Hubungan Usia Kawin Pertama Terhadap Keluaran Kesehatan Reproduksi Perempuan Di Indonesia (Analisis Data Survei Demografi Dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2007) Ahmad Junaedi1, R. Sutiawan2 1. Departemen Biostatistik dan Kependudukan, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia 2. Departemen Biostatistik dan Kependudukan, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
[email protected],
[email protected]
Abstrak Latar belakang: Fenomena penurunan persentase perkawinan usia 15-19 tahun dan peningkatan median usia kawin pertama (UKP) dari data SDKI 1997, 2002-2003, dan 2007 menjadi anomali dengan masih adanya permasalahan kependudukan, termasuk dalam hal keluaran kesehatan reproduksi. Tujuan: Penelitian ini dibuat untuk melihat hubungan UKP dengan keluaran kesehatan reproduksi dan membuktikan adanya peran Pengetahuan, Sikap dan Praktek (PSP) dalam hubungan UKP terhadap keluaran kesehatan reproduksi. Metode: Penelitian cross sectional ini menggunakan data SDKI tahun 2007 dengan membagi keluaran kesehatan reproduksi menjadi dimensi fisik dan sosial. Hasil: Sebanyak 56,9% perempuan usia kawin pertama tidak ideal (< 20 tahun) dan 76,3% menghasilkan keluaran kesehatan reproduksi yang kurang baik. Uji statistik chi-square menerangkan bahwa UKP berhubungan dengan keluaran kesehatan reproduksi (p value: 0,0005) dan uji konfounding membuktikan bahwa sikap dan praktek mengganggu hubungan UKP terhadap keluaran kesehatan reproduksi. Diskusi: UKP yang ideal akan menghasilkan keluaran kesehatan reproduksi yang baik dikarenakan kondisi yang sudah siap, selain itu, sesuai teori perilaku kesehatan, UKP sebagai perilaku dipengaruhi oleh sikap dan praktek namun pengetahuan tidak mempengaruhinya karena ada hal lain yang lebih berpengaruh. Seharusnya pemerintah tak hanya berfokus dalam usia kawin saja dalam programnya melainkan juga mempertimbangkan sikap dan prakteknya dengan meningkatkan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) dalam setiap programnya. Kata kunci: Keluaran kesehatan reproduksi; pengetahuan, sikap, dan perilaku (PSP); perempuan; usia kawin pertama
Abstract Background: The reduction percentage of marriage aged 15-19 phenomenon and the enchancement of the median for age at first marriage from the Indonesian Demographic and Health Survey (IDHS) 1997, 2002-2003, and 2007 are anomaly of persistence population problems, including the outcome health reproduction. Objective: This study was made in order to see relationship between age at first marriage with the outcome health reproduction and to prove the role of knowledge, attitude, and practice (KAP) in relation between age at first marriage and outcome health reproduction. Method: This cross sectional study was using Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS) 2007 by dividing the outcome health reproduction into physical and social dimensions. Result: 56,9% of age at first marriage’s women is not ideal (under 20 years old) and 76,3% of women have poor outcome health reproduction. Chi-square test explained that age at first marriage associated with outcome health reproduction (p value: 0,0005) and confounding test proved that attitude and practice, disrupt the relationship between age at first marriage and outcome health reproduction. Discussion: The ideal of age at first marriage will produce better of outcome health reproduction, because conditions of women are steady, furthermore, according to health behavior theory, age at first marriage in behavior is influenced by attitude and practice, but knowledge doesn’t affect it because there is something more dominant. The government should not only focus on age of marriage on their programs but also considers attitude and practice by improving communication, information, and education (IEC) in each program.
1 Hubungan usia..., Ahmad Junaedi, FKM UI, 2013.
Keywords: Age at First Marriage; Knowledge, Attitude, and Practice(KAP); Outcome Health Reproduction; Women
Pendahuluan Berkaitan kesiapan mental dengan perkawinan, maka pada periode ambang masa dewasa, individu dianggap telah siap menghadapi suatu perkawinan dan kegiatan-kegiatan pokok yang bersangkutan dengan kehidupan berkeluarga. Pada masa tersebut, seseorang diharapkan memainkan peran baru, seperti peran suami/isteri, orangtua dan pencari nafkah (Hurlock, 1993). Selain itu, dengan menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi akan memiliki pekerjaan yang layak untuk menghidupi rumah tangganya. Usia perkawinan yang ideal dari sisi medis dan psikologi menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk perempuan, ideal pada usia 20-35 tahun dan untuk laki-laki berbeda 5 tahun, yaitu 25-40 tahun. Indonesia masih termasuk negara dengan persentase perkawinan usia muda yang tinggi di dunia yaitu peringkat ke 37 dan urutan kedua dalam wilayah ASEAN setelah Kamboja (UNICEF dalam BKKBN, 2012). Masih ada provinsi di Indonesia yang melakukan perkawinan usia dini di bawah 15 tahun yaitu Kalimantan Selatan sebesar 9%, Jawa Barat sebesar 7,5%, Kalimantan Timur dan Tengah masing-masing sebesar 7% dan Banten sebesar 6,5% (Riskesdas, 2010). Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003 median usia kawin pertama adalah 19,2 tahun dan median usia kawin pertama di pedesaan lebih rendah yaitu 17,9 tahun. Tren penurunan persentase status kawin kelompok umur 15-19 tahun, yaitu dari 17,1% pada SDKI 1997 menjadi 14,0% pada SDKI 2002-2003. Di sisi lain, angka median usia kawin pertama meningkat menjadi 19,8 tahun pada SDKI 2007 dari 19,2 tahun pada SDKI 2002-2003 dan 18,6 tahun pada SDKI 1997. Walaupun secara angka median sudah meningkat usia kawin pertama dan terjadi pernurunan pernikahan kelompok usia 15-19 tahun, namun permasalahan ini sampai sekarang masih cukup besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, masih ada proporsi sebesar 46,7% perempuan yang menikah dibawah usia 20 tahun (10-19 tahun) sedangkan perempuan kelompok yang kawin pertama pada usia 20-34 tahun memiliki proporsi 47%. Perempuan yang melakukan perkawinan usia dini memiliki resiko dalam waktu yang lebih panjang dalam hal kehamilan dan kelahiran yang menyebabkan angka kematian anak, Total Fertility Rate (TFR), dan angka kematian ibu menjadi lebih tinggi. Selain itu, dampak 2 Hubungan usia..., Ahmad Junaedi, FKM UI, 2013.
