STRATEGI PENUTUR DALAM MEMILIH BENTUK PRONOMINA PERSONA, NOMINA PENGACU, DAN NOMINA PENYAPA DI DALAM FILM REMAJA Nurhayati Universitas Diponegoro
Abstract The paper discusses the use of first and second personal pronouns, terms of reference, and terms of address by teenagers in three films: AADC, Eiffel I’m in Love, and Hearth. By using descriptive and interpretative approaches, the analysis shows that teenage actors/actresses use first personal pronoun: saya, aku, gue, and second personal pronouns: kamu and loe. Besides, they also use common names to refer and to address the hearers. The choice of a certain form by the speaker is influenced by certain context such as who is the hearer and the topic of conversation. Based on the context of teenagers’ society, the use of gue and loe represents identity of their identity. So, using the expressions doesn’t represent facethreatening act. The use of saya, kamu, and common nouns in certain contexts represents a positive politeness strategy of being in group. Speakers who change the strategy of addressing and uttering will change from using gue and loe to saya/aku and kamu or self-name. Key words: Pronomina I, Pronomina II, Nomina Pengacu, Nomina Penyapa, Ragam bahasa remaja, Strategi berkomunikasi
PENDAHULUAN Film sebagai salah satu bentuk media komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan realitas simbolis, tidak dapat dilepaskan dari perkembangan kehidupan masyarakat dan budaya pada masanya. Perubahan yang terjadi di dalam suatu kelompok masyarakat acapkali tercermin dalam sebuah film. Ini artinya segala aspek kehidupan yang terdapat dalam realitas yang sesungguhnya, atau disebut sebagai realitas objektif, merupakan sumber gagasan untuk menciptakan realitas simbolis dalam bentuk film. Sebaliknya, menampilkan realitas simbolis dalam sebuah film dapat memunculkan berbagai efek yang mampu merubah tatanan yang ada dalam realitas objektif. Hal itu disebabkan oleh suatu kenyataan bahwa dalam realitas simbolis itu terdapat berbagai muatan ideologis yang antara lain dikemas melalui penggunaan bahasa. Di dalam realitas objektif, kaum remaja, khususnya yang tinggal di kota-kota besar memiliki ragam bahasa sendiri yang sekaligus menjadi identitas kelompok yang membedakan kelompok remaja tersebut dengan kelompok masyarakat lain. Lumintaintang (dalam Riasa 2004) menyatakan
Nurhayati
bahwa ragam bahasa yang digunakan oleh kelompok ABG (Anak Baru Gede) berupa ragam santai. Ragam bahasa itulah yang diadopsi oleh penulis skenario untuk membangun dunia remaja dalam realitas simbolis melalui dialog yang dilakukan oleh para tokoh yang ada di dalamnya. Namun, di dalam beberapa film remaja yang diproduksi, setakat ini, saya melihat ada adegan-adegan dialog yang ditampilkan dengan cara yang berbeda dari adegan dialog pada umumnya. Perbedaan itu terdapat dalam pola penggunaan pronomina pertama dan kedua, nomina penyapa, serta nomina acuan. Alih-alih menggunakan loe dan gue, yang merupakan bentuk lain dari pronomina kedua dan pertama yang khas di daerah ibu kota, ada tokoh-tokoh remaja tertentu yang secara konsisten ditampilkan menggunakan saya/aku dan kamu dalam bertutur. Ada juga tokoh yang menggunakan kedua ragam tersebut secara selektif. Artinya, pilihan penggunaan salah satu dari kedua bentuk itu merupakan strategi yang dilakukan dengan sadar. Apa motivasi penutur menggunakan strategi tersebut menarik untuk diteliti. Berdasarkan paparan di atas, saya tertarik untuk melakukan suatu penelitian tentang strategi penggunaan pronomina, nomina penyapa, dan nomina acuan dalam bentuk dialog yang terdapat dalam film remaja. Masalah yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Bagaimana para tokoh remaja menggunakan pronomina pertama dan kedua, nomina penyapa, serta nomina acuan saat berkomunikasi dengan mitra tutur di dalam film remaja. b. Bagaimana strategi para tokoh remaja dalam film melakukan tindak tutur mengacu diri dan menyapa mitra tutur? Penelitian ini terbatas pada penggunaan pronomina persona pertama dan kedua, nomina penyapa, serta nomina pengacu karena topik inilah yang sepengetahuan saya setakat ini belum banyak dibahas orang. Unsur-unsur bahasa lain yang menjadi ciri bahasa remaja, seperti pilihan kosa kata, proses pembentukan istilah, dan struktur bahasa, sudah banyak diteliti orang. Alasan lain adalah bahwa aspek pronomina, nomina pengacu, dan nomina penyapa itulah yang paling banyak berhubungan dengan aspek strategi berbahasa, khususnya dengan aspek penghormatan terhadap mitra tutur. Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut. a. Menjelaskan bentuk pronomina persona pertama dan kedua, nomina penyapa, serta nomina pengacu yang digunakan oleh para tokoh remaja dalam film. b. Menemukan strategi berkomunikasi yang dilakukan oleh para tokoh remaja tersebut dalam melakukan tindak mengacu diri dan tindak menyapa. Penelitian ini menggunakan ancangan deskriptif dan interpretatif untuk memenuhi tujuan penelitian tersebut. Sumber data dalam penelitian ini adalah tiga film remaja yang berjudul Ada Apa Dengan Cinta (AADC), Eiffel I’m In Love (EIL), dan Heart. Pilihan atas tiga film tersebut didasari atas beberapa alas an berikut. a. Di dalam ketiga film tersebut terdapat variasi penggunaan pronomina persona pertama dan kedua, nomina penyapa, dan nomina pengacu. 98
