KONTRIBUSI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMBENTUKAN MASYARAKAT MADANI Oleh Muhbib Abdul Wahab Abstrak Ada tiga kata kunci visi dan misi profetik Muhammad Saw: mendidik, membentuk karakter (akhlak), dan menyayangi. Pengembangan pemikiran pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan dari ketiga kata tersebut, terutama dalam membetuk masyarakat madani. Untuk mengantisipasi transformasi sosial menuju "masyarakat madani", pendidikan Islam harus didisain dan direformulasikan untuk menjawab perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemikiran pendidikan Islam idealnya tidak sekedar berorientasi ―romantisme historis‖ yang tidak kreatif, melainkan harus berpacu dalam merespon tuntutan global yang sangat kompetitif. Pemikiran pendidikan Islam harus mampu memberi ―corak‖ (shibghah) integritas moral bagi para lulusannya. Karena dengan shibghah inilah, fitrah manusia menjadi tetap terpelihara sekaligus menjadi benteng moral dan pemacu semangat perubahan menuju kejayaan peradaban Islam di masa mendatang. Dalam konteks ini, kontribusi pemikiran pendidikan Islam semestinya diapresiasi dan diaktualisasikan sesuai dengan tuntutan zamannya, sehingga melahirkan generasi masa depan yang memiliki kekuatan imtak dan keunggulan iptek dengan tradisi riset yang maju dan produktif.
ملخص البحث ثمة ثالث كلمات مفتاحية تمثل رؤية مستقبلية للنبي محمد صلى اهلل عليو وسلم وتطوير الفكر التربوي اإلسالمي ال. والرحمة، وتكوين مكارم األخالق، التربية: أال وىي،ورسالتو ورغبة في التنبأ بتحويل. وفضال عن تكوين مجتمع مدني،يمكن فصلو من ىذه الكلمات الثالث فإن التربية اإلسالمية بحاجة إلى إعادة التصميم والصياغة لتلبية،اجتماعي نح و مجتمع مدني .متطلبات العصر والتقدم العلمي والتكنولوجي ومن المأمول أال يسير الفكر التربوي اإلسالمي على االتجاه الرومانتيكي التاريخي غير . ولكنو ال بد أن يكون متسابقا في تلبية متطلبات العصر الدولية الشديدة التنافس،اإلبداعي ومن المطلوب أن يقدم الفكر التربوي اإلسالمي صبغة خلقية للمتخرجين في الهيئات التربوية وىذه الصبغة إنما معقل األخالق، وبـهذه الصبغة أصبحت فطرة اإلنسان محفوظة.اإلسالمية وفي ىذا الصدد أصبح ضروريا.ومنبع روح التغير نحو التقدم الحضاري اإلسالمي في المستقبل مما يم ّكن من،أن نق ّدر إسهامات الفكر التربوي اإلسالمي وسياقيتها وفقا لمتطلبات العصر ، والمتفوقين في التقدم العلمي والتكنولوجي،إعداد أجيال المستقبل األقوياء اإليمان والتقوى .وذلك بإنماء عادات بحثية قوية متقدمة ومنتجة Kata Kunci: pemikiran pendidikan Islam, membentuk karakter, kekuatan imtak, keunggulan iptek, dan masyarakat madani.
Penulis adalah Dosen dan Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, alamat e-mail:
[email protected].
1
Prolog Islam merupakan satu-satunya agama yang ayat pertamanya mewajibkan umatnya untuk membaca (belajar, meneliti, mengkaji, mengembangan ilmu).1 Karena itu, Islam juga mengharuskan umatnya agar senantiasa memaksimalkan pendayagunaan akal (i’mâl al-aqli wa al-fikr), sehingga melahirkan pemikiran yang kreatif dan konstruktif bagi kemanusiaan. Di dalam al-Qur'an setidak-tidaknya dijumpai penggunaan kata ‗aql (akal) dalam bentuk verba (kata kerja) sebanyak 48 kali. Kata-kata lain yang terkait langsung dengan ilmu dalam alQur‘an adalah ra’yu (melihat, berpendapat, mengamati, menyelidiki), disebut sebanyak 332 kali; bashar (melihat, mengobservasi, memahami, memperhatikan) digunakan sebanyak 149 kali, nazhar (mengobservasi, bernalar, memperhatikan, memikirkan) sebanyak 99 kali, dan kata `arafa (mengetahui, memahami, bersikap arif) sebanyak 24 kali, dan fikr (berpikir) sebanyak 19 kali, kata lubb yang berarti akal atau nalar sebanyak 6 kali, dan kata hikmah (kebijaksanaan, filsafat, kearifan) disebut ulang 16 kali (al-Bâqî, 1992: passim). Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam adalah agama rasional yang pada intinya menghendaki umatnya mampu menjadi pemikir, peneliti, penemu, dan pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga pada gilirannya dapat membangun masyarakat madani yang berperadaban dan berkeadaban. Nabi Saw. sendiri menyatakan bahwa ―Agama (Islam) adalah akal (rasionalitas). Karena itu, tidak dikatakan beragama orang yang tidak mendayagunakan akalnya.‖ (HR. Ibn Hibbân). Dengan kata lain, peradaban Islam dalam masyarakat madani hanya mungkin dibangun dengan kesadaran ilmiah: keseriusan untuk melakukan penelitian, pengembangan pemikiran dan karya ilmiah, serta bepartisipasi aktif dalam mengembangkan masyarakat dengan berbasis pada temuan-temuan ilmiah dan pemikiran-pemikiran Islam. Jika di masa lalu, masa keemasan peradaban Islam, dinamika pemikiran Islam menjadi "ruh" perubahan sosial budaya yang bersendikan nilai-nilai Islami, kini –pada saat dunia Islam berada dalam kemunduran— pemikiran itu tampaknya 1
Ada yang menarik bahwa Rasulullah Saw. memadukan ilmu pengetahuan dengan agama, yang disimbolkan dalam iqra' bi ismi rabbik! (Bacalah dengan nama Tuhanmu). Iqra' adalah simbol ilmu pengetahuan, sedangkan bi ismi rabbik sebagai simbol agama. Iqra' tanpa bi ismi rabbik atau bi ismi rabbik tanpa iqra' terbukti tidak mengangkat martabat manusia dan kemanusiaan (Nasaruddin Umar, 2010:1),
2
