 Di
sisi
lain,
Pemerintah
Kabupaten
Sukoharjo
berusaha
untuk
mengembangkan pariwisatanya melalui wisata desa kerajinan. Pemerintah Kabupaten Sukoharjo mewacanakan agar desa-desa kerajinan menjadi objek wisata. 61 Salah satunya adalah desa kerajinan rotan, yakni Desa Trangsan. Diharapkan dengan menjadikan desa kerajinan sebagai objek wisata dapat menambah Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Sukoharjo di tengah krisis ekonomi yang mulai melanda Indonesia. Namun demikian, krisis ekonomi tidak terlalu mempengaruhi kerajinan rotan Desa Trangsan. Krisis 1998 tidak terlalu mempengaruhi ekspor kerajinan rotan. Nilai tukar rupiah terhadap dolar yang mencapai Rp16.000,00 per dolar justru cukup menguntungkan dalam kegiatan ekspor. Namun memasuki tahun 2000-an, pesanan dari luar negeri mulai mengalami penurunan. Penurunan secara drastis mulai dirasakan pada 2005. 59
Wawancara dengan Eko Hartanto pada tanggal 9 April 2015. Sertifikat yanag diberikan oleh Perkumpulan untuk Peningkatan Usaha Kecil pada 2 November 1990, Koleksi Sunarto Narto Wiyono. 61 Solopos, 11 Oktober 1997. 60
75
Tabel 7 menunjukkan bahwa kegiatan ekspor UD. Agung Rezeki paling banyak dilakukan pada 1998 sampai 2004. Ekspor terbanyak terjadi pada 2001 dengan 40 kontainer dalam waktu satu tahun. Jumlah sebanyak itu tentu saja sangat menguntungkan bagi pengusaha rotan seperti UD. Agung Rezeki karena keuntungannya bisa mencapai 20% dari penjualan. Keuntungan bersih jika dirupiahkan sekitar Rp20.000.000,00 pada 1997 atau sekitar Rp40.000.000,00 pada 2000-an. Harga setiap satu set meja kursi tamu di tingkat pengrajin berkisar antara Rp2.000.000,00 sampai Rp5.000.000,00. Harga tersebut tidak jauh berbeda dengan harga pasar lokal. Sementara itu, harga di tingkat pengrajin untuk satu set meja kursi tamu yang diekspor dipatok lebih tinggi sekitar 10% hingga 30%. Namun harga satu set meja kursi tamu di pasar luar negeri bisa mencapai sepuluh hingga dua puluh kali lipatnya.62 Data pada Tabel 7 merupakan satu contoh yang diambil dari satu perusahaan berorientasi ekspor yang beroperasi di Desa Trangsan. Dari salah satu perusahaan yang beroperasi di Desa Trangsan dapat dilihat bahwa sebelum perusahaan tersebut melakukan ekspor langsung, terlebih dahulu menjadi rekanan PT. Sarana Alam. Hal ini juga dialami beberapa perusahaan yang dirintis oleh para pengusaha kerajinan rotan di Desa Trangsan. Mereka memulai usahanya dengan menyuplai pada pasar lokal dan menjadi rekanan salah satu perusahaan yang lebih besar. Hal ini membuktikan bahwa modal sangat bagi sebuah
62
Wawancara dengan Eko Hartanto pada tanggal 14 Mei 2015.
76
perusahaan yang berorientasi ekspor secara mandiri. Di sisi lain, ekspor mebel rotan sangat berpotensi menambah pendapatan daerah.
Gambar 10. Contoh satu set meja dan kursi tamu rotan komoditi ekspor periode 1990-an. Sumber: Dokumentasi Pribadi Sunarto Narto Wiyono.
