2
Salam dari Kami
Daftar Isi Editorial; Adat & Maknanya
3
Masyarakat Adat Dan Kepemimpinan Serta Keragamannya
4
Hutan Borneo Untuk Sawit ? Deforestasi Hutan Kalbar 73,42 Persen
9
Tinjauan RingkasMasalah Perkebunan Model – Pir
10
Memperbaiki Lingkungan Agar Bumi Lebih Layak Untuk Dihuni
13
Kriminalisasi Massal Dibalik Janji Manis Ekspansi Perkebunan Sawit
15
Pernyataan Sikap Masyarakat Adat Desa Tajuk Kayong
18
Masyarakat Adat Danau Sembuluh: Perjuangan Eksistensi Diri Ditengah Ekspansi Perkebunan Sawit
19
Tak terasa sudah tujuh tahun Tandan Sawit menemani kita semua sebagai media ajang sharing informasi dan data berkenaan dengan keprihatinan kita tentang dampak-dampak pembangunan perkebunan besar kelapa sawit. Pelbagai rasa dan respon ‘terburai’ berkenaan Tandan Sawit ini. Kami merasa gembira dan tertantang agar tampil lebih baik dari sebelumnya melihat pelbagai respon tersebut. Ada yang membilang bahwa Tandan Sawit terlalu tinggi bahasa yang digunakan alias kurang populer. Ada yang membilang bahwa Tandan Sawit tidak teratur terbitnya, bahkan pernah sekali terbit langsung beberapa edisi. Ada yang membilang begini, ada yang membilang begitu. Kami mengapresiasi semua respon tersebut dengan kegembiraan karena semua berangkat dari rasa sayang terhadap Tandan Sawit. Tahun ke tujuh ini, Kami pengin beberapa harapan dalam respon tersebut Kami penuhi. Di edisi kali ini, Kami mencoba mengangkat berbagai tulisan tentang masyarakat adat dan persoalannya serta berbagai kerja kongkret di lapang dalam pencarian solusi. Soal adat secara langsung terdapat beberapa tulisan yakni tentang makna adat sendiri di bagian editorial, soal kepemimpinan di masyarakat adat sebagai laporan utama, soal kerja-kerja kongkret untuk memperkuat masyarakat adat terdapat dalam tulisan yang menceritakan tentang penanaman nilam yang mencoba memperkuat posisi masyarakat adat, dan soal kasus di perkebunan kelapa sawit yang menimpa masyarakat adat di berbagai wilayah serta surat pernyataan penolakan pembangunan perkebunan kelapa sawit oleh masyarakat adat Desa Tajuk Kayong. Selain itu terdapat tulisan berkenaan dengan lingkungan dan hutan. Terakhir, terdapat tulisan berkenaan dengan model pembangunan kelapa sawit. Akhirnya, kami berharap moga bermanfaat, serta Selamat berkongres bagi masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman).
Dewan Redaksi Penanggung Jawab Pemimpin Redaksi Redaktur Pelaksana Anggota Redaksi Tata Letak Distribusi
: : : : : :
Rudy Lumuru A. Surambo Jefry G. Saragih Abet Nego, Cepot, Norman, Gun, Chica, Entien, Vinna Oeyanz Sukardi, Supapan
Redaksi menerima artikel, essai, dan berita. Kami dapat mengedit tulisan tanpa maksud dan intinya. Tulisan dapat dikirim melalui Pos, Fax dan E-mail. Forum Diskusi Elektronik mengenail perkebunan besar kelapa sawit bisa anda ikuti di http://groups.yahoo.com/infosawit Perkumpulan Sawit Watch adalah kumpulan aktivis Organisasi Non-Pemerintah dan individu yang prihatin dengan semakin meluasnya dampak negatif pembangunan perkebunan kelapa sawit skala besar di Indonesia. Perkumpulan ini dideklarasikan pada tanggal 25 Juli 1998. Kegiatan utama Perkumpulan Sawit Watch adalah melakukan Monitoring, dan Investigasi Kasus, Riset, Memantau Kebijakan, Program dan Lembaga Keuangan Nasional maupun internasional pada sektor perkebunan kelapa sawit, Kampanye Penyadaran Publik, Fasilitasi dan Deseminasi Informasi. Alamat Redaksi : Jl Sempur Kaler No. 28 Bogor, 16129 Indonesia Telp. + 62-251-352171, Fax +62-251-352047 E-mail :
[email protected],
[email protected] , website : www.sawitwatch.or.id Vol. 1 Tahun 7, 2007
3
editorial Adat & Maknanya
Apa jadinya bila anak anda dinyatakan tidak beradat atau anda sendiri lah dinyatakan tidak tahu adat dalam hal ini. Anda pasti malu, tidak senang, bahkan kalau bisa, anda akan bagaimana secepatnya untuk merespon lalu membela diri lalu anda menyataka bahwa yang terjadi sebenarnya begini-begini sehingga tuduhan bahwa anak anda atau pun anda tidak tahu adat adalah tuduhan yang tidak pas dan tidak berdasar. Apakah makna yang dibanyangkan banyak orang dari kata ‘adat’? Apakah prologi tadi mewakili hampir semua bayangan orang berkenaaan makna adat. Bagaimana kalau adat dilekati dengan kata ‘kaum’ yakni kaum adat. Pastinya, bayangan kita akan mengarah ke belakang, yakni tentang Perang Padri, perang yang terjadi Sumatra Barat dimana lewat intrik Kolonial Belanda terdapat dua kubu yang saling berhadaphadapan antara Kaum Padri dimana Imam Bonjol adalah salah satu pemimpinnya dengan Kaum Adat. Kolonial Belanda sewaktu itu segaris dengan Kaum Adat. Bahkan karena perang ini berbarengan dengan Perang Jawa yakni Pangeran Diponegoro sebagai salah satu pihak yang menantang Belanda, dihentikan dahulu. Pendek cerita, akhirnya kaum adat ‘sadar diri’ siapa sebenarnya yang patut dimusuhi maka kaum adat berbalik arah melawan Kolonial Belanda. Waktu itu, Kolonial Belanda bernama VOC, suatu perusahaan trans-nasional yang diberi tugas oleh pemerintah belanda dalam berdagang di Asia Tenggara. Di jaman Pergerakan Nasional, walau tidak secara clear, terkesan tertangkap makna bahwa adat bukanlah termasuk barisan-barisan yang revolusioner, bahkan adat adalah obyek dari revolusioner tersebut. Beberapa suara kaum adat waktu itu lebih banyak berada di pihak-pihak yang menyuarakan perlunya negara federasi yang mewujud dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Bagi beberapa pihak, beberapa kaum adat dinilai pernah ‘selingkuh’ dengan pihak Kolonial Belanda dalam rangka menggolkan proyek negara federasi. Bagi kaum ‘pengagum’ Negara Kesatuan Republik Indonesia, adat adalah pihak yang perlu diwaspadai. Jadi, adat dinilai mempunyai beban karena ‘perselingkuhan’ itu. Velde (1987) dalam buku Surat-surat dari Sumatra banyak bercerita tentang posisi Pemerintah Belanda dimana terkait banyak hal cerita tentang kaum adat.
Saat ini, adat banyak dikaitkan ataupun dilekati dengan kata masyarakat yakni masyarakat adat. Apa itu masyarakat adat? Banyak versi yang mendefinisikan hal itu. Definisi tersebut antara lain versi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) yakni kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai ideologi, ekonomi, politik, budaya sosial, dan wilayah sendiri (Kongres Aman, 1999). Selain versi Aman, terdapat pula versi-versi lain seperti versi ILO. Artinya dalam masyarakat adat versi aman terdapat ciriciri yang sekurang-kurangnya adalah masyarakat adat tersebut mempunyai suatu wilayah yang diklaim sebagai wilayah adat, pastinya masyarakat adat tersebut mempunyai anggota yang mendiami wilayah tersebut, masyarakat adat tersebut mempunyai aturan-aturan yang khas yang bisa dibedakan dengan wilayah lain dimana biasanya aturan-aturan tersebut dinamai sebagai hukum adat, dan biasanya masyarakat adat tersebut mempunyai institusi kelembagaan yang mengatur menggunakan hukum adat tersebut. Aman adalah suatu aliansi yang merupakan persekutuan dari komunitas-komunitas Masyarakat Adat se nusantara dimana dideklarasikan tahun 1999. Jadi, adat bukanlah tunggal maknanya, beragam makna yang dibayangkan berkenaan dengan kata adat. Beragam disini, tercakup berbagai aspek, misalnya tujuan, bentuk organisasi, ruang lingkup, bahkan sampai beban sejarah diatas. Murray Li (2002) menyatakan bahwa adat adalah suatu kata yang mempunyai sejarah legal dan politik yang panjang dan rumit. Adat biasanya meliputi segala sesuatu yang berupa acara-acara ritual tertentu dan ciri berbagai interaksi sehari-hari hingga denda mendenda yang dikembangkan raja-raja pra-kolonial untuk menghindari terjadinya konflik dan meningkatkan kekuasaan mereka sendiri. Artinya adat memiliki arti sangat bervariasi menyangkut peristiwa sehari-hari, tetapi tidak seorang pun yang sama sekali berada diluar ataupun tanpa adat. Akhirnya, adalah sangat wajar sekali apabila anda membela diri ketika anda dinyatakan tidak tahu adat. Karena bila anda dinyatakan tidak beradat maka dapat dinyatakan bahwa eksistensi anda sudah tiada karena tak seorang pun yang sama sekali berada di luar ataupun tanpa adat.
Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch
4
Masyarakat Adat dan Kepemimpinan serta Keragamannya A. Surambo
Pendahuluan Salah satu dampak negatif pembangunan perkebunan besar kelapa sawit adalah munculnya konflik lahan. Biasanya konflik ini terjadi antara perusahaan perkebunan besar kelapa sawit dengan masyarakat lokal. Masyarakat lokal biasanya menampakkan ‘baju’ adat dalam melakukan perlawanannya terhadap perusahaan. Konflik ini terjadi diakibatkan oleh beradunya dua klaim hak atas tanah terhadap obyek tanah yang sama. Perusahaan berdasarkan ijin dari pemerintah dikarenakan tanah tersebut adalah tanah negara sehingga dengan bekal berupa Hak Guna Usaha, perusahaan perkebunan besar kelapa sawit merasa berhak untuk mengelola dan mengusahakan tanah tersebut. Masyarakat lokal datang dengan klaim hak atas tanah berdasarkan hak adat ataupun hak ulayat. Konflik ini juga dipicu oleh belum jelasnya dan clearnya, relasi antara masyarakat adat dengan negara. Masyarakat adat di Indonesia bukanlah bentuk tunggal tetapi beragam. Beragam disini dapat dilihat sebagai dalam berbagai aspek, misalkan tujuan, bentuk organisasi, bahkan sampai ruang lingkupnya. Dalam tulisan ini, saya mencoba untuk membatasi diri kepada masyarakat adat yang berjuang untuk mendapatkan teritori, sumberdaya dan respek terhadap budaya mereka. Bagaimanakah mereka muncul? Proses inilah yang akan didalami. Terdapat dua hal yang sempat teridentifikasi soal masyarakat adat ini. Model masyarakat adat yang tergabung sebelum atau di jaman kolonial, dimana saat ini mulai tergabung dengan tata kelola pemerintahan dan masyarakat adat yang tidak tergabung dengan keadaan di depan.
Artinya adat memiliki arti sangat bervariasi menyangkur peristiwa sehari-hari, tetapi tidak ada seorang pun yang sama sekali berada dilua atau tanpa adat (Murray Li, 2002) Konstitusi Indonesia, UUD 1945 sebelum amandemen mengakui keberadaan masyarakat adat dengan mengatakan bahwa di Indonesia terdapat sekitar 250 daerah-daerah dengan susunan asli (zelfbesturende, volksgemeenschappen), seperti marga, desa, dusun dan negeri sedangkan UUD 1945 hasil amandemen pasal 18B ayat 2 menyatakan Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Hal ini menunjukkan bahwa negara mengakui tetapi juga mencurigai terhadap masyarakat adat, dimana negara mengakui bahwa masyarakat adat mempunyai hak-hak tradisional tetapi akan diakui oleh ‘negara’ bila sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat Adat dan kebijakannya
Gaya pengakuan bersyarat yang berlapis inilah yang terjadi dalam konstitusi indonesia, dimana dibuat beberapa syarat yang ‘susah’ sekali untuk di tingkatan operasional. Bila dicek terdapat beberapa catatan terhadap beberapa syarat tersebut adalah pertama, sepanjang masih hidup, yang menjadi pertanyaan siapa yang menyatakan masih hidup? Bila dicek turunan dari konstitusi kita maka yang menyatakan hidup dan tidaknya masyarakat adat adalah pemerintah bukan masyarakat adatnya sendiri. Kedua, sesuai dengan perkembangan jaman, ada asumsi terhadap masyarakat adat yang diskriminatif disini, yakni, akan tidak diakui sebagai masyarakat adat bila tidak sesuai jaman, dianggap beberapa masyarakat adat kurang beradab sehingga perlu diberadabkan, ini menyalahi hak dasar asasi manusia. Ketiga, prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, trauma terhadap masa lalu dimana sewaktu perjuangan melepaskan diri dari penjajahan terdapat beberapa kalangan adat yang memihak ke penjajah. Negara masih mencurigai terhadap masyarakat adat sehingga terjadi proses generalisir terhadap seluruh ‘wajah’ masyarakat adat sehingga dipasanglah syarat ini.
