EFEKTIFITAS POSISI TRENDELENBURG DISERTAI FLEKSI DARI PINGGUL UNTUK MENINGKATKAN LEVEL BLOK PADA ANESTESI SPINAL The research aimed at investigating the effectiveness of trendelenburg position accompanied by hip flexion to increase block level on spinal anesthesia Charles Wijaya, Abdul Wahab, Muh. Ramli, Burhanuddin Bahar ABSTRACT The research used an experimental method with the number of samples of 40 patients who underwent lower abdomen and extremity surgeries with the spinal anesthesia technique in Wahidin Sudirohusodo Hospital from September to October 2010. The patients were ramdomly divided into two groups, i.e. hip flexion group (n = 20) got treatment of trendelenburg position accompanied by hip flexion after the spinal anesthesia with bupivacaine 0.5% 10 mg, and control group (n = 20) got treatment of conventional trendelenburg position after the spinal anesthesia with bupivacaine 0.5% 10 mg. The levels of sensoric and motoric blocks and haemodynamic changes of the two groups were the assessed and compared. Analysis of variable relationship was carried out by MannWhitney U test and Anova test if (p ≤ 0.05). The result of the research reveals that among 40 research subjects, age, body height, body weight, ASA classification, and surgery type are not significantly different on both groups. The level of maximal sensoric block pinprick and cold block are T4 (T12-T3) and T3 (T10-T2) on the hip flexion group, and T8 (T12-T6) and T6 (T10-T4) on the control group. There is no significant difference in terms of the level of the maximal motoric block between the two groups. Dissimilar with the control group, the average blood pressure and pulse beat decrease on the hip flexion group. It is obtained that the level of sensoric block pinprick and cold block are higher on the flexion group than the control group. The result is statistically significant (p ≤ 0.05). Keywords : Spinal anesthesia, trendelenburg position, hip flexion, bupivacaine 0.5% ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas posisi trendelenburg disertai fleksi dari pinggul untuk meningkatkan level blok pada anestesi spinal. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan jumlah sampel empat puluh pasien yang menjalani operasi abdomen dan ekstremitas bawah dengan teknik anestesi spinal di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusudo pada bulan September hingga Oktober 2010. Pasien dibagi secara acak ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok fleksi pinggul (n=20) memperoleh perlakuan posisi trendelenburg disertai fleksi dari pinggul setelah anestesi spinal dengan bupivacain 0,5% 10 mg dan kelompok kontrol (n=20) memperoleh perlakuan posisi trendelenburg konvensional setelah anestesi spinal dengan bupivacain 0,5% 10 mg. Level blok sensorik dan motorik serta perubahan hemodinamik kedua kelompok selanjutnya dinilai dan dibandingkan. Analisis hubungan variabel dilakukan dengan uji Mann-Whitney U dan uji Anova serta dinyatakan bermakna apabila p ≤ 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur, tinggi badan, berat badan, klasifikasi ASA, dan jenis operasi tidak berbeda secara bermakna pada kedua kelompok. Level blok sensorik maksimal pinprick dan dingin adalah T4 (T12-T3) dan T3 (T10-T2) pada kelompok fleksi pinggul serta T8 (T12-T6) dan T6 (T10-T4) pada kelompok kontrol. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam hal level blok maksimal motorik antara kedua kelompok. Tidak sama dengan kelompok kontrol, tekanan darah rata-rata dan denyut nadi mengalami penurunan pada kelompok fleksi pinggul. Didapatkan level blok sensorik pinprick dan dingin lebih tinggi pada kelompok fleksi pinggul dibandingkan kelompok kontrol. Hasilnya bermakna secara statistik (p ≤ 0,05). Kata kunci : anestesi spinal, posisi trendelenburg, fleksi pinggul, bupivacain 0,5% 1