perkawinan usia dini menghasilkan keluarga yang berkualitas rendah dilihat dari sisi ketidaksiapan mental dalam menghadapi permasalahan rumah tangga yang akan muncul baik dari segi sosial maupun ekonomi rumah tangga, pembinaan keutuhan perkawinan dan rumah tangga, menjadi orang tua yang baik untuk merawat dan menjaga hingga menafkahi anakanaknya kelak. (Maryatun, 2007). Komplikasi kehamilan, fertilitas yang tinggi, kehamilan dengan jarak yang dekat, infeksi penyakit menular seksual, rendahnya kualitas anak yang dihasilkan, serta kehamilan yang tidak diinginkan merupakan implikasi lain dari perkawinan usia dini (Fadlayana, 2009). Sensus Penduduk (SP) Tahun 2010 menyatakan bahwa total penduduk laki-laki dan perempuan kelompok umur 15-19 tahun yaitu 21 juta jiwa. Hal ini berpotensi laju pertumbuhan penduduk yang tinggi yang disumbangkan dari kelompok umur ini apabila 10 juta pasangan ini melangsungkan perkawinan. Apabila dihitung secara kasar dengan angka TFR 2,6 orang dan setiap pasangan kemungkinan memiliki 3-4 anak maka pertambahan penduduk dalam waktu dekat akan mencapai 60 sampai 80 juta orang, belum lagi ditambah dari kelompok umur lainnya. Penggunaan metode kontrasepsi yang rendah pun termasuk dalam dampak perkawinan usia dini, sekitar 70% tidak menggunakan metode kontrasepsi sebelum memiliki anak pada pasangan yang kawin usia dini (Kamal, 2012). SDKI 2012 menyebutkan angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian balita (AKBA) sebesar 32 kematian per 1000 kelahiran hidup dan 40 kematian per 1000 kelahiran hidup. Hasil tersebut masih jauh dari target Millenium Development Goals (MDGs) yaitu 23 kematian per 1000 kelahiran hidup dan 32 kematian per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Hasil tersebut juga hanya berkurang sedikit dari SDKI 2007 yaitu 34 kematian per 1000 kelahiran hidup dan 44 kematian per 1000 kelahiran hidup. Tren angka kelahiran total (TFR) dari SDKI tahun 2002-2003 hingga SDKI tahun 2012 tidak menurun melainkan stagnan pada angka 2,6 anak. Dengan adanya fakta tersebut, terlihat anomali antara fakta tersebut dengan usia kawin pertama yang meningkat menjadi 19,8 tahun. Hal ini diduga ada hal lain yang berkontribusi, tidak hanya pendewasaan usia perkawinan saja. Setelah mengetahui anomali tersebut apakah hanya usia kawin pertama saja yang mempengaruhi keluaran kesehatan reproduksi yang dihasilkan dari perkawinan tersebut? Bagaimana dengan perkawinan usia dini yang memiliki PSP yang baik sehingga keluaran kesehatan reproduksi yang dihasilkan tetap baik, berarti selama ini seharusnya tidak hanya berfokus pada pendewasaan usia perkawinan saja melainkan juga menambah fokus lainnya, meningkatan PSP sehingga keluaran kesehatan reproduksi tidak bermasalah.
3 Hubungan usia..., Ahmad Junaedi, FKM UI, 2013.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi perkawinan usia tidak ideal (< 20 tahun) dan ideal (> 20 tahun), PSP (Pengetahuan, Sikap, dan Praktek), dan dimensi fisik serta sosial dari keluaran kesehatan reproduksi di Indonesia, menganalisis hubungan usia kawin pertama dengan keluaran kesehatan reproduksi di Indonesia, dan menganalisis peran PSP (Pengetahuan, Sikap, dan Praktek) terhadap hubungan usia kawin pertama dengan keluaran kesehatan reproduksi di Indonesia.
Tinjauan Teoritis Usia kawin pertama (UKP) menurut BKKBN merupakan usia dimana seseorang melangsungkan perkawinan pertama kalinya. Umur pertama kawin juga berarti saat dimulainya masa reproduksi pembuahan. Hubungan antara UKP dengan fertilitas adalah negatif, semakin muda UKP maka akan semakin panjang masa reproduksinya dan akan semakin banyak anak yang dilahirkan. (BPS, 2007). Dengan begitu, usia kawin pertama seorang perempuan adalah usia perempuaan saat melakukan perkawinan pertamanya. Kingsley Davis dan Judith Blake mengemukakan ada tiga variabel utama yang menentukan tingkat fertilitas, yakni: Intercourse Variables (umur kawin pertama, selibat permanen, lamanya berstatus kawin, abstinensi sukarela, abstinensi terpaksa dan frekuensi senggama); Conception Variables (Infekunditas sengaja, pemakaian kontrasepsi dan infekunditas tidak sengaja); Gestation Variables (Mortalitas janin tidak sengaja dan aborsi). Dekomposisi oleh John Bongaarts terhadap ketiga variabel tersebut dengan menganalis faktor-faktor apa yang termasuk dalam ketiga variabel tersebut yang paling besar pengaruhnya secara langsung pada tingkat fertilitas. Hasilnya yaitu untuk variabel Intercourse adalah usia kawin pertama; untuk variabel konsepsi adalah pemakaian kontrasepsi; sedangkan untuk variabel gestasi adalah aborsi. (Nugraheni, 2011). Perilaku manusia pada tingkat kesehatan telah diteliti oleh Lawrence Green sejak tahun 1980. Kemudian, di tahun 1991 menghasilkan suatu teori yang disebut teori PRECEDPROCEED. Menurutnya, kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour causes). Perilaku juga dipengaruhi oleh 3 faktor utama yang ada dalam teori PRECEDEPROCED tadi. Tiga faktor utama tersebut adalah PRECEDE (Predisposing, Enabling, dan Reinforcing Cause in Educational Diagnosis and Evaluation). Merupakan suatu petunjuk atau 4 Hubungan usia..., Ahmad Junaedi, FKM UI, 2013.
arahan menganalisis atau diagnosis dan evaluasi perilaku untuk intervensi pendidikan (promosi) kesehatan (Notoatmodjo, 2012). Kesehatan reproduksi berasal dari penggabungan dua kata yaitu sehat dan reproduksi. Hasil International Conference Population and Development dan World Health Organization (ICPD/WHO) menerangkan kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan fisik, mental, dan sosial secara lengkap, yang sejahtera dan bukan hanya terbatas dari menderita tidaknya suatu penyakit melaikan meliputi segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi serta prosesnya. Dari definisi mengenai kesehatan reproduksi yang disebutkan di atas, terbagi menjadi tiga dimensi kesehatan reproduksi yaitu dimensi fisik, dimensi mental, dan dimensi sosial dengan ruang lingkupnya tidak mencakup seluas definisi di atas tetapi hanya mencakup keluaran dari reproduksi. Outcome atau keluaran diterjemahkan menjadi dua kata, hasil dan akibat. Hasil mengandung pengertian sudah menghasilkan sebuah produk setelah melalui suatu proses. Sedangkan akibat artinya efek atau dampak saat produk tersebut disebarkan dan dipakai oleh pengguna (Shadily, 1996). Keluaran kesehatan reproduksi merupakan hasil dari perilaku seseorang dalam hal kesehatan reproduksi. Berikut penjelasan mengenai dimensi kesehatan reproduksi: 1. Dimensi Fisik Seperti sebelum adanya konsep baru mengenai kesehatan saat ini, dahulu sehat hanya dilihat dari dimensi fisik. Dari definisi kesehatan reproduksi menurut Manuaba, 1999, dimensi fisik seperti: memanfaatkan alat/organ reproduksi, mengatur kesuburan (fertilitas), menjalani kehamilan dan persalinan secara aman, mendapatkan bayi tanpa resiko apapun/well health mother dan well born baby, dan mengembalikan kesehatan dalam batas normal. Dimensi fisik ini keluaran kesehatan reproduksi yang paling mudah terlihat seperti: memanfaatkan alat/organ reproduksi (jumlah anak yang pernah dilahirkan, tiga atau lebih anak yang dimiliki saat ini), menjalani kehamilan dan persalinan secara aman (jumlah anak yang meninggal, kehamilan yang tidak diinginkan, keguguran,dan komplikasi kehamilan dan masalah kelahiran), mengatur kesuburan (fertilitas) (penggunaan metode kontrasepsi saat ini), dan mendapatkan bayi tanpa resiko apapun (kejadian Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)). 2. Dimensi Mental Kesehatan mental sebagai komponen kesehatan reproduksi secara umum -dan masihtidak mencolok, perifer dan marjinal. Kurangnya perhatian pada kesehatan mental sangat disayangkan, mengingat kontribusi yang signifikan antara kesehatan mental dan kesehatan reproduksi terhadap beban global penyakit dan kecacatan. Aspek dari kesehatan mental dan 5 Hubungan usia..., Ahmad Junaedi, FKM UI, 2013.
