JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608 Volume 2 Nomor 12 (2013) http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja © Copyright 2013
PENGUASAAN DAN PENETAPAN HUTAN ADAT SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 35/PUU-X/2012 Abdul Wahab Usman
[email protected] Abstrak Berdasarkan Penguasaan Negara atas hutan dalam mengatur dan mengurus hutan, Negara menempatkan hutan adat kedalam golongan hutan Negara. Hutan adat yang digolongkan menjadi bagian hutan negara mengakibatkan masyarakat hukum adat sering kali berkonflik baik antara Pemerintah maupun dengan badan hukum dalam mempertahankan wilayah yang dianggap sebagai wilayah adat dari masyarakat hukum adat. Permasalahan yang diteliti yaitu tentang bagaimana penguasaan hutan adat setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 dan bagaimana penetapan hutan adat setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penguasaan hutan adat setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 dan untuk mengetahui penetapan hutan adat setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 berdasarkan data yang diperoleh secara normatif. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini ialah analisis Deskriptif Kualitatif. Berdasarkan Putusan mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, hutan adat dikeluarkan dari hutan Negara, namun tetap dalam penguasaan Negara. Penguasaan oleh Negara tercantum didalam Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Atas dasar penguasaan oleh Negara, maka Hutan adat ditetapkan oleh Pemerintah dengan persyaratan masih ada dan dikukuhkan oleh Pemerintah Daerah. Untuk mengukuhkan keberadaan masyarakat hukum adat melalui Peraturan Daerah serta menetapkan hutan adat maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dapat menggunakan Peraturan Menteri Negara agraria/ Kepala badan pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak ulayat Masyarakat hukum adat, hal itu dilakukan untuk mengisi kekosongan hukum dalam menetapkan hutan adat.
Kata kunci : Penguasaan negara, Masyarakat Hukum Adat, Penetapan hutan adat
MASTERY AND DETERMINATION OF INDIGENOUS FOREST AFTER THE CONSTITUTIONAL COURT DECISION NUMBER 35/PUU-X/2012 Abdul Wahab Usman
[email protected] Abstract Based on State Control over regulate and manage the forest in the forest, the State put indigenous forests into state forest groups. Indigenous forests are classified as part of the state forest resulted customary communities often conflict between the Government and the legal entities in maintaining the areas considered as indigenous territories of indigenous peoples. On 19 March 2012 filed a petition for Law Number 41 of 1999 on Forestry to the Constitutional Court related to the classification of the status of indigenous forests. On 16 May 2013 the Constitutional Court partially granted the claim petition of the petition of judicial review. Article is granted the status of indigenous forests out of the state forest. The problem under study is about how the mastery of indigenous forest after the Constitutional Court Decision Number 35/PUU-X/2012 and how the determination of indigenous forest after the Constitutional Court Decision Number 35/PUU-X/2012.This research aims to know mastery of indigenous forest after the Constitutional Court Decision Number 35/PUU-X/2012 and to know the determination of indigenous forest after the Constitutional Court Decision Number. 35/PUU-X/2012 based on normative data obtained. The analysis used in this research is descriptive qualitative analysis. Based the Constitutional Court Decision Number 35/PUU-X/2012, indigenous forest is out of state forest group. But still on state control. Control by state listed in Article 3 Paragraph (3) which states “Earth, water and natural resources contained in it controlled by the State and used at-large for the prosperity of the people. On the basis of control by the State, the indigenous forests determination by government with the requirements is still there and it was confirmed by the Local Government. To believe indigenous law People with local regulation and determination indigenous forest, the Government can use Regulation Minister of State Agrarian / Head of National Land Agency Number 5 of 1999 about completion guidelines indigenous people right of indigenous law pople , it is done to fill the legal vacuum in establishing indigenous forests.
Keywors : State control, Indigenous law People, indigenous forests Determination.