Gambar 11. Desain satu set meja dan kursi tamu rotan komoditi ekspor periode 1990-an. Sumber: Dokumentasi Pribadi Sunarto Narto Wiyono Komoditi ekspor rotan adalah salah satu komoditi andalan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo. Semakin besar volume ekspor rotan, maka semakin banyak
77
pemasukan bagi Pemerintah Kabupaten Sukoharjo. Hal ini dapat dilihat dari nilai ekspor komoditi mebel rotan pada tabel berikut: Tabel 8. Jumlah Ekspor Komoditi Mebel Rotan Kabupaten Sukoharjo Tahun 1994-2008
Tahun Jenis Komoditi
Volume (Ton)
Nilai (US$)
1994
Mebel Rotan
977,16
2.510.883,71
1995
Mebel Rotan
1.054,02
2.627.404,96
1996
Mebel Rotan
1.278,07
3.216.635,90
1997
Mebel Rotan
1.092,52
3.233.213,98
1998
Mebel Rotan
1.544,56
5.592.553,23
1999
Mebel Rotan
975,32
2.131.636,14
2000
Mebel Rotan
1.025,32
2.275.760,14
2001
Mebel Rotan
641,32
1.357.437,26
2002
Mebel Rotan
1.736,00
3.452.454,47
2003
Mebel Rotan
1.571,80
3.17.874,86
2004
Mebel Rotan
1.108,20
2.216.397,84
2005
Mebel Rotan
910,23
4.794.958,89
2006
Mebel Rotan
945,46
4.981.331,00
2007
Mebel Rotan
983,53
5.429.076,98
2008
Mebel Rotan
875,88
4.196.892,49
Sumber: Diolah dari Data Realisasi Ekspor Non Migas Kabupaten Sukoharjo Tahun 1994-2008, Koleksi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sukoharjo.
78
Tabel 8 menunjukkan bahwa volume ekspor rotan paling besar terjadi pada tahun 1998, 2002, dan 2003. Sementara itu, nilai ekspor paling besar terjadi pada 1998 dengan jumlah US$5.592.553,23. Hal ini membuktikan bahwa krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia dan dunia pada 1997-1998 tidak terlalu mempengaruhi industri rotan. Bahkan ekspor rotan mencapai masa jayanya pada 1998. Apalagi Desa Trangsan merupakan satu-satunya sentra kerajinan rotan di Jawa Tengah. Hal yang patut diperhatikan adalah tingkat inflasi dan keekonomian pada tahun 1990-an dan 2000-an sudah berbeda jauh. Tingkat keekonomian tahun 1990-an lebih rendah daripada tahun 2000-an. Oleh sebab itu, jika terlihat bahwa tahun 1990-an seperti memiliki nilai keuntungan yang lebih rendah daripada periode 2000-an semata-mata disebabkan perbedaan tingkat keekonomiannya. Dengan demikian, kerajinan rotan Desa Trangsan memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap pemasukan daerah dari ekspor non migas, yakni mebel rotan. 3. Periode Penurunan Ekspor (2005-2009) Pada periode ini, industri kerajinan rotan Desa Trangsan mengalami penurunan secara drastis. Kegiatan ekspor juga mengalami kelesuan. Salah satu penyebab utama kelesuan ekspor adalah kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada pengrajin rotan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 8 yang menunjukkan bahwa mulai tahun 2005, volume kerajinan rotan semakin menurun. Pada Tabel 7, yang merupakan data penjualan UD. Agung Rezeki juga terlihat bahwa mulai tahun 2005, volume ekspor kerajinan rotan mereka menurun drastis daripada tahun sebelumnya.
79
Penyebab utamanya adalah rotan mulai sulit didapat karena harga rotan sangat tinggi di pasar internasional sehingga sebagian besar rotan mentah Indonesia diekspor keluar negeri sejak 2005. Pemerintah sendiri mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan No.12/M-DAG/PER/2005
63
yang membuka
kesempatan untuk mengekspor rotan asalan dan rotan setengah jadi. Akibatnya industri kerajinan rotan dalam negeri mengalami krisis bahan baku. Peraturan tersebut mengakibatkan peningkatan peta persaingan dengan negara lain sebagai produsen mebel rotan, menurunnya pasokan bahan baku rotan, menurunnya permintaan produk mebel rotan ke Indonesia karena Vietnam, Filipina, dan Tiongkok juga memproduksi produk mebel rotan. Padahal bahan bakunya juga berasal dari Indonesia. Rendahnya pajak ekspor rotan mentah, yakni 15% mengakibatkan para petani lebih suka mengekspor rotan mentah daripada menjual di pasar domestik.64 Kondisi kenaikan volume dan nilai ekspor yang diiringi oleh penurunan daya saing menunjukkan bahwa komoditas furnitur rotan Indonesia tidak mampu bersaing dengan komoditas yang sama dari negara lain. 65 Hal demikian turut mempengaruhi industri kerajinan di Desa Trangsan. Pada saat itu berkembang plesetan peribahasa, "tak ada rotan, enceng gondok, gedebok pisang, daun pandan, atau mendong pun jadi". Ratusan pengrajin di desa tersebut mengeluh mahalnya harga bahan baku.Kondisi itu 63
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 12/MDAG/PER/2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan. 64 Yuniaristanto, dkk., “Pemodelan Lokasi-Alokasi Terninal Bahan Bau untuk Meminimasi Total Biaya Rantai Pasok pada Industri Produk Jadi Rotan”, Jurnal, Jurnal Teknik Industri, Vol. 12, No.1, Juni 2010, hlm. 17. 65 Annaka Kismandani, “Daya Saing Furnitur Rotan Indonesia di Pasar Internasional dan Strategi Pengembangannya”, Jurnal, Jurnal Kebijakan Ekonomi Vol. 4 No.1, Oktober 2008, hlm. 26.
