MU’TAZILAH; KAUM RASIONALIS ISLAM Fuad Mahbub Siraj Abstract
Al-Qur’an consists of the mutashabihat verses, it is the verse that has a universal meaning or unequivocal meaning and has contribution to the birth of the thought in Islam. One of those streams is Mu’tazilah with the rational characteristic. Mu’tazilah also brings the theological problem to the deeper thought and philosophical and it makes them different than other streams. In the discussion, they use much of reason and because of that they called as the rationalist of Islam. Although the called as the rationalist of Islam, but the rational of Mu’tazilah is still hold on religious doctrine from the Qur’an and hadith. Pendahuluan Secara prinsip di dalam al-Qur’an terdapat dua bentuk ayat, ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat. Ayat muhkamat dapat diartikan sebagai ayat yang bersifat tegas dan tidak boleh diinterpretasi ulang sesuai dengan zaman. Ayat mutasyabihat adalah ayat yang masih bersifat prinsip, artinya masih bisa diinterpretasi ulang karena tidak tegas maknanya. Umat Islam pada hakikatnya adalah satu akan tetapi umat Islam berbeda dalam memahami ayat yakni ayat mutasyabihat yang belum jelas dan tegas maknanya, boleh dimaknai sesuai dengan konteks dan lain sebagainya. Perbedaan pemahaman dalam menginterpretasi ayat mutasyabihat ini secara tidak langsung telah memberikan kontribusi untuk munculnya aliran-aliran dalam Islam beserta metode berpikir atau kecenderungan berpikir masing-masing sebagai bentuk khazanah intelektual pemikiran Islam. Secara garis besarnya dalam bidang pemikiran Islam telah timbul dua pendapat dalam memahami hal ini. Pendapat pertama di”dendang”kan oleh teolog al-Asy’ariah yang bercorak tradisional dengan karakteristik pemikirannya.1 Sedangkan pendapat kedua di”suara”kan oleh teolog Mu’tazilah yang bercorak rasional,2 dan filosof Islam.3 Metode berpikir 1 Harun Nasution, Falsafat Islam, makalah pasca Ibn Rusyd, Yayasan Muthahari/LSAF, 12-13 Agustus 1989, Jakarta, hal. 15-16. 2 Ibid., hal. 2-3 3Filosof Islam ialah kaum intelektual Islam yang berkecimpung di dunia filsafat Islam. Penafsiran mereka lebih liberal dari penafsiran teolog rasionalis Mu’tazilah. Namun telah terdapat perbedaan pendapat di kalangan para penulis tentang penamaan disiplin ilmu ini, diantara mereka ada yang menamakannya Filsafat Arab. Argumentasi mereka mengacu kepada bahasa dan suku bangsa. Sementara yang lain menamakannya dengan filsafat Islam. Argumentasi mereka, bahwa filsafat tersebut tidak hanya ditulis dalam bahasa Arab dan filosofnya kebanyakan bukan bangsa Arab. Karenanya penamaan yang relevan, ialah filsafat Islam, dengan arti lahir di dunia Islam tanpa membedakan bahasa, suku bangsa, dan agama mereka, hal. 16-19.
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 4, Desember 2011
rasional dalam kalam mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi. 2. Manusia bebas dalam berbuat dan berkehendak. Kebebasan berpikir yang hanya dibatasi oleh ayat-ayat qath’i al-dhalâlah atau ayat muhkamat yaitu ayat yang tidak boleh diinterpretasi ulang dan ajaran Islam yang bersifat absolut. Karena akal kuat, manusia menurut paham teologi ini, mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan serta kehendak dan mampu berpikir secara mendalam. Karenanya aliran ini menganut paham Qadariah. 3. Pemakaian takwil, dengan kata lain, akal mengambil arti metaforis dari ayat. 4. Keadilan Tuhan. Paham ini membawa teologi ini kepada keyakinan adanya hukum alam (sunatullah) ciptaan Tuhan, yang mengatur perjalanan yang ada di alam ini. 5. Sikap dinamis. Dengan metode berpikir rasional ini, berarti ulama-ulama rasional mengembangkan pemikiran yang luas, pemikiran mereka hanya diikat oleh dogma-dogma yang sedikit. Sekalipun metode ini memberikan kedudukan yang tinggi pada akal, namun ia tidak pernah menepiskan atau membelakangi wahyu. Akan tetapi, apabila akal bertentangan dengan teks wahyu, maka yang diambil adalah arti metaforisnya, sehingga pendapat akal dan arti ayat menjadi sejalan. Dengan kata lain, yang dilanggar di sini bukan ayat tetapi arti tekstual ayat. Adapun metode berpikir tradisional memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Akal mempunyai kedudukan yang rendah. 