BAB VIII PERAN MASYARAKAT ADAT SERTA IMPLIKASI KEBIJAKAN 8. 1. Masyarakat Adat Pada kawasan Pegunungan Cycloops Cagar alam Pegunungan Cycloops merupakan salah satu dari 30 kawasan konservasi yang berstatus cagar alam yang terdapat di Provinsi Papua (Conservation International. 2001). Kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi karena memiliki potensi sumberdaya alam terutama ketersediaan air dan keanekaragaman hayati. Kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops secara turun temurun telah dihuni oleh lima masyarakat adat besar yang mempunyai kaitan dengan hak ulayat kawasan ini, yaitu masyarakat adat Ormu dan masyarakat adat Tepera di bagian Utara dan masyarakat adat Mooi, masyarakat adat Sentani serta masyarakat adat Humbolt atau Numbay di bagian Selatan. Kehidupan masyarakat adat yang berada di kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops, tergantung pada kawasan tersebut. Pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat adat yang berada di kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops mempunyai kearifan atau cara sendiri yang sudah diwariskan secara turun temurun. Pemanfaatan sumberdaya alam dengan baik yang dilakukan oleh masyarakat adat, dapat dilihat pada proses kehidupan untuk pemenuhan kebutuhan hidup seperti hasil pertanian dan hasil hutan. Sebaliknya pola pemanfaatan yang dinilai kurang baik dan merusak lingkungan pada kawasan ini terjadi bila masyarakat adat kurang bijak dalam melakukan kegiatan di sekitar kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops, yang mengakibatkan kerusakan alam atau ekosistem seperti punahnya flora dan fauna, terjadinya penggundulan tanah atau krisis lahan, terjadinya longsor, banjir, pengendapan sedimen diperairan. Kearifan masyarakat adat perlu dikaji, karena banyak diantaranya yang mempunyai nilai implikasi positif, dalam kaitan dengan pelestarian sumberdaya alam. Pengetahuan akan gejala alam dari masyarakat adat yang berada di Kabupaten dan Kota Jayapura, tidak jauh berbeda jauh antar satu dengan yang lainnya. Seperti pola kepemimpinan tradisionalnya, sama dengan yang berlaku atau yang diterapkan oleh
122
suku-suku bangsa lainnya yang berada di sekitar kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops, yaitu sistem kepemimpinan yang dikenal dengan sebutan Ondoafi atau Kepala Suku. Juga pola pencaharian masyarakat setempat tidak banyak berbeda yaitu bercocok tanam dengan pola perladangan berpindah-pindah, meramu sagu, berburu dan menangkap ikan. Masyarakat adat pada kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops dalam pengenalan akan lingkungan fisik sangatlah dipengaruhi oleh aktivitas mereka dalam kaitannya dengan pemanfataan hutan, tanah dan air sebagai sumberdaya alam bagi kehidupan sehari-hari, seperti halnya pengenalan tanah menurut mereka dibagi berdasarkan jenis tanaman seperti tanah untuk berladang dan tanah khas untuk dusun sagu. Pada kawasan hutan tertentu, tidak dimanfaatkan untuk berladang, karena fungsi utamanya sebagai penyediaan kayu untuk bangunan serta kayu sebagai bahan bakar dan sumber kesegaran, disamping itu dinyatakan tertutup untuk kegiatan lainnya dengan alasan daerah tersebut mempunyai nilai religi yang berkaitan dengan kepercayaan dan asal-usul leluhurnya. Pengetahuan klasifikasi batu-batuan terutama berkaitan dengan jenis-jenis batu yang dipergunakan dalam proses pembuatan kapak batu. Masyarakat adat disana memiliki kepercayaan bahwa batu nomor satu disebut Jha4 merupakan bahan utama kapak batu, batu nomor dua atau disebut weri dipergunakan sebagai pemecahan dan penghalus batu kapak, batu nomor tiga atau tandere dipergunakan sebagai pengasah dan sekaligus memperlicin permukaan kapak batu. Pengetahuan masyarakat adat tentang air pun berdasarkan macam dan pemanfaatnya bagi masyarakat adat di kawasan ini, yakni air untuk minum, air untuk mandi dan cuci dan air sungai besar sebagai jalur perhubungan. Pengetahuan masyarakat tradisional atau adat mengenai tumbuhan sebagai bahan pangan, sebagai bahan obat-obatan, bahan papan dan kerajinan tangan, bahan tali temali dan anyaman, sebagai pelengkap upacara adat dan kegiatan sosial berasal dari usaha pertanian mereka sendiri seperti berkebun atau berladang, dan juga dapat mengambil langsung di hutan.
4
Sebutan Batu-batuan alami yang dibuat oleh Suku Ormu
123
Dalam pola pemanfaatan lahan masyarakat tradisional, hutan bukan sekedar tempat berlindung dan mencari makan, tetapi juga bermakna religi, dengan demikian berlaku aturan dan batasa-batasan dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di dalamnya serta menentukan status lingkungan tersebut. 8. 2. Peran Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Tumbuhan Sowang 1. Masyarakat adat Sentani Masyarakat adat Sentani adalah masyarakat yang sejak dahulu mendiami “Negeri Puyakha” yang berarti negeri air bersih atau danau. Secara adminitrasi Masyarakat adat Sentani terbagi menjadi tiga wilayah.Wilayah Sentani meliputi Sentani Timur atau biasanya disebut kampung Asei memiliki beberapa kampung kecil diantaranya Ayapo, Asei kecil, Waena dan Yoka. Wilayah Sentani Tengah atau biasanya disebut Kampung Ajau dan Ifar Besar yang meliputi Kampung Ifar Kecil, Siboiboi, Yabuai, Sereh, Puyoh Besar, Puyoh Kecil, Ifar Babrongko dan Abar. Wilayah Sentani Barat atau biasanya disebut Kampung Yonokom dan Kwadeware terdiri dari Kampung Doyo, Sosirih, Yakonde dan Dondai. Sosial budaya adatistiadat Sentani yang dijunjung tinggi adalah gotong-royong atau dalam bahasa Sentani disebut “ Dokabijee” (baca- rokabijee) (Ansaka D. 2006). Pola pemanfaatan Tumbuhan Sowang, bagi masyarakat adat Sentani, selalu memegang teguh aturan dan larangan yang telah dibuat oleh orang tua atau para leluhur, misalnya Tumbuhan Sowang yang digunakan untuk pembangunan rumah. Tumbuhan Sowang dimanfaatkan secara turun temurun karena mereka beranggapan bahwa segala sesuatu yang dimiliki oleh orang tua bisa turun kepada anak-anaknya. Pembangunan rumah, membuka kebun baru, pembuatan perahu, pembayaran maskawin biasanya selain harta benda yang digunakan secara adat dan secara kekeluargaan ataupun dilakukan secara gotong royong. Masyarakat adat Sentani tinggal dan menetap di pinggiran danau Sentani dengan membangun pemukiman di atas air atau yang disebut rumah panggung di atas air. Rumah-rumah ini menggunakan bahan dasar Tumbuhan Sowang sebagai tonggak utama dari rumah. Tumbuhan Sowang diketahui sebagai kayu yang sangat kuat dan
124
dapat digunakan sebagai tiang penyangga rumah panggung yang dibangun di atas air dalam jangka waktu yang panjang. Rumah yang dibangun diatas air dengan menggunakan Tumbuhan Sowang ini memiliki umur bangunan mencapai 100 tahun atau dapat bertahan hingga 3 – 4 keturunan. Dahulu pola pemukiman dibangun dalam bentuk bangsal panjang, kemudian dibatasi dengan tungku api. Jumlah kepala keluarga yang menempati rumah panjang adalah lima sampai sepuluh kepala keluarga. Selain digunakan untuk membangun rumah tinggal, Tumbuhan Sowang juga digunakan untuk membangun juga rumah adat atau disebut “Obhee”, dan “Khombo” yaitu rumah pusat pendidikan bagi kaum pria. Bagi kaum pria yang berusia lima belas tahun diwajibkan masuk dan tinggal untuk mengikuti pendidikan, karena di rumah pemujaan atau “Khombo” diajarkan tentang kehidupan bertani, keturunan dan warisan dari para leluhur.
Gambar 31. Rumah masyarakat Sentani
Sistem pemerintahan masyarakat adat Sentani adalah Sistem pemerintahan Ondoafi, yang dapat digolongkan dalam sistem pemerintahan patrimony, yakni sistem kepemimpinan berdasarkan keturunan. Bentuk sistem pemerintahan Ondoafi dapat dilihat pada gambar berikut ini.