menjadi "mandul", kalau tidak dikatakan "mati suri". Kemandulan pemikiran Islam, antara lain, tampak dalam berbagai hal. Dari segi metodologis, para pemikir Muslim kini masih tampak sibuk mencari –dan dalam banyak hal mencoba mengadopsi atau mengadaptasi Barat—metodologi pemikiran yang dinilai tepat dan relevan dengan kebutuhan umat Islam. Para pemikir Muslim kini belum cukup "mandiri" dalam mengembangkan model pemikiran keislamannya. Para pemikir Muslim modern kini memfokuskan perhatiannya terhadap ilmuilmu sosial dan humaniora (sosiologi, antropologi, linguistik, psikologi, semiologi, sastra, dan sebagainya) untuk kemudian diaplikasikan dalam memahami ajaran Islam. Mohammed Arkoun, pemikir Muslim asal al-Jazair, misalnya menyerukan pembacaan kembali terhadap ajaran Islam melalui antropologi pemikiran; Fazlurrahman melalui pendekatan historis-sosiologis dan wacana hermenuetik; M. Syahrur, pemikir kontemporer asal Suriah, melalui kritik diri (naqd al-dzat) dan analisis linguistiknya; Nashr Hamid Abû Zaid dengan kritik wacana keagamaan dan pembacaan yang produktif (qirâ'ah muntijah), dan Muhammad 'Âbid al-Jâbiri, pemikir asal Marokko, melalui kritik nalar Arab (naqd al-'aql al-'Arabi) (alDaghâmain, 1995:15). Karena itu, upaya modernisasi pemikiran Islam tidak jarang hanya dipahami sebagai penerapan pendekatan dan metodologi baru dalam menelaah dan mengembangkan wacana pemikiran yang sudah ada. Uraian dalam tulisan ini, secara jujur diakui, bukanlah hasil penelitian ilmiah yang mendalam, melainkan lebih merupakan hasil pengamatan selintas dan pembacaan reflektif terhadap sketsa pemikiran pendidikan Islam yang kini sedang dan terus bergeliat menuju pembacaan kembali, rekonstruksi, dan pencerahan intelektual. Tanda-tanda ke arah itu sudah mulai jelas di hadapan kita, atau sekurangkurang di kalangan komunitas akademik, antara lain: (1) semakin banyaknya sarjana Muslim yang berpendidikan Barat dan Timur [Tengah] yang bergelar Doktor dan kini telah memainkan peran penting dalam lembaga pemerintah maupun swasta; (2) berubahnya status institusional sebagian pendidikan tinggi Islam dari institut menjadi universitas, seperti: UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Malang, UIN Makassar, dan UIN Bandung;
atau perubahan status dari STAIN menjadi IAIN, seperti: IAIN
Gorontalo, IAIN Banten, dan IAIN Cirebon, (3) menjamurnya penyelenggaraan program pendidikan S2 dan S3 mengenai studi Islam di pelosok tanah air, baik di
3
kalangan PTAIN maupun PTAIS, (4) mulai tumbuhnya semangat kemandirian dan kreativitas intelektualisme di kalangan generasi muda kita; (5) menguatnya kontrol sosial terhadap kebijakan dan kinerja pemerintah, baik melalui komunitas yang tergabung berbagai asosiasi dan lembaga profesi maupun melalui lembaga legislatif, dan (6) mobilitas dan dinamisme para intelektual muda Islam dalam menyikapi dan merespon terhadap berbagai perubahan kontempor cukup tinggi. Hal ini, antara lain, disebabkan terbuka komunikasi digital dan ketersediaan nuansa demokrasi yang bebas menyatakan pendapat dan pemikiran. Beberapa kalangan intelektual Muslim tidak lagi hanya menulis dan mengekspresikan gagasannya di media-media yang beridentitas Islam, seperti Republika, melainkan juga sudah mampu menembus dan sedikit banyak mewarnai media ‖nasionalis‖ seperti: Kompas dan Media Indonesia. Lalu, apa kontribusi pemikiran pendidikan Islam dalam pembentukan masyarakat madani? Artikel singkat ini berusaha menjawab pertanyaan ini dengan sedikit ‖menoleh ke belakang‖ menelusuri jejak pemikiran pendidikan Islam, dan ‖menatap ke depan‖ sembari memberi alternatif model pemikiran pendidikan yang perlu dikembangkan di dunia pendidikan kita.
Pemikiran Pendidikan Islam: Rekonstruksi Metodologi Kata "rekonstruksi" (i’âdah al-bina’/al-binyah) mengingatkan kita kepada Irak yang porak-poranda akibat perang melawan sekutu –atau lebih tepat sekutu yang memporak-porandakan Irak— dan Aceh yang hancur akibat gempa dahsyat dan gelombang tsunami pada akhir Desember 2004 lalu. Irak dan Aceh memang perlu direkonstruksi, tidak hanya berupa pembangunan kembali sarana dan prasarana fisik yang rusak atau hancur, melainkan juga perlu pembangunan mental-spiritual maupun intelektual dan sosial. Bagaimana halnya dengan pemikiran Islam: adakah bangunan pemikiran yang selama ini dipandang "hancur berantakan", sehingga harus direkonstruksi? Apakah rekonstruksi pemikiran Islam mensyaratkan "kehancuran
bangunan
pemikiran" terlebih dahulu ataukah kemandegan (status quo) pemikiran Islam itu dengan sendirinya memerlukan proses dekonstruksi (deconstruction, tafkîk), lalu ditindaklanjuti dengan rekonstruksi?
4
Yang pasti, rekonstruksi pemikiran Islam tidaklah identik dengan rekonstruksi Islam sebagai agama universal, karena Islam sebagai ajaran yang bersumber dari wahyu (al-Qur‘an dan al-Sunnah) sudah "final", sedangkan yang belum final dan tidak akan pernah selesai, adalah proses interaksi dan interpretasi – yang kemudian melahirkan pemikiran—terhadap doktrin dan ajaran dalam kitab suci. Yang juga tidak pernah selesai adalah pembacaan dan pemikiran ulang (rethinking) terhadap pemikiran para pemikir Muslim masa lalu. Yang dimaksud dengan pemikiran pendidikan Islam (al-fikr al-tarbawî alIslâmî) adalah sejumlah postulat dan pemikiran yang membentuk suatu teori atau beberapa teori yang dapat dijadikan sebagai referensi atau dasar dalam merancang dan merumuskan strategi dan program-program pendidikan Islam. Pemikiran pendidikan Islam merupakan usaha konseptual atau kerja intelektual yang berbasis teori dan sekaligus mempunyai implikasi aplikatif atau operasional di bidang pendidikan dan pembelajaran (Ghadhbân, 2009:3). Dengan demikian, pemikiran pendidikan Islam pada dasarnya merupakan kontribusi (ishâmât) hasil pemikiran kreatif di bidang pendidikan Islam yang disumbangkan oleh para pemikir Muslim, baik klasik, pertengahan, maupun kontemporer. Pemikiran pendidikan Islam dapat berupa hasil pergumulan intelektual seorang pemikir dengan sumber ajaran Islam (al-Qur‘an dan al-Sunnah) dengan realitas sosial budaya, dan dapat pula berupa kritik terhadap perkembangan ilmu pendidikan yang ada (misalnya dari Barat) dengan memberikan alternatif dan solusi sesuai dengan nilai-nilai Islam. Persoalannya kemudian adalah: pertama: "Bagaimana para pemikir Muslim mampu merekonstruksi metodologi penalaran dan pemikiran Islam yang kreatif dan konstruktif, seperti: yang pernah dirumuskan oleh Imam Syafi'i (w. 204 H) dalam bidang ushûl fiqh, Ibn Ishâq dalam bidang sejarah, khususnya Sîrah Nabawiyyah (biografi Nabi Muhammad Saw), Wâshil ibn al-'Athâ‘ dan Abu al-Hasan al-Asy'arî dalam bidang kalam (teologi), al-Fârâbî dan Ibn Sînâ dalam bidang filsafat, psikologi, musik, dan kedokteran, al-Khalîl ibn Ahmad (w. 175 H) dan al-Kisâ'î dalam bidang linguistik, ‗arûdh (metrics) dan nahwu, ‗Abd al-Qâhir al-Jurjânî di bidang balâghah (eloquence) al-Ghazzâli (w. 1111) dan Ibn 'Arabî dalam bidang
5
moral dan tasawwuf (sufisme), dan Ibn Jarîr al-Thabarî dan al-Zamakhsyarî dalam bidang tafsir dan linguistik, dan sebagainya?" Semua pemikir tersebut, menurut penulis, telah berkontribusi dengan mewariskan karya-karya besar (magnum opus, masterpiece) dalam bidang pemikiran dan disiplin ilmu masing-masing karena mereka terbukti berhasil mengembangkan metodologi penelitian dan model pemikiran yang jelas, distingtif, dan kreatif pada masanya. Selain itu, mereka juga mampu merespon kebutuhan dan perkembangan zamannya dengan cepat dan tepat. Kedua, "Bagaimana para pemikir Muslim kontemporer mampu memetakan kecenderungan dan orientasi (ittijâhât), berikut merekonstruksi pemikiran Islam masa lalu (klasik hingga kontemporer), kemudian menjadikannya sebagai landasan teoritis, kerangka epistemologi, atau sekurang-kurangnya sebagai pengalaman empirik, untuk merespons perubahan dan perkembangan zaman dewasa ini, baik dalam bidang sosial-politik, budaya, hukum, pendidikan, maupun dalam bidang sains, teknologi, dan informatika?" Jika Albert Hourani, misalnya, berhasil membuat pemetaan terhadap pemikiran liberal Arab di paruh pertama abad ke-20 (1830-1939) dan mengklasifikasikannya ke dalam tiga generasi2, maka bagaimana pemikir kita dewasa ini mampu membaca kembali kecenderungan dan karakteristik pemikiran Islam Indonesia dalam abad 20 ini dan awal abad ke-21?" Ini merupakan tantangan besar yang perlu dijawab melalui kajian yang intens, serius, dan mendalam, agar kita dapat menatap masa depan pemikiran pendidikan Islam secara lebih dinamis, konstruktif, progresif, dan berperadaban. Ketiga, "bagaimana para pemikir pendidikan Islam memaknai perubahan sosial dan perkembangan sains dan teknologi modern, sehinggga mereka mampu memberikan respons yang positif, dan dalam batas-batas tertentu, bersikap proaktif terhadap berbagai isu-isu kontemporer, seperti: fiqh korupsi, teologi reformasi, 2
Ketiga generasi dimaksud adalah: (1) generasi pertama (1830-1870 M), direpresentasikan oleh Rif'at al-Thahthâwî, Abd al-Rahmân al-Kawâkîbî, dan Khairuddin al-Tûnusî, yang mendasarkan pemikiran mereka pada pertanyaan reflektif: "Mengapa dunia Barat maju dan mengapa dunia ArabIslam mundur?" (2) Generasi kedua (1870-1900 M), direpresentasikan oleh Qâsim Amîn dan Ali Abd al-Râziq, yang masing-masing mengangkat isu persamaan jender (gender equality) dan menyuarakan penolakan terhadap sistem politik kekhalifahan. Sedangkan generasi ketiga (1900-1939 M), direpresentasikan oleh Muhammad ‗Abduh (w. 1905), Rasyîd Ridhâ, Syiblî Syumayyil, antara lain menyuarakan pentingnya teologi rasional dan pendidikan sebagai instrumen untuk kebangkitan dunia Islam dan pembaharuan pemikiran Islam (Albert Hourani, 1983:passim).
6
sufisme perkotaan, fiqh lingkungan, sosiologi Islami tentang konflik etnik, psikologi Islami bagi korban tsunami, filantropi sosial bagi pendidikan dan kesejahteraan umat, fiqh HAM, pendidikan anti-korupsi, pendidikan multikulturalisme, dan sebagainya?" Menyikapi dan meresponi tanda-tanda zaman dan perubahan sosial yang demikian cepat, tentu saja, tidak cukup dengan membaca ayat demi ayat dan hadits demi hadits Nabi Saw. Pendekatan multidisiplin keilmuan dan model pemikiran yang komprehensif, dipadukan dengan penelitian empirik yang mendalam, diperlukan
dan
dikembangkan
secara
komprehensif.
Sinergi
sangat
pendidikan,
pengembangan ilmu, dan penelitian adalah manifestasi dari upaya pengembangan pemikiran Islam. Dari beberapa pemetaan tantangan pemikiran pendidikan Islam tersebut, dapat ditegaskan bahwa substansi pemikiran pendidikan Islam adalah produk pemikiran dan kreativitas keilmuan yang dihasilkan oleh pemikir pendidikan Islam sejak kerasulan Muhammad Saw. hingga dewasa ini mengenai tiga narasi besar, yaitu: Allah, alam, dan manusia yang kemudian dikaitkan dan diaplikasikan dalam dunia pendidikan (‗Abd al-Hâmid, 1992:41). Pemikiran dimaksud merupakan hasil ijtihâd ilmiyyah para pemikir dalam berinteraksi, memahami, menjelaskan, dan menginterpretasikan
pengetahuannya
dalam
kerangka
prinsip-prinsip
Islam.