kesehatan reproduksi yaitu (WHO, 2012): dimensi kesehatan mental dari periode kehamilan, persalinan dan postpartum, psikologis aspek kontrasepsi dan pilihan aborsi, kesehatan mental konsekuensi keguguran, menopause dan depresi, ginekologi morbiditas dan dampaknya pada kesehatan mental, kesehatan mental dalam konteks HIV/AIDS, infertilitas dan reproduksi yang dibantu, kesehatan mental dan mutilasi alat kelamin perempuan Aspek mental dalam hal lebih condong kepada dampak yang terjadi pada kesehatan mental yang berhubungan dengan keluaran kesehatan reproduksi seperti depresi pada kejadian keguguran/aborsi, efek psikologis atas kontrasepsi yang digunakan, ketidaksiapan menerima kehamilan pertama, efek kesehatan mental dalam penyakit HIV/AIDS, infertilitas suami atau istri, dan pemotongan alat kelamin perempuan. 3. Dimensi Sosial WHO melalui program penelitian khusus, Development and Research Training in Human Reproduction (HRP), melakukan penelitian ilmu sosial pada kesehatan reproduksi. Dalam penelitian ilmu sosial terhadap kesehatan reproduksi mencakup dua bidang utama yaitu: 1. Penentu perilaku dan sosial peraturan kesuburan yang meliputi: pilihan dan penggunaan kontrasepsi, peran gender dan peraturan kesuburan, kontrasepsi dan kesuburan laki-laki, penerimaan kontrasepsi baru, dan biaya dan manfaat kontrasepsi. 2. Komponen kesehatan reproduksi seperti: penyebab aborsi, perilaku seksual dan kesehatan reproduksi, dimensi sosial dalam kesehatan ibu, dan menyusui dan jarak kelahiran. Dimensi sosial ini keluaran reproduksi yang dapat diukur bisa berupa: peran gender dan peraturan kesuburan (kepedulian suami terhadap haid dan kelahiran, status tempat tinggal suami, mengerti hak pasangan suami istri, dan pengambilan keputusan dalam keluarga), kontrasepsi dan kesuburan laki-laki (sikap suami terhadap kontrasepsi), dan perilaku seksual dan kesehatan reproduksi (pembicaraan suami dan istri tentang HIV/AIDS).
Metode Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu cross sectional yang menggunakan data SDKI Tahun 2007. Peneliti mengumpulkan data tersebut dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Keluarga Berancana dan Keluarga Sejahtera BKKBN. Populasi penelitian ini adalah seluruh penduduk perempuan di Indonesia. Dalam penelitian ini, digunakan semua sampel penduduk perempuan pernah kawin yang telah terkumpul pada data SDKI 2007. Sehingga sampel pada penelitian ini adalah responden yang tercatat pada data 6 Hubungan usia..., Ahmad Junaedi, FKM UI, 2013.
SDKI 2007 dengan kriteria inklusi yaitu responden yang tidak memiliki nilai missing pada semua variabel komposit penelitian ini baik PSP, dimensi fisik, sosial maupun keluaran kesehatan reproduksi. Besar sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini yaitu sebanyak 28.596 sampel dan kekuatan uji atau power of the test penelitian menggunakan uji beda dua proporsi hasilnya lebih dari 99% dari masing-masing variabel penelitian sebelumnya. Variabel yang diteliti antara lain keluaran kesehatan reproduksi sebagai variabel dependen, usia kawin pertama sebagai variabel independen dan variabel pengetahuan, sikap, dan perilaku sebagai variabel penduga confounding. Keluaran kesehatan reproduksi merupakan variabel komposit dari dimensi fisik dan sosial, dimana dimensi fisik dan sosial sendiri merupakan variabel komposit juga. Dimensi fisik terdiri dari jumlah anak yang pernah dilahirkan, anak yang meninggal, tiga atau lebih anak yang dimiliki, kehamilan yang tidak diinginkan, riwayat keguguran dan lahir mati, penggunaan kontrasepsi saat ini, kejadian BBLR, dan masalah kelahiran dan komplikasi kehamilan. Sedangkan dimensi sosial terdiri dari status tempat tinggal suami, kepedulian suami terhadap haid, hamil, dam melahirkan, sikap suami terhadap kontrasepsi/KB, mengerti hak pasangan suami dan istri, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan diskusi HIV antara suami dan istri. Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis univariat, bivariat, dan multivariate faktor resiko untuk mencari variabel konfounding. Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui gambaran seluruh variabel. Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen menggunakan uji statistik chi-square. Hasil akhir berupa p value < 0,05 menginterpretasikan adanya hubungan bermakna secara statistik. Analisis multivariat yang ingin dilakukan adalah regresi logistik faktor resiko dimana mencari interaksi antar variabel dan variabel perancu atau konfounder. Dalam penelitian ini variabel independen utamanya yaitu usia perkawinan, variabel yang diduga konfounder adalah PSP, dan variabel dependennya adalah keluaran kesehatan reproduksi. Pengambilan sampel SDKI Tahun 2007 tidak melalui acak sederhana melainkan menggunakan cluster sampling sehingga perlu diperhatikan penggunaan bobot atau weight dalam analisis data. Sebelum digunakan, bobot yang telah ada bawaan dari row data SDKI tahun 2007 akan dinormalisasi terlebih dahulu agar jumlah responden yang dianalisis tidak mengalami pembengkakan atau kembali pada jumlah yang sebenarnya karena penambahan bobot yang belum dinormalisasi akan menyebabkan jumlah responden yang dianalisis meningkat berkali-kali lipat. Setelah itu analisis univariat, bivariat, dan multivariat dilakukan 7 Hubungan usia..., Ahmad Junaedi, FKM UI, 2013.
dengan complex sample karena teknik pengambilan sampel SDKI tahun 2007 bukan SRS. Dalam proses analisis dengan complex sample, bobot yang digunakan adalah bobot yang sudah dinormalisasi, cluster sampling dan strata yang digunakan adalah Primary Sampling Unit (PSU) dan provinsi yang sudah tersedia pada row data sekunder.
Hasil Tabel 1 menunjukkan bahwa besarnya proporsi perempuan yang menjadi responden SDKI tahun 2007 hampir sama pada kategorik perkawinan usia tidak ideal (< 20 tahun) dan perkawinan usia ideal (> 20 tahun) (56,9%) dan (43,1%). Sebagian besar perempuan pernah kawin berpengetahuan kurang baik (83,2%), bersikap kurang baik (94,8%), berpraktek kurang baik (93,3%) dan keluaran kesehatan reproduksinya kurang baik (76,3%).
Tabel 1. Gambaran Usia Kawin Pertama, PSP, dan Keluaran Kesehatan Reproduksi Perempuan Pernah Kawin di Indonesia SDKI Tahun 2007 Variabel
Frekuensi
Usia Kawin Pertama -‐ Tidak Ideal (< 20 tahun) -‐ Ideal (> 20 tahun)
16278 12318
Pengetahuan -‐ Baik -‐ Kurang
Persentase 56,9% 43,1%
4811,493 23784,653
16,8% 83,2%
Baik Kurang
1490,421 27105,725
5,2% 94,8%
Praktek -‐ Baik -‐ Kurang
1917,811 26678,335
6,7% 93,3%
6770,909 21825,237
76,3% 23,7%
Sikap -‐ -‐
Keluaran Kesehatan Reproduksi -‐ Kurang Baik -‐ Baik Total
28596,146
100%
Tabel 2. Analisis Hubungan Usia Kawin Pertama dan PSP Terhadap Keluaran Kesehatan Reproduksi Variabel Usia Kawin Pertama
p value 0,0005*
OR (95% CI) 1878 (1,723 - 2,046)