Linguistik Indonesia, Tahun ke 27, No. 1, Februari 2009
b. Film AADC merupakan tonggak bangkitnya film remaja yang dianggap sukses di pasaran. Oleh karena itu apa yang ditampilkan dalam film tersebut menjadi referensi dalam produksi film-film remaja berikutnya. c. EIL dan Heart merupakan film yang topik dan konteksnya serupa dengan AADC dan mencapai sukses yang hampir sama dengan AADC. Data dalam penelitian ini berupa tuturan yang mengandungi pronomina persona pertama dan kedua, nomina penyapa, serta nomina pengacu yang dituturkan oleh tokoh remaja dalam ketiga film itu. Tuturan tersebut dianalisis berdasarkan konteks yang melingkupinya, yaitu siapa penuturnya, kepada siapa tuturan itu disampaikan, bagaimana latar tempat dan waktu saat penuturan, apa topik tuturan itu, dan sebagainya. Data tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode interpretatif sehingga masalah penelitian yang telah disebut di atas dapat terjawab. 1 LANDASAN TEORETIS Di dalam bagian ini akan diuraikan konsep dasar dan teori yang digunakan untuk menganalisis data. Tiga konsep dasar yang digunakan adalah ragam bahasa remaja; pronomina persona, nomina penyapa, dan nomina pengacu dalam bahasa Indonesia; serta kaitan antara bahasa dan identitas pemakainya. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori strategi kesantunan dari Brown dan Levinson (1987/1978). 1.1
Kedudukan Ragam Bahasa Remaja dalam Bahasa Indonesia
Menurut TBBI (1998: 3—9) ragam bahasa dalam bahasa Indonesia dapat digolongkan dari sudut pandang penutur menurut patokan daerah, pendidikan, dan sikap penutur. Berdasarkan patokan daerah, bahasa Indonesia memiliki banyak logat atau dialek, sedangkan berdasarkan pendidikan formal penutur, ada ragam bahasa yang mencerminkan bahwa penuturnya adalah kaum terpelajar, ada pula ragam bahasa yang mencerminkan bahwa penuturnya kurang mengenyam pendidikan formal. Sementara itu, ragam bahasa menurut sikap penutur menghasilkan corak yang disebut langgam atau gaya. Bentuk bahasa yang merupakan langgam itu ditentukan oleh sikap penutur terhadap mitra tuturnya. Sikap tersebut dipengaruhi oleh faktor umur, status sosial, tingkat keakraban, pokok pembicaraan, dan tujuan pembicaraan. Penggolongan ragam bahasa juga didasarkan atas jenis pemakaiannya dan sarananya. Bahasa berdasarkan jenis pemakainannya dikenal adanya ragam susastra, ragam hukum, ragam ekonomi, dan sebagainya. Berdasarkan atas sarananya, bahasa Indonesia mamiliki ragam lisan dan ragam tulisan. Berdasarka penggolongan di atas, di manakah letak ragam bahasa remaja? Menurut pendapat saya, definisi dan batasan istilah bahasa remaja belum begitu jelas. Beberapa peneliti yang mencoba meneliti ihwal ragam bahasa remaja ini menentukan definisi yang kurang tegas. Di dalam KBBI (1991: 77) bahasa remaja mempunyai definisi: ‘bahasa yang digunakan pada tahap proses pertumbuhan’; ‘bahasa yang ciri-cirinya secara khas dapat dihubungkan dengan kelompok remaja’. Definisi tersebut masih sangat longgar 99
Nurhayati
karena remaja yang tinggal di pelosok kemungkinan akan menggunakan ragam bahasa yang tidak sama dengan ragam bahasa dari remaja perkotaan. Sementara itu, Lumintaintang (dalam Riasa, 2004) memilih istilah bahasa ABG alih-alih bahasa remaja. Menurutnya, bahasa ABG memiliki kecenderungan sebagai ragam santai. Riasa (2004) menyatakan bahwa ragam bahasa remaja atau bahasa ABG merupakan bahasa sehari-hari penduduk Jakarta yang sangat kosmopolitan. Menurut Riasa (2004) ragam bahasa ABG memiliki ciri-ciri khusus, yaitu singkat, lincah, dan kreatif. Kalimat-kalimat dalam bahasa ABG cenderung berbentuk kalimat tunggal tidak lengkap sehingga akan menyebabkan kesulitas bagi pendengar yang bukan penutur asli bahasa Indonesia. Kosa kata dalam Bahasa ABG banyak diwarnai oleh bahasa prokem, bahasa gaul, dan bahasa slang. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat dirumuskan bahwa bahasa remaja atau bahasa ABG adalah ragam bahasa santai/bahasa sehari-hari penduduk Jakarta yang dikembangkan oleh kelompok remaja pengguna bahasa tersebut dengan cara membuatnya lebih singkat atau pendek, enak didengar, eksklusif, dan di dalamnya terdapat prokem, ‘bahasa gaul’, dan slang. Jadi, menurut pendapat saya, ragam bahasa remaja atau ragam bahasa ABG tidak sama dengan ‘bahasa gaul’. Jika kita kembali ke cara para ahli bahasa mengelompokkan ragam bahasa (TBBI 1998: 3—9), maka ragam bahasa remaja atau ragam bahasa ABG adalah ragam bahasa yang hadir atas sikap penutur dalam berbahasa. Ragam bahasa remaja ini dituturkan oleh kelompok remaja kepada sesama remaja dengan tingkat keakraban yang relatif tinggi, dan pokok pembicaraannya sekitar problematika kehidupan mereka. Atas dasar itulah ragam bahasa remaja tampak sebagai ragam bahasa santai. 1.2
Pronomina Persona, Nomina Penyapa, dan Nomina Pengacu dalam Bahasa Indonesia
Kajian mengenai pronomina dalam bahasa Indonesia masih sangat terbatas jumlahnya. Harimurti Kridalaksana (1994: 76—78) menjelaskan bahwa pronomina adalah kategori yang menggantikan nomina. Menurut Harimurti Kridalaksana (1994: 77), pronomina persona takrif dalam ragam bahasa Indonesia standar dikelompokkan sebagai berikut.
