KALA KULTUR KALA KULTUS Fadjar Sutardi
Dalam gerak hidup dan kehidupan, terdapat peristiwa-peristiwa.Peristiwa demi peristiwa mengisi waktu dan ruang selaksa abadi. Tiga peristiwa terpenting yang selalu dialami ( diarasakan, dipikirkan ) oleh manusia, adalah peristiwa budaya, peristiwa alam dan peristiwa ke-Tuhanan. Ketiganya, dalam proses dialogisnya kemudian melahirkan kultur yang kultus atau kultus yang dikulturkan dari waktu ke waktu pula. Kultur, kulturisasi, inkulturasi, enkulturiasi, akulturasi merupakan proses jejak kebudayaan manusia.Dinamika kebudayaan telah dan akan melahirkan jejaring dan jaringan yang berbentuk tatanantatanan sesuai dengan tuntutan zaman. Proses berkebudayaan dapat dengan berbagai bentuk, misalnya bentuk kultur ekstentif dan kultur jaringan biosif. Kultur ekstensif berwujud strategi pemeliharaan, pembudidayaan, misalnya kultur pembudidayaan dengan intensitas rendah, seperti yang dilakukan komunitas kolektif manusia dikalanganbawah,petani,buruhdansebagainya. Sedangkan pada kultur jaringan biosif, proses kebudayaan di rekayasa untuk mempercepat pertumbuhan jaringan lewat media tumbuh yg diatur sedemikian rupa sesuai dengan kondisi masyarakat manusia kolektif tersebut. Perlu diketahui dalam proses kebudayaan tersebut baik yang ekstensif dan biosif menimbulkan pola kultus ( pengkultusan ) kepada seseorang, yang dianggap memiliki keluhuran, ia bisa berupa para cerdik cendikia, ulama, pastur, ilmuwan, teknokrat, seniman, raja, presiden. Kultus yang memang memiliki arti pemujaan, pendewaan terkadang dilakukan dengan sembrono dan berlebihan.Robertson mengatakan, bahwa kultus adalah terminology yang mengklaim kepada seseorang yang dianggap paling benar, terbenar. Yinger mengatakan, bahwa kultus adalah gerakan new religion pada kelompok tertentu yang bersifat doktriner, dan terkadang menyimpang atau menyempal dari religi besar tertentu pula. Pada intinya, munculnya kultusisasi pada diri seseorang, karena adanya anggapan bahwa seseorang tersebut memiliki tingkat spiritual revolusioner. Pada masyarakat yang majemuk, baik yang ortodoks dan protestan, yang modern maupun yang kolot, yang kampungan maupun yang metropolitan, yang mukmin maupun yang kafir, yang konvensional dan kontemporer dipastikan muncul adanya kulturisasi kultus atau pengkultusan yang dikulturisasikan. Dalam peristiwa budaya misalnya, munculnya kulturisasi kultus disebabkan oleh adanya kekhawatiran pada sebagian besar manusia perihal akan masa lalu dan masa depannya, ketakutan akan hidup dan
matinya, atau jatuh bangkit bangunnya. Secara umum manusia memang makhluk unik yang dilematis, satu sisi diciptakan menjadi pemberani, sisi yang lain memiliki ketakutan, kepengecutan dan kepengkhianatan. Dilema dua muka atau dua sifat inilah, hidup manusia serba tergesa-gesa, sekaligus ragu-ragu untuk mencapai puncak tangga tertentu, misalnya. Dan puncak tangga itu adalah kesuksesan hidup material jasmanial dan spiritual rohanial. Manusia dengan akal dan nafsunya, terkadang memuji peristiwa budaya ciptaannya dan juga terkadang memaki peristiwa yang dialaminya. Dalam menghadapi peristiwa- peristiwa utamanya budaya, manusia ada yang melakoninya penuh dengan ketelatenan dan kejelian. Tetapi juga sering dilaluinya penuh dengan intrik-intrik