Camar Berpuisi
Mahbub Junaedi
0
Camar Berpuisi
Camar Berpuisi (Antologi Puisi)
Penulis Mahbub Junaedi
PNBB E-Book #10 www.proyeknulisbukubareng.com
[email protected]
Tata Letak dan Desain Tim Pustaka Hanan Penerbit Digital Pustaka Hanan Publikasi Pustaka E-Book Informasi: www.pustaka-ebook.com
[email protected]
©2012 Lisensi Dokumen E-book ini dapat disebarkan secara bebas untuk tujuan non-komersial (nonprofit) dan tidak untuk diperjualbelikan, dengan syarat tidak menghapus atau merubah sedikitpun isi, atribut penulis dan pernyataan lisensi yang disertakan.
Mahbub Junaedi
1
Camar Berpuisi
Pengantar
Syukur Alhamdulillah, inilah E-book pertamaku yang kupersembahkan bagi para pembaca sekalian. Adalah puisi yang kukumpulkan dan kupilih yang terbaik saat dedikasi ini termuat dalam dunia maya. Ya, inilah duniaku di sisi lain yang mampu berbuat dan menembus dunia nyata. Proses pembentukan diri sebagai penulis, murni berangkat dari dunia internet, yang mengkhususkan diri dalam sastra. Ternyata di internet ada banyak penulis-penulis potensial yang sangat dimungkinkan berkembang lebih dahsyat, karena tanpa harus berpontang-panting merepotkan diri mempublikasikan karyanya di media konvensional pun, ia mampu menghasilkan karya yang lebih berkulitas. Salah satu media internet yang terbaru dan langsung populer yaitu Facebook yang mampu mewadahi keinginan itu. Media ini mampu memberi ruang gerak bagi penulisnya untuk menguji suatu karya dan saling bertukar pikiran dengan paham keilmuan yang bertebaran tanpa sekat. Pun di samping dapat mempublikasikan dalam bentuk catatan (notes), dengan men-tag semua temantemannya akan mampu memberi apresiasi yang sangat diperlukan bagi perbaikan dan sekaligus bisa menimba ilmu yang didapat dengan berbagai kemudahan. Proses ini berjalan terus sesuai dengan perkembangan selanjutnya, dengan melalui fasilitas yang mendukungnya, Facebook memberi ruang gerak yang lebih meluas lagi tetapi seperti menjurus pada eksklusifisme. Hal ini sejalan dengan adanya ruang group bagi pemakai jejaring sosial untuk bergabung dengan komunitasnya. Komunitas yang terhimpun dalam group ini mampu mewadahi keinginan membentuk kelompok sesuai dengan misi yang diusungnya.
Mahbub Junaedi
2
Camar Berpuisi
Dari keinginan penulis untuk bisa membuahkan karyanya, karena kecintaan pada karya puisi ini maka lahirlah e-book ini dengan judul Camar Berpuisi sebagai dedikasi kami untuk memperbaharui khazanah dunia kesusastraan di tanah air. Keberadaan e-book ini ingin memberikan kontribusi pada khalayak ramai untuk memberikan sumbangsih yang sebisa mungkin sebagai bacaan alternatif yang diharapkan bisa menggugah kesadaran untuk saling berinteraksi dengan e-book. E-book ini saya kira masih jauh dari sempurna, akan tetapi saya sangat berterima kasih kepada saudari Evyta Ar yang telah bersusah payah men-set layoutnya sampai pada proses editing hingga sampai pada penerbitan buku ini. Dan tak kalah penting juga atas dorongan dari mas Heri Cahyo yang telah memberi informasi dan sumbang sarannya, dan atas usulannya pula saya tergerak untuk bisa menerbitkan e-book ini. Maka kami sangat mengharapkan sumbang saran dari para pembaca e-book ini agar bisa lebih baik di masa mendatang. Akhirnya kami hanya bisa mengucapkan terimakasih yang setulustulusnya bagi semua yang telah terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung, dan semoga e-book ini memberikan manfaat yang tak terhingga bagi kemajuan sastra di negeri tercinta ini.
Mahbub Junaedi Bumiayu, 21 Februari 2012
Mahbub Junaedi
3
Camar Berpuisi
Daftar Isi
Pengantar Daftar Isi Ada Vibrasi di Bibirmu Cinta Itu Jumat yang Berkah, Jumat yang Agung Satu Sesi, lalu Berulang Kesedihan yang Perih Jogja suatu Malam Tahajjud dalam Relung-Relung Ada yang Ingin Merindu (Lagi) Camar dan Laut Camar itu Masih Tercemar..... Kehilangan Laut, Camar Telusuri Arahnya Ingat Itu Kamu, Memenuhi Rongga Dadaku Kepak Sayap Camar itu Mulai Melambat Kolaborasi Rasa Kucumbu Laut Lagi tentang Camar Laut Tak Mengombak, Khusuk Camar Bersimbah Darah Kemudian Menyelami Ruhmu, Laut Muaraku Muaramu Sebab sedang Kubangun Kedirianku agar Bisa Memantaskan Diri Surut Hingga Dasar Laut Kering
2 4 6 8 10 12 13 15 17 18 20 22 23 25 26 28 29 31 33 34 36 38 39 40 41 42 Mahbub Junaedi
4
Camar Berpuisi
Tak Jera Kau Mengungkap Cinta Tersesat ‘Aku Senyap Meniris Hujat’ Akupun Bercerita Saat Bertandang ke Rumahmu Bulan Madu di Atas Pelangi yang Tertunda Draft yang Hampir Kulupa Meretas malam demi saat diingatkan Kaukah?; Lalu Hilang dalam Ingat Ronggeng Mencari Peronggeng Saat Mendebam Tubuh Melebam Tahun Baru Nanti Seperti Apa? Makna Hidup di Penghujung Umur dan Tahun? (Dalam Envoi Terbata-bata) Laut Itu; Cara Pandang Camar Tetirah di Pesanggrahan Kesedihan yang Perih Benakmu Tersadai, Perempuan Yang ( Imaji Imaji Sajak Liarku dalam Alam Kreativitas ) Aku Mencari Biang Keladi yang Semalam Memprovokasi Mimpiku Puji-pujian Itu Bergulir Diri di Gelaran Pasir Lanskap Pagi Mozaik Tanpa Makna Memiliki? Tentang Penulis Tentang PNBB
Mahbub Junaedi
44 45 46 47 48 51 52 53 55 56 57 59 63 65 66 68 69 71 73 74 76 77 78 81 82
5
Camar Berpuisi
Ada Vibrasi di Bibirmu
saat air mengalir jengah ada cascade di tengah, jatuh mengombak lembut membasuh di atas genangnnya, para marbut ikan-ikan berenang bersama sang faqih menyentuh dasarnya dalam doa fasih sudah terlampau jauh mengikuti alurmu menuju terdampar di sangkarmu telah tertanam benih rasa sayangmu mencariku di penantian sanggar cipta untuk kau ingatkan kembali arah semula dalam keyakinanku, titipkan pada malaikat penjaga mendekap hati sang mahbub menyimpan rapatrapat di semat tabut saat menimangnya, dayangku duduk di lengkung bulan sabit memulai rasa pertama dan terakhir yang kaumilik lalu kaurangkai dalam sajaksajak aksentuatif tangan menangkup, tengadah pada Al Lathief… menjawab rasa melabuhkan jiwa Mahbub Junaedi
6
Camar Berpuisi
stanza menghamba di dendang solo melantun dalam iringan para virtuoso melukis di kegelapan nisbi seperti yang tergambar di mural tersembunyi di gua kastil tua, terpental merebak kisah amour yang suci air itu menghimpun diri memercikkan rinai gerimis membasah kerudungmu saat mendoa tiba-tiba ada vibrasi di bibirmu
Mahbub Junaedi bumiayu, Kamis, 23 Februari 2012, 14:46:53 cascade = air terjun kecil marbut = penjaga masjid faqih = ahli hukum agama mahbub = kekasih (lover) dayang = lady-in-waiting tabut = bahtera solo = tunggal virtuoso = ahli pemain (music) mural = lukisan dinding Mahbub Junaedi
7
Camar Berpuisi
Cinta Itu
Saat terburuburu gema mendebur merasai jiwa ke pusat intinya termampatkan ingin sesegera memaklumatkan di penghujung gelora Selepas daun dari pelepah lalu menguning kering Akan tumbuh sekuntum merekahkan pucuk perdu menatappun bunga di tebar wewangi menjurai Meronakan kegersangan lama padang savanna Menutupi tarikh kesenduan saat meranggasnya ladang cinta petualang estetik memadah ungkapungkap saat melutut persembahkan diri di segenap ruah air mata meluruh penuhi ruang menyendiri di dindingdinding kokoh terjaga dari lanjam Pula dari distorsi memalingkan makna saat melabuh Menghamba marcapada pada kahyangan Yang singgah rehat di marikh Sebelum di lawatan tembus sunyinya belantara jagad Maka bulanpun memerah berkalang senja pada megamega
Mahbub Junaedi
8
Camar Berpuisi
Lalu saat cinta lebih bersifat ala mantiki ada rasa enggan untuk berharap lebih Bila sudah rekat rasa akan ada kecewa Melepas ruhruh yang menopangnya
Mahbub Junaedi Bumiayu, Jumat, 02 September 2011
Mahbub Junaedi
9
Camar Berpuisi
Jumat yang Berkah, Jumat yang Agung
antara Bumiayu dan Purwokerto hingga Sokaraja, angin kering mencibir, dahagakan bibir yang pecahpecah, rodaroda saling berkejaran menguliti aspal yang sudah bopeng dan membisul, daundaun pohon Mahoni di pinggir jalan berguguran, yang di atasnya tempat malaikat berdzikir, maka rontoklah para syuhada dalam mati syahidnya, malaikatpun mensudahinya, karena yang syahid jarang melahir kembali, kecuali pribadi yang terpilih.... menepi diri ketika lamatlamat adzan melambungkan asmaNya, bersuci dari dakidaki yang menempel di tubuh fana, meluruh bersama orangorang yang takzim mengimani kefanaan itu sendiri sekaligus keabadiannya esok, saat menjemput dengan kebanggaan sekaligus keterpurukan amalamal yang menggantung dari buku catatan yang tertinggal dan tertanggal oleh duet malaikat Rokib dan Atid saat menunaikan tugas yang sama di bilangan Pernasidi Cilongok, kemarau yang panas belum juga berganti hujan setitik saja, saat tiba di Baitul Matien, salah satu rumahNya, ada kedamaian saat berteduh di dalamnya yang sejuk, lalu tertunduk, tenggelam dan tafakkur hingga seorang santri bercahaya mengangkat dan meninggikan khutbah – khutbah, yang dengan runut mensitir hadist panjang tentang para syahid yang menikmati super megapolitan taman akhirat dengan segala balutan sorban kebesarannya.
