Formulasi Kebijakan Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 Tentang Pedoman Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) Di Provinsi DKI Jakarta Bonardo C.H. Sianipar Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses formulasi kebijakan Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) di Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data kualitatif melalui wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini adalah proses formulasi kebijakan peraturan gubernur tentang pedoman RT/RW dilalui berdasarkan 4 (empat) tahapan formulasi kebijakan, yaitu: tahap perumusan masalah, agenda kebijakan, pemilihan alternatif kebijakan untuk menyelesaikan masalah, dan tahap terakhir penetapan kebijakan. Dilihat berdasarkan model formulasi kebijakannya, Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) di Provinsi DKI Jakarta merupakan model elit dan kelompok. Model elit tercermin dari elit Provinsi DKI Jakarta yang memiliki instrumen kekuasaan dalam formulasi kebijakan publik yang dalam hal ini mengkombinasikan preferensi nilai-nilai kelompoknya dengan kepentingan masyarakat. Model kelompok dilihat dari pengikutsertaan kelompok internal dan eksternal pemerintah. Kata Kunci: Formulasi Kebijakan, Kebijakan Publik, Pedoman RT/RW ABSTRACT Name : Bonardo C.H. Sianipar Study Program : Public Administration Title : Policy Formulation Governor Regulation No. 168 of 2014 on Guidelines for Rukun Tetangga and Rukun Warga (RT/RW) in DKI Jakarta This research aims to analyze the policy formulation Governor Regulation No. 168 of 2014 on Guidelines for Rukun Tetangga and Rukun Warga (RT/RW) in DKI Jakarta. This research used a qualitative approach with qualitative data collection techniques through in-depth interviews and literature study. Results of this research is the process of policy formulation governor regulation on guidelines for RT/RW is traversed by 4 (four) stages of policy formulation, namely: problem formulation stage, the policy agenda, selection of policy alternatives to resolve the problem, and the last stage of policy determination. Viewed by the model formulation of policies, Governor Regulation No. 168 of 2014 on Guidelines for Rukun Tetangga and Rukun Warga (RT/RW) in DKI Jakarta is an elite and group model. Elite model reflected from Jakarta Provincial elite who have the instruments of power in the formulation of public policy in this case combines the preference values of the group with the public interest. The group model seen from the participation of government internal and external groups. Keywords : Policy Formulation, Public Policy, Guidelines for RT/RW
Formulasi kebijakan Peraturan..., Bonardo Cahyo Hapsoro Sianipar, FISIP UI, 2014
A. Pendahuluan Berakhirnya era orde baru sejak 1998 menandai lahirnya reformasi politik dan demokratisasi di Indonesia. Pengalaman orde baru mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa pelanggaran terhadap demokrasi memberikan dampak kehancuran bagi negara dan penderitaan rakyat. Oleh karena itu, bangsa Indonesia bersepakat untuk melakukan demokratisasi, yaitu proses pendemokrasian untuk melahirkan kebebasan rakyat, kedaulatan rakyat, dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Berbagai langkah terobosan dilakukan termasuk mengamandemen UUD 1945 yang berlangsung selama empat tahun (1999-2002) agar menghasilkan pemerintahan yang demokratis melalui pemilihan umum (Budiardjo, 2008: 134). Implikasi reformasi politik dan demokratisasi melahirkan keputusan yang menjadikan dasar terjadinya perubahan yang tertuang dalam undang-undang. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan direvisi kembali dengan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014) yang melahirkan semangat kemandirian daerah dengan asas desentralisasi dalam bentuk otonomi daerah untuk bersama-sama membangun daerah. Konsekuensi logis dari lahirnya undang-undang ini adalah terbukanya peluang dalam merestrukturisasi struktur politik pada level masyarakat lokal yang diiringi oleh efek positif meningkatnya partisipasi masyarakat lokal (Yazid, 2005: 3). Asas desentralisasi yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 memberikan kewenangan bagi kabupaten dan kota untuk mengatur dan mengurus tugas-tugas pemerintahan yang diharapkan dapat memberikan efek positif pada peningkatan fungsi pelayanan dan partisipasi masyarakat. Prasojo (2003: 143) mengatakan desentralisasi merupakan insrumen debirokratisasi negara, yaitu menjadi struktur direktif (pengarah) dalam penciptaan local good governance, yaitu pemerintah daerah yang berbasis pada transparansi, akuntabilitas, rule of law, dan participatory democracy. Local good governance lahir karena adanya keterlibatan seluruh elemen dalam masyarakat dan dapat diwujudkan manakala pemerintah didekatkan dengan yang diperintah. Pemerintah yang didekatkan dengan yang diperintah akan dapat mengenali apa yang menjadi kebutuhan, permasalahan, keinginan dan kepentingan serta aspirasi rakyat secara baik dan benar karena kebijakan yang dibuat akan dapat mencerminkan apa yang menjadi kepentingan dan aspirasi rakyat yang dilayaninya (Widodo, 2001: 2).
