MODEL PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN MUFRADÂT Oleh Muhbib Abdul Wahab Abstract: Vocabulary learning is very important for enabling students to acquire four language skills (listening, speaking, reading, and writing). Nevertheless, this learning has not been paid attention yet in developing of Arabic learning in our Islamic education. Hence, vocabulary learning must be developed by making reorientation of meaningful Arabic teaching based on effective principles and procedures. Arabic teacher is required to be creative and communicative in motivating his students to explore new vocabularies by using dictionary, multi-media or massmedia, and to develop its in meaningful communcation or contextual sentences. So, every learning of language skill must be emphasize on vocabulary development. Finally, learning of language skill must be emphasize on vocabulary tests which its purpose to measure the comprehension and production of words used in speaking and writing. Kata Kunci: Pembelajaran mufradât, revitalisasi dan reorientasi, model pengembangan pembelajaran, kemahiran berbahasa Arab, prinsip-prinsip, dan langkah-langkah efektif. A. Pendahuluan Mufradât (vocabulary, kosakata) merupakan salah satu unsur bahasa yang sangat penting, karena berfungsi sebagai pembentuk ungkapan, kalimat, dan wacana. Sedemikian pentingnya kosakata, sehingga ada yang berpendapat bahwa pembelajaran bahasa asing harus dimulai dengan mengenalkan dan membelajarkan mufradât itu sendiri, baik dengan cara dihafal atau dengan cara yang lain. Namun demikian, pembelajaran mufradât tidaklah identik dengan belajar bahasa itu sendiri, karena mufradât tidak akan bermakna dan memberi pengertian kepada pendengar atau pembacanya jika tidak dirangkai atau dibingkai dalam sebuah kalimat yang benar dan kontekstual menurut gramatika dan sistem semantik yang baku.1 Seperti halnya qawâ’id, mufradât juga hanya sarana/media, bukan tujuan pembelajaran bahasa Arab itu sendiri. Karena itu, tidak tepat anggapan sementara
Penulis adalah dosen dan Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1 Menurut Tammâm Hassân, makna suatu kata dalam struktur bahasa Arab dapat diketahui secara komprehensif jika al-ma’na al-maqâlî (yang merupakan perpaduan antara makna fungsional, seperti: fungsi fonologis, morfologis, sintaksis, dan makna leksikal) dan al-ma’na al-maqâmî (yang merupakan situasi penyerta penggunaan kata, konteks sosial budaya) dianalisis secara utuh. Kejelasan makna mufradât tidak cukup dengan melihatnya dalam kamus, melainkan mengharuskan penelusuran makna fungsional dalam struktur kalimat, konteks sosial dan kultural yang ada. Lihat Tammâm Hassân, al-Lughah al-‘Arabiyyah: Ma’nâhâ wa Mabnâhâ, (Kairo: al-Ha‘iah al-Mishriyyah al‗Âmmah li al-Kitâb, 1985), Cet. III, h. 339-342.
1
orang bahwa belajar bahasa asing tidak lain adalah mempelajari kosakatanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa mufradât itu sangat penting dalam pembelajaran bahasa asing, namun jika tidak digunakan dalam struktur kalimat dan dikontekstualisasikan, maka mufradât menjadi tidak bermakna2. Ibarat pasir, ia baru berfungsi dengan baik jika diaduk dengan semen dan air lalu digunakan dalam menyusun batu-batu atau bata-bata menjadi dinding dari sebuah bangunan yang utuh. Pembelajaran mufradât tampaknya kurang mendapat perhatian yang memadai3, sehingga sejauh ini masih dianggap belum jelas: bagaimana mengembangkan pembelajaran mufradât bagi peserta didik kita? Dalam rangka revitalisasi mufradât sebagai bagian integral dari sistem bahasa Arab, penulis berpendapat bahwa pembelajaran mufradât perlu dijadikan sebagai basis pengembangan kemahiran berbahasa Arab (maharât al-lughah al-'Arabiyyah), karena "memahami dan memahamkan" (al-fahm wa al-ifhâm) sebagai inti dari tujuan pembelajaran bahasa Arab tidak mungkin tercapai jika tidak ditopang oleh penguasaan mufradât dan kemampuan mengembangkannya. Oleh karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk mendiskusikan permasalahan: "Bagaimana pembelajaran mufradât di lembaga pendidikan kita dapat diorientasikan kepada revitalisasi pengembangan kemahiran berbahasa Arab?" Jawaban terhadap permasalahan ini tidak hanya didekati melalui pemahaman sistem bahasa Arab, melainkan juga dianalisis dari aspek linguistik aplikatif. B. Tujuan Pembelajaran Mufradât Salah satu orientasi modern dalam pembelajaran bahasa adalah tamhîr, yaitu: pembentukan keterampilan dan kebiasaan berbahasa (takwîn al-mahârât wa al-'âdât al-lughawiyyah).4 Orientasi ini tampaknya dipengaruhi oleh aliran Behaviorisme (almadrasah al-sulûkiyyah) yang menyerukan pentingnya pembiasaan berbahasa melalui pengulangan dan latihan-latihan berbahasa5 dan juga oleh pendekatan 2