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 12
Pendahuluan Keberadaan masyarakat adat suatu kenyataan sejarah yang tak dapat dihindari atau bahkan di sangkal oleh pemerintah.1 Masyarakat adat merupakan segmen riil di dalam masyarakat Indonesia. Secara formal, pengakuan atau penerimaan atau pembenaran adanya masyarakat adat didalam struktur ketatanegaraan, diatur dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 amandemen ke II yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Adanya peraturan yang terkait terhadap masyarakat hukum adat, karena masyarakat hukum adat juga termasuk bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia Berkenaan dengan penelolaan Sumber Daya Alam. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Berdasarkan mandat konstitusi, maka pada sektor kehutanan sebagai salah satu sumber kekayaan alam yang ada, Pemerintah menyusun Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167), Pasal 4 ayat (1) Undangundang Kehutanan menyatakan : “ Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar besar kemakmuran rakyat”. Berdasarkan Penguasaan Negara, maka Negara menempatkan hutan adat kedalam golongan hutan Negara yaitu dalam Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan “hutan adat adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, maka Penggolongan status hutan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang kehutanan menyatakan bahwa “Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari : a. Hutan Negara dan b. Hutan Hak. Pasal 5 ayat (2) menyatakan “Hutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat dapat berupa hutan adat”. Penggolongan hutan adat kebagian hutan Negara, mengakibatkan masyarakat hukum adat sering kali berkonflik baik antara Pemerintah maupun dengan badan hukum dalam mempertahankan wilayah yang dianggap sebagai wilayah adat dari masyarakat hukum adat. Berdasarkan kondisi dan 1
Noer Fauzi, 2000 (kedai I) Kumpulan Tulisan dan Diskusi adat Indonesia, Masyarakat adat dalam mengelola Sumber daya alam, Cisarua 26-28 Mei, 2000, Icraf-JAPHAMA.
2
Tinjauan Yuridis Terhadap Perijinan Perdagangan (Saddam Tri) permasalahan akibat dimasukkannya hutan adat kedalam hutan Negara.
Tanggal
19 Maret 2012,
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai Pemohon I, Kesatuan masyarakat hukum adat Kenegerian Kuntu sebagai Pemohon II dan kesatuan masyarakat adat Kesepuhan Cisitu yang sebagai Pemohon III, mengajukan permohonan pengujian Undang-undang Nomor 41 tahun 1999
tentang
Kehutanan ke Mahmakah Konstitusi. Pasal yang di ajukan di Mahkamah Konstitusi adalah Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), Pasal 67 ayat (1), Pasal 67 ayat (2), Pasal 67 ayat (3) Undang-undang Kehutanan. Alasan Para pemohon mengajukan pengujian Undang-undang Kehutanan karena dalam permohonannya bahwa hak konstitusionalnya telah dilanggar sejak berlakunya Pasal tersebut. Tanggal 16 Mei 2013 Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan uji materi permohonan para pemohon sebagian. Pasal yang dikabulkan yaitu Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), Penjelasan Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Frasa dan ayat (2) dalam Pasal 5 ayat (3). Pasal 1 angka 6 yang semula menyatakan “Hutan Adat adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”,
sehingga dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Pasal 1 angka 6
dimaksud menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Setelah Putusan mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang menempatkan hutan adat bukan lagi dari hutan Negara, mengakibatkan masyarakat hukum adat langsung mengklaim dan memasang tanda hutan adat berupa menancapkan patok dan menetapkan wilayah hutan adatnya2, hal ini didasarkan persepsi hutan adat bukanlah hutan Negara lagi. Berkaitan dengan latar belakang masalah yang Penulis kemukakan di atas, maka permasalahan-permasalahan yang hendak dikemukakan yaitu Bagaimana Penguasaan Hutan Adat Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X-/2012 ? dan Bagaimana Penetapan Status Hutan Adat Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X-/2012 ? Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini adalah normatif, yang dimaksud normatif menurut Johnny Ibrahim3 adalah ilmu hukum mengerahkan refleksinya kepada norma dasar yang diberi bentuk konkret dalam norma-norma yang ditentukan dalam bidang-bidang tertentu. 2 Berita Tempo, Senin, 15 Juli 2013, Isu Hutan adat Bisa Picu Konflik Sosial, diunduh dari http://www.tempo.co/read/news/2013/07/15/061496684 dan diakses pada tanggal 11 September 2013 Pukul 22.00 Wita. 3 Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, halaman 56.
3
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 12
Menurut Peter Mahmud Marzuki4, untuk pendekatan penelitian normatif ada beberapa cara yang dapat digunakan, pendekatan yang dapat digunakan adalah pendekatan Undang-undang (statute
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendekatan Undang-undang (statute approach). Pendekatan Undang-undang (statute approach) adalah pendekatan dengan menelaah semua Undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan analisis tentang penguasaan dan penetapan hutan adat setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012.