Formulasi kebijakan Peraturan..., Bonardo Cahyo Hapsoro Sianipar, FISIP UI, 2014
Dalam kaitannya dengan konteks otonomi daerah, wacana dan konsep good governance berjalan dan saling melengkapi satu sama lain. Konsep good governance memiliki irisan konseptual yang sangat erat satu sama lain. Beberapa point yang menjadi titik temu secara nyata antara otonomi daerah dan good governance adalah keduanya memiliki penekanan (aksentuasi) pada prinsip partisipasi atau peran serta masyarakat dalam proses pembangunan (Badranaya, 2006: 4). Partisipasi masyarakat kemudian dibangun melalui eksistensi organisasi masyarakat sipil yang menjadi pilar penyelenggaraan good governance. Salah satu bentuk organisasi masyarakat sipil adalah lembaga kemasyarakatan rukun tetangga dan rukun warga (RT/RW). Berawal dari suatu ikatan kekeluargaan yang lahir, tumbuh dan berkembang atas prakarsa/inisiatif masyarakat pada lingkup wilayahnya masingmasing sesuai batas-batas yang telah ditentukan, pada dasarnya telah melegitimasi filosofis pembentukan RT/RW di masyarakat. RT/RW merupakan lembaga kemasyarakatan yang kehadirannya memiliki peranan penting dalam membina kehidupan masyarakat yang dinamis, harmonis dan kreatif serta mampu mewujudkan nilai-nilai demokratisasi, kegotongroyongan dan kekeluargaan yang berorientasi pada terciptanya ketentraman, ketertiban, dan kesejahteraan masyarakat (Biro Tata Pemerintahan, Setda Provinsi DKI Jakarta, 2013: 1). Lembaga
kemasyarakatan
RT/RW
merupakan
organisasi
ketetanggaan
dan
kewargaan yang dibentuk oleh masyarakat, diakui dan dibina oleh pemerintah untuk memelihara dan melestarikan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang berdasarkan kegotongroyongan dan kekeluargaan. Disamping itu, RT/RW memiliki peranan yang penting dalam membantu kelancaran tugas lurah karena kedudukannya sebagai mitra kerja lurah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di kelurahan (Biro Tata Pemerintahan, Setda Provinsi DKI Jakarta, 2011: 1-2). Maka dari itu, RT/RW sebagai lembaga kemasyarakatan memiliki perananan yang penting dalam membantu jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Lembaga Kemasyarakatan bahwa RT/RW sebagai lembaga kemasyarakatan adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra pemerintah desa dan lurah dalam memberdayakan masyarakat. Dalam struktur pemerintahan daerah, setiap daerah diberikan kebebasan untuk membentuk atau tidak membentuk RT/RW, merubah ataupun memodifikasi sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Republik
Formulasi kebijakan Peraturan..., Bonardo Cahyo Hapsoro Sianipar, FISIP UI, 2014
Indonesia Nomor 49 Tahun 2001 tentang Penataan Lembaga Masyarakat Desa atau Sebutan Lain. Pentingnya RT/RW dalam pembangunan, pemberdayaan, dan sebagai agen sosialisasi masyarakat, dalam hal ini pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta melihat bahwa RT/RW sebagai lembaga kemasyarakatan memiliki peluang dan potensi untuk dapat berperan lebih baik lagi dalam masyarakat sehingga tetap mempertahankan RT/RW sebagai organisasi formal melalui Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 36 Tahun 2001 tentang Pedoman Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) di Provinsi DKI Jakarta. Keputusan gubernur ini merupakan suatu pedoman bagi RT/RW dalam menjalankan fungsinya di masyarakat yang mana selain mengatur tentang tugas dan kewajiban, tetapi juga memberikan pedoman keanggotaan, kepengurusan, forum musyawarah, serta berbagai hal yang digunakan dalam menjalankan kepengurusan RT/RW di Provinsi DKI Jakarta. Survianto (2002: 23) mengatakan Keputusan Gubernur Nomor 36 Tahun 2001 menanamkan nilai-nilai positif untuk menjadikan RT/RW di Provinsi DKI Jakarta menjadi lembaga yang mandiri yang dibentuk oleh, dari, dan untuk masyarakat yang mempunyai kedudukan sebagai organisasi ketetanggaan dan kewargaan berdasarkan wilayah teritorialnya masing-masing. Seiring berjalannya waktu, Keputusan Gubernur Nomor 36 Tahun 2001 sebagai produk hukum tentunya harus juga disesuaikan dengan perkembangan kondisi masyarakat yang semakin demokratis dan semakin berperan aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat (Biro Tata Pemerintahan Setda Provinsi DKI Jakarta: 2012: 2). Selain itu, keputusan gubernur sebagai produk hukum juga harus memperhatikan peraturan pelaksana yang juga perlu disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini terdapat tiga peraturan pelaksana yang telah berganti atau direvisi menjadi yang baru, yaitu: pertama, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Kedua, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia yang telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007. Ketiga, Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 5 Tahun 2000 tentang Dewan Kelurahan yang telah direvisi menjadi Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 5 Tahun 2010 tentang Lembaga Musyawarah Kelurahan. Maka dari itu, dari sisi peraturan perundangundangan keberadaan Keputusan Gubernur Nomor 36 Tahun 2001 sudah tidak sesuai dengan peraturan pelaksananya sehingga perlu adanya penyesuaian.