Muhammad Hâj Hasan, ―Tadrîs al-Mufradât‖, dalam Jurnal al-Muwajjih, (Jakarta: LIPIA, 1988), Edisi II, h. 42. 3 Pembelajaran mufradât seringkali diposisikan inheren dalam pembelajaran bahasa Arab tanpa ada penekanan khusus. Misalnya saja, menurut pengamatan penulis, ketika belajar muthâla’ah atau qirâ’ah, pembelajar kurang diorientasikan kepada kemampuan mengeksplorasi dan merevitalisasi kamus, sehingga pengetahuan dan pemahaman pembelajar terhadap kosakata lebih banyak bergantung pada guru/dosen. Demikian pula, ketika mendapati kosakata baru, pembelajar kurang diarahkan kepada kemampuan untuk mengembangkan ungkapan atau kalimat dengan menggunakan kosakata baru tersebut, sehingga kosakata itu menjadi tidak fungsional (bermakna) dan mudah dilupakan. 4 Hasan Ja'far al-Khalîfah, Fushûl fî Tadrîs al-Lughah al-'Arabiyyah, (Riyâdh: Maktabah alRusyd, 2003), Cet. II, h. 72. 5 Menurut Behaviorisme, seperti perilaku manusia lainnya, bahasa merupakan 'serangkaian kebiasaan (set of habits). Kebiasaan itu, termasuk kebiasaan berbahasa, terbentuk melalui peniruan (taqlîd, muhâkat), pengulangan, (tardîd), latihan (tadrîb) terus-menerus, dan penguatan (ta'zîz). Jadi,
2
komunikatif (al-madkhal al-ittishâlî). Namun demikian, spirit utama yang dapat dipahami dari orientasi ini adalah bahwa pembelajaran bahasa, termasuk bahasa Arab, haruslah fungsional (al-ittijâh al-wazhîfî): memfungsikan bahasa sebagai media komunikasi dan ekspresi, bukan sebagai ―unit analisis gramatikal‖ yang cenderung filosofis dan tidak realistis. Oleh karena itu, pembelajaran mufradât juga harus diorientasikan kepada fungsionalisasi bahasa Arab itu sendiri sebagai media untuk memahami dan berkomunikasi, baik dalam konteks pemahiran keterampilan pasif (mendengar dan membaca) maupun keterampilan aktif (berbicara dan menulis). Mufradât yang dibelajarkan bukanlah sekedar untuk dihafal di luar kepala, tetapi harus digunakan untuk memahami teks, berbicara dan/atau mengekspresikan ide-ide secara tertulis (insyâ'). Mufradât merupakan kekayaan bahasa (tsarawât lughawiyyah) yang mutlak difungsikan dalam berbahasa Arab, baik pasif maupun aktif. Atas dasar itu, tujuan utama pembelajaran mufradât adalah: (1) memperkenalkan kosakata baru kepada siswa/mahasiswa, baik melalui bahan bacaan maupun fahm al-masmû'; (2) melatih siswa/mahasiswa untuk dapat melafalkan kosakata itu dengan baik dan benar karena pelafalan yang baik dan benar mengantarkan kepada kemahiran berbicara dan membaca secara baik dan benar pula; dan (3) memahami makna kosakata, baik secara denotatif atau leksikal (berdiri sendiri) maupun ketika digunakan dalam konteks kalimat tertentu (makna konotatif dan gramatikal); dan (4) mampu mengapresiasi dan memfungsikan mufradât itu dalam berekspresi lisan (berbicara) maupun tulisan (mengarang) sesuai dengan konteksnya yang benar. 6 Tujuan tersebut mencerminkan integrasi kompetensi kognitif [mengenal, megetahui, menyebutkan], afektif [mengapresiasi, menilai bermanfaat] dan sekaligus psikomotorik [melafalkan, menggunakan, memfungsikan]. Karena itu, indikator penguasaan mufradât siswa/mahasiswa bukanlah terletak pada kemampuannya untuk menghafal dan mereproduksi mufradât itu, melainkan pada keterampilannya menggunakan mufradât secara tepat, baik sebagai sarana memahami teks, maupun sebagai sarana berekspresi (ta’bîr syafawî maupun tahrîrî) tersebut. Dengan kata lain, pembelajaran mufradât berfungsi sebagai media untuk belajar bahasa berarti belajar membiasakan diri dalam menggunakan bahasa yang dipelajari dan perlu didukung oleh motivasi ekstrinsik. Lihat Abd al-'Azîz ibn Ibrâhîm al-'Ushailî, al-Nazhariyyât alLughawiyyah wa al-Nafsiyyah wa Ta'lim al-Lughah al-'Arabiyyah, (Riyâdh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, 2000), Cet. I, h. 24. Lihat pula Shalâh 'Abd al-Majîd al-'Arabî, Ta'allum al-Lughât al-Hayyah wa Ta'lîmuhâ: Baina al-Nazhariyyah wa al-Tathbîq, (Beirut: Maktabah Lubnân, 1981), Cet. I, h. 11. 6 Perumusan tujuan tersebut diadaptasi dan direformulasikan dari fungsi bahasa sebagai sistem bunyi, sebagai alat komunikasi, dan bahasa merupakan konteks. Lihat Rusydî Ahmad Thu'aimah, Ta'lîm al-'Arabiyyah li Ghair al-Nâthiqîna bihâ: Manâhijuhu wa Asâlîbuhu, (Rabâth: Isisco, 1989), Cet. I, h. 22-24.
3
mengembangkan kemahiran siswa/ mahasiswa dalam berkomunikasi dalam bahasa Arab, baik aktif maupun pasif dan dalam memahami pembicaraan maupun bacaan. C. Posisi Mufradât dalam Sistem Bahasa Arab Mufradât, yang merupakan bentuk jamak dari mufradah, diartikan sebagai satuan atau unit bahasa yang tersusun secara horisontal sesuai dengan sistem gramatikal (nahwu) tertentu yang berfungsi sebagai pembentuk kalimat.7 Mufradât dapat berupa kata (kalimah), isthilâh (term), atau 'ibârah isthilâhiyyah (idiom). Karena fungsinya sebagai pembentuk ungkapan, kalimat, dan wacana maka hampir tidak mungkin belajar bahasa Arab tanpa mengetahui dan menguasai mufradât-nya. Namun demikian, terkadang disalah-pahami bahwa pembelajaran mufradât itu dimaknai sebagai pembelajaran yang indikator kompetensinya adalah bahwa siswa/mahasiswa mengetahui arti terjemahan