1
Ni Luh Nyoman Seri Malini Luh Ketut Mas Indrawati
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL KATA PENGANTAR DAFTAR ISI LINGUISTIK MIKRO Pronomina Persona dan Pemarkahnya Antardialek dan Subdialek Bahasa Sumba Anak Agung Putu Putra Struktur Sintaksis Bahasa Jawa Banyumas Restu Sukesti Objek Ganda dalam Bahasa Indonesia Vinsensius Gande Leksem Pengungkap Konsep ‘Aktivitas Memasukkan Makanan ke dalam Mulut’ dalam Bahasa Indonesia Nuryantini Balinese Middle Constructions and Agentivity I Nyoman Udayana Verba Melihat dalam Bahasa Bali: Suatu Kajian Metabahasa Semantik Alamiah Ni Wayan Suastini Konstruksi Pasif Bahasa Kemak I Wayan Budiarta Struktur dan Peran Verba Emosi Bahasa Jawa Timur melalui Teori Natural Semantics Metalanguage (NSM) Fardini Sabilah Klausa Relatif Bahasa Sumba Dialek Waijewa (BSDW) Ni Wayan Kasni A Comparative study on the Lexicon in Terms of Form and Meaning of Usapi Sonbai Dialect and Taloetan dialect of Uab Meto Language Oktaviana Takene Verba Tindakan Bahasa Bali Berbentuk Reduplikasi Parsial - Tinjauan Metabahasa I Nengah Sudipa Colour System in Lamaholot Language: A Semantic Analysis Katharina Laka Ola 2
Morphological Study of Verb constructions in Elopada Dialect of Sumbanese Language Yohanes Leonardo Ate Morphological Change of Noun and Verb in Helong Language Yandres Answo Djedelbert Lao Preposition in Tetum Praca: A Syntactic Analysis Fernando de Araujo Castelo Branco Demonstrative Pronouns in Ba’a Dialect Polce Aryanto Bessie The Study of Affixation Process Found in Dawan Language Selvi Merlin Otemusu Makna Bonet pada Kalangan Masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan Merson Nome Verba Terjatuh dalam Bahasa Minangkabau: kajian Metabahasa Semantik Alami Arif Rahman Hadi Komplemen dalam Bahasa Jepang Made ratna Dian Aryani dan I Gede Oeinada Ideologi Penamaan Khusus pada Masyarakat Suku Bali Ni Made Suryati Bentuk, Fungsi, dan Makna Kontekstual Verba “Memotong” dalam Bahasa Jawa Setyarti Struktur Semantik Verba Tindakan dalam Bahasa Bali: Suatu Kajian Metabahasa Semantik Alami Ni Putu Candra Gunasari Bahasa Dayak Ngaju: Fonotaktik Ristati LINGUISTIK MAKRO Aspek dan Kala dalam Bahasa Jepang Sebagai Cerminan Sikap Orang Jepang Terhadap Waktu Ketut Widya Purnawati Bahasa Bakul Jamu Gendhong di Pasar Sayur Magetan Kabupaten Magetan Erlin Kartikasari Sistem Pewarisan Bahasa Bali di Provinsi Lampung 3
Ni Luh Nyoman Seri Malini Luh Ketut Mas Indrawati
Ni Luh Nyoman Seri Malini dan Luh Ketut Mas Indrawati Menelusuri Jejak Evolusi Etimon Austronesia *babuy ‘babi’ dalam Sejarah Perkembangan Bahasa Bali I Ketut Paramarta Cultural Differences in Declining Requests Renny Anggraeny Dinamika Sistem Sapaan Bahasa Bali: Cermin Mencairnya Hubungan Sosial Vertikal pada Masyarakat Bali Ni Made Dhanawaty Realitas Kebahasaan Bahasa Indonesia Kontemporer: Sebuah Studi Bandingan Antara Konsep PPBI dan KBBI Edisi 2008 Nurul Hidayat Dari Strategi Linguistik Menuju Strategi Kebudayaan Perspektif Pemertahanan Bahasa Lokal di Indonesia Putu Sutama dan Maria A. Luardini Keterancaman Bahasa Bugis di Kelurahan Waliabuku, Kecamatan Bungi, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara Pammuda Analisis Sistemik Genre dan Struktur Potensi Generik Teks dalam Bahasa Waijewa Magdalena Ngongo Pengetahuan Leksikon-leksikon Lingkungan Kesungaian Katingan Generasi Muda Katingan Santang Campur Kode Tuturan Bahasa Jepang dalam Komunikasi antara Orang Jepang dan Orang Indonesia Ni Putu Candra Lestari, Ni Luh Ernawati, Ni Wayan Prilya Sinta Bahasa Jawa Kuna, Bahasa Ibu yang Ditinggalkan: Pembentuk Karakter Bangsa dari Pramodern hingga Postmodern Made Reland Udayana Tangkas Pendekatan Ekolinguistik dalam Rangka Saling Melestarikan antara Bahasa, Budaya, dan Lingkungan Aron Meko Mbete Sawer Pengantin Sunda (Kajian Tindak Tutur) Rita Maria Sahara dan Lien Darlina Metafora dalam Ritual Sesaji “Tuturangia Andala” di Masyarakat Pulau Makasar, Buron Wiwik Marlia 4
Komponen Register dalam Artikel Berbahasa Bali “Nglestariang Tetamian Budaya Bali” Desak Putu Eka Pratiwi dan I Gusti Agung Sri Rwa Jayantini Menurunnya Pemakaian Basa Alus di kalangan Generasi Muda Bali I Made Yogi Marantika, Putu Galih Perdana Putra, dan Made Suardika Yasa Pidginization or Not? A Case Study on English Used by Community of Gili Terawangan, Lombok I Made Rai Jaya Widanta, Paul Suardi, Luh Nyoman Chandra Handayani Pemertahanan Bahasa Bali Aga di Desa Belantih, Kintamani-Bali Ni Luh Yuniarti dan Dwi Lina Sari Tanjung Bentuk, Fungsi, dan Makna Doa Bapa Kami Berbahasa Bali dalam Perspektif Ekolinguistik Putu Chrisma Dewi Profil Bahasa Minangkabau sebagai Bahasa Mayor di Sumatera Ni Putu N. Widarsini Bahasa Indonesia dan Bahasa Perancis: bahasa Sexis atau Non-sexis? Putu Weddha Savitri Struktur Preferen sebagai Pembentuk Karakter Penutur dalam Komunikasi