Pemikiran Islam tidak hanya berkaitan dengan pemikiran teologis, filosofis, dan sufistik (tasawuf), sebagaimana disederhanakan, misalnya, oleh almarhum Harun Nasution. Pemikiran Islam meliputi seluruh apsek pemikiran yang pernah lahir dalam lintasan sejarah peradaban Islam dari masa klasik hingga masa kontemporer. Pemikiran pendidikan Islam juga merupakan bagian dari pemikiran Islam pada umumnya. Hanya saja, bidang ini lebih difokuskan pada hasil-hasil atau produk-produk pemikiran dalam bidang pendidikan yang dipahami dari sumber bakunya: al-Qur‘an dan al-Sunnah, dan dikomunikasikan atau dikontekstualisasikan dalam realitas sosial pendidikan. Pada masa Nabi Muhammad Saw., misalnya telah lahir pendidikan Islam dengan menggunakan metode dialogis, metode kisah, metode perumpamaan (tamtsîl), metode keteladanan, dan sebagainya (al-Nahlâwî, 2002: 175 dst). Di masa shahabat Nabi, misalnya pada masa Umar ibn al-Khaththab, muncul ide pembentukan dawâwîn (kementerian atau departemen), yang menuntut adanya
7
pembenahan administrasi dan manajemen, sehingga wacana dan pemikiran pendidikan administrasi dan manajemen cukup menonjol. Demikian pula, pemikiran pendidikan mengenai konsep fitrah juga mulai dikembangkan pada masa-masa awal peradaban Islam. Imam Ja‘far al-Shadiq (80148 H), misalnya berpendapat bahwa manusia sesuai dengan ayat (QS. Al-Rûm/30: 30) diberikan fitrah (potensi dasar) bertauhid kepada Allah. Allah tidak (pernah) mendorong manusia untuk menjadi kufur (ingkar, tidak bertauhid). Dengan fitrahnya manusia memiliki kesanggupan untuk mengetahui apa yang diberikan oleh Allah kepadanya dan sekaligus memiliki kesanggupan untuk menegakkan keadilan (Abu al-‗Ainain, 1988:103). Jadi, jejak rekam dan kekayaan khazanah intelektual di bidang pendidikan Islam dari masa ke masa merupakan ―tambang pemikiran‖ yang perlu diapresiasi dan dikontekstualisasikan untuk kepentingan pengembangan model pendidikan dan pembelajaran masa kini. Rintisan penambangan pemikiran pendidikan Islam telah dimulai, misalnya, oleh al-Munazhzhamah al-Arabiyyah li alTarbiyah wa al-Tsaqâfah wa al-’Ulûm (ISESCO) dengan menerbitkan empat jilid pemikiran pendidikan Islam mulai dari masa khulafa‘ rasyidun hingga abad kedua puluh, dalam ensiklopedi berjudul Min A’lâm al-Tarbiyah al-‘Arabiyyah alIslâmiyyah (1988).
Karakteristik Pemikiran Pendidikan Islam Jika dibandingkan dangan pemikiran Barat yang sekuler dan materialistik, akibat tidak bertemunya agama dan ilmu, pemikiran pendidikan Islam, mempunyai beberapa karakteristik yang perlu dijadikan sebagai visi, misi, orientasi dan aktualisasi pengembangan pemikiran pendidikan Islam ke depan. Karakteristik pemikiran dimaksud adalah sebagai berikut. Pertama, pemikiran Islam itu bersifat rabbâni, bersumber dari dan bermuara kepada sistem nilai ketuhanan. Sumber utamanya adalah wahyu, yaitu: al-Qur'an dan al-Sunnah (al-Zunaidi, 1995:125). Orientasi pemikiran pendidikan Islam juga mengarah kepada nilai-nilai transendental dan spiritual, tidak hanya berupa mewujudkan fi al-dunya hasanah (kebahagiaan duniawi, jangka pendek), tetapi juga fi al-âkhirati hasanah (kebahagiaan ukhrawi, jangka panjang) sekaligus waqina adzaba al-nâr (QS. al-Baqarah [2]: 201). Pemikiran Islam juga harus memposisikan
8
kehidupan dunia sebagai instrumen atau sarana, atau meminjam istilah Mâjid ‘Irsân al-Kailânî, pemikir pendidikan pendidikan Islam asal Jordania, dalam Falsafah alTarbiyah al-Islâmiyyah-nya sebagai laboratorium pendidikan— menuju kebahagiaan hidup tanpa batas di akhirat. Karena itu, pemikiran Islam tidak seharusnya berorientasi kekinian dan kedisian (jangka pendek) semata, melainkan juga harus berorientasikan jauh ke depan dan bervisi keabadian (perenial). Allah swt. berfirman: Walal-âkhiratu khairul laka minal ûla. Artinya: "Orientasi kehidupan masa depan [akhirat] itu sungguh lebih baik daripada orientasi masa kini (kehidupan dunia) (QS. al-Dhuhâ [93]: 4). Selain itu, pemikiran pendidikan Islam dibangun di atas fondasi tauhid (ajaran tentang keesaan Allah, kesatuan sumber ajaran, kesatuan penciptaan, kesatuan kemanusiaan, kesatuan tujuan hidup). Kesatuan aqidah inilah yang merupakan faktor pemersatu (uniting factor) berbagai upaya pemikiran menuju kamajuan dan kesejahteraan umat. Penelitian serius yang dilakukan oleh pemikir Muslim dalam rangka mengungkap rahasia dan hukum-hukum alam tidak lain karena didasari oleh semangat dedikasi atau pengabdian hanya untuk memperoleh cinta dan ridha (perkenan, restu) Allah swt. dan sekaligus untuk mengokohkan iman yang ada dalam diri pemikir dan siapa saja yang membaca dan memahami pemikirannya (alDifâ', 1998:20).
Kedua, pemikiran pendidikan Islam bersifat insâniyyah (kemanusiaan, humanistik). Produk pemikiran pendidikan Islam hendaknya berorientasi kepada proses humanisasi, pemanusiaan manusia, dengan mengedepankan pemberdayaan, pencerdasan, kemaslahatan dan kesejahteraan umat manusia. Karena itu, pemikiran pendidikan Islam memperioritaskan pemberlakukan rambu-rambu dan nilai-nilai moral yang luhur dalam berinteraksi dengan kitab suci maupun dalam mengembangkan wacana keilmuan. Pemikiran Islam dalam berbagai bidang tidak berwujud teori-teori yang tidak membumi, melainkan seharunya melahirkan tatanan kehidupan masyarakat yang lebih beradab, adil, dan sejahtera (al-Difâ‘, 1998:21). Dengan kata lain, pemikiran pendidikan Islam harus mampu melayani kepentingan dan kemaslahatan manusia sesuai dengan norma-norma syari'ah dan nilai-nilai alakhlâq al-karîmah (akhlak mulia).
9
Ketiga,
pemikiran
pendidikan
Islam
itu
bersifat
syumûliyyah
wa
mutakâmilah, komprehensif dan terpadu, meliputi segala bidang keilmuan, keterampilan (bahasa, sosial, hidup) berorientasi dunia-akhirat (masa kini dan mendatang). Pemikiran pendidikan Islam tidak terbatas mengkaji masalah metafisika –seperti yang digeluti oleh filosof dan teolog—tetapi juga mencakup seluruh bidang dan aspek kehidupan manusia. Komprehensivitas pemikiran Islam juga tidak terletak pada tema kajian, melainkan juga meliputi sumber pengetahuan. Sumber pengetahuan dalam pemikiran Islam tidak terbatas pada logika, rasio [rasionalisme] dan pengalaman empiris [empirisme], melainkan juga bersumber dari wahyu dan intuisi [gnostik, ma'rifah] (al-Zunaidî, 1995:126; al-Kailani, 1987:passim). Demikian pula, metode yang digunakan dalam memproduksi pemikiran tidaklah semata-mata deduksi-induksi, melainkan juga merupakan perpaduan antara ta'aqquli-ta'ammuli, (penalaran logis dan kontemplatif), bayâni (penjelasan elaboratif), burhâni (demonstratif), jadalî (dialektik) dan hadasi (intuitif) (al-Jâbirî, 1990: passim). Pemikiran rasional tidak cukup untuk memahami realitas metafisika dan fisika. Pengetahuan gnostik (ma'rifah) atau pendekatan sufistik, seperti yang pernah ditempuh oleh al-Ghazzali (w. 1111) juga dapat mengantarkan dirinya menuju mukâsyafah (penyingkapan tabir Ilahi) dan ma'rifatullah, maqam (station) tertinggi dalam dunia tasawuf akhlaqi yang digelutinya. Keempat, pemikiran pendidikan Islam itu bersifat al-hadafiyyah al-sâmiyah (bercita-cita dan bertujuan luhur/mulia). Pemikiran pendidikan Islam tidak menganut paham "pemikiran untuk pemikiran atau ilmu untuk ilmu", melainkan dimaksudkan untuk merealisasikan cita-cita mulia dan luhur, yaitu: ibadah dan dedikasi yang tulus kepada Allah swt. Karena itu, pemikiran pendidikan Islam menghendaki aksi dan implementasi. Pemikiran, ilmu, gerakan, dan amal merupakan satu kesatuan menuju kebaikan dan kesalehan sosial, termasuk kesalehan lingkungan. Keluhuran tujuan pemikiran pendidikan Islam juga terletak pada kesadaran pemikirnya terhadap tuntutan realitas dan petunjuk syari'ah (al-Zunaidî, 1995:127). Jadi, pemikiran pendidikan Islam bukan semata-mata retorika wacana tanpa makna dan fakta, melainkan merupakan produk intelektualisme yang mengejawantah dalam realitas dan dunia pendidikan Islam secara konkret dari masa ke masa.