Pronomina persona I Pronomina persona II Pronomina persona III
singularis
Pluralis
Saya, aku Kamu, engkau, anda Ia, dia, beliau
Kami, kita Kalian, kamu sekalian, anda sekalian Mereka, mereka semua
Pendapat Alwi et al. (1998: 249) mengenai pronomina persona tidak jauh berbeda dari pendapat Harimurti. Hanya saja, di dalam ulasan mereka, Alwi et al. (1998: 249) menambahkan bentuk klitik dalam penggunaan pronomina persona. Menurut Alwi et al. (1998: 249), bentuk ku-, dan –ku termasuk dalam pronomina persona I tunggal; kau- dan –mu termasuk pronomina persona II tunggal; dan –nya termasuk dalam pronomina persona III 100
Linguistik Indonesia, Tahun ke 27, No. 1, Februari 2009
tunggal. Bentuk –ku pada umumnya digunakan dalam konstruksi kepemilikan. Menurut Alwi et al. (1998: 251), bentuk utuh aku tidak dipakai dalam konstruksi tersebut. Oleh karena itu, frasa *kawan aku, *sepeda aku, *anakanak aku dianggap taklazim dalam ragam bahasa Indonesia Standar. Paparan Alwi et al. (1998: 250) yang sangat berguna dalam penelitian ini adalah ihwal penggunaan pronomina persona dalam peristiwa tutur. Menurutnya, dalam bahasa Indonesia sebagian besar pronomina persona memiliki lebih dari dua bentuk. Pilihan atas penggunaannya dipengaruhi oleh konteks budaya bangsa Indonesia yang masih memperhatikan hubungan sosial dalam masyarakat. Menurut Alwi et al. (1998: 250), parameter yang digunakan sebagai ukuran dalam melihat hubungan sosial tersebut adalah umur, status sosial, dan keakraban. Untuk menunjukkan rasa hormat kepada mitra tutur yang lebih tua, misalnya, seorang penutur akan menggunakan saya alih-alih aku. Apabila penutur memiliki status sosial yang lebih tinggi dari pada mitra tutur, maka ia dapat menggunakan kamu. Dalam kasus terakhir tersebut, apabila hubungan keduanya sudah akrab sejak kecil maka mitra tutur juga dapat ‘berkamu’ kepada penutur. Itu artinya, ketiga parameter tersebut dapat saling menyilang sehingga penutur harus mempunyai pengetahuan atas parameter tersebut agar ia dapat menggunakan pronomina dengan tepat. 1.3
Bahasa dan Identitas
Selain sebagai alat untuk menyampaikan pesan dalam berkomunikasi, bahasa juga digunakan sebagai alat untuk mengekspresikan identitas individu, kelompok, atau identitas budaya. Harre (dlm. Whitebrook 2001: 6) menyatakan bahwa pengalaman pribadi manusia dibentuk dan disusun melalui tindak berbicara dan tindak menulis, serta melalui tindak mencari tahu bagaimana kondisi masyarakatnya. Semuanya itu dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa. Hodge dan Kress (1993: 6) juga berpendapat bahwa bahasa memiliki peranan penting dalam membentuk realitas. Bahasa merupakan alat yang digunakan untuk memanipulasi realitas objektif. Dengan menggunakan bahasa seseorang dapat memilih bagian realitas mana yang perlu dikomunikasikan dan bagian realitas mana yang perlu didistorsi. Dalam konteks tersebut realitas juga meliputi identitas individu. Artinya, seseorang dapat memilih identitas mana yang hendak digunakan untuk mencitrakan dirinya melalui penggunaan bahasa. Blommaert (2005: 206—207) menyatakan bahwa identitas tidak stabil tetapi senantiasa berubah. Identitas merupakan hasil konstruksi manusia. Identitas dapat tercermin melalui tindak berbahasa. Jadi, dalam melakukan tindak tutur, seseorang sekaligus dapat mengekspresikan dari kelas sosial manakah dirinya, dan juga hubungannya dengan orang yang diajak berbicara. Untuk ihwal yang terakhir tersebut, bahasa dikatakan mampu mengekspresikan suatu relasi kekuasaan dan Solidaritas. Di dalam tuturan: (1) Saya akan mewawancarai kamu besok pagi. (2) Saya akan mewawancarai Bapak besok pagi. Terdapat informasi mengenai perbedaan relasional antara penutur dan mitra tutur. Dalam contoh (1) posisi penutur lebih berkuasa daripada mitra tutur. Sebaliknya, dalam contoh (2), mitra tuturlah yang lebih berkuasa dibandingkan 101
Nurhayati
dengan penutur. Oleh karena itu, seorang penutur sejati akan mengunakan strategi tertentu dalam berbahasa berkaitan dengan upayanya untuk mengekspresikan identitas diri atau kelompok dalam relasinya dengan mitra tutur. 1.4 Teori Strategi Kesantunan dari Brown dan Levinson (1987/1978) Brown dan Levinson (1987/1978) mengemukakan konsep MP (Model Person), yaitu seseorang yang menguasai suatu bahasa dengan baik dan mampu menggunakan tersebut. Menurut Brown dan Levinson (1987/1978: 59, 62), semua MP memiliki muka positif, yaitu keinginan untuk disetujui atau dihargai dan muka negatif, yaitu keinginan untuk tidak dihalangi tindakannya. Dalam berkomunikasi, kedua muka tersebut berpotensi terancam sehingga MP akan berupaya melindunginya. Tindak tutur yang dapat mengancam muka MP, menurut Brown dan Levinson (1987/1978: 59) disebut tindak tutur mengancam muka atau Face Threatening Act (FTA). Berdasarkan jenis muka yang terancam, Brown dan Levinson (1987/1978: 65—68) membedakan FTA yang mengancam muka negatif dan yang mengancam muka positif. Jenis FTA yang pertama, antara lain ialah tindak memerintah, mengancam, membenci, mengagumi, dan marah, sedangkan jenis FTA yang kedua, antara lain adalah mengkritik, menghina, menuduh, menyapa, mengagumi, dan mengungkapkan