Adat adalah suatu kata yang mempunyai sejarah legal dan politik yang panjang dan rumit. Kata ini adalah serapan dari bahasa arab yang biasanya diartikan sebagai kebiasaan atau praktek setempat. Adat ini biasanya meliputi segala sesuatu yang berupa acara-acara ritual tertentu dan ciri berbagai interaksi sehari-hari, hingga denda mendenda yang dikembangkan raja-raja pra-kolonial untuk menghindari terjadinya konflik dan meningkatkan kekuasaan mereka sendiri.
Yang terjadi, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat bukan lahir karena memang pengakuan diri (self identification) sebagai masyarakat adat tetapi pengakuan oleh pemerintah bahkan bila dikerucutkan menjadi pengakuan oleh dinas-dinas di kabupaten dalam hal ini berupa perda-perda tentang masyarakat adat. Akibatnya, masyarakat adat ditafsirkan menjadi monolitik ‘wajahnya’ dan seragam versi pemerintah, inilah awal konflik yang tak berkesudahan tersebut.
Selain itu, beberapa hal yang pengin disorot dalam tulisan ini adalah soal kepemimpinan dalam beberapa masyarakat adat tersebut. Masuknya agroindustri bernama perkebunan kelapa sawit apakah memicu perubahan model kepemimpinan dalam masyarakat adat tersebut? atau bagaimana? Pastinya sedikit banyak ada kontribusi agroindustri tersebut dalam dinamika perubahan kepemimpinan dalam masyarakat adat.
Vol. 1 Tahun 7, 2007
5 Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri1. Sedang Konvensi ILO 169 tahun 1989 tentang Convention concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries mendefinisikan masyarakat adat sebagai “tribal peoples in independent countries whose social, cultural and economic conditions distinguish them from other sections of the national community, and whose status is regulated wholly or partially by their own customs or traditions or by special laws or regulations” 2 . Banyak istilah lain yang digunakan untuk menyebut kelompok masyarakat ini, misalnya first peoples di kalangan antropolog, first nation di Amerika Serikat dan Kanada, indigenous cultural communities di Filipina, bangsa asal dan orang asli di Malaysia. Sedangkan di tingkat PBB telah disepakati penggunaan istilah indigenous peoples sebagaimana tertuang dalam seluruh dokumen yang membahas salah satu rancangan deklarasi PBB, yaitu draft of the UN Declaration on the Rights of the Indigenous Peoples3. AMAN mendefinisikan masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai idieologi, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah sendiri (Kongres AMAN 1999). Biasanya, masyarakat adat tersebut mempunyai klaim wilayah, struktur adat, hukum adat, dan masyarakat adatnya sendiri. Menjadi pertanyaan apakah semua masyarakat adat di Indonesia seperti ini? Kebanyakan Orang Indonesia mengklaim suatu warisan budaya tertentu yang berakar dalam suatu wilayah tertentu, meskipun mereka tidak lagi tinggal dikawasan tersebut. bagaimanakah dengan hal ini, apakah mereka adalah masyarakat adat?
atau satu kelompok entah dari salah satu posisi yang dulu ditempati dalam struktur sosial atau pranata keadaan sosial dalam suatu kebudayaan (Rusmadji, 2004). Beberapa masyarakat yang tinggal didalam atau pun di sekitar hutan, biasanya berbagaim macam posisi ditempati, katakanlah sebagai pemburu atau peramu, ataupun sebagai peladang gilir balik dengan segala nilai-nilainya. Pastinya, mereka mempunyai rasa dipisahkan atau terjadi proses pemisahan ketika hutan mereka digunduli untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit tanpa konsultasi dengan mereka ataupun proses pembangunan perkebunan kelapa sawit memaksa mereka untuk kalah atau terpisah. Tahap kedua adalah peminggiran. Pada tahap ini para subyek melintas ‘kawasan’ yang sama sekali tidak memiliki sifat-sifat biasa dalam keadaan lampau, pun pula keadaan yang mendatang. Turner menempa kata bagus untuk tahap ini ialah sudah bukan lagi….., namun belum juga (Rusmadji, 2004). Setelah hutan digunduli dan dijadikan lahan-lahan tanam tumbuh sawit, beberapa masyarakat yang ditinggal di dalam atau pun di sekitar hutan, dahulu adalah pemburu dan peramu ataupun peladang gilir balik dengan segala nilainilainya, sekarang sudah bukan lagi, namun mereka juga belum menjadi yang lain. Terasa bahwa mereka dipinggirkan karena berada dalam transisi yang belum jelas antara sudah bukan lagi dan belum menjadi. Ditahap inilah yang ditinggal di dalam atau pun di sekitar hutan mulai berpikir untuk menjadi sesuatu ataukah malah membuat suatu identitas yang jelas.
“Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri”
Teori Drama Sosial; Ritus Liminalitas Teori ini dikenalkan oleh Victor Witter Turner, dimana Turner menyatakan bahwa munculnya kelompok oposan, juga bersifat perlawanan atau perjuangan, merupakan hal yang umum terjadi, bahkan dapat dikatakan sehat bagi masyarakat keseluruhan. Adanya gerakan atau kelompok semacam itu, bila disikapi dengan tepat dan keduanya berinteraksi secara terbuka, membuat masyarakat dapat kembali makna sari pati dan tujuan dibentuknya masyarakat, karena gerakan dan kelompok itu sering mengungkapkan apa yang sudah terlupakan dan tidak diperhatikan oleh masyarakat kelompok besar (Rusmadji, 2004). Tiga tahap terjadi dalam drama sosial dimana secara struktural bertindihan tepat dengan tahap-tahap yang terdapat dalam banyak ritus masyarakat pra-industri. Tahap pertama adalah pemisahan. Pemisahan menggambarkan lepasnya satu orang
Tahap ketiga adalah pemersatuan atau perpecahan. Pada tahap ini si subyek ritus mencapai keadaan baru yang stabil dengan hak dan kewajiban yang jelas, yang terbatas seusai dengan tipe struktural. Artinya subyek telah menjadi sesuatu, entah itu proses bersatu atau pun berpisah. Beberapa yang ditinggal di dalam atau pun di sekitar hutan mencoba mem-buat ‘perpecahan’ dengan kelompok besar yang dominan dengan mengusung identitas berupa masyarakat adat, walaupun secara informal sebenarnya masyarakat adat sudah tumbuh kembang dengan sendirinya, tetapi lewat proses pemisahan inilah masyarakat adat mencoba melangkah agak lebih jauh memformalkan identitasnya dalam bentuk kelembagaan organisasi yang sudah ada ataupun membuat baru. Yang Tergabung dan yang tidak Tergabung Seperti dinyatakan didepan bahwa identifikasi awal menunjukkan terdapat dua model masyarakat adat yang tergabung sebelum atau di jaman kolonial dan masyarakat adat yang tidak tergabung dengan proses di jaman belanda. Didaerah-daerah tertentu di Indonesia posisi adat menjadi kuat pada masa penjajahan ketika para sarjana hukum dari Belanda mengidentifikasi 19 wilayah adat yang khas dan membuat Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch
6 klasifikasi berbagai praktek adat guna menyiapkan suatu dasar bagi sebuah legal yang asli. De daerah-daerah ini adat dilembagakan sebagai suatu kerangka untuk mengatur berbagai peristiwa lokal dan hubungannya dengan orang luar. Belanda mendukung perkembangan lembaga-lembaga ini dan menunjuk kepala-kepala adat dan dewan adat, akhirnya adat menjadi alat memperkuat posisi para elit setempat (Murray Li, 2002). Masyarakat yang hidup dalam sebuah kawasan hukum adat diwajibkan untuk menyelesaikan konflik melalui sistem adat yang relevan, tetapi batas-batas sosial dan kawasan tidak pernah ditetapkan berupa peta atau kartu identitas. Banyak kawasan yang masih sama sekali berada di luar proses formalisasi adat, dan tetap tanpa pemimpin yang mau atau mampu menjabarkan adat sebagai suatu sistem. Mereka juga tidak memiliki aturan-aturan atau lembaga formal seperti diharapkan oleh mereka yang sudah terbiasa dengan bukubuku Belanda tentang hukum adat (Murray Li, 2002). Bila dicek lebih mendalam ternyata mereka di organisasinya adalah organisasi tradisi, tetapi banyak dalam mengoperasionalkan organisasi, menggunakan organisasi muthakhir. Contoh-contoh masyarakat adat jenis ini adalah Masyarakat Minang dengan konsep nagarinya, masyarakat adat aceh dengan konsep gampongnya, masyarakat dayak dengan konsep ketemenggungannya. Di era otonomi ini, beberapa konsepkonsep mengenai masyarakat adat jenis ini diadopsi serta digabung dengan tata pemerintahan sekarang. Model tata pemerintahan yang dibuat pun dengan cara mensubordinasikan bentuk-bentuk kelembagaan adat tersebut didalam tata pemerintahan sekarang. Misalkan gampong di aceh merupakan padanan desa dalam tata pemerintahan sekarang, sedangkan mukim yang merupakan gabungan beberapa gampong yang pengorganisasiannya berdasarkan keberadaan masjid ‘diumpamakan’ seperti layaknya kecamatan. Begitu juga yang terjadi dengan Nagari. Beberapa wilayah Nagari ‘diumpamakan’ seperti layaknya kecamatan. Artinya dalam model tata pemerintahan saat ini mencoba mengadopsi tata pemerintahan yang berdasarkan otonomi dengan menonjolkan ‘keadatan’ tetapi yang terjadi adalah beberapa tata pemerintahan adat tersebut menyesuaikan dengan kondisi pemerintahan yang ada saat ini. Relasi sosial politik antara pemerintah dan masyarakat adat menentukan seberapa banyak konsep-konsep adat diadopsi dalam tata kepemerintahan sehingga beberapa wilayah lebih banyak diadopsi sedangkan beberapa wilayah lain lebih sedikit diadopsi. Mungkin inilah yang dimaksud masyarakat adat dalam konstitusi kita. Jadi, masyarakat adat yang tergabung sebelum atau di jaman kolonial belanda di masa lalu, saat ini, banyak yang diadopsi konsepsi-konsepsi untuk masuk ke pemerintahan saat ini, bahkan beberapa wilayah menggunakan sebagai wadah tetapi operasionalnya merupakan organisasi yang mutakhir. Walaupun begitu, antara kecamatan dan bentuk-bentuk keadatan lain yang ‘dianggap’ setara tetaplah mempunyai suatu perbedaan yang khas dilihat dari segi kewenangan dan lain-lainnya tetapi apabila hanya dilihat sebagai model pengorganisasian setelah wilayah terkecil maka tidak ada beda yang signifikan antara kecamatan dengan bentuk-bentuk pengorganisasian tersebut.
Vol. 1 Tahun 7, 2007
Sedangkan masyarakat adat yang tidak tergabung dalam konstruksi Belanda mempunyai karakter yang berbeda dengan masyarakat didepan. Kebanyakan mereka sangat sedikit sekali turut campur dengan soal-soal kepemerintahan walaupun banyak masyarakat adat jenis ini ikut berpengaruh dalam suatu pertarungan politik. Selain itu, kebanyakan mereka menggunakan organisasi mutakhir untuk memperoleh kembali lahan-lahan mereka. Pertarungan tentang konflik lahan antara perusahaan perkebunan besar kelapa sawit dengan masyarakat adat jenis ini, hampir merata di semua daerah di kalimantan dimana kebun kelapa sawit hadir. Bayangkan saja, hampir semua kebun sawit yang ada di Indonesia saat ini adalah konversi hutan menjadi kebun sawit. Kondisi hutan di Indonesia tahun 2005, hanya 33 juta ha dari 120 juta ha wilayah hutan yang tata batasnya clear, artinya sangat wajar bila hampir semua konversi hutan menjadi kebun selalu saja terjadi masalah khususnya soal konflik lahan. Umumnya masyarakat adat yang tidak tergabung dalam konstruksi Belanda ‘memanifeskan’ dirinya ketika wilayahwilayah yang diklaim mereka sebagai wilayah kelolanya diambil secara paksa oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit skala besar. Sudah dahulu kala mereka ini ada dan beranak pinak dengan model pengelolaan sumberdaya alam yang mereka sendiri, katakanlah perladangan gilir balik. Ketika wilayahwilayah yang menjadi lintas edar perladangan gilir balik inilah yang menjadi klaim wilayah kelola masyarakat adat jenis kedua ini. Mereka mempunyai kampung inti sebagai asal mereka tetapi mereka berpindah-pindah tempat tinggalnya menyesuaikan dengan ladang yang mereka buat, dimana setelah menanami dengan padi ladang katakanlah sudah tiga kali musim tanam, kesuburan tanah kawasan itu menurun drastis mengakibatkan mereka mau tidak mau harus berpindah. Wilayah yang mereka tinggalkan biasanya mereka tanami dengan tanaman keras katakanlah karet, durian, dan lain-lain. Beberapa tahun kemudian mereka akan menemui wilayah yang sama dengan wilayah yang mereka tinggalin, biasanya mereka menemui kembali wilayah yang mereka tinggalkan diatas 15an tahunan. Adanya pembangunan perkebunan kelapa sawit memutus siklus mereka ini sehingga lahan-lahan yang mereka tinggalkan tidak cukup untuk melakukuan recovery sehingga banyak yang ditemuai bentuknya masih semak belukar yang tidak subur. Kepemimpinan dalam Masyarakat Adat Seperti yang dijelaskan didepan, identifikasi awal menunjukkan bahwa ditengah keberagaman masyarakat adat, terdapat salah satu pengkategorian yang dapat membantu yakni masyarakat adat yang tergabung sebelum atau di jaman kolonial, dimana saat ini mulai tergabung dengan tata kelola pemerintahan dan masyarakat adat yang tidak tergabung dengan keadaan di depan. Dalam tulisan ini, soal kepemimpinan lebih konsens membahasa persoalan kepemimpinan di masyarakat adat yang tidak tergabung dalam kategori pertama yakni masyarakat adat yang ‘memanifeskan’ dirinya ketika ketika wilayah-wilayah yang diklaim mereka sebagai wilayah kelolanya diambil secara paksa oleh perusahaan perkebunan skala besar.