125
Abu Along
Ondoafi
Khose I
Khose II
Khose III
Khose IV
Khose V
Rakyat Gambar 32. Sistem Pemerintahan Ondoafi Suku Sentani Dari gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa khose, merupakan cabang klien. Adapun fungsi dan tugas dari struktur kepemerintahan keondoafian dapat dilihat pada tabel 29 berikut. Tabel 29. Struktur Pemerintahan Adat Sentani Struktur Pemerintahan
Fungsi
Ondoafi ( Khose)
Sebagai Panglima Perang, Keamanan dan Medis
Khose bidang perekonomian
Pembantu Ondoafi
Tugas Menjaga dan melindungi teritorial atau hak ulayat (termasuk sumberdaya alam). Merebut wilayah baru dengan cara berperang. Mensejahterakan rakyat (memberkati setiap usaha rakyat kampung baik berkebun, nelayan, maupun berburu. Memberi pelayanan pengobatan saat perang, atau sakit selain penyakit. Menentukan atau menetapkan menebang pohon, menetapkan musim bercocok tanam, musim menangkap ikan, musim berburu Mengeluarkan larangan yang berhubungan dengan penebangan pohon, bercocok tanam, menangkap ikan, dan berburu. Menyediakan keperluan pesta adat yang berhubungan dengan konsumsi.
126
Khose bidang Perencanaan dan Pemukiman
Khose bidang Kependudukan
Khose bidang Intelejen
Pembantu Ondoafi
Pembantu Ondoafi
Pembantu Ondoafi
Merencanakan pembangunan rumah baik rumah adat “ Obhee”, rumah Ondoafi dan rumah khose dengan memakai kayu Sowang dengan melihat umur dari kayu tersebut. Menentukan dimana sebaiknya rumah tersebut dibangun, menentukan lokasi berkebun dan berburu. Menyediakan harta atau kekayaan untuk pembayaran maskawin. Mengatur pertambahan dan pengurangan jumlah penduduk (baik laki-laki maupun perempuan). Mengatur dan memindahkan penduduk yang masuk pada hak ulayat atau kampung. Mengamati dan menyampaikan berita kepada Ondoafi maupun rakyat. Berita yang bersifat rahasia hanya diketahui oleh Ondoafi dan orang-orang tertentu dengan persetujuan Ondoafi, sedangkan berita yang bersifat tidak rahasia, misalnya pesta adat, penobatan Ondoafi dapat diketahui oleh rakyat. Penyampaian berita rahasia dirumah kediaman Ondoafi sedangkan berita yang bersifat umum di sampaikan dirumah adat atau obhee.
Tabel di atas menunjukkan bahwa dalam menjalankan roda pemerintahan adat, Ondoafi diangkat dan dilantik oleh “Abu Along atau tua-tua kampung”. Kedudukan Ondoafi sewaktu-waktu dapat berperan sebagai “Khoselo” atau cabang klein, hal ini dilihat dari tugas yang akan dijalankan Abu Along sebagai Khoselo. Pendelegasian tugas oleh Ondoafi kepada seorang Khoselo harus melalui “pesuruh” atau yang bekerja hanya untuk Ondoafi, dan pendelegasian itu disahkan dengan pemberian “Ebha (Gelang Kaca) dan Roboni (manik-manik)”. Khoselo wajib memberikan
127
masukan dan saran kepada Ondoafi jika dalam situasi tertentu, sehingga dalam pengambilan keputusan bermanfaat untuk kepentingan umum. Perencanaan kegiatan dan pendelegasian tugas yang bersifat umum dilaksanakan di “Obhee atau Para-Para adat”. Dalam pemanfaatan Tumbuhan Sowang, biasanya masyarakat yang hendak menebang atau mengambil Tumbuhan Sowang dari dalam hutan tertentu harus menyerahkan beberapa harta miliknya sebagai alat pertukaran untuk Tumbuhan Sowang tersebut. Tradisi ini dilakukan dan diketahui oleh Ondoafi maupun Khose yang memiliki tugas, dan masyarakat banyak menggunakan batu-batuan atau manikmanik yang merupakan harta dari setiap masyarakat tersebut untuk ditukarkan dengan beberapa potong Tumbuhan Sowang yang akan digunakan.
Gambar 33. Harta Masyarakat Sentani dan Ondoafi Sentani Barat Sistem pemerintahan masyarakat adat tidak terikat pada sistem pemerintahan distrik atau kampung. Pemerintah distrik dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan, mengadakan kontak relasi yang hanya merupakan garis koordinasi. Program pemerintah yang berhubungan dengan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam, yang berada pada satu wilayah adat harus sepengetahuan Ondoafi, untuk memperoleh perizinan. Seperti dalam pembangunan daerah, apabila daerah tersebut masuk dalam kawasan teritorial dari Ondoafi maka pemerintah setempat harus melakukan pelepasan hak ulayat berupa ganti rugi. Ondoafi melakukan rapat
128
tertutup dengan tua-tua adat dan bawahannya (Khosee) untuk menentukan berapa besar harga dari pelepasan hak ulayat tersebut. Hal ini juga berlaku dalam pengelolaan sumberdaya alam di daerah sekitar kawasan tempat tinggal Ondoafi, termasuk dalam pengambilan Tumbuhan Sowang. Menurut masyarakat adat Sentani Tumbuhan Sowang merupakan harta dan menjadi tumbuhan yang diwariskan untuk keturunan mereka sehingga kelestarian dari Tumbuhan Sowang ini tetap terjaga. Selain itu, hukum masyarakat adat Sentani juga berlaku kepada siapa pun yang tertangkap menebang Tumbuhan Sowang tanpa ijin Ondoafi. 2. Masyarakat adat Mooi Masyarakat adat Mooi adalah masyarakat yang sejak dahulu mendiami hutan, yang berada di lembah Pegunungan Cycloops. Hasil wawancara dengan kepala Distrik Maribu menyatakan bahwa sebelum adanya pemekaran wilayah Kabupaten dan Distrik, masyarakat adat Mooi disatukan dengan masyarakat adat Sentani. Setelah pemekaran wilayah, diketahui bahwa masyarakat adat Mooi berbeda dengan masyarakat adat Sentani, hal ini dilatar belakangi oleh bahasa yang berbeda. Bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari adalah bahasa yang hampir sama dengan bahasa Genyem5. Masyarakat suku Mooi menyebar dan menetap di empat kampung yaitu Kampung Dosay (nama asli Duse), Kampung Sabron, Kampung Waibron dan Kampung Maribu. Kehidupan sosial budaya masyarakat adat Mooi yang dijunjung tinggi sama dengan masyarakat adat Sentani yaitu gotong-royong, dalam membangun rumah, membuka lahan perkebunan, berburu dan sebagainya. Pemukiman masyarakat adat Mooi, sebagian besar masih menggunakan Tumbuhan Sowang sebagai tiang rumah. Tumbuhan Sowang disebut dengan bahasa Mooi yaitu Kayu Son “Kayu Keras”. Dari hasil wawancara dengan ketua kampung, diperoleh informasi bahwa dahulu masyarakat adat Mooi memiliki masyarakat adat asli yang disebut masyarakat adat Boi. Akan tetapi sampai saat ini masyarakat adat Boi telah punah, sementara mereka tidak memiliki ahli waris (tidak ada keturunan), sehingga tongkat kepemimpinan 5
Genyem adalah suatu Distrik yang berada di daerah selatan di Kabupaten Jayapura
129
dilanjutkan oleh masyarakat adat pendatang artinya masyarakat adat yang menempati daerah tertentu karena menang perang. Sistem pemerintahan adat masyarakat Mooi termasuk sistem pemerintahan patrimony, sistem kepemimpinan berdasarkan keturunan. Dari hasil penelitian diketahui dari para tua-tua adat, bahwa pemimpin adat dipimpin oleh seorang Done dengan dibantu oleh “Yarlu-yarlu”. Pada sistem pemerintahan ini, jumlah Yarlu-yarlu sebanyak lima orang tetapi dalam melaksanakan tugas, tetapi yang berperan hanya tiga orang Yarlu-yarlu, hal ini disebabkan kedua Yarlu-yarlu lainnya telah punah karena tidak ada keturunan, sehingga pendelegasian tugas sering kali dirangkap oleh ketiga Yarlu-yarlu yang ada. Sebagai penghormatan kepada Yarlu-yarlu yang telah punah, maka tetap dicantumkan kelima Yarlu-yarlu dalam struktur adat.