emosi. Berdasarkan muka siapa yang terancam, Brown dan Levinson (1987/1978: 65) membedakan FTA yang mengancam muka penutur dari FTA yang mengancam muka mitra tutur. Sebagai contoh, tindak memerintah akan mengancam muka negatif mitra tutur karena tindak tersebut memaksa mitra tutur untuk melakukan sesuatu yang kemungkinan tidak dikehendakinya. Dalam hal tersebut, mitra tutur dihalangi kebebasannya. Menurut Brown dan Levinson (1987/1978: 69), dalam melakukan FTA, Seorang MP akan berupaya melindungi baik muka penutur maupun mitra tutur dengan cara memitigasi ancaman muka, kecuali ia memiliki maksud tertentu. Upaya tersebut dilakukan dengan cara memilih strategi tertentu dalam melakukan FTA. Menurut Brown dan Levinson(1987/1978: 60) ada lima strategi yang dapat dipilih oleh MP dalam mengungkapkan maksudnya tersebut, yaitu (i) bertutur tanpa menutup-nutupi (bald on record); (ii) bertutur langsung dengan menerapkan kesantunan positif; (iii) bertutur langsung dengan menerapkan kesantunan negatif; (iv) bertutur dengan ditutup-tutupi (off record); dan (v) tidak melakukan FTA. Kelima strategi tersebut dirinci ke dalam beberapa substrategi. Strategi kesantuanan positif terdiri atas tiga kelompok besar, yakni mengklaim sebagai satu guyup yang sama (claim ‘common ground’), memperlihatkan bahwa penutur dan mitra tutur bekerja sama, dan memenuhi keinginan mitra tutur (Brown dan Levinson 1987/1978:102). Ketiga kelompok tersebut dirinci lagi menjadi lima belas subtrategi. Strategi kesantunan negatif dirinci menjadi sepuluh substrategi, dan strategi bertutur dengan ditutup-tutupi dirinci menjadi lima belas strategi (Brown dan Levinson 1987/1978:102,131,214). Dalam menentukan strategi apa yang akan digunakan, seorang MP dipengaruhi oleh dua pertimbangan, yaitu imbalan yang akan diperoleh dan 102
Linguistik Indonesia, Tahun ke 27, No. 1, Februari 2009
variabel sosial (Brown dan Levinson 1987/1978:73—74). Sebagai contoh, dalam tindak memerintah, seorang MP yang memilih menggunakan strategi kesantunan negatif dengan mengatakan ‘Besok anda harus datang pukul 07.00 tepat’ alih-alih ‘Besok kamu harus datang pukul 07.00 tepat’ didasari oleh pertimbangan bahwa penggunaan anda dapat memitigasi ancaman muka negatif orang yang diperintah dengan harapan orang tersebut akan memenuhi perintah itu. Pertimbangan lain adalah penutur ingin mengurangi hubungan kekuasaan antara dirinya dan mitra tutur. 2 ANALISIS DATA 2.1 Penggunaan Pronomina Persona I dan II, Nomina Penyapa, serta Nomina Pengacu Berdasarkan data yang dianalisis, sebagian besar tokoh remaja yang terdapat dalam ketiga film tersebut menggunakan loe dan gua dalam bertutur. Fenomena ini merepresentasikan realitas objektif dari ragam bahasa remaja yang berbentuk santai dan tidak baku. Kata loe digunakan sebagai pronomina II untuk menyapa mitra tutur, sedangkan gua digunakan sebagai pronomina I untuk mengacu penutur. Namun, di dalam data tersebut ditemukan juga penggunaan pronomina I yang berupa saya dan aku, pronomina II yang berupa kamu, dan nomina penyapa dan pengacu yang berupa nama diri. Pilihan bentuk tutur tersebut digunakan untuk membangun karakter dari tokoh-tokoh tertentu, seperti penggambaran tokoh yang manja atau tokoh yang introvert. Penjelasan yang lebih detail mengenai konteks penggunaan bentuk loe, gua, saya, aku, dan kamu dapat dilihat dalam 2.2. Hal menarik yang ditemukan dalam data penelitian ini adalah bahwa setiap penutur selalu konsisten dalam menggunakan pasangan alat bahasa sebagai pengacu diri dan penyapa. Artinya, jika penutur menggunakan gue untuk mengacu diri, ia akan menggunakan loe untuk menyapa mitra tutur. Jika ia menggunakan nama saya atau aku untuk mengacu diri, ia akan menggunakan kamu untuk menyapa mitra tutur. Dan jika ia menggunakan nama diri untuk mengacu diri, ia juga akan menggunakan nama penutur untuk mengacu penutur. Selain strategi yang khas dalam memilih pronomina persona, nomina penyapa, dan nomina pengacu di atas, kecenderungan dari penutur ragam bahasa remaja adalah tindakan menghindari penggunaan klitik, khususnya –ku, ku-, dan –mu, seperti yang terdapat dalam contoh data berikut. (1) Farel : Ini Rachel, teman aku dari kecil. (2) Luna : Kamu tau bundaran di jalan ini, nggak? Seratus meter dari ini sebelah kanan ada rumah putih. Itu rumah aku. (3) Farel : Apanya yang lucu? Aku yakin setiap orang yang baca komik kamu bakalan sedih. Luna : Bukan. Bukan soal peri itu. Aku Cuma ingat waktu di kios bunga kamu bilang komik aku lucu. Lebih lucu dari Sincan. 103
Nurhayati