8 Hubungan usia..., Ahmad Junaedi, FKM UI, 2013.
Pengetahuan Sikap Praktek
0,0005* 0,0005* 0,0005*
1,496 (1,356 - 1,652) 3,858 (3,296 - 4,516) 8,498 (7,177 - 10,064)
Tabel 3. Analisis Hubungan Asosiasi Sederhana Komponen Dimensi Fisik dan Sosial Keluaran Kesehatan Reproduksi Dimensi Fisik Jumlah Anak Yang Pernah Dilahirkan Anak Yang Meninggal Tiga atau Lebih Anak Yang Dimiliki Riwayat Keguguran dan Lahir Mati Penggunaan Kontrasepsi Saat Ini Berat Badan Bayi Lahir Rendah Masalah Kelahiran dan Komplikasi Kehamilan Kehamilan Yang Tidak Diinginkan Dimensi Sosial Status Tempat Tinggal Suami Kepedulian Suami Terhadap Haid, Hamil, Melahirkan Sikap Suami Terhadap Kontrasepsi/KB Mengerti Hak Pasangan Suami dan Istri Pengambilan Keputusan dalam Keluarga Diskusi HIV Suami dan Istri
Usia Kawin Pertama OR (95% CI) p value 2,145 (1,973 - 2,332) 0,0005* 2,702 (2,380 - 3,067) 0,0005* 2,039 (1,876 - 2,218) 0,0005* 0,956 (0,858 - 1,065) 0,417 1,006(0,927 - 1,091) 0,894 1,298 (1,010 - 1,669) 0,041* 0,864 (0,738 - 1,011) 0,0005* 2,478 (1,078 - 5,649) 0,026* 0,068 0,0005* 0,428 0,032* 0,0005* 0,0005*
0,857 (0,726 - 1,012) 1,651 (1,513 - 1,802) 1,181 (0,782 - 1,784) 1,173 (1,014 - 1,357) 1,276 (1,150 - 1,416) 2,386 (2,151 - 2,647)
Diskusi Hubungan Usia Kawin Pertama Terhadap Keluaran kesehatan reproduksi Berdasarkan Tabel 2, adanya hubungan yang signifikan antara usia kawin pertama terhadap keluaran kesehatan reproduksi dimana usia kawin pertama yang ideal akan menghasilkan keluaran kesehatan reproduksi yang baik begitu pula dengan PSP yang baik akan menghasilkan keluaran kesehatan reproduksi yang baik pula. Usia kawin pertama yang lebih tinggi cenderung menghasilkan keluaran kesehatan reproduksi yang baik hal ini terjelaskan dalam hubungan usia kawin pertama dengan masing-masing komponen dari dimensi fisik dan sosial dari keluaran kesehatan reproduksi. Seperti yang dijelaskan dibawah ini. Perempuan yang kawin tidak ideal pada usia kurang dari 20 tahun memiliki resiko yang lebih tinggi untuk memiliki jumlah anak yang pernah dilahirkan lebih dari dua. Pada penelitian sebelumnya disebutkan bahwa perempuan yang kawin pertama pada usia muda mempunyai masa resiko terhadap kehamilan yang lebih lama daripada perempuan yang usia kawin pertamanya lebih tua. Dengan demikian perbedaan paritas ditentukan oleh panjang 9 Hubungan usia..., Ahmad Junaedi, FKM UI, 2013.
pendeknya masa resiko terhadap kehamilan (Ananta dalam Malinda, 2012). Penelitian lain yang menggunakan Sensus Penduduk 1980 menunjukkan hasilnya bahwa hubungan umur kawin dengan paritas memang negatif (Adietomo dalam Malinda, 2012). Artinya semakin dewasa seseorang menikah maka semakin sedikit paritasnya. Kematian anak dalam penelitian ini tidak disebutkan penyebabnya sehingga sulit untuk dilakukan tinjauan lebih jauh. Bila kematian anak yang pernah terjadi pada responden diasumsikan saat kelahiran atau saat anak masih dalam masa pertumbuhan bayi menjadi balita, maka hasil penelitian ini yang menyatakan bahwa perempuan yang kawin tidak ideal pada usia kurang dari 20 tahun memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami kematian pada anaknya dibanding yang kawin pada usia ideal, sejalan dengan penelitian lainnya bahwa 14% bayi yang lahir dari ibu usia remaja dibawah 17 tahun adalah prematur. Anatomi panggul yang masih dalam pertumbuhan berisiko untuk terjadinya persalinan lama sehingga meningkatkan angka kematian bayi dan kematian neonatus (Fadhlyana dan Larasati, 2009). Usia kawin pertama dengan tiga anak atau lebih yang menggambarkan tingkat fertilitas pun berhubungan, hasil penelitian ini adalah perempuan yang kawin tidak ideal pada usia kurang dari 20 tahun memiliki resiko yang lebih tinggi untuk memiliki tiga anak atau lebih dibanding yang kawin pada usia ideal. Kepemilikan tiga anak atau lebih yang masih hidup menandakan fertilitas yang tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian di desa Kendalsari yang menyatakan bahwa ada hubungan yang terkait antara tingkat pendidikan, usia kawin dan persepsi nilai anak memiliki hubungan negatif terkait dengan fertilitas (jumlah anak) (Astuti, 2010). Semakin muda seorang perempuan kawin maka rentang masa suburnya semakin panjang dan kesempatan untuk melahirkan anak pun semakin besar. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian di Nigeria yang menyatakan perkawinan anak berhubungan dengan fertilitas yang tinggi (Godha, Gage, dan Hotchkiss, 2012). Tidak ada perbedaan atau perempuan yang kawin tidak ideal pada usia kurang dari 20 tahun memiliki resiko yang sama untuk mengalami keguguran dibanding yang kawin pada usia ideal, simpulannya tidak ada hubungan yang signifikan. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyebutkan pada perkawinan di usia 15 tahun atau lebih berhubungan dengan peningkatan kemungkinan keguguran untuk kelahiran kedua dan ketiga dan pada interval kelahiran terbuka, meskipun itu tidak berhubungan dengan keguguran sebelum kelahiran hidup pertama. Dalam penelitian tersebut diyakini bahwa kehamilan yang tidak diinginkan dan keinginan menjarakkan anak lebih berhubungan daripada usia kawin pertama untuk keguguran pada kehamilan kedua dan ketiga. (Pallikadavath dan Stones, 2006) 10 Hubungan usia..., Ahmad Junaedi, FKM UI, 2013.
Hasil penelitian ini menunjukkan perempuan yang kawin tidak ideal pada usia kurang dari 20 tahun memiliki resiko yang sama untuk memakai kontrasepsi/KB dibanding yang kawin pada usia ideal. Hasil penelitian ini yang berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan adanya hubungan (Khouangvichit, 2002) peneliti berasumsi bahwa ada keberhasilan dalam peningkatan penggunaan kontrasepsi di kalangan wanita yang sudah pernah menikah, sehingga proporsi penggunaan kontrasepsi saat ini antara yang kawin tidak ideal dan ideal sama. Memang benar adanya, ditemukan bahwa hasil SDKI 1987 dan 2007 menunjukkan bahwa prevalensi KB di kalangan PUS muda terus meningkat: 25,3% untuk PUS 15-19 tahun dan 47,2% untuk PUS 20-24 tahun pada tahun 1987 menjadi 46,8% untuk PUS 15-19 tahun dan 61,5% untuk PUS 20-24 tahun pada tahun 2007 (Puslitbang KB dan KS BKKBN, 2009). Salah satu resiko perkawinan tidak ideal adalah melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi yang rendah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian bahwa perempuan yang kawin tidak ideal pada usia kurang dari 20 tahun memiliki resiko yang lebih tinggi untuk melahirkan bayi dengan status BBLR dibanding yang kawin pada usia ideal. Hal ini selaras dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa ada hubungan antara kehamilan remaja dan BBLR dengan risk relativenya 5,1 untuk BBLR. (Setiawan dan Dasuki, 1995). Penelitian ini juga sejalan lainnya juga yang menyebutkan bayi yang lahir dengan status BBLR merupakan dampak dari perkawinan muda (Ferianto, 2010). Kejadian BBLR ternyata berkolerasi dengan usia ibu. Persentase BBLR yang tinggi salah satunya terdapat pada kelompok usia kurang dari 20 tahun yang seringkali secara emosional dan fisik belum matang, selain pendidikan pada umumnya rendah, juga masih tergantung pada orang lain. Hal ini terjadi karena belum maturnya dan belum memiliki sistem transfer plasenta seefisien wanita dewasa. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa perempuan yang kawin tidak ideal pada usia kurang dari 20 tahun memiliki resiko yang sama untuk mengalami masalah kelahiran dan komplikasi kehamilan dibanding yang kawin pada usia ideal. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya menerangkan bahwa usia ibu saat melahirkan tidak ada hubungan dengan kejadian komplikasi kelahiran (Saragih, 2006). Penelitian lainnya menggunakan data Sukernas dan SKRT Tahun 2001, juga menghasilkan kesimpulan bahwa usia ibu tidak berhubungan dengan masalah kehamilan dan komplikasi kelahiran (Sulistiyowati dan Senewe, 2004). Masih ada hal lain yang lebih berpengaruh untuk terjadinya komplikasi persalinan yaitu kualitas layanan antenatal setelah dikontrol oleh jarak kelahiran (Saragih, 2006). 11 Hubungan usia..., Ahmad Junaedi, FKM UI, 2013.