PENDAHULUAN Latar Belakang Selama anestesia spinal, lordosis dari vertebra lumbal mungkin akan mempengaruhi penyebaran dari zat anestetik lokal hiperbarik yang diberikan secara intratekal. Pemberian anestetik lokal hiperbarik pada interspaces yang lebih rendah dari L3-4 mungkin mengakibatkan level blok spinal lebih rendah dari yang diantisipasi menyusul berkumpulnya obat di regio sakralis.1 Saat level blok spinal tidak cukup tinggi untuk melakukan pembedahan, posisi Trendelenburg digunakan untuk meningkatkan level dari blok. Bagaimanapun, jika penyebaran sephalad dari anestetik lokal hiperbarik akan dibatasi oleh lordosis dari vertebra lumbal, maka posisi Trendelenburg mungkin akan kurang begitu efektif. Miyabe dan Namiki2 menemukan bahwa penyebaran sephalad setelah penyuntikan intratekal dari 2-3 ml tetracaine 0,5% heavy adalah lebih tinggi pada posisi Trendelenburg daripada posisi horizontal. Sebaliknya, Sinclair dan kawan dankawan1 mengamati bahwa level blok spinal tidak secara signifikan meningkat pada posisi Trendelenburg setelah penyuntikan intratekal dari Bupivacain 0,5% heavy 3 ml dibandingkan dengan posisi horizontal. Hasil yang tidak konsisten ini mungkin dapat dijelaskan melalui adanya tingkat yang bervariasi dari penyebaran sephalad agen anestetik di atas dari lordosis vertebra lumbal selama posisi Trendelenburg. Namun Kim dan kawan-kawan menemukan bahwa level blok maksimum dari tes pinprick dan tes dingin akan lebih tinggi pada pasien posisi trendelenburg disertai fleksi pinggul [T4 (T8C6) dan T3 (T6-C2)] daripada posisi trendelenburg saja [T7 (T12-T4) dan T5 (T11-T3)], setelah penyuntikan bupivacaine 0,5% heavy 2,6ml 13 mg.21 Meskipun posisi Trendelenburg tidak menjamin penyebaran dari suatu anestetik lokal ke regio thorakalis,1 level analgesia dilaporkan lebih tinggi pada posisi Trendelenburg dibandingkan dengan posisi supine horizontal.2,3 Kebalikan terhadap distribusi unimodal dari level maksimal blok spinal tanpa lordosis lumbal, lordosis lumbal nampaknya menjadi penyebab distribusi bimodal melalui pembagian obat yang diinjeksikan antara regio sakralis dan thorakalis.4,5 Karena lordosis dari vertebra lumbal dapat diluruskan melalui fleksi dari pinggul,4-6 maka kami berhipotesa bahwa dengan fleksi pinggul pada posisi Trendelenburg akan lebih efektif untuk meningkatkan level blok spinal. Penelitian ini dilakukan untuk menilai jika posisi Trendelenburg dengan fleksi dari pinggul sebagai suatu strategi untuk meningkatkan level anestesia spinal saat dibutuhkan. Rumusan Masalah Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Sejauh mana efektifitas posisi trendelenburg disertai fleksi dari pinggul untuk meningkatkan level anestesi spinal setelah blok spinal? Tujuan Penelitian Tujuan Umum Menilai efektifitas posisi trendelenburg disertai fleksi dari pinggul untuk meningkatkan level anestesi spinal setelah blok spinal. Tujuan Khusus 1. Membandingkan perbedaan ketinggian level blok motorik antara posisi trendelenburg dan posisi trendelenburg disertai fleksi dari pinggul setelah blok spinal. 2. Membandingkan perbedaan ketinggian level blok sensorik antara posisi trendelenburg dan posisi trendelenburg disertai fleksi dari pinggul setelah blok spinal. 3. Membandingkan perbedaan perubahan hemodinamik antara posisi trendelenburg dan posisi trendelenburg disertai fleksi dari pinggul setelah blok spinal. Hipotesis Posisi trendelenburg disertai fleksi dari pinggul lebih efektif untuk meningkatkan level anestesi spinal setelah blok spinal daripada posisi trendelenburg tanpa fleksi dari pinggul. 2