Berbahasa Bali I Gusti Ngurah Parthama Salam dalam Bahasa Jepang: Bentuk dan Fungsi Ni Made Andry Anita Dewi Variasi Respon Tuturan Pujian Bahasa Jepang dalam Materi Ajar Bahasa Jepang untuk Pemula Ni Luh Kade Yuliani Giri Eksistensi Bahasa Bali sebagai Bahasa Ibu: pada Anak-anak di Era Kekinian I Dewa Ag. Gd. Ag. Suryaningrat, I Nengah Suryawan, dan I Putu Aryadi Jaya Tindak Tutur Kesantunan Guru TK B Harapan Mulia Fahim Campur Kode dalam Lirik Lagu Bali “JPDA” I Gede Pariasa Alih Kode pada Anak-anak Dwibahasa di SD Negeri 4 Sesetan I Ketut Oka Ribawa Makna Tembang “Bibi Anu” (Pendekatan Antrophological Linguistics) Ni Made Ayu Widyastuti, Sang Ayu Isnu Maharani, dan Yana Qomariana Pasif “Gangguan” dalam Bahasa Jepang: Suatu Tinjauan Sosiolinguistik 5
Ni Luh Nyoman Seri Malini Luh Ketut Mas Indrawati
Ni Made Wiriani LINGUISTIK TERAPAN Pengaruh Model Pembelajaran Pakem Berbantuan Media gambar untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Bahasa Jepang Kelas X SMA Katolik Soverdi Tuban Tahun Pelajaran 2013-2014 I Gusti Ayu Niken Launingtia Penerapan Teori Kognitivisme Ausubel dalam Pembelajaran Bahasa Inggris di Taman Kanak Kanak P. A. Angandari Pemerolehan Bunyi Bahasa Indonesia pada Anak Usia 4 Tahun Astri Mayasari Learning Adonara Language by Sentence: A Syntactic Analysis Patrick P. B. Mikael Mengajarkan Kesantunan Berbahasa Bali melalui Teks Sastra I Gusti Ayu Gde Sosiowati Mother Tongue’s interference in The Pronunciation of English fricative consonants by Balinese EFL Learners I Kadek Restu Sumaranama Pemerolehan Fonosintaktik pada Bilingualisme: Sebuah Studi Kasus Bahasa Sasak Indonesia pada Anak Usia Tiga Tahun Irma Setiawan An Effective and Efficient Way to Teach Two Different Registers in The Javanese Language at The Same Time Erna Zulaeni Wiles Pemerolehan Bahasa Pertama Anak Usia Dua Tahun Anak Agung Istri Manik Warmadewi Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah dalam Kegiatan Pembelajaran Menulis Teks Negosiasi Gede Adistana Wira Saputra Faktor “Kepribadian” dalam Pemerolehan Bahasa Indonesia bagi Orang Asing di Lembongan I Nyoman Mokoh Wijaya Literal and Iniomatic Translation in Love and Death in Bali by Vicki Baum Ni Made Kajeng Martha Puspita 6
Kesalahan Kata Ganti dan Ejaan dalam Karangan Deskriptif Berbahasa Inggris Konteks Perkenalan Diri Gusti Agung Ayu Dwi Wella Suhartatik Implicit Situational in The Witch of Portobello and Its Translation Penyihir dari Portobello Made Nunik Sayani Kesepadana Makna Bahasa Inggris pada Papan Informasi di Wilayah Pura di Bali Putu Ayu Asti Senja Pratiwi, Ni Luh Putu Krisnawati, Yana Qomariana, I Komang Sumaryana Putra, Putu Weddha Savitri Serial Verb found in Tapaleuk Rublic and The Sketch of Translating It: A Semantic Analysis Teofilus Manu Pelestarian Bahasa Ibu melalui Teknik Penerjemahan Adaptasi Frans I Made Brata Noun and Adjective Clause Translation of The Catwoman Text Bonari Equivalence and Shifts in Translating Noun Phrases from English into Indonesian I. G. A. Agung Sintha Satwika The Analysis of Translation Methods in Translating The cultural Terms Used in The Novel Entitled The King, The Witch and The Priest by Pramoedya Ananta Toer Putu Widna Yuniwahari Roles Played by Semantic Theory on Translating SL into TL Anita Permatasari Penguasaan Kosakata Bahasa Inggris Anak Usia Dini dalam Kelas Bilingual I Gusti Ayu Sri Krisnawati Pengaruh Sikap Bahasa da Motivasi Belajar Bahasa terhadap Prestasi pada Mata Pelajaran Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia Siswa SMA di Denpasar I Gede Agus Suthanaya Pengaruh Penggunaan Multimedia terhadap Keterampilan Menulis Huruf Hiragana dan Katakana Peserta Didik di SMK Duta Bangsa Denpasar Tahun Pelajaran 2013/2014 Ni Wayan Ratih Darmayani Semantic Role Play in Reality: Ideology of Impossibility of Translation Polce Aryanto Bessie Metodologies for Translation in The Legendary Story “Romeo and Juliet” Ni Komang Lilik Arikusuma 7
Ni Luh Nyoman Seri Malini Luh Ketut Mas Indrawati
Interference and Integration in Short Story Entitled “Just A dream” Written by Dwi Rahma Sari Ni Kadek Risda Apriantika Dewi SASTRA Tradisi Lisan Jawa Tondano di Gorontalo sebagai Kontribusi Pendidikan Karakter dan Penguatan Jati Diri Muawal Panji Handoko Budaya Kritik di Ranah Tradisi lewat Media Modern: Studi Seni Magegitan melalui Radio di Bali I Wayan Suardiana Makna dan Nilai Dibalik Cium Sabu Lanny I. D. Koroh Estetika Syair Danding pada Masyarakat Manggarai Timur Imelda Olivia Wisang Daya Hidup Bahasa Arkais Lamaholot dan Revitalisasinya dalam Bidang Sastra Yoseph Yapi Taum Meaning and Value Behind The Rituals Dab’a Ana in Jingitiu Belief on Sabu Island Linda R. Tagie “Kecantikan” Dewi Bharali Prajna Paramita dalam Kakawin Jinarthi Prakreti Ida Bagus Rai Putra Kajian Humor Berbahasa Bali dalam Pertunjukan Wayang Cenk Blonk Putu Nur Ayomi Lopo Roby Nitbani Metaphor Analysis of The Song “I Won’t Give Up” by Jason Thomas Mraz Foni Nofita Fanggi Sikap Religius dalam Novel “The Scarlet Letter” Karya Nathaniel Hawthorne Ni Nyoman Tri Sukarsih dan Komang Tri Sutrisna Agustia Seni Pertunjukan Dulmuluk: Upaya Pemertahanan Seni Budaya Lokal Linny Oktovianny Gaya Bahasa Komunitas Waria di Kota Manokwari: Sebuah Deskripsi Awal Merry C. Rumainum Simbol Rumah Adat Khowa Dhawe pada masyarakat Dhawe-Aesesa Kabupaten Nagekeo 8