Hasil penelitian menyebutkan bahwa perempuan yang kawin tidak ideal pada usia kurang dari 20 tahun memiliki resiko yang lebih tinggi untuk kehamilan yang tidak diinginkan dibanding yang kawin pada usia ideal. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa usia kawin pertama merupakan bagian yang penting dalam menurunkan kehamilan yang tidak diinginkan. Disebutkan bahwa penambahan tiap satu tahun dari usia kawin pertama menurunkan 6% likehood dari kehamilan tidak diinginkan. Artinya dengan menunda usia perkawinan maka kehamilan tidak diinginkan pun memungkinkan untuk tidak terjadi (Adhikari, 2005). Penelitian lain menegaskan bahwa usia kawin pertama mengindikasi kunci prediktor kehamilan yang tidak diinginkan (Adhikari, 2009). Penelitian lain juga mendukung dengan hasil penelitian perbedaan proporsi jumlah kehamilan yang tidak diinginkan antara perkawinan dewasa dan anak (Kamal, 2012). Status tempat tinggal suami istri ternyata tidak berhubungan dengan usia kawin pertama, menurut hasil penelitian ini disebutkan bahwa perempuan yang kawin tidak ideal pada usia kurang dari 20 tahun memiliki resiko hampir sama dengan yang kawin usia ideal untuk status tempat tinggal suami. Sejalan dengan teori bahwa faktor yang mempengaruhinya yaitu faktor ekonomi ketidaksediaannya lapangan pekerjaan, faktor pekerjaan yang merupakan kebijakan dari tempat bekerja, dan faktor pendidikan yang harus dilanjutkan di tempat lain (Eliyani, 2013). Hasil penelitian ini menyatakan bahwa perempuan yang kawin tidak ideal pada usia kurang dari 20 tahun memiliki resiko lebih tinggi untuk suami yang kurang peduli terhadap haid dan kelahiran dibandingkan yang kawin usia ideal. Kepedulian terhadap haid dan kelahiran salah satunya dilihat dari sikap suami terhadap pendampingan kelahiran istri. Sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, pengetahuan, umur dan pendidikan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi peran pendamping persalinan (Hamilton dalam Indrianingrum, 2010). Selain itu apabila pasangan tidak ideal menghadapi posisi dimana istri akan melahirkan, kadang suami yang masih muda tidak memiliki keberanian mendampingi sang istri untuk melahirkan dikarenakan pengalaman yang belum banyak di umur yang masih muda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan yang kawin tidak ideal pada usia kurang dari 20 tahun memiliki resiko yang hampir sama untuk sikap suami terhadap kontrasepsi dibandingkan yang kawin usia ideal. Hasil penelitian ini sejalan dengan analisis data lanjut SDKI tahun 2007 yang menyatakan bahwa sikap terhadap KB di kalangan suami dari perempuan kawin usia 15-24 tahun sangat positif. 93,5% dari perempuan kawin usia 1524 tahun menyatakan bahwa suami mereka setuju KB (Puslitbang KB dan KS BKKBN, 12 Hubungan usia..., Ahmad Junaedi, FKM UI, 2013.
2009). Artinya hampir sama perempuan antara 15 sampai 19 tahun dan 20 sampai 24 tahun mengenai sikap suami terhadap kontrasepsi. Artinya sikap suami terhadap KB masih rendah baik ketika kawin tidak ideal maupun pada usia yang sudah seharusnya menikah. Meningkatnya usia kawin pertama mengurangi resiko perempuan untuk mengalami kekerasan seksual, fisik, psikologikal hingga ekonomi (Hervish dan Jacobs, 2011). Dalam penelitian ini disebutkan bahwa perempuan yang kawin tidak ideal pada usia kurang dari 20 tahun memiliki resiko lebih tinggi untuk tidak mengerti hak pasangan suami istri dibandingkan yang kawin usia ideal. Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan dalam penelitian Kamban, dkk, 2011, pasangan suami istri yang telah melangsungkan perkawinan di usia muda tidak bisa memenuhi atau tidak mengetahui hak dan kewajibannya sebagai suami istri. Hal tersebut timbul dikarenakan belum matangnya fisik maupun mental mereka yang cenderung keduanya memiliki sifat keegoisan yang tinggi. Perkawinan usia muda akan menimbulkan berbagai masalah dalam rumah-tangga seperti pertengkaran, percekcokan, bentrokan antar suami-istri yang dapat mengakibatkan perceraian. Artinya sebagai pasangan muda mereka masih belum mengerti apa yang bisa ditolak atau bisa dilaporkan oleh istri terhadap apa yang dilakukan oleh suami. Penelitian yang sejalan dengan temuan ini adalah perbedaan pada perkawinan di usia 18 tahun atau lebih dengan di bawah 18 tahun yaitu istri menolak saat dipukul masing-masing 47% dan 36% di India. (K. G. Santhya et al, 2010). Hasil analisis didapatkan perempuan yang kawin tidak ideal pada usia kurang dari 20 tahun memiliki resiko lebih tinggi untuk tidak bersama dalam pengambilan keputusan keluarga dibandingkan dengan yang kawin usia ideal. Pengambilan keputusan yang tidak bersama ini cukup berbahaya apabila keputusan yang diambil beresiko baik bagi dirinya maupun orang lain. Remaja yang dibawah 21 tahun dalam pengambilan keputusan sering mengutamakan emosi (Astuti, 2010). Mengutamakan emosi yang ada dalam dirinya ini cenderung keputusan yang diambil bersifat individu, tidak berdiskusi untuk membicarakan dengan orang lain, dalam hal ini suaminya. Penelitian lain yang sejalan dengan hasil penelitian ini ditemukan bahwa selisih umur suami dengan istri mempunyai hubungan yang negatif dengan pengambilan keputusan rumah tangga, artinya semakin jauh selisih umur suami dengan istri maka semakin rendah kesetaraan dalam pengambilan keputusan, dalam arti lain semakin tingginya dominasi dari salah satu pihak (Hidayati, 2012). Penelitian lain yang mendukung penelitian ini menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menentukan peranan wanita dalam pengambilan keputusan rumah tangga adalah pendidikan istri, pendapatan istri,
