MERAH SENJA
SINOPSIS “ Kala senja termangu, camar tinggi menyeruak. ”
Sepenggal kisah masa lalu dari seorang pria bernama “Josep” kala ia masih
duduk di bangku perkuliahan.
Awal tumbuhnya benih pemberontakkan, awal upaya penjeblosan “Alan” dan
“Hendrikson” di masa depan. Awal kaburnya batas keadilan.
Genre Fiksi Adam Maulana Nugraha
DILARANG KERAS MELAKUKAN TINDAKAN PLAGIARISME SEMUA PERISTIWA DALAM CERPEN INI MURNI FIKSI JIKA DALAM REALITA TERJADI HAL SERUPA ITU HANYA KEBETULAN BELAKA
“Mengapa kau melakukannya?” “Sudahlah, kau tidak akan percaya padaku.” Di depan pintu kamar kos, dua orang pemuda tengah terlibat dalam percakapan yang amat serius. Satu dari mereka berdiri dengan sebuah tas koper di sampingnya, dia adalah Bagas, seorang mahasiswa yang kini telah lulus dengan menyandang gelar Drop Out. Di hadapan Bagas seorang mahasiswa semester 3 tengah berdiri cemas, dia adalah aku sendiri, Josep. Kecemasanku pada Bagas yang siap pulang ke kampung halamannya ini bukanlah tanpa alasan, melainkan karena kasus yang menimpa dirinya yang sampai sekarang membuatku cemas. Aku cemas dengan masa depannya; meskipun dia berkata padaku akan menempuh jalan wirausaha, aku cemas dengan mahasiswa lain yang hanya akan mengingat kesalahan yang telah dibuatnya, aku cemas karena aku adalah sahabat baiknya. “Apa yang membuatmu berpikir seperti itu? Kau tidak percaya padaku?!” tanyaku kesal padanya. “Baiklah, tapi berjanjilah untuk tidak terlibat lebih jauh, aku tidak ingin kau harus mengalami hal yang sama denganku.” jawabnya. Dia berbalik lalu merogoh saku celananya untuk mengambil kunci, pintu kamar terbuka, tas koper dibawanya ke kamar dan aku mengikutinya dari belakang. Ku duduk bersila dilantai memandangi sekeliling kamarnya, nampak olehku dinding kamarnya yang selalu penuh dengan poster band‐band british hanya tinggal dinding putih kosong, barang‐barangnya yang selalu berserakan menghiasi kamarnya pun kini lenyap, yang tersisa hanya sebuah ranjang, lemari, kursi, dan meja. Kulihat Bagas menaruh tas kopernya lalu beranjak menuju pintu dan menutupnya rapat, dia berbalik, berjalan kemudian duduk bersila didepanku. “Dengar Josep, kau sendiri tahu bagaimana semua ini berawal.” ujarnya. Apa yang dikatakannya memang benar, aku tahu betul bagaimana awal dari kasus yang menimpanya. Pada Hari itu tepatnya hari Senin minggu ke‐2 di bulan Oktober, bukan merupakan hari yang baik bagiku dan semua anggota kepanitiaan untuk melakukan rapat koordinasi seperti biasanya. Karena di hari tersebut kotak berangkas untuk menyimpan uang kas telah dibobol, uang kas untuk acara sebanyak dua juta di dalamnya telah hilang, tidak ada seorang pun yang mengira ini akan terjadi. Dan semua itu bertambah buruk kala seorang temanku yang bernama Doni dituduh mencurinya. “Tunggu sebentar, hanya karena aku yang pertama kali datang ke ruangan lalu kalian menyimpulkan aku pelakunya? Yang benar saja!” bentak Doni pada yang lain, dia duduk di kursi, terpojok oleh para anggota kepanitiaan yang berdiri mengerumuninya. Aku yang saat itu berdiri bersandar pada dinding ruangan hanya bisa terpaku melihat mereka semua yang ada di depanku tak hentinya memojokkan Doni. Nampak disamping pintu Mira mencoba menenangkan Lusi yang gagal melerai pertikaian.
