Prosiding Skripsi Semester Genap 2010/2011
SK - 091304
KALOR BIODIESEL HASIL ESTERIFIKASI DENGAN KATALIS Al-MCM-41 DAN TRANSESTERIFIKASI DENGAN KATALIS KALIUM HIDROKSIDA MINYAK BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) Bisri Mustafa*, Endang Purwanti. S1 Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember ABSTRAK Telah dilakukan pembuatan biodiesel dari minyak biji nyamplung (Calophyllum inophyllum) melalui reaksi esterifikasi dan transesterifikasi. Pada reaksi esterifikasi digunakan katalis Al-MCM-41(17) sedangkan reaksi transesterifikasi digunakan katalis kalium hidroksida. Jumlah katalis Al-MCM-41 yang optimum yaitu 0,3% (b/b). Biodiesel minyak biji nyamplung yang dihasilkan dikarakterisasi sifat fisika dan kimianya seperti titik nyala, densitas, viskositas kinematik dan nilai kalor. Nilai kalor biodiesel minyak biji nyamplung secara eksperimen yang diperoleh melalui bom kalorimeter dibandingkan dengan nilai kalor teori yang diperoleh melalui program HyperChem™. Adapun sifat fisika dan kimia biodiesel minyak biji nyamplung antara lain berwarna kuning jernih dengan bau yang khas dan memiliki densitas (T=30°C) 0,90 g/mL, titik nyala 168°C, viskositas kinematik (T=30°C) 5,12 cSt, bilangan asam 0,29 mg NaOH/g, bilangan setana 74,6 dan nilai kalor 9062 kal/g. Karakterisasi tersebut sesuai dengan standar mutu biodiesel SNI-04-7182-2006 kecuali nilai densitas. Nilai Kalor secara teori yang diperoleh melalui program HyperChem™ yaitu 9844,04 kal/g. Kata kunci : Minyak Biji Nyamplung, Biodiesel, Al-MCM-41, Kalor ABSTRACT It has been produced biodiesel from nyamplung (Calophyllum inophyllum) seed oil via esterification and transesterification. In the esterification reaction used catalyst Al-MCM-41(17) while the transesterification reaction used potassium hydroxide catalyst. Nyamplung seed oil biodiesel produced were characterized physical and chemical properties such as flash point, density, kinematic viscosity and heat value. Optimum number of catalyst Al-MCM-41 was 0,3% (w/w). Heat value of nyamplung seed oil biodiesel experimentally obtained from the bomb calorimeter be compared with heat value theoritically obtained through the program HyperChem™. The physical and chemical properties of nyamplung seed oil biodiesel include clear yellow with a distinctive odor and has a density (T=30°C) 0.90 g/ml, flash point 168°C, kinematic viscosity (T=30°C) 5,12 cSt, acid number 0,29 mg NaOH/g, cetane number 74.6 and heat value 9062 cal/g. The characterization was suitable with the biodiesel quality standards SNI-04-7182-2006 unless the value of density. Heat value theoritically obtained through the HyperChem™ program that is 9844.04 cal/g. Keyword : Nyamplung Seed Oil, Biodiesel, Al-MCM-41, Heat
I PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara berpenduduk terpadat keempat setelah Cina, Amerika dan India. Menurut publikasi BPS (Badan Pusat Statistika) pada bulan Agustus 2010, jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus adalah sebanyak 237.556.363 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 persen per tahun. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk tersebut maka semakin meningkat pula kebutuhan akan energi bahan bakar. Bahan bakar yang selama ini banyak digunakan adalah bahan bakar minyak yang bersumber dari fosil. Sumber bahan bakar fosil ini tidak dapat diperbarui sehingga lama kelamaan ketersediaan bahan bakar ini semakin menipis (Jitputti,et al, 2006). * Corresponding author Phone : +6285655103271, e-mail:
[email protected] 1 Alamat sekarang : Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
e-mail:
[email protected]