Farel : Itu bukan aku. Aku dibohongin oleh tukang buku itu. Tapi setelah aku baca komik kamu, komik kamu benar-benar bagus. Aku nggak pingin kamu kesepian seperti dalam komik kamu itu. Dalam contoh di atas, konstruksi teman aku, rumah aku, komik kamu, dan komik aku, digunakan alih-alih temanku, rumahku, komikmu, dan komikku. Bentuk utuh aku dan kamu dalam konstruksi di atas tidak digunakan dalam ragam bahasa Indonesia baku (Alwi et al. 1998:251). Namun, dalam ragam bahasa remaja, bentuk tersebut sering ditemukan. Oleh karena itu, menurut pendapat saya, penggunaan bentuk utuh aku dan kamu dalam konstruksi kepemilikan alih-alih penghindaran penggunaan klitik merupakan salah satu ciri dari ragam bahasa remaja. 2.2 Strategi Penggunaan Pronomina Persona I dan II, Nomina Penyapa, serta Nomina Pengacu Tokoh remaja yang terdapat di dalam ketiga film tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok berdasarkan cara mereka menggunakan pronomina persona I dan II, nomina penyapa, serta nomina pengacu. Kelompok pertama adalah mereka yang secara dominan menggunakan bentuk pronomina tertentu, dalam hampir semua konteks dan kelompok kedua adalah mereka yang secara selektif menggunakan bentuk pronomina, nomina penyapa, dan nomina pengacu tertentu berdasarkan konteks yang membingkai dialog tersebut. 2.2.1 Tokoh yang Selalu Menggunakan Gue dan Loe Kata gue dan loe masing-masing merupakan pengganti pronomina persona I dan II yang biasa digunakan dalam ragam bahasa remaja. Kedua kata tersebut lazim digunakan dalam suasana tutur sangat akrab, tidak formal, dan perbedaan usia antara penutur dan mitra tutur tidak terlalu jauh. Dalam ketiga film yang diteliti, tokoh yang secara dominan, bahkan konstan, menggunakan gue dan loe adalah tokoh Alya, Maura, Karmen, dan Milly (sahabat Cinta dalam AADC), Nanda (sahabat Tita dalam Heart), dan Intan (mantan pacar Adit dalam EIL). Mereka berdialog dengan sahabatnya atau dengan remaja lain yang baru dikenal (termasuk dengan Cinta dalam AADC dan dengan Tita dalam EIL). Situasi tutur dan mitra tutur mendukung mereka untuk bertutur dengan menggunakan gue dan loe. Peristiwa tutur itulah yang benar-benar mencerminkan penggunaan ragam bahasa remaja yang sesungguhnya. Di dalam konteks tersebut, para penuturnya beranggapan bahwa penggunaan loe dan gue dalam setiap peristiwa tutur tidak mengancam muka. Hal itu disebabkan jarak sosial antara penutur dan mitra tutur sangat dekat sehingga pertimbangan lain, seperti kuasa dan tingkat pembebanan, kurang signifikan. Imbalan yang diperoleh dengan menggunakan loe dan gue dalam konteks tersebut adalah rasa satu kaum (in group), yaitu kaum remaja. Namun, ada suatu peristiwa tutur yang memperlihatkan hubungan takseimbang antara penutur dan mitra tutur dalam melakkan tindak acuan dan
104
Linguistik Indonesia, Tahun ke 27, No. 1, Februari 2009
tindak sapaan. Penutur menggunakan nama diri, tetapi mitra tutur tidak. Hal tersebut tampak dalam contoh berikut. (4) Tita : Perasaan, Tita pernah ngeliat Intan, deh. Tapi di mana, ya? Kamu pernah muncul di TV, ya? Intan : Enggak. Kenapa? Tita : Nggak. Nggak pa pa. lupain aja, deh. Mungkin perasaan Tita aja. Intan : Loe tuh pernah ngerasa gondok nggak sih ngeladenin Adit? Tita : Gondok sih jangan ditanya. Gondok banget. Tapi Intan kan tau sifatnya dia. Mungkin emang orangnya kayak gitu. Intan : Terus dia pernah nanggepin eloe kalau diajak ngobrol? Di dalam dialog tersebut, Intan dan Tita baru pertama kali bertemu. Tita menggunakan kamu dan nama diri, Intan, untuk menyapa Intan. Tindakan Tita tersebut merupakan realisasi strategi kesantunan positif, yaitu substrategi dua (sympathy with hearer) (Brown dan Levinson 1987/1978:178). Menyapa orang yang baru kenal berpotensi mengancam muka positif mitra tutur apabila bentuk sapaan tersebut tidak berkenan. Oleh karena itu, untuk menghindari ancaman muka positif tersebut, penutur (Tita) memilih menggunakan nama mitra tutur, alih-alih loe, untuk menyapa mitra tutur. Namun, di dalam situasi yang sama, mitra tutur (Intan) menggunakan loe dan eloe untuk menyapa Tita. Hal ini memperlihatkan bahwa Intan menggunakan strategi bald on record, yaitu tindak tutur yang tidak menggunakan strategi kesantunan. Kata loe sudah menjadi ikon ragam bahasa yang digunakan oleh para remaja di perkotaan. Tindakan tersebut kemungkinan memiliki alasan bahwa Intan merasa sudah akrab dengan Tita, meskipun baru pertama kali bertemu. Sikap mudah akrab tersebut merupakan cerminan dari sikap berbahasa dari para remaja di kotakota besar di Indonesia. Tokoh Rachel, yang merupakan salah satu tokoh utama dalam Heart, juga hampir selalu menggunakan gue dan loe dalam berbagai suasana, termasuk dalam suasana yang menunjukkan hubungan yang tidak akrab. Perhatikan contoh dialog berikut. (5) Farel Luna
: Ini Rachel, teman aku dari kecil. : Aku mau ajak Farel jalan. Kalau gitu kamu ikut ya. (tuturan ditujukan ke Rachel) Rachel : Enggak ah. Ehm, sorry-sorry, gue lagi banyak kerjaan.
Dalam contoh tersebut tokoh Luna menggunakan aku dan kamu tetapi Rachel tetap membalasnya dengan menggunakan gue. Strategi untuk tetap menggunakan gue kepada Luna dilakukan Rachel untuk memperlihatkan bahwa ia tidak berada dalam satu kelompok dengan Luna. Suasana akrab tidak tampak dalam dialog tersebut. Di dalam dialog-dialog antara Rachel dan Farel, mereka menggunakan loe dan gue. Namun, Rachel berganti menggunakan aku dan kamu di dalam surat yang ia tulis untuk Farel menjelang kematiannya. Penggalan surat itu terdapat dalam contoh berikut. 105
Nurhayati