Pembahasan Dasar Penguasaan Sumber daya alam oleh Negara termuat pada Undang-undang tertinggi didalam hierarki Perundang-undangan Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”. Hak menguasai Negara merupakan konsep Negara, Negara sebagai suatu organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat, sehingga kekuasaan berada ditangan Negara. Menurut Van Vollen sebagaimana dikutip oleh Notonegoro,5 teori kekuasaan negara yaitu “negara sebagai organisasi tertinggi dari bangsa yang diberi kekuasaan untuk mengatur segala-galanya dan negara berdasarkan kedudukannya memiliki kewenangan untuk peraturan hukum”. Dalam hal ini kekuasaan negara selalu dihubungkan dengan teori kedaulatan (sovereignty atau souverenitet). Negara memiliki kedaulatan didalam mengatur atau menguasai
sumber daya yang ada melalui fungsi untuk mengatur dan
mengurus dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat. Berdasarkan hak menguasai Negara, maka Negara juga memiliki kekuasaan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat, dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 amandemen ke II yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
4 5
4
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Halaman 92 Notonagoro, 1984 Politik Hukum dan Pembangunan Agraria, Bina Aksara, Jakarta, halaman 99.
Tinjauan Yuridis Terhadap Perijinan Perdagangan (Saddam Tri) perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang”. Pengakuan dan penghormatan negara terhadap eksistensi masyarakat adat dan hakhak tradisionalnya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan RepubliK Indonesia tahun 1945 mensyaratkan empat hal, yaitu :6 sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, diatur dalam Undang-undang. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
mengamanatkan langsung
agar masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya diatur didalam Undang-undang. Pengakuan dan penghormatan masyarakat hukum adat
dengan kriteria dan persyaratan sepanjang masih hidup.
Namun Undang-undang mengenai perlindungan masyarakat hukum adat yang diperintahkan oleh konstitusi belum dibuat oleh Pemerintah sampai sekarang ini. Pengaturan melalui Undang-undang tentang perlindungan masyarakat hukum adat juga mencakup mengenai pengaturan terhadap hutan adat. Penjabaran yang lebih jelas mengenai penguasaan Negara terhadap sumber daya alam yang ada di Negara Indonesia termuat didalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pokok Agraria yang merupakan aturan pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dijelaskan pengertian hak menguasai Sumber daya alam oleh Negara. Pasal 2 ayat (1) menyatakan “Atas dasar ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. Pasal 2 ayat (2) menyatakan “Hak menguasai Negara memberikan wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa dan menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Penguasaan Negara terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat tercantum dalam Pasal 3 Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria juga menjelaskan mengenai yaitu 6
Muhammad Bakrie, 2007, Hak Menguasai Negara Atas Tanah (ParadigmaBaru UntukReformasi Agraria), Citra Media, Yogyakarta, halaman 131.
5
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 12
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan peraturan lain yang lebih tinggi”. Adapun Pasal 5 Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria menyatakan mengenai hukum adat yaitu “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat. Sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan Peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan Unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Berlandaskan dari Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Pasal 2, Pasal 3 Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada, sudah menjelma didalam pengertian hak menguasai oleh Negara sebagai organisasi tertinggi diseluruh wilayah Republik Indonesia. Sifat mutlak hak ulayat tidak lagi ditangan masyarakat hukum adat akan tetapi ditangan Negara dan menjelma menjadi hak menguasai Negara. Pasal yang terkait didalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria dimaknai dengan adanya kewenangan Negara dalam mengatur dan mengelola sumber daya alam diwilayah Indonesia dan adanya pengakuan mengenai eksistensi masyarakat hukum adat namun disertai dengan pembatasan dengan syarat selama masih ada dan tidak betentangan dengan kepentingan nasional. Sebagai mandat konstitusi, Penguasaan hutan oleh Negara tercantum didalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa: Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kewenangan Negara atas hutan tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) menyatakan “Penguasaan hutan oleh negara memberi wewenang kepada Pemerintah untuk Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan
6
Tinjauan Yuridis Terhadap Perijinan Perdagangan (Saddam Tri) kawasan hutan; dan mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Penguasaan Negara terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat tercantum didalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang kehutanan yang menyatakan
“penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang “.7 Hutan adat dikuasai oleh Negara, maka hutan adat dibawah penguasaan oleh Negara. Hutan adat bukan di bawah Kontrol penuh kelompok komunitas adat yang ada di dalamnya. Sedangkan dibawah penguasaan oleh Negara, terdapat sejumlah prosedur dalam penetapan hutan adat yang dilakukan oleh Pemerintah. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/ 2012, Undang-undang Kehutanan mengalami perubahan terkait mengenai hutan adat. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, didalam Pasal 1 Angka 6 Undang-undang Kehutanan kata Negara dihapus, sehingga Pasal 1 Angka 6 Undang-undang Kehutanan menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada didalam wilayah masyarakat hukum adat”. Karena hutan adat bukan menjadi bagian dari hutan Negara, maka status hutan mengalami perubahan. Putusan mahkamah konstitusi hanya mengeluarkan hutan adat dari hutan Negara namun tidak dijelaskan secara rinci mengenai status hutan adat. Status hutan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang kehutanan menyatakan : Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari : Hutan Negara, tidak termasuk hutan adat dan Hutan hak. Mengenai status hutan, hutan adat tidak disebutkan dalam pembagian hutan berdasarkan statusnya. Dalam penilaian hukum terhadap Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Kehutanan, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa8 “hutan hak harus dimaknai bahwa hutan hak terdiri dari hutan adat dan hutan perseorangan/badan hukum”. Ketiga status hutan tersebut pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh negara. Negara memiliki kewenangan terhadap hutan adat yang dikelola oleh masyarakat hukum adat dikarenakan hutan adat juga di bawah penguasaan oleh Negara yang didasarkan oleh hak penguasaan Negara atas sumber daya alam yang telah tercantum didalam konstitusi Pasal 33 ayat (3) Undang-
7 Pasal4 Ayat (3) Undang-undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 yang telah mengalami perubahan setelah Uji materi dalam Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. 8 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 halaman 181
7
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 12
Undang dasar tahun 1945. Semua yang berkaitan mengenai hutan adat seperti penetapan hutan adat, pengukuhan masyarakat hukum adat, identifikasi hutan adat, semua di bawah Kontrol Negara. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, didalam Pasal 5 ayat (3) Undang-undang Kehutanan menyatakan bahwa “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana ayat (1), dan hutan adat ditetapkan sepanjang masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”. Penetapan status hutan adat yang dilakukan oleh Pemerintah ditentukan dengan syarat sepanjang masih hidup dan diakui keberadaannya. Maksud dari sepanjang masih hidup dan diakui keberadaannya disebutkan dalam Penjelasan Pasal 67 ayat (1) Undang-undang Kehutanan yang menyatakan “Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; ada wilayah hukum adat yang jelas; ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.” Apabila salah satu unsur yang disebutkan diatas tidak ada, maka tidak bisa dikukuhkan keberadaannya oleh Pemerintah melalui Peraturan Daerah. Jadi, harus ada pengukuhan masyarakat hukum adat terlebih dahulu melalui Peraturan Daerah dengan persyaratan seperti disebutkan diatas kemudian dapat ditetapkan status hutan adatnya oleh Pemerintah. Pengukuhan Masyarakat Hukum adat dinyatakan dalam Pasal 67 ayat (2) Undang-undang Kehutanan yaitu : “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Pasal 67 ayat (3) Undang-undang Kehutanan menyebutkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 67 Undang-undang Kehutanan sampai saat ini belum dikeluarkan oleh Pemerintah. Pelaksanaan Pasal 67 undang-undang kehutanan tersebut berisi mengenai tata cara penetapan hutan adat bagi masyarakat hukum adat untuk mengelola hutan adatnya. Untuk mengisi kekosongan hukum, maka kebijakan hak ulayat dapat berpedoman kepada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
8
Tinjauan Yuridis Terhadap Perijinan Perdagangan (Saddam Tri) Pedoman Penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat dalam bentuk Peraturan Daerah disetiap masing masing daerah yang kesatuan masyarakat hukum adat masih ada dan masih eksis.