yang berlawanan dengan akal sehat, keduanya akan mempengaruhi proses pelakonan-pelakonan atas peristiwa budaya mulai dari masa kecilnya sampai masa tuanya. Peristiwa budaya tumbuh bersama pola pikir dan pola dzikr ( per-ingatan ) seseorang. Dan seseorang tersebut kemudian diklaim memiliki sesuatu yang dianggap mulia tadi. Dari sini, muncul proses peristiwa budaya kala kultur kultus. Pengkultusan yang disertai pengkulturan dapat terjadi pada ranah peristiwa kebudayaan dan cabang-cabang cakupan dan kajiannya, misalnya pada cabang cakupan dan kajian ekonomi, agama, bahasa, politik, adat istiadat, mata pencaharian, teknologi, seni dan ilmu pengetahuan ( pinjam urutan versi Koencaraningrat ) Coba simak peristiwa budaya yang diciptakan manusia yang mengandung kulturisasi kultus tersebut, misalnya ketika manusia “terperangkap atau sedang tertarik” pada peristiwa budaya politik, maka dari waktu kewaktu, yang digagas hanyalah persoalan politik belaka dengan segala plus minusnya.Dibenak manusia hanya ada satu yang dianggap terpenting pada saat itu, yakni persoalan politik. Politik akhirnya menjadi kultus, dipuja dan didewakan. Dari sikap dan sifat “pengelebihan” pada peristiwa budaya ciptaan manusia, selanjutnya terjadi korelasi dan relasi konsep atau kata kalimat yang dimainkan, dengan terasa “mengasyikkan sekaligus membingungkan”, misalnya permainan kata seni politik, politik seni, kesenian politik, politisasi kesenian, kesenian yang dipolitisir, seni berbau politik yang menimbulkan permainan kata yang berlebihan yang berbau kultusiasi konsep dan kata yang dilontarkan seseorang yang ahli politik, misalnya. Belum lagi misalnya permainan kata yang melahirkan sikap cultism, seperti agama politik, politik ekonomi, bahasa politik, ilmu politik, sosial politik dan sebagainya. Keterperangkapan dan ketertarikan pada permainan korelasi dan relasi atas konsep kata tersebut, kemudia lahirlah ribuan pemikir politik yang “bermain” menggila dan dicatat oleh sejarah yang cenderung menciptakan kekulturan yang mengkultus, sebutlah misalnya, mulai dari pemikir politik yang eksentrik Socrates, Plato, Aristoteles, Epicurus, Zeno, Cicero, Seneca, Plotinus, Agustinus, Salisbury,Ibnu Sina, Ibnu,Khaldun, Prapanca, Machiavelli, Jean Bodin,Spinoza,Montesque, Rousseau, Immanuel Kant,David Hume,De Bonald, Hegel,Joan Stuart Mill, Nietzsche, Lenin, Hitler, Mussolini, Salazar, Gandhi,
Mao Tse Tong sampai Sukarno. Orang-orang ini ( yang dikemudian hari dikultuskan ) mengabdikan sepanjang hidupnya untuk mendalami dengan tujuan mempengaruhi manusia lainnya melalui peristiwa politik. Kemudian pengkultusan dengan kulturisasi pada peristiwa alam, alam memang seuatu yang dahsyat, istimewa dan luar biasa. Alam bergerak dengan kekuatan mahamekanis dan mengejutkan. Alam bergerak menurut iramanya sendiri. Pada peristiwa alam yang dahsyat, peristiwa budaya ciptaan manusia akan terkalahkan dengan telak, peristiwa budaya bisa tiba-tiba hilang dan mati. Pada peristiwa alam yang dahsyat tersebut, terkadang mempesona manusia dan terkadang memporakporandakan jiwa dan nurani manusia. Bagi manusia alam dan peristiwanya menjadi guru dan peringatan. Menjadi guru, karena alam telah memberikan “ilmu-ilmuya” kepada manusia. Dari gerak angin empat musim, aliran sungai yang