Sebelumnya sempat ku berpikiran Doni pelakunya namun, kejadian ini terasa ganjil buatku. Doni datang lebih awal dan setidaknya telah berada di ruangan selama 3 menit sebelum anggota lain tiba, dalam kurun waktu tersebut Doni mengaku tengah mempersiapkan bahan presentasi untuk rapat. Anggota lain yang tiba setelah Doni adalah Lusi dan Mira, mereka berdua mengaku tiba dan mendapati Doni duduk di lantai tengah sibuk dengan laptopnya. Ketiganya sempat bertukar sapa sebelum salah satu dari mereka yaitu Lusi yang merupakan seorang bendahara memeriksa lemari meja yang berada tepat dibelakang Doni dan mendapati berangkas telah dibobol. Aku dan sisa dari anggota kepanitiaan datang setelah ketiganya memberitahu kejadian tersebut melalui chat grup di facebook. Hal yang kurasakan ganjil adalah kondisi kunci gembok berangkas yang nampak rusak seolah di buka paksa dengan cara dihantam keras oleh suatu benda. Aku perkirakan membutuhkan waktu lebih dari 3 menit bagi pelaku untuk membobol dan menyembunyikan barang bukti, selain itu kondisi disekitar ruangan kepanitiaan saat itu masih ramai oleh aktivitas mahasiswa lain, dan tak satupun dari mereka melihat atau mendengar hal yang janggal. “Kalian sudah menggeledah pakaian dan menjamahi tubuhku, apalagi yang kalian inginkan?!” bentak Doni menyilangkan kedua lengannya. “Kami semua hanya ingin kau berkata jujur!” pinta seorang anggota bernama Timi dengan paksa. “Kurang jujur apalagi?! Kalian saja yang tak berotak!” bentaknya lagi, Doni beranjak dari kursi kemudian berjalan menerobos anggota lain yang mengelilinginya, dengan wajahnya yang memerah dia melewatiku begitu saja. “Kau mau kemana?” tanyaku sebelum dia jauh meninggalkan ruangan, namun Doni tak menghiraukanku sedikitpun. Sementara itu anggota kepanitiaan yang ada di ruangan menggerutu satu sama lain, memang terlalu dini mereka menyimpulkan. “Kalian keterlaluan!” teriak Lusi berlinang air mata. “Kau yang keterlaluan! Sudah tugasmu sebagai bendahara mengurus uang kas baik‐baik!” bentak Timi sembari mengarahkan telunjuknya pada Lusi. Plak! Mira menampar pipi Timi dengan kerasnya, amarah terpancar dari sorot kedua matanya, “Keluar dari sini sebelum berangkas itu bersarang dikepalamu.” gertaknya lalu menunjuk arah luar ruangan. Timi mengernyitkan dahi dan menggeratkan giginya, dia berlalu pergi dengan tangan kanannya menempel di pipi. Suasana menjadi hening, para anggota nampak diam termenung tak menghiraukan tangisan Lusi yang tersedu‐sedu. Tak ada kata yang tepat untuk melukiskan kekacauan itu, mungkin hanya merah cahaya senja saja yang mampu. “Bukankah ada kamera cctv terpasang di seberang kanan ruangan?” celoteh seorang anggota laki‐laki menyadarkan kami semua, namun hal itu hanya menambah penyesalan saja.