Maria Marietta Bali Larasati Ritual Koe Toko Embu Kajo Tradisi Masyarakat Roworeke Kabupaten Ende NTT Veronika Genua Kisah Persahabatan Angsa dan Kura-kura: Refleksi Pengendalian Emosi I Ketut Ngurah Sulibra dan I Wayan Suteja Pembentukan Karakter Anak Jepang melalui Puisi Silvia Damayanti dan Ni Putu Luhur Wedayanti Penguatan Identitas Kehinduan melalui Ritual Otonan A. A. Kade Sri Yudari Peranan Sekaa Santi dalam Pelestarian Bahasa dan Sastra Bali di Tingkat Pelajar Kabupaten Badung
9
Ni Luh Nyoman Seri Malini Luh Ketut Mas Indrawati
SISTEM PEWARISAN BAHASA BALI DI PROVINSI LAMPUNG Ni Luh Nyoman Seri Malini Luh Ketut Mas Indrawati Universitas Udayana
[email protected] Abstract This paper aims at discussing to real condition of Balinese (trans-) migrant in Lampung Province related to their efforts to develop Balinese language in Lampung Province. The research were conducted in Middle Lampung Regency with participation observation method. The results showed that the inheritance system of Balinese Languange by Balinese (trans-) migrants in Lampung region occurred informally and non-formal. Key words : Balinese, Language, transmigrant, Lampung. PENDAHULUAN Bahasa adalah cara pandang dan pola pikir masyarakat pemakainya. Melenyapkan satu bahasa identik dengan melenyapkan pola pikir manusia. Oleh karena itu, Koentjaraningrat (1985) memasukkan bahasa sebagai salah satu aspek utama kebudayaan. Kita bisa mempelajari pengetahuan tentang cara mengelola lingkungan, cara bertahan hidup, pengobatan, perbintangan, dan lain-lain suatu bangsa dari bahasa bangsa tersebut. Pengetahuan tersebut secara turun-temurun diwariskan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Terkait dengan pewarisan bahasa , peran orang tua menjadi sangat sentral. Orang tua merupakan mata rantai “pewarisan” bahasa daerah ke anak-anaknya. Jika si anak tidak menggunakan bahasa daerah tersebut, maka kemungkinan besar anak cucunya tidak memakai bahasa daerah tersebut. Ketidakterpakaian bahasa secara berkesinambungan dengan jumlah penutur yang terus menurun merupakan permulaan kepunahan suatu bahasa. UNESCO sangat prihatin dengan ancaman kepunahan bahasa-bahasa ibu di dunia. Dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, terjadi penurunan jumlah bahasa ibu, seperti di Papua dari 273 bahasa menjadi 271 bahasa, di Sumatera dari 52 bahasa kini 49 bahasa, dan di Sulawesi dari 116 bahasa turun menjadi 114 bahasa. Untuk itu, UNESCO pun merasa perlu menetapkan hari bahasa ibu internasional yang jatuh setiap tanggal 21 Februari. Salah satu kegitan yang dapat dilakukan untuk mencegah ancaman kepunahan suatu bahasa adalah dengan mengindentifikasi sistem pewarisan bahasa ibu yang ada di daerah transmigran seperti misalnya sistem pewarisan Bahasa Bali oleh transmigran Bali di Provinsi Lampung.
METODE Penelitian ini dilakukan di wilayah transmigran Bali di Provinsi Lampung. Provinsi Lampung termasuk provinsi yang penduduknya heterogen karena terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Hal tersebut dikarenakan sejarah Provinsi Lampung yang selalu membuka program transmigrasi dari daerah manapun di Indonesia. Provinsi Lampung dipilih sebagai tempat penelitian karena daerah ini merupakan daerah tujuan transmigrasi pertama dengan jumlah kepala keluarga terbesar bagi transmigran Bali. Adapun daerah yang menjadi fokus penelitian adalah enam desa di tiga kabupaten berbeda yang menjadi desa rintisan
10
transmigrasi dan daerah tujuan transmigrasi penduduk provinsi Bali. Desa-desa yang menjadi lokasi penelitian adalah Desa Rama Gunawan, Rama Dewa, dan Rama Nirwana di Kabupaten Lampung Tengah; Desa Toto Mulyo dan Mesuji di Kabupaten Tulang Bawang; dan Desa Rejobinangun Raman Utara di Kabupaten Lampung Timur. Data penelitian bahasa terdiri dari tiga jenis, yaitu ujaran lisan, data tulis, dan instuisi bahasa peneliti (Langacker, 1972:15). Intuisi dapat dipakai apabila peneliti sekaligus sebagai penutur asli dari bahasa yang sedang diteliti. Penelitian ini memanfaatkan dua jenis data, yaitu data lisan dan intuisi bahasa peneliti. Data lisan dikumpulkan dari kata-kata dan tindakan nyata warga transmigran Bali. Pemerolehan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi dan metode wawancara. Analisis data penelitian ini menggunakan teknik analisis data secara kualitatif dan secara kuantitatif.