Formulasi kebijakan Peraturan..., Bonardo Cahyo Hapsoro Sianipar, FISIP UI, 2014
Sejalan dengan itu, keberadaan Keputusan Gubernur Nomor 36 Tahun 2001 sebagai payung hukum kelembagaaan RT/RW di Provinsi DKI Jakarta juga tidak sesuai dengan peraturan yang berada diatasnya, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan yang mana mengamanatkan bahwa khusus untuk Provinsi DKI Jakarta karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pembentukan Lembaga Kemasyarakatan diatur dengan Peraturan Daerah Provinsi. RT/RW sebagai salah satu jenis lembaga kemasyarakatan tentunya harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keberadaan Keputusan Gubernur Nomor 36 Tahun 2001 sebagai pedoman RT/RW di Provinsi DKI Jakarta perlu dilakukan perubahan. Disisi lain, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga mengevaluasi bagaimana lembaga kemasyarakatan RT/RW berjalan dalam masyarakat. Latar belakang lainnya yang menjadi dasar perlunya melakukan revisi terhadap Keputusan Gubernur Nomor 36 Tahun 2001 tentang Pedoman RT/RW di Provinsi DKI Jakarta adalah lemahnya mekanisme pengawasan dan pembinaan unsur pemerintah dalam pengaturan kelembagaan RT/RW. Pembinaan dan pengawasan RT/RW ini sejalan dengan amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan yang mana mengatakan bahwa RT/RW merupakan mitra pemerintah desa dan kelurahan dalam memberdayakan masyarakat sehingga Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki tanggung jawab untuk membina kelembagaan RT/RW agar dapat terpilih kepengurusan kelembagaan RT/RW yang sejalan dengan program-program pemerintah terlebih pembiayaan operasional terhadap kelembagaan RT/RW juga dibebankan kepada pemerintah provinsi. Lembaga kemasyarakatan RT/RW memiliki peran dan fungsi penting baik kepada pemerintah maupun masyarakat, selain itu RT/RW juga dipilih langsung oleh masyarakat sehingga memiliki kedudukan yang strategis yaitu sebagai front liner (lini terdepan) membantu program-program pemerintah kelurahan kepada masyarakat. Namun, ternyata RT/RW sebagai lembaga kemasyarakatan yang memegang peran strategis belum didukung dengan suatu pedoman kelembagaan yang baik sehingga dalam pelaksanaannya terdapat berbagai permasalahan. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melihat perlu adanya perbaikan terhadap pedoman RT/RW yang kemudian dituangkan dalam upaya merevisi Keputusan Gubernur Nomor 36 Tahun 2001. Maka dari itu, pada saat ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menyusun Peraturan Gubernur guna merevisi Keputusan Gubernur Nomor 36 Tahun 2001 tersebut. Untuk mengetahui lebih dalam
Formulasi kebijakan Peraturan..., Bonardo Cahyo Hapsoro Sianipar, FISIP UI, 2014
mengenai bagaimana revisi kebijakan dirumuskan, perlu dilihat bagaimana rangkaian formulasi kebijakan yang dijalankan. B. Metode Penelitian Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dimana penelitian ini berupaya untuk memahami fenomena yang terjadi dalam formulasi kebijakan publik Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) di Provinsi DKI Jakarta secara lebih mendalam. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui hasil wawancara dengan narasumbernarasumber terkait dengan permasalahan yang diteliti, sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi dokumen-dokumen yang relevan dengan pedoman RT/RW di Provinsi DKI Jakarta. Wawancara mendalam dilakukan dengan pihak-pihak yang terkait dengan penelitian, yaitu: Pertama, Tim Perumusan Kebijakan Pedoman RT/RW yang berasal dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mendapatkan infomasi terkait proses dalam perumusan kebijakan hingga penetapan kebijakan pedoman Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW), narasumber yang diwawancarai adalah Premi Lasari selaku Kepala Bagian Bina Pemerintahan, Biro Tata Pemerintahan; Burhanuddin Alamsah selaku Kepala Subbagian Bina Lembaga Kemasyarakatan, Biro Tata Pemerintahan; Okie Wibowo selaku Staff Subbagian Peraturan Pelaksanaan, Biro Hukum. Kedua, pihak Kementerian Dalam Negeri, yaitu Minarni Marbun selaku Kepala Seksi Penataan Lembaga, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa untuk mendapatkan informasi terkait dengan pengaturan lembaga kemasyarakatan RT/RW serta pandangan terhadap formulasi kebijakan pedoman Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) di Provinsi DKI Jakarta. Ketiga, pihak kelurahan sebagai lembaga yang berkaitan langsung menjadi mitra RT/RW dalam meningkatkan pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, narasumber yang diwawancarai adalah Ali Wahyudin, selaku Lurah Jatinegara, Jakarta Timur. Informasi yang didapatkan terkait dengan pembinaan dan pelaksanaan kelembagaan RT/RW dalam masyarakat. Keempat, ketua RT dan ketua RW sebagai pihak yang menjalankan tugas dan fungsi organisasi kelembagaannya. Narasumber yang diwawancarai adalah Didin Saefudin, Ketua RT 012/RW 06 dan Sainan, Ketua RW 06 Kelurahan Joglo, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat. Informasi yang didapatkan adalah pengalaman dan kendala kepengurusan organisasi kelembagaan RT/RW sehari-harinya. Adapun studi dokumen yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan mengumpulkan dan mempelajari data mulai dari produk-produk kebijakan yang meliputi landasan pedoman lembaga kemasyarakatan dan pedoman RT/RW dalam bentuk peraturan