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Oleh karena itu diperlukan bahan bakar alternatif sebagai pengganti bahan bakar fosil tersebut, salah satunya adalah biodiesel. Biodiesel adalah monoalkil ester dari asam lemak rantai panjang dari minyak nabati atau lemak hewan (Marchetti et al 2008). Keunggulan biodiesel dibandingkan dengan bahan bakar fosil yaitu termasuk bahan bakar yang dapat diperbarui, dapat langsung digunakan sendiri atau dicampur dengan petroleum diesel, mempunyai flash point (titik nyala) yang lebih tinggi dari petroleum diesel sehingga lebih aman jika disimpan dan digunakan, limbahnya bersifat ramah lingkungan (Knothe,et al.,2005;Pryde,1983); tidak beracun; bebas dari logam berat, sulfur dan senyawa aromatic; menghasilkan emisi CO2, SO2, CO dan hidrokarbon yang lebih rendah dari bahan petroleum diesel lainnya. Penggunaan biodiesel dapat memperpanjang usia mesin diesel karena memberikan pelumasan lebih baik dari pada bahan bakar petroleum dan tidak memerlukan modifikasi mesin diesel (Knothe, et al., 2005). Pada umumnya, biodiesel dibuat dari minyak nabati yang berasal biji jarak pagar atau kelapa sawit. Namun
dalam penelitian ini akan dibuat biodiesel yang berasal dari biji tanaman Nyamplung (Callophylum inophylum) yang berasal dari Sampang Madura. Tanaman Nyamplung terdapat hampir di semua negara tropis dan sub tropis, termasuk Indonesia. Kelebihan biji nyamplung sebagai bahan baku biodiesel adalah rendemen minyak nyamplung yang tergolong tinggi dibandingkan jenis tanaman yang lain (jarak pagar 40-60%, sawit 46-54% dan nyamplung 60-65%) dan dalam pemanfaatannya tidak berkompetisi dengan kepentingan pangan serta produktivitas biji lebih tinggi dibandingkan jenis lain (Jarak pagar 5 ton/ha; sawit 6 ton/ha; nyamplung 20 ton/ha) (Andyna, 2009). Minyak biji nyamplung memiliki kandungan asam lemak bebas (FFA) yang relatif tinggi yaitu 5,1% (Crane dkk., 2005). Tingginya kandungan asam lemak bebas dapat menyebabkan penyabunan pada proses transesterifikasi yang berakibat biodiesel yang dihasilkan lebih sedikit (Sahoo dan Das, 2009) sehingga sebelum ditransesterifikasi, minyak biji nyamplung tersebut harus diesterifikasi terlebih dahulu. Proses esterifikasi akan mengubah asam lemak bebas menjadi metil ester dengan bantuan katalis homogen berupa asam kuat, seperti asam sulfat dan asam klorida. Penggunaan katalis homogen tersebut memilki beberapa kelemahan antara lain korosif dan sulit untuk dipisahkan dengan reaktan dan produk setelah reaksi (Shu dkk., 2010) sehingga tidak cocok untuk diterapkan dalam skala industri karena dapat menambah ongkos produksi dan perawatan alat. Katalis heterogen dapat dijadikan alternatif pengganti katalis homogen. Hal ini dikarenakan proses pemisahaan katalis heterogen dengan sisa reaktan dan produk relatif muda, cukup dengan penyaringan serta memungkinkan penggunaan reaktor operasi yang berkelanjutan (Morales dkk., 2010). Katalis heterogen yang sudah pernah digunakan dalam reaksi esterifikasi minyak biji nyamplung yaitu β-zeolite dengan persen yield 93% (SathyaSelvabala dkk., 2011). Pada penelitian lain, Carmo dkk., (2009) melaporkan bahwa esterifikasi asam palmitat dengan metanol menggunakan katalis mesopori Al-MCM-41(Si/Al=8) menghasilkan konversi produk 79% sedangkan Jermy dan Padurangan (2005) melaporkan bahwa esterifikasi asam asetat dan nbutil alkohol dengan katalis Al-MCM-41 (Si/Al=25) menghasilkan konversi produk 90,1% dan sampai saat ini Al-MCM-41 belum pernah diaplikasikan dalam reaksi esterifikasi minyak biji nyamplung sehingga dalam penelitian ini akan digunakan Al-MCM-41 sebagai katalis pada reaksi esterifikasi. Katalis Al-MCM-41 merupakan katalis asam, adanya ion aluminium pada struktur MCM-41 akan meningkatkan keasaman dari material ini, sehingga ion