2. Akal tunduk kepada arti tekstual dari ayat. 3. Kehendak mutlak Tuhan. 4. Tidak ada sunatullah atau kausalitas yang tak berubah di alam. 5. Sikap pasif. Dengan demikian, ulama-ulama yang bercorak tradisional membawa umat Islam berpikir sempit, dengan kata lain, banyak dogma yang membatasinya dan akal tunduk kepada arti tekstual ayat dan akal tidak mampu mengambil arti majazi dari ayat sehingga para ulama ini lebih banyak bersikap taklid kepada ulama sebelumnya dan tidak mempercayai adanya hukum kausalitas sebagai sebuah kemestian melainkan hanya sebagai kebiasaan alam saja. Salah satu aliran teologi Islam yang menggunakan metode berpikir rasional seperti yang kita sebutkan di atas adalah aliran Mu’tazilah. Aliran Muktazilah merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua yang telah memainkan peranan yang penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Di samping itu Muktazilah adalah aliran yang membawa persoalanpersoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari aliran
200
Fuad Mahbub Siraj Mu’tazilah; Kaum Rasionalis Islam
teologi yang lain. Dalam pembahasannya, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama kaum rasionalis Islam.4 Para teolog ini dijuluki Rasionalis Islam karena mereka banyak memakai akal. Meskipun demikian, rasionalitas Muktazilah tetap berpegang pada doktrin agama yakni al-Qur’an dan Hadis. Justru itu, Muktazilah harus dibedakan dengan rasionalis Barat yang hanya mengakui kemutlakan rasio. Rasionalis Islam hanya membenarkan rasionalitas, dalam arti kebenaran rasio merupakan kebenaran relatif, bukan kebenaran mutlak. Kebenaran yang mutlak hanya datang dari wahyu.5 Oleh karena itu, meskipun Muktazilah dianggap rasional, tetapi tetap terikat oleh ketentuan Allah. Sebab-Sebab Lahirnya Aliran Mu’tazilah Mu’tazilah berasal dari kata i’tazal - ya’tazil-i’tizâl; yang berarti orang yang memisahkan diri atau mengasingkan diri. Kata ini secara umum dapat dipakai dalam setiap tindakan, yang mengasingkan diri atau memisahkan diri dari kelompoknya, maka orang itu dikatakan ber-i’tizâl. Bila diperhatikan sejarah perkembangan Islam pada periode awal, persoalan yang pertama-tama muncul adalah bidang politik dan bukan dalam bidang teologi. Dengan diawalinya terjadinya Perang Shiffin,6 yaitu perang memperebutkan kursi kekhalifahan antara pendukung ‘Ali dengan pendukung Mu’awiyah. Di saat posisi Mu’awiyah dalam keadaan tidak menguntungkan, timbul siasat dari pihak Mu’awiyah untuk mengadakan
arbitrase (tahkim).7
Peristiwa tersebut menimbulkan hal yang tidak menguntungkan untuk pihak Ali, karena pendukungnya pecah menjadi dua. Di satu pihak terdapat orang-orang yang tetap setia pada ‘Ali. Mereka dikenal dengan kelompok Syi’ah. Di pihak lain ada yang menentang bahkan memusuhinya. Mereka dikenal dengan kelompok Khawarij. Kaum Khawarij tidak menyetujui tahkim, mereka berpendapat semua orang yang menyetujui tahkim Ali, Mu’awiyah, Amr Ibn ‘Ash, Abu Musa al-Anshari dan yang lainnya bersalah. Mereka telah melakukan dosa besar, status mereka kafir dan wajib dibunuh. 4 Ibid., hal. 38. 5 Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1988), hal. 28-29. 6 Perang Shiffin merupakan peperangan antara pasukan ‘Ali dan Mu’awiyah pada suatu tempat yang bernama Shiffin. Penyebab terjadinya perang Shiffin adalah Mu’awiyah menuntut balas atas kematian ‘Usman Ibn Affan. Dalam menggalang kekuatan, Mu’awiyah melakukan provokasi terhadap penduduk negeri Syam yang bertujuan untuk menanamkan kebencian terhadap ‘Ali Ibn Abî Thalib. Mu’awiyah berhasil menanamkan kebencian terhadap ‘Ali dan semakin bertambah setelah Mu’awiyah menyampaikan orasi sambil memperlihatkan bagian baju ‘Usman yang berlumuran darah. Lihat: Abd al’Aziz al-Salim, Tarikh al-Daulah al‘Arabiyah, (Beirut: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, t. t), hal. 584. 7 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 1. 201