atau padanan kata dari mufradât yang dipelajari. Tidak tepat pula jika dikatakan bahwa indikator kompetensi pembelajaran mufradât diukur berdasarkan kemampuan siswa/mahasiswa mencari dan menemukan padanan kata tertentu dalam kamus bilingual.8 Dengan kalimat lain, signifikansi dan posisi mufradât dalam sistem bahasa Arab bukan terletak pada pemanfaatan kamus bilingual dalam rangka pencarian padanan kata dari mufradât tertentu, tetapi terletak pada pemaknaan mufradât dalam konteks kalimat secara benar. Pemahaman tersebut mengantarkan kita kepada sebuah penegasan bahwa posisi mufradât sangatlah penting dalam sistem bahasa Arab sebagai (a) pembentuk struktur kalimat dan teks, (d) penjelas kedudukan kata dalam kalimat, dan (c) penentu makna linguistik kontekstual dalam sebuah wacana atau teks bahasa secara tepat. Penentu makna kontekstual itu harus ditopang oleh pemahaman terhadap subsistem bahasa Arab lainnya, seperti: sharaf (termasuk isytiqâq), nahwu, dan nizhâm dalalî (sistem semantik) serta substansi pembicaraan dan teks itu sendiri. Oleh karena itu, mufradât yang digunakan dalam pembicaraan atau teks sangat terkait dengan dalâlah (makna). Setidak-tidaknya jika kita hendak memahami sebuah jumlah (kalimat), ada empat tingkatan dalâlah yang harus kita perhatikan, yaitu: (1) dalâlah mu’jamiyyah (makna leksikal), (2) dalâlah sharfiyyah (makna morfologis), (3) dalâlah nahwiyyah (makna gramatikal), dan dalâlah tanghîmiyyah (makna intonasi).9 Misalnya guru mencontohkan kalimat: علّم المدرس تالميذه المجتهدين. 7
Muhammad 'Alî al-Khûlî, Mu'jam 'Ilm al-Lughah al-Tathbîqî: Inklîzî-Arabî, (Beirut: Maktabah Lubnân, 1986), h. 131. 8 Rusydî Ahmad Thu'aimah, Ta'lîm al-'Arabiyyah… h. 194. 9 Pada dasarnya keempat tingkatan makna tersebut dapat diilustrasikan seperti sebuah piramida kata-kata yang saling berhubungan dan menentukan makna satu dengan lainnya. Mâzin alWa‘r melukiskan haramiyyah al-jumlah sebagai berikut: morfem digunakan untuk membentuk kata;
4
Secara leksikal, masing-masing kata berarti: mengajar-guru-murid-muridnya-rajin. Jika dimaknai demikian, tentu orang tidak dapat memahami maksudnya dengan baik. Kata kalimat itu dimulai dengan fi’l mâdhi, maka dalâlah sharfiyyah-nya menunjukkan telah atau sudah; posisi al-mudarris sebagai fâ’il (subyek) mengharuskan kita menempatkannya di awal kalimat dalam bahasa Indonesia dan karena kata al-mudarris itu ma’rifah, maka pengertiannya adalah ―guru itu‖ bukan seorang guru. Sedangkan talâmidz kedudukannya sebagai maf’ûl bih (obyek) dan almujtahidîn adalah sifat/na’at dengan konotasi ―yang‖, sehingga makna keseluruhannya adalah: ―Guru itu telah mengajar murid-muridnya yang rajin‖. Signifikansi posisi mufradât dalam sistem bahasa Arab tidak hanya terkait dengan makna kata per kata dalam struktur kalimat, melainkan juga ragam dan varian bentuk mufradât itu sendiri (shiyagh al-kalimat) yang secara gramatikal mempunyai kegunaan masing-masing. Bentuk ism dan fi'l dengan berbagai varian dan derivasinya tidak hanya penting diketahui, tetapi juga perlu dikontekstualisasikan penggunaannya. Karena itu, mufradât itu dapat diposisikan pada level fonologis (ketika dilafalkan), morfologis (ketika didekati dari segi bentuk kata), sintaksis (saat dimaknai posisi gramatikalnya), semantik (ketika dilihat konteks maknanya), dan siyâq ghair lughawî (konteks non-linguistik: sosial, budaya, politik, dsb). Jadi, mufradât itu tidak hanya menjadi subsistem, tetapi juga menggejala dalam sistem dan wacana bahasa Arab itu sendiri. D. Prinsip-prinsip Pemilihan Mufradât Kekayaan mufradât yang dimiliki oleh bahasa Arab termasuk sangat melimpah10, bahkan mungkin paling banyak di antara bahasa-bahasa di dunia. Meskipun belum ada hasil penelitian yang menunjukkan mengenai jumlah pasti kosakata Arab karena memang terus mengalami perkembangan, tetapi dapat dipastikan bahwa jumlahnya ratusan ribu, bahkan jutaan kata. Kamus Arab terbesar dan terlengkap, Lisân al-‘Arab karya Ibn Manzhûr (630-711 H) itu, terdiri dari 20 Juz/jilid tebal, dipastikan memuat ratusan ribu derivasi dan kosakata. Banyaknya
kata membentuk ungkapan, ungkapan membentuk struktur, dan struktur membentuk kalimat. Sebaliknya kalimat dipahami maknanya melalui analisis sttruktur; struktur dianlisis ke dalam ungkapan-ungkapan; ungkapan dianalisis ke dalam kata-kata; dan kata-kata dianalisis menjadi morfem-morfem. Lihat Mâzin al-Wa‘r, Dirâsât Nahwiyyah wa Dilâliyyah wa Falsafiyyah fî dhau’ alLisâniyyât al-Mu’âshirah, (Damaskus: Dâr al-Mutanabbî, 2001), Cet. I, h. 15-16. 10 Sekedar contoh, bahasa Arab termasuk mempunyai fenomena sinonim yang sangat kaya, bahkan menjadi kebanggaan orang Arab. al-Ashmu'î (122-216 H) mengaku hafal 70 kata yang menunjukkan arti batu; Ibn Khâlawaih memperkenalkan kepada Saif al-Daulah 50 kata yang menunjukkan pedang. Lihat 'Alî Ahmad Madkûr, Tadrîs Funûn al-Lughah al-'Arabiyyah, (Kairo: Dâr al-Fikr al-'Arabî, 2000), h. 37.