80
kadang masih diperparah dengan sulitnya memperoleh bahan baku. Padahal terdapat 415 unit usaha kerajinan mebeler, yang mempekerjakan ribuan tenaga kerja dari berbagai daerah.Satu unit industri bisa mempekerjakan 10 orang, 20 orang, sampai di atas 100 orang, tergantung besar kecil skala usahanya. 66 Para pengrajin sangat tertekan dengan kondisi seperti ini. Oleh sebab itu, banyak pengrajin rotan di Desa Trangsan ini yang terpaksa mengurangi jumlah produksinya dan merumahkan sementara pekerjanya. Krisis bahan baku rotan yang melanda membuat beberapa pengusaha rotan yang awalnya menjadi rekanan ekspor dengan pengusaha besar lainnya, tidak lagi menjadi rekanan ekspor. Mereka beralih pada pasar lokal saja. Selain itu, banyak pengrajin asli Desa Trangsan yang beralih profesi menjadi buruh bangunan. Mereka menganggap bahwa menjadi buruh bangunan lebih menguntungkan daripada menjadi pengrajin rotan. Hal ini disebabkan, menjadi tenaga kerja pengrajin tidak hanya membutuhkan tenaga tetapi juga membutuhkan pikiran dan kreatifitas. Berbeda dengan menjadi buruh bangunan yang hanya membutuhkan tenaga saja. Pada 2008, terjadi krisis ekonomi global di Amerika Serikat (AS) yang turut mempengaruhi ekspor kerajinan rotan Desa Trangsan. Dampak krisis global benar-benar terasa pada tahun 2009, ketika terjadi pembatalan sejumlah pesanan. Pada Tabel 8 jelas menunjukkan bahwa pada 2009, perusahaan Sunarto Narto Wiyono dalam setahun hanya berhasil mengekspor empat kontainer saja. Hal ini merupakan perolehan terkecil sejak perusahaan ini melakukan ekspor mebel rotan.
66
Suara Merdeka, 5 November 2007.
81
Menghadapi dampak krisis ekonomi global, pengusaha kerajinan berbasis ekspor melakukan efisiensi diberbagai bidang,termasuk disektor tenaga kerja. Efisiensi dilakukan menyusul menurunnya produksi karena berhentinya pesanan dari pembeli di AS. Industri kerajinan berbasis ekspor khususnya industri rotan melakukan efisiensi dalam penggunaan listrik, air, telekomunikasi dan tenaga kerja.67
Gambar 12. Model lounge chair yang banyak dipesan sekitar tahun 2005. Sumber: Dokumentasi Pribadi.
Peralihan profesi pengrajin Desa Trangsan juga membuat kesulitan pengusaha rotan. Hal ini disebabkan mereka adalah tenaga ahli yang sudah 67
Kompas, 21 Oktober 2008.
82
berpengalaman. Meski jumlah tenaga kerja dikurangi, tetapi tenaga pengrajin asli Desa Trangsan tetap dibutuhkan karena mereka lebih ahli dan berpengalaman dibandingkan tenaga dari luar Desa Trangsan. Selain itu, meski ekspor sedang lesu, tetap ada pesanan yang harus dipenuhi. Pasar lokal juga masih ada. Sulitnya bahan baku, jumlah tenaga kerja ahli yang sedikit dan target pesanan yang harus dipenuhi dari pasar lokal tentu membuat beban yang berat untuk pengusaha selama periode ini.