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 4, Desember 2011
Persoalan pelaku dosa besar inilah yang kemudian mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi Islam. Persoalannya adalah bagaimana status orang mukmin yang telah melakukan dosa besar, apakah masih dipandang sebagai orang mukmin atau sudah menjadi kafir. Puncak persoalan ini pada periode awal telah melahirkan tiga aliran teologi dalam Islam. Pertama, aliran Khawarij menyatakan pelaku dosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari Islam, oleh karenanya ia wajib dibunuh. Kedua, aliran Murji’ah berpendapat bahwa orang tersebut masih tetap mukmin dan bukan kafir. Sementara ketiga, aliran Muktazilah mengatakan bahwa orang tersebut mengambil posisi di antara mukmin dan kafir.8 Berangkat dari persoalan inilah istilah Muktazilah dimunculkan, karena aliran ini memisahkan diri dari dua aliran teologis yang tersebar di waktu itu, Khawarij dan Murji’ah. Para sejarawan dan pemikir Islam telah memformulasikan berbagai bentuk analisis pemikiran dalam mencari asal-usul lahirnya aliran Muktazilah. Meskipun demikian masih sulit untuk mengetahui secara pasti lahirnya aliran teologi rasional ini karena belum ada data-data sejarah secara tegas menginformasikan tentang tahun lahirnya aliran Muktazilah.9 Berbagai pendapat dimajukan ahli-ahli, namun belum ada kata sepakat antara mereka.10 Berbagai pendapat yang dimajukan dapat dilihat dari keterangan para ahli seperti Ahmad Amin11 dalam bukunya Fajr al-Islâm. Ia menjelaskan kata i’tazala, i’tizal, mu’tazilat sudah sering dipergunakan terhadap orang-orang yang tidak mau melibatkan diri dalam dua kelompok yang bertikai pada masa permulaan Islam. Pada kondisi ini bisa dikatakan bahwa istilah muktazilah dipergunakan bagi orang-orang yang tidak mau terlibat pada pertempuran dua kelompok seperti pada peristiwa Perang Shiffin atau pada perselisihan antara ‘Ali dengan ‘Aisyah pada Perang Jamal. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Muhammad Jalal Syarif dan ‘Ali ‘Abd al-Mu’thi Muhammad. Menurut kedua tokoh ini,12 nama Muktazilah ditujukan terhadap golongan yang keluar dari peristiwa perang yang terjadi antara pendukung ‘Ali dengan Muawiyah. Mereka tidak mau melibatkan diri dalam pertikaian dan mengkonsentrasikan pikiran untuk mempelajari al-Qur’an dan ajaran agama. Dengan demikian, Muktazilah
8 Ibid., hal. 7. 9 Zuhdi Jâr Allah, al-Muktazilah, (Beirut: al-Ahliyah Li al-Nasyr Wa al-Tauz’î, 1974), hal. 12. 10 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 41. 11 Ahmad Amin, Fajr al-Islâm, (Kairo: Dar al-Kutub, 1975), hal. 290. 12 Muhammad Jalal Syarif dan ‘Ali Abd Muthi’ Muhammad, al-Fikr al-Siyâsi Fi al-Islâm, (Mesir: Dar al-Jami’iyat, 1978), hal. 129. 202
Fuad Mahbub Siraj Mu’tazilah; Kaum Rasionalis Islam
telah mulai lahir semenjak terjadinya pertentangan politik13 pada masa permulaan Islam. Mereka yang menjauhkan diri dan tidak mau melibatkan diri dalam pertikaian ini bermaksud untuk menghindarkan meluasnya fitnah di kalangan kaum muslimin. Abu al-Fida sebagaimana dikutib oleh Ghurabi menyatakan bahwa banyak juga kaum muslimin yang tidak membai’at ‘Ali menjadi khalifah, walaupun mereka bukanlah dari pendukung Ustman ataupun ‘Ali. Dapat dimengerti bahwa penggunaan kata Muktazilah dalam hal seperti ini adalah masalah politik dan bukan masalah agama atau akidah.14 Dan ini telah terjadi kira-kira 100 tahun sebelum peristiwa Washil Ibn ‘Atha’ dengan Hasan al-Bashri. Golongan ini disebut sebagai Muktazilah pertama yang mempunyai corak politik, dalam arti pertikaian politik yang ada di zaman mereka. Sedangkan lahirnya Muktazilah sebagai aliran teologi Islam yang bersifat rasional dan liberal dapat dipaparkan berbagai pendapat sebagai berikut: Munculnya sebuah pertanyaan dari seseorang murid kepada Hasan al-Bashri dalam majelisnya tentang posisi orang mukmin yang melakukan dosa besar. Golongan Khawarij menamakan mereka sebagai kafir, sedangkan golongan Murji’ah menamakan mereka tetap mukmin. Lalu bagaimana pendapat Anda wahai guru? Hasan al-Bashri