5
mufradât itu disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: usia bahasa Arab yang sudah tua, fleksibilitas bahasa Arab dalam beradaptasi dengan perubahan dan pengaraban kosakata non-Arab, dan banyaknya isytiqâq (derivasi) yang dimilikinya. Oleh karena tidak mungkin –bahkan mustahil— semua mufradât dibelajarkan, maka diperlukan adanya prinsip-prinsip yang menjadi dasar pemilihan mufradât, agar pembelajaran bahasa Arab efisien dan efektif. Rusydî Ahmad Thu‘aimah menyebutkan ada tujuh prinsip pemilihan mufradât sebagai berikut: a. ( التوااترFrekuensi). Kata yang frekuensi penggunaannya sering/banyak harus diprioritaskan untuk diajarkan daripada yang jarang digunakan. Contohnya: kata نَو ْهوharus lebih diutamakan daripada kata ترو ْعوyang sama-sama berarti: sungai, karena yang kedua jarang digunakan. Bahkan hanya kata nahr, terutama bentuk jamaknya: anhâr, yang digunakan oleh al-Qur‘an. b. المو َد َ ( التَو َواّز وRange). Maksudnya, kata-kata yang digunakan oleh banyak negara Arab daripada oleh sebuah negara Arab. Standar dan acuannya adalah Mu’jam al-Rashîd al-Lughawî li al-Thifl al-‘Arabî yang disusun oleh ISESCO. c. المتاحيو ( رKetersediaan, availability). Maksudnya, kata yang dikuasai oleh seseorang ketika hendak digunakan lebih diutamakan daripada yang tidak diketahuinya. Misalnya, kata جلوسhampir pasti lebih dahulu diketahui dan َ dikuasai siswa daripada قعد . َ d. ( األرلْفوFamiliar), Maksudnya, kata yang lebih familiar (sering didengar dan
digunakan) harus diprioritaskan pembelajarannya daripada kata yang jarang dan langka, meskipun mempunyai kesamaan arti. Misalnya, kata ش ْومسpasti lebih familiar bagi kita daripada ذركاء. e. شوما ( ال رketercakupan, coverage). Maksudnya, satu kata yang pengertiannya mencakup banyak hal perlu diprioritaskan daripada kata yang hanya dapat digunakan dalam satu bidang saja. Misalnya, kata بَو ْيوdan kata ِ َم ْنو ل. Kata yang pertama jelas lebih komprehensif daripada yang kedua, karena kata yang pertama dapat mencakup berbagai bidang seperti ungkapan: بي،بي اهلل
.... بي القصيد، بي العنكبات،) بي اإلب ة (الباصل، الما f. ( األىميوkepentingan, significance). Maksudnya, kata yang sedang diperlukan dan dianggap penting untuk diketahui dan digunakan harus lebih diprioritaskan daripada yang sedang tidak atau kurang dibutuhkan. g. ( الع بوkearaban). Maksudnya, kata yang berasal dari bahasa Arab sendiri harus lebih diutamakan daripada kata pinjaman atau yang diserap dan diarabkan. Contohnya: kata الهواتlebih utama daripada التلفوا, meskipun siswa lebih dahulu mengenal kata yang kedua. Dalam konteks ini, guru dapat 6
menjelaskan makna kata yang pertama dengan menyebut kata kedua sebagai sinonimnya, sehingga pemahaman siswa menjadi lebih cepat dan mantap. Demikian pula, kata-kata الج ّواا، الااووا، الموذياharus lebih diprioritaskan daripada kata-kata: المابيل، الكامبيات،ال اديا.11 Selain itu pembelajaran mufradât juga harus didasarkan pada prinsip altanâsub wa al-tawâzun (relevansi dan proporsionalitas). Mufradât yang diberikan hendaknya relevan dengan tujuan pembelajaran bahasa Arab dan proporsional antara mufradât syâ'iah (kosa kata yang banyak dipakai), mufradât nâfi'ah (kosakata yang bermanfaat), mufradât wadzîfiyyah (kosakata yang fungsional), dan mufradât khâshshah (kosakata khusus), seperti: anggota badan, nama tumbuh-tumbuhan, dan anggota keluarga.12 Prinsip lain yang juga perlu dipertimbangkan dalam pembelajaran mufradât adalah variasi dan konteks mufradât itu sendiri. Dari segi fungsinya, mufradât dapat diklasifikasikan menjadi mufradât mu'jamiyyah dan mufradât wazhîfiyyah (seperti: hurûf al-jarr, athf, ism isyârah, asmâ' al-maushûl, zharf…). Sedangkan dari segi maknanya, mufradât dapat dibedakan antara mufradât yang mengandung al-ma'na al-ashlî dan al-ma'na al-idhâfî (al-majâzî). Dari segi cara pemilihannya, mufradât juga dapat dibedakan antara mufradât mufîdah dan mufradât ghair mufîdah13. Dan dari segi gradasinya, mufradât dapat dikelompokkan menjadi mufradât sahlah (kosakata yang mudah) dan mufradât sha'bah (kosakata yang sulit).14 Kategori mudah mencakup: mudah diucapkan, mudah diingat, mudah dipahami, dan mudah digunakan, seperti kata كبيوdan ْم ْ ضو َ yang keduanya mengandung arti besar, tetapi kata yang pertama tentu lebih mudah diucapkan dan diingat daripada yang kedua. E. Model Pembelajaran Mufradât Tidak jarang orang bertanya: ―Berapa jumlah mufradât yang harus dikuasai (tidak harus dihafal) agar seseorang dapat lancar berkomunikasi lisan atau tulisan dengan bahasa Arab?‖ Sebagian pakar berpendapat bahwa pelajar tingkat dasar (pemula) cukup menguasai 750-1.000 kosakata; tingkat menengah 1.000-1.500 kosakata, dan tingkat advance 1.500-2.000 kosakata. Pakar lain menyatakan bahwa mengajar anak dengan 2.000-2.500 kosakata pada tingkat dasar cukup untuk membuatnya mampu berkomunikasi dan memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan syarat mereka menguasai struktur kata dan cara menggunakan kamus. Ada lagi yang 11
Rusydî Ahmad Thu'aimah, Ta'lîm al-'Arabiyyah… h. 195-6. Harlord Palmer, Usus Ta'lîm al-Lughah al-Ajnabiyyah terj. dari Principles of Language Study oleh Kamâl Ibrâhîm Badrî dan Shâlih Muhammad Nâshir, (Jakarta: LIPIA, tt)., h. 44-45. 13 Hasan, Muhammad Hâj, ―Tadrîs al-Mufradât‖… h. 47. 14 Basyîr al-Nîrânî, Mudzakkirah fî Tharîqah Tadrîs al-Mufradât, (Jakarta: LIPIA, tt.), h. 4. 12