(6) Farel, sahabatku. Aku menulis surat ini sambil mengenang persahabatan kita yang penuh dengan kegembiraan dan tawa. Sejak kecil bermain basket bersama. Berlari-larian di atas bukit. Kamu buatkan aku mahkota indah dari dedaunan. Semua itu terlalu indah untuk kukenang. Persahabatan kita begitu dekat sampai tiba saatnya kamu jatuh cinta kepada Luna. Aku gembira melihat kamu bahagia. Tapi entah kenapa aku juga tiba-tiba merasa kehilangan. Penggunaan aku dan kamu dalam surat tersebut dilakukan oleh penutur (Rachel) untuk mengungkapkan makna bahwa jarak sosial antara dirinya dan mitra tutur (Farel) menjadi lebih jauh (Brown dan Levinson 1987/1978:76). Disertai dengan penggunaan gaya tutur formal, penggunaan aku dan kamu dalam surat tersebut juga dapat menghasilkan interpretasi lain, yaitu menggambarkan suasana yang menegangkan sekaligus efek puitis karena surat itu dibaca Farel pada saat Rachel sudah meninggal. Berdasarkan ulasan dan contoh-contoh diatas dapat disimpulkan bahwa upaya penulis skenario menghadirkan tokoh yang selalu menggunakan loe dan gue di segala situasi menghasilkan penggambaran cara bertutur para remaja di kota-kota besar pada umumnya. Kata acuan, gue, dan sapaan, loe, digunakan untuk menunjukkan bahwa mereka adalah satu kelompok masyarakat yang sama sehingga mereka dapat cepat merasa akrab. 2.2.2 Tokoh yang Secara Dominan Menggunakan Saya/Aku dan Kamu dalam bertutur. Tokoh Rangga dalam AADC secara konsisten menggunakan saya/aku dan kamu di dalam melakukan tindak mengacu dan menyapa. Cara tersebut merupakan penerapan dari salah satu strategi off record, yaitu give hints (Brown dan Levinson 1987/1978:213). Melalui strategi tersebut tokoh Rangga secara implisit bermaksud menciptakan jarak dengan mitra tutur. Meskipun mitra tuturnya menggunakan gue dan loe, Rangga tetap menggunakan saya, aku, dan kamu, seperti yang terdapat dalam contoh berikut. (7) Borne Rangga Borne Rangga Borne
: : : : :
Rangga : Teman Borne :
Borne
:
Rangga
:
Ada urusan apa loe ama Cinta. Oh, urusan pribadi. Iya, gue tau. Tapi apa? Emang nih kamu apanya Cinta? Bodyguard? Eh, elo nggak usah banyak nanya, deh. Loe cuman jawab aja. Jadi cuman kamu yang boleh nanya? Heh. Loe tau. Borne tu pacarnya Cinta. Loe jangan macem-macem ama Borne. Kalo loe macem-macem ama Borne, loe harus ngadepin gue, dia, dan dia. Loe ngerti? Gini aja kesepakatannya. Kalo loe udah nglawan gua, loe janji nggak akan ngganggu Cinta lagi. saya yakin nggak akan ada yang ngerasa terganggu. 106
Linguistik Indonesia, Tahun ke 27, No. 1, Februari 2009
Bahkan, pada saat hubungan antara Rangga dan Cinta sudah akrab, Rangga tetap menggunakan aku dan kamu. Strategi itu dilakukan oleh Rangga karena Rangga menganggap bahwa Cinta adalah sosok yang perlu dihormati. Dapat disimpulkan bahwa dalam setiap kesempatan Rangga senantiasa menggunakan strategi kesantunan negatif dengan menjaga jarak sosial dengan mitra tuturnya, meskipun hubungannya sudah akrab. Perilaku tutur yang demikian itu digunakan oleh penulis skenario untuk mendukung penggambarkan tokoh Rangga yang memiliki prinsip dalam hidupnya dan tidak terbawa arus oleh gaya kehidupan remaja perkotaan pada umumnya. Tokoh Luna juga hampir secara konsisten menggunakan aku dan kamu dalam bertutur. Tokoh Luna muncul dan berdialog dengan mitra tutur yang baru dikenal (dengan Farel dan Rachel). Luna digambarkan sebagai sosok yang tidak punya sahabat sehingga kita tidak mengetahui apakah dengan orang yang akrab ia tetap menggunakan aku dan kamu atau beralih ke gue dan loe. Pada saat pertama kali bertemu, Farel memulai percakapan dengan menggunakan gue dan loe, Luna menggunakan aku dan kamu sehingga hubungan antara penutur dan mitra tutur tidak setara. Perhatikan contoh berikut. (8) Farel : Hey, Luna, ya? Oh, sorry, Farel. Luna : Luna Farel : Pantesan kemarin tuh gua mimpi kejatuhan durian. Ternyata sekarang gua ketemu sama pengarang komik favorit gua. Oh, ya. Boleh minta tanda tangan? Komik loe tuh, bagus banget ya. Eh, gue udah baca komik dari Negara mana aja, komik loe tuh yang paling lucu. Malah, sincan aja kalah. Luna… Luna : Apa lagi? Farel : Alamatnya rada susah. Boleh minta denahnya, nggak? Luna : Kamu tau bundaran di jalan ini, nggak? Seratus meter dari ini sebelah kanan ada rumah putih. Itu rumah aku. Dalam konteks tersebut, penggunaan gue dan loe oleh tokoh Farel memperlihatkan bahwa menggunakan strategi kesantunan positif, yaitu use in group identity marker (Brown dan Levinson 1987?1978:107). Farel menganggap Luna sebagai kebanyakan remaja pada umunnya, yaitu yang menggunakan gue dan loe dalam bertutur dengan sesama remaja. Akan tetapi, dalam konteks tersebut penggunaan aku dan kamu oleh Luna memperlihatkan sikap Luna yang memberi jarak antara dirinya dengan mitra tutur yang baru ditemuinya (Farel). Strategi yang digunakan oleh Luna ini hampir sama dengan strategi yang digunakan Rangga. Strategi yang berbeda digunakan oleh Luna pada saat ia berdialog dengan ayahnya. Seperti kebanyakan remaja, Luna menggunakan nama diri. Penggunaan nama diri untuk mengacu diri sendiri dan nama mitra tutur untuk menyapa penutur merupakan realisasi strategi kesantunan positif, yaitu claim common (Brown dan Levinson 1987/1978: 118). Penggunaan nama diri dan nama penutur juga menghasilkan interpretasi tambahan, yaitu mengurangi jarak sekaligus menghormati mitra tutur dan meminta mitra tutur menghormati penutur. Penggunaan nama diri ini dalam konteks hubungan antara anak dan 107