tenang, sahdu, sekaligus gerak banjir bandang yang memperangahkan jiwa manusia, letupan gunung api, putaran matahari kemerlip bintang dilangit, berjalannya awan, putaran bumi yang memusar, larinya padang pasir dari hari kehari yang berubah, tumbuhnya hutan, derai tawa sawah ladang yang memancarkan kebahagiaan para petani, laju batu dari waktu kewaktu menuju samudra semua menjadi peristiwa yang penting bagi manusia. Peristiwa alam melahirkan pranata mangsa, mekanisme pengaturan air subak, jantra pengatur air yang melahirkan api listrik, siklus tikus sebagai pemangsa dan sebagai hama, nadi gerak para bregejil, gandarwo, glundhung pengingis, banas pati, wewe gombel ( ingat pelukis Wahyu Nugroho Pasuruan yang melontarkan ide tentang pemvisualan dhemit pada karya-karyanya yang sering disebut plural painting ) ingat juga Kidungan-nya Njeng Sunan Kalijaga, saat menaklukkan dhedhemitan dipulau Jawa, cobak simak sekedar beberapa nama-nama dhemit yang dikultuskan masyarakat yang berbentuk macapatan dibawah ini: Apuranen sun angetang, lelembut ing tanah Jawi, kang rumeksa ing nagara, para ratuning dhedhemit, agung sawahe ugi, yen apal sadayanipun, kena ginawe tulak, kinarya tunggu wong sakit, kayu aeng lemah sangar dadi tawa. Kang rumiyin ing mbang wetan, Durganeluh Maospahit, lawan Raja Baureksa, iku ratuning dhedhemit, Blambangan winarni, awasta Sang Balabatu, kang rumeksa Blambangan, Buta Locaya Kediri, Prabu Yeksa kang rumeksa Giripura. Sidakare ing Pacitan, Keduwang si Klentingmungil, Hendrajeksa, ing Magetan, Jenggal si Tunjungpuri, Prangmuka Surabanggi, ing Punggung si Abur-abur, Sapujagad ing Jipang, Madiyun sang Kalasekti, pan si Koreg lelembut ing Panaraga. Singabarong Jagaraga, Majenang Trenggiling wesi, Macan guguh ing Grobogan, Kaljohar Singasari, Srengat si Barukuping, Balitar si Kalakatung, Buta Kroda ing Rawa, Kalangbret si Sekargambir, Carub awor kang rumeksa ing Lamongan.
Gurnita ing Puspalaya, Si Lengkur ing Tilamputih, si Lancuk aneng Balora, Gambiran sang sang Kaladurgi, Kedunggede Ni Jenggi, ing Batang si Klewr iku, Nglasem Kalaprahara, Sidayu si Dandangmurti, Widalangkah ing Candi kayanganira. Semarang baratkatiga, Pekalongan Gunturgeni, Pemalang Ki Sembungyuda, Suwarda ing Sokawati, ing Tandes Nyai Ragil, Jayalelana ing Suruh, Buta Tringgiling Tanggal, ing Kendal si Gunting geni, Kaliwungu Gutuk-api kang rumeksa. Magelang Ki Samaita, Dadung Awuk Brebes nenggih, ing Pajang Buta Salewah, Mandamanda ing Matawis, Paleret Rajeg-wesi, Kutagede Nyai Panggung, Pragota Kartasura, Carebon Setan Kaberi, Jurutaman ingkang aneng Tegallajang. Genawati ing Siluman, Kemandang Waringin-putih, si Kareteg Pajajaran, Sapuregol ing Batawi, waru Suli Waringin, ingkang aneng Gunung Agung, Kalekah Ngawang-awang, Parlapa ardi Merapi, Ni Taluki ingkang aneng ing Tunjungbang. Setan Karetek ing Sendang, Pamasuhan Sapu Angin, Kres apada ing Rangkutan, Wandansari ing Tarisig, kang aneng Wanapeti, Malangkarsa namanipun, Sawahan Ki Sandungan, Pelabuhan Dudukwarih, Buta Tukang ingkang aneng Pelajangan. Rara Amis aneng Tawang, ing Tidar si Kalasekti, Maduretna ing Sundara, Jelela ing ardi Sumbing, Ngungrungan Sidamurti, Terapa ardi Merbabu, Lirbangsan ardi Kombang, Prabu Jaka ardi Kelir, Aji Dipa ardi Kendeng kang den reksa.