7
berpendapat bahwa penguasaan 3.000 hingga 5.000 kosakata cukup untuk menjamin kelancaran dalam membaca berbagai karya tulis dalam berbagai bidang. Terlepas dari perbedaan tersebut, proses pembelajaran bahasa Arab, antara lain, harus diarahkan kepada pengembangan kosakata (tanmiyat al-mufradât) agar siswa/mahasiswa memiliki perbendaharaan (modal kebahasaan) yang memadai, sehingga timbul dan memiliki keberanian untuk berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. Kelemahan siswa/mahasiswa pada umumnya adalah kekurangan penguasaan kosakata dan sekaligus kurang keberanian untuk berekspresi.. Ada dua metode yang biasanya digunakan dalam pembelajaran mufradât, khususnya dalam memperjelas makna kosakata, yaitu: al-tharîqah al-siyâqiyyah (metode kontekstual) dan al-tharîqah ghair al-siyâqiyyah (metode non-kontekstual). Metode pertama (kontekstual) dimaksudkan sebagai cara menjelaskan makna kosakata melalui kontekstualisasi kata dalam struktur kalimat. Asumsinya adalah bahwa satu kata dalam bahasa Arab terkadang mempunyai banyak makna, sehingga agar makna dipahami, maka kata itu harus diletakkan dalam struktur kalimat secara kontekstual. Misalnya kata "َ َ َ"فوت, maknanya tidak sekedar: membuka secara fisik semata, melainkan dapat juga berkonotasi: mendirikan, memperoleh kemenangan, memudar, dan sebagainya. Perhatikan contoh kalimat di bawah ini:
فتَ اهلل عليك.2 . فتَ الطالب الكتا.1 فتَ وحمد متج ا.4 إنا فتانا لك فتاا مبينا.3 . فتَ لا القميص فصار وبيض بعد و كا وصف Demikian pula, ketika menjelaskan makna harf min, guru perlu melakukan kontekstualisasi agar ragam makna min dapat dipahami dari konteks kalimatnya, baik yang berarti: dari, sebagian/termasuk, maupun yang bermakna: di dan karena. Adapun prosedur yang dapat ditempuh guru dalam menjelaskan makna mufradât, menurut Thu‘aimah, adalah sebagai berikut: 1. Menunjuk/memperlihatkan ) (إشارة و إب از وشياءbenda atau sesuatu yang langsung berhubungan dengan kosakata yang sedang diperkenalkan atau diajarkan, seperti: ك ويdengan menunjuk kursi yang ada di samping guru atau yang sedang diduduki siswa; dan قلمsambil memperlihatkan pena sang guru; atau memegang dan mengangkat pena siswa. Jika bendanya tidak mungkin dihadirkan, guru dapat menggunakan gambar, membuat sketsa, ilustrasi, dan sebagainya. 2. Dramatisasi ) (تمثيل المعنى. Dalam hal ini guru memperagakan: ―membuka pintu‖ untuk menjelaskan makna kata kerja َيفت-َ فتatau menulis pelajaran pada papan tulis untuk menjelaskan makna ;يكتب
8
3. Bermain peranan) (لعب الد ر. Dalam hal ini guru dapat memainkan peran sesuai dengan kosakata yang hendak diajarkan. Misalnya, guru memerankan orang sakit yang sedang merasa kesakitan, untuk menjelaskan kata ياس بألم ّ atau menjelaskan ungkapan: ونا م يض. 4. Menyebutkan antonim )(ذك المتضادات. Misalnya ketika menjelaskan kata ""واخن, guru dapat menyebutkan lawannya, yaitu: بارد. 5. Menyebutkan sinonim )(ذك المت دفات. Misalnya, ketika menjelaskan kata ""صمصام, guru dapat menyebutkan sinonimnya, yaitu: وي. 6. Memberikan asosiasi makna )(تداعي المعاني. Ketika menjelaskan kata " "عائل, guru dapat meberikan asosiasi dengan menyebutkan kata-kata seperti: ،ز ج
....،، و شقي، و الد، ز ج. Hal ini penting dilakukan agar pikiran siswa tertuju
kepada suatu pengertian, yaitu keluarga. 7. Menyebut akar kata dan derivasinya )(ذك وصل الكلم مشتقاتوها. Ketika menjelaskan kata " "مكاتب ر, guru dapat menunjukkan akar kata berikut beberapa derivasi atau yang menjadi turunannya, seperti: "... ، مكتا، كاتب، كتا،ب َ َ"كت, sehingga siswa berusaha memahaminya sesuai dengan konteks kalimatnya. 8. Menjelaskan maksud atau pengertian kata melalui definisi, ciri-ciri, dan sebagainya. Misalnya, ketika berusaha memahamkan makna كنيس, guru dapat, misalnya, menyatakan: مكا يعبد يصلي فيو النصار. Guru dapat juga menyebut nama yang bagi siswa langsung dapat dipahami, seperti: ج يدة .... معبد "بار باد ر،" بر ج "ماناس،""ريفابليكا. 9. Meminta siswa membaca berulang kali, terutama ketika mendapat kosakata baru dalam sebuah teks. Dengan beberapa kali membaca dan menerka kata tertentu dalam teks itu, niscaya maknanya dapat dimengerti. 10. Membuka dan mencari makna kata dalam kamus )(الباث في القاماس. 11. Menerjemahkan langsung ke dalam bahasa ibu. Ini merupakan jalan pintas dan cara terakhir bila seluruh cara tidak dapat dilakukan dan siswa tidak juga memahaminya dengan baik. Guru diharapkan tidak ―memanjakan‖ siswanya dengan cara terakhir ini, karena hal ini dapat berdampak negatif terhadap perkembangan kebahasaan siswa, seperti: malas berpikir, malas mencari dalam kamus, malas berasosiasi, dan sebagainya.15
Secara teknis, pembelajaran mufradât dapat diklasifikasikan menjadi dua orientasi, yaitu: "unplanned vocabulary teaching" (pembelajaran mufradât takterencana) dan "planned vocabulary teaching" (pembelajaran mufradât yang terencana). Yang pertama, ketika berada dalam kelas, guru/dosen membelajarkan
15
Rusydî Ahmad Thu'aimah, Ta'lîm al-'Arabiyyah… h. 198-9
9
