ANALISIS TUTURAN KRU BUS JURUSAN KABANJAHE-MEDAN TAHUN 2011 (Interaksi Antara Kru Bus-Penumpang/Calon Penumpang)
EVI ALRUMINA BR BANGUN NIM 072222710029 ABSTRAK Tuturan yang terjadi antara kru bus (kondektur dengan supir) atau antara kru bus dengan penumpang dan calon penumpang. Teriakan kata-kata makian atau kata-kata kasar sering terjadi bahkan kata-kata kasar merupakan hal yang biasa bagi mereka. Kadang kala supir memanggil kondekturnya dengan nama binatang misalnya ‘kancil’, ‘nggala (bengkala)’, ‘kera’ dan lain-lain. Fenomena kebahasaan di atas adalah penggalan beberapa kalimat yang diucapkan supir kepada kondekturnya. Seharusnya supir tidak mengeluarkan kata-kata kasar kepada kondekturnya agar tercipta jalinan kerja yang baik dan penumpang pun merasa nyaman. Kata Kunci : Tuturan Kru Bus, Kabanjahe Pendahuluan Manusia menggunakan bahasa sebagai alat berkomunikasi. Oleh karena itu bahasa sangat dibutuhkan oleh manusia untuk berinteraksi, menghubungkan manusia yang satu dengan yang lain. De Saussure (dalam Abdul Chaer 2003: 4) menyatakan bahwa bahasa sebagai alat komunikasi manusia adalah suatu sistem yang bersifat sistematis dan sekaligus sistemis. Sistemis berarti bahasa itu bukan suatu sistem tunggal melainkan terdiri pula dari beberapa subsistem. Sebagai makhluk sosial manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi, oleh karena itu manusia memerlukan kehadiran manusia lain untuk memenuhi kebutuhan sosialnya. Hal ini kemudian memunculkan kelompok-kelompok manusia dengan kesamaan tertentu yang disebut sebagai masyarakat. Di dalam hubungan bermasyarakat manusia memiliki berbagai kebutuhan salah satunya adalah interaksi sosial. Dalam berinteraksi manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Interaksi sosial yang terjadi di masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor linguistik tetapi juga faktor-faktor di luar linguistik. Seperti, usia, latar belakang sosial, pendidikan, profesi. Hal itulah yang menyebabkan timbulnya varisi bahasa. Bahasa yang digunakan oleh seorang dokter berbeda dengan bahasa seorang kondektur. Hal ini disebabkan oleh latar belakang yang berbeda. Demikian pula bahasa pegawai tentu berbeda dengan bahasa seorang kondektur. Fenomena kebahasaan ini tentu saja menarik untuk diteliti karena dapat menambah wawasan keilmuan linguistik. Penulis memilih analisis tuturan kru bus jurusan KabanjaheMedan berdasarkan pertimbangan bahwa ragam bahasa kasar kerap kali menjadi instrumen komunikasi dalam pergaulan sebagian masyarakat Indonesia baik kalangan yang berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan. Dengan melakukan penelitian ini akan dicoba melakukan telaah terhadap tuturan1 kru bus jurusan Kabanjahe-Medan yang mengandung kekasaran berbahasa dengan memperhatikan tuturan yang dilakukan oleh mereka. 1
Kajian Teori 1. Sosiolinguistik Fishman (1976 : 28 dalam Abdul Chaer dan Agustina 1995 : 46) menyebut “masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa berserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya”. Dengan pengertian bahwa kata masyarakat itu bersifat relatif, maka setiap kelompok orang yang karena profesinya, hobinya, tempat dan daerahnya menggunakan bentuk bahasa yang sama, serta mempunyai penilaian-penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa itu akan membentuk suatu masyarakat tutur. Menurut Rene Appel, Gerad Hubert, dan Greus Meijer 1976 : 10 dalam Abdul Caher (1995 : 5) sosiolinguistik adalah kajian mengenai bahasa dan pemakaiannya dalam konteks sosial dan kebudayaan. G. E. Booij, J. G. Kersten, dan H. J. Verkuyl 1975 : 139 mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah subdisiplin ilmu bahasa yang mempelajari faktor-faktor sosial yang berperan dalam penggunaan bahasa dan pergaulan sosial. Appel dalam Suwito, 1982:2 (Aslinda, 2007 : 6) mengatakan bahwa sosiolinguistik memandang bahasa sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Pemakaian bahasa berarti bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam situasi kongkret. Kartomihardjo (1988: 4) dalam Ferdinan Saragih (yang dikutip 29 September 2011 http://ferdinan01. blogspot.com /2009/02/ linguistik- sosiolinguistik- variasi. html) mengemukakan bahwa sosiolinguistik mempelajari hubungan antara pembicara dan pendengar, berbagai macam bahasa dan variasinya, penggunaannya sesuai dengan berbagai faktor penentu, baik faktor kebahasaan maupun lainnya, serta berbagai bentuk bahasa yang hidup dan dipertahankan di dalam suatu masyarakat. 2. Ragam bahasa Ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan, atau untuk keperluan tertentu. Ragam bahasa yang terjadi tergantung pemakaian topik yang dibicarakan, misalnya resmi tidak resmi, santun tidak santun, dan lain-lain. Abdul Chaer (1995 : 81), mengemukakan bahwa variasi bahasa bisa dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Variasi bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Ragam bahasa adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menunjuk salah satu dari sekian variasi yang terdapat dalam pemakaian bahasa. Sedangkan ragam itu timbul karena kebutuhan penutur akan adanya alat komunikasi yang sesuai dengan konteks sosialnya. Adanya berbagai ragam menunjukkan bahwa pemakaian bahasa (tutur) itu bersifat aneka ragam (heterogen). Fishman dalam Wibowo, 2001:5-6 (Sri Handayani Jurnal Penelitian Humaniora Vol 6, No. 1, 2005:86) menegaskan bahwa pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor linguistik, tetapi juga oleh faktor nonlinguistik, seperti faktor sosial dan faktor situasional. Faktor sosial, di antaranya meliputi status sosial, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, usia, dan jenis kelamin. Adapun faktor situasional di antaranya mencakup siapa yang berbicara,
dengan bahasa apa, kepada siapa, bilamana, di mana, dan masalah apa yang dibicarakan. Sesuai dengan penegasan ini, berarti dominasi faktor sosial dan situasional dalam pemakaian bahasa akan mempengaruhi munculnya variasi bahasa. Keadaan sosial ekonomi dapat menimbulkan variasi bahasa. Lavob mengungkapkan terdapat hubugan antara keadaan status sosial ekonomi dengan tingkat penguasaann bahasa. Semakin tinggi kelas sosial ekonomi penutur maka semakin dekat ucapannya dengan bahasa santun. Dalam studi tentang variasi bahasa, Raharjo (2001:74) dalam Sri Handayani (Jurnal Penelitian Humaniora Vol 6, No. 1, 2005:86) mengemukakan bahwa ragam bahasa merupakan variasi bahasa yang disebabkan oleh adanya perbedaan dari sudut pembicara, tempat, pokok tuturan, dan situasi. Dalam penelitian ini variasi bahasa lisan merupakan alat yang digunakan kru bus dalam mengadakan interaksi. Bahasa yang digunakan pun bervariasi. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dan mempercepat interaksi. Menurut Chaer (2004:62) dalam Ferdinan Saragih (yang dikutip 12 April 2011 http://sigodang.blogspot.com/2008/11/variasi-bahasa.html) bahwa variasi bahasa dibedakan berdasarkan penutur dan penggunanya, Adapun penjelasan variasi bahasa tersebut adalah sebagai berikut: a. Variasi bahasa dari segi penutur 1) Variasi bahasa idiolek Variasi bahasa idiolek adalah variasi bahasa yang bersifat perorangan. Menurut konsep idiolek setiap orang mempunyai variasi bahasa atau idioleknya masing-masing. 2) Variasi bahasa dialek Variasi bahasa dialek adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu. Umpamanya, bahasa Jawa dialek Bayumas, Pekalongan, Surabaya, dan lain sebagainya. 3) Variasi bahasa kronolek atau dialek temporal Variasi bahasa kronolek atau dialek temporal adalah variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok sosial pada masa tertentu. Misalnya, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi bahasa pada tahun lima puluhan, dan variasi bahasa pada masa kini. 4) Variasi bahasa sosiolek Variasi bahasa sosiolek adalah variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Variasi bahasa ini menyangkut semua masalah pribadi para penuturnya, seperti usia, pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi, dan lain sebagainya. Menurut Chaer (2004 : 87) variasi bahasa yang berhubungan dengan tingkat golongan, status dan kelas sosial para penuturnya dikemukakan variasi bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argon, dan ken. Akrolek adalah variasi bahasa yang dianggap lebih bergengsi daripada variasi bahasa lainnya. Basilek adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi atau bahkan dianggap rendah. Sedangkan vulgar adalah variasi bahasa sosial yang cirri-cirinya tampak pada tingkat intelektual penuturnya. Maksudnya, variasi bahasa vulgar biasa digunakan oleh penutur yang kurang berpendidikan dan tidak terpelajar misalnya, variasi bahasa yang digunakan oleh penutur atau sekelompok orang di tengah pasar.