jum’ah yang berkah, kerinduan para syuhada di akhirat ingin mengulum hidup di dunia lagi untuk mati syahid sampai sepuluh kali lagi, namun angan yang tak akan pernah menjadi kenyataan Mahbub Junaedi
10
Camar Berpuisi
Mukmin sejati seperti juga para syuhada ingin bergegas kiamat segera datang untuk berhamburan memeluk di haribaanNya, saat sang kufur nikmat ingin berlamalama dan berharap kiamat tidak akan terjadi untuk lebih menggelimang dengan syurga fananya. Sedangkan kiamat itu sendiri hari yang teramat sulit dan menyusahkan Para jamaah khusuk dalam tunduk yang membisu, membius diri di wejanganNya, seperti terdiamnya kendaraankendaraan yang terperangkap di halaman masjid, menanti tuannya selesai merekomendasikan akhirat sebagai tujuan selanjutnya. antara Bumiayu dan Purwokerto hingga Sokaraja, sementara singgah di Pernasidi Cilongok, bernaung di Baitul Matien, salah satu rumahNya
Mahbub Junaedi Purwokerto, Sabtu, 15 Oktober 2011
Mahbub Junaedi
11
Camar Berpuisi
Satu Sesi, lalu Berulang
romantic saxophone quintet-dinner music, instrumental lembut, di malam hening beranjak pagi imajiku tak begitu menggelayar jauh hanya sebatas ruang sempit sunyi, dingin dan kering killing me softly dalam satu sesi, telah habis previous ku’klik’ mengalun lagi, kian membumbung bersama asap sigaret jauh, di ujung kota kecil jamuan teh poci di gelaran tikar tumpah pada tegukkan terakhir tak kupungkiri rasa terkejut ini sekejap hadir untuk pamit demi sebuah janji saat katakan yang belum sempat terjawab tertanggal pada satu tanda tanya di langitlangit mimpi mahbub junaedi bumiayu, rabu, 05 oktober 2011 Mahbub Junaedi
12
Camar Berpuisi
Kesedihan yang Perih
Tiada ode saat berair mata darah Meleleh lalu mengering saat merintih di kepiluan mengkristal di pecah berkeping buyarkan ihwal kerinduan satu sisi tajam terpungut dan menoreh Mengukir luka baru dalam rekah menganga mengepundan dan siap meletup gelap gulitakan mata batin elegi pagi seperti sembilu mengiris iris ansambel biola tua ada jerit menyayatkan sang megaloman irama liturgi tengadahkan kepapaan cinta melafal kitab suci tanpa harakah purukkan keasingan meruap telah sirna seloka yang tersusun di resital kesunyian tiada tamsil yang melekat di kedalamannya seorang munsyi terjebak dan sulit temukan jawab pada satu enigma seperti kalangkabutnya prajurit stabelan kehabisan bekal yojana hati sudah tak terpaut ingin berpulang sebagai zahid kembali ke pawiyatan suci tempat dulu berempati kesantunan menjaga equilibrium rasa yang pernah timpang di smaradana
Mahbub Junaedi
13
Camar Berpuisi
berdiam di pesamuan yang tergelar di depan mihrab masjid ada kedamaian yang tertunda saat cinta menemukan kesejatiannya
Mahbub Junaedi Bumiayu, Senin, September 5, 2011
Mahbub Junaedi
14
Camar Berpuisi
Jogja suatu Malam
Waktu itu, Jogja di malam akhir pekan, saat kujemput kau yang berambut pendek, di kampus jalan Taman Siswa, mungkin? honda 70, kau menempel di belakang dengan erat di jok yang memang sempit Tamansari yang agak sunyi, tetapi nyaman Di pojokan tembok beteng angkuh, seonggok angkringan akrab dengan radio lusuhnya RRI sedang nanggap wayang kulit semalam suntuk Sebuah ceplik menggantangkan asap hitam membumbung penuhi langit menyaingi asap putih wedus gembel menepi, kemudian kau beranjak duduk di bangku panjang menghadap wadah berisi penganan Sebungkus nasi kucing kau buka dengan penuh minat, sate telur puyuh kau gigit tanpa menyentuhkan bibirmu yang sudah rapi dengan roll lips Kupesan kopi joss saat bara arang dari tungku membenamkan diri pada gelas besar Sebungkus nasi kucing kulahap bersama tempe bacem Aku tak peduli saat dandananmu yang berkelas berada dikubangan orangorang biasa
Mahbub Junaedi
15
Camar Berpuisi
Bahkan lebih bisa mengakrabi mbah Ngatijo si empunya angkringan kau tertawa renyah saat rambut pendekmu ikut bergoyang ringan, dari cara beliau menawarkan kelucuannya, bicara terlihat gigi depan tinggal satusatunya tukang becak tertidur pulas berselimutkan sarung kumal, saat pengamen gimbal lewat dengan kecuknya memainkan keroncong jembatan merah jam di tangan menunjukkan angka 21:32, saatnya beranjak menuju jalan solo, ke Studio21, karena telah sepakat nonton Ghost-nya Patrick Swayz
Mahbub Junaedi Bumiayu, Sabtu, 15 Oktober 2011, 23:10
Mahbub Junaedi
16
Camar Berpuisi
Tahajjud dalam Relung-Relung
saat takbiratul ikhram, meremanglah bulubulu di kulit merekahkan poripori, hingga keluar keringat hangat alfatihah terlantun, dengan segala kepujian, kasih sayang, kupersembahkan demi meminta pertolongan, diperuntukkan bagi yang lurus, bukan yang lain, apalagi yang murka dan sesat amin...... alkafirun terlanjut di kedalamannya, seraya pembuluh ini melebar seluas lorong beratapkan langit yang di atasnya masih ada langit yang lebih tinggi, darahpun mengalir dengan langsam dan teratur, subahanallah.... segunung batu lenyap di dalam otak, kosong, tiada regang uraturat sampai sujud ini lama mencium bumi,
lalu bergegas berdiri menyambut fatihah ke dua, sembari disusul al ikhlas setelah amin, semakin ringan tubuh ini melayang dalam ketiadaan, mengasap, membumbung tinggi
kuucap salam dalam seulas senyum bahagia Mahbub Junaedi Bumiayu, 05 November 2011
Mahbub Junaedi
17
Camar Berpuisi
Ada yang Ingin Merindu (Lagi)
aku cuma camar mulai rontok bulu-bulu doanya penat terbang baringkan diri di keringnya pantai wirid-wirid sedang benih ilmu tak lagi sesubur saat sebelia dulu sebab aroma tanah itu mengajakku membaui ahh kerinduan macam apa lagi kalau harus merindu sedang hati ini sudah terlanjur mengeras
Mahbub Junaedi
18
Camar Berpuisi
diam-diam kau melumerkan bergemingkah aku? saat berusaha khusuk bebenah
bumiayu, 17 maret 2011, 06:11
Oleh Mahbub Junaedi pada 17 Maret 2011 jam 6:12 refleksi malika hasan......."LAGI" http://www.facebook.com/notes/malikahasan/lagi/10150175807652577
Mahbub Junaedi
19
Camar Berpuisi
Camar dan Laut
sambil tekuri relung melihat lepas tanpa batas... camar telah berhenti meliuk di atasmu, laut yang sering kali, tapi kali ini ragu tuk menjamahmu... dan...sementara hanya bisa berputar-putar dan ingin menjauhi bau wangi di tiap ketiakmu yang mengembun karena tak tahu seberapa geliatnyakah laut melumuri bulu-bulu camar dengan garam masinmu seperti saat-saat dulu terbiasa mencandai dengan serimpung sayapnya di ubun-ubun ombak dan selalu berkejaran meledek riakmu saat pecah membuih di pantai bilapun camar itu tenteram bernaung di bawah nyiur satu-satunya dalam temaram bulan setengah.... mengakrabi bisu di keheningan malam tanpa semrimbit angin.... saat itu camar rindu senyummu yang merebak saat cahaya bulan memantul di cakrawalamu.. mungkinkah kodratnya camar bertelekan dan bergelayut di buaian syahdunya arak-arakan gelombang lembutmu sambil memunguti jejak-jejak rindu yang telah membuncah di keabadian karang
Mahbub Junaedi
20
Camar Berpuisi
aahh camar masih terngiang dengan sempalnya patah sayap seperti yang pernah jatuh berdebam di pantai jangan-jangan lautpun akan merontokkan sayap-sayapnya saat gusar membangun riung pusaran badai dan camar tak akan pernah berlama-lama bertahan melayanglayang menatap laut di kedalaman jiwanya karena camar bukanlah satu-satunya pengagum laut, dan masih harus memantas diri jadi maestro di tiap pekikannya hanya saja.... bilapun, saat camar menyapa apakah Pengagum laut benar-benar sang perindu?