7 Kartodirdjo (1984) mengungkapkan terdapat dua teori yang menerangkan tentang faktor-faktor yang menentukan persoalan kepemimpinan. Teori pertama merujuk bahwa “teori orang besar, dimana didalam sejarah tokoh-tokoh besar dengan kepribadian luar biasa, menentukan perang dan damai, nasib rakyat, pendeknya jalan sejarah. Teori yang berlawanan dengan itu adalah teori lingkungan, yaitu teori yang menyatakan bahwa munculnya pemimpin disebabkan oleh waktu, tempat, dan keadaan. Kesatu-pihakan kedua teori diatas dapat diatasi dengan menyatukan kedua tori tersebut sehingga menjadi teori kepribadian situasi, artinya akibat interaksi antara orang dengan kepribadian yang kuat dengan faktor situasional akan menghasilkan pemimpin.” Gabungan dua teori tersebut yakni teori kepribadian situasi yang tepat menunjukkan keadaan masyarakat adat kategori ke dua. Lebih lanjut Kartodirdjo (1984) mengungkapkan “bahwa besar kelapa sawit bukan berurusan selain itu. Tetapi beberapa kepemimpinan adalah pertemuan antara pelbagai faktor: wilayah yang lain menunjukkan kebalikannya, dimana situasi atau kejadian; sifat golongannya; dan kepribadian. kepribadian yang kuat tersebut ditafsirkan oleh masyarakat Ketiga faktor itu menunjukkan sifat multidimensional gejala adat dapat menjadi pemimpin untuk pelbagai urusan, inilah kepemimpinan, yaitu aspek sosial-psikologi, sosiologis- masyarakat adat kategori pertama. Artinya jikalau memang antropologis, dan sosial histori.” Jelas, faktor situasi atau terdapat pemimpin adat berdasarkan hubungan darah, kejadian sudah clear dalam masyarakat adat kategori ke dua, hanyalah sebutan saja bilamana tidak mempunyai kepribadian bahwa situasinya adalah suatu konflik lahan yang diakibatkan yang kuat, sehingga terdapat pemimpin masyarakat adat oleh dirampasnya tanah masyarakat atau wilayah kelola sesungguhnya. Pemimpin ini bisa masyarakat adat itu sendiri, masyarakat oleh perkebunan besar skala besar salah satunya tetapi kebanyakan pemimpin tersebut adalah orang-orang perkebunan kelapa sawit skala besar. Yang terjadi adalah organisasi non-pemerintah. Akibatnya, beberapa orang dari konflik lahan yang mengakibatkan masyarakat adat berhadap- luar masyarakat adat jenis ini melihat nyinyir sepertinya hadapan dengan perusahaan kelapa sawit, dan pemerintah. masyarakat adat dilihat sebagai kendaraan. Begitu juga dalam Bahkan, bila konflik meluas akan melibatkan beberapa buruh sebutan untuk pemimpin, ternyata, banyak masyarakat adat kategori ke dua ini bukan tani di perkebunan besar kelapa menggunakan sebutan yang sawit serta beberapa aparat langsung menunjukkan tentang tentara. Situasi yang genting seperti “Bahwa kepemimpinan adalah keadatannya. Lebih banyak mereka demikian membutuhkan sosok menggunakan kata ketua atau pemimpin yang berkepribadian pertemuan antara pelbagai koordinator. Misalkan beberapa kuat. underbow Aman di tingkatan faktor: situasi atau kejadian; sifat Pemimpin yang berkepribadian kuat propinsi lebih menyukai tersebut adalah pemimpin yang golongannya; dan kepribadian. menggunakan sekjen, ketua, monomorfik bukan polimorfik. dewan adat dan lain-lain. Hadirnya perkebunan kelapa sawit Ketiga faktor itu menunjukkan Dalam memobilisasi pemimpin skala besar berkontribusi besar sifat multidimensional gejala masyarakat adat kategori ke dua dalam transisi menuju bentuk ini menggunakan ideologi atau spesialisasi dan differensiasi. kepemimpinan, yaitu aspek kepercayaan tradisional, dan nilaiArtinya dalam beberapa kasus nilai tradisional tetapi masyarakat adat kategori kedua sosial-psikologi, sosiologismengoperasionalkannya dengan berhadap-hadapan perusahaan wadah mutakhir. Hal ini berbeda perkebunan kelapa sawit, akan antropologis, dan sosial histori” dengan Kartodirdjo (1984) yang muncul pemimpin monomorfik Kartodirdjo (1984) menyatakan “mobilisasi rakyat dimana menjadi pimpinan ketika oleh pemimpin hanya mungkin bila berurusan dalam berhadap-hadapan komunikasi antara kedua pihak dengan perusahaan perkebunan
Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch
8 dilakukan dalam kerangka tradisional dengan menggunakan ideologi atau kepercayaan tradisional, lagi pula memasukkan tujuan-tujuan politik modern dalam wadah lama”. Yang terjadi adalah wadah lama tersebut belum ada dengan maksud untuk berhadap-hadapan dengan perkebunan besar kelapa sawit. Salah satu contoh adalah KPDS (kelompok pemuda Dayak Sembuluh) dan Kompak Sembuluh di Seruyan, Kalimantan Tengah. Dua organisasi diatas mempunyai karakter yang sama yakni sama-sama organisasi yang bertipekan mutakhir. Klaimklaim Masyarakat Sembuluh adalah klaim-klaim yang basisnya adat tetapi ketika mengoperasionalkannya malah menggunakan tipe organisasi mutakhir. Mobilisasi yang digunakan di kedua lembaga organisasi rakyat tersebut adalah nilai-nilai tradisional, implementasinya dengan organisasi mutakhir. Hal ini tercermin dari adanya anggaran dasar dan anggaran rumah tangga ke dua organisasi rakyat tersebut. Faktor berikutnya yang berhubungan soal-soal kepemimpinan dalam masyarakat adat adalah sifat golongan. Bottomore dalam Kartodirdjo (1984) menyatakan terdapat dua konsepsi yakni konsepsi antara elite dan bukan elite, dan konsepsi demokrasi. Konsep elite ini memperlihatkan adanya kelompok yang memimpin dan adanya massa yang dipimpin. Konsepsi inilah yang dirasakan lebih pas dibandingkan dengan konsepsi lainnya. Elite adalah kelompok-kelompok fungsional dan pemangku jabatan yang memiliki status tinggi (karena alasan apapun) dalam suatu masyarakat (Bottomore dalam Kartodirdjo, 1984). Faktor terakhir yang berhubungan soal-soal kepemimpinan adalah soal kepribadian. Faktor ini merupakan faktor yang krusial terhadap pemunculan pemimpin baru di dalam masyarakat adat. Kepribadian yang kuat lah yang dapat menjadi pemimpin dalam masyarakat adat tipe ke dua. Pemimpin masyarakat adat ini berpengaruh dan mempunyai kekuasaan karena kepribadiannya atau ketokohannya. Beberapa kepribadian tersebut sebenarnya juga kepribadian keumuman dari beberapa pemimpin. Beberapa kepribadian yang dapat menunjukkan kepemimpinan dalam masyarakat adat kategori ke dua adalah mereka adalah orang terdepan dalam segala hal berkenaan persoalan konflik lahan dengan perusahaan perkebunan besar kelapa sawit, misalkan paling kritis dalam urusan berhadapan perusahaan perkebunan kelapa sawit, sangat rela berkorban untuk kepentingan bersama dalam merebut kembali lahan tersebut, dan lain-lain. Banyak pemimpin masyarakat adat kategori ke dua ini muncul dari sifat kepribadian ini. Hal yang terpenting muncul dari kepribadian ini adalah mereka mampu memberikan teladan atau contoh dahulu dalam menghadapi soal-soal bagaimana merebut lahan kembali. Kedua, pemimpin tersebut terdapat nuansa menjadi agitator dan solidator sehingga bilamana pemimpin ini memberikan sesuatu pengarahan maka menjadi solid massa tersebut dan bergerak. Artinya, selain menginspirasi banyak orang tentang bagaimana soal-soal ini diarahkan, pemimpin tersebut mampu menggerakkan massa berkenaan rencana-rencana yang ada. Ketiga, pemimpin masyarakat adat kategori ke dua ini mempunyai kepribadian selalu saja mencari-cari peluang dalam menyelesaikan persoalan konflik lahan tersebut, tak kenal putus asa, mereka tak takut untuk bereksperimen dan mengambil resiko.
Vol. 1 Tahun 7, 2007
Bila kita cek lebih mendalam, beberapa sifat kepemimpinan yang muncul dari pemimpin masyarakat adat tersebut tidak berbeda jauh bahkan sama dengan beberapa sifat kepemimpinan yang muncul dalam organisasi mutakhir. Memang dunia berubah, sifat kepemimpinan pun akan berubah. Ada dugaan, bahwa masyarakat adat kategori ke dua dengan tetap menggunakan baju dan nilai-nilai ketradisionalan mereka, tetapi beberapa ‘muka’ dari masyarakat adat tersebut sudah mencerminkan pengorganisasian mutakhir, maka apakah mereka sudah masuk ke posisi ‘post tradisional’? inilah yang perlu kita dalami lagi.
Sumber-sumber Pustaka Kartodirdjo, S. 1984. Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial. LP3S. Jakarta Komnas Ham. 2006. Masyarakat Hukum Adat. Jakarta Kouzes, J. M. & Posner, B. Z. 2006. 5 Teladan Kepemimpinan. PT Bhuana Ilmu Populer. Jakarta. Li, T. M. 2002. Masyarakat Adat dan Masalah Pengakuan. Jurnal Wacana Ed 11 Th III 2002. Insist Press. Yogyakarta. Hal 173 – 207 Noveria M, Gayatri I N, & Mashudi. 2004. Berbagi Ruang dengan Masyarakat; Upaya Resolusi Konflik Sumberdaya Hutan di Kalimantan Tengah. LIPI. Jakarta Ritzer, G. & Goodman, D. J. 2004. Teori Sosiologi Modern (terjemahan). Ed 6. Prenada Media. Jakarta Syarif, S. M. 2005. Gampong dan Mukim di Aceh; Menuju Rekontruksi Pasca Tsunami. Pustaka Latin. Bogor Undang-Undang Dasar 1945. Hasil Amandemen ke-IV. (andnotes) 1 2
3
Keputusan Kongres AMAN No. 01/KMAN/1999 Konvensi ILO 169 tahun 1989 tentang Convention concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries Draft Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat: Sebuah Instrumen Baru, Sekretariat Nasional AMAN, Mei 2004
9
Hutan Borneo Untuk Sawit ? Deforestasi Hutan Kalbar 73,42 Persen Hendi Candra (Walhi Kalbar)
Mega proyek pembukaan lahan sawit di sepanjang perbatasan akan menyebabkan makin memburuknya kondisi lingkungan di Kalbar. Pada tahun 2006 kemarin, deforestasi hutan tropis di Kalbar telah mencapai 73, 42 % dari luasan yang ada. Data Kehutanan Kalbar luas wilayah kawasan hutan Kalimantan Barat sampai tahun 2005 sekitar 14,868,700 Ha. “Saat ini luas pemanfaatan kawasan tersebut tahun 2006, berupa kawasan lindung sekitar 3,952,625 Ha, Hutan Produksi Terbatas 2,445,985 Ha, Hutan Produksi Tetap 2,265,800 Ha, Hutan Produksi Konversi 514,350 Ha, Areal Penggunaan Lain 5,689,940 Ha,”. Luas perkebunan sawit di Kalimanatan Barat adalah 2.352.034 Ha (Data Dinas Perkebunan Kalbar, 2004). Hingga tahun 2006 jumlah lahan untuk perkebunan sawit di Kalbar terus bertambah, yang kesemuanya itu mengkonversi hutan eks HPH dan hutan masyarakat adat. Selain itu juga hutan Kalbar habis oleh kegiatan HPH. Dengan demikian, kondisi deforestasi hutan tropis di Kalimantan Barat mencapai 73,42% sampai tahun 2006, dan dengan hanya luas dan penyeimbang sekitar 26,58% dari luasan kawasan hutan di Kalimantan Barat. Kondisi ini semakin memperburuk keadaan lingkungan di Kalbar, dimana tiap tahun terjadi bencana pada 2 musim yang berbeda seperti banjir dan kebakaran hutan/lahan yang menimbulkan kabut asap. Pengembangan sawit wilayah perbatasan 1,8 juta ha di Kalimantan, sekitar 1 juta Ha di Kalimantan Barat dan 800.000 Ha di Kalimantan Timur sangat marak dan menjadi wacana bagi investor mengembangan sayapnya ke wilayah perbatasan. Hingga sekarang Pemerintah Daerah tetap berusaha untuk menggoalkan Peraturan Pemerintah tentang perbatasan yang akan memuluskan Pemerintah Daerah untuk membangun perkebunan sawit di hutan perbatasan (Jantung Borneo). Alasan pengembangan wilayah perbatasan dengan sawit ini dikarenakan untuk membuka keterisoliran kemiskinan masyarakat dan
menjadikan Indonesia, khususnya Kalimantan Barat sebagai penyuplai sawit terbesar di Indonesia. Sebuah program kesejahteraan atau penghancuran jantung Borneo secara masif? Pengaruh dari pengembangan sawit ini sangatlah berdampak pada aktivitas sosial budaya masyarakat. Secara umum, kawasan perbatasan di Kalimantan Barat wilayah yang berbatasan dengan Malaysia Timur terdapat 119 desa, 15 Kecamatan, 5 Kabupaten, 179.017 jiwa, dengan luasan mencapai 2.030.516 Ha. Hal ini dimaksud untuk memepersiapkan lahan kritis yang berada di sekitar kawasan perbatasan, kalau menurut zonasi (4 zonasi 25 – 100 Km) Departemen Kehutanan luas batas wilayah perbatasan hingga 100 Km. Data Dinas Kehutanan Kalimantan Barat, luasan lahan kritis di Kalimantan Barat sendiri sekitar hingga tahun 2004 seluas 5,043,037 Ha yang terdapat di wilayah administrasi (Pontianak 187,175 Ha; Sanggau 1,107,036 Ha; Sintang 924,195 Ha; Kapuas Hulu 633,940 Ha; Sambas 136,580 Ha; Ketapang 1,384,267 Ha; Bengkayang 261,920 ha; Landak 407,924 ha ). Lahan tersebut dapat digunakan sebagai aktivitas rehabilitasi atau reboisasi lahan dengan tanaman komoditi yang bersifat melindungi kawasan “Agroforestry” dengan melibatkan investasi dari luar pemerintahan. Salah satu permasalahan di sektor kehutanan adalah semakin bertambahnya konversi hutan menjadi areal perkebunan sawit. Perkebunan sawit berkontribusi besar pada tingginya laju kerusakan hutan yang menurut data dari Departemen Kehutanan tahun 2002 bahwa setiap hari hutan alam Kalimantan mengalami deforestasi dengan laju kerusakan pertahun mencapai 2,1 juta Ha dan diperkirakan hutan tropis Kalimantan habis pada tahun 2010. Tingginya laju kerusakan hutan alam untuk perkebunan sawit tidak terlepas dari perspektif pemerintah Indonesia yang telah meletakkan pondasi ekonomi pada sektor ini. Tanpa peduli telah menimbulkan kerusakan hutan, punahnya keanekaragaman hayati, munculnya konflik sosial. Anggapan investasi sawit sangat menguntungkan daerah dan masyarakat, tentu tidak salah apabila nilai hutan dan keberagaman nilai ekonomi potensial masyarakat yang hilang tidak diperhitungkan. Akan tetapi jika hal ini dihitung dan dijadikan bagian biaya dari investasi maka analisis yang sangat menguntungkan tersebut tidak terlihat. Kebijakan pemerintah untuk eksploitasi sumber daya hutan untuk kepentingan investasi tanpa ada batasan yang jelas tentu menimbulkan social cost dan environmental cost yang akan ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat. Kerugian pemerintah jelas dalam bentuk alokasi anggaran pembangunan/ peningkatan anggaran rehabilitasi sumber daya alam.
Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch
10
TINJAUAN RINGKAS MASALAH PERKEBUNAN MODEL – PIR Gunawan Wiradi
Pengantar 1. Sebenarnya, permasalahan sistem ekonomi perkebunan besar serta berbagai seluk beluknya (ciri-cirinya, sejarahnya, perkembangannya, serta dampaknya dan kaitannya dengan aspek-aspek sosial, ekonomi, dan politik) sudah banyak ditulis orang, terutamaoleh pakar-pakar dunia. (lihat, antara lain, Boeke, 1942; Jacoby, 1961; Geertz, 1963; Backford, 1979; Elson, 1984; Pelzer, 1991; Breman, 1997; dll). Karena itu, saya menganggap bahwa para pemerhati perkebunan (para pejabat, para pengusaha, akademisi, aktivis LSM, dan para pekebun (rakyat) pada umumnya), tentulah sudah jauh lebih memahami berbagai masalahnya, daripada saya sendiri. Atas dasar itu, maka tulisan ini hanya sekedar tinjauan ringkas, khususnya mengenai pola PIR, dilihat dalam konteks situasi dan kondisi perpolitikan dunia kontemporer. 2. Dewasa ini, berbagai negara bangsa (“nation states”), terutama negara-negara yang sedang berkembang mengalami tekanan dari tiga arah sekaligus (“tripple squeeze”), yaitu dari “atas”, dari “samping”, dan dari “bawah” (lihat Fox, 2001, seperti dikutip oleh Borras Jr., 2004). Dari atas berupa tkanan arus globalisasi ekonomi yang menyebabkan kekuasaan pemerintah nasional seolah-olah “menyerah” kepada kekuatan mengatur dari lembaga-lembaga internasional seperti WTO, IMF, dan Bank Dunia. Dari bawah berupa tuntutan desentralisasi pemerintahan, dan dari samping berupa gerakan dan dorongan privatisasi. Sekalipun tekanan itu menjepit dari tiga arah, namun sebenarnya sumbernya sama, yaitu kekuatan modal internasional, yang menghendaki “pasar bebas” 3. Dengan runtuhnya negara-negara sosialis di Eropa Timur, maka keseimbangan politik berubah. Para pemodal bisnis raksasa bekerjasama dengan bank-bank dan pemerintah adidaya, berusaha melakukan ekspansi modal ke berbagai negara di dunia. Kerjasama mereka ini oleh Perkins disebut sebagai “Corporatocrazy” (John Perkins, 2005). Inilah “penguasa” dunia. Karena itu, “globalisasi ekonomi”, menurutnya, adalah imperialis baru. Ekspansi tersebut merambah ke berbagai bidang, termasuk bidang perkebunan
I. LANDASAN TELAAH TENTANG PIR Didalam pembangunan pertanian di beberapa negara berkembang sesudah Perang Dunia Kedua, khususnya selama tiga dekade terakhir ini, terdapat kecendrungan berkembangnya bentuk-bentuk khas organisasi produksi yang mengaitkan secara vertikal satuan-satuan usaha (kecil) rakyat dengan perusahaan besar agroindustri (sebagai “inti”) yang bermodal raksasa. Pada umumnya, bentuk demikian itu memperoleh dukungan resmi dari pemerintah. Di Indonesia, bentuk ini dikenal sebagai sistem Vol. 1 Tahun 7, 2007
Perusahaan Inti Rakyat (PIR), dan dalam kepustakaan pembangunan disebut dengan beragam istilah sebagai “intisatelit”, “usahatani-kontrak” (contract farming) atau outgrower system. Gejala yang demikian itu, yaitu semakin berkembangnya, semakin populernya, atau semakin banyaknya yang mengadopsi model itu, dalam kepustakaan sering disebut sebagai phenomenon of agribusiness (“gejala agribisnis”). Istilah ini ini “pada umunya mengacu kepada kegiatan Trans-national corporation (TNC) di bidang pertanian sebagai produsen pengolah, atau pedagang komoditas pertanian dan sebagai penjual berbagai sarana produksi dan mesin-mesin” (Glover, 1984), karena pada umumnya komoditas yang diusahakan melalui model tersebut memang komoditas-komoditas yang dapat dilempar di pasaran internasional. Menurut Susan George, gerakan agribisnis lahir karena para pemilik modal raksasa (TNC) tidak lagi dapat menanam modalnya di masing-masing negara maju (sebab sudah jenuh) dan memalingkan perhatiannya kepada negara berkembang. Namun karena bidang pertanian memerlukan tanah, sedangkan negara-negara berkembang sesudah perang dunia kedua telah menjadi negara nasional yang merdeka, maka masalah jangkauan terhadap tanah ini dirasakan sebagai hambatan. Akibatnya, meraka terpaksa “nebeng” pemerintah negara maju melalui program bantuan. Negara maju sebagai donor dapat membujuk negara berkembang agar, dalam rangka program bantuan di bidang pertanian, pemerintah setempat menyediakan kemudahan dalam hal jangkauan terhadap penguasaan tanah. Akan tetapi mengingat faktor di dalam negeri pemerintah nasional negara berkembang tidak dapat begitu saja menyediakan tanah bagi modal asing, seperti jaman kolonial (Susan George, 1977). Bentuk “inti-satelit” tampaknya merupakan jalan keluar. Jika uraian Susan George itu benar, maka itu berarti bahwa masalah sistem “usahatani-kontrak” itu juga mencakup aspek kebijakan, atau lebih jelasnya aspek politik dan bukan hanya masalah ekonomi. Oleh karena itu, seperti dinyatakan oleh Glover; “Suatu kajian terhadap sistem usahatani-kontrak yang berusaha meniali potensinya sebagai alat didalam strategi pembangunan pertanian, haruslah mencakup dua unsur: suatu analisis mengenai logika ekonomi dari usahatanikontak, dan suatu penilaian mengenai aspek-aspek politinya” (Glover, 1984. Op Cit). Demikian pula, aspek-aspek sosiologis seperti: hubungan antara petani-peserta dengan “inti”, antara berbagai pelaku baik pelaku individu maupun kelompok, kemungkinan timbulnya pengelompokkan baru atau peranan baru sebagai akibat diterapkannya usahatani-kontrak, diferensiasi antara peserta dalam hal siapa yang kebagian kesempatan kerja/berusaha dan siapa yang memperoleh bagian nilai tambah, dan lain sebagainya, perlu tercaku dalam kajian. Walaupun berbagai aspek sosiologi tersebut seringkali juga dimunculkan tetapi dalam berbagai kajian sifat telaahnya sering bersifat “pinggiran”, karena pada umumnya titik berat perhatianya diletakkan pada logika ekonomi saja. Kepustakaan yang ada mengenai usahatani-kontrak mencerminkan adanya keragaman aliran pmikiran yang secara kasar dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu yang pro, yang
11 kontra, dan yang berada diantara kedua ekstrim itu. Glover, misalnya, dalam tinjauannya terhadap kepustakaan mengenai contract-farming, melihat adanya dua pendekatan yang berlawan, yaitu pertama pendekatan HBS (Harvard Business School) yang pro terhadap contract-farming dan pendekatan FF (Food First) yang amat sangat kritikal terhadap sistem tersebut.
Dalam usaha untuk menjelaskan mengapa model tersebut semakin disenangi oleh pemilik modal raksasa, Kirk selanjutnya menguraikan bahwa “usahatani-kontak itu dalam beberapa hal mengurangi biaya dan resiko investasi”, yang dengan demikian merupakan kemungkinan sebagai suatu alternatif terhadap bentuk organisasi produksi gaya perkebunan besar (klasik). Beberapa hal tersebut (Kirk, 1987, Ibid):
Pendekatan HBS didasarkan atas keyakinan bahwa jikalau industri makmur, maka rakyat juga makmur, dan bahwa perusahaan agroindustri sebagai “inti” dianggap mempunyai kemampuan istimewa dalam mengalihakan teknologi secara cepat kepada rakyat, serta menyebabkan partisipasi rakyat secara meluas. Model itu dianggap berhasil memisahkan investasi dalam pengelolaan dan pemasaran, dari hambatan masalah penguasaan tanah yang peka itu (lihat, Williams and Karem (1985) seperti dikutip B White(1989)).
Pertama, mengatasi masalah tanah. Walaupun pengontrak (inti) tidak secara nyata menguasai tanah, namun memperoleh cukup penguasaan atas hasil produksi pertanian secara tidak langsung. Model untuk tanah menjadi sangat berkurang dan resiko kemungkinan tanah disita menjadi hilang.
Pendekatan FF sebaliknya, melihat model “inti-satelit” itu sebagai menurunkan derajat usaha tani rakyat ke bawah “modal”, dalam sub-ordinasi yang memungkinkan surplus keuntungan hasil modernisasi pertanian itu ditangkap oleh produsen langsung (yaitu usaha tani rakyat) tetapi ditangkap “inti”.
Kedua, mengatasi masalah tenaga kerja. Perkebunan besar adalah padat karya, tapi tergantung pada tnaga murah yang semakin sukar diperoleh. Sebaliknya, dalam usahatanikontrak, petani dipekerjakan secara tidak langsung. Petani “dikontrak untuk menjual tanamannya, bukan tenaganya”. Ketiga, melalui pengendalian atas penyediaan kredit, pupuk dan sarana produksi lainnya, serta dengan tetap dikuasainya secara kuat kegiatan pengolahan dan pemasaran, pihak initi dapat mengendalikan kegiatan petani.
Diantara kedua ekstrim tersebut, terdapat beberapa pakar yang melihat model tersebut secara inherent mengandung bukan saja faktor-faktor yang secara potensial dapat menguntungkan tetapi juga faktor-faktor yang secara potensial merugikan bagi usahatani kecil.
Keempat, melalui usahatani-kontrak pihak inti dapat memperoleh citra positif, menghapus citra buruk yang biasanya melekat pada sistem perkebunan besar. Dengan lagak membantu petani kecil, pihak inti dapat menampilkan diri sebagai penyelaras aspirasi dan kepentingan nasional.
II. MODEL “INTI SATELIT”/“USAHATANI-KONTRAK/ PIR”
Kelima, melalui sistem usahatani-kontrak, TNC seringkali dapat berbagi biaya dan resiko dengan lembaga-lembaga pembangunan dan keuangan seperti World Bank dan CDC.