Manfaat Penelitian Dapat menjadi strategi untuk meningkatkan level anestesi spinal saat level blok spinal yang dibutuhkan terlalu rendah, serta dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian lanjutan. METODE PENELITIAN Desain penelitian Penelitian ini merupakan suatu penelitian dengan disain uji klinis acak tersamar tunggal. Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan jejaringnya di Makassar selama 2 bulan. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN Populasi penelitian Populasi Populasi penelitian ini adalah pasien dewasa yang menjalani operasi ekstremitas dan abdomen bawah, elektif atau emergensi di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan jejaringnya di Makassar selama 2 bulan. Sampel Sampel penelitian diambil dari populasi terjangkau dengan cara consecutive sampling dan kemudian dibagi dalam kelompok yang diuji dan kelompok kontrol secara acak. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria inklusi: a. Usia 30-50 tahun b. Berat Badan : 50-70 kg c. Tinggi Badan : 160-170 cm d. PS. ASA 1-2 e. Pembedahan elektif abdomen dan ekstremitas bawah dengan teknik anestesi blok spinal f. Level blok tidak melebihi Torakal 10 setelah anestesi spinal g. Ada persetujuan dari dokter primer yang merawat Kriteria eksklusi: a. Penderita tidak kooperatif b. Kontraindikasi teknik anestesi blok spinal c. Riwayat alergi terhadap obat anestesi lokal bupivacaine d. Menderita penyakit kardiovaskuler dan penyakit hepar BESAR SAMPEL Dengan N = 45 berdasarkan tabel Isaac & Michael, sampel ditentukan n = 40 dengan taraf kesalahan 5% ( α = 0,05). CARA PEMILIHAN SAMPEL Pemilihan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling CARA KERJA Subyek yang memenuhi kriteria ikut dalam penelitian menjalani prosedur persiapan operasi elektif yang berlaku. Kateter intravena 18G dipasang dan lebih kurang 500 ml larutan koloid diberikan secara cepat sebelum dilakukan anestesi spinal dan monitoring EKG dan tekanan 3
darah non invasif dilakukan selama anestesi dan pembedahan. Semua tindakan anestesi spinal dilakukan oleh seorang residen senior anestesi dengan menggunakan jarum spinal 25G tipe Quincke yang dilakukan pada daerah interspaces L4-5 dengan pasien posisi duduk. Setelah konfirmasi adanya aliran bebas dari cairan likour serebrospinalis, 2,0 ml (10 mg) bupivacain heavy 0,5% diinjeksikan dengan waktu kira-kira 10 detik tanpa barbotage. Segera setelah jarum spinal dicabut, pasien dikembalikan secara perlahan-lahan ke posisi supine horizontal. Pasien dengan tes pinprick level bloknya mencapai T10 atau lebih tinggi setelah penyuntikan intratekal dikeluarkan dari penelitian ini. Jika dengan tes pinprick level bloknya lebih rendah dari T10, pasien akan secara acak ditempatkan di antara dua grup sampai 20 pasien tercapai pada setiap grup: posisi Trendelenburg dengan fleksi dari pinggul dan lutut (grup fleksi pinggul) dan posisi Trendelenburg tanpa fleksi dari kedua sendi (grup kontrol). Pasien grup kontrol berbaring posisi supine dengan kedua kaki lurus dan meja operasi direndahkan 15o posisi head down. Pasien grup fleksi pinggul ditempatkan dengan derajat yang sama dengan kepala direndahkan, tetapi dengan pinggul dan lutut difleksikan dan pinggul sedikit