logam tersebut akan menjadi sisi asam Lewis dan berperan sebagai sisi aktif pada proses katalisis (Bhattacharyya dkk., 2001). Hasil reaksi esterifikasi dilanjutkan dengan reaksi transesterifikasi untuk menghasilkan metil ester dengan bantuan katalis basa kuat. Katalis basa lebih dipilih dibandingkan katalis asam karena waktu reaksi transesterifikasi untuk katalis basa relatif lebih cepat dibandingkan dengan katalis asam (Andyna, 2009). Katalis basa yang sering digunakan dalam reaksi transesterifikasi yaitu KOH. Metil ester yang dihasilkan dari reaksi Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
esterifikasi dan transesterifikasi merupakan biodiesel. Efisiensi jumlah biodiesel yang digunakan dalam mesin dapat diketahui dari nilai kalornya. Semakin besar nilai kalornya, maka jumlah biodiesel yang diperlukan akan semakin sedikit. Nilai kalor eksperimen biodiesel dapat ditentukan dengan bom kalorimeter sedangkan nilai kalor teori biodiesel dapat dihitung dengan menggunakan program HyperChem™. HyperChem™ merupakan suatu perangkat lunak yang digunakan dalam kimia komputasi untuk menentukan beberapa sifat struktur antara lain stabilitas relatif dari beberapa isomer, kalor pembentukan, energi aktivasi, muatan atom, beda energi homo-lumo dan lain-lain (Pranowo, 2006). Namun penggunaan HyperChem™ dalam penentuan nilai kalor pembentukan biodiesel belum banyak dikembangkan. Berawal dari latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai pembuatan biodiesel dari minyak biji nyamplung. Biodiesel yang diperoleh nanti akan dikarakterisasi menggunakan GC-MS untuk mengetahui senyawa-senyawa penyusun biodiesel minyak biji nyamplung. Dengan diketahuinya senyawa-senyawa penyusun biodiesel tersebut, maka dapat ditentutkan nilai kalor teori yang dapat dihitung menggunakan program HyperChem™. Disamping itu, biodiesel yang dihasilkan nanti juga akan dikarekterisasi nilai kalor eksperimennya menggunakan bom kalorimeter dan sifat fisika kimianya antara lain densitas, bilangan setana, titik nyala, viskositas, bilangan keasaman dan bilangan penyabunan. II METODOLOGI PENELITIAN 2.1 Alat dan Bahan 2.1.1 Alat Perlatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain peralatan gelas, pengepres biji, oven, botol timbang, piknometer, refluk, termometer, hot plate, magnetik stirrer, buret, KG-SM SHIMADZU QP2010S, cawan porselen, cetane analyzer dan bom kalorimeter IKA C-200. 2.1.2 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain biji buah nyamplung Sampang Madura, etanol (96% p.a./Merck), padatan NaOH (Assay > 98% / UPT.BPPTK LIPI), indikator phenolftalein (p.a./ Merck), HCl (37% p.a./Merck, asam oksalat dihidrat (Assay > 98% / UPT.BPPTK LIPI), H3PO4 (85% p.a./Merck), Al-MCM41(Si/Al=17, metanol (98% p.a./Merck), padatan KOH dan aquabidest. 2.2 Prosedur Kerja 2.2.1 Persiapan Bahan Baku Biji nyamplung sebanyak 5 kg dihaluskan terlebih dahulu dengan blender lalu ditaruh dalam loyang dan dimasukkan kedalam oven dengan suhu 100oC sampai didapatkan berat konstan. Kadar air biji nyamplung dihitung. Biji nyamplung bebas air dibungkus dengan kain saringan dan dipress dengan pengepresan ulir. Pengepresan dilakukan 4-6 kali sehingga dihasilkan minyak biji nyamplung.
2.2.2 Penentuan Bilangan Asam Minyak Biji Nyamplung Minyak nyamplung sebanyak 5 mL dimasukkan dalam erlenmeyer 50 ml, kemudian ditambahkan dengan 23 mL etanol 96 % dan dipanaskan pada suhu 60oC selama 10 menit sambil di aduk. Setelah itu, campuran tersebut dibagi menjadi dua bagian dan masing-masing ditambahkan dengan 3 tetes indikator phenolftalein dan dititrasi dengan larutan KOH telah yang distandarisasi hingga berwarna merah jambu. Nilai bilangan asam dihitung dengan menggunakan rumus dibawah ini.