Formulasi kebijakan Peraturan..., Bonardo Cahyo Hapsoro Sianipar, FISIP UI, 2014
perundangan, data laporan penyusunan kebijakan pedoman RT/RW seperti laporan penyusunan Peraturan Gubernur tentang Revisi Keputusan Gubernur Nomor 36 Tahun 2001 tentang Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) dan laporan fasilitasi Penyusunan Peraturan Daerah tentang RT/RW di Provinsi DKI Jakarta, data kajian lembaga kemasyarakatan di tingkat kelurahan Provinsi DKI Jakarta, buku-buku Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait RT/RW, dan notulensi kegiatan rapat pembahasan Rapergub pedoman RT/RW di Provinsi DKI Jakarta. Proses penelitian diawali dengan menentukan topik penelitian formulasi kebijakan pedoman RT/RW di Provinsi DKI Jakarta. Kemudian, peneliti menentukan fokus permasalahan atau pertanyaan penelitian yaitu mengenai formulasi kebijakan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW). Selanjutnya, peneliti menentukan rencana penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pada titik ini, ketiga tahap tersebut merupakan rancangan penelitian yang kemudian akan diuji dalam sidang proposal penelitian skripsi. Setelah proposal penelitian skripsi disetujui, langkah selanjutnya peneliti melakukan tahap pengumpulan data di lokasi penelitian. Setalah data-data telah diperoleh peneliti di lapangan, maka peneliti masuk kepada tahapan berikutnya yaitu menganalisis data sekaligus menginterpretasi data dan menuliskannya kedalam laporan akhir penelitian. C. Hasil dan Pembahasan Proses Formulasi Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 Tentang Pedoman Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) di Provinsi DKI Jakarta. Provinsi DKI Jakarta sebagai daerah khusus yang kedudukannya sebagai ibukota negara sekaligus daerah otonomi memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam membantu jalannya pemerintahan. Selain itu, Provinsi DKI Jakarta juga memiliki tanggung jawab atas kebijakan publik yang dihasilkan agar dapat menjawab permasalahan yang ada di dalam masyarakat. Salah satu permasalahan yang mengemuka adalah terkait dengan pengaturan kelembagaan RT/RW di masyarakat. Dalam hal ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuat kebijakan Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman RT/RW di Provinsi DKI Jakarta yang diharapkan dapat menjawab permasalahan pengaturan kelembagaan RT/RW di masyarakat. Untuk menganalisa pembuatan Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman RT/RW di Provinsi DKI Jakarta, peneliti melakukan aktivitas intelektual guna menjelaskan rangkaian kebijakan yang didasari menurut
Formulasi kebijakan Peraturan..., Bonardo Cahyo Hapsoro Sianipar, FISIP UI, 2014
tahapan pembuatan kebijakan, yaitu: perumusan masalah, agenda kebijakan, pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah, dan penetapan kebijakan. Tahap Perumusan Masalah Lahirnya kebijakan Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman RT/RW di Provinsi DKI Jakarta merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan penataan kelembagaan RT/RW di masyarakat. Pembentukan RT/RW bertujuan untuk memelihara dan melestarikan nilai-nilai kehidupan yang berdasarkan pada kerukunan, kegotong-royongan, dan kekeluargaan antara tetangga dan warga di lingkungannya. Hal ini menjadi sangat penting mengingat karakteristik masyarakat perkotaan yang cenderung semakin individualistik sehingga dengan adanya kelembagaan RT/RW dalam masyarakat dapat berperan sebagai penggerak warga di lingkungannya agar tetap memupuk kehidupan sosial kemasyarakatan. Selain itu, RT/RW juga merupakan mitra pemerintah desa dan lurah dalam membantu penyelenggaraan urusan pemerintahan, kemasyarakatan, dan pembangunan Kemudian yang menjadi dasar dibentuknya Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman RT/RW di Provinsi DKI Jakarta adalah karena terdapat berbagai permasalahan yang ada baik dalam tataran pengaturan kelembagaan melalui payung hukum berbentuk pedoman RT/RW maupun evaluasi keberadaan RT/RW dalam masyarakat. Permasalahan pertama yang menjadi dasar dibentuknya Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman RT/RW di Provinsi DKI Jakarta adalah bahwa pedoman kelembagaan RT/RW sebelumnya, yaitu Keputusan Gubernur Nomor 36 Tahun 2001 dilihat dari sisi peraturan perundang-undangan sudah tidak sesuai lagi dengan peraturan yang berada diatasnya, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan sehingga perlu adanya melakukan penyesuaian atau revisi terhadap produk hukum yang berlaku. Permasalahan kedua yang menjadi dasar dirumuskannya Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman RT/RW di Provinsi DKI Jakarta adalah upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kelembagaan RT/RW. Selama ini pembinaan dan pengawasan terhadap kelembagaan RT/RW sangat lemah karena tidak adanya mekanisme campur tangan unsur pemerintah dalam pengawasan RT/RW sehingga dalam pelaksanaannya sehari-hari terdapat berbagai persoalan yang mengemuka dalam masyarakat. Dengan tidak adanya mekanisme bagi pemerintah untuk melakukan
Formulasi kebijakan Peraturan..., Bonardo Cahyo Hapsoro Sianipar, FISIP UI, 2014