Yang dimaksud dengan model “inti-satelit” atau “usahatanikontak” (contract farming) adalah sebagaimana dirumuskan oleh Colin Kirk: Contract Farming adalah suatu cara mengorganisasi produksi pertanian, yang dengan cara itu petani-petani kecil atau outgrowers dikontrak oleh suatu badan pusat untuk mensupply hasil pertanian sesuai dengan yang ditentukan dalam sebuah kontrak atau perjanjian. Badan yang membeli hasil pertanian itu dapat men-supply bimbingan teknis, kredit, dan masukan-masukan lainnya, dan menjamin pengolahan dan pemasaran. Sistem ini dinamakan juga model “intisatelit” dimana badan pusat sebagai “inti” membeli hasil pertanian dari petani “satelit” yang dikontrak itu. Dalam varian khusus yang dipromosikan oleh The Commonvealth Development Corporation (CDC), “inti” itu umumnya merupakan sebuah nucleus estate, yaitu suatu wilayah kecil beserta unit pengolaha, dan kepadanyalah sejumlah petani kecil dikontrak untuk men-supply hasil pertanian (kir, 1987: 45 – 51). Walaupun diantara berbagai pakar di Indonesia masih terdapat perbedaan pandangan, namun jika dilihat dari cirinya yang mendasar, pada hakekatnya contract-farming dalam pengertian seperti tersebut diatas mencakup berbagai ragam bentuk “PIR” yang terdapat di jawa Barat baik yang ditunjang pemerintah maupun bentuk-bentuk perjanjian yang lai, antara produsen kecil dengan pengerahaan besar swasta (sebagai pembeli/ pengolah hasil) yang bukan proyek pemerintah.
Demikianlah, dilihat dari kepentingan pihak “inti” dan daro pihak modal besar, model usahatani-kontrak dianggap menguntungkan dan positif. Akan tetapi bagaimana jika dilihat dari pihak petani dan tenaga kerja? Terutama dalam butir kedua dan ketiga tersebut di atas, tersimpan faktor-faktir yang secara potensial merugikan. Oleh karena petani diikat (dikontrak) untuk “menjual tanamannya dan bukan tenaganya”, maka ini berarti bhawa pihak “inti” mengalihkan semua masalah mengenai pengerahan, pengelolaan dan pengendalian tenaga kerja kepada petani satelit, dan dengan demikian mengurangi banyak biaya dan resiko yang biasanya dihadapainya jika menggunakan tenaga upahan dalam pola perkebunan besar. Namun salah satu implikasi, melalui model contact farming pihak inti sebenarnya (setidaknya secara teoritik) memperoleh jangkauan tidak langsung terhadap “tenaga kerja dalam keluarga” yang tidak dibayar (termasuk perempuan dan anakanak), yang berarti melestarikan proses self-exploitation of labour power, suatu ciri ekonomi masyarakat tani ala Chayanov ian. Artinya, rumah tangga petani (kecil) menggunakan dan “membayar” para anggota keluarganya dengan upah per tenaga kerja yang rendah dibanding tingkat upah yang berlaku di pasaran. Implikasi lainnya adalah jika dilihat dari segi hubungan antara Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch
12 pihak inti dan dan para petani, serta posisinya masing-masing khususnya dalam hal kekuatan posisi-tawarnya, maka jelas petani dipihak yang lemah. Walaupun biasanya dola mutu dan harga telah ditentukan dalam perjanjian, tetapi pengambilan keputusan mengenai mutu (yang menentukan apakah bahan baku milik petani itu diterima atau tidak) adalah pihak inti. Melalui sistem “inti-satelit”, petani dipisahkan dari pasar bebas karena kegiatan pengolahan dan pemasaran berada di tangan inti. Seperti dirumuskan Wilson, “ the contract in contractfarming is an agreement between the farmer and inputs supplier or a processor which takes the place of exchange on the market” (Wilson, 1986). Oleh karena itu sistem usahatanikontrak mungkin memang tidak mencerminkan suatu bentuk pertanian kapitalistik. Namun karena penguasaan / pemilikan atas “inti” berada di tangan pemilik modal besar, dan pemodal besar (TNC) cenderung bergairah untuk menanam modalnya melalui bentuk contract farmin, maka model ini dapat dipandang sebagai satu bentuk khas “penetrasi kapitalis ke dalam pertanian” (Wilson, Ibid), yang sama sekali tidak menjamin apakah kepentingan “modal” dapat bertemu dengan kepentingan petani kecil sebagai produsen langsung. Di depan disebutkan bahwa “usahatani-kontrak” mencakup beragam bentuk dan tidak mudah untuk membuat pengelompokannya. Dilihat dari segi sejauh mana pihak “inti” mempunyai keterlibatan dalam pengambilan keputusan dalam tahap-tahap produksi bahan baku oleh petani “satelit” maka bentuk-bentuk out dapat dibedakan menjadi tiga macam (Wilson, Ibid): a. Kontrak Pemasaran. Perjanjian ini “menentukan macam dan jumlah hasil pertanian yang harus diserahkan, tetapi jarang yang merinci cara kerjanya atau metodanya yang harus digunakan dalam produksi, dan juga tidak menuntut pihak pengolah untuk menyediakan sarana produksi seperti bibit, pupuk, atau peralatan. Perjanjian ini hanya semacam ikatan future purchasement. b. Kontrak Produksi. Ini mengacu pada “peraturan antara petani dan perusahaan non-usahatani yang memerinci macam dan jumlah hasil-hasil usahatani yang harus diproduksi dan juga varietas atau jenis, menentukan cara kerja yang harus dilaksanakan selama proses produksi, dan sarana produksi serta bimbingan teknis yang harus disediakan oleh pihak pengontrak.” c. Intergrasi Vertikal. Dalam tipe ini “semua tahap-tahap produksi diwadahi dalam satu perusahaan, dan pasar sama sekali tak berperan dalam koordinasi tahap-tahap produksi yang berbeda-beda. Dalam hal ini, perusahaan non-usahatani memiliki bahan baku, sarana produksi, dan produksi. Para petani menjadi setara dengan “manager” atau pengawasan yang diupah, atau sekadar sebagai pekerja borongan (piecerate worker)”.
III. PERLUNYA PEMAHAMAN MENYELURUH 1. Sedah bukan rahasia lagi bahwa dalam tiga dasawarsa terakhir ini di Indonesia terjadi bermacam konflik social yang merebak di mana-mana, dan meliputi hamper semua sektor,termasuk sektor perkebunan. Semua konflik itu,sekaligus “bungkus” nya macam-macam,pada hakekatnya sumbernya sama,yaitu masalah “agrarian” (dalam arti Vol. 1 Tahun 7, 2007
luas).Jika ditarik lebih dalam,konflik agrarian itu pada hakekatnya adalah bagian dari pertarungan kepentingan dari kekuatan-kekuatan modal internasional dalam memperebutkan sumberdaya alam. 2. Juga bukan rahasia lagi bahwa lingkungan alam kita sekarang ini sudah rusak,sumberdaya alam kita sudah dikeruk oleh berbagai kekuatan modal atas nama “pembangunan”,yang dampak buruknya ternyata jauh lebih besar dari pada dampak positifnya. 3. Uraian ringkasan tersebut didepan itu sekedar memperluas wawasan,untuk menegaskan bahwa masalah-masalah disekitar soal PIR itu idaklah berdiri sendiri, melainkan merupakan melainkan merupakan bagian dari proses perpoliikan dunia.Karena itu,kuncinya terletak pada sikap dan kemauan politik bangsa kita.Tanpa kesadaran ini,kita akan selalu tenggelam dalam persoalan teknis,kepentingan sesaat,dan berbagai masalah mikro ,yang melahirkan benturan-benturan yang akan terus terjadi. 4. Para pelaku,para pejabat,para pengamat dan pemerhati masalah perkebunan,termasuk para aktivis LSM.perlu mempunyai pemahaman yang menyeluruh, yang cukup; a) Dinamika informasi Masyarakat, b) Kebijakan pemerintah c) Aspek sejarah, d) Intervensi asing Demikian secara ringkas sumbangan pemikiran saya dalam diskusi sekarang ini .Terimakasih. Daftar Pustaka; 1. BECKFORD.G.L.(1979:Persistent poverty. Underdevelopment in plantation Economies of the Third World.New York.Oxford University Press. 2. BOEKER,J.H.(1942):The Structure of the Netherlands Indian Economy.Institute Of Pacific Relations.New York 3. BORRAS,Jr.,S.M.(2004):La Via Campesina,An Evolving Transnational Social Movement.Amsterdam.Transnational Institut. 4. BREMAN.Jan,:Control of land and Labour in Colanial Java,Foris Publication,Holland,1983. 5. BREMAN,Jan.C.(1997):Menjinakan sang Kuli.PolitikKolanoal pada Awal Abat ke 20 Jakarta P.T. Pustaka Utama Grafiti. 6. ELSON,R,E,(1984):Javanese Peasants and the Colanoal Sugar Industry. Singapure.Oxpord University Press. 7. GEERTZ,C (1963):Agricultural Invaolution.Th Process of Ecological Change in Indonesia.Barkeley.University of California Press 8. GLOVER,R,J,:”Contract Farming and Smallholder Outgrower Schemes in Lees Developed Countries”,World Depelopment, 122-1982. 9. JACOBY,Eric H.(1961):Agrarian Unrest in Southeast Asia.New York 2nd edition. 10. KIRK,C: “Contracting Out:Platations,Smallholders,and Transnational Enterprise”,IDS Bulletin 18 No.1,1987, Halaman 45-51 11. MABDLE,R.J.,:Sharecropping and The Platations Economy,dalam T.J.Byres (ed.) Sharecropping and Sharecroppers.Library of peasant Studies,No.6Frank Cass &Co.Ltd.London,1983 12. PELZER,Karl J. (1991) Sengketa-sengketa Agraria pengusaha perkebunan melawan petani Jakarta Pustaka Sinar Harapan 13. PERKINS,John (2004):Confessions of an Economic Hit Man.San Franscisco.Berret-Koehler Publisher,inc. 14. SUSAN GEORGE:How The Other Half Dies Harmondsworth Penguin Books 1977 Ch.VII 15. White ,B,”Agroindustry and Contract Farmers in West Java, Indonesia:Notes on Research in Progress” Draft makalah untuk seminar di ISS 1989. 16. WILSON,J.:”The Politic Economy Of Contrast Farming .” dalam Review of Radical Political Economy,18.No.1987,Hal.47-70
13
MEMPERBAIKI LINGKUNGAN AGAR BUMI LEBIH LAYAK UNTUK DIHUNI Abed Nego Tarigan (Deputy Director Sawit Watch) “Bumi bisa mencukupi kebutuhan setiap orang (semua orang di muka bumi), tapi tak bisa mencukupi orang-orang (sebagian orang) yang rakus.” Mahatma Ghandi
telah menyebabkan jutaan orang meninggal dan lebih dari satu milyar orang sakit setiap tahun (World Bank, 1992).
Selama ini, hanya ada cara pandang tunggal dan dianggap mutlak oleh manusia terhadap lingkungan. Cara pandang itu disebut antroposentrisme yaitu teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta, atau nilai tertinggi dalam menentukan setiap kebijakan lingkungan adalah manusia dan kepentingannya. Untuk melegalkan pandangan tunggal dan abosulut tadi, manusia beragama, terutamanya umat Kristiani mengutip Kejadian 1: 26-28 yang ditafsirkan bahwa Allah memberi kewenangan penuh kepada manusia (yang “segambar” dengan-Nya) untuk mengeksploitasi alam demi kepentingannya. (Etika Lingkungan, A.Sonny Keraf, Kompas,2002).
Baru-baru ini dalam sebuah penelitian mengenai tingkat pencemaran udara di 20 kota besar di seluruh dunia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa sekurangnya satu jenis polusi udara di kota-kota besar tersebut telah melebihi ambang batas pencemaran udara WHO (UNEP dan WHO, 1992). Penelitian lain memperkirakan bahwa kurang lebih 600 juta orang hidup di kota yang tingkat pencemaran sulfur dioksidanya melebihi ambang batas pencemaran udara WHO, dan sekitar 1,25 milyar orang tinggal di kota-kota yang tingkat pencemaran debunya sudah sangat tinggi.