5) Variasi bahasa berdasarkan usia Variasi bahasa berdasarkan usia yaitu varisi bahasa yang digunakan berdasarkan tingkat usia. Misalnya variasi bahasa anak-anak akan berbeda dengan variasi remaja atau orang dewasa. 6) Variasi bahasa berdasarkan pendidikan Variasi bahasa berdasarkan pendidikan yaitu variasi bahasa yang terkait dengan tingkat pendidikan si pengguna bahasa. Misalnya, orang yang hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar akan berbeda variasi bahasanya dengan orang yang lulus sekolah tingkat atas. Demikian pula, orang lulus pada tingkat sekolah menengah atas akan berbeda penggunaan variasi bahasanya dengan mahasiswa atau para sarjana. 7) Variasi bahasa berdasarkan seks Variasi bahasa berdasarkan seks adalah variasi bahasa yang terkait dengan jenis kelamin dalam hal ini pria atau wanita. Misalnya, variasi bahasa yang digunakan oleh ibu-ibu akan berbeda dengan varisi bahasa yang digunakan oleh bapak-bapak. 8) Variasi bahasa berdasarkan profesi, pekerjaan, atau tugas para penutur Variasi bahasa berdasarkan profesi adalah variasi bahasa yang terkait dengan jenis profesi, pekerjaan dan tugas para penguna bahasa tersebut. Misalnya, variasi yang digunakan oleh para buruh, guru, mubalik, dokter, dan lain sebagainya tentu mempunyai perbedaan variasi bahasa. b.
Variasi bahasa dari segi pemakaian
Variasi bahasa berkenaan dengan pemakaian atau fungsinya disebut fungsiolek atau register adalah variasi bahasa yang menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya bidang jurnalistik, militer, pertanian, perdagangan, pendidikan, dan sebagainya.
c. Ragam bahasa dari segi keformalan Ragam bahasa dari segi keformalan dibedakan menjadi (1) ragam baku, (2) ragam resmi atau formal, (3) ragam usaha atau konsultatif, (4) ragam santai, dan (5) ragam akrab atau intim (Chaer dan Agustina, 2004: 70-73). Ragam baku adalah variasi bahasa yang paling formal menggunakan bahasa dalam ragam baku dengan pola dan kaidah yang sudah ditetapkan kebakuannya. Variasi bahasa ragam baku digunakan dalam acara resmi dan khidmat, misalnya dalam upacara kenegaraan. Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi formal seperti pidato kenegaraan, rapat-rapat dinas, buku pelajaran dan lain sebagainya. Ragam usaha atau konsultatif adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi yang tidak terlalu resmi atau formal dan tidak terlalu santai. Misalnya dalam pembicaraan di sekolah, rapatrapat biasa atau pembicaraan yang berorientasi pada hasil produksi. Ragam santai atau kausal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi santai seperti pada pembicaraan antara kawan, keluarga pada waktu istirahat, berolahraga, berekreasi dan sebagainya. Ragam santai ditandai dengan adanya pemakaian bahasa yang sering tidak normatif, kosa katanya banyak dipengaruhi bahasa daerah dan unsur leksikal dialek. Ragam akrab atau intim adalah varaiasi
bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab. Ragam akrab ditandai dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek, dan dengan artikulasi yang seringkali tidak jelas. 3. Tindak tutur Tindak tutur (speech art) merupakan unsur pragmatik yang melibatkan pembicara, pendengar atau penulis pembaca serta yang dibicarakan. Dalam penerapannya tindak tutur digunakan oleh beberapa disiplin ilmu. Menurut Chaer (2004 : 65) tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Tindak tutur juga perbuatan berbahasa yang dimungkinkan dan diwujudkan sesuai dengan kaidah-kaidah pemakaian unsur-unsur. Tindak tutur dibedakan menjadi dua yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Dalam pragmatik tuturan ini dapat digunakan sebagai produk suatu tindak verbal (Leech, 1993 : 20). Maksud tuturan adalah pemakaian satuan bahasa seperti kalimat, sebuah kata oleh seorang penutur tertentu pada situasi tertentu. Tindak tutur dapat dikatakan sebagai suatu yang sebenarnya kita lakukan ketika kita berbicara. Ketika kita terlibat dalam suatu percakapan kita melakukan beberapa tindakan seperti melaporkan, menjanjikan, mengusulkan, menyarankan, dan lain-lain. Suatu tindak tutur dapat didefinisikan sebagai unit terkecil aktivitas berbicara yang dapat dikatakan memiliki fungsi. Dalam kajian tindak tutur ini ‘tuturan’ sebagai kalimat atau wacana yang terkait konteks, pengistilahannya berbeda-beda. Searle dalam (Aslinda dan Leni, 2007 : 34) mengemukakan bahwa tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari interaksi lingual. Tindak tutur dapat berwujud pernyataan, pertanyaa, dan perintah (Suwito dalam Aslinda dan Leni, 2007 :34). Tuturan atau ujaran sebagai rangkaian unsur bahasa yang pendek atau panjang yang digunakan dalam berbagai kesempatan yang berbeda untuk tujuan-tujuan berbeda. Istilah tuturan atau ujaran ini mencakup wacana lisan dan wacana tulis. Searle dalam bukunya Speech Acts An Essay in The Philosophy of Language (1969 : 23-24) dalam Wijana (2009 : 20-26) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidaktidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (Locutionary Act), tindak ilokusi (Ilocutionary Act), tindak perlokusi (Perlocutionary Act). a. Tindak Lokusi Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Daya lokusi suatu ujaran adalah makna dasar dan referensi (makna yang diacu) oleh ujaran itu. Sebagai contoh adalah : - Jari tangan jumlahnya lima. - Ibu guru berkata kepada saya agar saya membantunya.