KAJIAN PUSTAKA Wolfowitz (1991) melakukan penelitian terhadap masyarakat imigran Jawa di Suriname. Masyarakat Jawa di Suriname berasal dari desa di Jawa Tengah yang memiliki budaya Jawa yang ’tinggi’. Dengan menggunakan pendekatan antropologi dan sosiologi, penelitian ini mengamati pilihan bahasa masyarakat Jawa di Suriname. Penelitian itu menemukan bahwa generasi pertama menganggap kompetensi stilistik merupakan hal yang sangat penting pada status sosial, sedangkan bagi sebagian kecil generasi kedua dan ketiga kompetensi tersebut merupakan masalah pendidikan yang terkait dengan penghormatan. Hal lain yang ditemukan Wolfowitz pada masyarakat migran Jawa adalah bahwa mereka memiliki paradigma leksikal yang harus dikuasi oleh semua orang dewasa dan remaja dalam berbagai interaksi sosial. Koesoebjono (2000) mengatakan bahwa para migran asal Jawa di Suriname yang berjumlah sekitar 400.000 orang menduduki peringkat ketiga setelah orang- orang Creoles dan Hindu. Leluhur para migran ini tiba pertama kali di Suriname pada tahun 1890 sebagai pekerja. Sebagian besar dari mereka tinggal di Groningen, Amsterdam, Den Haag, Rotterdam, 'sHertogenbosch dan Zoetermeer. Meskipun mereka telah berhasil berintegrasi dengan kehidupan dan budaya Belanda, mereka berupaya terus menerus untuk mempertahankan identitas etnis kejawaannya dengan berbagai cara. Salah satu kegiatan yang belakangan dilakukan adalah dengan memperingati perayaan 110 tahun tibanya para migran pertama dari Jawa di Suriname. Keinginan orang-orang Jawa Suriname untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan asal mereka terlihat jelas dari usaha-usaha yang dilakukan seperti mendirikan lembaga-lembaga kerakyatan tradisional yang mereka kenal ada di Jawa. Mereka juga mengajarkan bahasa Jawa kepada generasi muda mereka dan mewariskan tradisi-tradisi beserta ekspresi-ekspresi kebudayaan Jawa, seperti pertunjukan wayang kulit, jaran kepang, tayuban, dan gamelan (Gooswit, 1988 dalam Koesobjono, 2000). Mereka juga menyelenggarakan upacara slametan, merayakan akhir bulan puasa (lebaran atau bodo), pernikahan ala Jawa, mitoni (upacara usia kehamilan tujuh bulan), dan sunatan. Seperti halnya di Jawa, mereka memiliki orang-orang yang mempunyai keterampilan khusus untuk melakukan upacara-upacara yang telah diungkapkan di atas, seperti dukun bayi (membantu orang melahirkan), dukun manten (memimpin upacara perkawinan), dan dukun sunat (dalam upacara sunatan). Penelitian ini menunjukkan bahwa pewarisan kebudayaan disampaikan secara oral dan sebagai konsekuensinya adalah banyak aspek kebudayaan menjadi kabur, menyimpang dari aslinya, dan mendapatkan interpretasi-interpretasi baru, atau bahkan hilang seiring perjalanan waktu. Adanya interpretasi dan pemaknaan tradisi yang berbeda dan digunakannya kata-kata yang bervariasi oleh masyarakat menunjukkan bahwa mereka datang atau berasal dari daerah yang berbeda di Jawa yang kemudian berdampak pula terhadap praktek formal kehidupan keagamaan mereka. Didapatkan pula bahwa saat ini kebudayaan Jawa Suriname telah dipengaruhi oleh kebudayaan kelompok etnis lain, termasuk juga oleh budaya barat. Dikatakan bahwa bahasa Jawa yang diwariskan kepada generasi muda Jawa Suriname merupakan bagian dari ekspresi-ekspresi kebudayaan Jawa. Ini ditunjukkan dengan masih dipeliharanya aras tutur bahasa Jawa yang diajarkan oleh migran generasi pertama di Suriname, seperti Jawa ngoko (variasi bahasa Jawa untuk mereka yang memiliki status sosial rendah) dan sebaliknya Jawa kromo (variasi bahasa Jawa untuk orang yang status sosialnya tinggi). Hal tersebut dialami juga oleh warga migran di berbagai belahan dunia lain, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Dil dan Curry (1981:159) di Amerika Serikat pada tahun 1924 mengenai keberagaman bahasa dan kontak bahasa. Mereka menyatakan bahwa dari tahun 1840 sampai dengan tahun 1924 di daerah-daerah
11
Ni Luh Nyoman Seri Malini Luh Ketut Mas Indrawati
Amerika Serikat terdapat perkembangan penguasaan berbahasa para emigran. Pada tahun 1840 kaum emigran cenderung menggunakan bahasa-bahasa kultur atau asalnya. Namun, pada tahun 1924 kaum emigran mengembangkan kecenderungan hanya menggunakan satu bahasa, yaitu bahasa Inggris. Dapat disimpulkan bahwa generasi ketiga kelompok emigran di Amerika Serikat cenderung melupakan bahasa kulturnya. Perubahan yang bersifat umum tersebut menurut Dil (1981:266) ternyata memiliki pola-pola khusus. Dil, juga melaporkan hasil pengamatannya terhadap perubahan kecenderungan penggunaan bahasa di negara-negara Eropa. Laporan tersebut menyatakan bahwa terdapat kecenderungan perubahan penggunaan bahasa yang pada dasarnya bersifat individual sehingga membentuk gejala umum. Artinya, makin dewasa individu suatu kelompok emigran atau kultur, makin besar kecenderungannya untuk meninggalkan bahasa kultur dan menggunakan satu bahasa yang dipahami oleh anggota antarkultur.