Bagaimanapun, kami tidak mau terus berlarut dalam penyesalan setelah mendapat pencerahan tadi, dan kami semua pergi bersama untuk memeriksa rekaman cctv di ruang logistik. Setibanya disana kami masuk bersama dan memenuhi ruangan, seorang petugas yang berjaga disana terkejut melihat kami semua. Beruntung petugas itu mengizinkan kami untuk melihat rekaman setelah kami menjelaskan apa yang terjadi. Dia membuka folder rekaman hari ini dan beberapa file video berderet dalam folder tersebut, sebuah video dengan durasi 1 jam di bukanya, rupanya petugas menyimpan rekaman setiap 1 jam. Untuk menghemat waktu, kami meminta petugas itu untuk mempercepat laju tiap‐tiap video. Anehnya tidak ada hal yang ganjil sebelum maupun sesaat kekacauan itu terjadi, hal ini membuat kami semua kebingungan. Beberapa kali kami putar semua rekaman namun hasilnya tetap sama. Kulihat jam tanganku menunjukkan pukul 7 malam, tinggal 2 jam tersisa sebelum petugas mengusir kami dari kampus. Satu demi satu anggota kepanitiaan pulang, sekarang hanya tinggal aku, Mira, Lusi dan si petugas yang ada di ruangan. “Mataku berair.” keluh Lusi. “Sebaiknya kalian pulang saja, besok masih bisa diteruskan.” ujar si petugas. Nampak Mira menatap Lusi cemas, dia sesekali mengusap sudut mata Lusi dengan sapu tangan miliknya. Melihat mereka berdua malah membuatku merasa bersalah. “Pak, tolong buka rekaman hari minggu kemarin.” pintaku pada si petugas. Sebuah folder dibukannya, dan deretan video hari minggu terpampang dilayar, beberapa video kami periksa dan pada video ke‐10 kami menemukan hal yang janggal. Janggal karena disana terekam seseorang yang seharusnya tidak mungkin dapat masuk kesana, janggal karena orang itu adalah seorang mahasiswa mantan anggota kemahasiswaan. Janggal karena dia adalah sahabat baikku Bagas. “Ketemu.” tungkas Mira tersenyum kecil menatap layar monitor. Ini tidak bagus. Mira bukan tipe orang yang mudah di ajak kompromi, apalagi dengan adanya kejadian ini. Namun sepertinya keberuntungan masih berpihak padaku, Mira dan Lusi tidak tahu jika aku bersahabat baik dengan Bagas. Aku harus segera memberitahunya. “Perjuangan kita semua tidak sia‐sia.” ujarku menatap Mira dengan senyum tipis menutupi kebohonganku, Mira mengangguk lalu memeluk Lusi bahagia. Mira meminta copy video tersebut pada si petugas, kami bertiga pamit dan bergegas pulang ke tempat masing‐masing. Setibanya di kamarku, ku buka ponsel untuk melihat chat grup, dan benar saja, ketua kami memberitahu kepada semua anggota untuk datang pada rapat besok siang. Rupanya Mira telah berkicau pada ketua. Bergegas ku beritahu Bagas lewat chat, namun tidak dibacanya. Ku telpon nomornya, tak diangkatnya. Ku kunjungi kamar kosnya, dia tak ada disana. Kemana orang ini?
Akhirnya aku pulang ke tempatku dengan perasaan gundah, dalam benakku masih bertanya‐tanya di mana Bagas berada. Malam itu terasa begitu panjang, hanya 4 jam aku tidur sebelum ku bangun pada jam 5 pagi. Ku periksa ponsel kembali, tidak ada panggilan maupun pesan singkat darinya, bahkan chat semalam belum dibacanya. Dengan tergesa‐gesa ku berangkat menuju kampus berharap Bagas dapat kutemui disana. Kantin, lorong, kelas, lapangan, dan tempat dia bersantai telah ku telusuri namun Bagas masih belum kutemukan. Bahkan tak satu pun dari teman‐ temannya tahu di mana dia berada. Cih! Siang menjelang dan rapat pun dimulai, rapat tak berguna yang membahas kesalahan sahabat baikku. Membuat kepalaku sakit saja. Rapat yang memakan waktu 30 menit itu pada akhirnya usai dengan perasaan lega setiap anggota, kecuali diriku sendiri; belum kutemukan satu petunjuk pun