Kalimat di atas, diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. b. Tindak Ilokusi Chaer (2004:53) mengatakan bahwa tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalmat performatif yang eksplisit. Tindak tutur ilokusi biasanya berkenaan dengan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan. Dengan kata lain ilokusi berati melakukan tindakan dalam mengatakan sesuatu (Leech, 1993:316). Tindak tutur ilokusi selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Daya ilokusi adalah daya yang ditimbulkan oleh penggunaannya sebagai perintah, ejekan, keluhan, janji, dan pujian. Tindak tutur ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan (Rustono, 1999:37). Tindak ilokusi tidak mudah diidentifikasi karena tindak ilokusi ini berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan dan di mana tindak tutur dilakukan sehingga dalam tindak tutur ilokusi perlu disertakan konteks tuturan dalam situasi tuturan. Sebagai contoh adalah : - Saya tidak dapat datang. Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa, bila kalimat itu diutarakan oleh seseorang kepada temannya yang baru saja merayakan ulang tahun, tidak hanya berfungsi untuk menyatakan sesuatu, tetapi untuk melakukan sesuatu, yakni meminta maaf. c. Tindak Perlokusi Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek bagi yang mendengarkan. Efek atau daya pengaruh tersebut dapat secara sengaja atau tidak disengaja dikreasikan oleh penuturnya. Daya perlokusi adalah hasil atau efek ujaran terhadap pendengarnya, baik yang nyata maupun yang diharapkan. Sebagai contoh adalah : - Kemarin saya sangat sibuk. Bila kalimat di atas diutarakan oleh seseorang yang tidak dapat menghadiri undangan rapat kepada orang yang mengundangnya, kalimat ini merupakan tindak ilokusi untuk meminta maaf. Perlokusi (efek) yang diharapkan adalah orang yang mengundang dapat memakluminya. 4. Konteks Istilah konteks didefinisikan oleh Mey (1993 : 38) dalam F.X. Nadar (2008 : 3-4) sebagai the surroundings, in the widest sense, that enable the participants in the communication process to interact, and that make the linguistic expressions of their interaction intelligible (“situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta pertuturan untuk dapat berinteraksi, dan yang membuat ujaran mereka dapat dipahami”). Menurut Leech konteks berarti sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang dimiliki oleh penutur dan petutur dan yang membantu petutur menafsirkan makna tuturan. Konteks dalam hal ini berfungsi sebagai dasar pertimbangan untuk mendiskripsikan makna tuturan dalam
rangka penggunaan bahasa di dalam komunikasi. Untuk menentukan pemahaman dalam komunikasi perlu diketahui hubungan antara bahasa dan konteksnya. Artinya, untuk mengetahui atau memahami makna yang dimaksudkan oleh peneliti atau penulis, tidak hanya dengan memahami makna yang dimaksud atau kalimat yang digunakan, tetapi dituntut untuk mengambil pengetahuan dan kesimpulan tentang apa yang dikatakan atau ditulis berdasarkan pemakaian konteks yang ada. Dalam berkomunikasi, masyarakat tutur tidak terlepas dari situasi tuturan atau konteks tuturan. Untuk itu, Firth (1935) mempunyai pandangan tentang konteks situasi. Adapun pokok-pokok pandangannya adalah (1) pelibat atau participants dalam situasi, (2) tindakan pelibat, (3) ciri-ciri situasi lainnya yang relevan, dan (4) dampak-dampak tindakan tutur. Pelibat merupakan faktor penentu di dalam berbicara. Pelibat dalam situasi adalah para pelaku bahasa, antara lain masyarakat, pendidik, ahli bahasa, serta peneliti bahasa. Di dalam menuturkan suatu tuturan pelibat berarti melakukan suatu tuturan yang disebut dengan tindakan pelibat. Adapun yang dimaksud dengan tindakan pelibat yaitu hal-hal yang dilakukan oleh penutur, meliputi tindak tutur atau verbal action maupun tindakan yang tidak berupa tuturan atau non verbal actions. Selain hal tersebut, ciri-ciri situasi lainnya yang relevan merupakan aspek situasi tutur yang perlu diperhatikan di dalam berkomunikasi. Adapun yang dimaksud dengan ciri-ciri situasi yang relevan adalah kejadian dan benda-benda sekitar yang sepanjang hal itu mempunyai sangkut paut tertentu dengan hal yang sedang berlangsung. Penutur di dalam melakukan suatu tuturan tidak boleh mengabaikan dampak-dampak dari tindak tutur karena dampak itu timbul disebabkan oleh tuturan para penutur. Dapat disimpulkan bahwa suatu bahasa yang dipakai oleh seorang penutur dapat ditangkap maksudnya oleh lawan tutur sesuai dengan konteks situasi yang melingkupi peristiwa tutur. Rustono berpendapat konteks adalah sesuatu yang menjadi sarana pemerjelas suatu maksud (Rustono, 1999:19). Sarana itu meliputi dua macam, yang pertama berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud dan yang kedua berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian. Konteks yang berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud itu disebut koteks. Sementara itu, konteks yang berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian lazim disebut konteks saja. Menurut Alwi et al. (1998:421) konteks terdiri atas unsur-unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana. Bentuk amanat sebagai unsur konteks antara lain dapat berupa surat, esai, iklan, pemberitahuan, pengumuman. Kode menyangkut ragam bahasa yang digunakan, apakah ragam bahasa Indonesia baku, bahasa Indonesia logat daerah, atau bahasa daerah. Sementara itu, unsur konteks yang berupa sarana adalah wahana komunikasi yang dapat berwujud pembicaraan bersemuka atau melalui telepon, surat, dan televisi. Menurut Yule (1996:33) ada beberapa jenis konteks yaitu konteks linguistik atau koteks. Koteks suatu kata merupakan sekelompok kata-kata lain yang digunakan dalam frase atau kalimat yang sama. Koteks mempunyai pengaruh kuat pada penafsiran makna kata yang kita ucapkan. Dan konteks fisik yaitu di mana pemahaman kita akan apa yang kita baca dan didengar terkait erat dengan waktu dan tempat kita menemui pernyataan-pernyataan linguistik, konteks juga berhubungan dengan situasi berbahasa (speech situation). Menurut Hymes (1984) yang kemudian dikutip Brown (1983) mengemukakan bahwa ciri-ciri konteks itu mencakupi delapan hal yaitu penutur, mitra tutur, topik tuturan, waktu dan tempat bertutur, saluran atau media, kode (dialek atau gaya), amanat atau pesan, dan peristiwa atau kejadian. Dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa konteks adalah unsur yang terkait dengan bahasa itu sendiri maupun di luar bahasa itu.