Cara pandang antroposentrisme tadi menyebabkan setiap interaksi manusia dengan alam selalu bersifat eksploitatif, karena alam dianggap tak lebih dari sebuah obyek yang tak akan beraksi apabila digali, ditebang, dicemari atau diracun. aktifitas pertambangan, industri manufaktur, perambahan hutan dan perkebunan skala besar merupakan aktifitas seharhari yang terkesan “memanfaatkan keberadaan dan isi bumi demi kebutuhan dan kesejahteraan manusia”. Namun apa yang terjadi kemudian? Alam ternyata punya logika dan tindakannya sendiri, yang luput dari perhitungan logika manusia yang terbatas. Kesejahteraan manusia yang tadi diidamidamkan dari eksploitasi bumi, ternyata menimbulkan ketimpangan peradaban antar manusia di belahan bumi utara dan selatan. Lewat keunggulan teknologi dan penyertaan modal, negara-negara utara mendirikan Trans-National Coorporations (TNCs) yang menghisap kekayaan alam di seluruh muka bumi. Pada akhirnya, eksploitasi alam tadi ditujukan demi kepentingan segelintir manusia, sedangkan sebagian besar lainnya hanya akan menjadi korban dari perbuatan sekelompok orang tersebut. Sebagai bukti, mari kita lihat contoh-contoh sebagai berikut:
2. Tingkat Pencemaran Udara.
Lebih jauh lagi, tingkat pencemaran udara yang tinggi diperkirakan telah menyebabkan gangguan kesehatan pada masyarakat. Misalnya, di Jakarta, dengan penduduk sekitar sembilan juta orang, diperkirakan sekitar 1558 kasus kematian dini, 39 juta kasus gangguan tenggorokan, 558 ribu kasus serangan asma, 12 ribu kasus bronhitis kronis, dan 125 ribu kasus sakit tenggorokan pada anak-anak di tahun 1990 disebabkan oleh tingginya tingkat pencemaran udara di kota tersebut (Ostro, 1994). 3. Penurunan Tingkat Kesuburan Tanah. Program Lingkungan Persatuan Bangsa-Bangsa (UNEP) memperkirakan sekitar 11 percen dari tanah subur di dunia telah tererosi, berubah secara kimiawi, atau secara phisik memadat yang mengakibatkan menurunnya kemampuan tanah tersebut untuk memproses nutrisi mencari bahan yang berguna bagi tanaman. Lebih jauh lagi, UNEP juga mengestimasi bahwa kurang lebih tiga percen dari tanah di dunia ini telah rusak hingga tidak lagi dapat menjalankan fungsi abiotiknya sama sekali (WRI in collaboration with the UNEP and the UNDP, 1992). Tentunya tingkat kesuburan tanah yang menurun menyebabkan menurunnya tingkat produktivitas pertanian
1. Rendahnya Kualitas Air Bersih.
4. Penurunan Tingkat Keragaman Biota akibat Pengrusakan Hutan.
Menurut Bank Dunia (1992), sekurangnya 170 juta orang yang tinggal di kota-kota dan sekurangnya 850 juta orang yang tinggal di desa-desa di negara berkembang tidak memiliki akses guna mendapatkan air bersih untuk minum, masak, dan cuci. Sumber-sumber air telah terkontaminasi dengan berbagai penyakit yang disebabkan oleh kotoran manusia, bahan kimia beracun, dan metal berat yang sudah sulit untuk dihilangkan dengan menggunakan teknik purifikasi biasa (standar). Dilaporkan juga bahwa penggunaan air yang tercemar tersebut
Dari hasil penelitian yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2005/2006 kerusakan hutan tropis yang telah mencapai 59,3 juta hektar dari 127 juta hektar total luas hutan Indonesia telah menyebabkan punahnya 30% spesies flora dan fauna hutan tropis. Penelitian tadi masih dilanjutkan oleh lembaga Perserikatan Bangsa-Banga dimana para peneliti memperkirakan bahwa empat sampai delapan persen dari species yang masih hidup di hutan tropis akan punah dalam 25 tahun mendatang (Reid, 1992). Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch
14 Semakin menurunnya tingkat keragaman biota tentunya merupakan ancaman serius bagi keseimbangan dan kelestarian alam (WRI in collaboration with the UNEP and the UNDP, 1992). Bertahun-tahun yang lalu, ketika kerusakan lingkungan hidup relatif masih kecil, ada kecenderungan untuk mengabaikan peranan dari kualitas lingkungan hidup terhadap produktivitas ekonomi. Tidak demikian halnya saat ini. Argumentasi bahwa penurunan kualitas lingkungan hidup akan menurunkan keuntungan yang dapat diperoleh dari aktivitas ekonomi telah diterima secara luas (Lutz, 1993).
manusia tetapi kepada mahluk hidup seluruhnya dalam kaitannya dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Dari pendekatan yang ekosentrisme tadi, yang tertuang dalam pandangan DEEP ECLOGY, diharapkan setiap pihak bisa mengambil peran yang lebih proporsional agar keberlanjutan lingkungan hidup (dimana manusia hanyalah sebuah sub-nya saja) bisa terjamin di masa yang akan datang. Adapun beberapa pihak yang diharapkan berperan besar adalah: Pemerintah dengan jalan:
5. Pemanasan Global kenaikan suhu bumi sebasar 2 derajat celsius pertahun disebabkan oleh beberapa hal, dan dua diantaranya yang paling menyumbang pemanasan global adalah: Pembangunan Pabrik dan Rumah Kaca Maraknya pendirian pabrik manufaktur dan gedung pencakar langit telah menyebabkan meningkatnya gas asam arang yang pada gilirannya akan merusak lapisan ozon bumi. Pembakaran Lahan dan Bencana Asap Dari perhitungan dan penelitian antara lain oleh laboratorium air Delft Hydraulics, ternyata 2.000 juta ton gas asam arang keluar per tahun akibat kebakaran tanah gambut di Kalimatan dan Sumatra. Pancaran gas asam arang di dunia saat ini mencapai 26.000 juta ton. Jika pancaran tanah gambut ikut dihitung, maka Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah Amerika Serikat dan Cina sebagai negara terbesar pembuang zat asam arang.
a. Selain menetapkan rencana dasar kebijakan lingkungan hidup, menetapkan tujuan pemeliharaan lingkungan berdasarkan masalah yang muncul. Dengan berpijak pada hukum, menetapkan rencana dasar dan pembagian peranan/tugas dari seluruh unsur yang terkait. b. Pembentukan pola dasar kegiatan seluruh unsur yang terkait berdasarkan penilaian masalah lingkungan, perubahan aturan, perkembangan ekonomi, sosial, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. c. Untuk mendorong partisipasi aktif dari pengusaha dan masyarakat, diadakan pendidikan dan latihan pemeliharaan lingkungan, membantu kegiatan pengusaha, membuka jalur informasi dan lain lain. d. Membantu kegiatan organisasi-organisasi masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan dengan bantuan dana dan teknologi. e. Berperan aktif dalam kegiatan pemeliharaan lingkungan hidup international. Peran Masyarakat;
Sebuah Solusi Alternatif untuk Memperbaiki Kerusakan Lingkungan. Hal mendasar yang mesti diubah adalah cara pandang manusia terhadap keberadaan alam/lingkungan. Apabila antroposentrisme hanya demi kepentingan manusia dan melihat alam sebagai sebuah obyek, maka cara pandang tadi sudah saatnya diubah menjadi ekosentrisme yaitu cara pandang yang memusatkan etika pada seluruh komunitas yang hidup maupun yang mati. Secara ekologis, mahluk hidup maupun benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lainnya. Oleh karena itu kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya sebatas pada mahluk hidup semata juga pada benda mati. Salah satu pendekatan yang terkenal dalam ekosentrisme adalah DEEP ECOLOGY (DE) yang pertama kali diperkenalkan oleh Arne Naess (filsuf Norwegia) pada tahun 1973. Deep Ecology berarti suatu etika baru yang tidak berpusat pada
“Jika Pohon Terakhir Telah Ditebang, Jika Sungai Terakhir Telah Tercemar, Jika Ikan Terakhir Telah Ditangkap, Baru Manusia Akan Sadar Bahwa Mereka Tidak Akan Bisa Makan Uang.” Green Peace Vol. 1 Tahun 7, 2007
a. Anjuran untuk lebih memahami hubungan manusia dan lingkungan hidup, dengan berperan aktif dalam mengenal alam sekitar. b. Anjuran untuk memilih barang kebutuhan yang dapat di recycle dan sedikit. bebannya terhadap lingkungan hidup. Menggunakan energy secara efektif. Mengurangi jumlah sampah dan lain-lain. c. Berperan aktif dalam kegiatan recycle, penghijauan, dan kegiatan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi masyrakat. d. Berkerjasama dengan pemerintah dan organisasi-organisasi masyarakat lainnya untuk melakukan proses penyadaran dan aktifitas penyelamatan lingkungan. Pada akhirnya, masa depan lingkungan dan bumi ada pada kita semua. Apakah kerusakan lingkungan yang saat ini sudah sangat parah kita biarkan begitu saja, atau kita masih bisa menunda ”kiamat” itu dengan berubah cara pandang dan sikap? Pilihan itu ada pada kita.
____________________________________ Tulisan ini merupakan makalah yang dibawakan pada seminar “Kepedulian Gereja Untuk Memperbaiki Lingkungan” yang diadakan Gereja Kristen Indonesia Taman Aries, Jakarta Barat, bersama Karlina Leksono Supelli (Sosiolog STF Driyarkara)
15
KRIMINALISASI MASSAL DIBALIK JANJI MANIS EKSPANSI PERKEBUNAN SAWIT Jefri Gideon S Dibalik pembuatan mentega berasa gurih, kemilau sabun mandi, aroma parfum yang semerbak sampai biofuell pengganti bahan bakar minyak, ternyata proses awal pembuatan produk-produk yang berbahan dasar kelapa sawit tersebut, menyimpan gumpalan persoalan yang tak kunjung terselesaikan. Ibarat gunung es, gumpalan persoalan yang muncul di sektor perkebunan sawit merupakan dampak dari sistem pembangunan atau perluasan kebun sawit yang lebih mengutamakan ekspansi lahan guna merangsang masuknya investor ke Indonesia dan meningkatkan produksi tandan buah segar (tbs) kelapa sawit. Persoalan biasanya muncul antara investor dan masyarakat lokal saat pembukaan pembukaan kebun sawit terkait keberadaan lahan. Sengketa lahan ini akan menempatkan masyarakat lokal di satu sisi berhadapan dengan investor yang bersekutu dengan aparat pemerintah (baca: penguasa) di sisi lain. Konflik tersebut akan merembet ke birokrasi perijinan, mentalitas aparat dan sistem hukum di Indonesia. Ada dua modus operandi perusahaan sawit yang bekerja sama dengan penguasa dalam mendapatkan lahan masyarakat. Pertama, mengimingi masyarakat (pemilik lahan secara de facto berdasarkan sejarah/tradisi) dengan janji manis seperti menjadikan penduduk lokal sebagai petani plasma, mempekerja-kan mereka diperkebu-nan sawit, membangun infrastruktur dan fasi-litas sosial. Kedua, perusahaan sawit langsung melakukan pembersihan lahan (land clearing) tanpa merasa perlu melakukan sosialisasi dengan penduduk lokal.
merehabilitasi lahan yang telah dirusak dan mengenakan denda adat karena perusahaan telah mencuri harta masyarakat. Menanggapi tuntutan warga, pihak perusahaan berjanji akan menggenapi semua tuntutan warga tadi. Alat-alat berat beserta operatornya akan dikembalikan warga ke pihak perusahaan. Namun janji perusahaan hanyalah di bibir belaka. Memanfaatkan lemahnya daya ingat dan pendokumentasian masyarakat, selang beberapa bulan kemudian perusahaan sawit kembali membersihan hutan dan lahan warga. Mengetahui hal itu, warga yang merasa tertipu melampiaskan amarahnya dengan merusak alat-lat berat tersebut. Merasa dirugikan, pihak perusahaan melaporkan perbuatan masyarakat ke aparat kepolisian dengan tuduhan melakukan pengrusakan terhadap aset perusahaan. Kembali masyarakat akan dikriminalisasikan dengan dalih yang sama dengan modus operandi pertama, perbuatannya melawan hukum. Petaka dengan menggunakan modus operandi pertama, menimpa 11 warga desa Pergulaan, kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatra Utara. Mereka harus duduk di kursi terdakwa Peng-adilan Negeri Tebing Tinggi Deli dengan dakwaan telah me-masuki, menduduki dan melakukan pengrusakan tanah dan tanaman tanaman milik PT LONSUM Tbk. Pada 14 Juni 2007, proses peradilan pun digelar untuk memeriksa perbuatan ke-11 warga tersebut di Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli. Dalam proses persidangan yang berlangsung selama 6 bulan, salah seorang terdakwa bernama Tumiran (68 tahun) meninggal dunia karena tak tahan menghadapi tekanan persidangan. Pada 13 Desember 2006, para hakim menjatuhkan vonis 1(satu) tahun hukuman untuk 4 orang terdakwa utama dan 6 (enam) bulan hukuman percobaan untuk 6 orang terdakwa pembantu. Di akhir persidangan, masyarakat menyatakan band-
Pada modus pertama, jamak terjadi janji manis perusahaan tak terealisasikan. Ketika penduduk lokal menuntut janji-janji tersebut, yang didapatkan biasanya bujukan untuk bersabar atau ancaman agar masyarakat lokal melupakan janji-janji manis itu dari centeng perusahaan, pejabat pemerintah atau aparat keamanan negara. Karena takut, sebagian masyarakat lokal memilih bersikap bisu namun sebagian lain akan melakukan perlawanan berupa penahanan/ penyanderaan alat-alat kerja, pendudukan lahan sampai pembakaran basecamp milik perusahaan. Tindakan itu terpaksa dilakukan setelah batas kesabaran masyarakat sampai pada titik puncak. Pada fase ini penduduk lokal akan dikriminalisasikan dengan dalih perbuatannya melanggar hukum. Pada modus kedua, masyarakat lokal menahan alat-alat berat perusahaan seperti cobelco, escavator dan chainsaw dan operatornya karena membersihkan hutan adat, ladang atau kebun warga tanpa ijin. Biasanya masyarakat lokal akan menuntut perusahaan untuk
Land Clearing tanpa persetujuan masyarakat setempat menjadi modus operandi perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk mendapatkan lahan. Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch
16 ing karena tidak terima dinyatakan bersalah dalam kasus tersebut. Hal yang hampir sama juga terjadi di Sumatera Selatan. Pada Juni 2006, ratusan warga dari 4 desa (Jermun, Riding, Rambai dan Perigi Talang Nangko) melakukan pengrusakan dan pembakaran basecamp milik PT Persada Sawit Mas (PT PSM) setelah upaya warga dari proses dialog sampai demontrasi berulang kali tak mendapat tanggapan dari pemerintah dan legislatif propinsi dan kabupaten, apalagi dari pihak PT PSM. Polisipun bergerak cepat melakukan penyidikan atas kasus pemkabaran tersebut. Dalam waktu singkat polisi menetapkan 16 orang menjadi tersangka dan menetapkan 5 orang penduduk dalam daftar pencarian orang (DPO) karena melarikan diri setelah ikut dalam pembakaran basecamp tersebut.
Kriminalisasi, Masyarakat Desa Pergulaan Sumatera Utara dikriminalisasikan oleh PT. Lonsum Tbk.