Kismosuwartono (1991:107) yang mengkaji pola pengasuhan anak keluarga petani transmigran Jawa dan Bali di Lampung Tengah. Salah satu aspek pembahasan yang dikemukakan yaitu penggunaan bahasa Jawa oleh anak-anak transmigran Bali dalam kehidupan sehari-hari. Kendati pihak orang tua berbicara bahasa Bali, anak-anak muda menjawabnya dengan bahasa Jawa. Hasil penelitian tersebut jelas menggambarkan gejala keterdesakan bahasa Bali. Meskipun penelitian ini bersifat antropologis, penelitian ini juga menyentuh masalah kebahasaan. Hasil penelitian yang menggambarkan adanya gejala memprihatinkan terhadap bahasa Bali itu mengisyaratkan bahwa pentingnya langkah-langkah mempertahankan bahasa Bali. HASIL DAN PEMBAHASAN Bahasa merupakan alat pengembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan inventaris ciri-ciri kebudayaan. Oleh karena itu, bahasa juga merupakan faktor penting dalam membentuk identitas kultural dan identitas sosial termasuk di dalamnya identitas etnis, anggota masyarakat. Terdapat dua faktor penting untuk menentukan butir nilai kultural seorang dwibahasawan, yaitu butir-butir nilai yang dihasilkan dari kontak kebudayaan dan lingkungan sosial yang spesifik dan lingkungan keluarga yang membentuk tipe pengalaman dwibahasawan tersebut. Dalam situasi bahasa dan kebudayaan, terlihat beberapa kemungkinan kasus. Kemungkinan kasus-kasus yang akan muncul tersebut adalah seperti berikut, 1) seseorang akan menggunakan satu bahasa di rumah, dan menggunakan bahasa lainnya di luar rumah atau di masyarakat; 2) seseorang akan menggunakan dua bahasa di rumah dan satu bahasa di antaranya dipergunakan di masyarakat; 3) seseorang akan menggunakan dua bahasa di rumah dan kedua-duanya juga dipakai di luar/masyarakat; dan 4) seseorang akan menggunakan dua bahasa di rumah, tetapi kedua-duanya tidak dipakai di luar/masyarakat. Berbagai kemungkinan terhadap situasi kebahasaan juga ditemukan di daerah transmigran Bali di Lampung. Di Provinsi Lampung, penutur bahasa Bali menggunakan bahasa Bali sebagai alat komunikasi interetnis. Bahasa Bali digunakan khususnya dalam ranah-ranah tertentu seperti ranah keluarga, kekariban, religi, pekerjaan-khususnya pertanian, dan ranah kesenian. Penutur bahasa Bali juga memiliki ranah-ranah tersendiri dalam yang tanpa di sadari telah meningkatkan fungsi bahasa Bali. Hal itu terlihat dari munculnya organisasi informal yang tergabung dalam sekeha-sekaha (kelompok-kelompok) tertentu seperti sekaha gong, sekeha igel, sekeha tajen, sekeha mancing . Anggota sekeha tersebut penutur bahasa Bali yang memiliki kesenangan yang sama dan rasa identitas etnis yang sama. Dalam berinteraksi mereka menggunakan bahasa Bali. Tanpa mereka sadari, para penutur bahasa Bali tersebut telah mengembangkan status fungsional bahasa Bali. Meskipun pengembangan sudah dilakukan, namun peningkatan mutu berbahasa tetap perlu dilakukan di kalangan penutur Bahasa Bali dalam hal ini transmigran Bali (Malini: 2011). Berdasarkan hasil penelitian terhadap sistem pewarisan bahasa Bali ditemukan fakta bahwa sistem pewarisan bahasa Bali terhadap generasi muda Bali berlangsung secara alamiah melalui jalur informal dan non formal.
Bahasa Bali di Lampung tidak diajarkan sebagai bidang studi tersendiri di sekolah, tetapi biasanya di selipkan dalam pelajaran agama Hindu. Hal tersebut dinyatakan oleh informan mengenai pengajaran bahasa di sekolah, seperti pernyataan berikut. 12
Kutipan […………] I : Untuk pendidikan bahasa Bali di Lampung bu...Sebenarnya kita sekarang kan wajib mengikuti bahasa lokal bu..Jadi anak-anak disini ya belajar Bahasa Lampung. .. P : Oh..ya.. Dari kelas satu ya bu..? I : Ya.. dari kelas satu sampai enam. Mereka bisa berbahasa Lampung, tapi ya tidak nyantol ... karena mereka kan tidak pakai sehari-hari... Jadi kalau disuruh ngerjakan tugas sekolah ya mereka bisa.. P : Aksaranya gimana bu...? I : Bisa... mereka bisa aksara Lampung... P : Gurunya bu...? I : Ya.. orang Bali atau Jawa...ndak ada yang orang Lampung. Jadi kemampuan gurunya ya begitu bu...karena ndak pernah dipakai sehari-hari. Kalau Bahasa Bali hanya diselip-selipkan saja bu kalau ada pelajaran agama Hindu... Tapi kan masalahnya kalau guru agamanya itu orang Bali, kalau orang Jawa ? Soalnya agama Hindu itu kan tidak hanya orang Bali ya bu.. Ya akhirnya ndak bisa juga... Menurut saya ya bu... Sekarang ini banyak orang salah kaprah tentang pengajaran bahasa Bali. Bahasa itu diajarkan kepada anak ketika anak sudah besar. Jadi anak itu susah bisanya bu.. Kalau saya ya bu..meskipun saya bukan Bali asli—saya ini sebetulnya keturunan Jawa bu.., tapi saya sudah diangkat anak oleh orang Bali sejak kecil dan menikah sama orang Bali..