5. Prinsip Kesantunan Leech Leech (1993) membahas teori kesantunan dengan menitikberatkan atas dasar nosi, 1) biaya/cost dan keuntungan/benefit, 2) kesetujuan/agreement, 3) pujian/approbation, 4) smpati/antipati. Ada enam maksim menurut Leech (1993) yaitu : 1) Maksim kebijaksanaan (Tact Maxim) a. Kurangi kerugian orang lain. b. Tambahi keuntungan orang lain. 2) Maksim kedermawanan (Generosity Maxim) a. Kurangi keuntungan diri sendiri. b. Tambahi pengorbanan diri sendiri. 3) Maksim penghargaan (Approbation Maxim) a. Kurangi cacian pada orang lain b. Tambahi pujian pada orang lain. 4) Maksim kerendahan hatian (Modesty Maxim) a. Kurangi pujian pada diri sendiri. b. Tambahi cacian pada diri sendiri. 5) Maksim kesepakatan (Agreement Maxim) a. Kurangi ketidasesuaian antara diri sendiri dengan orang lain b. Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. 6) Maksim simpati (Sympathy Maxim) a. Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain. b. Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain. (Rahardi, 2005 : 5960) 5.1 Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan 5.1.1 Maksim Kebijaksaan (Tact Maxim) Setiap peserta pertuturan meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan orang lain. Bijaksana adalah suatu sifat atau karakter. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bijaksana diartikan sebagai sifat yang selalu menggunakan akal budi, arif, adil, kecakapan dalam menghadapi atau memecahkan suatu masalah. Tuntutan-tuntutan untuk bertutur bijaksana agar tercipta hubungan antara diri (penutur) dan lain (petutur) dipaparkan dalam ilmu bahasa Pragmatik. Gagasan untuk bertutur santun itu dikemukakan oleh Leech dalam maksim kebijaksanaan yang mengharuskan peserta tutur agar senantiasa berpegang teguh untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan pihak lain. Contoh pematuhan : +
: Mari saya bawakan tas anda.
: Jangan, tidak usah. (Wijana, 2009 : 53) Contoh pelanggaran : Kondektur : Tahan, Pir! Motor arah pudi e. (Tahan, Pir! Di belakang ada mobil) Supir : Tilandem. (Pukimak) Dengan kata lain, menurut maksim ini kesantuanan dalam bertutur dapat dilakukan apabila maksim kebijaksanaan dilaksanakan dengan baik.
5.1.2 Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim) Dengan maksim kemurahan ini, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan ini akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Tidak hanya dalam menyuruh dan menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku santun, tetapi di dalam mengungkapkan perasaan dan menyatakan pendapat ia tetap diwajibkan berperilaku demikian (Rahardi, 2005 : 60). Setiap pelaku transaksi komunikasi dalam maksim ini diharuskan untuk mengurangi cacaian pada orang lain dan menambahkan pujian pada orang lain. Penutur yang selalu mematuhi maksim ini akan dianggap sebagai orang yang tahu sopan santun, pintar menghargai orang lain, dan terjauh dari prasangka buruk lawan tuturnya. Bila pelaku transaksi komunikasi mempunyai kecenderungan untuk selalu mematuhi maksim ini, maka jalannya komunikasi dan hubungan interpersonal antara penutur dan petutur akan terjalin dengan sangat harmonis. Masing-masing pihak akan ada keinginan untuk saling menghargai satu sama lain dan akan terjauh dari tuturan mencaci atau menyakiti lawan tuturnya. Maksim ini diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat asertif. Dengan penggunaan kalimat ekspresif dan asertif jelaslah bahwa tidak hanya dalam menyuruh dan menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku sopan tetapi di dalam mengungkapkan perasaan dan menyatakan pendapat ia tetap diwajibkan berperilaku sopan. Ketika penghinaan dan pelecehan dituturkan maka tuturannya masuk dalam tuturan yang melanggar maksim ini. Dikatakan demikian karena maksim ini menuntut peserta pertuturan untuk selalu mengurangi cacian pada orang lain dan menambahi pujian pada orang lain. Contoh pematuhan : +
: Permainan Anda sangat bagus.
: Tidak, saya kira biasa-biasa saja. (Wijana, 2009 : 54) Contoh pelanggaran : Kondektur : Kabanjahe, Kak? (Kabanjahe, Kak?) CP : (Diam) Kondektur : La pedah ko sombongsa, lang pe mejin ka. (Enggak usah kau sombong, jeleknya kau) 5.1.3 Maksim Penghargaan (Approbation Maxim) Maksim penerimaan diutarakan dengan kalimat komisif dan imposif agar setiap penutur sedapat mungkin menghindari perkataan yang tidak mengenakan orang lain, terutama kepada orang yang diajak bicara (lawan tutur). Dalam maksim penghargaan, setiap pelaku transaksi komunikasi diharuskan mengurangi keuntungan dirinya dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Setiap orang yang mematuhi maksim ini akan mendapatkan citra diri sebagai orang yang pintar menghormati orang lain dan akan mampu membangun kehidupan yang harmonis dan penuh dengan toleransi. Pelanggaran terhadap maksim ini akan membuat si pelaku dicap sebagai orang yang tidak tahu caranya bagaimana menghormati orang lain, tidak tahu sopan santun, dan selalu iri hati.
Contoh pematuhan : +
: Saya mengundangmu ke rumah untuk makan malam.
-
: Terima kasih (Wijana, 2009 : 54)
Contoh pelanggaran : Kondektur 1 : Endo nak! (Sini nak) Kondektur 2 : E nah, me panjang. (Ini nah, panjang)
5.1.4 Maksim Kerendahan Hatian (Modesty Maxim) Diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Bila maksim kemurahan berpusat pada orang lain, maksim kerendahan hatian berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Maksim kerendahan hati menuntut penutur untuk selalu mengurangi pujian pada dirinya sendiri dan memaksimalkan cacian pada dirinya sendiri. Pelaku komunikasi yang menaati maksim ini akan dianggap sebagai seorang yang rendah hati dan tidak sombong. Pelanggaran terhadap maksim ini secara terus menerus akan membentuk stigma kepada si pelaku sebagai orang yang sombong, bersikap anti sosial dan bahkan yang terburuk penutur seperti itu akan dijauhi lawan tuturnya karena jika berkomunikasi dengan orang yang selalu melanggar maksim ini akan sangat tidak nyaman. Contoh pelanggaran : +
: Kau sangat pandai
-
: Ya, saya memang pandai. (Wijana, 2009 : 56)
Contoh pelanggaran : Supir 1
: Apai uang wajibndu, Nak! (Mana uang wajibmu, Nak?)
Supir 2
: Cuci lebe motorta ah to, elap-elapndu pe kacana labo dalih nce ku bere kam sen. (Cuci dulu mobil itu, kacanya aja pun jadi setelah itu baru ku beri kau uang).
5.1.5 Maksim Kesepakatan (Agreement Maxim) Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan atau musibah, penutur layak berduka cita atau mengutarakan ucapan belasungkawa sebagai tanda kesimpatian yakni memaksimalkan rasa simpati kepada lawan tuturnya yang mendapatkan kebahagiaan dan kedukaan. Bila komunikasi dalam maksim ini diharuskan untuk meminimalkan ketidaksesuaian antara dirinya dengan orang lain. Pelaku yang menaati maksim ini akan dinilai sebagai orang yang santun dan selalu perhatian terhadap topik yang dibicarakan. Dalam konteks umum atau
kontroversial pelaku pelanggaran terhadap maksim ini akan mendapat cap sebagai orang yang tidak santun dan tidak berwawasan luas. Yang terburuk lawan tutur akan merasa enggan berkomunikasi dengannya. Contoh pelanggaran : +
: Bahasa Inggris sukar, ya?