bahasa tanpa mempersiapkan daftar kosakata tertentu yang akan diajarkan, melainkan pembelajaran mufradât berlangsung secara spontan dan bergantung pada situasi dan sumber belajar yang ada. Sedangkan yang kedua, sebelum masuk kelas, guru/dosen sudah merencanakan dan membuat daftar kosa-kata tertentu yang akan dibelajarkan.16 Ketika guru/dosen membawa koran ke dalam kelas, lalu membaca headline yang berisi mengenai terorisme, kemudian ia mengenalkan kata إرىابي و (terorisme) kepada siswa/mahasiswa karena sangat aktual, meski sebelumnya ia tidak berniat mengenalkan kata itu, maka ia pada dasarnya membelajarkan mufradât secara tidak terencana. F. Metode Pengembangan Pembelajaran Mufradât Dalam pembelajaran mufradât, guru/dosen dituntut mampu mengembangkan penguasaan mufradât siswa/mahasiswa agar menjadi lebih mahir dalam berbicara maupun menulis dalam bahasa Arab. Metode yang disarankan oleh Hasan Syahâtah dalam pengembangan mufradât adalah dengan mengikuti langkah-langkah berikut. 17 Pertama, guru/dosen hendaknya dapat memusatkan perhatian para siswa/ mahasiswa ketika menyajikan mufradât baru sekaligus menjelaskan maknanya dalam konteks yang tepat. Pemanfaatan multi-media yang fungsional dan penciptaan suasana pembelajaran yang menarik dipastikan dapat meningkatkan minat dan motivasi siswa/mahasiswa dalam berupaya memahami mufradât baru. Kedua, guru/dosen hendaknya juga langsung mendorong mereka untuk memnggunakannya dalam percakapan maupun karangan mereka. Mufradât baru yang telah diketahui siswa/mahasiswa akan langsung bermakna dan fungsional jika mereka terlibat menggunakannya, tidak sekedar dicatat dan dihafal. Ketiga, guru/dosen perlu meminta secara khusus agar mereka mencatat mufradât baru berikut maknanya dalam buku khusus. Sedapat mungkin mereka dibiasakan mengembangkan mufradât dalam format kamus; dalam arti: mufradât yang dicatat itu disusun secara alfabetis atau secara tematik agar mudah mencarinya saat diperlukan. Keempat, dalam percakapan atau diskusi, guru/dosen hendaknya tidak raguragu dalam penggunaan mufradât baru. Mufradât yang diberikan memang telah dikuasainya dan digunakan sesuai dengan konteksnya. Sedapat mungkin mufradât 16
Bernard D. Seal, "Vocabulary Learning and Teaching", dalam Marianne Celce Murcia (Ed.), Teaching English as a Second Foreign Language, (Boston: Heinle & Heinle Publishers, 1991), Cet. II, h. 298. 17 Delapan langkah tersebut diadaptasi dari lima langkah yang disarankan oleh Hasan Syahâtah, dalam Ta'lîm al-Lughah al-'Arabiyyah baina al-Nazhariyyah wa al-Tahthbîq, (Kairo: al-Dâr alMishriyyah al-Lubnâniyyah, 1996), Cet. III, h.267.
10
yang diberikan sesuai dengan tingkat kemampuan, pengalaman, dan kebutuhan mereka. Dalam hal ini, guru/dosen sangat penting memahami psikolinguistik pembelajar, agar ia dapat memberikan kekayaan bahasa yang tepat dan diperlukan, sehingga berkesan dan ―awet‖ dalam ingatan. Kelima, guru/dosen hendaknya memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada mereka untuk banyak membaca, sekaligus memberi kesempatan untuk menceritakan atau mengekspresikan hasil bacaannya. Contextual Teaching and Learning (CTL) sebagai sebuah model pembelajaran tampaknya juga relevan untuk mengembangkan penguasaan mufradât.18 Keenam, pada saat percakapan atau diskusi, guru/dosen hendaknya berhenti sejenak ketika mengucapkan mufradât baru yang perlu mendapat perhatian khusus dari mereka. Bahkan, guru/dosen disarankan mengulanginya lagi dan menempatkannya pada struktur kalimat lain yang semakna dengan kalimat sebelumnya. Ketujuh, guru/dosen hendaknya memberi kesempatan kepada mereka untuk menunjukkan beberapa mufradât baru yang telah dicatat berikut contoh-contoh penggunaannya dalam struktur kalimat, paragraf, atau karangan yang utuh. Kedelapan, guru/dosen hendaknya dituntut memberikan umpan balik, berupa pembetulan, koreksi, dan responsi terhadap karya mereka agar lebih bersemangat dan terpacu untuk terus mengembangkan penguasaan mufradât secara mandiri dan sekaligus terbiasa mencari pengertian atau maknanya dalam kamus. Berdasarkan sebuah penelitian mengenai "Sikap Siswa Kelas II SMP di Beirut Lebanon terhadap Muthâla'ah" diperoleh data, bahwa salah satu tujuan mereka menelaah bahan bacaan adalah untuk: (a) memperkuat bahasa dan (b) memperkaya perbendaharaan bahasa atau mufradât. Kedua jawaban responden ini berada pada urutan pertama dan ketiga. Masing-masing dijawab oleh 155 dan 87 responden. Sementara itu, tujuan menelaah bahan bacaan untuk memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas dijawab oleh 91 responden dan menempati urutan kedua.19 Fakta ini menunjukkan bahwa melalui bahan bacaan (muthâla'ah) pengembangan mufradât dapat diintensifkan, karena siswa/mahasiswa langsung bersentuhan dan berinteraksi dengan teks: kosakata, istilah, ungkapan-ungkapan, dan lain sebagainya. 18
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah sebuah sistem pembelajaran yang didasarkan pada filosofi bahwa pembelajar akan belajar apabila mereka menemukan makna dalam materi pelajaran dan apabila mereka dapat mengaitkan sebuah informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka dapatkan sebelumnya. Mufradât seperti tilfâz (televisi) akan lebih bermakna dan berkesan jika diikuti dengan beberapa kosakata lain seperti: batsts mubâsyir (siaran langsung), mubârât kurat al-qadam (pertandingan sepak bola), ihrâz al-hadaf (mencetak gol), tasallul (ofside), dan sebagainya. Lihat Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning: What It is and Why It’s Here to Stay. (Thousand Oaks: Corwin Press, Inc., 2002), p. 25 19 Anton Shiyah, Dirâsat fi al-Lughah al-'Arabiyyah al-Fushhâ wa Tharâ'iq Ta'lîmihâ, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Lubnânî, 1995), Cet. I, h.287.