Tua-tua Kampung
Done
Yarlu I
Yarlu II
Yarlu III
Yarlu IV
Yarlu V
Rakyat Gambar 34. Sistem Pemerintahan Keondoafian Suku Mooi Pengangkatan Done, kedudukan sebagai Yarlu-yarlu dan pendelegasian tugas yang bersifat umum dilaksanakan di “Para-Para adat”. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagai kepala suku Mooi, seorang Done dibantu oleh Yarlu-yarlu yang mempunyai fungsi dan tugas yang dapat dilihat pada tabel berikut:
130
Tabel 30. Struktur Pemerintahan Adat Suku Mooi Struktur Pemerintahan
Fungsi
Done ( Yarlu-yarlu)
Sebagai Panglima Perang, Keamanan dan Medis
Yarlu-yarlu bidang perekonomian
Pembantu Done
Yarlu bidang Perencanaan dan Pemukiman
Pembantu Done
Yarlu bidang Kependudukan
Pembantu Done
Yarlu bidang Intelejen
Pembantu Done
Tugas Menjaga dan melindungi teritorial atau hak ulayat (termasuk sumberdaya alam). Merebut wilayah baru dengan cara berperang. Mensejahterakan rakyat (setiap usaha rakyat kampung baik berkebun, nelayan, maupun berburu. Memberi pelayanan pengobatan saat perang, atau sakit selain penyakit. Menentukan atau menetapkan menebang pohon, menetapkan musim bercocok tanam, musim menangkap ikan, musim berburu Mengeluarkan larangan yang berhubungan dengan menebang pohon, bercocok tanam, menangkap ikan, dan berburu. Menyediakan keperluaan pesta adat yang berhubungan dengan konsumsi. Merencanakan pembangunan rumah baik rumah adat “ Para-para adat”, rumah Done dan rumah yarlu dengan memakai kayu Sowang dengan melihat umur dari kayu tersebut. Menentukan dimana sebaiknya rumah tersebut dibangun, menentukan lokasi berkebun dan berburu. Menyediakan harta atau kekayaan untuk pembayaran maskawin. Mengatur pertambahan dan pengurangan jumlah penduduk (baik laki-laki maupun perempuan). Mengatur dan memindahkan penduduk yang masuk pada hak ulayat atau kampung. Mengamati dan menyampaikan berita kepada Done maupun rakyat. Berita yang bersifat rahasia hanya diketahui oleh Done dan orang-orang tertentu dengan persetujuan Done, sedangkan berita yang bersifat tidak rahasia, misalnya pesta adat, penobatan Done. Penyampaian berita rahasia dirumah kediaman Done sedangkan berita yang bersifat umum di sampaikan dirumah adat atau para-para adat.
131
Menurut hukum adat masyarakat Mooi, ada dua hal yang penting dalam mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakatnya yaitu “Dengar-dengar dan Takuttakut” artinya bahwa setiap orang yang banyak mendengar hal-hal yang bermanfaat dari leluhurnya dan takut melakukan hal-hal yang tidak benar maka ada kehidupan dan berkat baginya. Dalam wawancara lebih lanjut dengan pemimpin masyarakat adat Mooi, bagi masyarakat Mooi, Tumbuhan Sowang yang merupakan suatu tumbuhan yang hanya terdapat di kawasan Pegunungan Cycloops. Masyarakat adat Mooi sangat menjaga kelestarian hutan, karena menurut mereka, hutan pada Pegunungan Cycloops merupakan “Ibu Kandung” dari masyarakat adat Mooi. Kepercayaan masyarakat adat Mooi bahwa segala sesuatu yang terdapat di hutan Pegunungan Cycloops berupa air dan udara yang dirasakan dan dinikmati, merupakan hasil dan pemberian dari ibu Kandungnya, sehingga masyarakat adat Mooi menjaga dan melestarikan dari hutan di kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops dengan baik. 3. Masyarakat adat Numbay Masyarakat adat Numbay adalah masyarakat yang mendiami perairan laut dengan penggunaan bahasa yang sangat beragam. Secara administrasi masyarakat adat Numbay terbagi atas empat wilayah, yaitu Kampung Kaibatu yang mendiami Tanjung Kaibatu atau Tanjung Base G, Kampung Kaipulo yang mendiami pulau, Kampung Tobatji dan Enggros yang mendiami Teluk Yotefa dan Kampung Skow yang mendiami daerah perbatasan RI – PNG. Masing-masing kampung terdiri dari beberapa keret yang mengikuti garis keturunan (patrialineal). Dari hasil wawacara dengan tua-tua Kampung Kaibatu, mereka menyatakan bahwa, sebelum adanya perang, kelaparan melanda masyarakat karena masyarakat belum mengetahui cara menghasilkan sagu dan lain sebagainya. Jumlah keret yang berada di Kampung Kaibatu sebanyak enam belas keret, tetapi kelima belas keret lainnya telah punah, sehingga hanya tersisa 1 keret yang merupakan masyarakat adat asli Kampung Kaibatu yaitu Pui atau disebut “Tyahe”.
132
Dalam kehidupan sosial budaya masyarakat adat yang mendiami kawasan cagar alam Pegunungan Cycloop ini hampir sama satu dengan yang lain yaitu saling bergotong royong. Pemukiman masyarakat adat Numbay diatas air yang disebut “ rumah berlabuh”, biasa dibangun oleh masyarakat adat Numbay menggunakan kayu Sowang yang di sebut dengan kayu Kuat. Bagi masyarakat adat Numbay kayu ini sudah ada sejak dahulu, yang mana nenek moyang masyarakat adat Numbay menggunakannya untuk membangun rumah dan membangun “Para-Para adat”. Dalam proses pengambilan kayu Sowang dahulu, bisa dilakukan di sekitar kawasan pemukiman masyarakat adat Numbay, tetapi saat ini sebagian besar harus membeli dari masyarakat adat Ormu atau dari sanak saudara mereka yang masih mempunyai kayu Sowang. masyarakat adat Numbay biasanya membeli dari masyarakat adat Ormu dengan cara melakukan penukaran Batu-batuan (Tomako Batu) dan Piringpiring atau manik-manik. Masyarakat adat Numbay memiliki pola linear yaitu rumah dibangun sejajar dalam formasi dua deret yang saling berhadapan, dimana jembatan yang dibangun diantara dua deret ini merupakan suatu “ kontak-pandang” yang dimaksudkan untuk mudah mengenali orang. Selain Para-para adat, ada juga bangunan “Kariwari”. Bangunan Kariwari dibangun dengan tiang utamanya menggunakan Kayu Sowang, yang menurut masyarakat adat Numbay merupakan Simbol Kekuatan dari Kariwari tersebut. Kariwari sendiri berfungsi sebagai pusat pendidikan bagi kaum pria yang berusia lima belas tahun, hal ini merupakan kewajiban karena di tempat itulah diajarkan tetang kehidupan bertani, mempelajari keturunan, dan pembagian warisan dari setiap leluhurnya. Sehari-hari masyarakat adat Numbay meramu sagu dan melaut atau menangkap ikan untuk menunjang kelangsungan hidup mereka.
133
Gambar 35. Gambar Para-para adat masyarakat Numbay
Sistem pemerintahan masyarakat adat Numbay secara umum, dapat dikatakan sistem pemerintahan patrimony, dimana sistem kepemimpinan berdasarkan keturunan. Pengangkatan dan pelantikan Kepala Suku Kampung, yang disebut “Cheri”, dilakukan oleh “Citra Ghuri” (sebutan suku asli). Kedudukan Cheri sewaktu-waktu dapat berperan sebagai “Haru Kha-kha” atau cabang klein, hal ini dilihat dari tugas yang akan dijalankan sedangkan tua-tua kampung adalah Citra Ghuri. Tua-tua Kampung Cheri
Citra Ghuri
Cheri
Remtha Haru Kha-kha
Rakyat Gambar 36. Sistem Pemerintahan Keondoafian masyarakat Numbay 134
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagai kepala adat Numbay, seorang Cheri dibantu oleh Citra Ghuri, harus melalui seorang “pesuruh” atau yang bekerja hanya untuk Cheri. Penugasan ini disahkan dengan pemberian “manik-manik” (alat pembayaran berupa batu-batuan) yang mempunyai fungsi dan tugas yang dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 31. Struktur Pemerintahan Adat Suku Numbay Struktur Pemerintahan
Cheri
Citra Ghuri
Remtha Haru Kha-kha
Fungsi
Pemimpin Pemerintahan Adat
Sebagai Panglima Perang, Keamanan dan Medis
Menjaga dan menguasai laut
Tugas Mengatur dan menyelenggarakan aktivitas kehidupan Sosial, ekonomi dan religius atau keagamaan. Melindungi dan mengatur hakhak tanah. Menjaga dan melindungi wilayah teritorial atau hak ulayat ( termasuk sumberdaya alam) Merebut wilayah baru dengan cara berperang. Menentukan dimana sebaiknya rumah tersebut dibangun, menentukan lokasi mencari Ikan.
Bagi pemimpin pemerintahan adat dan masyarakat adat Numbay, keberadaan dan kelestarian hutan pada kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops, yang menjadi tempat untuk mencari makan dan kehidupan selain di laut, sangat dijaga. Karena dari hutanlah semua yang dibutuhkan untuk menunjang kelangsungan hidup manusia terdapat di dalamnya. Salah satunya yaitu Tumbuhan Sowang, bagi masyarakat adat Numbay Tumbuhan Sowang sangatlah penting bagi kehidupan masyarakat Numbay, karena apabila punah, dikhawatirkan keturunan masyarakat Numbay tidak dapat melihat jenis tumbuhan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Numbay yang banyak membuat tempat tinggal di atas air. Dalam menjaga keberadaan Tumbuhan Sowang, masyarakat adat Numbay mempunyai peraturan dan hukum. Apabila diketahui ada masyarakat adat yang menebang pohon dengan tidak memperkirakan keberlanjutannya maka akan dikenakan denda adat.