Penutup Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, didalam Pasal 1 Angka 6 Undang-undang Kehutanan kata Negara dihapus, sehingga Pasal 1 Angka 6 Undang-undang Kehutanan menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada didalam wilayah masyarakat hukum adat”. Status hutan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan menyatakan “Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari Hutan Negara, tidak termasuk hutan adat dan Hutan hak. Dalam penilaian hukum terhadap Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Kehutanan, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa “hutan hak harus dimaknai bahwa hutan hak terdiri dari hutan adat dan hutan perseorangan/badan hukum”. Ketiga status hutan tersebut pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh negara. Hutan adat yang merupakan salah satu sumber daya alam yang berada didalam wilayah Negara Indonesia dikuasai oleh Negara, hal itu tercantum didalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”. Berkaitan dengan penguasaan Negara atas semua sumber daya alam yang berada didalam wilayah Negara Indonesia, maka hak ulayat oleh masyarakat hukum adat juga diatur didalam Pasal 18 B ayat (2) yang menyatakan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 amandemen ke II yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Jadi kesimpulannya, walaupun status hutan adat tidak lagi menjadi bagian dari hutan Negara tetapi hutan adat tetap dalam penguasaan Negara. Status Hutan adat ditetapkan oleh Pemerintah, hal itu dinyatakan didalam Pasal 5 ayat (3) Undang-undang Kehutanan yang menyatakan bahwa : “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”. Hutan adat dapat ditetapkan dengan syarat masih ada dan diakui keberadaannya, diakui keberaannya yaitu keberadaan
9
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 12
masyarakat hukum adat dikukuhkan melaui Peraturan daerah, hal itu tercantum dalam Penjelasan Pasal 67 ayat (2) yang menyatakan “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Masyarakat hukum adat yang dikukuhkan melalui Peraturan daerah harus memiliki Unsur-unsur Masih ada sebagaimana tercantum didalam Penjelasan Pasal 67 ayat (1) Undang-undang Kehutanan yang menyebutkan : Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap), ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya, ada wilayah hukum adat yang jelas, ada pranata dan perangkat hukum khususnya peradilan adat yang masih ditaati dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan. Untuk dapat mengelola hutan adatnya disebutkan dalam Pasal 67 ayat (3) bahwa “Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah”, Karena Peraturan Pemerintah belum dikeluarkan oleh Pemerintah, untuk mengisi kekosongan hukum untuk menetapkan hutan adat, maka didalam Peraturan Daerah dapat menggunakan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Jadi kesimpulannya, hutan adat ditetapkan oleh pemerintah dengan proses yang panjang untuk dikelola oleh masyarakat hukum adat yang masih ada dan diakui keberadaannya. Sebaiknya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan Presiden untuk segera membuat Peraturan Perundang-undangan mengenai perlindungan hak ulayat masyarakat hukum adat karena didalam Pasal 18B ayat (2) Undang-undang Dasar Negara kesatuan Republik
Indonesia
memerintahkan langsung agar masyarakat adat diatur oleh Undang-undang, akan tetapi sampai saat ini pemerintah belum membuat aturan tersebut. Undang-undang yang diamanatkan oleh Konstitusi harus segera dibuat karena didalam Putusan Mahkamah Kostitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang mengeluarkan status hutan adat dari bagian hutan Negara dan harus ditetapkan hutan adat oleh Pemerintah. Sebaiknya Presiden segera menetapkan Peraturan Pemerintah mengenai mekanisme penetapan hutan adat sebagaimana peraturan pelaksana dari Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 67 ayat (2) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, karena sampai sekarang Pemerintah belum mengesahkan mengenai penetapan hutan adat.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
untuk mengukuhkan keberadaan masyarakat hukum adat melalui Peraturan Daerah serta menetapkan
10
Tinjauan Yuridis Terhadap Perijinan Perdagangan (Saddam Tri) hutan adat, maka dapat mengacu kepada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
11
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 12
Daftar Pustaka
Bakrie, Muhammad., 2007, Hak Menguasai tanah Oleh Negara ( Paradigma Baru Untuk reformasi Agraria) Citra Media, Yogyakarta. Bushar, Muhamad., 2000, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramitha, Jakarta. Ibrahim, Johnny., 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang. Limbong, Bernhard., 2012, Hukum agraria Nasional, Margaretha Pustaka, Jakarta. Marzuki,Peter Mahmud., 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Nurlinda, Ida., 2009, prinsip-prinsip pembaruan agraria, Pt Raja Grafindo Persada, Jakarta. Ngani, Nico., 2012, Metodologi Penelitian dan penulisan Hukum, Yustisia, Yogyakarta. Pradnja, Ida Ayu., Resosudarmo dan Carol J Pierce Colfer, 2003, Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Rato, Dominikus., 2011, Hukum adat (suatu pengantar singkat memahami hukum adat di Indonesia), LaksBang PRESSindo, Yogyakarta. Salim., 2006, Dasar-dasar Hukum Kehutanan, Sinar grafika, Jakarta. Soekanto, Soerjono., 2012, Hukum Adat Indonesia, Pt Raja Grafindo Persada, Jakarta. Subadi., 2010, Penguasaan dan Penggunaan tanah kawasan hutan, PT Prestasi Pustakaraya, Jakarta. Sudiyat, Iman., 2000, Asas-Asas Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta. Sumardjono, Maria S.W, 2005, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi, kompas, Jakarta. Supriadi., 2010, Hukum Kehutanan & hukum perkebunan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Wignjodipoen, Soerojo., 1990, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta. Wiranata, I Gede A.B., 2005, Hukum Adat Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Wiratno, Hukum Administrasi Negara, Universitas Trisakti, Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 Nomor 167). Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2004 tentang Tentang Perencanaan Kehutanan. (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696). Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. .
12