11
Dalam konteks kemajuan teknologi informatika, pengembangan pembelajaran mufradât juga dapat dilakukan melalui pemanfaatan internet dengan mengakses situs-situs yang berbahasa Arab. Dari internet ini, selain para siswa/ mahasiswa melatih diri untuk ―melek teknologi‖, juga terbiasa melakukan investigasi informasi dan eksplorasi sumber-sumber bacaan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan penguasaan mufradât. Penggunan internet dalam pengembangan mufradât ini sebaiknya dilakukan dalam laboratorium bahasa agar guru/dosen dapat mengontrol dan memberi bimbingan yang konstruktif bagi mereka. Pemanfaatan internet dalam laboratorim bahasa ini, pada gilirannya, juga dapat menciptakan model pembelajaran konstruktivisme20 sebagai salah satu strategi dalam pengembangan penguasaan mufradât. Penguasaan mufradât secara terencana dan berkala dapat pula dikembangkan melalui evaluasi dalam bentuk tes kosakata, baik secara lisan maupun tulisan. Dalam hal ini, guru/dosen dituntut mampu menyiapkan berbagai model tes kosakata yang relevan agar tingkat penguasaan siswa/mahasiswa terhadap kosakata yang dipelajarinya dapat diketahui atau diperkirakan.21 Sebagai contoh, guru misalnya dapat mengevaluasi tingkat penguasaan mufradât siswa/mahasiswa dengan memperlihatkan karikatur atau gambar yang menunjukkan pemandangan atau peristiwa tertentu, lalu mereka diminta untuk mendeskripsikan pemandangan atau peristiwa tersebut baik secara lisan ataupun tulisan. Dapat pula tes mufradât seperti yang dikembangkan dalam TOAFL, yaitu tes pilihan ganda dengan memilih kosakata yang paling dekat maknanya dengan mufradât yang digaribawahi dalam kalimat atau teks. Dengan cara seperti itu, para siswa/mahasiswa diharapkan lebih rajin dalam memanfaatkan kamus dan mengembangkan kekayaan kebahasaan mereka. G. Penguasaan Mufradât sebagai Basis Pengembangan Kemahiran Berbahasa Tidak ada yang menyangkal bahwa penguasaan mufradât sangat vital bagi pengembangan kemahiran berbahasa Arab: menyimak, berbicara, membaca dan/atau menulis. Keempat kemahiran ini mustahil dapat dicapai tanpa dibarengi dengan 20
Pembelajaran konstruktivisme merupakan model pembelajaran yang menekankan aktivitas siswa/mahasiswa dalam setiap interaksi edukatif untuk melakukan eskplorasi, investigasi, dan informasi secara mandiri, dan sedikit demi sedikit. Filosofi dari model pembelajaran ini adalah bahwa pengetahuan dibangun manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas, dan bukannya terjadi secara sekonyong-konyong (in a sudden). Jika akses internet dan membaca secara mandiri (misalnya koran atau majalah berbahasa Arab) dilakukan oleh setiap siswa/mahasiswa lalu dilaporkan atau disampaikan secara bergantian di dalam forum kelas, niscaya informasi mengenai mufradât yang ditemukan dan diketahui oleh seorang mahasiswa dapat melengkapi dan membuat konstruksi kekayaan bahasa yang luar biasa. 21 Lihat Harold S. Madsen, Techniques in Testing, (New York: Oxford University Press, 1983), p. 12-18.
12
penguasaan mufradât. Oleh karena itu, revitalisasi pembelajaran mufradât yang berorientasi kepada pengembangan empat keterampilan berbahasa Arab mutlak dilperlukan, baik pada tataran teoritik-akademik maupun pada tataran praktikpragmatik. Hanya saja, yang menjadi persoalan adalah ―bagaimana mengemas dan mengembangkan penguasaan mufradât para siswa/mahasiswa secara efektif dan konstruktif?‖ Secara teoritik-akademik, pengembangan kemahiran berbahasa harus dilandasi oleh, misalnya, berapa ribu mufradât yang harus dikuasi oleh siswa/ mahasiwa dalam satu semester? Penguasaan jumlah nominal mufradât boleh jadi bukan hal yang substansial, karena yang diperlukan adalah seberapa tinggi tingkat fungsionalitas dan nilai pragmatik mufradât yang dibelajarkan. Lalu, mufradât apa saja yang tepat dan relevan diberikan kepada mereka? Dalam konteks ini, model "planned vocabulary learning and teaching" perlu dikembangkan, sehingga guru/dosen dapat mengukur berapa mufradât yang telah diberikan dan bagaimana respon siswa/mahasiswa dalam menggunakan mufradât itu untuk pengembangan keterampilan berbahasa mereka. Keterampilan menyimak (mahârah al-istimâ') tampaknya kurang mendapat perhatian dan porsi pembelajaran bahasa Arab di institusi pendidikan Islam di Indonesia secara memadai.22 Padahal, menyimak merupakan "pintu masuk" kemahiran berbahasa lainnya. Melalui latihan menyimak secara teratur dan terprogram, siswa/mahasiswa dapat meningkatkan penguasaaan mufradât. Dalam waktu yang sama, mufradât yang sering didengar itu memudahkan mereka untuk dapat memahami substansi yang diperdengarkan. Dalam konteks signifikansi peningkatan porsi latihan menyimak, menarik dikemukakan hasil sebuah penelitian di Amerika. Dalam belajar bahasa, para siswa SMU di Amerika menghabiskan 30% waktu mereka setiap hari untuk keterampilan berbicara, 16% untuk keterampilan membaca, 9% untuk menulis; sementara untuk keterampilan menyimak (mendengar) mereka menghabiskan 45% dari waktu belajar mereka. Sedangkan siswa SD menghabiskan 2,5 jam (50%) dari waktu belajar mereka selama 5 jam setiap hari untuk kegiatan menyimak.23 Jika penguasaan mufradât bagi siswa/mahasiswa dapat dioptimalkan melalui berbagai latihan, terutama menyimak dan membaca, niscaya kemahiran berbahasa 22
Mata kuliah istimâ’ pada Jurusan PBA, FITK, UIN Jakarta, misalnya, baru dikurikulumkan tiga tahun terakhir. Secara tidak langsung, istimâ’ terkadang ditumpangsarikan pada mata kuliah muhâdatsah atau ta’bîr syafawî. Selama ini, mahasiswa praktis latihan menyimak dari para dosen yang ―istiqâmah‖ menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar. Baru sebagian kecil mahasiswa yang meminati menyimak langsung dari siaran TV yang berbahasa Arab. 23 Muhammad Shâlih al-Syanthî, al-Mahârât al-Lughawiyyah: Madkhal ilâ Khashâish alLughah al-'Arabiyyah wa Funûnihâ, (Ha'il: Dâr al-Andalus, 2003), Cet. V, h. 147.