Luar biasa kan, pengalaman Sunan Kalijaga, tentang penyebutan nama-nama hantu yang dikultuskan di pulau Jawa?` Pengkultusan pada peristiwa alam juga terjadi pada tanah pekarangan yang panas dan pekarangan yang “anyep” ( dingin ) ala feng shui, jatuhnya ndaru pada malam hari, munculnya tandatanda pageblug, kiamat dan sebagainya, alam telah memberikan waskita dan wangsitnya. Dari peristiwa alam inilah, kemudian muncul pemujaan terhadap alam lingkungan, laut, sungai, pohon, batu dan sebagainya. Kultus pada alam disini letaknya. Pengkultusan pada alam secara mendalam, dapatlah banyak orang yang bisa bicara dan berkomunikasi dengan bahasa pepohonan, bahasa bunga mawar, bahasa pohon beringin, bahasa gunung berapi, bahasa laut yang tenang, bahasa sungai yang dalam. Banyak orang selama hidup bersama alam ( jadi ingat ustadz Umbu Landu Paranggi ). Mereka mengabdi pada alam, mereka berharap agar jangan sampai alam marah dan murka, jangan sampai alam berhenti dalam memberi. Selanjutnya pada peristiwa ke-Tuhanan ( ke-ilahian ) manusia diajak “masuk dan masuk” untuk mendengarkan sabda dan firmanNya, melalui dialog yang panjang tentang hakikat hidup dan hakikat mati. Tampaknya Tuhan melemparkan pekerjaan
rumah yang berat bagi manusia ( bukan pada
hewan,syetan dan malaikat ), yakni tentang hakikat hidup dan hakikat mati. Menengok peristiwa pengkulturan dan pengkultusan akan ketuhanan, pada masyarakat yang belum maju ( ? ), masih berkisar dengan mediasi Tuhan yang bersifat“kematerialan”.Pengkulturan dan pengkultusan kepercayaan pada Lao Tse,Kung Fu Tse, Tahiti, Saminola, Huna,Beun, Poyang Moyang, Budha, Syiwa, Wisnu, Brahma,
Stauda, Mithra, Zarathustra, Zandakar, Ahura Mazda, Manu, Kan’an, Phrygia, Adonis, Aponis, Titan, Chaos, Aphrodite, Ghaea, Saturnus, Venus, Uranus, Zeus, Hera, Ceres, Proserpina, Poseidon,Hades, Apollo,Hestia, Minerva, Mars, Dyonisus, Hermes, Leto, Themis, Amor, Iris,Charites, Horae, Parkae, Hebe, Helios, Luna, Aurora, Hesperus, Maia,Galaxias, Siren, Pontus, Janus, Euros, Aquilo dan sebagainya belum juga menukik pada tahapan spiritualitas revolusioner. Artinya, masih terjadi penomorsatuan pada identitas tuhan “kemanusiaan” yang dianggap luhur atau tuhan yang bersifat “kealaman” yang dianggap memiliki kekuatan animistik dan dinamistik. Tetapi gambaran secara umum, para tuhan kultur yang kultus tersebut memiliki tugas dan kewenangan berkaitan dengan keselamatan. Utamanya pada keselamatan saat kelahiran, pernikahan dan kematian yang berbentuk ritus-ritus. Ketiga peristiwa yakni kala ( peristiwa ) budaya, kala alam dan kala tuhan dalam rentangan ratusan, bahkan ribuan tahun, menjadi persoalan yang kompleks dan cenderung menjadi konflik disepanjang sejarah kebudayaan manusia, dari zaman pra sejarah sampai pasca sejarah dewasa ini. Kemudian relevansi dengan agenda dialog Muharram 1434 H yang digelar di Rumah Langit Kebun Bumi ini, menjadi penting, karena ketiga peristiwa yang “berbau” kultus tersebut diatas, perlu diwacanakan untuk ditinjau ulang pikirkan sebagai pengalaman sejarah manusia dari berbagai sisi plus minusnya. Sementara dihadapan kita yang modern dan bahkan supermodern ini, hidup ditengah pusaran dan putaran hegemoni illusion cultur yang akan mempengaruhi cybersoul yang tersembunyi dalam jiwa kita. Untuk itu, perlu mencoba meloncat tinggi-tinggi ke masa lalu, seperti yang diisyaratkan dan dilakukan oleh Nabiyullah Muhammad, yakni semangat dari hijrah ini. Seribu empat ratusan tahun yang lalu, Rasulullah mengajarkan tentang pentingnya kembali pada akal sehat. Akal sehat