pembinaan, maka dalam pengaplikasian kelembagaan RT/RW kemudian melahirkan berbagai permasalahan, seperti kemudian lahir kepengurusan RT/RW yang kemudian tidak sejalan dengan program-program pemerintah. Hal ini menjadi penting karena sejatinya RT/RW dibentuk untuk menjadi mitra kerja pemerintah dalam menjalankan pemerintahan sehingga RT/RW merupakan wilayah kerja lurah yang ikut menentukan baik atau buruknya jalannya pembangunan dan pelayanan di masyarakat. Landasan filosofis dibentuknya RT/RW sebagai suatu organisasi yang tumbuh dari masyarakat dan dibina langsung oleh pemerintah agar hendaknya RT/RW dapat membantu pemerintah dalam mempercepat proses pembangunan dan kesejahteran di masyarakat, terlebih RT/RW memiliki kedudukan yang sangat strategis karena ia dipilih langsung oleh masyarakat sehingga mengenal masyarakat dan memahami kondisi lingkungan kemasyarakatan (Biro Tata Pemerintahan Setda Provinsi DKI Jakarta, 2011: 1-2). Tahap Agenda Kebijakan Pada tahapan sebelumnya telah dibahas permasalahan yang dirumuskan dalam kelembagaan RT/RW kemudian masalah tersebut mendapatkan perhatian khusus Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk kemudian ditindaklanjuti. Dalam tahap agenda kebijakan ini kemudian dimulailah langkah-langkah yang mengawali pembuatan kebijakan, yaitu penyusunan Rapergub oleh eksekutif Biro Tata Pemerintahan Setda Provinsi DKI Jakarta bersama dengan Gubernur Provinsi DKI Jakarta. Penyelenggaraan kegiatan dilakukan ke dalam tiga tahapan yang meliputi: 1). Tahapan persiapan, yaitu dalam persiapan penyusunan Rapergub tentang Pedoman RT/RW terlebih dahulu diadakan beberapa kali rapat koordinasi tim pelaksana serta penyusunan persiapan pembahasan tahap awal dan masukan-masukan dari berbagai unsur lembaga pemberdayaan masyarakat, RT/RW, serta praktisi hukum. 2). Tahapan pelaksanaan, yaitu terlebih dahulu dilakukan persiapan pelaksanaan dengan menyusun tim sesuai dengan Surat tugas Kepala Biro Tata Pemerintahan antara lain dari tingkat Provinsi, Wilayah Kota Administrasi, Camat, Lurah, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Jakarta (LPMJ), Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK), RW dan RT. 3). Tahapan pelaporan, yaitu hasil pembahasan dan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah RT/RW dilaporkan kepada Sekwilda sebagai bahan penyusunan lebih lanjut. Penyelenggaraan kegiatan penyusunan Rapergub pedoman RT/RW dilakukan oleh tim penyusun yang terdiri atas: 1). Unsur Biro Hukum Setda Provinsi DKI Jakarta, 2). Unsur Bappeda Provinsi DKI Jakarta, 3). Unsur Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Jakarta
Formulasi kebijakan Peraturan..., Bonardo Cahyo Hapsoro Sianipar, FISIP UI, 2014
(LPMJ), 4). Unsur Wilayah Kota Administrasi/Kabupaten, 5). Unsur Camat Provinsi DKI Jakarta, 6). Unsur Lurah Provinsi DKI Jakarta, 7). Unsur perwakilan Lembaga Musyawarah (LMK), dan 8). Unsur perwakilan RT/RW. Kedudukan tim penyusun adalah sebagai anggota organisasi pelaksana kegiatan penyusunan Rapergub pedoman RT/RW yang bertugas memberikan masukan-masukan kepada tim pelaksana. Tim pelaksana penyusunan Rapergub pedoman RT/RW terdiri dari: 1). Penanggung jawab yaitu Kepala Biro Tata Pemerintahan Setda Provinsi DKI Jakarta, 2). Ketua yaitu Kepala Bagian Bina Pemerintahan, 3). Wakil ketua yaitu Kepala Subbagian Bina Lembaga Kemasyarakatan, 4). Sekertaris yaitu Bambang Hariyanto, dan 5). Bendahara Pengeluaran Pembantu yaitu Drs. H. Cartoyo, M.Si. Tim pelaksana bertugas untuk merumuskan Rapergub pedoman RT/RW berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tahap Pemilihan Alternatif Kebijakan Permasalahan yang telah dirumuskan terkait dengan kelembagaan RT/RW kemudian masuk ke dalam agenda kebijakan yang berupa proses pembuatan Rapergub yang dirumuskan oleh Biro Tata Pemerintahan bersama Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Unit Kerja Perangkat Daerah (UKPD) lainnya, langkah berikutnya adalah melakukan pemilihan alternatif terbaik guna memecahkan permasalahan yang ada. Dalam prosesnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memutuskan bahwa revisi terhadap Keputusan Gubernur Nomor 36 Tahun 2001 tentang Pedoman RT/RW di Provinsi DKI Jakarta merupakan alternatif kebijakan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan kelembagaan RT/RW. Terkait dengan permasalahan pertama yang dihadapi, yaitu bahwa pedoman RT/RW sudah tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berada diatasnya. Keberadaan Keputusan Gubernur Nomor 36 Tahun 2001 yang menjadi payung hukum kelembagaan RT/RW sudah tidak sesuai lagi dengan amanat Permendagri Nomor 5 Tahun 2007 karena keputusan gubernur dilihat dari jenis produk hukum daerah berada dibawah peraturan daerah. Keputusan gubernur dilihat berdasarkan kewenangan pengaturan sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 112 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pembentukan Produk Hukum Daerah hanya dapat berisi materi yang bersifat konkrit, individual dan final untuk menjalankan perintah peraturan perundangundangan atau materi untuk melaksanakan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga apabila digunakan untuk mengatur kelembagaan RT/RW dalam masyarakat tidak memiliki kekuatan dan kepastian