2.2.3 Bilangan Penyabunan Minyak Biji Nyamplung Penentuan bilangan penyabunan dilakukan dengan metode titrimetri yaitu dengan cara mentitrasi larutan sampel dan larutan blanko. Pertama-tama, ditimbang KOH dengan botol timbang sebanyak 0,4203 g dan dilarutkan dalam 96 mL etanol 96%. Larutan yang diperoleh dibagi menjadi dua, 48 mL digunakan sebagai blanko dan 48 mL lainnya direaksikan dengan 0,1167 g minyak mentah biji nyamplung yang akan digunakan sebagai larutan sampel. Titrasi larutan blanko Larutan blanko 48 mL dibagi menjadi dua bagian dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berbeda dan masing-masing ditambahkan dengan 3 tetes indikator phenolftalein sehingga larutan blanko tersebut berwarna merah mudah dan dititrasi dengan larutan HCl 1,0068N sampai bening tidak berwarna. Volume HCl yang dibutuhkan dicatat. Titrasi larutan sampel Larutan sampel dibuat dengan cara mereaksikan 48 mL larutan blanko dengan 0,1167 g minyak biji nyamplung. Larutan sampel dipanaskan selama 10 menit pada suhu 60°C. Setelah itu larutan sampel dibagi menjadi dua bagian dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berbeda serta ditambahkan tiga tetes indikator phenolftalein sehingga larutan sampel berwarna merah muda. Larutan sampel dititrasi dengan larutan HCl 1,0068 N sampai bening tidak berwarna. Volume HCl yang dibutuhkan dicatat. Bilangan penyabunan dapat dihitung dengan menggunakan rumus dibawah ini. (
)
..(3.2)
2.2.4 Deguming Minyak biji nyamplung sebanyak 450 mL dimasukkan dalam beaker glass dan dipanaskan selama 1 jam pada suhu 65°C lalu ditambahkan 5% (v/v) asam fosfat 85%. Larutan campuran tersebut diaduk sampai minyak berbuah warna menjadi kecoklatan. Setelah itu didiamkan selama 1x24 jam agar reaksi berlangsung sempurna. Campuran didekantasi untuk memisahkan antara minyak hasil deguming gum yang menempel di dasar beaker glass. 2.2.5 Optimasi Jumlah Katalis Al-MCM-41 Minyak hasil degumming sebanyak 10 mL dimasukkan dalam labu bundar dan ditambahkan 8,64 mL metanol serta 0,1%(b/b) katalis Al-MCM-41. Campuran Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
tersebut kemudian direfluk pada suhu 60oC selama 2 jam. Setelah itu dibiarkan dingin dan padatan Al-MCM-41 dipisahkan dengan cara disentrifus sehingga diperoleh endapan Al-MCM-41 dan filtrat yang terdiri dari dua lapisan. Lapisan organik dan aquoes dipisahkan lalu lapisan organik yang merupakan minyak hasil esterifikasi dihitung bilangan asamnya. Langkah ini juga digunakan untuk katalis Al-MCM-41 0,3% dan 0,5% (b/b). 2.2.6 Esterifikasi I Optimasi jumlah katalis Al-MCM-41 yang paling optimum dalam menurunkan bilangan asam minyak biji nyamplung yaitu 0,3% (b/b) sehingga esterifikasi dalam skala besar akan menggunakan katalis Al-MCM-41 dengan jumlah tersebut. Adapun langkah-langkahnya yaitu minyak hasil degumming sebanyak 100 mL dimasukkan dalam labu bundar dan ditambahkan 85,2 mL metanol serta 0,2794 g katalis Al-MCM-41. Campuran tersebut kemudian direfluk pada suhu 60oC selama 2 jam. Setelah itu dibiarkan dingin dan padatan Al-MCM-41 dipisahkan dengan cara disentrifus sehingga diperoleh endapan Al-MCM-41 dan filtrat yang terdiri dari dua lapisan. Lapisan organik dan aquoes dipisahkan lalu lapisan organik yang merupakan minyak hasil esterifikasi I dihitung bilangan asamnya dan diesterifikasi lagi agar bilangan asamnya turun sampai kurang dari 2%. 2.2.7 Esterifikasi II Lapisan organik hasil esterifikasi I sebanyak 87 mL dimasukkan dalam labu bundar dan ditambahkan 75,4 mL metanol serta 0,2428 g katalis Al-MCM-41. Campuran tersebut kemudian direfluk pada suhu 60oC selama 2 jam. Setelah itu dibiarkan dingin dan padatan Al-MCM-41 dipisahkan dengan cara disentrifus sehingga diperoleh endapan Al-MCM-41 dan filtrat yang terdiri dari dua lapisan. Lapisan organik dan aquoes dipisahkan lalu lapisan organik yang merupakan minyak hasil esterifikasi II dihitung bilangan asamnya. 2.2.8 Transesterifikasi Proses transesterifikasi diawali dengan membuat larutan CH3OK dengan cara mereaksikan 3,4886 g KOH dalam 19,4 mL metanol. Larutan kalium metoksida yang terbentuk kemudian ditambahkan ke dalam 75 mL lapisan organik hasil esterifikasi II yang ada di dalam labu bundar. Campuran direfluk pada suhu 60oC selama 1 jam, lalu didinginkan pada suhu kamar. Setelah dingin, campuran tersebut dimasukkan ke dalam corong pisah, dikocok kuat dan didiamkan sampai terbentuk 2 fasa. Lapisan organik akan berada dibagian atas dari lapisan aquoes. Lapisan organik adalah metil ester, sedangkan lapisan aquoes adalah gliserol. Bioidesel (metil ester) yang dihasilkan dikarakterisasi sifat fisika dan kimianya untuk mengetahui kesesuaiannya dengan sifat biodiesel berdasarkan standar mutu biodiesel SNI-04-7182-2006. 2.2.9 Karakterisasi Biodiesel Minyak Biji Nyamplung Biodiesel yang dihasilkan dikarakterisasi sifat fisika dan kimianya seperti senyawa-senyawa penyusun biodiesel yang dianalisa dengan instrument KG-SM, densitas, bilangan setana, titik nyala, viskositas kinematik, bilangan asam dan kalor pembakaran. Kalor pembakaran yang