135
4. Masyarakat adat Ormu Masyarakat adat Ormu adalah masyarakat adat yang mendiami perairan laut sebelah Utara dari kawasan cagar alam Pegunungan Cycloop dengan lingkungan satu bahasa. Secara administrasi masyarakat adat Ormu terdiri dari atas dua wilayah, yaitu Kampung Ormu Besar yang mendiami satu daratan Pulau Papua, Kampung Ormu Kecil yang mendiami pulau. Masing-masing kampung terdiri dari beberapa marga yang mengikuti garis keturunan (patrialineal). Hasil wawacara dengan tua-tua Kampung Ormu menyatakan bahwa, Kampung Ormu besar atau biasa disebut “Raraankwa”, memiliki 3 suku besar, yaitu; Suku Yefei (suku yang disebut sebagai orang laut, yang mempunyai kekuasaan dilaut), suku Yowari (suku Perang), Suku Trong (suku yang berada di Hutan). Setiap suku memiliki tanggung jawab dan peran dalam menjaga kelestarian dari kawasan Raraankwa. Kampung Ormu dipimpin oleh seorang Kepala Adat yang dipilih dari suku Yowari, karena suku ini dikenal dahulu merupakan suku perang yang sangat pemberani untuk menyerang siapa saja yang masuk untuk merebut kampung Ormu. Dari wawancara yang dilakukan dengan Kepala masyarakat adat Ormu, diperoleh beberapa informasi pengelolaan dari Tumbuhan Sowang serta aturan-aturan dalam menjaga ketersediaan dari Tumbuhan Sowang. Sebenarnya pada kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops di wilayah Kampung Ormu masih banyak terdapat Tumbuhan Sowang yang, tetapi kampung Ormu belum memiliki hukum yang melarang para pencuri jika diketahui mengambil Tumbuhan Sowang ini. Sedangkan masyarakat asli Ormu mengambil Tumbuhan Sowang hanya disesuaikan dengan keperluan saja, karena kayu yang digunakan oleh generasi sebelumnya masih kuat dan belum waktunya untuk diganti. Ini dapat dilihat dari tempat tinggal dan perahu yang terbuat dari Tumbuhan Sowang. Selain itu, bagi masyarakat Kampung Ormu, Tumbuhan Sowang juga dijual kepada masyarakat yang datang dari kawasan bagian utara Pegunungan Cycloops. Akan tetapi orang yang akan membeli kayu sowang ini, tidak boleh memasuki hutan dimana terdapat Tumbuhan Sowang, hanya sampai di bagian pantai, karena
136
masyarakat adat Ormu percaya bahwa orang asing yang ikut ke hutan akan mengalami kecelakaan. Biasanya orang pendatang yang mau membeli kayu tersebut sudah harus menyiapkan “Jha” ( Batu alam) sebagai alat tukar dengan kayu Sowang yang dibutuhkan. Rumah adat atau “Rumah Revei” yang dibangun di kampung Ormu menggunakan kayu Sowang sebagai kayu utama dari rumah tersebut. Kayu Sowang, disebut dengan sebutan “ Tuwane “ atau “ Kayu Terkuat” dalam bahasa Ormu, karena mereka beranggapan bahwa rumah itu akan tahan lama, dan dijaga oleh dewa-dewa yang ada di dalam kayu tersebut. Bagi masyarakat adat Ormu, ada dua jenis Tumbuhan Sowang, yaitu Sowang Hitam atau Sowang Putih, yang mana keduanya dibedakan dari daunnya. Identifikasi pola penggunaan Tumbuhan Sowang dan aturan-aturannya bagi masyarakat adat yang berada di kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops. Tabel 32. Penggunaan Tumbuhan Sowang oleh Masyarakat Adat Pemerintahan Suku Sentani
Mooi
Nama Sowang dalam bahasa Suku Howang Maleuw Howang Hele
“Son” Keras
Fungsi / Kegunaan Sowang oleh suku
Peraturan Adat dalam Pegunaan tumbuhan Sowang
Tiang Utama Rumah Harus mendapat Izin dari Adat. Ondoafi. Alat perang (tombak, Tidak boleh dalam Panah,dll) mengambil tumbuhan Sowang sendiri. Alat rumah tangga Seni Tradisional Perempuan tidak boleh keluar rumah pada saat pria (patung, alat Musik menebang pohon Sowang. tradisional) Pengambilan tanpa diketahui Ondoafi / tua-tua kampung, harus di usir dari kampung. / Kayu Tiang Utama Rumah Harus mendapat Izin dari Adat. Done Alat perang (tombak, Harus mengambil kayu Panah,dll) Sowang dengan keluarga atau tetangga, tidak boleh Alat rumah tangga. seorang diri. Seni Tradisional (patung, alat Musik Keperluan yang sangat penting dan harus tradisional) mendasar. Sebagai bahan Bakar/ Setelah menebang harus penghangat rumah. menanam kembali 137
Numbay
“Sowan” / kayu Tiang Utama Rumah terkuat Adat. Alat perang (tombak, Panah,dll) Alat rumah tangga. Seni Tradisional (patung, alat Musik tradisional)
Ormu
Tuwane terkuat)
(Kayu Tiang Utama Rumah Adat. Alat perang (tombak, Panah,dll) Alat rumah tangga. Seni Tradisional (patung, alat Musik tradisional) Alat penopang perahu dilaut.
tumbuhan yang baru. Tidak boleh merusak daerah di sekitar penebangan pohon Sowang. Harus diketahui oleh Cheri dan Citra Ghuri dan mendapatkan Izin dari mereka untuk menebang dan mengambil kayu Sowang. Harus mengambil kayu Sowang dengan keluarga atau tetangga, tidak boleh seorang diri. Setelah menebang harus menanam kembali tumbuhan yang baru. Tidak boleh merusak daerah disekitar penebangan pohon Sowang. Ada ganti rugi bagi masyarakat yang berada disekitar kawasan pegunungan Cycloop. Harus meminta Izin dari kepala suku kampung ormu besar untuk menebang dan mengambil kayu Sowang. Harus mengambil kayu Sowang dengan keluarga atau tetangga, tidak boleh seorang diri. Keperluan yang sangat penting dan harus mendasar. Setelah menebang harus menanam kembali tumbuhan yang baru. Tidak boleh merusak daerah disekitar penebangan pohon Sowang.
Masyarakat adat Ormu menganggap hutan sebagai tempat menggantungkan kehidupan sehari-hari, seperti mencari sayur-sayuran, mengolah sagu, bercocok tanam dengan sistem perladangan berpindah-pindah. Sistem perladangan berpindah masih dijumpai di wilayah masyarakat adat Jayapura. Ondoafi menentukan lahan
138
yang akan dimanfaatkan oleh seluruh warga maupun setiap keluarga. Pekerjaan dilakukan oleh warga atau keluarga yang diatur berdasarkan pembagian kerja menurut adat-istiadat, biasanya kaum pria membuka lahan sedangkan kaum wanita bertanggungjawab untuk menanami, mengelola dan lebih maju lagi menangani pemasaran. Masyarakat adat di wilayah cagar alam Pegunungan Cycloops bagian Selatan dapat dikategorikan masyarakat adat yang hidup dengan pola “pertanian” yang masih sangat sederhana dengan peralatan dan teknik-teknik bercocok tanam yang sederhana pula. Dalam sistem pertanian, masyarakat adat tidak mengenal penggunaan berbagai bahan kimia sebagai pupuk atau racun hama. Pupuk yang digunakan adalah pupuk alam atau organik seperti abu sisa hasil pembakaran, hama tanaman ditanggulangi dengan asap. Dengan menggunakan sistem pertanian yang masih sederhana ini akan memperlambat masyarakat adat dalam mencapai dan mengembangkan berbagai prestasi intelektual, rekayasa teknologi, serta manfaat-manfaat ekonomi, tetapi sangat menjamin kelestarian alam yang berkesinambungan serta kehidupan yang lebih manusiawi. Hutan sebagai tempat penghasil kayu yang digunakan sebagai bahan dasar membangun rumah, kayu bakar dan kayu untuk pembuatan perahu, tidak terlepas dari pengetahuan tentang kegunaan Pohon. Masyarakat adat menggunakan pohon Tumbuhan Sowang untuk tiang rumah pembuatan rumah adat, sedangkan untuk rangka dan badan rumah menggunakan kayu besi (Intsia bijuga dan Intsia palembanica) dan kayu Matoa (Pometia sp.), lantai rumah dari nibung (Ptydococcus paradoxus), atap dan dinding rumah dari daun dan pelepah pohon sagu (gaba). Tumbuhan Sowang banyak dimanfaatkan sebagai hasil hutan (kayu) untuk membangun rumah bagi masyarakat adat, membuat alat transportasi, juga dibuat untuk menghasilkan seni ukiran yang merupakan pekerjaan sampingan selain berkebun, menangkap ikan dan berburu. Untuk membuat seni pahat atau ukir, masyarakat adat lebih cenderung untuk menebang pohon Sowang yang dipilih atau tebang pilih, sehingga pohon yang disekitarnya tidak ikut ditebang. Karena keberadaan hutan di kawasan ini jaga oleh masrayakat adat, dan mereka juga
139
mengetahui kriteria kayu yang memiliki kegunaan bagi masyarakat adat, seperti kayu untuk pembangunan rumah, kayu untuk pembuatan perahu dan seni melukis dan pahat. Hutan dianggap oleh masyarakat adat sebagai tempat tinggal arwah roh nenek moyang dan roh jahat, sehingga tidak boleh diganggu, karena bisa mendatangkan malapetaka seperti banjir, erosi atau tanah longsor dan kekeringan. Hutan juga berfungsi sebagai “tempat ibadah” sebab dalam kepercayaan adat tidak dikenal bangunan khusus untuk beribadah, sehingga pengelolaan hutan sarat dengan unsurunsur spritual yang diwujudkan dalam berbagai bentuk upacara adat (ritual) yang dilakukan. Menjaga dan mengelola hutan bagi masyarakat adat, merupakan kewajiban yang harus dijalankan sebagai wujud tanggungjawabnya kepada Tuhan. Peran dan fungsi adat secara sistematis dapat dilihat dari gambar berikut.