mengenai keberadaan Bagas. Berat ku langkahkan kedua kakiku menuju kelas, satu persatu anak tangga ku naiki hingga langkahku terhenti di lantai empat. Bagas? “Gas! Bagas!” teriakku pada seseorang yang tak asing lagi buatku, ku lihat ia berjalan menuju pintu keluar gedung di lantai dasar. Sweater dan tas punggung yang dikenakan meyakinku bahwa dia adalah Bagas, tapi entah kenapa dia tak menghiraukan panggilanku. Berlari ku turuni tangga untuk menyusulnya; Bagas berlari menuju tempat parkir. Pintu keluar ku lewati, ku percepat laju lariku hingga akhirnya tiba di tempat parkir, namun Bagas tak ada disana. Lagi‐lagi. Aku kembali ke kelas, menunggu dan menunggu berakhirnya pelajaran dengan risau. 3 jam berlalu hingga pelajaran pun usai, bergegas ku lari ke tempat parkir, ku tancap gas motorku menuju tempat Bagas. Sesampainya disana, kulihat Bagas tengah mengunci pintu kamarnya, sebuah tas koper nampak tergeletak disampingnya. Lekas ku hampiri Bagas untuk melampiaskan kekesalanku padanya, dan kini Bagas duduk bersila dihadapanku; menceritakan alasan dibalik laku bodohnya selama ini. “Kau tahu Hendrikson?” tanyanya. “Hendrikson? Memangnya ada apa dengannya?” tanyaku padanya. “Dia pelaku sebenarnya.” Jawabannya sontak membuatku kaget dan bingung, bukti otentik mengarah pada Bagas tetapi, Hendrikson? Bagaimana mungkin? “Ya aku tahu, bagaimana mungkin bukan?” ujar Bagas seolah dapat membaca pikiranku. “Rumit, kau sendiri mungkin lebih terkejut lagi mendengarnya.” Bagas pun bercerita padaku bagaimana Hendrikson terlibat didalamnya, rupanya Hendrikson adalah salah satu korban tindak pemerasan dari salah seorang staff di kampus.
Semua berawal ketika seorang petugas yang memantau cctv mendapati sebuah rekaman cctv di mana Hendrikson dan pacarnya “bermesraan” di salah satu ruang kelas. Pada rekaman itu ruang kelas dalam keadaan gelap gulita namun selang beberapa menit berlalu tiba‐tiba lampu ruangan menyala; menyingkap sosok Hendrikson dan pacarnya yang nampak terburu‐buru mematikan lampu ruangan lalu keluar dari ruang kelas. Petugas yang merasa curiga dengan rekaman tersebut akhirnya melaporkan hal tersebut pada salah satu staff kampus, namun sialnya, staff itu mengenali wajah Hendrikson dan lalu melakukan tindakan pemerasan padanya. Ini jelas lingkaran setan. Pertama hanya ratusan ribu lama kelamaan si staff menginjak angka jutaan, Hendrikson yang seorang anak kelas menengah tidak tahu di mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu, beruntung ia berteman dekat dengan Lusi, Hendrikson seringkali menemaninya pergi ke ruangan kepanitiaan untuk membantunya menyusun laporan penerimaan dan pengeluaran kas. Darisana dia tahu bahwa; kunci ruangan selalu dititipkan pada satpam penjaga, kunci berangkas selalu dipegang Lusi, dan uang sebanyak dua juta ada di dalam berangkas. Minggu pukul 10 siang Hendrikson memulai aksinya, namun sayang aksinya saat itu secara tidak sengaja diketahui oleh Bagas yang mendengar suara hantaman keras dari arah lantai bawah. Bagas yang selama beberapa menit menduga suara itu berasal dari seorang pekerja bangunan, sadar bahwa tidak sedang ada pekerjaan bangunan di kampus. Bagas bergegas menuruni tangga untuk memeriksa sumber suara itu, di perjalanan ia mendapati seseorang tengah berjalan terburu‐buru ke luar gedung, curiga dengan laku orang tersebut ia pun berlari menyusul dan berhasil menghentikannya tepat di luar gedung. Dia terkejut mengetahui bahwa orang tersebut adalah Hendrikson adik kelasnya sewaktu SMA yang kini tengah mencalonkan diri menjadi ketua BEM fakultas, Bagas menggeledah jaket yang dikenakan oleh