III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Persiapan Bahan Baku Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini yaitu biji tanaman Nyamplung (Calophyllum Inophyllum) yang berasal dari Sampang, Madura. Minyak Nyamplung diperoleh dari biji tanaman Nyamplung (Calophyllum Inophyllum) yang berasal dari Sampang, Madura. Sebelum diambil minyaknya, biji Nyamplung tersebut dikeringkan terlebih dahulu untuk mengurangi kandungan airnya dengan cara mengeringkannya dalam oven pada suhu 100°C sampai didapat berat konstan. Kadar air yang terkandung dalam biji nyamplung yaitu 31,18%. Biji nyamplung yang sudah kering lalu dicincang kecil dengan meggunakan blender agar pengepresannya mudah. Selesai diblender, biji nyamplung dimasukkan dalam kain saringan lalu dipres dengan press ulir untuk mengambil minyaknya. Minyak biji nyamplung yang diperoleh berwarna hijau dan masih ada getahnya yang berwarna kuning didalamnya. Rendemen yang diperoleh sebesar 33,44%. Minyak biji nyamplung pada penelitian ini memiliki densitas 0,9303 g/mL. Adapun sifat fisika-kimia dari minyak biji nyamplung secara keseluruhan bisa dilihat pada tabel 3.1. 3.2 Bilangan Asam Minyak Biji Nyamplung Bilangan asam minyak biji nyamplung yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu 42,81 mg NaOH/g minyak nyamplung. Pada penelitian terdahulu seperti yang dilakukan Crane dkk (2005) melaporkan bahwa kandungan asam lemak bebas pada minyak biji nyamplung yaitu sebesar 22,4 ± 0,6 mg KOH/g sedangkan Bustomi dkk., (2008) memperoleh bilangan asam minyak biji nyamplung sebesar 59,94 mg KOH/g. Kandungan asam lemak bebas pada minyak biji nyamplung tersebut relatif besar sehingga dalam proses pembuatan biodiesel harus melalui tahap esterifikasi untuk mengubah asam lemak bebas menjadi metil ester sehingga nantinya diharapkan persen yield biodiesel yang diperoleh besar. 3.3 Bilangan Penyabunan Minyak Biji Nyamplung Bilangan penyabunan dari minyak biji nyamplung yaitu 193,60 mg KOH/g dan berat molekul relatifnya yaitu 869,34 g/mol. Bilangan penyabunan tersebut tidak jauh beda dengan hasil penelitian terdahulu seperti yang dilakukan Crane dkk., (2005) menyebutkan bahwa bilangan penyabunan minyak biji nyamplung yaitu sebesar 194,4 ± 6 mg KOH/g sedangkan Bustomi dkk. (2008) memperoleh bilangan penyabunan minyak biji nyamplung sebesar 198,1 mg KOH/g. 3.4 Deguming Minyak biji nyamplung yang diperoleh dari pengepresan biji nyamplung selanjutnya dideguming dengan tujuan untuk menghilangkan getah. Penambahan H3PO4 pada proses degumming berfungsi sebagai pengikat getah dengan membentuk endapan dibagian dasar beaker glass. Pada proses degumming dihasilkan minyak nyamplung bersih yang berwarna merah kecoklatan. Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Tabel 3.1 Sifat Fisika dan Kimia Minyak Biji Nyamplung Sifat fisika dan kimia
Nilai
Densitas (g/mL) Bilangan Asam (mg NaOH/g)
0,9303 42,81
Bilangan Penyabunan (mg KOH/g) Kadar Asam Lemak Bebas (%) Rendemen (%)
193,5955 21,4 33,44
Penampakan
Hijau gelap dan kental dengan bau menyengat
3.5
Optimasi Jumlah Katalis Al-MCM-41 Pada Esterifikasi Optimasi jumlah katalis Al-MCM-41(Si/Al=17) pada proses esterifikasi minyak biji nyamplung belum pernah dilakukan sebelumnya sehingga pada penelitian ini dilakukan optimasi dengan variasi persen berat katalis AlMCM-41 yaitu 0,1%; 0,3% dan 0,5%. Pada Gambar 4.4 terlihat bahwa jumlah katalis Al-MCM-41 yang paling optimum pada proses esterifikasi minyak biji nyamplung yaitu 0,3% (b/b) dengan persen konversi FFA sebesar 85,5%. Jika jumlah katalis yang digunakan kurang maka tidak semua asam lemak terkonversi menjadi metil ester sehingga persen yield yang dihasilkan akan semakin kecil sedangkan jika jumlah katalis yang digunakan berlebih juga tidak baik untuk reaksi esterifikasi karena persen konversinya akan semakin menurun. Hal ini disebabkan dengan semakin banyaknya jumlah katalis yang digunakan maka reaksi esterifikasi cepat berlangsung dan air yang terbentuk juga akan semakin cepat. Air yang terbentuk ini dapat menyebabkan hidrasi pada gugus –OH (sisi asam Brönsted) sehingga dapat mendeaktifkan keasaman katalis (Shu dkk., 2010).