140
1.
2. 3.
4.
Masyarakat Suku Sentani Keputusan dan aturan-aturan dalam penggunaan tumbuhan Sowang masih diatur dan ditata seorang kepala suku besar / Ondofolo. Penggunaan tumbuhan Sowang dilakukan secara turun-temurun Tidak dilakukan penjualan tumbuhan Sowang, hanya adanya transaksi secara barter dengan benda-benda tradisional atau dilakukan dalam bentuk hibah. Masih diberlakukan hukum adat dalam penggunaan tumbuhan Sowang
Masyarakat Suku Ormu 1. Keputusan dan aturan-aturan dalam penggunaan tumbuhan Sowang masih diatur dan ditata Dewan Adat suku Ormu 2. Penggunaan tumbuhan Sowang dilakukan secara turun-temurun. 3. Tidak dilakukan penjualan tumbuhan Sowang, hanya adanya transaksi secara barter dengan benda-benda tradisional atau dilakukan dalam bentuk hibah. 4. Masih diberlakukan hukum adat dalam penggunaan tumbuhan Sowang. 5. Pelarangan dengan keras untuk menebang hutan dengan sebarangan
Peran Masyarakat Adat dalam pengelolaan tumbuhan Sowang
Masyarakat Suku Mooi dan Tepera 1. Keputusan dan aturan-aturan dalam penggunaan tumbuhan Sowang masih diatur dan ditata seorang kepala suku besar / Tuatua kampung. 2. Penggunaan tumbuhan Sowang dilakukan secara turun-temurun. 3. Pelarangan kepada seluruh masyarakat adat tidak diperbolehkan untuk menebang pohon dengan sembarangan karena hutan adalah “ibu kandung” bagi suku Mooi. 4. Masih diberlakukan hukum adat dalam pengelolaan hutan
Masyarakat Suku Numbay / Humbolt 1. Keputusan dan aturan-aturan dalam penggunaan tumbuhan Sowang diatur dan ditata Cheri & Citra Ghuri. 2. Penggunaan tumbuhan Sowang dilakukan secara turun-temurun. 3. Dilakukan transaksi secara barter antara tumbuhan Sowang dengan benda-benda tradisional atau dilakukan dalam bentuk hibah. 4. Hukum adat dalam penggunaan tumbuhan Sowang masih berlaku.
Gambar 37. Peran Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Tumbuhan Sowang
141
8 .3. Penilaian Masyarakat adat Tentang Lingkungan Pegunungan Cycloops Penilaian masyarakat adat terhadap lingkungan dan kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops dapat dilihat dari sikap dan persepsi terhadap lingkungan dan kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops. Untuk mengetahui penilaian masyarakat terhadap lingkungan digunakan analisis deskriptif terhadap sikap dan persepsi masyarakat adat terhadap lingkungan dan kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops yang mewakili masyarakat Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura. 2. Persepsi Masyarakat Adat Terhadap Lingkungan Pegunungan Cycloops Dari data penelitian tentang masalah lingkungan, diketahui bahwa lima persoalan yang sering dihadapi masyarakat adat di sekitar kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops adalah banjir, tanah longsor, kebakaran, perburuan satwa dan kekeringan. Urutan persoalan lingkungan dari yang paling sering dihadapi sampai yang tidak pernah dihadapi, kemudian masyarakat adat diminta untuk memberikan urutan terhadap kelima persoalan lingkungan tersebut. Jawaban diberi bobot 5 untuk persoalan lingkungan pada urutan 1 sampai bobot 1 untuk persoalan lingkungan pada urutan 5. Setelah itu tiap persoalan dihitung total nilainya dengan cara menjumlahkan hasil kali dari bobot dengan jumlah frekuensi dari urutan tersebut. Persentase tingkat persoalan, dilakukan dengan membagi nilai total masing-masing persoalan dengan nilai total keseluruhan dan dikalikan 100%. Hasil perhitungan persentase kelima persoalan dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 33. Persentase Frekuensi Masyarakat Persoalan Lingkungan Banjir Tanah Longsor Kebakaran Perburuan Satwa Kekeringan
1 24 51 82 88 98 Total
Persoalan 2 58 58 65 76 72
3 135 77 48 46 50
Lingkungan 4 75 86 74 70 54
5 52 72 75 64 70
yang
959 962 1037 1086 1106 5150
Dihadapi
Hasil 18.62 18.68 20.14 21.09 21.48 100.00
Sumber: Data olahan (2011)
Tabel 33 menunjukan bahwa persoalan lingkungan yang paling sering dihadapi saat ini di kawasan cagar alam adalah kekeringan dengan persentase sebesar 21,48%.
142
Persoalan lainnya yang sering dihadapi adalah perburuan satwa dengan persentase sebesar 21,09%. %. Selanjutnya masalah kebakaran dengan persentase sebesar 20,14%, tanah longsor dengan persentase sebesar 18,68% dan masalah banjir dengan persentase sebesar 18,622%. Dalam tahun terakhir ini, kekeringan memang merupakan persoalan yang paling banyak terjadi di Kabupaten Jayapura. Ini diakibatkan beberapa aliran sungai yang dahulunya dialiri air, saat ini mulai mengalami kekeringan dan bahkan ada beberapa aliran sungai ai yang sudah tidak lagi dialiri air. Penyebab utama dari kekeringan ini adalah beberapa titik penampung air pada kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops sudah mengalami kerusakan dan hutan yang berada di pinggiran kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops sudah sudah mengalami kerusakan sedikit demi sedikit. Bencana alam banjir yang cukup besar terjadi pada tahun 2000 karena disertai longsor di beberapa tempat, sehingga menyebabkan terputusnya infrastruktur, jalan dan jembatan, juga banyak areal persawahan yang terendam tere sehingga mengakibatkan gagal panen. Kondisi ini menimbulkan kerugian yang cukup besar baik bagi masyarakat maupun pemerintah daerah. Dilihat dari akibat bencana ala mini, faktor utama penyebabnya yaitu sudah mulai berkurangnya hutan pada kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops, sehingga tidak ada lagi tumbuh-tumbuhan tumbuh tumbuhan yang perfungsi sebagai penahan air hujan (buffer ( zone). Menurut sebagian besar masyarakat adat,, persoalan lingkungan tersebut ada kaitannya dengan cagar alam Pegunungan Cycloops. Cycloops Tanggapan masyarakat adat terhadap pernyataan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.