berfikir, ketika ia belum sempat menjawab, Washil Ibn ‘Atha’ berkata, “Saya berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak mukmin sepenuhnya dan tidak kafir sepenuhnya, tetapi berada di antara dua posisi, yaitu fasik; tidak mukmin dan tidak kafir”. Washil berdiri dan menjauhkan diri di suatu sudut mesjid dan menegaskan kembali pendiriannya itu kepada sejumlah orang dari jama’ah Hasan al-Bashri. Hasan al-Bashri berkata ‘Itazala ‘anna Washil (Wasil telah memisahkan diri dari kita).15 Sementara al-Baghdadi mengungkapkan, Washil dan temannya ‘Amr Ibn ‘Ubayd Ibn Bab diusir oleh Hasan al-Bashri dari mejelisnya karena adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan al-Bashri dan mereka beserta pengikut-pengikutnya disebut kaum Muktazilah karena menjauhkan diri dari paham umat Islam tentang orang yang berdosa besar.16
13 Yang dimaksud dengan masalah politik dalam kalimat ini adalah masalah pemilihan khalifah; siapa sebenarnya yang berhak untuk menjadi khalifah yang mengatur urusan umat Islam. 14 Sedangkan masalah agama yang dimaksud adalah hal-hal yang ada hubungannya dengan pokok-pokok atau dasar-dasar akidah Islam. 15 Al-Syahrastânî ‘Abd al-Karim Ibn Abi Bakar Ahmad, al-Milal wa al-Nihâl, (Beirut: Dar alFikr ,tt), hal. 48 16 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 38. 203
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 4, Desember 2011
Sementara Mas’udi17 memberikan keterangan lain, yaitu dengan tidak mempertalikan pemberian nama itu dengan peristiwa pertikaian antara Washil dan ‘Amr dengan Hasan al-Bashri. Mereka disebut kaum Muktazilah karena mereka berpendapat bahwa orang-orang yang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara dua posisi itu (al-manzilah bayn al-manzilatayn). Dari uraian di atas terlihat bahwa penamaan Muktazilah tidak bisa dipastikan. Namun aneka pendapat di atas menunjukkan bahwa nama Muktazilah diberikan kepada Washil Ibn ‘Atha’.18 Kelihatannya antara Muktazilah pertama dan Muktazilah kedua mempunyai background yang berbeda. Kemunculan Muktazilah pertama dipicu dengan adanya pertikaian politik, sementara Muktazilah kedua lebih didorong oleh persoalan keagamaan. Oleh karena itu hubungan yang terdapat antara Muktazilah pertama dengan kedua masih merupakan perdebatan pada kalangan ilmuwan karena fakta-fakta yang ada belum dapat memberikan kepastian. Menurut keterangan Nallino,19 seperti yang dikutib oleh Harun Nasution, nama Muktazilah sebenarnya tidak mengandung arti memisahkan diri dari umat Islam, melainkan nama golongan yang berdiri netral di antara kaum Khawarij dan Murji’ah dalam persoalan pelaku dosa besar. Muktazilah yang kedua mempunyai hubungan erat dengan Muktazilah pertama. Kemudian ia mengatakan bahwa Muktazilah kedua merupakan kelanjutan dari golongan Muktazilah pertama. Ajaran Pokok Mu’tazilah
Al-Ushul al-Khamsah merupakan lima dasar pokok yang menjadi ajaran inti kaum Muktazilah, bahkan al-Khayyat20 salah seorang tokoh Muktazilah berpendapat bahwa siapa yang tidak menerima kelima dasar ajaran Muktazilah secara keseluruhan belum bisa disebut Muktazili. Kelima ajaran pokok tersebut satu sama lain saling berhubungan. Berikut akan dipaparkan pengertian masing-masing kelima ajaran tersebut. A. Al-Tawhid Prinsip yang pertama bagi kaum Muktazilah adalah tauhid, artinya keesaan Tuhan dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Dalam memahami tauhid golongan Muktazilah mempunyai corak tersendiri, lebih dari sekedar meng-Esakan Tuhan seperti yang tersurat dalam kalimat lâ ilâha illa al-Allâh (tiada Tuhan selain Allah) atau tiada banyak Tuhan. Akan 17 Ibid., hal. 39. 18 Abdul Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, (Jakarta: Beunebi Cipta, 1987), hal. 69. 19 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 40. Nalliono adalah seorang orientalis yang berkebangsaan Itali pernah menjadi anggota Lembaga Ilmu Pengetahuan Arab di Damaskus. Baca: Muhammad al-Bahiy, Pemikiran Islam Modenr, Terj. (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), hal. 362. 20 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 40. 204