Konversi FFA (%)
diperoleh dibandingkan dengan kalor pembentukan yang diperoleh melalui progrom HyperChem 8.0.8 dengan metode semi empiris.
85.5
86 84 82 80 78 76
82.5 79.4
0.1
0.3
0.5
% (b/b) Katalis Al-MCM-41 Gambar 3.1 Grafik Konversi FFA terhadap % (b/b) Katalis Al-MCM-41 3.6 Esterifikasi Proses esterifikasi yaitu proses perubahan asam lemak bebas menjadi metil ester dan air dengan cara mereaksikan asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak biji nyamplung dengan metanol yang dibantu dengan suatu katalis. Katalis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu katalis heterogen Al-MCM-41
(Si/Al=17) yang berupa padatan berwarna putih. Katalis ini bersifat asam karena adanya ion aluminium pada struktur MCM-41 akan meningkatkan asam dari material ini, sehingga ion logam tersebut akan menjadi sisi asam Lewis dan berperan sebagai sisi aktif pada proses katalisis (Bhattacharyya, 2001). Katalis yang digunakan dalam esterifikasi kebanyakan menggunakan katalis asam karena katalis asam tidak menyebabkan penyabunan dan membutuhkan waktu reaksi yang relatif lebih cepat bila dibandingkan dengan katalis basa. Mekanisme kerja katalis heterogen untuk AlMCM-41 sendiri belum diketahui secara pasti, namun mekanisme kerja dari katalis heterogen pada umumnya seperti yang dilaporkan oleh Laidler (1987) yaitu pertamatama reaktan akan terserap (adsorption) pada permukaan katalis, selanjutnya akan terjadi interaksi baik berupa reaksi pada permukaan katalis atau terjadi pelemahan ikatan dari molekul yang terserap. Setelah reaksi terjadi, molekul hasil reaksi akan dilepas dari permukaan katalis. Pada penelitian ini dilakukan esterifikasi karena bilangan asam dari minyak biji nyamplung relatif tinggi yaitu 42,81 mg NaOH/g atau setara dengan 21,4%. Sahoo dan Das (2009) melaporkan bahwa tingginya kandungan asam lemak bebas berakibat biodiesel yang dihasilkan lebih sedikit dan Bustomi dkk., (2008) melaporkan jika kandungan asam lemak lebih besar dari 20% maka esterifikasi dilakukan sebanyak dua kali sehingga pada penelitian ini dilakukan esterifikasi sebanyak dua kali. Esterifikasi pada penelitian ini menggunakan rasio molar minyak/metanol 1:20 yang menurut Bustomi dkk., (2008) merupakan rasio molar minyak/metanol yang optimum dalam reaksi esterifikasi minyak biji nyamplung. Disamping itu juga digunakan katalis Al-MCM-41 0,3% (b/b) yang merupakan persen jumlah katalis optimum yang dapat digunakan pada proses esterifikasi (Gambar 4.4). Pada proses esterifikasi pertama diperoleh penurunan bilangan asam dari 42,81 mg NaOH/g menjadi 6,19 mg NaOH/g dan setelah esterifikasi kedua, bilangan asam menurun menjadi 1,31 mg NaOH/g sehingga minyak hasil esterifikasi dapat ditransetsrifikasi. 3.7 Transesterifikasi Proses transesterifikasi merupakan reaksi antara trigliserida dengan alkohol membentuk ester dan gliserol. Reaksi transesterifikasi bersifat reversible sehingga semakin banyak alkohol yang digunakan maka akan menggeser kesetimbangan ke arak produk (Ma dan Hanna, 1999). Reaksi transestrifikasi terdiri dari tiga tahap seperti yang telah dilaporkan oleh Singh dan Singh (2009) pada Gambar 4.5. Trigliserida
CH3OH
Digliserida
CH3OH
Monogliserida
CH3OH
KOH KOH KOH
Digliserida
R1COOCH 3
Monogliserida
R2COOCH 3
Gliserol
R3COOCH 3
Gambar 3.1 Tahap-Tahap Reaksi Transesterifikasi