70 20% 274 79.65%
Gambar 38.. Distribusi Frekuensi Manurut Persoalan Lingkungan 143
Gambar 38 menunjukan bahwa sebagian besar masyarakat adat yaitu sebanyak 79,65% menyatakan bahwa persoalan lingkungan yang terjadi di Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura berkaitan dengan kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops. Beberapa alasan yang dikemukakan adalah: Cagar alam Pegunungan Cycloops tidak mampu lagi menampung air Penebangan liar yang dilakukan menyebabkan kerusakan hutan di daerah hulu Pencurian kayu di cagar alam Pegunungan Cycloops menyebabkan banyak kayu besar berkurang Hutan berubah menjadi perladangan Hasil hutan sudah banyak diambil untuk bangunan Pembukaan lahan baru Cagar alam Pegunungan Cycloops semakin rusak Banyak tangan dan oknum yang tidak bertanggung jawab Banyak pemburu liar Banyaknya orang yang berladang berpindah-pindah Lingkungan yang kurang terjaga Kesadaran masyarakat tentang cagar alam Pegunungan Cycloops masih rendah Sumber air berhulu di cagar alam Pegunungan Cycloops Kurang terjaganya cagar alam Pegunungan Cycloops. Sementara itu 20% masyarakat adat lainnya menyatakan bahwa persoalan lingkungan yang dihadapi di Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura tidak ada kaitannya dengan cagar alam Pegunungan Cycloops, dengan alasan: Hujan deras yang terus menerus menyebabkan banjir Banjir terjadi jauh di luar kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops Masyarakat tidak tertib, membuang sampah di sungai Kondisi alam yang memang rawan terjadi bencana alam
144
Banyak bukit yang sudah gundul yang berada di luar kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops. Cycloops Dari penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar penduduk di kawasan mengetahui Cagar Alam Pegunungan Cycloop (CAPC). Ini terlihat dari jawaban masyarakat adat, sebanyak 98,55% masyarakat adat mengetahui CAP PC, sedangkan 1,45% masyarakat adat tidak mengetahui CAPC. Pada gambar 39 di bawah ini digambarkan pengetahuan tentang CAPC. 5 1.45%
339 98.55%
Gambar 39.. Distribusi Frekuensi Masyarakat Adat Tentang Pengetahuan Cagar Alam Pegunungan Cycloop Hal-hal hal yang diketahui oleh masyarakat adat tentang cagar alam Pegunungan Cycloops adalah: Wilayah konservasi tempat kehidupan flora fauna Hutan lindung untuk mengatur mengatur kebutuhan air masyarakat, atau Hutan yang mengatur tata air sebagai penyangga kehidupan Hutan lindung yang tidak boleh dirusak Hutan yang tidak boleh ditebang Kawasan hutan untuk mencegah bencana Kawasan yang harus dilestarikan Taman yang melindungi hutan hut dan isinya Taman yang dilindungi dan dibiayai oleh bank dunia Hutan tempat berekreasi Daerah dengan kesuburan tanahnya yang berguna untuk pertanian
145
Hutan dengan pemandangan alam yang indah Obyek wisata yang indah yang sering dikunjungi turis asing Hutan yang dilindungi pemerintah Hutan Negara Akan tetapi dari 98,55% 98 masyarakat adat atau 339 orang masyarakat adat yang mengetahui tentang CAPC, CA 16,86% masyarakat adat tidak mengetahui tujuan ditetapkannya kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops.. Sedangkan 83,14% responden lainnya mengetahui tujuan ditetapkannya CAPC. CA C. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 40 di bawah ini. 58 16,86%
286 83.14%
Gambar 40.. Distribusi Frekuensi Masyarakat Adat Tentang Tujuan Ditetapkan Kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloops Pengetahuan masyarakat adat tentang tujuan ditetapkannya cagar alam Pegunungan Cycloops adalah: Melindungi hutan lindung dari kerusakan Melindungi flora fauna, tata air Keutuhan hutan kawasan CAPC Kelestarian hutan dan satwanya Melestarikan hutan dan seluruh isinya Mencegah banjir, longsor, kekeringan Tempat berekreasi Melestarikan ekosistem Memberi batasan wilayah yang dapat dikerjakan masyarakat
146
Melindungi daerah tangkapan air Menjaga suhu udara dan mata air Untuk penelitian Mencegah pencurian kayu Sementara itu, persepsi sebagian besar masyarakat adat terhadap kondisi kawasan cagar alam lam Pegunungan Cycloops saat ini adalah rusak sebagian kecil. Persepsi masyarakat adat selengkapnya dapat dilihat pada gambar 41 berikut. (Rusak sebagian besar) 26.74%
(Rusak parah) 3.2%
(Masih alami) 7.85%
(Rusak sebagian kecil) 62.21%
Gambar 41.. Distribusi Frekuensi Masyarakat Adat Tentang Kondisi Kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop Gambar 41 menunjukan bahwa masyarakat adat sebanyak 62,21% % menyatakan bahwa kondisi kawasan CAPC CA C saat ini adalah rusak sebagian kecil. kec Sedangkan 26,74% masyarakat adat menyatakan kondisi kawasan CAPC C saat ini rusak sebagian besar; masyarakat adat menyatakan masih alami/lestari sebanyak 7.85% 7.85 dan 3,20% masyarakat adat menyatakan sudah rusak parah. Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat berpendapat berpen bahwa Kawasan CAPC C di wilayah Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura relatif masih baik sehingga nilai ekonomi cagar alam tersebut masih ada. Berdasarkan data yang telah diuraikan tersebut, dapat disimpulkan bahwa cagar alam Pegunungan Cycloops ycloops dikenal dengan cukup baik oleh sebagian besar masyarakat di Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura. Jayapura Ini menunjukkan persepsi masyarakat di Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura terhadap cagar alam 147
Pegunungan Cycloops cukup baik. Terlihat dari sebagian besar mengetahui engetahui CAPC CA dan mengetahui tujuan ditetapkannya cagar alam tersebut, meskipun pengetahuannya tersebut belum optimal. Agar pengetahuan masyarakat tentang CAP CAPC dan tujuan ditetapkannya CAPC C tersebut dapat lebih maksimal maka perlu diupayakan sosialisasi tentang CAPC secara berkesinambungan sehingga memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang pentingnya CAPC dan mengurangi kerusakan hutan di kawasan CAPC. Dari upaya tersebut, diharapkan nilai ekonomi dari CAPC CA akan semakin meningkat dan secara langsung juga j dapat memberikan rasa dan sejahtera bagi masyarakat. 3.
Sikap Masyarakat Adat terhadap lingkungan dan kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloops Cycloop (CAPC) Sementara itu sikap masyarakat adat terhadap lingkungan dan Kawasan CAPC
tercermin pada perilakunya terhadap lingkungan sekitar dan cagar alam lam Pegunungan Cycloops. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden atau anggota keluarganya sering datang ke kawasan CAPC. CA Hal ini dapat dilihat dari gambar 42 berikut :
Tidak (136) 39.53% Ya (208) 60.47%
Gambar 42.. Distribusi Frekuensi Masyarakat Adat ke Kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloops
148
Dari gambar diagram di atas, diketahui bahwa hampir sebagian besar yaitu sebanyak 60,47% masyarakat adat atau anggota keluarganya sering datang ke kawasan CAPC. C. Sedangkan 39,53% 3 masyarakat adat lainnya jarang berkunjung ke kawasan tersebut. Ketika berada dalam kawasan tersebut, cukup banyak waktu dalam satu hari yang dihabiskan oleh masyarakat adat. Gambaran banyaknya waktu yang dihabiskan masyarakat adat di kawasan CAPC dapatt dilihat pada gambar 43 di bawah ini. 1 jam 12.14% 2 jam 22.14%
4 jam atau lebih 52.14% 3 jam 13.57%
Gambar 43.. Distribusi Frekuensi Masyarakat Adat Menurut Lama Kunjungan
Diagram 43 menggambarkan bahwa sebagian besar masyarakat adat yaitu sejumlah 52,14% % berada di kawasan CAPC CA rata-rata 4 jam atau lebih dalam sehari. Sedangkan 22,14% masyarakat adat berada di kawasan CAPC rata-rata rata 2 jam dalam sehari; 12,4% masyarakat adat berada di kawasan CAPC rata-rata rata 1 jam dalam sehari dan 13,57% masyarakat adat berada di kawasan CAPC rata-rata rata 3 jam dalam sehari. seha Kegiatan-kegiatan kegiatan yang biasanya dilakukan masyarakat adat di dalam kawasan CAPC C tersebut adalah bekerja di ladang sendiri atau di ladang orang lain, mencari hasil hutan, mencari kayu bakar, mencari rotan, berburu babi hutan,, mencari ikan dan rekreasi. Untuk mengetahui kegiatan apa yang paling sering dilakukan, dapat terlihat pada tabel 34 berikut.