Fuad Mahbub Siraj Mu’tazilah; Kaum Rasionalis Islam
tetapi mereka berupaya menggambarkan Tuhan dengan sesuatu yang unik, berbeda sekali dengan makhluk. Karena itulah kaum Muktazilah menolak semua pendapat yang mengatakan adanya dualisme. Mereka seperti yang dijelaskan Ahmad Amin, berupaya untuk membahas kesucian Tuhan dengan analisa filsafat dan menjelaskan arti tauhid secara rasional.21 Ajaran tauhid kaum Muktazilah ini dikembangkan dalam konsepkonsep seperti menafikan sifat-sifat Tuhan, menganggap al-Qur’an baharu (makhluk) bukan qadîm, menafikan kemungkinan dapat melihat Tuhan di akhirat dengan mata kepala. Berbagai konsep pemikiran tersebut sangat berlainan dan bertentangan dengan prinsip yang berkembang di tengah masyarakat saat itu. Tuhan menurut kaum Muktazilah benar-benar dapat dibedakan dari yang lain karena Dia qadîm (abadi). Oleh karena itu Wasil Ibn ‘Atha’ berkata bahwa siapa yang menetapkan sifat-sifat Tuhan itu tidak qadîm berarti dia telah meyakini adanya dua Tuhan.22 Kendatipun demikian Muktazilah tetap mengakui bahwa Tuhan itu Maha Tahu, Maha Kuasa, Maha Mendengar dan sebagainya, akan tetapi semua itu tidak dapat dipisahkan dengan zat atau esensi-Nya.23 Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa ilmu Allah itu adalah Allah itu sendiri dan begitu juga kekuasaan Allah itu adalah Allah itu sendiri dan seterusnya.
B. Al-‘Adl Al-‘Adl erta hubungannya dengan tauhid. Jika dengan tauhid kaum Muktazilah ingin mensucikan diri Tuhan dari persamaan dengan makhluk, maka dengan al’adl mereka ingin mensucikan perbuatan Tuhan dari persamaannya dengan perbuatan makhluk. Hanya Tuhanlah yang bersifat adil, Tuhan tidak bisa berbuat zalim. Pada makhluk terdapat perbuatan zalim. Dengan kata lain, kalau tauhid membahas keunikan diri Tuhan, al’Adl membahas keunikan perbuatan Tuhan.24 Pengertian al-‘Adl ini dapat dipahami dalam dua bentuk. Kata al‘Adl dapat digunakan sebagai sifat dari suatu perbuatan ( al-fi’il) dan juga dapat digunakan untuk menunjuk sifat bagi pelaku perbuatan ( al-Fa’il). Kata al-‘Adl dalam pengertian sifat dari perbuatan Tuhan adalah pemberian hak-hak seseorang sesuai dengan tindakan yang dilakukannya. Apabila digunakan untuk sifat bagi pelaku perbuatan, seperti pada kalimat “Allah Maha Adil dan Maha Bijaksana”, maka pengertiannya adalah bahwa Allah
21 Ahmad Amin, Dhuhâ al-Islâm, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby t. th., juz III), hal. 22. 22 Al-Syahrastani, ‘Abd al-Karim Ibn Abi Bakar Ahmad, al-Milal wa al-Nihâl, (Beirut: Dar alFikr ,tt), hal. 46. 23 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 52-53. 24 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 53. 205
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 4, Desember 2011
tidak melakukan keburukan atau kejahatan dan semua perbuatan Tuhan adalah baik.25 Menurut paham kaum Muktazilah, Allah mustahil berlaku tidak adil kepada hamba-Nya, sebab Tuhan menurut akal pasti melakukan yang baik dan terbaik untuk manusia.26 Tuhan tidak mungkin memberi beban sesuatu yang tidak mungkin terpikul oleh manusia. Konsekuensi logisnya adalah bahwa jika perbuatan itu baik, maka Dia tidak aniaya dalam hukum-Nya, tidak menyiksa orang musyrik lantaran dosa orang tuanya, tidak memberi mu’jizat kepada pendusta.27 Justru itu perbuatan manusia diserahkan kepada manusia itu sendiri hingga akhirnya manusia bertanggung jawab sendiri atas apa yang dilakukannya.28 Sebagaimana dimaklumi bahwa akal mempunyai status yang tinggi di kalangan kaum Muktazilah. Berpijak kepada prinsip al-‘Adl Tuhan, mereka sampai kepada suatu konklusi bahwa akal dapat mengetahui kebaikan dan keburukan, sekalipun tidak ada wahyu,29 sebab baik dan buruk merupakan esensi dalam sesuatu, sementara Tuhan telah memberi potensi akal untuk bisa membedakan sesuatu yang dapat mencapai kebenaran. Di samping itu akal merupakan hakim (penentu) dalam memutuskan baik dan buruk, karena mengetahui baik dan buruk itu adalah wajib secara rasional. Itulah sebabnya manusia mempunyai kewajiban untuk berupaya dengan baik.