-
: (Siapa bilang), mudah sekali. (Wijana : 56)
Contoh pelanggaran: Supir 1
: Latih kel cari makan e me? Muat sen 10 ribu pe mesera? (Capek ya cari makan? Mendapatkan uang 10 ribu pun
Supir 2
susah.)
: Nina ise ka Nak? Ku akap pe lang. (Kata siapa? Menurutku pun enggak)
5.1.6 Maksim Simpati (Sympathy Maxim) Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan atau musibah, penutur layak berduka cita atau mengutarakan ucapan belasungkawa sebagai tanda kesimpatian yakni memaksimalkan rasa simpati kepada lawan tuturnya yang mendapatkan kebahagiaan dan kedukaan. Penutur yang senantiasa menaati maksim ini akan dianggap sebagai seorang yang santun dan tahu akan pentingnya sebuah hubungan antarpersonal dan sosial. Penutur akan dianggap sebagai seorang yang pandai memahami perasaan orang lain. Simpati adalah suatu model kesantunan dimana setiap pelaku tutur diwajibkan untuk ikut memahami perasaan lawan tuturnya terutama saat lawan tuturnya sedang sedih karena dilanda musibah. Dengan pemahaman rasa seperti ini diharapkan lawan tutur menjadi sedikit terhibur atau merasa nyaman saat berkomunikasi dengan pelaku tutur. Contoh pelanggaran : +
: Aku gagal di UMPTN
-
: Wah, pintar kamu. Selamat ya! (Wijana, 2009 : 58)
Contoh pelanggaran : Kondektur
: Morah kel ate kalak sekolah e, Pa. Aku SMP pe la tamat. (Aku iri melihat orang sekolah seperti itu, Pa, sementara aku SMP pun enggak tamat)
Supir
: Gengken jang mu. (Rasakan sendiri lah)
5.2 Kesantunan Dalam Jurnal Ilmiah Bahasa Dan Sastra Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 Namsyah Hot Hasibuan dijelaskan bahwa dalam berinteraksi dengan menggunakan bahasa terdapat kesantunan berbahasa, atau disebut dengan kesantunan saja. Teori kesantunan banyak diperoleh dari Brown dan Levinson (1987), yang memberi batasan kesantunan itu sendiri sebagai upaya sadar seseorang dalam menjaga keperluan muka orang lain. Istilah muka, dalam hubungan ini, oleh Brown dan Levinson (dalam Peccei 1999 dan Yule 1996) dimaknai sebagai citra diri seseorang dalam masyarakat. Menurut Leech (1993) prinsip kesantunan menyangkut hubungan antara peserta komunikasi, yaitu penutur dan pendengar. Oleh sebab itulah mereka menggunakan strategi dalam mengajarkan suatu tuturan dengan tujuan agar kalimat yang dituturkan santun tanpa menyinggung pendengar. Prinsip kesantunan adalah peraturan dalam percakapan yang mengatur penutur (penyapa) dan petutur (pesapa) untuk memperhatikan sopan santun dalam percakapan. Kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat orang itu mengambil bagian sebagai anggotanya. Kesantunan berbahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tata cara berbahasa. Kesantunan merupakan sebuah fenomena dalam kajian pragmatik. Setidaknya ada empat ancangan kesantunan dari para ahli dilihat dari sudut pandang yang berbeda, yaitu : a. Kesantunan dilihat dari pandangan kaidah sosial tokohnya adalah Lakoff (1973) b. Kesantunan dilihat dari pandangan kontrak percakapan tokohnya adalah Fraser (1990) c. Kesantunan dilihat dari pandangan maksim percakapan tokohnya adalah Leech (1993) d. Kesantunan dilihat drai pandangan penjagaan muka tokohnya adalah Brown dan Levinson (1987). 6. Skala Kesantunan Leech Di dalam model kesantunan Leech (1983), setiap maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Berikut skala kesantunan yang disampaikan Leech selengkapnya. a. Cost-benefit scale : representing the cost or benefit of an act to speaker and hearer. b. Optionality scale : indicating the degree of choice permitted to speaker and/or hearer by specific linguistic act. c. Indirectness scale : indicating the amount of inferencing required of the hearer in order to establish the intended speaker meaning. d. Authority scale : representing the status relationship between speaker and hearer. e. Social distance scale : indicating the degree of familiarity between speaker and hearer. Kelima macam skala pengukur kesantunan Leech (1983) satu persatu akan dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut :
a. Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. Apabila hal yang demikian itu dilihat dari kacamata si mitra tutur dapat dikatakan bahwa semakin menguntungkan diri mitra tutur, akan semakin dipandang tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu merugikan diri, si mitra tutur akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. b. Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun. Berkaitan dengan pemakaian tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia, dapat dikatakan bahwa apabila tuturan imperatif itu menyajikan banyak pilihan tuturan akan semakin santunlah pemakaian tuturan imperatif itu. c. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. d. Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu. e. Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya akan semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan yang digunakan dalam bertutur. 7. Kru Bus Kru adalah sahabat kerja (KBBI, 2007: 602). Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kru adalah teman kerja yang bekerja dalam bidang tertentu. Sedangkan pengertian bus yaitu kendaraan bermotor angkutan umum yang besar, beroda empat atau lebih yang dapat memuat penumpang yang banyak (KBBI, 2007: 602). Berdasarkan kedua pengertian dapat disimpulkan bahwa kru bus yaitu teman kerja yang bekerja di sebuah angkutan umum yang besar yang dapat memuat penumpang yang cukup banyak. Kru bus terdiri dari sopir, kondektur dan kernet. Dalam pekerjaannya tersebut kru bus berinteraksi dengan sesama kru bus maupun dengan penumpang atau calon penumpang.
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di bus jurusan Kabanjahe-Medan yaitu Sinabung, Sutra, Borneo, dan juga Ekspres Murni. Penulis memilih bus ini karena bus ini memiliki kru bus yaitu supir dan kondektur. Penelitian ini akan dilakukan selama sebulan. Dalam penelitian ini informan adalah kru bus jurusan Kabanjahe-Medan dan orangorang yang terlibat dalam tindak tutur kru bus tersebut. Data primer dalam penelitian ini berupa tindak tutur yang terjadi di bus jurusan Kabanjahe-Medan, bahasa yang digunakan oleh kru bus, dan konteks situasi yang mempengaruhinya. Sementara itu data sekunder dalam penelitian ini berupa data dari buku atau media cetak yang berhubungan dengan tindak tutur yang terjadi di bus. Metode penelitian deskriptif kualitatif dipilih karena penulis mengidentifikasikan serta mendeskripsikan masalah-masalah yang berhubungan dengan tuturan yang tidak santun dan respon penutur melalui wawancara. Instrumen pada penelitian ini adalah peneliti sebagai instrumen utama yang merupakan perencana, pelaksana, pengumpul data, analisis, penafsir data, dan juga pelapor hasil penelitian. Instrumen lain yang digunakan pada penelitian ini adalah tape rekorder sebagai alat perekam ketika peneliti melakukan wawancara. Di samping itu peneliti melakukan observasi dengan masyarakat untuk memudahkan memaknai konteks dan tabel untuk memudahkan penganalisisan data. Hasil Penelitian dan Pembahasan Data dalam penelitian ini berupa kalimat-kalimat yang diucapkan oleh kru bus, penumpang dan calon penumpang. Tuturan-tuturan yang diucapkan oleh supir, kondektur, penumpang, dan calon penumpang tidak hanya tuturan yang mengandung kategori ketidaksantunan berbahasa. Hampir sebagian besar tuturan yang diucapkan oleh mereka adalah tuturan kasar, tidak enak didengar. Banyak hal yang menjadi penyebab mengapa mereka menuturkan tuturan kasar tersebut. Untuk itu dalam bab ini penulis akan menganalisis tuturan kasar yang diucapkan oleh kru bus, penumpang, dan calon penumpang serta respon para penutur bahasa Indonesia mengenai tuturan kasar di stasiun dan bus dengan menggunakan tabel. Berikut ini penulis akan menganalisis tuturan ketidaksantunan berbahasa antara kru bus, penumpang, dan calon penumpang. No Konteks 1. 6-08-2011. 10.15 WIB Di bus Ekspres Murni. Interaksi antara kru bus dengan penumpang ketika penumpang mau turun 2.