Hendrikson dan mendapati sebuah palu dan parang berukuran sedang dari dalam jaketnya. Bagas bertanya padanya untuk apa kedua barang tersebut, namun Hendrikson hanya diam tertunduk. Bagas merogoh saku jaket Hendrikson dan lebih terkejut lagi mendapati lembaran uang sebanyak dua juta. Hendrikson akhirnya mengakui perbuatannya, ia membeberkan alasan dibalik tindakan nekatnya itu pada Bagas, bahkan ia memperlihatkan sendiri rekaman pada ponselnya yang dikirim oleh staff yang memerasnya. Bagas yang mendengar penjelasannya marah dengan apa yang telah dilakukan oleh staff maupun Hendrikson, ia mengambil barang bukti pembobolan dari Hendrikson beserta ponselnya dan menyuruhnya lekas pergi darisana, Hendrikson yang ketakutan serta bingung dengan apa yang akan dilakukan oleh Bagas hanya bisa lari dan pergi darinya. Bagas lalu menyembunyikan barang bukti tersebut di dalam sweater hitam yang dipakainya, dia lihat jam tangannya menunjukkan pukul 11 siang, ia berpikir masih sempat untuk melakukan apa yang Hendrikson lakukan sebelumnya. Bagas pergi
menuju tempat satpam penjaga, dia tahu semua kunci ruangan dipegang oleh satpam itu. Ia kemudian berlari menuju ruang kepanitiaan, masuk ke dalam dan menunggu sekitar 5 hingga 10 menit lalu keluar darisana. Kunci ruangan dia kembalikan pada satpam, lalu dia segera pergi menuju lantai empat dimana ruang cctv berada. Sesampainya di lantai empat ia menunggu di dalam toilet hingga waktu menunjukkan pukul 12 siang, tiba waktunya ia keluar dari toilet dan dengan perlahan menggapai gagang pintu ruang cctv. Beruntung ternyata pintu ruangan tidak dikunci, ia intip ke dalam ruangan dan benar saja, petugasnya sedang pergi beristirahat. Kesempatan itu tidak ia sia‐siakan, Bagas membuka folder rekaman hari itu dan memeriksa rekaman pembobolan yang dilakukan oleh Hendrikson. Rekaman ke‐10. Pada rekaman itu dia dapati Hendrikson melakukan aksinya, dia hapus rekaman tersebut dan menggantinya dengan rekaman ke‐11 yang memuat dirinya sendiri. Nama rekaman tersebut dirubahnya menjadi rekaman ke‐10, dan untuk rekaman ke‐ 11 ia copy rekaman ke‐11 di minggu‐minggu lalu. Rencananya berhasil. Senin pagi Bagas pergi menemui staff yang memeras Hendrikson, Bagas meminta staff itu untuk pergi ke tempat parkir bersamanya. Staff itu menolak, meminta alasan yang jelas dari Bagas yang mengajaknya pergi ke tempat parkir. Bagas mengeluarkan ponsel milik Hendrikson dan memperlihatkan sekilas rekaman yang digunakan staff tersebut untuk memeras Hendrikson. Sontak staff tersebut kaget, ia akhirnya menuruti keinginan Bagas. Di parkiran, Bagas memaksa staff tersebut untuk menghentikan pemerasan pada Hendrikson dan mengancam akan melaporkannya jika staff tersebut menolak. Namun staff itu malah balik mengancamnya, dia mengancam akan melaporkan rekaman Hendrikson dengan pacarnya itu pada pihak kampus jika Bagas mencoba menghentikannya. Bagas tak sedikitpun gentar, dia bahkan berkata tidak akan melarang staff tersebut untuk melaporkan rekaman tidak senonoh itu, dia tidak peduli sedikitpun dengan nasib staff tersebut maupun Hendrikson, dia hanya ingin lingkaran setan itu binasa. Staff yang tidak memiliki pilihan lain itu akhirnya menuruti keinginan Bagas, dan akhirnya staff tersebut menghapus bukti asli rekaman itu. Sore harinya Bagas mendatangi kediaman Hendrikson, ia mengembalikan ponselnya dan memberitahu kalau Hendrikson kini dapat bernafas lega, Bagas hanya meminta satu hal darinya, yaitu untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama nantinya. Setidaknya patungan saja menyewa kamar untuk keperluan seperti itu. Dan pada akhirnya Bagas memutuskan untuk menginap dirumahnya Hendrikson, sembari memantau apakah staff tersebut menepati janjinya atau tidak, dan benar saja, ponsel milik Hendrikson tak bergetar sama sekali malam itu. Ke‐esokan harinya Bagas di panggil oleh pihak kampus, bukti rekaman pembobolan itu membuat pihak kampus memutuskan untuk mengeluarkan Bagas