13 Hubungan usia..., Ahmad Junaedi, FKM UI, 2013.
pendapatan rumah tangga, usia kawin pertama istri, selisih umur suami dan istri (Estelita, 1999). Analisis hubungan antara adanya diskusi HIV antara suami istri dengan usia kawin pertama menyatakan perempuan yang kawin tidak ideal pada usia kurang dari 20 tahun memiliki resiko lebih tinggi untuk tidak ada diskusi HIV antara suami dan istri dibandingkan dengan yang kawin usia ideal. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa semakin dewasa usia saat kawin berhubungan positif dengan pernah mendiskusikan HIV dengan suami (Erulkar, 2013). Sangat dianjurkan untuk berdiskusi mengenai HIV/AIDS antara suami istri untuk pencegahan agar tidak terkena HIV ataupun apabila sudah terkena, untuk pencegahan dan pengobatan lebih lanjut. Usia Kawin Pertama sebagai Faktor Resiko dengan Sikap dan Praktek sebagai Konfounding Pemilihan usia kawin pertama yang dijadikan salah satu cara menekan jumlah penduduk dirasa sudah benar karena memang usia kawin pertama berpengaruh pada keluaran kesehatan reproduksi yang berkontribusi dalam pertumbuhan penduduk. Hal ini terbukti bahwa lebih dari 30% anak perempuan di negara berkembang kawin sebelum usia 18 tahun, sekitar 14% terjadi sebelum usia 15 tahun. Perkawinan dini (Early Marriage) merupakan faktor risiko untuk kehamilan lebih awal dan keluaran kesehatan reproduksi yang buruk. Di samping itu, perkawinan di usia muda memperkuat pada siklus pendidikan rendah dan kemiskinan (WHO, 2012). Penelitian lain juga disebutkan bahwa pernikahan anak sebagai faktor risiko untuk keluaran kesehatan reproduksi yang buruk dan rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu setelah dikontrol oleh variabel komposit pemberdayaan dan komposit karakteristik latar belakang (Ghoda, dkk, 2012). Menunda kehamilan bisa dilakukan dengan memberikan jalan yang lebar untuk perempuan melanjutkan pendidikan oleh karena itu, dibutuhkan kebijaksanaan dari Kementrian Pendidikan untuk memberikan akses yang lebih mudah kepada perempuan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi salah satunya dengan memberikan beasiswa khusus perempuan, membebaskan biaya pendidikan, dan lainnya. Dari hasil analisis multivariat regresi logistik faktor resiko yang telah dilakukan dalam penelitian ini, diperoleh informasi bahwa usia kawin pertama merupakan faktor resiko terjadinya keluaran kesehatan reproduksi dimana perempuan yang usia kawin pertama ideal (> 20 tahun) beresiko 1,716 kali lebih besar untuk menghasilkan keluaran kesehatan reproduksi yang baik dibandingkan perempuan yang usia kawin pertama tidak ideal (< 20 tahun) setelah dikontrol oleh variabel sikap, dan praktek perempuan pernah kawin. Artinya 14 Hubungan usia..., Ahmad Junaedi, FKM UI, 2013.
tak hanya variabel usia kawin pertama saja yang menjadi faktor resiko yang menentukan kualitas dari keluaran kesehatan reproduksi, melainkan ada pengaruh sikap dan praktek perempuan pernah kawin. Satu teori umum yang menyebutkan bahwa pengetahuan dibutuhkan untuk mempengaruhi sikap yang nantikan akan menyebabkan perubahan perilaku kesehatan. Namun, model lain menyebutkan bahwa ada jalur yang lebih kompleks dalam menyebabkan perilaku kesehatan. (Miller, et. al., dalam Peadon et. al., 2010). Perilaku seseorang bersifat kompleks dan unik, terdapat banyak variabel yang mempengaruhi perilaku seseorang. Pengalaman, kondisi seseorang, termasuk gejala jiwa (perhatian, pengamatan, pikiran, ingatan, dan fantasi) dapat mempengaruhi perilaku seseorang. (Maulana, 2009). Peningkatan pengetahuan tidak selalu menyebabkan perubahan perilaku, namun hubungan positif keduanya terlah diperlihatkan dari karya terdahulu dan beberapa penelitian saat ini. Pengetahuan merupakan faktor penting namun tidak memadai dalam perubahan perilaku kesehatan, masih ada keyakinan, nilai, dan sikap. (Mamdy, Tafal, dan Kresno, 1980). Faktor keyakinan yang normatif menurut teori reason action membentuk suatu norma subjektif yang mempengaruhi perilaku. Selain itu sikap yang dibentuk dari keyakinan terhadap perilaku bersama dengan norma subjektif tadi mempengaruhi niat untuk melakukan tindakan tertentu (Ajzen dalam Hasyim, 2011). Jadi, pengaruh pengetahuan bisa menjadi lebih kecil terhadap sikap dan praktek untuk menyebabkan perubahan perilaku dikarenakan masih ada faktor lainnya sehingga walaupun dia tahu mengenai suatu perilaku belum tentu disetujui karena masih adanya norma dan kepercayaan yang bisa saja bertentangan maupun lingkungan yang tidak mendukung. Sikap merupakan suatu reaksi yang masih bersifat tertutup terhadap suatu stimulus atau objek sehingga sikap mendahului tindakan atau ancang-ancang untuk berperilaku yang terbuka. Dalam penelitian ini berarti untuk berperilaku menghasilkan keluaran kesehatan reproduksi yang baik atau buruk, didahului oleh sikap terhadap keluaran kesehatan reproduksi tersebut. Sikap yang dilakukan seseorang tidak selalu sama sejak dilahirkan, namun sikap bisa dipelajari dan sifatnya bisa berubah-ubah sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar dan keterpaparan informasi. Pada tingkatan sikap, dimana seseorang menerima, merespon, menghargai, dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipilihnya dan bersiap menerima resikonya. Untuk melakukan hal-hal tersebut, sikap seseorang dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan agama serta faktor emosional. Beberapa faktor tersebutlah yang membentuk sikapnya buruk atau baik terhadap suatu objek. Dalam hal ini 15 Hubungan usia..., Ahmad Junaedi, FKM UI, 2013.
untuk menghasilkan keluaran kesehatan reproduksi yang baik, diperlukan sikap yang baik, dan hal-hal yang mempengaruhi sikap tersebut harus baik pula. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya tak hanya fokus pada usia kawin pertama saja, tetapi bisa memperhatikan dari sisi pembentukan sikap perempuan sejak tidak ideal. Terbukti secara statistik dalam penelitian ini bahwa sikap perempuan pernah menikah mempengaruhi usia kawin pertama untuk menghasilkan keluaran kesehatan reproduksi yang baik. Hal yang memperkuat pengaruh sikap terhadap keluaran kesehatan reproduksi adalah hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa sikap berhubungan dengan pemakaian alat kontrasepsi (Tatarini dalam Dwiyanti, 2009). Selain itu, hasil penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa sikap yang kurang baik terhadap pelayanan antenatal akan berisiko 1,77 kali lebih tinggi melahirkan BBLR (Istiarti, 1999). Tindakan/praktik atau praktek merupakan suatu sikap optimis yang terwujud dalam tindakan, yang dalam proses mewujudkannya dibutuhkan sebuah fasilitas. Tingkatan dalam tindakan ini bisa berupa responsi terpimpin, mekanisme, dan adopsi. Dalam hal ini tindakan perempuan pernah kawin artinya suatu sikap perempuan pernah kawin atas respon yang diberikan kemudian diwujudkan dalam bentuk tindakan melalui sebuah fasilitas yang hasilnya bisa berupa tingkatan tindakan tadi yang akan menghasilkan keluaran kesehatan reproduksi. Hal ini sejalan dengan analisis bahwa keluaran kesehatan reproduksi lainnya yaitu mengerti hak pasangan suami dan istri, dimana sang istri diharapkan tahu apakah hal yang terjadi pada dirinya dan apa yang harus dilakukan. Misalnya ketika suami melakukan tindakan kekerasan dengan alasan apapun, sang istri harus segera bertindak yang benar. Karena suami dilarang untuk memukul sang istri dengan alasan apapun dalam Undang-Undang No 23/2004. Sehingga akan ada pengaruh dari tindakan istri yang baik yang dilakukan untuk menghasilkan pemahaman yang benar pula mengenai apa yang akan dan harus dilakukan, dengan bercerita ke orang terdekat, melaporkan ke pihak yang berwajib, tidak hanya diam karena ketakutan. Tentunya tindakan tersebut tidak serta merta muncul melainkan ada fasilitas yang menyebabkan tindakan tersebut terjadi. Fasilitas bisa berupa dorongan dari dalam diri sendiri karena tertekan, informasi yang pernah didapatkan, maupun dari sikap yang muncul dari stimulus yang diberikan. Hal lainnya yaitu ketika perempuan mengalami komplikasi kehamilan, masalah kelahiran, keguguran, atau kejadian BBLR dengan tindakan yang baik maka kejadian tersebut tidak akan terjadi, bisa memilih mana cara yang benar dengan berbagai tingkatan tindakan. Tingkatan respons terpimpin, perempuan sudah tahu secara benar langkah-langkah dan sesuai contoh, dalam hal ini mungkin informasi yang diberikan 16 Hubungan usia..., Ahmad Junaedi, FKM UI, 2013.