C. Al-Wa’ad wa al-Wa’id
Point ketiga dari ajaran dasar Muktazilah adalah al-wa’ad wa alwa’id. Ajaran ini erat sekali hubungannya dengan ajaran sebelumnya al’Adl. Dengan prinsip ini Tuhan tidak dapat dikatakan tidak adil jika tidak memberi pahala kepada orang-orang yang berbuat baik dan jika tidak menghukum orang yang berbuat buruk.30 Dengan prinsip ketiga ini Muktazilah memahami bahwa Tuhan mesti akan memberi pahala bagi pelaku kebaikan dan akan menyiksa pembuat kejahatan, keduanya itu akan terwujud di akhirat nanti. Akan tetapi pelaku dosa besar yang sempat bertaubat akan diampuni Allah. Bagi kaum Muktazilah, seorang mukmin yang meninggal dunia dalam keadaan taat dan bertaubat akan mempunyai hak untuk memperoleh pahala, sedangkan yang meninggal dalam keadaan berdosa besar dan belum bertaubat akan kekal selama-lamanya di neraka, sekalipun siksa yang diperolehnya lebih ringan dari siksa orang kafir. Kendatipun demikian tidak 25 Qadhi ‘Abd al-Jabbar, Syarh al-Ushûl al-Khamsat, Edisi Abdul al-Karim Usman, (Kairo: Makatabah Wahdah, 1965), hal. 301. 26 Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 66. 27 Qadhi ‘Abd al-Jabbar, Syarh al-Ushûl al-Khamsat, hal. 133. 28 Fuad Mohd. Fachruddin, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, (Jakarta: Jasaguna, 1988), hal. 86. 29 Ahmad Amin, Fajr al-Islam, hal. 298. 30 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 55. 206
Fuad Mahbub Siraj Mu’tazilah; Kaum Rasionalis Islam
semua taubat dapat diterima oleh Allah. Bagi Muktazilah, seperti dijelaskan Abi Hasyim, salah seorang tokoh Muktazilah, bahwa taubat seorang pendusta ketika sudah tidak mampu lagi berbohong tidak sah, demikian pula taubatnya orang yang berbuat zina ketika telah tidak mampu lagi melakukan zina. Sementara itu penulis cenderung berpendapat bahwa orang mukmin yang dosa besar dan mati sebelum bertaubat tetap akan dimasukkan ke surga, sebab orang mukmin tentunya sedikit banyaknya telah melakukan perbuatan baik dan shaleh dalam hidupnya, sehingga dia terlebih dahulu dihukum dalam neraka kemudian setelah habis hukumannya baru ia dipindahkan ke surga. Dengan kata lain, mereka tidak kekal dalam neraka selama-lamanya. Di samping itu penulis sependapat dengan Muktazilah ketika berprinsip bahwa Allah akan memberi pahala dan hukuman kepada hamba-Nya sesuai dengan apa yang dilakukan mereka, perbuatan baik akan dibalas dengan pahala sementara perbuatan jahat akan dibalas dengan dosa/hukuman.