11
Hanya saja, ketika wacana pemikiran pendidikan Islam itu hendak diaplikasikan dalam realitas empirik, visi dan cita-cita luhur pemikiran pendidikan Islam terkadang mengalami disorientasi dan distorsi. Gerakan pemikiran "salafisme", misalnya, yang mencoba mengembalikan persoalan umat kepada figur dan model ulama salaf dalam memahami dan mengamalkan Islam, justeru "terjebak" dengan realitas historis masa lalu yang aktualisasinya tidak cukup aktual dan relevan dengan persoalan masa kini. Demikian pula, "Pemikiran Islam Liberal" yang disuarakan oleh intelektual muda NU (dan peminat lainnya) melalui Jaringan Islam Liberal (JIL) terkesan agak kebablasan dalam memahami dan menginterpretasikan ajaran Islam, sehingga nilai-nilai dasar yang diperjuangkan lebih "kebarat-baratan" daripada keislaman seperti isu pluralisme dan multikulturalisme. Kelima, pemikiran pendidikan Islam bercirikan al-wudhûh (kejelasan, evidensi). Pemikiran pendidikan Islam itu jelas, tidak hanya dari segi sumber acuan dan metodenya, tetapi juga jelas dari segi orientasi, kerangka berikut prosedur kerja dan implementasinya. Pemikiran pendidikan Islam tidak bertolak dari mitos dan khayalan. Pemikiran pendidikan Islam bersumber dari dan berinteraksi dengan ajaran Tuhan (transendental) untuk dibumikan dan diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Pemikiran pendidikan Islam seharusnya juga jelas dimaksudkan untuk memenuhi fitrah (potensi dasar, kecerdasan) dan kebutuhan manusia, dan bukan untuk mengabdi kepada rejim dan kekuasaan (al-Zunaidî, 1995:127). Selain itu, pemikiran Islam juga memiliki kejelasan asal-usul, akar-akar historis, dan peta kajian, sehingga mampu memberikan solusi terhadap permasalahan yang sedang terjadi. Ketika bangsa ini memerlukan pemecahan terhadap perosalan "korupsi berjamaah" atau ―jama‘ah korupsi‖, —karena hampir pasti korupsi dilakukan secara konspirasi birokratis— pemikiran Islam seharusnya dapat merespons dengan solusi yang tidak hanya teori-teori akademik, tetapi juga dibarengi langkah-langkah konkret dalam upaya pemberantasannya. Selain lima karakteristik tersebut, pemikiran pendidikan Islam modern juga berorientasi kepada beberapa titik temu sebagai berikut. Pertama, aliran pemikiran pendidikan Islam di masa lalu dan sekarang merupakan persoalan ijtihadiyah, yang bisa benar dan salah atau relatif. Karena itu, pemikiran pendidikan Islam tidak mengenal absolutisme atau sakralisasi: kapan saja dapat "digugat" dan dikritisi.
11
Kedua, fiqh (hukum) Islam adalah fiqh yang dinamis dan mengalami reformasi dinamis dan transformatif, bukan fiqh yang statis dan rigid (kaku). Karena itu, produk pemikiran hukum Islam harus mampu merespons persoalan dan perkembangan zaman dengan kaidah-kaidahnya yang fleksibel dan dengan senantiasa mempertimbangkan maqâshid al-syarîah (tujuan pembumian syari'at Islam, yaitu: memelihara dan mengembangkan agama, akal/pemikiran, keturunan, kehormatan, dan harta benda, bahkan lingkungan). Ketiga, perbedaan pemikiran pendidikan Islam mengenai Tuhan, alam, kehidupan, dan manusia harus disikapi dengan semangat keterbukaan, dan bertitik tolak dari sumber yang sama, yaitu alQur'an dan al-Sunnah, dengan metode berpikir yang ilmiah. Keempat, para pemikir Muslim dituntut mampu memahami hukum Allah yang diberlakukan di alam raya ini untuk kepentingan pembangunan peradaban Islam, dengan senantiasa mau belajar dan mengembangkan ilmu dan teknologi di mana pun dan kepada siapa pun. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi saw.: "Hikmah adalah mutiara Mukmin yang hilang. Di manapun ia menemukannya, ia paling berhak untuk mengambilnya." (HR. alTurmudzi) (‗Abd al-Hâmid, 1996:134-135). Kelima, implikasi dari poin keempat tersebut, para pemikir pendidikan Islam juga dituntut mampu memerangi gejala bid'ah dan khurafat, termasuk syirik politik, yang dapat mematikan kreativitas pemikiran Islam. Keenam, kajian syari'ah Islam tidak cukup dilakukan secara parsial, melainkan perlu dilakukan secara komprehensif, dengan mereformulasikan sistem hukum sosial, ekonomi, politik, pertahanan, peradilan, pendidikan. Reformulasi itu dimaksudkan agar hukum-hukum Islam yang sistemik itu dapat menjadi alternatif bagi sistem hukum yang sudah ada. Misalnya, konsep bank syari'ah menjadi alternatif bagi sistem perbankan konvensional sekaligus sebagai solusi terhadap sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme yang terbukti membuat tatanan ekonomi masyarakat global collapse; konsep kafâlah ijtima'iyyah (jaminan sosial) dapat diimplementasikan dalam penanganan
korban
bencana
dan
para
pengungsi;
dan
shadaqah
dapat
diaktualisasikan menjadi konsep filantropi sosial. Ketujuh, pemikiran pendidikan Islam harus senantiasa terlibat dalam upaya pemecahan masalah sosial kemanusiaan. Dalam konteks ini, misalnya diperlukan fiqh konflik sosial, teologi reformasi religius, fiqh kesejahteraan sosial, pendidikan lingkungan, fiqh perdamaian, dan
12
sebagainya. Kedelapan, pemikiran Islam modern juga dituntut mampu bersikap jelas dan ofensif terhadap neo-kolonialisme dan kapitalisme global yang cenderung melahirkan arogansi dan kediktatoran baru di dunia Islam (‘Abd al-Hamîd, 1996: 135-136). Dengan demikian, pemikiran Islam harus bervisi ketuhanan, kemanusiaan dan keindonesiaan; berorientasi kepada pembentukan masyarakat madani yang berkeadilan dan berkeadaban.