Bumiayu, 18 Mar. 11
Mahbub Junaedi
21
Camar Berpuisi
Camar itu Masih Tercemar...... sajak Mahbub Junaedi lalu dipungutnya camar itu dengan ragu (?) sedang gadis itu diam dalam hening, merdu tak berucap, hanya berdentum tapi selalu menebar senyum ketika camar mengeluh sekalipun tetap gadis itu beranjakpun membersihkan pasir dari bulu bulu halusnya kini camar itu sedang menggugat pikir tentang sarang tergadai demi sesuap ikan segar dalam gelisah itu di mata gadis camar kekanakan ingin bercerita seribu tikam dari syak wasangka yang bergerilya menohok jantung mulailah camar tahu diri tak mampu melupa cerita yang terenda dan simpul telah teranyam dengan paruhnya mulailah camar ingin bermanja manja karena hari sebentar lagi senja...... ( gadis itu ingin masih membelai bulu bulu itu, ada rasa berat untuk pergi....) Bumiayu, Oktober 2010 jam 10:36 Mahbub Junaedi
22
Camar Berpuisi
Kehilangan Laut, Camar Telusuri Arahnya
terbujur lemas setengah tertimbun pasir pantai dia hanya terpaku meluapkan pandangnya kekaguman telah menipu rasa laut siuman saat selembar sayap membelai **** mengasing diri berkalung syal sutra melambai ombak berjalan lunglai membelakangi dia yang terpana mendongkol saat poseidon memapah di peluknya laut terdiam dalam tatapan kosong kemana laut? sedang apa? Berjalan dengan telapak kaki meretak tak ada buih menyentuh sekat kristal garam rapuhkan bulubulu, meluruh menggigil beku di ceruk karang tergerus gumam saat tertidur yang gersang dalam nafas tersengal demi melihat laut mengusung anggur di bibirnya, bergetar tempias pada gaun nan anggun
Mahbub Junaedi
23
Camar Berpuisi
mendadak dia tersentak memar dalam geriap mata ada bayang samar wajah laut yang tak asing, oval, berleher jenjang
mahbub junaedi Bumiayu, Rabu, 05 Oktober 2011
Mahbub Junaedi
24
Camar Berpuisi
Ingat Itu
Ingat ingat ingat......itu tak pernah lepas Tak lepas ingat itu masih melekat kuat dan mendarah daging Saat tersemat itu sekeping di dinding hati yang terlindung rapat dan bersemayam Telah tumbuh kembang rindu rindu rindu yang semakin tak berkutat Haruskah kau tanggalkan atribut atributku karena malu atau jengah.... Sang camar itu bukan terkapar hendak mati Siram sirami rasa itu telah tak terelakan meng-iya-kan segenap pengakuan Sayang......kenapa rasa ini terlalu kukuh untuk dihancurkan....dilenyapkan..... Bahkan menyatu dengan setiap hembus denyut geliat hidupmu......
Bumiayu 11 Feb. 11, 22:21
Mahbub Junaedi
25
Camar Berpuisi
Kamu, Memenuhi Rongga Dadaku
Kamu,…. Menjauhpun aku kejar di rimbunnya malam dengan sisa ayunan dayung retak tlah pecah menjadi serpihan perih, dan lautmu telah menjadi masam saat tanganku membelah ombakmupun melepuh dan mendidih aku kesakitan…. Tapi lebih menyakitkan saat kau sengaja memalingkan rasa Saat kau bersitatap denganku dengan kedalaman seorang kekasih Dan tibatiba air mukamu berubah menjadi jengah dan membuang serpihku jauhjauh Duhai…. Damba ini tak pernah surut laiknya mentari tenggelam kelam Dan tak melahirkan terbit manakala ufuk tak merekah Sebab mimpi selalu setia menyadarkan aku untuk menyambut segala apa adanya kamu Segala kelimpahanmu hanya hiasan fana demi menjaga kau tak terpuruk resah Akupun tak ingin kau merasakan yang bukan menjadi kepatutanmu menanggung Sebab tentu aku tak akan tega menyaksikannya, akan aku merasa terlalu bersalah
Mahbub Junaedi
26
Camar Berpuisi
Kau adalah laut dengan segala jargon kemegahanmu ombakmu meliuk di lengkung pesisir yang terjal saat mencoba melintas di depan karangku aku selalu berusaha waswas bila ombak itu pecah membuyarkan angan indahmu maka, aku turut trenyuh dan selalu bersama menjadi senasib di urungmu saat ini…… sayup kudengar ada lantunan dari bungalowmu dengan derai air mata membayang di kesendirianmu bercermin lirik sepenggal “‘cause I’m lonely and I’m tired I’m missing you again oh no Once again” Bumiayu, Mei 14, 2011
Mahbub Junaedi
27
Camar Berpuisi
Kepak Sayap Camar itu Mulai Melambat
kepak sayap camar itu mulai melambat ya melandai di dasar samudera bahtera itu layar tanggal satu-satu tapi mata camar itu nanar mencari sesuatu padahal kabut sangat pekat ada satu titik yang sedikit tersamar terhalang awan sedang berjalan sendirian telusuri pantai lamat-lamat terdengar teriakmu tersekat hoooooooooooiiiiiiiiiiiiiiiiiiaaaaaaaaaaaaaaaawwwwww camar juga ingin ke hutan dengan teriakkan yang hampir sama tapi tak jadi, karena camar tak menemukan hutan di hamparan lautan hatimu yang ada cuma sekeping hati yang terlindung di kotak kaca bening tempat kau bersemayam merinduinya kau bergumam "hatiku tlah menjadi milik camar untuk selamanya....."
Bbumiayu. 15 januari 2011. 22:33
Mahbub Junaedi
28
Camar Berpuisi
Kolaborasi Rasa
* kuminum secangkir kopi dingin yang kubuat tadi siang karena keburu tepar tadi siang sore ini kepanjangan tadi siang kopi itu tanpa susu karena lupa kububuhi tadi siang ** sore yang mendung habis gerimis tak banyak yang tertuang hanya saja sahaja ini tiada yang spesial hanya saja *** sembilu masih meneteskan darah goresan itu menganga memanjang cawan itu menengadah membuyarkan bening
Mahbub Junaedi
29
Camar Berpuisi
**** sang pengagum laut sampaikan ke laut karena kau itu laut dengan segala watak laut ***** hampir jeda hanya ada man jadda dan wa jadda sang pembeda ****** aku ku a k u. . . oleh Mahbub Junaedi pada 24 Maret 2011 jam 16:57
Mahbub Junaedi
30
Camar Berpuisi
Kucumbu Laut
Kulahap wajah molek laut Di bibirmu rekah dikulum kecipak air liur membuncah Kurengkuh dekap peluk dalam maya Saat kutanggalkan satu persatu di tiap auratmu memandang tak kedip tubuh polosmu terbentang di kaki langit Terlihat lekuk yang mengombak Kubenamkan wajah di antara ceruk dadamu Kuhisap punting punting yang mencuat dari alun yang tercipta Laut menari dalam intrans Kutelusuri dalam cumbu di palung yang menyempit Wajah rintih memelas Saat extace..... Jerit memekik dalam lengking memanjang....... Tanganmu mencengkeram punggungku dengan kuku-kukumu yang tajam Ketika itu goresan memanjang alurkan sungai darah Dalam mulut ternganga ada buih tubuh menggelinjang
Mahbub Junaedi
31
Camar Berpuisi
Desau angin yang memburu adalah nafasmu yang membadai Menggelombang alun musnahkan anak-anak adam Bumi porak dan berserakan Saat itu kau senyum dengan riangnya....