—tapi saya bisa berbahasa Bali, ya..walaupun yang bahasa halus tidak bisa bu.. Saya di rumah selalu berbahasa Bali dengan keluarga. Walaupun anak-anak kadang-kadang menjawab dengan bahasa Jawa atau Indonesia tapi saya tetep Bahasa Bali. Ke cucu saya pun saya selalu berbahasa Bali . Karena bu.. menurut saya anak-anak kecil itu di rumah harus diajarkan bahasa daerahnya sendiri, ya kalau kita kan Bahasa Bali ya. Bu.. Kalau yang orang Jawa ya.. bahasa Jawa. Bahasa Indonesia ndak usah diajarkan di rumah pun nanti mereka otomatis TK aja udah bisa kok.. wong bahasa pengantar di sekolah dan lingkungan begini kok.. Jadi intinya bu... bahasa Bali itu harus diajarkan sejak awal, kalau ndak gitu bisa punah bu... Wong anak saya, saya marahi bu.. kalau pake bahasa Indonesia.. P : Kalau dimasukkan kurikulum bu....? I : Idealnya begitu bu... Tapi kan banyak orang.. ya susah juga.. Seperti murid saya bu...hampir seluruhnya orang Jawa.., dua orang aja yang Hindu Bali, 2 orang Hindu Jawa .. Kalau diajarkan bahasa Bali... ya repot juga bagi anak yang lain. Tapi caranya ya itu tadi bu.. pintar-pintarnya guru agama Hindu Bali menyelipkan dan dilatih di rumah. Dari uraian informan terlihat bahwa bahasa Bali tidak diajarkan di sekolah secara formal tetapi hanya diselipkan saja pada mata pelajaran agama Hindu dan tentu saja dilakukan oleh guru agama Hindu etnis Bali. Dapat diprediksi bahwa pembelajaran bahasa Bali di sekolah tidak berlangsung secara sistematik. Informan juga tidak mengabaikan bahwa ditemukan kendala dalam pengajaran Bahasa Bali di sekolah yaitu bahwa jumlah penutur Bali lebih sedikit daripada penutur bahasa mayoritas. Namun demikian, informan juga mempunyai pandangan yang bahwa bahasa Bali harus diajarkan sejak dini dan dimulai dari rumah tangga. Melihat fenomena yang terjadi mengenai pengajaran bahasa, informan juga menunjukkan kekhawatirannya akan kepunahan bahasa Bali di masa mendatang. Kekwatiran tersebut perlu dijawab oleh berbagai pihak khususnya penutur bahasa Bali itu sendiri. Selain diselipkan pada pelajaran agama Hindu di sekolah, secara lebih terstruktur p elajaran bahasa dan aksara Bali diajarkan di jalur nonformal, yaitu di pasraman-pasraman yang ada di Lampung seperti yang terlihat dalam jadwal pelajaran berikut.
13
Ni Luh Nyoman Seri Malini Luh Ketut Mas Indrawati
Gambar 1. Kurikulum Bahasa Bali di Pasraman Aditya Dharma. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh informan bahwasanya ketersediaan guru yang mahir mengajarkan bahasa Bali di sekolah dan di lembaga nonformal seperti pasraman di Lampung sangat terbatas. Ketiadaan buku pelajaran bahasa Bali juga menyulitkan para guru dan murid untuk mendapatkan materi pelajaran bahasa Bali yang memadai. Kondisi riil di lapangan menuntut pemerintah dan penutur bahasa itu sendiri untuk bersinergi dalam upaya pembinaan dan pengembangan bahasa daerah khususnya dalam hal pendidikan.
Namun demikian berdasarkan pengamatan di lapangan, beberapa pura di Lampung Tengah sudah menggunakan papan nama yang menggunakan aksara Bali, seperti terlihat pada gambar berikut.
Gambar 2. Keberadaan aksara Bali pada Pura di Lampung Dari fakta gambar di atas terlihat telah adanya upaya sosialisasi aksara Bali oleh tingkat elit Hindu etnis Bali. Upaya lebih jauh terhadap sosialisi aksara Bali khususnya pada ranah-ranah sensitif seperti awigawig tampaknya belum dapat dilakukan oleh transmigran Bali. Hal tersebut dikarenakan karena keterbatasan transmigran Bali dalam memahami aksara Bali. Upaya penggunaan aksara Bali juga telah dilakukan oleh kalangan populis yaitu orang yang berpengaruh di kalangan transmigran Bali dengan menandai selesainya pembangunan rumahnya seperti terlihat pada gambar berikut.
14
Gambar 3. Aksara Bali di rumah transmigran Bali Pada saat ini penulisan aksara Bali oleh transmigran Bali masih menggunakan cara manual. Transmigran Bali belum tersentuh penulisan aksara Bali dengan komputer dengan program Bali Simbar. Aplikasi program Bali Simbar adalah piranti lunak aksara Bali. Bagi transmigran Bali hal tersebut merupakan kendala tersendiri dalam upaya sosialisasi aksara Bali. Bagi transmigran Bali yang umumnya berprofesi sebagai petani dan sebagian besar belum paham terhadap komputer jadi mengaplikasikan program Bali Simbar merupakan sesuatu yang rumit. Bagi kaum terpelajar penggunaan dan penyebar luasan informasi melalui aksara Bali juga merupakan kendala karena aksara Bali belum dikuasai oleh transmigran Bali khususnya kalangan generasi muda (Malini, 2011) Berdasarkan kutipan dan hasil observasi tersebut didapatkan gambaran bahwa upaya pewarisan bahasa Bali dilakukan secara informal melalui lingkungan keluarga karena secara formal, melalui jalur pendidikan, tidak ada kebijakan yang mengakomodasi untuk diajarkannya bahasa etnis asal di daerah transmigrasi. Oleh karena itu, kemampuan berbahasa Bali anak cenderung lemah dan tidak standar, terlebih lagi kondisi sosial di daerah transmigrasi yang beraneka ragam mengharuskan mereka untuk menguasai lebih dari satu bahasa untuk bisa berkomunikasi dengan etnis lainnya. Selain itu, kekerapan mereka berkontak dengan etnis lain berakibat pada menurunnya pajanan terhadap bahasa Bali dalam kehidupan transmigran Bali. Sehingga dapat dikatakan bahwa dinamika kebahasaan yang terjadi terdiri atas dua garis besar, yakni 1) Pajanan terhadap bahasa Bali di Lampung cenderung berkurang akibat faktor sosial-budaya; dan 2) Sistem pewarisan bahasa Bali yang hanya mungkin ditempuh secara infomal melalui lingkungan keluarga menyebabkan penggunaan atas bahasa Bali menjadi terdevaluasi karena bahasa Bali tidak berkembang sesuai dengan fungsi sosiolinguistiknya. Faktor pendorong hal ini terutama disebabkan oleh menurunnya penguasaan dan pemahaman terhadap