Formulasi kebijakan Peraturan..., Bonardo Cahyo Hapsoro Sianipar, FISIP UI, 2014
hukum karena Keputusan Gubernur sejatinya digunakan untuk memberikan aturan individu bukan secara luas bagi masyarakat. Melihat permasalahan tersebut, tedapat dua alternatif kebijakan yang dapat dipilih untuk menjadi pembahasan pembuatan kebijakan pedoman kelembagaan RT/RW, yaitu menyusun peraturan gubernur untuk merevisi Keputusan Gubernur atau membuat peraturan daerah agar lebih sejalan dengan amanat Permendagri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan. Dalam hal ini, Biro Tata Pemerintahan sebagai pemerakarsa kebijakan pedoman RT/RW kemudian menyusun peraturan daerah tentang pedoman RT/RW sebagai bentuk upaya mengakomodir amanat Permendagri Nomor 5 Tahun 2007 sehingga pada Tahun 2012 Biro Tata Pemerintahan secara resmi menyusun Raperda tentang pedoman RT/RW sekaligus merubah Rapergub yang telah dirumuskan satu tahun sebelumnya. Kemudian permasalahan yang kedua terkait dengan kewajiban untuk melakukan pembinaan terhadap kelembagaan RT/RW melalui mekanisme campur tangan unsur pemerintah dalam lembaga RT/RW. Kemudian terdapat alternatif kebijakan untuk melakukan penunjukan langsung ketua RT/RW melalui lurah, camat, atau walikota. Alternatif kebijakan untuk meningkatkan peran pembinaan pemerintah terhadap kelembagaan RT/RW melalui penunjukan langsung ketua RT/RW dikemukakan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama bahwa diharapkan melalui penunjukan langsung dapat menghasilkan Ketua RT/RW yang berkualitas dan mendukung program-program pemerintah. Namun, alternatif kebijakan penunjukan langsung bertentangan dengan Permendagri Nomor 5 Tahun 2007 bahwa RT/RW adalah salah satu jenis lembaga kemasyarakatan yang dibentuk oleh masyarakat sesuai kebutuhan dan merupakan mitra Pemerintah Desa dan lurah dalam memberdayakan masyarakat. Amanat Permendagri Nomor 5 Tahun 2007 menyatakan bahwa RT/RW sebagai organiasi kemasyarakatan dibentuk bukan merupakan perangkat pemerintah, namun repersentasi partisipasi masyarakat kepada jalannya pemerintahan sehingga RT/RW tidak dapat ditunjuk langsung oleh pemerintah. Kemudian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencari alternatif solusi pemecahan masalah lain, yaitu bahwa bagaimana caranya terdapat mekanisme campur tangan pemerintah namun sifatnya tidak bertentangan dengan nilai pembentukan lembaga kemasyarakatan. Mekanisme campur tangan atau keterlibatan unsur pemerintah dalam pembinaan kelembagaan RT/RW kemudian diakomodir dengan memasukkan unsur pemerintah
Formulasi kebijakan Peraturan..., Bonardo Cahyo Hapsoro Sianipar, FISIP UI, 2014
kelurahan kedalam panitian pemilihan ketua RT/RW. Keberadaan unsur pemerintah kelurahan yang ditempatkan sebagai ketua panitia pemilihan bersifat netral karena tidak memiliki hak suara, namun sebagai pembina bagi masyarakat. Upaya pembinaan kelembagaan RT/RW juga dilakukan dengan memperbaiki syarat kepengurusan dan masa bakti pedoman kelembagaan RT/RW yang syarat kepengurusan lebih diperketat karena ditambahkannya aturan mengenai domisili, pendidikan, dan berbagai persyaratan penting lainnya. Pengaturan syarat kepengurusan bagi kelembagaan RT/RW merupakan bentuk pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Maka dari itu, dirumuskanlah alternatif pemecahan masalahnya bahwa seorang ketua RT/RW harus berpenduduk setempat yang telah dan bertempat tinggal serta memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) RT/RW setempat paling sedikit 1 (satu) tahun terakhir. Pengaturan ini bertujuan untuk memperbaiki struktur kelembagaan RT/RW karena peranannya dalam menyalurkan aspirasi masyarakat sehingga harus dekat dengan masyarakat dan RT/RW juga berperan dalam membantu pelayanan administratif yang mana memiliki peran sebagai mitra pemerintah kelurahan dalam memberikan informasi faktual kependudukan dan kewilayahan sehingga sangat penting bagi seorang ketua RT/RW berdomisili di wilayah kepengurusannya. Tahap Penetapan Kebijakan Setelah selesai dilakukan pembahasan oleh tim penyusun Rapergub pedoman RT/RW dari Biro Tata Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta bersama instansi terkait, yaitu: Biro Hukum, UKPD, SKPD, dan Bagian Tata Pemerintahan Kabupaten/Kota kemudian dilakukan proses pemarafan serta dokumen Perbal yang mana kemudian diparaf oleh Kepala SKPD dan UKPD atau perwakilan tim penyusunan Pergub yang berwenang. Tujuan dari dilakukannya proses pemarafan ini agar semua pihak yang dilibatkan dalam penyusunan peraturan gubernur tentang pedoman RT/RW melakukan pengecekan kembali bagaimana kebijakan dihasilkan. Proses pemarafan serta Rapergub pedoman RT/RW ini berjalan hingga sampai pada akhir siap untuk diserahkan kepada Gubernur Provinsi DKI Jakarta untuk proses penandatanganan akhir. Proses penandatanganan Rapergub pedoman RT/RW yang dilakukan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta kemudian Rapergub pedoman RT/RW dikembalikan kepada Biro Hukum untuk dilakukan proses pengundangan dan masuk pada tahap Berita Daerah. Pada tahap ini, naskah peraturan gubernur yang telah telah ditetapkan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta kemudian dibubuhi nomor dan tahun oleh Kepala Biro Umum dan diundangkan oleh