Bumiayu, 27 Mar. 11, 09:11
Mahbub Junaedi
32
Camar Berpuisi
Lagi tentang Camar
mulailah membangun di ceruk karang yang cekung sambil mengais ngais sisa butir pasir yang berserakan kemudian mencoba menyisir luka yg mulai kering gadis itu menyodorkan saputangan kesetiaannya sambil membantu menyeka dengan mata air yang keluar di balik karang perlahan dan bertahap gadis berjilbab itu mulai menyukai bagian bagian dari bulu bulu halus dan anggota tubuh camar itu dengan kasih sayang (gadis itu sambil bergumam hmmmmm ......indah sekali sayapmu hingga engkau sampai juga kemari........) pada 14 Oktober 2010 jam 17:23
Mahbub Junaedi
33
Camar Berpuisi
Laut Tak Mengombak, Khusuk
camar sedang bergegas di kecipak air wudhu di surau satusatunya di puncak tebing karang menunggu laut yang ingin bermakmum pasir pantai rapikan barisan dalam shaf seragamkan bacaan di lembar mushaf saat memimpin, dalam tuma’ninah laut tak mengombak, khusuk menunduk dalam puja puji mensucikan dzauq benamkan sajadah dalam sujud berderet di antara ufukufuk penjaga siang dan malam dalam falak hanya ada lafallafal terpelihara dari butirbutir tasbih mutiara segala pesta pora di laut tenggelamkan titanic dengan wiridwirid, merugilah saat tenggelam menemui malaikat zabaniyah, seperti begitu juga karamkan firaun saat tongkat musa membelah sampai di dasarnya, laut tak beri kesempatan takluk dalam taubat telah dijauhkan dari hidayah
Mahbub Junaedi
34
Camar Berpuisi
seperti pengelana singgah di labuhnya camar memungut bekal secukupnya ilmu bintang yang memandu meniti orbit di alur yang tegas lalu… laut menjulang setinggi gunung halimun saat muncul perlahan bersama buih yang terangkat sosok bidadari ulurkan tangan pada camar yang tercekat keseberang bertemu di mahligai jannahNya yang ranum
Mahbub Junaedi Bumiayu, Kamis, 23 Februari 2012
Mahbub Junaedi
35
Camar Berpuisi
Camar Bersimbah Darah
Malam ini beku yang ke seribu berapa kumerayapi sambil gelap kurambah Asa asa masih mengusung rasa kmrungsung ingin kau terjaga terus dari terlena Ingat itu jangan kau lupa pada wahai pencipta ilusi cinta terkungkung sendiri Terus saja mengukir tanda tanya torehkan pisau penamu dalam nukilan hati sekeping Menjauhlah selagi kau suka jauh dari pijak pijak terus mengecil dalam hamparan pasir putih
Hamparan kini memungut sepi sunyi dalam angin sekejap hembus lalu diam mengungkit silir Camar terakhir tengadah menantang sinar pucatkan mimpi berlalu kabur dalam cerita kusut Lalu camar merobek dadanya pada hati yang tersayat dalam gelimang darah menetes tak tuntas Karena keburu beku oleh dinginnya malam dan mengkeristal di udara membentuk mirah delima Lalu mengerang sangat menahan nyeri sembilu tigaratus pedang
Oohhh ajal ini tak teringini dalam kesiaan terbuang percuma Semula berarak menggapai tiang layar yang patah karena badai sekejap kedip di matamu Mahbub Junaedi
36
Camar Berpuisi
Mulailah camar limbung cari pijakan baru untuk rehat sejenak menunggu pulih dari luka yang belum kering Karena ombak di pesisir tak pernah sampaikan kabar dari laut teriakkan gaung Karena saat bergulung terlanjur pecah berkeping keping dan buyar membentuk buih hampa
Wahai.... Ceriamu seolah tak hirau saat sapa ini tulus lalu terbengong menahan diri pesakitan Terpenjara terpuruk di koridor gelap pekat dalam mata buta yang nanar..... Tergeragap tangan ini merogoh hati yang sempal satu keping entah di mana kau semat Kau berlalu dengan leluasa sambil mempermainkan keping itu terlempar ke udara Lalu kau tangkap lagi kau lempar lagi kau tangkap lagi kau lempar lagi....dan.....dalam rasa yang terlalu biasa keping itu jatuh Kaupun pura pura terkejut, tapi kembali melanjutkan lagi tertawamu yang lengkingannya menjauh menjadi sayup sayup Tak pedulikan keping itu tercecer hancur tak berbentuk, lalu kuraupkan pada muka pucatku
Bumiayu
Mahbub Junaedi
37
Camar Berpuisi
Kemudian
Malam ini larut melarut dalam gulana memanjang tak ingsut Sependar ini kau katakan hujan Sependar ini kau katakan hujan suka deras Sederas ini mengalir menjemput sore mengejar terbenamnya mentari Semakin kau lari semakin kau merona oleh bias mega yang semburat bara Masih tetap renyah seperti dulu mengunyah setiap yang terdengar merdu bagai keciap camar melengking di belantara samudera haru dan gema itu menyendiri di pantai membangun sarang semakin lawas semakin matang meranum surai-surai menjuntai angan bepaduan jemput tak menampung jelujur memintal tanpa melupai bumiayu, 04 Jan. 11 Mahbub Junaedi
38
Camar Berpuisi
Menyelami Ruhmu, Laut
Aku tergoda berkisah camar lagi laut masih saja menjaga jarak dari garis pantai lama rebah di hamparan pasir putih camar menahan diri tak gegabah mengusik wajah jernih mengulang kerinduan laut yang semanak menunggu sajak mengombak membait buihbuih camar menukik di palungpalung makna menyelami ruhmu, laut mengendus satusatu bagian wajah tanpa kias yang membentang dari masyrik hingga maghrib camar berlutut, kecup tangan laut, takzim selalu memadahmu memeluk di kedalaman nafs tengadah dengan segenap rasa camar melengking panjang di ketinggian ruang tanpa batas
Mahbub Junaedi Bumiayu, Kamis, 23 Februari 2012, 14:46 Mahbub Junaedi
39
Camar Berpuisi
Muaraku Muaramu
yang kini mulai tumbuh benih-benih yang menyesakkan rasa ini bila menimbun ingat ini temui kastil-kastil cinta pada bungalaow saat memendar mimpi mengurai hasrat yang memecah di heningnya pagi saat embun belum musnah saat mentari belum menggarang hati ya semuanya pasti temui muara kemanakah muaraku? kelautmukah? atau atau jangan-jangan kau menyurut menjauhi pantai? dalam hindar begiturupa kau tanya, laut kenapa? kujawab, ah..
bumiayu.... pada 23 Maret 2011 jam 10:04
Mahbub Junaedi
40
Camar Berpuisi
Sebab sedang Kubangun Kedirianku agar Bisa Memantaskan Diri
sajak sajak mulai memberitakan bahwa laut mulai menjauh dan surut hingga batas horizontal ufuk langit, yang memusnahkan pantulan matahari saat terbit dan tenggelam sedangkan yang terlihat bukanlah dasar yang terjal dan kelam, tetapi hampir semuanya tertutup kabut abadi, yang bila terkena sinar matahari berpendaran membentuk mega yang merona laut telah musnah saat aku mulai menelusuri jati dirinya, agar aku tahu lebih banyak dan aku bisa menempatkan diri pada posisi dimana aku berdiri, saat aku bicara aku begitu merendah tentang keluasannya laut yang sudah santer terdengar membentang dari ufuk timur ke barat, sadar bahwa pungguk merindukan bulan itu tak lagi menjadi wacana hayalan yang tak masuk akal dan apatis tentang seberapa benar hayalan tak tuntas pada jamannya. sebab akan kubangun sebuah tangga yang akan dapat menjilat rembulan sehingga aku tak lagi merajut hayalan,: laut itupun terisi lagi dengan hujan seribu tahun saat aku telah diberitakan oleh buih buih yang memanjang itu membuyarkan saat laut tak menyapa... .hatiku cuma tersenyum....
pada 29 Maret 2011 jam 1:29
Mahbub Junaedi
41
Camar Berpuisi
Surut Hingga Dasar Laut Kering
semburat mega ternyata bukannya jingga bubuhi awan yang menggelayut manja menggantung di langit yang mulai hitam matahari terbelah di atas laut dalam hawa suam suam pekik camar melengking keras dikehampaan laut yang tak bergeming hening wajah yang berkecipak di riak pijak kaki terinjak pada pantai saat surut hingga dasar laut kering camar tersentak beriring awan menggiring hujan genangi palung degup-degup menggelayar sangsikan mantiki merapat biduk yang kandas terantuk karang cadas siulan ombak telah sirna dalam harmoni riaknya kini menghablur tak lagi lengas kerudung hitam berkelebat menyapu pasir menyisakan alur yang berliku muskil sebab camar telah kuyup oleh hujan sebutir
Mahbub Junaedi
42
Camar Berpuisi
bilur bilur luka tak ingin laut lalai laut ingkar sulang ayo sulang mendulang....