Pada minggu pertama juni 2006, Pengadilan Negeri Kayu Agung menggelar sidang perdana dalam kasus pembakaran basecamp PT PSM itu. Dari 16 orang yang dijadikan terkdakwa, Diman bin Bursa tidak dapat melanjutkan persidangan karena meninggal di tahanan. Dalam keterangan resminya, kepala LP Tanjung Raja Kayu Agung mengatakan bahwa Diman meninggal akibat diare yang dideritanya. Kepala LP tersebut juga memberikan beberapa berkas kepada keluarga terdakwa untuk menguatkan pernyataannya. Akhirnya pada akhir tahun 2006, pengadilan negeri Kayu Agung menjatuhkan vonis bersalah kepada 15 terdakwa dengan hukuman penjara yang variatif antara 6 bulan sampai 1,5 tahun penjara. Para terpidana tadi menyatakan banding. Persoalan yang dihadapi masyarakat desa Semunying Jaya, kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, terkait dengan modus operandi kedua perusahaan sawit. Maret 2005, PT Ledo Lestari (PT LL) merusak 9.000 ha hutan alam yang diklaim masyarakat sebagai hutan adat Dayak Iban. Merasa haknya dirampas, warga lokal menahan alat-alat berat PT LL. Merasa dirugikan dan terancam keberlanjutan operasional di wilayah tersebut, PT LL melapor-kan perbuatan warga ke polres Bengkayang. Akibat laporan tadi, kepala desa dan ketua Badan Permusyawaratan Desa Semunying Jaya, Momunus dan Jamaludin, sempat dijadikan tersangka dan menginap beberapa hari di sel tahanan polisi resort (polres) Bengkayang. Meski kemudian dilepaskan, kasus pengrusakan hutan alam tadi tidak pernah diselidiki oleh pihak kepolisian. Bahkan di awal tahun 2007, PT Ledo Lestari kembali melakukan pembersihan lahan secara massive di wilayah desa Semunying Jaya. Kali ini tak ada warga yang berani menahan alat-alat berat perusahaan karena takut akan diperiksa dan ditahan aparat kepolisian. Modus yang sama digunakan PT Wilmar Grup di 6 kecamatan di kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Disinyalir pembukaan kebun sawit di kabupaten ini merupakan bagian dari rencana pemerintah untuk membuka kawasan perbatasan IndonesiaMalaysia sepanjang 850 km dengan luas kebun sawit seluas 1,8 juta ha. Vol. 1 Tahun 7, 2007
Tanpa melakukan pembicaraan dengan masyarakat lokal, alatalat berat PT Wilmar Grup merusak 350 ha hutan adat masyarakat desa Senujuh, kecamatan Sejangkung. Tak cukup di situ saja, perusahaan ini juga menghancurkan hutan adat masyarakat desa Galing, Tempapan Hulu, Tempapan Kuala dan Trigading di Kecamatan Galing. Ekspansi masih dilanjutkan dengan cara yang sama ke desa Kuala Pangkalan Keramat dan desa Mustika di kecamatan Teluk Keramat. Juga di desa Mentibar, kecamatan Paloh. Patut dicatat bahwa beberapa desa yang hutan adatnya dirusak oleh PT WILMAR GRUP (PT WG) merupakan desa-desa yang tidak tercantum dalam ijin lokasi perusahaan yang dikeluarkan oleh bupati Sambas pada bulan Maret-April 2006. Anehnya meski ijin lokasi baru dikeluarkan pihak pemerintah kabupaten pada awal tahun 2006, ternyata aktifitas land clearing telah dilakukan oleh perusahaan sejak pertengah-an tahun 2005. Sawit Watch yang melakukan investigasi ke daerah ini pada awal Agustus 2006 dan Februari 2007, sedikitnya mendapati 5.000 ha hutan adat dibersihkan oleh PT Wilmar dengan cara membakar lahan. Bahkan PT WILMAR juga melakukan pembakaran lahan gambut yang kedalamannya mencapai 2-3 meter demi membangun kebun. Melalui 3 anak perusahaannya yaitu PT Wilmar Sambas Plantation (PT WSP), PT Buluh Cawang Plantation (PT BCP) dan PT Agronusa Investama (PT ANI). Salah satu titik api yang ditemukan saat bencana asap menimpa Indonesia terdapat di di desa Sentimok, kecamatan Subah. Di tempat ini PT Agronusa Investama telah mendirikan pabrik CPO di atas lahan masih terlihat sisa-sisa arang bekas pembakaran. Juga secara kasat mata mudah ditemukan pipa-pipa besar saluran pembuangan limbah dari pabrik langsung mengarah ke sungai Subah. Meski mendapat perlawanan dari masyarakat dan kerap diberitakan dalam koran lokal, awalnya pemerintah kabupaten Sambas tampaknya memilih bungkam terkait dengan persoalan yang ditimbulkan PT WILMAR. Akan tetapi akibat maraknya penolakan dari warga lokal, pada 13 Februari 2007, diadakan
17 Perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan sengaja melakukan pembakaran lahan
unsur PPNS-LH BAPEDALDA, Dinas Perkebunan, Dina Kehutanan dan unsur dari POLDA Kalbar dengan mengikutsertakan saksi ahli BR.IR. BAMBANG HERO SAHARJO, M.AGR dari laboratorium kebakaran hutan dan lahan IPB, menyimpulkan, “setelah melakukan ground-checking dan sekaligus juga legal-sampling di lapangan disimpulkan bahwa PT WSP dan 10 perusahaan sawit lainnya di Kalimantan Barat secara sadar dan sengaja telah melakukan pembukaan lahan untuk pembangunan kebun sawit dengan cara membakar.” Bahkan BAPEDALDA KALBAR dengan tegas mengatakan, perijinan PT WSP bermasalah karena tidak memiliki AMDAL. Seruan pihak BAPEDALDA, masyarakat Sambas beserta LSM sosial dan Lingkungan di KALBAR hampir senada yakni PT WSP menghentikan operasinya di Sambas sampai persoalan perijinan terutama AMDAL, ganti rugi tanah dengan warga, dan pembakaran lahan serta persoalan limbah yang ditimbulkannya diselesaikan.
pertemuan antara warga yang lahan atau hutannya, PT WILMAR, DPRD SAMBAS, ORMAS dan tokoh masyarakat yang difasilitasi oleh pemerintah kabupaten Sambas. Namun masyarakat merasa tak puas dengan pertemuan itu karena tidak menghasilkan satu keputusan pun. Hal dikarenakan pihak pemkab cenderung berposisi sebagai pembela dan juru bicara PT WILMAR. Sungguh menggelikan ketika pertemuan berlangsung, tiba-tiba seorang petinggi di polres Sambas dengan tegas mengatakan bahwa pihak polres siap membela dan mendukung semua aktifitas PT WG. Di kabupaten Sambas PT WILMAR boleh merasa di atas angin, namun untuk tingkat provinsi saat ini salah satu anak perusahaannya yaitu PT WSP sedang menghadapi gugatan dari negara karena melakukan pembakaran lahan pada periode agustus-november 2006 di pengadilan negeri Singkawang. Dalam investigasi yang dilakukan oleh TIM YUSTISI PENANGANAN KASUS LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI KALBAR yang terdiri dari
Menanggapi tuntutan tersebut, salah seorang field manager PT WSP bernama Agus mengatakan, “ Kami sudah mengikuti semua prosedur perijinan. Bila ada beberapa desa di luar ijin lokasi yang kami peroleh terkena proses land clearing, hal itu diakibatkan oleh tidak adanya peta tentang batas-batas desa atau kecamatan yang jelas di Kabupaten Sambas ini.” Agus melanjutkan,”Pada tanggal 28 September 2006, pihak PT WILMAR melalui PT ANI telah mengirim surat resmi kepada Bupati Sambas agar membantu penyelesaian sengketa lahan antara PT WILMAR GRUP dan masyarakat lokal yang muncul akibat batas-batas desa yang tak jelas. Bahkan kami meminta pemkab Sambas untuk melakukan pemetaan agar batas administratif satu desa atau kecamatan dengan desa atau kecamatan lainnya bisa jelas. Namun sampai saat ini surat itu tak berbalas.” Terhadap penolakan warga atas kehadiran PT WILMAR di wilayah desanya, dengan enteng Agus menjawab, “Kami tidak akan memaksakan jika warga tidak mau.” Namun dia juga mengingatkan agar keputusan tersebut tidak disesali dikemudian hari. “ Jika nanti ada warga lain yang bersedia menjadi petani plasma kami dan berhasil dalam beberapa tahun ke depan, janganlah menyalahkan PT WILMAR. Jadi harap dikaji dulu plusminusnya,” ujar Agus. (Pontianak Post, Rabu 14 Februari 2007). Pertanyaan yang muncul dari pernyataan Agus tadi adalah apakah PT WILMAR GRUP ada mengalokasikan kebun sawitnya untuk petani plasma? Catatan: 1 Dari 11 nama-nama perusahaan perkebunan sawit yang dinyatakan melakukan pembersihan untuk membangun kebun sawit di Kalimantan Barat, 3 perusahaan merupakan anak perusahaan PT WILMAR TBK. 2 PT WILMAR menguasai hampir 20% dari total luas lahan yang terdapat di kabupaten Sambas. Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch
18
PERNYATAAN SIKAP MASYARAKAT ADAT DESA TAJUK KAYONG MENIMBANG: 1. Bahwa bagi masyarakat Adat Desa Tajuk Kayong Ke.Nanga Tayap,Kab.Ketapang keberadaan tanah jelas tidak hanya berfungsi ekonomis,tetapi juga memiliki fungsi sosial,budaya,dan bahkan memiliki kepercayaan /natural. 2. Bahwa bagi masyarakat Adat Desa Tajuk Kayong,Ke.Nanga Tayap Kab. Ketapang,Tanah bukan hanyamerupakan tempat untuk mempertahankan hidup semata,tetapi kepada tanah itulah masyarakat adat juga terikat.Tanah merupakan acuan dasar bagi masyarakat. Adat untuk berurat berakar dalam menemukan makna dan tujuan hidup. 3. Bahwa tanah bagi masyarakat Adat Desa Tajuk Kayong Kec.Nanga Tayap. Kab.Ketapang,penting karena faktanya yaitu suatu kenyataan merupakan tempat tinggal persekutuan memberikan penghidupan,merupakan tempat para leluhur persekutuan. BERPENDAPAT: 1. Berhubungan apa yang menjadipertimbangan-pertimbangan tersebut diatas perlu adanya pengakuan dan penghormatan identitas budaya dan hak ulayat (UUD !($% Pasal.18 ayat 2,Pasal 28 ayat I ayat 3,UU No.39 Tahun 1999 pasal 6,UU No.18 Tahun 2004 Pasal 9 ayat 2) 2. Bahwa Perlu adanya pengakuan,penghormatan,perlindungan secara kongkrit terhadap hak-hak Masyarakat adapt atas sumber daya Agraria/sumber daya alam (Tap MPR No.IX/2001 Pasal 4 Hurup I). 3. Bahwa perlu adanya pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan Masyarakat adapt berserta hak Tradisionalnya(UU.No.32 Tahun 2004 Pasal 2 ayat 9) MEMPERHATIKAN: 1. Hasil rapat Desa Tajuk Kayong pada tanggal 10 Januari 2007 2. Hasil diskusi Kelompok pada tanggal 12 Januari 2007. MEMUTUSKAN: “MENOLAK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN POLA APAPUN DI WILAYAH DESA KAYONG KARENA SECARA EKONOMI,SOSIAL DAN EKOLOGIS SANGAT MERUGIKAN MASYARAKAT ADAT.” Demikian pernyataan Sikap ini kami buat dengan sebenar-benarnya. Tajuk Kayong,13 Januari 2007 Ketua
Sekretaris
(Sumarlin)
(Asdian Pasti)
Tembusan: 1. Kepala Desa Tajuk Kayong 2. Camat Nanga Tayap 3. Bappeda Kabupaten Ketapang 4. AMA Kal-Bar 5. Walhi Kal-Bar 6. Sawit Watch
Vol. 1 Tahun 7, 2007
Bendahara
(Jalianto)
19
MASYARAKAT ADAT DANAU SEMBULUH: PERJUANGAN EKSISTENSI DIRI DITENGAH EKSPANSI PERKEBUNAN SAWIT (RIO ROMPAS, relawan Sawit Watch) Danau sembuluh yang terdapat di kabupaten Seruyan, di Kalimantan Tengah, merupakan tempat bermuaranya sungaisungai besar dan kecil seperti Kupang, Rungau, dan Ramania. Di tepian danah yang luasnya mencapai 2.424 km2 tersebut, terdapat beberapa desa, yaitu Sembuluh I, Sembuluh II, Bangkal dan Terawan. Kawasan danau Sembuluh dan desa-desa yang mengelilingnya, termasuk salah satu daerah terpencil dan tertinggal di provinsi Kalimantan Tengah. Perjalanan dari kota Palangkaraya, ibukota Kalimantan Tengah, ke danau Sembuluh bisa ditempuh dengan jalan darat sejauh 240 km menuju kota Sampi. Kemudian dilanjutkan ke Desa Bangkal sejauh 80 km lagi. Dari Desa Bangkal, Danau Sembuluh bisa dicapai dengan kapal motor sekitar 20 menit. Tipekal masyarakat Sembuluh adalah masyrakat tradisionil yang masih kuat memegang hukum adat. Keadaan itu membuat tokoh masyarakat seperti; panglima, ulama atau tetuha kampung masih sangat dominan untuk menyelesaikan persoalan masyarakat. Secara ekonomi, warga Sembuluh banyak bergantung dari sumber daya alam yang ada di sekitarnya. Sejak jama dulu, penduduk sekitar danau Sembuluh terkenal sebagai pembuat kapal-kapal kayu yang pemesannya banyak datang dari berbagai tempat salah satunya dari Jawa. Kapal yang sudah dibuat dikirim lewat Sungai Seruyan menuju muara Kuala Pembuang, di pantai selatan Kalimantan. Namun, saat ini kayu-kayu besi bahan baku pembuatan kapal semakin langka akibat penggundulan hutan, terutama kayu ulin, keahlian membuat kapan ini sudah mulai langka. Selain menjadi pembuat kapal, sebagian warga lain menjadi nelayan pencari ikan dan peladang. Saat ini mata pencaharian utama masyarakat adalah bertani. Dalam mengelola lahan, masyarakat Seruyan selalu mengikuti tradisi lokal yang sarat dengan nilai-nilai kearifan–kearifan lokal yang sudah diterapkan secara turun temurun. Saat berladang atau berhuma digunakan pola berladang gilir balik dimana satu daerah yang telah diladangi masyarakat akan ditinggal beberapa waktu tertentu, kemudian meninggalkannya untuk membuka lahan baru. Setelah ladang yang pertama dibuka tadi telah subur kembali, maka si petani akan pulang ke lahan itu untuk menerukan pertaniannya. Demikilanlah lahan-lahan itu dipakai secara bergiliran. Dalam setiap kegiatan berladang, masyarakat melakukan upacara atau ritual adat untuk memohon Penguasa Jagad memberikan kesuburan tanah dan menjauhkan masyarakat dari bencana alam. Ini
menunjukkan bahwa masyarakat seruan sangat dekat pada alam dan mempunyai semangat pelestarian alam. Di samping bertani dan berladang, masyarakat Sembuluh juga secara turun-temurun mencari ikan di Danau Sembuluh, yang merupakan danau terbesar di Kalimantan Tengah. Mereka pun menggunakan alat-alat tangkap tradisional yang ramah lingkungan: rengge, tamba, tampirai, bubu (lukah), takalak, lunta, kalang, pancing, dan rempa. Namun semua kegiatan produksi masyarakat tradisonal tadi mengamali perubahan besar bersamaan dengan masuknya investasi perkebunan besar kelapa sawit pada 1994. Wilayah tempat masyarakat berladang dan berburu serta tanah-tanah adat milik masyarakat di Sembuluh mulai terdesak. Ladangladang milik masyarakat digusur tanpa ganti rugi dengan intimidasi oleh pihak aparat. Hutan masyarakat adat yang dikeramatkan dan tempat pengambilan kayu-kayu besi bagi keperluan rumapembangunan rumah juga pembuatan kapal dikonvesri menjadi kebun sawit. Hingga kini ada lima perkebunan besar yang mengelilingi dan mengepung kawasan itu yaitu Agro Indomas (12.104 ha), Salonok Ladang Mas (12.750 ha), Kerry Sawit Indonesia (19.202 ha) Sawit Mas Nugraha Perdana (12.750 ha), dan Rungau Alam Subur (6.725 ha).