Nurhayati
orang tua dimaksudkan untuk menghilangkan jarak sosial antara anak dan orang tua. Perilaku ini biasa dilakukan oleh anak terhadap orang tua. Sebaliknya, penyebutan nama diri oleh orang tua pada saat bertutur dengan anak memperlihatkan posisi orang tua sebagai pelindung bagi anaknya. 2.2.3 Tokoh yang Menggunakan Saya/Aku dan Kamu, Gue dan Loe, serta Nama Diri secara Bergantian. Di dalam ketiga film yang diteliti, terdapat tokoh-tokoh yang menggunakan lebih dari satu strategi dalam menggunakan pronomina persona I dan II. Mereka beralih dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain berdasarkan bagaimana hubungannya dengan mitra tutur, bagaimana suasana pada saat bertutur, dan topik apa yang sedang dituturkan. Tokoh pertama yang hendak dijelaskan adalah tokoh Farel dalam film Heart. Farel dikisahkan memiliki seorang sahabat sejak kecil yang bernama Rachel. Hubungannya yang sangat akrab dengan Rachel menyebabkan Farel menggunakan gue dan loe dalam bertutur dengan Rachel. Farel juga merupakan gambaran anak remaja pada umumnya. Oleh karena itu, pada saat pertama kali bertemu Luna, ia juga menggunakan gue dan loe (lihat contoh 8). Hubungan Farel dan Luna yang semakin akrab mengakibatkan Farel beralih menggunakan aku dan kamu, seperti halnya dengan Luna. Di dalam konteks tersebut Farel menggunakan strategi kesantunan positif, yaitu use in group identity marker. Dengan strategi tersebut Farel bermaksud memitigasi ancaman muka positif terhadap dirinya dan juga mitra tuturnya, yaitu Luna. Contoh berikut adalah pertama kali Farel menggunakan aku dan kamu setelah bertemu dengan Luna (bandingkan dengan contoh 8). (9) Farel : Baru kali ini aku membaca komik yang benar-benar menguras air mata. Peri kecil yang sedang menanti kematiannya. Sungguh kasihan. Hidup dalam situasi tanpa harapan. Kok kamu ketawa, sih? Luna : Enggak. Enggak. Lucu aja. Farel : Apanya yang lucu? Aku yakin setiap orang yang baca komik kamu bakalan sedih. Luna : Bukan. Bukan soal peri itu. Aku cuma ingat waktu di kios bunga kamu bilang komik aku lucu. Lebih lucu dari Sincan. Farel : Itu bukan aku. Aku dibohongin oleh tukang buku itu. Tapi setelah aku baca komik kamu, komik kamu benar-benar bagus. Aku nggak pingin kamu kesepian seperti dalam komik kamu itu. Dalam adegan selanjutnya, Farel secara konsisten menggunakan dua strategi di atas, yaitu tetap menggunakan gue dan loe pada saat bertutur dengan Rachel dan berganti menggunakan aku dan kamu pada saat bertutur dengan Luna. Ada beberapa adegan yang memperlihatkan Farel sedang bercakapcakap dengan orang yang lebih tua, yaitu dengan tukang majalah, dengan ayah Luna, dan dengan ibu Rachel. Dalam percakapan tersebut, Farel menggunakan strategi yang lain lagi, yaitu menggunakan saya untuk pronomina persona I. Salah satu contoh dialog Farel dalam konteks tersebut adalah sebagai berikut. 108
Linguistik Indonesia, Tahun ke 27, No. 1, Februari 2009
(10) Ibu Rachel : Dia nggak mau makan. Farel : Bu, boleh saya coba? Penggunaan saya dalam konteks di atas memperlihatkan adanya suatu penghormatan dan jarak keakraban antara Farel dengan ibu Rachel. Apabila Farel akrab dengan ibu Rachel, ia mungkin akan menggunakan nama diri sebagai pengganti saya, sehingga menjadi: (10a) Ibu Rachel : Dia nggak mau makan. Farel : Bu, boleh Farel coba? Farel juga tidak menggunakan aku alih-alih saya karena penggunaan saya dalam konteks tersebut lebih mengungkapkan rasa hormat dibandingkan dengan aku. Tokoh lain adalah Cinta. Cinta digambarkan sebagai sosok remaja modern dan dari kelas sosial atas dalam AADC. Pergaulannya yang luas antara lain digambarkan melalui gaya penuturannya yang mencerminkan gaya bahasa remaja dengan menggunakan gue dan loe baik dengan sahabatnya maupun dengan pacarnya yang juga digambarkan sebagai remaja metropolis. Pada saat pertama kali Cinta bertemu Rangga, Cinta juga menggunakan gue dan loe. Penggalan dialog tersebut dapat disimak dalam contoh berikut. (11) Cinta Rangga Cinta Rangga
: Rangga, ya? Gua mau ngucapin selamat ya buat loe. : Selamat apa? : Sebagai pemenang lomba puisi taun ini. : Saya nggak pernah ikutan lomba puisi. Apalagi sebagai pemenang. Maaf ya, saya lagi baca. Cinta : Gue kan belum selesai ngomong. Rangga : Barusan saya ngelempar pulpen ke orang gara-gara dia berisik di ruang ini. Saya nggak mau itu pulpen balik ke muka saya gara-gara saya berisik sama kamu. Cinta : Gua cuman mau ngomong sebentar kok.
Konteks yang membingkai dialog tersebut adalah sikap Rangga yang tak acuh menanggapi tuturan Cinta. Meskipun Rangga menggunakan gaya penuturan yang santai, ia menggunakan pronomina persona saya dan kamu. Sebaliknya, Cinta tetap menggunakan gue dan loe. Adegan-adegan seperti itu berlangsung beberapa kali sampai suatu saat Cinta merubah strateginya. Perhatikan dialog berikut. (12) Rangga : Cinta! Cinta : Manggil? Kenapa? Mau ngajak berantem lagi? Rangga : Oh, nggak. Saya pengin ngucapin terima kasih sama kamu. Sulit juga nyarinya. Buku langka soalnya. Cinta : Lalu? Rangga : Lalu … Kok senyum? Cinta : Lalu apa? Rangga : Ya sudah, gitu aja.