13
Arab lainnya dapat ditumbuh-kembangkan secara proporsional. Semua latihan kebahasaaraban perlu diarahkan pada pencapaian target penguasaan mufradât tertentu, sehingga dalam jangka waktu tertentu guru dapat melihat perkembangan penggunaan mufradât itu dalam keterampilan berbicara, membaca maupun menulis. H. Kesimpulan Pembelajaran mufradât tidak identik dengan pembelajaran bahasa Arab itu sendiri, karena mufradât hanyalah merupakan subsistem bahasa Arab. Namun demikian, mufradât mempunyai posisi yang sangat penting sebagai pembentuk frase, ungkapan, kalimat, wacana, dan sebagai basis pengembangan keterampilan berbahasa Arab. Pembelajaran mufradât di lembaga pendidikan kita perlu dirancang secara kreatif dan konstruktif, sehingga siswa/mahasiswa selalu merasa butuh untuk menambah, mencari, dan memaknai mufradât baru, terutama melalui multi-media dan mass media. Melalui keduanya, selain menarik, mufradât yang diperoleh dipastikan aktual dan kontemporer, sehingga perkembangan kebahasaan siswa/mahasiswa selalu up-todate. Model dan teknik pembelajaran mufradât hendaknya variatif dan kreatif. Sedapat mungkin guru/dosen dapat menghindari pemberian arti suatu mufradât dengan menunjukkan artinya secara langsung dalam bahasa Indonesia, tanpa melalui proses pemahaman yang bermakna. Hal ini penting ditekankan agar pemaknaan mufradât baru melalui kontekstualisasi dan penjelasan yang variatif itu dapat lebih berkesan dan membekas, tidak mudah dilupakan oleh siswa/mahasiswa. Jadi, guru/dosen bahasa Arab diharapkan mampu mengembangkan pembelajaran mufradât, baik secara terencana maupun tidak terencana, dengan prinsip-prinsip dan langkah-langkah yang tepat, kreatif, dan efektif serta berbasis multi-media dan/atau mass media yang mendukung. Untuk menguji tingkat pengusaan mufradât, pembelajaran keterampilan berbahasa Arab pada akhirnya perlu disertai dengan pengalokasian evaluasi mufradât yang relevan bagi pengembangan pembelajaran mufradât itu sendiri maupun pembelajaran bahasa Arab secara keseluruhan. Wallâhu a’lam bi al-shawâb! DAFTAR PUSTAKA al-'Arabî, Shalâh 'Abd al-Majîd, Ta'allum al-Lughât al-Hayyah wa Ta'lîmuhâ: Baina al-Nazhariyyah wa al-Tathbîq, Beirut: Maktabah Lubnân, 1981. Hasan, Muhammad Hâj, ―Tadrîs al-Mufradât‖, dalam Jurnal al-Muwajjih, Edisi II, Jakarta: LIPIA, 1988. Hassân, Tammâm, al-Lughah al-‘Arabiyyah: Ma’nâhâ wa Mabnâhâ, Kairo: alHa‘iah al-Mishriyyah al-‗Âmmah li al-Kitâb, Cet. III, 1985.
14
Johnson, Elaine B., Contextual Teaching and Learning: What It is and Why It’s Here to Stay. Thousand Oaks: Corwin Press, Inc., 2002. al-Khalîfah, Hasan Ja'far, Fushûl fî Tadrîs al-Lughah al-'Arabiyyah, Riyâdh: Maktabah al-Rusyd, Cet. II, 2003. al-Khûlî, Muhammad 'Alî, Mu'jam 'Ilm al-Lughah al-Tathbîqî: Inklîzî-Arabî, Beirut: Maktabah Lubnân, 1986. Madkûr, ‗Alî Ahmad, Tadrîs Funûn al-Lughah al-'Arabiyyah, Kairo: Dâr al-Fikr al'Arabî, 2000. Madsen, Harold S., Techniques in Testing, New York: Oxford University Press, 1983. al-Nûrânî, Basyîr Mudzakkirah fî Tharîqah Tadrîs al-Mufradât, Jakarta: LIPIA, tt.. Palmer, Harlord, Usus Ta'lîm al-Lughah al-Ajnabiyyah terj. dari Principles of Language Study oleh Kamâl Ibrâhîm Badrî dan Shâlih Muhammad Nâshir, Jakarta: LIPIA, tt. Seal, Bernard D., "Vocabulary Learning and Teaching", dalam Marianne Celce Murcia (Ed.), Taching English as a Second Foreign Language, Boston: Heinle & Heinle Publishers, Cet. II, 1991. Shiyah, Anton, Dirâsat fi al-Lughah al-'Arabiyyah al-Fushhâ wa Tharâ'iq Ta'lîmihâ, Beirut: Dâr al-Fikr al-Lubnânî, Cet. I, 1995. Syahâtah, Hasan, Ta'lîm al-Lughah al-'Arabiyyah baina al-Nazhariyyah wa alTahthbîq, Kairo: al-Dâr al-Mishriyyah al-Lubnâniyyah, Cet. III, 1996. al-Syanthî, Muhammad Shâlih, al-Mahârât al-Lughawiyyah: Madkhal ilâ Khashâish al-Lughah al-'Arabiyyah wa Funûnihâ, Ha'il: Dâr al-Andalus, Cet. V, 2003. Thu'aimah, Rusydî Ahmad, Ta'lîm al-'Arabiyyah lî Ghair al-Nâthiqîna bihâ: Manâhijuhû wa Asâlibuhû, Rabâth: Isisco, Cet. I, 1989. al-Ushailî, Abd al-'Azîz ibn Ibrâhîm, al-Nazhariyyât al-Lughawiyyah wa alNafsiyyah wa Ta'lîm al-Lughah al-'Arabiyyah, Riyâdh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, 2000. al-Wa‘r, Mâzin, Dirâsât Nahwiyyah wa Dilâliyyah wa Falsafiyyah fî dhau’ alLisâniyyât al-Mu’âshirah, Damaskus: Dâr al-Mutanabbi, Cet., 2001.
15