Hadirnya perkebunan kelapa sawit juga telah menyebabkan munculnya hama belalang yang menyerang tanaman penduduk. Hal ini membuat penduduk tidak suka lagi berladang, dan menyebabkan mereka sulit untuk mengklaim wilayah kelola mereka yang sudah turun-temurun mereka manfaatkan. Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch
20 Yang paling menyedihkan, masuknya perkebunan sawit ke wilayah Danau Sembuluh memunculkan sengketa kepemilihan lahan di kalangan masyarakat. Masyarakat Sembuluh sejak dahulu tidak mengenal adanya surat kepemilikan lahan atau pengakuan dari negara. Di dalam masyarakat, suatu kepemilikan lahan hanya ditandai dengan adanya kebun buah-buahan yang dahulunya merupakan bekas berladang. Lokasi bekas ladang yang produktif dan dijadikan kebun dipelihara dengan baik. Sedangkan apabila bekas ladang tersebut tidak dikelola atau dijadikan kebun atau dibiarkan menjadi hutan, maka semua orang boleh memanfaatkan lokasi tersebut secara bersama. Saat ini pola-pola kepemilikan tradisional itu sudah hampir hilang seiring dengan adanya perkebunan kelapa sawit. Masyarakat juga saling mengklaim tentang siapa yang pertama kali membuka untuk berladang atau berkebun, agar lahannya bisa dijual ke perkebunan. Perpecahan mereka juga mengarah kepada mendukung atau menolak kehadiran perkebunan. Perpecahan ini mudah dimaanfaatkan oleh perkebunan, yang berkahir dengan kerugian masyarakat sendiri. Lahan kelola masyarakat juga kian terdesak oleh adanya propaganda pemerintah yang menyudutkan masyarakat. Pemerintah mengatakan lahan-lahan kritis yang ada di sekitar danau tidak dimanfaatkan sehingga sebaiknya diberikan ijin dan HGU untuk perkebunan sawit. Padahal sesunguhnya kawasan tersebut bukan tidak dimanfaatkan oleh masyarakat, tetapi kawasan tersebut merupakan bekas ladang berpindah masyarakat yang akan dimanfaatkan kemudian hari hal tersebut di tandai dengan tumbuhan dan bekas rumah yang ditinggalkan. Menanggapi propaganda pemerintah masyarakat dituntut untuk membuktikan diri bahwa lahan-lahan kritis tadi mampu dimanfaatkan dengan menanam tumbuhantumbuhan produktif dan bermanfaat secara ekonomis. Berangkat dari propaganda tadi, masyarakat mulai mengorganisir diri untuk mengelola wilayahnya terutama hutan-hutan yang menjadi sumber penghidupan masyarakat. Dalam menuntut haknya yang dirampas perkebunan kelapa sawit, masayarakat dibantu Yayasan Tahanjung Tarung dan Walhi Kalimantan Tengah. dari proses pendampingan dengan kedua LSM di atas, masyarakat membentuk Organisasi Rakyat Komunitas Pengelola Kawasan (KOMPAK) Sembuluh.
masyarakat untuk menguasai lahan serta untuk mencegah ekspansi perkebunan sawit. Salah satu cara untuk menguasai lahan adalah dengan menanam tanaman budidaya yang memiliki nilai ekonomi memadai. Para petani Kompak Sembuluh memilih tanaman nilam, karet serta buah-buahan untuk bisa ditanam di wilayah kelola mereka. Nilam lebih dipilih ketimbang karet karena umurnya jauh lebih pendek, bisa dipanen setelah enam bulan ditanam. Minyak nilam (patchouly oil) merupakan salah satu minyak atsiri yang banyak diperlukan untuk bahan industri parfum dan kosmetik melalui proses penyulingan daun tanaman nilam (pogestemon patchouly). Bahkan minyak nilam dapat pula dibuat menjadi minyak rambut dan saus tembakau. Menurut Soeprapto M. Sadjito, Wakil Direktur International Flavors & Fragrances – Far East, sebuah perusahaan importir minyak asiri, dunia membutuhkan minyak nilam sebanyak 200-250 ton per tahun dengan peningkatan sekitar 5% per tahun. Ini merupakan peluang besar, namun sayang belum banyak dibudidayakan. Minyak atsiri nilam di pasaran internasional cukup menjanjikan. Saat ini Indonesia rata-rata memasok ke pasar internasional sekitar 1.000 ton per tahun, sekitar 70%-nya berasal dari Sumatera dan sisanya dipasok dari Jawa dan Kalimantan.
Pada 2002, Walhi Kalteng mulai menyadarkan masyarakat akan ancaman yang mereka hadapi dan membantu mereka merumuskan langkah untuk menghadapinya. Walhi juga membantu masyarakat membentuk kelompok pengelola kawasan bernama Kompak Sembuluh.
Menurut Direktur PT. Indaro Utama, perusahaannya setiap tahunnya mengekspor 20-30 ton minyak nilam, kebutuhan akan minyak nilam dunia itu hampir tanpa batas. Namun, mutu minyak nilam dari Indonesia umumnya masih rendah. Kualitas minyak nilam lokal masih rendah sehingga industri Indonesia sendiri bahkan harus mendatangkannya dari luar.
Pada 2005, bersama Sawit Watch, Walhi membuat program Reforestasi dan pemanfaatan Lahan Kritis untuk mempertegas kawasan kelola rakyat di Sembuluh. Program ini bertujuan memberikan ruang dan kesempatan bagi
Minyak atsiri Indonesia dieskpor terutama ke Amerika Serikat, Jerman Barat, Belanda, Prancis, Inggris, Swiss, India dan Pakistan. Minyak nilam Indonesia ini bersaing minyak nilam RRC.
Vol. 1 Tahun 7, 2007
21 Meski pasarnya baik, harga minyak nilam bmerosot dalam beberapat tahun terakhir. Kini hanya sekitar Rp 135.000 per kg, setelah sebelumnya sempat mencapai Rp 750.000 per kg. Secara umum tanaman nilam dapat dibudidayakan dari dataran rendah hingga tinggi sampai ketinggian 2.200 m di atas permukaan laut. Namun, agar menghasilkan rendemen minyak tinggi sebaiknya nilam ditanam pada ketinggian 10-500 m dari permukaan laut. Pengolahan lahan nilam dapat dimulai satu-dua bulan sebelum ditanam dengan pencangkulan tanah sedalam 30 cm. Pencangkulan bertujuan mendapatkan kondisi tanah yang gembur dan rendah, serta membersihkan tumbuhan pengganggu (gulma). Setelah tanah dicangkul, bedengan-bedengan dibuat untuk ditanami nilam. Ukuran bedengan tinggi 20-30 cm, lebar 11,5 meter dan panjang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Jarak antar bedengan berkisar antara 40-50 cm untuk memudahkan perawatan. Tanah bedengan dibiarkan seminggu dan kemudian dicangkul untuk meremahkan tanah yang sekaligus dapat dilakukan pemberian pupuk organik (pupuk kandang) yang sudah dimatangkan. Di samping umurnya pendek, nilam mudah ditanam, sehingga petani bisa mandiri melakukannya, dan tidak membutuhkan lahan yang luas sehingga tidak memakan ruang dan merusak hutan. Kini program tersebut telah berumur satu tahun setengah. Ada beberapa manfaat yang diterima masyarakat. Program ini telah mendorong perubahan kebijakan pemerintah atas model pengelolaan lahan masyarakat yang selama ini diklaim sebagai lahan tidur. Penghutanan kembali melalui penanaman tanaman produktif juga menghasilkan alternatif pendapatan baru yang dapat membantu ekonomi masyarakat. Secara ekologis dan upaya penyelamatan lingkungan, progam ini mengurangi beban danau dan hutan dari ancaman kerusakan. Program ini dilakukan secara partisipatif. Anggota masyarakat sendirilah yang langsung memilih calon penerima program. Penerima program ini sekitar 80 orang, tetapi yang mengikuti program khusus nilam hanya 43 orang. Masing-masing petani nilam menyumbangkan lahannya seluas hektar. Artinya ada 21, 5 ha lahan masyarakat yang dijadikan kebun nilam. Selama proses berjalan juga ada beberapa capaian. Capain terpenting, masyarakat kini bisa mengklaim wilayah kelola seluas total 120 hektar, meliputi kebun nilam, buah-buahan dan lahan reforestrasi.
Proses partisipatif juga mendorong kebersamaan masyarakat dan semangat gotong royong. Keterlibatan masyarakat juga tidak sebatas pada orang penerima program saja, tapi semua keluarga dilibatkan dalam proses ini, termasuk perempuan dan anak-anak. Selain bertanam nilam, masyarakat yang mengikuti program reforestasi yang berjumlah 80 orang dengan menyediakan lahan seluas 2 ha untuk masing-masing kepala keluarga atau secara total mencapai 160 ha. Khusus untuk reforestasi ada kesepakan bahwa pihak Walhi menyumbangkan bibit unggul (karet dan durian) sedangkan masyarakat harus menyediakan bibit lokal secara swadaya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat dengan sukarela mendukung program dengan kesadaran dan kerelaan dan antusias yang tinggi. Sementara di tingkat penentu kebijakan, Pemerintah Daerah Kabupaten Seruyan ternyata mulai mendukung program ini dengan menyediakan satu mesin suling nilam. Dari segi ekonomi, masyarakat Sembuluh memperoleh tambahan pendapatan dan mampu mengembangkan usaha ekonomi lokal. Hasil reforestasi dengan tanaman produktif akan dinikmati dalam jangka panjang sedangkan perkebunan nilam sudah akan dapat dipetik hasilnya dalam jangka pendek. Sementara dari segi lingkungan, reforestasi memberikan kawasankawasan penyangga di sekitar Danau Sembuluh, untuk mencegah kerusakan danau, yang juga merupakan sumber ikan bagi masyarakat. Namun di balik cerita-cerita sukses diatas banyak kendalakandala yang dihadapi oleh masyarakat yaitu terutama dalam melakukan budidaya nilam. Masyarakat sendiri belum tahu bagaimana menanam nilam yang baik, bagaimana mengahadapi hama dan penyakit. Selain itu ada sebagaian masyarakat yang masih berpikiran praktis dan ingin cepat menghasilkan tanpa melaui proses, sehingga ada beberapa kebun yang ditinggalkan begitu saja tanpa dirawat dan banyak yang mati dan terkena virus. Bagaimanapun, program ini telah membuka pandangan masyarakat, bahwa apa yang dilakukan saat ini di daerah sekitar danau Sembuluh adalah kegiatan yang menunjukkan eksistensi masyarakat atas hak pengelolaan tanah adatnya. Sebuah perjuangan panjang demi pengakuan dan penghargaan atas kekayaan alam dan budaya Danau Sentarum. Media Informasi dan Komunikasi Perkumpulan Sawit Watch