Pengembangan Pemikiran Pendidikan Islam Islam memiliki warisan intelektual (pemikiran) yang sangat kaya. Nashr Hâmid Abu Zayd, pemikir Muslim asal Mesir yang kini bermukim di Belanda, menyatakan bahwa peradaban Islam di masa lalu telah memberikan warisan kepada kita berupa "peradaban teks" (hadhârah al-nashsh) yang sangat melimpah (Abu Zayd, 1993:7). Karena itu, salah satu bidang garap pemikiran Islam kontemporer adalah revitalisasi teks, dengan melakukan pembacaan ulang, kritik teks3, dan memaknainya dalam konteks perkembangan kekinian. Sedemikian strategisnya studi teks, sehingga "peta jalan" (road map) menuju pembaharuan pemikiran Islam harus mampu mensinergikan antara dialektika teks (kitab suci dan khazanah intelektual) dan konteks (realitas sosial) dalam sebuah sistem pemikiran yang utuh (al-Rifâ'î, 2001:passim). Namun demikian, menarik dicermati pengembangan pemikiran Islam dewasa ini, yang oleh A.M. Saefuddin, dipetakan menjadi dua aliran kecenderungan, yaitu: desakralisasi dan desekularisasi. Yang pertama menghendaki upaya kritis terhadap pandangan lama yang tidak lagi relevan dengan kebutuhan zaman dengan menisbikan dan tidak mensakralkan hasil pemikiran; sedangkan yang kedua menghendaki
eliminasi pola pikir sekuler dalam pemahaman ajaran Islam
(Saefuddin, 1987:7). Dari segi sosiologis-historis, pemikiran pendidikan Islam juga 3
Istilah "kritik teks" (Naqd al-Nashsh) belakangan cukup populer di kalangan pemikir Muslim yang mempunyai apresiasi tinggi terhadap khazanah intelektual Muslim berupa teks dalam bentuk manuskrip atau karya-karya besar ulama masa lalu. Teks itu diperlakukan sebagai salah satu referensi untuk memaknai perkembangan masa kini, dengan mengkritisi: latar belakang sosial budaya teks dan konteks zamannya. Teks adalah sumber inspirasi dan metodologi berpikir. Hampir semua pemikir Muslim kontemporer, seperti Mohammed Arkoun, Muhammad 'Abid al-Jabiri, Muhammad 'Imarah, Hassan Hanafi hingga Nashr Hamid Abû Zaid, memandang revitalisasi teks pemikiran Islam sebagai salah satu keniscayaan menuju pembaharuan dan kemajuan di masa depan. ('Ali Harb, 1995:passim)
13
dapat diklasifikasikan menjadi pemikiran yang bersifat revivalis, tradisionalis, modernis, dan neo-tradisonalis serta neo-modernis. Kategorisasi semacam ini sahsah saja, selama didukung dengan data dan fakta yang akurat, dan semata-mata untuk kepentingan akademik, bukan dalam semangat pejoratif atau pemojokan kalangan atau kelompok tertentu. Jika semangatnya cenderung pejoratif, misalnya melabelkan pemikiran NU tradionalis dan Muhammadiyah modernis, menurut hemat saya, hal ini kontra-produktif, dan cenderung melahirkan sikap antipati dan konfrontatif di kalangan akar-rumput (masyarakat bawah). Pengembangan pemikiran pendidikan pada dasarnya terkait dengan pengembangan nalar kritis dan kreatif. Selama para pemikir pendidikan mampu merespon dinamika sejarah dan berinteraksi dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi, maka pemikiran pendidikan Islam akan senantiasa eksis dan progresif (‗Ali, 1987:91). Jadi, yang dibutuhkan adalah penciptaan sistem pendidikan yang mampu mengotimalkan nalar kritis dan kreatif (al-aql al-naqdî wa al-ibdâ’î) di kalangan para pendidik dan peserta didiknya. Kebebasan berpendapat yang disertai argumentasi yang logis harus mendapat apresiasi dan akomodasi dalam sistem pendidikan Islam. Pengembangan pemikiran pendidikan Islam idealnya tidak terjebak dalam ―romantisme historis‖ dan hanya berorientasi kepada kejayaan masa lampau. Sebaliknya, spirit kemajuan (progresivisme) dan etos intelektual yang diteladankan oleh para pemikir pendidikan Islam itu perlu dikembangkan di dalam etos pendidikan dan pembelajaran masa kini (al-Ghabbân, 2009:1) Selain itu, tradisi penelitian (riset) dan pengembangan karya-karya keilmuan yang intes juga perlu menjadi perhatian serius dari sistem pendidikan Islam, terutama perguruan tinggi Islam. Pendidikan Islam sebagai proses pembudayaan, termasuk pembudayaan riset, sesuai dengan semangat iqra’, sudah semestinya menjadi komitmen bersama: pengelola pendidikan, pendidik, peserta didik, dan stakeholder. Karena itu, keberhasilan pengembangan pemikiran pendidikan Islam di masa mendatang sangat ditentukan oleh sinergi berbagai pihak tersebut dalam mentradisikan riset. Sejauh ini, UIN Jakarta misalnya, baru melangkah menuju universitas riset. Dengan tradisi riset yang kuat seperti di berbagai universitas Barat (termasuk Israel), pemikiran
14
pendidikan Islam kelak diharapkan mampu menjadi ‖mercusuar‖ bagi penyemaian peradaban Islam yang humanis, rahmatan lil al-’âlamîn.