7-08-2011. 11.00 WIB Stasiun Bus Sutra Simpang Kuala-Medan. Interaksi antara kondektur dengan
Data Kondektur : “Ju………”. Penumpang ; “ Timai lebe, Tongat!” Kondektur : “Tahan, Pir”. Supir ; “Tilandem”.
Terjemahan Kondektur : “Ju……..,”. Penumpang : “Tunggu dulu, Tongat”. Kondektur : “Tahan, Pir”. Supir : “Pukimakmu” Kondektur : “ Mari.., K : “Mari…., mari”. mari”. CP : “Bentar lagi” Calon penumpang : K : “Ayolah” “Sekale yah”. CP : “Enggak muat Kondektur : “Iyah lagi busnya. Lagian min mari”. teman kami pun
Jenis Maksim Pelanggaran maksim kebijaksanaan
Pelanggaran maksim kebijaksanaan
calon penumpang. Saat kondektur mencari penumpang.
3.
4.
5.
6.
15-08-2011 16.00 WIB Stasiun Bus Borneo. Interaksi antara kondektur saat menaikkan barang ke bus . 15-08-2011. 16.20 WIB Stasiun bus Borneo. Interaksi antar supir. Saat menunggu penumpang. 15-08-2011 14.00 WIB Stasiun Bus Borneo, interaksi antar kondektur (menaikkan dan mengikat barang ke bus).
15-08-2011. 16.45 WIB Stasiun Borneo Simpang Kuala Medan. Interaksi antara kondektur. Saat menunggu penumpang.
Calon penumpang : “Lanai kap siat ena. Teman kami pe man singgahen denga. Kondektur : “Siat, mari. Lanai kari lit motorndu, sendah borongen krina motor e”. Calon penumpang : “Lang yah kami pudi aja”. Kondektur : “Langlang teh”. K2 : “Apai nalina nak?” K1 : “(melempar K2 dengan kerikil saat mengikat barang di atas bus)” K2 : “Kai e Pengkah?” K1 : “Heheheheh” Supir 1 : “Uga Nak!” Supir 2 : “Enggo cacingen pe”.
belum datang” K : “Muatlah. Nanti enggak ada lagi bus kalian, hari ini banyak bus yang dicarter” CP : “Ahhh, kami belakangan saja” K : “Enggakenggak”
K2 : “Mana talinya, Nak ” K1 : “(melempar K2 dengan kerikil saat mengikat barang di atas bus)” K2 : “Apa Pengkah? ” K1 : “Hehehehehe” Supir 1 : “Gimana, Nak?” Supir 2 : “Ahhh, sudah cacingan”
Pelanggaran maksim kebijaksanaan
Pelanggaran maksim kebijaksanaan
K1 : “Sini, Nak!” Pelanggaran K2 : “Ini nah” maksim K2 : “E enah”. K1 : “Enggak cukup Penghargaan Nak” K1 : “La kap seh K2 : “e” Nak”. K1 : “Endo, Nak!”
K2 : nah!”
“E
panjang
K1 : “Anak e kadena pe labo lit, isapna pe labo lit. Tapi adi bere isap alokenna. K2 : “Ah enteh”. K1: “Aloken nah”. K2 : “Pelangkah ko teh”.
K1 : “Anak ini tidak memiliki apa-apa, rokoknya pun enggak ada. Tapi kalau dikasih rokok pasti diterimanya.” K2 : “Ah, sana kau.” K1 : “Terima aja”
Pelanggaran maksim kedermawanan dan maksim kebijaksanaan
7
8
9
10
18-08-2011 15.00 WIB Stasiun bus Sinabung Jaya Raya Simpang Kuala Medan. Inteaksi antar supir dan kondektur saat menaikkan barang ke bus. 19-08-2011 14.00 WIB Stasiun Bus Sutra Kabanjahe. Kondektur meminta uangnya kepada kondektur lain ketika bus akan berangkat.
21-08-2011 11.15 WIB Stasiun Bus Sutra Kabanjahe. Kondektur menanyakan masalah barang kepada calon penumpang ketika bus mau berangkat
22-08-2011. 12.30 WIB Bus Murni Berastagi
Di di
Supir : “Ku ja tem e nak?” Kondektur : “Ku jah lebe Pa” Supir : “Angkati lebe barang e nda nak. Uga kin ko e?”
Kondektur 1 : “Apai balik senku nda nak?” Kondektur 2 : “Sekale yah nak, seribu kel je” Kondektur 1 : “Gundari aja endo, lawes te motorku ah nak” Kondektur 2 : “Enggo me teh” Kondektur 1 : “Endo min endo” Kondektur 2 : “Nah yah” Kondektur 1 : “Kam punana barang ah nda Bi?” Calon penumpang : “Lang” Kondektur 2 : “Jadi ise nak? Ula kari si angkat barangna la je jelmana” Calon penumpang : “E nen lah lebe Tongat” Kondektur 1 : “Nen ente min Nak, tah go datas kari jelmana” Kondektur 2 : “Ue yah Nak” Supir : “Ula ban bagena Nak!” Kondektur : “Ue Pa” Supir : “La bagena
K2 : “Pelangkah kau” Supir : “Mau ke Pelanggaran mana kau?” maksim Kondektur : “Ke kebijaksanaan sana, Pa” Supir : “Angkati dulu barang ini. Gimananya kau ini?”
K1 : “Mana sisa Pelanggaran uangku, Nak?” maksim K2 : “Nanti aja ya penghargaan Nak, Cuma seribu kok” K1 : “Sekarang aja lah, mau berangkat busku itu.” K2 : “Ah sudah lah” K1 : “Sini lah” K2 : “Ini nah”
K1 : “Bibik pemilik barang itu?” CP : “Enggak” K2 : “Jadi siapa, Nak? Nanti barangnya kita angkat tapi orangnya enggak ada” CP : “Coba lihat dulu, Tongat” K1 : “Lihat sana nak, mana tahu udah di bus orangnya” K2 : “Ya nak”
Pelanggaran maksim kebijaksanaan dan maksim kerendahhatian
Supir : “Jangan Pelanggaran seperti itu buat maksim Nak!” kebijaksanaan Kondektur : “Ya Pa”
11
12
13
14
Interaksi antar supir dan kondektur saat menaikkan barang ke atas bus.