109
Nurhayati
Cinta
: Hey! Kamu tuh kalau lagi kebingungan tuh lebih nyenengin ya? Kamu bingung aja terus! Rangga : Kamu? Cinta : Hah? Rangga : Iya, kamu? Biasanya kan ngomongnya loe, gue. Cinta : Bales terus. Ngomong-ngomong dulu belinya di mana? Rangga : Di tukang loak. Kalau carinya di toko buku besar nggak ada. Cinta : Oh, kalau saya sih dulu langsung ke penerbitnya, jadi, ya… Perubahan penggunaan dari gue dan loe ke saya dan kamu, yang dilakukan oleh penutur (Cinta) merupakan strategi untuk melindungi muka positif penutur dalam melakukan tindak mengacu dan menyapa. Penutur memiliki konteks yang berupa pengetahuan bahwa mitra tutur (Ranggga) selalu menggunakan kata saya, aku, dan kamu. Penggunaan kamu sebagai kata sapaan dalam konteks tersebut dapat memitigasi ancaman muka positif mitra tutur. Di samping itu, penggunaan kamu dan saya dalam contoh di atas juga dapat diinterpretasi sebagai penerapan strategi kesantunan positif yang berupa using in-group identity marker (Brown dan Levinson 1987/1978:107). Dengan demikian, penggunaan saya dan kamu dalam konteks seperti dalam contoh di atas dapat mengungkapkan dua strategi dalam waktu yang bersamaan. Brown dan Levinson (1987/1978:230—231) menyebut fenomena itu sebagai strategi campuran atau mixture of strateyi. Tokoh Adit dan Tita dalam Heart juga menggunakan strategi yang berubah-ubah. Bahkan, strategi yang mereka gunakan lebih kompleks dibandingkan dengan strategi yang digunakan oleh Farel dan Cinta di atas. Adit dan Tita adalah tokoh utama dalam film EIL. Tita digambarkan sebagai anak yang manja dan kekanak-kanakan. Ia terbiasa menggunakan nama diri sebagai nomina pengacu dan penyapa saat bercakap-cakap dengan ayah, ibu, kakak, dan pacarnya. Pilihan untuk dalam menggunakan nama diri tersebut merepresentasikan strategi kesantuan positif untuk melindungi muka positif penutur. Melalui cara tersebut, penutur berharap orang lain tidak akan mengganggu penutur (Brown dan Levinson 1987/1978:68). Di dalam konteks lain, yaitu pada saat berdialog dengan teman, Tita menggunakan gue dan loe sedangkan pada saat berdialog dengan Adit, ia menggunakan kata kamu. Penggunaan kata kamu untuk menyapa mitra tutur (Adit) dilakukan oleh penutur (Tita) karena mitra tutur menyapa penutur dengan kata kamu. Melalui strategi ini penutur berusaha untuk menjadi satu kelompok dengan mitra tutur. Cara bertutur sama ini berubah pada saat kedua peserta tutur itu bertambah akrab dan berpacaran. Tokoh Adit menggunakan kamu dalam menyapa mitra tuturnya (Tita). Namun, pada saat hubungannya dengan mitra tutur semakin akrab, ia mengubah strategi. Konteks yang melatari peristiwa tersebut adalah pengetahuan yang diperoleh oleh Adit bahwa mitra tuturnya (Tita) di dalam lingkungan keluarga selalu menggunakan nama diri untuk melakukan tindak mengacu dan menyapa. Untuk senantiasa menjaga muka positif mitra tuturnya, penutur (Adit) juga menggunakan nama diri dalam mengacu diri sendiri menyapa mitra tutur, seperti yang terdapat dalam contoh (13). Cara itu 110
Linguistik Indonesia, Tahun ke 27, No. 1, Februari 2009
memperlihatkan bahwa penutur (Adit) menerapkan strategi kesantunan positif, yaitu intensify interest to hearer (Brown dan Levinson 1987/1978:106). (13) Adit : Jangan gitu dong, Tit. Adit bakal ngelakuin apa aja agar Tita bisa senyum. Tita : Tita mau Adit tetap di sini. Gak usak pulang ke Prancis. Tita mau kalau Tita bangun tidur Adit masih tidur di ruang tamu. Jadi Tita bisa tau kalau Adit masih tidur. Biar Tita bisa denger Adit lagi ngorok yang kenceng banget. Adit : Ya, abis mau gimana lagi, Tit. Adit harus pulang. 3 SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data yang telah di atas, perilaku tokoh remaja dalam penggunaan pronomina persona I dan II, nomina penyapa, dan nomina pengacu dapat disimpulkan seperti berikut. (1)
(2)
(3)
(4)
Penutur remaja dalam film remaja tersebut menggunakan strategi yang berlainan dalam memilih bentuk pronomina persona I dan II, nomina penyapa, serta nomina pengacu. Ada yang secara konsekuen menggunakan satu jenis strategi tertentu, ada pula yang secara selektif memilih beberapa strategi berdasarkan suasana tutur, tujuan bertutur, serta relasinya dengan mitra tutur. Bentuk ragam bahasa remaja juga ditandai oleh kecenderungan dalam menghindari penggunaan klitik –ku dan –mu yang mengungkapkan makna kepemilikan. Para remaja lebih senang menggunakan bentuk pronomina aku dan kamu secara utuh. Strategi tersebut dipilih dengan tujuan yang bermacam-macam, antara lain untuk menyatakan rasa satu kelompok, untuk menjaga jarak keakraban, menghilangkan jarak keakraban, serta untuk memenuhi apa yang dimaui mitra tutur. Perubahan penggunaan strategi dalam tindak mengacu dan menyapa dilakukan dalam satu arah, yaitu dari penggunaan gue dan loe ke saya dan kamu atau dari saya dan kamu ke nama diri (dilakukan oleh tokoh Cinta kepada Rangga (AADC), Tita kepada Adit (EIL), dan Farel kepada Rachel (Heart)). Dalam data tidak ditemukan perubahan penggunaan strategi dengan arah yang sebaliknya.
111
Nurhayati
DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, dan Anton M. Moeliono. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Edisi ketiga). Jakarta: Balai Pustaka. Blommaert, Jan. 2005. Discourse. Cambridge: Cambridge University Press. Brown, P. dan S.C. Levinson. 1987/1978. Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed. 2). Jakarta: Balai Pustaka. Gunarwan, Asim. 1994. Pragmatik: Pandangan Mata Burung. Dalam Soenjono Dardjowidjojo (Ed.). Mengiring Rekan Sejati. Jakarta: Unika Atma Jaya. Harimurti Kridalaksana. 1993. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia (Edisi kedua). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Holmes, J. 2001. An Introduction to Sociolinguistics. (Edisi kedua). London: Longman. Hodge, Robert, dan Gunther Kress. 1993. Language as Ideology. (ed. 2). London: Routledge. Riasa, Nyoman. 2004. Bahasa ABG dalam Cerpen Remaja: Implikasi Pengajarannya bagi Siswa/I Sekolah Menengah di Australia. http://www.ialf.edu/bipa/march2002/bahasaabg.html. Whitebrook, Maureen. 2001. Identity, narrative, and politics. London: Routledge. SUMBER DATA Ada Apa Dengan Cinta (Film layar lebar) Eiffel I’m In Love (Film layar lebar) Heart (Film layar lebar)
Nurhayati
[email protected] Fakultas Sastra Universitas Diponegoro 112