dirotasikan ke luar. Pasien diminta untuk memfleksikan pinggul mereka sebisa mungkin tanpa tahanan sementara dua orang asisten membantu pasien untuk mempertahankan posisi fleksi dari pinggul dan lutut. Lima menit setelah posisi Trendelenburg, semua pasien dikembalikan ke posisi supine horizontal dengan kedua kaki lurus. Pembedahan dimulai saat tes pinprick level bloknya telah dikonfirmasikan sekurang-kurang dua dermatom lebih tinggi dari daerah pembedahan. Blokade motorik dan sensorik dinilai dengan jarum 21G dan menggunakan skala Bromage modifikasi setiap 5 menit sampai 30 menit pertama setelah injeksi intratekal, kemudian setiap 10 menit sampai level blok pinprick menurun sampai T10, dan kemudian setiap 30 menit sampai 150 menit terlewati. Blokade spinal dinilai oleh residen senior anestesi pertama dari 5 menit setelah penyuntikan intratekal sampai pasien dikembalikan dari posisi Trendelenburg ke posisi supine horizontal, dan kemudian blok spinal di nilai oleh residen senior anestesi kedua kedua secara blind terhadap grup-grup pasien. Waktu sampai blok motorik dan tes pinprick maksimal dan waktu regresi sampai T10 juga dicatat. Tekanan arteri rata-rata dan denyut jantung juga dicatat setiap 5 menit sampai 30 menit setelah penyuntikan intratekal dan dimonitoring sepanjang operasi. Atropin 0,5 mg diberikan secara i.v saat denyut jantung lebih rendah dari 50 x/menit dan, jika tekanan darah sistolik turun sampai di bawah 90 mm Hg, 10 mg ephedrine diberikan secara i.v. HASIL PENELITIAN Dari 40 pasien yang diikutkan dalam penelitian ini, yang dibagi secara acak menjadi dua kelompok masing-masing 20 orang. Kelompok fleksi pinggul mendapatkan perlakuan berupa posisi trendelenburg disertai fleksi dari pinggul dan lutut, lima menit setelah penyuntikan bupivacain heavy 0,5% 10 mg. Dan kelompok kontrol mendapat perlakuan berupa posisi trendelenburg tanpa fleksi dari pinggul dan lutut. Selanjutnya level ketinggian blok sensorik dan motorik dan perubahan hemodinamik yang menyertai kedua kelompok dicatat dan dibandingkan.
4
Karakteristik Sampel Pada tabel 1 terlihat bahwa variabel karakteristik demografi tidak berbeda secara bermakna antara kedua kelompok (p > 0,05). Tabel 1: Karakteristik subyek penelitian kedua kelompok Kelompok Fleksi Kelompok Kontrol Pinggul (n=20) (n=20) Umur (th) 35,70 (SD 6,5) 37,35 (SD 8,2) Tinggi Badan (cm) 163,8 (SD 4,7) 165,5 (SD 5,1) Berat Badan (kg) 59,53 (SD 6,68) 58,71 (SD 5,91) Klasifikasi ASA (I/II) ‘5/15 ‘7/13 Pembedahan abdomen ‘9/11 ‘10/10 dan ekstremitas bawah Variabel
Nilai p 0,210 0,235 0,775 0,312 0,442
Data disajikan dalam bentuk mean ± simpangan baku (SD) dan diuji dengan student t-test independent. *Diuji dengan chi square. V.2. Ketinggian Level Blok Tabel 2: Perbandingan blok sensorik dan blok motorik kelompok fleksi pinggul dan kelompok kontrol Kelompok Fleksi Kelompok Variabel Pinggul Kontrol Nilai p (n=20) (n=20) 1. Blok Sensorik a. Tes Pinprick L5 (S3-T12) L5 (S4-L1) 0,610 • Menit Ke-5 T6 (T12-T4) T10 (T12-T6) 0,018 • Menit Ke-10 T4 (T12-T3) T8 (T12-T6) 0,028 • Blok Maksimal • Waktu Penyebaran 30 (11) 19 (3) 0,005 Maksimal mean (SD) • Waktu Regresi 83 (14) 51 (18) 0,030 T10 (SD) b. Sensorik Dingin L3 (S2-T8) L3 (S1-T10) 0,830 • Menit Ke-5 T5 (T12-T3) T8 (T12-T5) 0,026 • Menit Ke-10 T3 (T10-T2) T6 (T10-T4) 0,015 • Blok Maksimal 2. Blok Motorik 3 (1-3) 3 (0-3) 0,067 • Blok Maksimal • Waktu Blok 14 (6) 17 (10) 0,053 Maksimal (SD) Keterangan :
Data diuji dengan menggunakan analisa statistik Mann-Whitney U. Dinyatakan berbeda bermakna bila nilai p≤ 0,05.