bahasa Bali secara formal. Jadi secara implisit bisa dilihat bahwa kedua hal tersebut saling terkait satu sama lain. Grosjean (1995:240) dan Fasold (1987:83) mengatakan bahwa usaha pelestarian B 1 sangat bergantung pada situasi tempat bahasa itu digunakan, faktor pribadi, dan faktor sikap. Faktor pribadi terkait dengan anak itu sendiri dan faktor sikap mengacu kepada sikap anak itu sendiri, sikap orang tua anak, sikap keluarga dekat anak yang tinggal bersama, sikap teman-teman, guruguru, dan faktor lingkungan (Romaine,1995:236). Sutjaja (1996:220) menyampaikan bahwa komunitas Bali di Lampung menghadapi dua permasalahan pada saat bersamaan, yakni (a) memudarnya penggunaan aras tutur (speech level) dan tergantikan oleh penggunaan bentuk lumrah secara lebih dominan dan (b) bahasa Bali semakin jarang dipergunakan dan tergantikan oleh Bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Hal itu dapat dikatakan bahwa bahasa Bali yang dipergunakan di Lampung merupakan bentuk yang paling sederhana yang penggunaannya dipertahankan di sepanjang pura-pura dan kuil Bali sebagai penanda utama identitas ke-Bali-an mereka. Pejanan (exposure) terhadap Bahasa Bali menjadi jauh berkurang karena kontak dengan orang non-Bali yang berbicara dalam bahasa Indonesia atau Jawa menjadi kian intensif yang mengharuskan orang Bali menggunakan Bahasa Indonesia sebagai Lingua Franca. Bahkan, secara sosial anak-anak menjadi lebih sering berbahasa Jawa kepada tetangga Jawa mereka, sebaliknya anak-anak Jawa amat jarang yang berbahasa Bali. Dalam situasi menurunnya penggunaan bahasa Bali, dikatakan Sutjaja (1996:220) bahwa kesenian memegang peranan vital dalam upaya pemertahanan bahasa Bali di Lampung seperti yang terjadi di Bali. Berbagai bentuk kesenian mengemban peranan tersebut walaupun bentuk-bentuk kesenian ini telah
15
Ni Luh Nyoman Seri Malini Luh Ketut Mas Indrawati
mengalami perubahan. Rekaman-rekaman seni tradisional dan kesusastraan (pepaosan, kidung, arja, drama gong, dan wayang) yang didatangkan dari Bali dapat dianggap cara termudah untuk menjaga akses tradisi Bali di Lampung. SIMPULAN DAN SARAN Penguasaan bahasa Bali sebagai bahasa ibu etnis Bali di Lampung berlangsung secara alamiah. Artinya bahwa bahasa dikuasai karena interaksi dengan pemakai dalam pemakaian bahasa yang dikuasai. Sistem dan mekanisme pewarisan bahasa baik yang dilakukan pada ranah formal maupun informal Penguasaan bahasa ibu seperti ini tidak dirancang secara sistematik-formal. Analisis terhadap sikap bahasa para responden terhadap bahasa Bali menunjukkan bahwa para transmigran memiliki sikap positif terhadap bahasa Bali. Hal ini menjanjikan dampak yang cukup prospektif bagi pemertahanan bahasa Bali di Lampung. Akan tetapi kondisi ini perlu didukung oleh model dan sistem perencanaan bahasa yang komprehensif dan sesuai dengan konteks situasi kebahasan yang dialami transmigran Bali. Alternatif model perencanaan bahasa yang dapat diperhitungkan adalah perencanaan bahasa dengan prosedur perencanaan bahasa yang difokuskan pada fungsi bahasa dan dimensi perencanaan yang difokuskan pada perencanaan pemerolehan bahasa (acquisition planning). Acquisition planning menitikberatkan pada pengajaran dan pembelajaran bahasa, baik itu bahasa nasional, bahasa kedua atau bahasa asing. Hal ini meliputi usaha-usaha untuk mempengaruhi jumlah pengguna dan distribusi suatu bahasa dan aksaranya yang didapatkan dengan membuat suatu kesempatan dan insentif untuk mempelajari bahasa yang bersangkutan. Acquisition planning berhubungan langsung dengan penyebaran suatu bahasa. Hal ini biasanya dilakukan oleh suatu badan yang bertanggung jawab terhadap pengembangannya baik dalam tingkat nasional, regional, atau lokal.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, I. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Aitchison, J. 1991. Language Change: Progress or Decay. Sydney: Cambridge University Press Alwasilah, C. 2002. Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya Alwi, Hasan. 2001. “Kebijakan tentang Bahasa Daerah “ dalam Dendy Sugono dan Abdul Rozak Zaidan (eds).Bahasa Daerah dan Otonomi Daerah, Risalah konferensi Bahasa Daerah.hal 38-47. Jakarta: Pusat Bahasa Azwar, S. 2008. Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya (edisi kedua). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bagus, I. G. N. 2003. “Hidup Bersama dan Etik Multikultural: Peluang dan Tantangannya dalam Hidup Berbangsa” dalam Martono dkk (ed). Hidup Berbangsa dan Etika Multikultural. Universitas Surabaya: Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur Bell, R. T. 1976. Sociolinguistics: Goals, Approaches, and Problems. London: Batsford Blum, L. A. 2001. “Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas antar-ras: Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multikultural” dalam L. May, S. Collins-Chobanian, dan K. Wong (ed). Etika Terapan I: Sebuah Pendekatan Multikultural (terj). Hal. 15-25. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Budiono, P., Sugeng, P. H., dan Setiawan, A. 1997. “Strategi Budaya dalam Rangka Transformasi Budaya di Daerah Transmigrasi” dalam Muhajir Utomo & Rofiq Ahmad (ed). 90 Tahun Kolonialisasai, 45 Tahun Transmigrasi. Hal 185-190.Jakarta: Puspawara Chamber, J.K. 2003. Sociolinguistic Theory. UK/USA: Blackwell Publisher Collins, J. T. 2006. ”Bahasa Daerah yang Terancam Punah: Tinjauan di Maluku dan Kalimantan”. Makalah disajikan dalam Seminar Pelestarian Bahasa Daerah diselenggarakan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 9 Desember