Formulasi kebijakan Peraturan..., Bonardo Cahyo Hapsoro Sianipar, FISIP UI, 2014
Sekretaris Daerah. Proses pengundangan kemudian menghasilkan Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman RT/RW di Provinsi DKI Jakarta. Setelah dilakukan proses pengundangan kemudian masuk kepada tahap terakhir, yaitu otentifikasi. Pada tahap ini, Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman RT/RW di Provinsi DKI Jakarta secara resmi disahkan menjadi produk hukum daerah. Namun, sebelum disampaikan kepada Kepala SKPD/UKPD Pemrakarsa dan disebarluaskan kepada masyarakat, wajib dilakukan otentifikasi oleh Kepala Biro Hukum. Pada tahap ini juga dilakukan pembuatan salinan peraturan gubernur yang ditandatangani oleh Kepala Biro Hukum. Salinan peraturan gubernur inilah yang kemudian dapat disebarluaskan kepada masyarakat, sementara naskah asli Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman RT/RW di Provinsi DKI Jakarta yang ditandatangani oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta diarsipkan. Sehingga secara resmi proses penetapan berakhir sejalan dengan diundangkannya peraturan gubernur pada tanggal 6 November 2014. Setelah mendapatkan persetujuan pengesahan dan diundangkan pada tanggal 6 November 2014, Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 secara resmi berlaku untuk mengatur kelembagaan RT/RW di Provinsi DKI Jakarta. Dengan disahkannya kebijakan pedoman RT/RW menunjukan upaya nyata yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk dapat memperbaiki kelembagaan RT/RW dengan tujuan agar RT/RW dapat menjadi mitra kerja pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahaan, pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan sosial kemasyarakatan. Model Formulasi Kebijakan Publik pada Proses Formulasi Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) di Provinsi DKI Jakarta Dalam melihat proses formulasi kebijakan Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman RT/RW di Provinsi DKI Jakarta, peneliti menganalisis proses formulasi kebijakan berdasarkan model formulasi kebijakan yang telah ditetapkan untuk menjadi acuan, yaitu model elit dan model kelompok. Pemilihan model formulasi kebijakan tersebut didasari pada pelaksanaan proses formulasi kebijakan dalam Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman RT/RW di Provinsi DKI Jakarta. Pertama, model elit yang menjelaskan bagaimana terdapat kelompok yang memiliki instrumen kekuasaan dari masyarakat. Kelompok elit memiliki pengaruh yang besar dalam
Formulasi kebijakan Peraturan..., Bonardo Cahyo Hapsoro Sianipar, FISIP UI, 2014
menentukan jalannya formulasi kebijakan publik. Kelompok elit dalam hal ini adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang memiliki peranan dan pengaruh yang besar dalam proses formulasi Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman RT/RW di Provinsi DKI Jakarta. Keinginan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan RT/RW melalui mekanisme campur tangan unsur pemerintah dalam kelembagaan didasari karena RT/RW memiliki peran dan fungsi yang sangat penting terhadap jalannya pemerintahan sehingga diharapkan RT/RW yang dibentuk sejalan dengan program-program dan mitra pemerintah kelurahan dalam menjalankan pembangunan sosial kemasyarakatan. Selanjutnya adalah model kelompok, yaitu melihat bahwa pembuatan kebijakan publik dihasilkan melalui interaksi antara kelompok-kelompok untuk dapat memperjuangkan kepentingannya satu sama lain. Model kelompok dalam proses formulasi kebijakan Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman RT/RW di Provinsi DKI Jakarta tercermin dalam pengikutsertaan berbagai kelompok baik internal Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yaitu: unsur Biro Tata Pemerintahan Setda Provinsi DKI Jakarta, Biro Hukum Setda Provinsi DKI Jakarta, Wilayah Kota Administrasi/Kabupaten, Camat dan Lurah Provinsi DKI Jakarta serta eksternal pemerintahan (non-institusional), yaitu: keterlibatan unsur Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Jakarta (LPMJ), Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK), dan RT/RW. Lembaga kemasyarakatan RT/RW berada diluar rantai birokrasi pemerintah, namun memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam membantu penyelenggaraan urusan pemerintahan. RT/RW berkewajiban untuk menjadi mitra kerja pemerintah kelurahan seperti melakukan pendataan kependudukan dan pelayanan administrasi pemerintah, memelihara keamanan dan ketertiban, menjaga kerukunan antar warga, ikut memberikan gagasan dalam pelaksanaan pembangunan dengan mengembangkan aspirasi dan swadaya masyarakat, serta menggerakan gotong-royong dan partisipasi masyarakat dalam lingkup wilayahnya. Sayangnya dengan peran dan fungsi yang sangat penting tersebut cendrung menjadikan RT/RW sebagai organisasi yang lebih dekat kepada pemerintah dari pada masyarakat. Maka dari itu, kemudian terdapat aspirasi dari kelompok masyarakat yang dalam hal ini diwakili oleh Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Jakarta (LPMJ) sebagai organisasi eksternal pemerintahan yang menyuarakan bahwa RT/RW yang dibentuk sejatinya harus merupakan cerminan dari masyarakat sehingga dengan kebijakan yang dihasilkan dapat memperkuat kelembagaan RT/RW di masyarakat.