bumiayu, 21 maret 2011, 16:35
Mahbub Junaedi
43
Camar Berpuisi
Tak Jera Kau Mengungkap Cinta
begitu lengasnya cinta kau ungkap, sambil membisik di dadaku sampai kau merekam degupku dan memaknainya dari sisi asa baringkan penatmu selimuti dengan kabut yang turun merayap membimbing tangga peraduan bisu kita saling sibuk di senyap aku terantuk pandangmu yang bening seulas senyum ada madu di segelas arak mabuk dalam aroma wangi tubuhmu saat gaunmu tersangkut di ujung pelangi
pada 26 September 2011 jam 0:15
Mahbub Junaedi
44
Camar Berpuisi
Tersesat
aku justru paling suka menyesatkan diri aku suka kehilangan ciri dan untuk mencari jalan kembali walau telah tertanggal sekeping hati saat singgah rehat di pencarian ...dan akupun tak menyesal kemudian *** aku tlah membiar dalam sesatku jalan kembali itu kutanya pada sang musafir kelana dan apa katanya? "ikuti camar itu....nanti kau akan menemukan jawab dari segala yang kau ingin tersesat" sambil menunjuk camar yang bertengger di atas karang yang tiada lain adalah sublimasi dari aku.......
bumiayu, 06 Feb. 11, 04:12
Mahbub Junaedi
45
Camar Berpuisi
‘Aku Senyap Meniris Hujat’
batin luruh mengukir karang tertoreh hurufhuruf, pun payah terpaan pasir membutakan, pun terpasung kelam mengalirkan makna segores tedas angin tertawa, menata di kilas balik, merangkum hakikat mengusung amanah, bukan manna ada kerling, yang berlalu, memunguti huruf demi huruf, menuai sabda estetika membingkai, tertanggal di tembok bisu, medium tegar dari sorot tajam penapena tak majal menggelepar, terantuk mulut nyinyir, pun berpaling lupa bukan segelintir mampir, memaku pilar pancang bernaung katakata, pun bersemayam ilmu tak rapuh malam, memandang mintakulburuj yang benderang di mizan, langit mengalir di benak mualim mendendang syair mensyarah rindu pada sanak batin berkata, 'aku senyap meniris hujat' Mahbub Junaedi Bumiayu, Kamis, 22 Desember 2011, 23:40 Mahbub Junaedi
46
Camar Berpuisi
Akupun Bercerita Saat Bertandang ke Rumahmu
memandang peta diri mencari alamatmu yang tersimpan di kampung hati, lewat jalan yang sesekali menjadi padang ilalang akan menjumpai juga gurun yang setiap saat berubah bentuk tapi aku belum jumpai rumahmu di belantara yang asri, yang di depan pintunya tertulis sweet home sweet berwarna merah jambu. sepenggal nama pasti akan tertera di lukisan wajahmu lalu memanggil saling bersahutan akupun bercerita saat bertandang ke rumahmu, tentang negeri impian yang belum aku kunjungi, lalu berharap kamu menemaniku di sana? Meladeniku dengan segenap rasa, di setiap yang terhidang, lalu sebongkah senyummu kau suguhkan sebagai hidangan penutup Mahbub Junaedi Bumiayu, Minggu, 28 Agust. 11, 19:33:
Mahbub Junaedi
47
Camar Berpuisi
Bulan Madu di Atas Pelangi yang Tertunda
Saat cinta sudah mencapai kembara di Orion Nebula, seperti engkau yang menggambarkan dengan runut di setiap detilnya. Inspirasimu mengalir begitu indahnya, aku mencium bau wangimu saat dipersinggungan kulit arimu begitu lengangnya menyusuri ritmik yang sudah kau bangun di alurmu. Kemudian saat aku dinubuatkan dengan seekor camar yang langlang buana mencari hakikat laut yang adalah penjelmaanmu, maka ada suatu hubungan yang sinergi saling melengkapi di tiap keselarasan saat menukilkan ayat-ayat langit, lalu membumikan kembali di haribaannya. Masih ada jagat yang jauh lebih sepi untuk menepikan cinta dan harus merogohnya melalui lorong black hole dan mengendapkannya menjadi Kristal-kristal galaksi yang tumbuhkan kilau di kejauhan bintang-bintang yang telah lelah mengedip sepanjang malam, kemudian jatuh ke bumi menjadi butiran embun bergelayut di pucuk-pucuk daun, lalu pudar saat sinar surya membuyarkan silau bahwa menandakan pagi sudah beranjak Mahbub Junaedi
48
Camar Berpuisi
membangunkan makhluk-makhluk untuk menyudahi mimpimimpinya. Cara pandang camar yang dirundung cinta adalah keluasan laut tak bertepi, begitu menggeloranya seperti degup jantung yang alot begitu menggelegakkan gelombang yang menggulung dan berkejaran, seperti sedang pamer pada camar tentang aurora dengan kabut warnanya yang ingin meluluhkan kekerasan hati camar sedang waktu itu kau putuskan menepikan rasa cintamu hanya pada camar di malam yang sedang purnama-purnamanya, bulan adalah penghulu yang siap menagih ikrar yang harus terucap saat itu juga, karena takkan ada lagi full moon di malam-malam mukadimah Dawai yang menyayat itu menderit seperti gesekan ranting pohon pada daun kering melengking di kejauhan saat camar tertidur dalam usapan angin hangat yang sengaja terbawa bersama alunmu yang membuih seputih awan. ditingkahi denting piano alto di atas tebing karang malaikat memainkannya seperti irama ketandusan padang pasir, teriring hentakan perkusif bunyi rebana, suara satu huruf vocal menggema panjang dalam waktu tertentu akhirnya melirih ditelan kesunyian saat malam beranjak larut… sesekali timbul lagi dan lalu lenyap sama sekali. Mahbub Junaedi
49
Camar Berpuisi
Ada seruling melantun luruh sedang melipat-lipat pelangi yang terlambat datang di malam hari menjadi warna-warna dominan gelap, kerlip lampu disco menyentakkan batin di hamparanmu, laut, camar meliuk-liuk saat anggurmu sudah terteguk di sloki yang kesekian yang terakhir tumpah di busana, Dior-mu menebarkan mabuk juga karena anggunmu. Saat itu teringat bulan madu yang tertunda di atas pelangi
Mahbub junaedi Kaligua di suatu pagi, August 4, 2011
Mahbub Junaedi
50
Camar Berpuisi
Draft yang Hampir Kulupa
saat kudekatimu, di peraduan angin melambaikan kelambu yang mengawang di atas pilar negeri semalam ada bising di benakmu, di balik sikap canggung ketika kudatangimu riuh.. kutempelkan bibir di pipimu, mendesiskan segumpal gumam, mantera pelebur rasa sambil senyum, pipimu cekung menarik garis arsir berakhir di pelipis, merekah di dekapanku mata sembab, terjaga semalaman berdua di perhelatan yang tak sebentar tak jeda pagi berlumur kabut ada kepenatan tersembunyi di wajah polos segarmu Mahbub Junaedi Bumiayu, Rabu, 04 Januari 2012
Mahbub Junaedi
51
Camar Berpuisi
Meretas malam demi saat diingatkan
Ingin menyentuhmu Pasti ada getarmu Ingin hirup wangimu Pasti aroma kesukaanmu Ingin senyummu Pasti sebentuk bibir merah rekahmu Ingin mencumbumu Pasti ada pagutpagut gairahmu angin pada reranting menggoyang embun di dedaunan, meneteskan butiran di tanah kering, tertelungkup debu dan menggulungnya dan tak berbekas, debu kaburkan batas kesunyian alam dan riuhnya gemuruhnya hati dan deru nafas yang bersahutan, sungai hanya bunyi riaknya jatuh di kubangan saat bergelut yang merenda bebatuan malammalam kau mengingatkan untuk tak suntuk semalaman terjaga, padahal keterjagaanku masih harus berlangsung, bila kumau tapi tidak! akupun terlelap sekejap, demi subuh menanti Bumiayu, Jumat, 04 Nopember 2011, 00:32
Mahbub Junaedi
52
Camar Berpuisi
Kaukah?; Lalu Hilang dalam Ingat
kaukah yang sujud di sampingku, saat tidurku kau berlumur khusuk, wajah putih berhawa tulus, laiknya awan kumulus gerakan ritmis menafikan fana, luruh melabuh ikhlas, bebenah dalam totalitas melewati gerbang makrokosmos, menuju kerinduan cahaya naim kaukah yang sujud di sampingku syaitan jengah mengusikmu cinta menggetar pada pilarpilar langit kasih sayang mensublim tubuh wadag berserah pada energi murni menuju Ilah pada alam bawah sadar segalanya mengendap mati berkafan cindai bersemayam tenang di alam astral tergenggam cahaya naungi barzakh
Mahbub Junaedi
53
Camar Berpuisi
kaukah yang sujud di sampingku aku menghunjam pandang kau mulai menghablur tapi bukan muksa hanya tidur biasa memahami ketiadaan Mahbub Junaedi Bumiayu, Rabu, 21 Desember 2011, 00:13
Mahbub Junaedi
54
Camar Berpuisi
Ronggeng Mencari Peronggeng
Pengamen ronggeng berkeliling dari rumahrumah Mengetuk pintupintu rapuh sedikit terkuak Pertanda ada nafas di dalamnya Pemutar kaset menabuh gending mengiring suara sinden melengking diam terpaku indang turut merasukkan sukma peronggeng beraksi erotis mistis meliukkan tubuhnya pada kemarau lama bersama debu terbangkan romantika dusun klampis sorongkan receh peronggeng berlalu dalam senyap melarut dalam desau angin bersama asap tobong batu bata melintas di benak terlelap di sudut kota kecil sokaraja termangu bersama nyai penoreh citta batik di selembar kanvas belum kering benar berceceran membungkus para peronggeng mengkilau gincu merahkan bibir pemilik gigi gingsul keringat di bedak pipi berlesung pipit meluntur selendang kuning lusuh meresapkan dakidaki berlumpur mengejawantah ronggeng pada siapa bertawassul
Mahbub Junaedi
55
Camar Berpuisi
Saat Mendebam Tubuh Melebam
jatuh dari ketinggian nanar terpelanting menembus gelap, dalam dan senyap meluncur deras di palung tak bersuar desis angin menggesek dingin membekukan sendi-sendiku, terbelenggu dan berkarat semeronta aku, masih tak bergeming, lama tak mendebam tubuhku di dasarnya, .... aku terkejut, seperti ada debam yang keras aku terhenyak dengan nafas tersengal dan sesak bila debam jerembabkan lebam tubuh remuk redam menghantam karang, menikam pucukpucuk menacap rongga dadaku pucukpucuk mencuat di tengah jantung dan ulu hatiku (tiba-tiba aku terbangun berlumurkan keringat dingin, kepala terantuk lantai ubin hitam, menyeringai dalam gelap mati lampu) Mahbub Junaedi Bumiayu, Rabu, 11 Januari 2012 Mahbub Junaedi
56
Camar Berpuisi
Tahun Baru Nanti Seperti Apa?