5
Level blok pinprick maksimal C2 ● Fleksi Pinggul C3 C4 ○ Kontrol C5 C6 T1 T2 ● T3 ●●●●●●●● T4 ●● T5 ● T6 ○○○ ● T7 ○○ ●● T8 ○○○○○○○ T9 ○ ●●● T10 ○○○○○ T11 ○ ●● T12 ○ L1
Level blok sensorik dingin maksimal C2 C3 C4 C5 C6 T1 ●● T2 ●●●●● T3 ●●●● T4 ○○○ ● T5 ○○ ●●● T6 ○○○○○ ●● T7 ○○ ●● T8 ○○○○ T9 ○ ● T10 ○○○ T11 T12 L1
Grafik 1. Distribusi maksimal dari level blok tes pinprick dan sensasi dingin pada kedua grup. Blokade tes pinprick dan sensasi dingin menyebar lebih sephalad pada grup fleksi pinggul dibandingkan dengan grup kontrol (p≤0,05 untuk blok pinprick dan p<0,05 untuk blok sensasi dingin). Tabel 3: Kenaikan level segmen pada blok sensorik tes pinprick dan sensorik dingin kelompok fleksi pinggul dan kelompok kontrol Kelompok Fleksi Kelompok Nilai p Variabel Pinggul Kontrol (n=20) (n=20) 1. Blok Sensorik a. Tes Pinprick 2,60 (0,94) 2,90 (0,85) 0,300 • Rerata (SD) Menit Ke-5 • Rerata (SD) Menit Ke6,15 (1,63) 6,25(1,21) 0,830 10 • Rerata (SD) Level 9,80 (2,44) 8,15 (1,09) 0,010 Segmen Maksimal b. Sensorik Dingin 2,70 (1,03) 3,10 (1,21) 0,270 • Rerata (SD) Menit Ke-5 • Rerata (SD) Menit Ke5,75 (1,07) 5,75 (1,52) 1,000 10 • Rerata (SD) Level 9,60 (1,43) 7,85 (1,53) 0,000 Segmen Maksimal Keterangan: Rerata (mean) kenaikan level segmen yang dihitung dari titik 0 (level segmen kontrol). Diuji dengan independent t-test, dinyatakan bermakna jika p≤0,05
6
Kenaikan Segmen
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
nilai p
Pin Prick Klp Kontrol Pin Prick Klp Flexi Pinggul 5.00
10.00
maksimal
0.30
0.83
0.01
Menit Ke
Kenaikan Segmen
Grafik 2. : Kenaikan level segmen pada blok sensorik tes pinprick kelompok fleksi pinggul dan kelompok kontrol
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
nilai p
Cold Test Klp Kontrol Cold Test Klp Flexi Pinggul 5.00
10.00
maksimal
0.27
1.00
0.00
Menit Ke
Grafik 3. : Kenaikan level segmen pada blok sensorik dingin kelompok fleksi pinggul dan kelompok kontrol
7
V.3. Perubahan Hemodinamik
Tekanan Arteri Rerata (mmHg)
120
p=0,03
100 80 60
MAP Fleksi Pinggul MAP Kontrol
40 20 0
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
Waktu (menit)
Grafik 4. Perubahan pada tekanan darah rata-rata (MAP) pada kedua kelompok 120
Denyut Jantung (x/menit)
100 80 60
HR Fleksi Pinggul HR Kontrol
40
p=0,036
20 0
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
Waktu (menit)
Grafik 5. Perubahan denyut jantung pada kedua kelompok
DISKUSI Miyabe dan Namiki2 menemukan bahwa penyebaran sephalad setelah penyuntikan intratekal dari 2-3 ml tetracaine 0,5 heavy adalah lebih tinggi pada posisi Trendelenburg daripada posisi horizontal. Sebaliknya, Sinclair dan kawan-kawan1 mengamati bahwa level blok spinal tidak secara signifikan meningkat pada posisi Trendelenburg setelah penyuntikan intratekal dari 8
Bupivacain 0,5% heavy 3 ml dibandingkan dengan posisi horizontal. Hasil yang tidak konsisten ini mungkin dapat dijelaskan melalui adanya tingkat yang bervariasi dari penyebaran sephalad agen anestetik di atas dari lordosis vertebra lumbal selama posisi Trendelenburg. Pada penelitian ini, akan dilihat pengaruh posisi Trendelenburg yang diperbesar melalui perataan dari lordosis lumbal. Namun Kim dan kawan-kawan menemukan bahwa level blok maksimum dari tes pinprick dan tes dingin akan lebih tinggi pada pasien posisi trendelenburg disertai fleksi pinggul setelah penyuntikan bupivacaine 0,5% heavy 2,6ml 13 mg.21 Puncak dari