16
Dhanawathy, N. M. 2001. “Bahasa Jawa bagi transmigran Bali di Lampung Tengah: Sebuah Fenomena yang mengisysratkan Pentingnya Pembinaan Bahasa Daerah Asal di Daerah Transmigrasi”. Makalah dalam Kongres Bahas Jawa III di Yogyakarta. Englebretson, R. 2003. Searching for Structure: The Problem of Complementation in Colloquial Jakarta Indonesian Conversation. Amsterdam: John Benjamin Publishing Fasold, R. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell Fay, B. 2002. Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer. Yogyakarta:Penerbit Jendela Garvin, P.L dan Matthiot, M. 1968. “The Urbanization of the Guarani Language: Problem in Language and Culture” dalam Fishman, Joshua (ed). Reading in the Sociology of Language. Mouton: The Hague Geertz, C. 1959. “Form and Variation in Balinese Village Structure” dalam American Anthropologist, 61, hal. 991-1012 Grosjean, F. 1982. Life with Two Languages: An Introduction to Bilingualism. England: Harvard University Press. Hamers, J. F. dan Blanc, M. H. A. 1989. Bilinguality and Bilingualism. Cambridge: Cambridge University Press. Hasanudin. 2009. “Wacana Identitas Etnik Masyarakat Minangkabau di Bali” (Disertasi). Denpasar: Universitas Udayana Haugen, E. 1974. “Dialect, Language, Nations” dalam Pride, J. B dan Holmes, J (ed). Sociolinguistics. London: Penguin Books Haugen, E. 1978. “Bilingualism, Language Context, and Immigrant Language in the United States” dalam Fishman, J. A. (ed). Advances in the Study of Social Multilingualism. The Hague: Mouton Koentjaraningrat. 1985. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan Koesoebjono. 2000. “Towards a new Javaneseness” makalah yang disajikan pada The 12th Workshop of the European Social Science Java Network/ESSSJN Amstredam, 20-21 Januari 2000 Krauss, Michael. 1992. “The World’s Languages in Crisis”. Languages LXVIII.1:4-10. Labov, W. 1994. Principles of Linguistic Change. USA: Blackwell Publishers Langacker, R, 1972. Fundamental of Linguistic Analysis. New York: Harcourt Lincoln, Y dan Guba, E. 1985. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills:Sage Publications Lukman. 2002. “Pemertahanan Bahasa Warga Transmigran Jawa di Wonomulyo-Polmas” dalam Buku Panduan Kongres Linguistik Nasional X. Denpasar: Masyarakat Linguistik Indonesia, Pusat Bahasa, dan Fakultas Sastra Universitas Udayana Mackey, W. F. 1968. “The Description of Bilingualism” dalam Fishman, J. A. (ed). Readings in the Sociology of Language. The Hague: Mouton Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT RajaGrafindo Malini, Ni Luh Nyoman Seri. 2011. ” Dinamika Bahasa Bali di Daerah Transmigran di Provinsi Lampung’’. Disertasi. Universitas Udayana. Denpasar Moeliono, A. M. 2010. ”Kebijakan Bahasa dan Perencanaan Bahasa di Indonesia: Kendala dan Tantangan”. Makalah disajikan pada Simposium Internasional Perencanaan Bahasa diselenggarakan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta Pelly, U. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi; Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta:Pustaka LP3ES Indonesia. Poedjosoedarmo, S. 1982. “Javanese Influence on Indonesian”. Material in Languages of Indonesia. No. 7. Series. D. Canberra: Pacific Linguistics Pretty, J. et al. 1996. Participatory Learning and Action : Trainer’s Guidline. IIED Salim, A. 2002. Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Sardjadidjaja, R. 2004. Transmigrasi: Pembauran dan Integrasi Nasional.Jakarta: CV. Muliasari Sobarna, C. 2007. ”Bahasa Sunda Sudah di Ambang Kematiankah?” dalam Makara: Humaniora, Sosial, jilid 11, No. 1, hal 13-17 Suhardi, B. 1996. Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif atas Sekelompok Sarjana dan Mahasiswa di Jakarta. Depok: Universitas Indonesia Suherdi, D. 2010. “Menempatkan Bahasa Ibu pada Kedudukannya yang Paling Tepat: Menjamin Keadilan bagi Kaum Minoritas” makalah disajikan pada Simposium Internasional Perencanaan Bahasa diselenggarakan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
17
Ni Luh Nyoman Seri Malini Luh Ketut Mas Indrawati
Suparno, E. 2007. Paradigma Baru Transmigrasi: Menuju Kemakmuran Rakyat. Jakarta: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sutjaja, I. G. M. 1996. “Balinese Transmigrants in Lampung: Language Change and Traditions” dalam Adrian Vickers (ed). Being Modern in Bali: Image and Change. New Haven: Monograph 43/Yale Southeast Asia Studies. UNESCO Ad Hoc Expert Group on Endangered Language. 2003. “Language Vitality and Endangerment” (dokumen keputusan International Expert Meeting on UNESCO Programme Safeguarding of Endangered Language, Paris, 10-12 Maret) Wijaya, P. 1999. “Bali” dalam I Wayan Supartha (ed). Bali dan masa Depannya. Hal 183-198. Denpasar: PT Bali Post. Wolfowitz, C. 1991 Language Style and Social Space; Stylistic Choice in Suriname Javanese. Urbana and Chicago : Universiy of Illinois Press.
18