matahari pertama kali terbit di tahun baru, seperti apa? akan redup, atau kemerahmerahan? sebab terjaga semalam dalam pesta gegap gempitakan tahun yang tergugu sedikit saja menangis atau tidak sama sekali dalam benak tahun depan tak suram optimisme atau takabur? yang penting pesta semeriah mungkin bisa apa tanpa perubahan lalu terjaga dari lena atau trenyuh atau banyak rancangan menyusun peta runutkan arah ke mana hendak dipapah (mencari cintakah yang dulu sempat tertunda? sedang rasa itu sudah gamang atau terabai tak pasti hanya kau mampu merangkumnya dalam keranjang bungamu di sederet senyum yang kau suguhkan
Mahbub Junaedi
57
Camar Berpuisi
cinta itu menanda berpayahpayah menangguk rindu meraih kado indah setegar itu merajut hasrat saat bertandang di taman tak lelah) di tahun depan di ujung pena yang kutoreh di atas pualam prasasti yang memimpi kenangan sedang hari masih akan buram? tahun depan huma membulir derajat menanjak di pembuluh mimpi menyublim dalam sakitnya cubitan seringai puas demi tersadar di ingatan
Bumiayu, Selasa, 27 Desember 2011, 05:17
Mahbub Junaedi
58
Camar Berpuisi
Makna Hidup di Penghujung Umur dan Tahun? (Dalam Envoi Terbata-bata)
adalah para utusan, yang santun pada pengucapan hari lahirku, yang mengingatkan kematian kian dekat di sisa umurku, ketika harus bersiap-siap menyongsongnya, saat takdir hari itu akan datang, yang telah tulus menyimpul doa-doa dan aku sangat menikmati sekaligus tersentuh, terimakasih dan amin kupanjatkan dari relung paling tersembunyi Adalah yang dikirim malaikat, menanyakan kesiapan, dan aku nyata-nyata belum terlalu siap, hanya segelintir bekal tak seberapa menutupi segunung dosa, hutang-hutang tak sempat impas karena lengas bersama angin kefanaan, telah suntuk bersama keduniawian yang pelik untuk dijabarkan bila sudah berbicara target-target, seolah keajaiban masih selalu datang belakangan, padahal ada korelasi signifikan tentang memberi dan menerima, padahal otak bukan segala-galanya bila sudah berlaku pada baju kesombongan diri cendawan bukan sendawa tumbuh subur di musim hujan cendana keburu kering dan tak wangi lagi cinta masih tetap bicara pada rasa, akankah terus menyentak cahaya belum juga berhasil kuraupkan di muka buramku
Mahbub Junaedi
59
Camar Berpuisi
adalah sampeyan sudahkah diingatkan? tentang hakikat hidup sebenar yang mudah pudar bila tak mengimani keberadaannya, saat akan beranjak sadar sudah terlena kembali di gelinjang nikmat yang ironisnya berlanjut meluka, dan berusaha melawan kebingungan, karena untuk mati saja begitu sulit mencari cara yang sangat indah untuk dikenang sendiri. belenggu terlanjur berkarat untuk dibuka kembali, terlanjur menyatu, menggurat bersama buhul-buhul nadi mataharipun belum juga membakar segumpal jiwa-jiwa beku telah merebah baju-baju kebesaran yang sempat membuai di kemewahan budi, tersingkir bersama debu terpinggirkan, mengusik para kekecewaan yang kebiri gairah bersuara merdu-lantang, makam itu tak jauh dari aroma maqam yang diagungkan, membisik, menggoda saat berkhalwat dan beri’ikaf di dalam mazbah suci, semua mencari jati diri yang hanya wujud tak lengkap, hanya kesementaraan yang sangat menguras cipta rasa dan karsa, yang bermomok kepanikan sambil membangun syurga diri menjejak bumi, maka bila saling berkesinambungan menerima tongkat estafet bagi pewarisan kecenderungan arogan hedonis yang memiriskan, maka pada apa atau siapa lagi membangun pepunden yang tetap saja akan dicari pada jaman yang segala sesuatu diukur dari nilai materi?
Mahbub Junaedi
60
Camar Berpuisi
peringatan hari keluarnya aku dari pepuju ibuku, sering diilhamkan menjadi kata-kata bijak, “saat lahir semua orang tertawa gembira sedang batinku menangis karena akan dihadapkan pada gambaran dunia adalah kesuraman, tetapi akankah aku gembira saat kematianku, sementara orang-orang akan menangis? tidak musti, karena bisa saja akupun menangis karena perihnya kematian tanpa amal, atau bisa saja tertawa sambil menenggak sebotol tuak saat ajal, dan orangpun ikut tertawa terbahak-bahak tentang kematianku?” jengkerik kian menyepi, tertekan belalang mungkin sudah pingsan, terkapar laron-laron tanpa sayap, terlindas kupu-kupu terbelenggu pigura, meregang semua terasa aneh bila sudah bicara kerakusan, yang mengatas namakan kesenangan menjadi identitas diri, memedomaninya bila sudah terbentur pada pembatasan falsafah dari hakikat tentang hidup?, “kapan lagi kalau bukan sekarang”, lalu setelah itu berkutat pada kecenderungan menciptakan jargon-jargon kumuh tentang padanan hidup yang kental tentang keputusasaan menjawab pertanyaan: “lalu setelah ini mau apa?” tuhan, firmanmu benar adanya, tentang seleksi alam mengenaskan bagi perasaan teriiris-iris yang dinisbahkan pada kepiluan yang siasia, bila hanya otak sudah terbentur kegilaan yang terakumulasi pada keniscayaan pula yang terpola untuk saling menjejalkan ke mulut tanpa sempat melantunkan ayat-ayat di dalamnya, hanya yang zahid cenderung bisa melawan kefasikan dengan ilmu kezuhudan saat harta yang melimpah tak menggiurkan batin, karena telah berdiri kastil-kastil suci tempat menimba ilmu tentang kefanaan dan keabadian, Mahbub Junaedi
61
Camar Berpuisi
maka, semenjak ada di sini, masih termangu dalam polah tergugu, sering tercekat saat ingin bercerita dengan puisi-puisi verbal, sama sekali tak sepadan dengan umbar-umbar yang terdengung di setiap nurani yang kesepian, yang merindukan dan kekaguman yang membuta, lalu semenjak aku menepi, justru mempertanyakan eksistensiku? selalu mengejan lagi, sekalipun tenaga telah terhisap laga sejak kering imaji, hanya batu-batu tak membongkah mimpi menggantung, bersenggayut tertiup angin pagi derit lincak terjepit di selanya menggurit puisi dalam envoi terbata bata
Mahbub Junaedi Bumiayu, Jumat, 02 Desember 2011, 19:21
Mahbub Junaedi
62
Camar Berpuisi
Laut Itu; Cara Pandang Camar
terkadang atau sering camar benci laut, sepertinya cintapun terpatri di dinding-dinding berupa mural yang berkisah fabula, di sisi lain tak beri ketenangan, ombak mencabiknya, melukai melayang, mengitarinya tak menangkap mata, kabur dalam kabut begitu kapar, terdampar lapar, limbung badaipun selalu ingin mencecap karang, membongkah sarang hancur yang sebentar, hanyut ditelan alun menggunung kerinduan pada laut memelintir rasa, sebagaimana laut habitatnya, bersemayam keping hati, bercengkrama menikmati rembulan bersama, berbagai bentuk di cerminan kerling indah di riak kecil, mengekap, renangi dan selami batin laut, leluasa di keluasan laut, secara falsafi merambahi lekuk-lekuk lembah, telusuri sikap dasarnya gairah dahaga merasuk diafragma di kedalamannya. debur-debur menjebak buih-biuh putih, terperangkap tajammu
tatap
membasahkan muka camar, kuyup menutup malu bergidik sayap menepis embun asin, berjatuhan hurufhuruf berbaur pasir Mahbub Junaedi
63
Camar Berpuisi
laut menyurut kembali, tibatiba camar tersedak saat membungkam doa air bah porak porandakan sarang itu sekalipun karang tegar camar tersadar menyaksikan aurora tak wajar di cakrawala bekas tenggelam matahari di tengah laut, kutub telah kehilangan miliknya kabut bersinar menari-nari, seolah mengingatkan ucapan selamat tinggal sambil pergi diam-diam sambil meliukliuk menanggalkan kefanaan
Bumiayu, Jumat, 09 Desember 2011, 18:54
Mahbub Junaedi
64
Camar Berpuisi
Tetirah di Pesanggrahan
di semenanjung mana temukan tempat untuk tetirah padahal masih belum melucuti baju zirah sebentar lagi akan hadir tanpa beban lalu berdiam selamanya di pesanggrahan kerling mata seperti nyanyian getir menyuguhkan mimpi tawar saat meraba malam waktu matahari telah lama lingsir merindu sanjak dalam irama gurindam berlari tak tuntas sambangi pelampias rubi masih menepel di jari manis tumbuh resam di belantara selasar saling sengkarut menengarai hati kusut sedang berharap pelangi tak lagi melengkung seperti titian menuju garba tak berpenghuni jika melongok sangat mencekam ada kinginan terulang menjadi jati diri Mahbub Junaedi Bumiayu, Kamis, 23 Februari 2012 . Mahbub Junaedi
65
Camar Berpuisi
Kesedihan yang Perih