demi menjaga nama baik universitas, namun tak sedikitpun Bagas menentang keputusan itu, dia hanya tertunduk mengakui kesalahan yang tidak pernah dibuatnya. Uang sebanyak dua juta, palu, dan parang berukuran sedang disita sebagai barang bukti. “Begitu cerita sebenarnya, kau bisa tanyakan sendiri pada Hendrikson kalau kau mau.” ujar Bagas padaku yang masih tertegun dengan ceritanya. Buk! Sebuah pukulan cukup keras ku daratkan di wajahnya, Bagas tersungkur ke lantai. “Idiot! Biarkan saja Hendrikson yang menanggungnya!” bentakku padanya. “Sudah ku katakan padamu ini rumit.” ujar Bagas mencoba bangkit dari lantai. “Jika Hendrikson yang dilaporkan, malah lebih gawat, semua warga kampus bisa tahu tentang pemerasan yang dilakukan staff itu, belum lagi rekaman Hendrikson bersama pacarnya.” “Apa yang kau bicarakan? Bukannya kau bilang tidak peduli dengan nasib mereka?!” kesalku padanya. “Benar, tapi dengar baik‐baik, tiga kasus akan terungkap jika Hendrikson yang dilaporkan.” perlahan Bagas mengangkat ibu jarinya. “Pertama, pencurian oleh mahasiswa calon ketua BEM.” ia lalu mengangkat jari telunjuknya. “Kedua, pemerasan oleh staff kampus.” terakhir ia mengangkat jari tengahnya. “Ketiga, tindakan tidak senonoh mahasiswa dan mahasiswi di kampus.” Buk!! Ku daratkan pukulan kembali ke wajahnya, dia tersungkur kembali. “Biarkan saja mereka tahu hal itu! Kau tidak perlu ikut campur!” bentakku lagi. “Kau tidak mengerti, jika aku yang dilaporkan mencuri, mereka hanya akan tahu kalau seseorang mencurinya karena terlilit hutang bukan diperas oleh seorang staff kampus.” jelasnya mencoba bangkit kembali. “Apa kau pikir Hendrikson akan mengutarakan alasan yang sama? Tentu saja tidak.” Buk!!! Pukulan keras ku layangkan kembali namun kali ini tangan Bagas berhasil menghalau lalu menepisnya. “Hentikan Josep, pikirkan tentang nasib mahasiswa lain yang tidak terlibat dengan kasus ini, apa kau ingin menghancurkan harapan mereka akan kampus kebanggannya dengan mengetahui kejadian ini?” terangnya. “Tapi kau sen‐” “‐Bayangkan apa yang akan dirasakan oleh Lusi jika ia tahu teman dekatnya sendiri yang mencurinya.” terangnya lagi, memotong perkataanku. Aku hanya bisa diam menundukkan kepala, menggeratkan gigi, dan mengepalkan kedua tanganku. “Satu kasus saja sudah cukup untuk menurunkan semangat belajar mereka, tak perlu memperburuk keadaan.” terangnya lagi. Bagas berdiri meraih tas kopernya, ia berjalan membuka pintu kamar dan berhenti diluar depan pintu. “Sekarang, kau mau mengantarku atau apa? Busnya mungkin sebentar lagi berangkat.”
Aku pun berdiri dan keluar dari kamarnya, pintu kamar di kuncinya dan kami berdua pergi bersama menuju terminal. Sesampainya disana Bagas bergegas menuju bus yang akan ditumpanginya, namun belum sampai ia meraih pintu bus, ia berbalik lalu berlari ke arahku yang sejak tadi duduk menyaksikan kepergiannya. Plak! Bagas menamparku cukup keras. “Jangan murung begitu, punya rasa humor lah sedikit.” pintanya sembari merogoh saku sweater yang dikenakannya. “Aku lupa, berikan kunci kamarku ini pada bapak kos.” Dia berlari menuju bus kembali, melambaikan tangan dengan senyum kecil di wajahnya. Aku beranjak dari tempat duduk dan pergi meninggalkan terminal. Hendrikson…aku tidak boleh lupa dengan nama itu.