lordosis lumbal berlokasi pada vertebra L4 atau interspaces L3-4.6 Secara klinik, pemilihan interspaces L4-5 atau L5-S1 sebagai lokasi spinal mungkin akan mengakibatkan level analgesia yang lebih rendah, yang mungkin dapat dijelaskan dengan mengumpulnya agen anestetik di daerah sakral. Selama anestesia spinal kontinyu, posisi dari kateter di daerah sakral atau penyuntikan larutan hiperbarik dengan tip kateter yang mengarah ke kaudal akan berakibat terkumpulnya larutan anestetik hiperbarik di daerah kaudal sampai puncak dari lordosis lumbal.11 Pada penelitian ini dilakukan simulasi sacral pooling dengan menyuntikkan anestesi lokal ke arah kaudal sampai puncak dari lordosis lumbal, yang diketahui akan menyebabkan level blok spinal yang lebih rendah. Oleh karena itu, blok spinal dilakukan pada interspaces L4-5 dengan posisi duduk. Fleksi dari pinggul dapat mengurangi kelengkungan dari lordosis lumbal.4 Karena lordosis lumbal tidak sepenuhnya dapat diluruskan dengan fleksi pinggul sampai 90o,6 maka pasien diminta untuk memfleksikan pinggul mereka sampai melewati 90o. Peningkatan akut pada tekanan intra-abdominal telah diketahui mempunyai efek yang kecil terhadap penyebaran agen anestetik dibandingkan dengan adanya peningkatan yang kronik.11 Bagaimanapun, kompresi dari abdominal, akan memungkinkan dihubungkan dengan pelebaran vena-vena ruang peridural yang menurunkan volume cairan serebrospinalis dan selanjutnya akan berakibat level blok sensorik yang tinggi.13-15 Meskipun fleksi dari pinggul nampaknya tidak dihubungkan dengan peningkatan yang signifikan terhadap tekanan intra-abdominal, sehingga setiap tindakan yang dilakukan tidak akan mengkompresi abdomen dengan cara melakukan sedikit rotasi dari pinggul ke arah luar dengan bantuan dari paha pasien. Pada penelitian ini, tidak ditemukan perbedaan secara statistik dalam hal blok motorik di antara kedua grup, tetapi semua pasien pada grup fleksi pinggul dan 17 pasien pada grup kontrol menunjukkan blok motorik tingkat 3. Bagaimanapun, hanya sembilan pasien pada grup fleksi pinggul dan 17 pasien pada grup kontrol yang mencapai pemulihan penuh dari fungsi motorik dalam waktu 127 menit setelah penyuntikan intratekal. Pada penelitian ini juga ditunjukkan bahwa pada grup fleksi pinggul mempunyai kecenderungan yang lebih tinggi untuk terjadinya hipotensi dan bradikardi, yang hal ini dapat dijelaskan karena tingginya level blok spinal pada grup ini. Dan juga dapat memberi kesan bahwa pada posisi Trendelenburg yang disertai fleksi dari pinggul akan mengakibatkan resiko yang lebih besar dalam hal hemodinamik berkaitan dengan blok spinal yang lebih tinggi. Juga dilaporkan bahwa level blok spinal mengalami peningkatan melalui perubahan posisi 30 menit setelah penyuntikan anestetik lokal.3 Bagaimanapun, pengaruh dari posisi tubuh dalam hal penyebaran anestesik lokal menurun seiring waktu setelah penyuntikan intratekal. Oleh karena itu, keputusan yang lebih awal untuk menempatkan pasien pada posisi Trendelenburg dengan fleksi pinggul akan lebih efektif untuk meningkatkan level blok spinal. Simpulan Posisi Trendelenburg yang disertai fleksi dari pinggul efektif untuk meningkatkan level blok setelah anestesi spinal dibandingkan dengan posisi Trendelenburg yang konvensional. Saran 1. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar sehingga mencapai tingkat obyektivitas dan kemaknaan yang lebih tinggi.