Tiada ode saat berair mata darah Meleleh lalu mengering saat merintih di kepiluan mengkristal di pecah berkeping buyarkan ihwal kerinduan satu sisi tajam terpungut dan menoreh Mengukir luka baru dalam rekah menganga mengepundan dan siap meletup gelap gulitakan mata batin elegi pagi seperti sembilu mengiris iris ansambel biola tua ada jerit menyayatkan sang megaloman irama liturgi tengadahkan kepapaan cinta melafal kitab suci tanpa harakah purukkan keasingan meruap telah sirna seloka yang tersusun di resital kesunyian tiada tamsil yang melekat di kedalamannya seorang munsyi terjebak dan sulit temukan jawab pada satu enigma seperti kalangkabutnya prajurit stabelan kehabisan bekal yojana hati sudah tak terpaut ingin berpulang sebagai zahid kembali ke pawiyatan suci tempat dulu berempati kesantunan menjaga equilibrium rasa yang pernah timpang di smaradana
Mahbub Junaedi
66
Camar Berpuisi
berdiam di pesamuan yang tergelar di depan mihrab masjid ada kedamaian yang tertunda saat cinta menemukan kesejatiannya
Mahbub Junaedi Bumiayu, Senin, September 5, 2011
Mahbub Junaedi
67
Camar Berpuisi
Benakmu Tersadai, Perempuan
wahai perempuan, rasa halusmu terlalu peka, yang aku amati sekelumit kuucapkanpun telah membuatmu tangis menitik debu, keharuan apa yang membuatmu melabuh hati, sedang layarmu masih membentang garang rasa sepimu di hingar bingar kentara bisikan, mengetukkan hati terlanjur mengkarang kau cari di mana sepimu, menebar suluk di mulut gua? laku yang kau ungkap, mengurai cinta kausingkap lalu semacam cinta yang mana akan kau dekap? sayang, jarimu terlanjur meluka karena batang beronak kau genggam saat bunga rekah semu kau rajam benakmu tersadai, bertilam air mata kau benam lalu, tawasul siapa kau ikuti? kekasihanmu, yang manakah? anakanak polos, hiasan surga lalu terhempas sesaat, tersadar, menderaskan kembali tangis yang sempat kau tunda dulu Mahbub Junaedi Bumiayu, Selasa, 03 Januari 2012 Mahbub Junaedi
68
Camar Berpuisi
Yang ( Imaji Imaji Sajak Liarku dalam Alam Kreativitas )
yang, di pagi ini cuma ada satu embun itupun berada di ujung daun yang runcing dan hanya sedikit menempel di ketajamannya entah nasibnya akan jatuh ke tanah atau meradang terbakar sinar surya atau saat reinkarnasi di pagi berikutnya yang, di pantai ada istana pasir yang megah dan mewah untuk kita huni itupun berada di bibir laut yang akan melumatnya dan siap menggulung dengan selimut ombak di keganasannya entah akan tetap berdiri tegak seirama surutnya air laut atau akan pasang meluluhlantakkannya yang, si pungguk sedang menanam pohon kehidupan dan merawatnya agar tumbuh memanjang sampai ke bulan itupun akarnya rawan tercerabut oleh deru jaman yang mungkin bisa menggilasnya dan hanya sebisa mungkin aku berjuang menaikinya sebatas aku mampu dapat menjangkaunya entahlah, sipungguk hanya berpedoman para pemimpi yang yakin mimpinya berbuah nyata
Mahbub Junaedi
69
Camar Berpuisi
yang, aku tahu mengenalmu belum seumuran jagung, tapi sudah seperti mengenalmu sebelum kau ada rasamu sedekat aliran darahku menganaksungai yang berdenyut ritmis dari geletargeletarmu pada laut yang debarnya menggoyahkan naluri lelakiku hingga ubunubun ini tercecap seperti kesejatian cinta yang diungkap lagi dalam keabsahannya yang, saat suasua tak lebih sekedar asa yang ada dalam riangnya bila rasa yang kutimang dalam buaian sepoi ayunan bayu dari angin laut menatappun di ufuk masih ada langit di atas langit aku bermaksud minta ijin minta catatan Tuhan dan akan kurubah sendiri, takdirku sendiri tetapi..... aku ragu.... benarkah bila kurubah akan menjadikan aku akan lebih baik nantinya?
yang, bilapun ...... takdirku adalah Tuhanku bumiayu, 30 maret 2011, 12:37
Mahbub Junaedi
70
Camar Berpuisi
Aku Mencari Biang Keladi yang Semalam Memprovokasi Mimpiku
1) Aku mencari biang keladi yang semalam memprovokasi mimpiku Saat pada sesi bertemu dengan kamu, ada yang melenyapkan kamu Sehingga aku tak bisa memulai lagi dari awal Karena aku lupa episode yang sudah bebal 2) Menjumpai kamu sangat riskan Sudah berkali-kali aku coba mengunggah di situsmu Membubuhkan anganpun masih berpikir lugu Lalu akan seperti apa bila berhadapan? 3) Saat kusodorkan bunga Lalu kelopaknya terbalik Seketika itu tangkainya mengering dan patah Ada wajah kamu berkeping-keping 4) Siang yang terik ini aku menggigil Anak kecil masih saja telanjang, dasar bocah tengil maka aku takkan mengaku Sebab saat buntingpun kamu tak merasa kelu
Mahbub Junaedi
71
Camar Berpuisi
5) Aku ingin membius pangeranmu Agar tak selalu menciptakan sangkar emas Tapi saat aku merasakan kamu senyaman di syurga angin liar membisiki aku untuk meminangmu 6) Dayangku Semalam aku tak inbox Karena aku mencarimu Di panggilan tak terjawab mahbub junaedi bumiayu, Saturday, August 06, 2011
Mahbub Junaedi
72
Camar Berpuisi
Puji-pujian Itu
Adzan itu geliatkan dahaga Hingga terhirup wudhu Songsong rindu Bergegas sebelum lupa Puji-pujian itu terdengar lamat-lamat dari surau Di pagi pekat dalam irama jawa yang kental Dalam jiwa iringi dengan gending sintal Irama menggelayut bersama suara kakek yang parau Dalam jiwa memukul bonang yang mendentam Sesering mungkin ketuk kenong yang lantang Laa ilaaha illallah, laa ilaaha illallah........ Allah, laa ilaaha illallah......... Jiwaku bunyikan slenthem yang adem Atau denting siter yang tak lagi keder Laa ilaaha illallah, laa ilaaha illallah........ Allah, laa ilaaha illallah......... Jiwaku diakhiri dengung gong Hingga tiba iqomah Bumiayu, 08 Jan. 11, 04:59 Mahbub Junaedi
73
Camar Berpuisi
Bergulir Diri di Gelaran Pasir · ada riam di kepalaku seperti bom waktu yang gundah menunggu kedip-kedip yang senyap, bukan tik tok meledaklah, alirkan buncahan kata arah yang mengalur lukis di genggamnya gerak gelisah menggores kanvas hasrat tertunduk, gemetar mau pingsan tetap saja bergeming, membatu di sudut yoni searahkah jalan, sekalipun meliuk dan membelit setelah temu pandang ingin berkelit hanya di sisa masa, ajal terpana tak sempat mengukur yojana asal cinta musim aqil bertebaran debar gigilkan kata-kata di senja meraup teja toreh lagi semusim cinta berlama-lama
Mahbub Junaedi
74
Camar Berpuisi
bergulir diri di gelaran pasir tenda tak berbentuk, api tinggal lidahnya mengecil terkatup mata langkah kian terlunta saat kutuntun hati, belum bergema swara temaram bulan bercermin di air asin berkalung mantera membangkitkan ruh lalu, cuma debur menghempaskan kesal memecah, buih berserakan menunggu khilap
Mahbub Junaedi Bumiayu, 11 Februari 2012
Mahbub Junaedi
75
Camar Berpuisi
Lanskap Pagi
seperti biasa, ada pagi di rinai hujan gelap bertukar jelang benderang membasah kuyupku kakikaki penuh lumpur semburat sinar dari balik awan bayang mentari terhijab tabir langit masih abuabu kabut, ada kabar apa semalam? seberkas sinar menembus celah embun berkilau jelang kematiannya lampu jalan lelah berbinar semalam terjaga mengusir pekat sepasang merpati penuh gairah di teras pagupon angin melayangkan birahi di sejuknya rasa pipit bersijingkat memungut ranting membangun sarang, pada perayaan musim kawin : akankah pagi beranjak siang? Mahbub Junaedi Bumiayu, 18 Februari 2012 Mahbub Junaedi
76
Camar Berpuisi
Mozaik Tanpa Makna
sudahlah, penat tak sekedar rasa lelah mengangkat katakata, meletakkan di sudut waktu lalu melafalkan di setiap huruf, menyusunnya dalam mozaik sedikit tergores, di tiap tepinya, tak kentara telah membentuk, di setiap bagian, serpih-serpih hurufhuruf menempatkan diri, menghampiri makna, menjelaskan terpatri pada keping-kepingnya, wajah ornamen tak bertepi rasa raga ingin melepas, di kubangan warna melolosinya memandangmu, menjelma diri dalam sosok terpenggal bulan sabit menikam di antara rusuk yang lepas, masih darah itu memerah kini ruhruh kembali ke ruang dimensi empat, bersemayam tenang di dalamnya menjaga rasa, menunggu raga tersangkut di reranting kering bilah epitaph menancap di pusara tanpa makna menceritakan riwayat gelap tanpa kata saksi bisu dari kisah tak tuntas : kini terpampang di mozaik pintu surga
Mahbub Junaedi Bumiayu, 17 Februari 2012, 00.13 Mahbub Junaedi
77
Camar Berpuisi
Memiliki?