D. Al-Manzilah bain al-Manzilatayn Dalam memberikan justifikasi terhadap pelaku dosa besar umat Islam terbagi dalam berbagai kelompok yang mempunyai aneka ragam persepsi. Golongan Khawarij misalnya, menganggap bahwa pelaku dosa besar itu adalah kafir, sementara golongan Murji’ah menilainya masih tetap mukmin. Sedangkan sebahagian yang lain, seperti Hasan al-Bashri, menganggap munafik. Washil Ibn Atha’ yang diakui sebagai peletak dasar baru pertama aliran Muktazilah mempunyai pendapat yang berbeda dengan ketiga pendapat di atas. Menurutnya, pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tapi berada di antara keduanya, yakni fasik. Sedangkan pelaku fasik mestinya ditempatkan di luar surga dan neraka sebagai konsekuensi dari prinsip keadilan Tuhan. Akan tetapi karena di akhirat hanya disediakan dua tempat, surga dan neraka, maka pelaku dosa besar itu harus dimasukkan ke salah satu tempat, yakni neraka. Akan tetapi siksaan yang diterimanya tidak sama dengan orang kafir, yakni siksaan yang lebih ringan. Inilah posisi menengah antara mukmin dan kafir menurut kaum Muktazilah dan ini jugalah yang disebut keadilan Tuhan.31
E. Al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-nahy ‘an al-munkar Ajaran dasar kelima adalah adanya perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat yang dianggap sebagai kewajiban oleh umat Islam pada umumnya. Ajaran Mu’tazilah yang kelima ini adalah ajaran yang paling penting dari keempat ajaran yang lainnya, karena aplikasi dari seluruh ajaran Mu’tazilah adalah untuk sampai kepada al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar. 31 Ibid., hal. 55-56. 207
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 4, Desember 2011
Aliran-aliran yang lain dalam aliran kalam juga ada yang membicarakan tentang al-Amr bi al-Makruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar, namun perbedaan yang terdapat antara golongan-golongan itu adalah bagaimana cara pelaksanaannya. Khawarij memandang dalam menerapkan al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar dibutuhkan pemaksaan, sebab Khawarij adalah aliran yang sangat keras dan tegas dalam penerapan ajaran Islam. Bagi Khawarij Islam yang benar menurut mereka adalah Islam yang mereka anut. Berbeda dengan Khawarij, Murji’ah lebih liberal dalam penerapan ajaran Islam, ini disebabkan dengan sosio kultural dari penganut aliran ini yang mayoritas adalah golongan pengusaha. Menurut Murji’ah tidak perlu dilakukan pemaksaan dalam penerapan al-Amr bi alMa’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar. Kelihatan Mu’tazilah dalam masalah menengahi penyebaran ma’ruf dan pencegahan mungkar itu berbeda dari aliran Khawarij, dan Murji’ah. Khawarij dalam hal ini lebih cenderung menggunakan kekerasan atau kekuatan mata pedang. Sedangkan kaum Mu’tazilh tidak langsung menggunakan kekerasan mata pedang, tetapi mereka mengajak terlebih dahulu secara lemah lembut. Kaum Mu’tazilah memandang wajib menegakkan dan meluruskan akidah Islam dengan mata pedang jika penyimpangan akidah Islam dan ajarannya menampakkan gejala perlawanan kepada Allah dan penghalalkan terhadap apa yang telah dilarang-Nya. Selain daripada tujuan di atas anjuran yang dilontarkan oleh Mu’tazilah itu, juga bertujuan untuk menempa kelestarian dan kelangsungan syi’ar agama Islam sendiri. Apabila Islam sudah mulai memasuki daerah-daerah Majusi, Shabaiyyah, Yahudi, dan Nasrani, kebanyakan mereka telah masuk Islam karena takut akan kekuasaan yang ada. Akidah lama dan tradisi lama mereka masih mengakar dalam sanubari mereka. Timbullah semacam gerakan bawah tanah yang diusahakan mereka bagi meracuni akidah Islam yang murni. Pemikiran lama yang mereka anut ditiupkannya ke dalam kepercayaan akidah Islam. Dengan demikian timbullah berbagai aliran seperti aliran al-Musyabbihah, yang menyamakan Allah dengan makhluknya, aliran al-Mujassimah, yang mempercayai penyatuan Allah dengan diri makhluknya.32 Umat Islam dituntut memerangi segala bentuk percobaan yang mau merusak akidah Islam yang murni. Mu’tazilah mengatakan bahwa berjuang di medan perang tidak jauh bedanya dengan perjuangan atau jihad menumpaskan pemikiran kafir dan fasik.33 Begitulah aliran ini menegakkan paham mereka mengenai agama Islam. Tidak ada satu petunjukpun yang dapat diketengahkan untuk menuduh mereka keluar dari jalur akidah Islam. Aliran ini terbentuk dan berdiri dalam kegiatan menegakkan dan mempertahankan akidah Islam. Barakat Muhammad Murad, Manhaj al-Jadad wa al-Munadzarat fi al-Fikr al-Islâmi, (Kairo: al-Nasyir, 1990), hal. 266. 33 Muhammad Ali Abu Rayyan, Târîkh al-Fikr al-Falsafi fi al-Islâm,al-Iskandariyyat: Dar alJami’at, 1980, hal. 266. 208