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Pada proses ini diperoleh larutan yang terdiri atas dua lapisan, lapisan organik dan lapisan aquoes. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Vyas dkk (2009) yang menyebutkan bahwa proses transesterifikasi akan menghasilkan filtrat yang terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan organik dan lapisan aquoes. Lapisan organik terdiri atas metil ester dan trigliserida yang tidak bereaksi sedangkan lapisan aquoes terdiri atas gliserol dan metanol yang tidak bereaksi. Lapisan organik dipisahkan dan dikarakterisasi sifat fisika dan kiminya. Persen yield yang diperoleh pada penelitian ini yaitu sebesar 69%. 3.7 Karakterisasi Biodiesel Minyak Biji Nyamplung Pada gambar 3.2 dibawah ini dapat dilihat kromatogram biodiesel minyak biji nyamplung. 3 4
1
2
5 6 7
Gambar 3.2 Kromatogram Biodiesel Minyak Biji Nyamplung Berdasarkan interpretasi hasil KG-SM dapat diketahui senyawa-senyawa penyusun biodiesel minyak biji nyamplung seperti yang tertulis pada tabel 3.2 di bawah ini. Puncak
Fraksi (%)
1
Waktu Retensi (Menit) 22,275
Nama Senyawa
13,30
Metil Palmitat
2 3 4
22,933 24,900 25,158
1,15 62,97 16,14
Asam Palmitat Metil Oleat Metil Stearat
5
25,425
4,53
Vinyl pentadeca-8,14-dienoate
6 7
25,667 27,642
1,15 0,77
Asam Stearat Metil Arakidat
Tabel 3.2 Kandungan Senyawa yang ada di dalam Biodiesel Minyak Biji Nyamplung Pada karakterisasi dengan menggunakan kromatografi gas-spektrometri massa (KG-SM) dapat diketahui bahwa senyawa penyusun biodiesel minyak biji nyamplung yaitu metil oleat, metil stearat, metil palmitat, metil arakidat, Vinyl pentadeca-8,14-dienoate. Senyawasenyawa penyusun biodiesel minyak biji nyamplung tersebut nantinya akan digunakan untuk menghitung nilai kalor teori dari biodiesel minyak biji nyamplung melalui program HyperChem™ dengan metode semi empiris. Pada biodiesel yag dihasilkan pada penelitian ini masih ditemukan sedikit asam yang tidak bereaksi yaitu asam stearat dan asam palmitat. Metil ester yang paling banyak terkandung dalam biodiesel minyak biji nyamplung yaitu metil oleat sehingga memungkinkan jika kandungan asam
lemak terbesar pada minyak biji nyamplung yaitu asam oleat. Hal ini sesuai dengan penelitan yang dilakukan oleh Crane dkk., (2005) dan Bustomi dkk., (2008) yang menyebutkan bahwa kandungan asam lemak terbesar pada minyak biji nyamplung yaitu asam oleat. Pada penentuan kadar metil ester dalam biodiesel minyak biji nyamplung menggunakan kromatografi gas HP 5890 diketahui jika kadar metil ester dalam biodiesel minyak biji nyamplung yaitu sebesar 66,16% dan sisanya adalah metanol dan gliserol karena transesterifikasi adalah reaksi reversible sehingga memungkinkan untuk metanol dan gliserol terbentuk kembali. Trigliserida yang tidak bereaksi tidak dapat dianalisa dengan menggunakan kromatografi gas ini karena titik didih dari trigliserida sangat tinggi sehingga tidak muda menguap. Berdasarkan tabel 3.3 dapat diketahui sifat-sifat biodiesel minyak biji nyamplung yang memenuhi standar mutu biodiesel SNI-04-7182-2006 yaitu viskositas kinematik, titik nyala, bilangan setana dan bilangan asam sedangkan yang tidak memenuhi stndar mutu biodiesel adalah densitas. Densitas berkaitan erat dengan viskositas kinematik karena densitas berbanding lurus dengan viskositas kinematik. Pada umumnya, bahan bakar harus mempunyai viskositas yang relatif rendah agar dapat mudah mengalir dan teratomisasi Hal ini dikarenakan