berbagi yang mengindahkan diri yang 'berwajah' Tuhan di segala sifatNya ada yang melekat di sini mampu tak cuma satu atau dua sifatNya ikhlas tumbuh dari berusaha melepas berat, yang merasa akan berkurang pada hakikatnya kita tak memiliki hanya penikmat fasilitas indera-indera, organ-organ adalah sarana hidup mampu bergerak optimal seluruh sendi-sendi dalam aktivitasnya darah terus mengarus sejak otot tak sadar, menggerakkan jantung kita untuk mensuplai : mampukah mengendalikannya?
Mahbub Junaedi
78
Camar Berpuisi
pusat kendali adalah otak berjumlah memori perintah gerak motorik yang sinkron dari sel-sel aktif membaca gelagat alam dari pancaran sensor indera yang kita tangkap lalu ada rasa yang kasat mata lebih gaib terbentang alam ruh nafsu di sisi lain ada sekat yang membatasinya berbagi itu mendamaikan bahagia ketika menyantuni ilmu yang didapat telah terserap melahap semesta demi mengagungkanNya akhlak mengajarkan Al Latif di belantara ini mengendapkan arif agar tak meninggi di setiap naratif saat pembenaran itu relatif siapa yang gerakkan bumi, yang patuh pada garis edar pun waktu dalam limit akurat : dan di dalamnya bertebaran ayat-ayatNya
Mahbub Junaedi
79
Camar Berpuisi
KetunggalanNya yang mutlak, keagunganNya meliputi bumi yang hanya sebutir pasir di antara galaksi bima sakti, masih ada galaksi andromeda dan galaksi lainnya, lalu tubuh kita adalah debu yang tersusun dari atom-atom yang berjumlah satu oktiliun, apa lagi yang kau dustakan dari Ketuhananmu saat pengejawantahan ini dalam ciptaanNya yang Dahsyat? lalu apalah artinya mengecilkan ciptaanNya selain dari ketidakmengertian atau wujud kesombongan karena kekerdilan diri dalam memahami setiap gerak yang mengurat di setiap jaringan tubuh sampai jagat raya yang amat teratur, terlalu prematur saat menyimpulkan 'ketiadaanNya' padahal AdaNya sangat melekat di batin, dalam memahamiNya. sekalipun mendusta, manusia akan tetap mencariNya dalam hatinya, sekecil apapun rasa itu, jiwa adalah ruh, elemen yang menggerakkan tubuh dan semua makhluk, tak sanggup ilmu manusia yang sangat sedikit saat meluah tiada seberapa : masihkah akan berjalan dengan angkuh?
Mahbub Junaedi Bumiayu, 14 Januari 2012
satu oktiliun sama dengan 1000.000.000.000.000.000.000.000.000
Mahbub Junaedi
80
Camar Berpuisi
Tentang Penulis
Mahbub Junaedi, lahir di Bumiayu Brebes pada tanggal 23 November 1967. Berprofesi di bidang wiraswasta, pria pecinta sastra ini sangat menyukai aktivitas menulis. Karyanya telah banyak tersebar di beberapa media online seperti Facebook, Group, maupun media lainnya. Antologi “Camar Berpuisi” ini merupakan buku pertamanya dalam format digital. Saat ini ia juga aktif di sebuah komunitas menulis PNBB (Proyek Nulis Buku Bareng). Untuk menghubungi penulis, bisa dilakukan melalui informasi kontak berikut ini: Alamat: Jl. Raya Grengseng 10 Paguyangan, Bumiayu Brebes, Jawa Tengah – 52276 HP: 085726174289 Facebook: www.facebook.com/bobavenue Email:
[email protected]
Mahbub Junaedi
81
Camar Berpuisi
Tentang PNBB
PNBB adalah Buku Kebijakan, Bukunya Orang-Orang Besar dan Dia adalah Berkah! - Heri Cahyo Ketika pertama kali orang bertanya pada saya apa itu PNBB, maka saya bilang itu hanya sekumpulan orang-orang biasa yang ingin belajar menulis. Itu saja! Akan tetapi dengan berlalunya waktu, dan semakin banyak orang bergabung dalam grup tersebut serta bertambahnya pengalaman yang dibagikan di sana, grup tersebut tiba-tiba mendefinisikan dirinya sendiri. Grup itu menjadi sebuah buku kabajikan/kearifan, karena di sana anda akan membagikan dan mendapatkan pengalaman kehidupan tanpa anda beranjak dari tempat anda. Tinggal duduk di depan PC, Laptop, netbook atau gadget anda, dan anda akan merasakan pengalaman hidup orang lain yang dibagikan di sana. Anda mungkin membutuhkan waktu yang lama dan uang yang banyak untuk mendapatkan pengalaman berharga yang bertebaran secara bebas di sana. Dan yang paling mengagumkan dari semua itu, setiiap orang dengan suka rela menuangkan pemikirannya, pengetahuannya dan pengalamanannya yang berharga jika ada yang membutuhkan. Semuanya gratis! Setiap orang adalah pemberi dan setiap orang juga siap menjadi penerima semua kebajikan itu, tak seorangpun merasa lebih bijak atau merasa lebih tinggi. KadangMahbub Junaedi
82
Camar Berpuisi
kadang orang lain mengambil darinya segala sumber daya yang mereka butuhkan, tetapi di lain waktu dia juga mengambil sumber kebajikan dari yang lain. Berikutnya adalah, grup tersebut berkembang menjadi buku tentang orang-orang besar, karena mereka yang ada di sana mempunyai karakteristik orang-orang besar. Mereka adalah orangorang yang dilahirkan unik, dan hasrat mereka untuk mencapai kesempurnaan, serta kemauan untuk belajar dan berbagi sangat tinggi seperti yang saya sebutkan di atas. Dan akhirnya grup ini adalah sebuah keberkahan, paling tidak bagi mereka yang terlibat di dalamnya. Ya, itu adalah keberkahan karena dengan grup ini kita bisa tumbuh menjadi lebih baik, tidak sematamata dalam keterampilan menulis kita, tetapi dalam aspek lain di kehidupan kita.
Informasi Komunitas Facebook Group: Proyek Nulis Buku Bareng http://www.facebook.com/groups/proyeknulisbukubareng/
[email protected] Website: www.proyeknulisbukubareng.com
Mahbub Junaedi
83
Camar Berpuisi
Mahbub Junaedi
0
Camar Berpuisi
Mahbub Junaedi
1