Pendidikan Islam sebagai Basis Pembentukan Masyarakat Madani Menurut Hujair AH. Sanaky (2009:1), konsep masyarakat madani4 (civil society, mujtama’ madani) merupakan konsep yang relatif baru dan tidak berakar dalam budaya masyarakat Indonesia. Konsep masyarakat madani memiliki nilai-nilai universal, sehingga perlu adaptasi dan sosialisasi apabila konsep tersebut akan diwujudkan di Indonesia. Untuk mewujudkan nilai-nilai universal tersebut tergantung dan berakar pada kondisi budaya dan sosial-politik serta perkembangan masyarakat dan bangsa Indonesia. Akan tetapi, masyarakat madani tidak dapat tercipta dengan sendirinya, harus diperjuangkan dan dalam perjuangan pembentukan masyarakat madani di Indonesia tidak dapat dilihat berdiri sendiri, tetapi harus ditempatkan dalam komfigurasi global. Dalam konteks ini, semua potensi bangsa Indonesia mulai dipersiapkan dan diberdayakan untuk menuju masyarakat madani, dengan harapan kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia akan mengalami perubahan secara fundamental yang berbeda dengan kehidupan selama ini yaitu masyarakat yang demokratis. Masyarakat madani adalah masyarakat sipil yang religius, berbudaya, dan berkeadaban. Masyarakat yang demikian adalah masyarakat yang lahir dari "rahim pemikiran keagamaan", bukan masyarakat sekuler. Masyarakat madani bersendikan nilai-nilai moral agama yang bersumber dari wahyu Ilahi, dan dibangun melalui pembentukan keluarga yang sakinah sebagai unit sosial terkecil. Masyarakat madani, antara lain, memiliki ciri-ciri: kemandirian, toleransi, keswadayaan, kerelaan untuk
4
Ketika mendengar kata ―madani‖, asosiasi kita segera terhubung dengan kata Madinah. Asosiasi tidak salah karena kata ―madani‖ berasal dari dan terjalin erat secara etimologi dan terminologi dengan Madinah yang kemudian menjadi ibukota pertama pemerintahan Muslim. Karena itu, "Kalangan pemikir muslim mengartikan civil society dengan cara memberi atribut keislaman madani [attributive dari kata al-Madani]. Oleh karena itu, civil society dipandang dengan masyarakat madani yang pada masyarakat idial di [kota] Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw. Dalam masyarakat tersebut Nabi berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas. Dengan begitu, kalangan pemikir Muslim menganggap masyarakat [kota] Madinah sebagai prototype masyarakat ideal produk Islam yang dapat dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society" (Thoha Hamim, 1999:4).
15
saling tolong-menolong (kerja sama), dan menjunjung tinggi norma dan etika yang disepakati bersama (Syamsuddin, 2000:vii). Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan ―the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market.‖ Merujuk pada Bahmueller (1997), sebagaimana dikutip Edi Hartono (2008:3) ada beberapa karakteristik masyarakat madani, di antaranya sebagai berikut: 1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekseklusif ke dalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial. 2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif. 3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat. 4.
Terjembataninya
kepentingan-kepentingan
individu
dan
negara
karena
keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukanmasukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah. 5. Tumbuh-kembangnya kreativitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter. 6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri. 7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif. Ada seperangkat nilai moral yang mutlak harus menjadi pilar utama masyarakat madani yang berkeadaban, dan nilai-nilai itu tampaknya menjadi efektif jika ditransformasikan melalui sistem pendidikan Islam. Nilai-nilai moral dimaksud adalah: (1) kemuliaan manusia, (2) kebebasan, (3) persamaan, (4) musyawarah, (5) jaminan sosial, (6) moderasi, dan (7) amar ma'ruf nahi munkar (Mahmud, 1992:passim). Ketujuh nilai dasar ini satu sama lain saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Pandangan mengenai "kemuliaan manusia" mengharuskan setiap individu dalam masyarakat madani harus menghargai dan menghormati kebebasan orang lain. Kebebasan manusia dalam berpendapat, berekspresi, bekerja dan
16
sebagainya menuntut adanya perlakukan yang egaliter (adil dan sportif) dalam semua aspek kehidupan sosial. Pemikiran pendidikan Islam dalam konteks ini mempunyai kontribusi penting, terutama dalam memproses dan menyiapkan sumber daya manusia yang memiliki kekuatan imtak dan keunggulan iptek. Kontribusi pemikiran pendidikan terletak pada proses penyadaran, pencerdasan, dan pembentukan karakter manusia yang beriman dan berkompeten dalam membangun peradaban dunia. Selain itu, kontribusi pemikiran pendidikan Islam juga terletak pada supplay masukan (input) pemikiran cerdas dan kreatif dari para pemikir dalam memberi inspirasi dan spirit menuju model pendidikan dan pembelajaran Islami di masa mendatang. Pemikiran pendidikan Islam pada akhirnya juga menjadi prototipe yang diharapkan dapat mengawal terbentuknya masyarakat madani. Jika visi dan misi profetik Nabi5 dipahami sebagai proses trasformasi dan internalisasi nilai atau proses humanisasi menuju kualitas moral yang luhur, dan bukan semata-mata transfer of knowledge, maka pembentukan masyarakat madani dapat terwujud selama proses pendidikan Islam itu berintikan dan bermuara kepada perbaikan akhlak, pembentukan karakter yang humanis, dan penyemaian budaya rahmah (kasih sayang). Dengan kata lain, pemikiran pendidikan Islam ke depan perlu diberi muatan visi dan misi profetik agar mampu mewujudkan masyarakat madani, sebagaimana pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. dalam membangun masyarakat Madinah yang plural dan multikultural itu.
Epilog Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pemikiran pendidikan Islam perlu direkonstruksi kembali dengan tujuan dan agenda utama meningkatkan dan memberdayakan umat Islam dan umat manusia pada umumnya menuju "masyarakat madani" melalui reaktualisasi tiga kata kunci visi dan misi profetik:
5
Ada beberapa hadits yang menjelaskan mengenai visi dan misi profetik (kenabian) Muhammad Saw. Di antaranya adalah: (1) Aku diutus sebagai pendidik (HR. Ibn Majah); (2) Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia (HR. Malik), dan (3) ―Aku tidak diutus sebagai pelaknat, akan tetapi diutus semata-mata untuk membawa ajaran kasih sayang.‖ (HR. Muslim). Dalam tiga hadits ini, setidaknya ada tiga kata kunci: mendidik, memperbaiki akhlak, dan menyayani. Ketiga kata kunci ini merupakan esensi dari pemikiran pendidikan Islam.
17
mendidik, membentuk karakter (akhlak), dan menyayangi. Peningkatan dan pemberdayaan sumber daya manusia yang paling strategis adalah melalui penataan sistem pendidikan Islam trasformatif yang mampu mempersiapkan lulusan yang berkualitas unggul di bidang imtak maupun iptek, sehingga mampu berperan optimal dalam pembentukan masyarakat madani. Sebab, hanya mereka yang mendalami imtak dan menguasai ipteklah yang dapat mengolah dan mengalihkan kekayaan atau sumber daya alam menjadi sumber kesejahteraan dan kemakmuran umat manusia. Masyarakat madani yang bercirikan: universalitas, supermasi hukum, keabadian, pemerataan kekuatan, kebaikan dari dan untuk bersama, meraih kebajikan umum, perimbangan kebijakan umum, piranti eksternal, bukan berinteraksi pada keuntungan, dan kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya. Atas dasar konsep ini, maka pemikiran pendidikan Islam dikembangkan sebagai prinsipprinsip yang mendasari keterlaksanaannya dalam kontek lingkungan masyarakat madani tersebut, sehingga pendidikan Islam relevan dengan perkembangan zaman dan konteks sosial kultural masyarakat tersebut. Untuk mengantisipasi transformasi sosial menuju "masyarakat madani", pendidikan Islam harus didisain dan direformulasikan untuk menjawab perubahan dan perkembangan tersebut. Pemikiran pendidikan Islam hendaknya tidak sekedar berorientasi ―romantisme historis‖ yang tidak kreatif, melainkan harus berpacu dalam merespon tuntutan global yang sangat kompetitif. Pemikiran pendidikan Islam harus mampu memberi ―corak‖ (shibghah) integritas moral bagi para lulusannya. Karena dengan shibghah inilah, fitrah manusia menjadi tetap terpelihara sekaligus menjadi benteng moral dan pemacu semangat perubahan menuju kejayaan peradaban Islam di masa mendatang. Dalam konteks ini, kontribusi pemikiran pendidikan Islam semestinya diapresiasi dan diaktualisasikan sesuai dengan tuntutan zamannya. Semoga! Wallahu a’lam...