oleh bidan, mengenai apa saja yang harus dilakukan oleh ibu hamil untuk mencegah masalah kelahiran. Tingkatan mekanisme sudah diharapkan menjadi kebiasaan yang benar misalnya dengan terbiasa memerikasakan kehamilan tiap bulan dan tingkatan yang terakhir adopsi, dimana bisa memodifikasi tanpa menghilangkan esensi kebenaran dari suatu tindakan, ketika mulai merasakan hal-hal yang aneh dalam kehamilannya tanpa menunggu waktu yang biasanya dilakukan pemeriksaan, perempuan tersebut sudah berinisiatif segera memeriksakan kehamilannya. Pemerintah dalam hal ini BKKBN, dalam mencapai target pemerintah Indonesia untuk menekan pertumbuhan penduduk melalui program-program yang ada seperti program Keluarga Berencana (KB) untuk pasangan usia subur, Generasi Berencana (Genre) untuk remaja, dan lainnya. Salah satu tujuan program Genre yang ada dalam program KB adalah Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) yang implikasinya diharapkan meningkatnya usia kawin pertama. Program Genre ini difokuskan pada remaja dan mahasiswa melalui Pusat Informasi Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK KRR) yang terbagi menjadi PIK Remaja, dan PIK Mahasiswa. Pada program Genre melalui komunikasi, edukasi dan informasi tak hanya menunda perkawinan saja, melainkan juga mencegah serta menjarangkan kehamilan. Hal ini dirasa sudah benar karena ada hal-hal lain yang berpengaruh terhadap keluaran kesehatan reproduksi yang tidak hanya usia kawin pertama saja. Media yang digunakan oleh BKKBN untuk menyalurkan informasi pun sudah baik tak hanya dari PIK KRR di sekolah atau di universitas, melalui situs “CERIA (Cerita Remaja Indonesia)” yang cukup interaktif. Berdasarkan laporan sementara SDKI tahun 2012, remaja sering mengakses televise, dilanjutkan dengan radio dan yang paling rendah melalui media massa (koran atau majalah). BKKBN dirasa sudah tepat mengeluarkan media promosi iklan di televisi untuk program Genre ini. Menurut situs merdeka.com, 2012, pengguna jejaring sosial facebook dan twitter Indonesia merupakan ke empat terbesar di dunia. Hal ini bisa menjadi peluang bagi BKKBN untuk menyalurkan informasi terkait program Genre. Selain BKKBN, Kementrian Kesehatan pun memiliki Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) yang memberikan pelayanan kesehatan remaja berupa konseling, maupun pemeriksaan kesehatan salah satunya mengenai kesehatan reproduksi remaja baik di fasilitas kesehatan maupun di sekolah. Sedangkan bagi pasangan yang sudah kawin KIE mengenai kesehatan reproduksi bisa melalui peran Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PLKB). PLKB punya peranan yang sangat penting dalam melaksanakan Program KB di lapangan. Fungsi PLKB mendekatkan kepada masyarakat untuk memberikan pelayanan serta mengajak, mengayomi dan 17 Hubungan usia..., Ahmad Junaedi, FKM UI, 2013.
memotivasi setiap keluarga untuk ikut program KB. Keberhasilan pelaksanaan program KB Nasional selama ini tidak terlepas dari peranan petugas PLKB. Keberhasilan PLKB dalam melaksanakan tugasnya harus didukung oleh kemampuan mereka dalam penguasaan program KB terutama dalam menghadapi lingkungan yang terus berubah (BKKBN dalam Joniwar dan Heriyanto, 2010). Saat ini BKKBN Propinsi tidak lagi mempunyai hubungan keorganisasian dengan pengelola program KB tingkat kabupaten/kota. Sebagai konsekuensi dari tuntutan perubahan tersebut, penyiapan SDM pengelola program KB Nasional di semua linipun harus mampu memposisikan diri sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan, agar dapat memenuhi tuntutan kebutuhan program KB (Joniwar dan Heriyanto, 2010). Oleh karena itu, penting mempersiapkan SDM dengan matang untuk tenaga PLKB di masa sekarang dengan kondisi keorganisasian yang berbeda.
Kesimpulan Lebih dari sebagian perempuan Indonesia kawin pada usia tidak ideal (< 20 tahun) (56,9%) dan lebih dari 1/3 nya memiliki keluaran reproduksi kesehatan yang kurang baik (76,3%). Terdapat hubungan yang bermakna secara signifikan antara usia kawin pertama dengan keluaran kesehatan reproduksi secara keseluruhan. Perempuan dengan usia kawin pertama yang tidak ideal (< 20 tahun) cenderung menghasilkan keluaran kesehatan reproduksi yang kurang baik. Pada penelitian ini ditemukan bahwa adanya peran sikap dan praktek dalam hubungan usia kawin pertama terhadap keluaran kesehatan reproduksi yang menjadi variabel perancu yang mengganggu hubungan usia kawin pertama dengan keluaran kesehatan reproduksi.
Saran Perlu ditingkatkan tindakan pencegahan dengan program KB tidak hanya pada pasangan yang sudah menikah saja melainkan pada pasangan yang belum menikah. Selain itu mengadvokasi pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan Nasional untuk memudahkan akses pendidikan hingga jenjang sarjana dan menambahkan dalam kurikulum pendidikan dari tingkat dasar hingga tingkat sarjana mengenai kesehatan reproduksi remaja yang tiap jenjang pendidikannya berkesinambungan. Adanya kerjasama dan integrasi antara Kementrian 18 Hubungan usia..., Ahmad Junaedi, FKM UI, 2013.
Kesehatan dengan BKKBN yang sama-sama memiliki program dan pelayanan untuk remaja. Mengintervensi kelompok belum kawin bisa dilakukan di fasilitas pendidikan dengan melakukan pendekatan pada ekstrakulikuler/Unit Kegiatan Mahasiswa dengan melakukan kerja sama untuk mendukung kegiatan mereka sambil menyisipkan materi-materi mengenai kesehatan reproduksi remaja, KB, promosi program dan kegiatan Genre melalui PIK Remaja maupun PIK Mahasiswa, dan lainnya. Mengintervensi kelompok yang sudah kawin dilakukan dengan persiapan SDM untuk PLKB dan menghidupkan kembali kejayaan PLKB di daerahdaerah dengan konsep yang baru yang tidak menghilangkan inti sarinya yaitu memberdayakan masyarakat. Penyebarluasan informasi mengenai kesehatan reproduksi, KB, dan lainnya melalui berbagai macam cara. Hal yang saat ini sedang berkembang dalam hal penyebarluasan informasi adalah melalui jejaring sosial/social media seperti twitter maupun facebook. Memanfaatkan peluang tersebut dapat dilakukan komunikasi, edukasi, dan informasi mengenai kesehatan reproduksi, KB, dan lainnya dengan kultwit, games berhadiah, tanya jawab, dan lainnya yang interaktif dengan masyarakat.