yang dirawat, dipelihara dengan nilai-nilai keimanan yang tinggi, akan mengangkat kemanusiaan kita pada tingkatan kualiatas ruhaniah yang membumi. Artinya, ruhaniyah manusia modern dengan akal sehatnya, sudah tidak lagi memerlukan sesuatu yang usang. Apa mungkin bisa? Romo Mangun, dalam bukunya yang berjudul Manusia Pasca Modern Semesta dan Tuhan, terbitan Kanisius,1999 menyatakan bahwa,hanya iman seperti yang diajarkan Ibrahim kita akan mengerti tentang Dia. Kita juga menyatakan seperti proses pendalaman keimanan Romo Mangun dengan bertanya; kenapa mesti Ibrahim? Karena dari ajaran Ibrahimlah kita mengerti tentang Tuhan Yang Esa, Yang Satu, Yang Tunggal, Yang Tak Beranak dan diperanakkan, Yang Patut dan Pantas diimani. Ibrahim hijrah dengan tindakan realistik, yakni mengajak dengan meninggalkan tuhan-tuhan material, menuju kepada tuhan yang haq, yakni Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Caranya dengan
mempraktikkan langsung sesuai dengan kemampuan masing-masing ditengah-tengah sosial masyarakat yang kompleks dengan pendekatan nalar ilmiyah. Nalar ilmiyah akan menelurkan masyarakat yang aktif dinamis yang tidak terjatuh pada kubangan kesyirikan ( syirik kecil ataupun syirik besar ). Syirik kecil,dalam tataran masyarakat Jawa tertuang dalam kata yang indah, yakni “aja rumangsa bisa, nanging bisoa rumangsa”. Disinilah bedanya orang yang sadar akan adanya Tuhan Allah yang selalu melihat solah tingkah manusia, dengan orang yang menjalankan sikap adigang, adigung, adi guna. Sikap ini akan menjurumuskan pada praktik kesombongan diberbagai kehidupan wilayah disiplin ilmu yang mengutamakan penghormatan dan toleransi antar manusia ( sesama ). Pada tataran sosial kemasyarakatan yang majemuk, kita diajari oleh Ki Hajar Dewantoro, yaitu nilai percontohan atau uswatun hasanatun, dengan kalimat yang memukau, yaitu Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun karso, Tut Wuri Handayani. Sedangkan pada kubangan syirik besar, kita tidak diperkenankan olehNya untuk menghamba kepada bentuk-bentuk ciptaan Tuhan itu sendiri. Ciptaan Tuhan yang sempurna, yakni alam semesta dan seisinya tak boleh disembah puji, karena semesta juga sama-sama sebagai makhlukNya. Dan kita manusia, hanya bagian kecil dari milyaran semesta raya, tentu tidak layak kalau saling menyembahnya. Artinya, yang patut disembah puji hanyalah Allah Tuhan Yang Maha Esa. Perjalanan hijrah, berarti juga paham dan memahami akan kultur kultus yang semakin merebak. Banyaknya sekte, aliran yang memecah belah “ruh iman”manusia juga termasuk dalam perangkap kultus. Banyaknya organisasi keagamaan yang cenderung borjuistik dan tidak membela kaum mustadz’afin, sebenarnya juga merupakan indikasi atas ketidakmengertian akan essensi hijrah ini.Hijrah juga berarti menegakkan keadilan ditengah hukum rimba raya ini. Praktik praktik pemalsuan dalam bidang apa saja, sebenarnya juga tantangan bagi kita berniat hijrah. Titik simpulnya, bahwa kultur kultus disekitar kita memang ada yang perlu terus dirawat dan disempurnakan, tetapi juga adanya kultur kultus yang menyesatkan hati nurani atau akal sehat. Senyampang kita masih berpegangan dengan nilai-nilai yang tidak berseberangan dengan akal sehat, disitulah kita berlabuh dan menambatkan perjalanan ini. *Fadjar Sutardi penyampai makalah dalam dialog Muharram 1434 H KULTUR KULTUS di Ruang Seni Rumah Langit Kebun Bumi,Sragen bersama jamaah pengajian Maskumambang Mujahadah, mahasiswa FKIP Seni Rupa UNS, ISI Surakarta, Komunitas Perupa Pintu Mati dan rombongan Kentroeng Rock n Rol Surakarta.