Begu. Naktak kari uga tem e?” Kondektur : “Dage uga ban Pa?” Supir : “Sikap iket Nak”
23-08-2011 13.25 WIB Stasiun Bus Sutra Kabanjahe. Interaksi antar kondektur dengan calon penumpang. Ketika kondektur mencari penumpang 24-08-2011. 13.05 WIB Stasiun Bus Sutra Kabanjahe. Interaksi antar kondektur saat mencari penumpang. 24-08-2011 16.10 WIB Stasiun Borneo. Interaksi antar supir.
Kondektur : “Ke mana, Kak? Ke Medan ya?” Calon Penumpang : “(Diam)” Kondektur : “Kalau enggak mau, enggak usah sombong lah. lo ko mejile”. Kondektur 1 : “ Sewa ah patat. Ah tilandemmu. Sewa ah.. ih..” Kondektur 2 : “(Berlari mengejar calon penumpang)”
Supir 1 : “Apai uang makanna, Nak?” Supir 2 : “Belanja ras uang makan me seri? Atem uga?” Supir 1 : “O uwe yah” Supir 2 : “Suruh ka daramina jangna”. 25-08-2011 Supir : “Iyah 10.45 WIB pedasken ningen nak” Di Bus Sutra Kondektur : “Mari, menaikkan mari” penumpang di Supir : “Arah enda Sibolangit aja kena nangkih ningen nak”. Melet nari pe Calon penumpang : (ketawa) Kondektur : “Iyah ku dasken” Supir : “Pedasi ningen nak, ula kin manja-manja je mbue
Supir : “Bukan seperti itu setan. Nanti kalau jatuh, gimana?” Kondektur : “Jadi gimana dibuat Pa?” Supir : “Rapikan ikatannya” K : “Ke mana, Kak? Pelanggaran Ke Medan ya?” maksim CP : (Diam) kedermawanan K : “Kalau enggak mau, enggak usah sombonglah. Bukannya kau cantik.”
K1 :”Penumpang itu Pelanggaran patat. Itu maksim pukimakmu. kebijaksanaan Penumpang itu” K2 : (Berlari mengejar calon penumpang) S1 : “Mana uang makannya Nak?” S2 : “Uang capek dan uang makan, kan sama aja? Jadi maumu gimana?” S1 : “O, ya yah” S2 : “Suruh dia kerja lah.” S : “Cepat bilang, Nak” K : “Mari, mari” S : “Lewat sini aja kalian naik bilang nak. Lambat kali pun.” CP : (ketawa) K : “Cepat” S : “Cepat bilang nak, enggak usah manja-manja, masih banyak penumpang yang lain. Cepat bilang Nggala”
Pelanggaran maksim kerendah hatian
Pelanggaran maksim kerendah hatian
denga sewa. Cepati ningen Nggala”.
15
26-08-2011 18.00 WIB Stasiun bus Ekspres Murni Medan. Interaksi antar supir
Supir 1 : “Enta uang wajibndu 5 ribu” Supir 2 : “Ahhh uang wajib kai e?” Supir 1 : “Me wajar e, Dim?” Supir 3 : “Wajarlah” Supir 2 : “Cuci lebe motorta ah to, elapelapndu pe kacana lo dalih to” Supir 3 : “E lo ka mejile bagena” Supir 1 : “Me la mungkin tua-tua suruhndu nuci motor” Supir 2 : “ Engkai ka maka lang? kenekku si pagi pe lalit man tangkelenku”
16
27-08-2011. 18.04 WIB Bus sutra. Interaksi antar kondektur dengan penumpang, saat penumpang mau turun.
Penumpang : “Apai balik senku nda?” Kondektur : “Ehhhhhh” Supir : “Ningku pe rusur, ula sempat sewa mindo balik senna. Uga kin banmu e lenteng?”
17
28-08-2011 16.00 WIB Stasiun bus Borneo interaksi antar kru bus saat menunggu penumpang.
Kondektur : “Uga sanga kena ku Binje ah nda??” Supir : “Ih ngeri yah, enteki kami sange nda polisi” Kondektur :
S1 : “Mana uang wajibmu 5 ribu?” S2 : “Ahhh, uang wajib apa?” S1 : “Kan wajar itu, Dim?” S3 : “Wajar” S2 : “Cuci lah dulu bus itu, kalau enggak elap aja kacanya itu ” S3 : “Enggak bisa seperti itu” S1 : “Enggak mungkin orang tua kau suruh mencuci busmu” S2 : “Kenapa enggak? Kondekturku untuk besok pun enggak jadi pikiranku” P : “Mana sisa uangku?” K : “Ehhhhh” S : “Sudah kuingatkan dari kemarin-kemarin jangan sempat penumpang yang minta balik uangnya. Gimananya kau buat bodoh?”
Pelanggaran maksim kerendahan hati
Pelanggaran maksim kebijaksanaan
K : “Gimana waktu Pelanggaran kalian ke Binje?” maksim S : “Ih ngeri lah, kebijaksanaan kami hantam polisi” K : “Kenapa?” S : “Banyak tingkahnya”
18
29-08-2011 14.17 WIB Di Bus Sutra menurunkan penumpang di Sembahe
19
29-08-2011 16.35 WIB Stasiun Bus Sutra Kabanjahe. Interaksi antar kondektur saat mencari penumpang.
20
30-08-2011 10.05 WIB Stasiun Borneo Simpang Kuala Medan ketika menunggu penumpang.
“Engkai?” Supir : “Macammacam ka je.” Penumpang : “Simpang ah sekale ya” Kondektur : “Ue bi ”. Kondektur : “Pinggir sekali Pa” Supir : “Uga maka la ko ngata lit sewa Sembahe Kancil? Mbuena denga nda sewa ku Kabanjahe, enggo mberat bagi banmu e”. Kondektur 1 : “Uga maka la angkatim barangna ah nda?” Kondektur 2 : “Ue yah” Kondektur 1 : “Ningku gia rusur angkat barang sewa e,” Kondektur 2 : “Aku pe bage kap teku” Kondektur 1 : “Ah lebuh sewa nda ente, ah lebuh ente” Kondektur 2 : “Oup sewa..” Kondektur : “Dek, cantik-cantik jangan sombong lah, ini bulan puasa dek” Calon penumpang : “(pergi)”
P : “Simpang ya” K : “Ya Bi” K : “Kiri sekali Pa” S : “Kenapa tidak kau bilang kalau ada penumpang turun di Sembahe Kancil? Padahal masih banyak penumpang yang ke Kabanjahe, kalau seperti ini susahlah ”
Pelanggaran maksim kerendahan hati
K1 : “Kenapa tidak kau angkati barang itu?” K2 : “Ya” K1 : “Kemarin pun udah ku bilang, supaya kamu angkat barang penumpang” K2: “Aku pun mau seperti itu” K1 : “Panggil penumpang itu” K2 : “Sewa”
Pelanggaran maksim kerendahan hati
Kondektur : “Dek, cantik-cantik jangan sombong lah, ini bulan puasa dek” Calon penumpang : “(pergi)”
Pelanggaran maksim kerendahan hati
Dari hasil analisis data ditemukan beberapa pelanggaran prinsip kesopanan dalam tuturan yang diucapkan oleh kru bus jurusan Kabanjahe-Medan, di antaranya yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan, dan maksim kerendahan hati. Pelanggaran maksim-maksim tersebut ditandai dengan adanya tuturan yang mengandung penghinaan, celaan getir, olok-olok, dan menyakiti hati. Demikian pula halnya yang terjadi pada kru bus (supir/kondektur), mereka (kru bus) mengucapkan tuturan/kata-kata kasar. Hal ini disebabkan sedikitnya penumpang dalam bus tersebut. Kejengkelannya dilimpahkan kepada penumpang yang ada (melanggar maksim).