32
Fuad Mahbub Siraj Mu’tazilah; Kaum Rasionalis Islam
Untuk melaksanakan kegiatan suci tersebut mereka menggunakan polapola hujjah akal dalam usaha menghadapi golongan yang menyimpang dari akidah Islam. Aliran ini tetap bersandar pada ayat-ayat al-Qur’an dan sunah. Dengan bantuan metode takwil akal pada ayat-ayat al-Qur’an mereka dapat menafsirkan wahyu mengikuti kesucian akal.34 Dengan cara itu mereka telah dapat memberikan pengertian dan petunjuk yang baik tentang agama Islam. Jelas kelihatan bahwa kaum Mu’tazilah mengandalkan metode rasional dalam memecahkan pelbagai masalah yang mereka hadapi. Namun mereka tidak membelakangi dan melupakan teks-teks wahyu. Mereka menakwilkan teks-teks al-Qur’an dan hadis bukanlah semata-mata dikarenakan akal rasional mereka. Dengan demikian telah dapat dibuktikan bahwa semua pemikiran yang dimajukan aliran Mu’tazilah seperti yang telah dipaparkan di atas tidak satupun yang bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis, bahkan hasil pemikiran mereka merupakan sumbangan yang amat berharga bagi kepentingan Islam. Penulis sangat ingin menuntaskan hal ini, akan tetapi berhubung suatu dan lain hal, maka dalam tulisan lain akan penulis bicarakan panjang lebar. Kesimpulan Mu’tazilah sebagai kaum rasionalis Islam memiliki lima pokok ajaran yang dikenal sebagai Ushul al-Khamsah. Kelima prinsip pokok ajaran tersebut adalah al-Tawhid, al-‘Adl, al-Wa’ad wa al-Wa’id, al-Manzilah bain al-Manzilatayn dan al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-nahy ‘an al-munkar. Siapa yang belum bisa menerima kelima pokok ajaran ini maka belum bisa disebut sebagai Muktazili. Para teolog ini dijuluki Rasionalis Islam karena mereka banyak memakai akal. Meskipun demikian, rasionalitas Muktazilah tetap berpegang pada doktrin agama yakni al-Qur’an dan hadis. Justru itu, Muktazilah harus dibedakan dengan rasionalis Barat yang hanya mengakui kemutlakan rasio. Rasionalis Islam hanya membenarkan rasionalitas, dalam arti kebenaran rasio merupakan kebenaran relatif, bukan kebenaran mutlak. Kebenaran yang mutlak hanya datang dari wahyu. Oleh karena itu, meskipun Muktazilah dianggap rasional, tetapi tetap terikat oleh ketentuan Allah. ***** Daftar Pustaka Amin, Ahmad, 1975. Fajr al-Islâm. Kairo: Dar al-Kutub. ----------, tt, Dhuhâ al-Islâm. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, juz III.
34
Ibid. 209
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 4, Desember 2011
‘Abd al-Jabbar, Qadhi, 1965. Syarh al-Ushûl al-Khamsat, Edisi Abdul al-Karim Usman. Kairo: Makatabah Wahdah. ‘Abd al-Karim Ibn Abi Bakar Ahmad, Al-Syahrastânî, tt. al-Milal wa al-Nihâl. Beirut: Dar al-Fikr. Aziz Dahlan, Abdul, 1987. Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam. Jakarta: Beunebi Cipta. Al-Salim, Abd al’Aziz, tt. Tarikh al-Daulah al-‘Arabiyah. Beirut: Dar al-Nahdhah al‘Arabiyah. Ali Abu Rayyan, Muhammad, 1980. Târîkh al-Fikr al-Falsafi fi al-Islâm. alIskandariyyat: Dar al-Jami’at. Jâr Allah, Zuhdi, 1974. al-Muktazilah. Beirut: al-Ahliyah Li al-Nasyr Wa al-Tauz’î. Jalal Syarif, Muhammad dan Muthi’ Muhammad, ‘Ali Abd, 1978. al-Fikr al-Siyâsi Fi al-Islâm. Mesir: Dar al-Jami’iyat. Mohd. Fachruddin, Fuad, 1988. Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam. Jakarta: Jasaguna. Muhammad Murad, Barakat, 1990. Manhaj al-Jadad wa al-Munadzarat fi al-Fikr alIslâmi. Kairo: al-Nasyir. Madjid, Nurcholish, 1988. Islam Kemodrenan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan. Nasution, Harun, 1986. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan. Jakarta: UI Press. ----------, Falsafat Islam, makalah pasca Ibn Rusyd, Yayasan Muthahari/LSAF, 12-13 Agustus 1989. Jakarta.
210