Formulasi kebijakan Peraturan..., Bonardo Cahyo Hapsoro Sianipar, FISIP UI, 2014
Kedudukan lembaga RT/RW harus menjamin kepentingan masyarakat dan pemerintah sehingga dapat tercipta titik keseimbangan. Di sisi masyarakat melihat bahwa RT/RW harus merepresentasikan masyarakat setempat sehingga dapat menggerakkan partisipasi dan swadaya masyarakat dalam pembangunan. Di sisi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melihat bahwa kelembagaan RT/RW yang dibentuk harus sejalan dengan programprogram pemerintah, hal ini tentunya tidak salah mengingat bahwa tujuan terlaksananya pemerintahan adalah untuk melayani masyarakat sehingga perlu adanya kesesuaian antara kepengurusan RT/RW dengan pemerintah kelurahan.
D. Penutup Kebijakan Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) di Provinsi DKI Jakarta merupakan produk hukum hasil revisi kebijakan Keputusan Gubernur Nomor 36 Tahun 2001. Proses formulasi kebijakan peraturan gubernur tentang RT/RW dilalui berdasarkan 4 (empat) tahapan formulasi kebijakan, yaitu: tahap perumusan masalah, agenda kebijakan, pemilihan alternatif kebijakan untuk menyelesaikan masalah, dan tahap terakhir penetapan kebijakan. Dilihat berdasarkan model formulasi kebijakannya, Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) di Provinsi DKI Jakarta merupakan model elit dan kelompok. Model elit tercermin dari elit Provinsi DKI Jakarta yang memiliki instrumen kekuasaan dalam formulasi kebijakan publik yang dalam hal ini mengkombinasikan preferensi nilai-nilai kelompoknya dengan kepentingan masyarakat. Sementara itu, model kelompok dilihat dari pengikutsertaan kelompok internal dan eksternal pemerintah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, penulis menyarankan beberapa hal yang berhubungan dengan formulasi kebijakan Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) di Provinsi DKI Jakarta antara lain: 1). Untuk kedepannya perlunya perbaikan dalam waktu perumusan kebijakan seperti penjadwalan ulang dan penetapan target waktu yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan peraturan gubernur. 2). Perlunya diterbitkan instruksi gubernur kepada aparat pemerintah kecamatan dan kelurahan untuk mensosialisasikan Peraturan Gubernur Nomor
Formulasi kebijakan Peraturan..., Bonardo Cahyo Hapsoro Sianipar, FISIP UI, 2014
168 Tahun 2014 tentang Pedoman Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) di Provinsi DKI Jakarta. 3). Untuk lebih lanjut perlunya membuat peraturan daerah tentang lembaga kemasyaratan yang menjadi induk pengaturan RT/RW dan seluruh lembaga kemasyarakatan lainnya di Provinsi DKI Jakarta. Daftar Referensi Badranaya, Djaka. 2006. Analisa Kebijakan Peningkatan Partisipasi Publik dalam Proses Perumusan Kebijakan Publik: Studi Kasus di Wilayah Kota Bandung. Depok: Universitas Indonesia. Biro Tata Pemerintahan Setda Provinsi DKI Jakarta. 2013. Laporan Akhir Evaluasi Penilaian Kinerja Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) Tingkat Provinsi DKI Jakarta. Jakarta: Biro Tata Pemerintahan Setda Provinsi DKI Jakarta. Biro Tata Pemerintahan Setda Provinsi DKI Jakarta. 2011. Laporan Penyusunan Peraturan Gubernur Tentang Revisi Keputusan Gubernur Nomor 36 Tahun 2001.Jakarta: Biro Tata Pemerintahan Setda Provinsi DKI Jakarta. Biro Tata Pemerintahan Setda Provinsi DKI Jakarta. 2012. Laporan Fasilitasi Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) Provinsi DKI Jakarta. Jakarta: Biro Tata Pemerintahan Setda Provinsi DKI Jakarta Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetaka. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Prasojo, Eko. 2003. Otonomi Daerah Evaluasi dan Proyek. Jakarta: Divisi Kajian Demokrasi Lokal Yayasan Harkat Bangsa. Survianto, Eko Inprasno 2002. Organisasi Rukun Tetangga/Rukun Warga (RT/RW) dalam Kehidupan Sosial Komunitas Permukiman Vertikal Studi Kasus Pada Rumah Susun Tebet, Jakarta Selatan. Depok: Universitas Indonesia. Widodo, Joko. 2001. Good Governance Telaah dari Dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya: Insan Cendekia. Yazid. 2005. Partisipasi Politik Masyarakat Lokal dalam Pembuatan Kebijakan Publik (Studi Tentang Partisipasi Masyarakat Sipil dalam Pembuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Malang Tahun 2005). Depok: Universitas Indonesia. Sumber Lembaran Negara dan Daerah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2001 tentang Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa Atau Sebutan Lain, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001.
Formulasi kebijakan Peraturan..., Bonardo Cahyo Hapsoro Sianipar, FISIP UI, 2014
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 168 Tahun 2014 tentang Pedoman Rukun Tetangga dan Rukun Warga, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014. Surat Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 36 Tahun2001tentang Pedoman Rukun Tetangga dan Rukun Warga di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001.
Formulasi kebijakan Peraturan..., Bonardo Cahyo Hapsoro Sianipar, FISIP UI, 2014