Selain itu disebabkan oleh kelalaian kondektur dalam melaksanakan tugasnya. Seperti, ketika kondektur menaikkan dan menurunkan penumpang. Dalam situasi apa pun kru bus tidak sepantasnya mengucapkan tuturan/kata-kata kasar karena hal itu mempengaruhi kenyamanan calon penumpang/penumpang di bus tersebut. Kru bus seharusnya mengucapkan tuturan yang agak sopan agar tidak menimbulkan kegusaran, kemarahan, dan rasa tersinggung. Hal ini akan menimbulkan jalinan kerja yang baik antar kru bus dan hubungan yang harmonis dengan penumpang/calon penumpang. Dari hasil pengamatan peneliti, tuturan kasar yang sering diucapkan oleh kru bus tidak ditanggapi oleh penumpang/calon penumpang. Namun, di belakang kru bus mereka menyatakan bahwa mereka sakit hati dan merasa tersinggung dengan ucapan kru bus tersebut. Senada dengan hal di atas Leech (1983) mengemukakan bahwa suatu interaksi para pelaku memerlukan prinsip kesopanan. Teori prinsip kesopanan Leech mempunyai sejumlah maksim, yakni maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan, dan maksim simpati. Di dalam model kesantunan Leech (1983), setiap maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Lebih lanjut Robin Lakoff (1973) dalam (http://fekytun.blogspot.com/2011/03/prinsipkesantunan-skala-pragmatik_04.html) mengemukakan skala kesantunan adalah sebagai berikut: a. Skala formalis (formality scale) yaitu skala yang dinyatakan agar para peserta tutur dapat merasa nyaman dalam kegiatan bertutur. Tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh berkesan angkuh. Di dalam kegiatan bertutur, masing-masing peserta tutur harus dapat menjaga keformalitasan dan menjaga jarak yang sewajarnya antara yang satu dengan yang lainnya. b. Skala ketidaktegasan (hesitancy scale) yaitu skala yang menunjukkan bahwa penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dalam bertutur. Pilihanpilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua belah pihak. Orang tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang dan terlalu kaku didalam kegiatan bertutur karena akan dianggap tidak santun. c. Peringkat kesekawanan atau atau kesamaan (equality scale) menunjukkan agar bersifat santun. Orang harus bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Agar tercapai maksud demikian, penutur haruslah menganggap mitra tutur sebagai sahabat. Simpulan Setelah melakukan analisis terhadap tuturan kru bus jurusan Kabanjahe-Medan dan persepsi penyimak/penumpang yang berasal dari status sosial yang berbeda, penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Tuturan yang dilakukan oleh kru bus jurusan Kabanjahe-Medan tidak mengandung unsur kesantunan berbahasa dan melanggar Prinsip Kesantunan Leech. 2. Wujud ragam bahasa yang diucapkan oleh kru bus yaitu wujud informal (vulgar). Misalnya, terdapat nama binatang yang sering diucapkan oleh mereka. Wujud ragam bahasa tersebut sangat tidak enak didengar, menyakitkan hati, bicara dengan kepahitan, olok-olok atau sindiran pedas dan mengandung celaan getir. 3. Penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh kru bus melanggar maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim kerendahan hati, dan maksim
penghargaan. Pelanggaran terbesar ada pada maksim kebijaksanaan. Maksim kebijaksanaan menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. 4. Persepsi penumpang/penyimak bahasa yang berasal dari status sosial yang berbeda seperti guru, mahasiswa, dan karyawan swasta beranggapan bahwa tuturan yang digunakan oleh kru bus sebagian besar adalah tuturan kasar. Menurut mereka yang menjadi latar belakang penutur mengucapkan tuturan kasar adalah latar pendidikan yang rendah, dan juga lingkungan. 5. Tuturan kasar yang diucapkan oleh kru bus yang melanggar prinsip kesantunan Leech ternyata sudah menjadi bahasa sehari-hari yang mereka ucapkan jika berada di stasiun dan bus namun jika mereka berada di rumah atau tempat lain mereka tidak menuturkan tuturan kasar tersebut. 6. Faktor yang menjadi penyebab kru bus menuturkan tuturan kasar adalah faktor lingkungan dan faktor sosial. Faktor lingkungan timbul karena perbedaan asal daerahnya. Maksudnya mereka menuturkan tuturan kasar tesebut karena memang lingkungan yang mereka hadapi menerima dan tidak peduli dan situasinya mendukung untuk mengucapkannya. Sedangkan faktor sosial timbul karena perbedaan kelas sosial penuturnya.
Daftar Bacaan Aslinda dan Leni S. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung : PT Refika Adi Tama Chaer, Abdul. 2005. Linguistik Umum. Jakarta : PT Rineka Cipta ____________2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta : PT Rineka Cipta Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta : PT Rineka Cipta Handayani, Sri. 2005. Variasi Bahasa Lisan Penjual dan Pembeli di Pasar Gede Kota Surakarta. Jurnal Penelitian Humaniora Volume 6 No. 1 Tahun 2005. Surakarta : FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta Hasibuan, Namsyah Hot. 2005. Perangkat Tindak Tutur dan Siasat Kesantunan Berbahasa (Data Bahasa Mandailing). Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra Volume 1 No. 2 Oktober 2005. Medan : Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 2007. Jakarta: Balai Pustaka Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta : UI Press Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Nababan. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta : Depdikbud Nadar, F.X. 2008. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta : Graha Ilmu. Purwo, Bambang K. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa Menyimak Kurikulum 1984. Yogyakarta: Kanisius. Purwo, Bambang K. 1994. PELLBA 7: Pragmatik Wacana. Yogyakarta: Kanisius Prinst, Darwin. 2004. Kamus Karo Indonesia. Medan : Bina Media Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga Saragih, Ferdinan. Variasi Bahasa. http://sigodang.blogspot.com/2008/11/variasibahasa.html. 12 April 2011 Saragih, Ferdinan. Sosiolinguistik. http://ferdinan01.blogspot.com/2009/02/linguistiksosiolinguistik-variasi.html. 29 September 2011. Sidon. Pragmatik. http://lisadypragmatik.blogspot.com/2007/07/pragmatik-oleh-sidon.html. 12 April 2011.
Wijana, I Dewa Putu dan M.Rohmadi. 2009. Analisis Wacana Pragmatik Kajian Teori dan Analisis. Surakarta : Mata Padi Presindo Woollams, Geoff. 2004. Tata Bahasa Karo. Medan : Bina Media Perintis repository.upi.edu/operator/upload/s_c5151_023068_chapter2.pdf