149
Tabel 34. Distribusi Frekuensi Kegiatan Masyarakat Adat Kegiatan Jumlah Persentase (%) Bekerja di ladang sendiri 160 40.00 Bekerja di ladang orang 25 6.25 Mencari hasil hutan 44 11.00 Mencari kayu bakar 20 5.00 Mencari rotan 30 7.50 Berburu babi hutan, mencari ikan 120 30.00 Rekreasi 1 0.25 Total 400 100.00 Sumber: Data Diolah (2011) Total jawaban dalam tabel 34 yaitu 400 lebih banyak dari total masyarakat yaitu 344 masyarakat adat, ini menunjukkan bahwa masyarakat adat bisa melakukan lebih dari 1 kegiatan di dalam kawasan CAPC. Dari tabel tersebut tampak bahwa jenis kegiatan yang paling sering dilakukan masyarakat adat di kawasan CAPC tersebut adalah bekerja di ladang sendiri dan berburu di hutan untuk mencari hewan liar atau pun memancing yaitu sebanyak 40% dan 30% responden. Hampir seluruhnya melakukan kegiatan bekerja diladang ini bersama keluarga. Sebagian besar masyarakat dari kedua kampung yang mendiami kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops ini merupakan para petani. Mereka mengolah lahan dengan cara membakar dan menebang pohon, yang tentunya merusak dan mengganggu ekosistem di kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops, dan juga merugikan masyarakat yang berada di sekitar kawasan cagar alam maupun masyarakat yang tinggal jauh dari kawasan cagar alam. Adapun sikap masyarakat adat terhadap lingkungan secara umum dapat disimpulkan bahwa ada kepedulian untuk lingkungan sekitarnya namun masih ada sebagian yang belum bersedia memberikan iuran bagi lingkungan. Terlihat dari kepedulian masyarakat untuk membayar iuran sampah atau kebersihan, iuran air bersih (PDAM). Sebagian besar masyarakat yaitu 45,06% mau membayar iuran air bersih (PDAM), sementara 31,69% masyarakat membayar iuran sampah atau kebersihan lingkungan tempat tinggalnya. Sedangkan sebanyak 23,26% masyarakat tidak bersedia membayar iuran dan menurut mereka tidak ada iuran untuk lingkungan
150
yang perlu dibayar. Gambaran kepedulian masyarakat dapat dilihat pada gambar 44 di bawah ini. tidak ada iuran (0) 23,26%
Sampah / Kebersihan (1) 31,69%
Air bersih / PDAM (3) 45,06%
Gambar 44.. Distribusi Frekuensi Masyarakat Adat Menurut Iuran untuk Lingkungan Berdasarkan analisis sikap yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum masyarakat yang berada di dua kampung tersebut yang merupakan kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops di Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura bersikap positif terhadap terhadap lingkungan dan kawasan cagar c alam Pegunungan Cycloops. ycloops. Pemerintah kabupaten, sebagai pihak yang mengelola meng kawasan cagar alam lam Pegunungan Cycloops dibantu masyarakat adat sekitar dapat melakukan sosialisasi dan juga mengeluarkan larangan yang bertujuan ber untuk melestarikan kawasan cagar agar alam Pegunungan Cycloops. 4. Persepsi Masyarakat Adat Terhadap Pengelolaan Tumbuhan Sowang Hasil penelitian tentang masalah pengelolaan Tumbuhan Sowang, Sowang disimpulkan dari persepsi setiap Masyarakat Adat yang diberikan berikan pilihan dengan masing-masing masing pernyataan tentang pilihan bagaimana pengelolaan Tumbuhan Sowang. MasingMasing masing pernyataan yang diajukan sebagai pilihan dalam penelitian ini adalah; a) Tumbuhan Sowang penting untuk generasi yang akan datang. b) Tumbuhan Tumbuh Sowang penting untuk saat ini saja. c) Tumbuhan Sowang yang hampir punah perlu dilindungi dikawasan cagar alam Pegunungan Cycloops. d) Tumbuhan Sowang yang hampir 151
punah perlu dilindungi untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati. e) Tumbuhan Sowang di kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops mempunyai nilai spiritual. f) pengambilan kayu, pertambangan, perkebunan pada kawasan Pegunungan Cycloops lebih penting daripada menjaga kelestarian Tumbuhan Sowang pada cagar alam Pegunungan Cycloops. Dari enam pernyataan masyarakat untuk pengelolaan Tumbuhan Sowang, masyarakat diberikan pilihan apakah sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju, sangat tidak setuju. Kemudian tiap pernyataan yang sudah diberikan oleh masyarakat dihitung total nilainya dengan cara menjumlahkan hasil kali dari bobot dengan jumlah frekuensi dari urutan tersebut. Untuk mengetahui persentase dari pernyataan setiap masyarakat, nilai total masing-masing persoalan dibagi dengan nilai total keseluruhan dan dikalikan 100%. Hasil perhitungan persentase keenam pernyataan dari setiap masyarakat dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 35. Persentase Pernyataan Masyarakat Terhadap Pengelolaan Tumbuhan Sowang Pernyataan 5 4 3 2 1 Jumlah % Tumbuhan Sowang penting untuk generasi yang akan datang Tumbuhan Sowang penting untuk saat ini Tumbuhan Sowang yang hampir punah perlu dilindungi pada kawasan CAPC Tumbuhan Sowang yg hampir punah perlu dilindungi untuk menjaga KH Tumbuhan Sowang dikawasan CAPC mempunyai nilai spritual Pengambilan kayu, pertambangan, perkebunan lebih penting daripada menjaga kelestarian tumbuhan Sowang pada CAPC
Total
750
776
0
0
0
1526
21.0
0
0
0
642
23
665
9.1
620
880
0
0
0
1500
20.6
355
1092
0
0
0
1447
19.9
485
988
0
0
0
1473
20.3
0
0
0
630
29
659
9.1
7270
100.0
Sumber: Data Diolah (2011)
Tabel 35 menunjukkan bahwa sebanyak 21% masyarakat menyatakan sangat setuju dan setuju pengelolaan Tumbuhan Sowang di kawasan cagar alam sebaiknya harus tetap dijaga karena keberadaannya penting untuk generasi yang akan datang. Kemudian pilihan pernyataan berikutnya bahwa dalam menyikapi kondisi Tumbuhan Sowang yang hampir punah maka diperlukan tindakan-tindakan yang dapat
152
melindungi Tumbuhan Sowang pada kawasan CAPC, sebanyak 20,6% masyarakat menyatakan sangat setuju dan setuju untuk melindungi Tumbuhan Sowang pada kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops. Sebanyak 20,3% masyarakat menyatakan sangat setuju dan setuju bahwa dalam pengelolaan Tumbuhan Sowang di kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops perlu dimasukan nilai spiritual sebagai nilai yang penting bagi masyarakat asli yang telah turun temurun di percayai dari nilai Tumbuhan Sowang. Sejumlah 19,9% masyarakat menyatakan sangat setuju dan setuju bahwa Tumbuhan Sowang yg hampir punah perlu dilindungi untuk menjaga nilai keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh Pegunungan Cycloops dan juga pada umumnya di tanah Papua dengan. Sebaliknya 9,1% masyarakat menyatakan sangat tidak setuju dan tidak setuju untuk pernyataan bahwa keberadaan Tumbuhan Sowang hanya penting untuk saat ini saja. Pernyataan untuk pengambilan kayu, pertambangan, perkebunan yang dilakukan pada kawasan cagar alam pegunungan Cycloops lebih penting dan bermanfaat daripada menjaga kelestarian Tumbuhan Sowang memiliki persentase sebesar 9,1% yang dinyatakan oleh masyarakat dengan sangat tidak setuju dan tidak setuju kalau kegiatan-kegiatan yang akan merusak dan memusnahkan Tumbuhan sowang dibandingkan menjaga dan melestarikan Tumbuhan Sowang tersebut. Dari hasil penelitian didapatkan juga beberapa pendapat dari setiap masyarakat dalam pengelolaan Tumbuhan Sowang dikawasan cagar alam Pegunungan Cycloops, dimana pendapat yang diminta dari setiap masyarakat adalah sebaiknya Tumbuhan Sowang di kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops tetap dipertahankan fungsinya sebagai tumbuhan endemik yang memiliki nilai sebagai keanekaragaman hayati milik Pegunungan Cycloops dan juga milik orang Papua. Berikut beberapa pernyataan dari setiap masyarakat. a. Tumbuhan Sowang harus tetap dijaga keberadaannya. b. Tubuhan Sowang bisa saja diambil tetapi harus dilakukan pembibitan ulang agar nilainya dan keberadaannya tetap lestari dan terjaga. c. Tumbuhan Sowang dimanfaatkan sesuai dengan aturan adat bagi masyarakat asli dikawasan Pegunungan Cycloops.
153
d. Tumbuhan Sowang harus dijaga agar tetap lestari untuk bisa diwariskan kepada anak cucu / berkelanjutan. e. Tumbuhan Sowang tetap dijaga kelestariannya agar bermanfaat juga bagi tumbuhan penyangga dari kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops. Dari hasil penelitian ini juga didapatkan beberapa pandangan tentang pengelolaan Tumbuhan Sowang pada kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops, seperti: a. Diperlukan kebijakan pemerintah untuk dapat melindungi Tumbuhan Sowang yang berada dikawasan Pegunungan Cycloops. b. Harus ada peraturan yang tegas yang dibuat dan dipatuhi oleh pemerintah dan masyarakat untuk pengelolaan Tumbuhan Sowang. c. Tumbuhan Sowang yang merupakan tumbuhan endemik milik Pegunungan Cycloops harus dijaga. d. Tumbuhan Sowang harus dilindungi sebagai warisan leluhur. e. Kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops yang merupakan tempat tumbuhnya Tumbuhan Sowang ini, adalah tempat arwah nenek moyang suku-suku yang mendiami kawasan ini. f. Tidak diijinkan melakukan aktivitas pembangunan dalam kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops agar tidak merusak habitat yang berada didalamnya. g. Kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops ini merupakan pengakuan ibu sebagai tempat tinggal. h. Tumbuhan Sowang yang berada dikawasan cagar alam Pegunungan Cycloops harus tetap lestari, oleh sebab itu perlu dibangun dialog untuk mengingatkan masyarakat asli maupun pendatang yang bermukim disekitar kawasan ini. i. Perlu dibuatnya peraturan-peraturan atau larangan-larangan yang tegas dalam pengelolaan Tumbuhan Sowang.