9
2. Data yang diperoleh berasal hanya dari pasien-pasien muda dan sehat dengan massa tubuh yang normal, hal ini mungkin tidak sesuai dengan hasil perkiraan penelitian ini terhadap pasien-pasien grup lain. Sehingga mungkin dapat dilalukan penelitian lanjutan untuk pasien-pasien grup lain. DAFTAR PUSTAKA Sinclair CJ, Scott DB, Edstrom HH. Effect of the Trendelenburg position on spinal anaesthesia with hyperbaric bupivacaine. Br J Anaesth 1982; 54: 497-500 Miyabe M, Namiki A. The effect of head-down tilt on arterial blood pressure after spinal anesthesia.Anesth Analg 1993; 76: 549-52 Povey HM, Olsen PA, Pihl H. Spinal analgesia with hyperbaric 0.5% bupivacaine: effects of different patient positions. Acta Anaesthesiol Sacnd 1987; 31: 616-9 Smith TC. The lumbar spine and subarachnoid block. Anesthesiology 1968; 29: 60-4 Logan MR, Drummond GB. Spinal anesthesia and lumbar lordosis. Anesth Analg 1988; 67: 338-41 Hirabayashi Y, Igarashi T, Suzuki H, Fukuda H, Saitoh K, Seo N. Mechanical effects of leg position on vertebral structures examined by magnetic resonance imaging. Reg Anesth Pain Med 2002; 27: 429-32 Stonelake PS, Burwell RG, Webb JK. Variation in vertebral levels of the vertebra prominens and sacral dimples in subjects with scoliosis. J Anat 159: 165,1988. Gray H. In: Lewis WH, ed, Gray’s Anatomy, 20th ed. New York: Bartleby, 2000. Scoles P, Linton A, Latimer B, et al. Vertebral body and posterior element morphology: The normal spine in middle life. Spine 10: 1082, 1988. Wong CA. Spinal and Epidural Anesthesia, McGraw-Hill, 2007:1-246 Hocking G, Wildsmith JAW, Intrathecal Drug Spread. British Journal of Anesthesia 93(4): 56878(2004). Cianni SD, Rossi M, Casta A, Cocco C, et al. Spinal Anesthesia: an evergreen Technique. Acta Biomed 2008: 79:9-17. NYSORA, New York schoolof Regional Anesthesia, Spinal Anesthesia. Yadav A. Short text book of anesthesia 2nd ed. 2004:116-127. Dunn PF. Clinical anesthesia procedures of the massachusetts general hospital 7th ed. 2007: 247272, 563-569. Galinski DF, Ruth M, Moral V, et al. Spinal anesthesia with bupivacaine and fentanyl in geriatric patients. Anesth Analg 1996; 83:537-41. Fink BR. Mechanisms of differential axial blockade in epidural and subarachnoid anesthesia. Anesthesiology 70:85, 1995. Silverstein JH, Rooke GA, Reves JG, et al. Geriatric Anesthesiology 2nd ed. Springer. 3-37. Stoelting RK, Hillier SC (ed). Pharmacology & physiology in anesthetic practice 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2006. Liu SS, Mc’Donald SB. Current issues in spinal anesthesia. Anesthesiology: 2001: 888–906.
10