Daftar Pustaka 'Abd al-Hamîd, Muhsin. 1996. Tajdîd al-Fikr al-Islâmî. Firginia: al-Ma'had al-'Âlami li al-Fikr al-Islâmî, Cet. I. Abd el-Salâm, Ja'far. 2002. al-Islami wa Tathwîr al-Khithab al-Dini (Islam dan Pengembangan Wacana Keagamaan), Kairo: Rabithah al-Jâmi'ât alIslamiyyah. Cet. I.
18
Abu al-‗Ainain, ‗Ali Khalîl Mushthafa. 1988. ―al-Ihtimâmât al-Tarbawiyyah fi Fikri Ja‘far al-Shâdiq‖, dalam Min A’lam al-Tarbiyah al-’Arabiyyah alIslâmiyyah, Jilid I, Rabâth: Isesco. Abu Sulaiman, 'Abd al-Hamid Ahmad. 1994. Azmah al-'Aql al-Muslim, Firginia: alMa'had al-'Âlamî li al-Fikr al-Islâmi. Cet. III. Abû Zayd, Nashr Hâmid. 1993. Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fi ‘Ulûm al-Qur’ân. Kairo: al-Hai‘ah al-Mishriyyah al-‗Âmmah li al-Kitab, Cet. I. Arkoun, Mohammed. 1999. Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Post Modernisme. Terj. dari Min Faishal Tafriqah ila Fashli al-Maqal: Aina alFikr al-Islami al-Mu'ashir oleh Jauhari, dkk. Surabaya: al-Fikr, Cet. I. ‗Ali, Sa‘d Ismâ‘il. 1987. al-Fikr al-Tarbawi al-Hadîts, Kuwait: ‗Âlam al-Ma‘rifah. al-Bâqi, Muhammad Fu`âd. 1992. al-Mu`jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân alKarîm, Beirut: Dâr al-Fikr. al-Daghâmain, Ziyâd Khalîl Muhammad. 1995. Manhajiyyah al-Bahts fi al-Tafsîr alMawdhu'î lil al-Qur'an al-Karîm. Kairo: Dâr al-Basyîr. al-Difâ', 'Ali 'Abdullah. 1998. Min Rawa'î al-Hadhârah al-'Arabiyyah al-Islâmiyyah fi al-'Ulûm. Beirut: Mu'assasah al-Risâlah. al-Ghabbân, Bâsim Qâsim. 2009. ―al-Fikr al-Tarbawi al-‗Arabi: Baina al-‗Awdah li al-Madhi wa Irtihan al-Hadhir‖, diakses dari http://www.annabaa.org/nbahome. 15 Desember. Ghadhbân, ‗Amir. 2009. ―al-Fikr al-Tarbawi al-Islâmî‖, dari http://almoslim.net /node, diakses pada 12 Desember. al-Hadri, Khalîl ibn 'Abdullah ibn 'Abd al-Rahmân. 2005. Manhajiyyah al-Tafkir alIlmi fi al-Qur'an al-Karîm wa Tathbîqatuha al-Tarbawiyyah, Makkah: Dar 'Alam al-Fawaid. Cet. I. Hamim, Thoha. 1999. Islam dan Masyarakat Madani (1) Ham, Pluralisme, dan Toleransi Beragama, Koran Harian "Jawa Pos", Kamis Kliwon, Tanggal, 11 Maret. Harb, Ali. 1995. Naqd al-Nashsh. Casablanca: al-Markaz al-Tsaqâfi al-'Arabi. Hourani, Albert. 1983. Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939, Cambridge: The Press Syndicate of The University of Cambridge. Hujair AH. Sanaky. 2009. ―Pembaharuan Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani: Tinjauan‖, diakses dari http://www.sanaky.com/materi/, 10 Desember. al-Jâbirî, Muhammad 'Âbid. 1986. Nahnu wa al-Turâts: Qirâ'at Mu'âshirah fi Turatsina al-Falsafi. Casablanca: al-Markaz al-Tsaqâfi al-'Arabi. Cet. V. al-Jâbirî, Muhammad 'Âbid. 1991. Takwîn al-'Aql al-'Arabi, Beirut: Markaz Dirâsat al-Wahdah al-'Arabiyyah. Cet. V. al-Jâbirî, Muhammad 'Âbid. 1991. Binyat al-'Aql al-'Arabi: Dirâsah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma'rifah fi al-Tsaqâfah al-'Arabiyyah, Beirut: Markaz Dirâsat al-Wahdah al-'Arabiyyah. Cet. III. al-Kailânî, Mâjid Irsân. 1987. Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyyah. Jeddah: Maktabah al-Manârah. Khalîl, Hâmid, 2001. al-Hiwâr wa al-Shidâm fi al-Tsaqafah al-'Arabiyyah alMu'ashirah, Damaskus: Dâr al-Madâ, 2001. Mahmûd, Jamâl al-Dîn Muhammad. 1992. Ushûl al-Mujtama' al-Islâmi, Kairo: Dâr al-Kitab al-Mishri, Cet. I.
19
al-Nahlâwî, Abd al-Rahmân, Ushûl al-Tarbiyah al-Islâmiyah wa Asâlîbihâ fi al-Baiti wa al-Madrasah wa al-Mujtama', Damaskus: Dâr al-Fikr, Edisi Revisi, 2002. Al-Rifa'i, 'Abd al-Jabbâr. 2001. Jadal al-Turâts wa al-'Ashr. Damaskus: Dâr al-Fikr, Cet. I, 2001. Syalabî, Abu Zaid, 1963. Târîkh al-Hadhârah al-Islâmiyyah wa al-Fikr al-Islâmi, Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. III. Syamsuddin, M. Din, 2000. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos, Cet. I. Umar, Nasaruddin. 2010. ―Iqra‘‖, dalam HU. Republika, 01 Pebruari.
al-Zunaidî, 'Abd al-Rahman ibn Zaid. 1995. Haqîqat al-Fikr al-Islâmi: Dirâsat Ta'shiliyyah li Mafhûm al-Fikr al-Islâmi wa Muqawwimatihi wa Khashaishihi, Riyâdh: Dâr al-Muslim. Muhsin 'Abd al-Hamîd, Tajdîd al-Fikr al-Islâmî. (Firginia: al-Ma'had al-'Âlami li al-Fikr alIslâmî, 1996) Cet. I.
21