154
j. Perlu diperketat penjagaan dari Pihak Dinas Kehutanan terutama Polisi hutan, yang dianggap belum maksimal sampai saat ini. 8. 4 Implikasi Kebijakan Tumbuhan Sowang Sebagian besar masyarakat di kedua kampung mengenal kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops dengan cukup baik. Persepsi masyarakat di kedua kampung terhadap kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops cukup baik. Hal ini terlihat dari sebagian besar masyarakat mengetahui cagar alam Pegunungan Cycloops dan mengetahui tujuan ditetapkannya cagar alam tersebut, meskipun pengetahuannya tersebut belum optimal. Sementara sikap masyarakat terhadap cagar alam Pegunungan Cycloops menunjukkan bahwa secara umum masyarakat di Kampung Doyo Baru Distrik Waibu dan Kampung Maribu Distrik Sentani Barat Kabupaten Jayapura peduli terhadap lingkungan dan kelestarian cagar alam Pegunungan Cycloops. Pemerintah Kabupaten Jayapura sebagai pengelola kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops dibantu masyarakat adat dan tokoh-tokoh masyarakat sekitar dapat melakukan sosialisasi tujuan ditetapkannya cagar alam Pegunungan Cycloops agar kegiatan-kegiatan yang dapat mengganggu keberadaan cagar alam Pegunungan Cycloops dapat diminimalkan sehingga dapat mengurangi kerusakan hutan di kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops. Tingkat kepedulian terhadap kelestarian Tumbuhan Sowang juga cukup tinggi, hal ini terlihat dari saran tentang pengelolaan Tumbuhan Sowang yang sebagian besar mengharapkan Tumbuhan Sowang tetap terus dilestarikan dan dibudidayakan agar tetap terjaga dikawasan cagar alam Pegunungan Cycloops. Pihak pengelola dalam hal ini dinas Kehutanan Kabupaten maupun Kotamadya Jayapura harus bekerja keras untuk mewujudkan keinginan masyarakat (baik lokal, nasional, bahkan dunia international) untuk tetap menjaga kelestarian Tumbuhan Sowang. Kegiatan-kegiatan yang perlu mendapatkan prioritas antara lain adalah kegiatan pengamanan yang berupa patroli rutin dan operasi, baik secara fungsional maupun gabungan. Kegiatan penyuluhan kepada masyarakat harus terus dilakukan dan dicari metode yang paling efektif untuk diterapkan. Pengelolaan 155
harus terus berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat juga para ketua adat, Ondoafi, para tokoh masyarakat, tokoh Gereja dan para pemerhati lingkungan. Pengetahuan tentang kelestarian Tumbuhan sowang agar tetap terjaga memang dapat mempengaruhi nilai WTP masyarakat. Masyarakat yang tahu tentang Tumbuhan Sowang hanya terdapat di kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops lebih bersedia membayar untuk kelestariannya. Sehingga perlu dilakukan sosialisasi tentang pentingnya nilai tumbuhan Sowang bagi masyarakat yang berada di kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops. Pentingnya menjaga lingkungan pada kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops mutlak dilakukan oleh dinas kehutanan Kabupaten maupun Kotamadya Jayapura yang harus bekerja keras untuk mewujudkan keinginan masyarakat menjaga kelestarian Tumbuhan Sowang. Peningkatan kesadaran terhadap masyarakat akan pentingnya kelestarian Tumbuhan Sowang bagi anak cucu dan pentingnya juga menjaga lingkungan. Implikasi kebijakan dari pengelolaan Tumbuhan Sowang pada kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops dengan potensi dan permasalahan secara sederhana digambarkan melalui komponen-komponen SWOT dalam pelestarian Tumbuhan Sowang, baik dalam kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), serta dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threaths) bagi pengelolaan Tumbuhan Sowang. Berikut tabel matriks komponen SWOT dalam menggambarkan pengelolaan Tumbuhan Sowang pada kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops.
156
Tabel 36. Matriks Komponen SWOT Internal
Kekuatan (S) 1. Adanya kelembagaan adat yang berkaitan dengan pengelolaan tumbuhan Sowang. 2. Memiliki nilai keanekaragaman hayati yang tinggi (Tumbuhan Endemik). 3. Nilai TEV tumbuhan Sowang yang tinggi 4.Hak ulayat masyarakat 5.Memiliki nilai untuk adatistiadat suku asli.
Kelemahan (W) 1. Sudah lemahnya kekuatan pemimpin (Ondofolo/ondoafi) termasuk nilai-nilai adat. 2. Jumlah Keanekaragaman hayati tumbuhan Sowang semakin berkurang setiap harinya. 3. Kurangnya SDM dalam bidang Konservasi. 4. Lemahnya manajemen kelembagaan adat dalam pengelolaan tumbuhan Sowang. 5. Konflik atas batas-batas kepemimpinan hak ulayat Eksternal yang tidak jelas. Peluang (O) WO SO 1. Kepres No. 32/1990 ttg 1. Pemberdayaan institusi adat 1. Peningkatan SDM dibidang Kawasan Lindung. UU konservasi guna mendukung untuk mendukung kebijakan No.23/1997 ttg Lingkungan pemerintah (S1 & O1-2) kebijakan pemerintah (W2 & Stakeholder O1-2). hidup. UU No.41/1999 ttg 2. Pemberdayaan 2. Peningkatan kapasitas dan (S3-4 & O3-4) Kehutanan, UU No. 21/2001 ttg kapabilitas masyarakat adat Otsus Papua. 2. Pola Kemitraan Pemda, LSM, dan pemerintah (W1 & O2-3) Masyarakat adat, swasta. 3. Pemetaan Hak ulayat adat. 3. Dukungan program Kab/Kota Jayapura 4. Kebijakan lingkungan global tentang perubahan Iklim dan perdagangan karbon 5. Adanya alternative pemanfaatan kayu Besi untuk membangun rumah & fungsi lainnya yang selama ini diperoleh Tumbuhan Sowang Ancaman (T) WT ST lintas 1. Konflik kewenangan 1. Pengelolaan tumbuhan 1. Koordinasi sektor/instansi adat dan (pemerintah pusat, dan Sowang secara terpadu antar pemerintah dalam daerah, Pemkot dan Pemkab, masyarakat adat, Pemerintah, pengelolaan tumbuhan Masyarakat dan masyarakat. LSM, swasta dan Perguruan Sowang dan SDA (W3-4 & 2. Pembukaan lahan untuk Tinggi (S1 & T1) 2. Menatap ulang tata ruang dan T2-5) perkebunan (Pendatang) manajemen wilayah cagar alam 2. Peningkatan 3. Penebangan liar dan kepemimpinan adat dalam Pegunungan Cycloops (S2 & eksploitasi SDA secara illegal T2-5) pembangunan dan 4. Penambangan galian C penegakan hukum adat dan 5. Pemukiman dan infrastruktur 3. Penegakan Hukum (S4&T6) hukum negara (W1,3 & T5-6) yang tidak sesuai dengan tata ruang. 6. Lemahnya penegakan hukum
Sumber: Data Diolah (2011) 157
Dari matriks komponen SWOT yang menguraikan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, maka beberapa hal yang diperlukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan Tumbuhan Sowang, adalah : 1. Harus adanya pemberdayaan institusi adat dan pemberdayaan Stakeholder guna mendukung kebijakan pemerintah dalam pengelolaan Tumbuhan Sowang. 2. Diperlukan peningkatan kualitas SDM dibidang konservasi, peningkatan kapasitas dan kapabilitas masyarakat adat serta pemerintah dan pementaan hak ulayat adat guna menentukan arah pengelolaan yang baik. 3. Pengelolaan Tumbuhan Sowang secara terpadu antar masyarakat adat, pemerintah, LSM, swasta dan perguruan tinggi. Diperlukan penetapan tata ruang dan wilayah bagi kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops serta penegakan hukum. 4. Diperlukan koordinasi lintas sektor/instansi baik adat dan pemerintah dalam pengelolaan Tumbuhan Sowang dan sumberdaya alam yang berada di kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops, dan peningkatan manajemen kepemimpinan adat yang lebih baik lagi.
158