Kepustakaan Adhikari, Ramesh. (2005). Determinants of Unintended pregnancy among currently pregnant married women in Nepal. Faculty Of Graduate Studies Mahidol University. Astuti, Doti Widi. (2010). Pengaruh Tingkat Pendidikan, Usia Kawin, dan Persepsi Nilai Anak Terhadap Fertilitas (Jumlah Anak) Pasangan Usia Subur (PUS) Desa Kendalsari Kecamatan Petarukan Kabupaten Pemalang Tahun 2010. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (2012). Kajian Pernikahan Dini Pada Beberapa Provinsi Di Indonesia: Dampak Overpopulation, Akar Masalah Dan Peran Kelembagaan Di Daerah. Jakarta: Pokja Analisis Dampak Sosial Ekonomi Terhadap Kependudukan Direktorat Dampak Penduduk BKKBN. Dwiyana, Desy Yoga (2005). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Usia Perkawinan Pertama Perempuan Di Kelurahan Ratujaya Kecamatan Pancoran Mas Depok Jawa Barat Tahun 2005. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok. Eliyani, Eka Rahmah (2013). Keterbukaan Komunikasi Interpersonal Pasangan Suami Istri Yang Berjauhan Tempat Tinggal. eJournal Ilmu Komunikasi, 1 (2): 85-94. May 28, 2013. Erulkar, Annabel. (2013, March). Early Marriage, Marital Relations and Intimate Partner Violence in Ethiopia. International Perspectives on Sexual and Reproductive Health, 39 (1). May 29, 2013. Estelita, Etna. (1999). Peranan wanita dalam pengambilan keputusan rumah tangga pada masyarakat Minangkabau yang sedang mengalami perubahan sosial di Kecamatan Kuranji Kotamadya Padang Propinsi Sumatera Barat. Universitas Gajah Mada. Ferianto, Kusno. (2010). Hubungan Tingkat Pendapatan Keluarga Dengan Pernikahan Usia Muda Di Desa Ngepon Kecamatan Jatirogo. Prodi DIII Kebidanan STIKES NU Tuban. Journal Stikesnu, May 28, 2013. Godha, Deepali, Gage, Anastasia J., & Hotchkiss, David. (2012). Association between Child Marriage and Reproductive Health Outcomes: A Multi-Country Study of Sub-Saharan Africa. New Orleans: Tulane University School of Public Health. Journal of Adolescent Health, 52. May 22, 2013. Hasyim M (2011). Teori Tindakan Beralasan Dan Teori Perilaku Rencanaan Dalam Pengadopsian Sistem Teknologi Informasi. June 29, 2013. Hervish, Alexandra, Jacobs, Charlotte Feldman. (2011). Policy Brief: Who Speak For Me? Ending Child Marriage. Population Reference Bureau. May 28, 2013.
19 Hubungan usia..., Ahmad Junaedi, FKM UI, 2013.
Hidayati, Inayah. (2012). Peran Suami dan Istri Dalam Pengambilan Keputusan Di Rumah Tangga. May 28, 2013. Hurlock, E. B (1994). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga Indrianingrum, Rohdiana Dwi. (2010). Hubungan Keteraturan Antenatal Care (Anc) Dan Dukungan Suami Dengan Lama Persalinan Pada Primipara Di BPS Juwana. Universitas Muhammadiyah Semarang. Istiarti, Tinuk. (1991). Pengetahuan, sikap dan praktek ibu hamil terhadap pelayanan antenatal, dan hubungannya dengan bayi berat lahir rendah (BBLR). Universitas Gajah Mada. Joniwar dan Heriyanto, Meyzi. (November, 2012). Analisis Efektifitas KInerja Penyuluh Lapangan. Jurnal Administrasi Pembangunan, 1(1):1-100. July 14, 2013. K.G. Santhya et al., (2010, September). Associations Between Early Marriage and Young Women’s Marital and Reproductive Health Outcomes: Evidence From India. International Perspectives on Sexual and Reproductive Health, 36(3): 132-39. May 28, 2013. Kamal, Mostafa S. M. (2012, September). Decline in Child Marriage and Changes in Its Effect on Reproductive Outcomes in Bangladesh. Bangladesh: Department of Mathematics, Islamic University. J Health Popul Nutr, 30(3):317-330. January 17, 2013. Kamban, et al., (2011). Perkawinan Usia Muda (Studi Kasus Di Desa Sapan, Kecamatan Pana, Kabupaten Mamasa). Universitas Hassanudin. Khouangvichit, Damdouane. (2002). Factors Affecting Contraceptive Use Among Married Women In Reproductive Age In Lao Pdr. August 22, 2002. Faculty of Graduate Studies, Mahidol University. Laporan Pendahuluan SDKI tahun 2012 Laporan Riskesdas 2010 Laporan SDKI 2007 Maulana, Heri D.J. (2009). Promosi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Malinda, Yoni. (2012). Hubungan Umur Kawin Pertama dan Penggunaan Kontrasepsi dengan Fertilitas Remaja Berstatus Kawin Usia 15-19 Tahun (Analisis Data Riskesdas 2010). Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok. Mamdy, Zulazmi, Tafal, Zafriel, dan Kresno, Sudarti. (1980). Perencanaan Pendidikan Kesehatan Sebuah Pendekatan Diagnostik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Manuaba, Ida Bagus Gde (1998). Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta: Perebit Arcan. Maryatun (2007). Bahaya Kehamilan Pada Perkawinan Usia Muda. Surakarta: Stikes Aisyiyah Surakarta. Notoatmodjo, Soekidjo (2012). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nugraheni. Perilaku Remaja Hubungannya Dengan Pendewasaan Perkawinan. Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan BKKBN. Desember 2011. Pallikadavath, S., & Stones RW. (2006, September). Maternal and social factors associated with abortion in India: a population-based study. Centre for AIDS Research, University of Southampton, United Kingdom. International Family Planning Perspectives, 32(3):120–125. May 27, 2013. Peadon, et. al. (2010). Women’s knowledge and attitudes regarding alcohol consumption in pregnancy: a national survey. BMC Public Health, 10:510. June 29, 2013. Pusat Penelitian dan Pengembangan KB dan Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (2009). Analisis Lanjut SDKI 2007: Pengetahuan. Sikap, dan Perilaku ber KB Pasangan Usia Subur Muda di Indonesia. May 28, 2013. Saragih, Esriani. (2006). Hubungan Kualitas Layanan Antenatal dengan Kejadian Komplikasi Persalinan (Analisis Data SDKI Tahun 2002-2003). Tesis Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Setiawan, Riyadi Heru, Dasuki, Djaswadi. (1995). Risiko Terjadinya Berat Bayi Lahir Rendah Pada Kehamilan Remaja. Berita kedokteran masyarakat, XI(1). May 28, 2013. Sulistiyowati, Ning, Senewe, Felly P. (2004). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Komplikasi Persalinan 3 Tahun Terakhir di Indonesia Analisis Lanjut SKRT-Sukernas 2001. Buletin Penelitian Kesehatan, Vol 32 No. 2: 83-91. May 28, 2013. WHO(2012). Policy Brief: Preventing Early Pregnancy And Poor Reproductive Outcomes Among Adolescents In Developing Countries: What The Evidence Says. WHO/FWC/MCA/12/02, May 28, 2013.
20 Hubungan usia..., Ahmad Junaedi, FKM UI, 2013.