putaran mesin yang cepat membutuhkan injeksi bahan bakar yang cepat pula. Namun tetap ada batas minimal karena diperlukan sifat pelumasan yang cukup baik untuk mencegah terjadinya keausan akibat gerakan piston yang cepat (Shreve, 1956). Titik nyala merupakan suhu terendah dimana biodiesel dapat menyala. Titik nyala berhubungan langsung dengan penyimpanan dan penanganan suatu bahan bakar (Shreve, 1956). Titik nyala yang tinggi akan memudahkan penyimpanan bahan bakar, karena bahan bakar tidak akan mudah terbakar pada temperatur ruang. Namun titik nyala yang rendah akan berbahaya dalam hal penyimpanannya karena resiko penyalaan. Bilangan setana menunjukkan kemampuan bahan bakar untuk menyala sendiri. Bilangan setana yang tinggi menunjukkan bahwa bahan bakar dapat menyala pada temperatur yang relatif rendah dan sebaliknya bilangan setana rendah menunjukkan bahan bakar baru dapat menyala pada temperatur yang relatif tinggi (Shreve, 1956). Secara umum bahan bakar biodiesel memiliki bilangan setana yang lebih tinggi dibandingkan dengan solar. Biodiesel pada umumnya memiliki rentang bilangan setana dari 46-70, sedangkan bahan bakar diesel (solar) memiliki bilangan setana antara 47-55 (Harahap, 2008).
Tabel 3.3 Sifat fisika dan Kimia Biodiesel Minyak Biji Nyamplung Sifat fisika dan kimia Standar SNI* Nilai % Yield 69 Densitas T=30°C (g/mL) 0,85 –0,89 0,90 Titik Nyala (°C) Min. 100 168 Viskositas Kinematik T=30°C (cSt) 2,3 – 6 5,12 Bilangan Setana Min. 51 74,6 Bilangan Asam (mg NaOH/g) Maks. 0,8 0,29 Nilai Kalor (kal/g) 9062 *standar mutu biodiesel SNI-04-7182-2006 Pada penelitian ini nilai kalor ditentukan secara eksperimen dan teori. Nilai kalor biodiesel minyak biji nyamplung secara eksperimen ditentukan dengan menggunakan bom kalorimeter IKA C-200 sesuai dengan metode ASTM D240 sedangkan yang secara teori dihitung menggunakan program HyperChem™ dengan metode semi empiris. HyperChem™ merupakan program yang handal dari pemodelan molekul yang telah diakui mudah digunakan, fleksibel dan berkualitas. Dengan menggunakan visualisasi dan animasi tiga dimensi hasil perhitungan kimia kuantum, mekanika dan dinamika. molekular, menjadikan HyperChem™ terasa sangat mudah digunakan dibandingkan dengan program kimia kuantum yang lain (Pranowo, 2006). Pada perhitungan ini digunakan metode semi empiris dikarenakan metode semi empiris dapat melakukan perhitungan pada molekul besar dan waktu yang dibutuhkan lebih singkat. Kelebihan ini tidak dimiliki oleh metode Ab initio (Gotwals dan Sendinger, 2007). Biodiesel yang diukur kalornya tersebut merupakan biodiesel yang pada proses esterifikasi menggunakan persen berat katalis Al-MCM-41 yang optimum yaitu 0,3%. Jika pada esterifikasi menggunakan persen berat katalis AlMCM-41 0,1% atau 0,5% yang tidak maksimal dalam mengkonversi asam lemak bebas menjadi metil ester maka kalor yang dihasilkan akan semakin kecil karena kadar Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
metil ester yang dihasilkan akan lebih rendah jika dibandingkan dengan menggunakan 0,3%(b/b). Nilai kalor teori biodiesel minyak biji nyamplung diperoleh yaitu 9856,43 kal/g sedangkan kalor eksperimen diperoleh sebesar 9062 kal/g. Nilai kalor eksperimen biodiesel minyak biji nyamplung lebih kecil dari pada nilai kalor teorinya. Hal ini dikarenakan sampel biodiesel pada penentuan kalor eksperimen berwujud cair sedangkan penentuan kalor teori dengan program HyperChem™ dalam wujud gas (Birczynska dan Rutkowska, 2000). IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa : 1. Biodiesel dapat dibuat dari minyak biji nyamplung melalui reaksi esterifikasi dua kali dengan bantuan katalis Al-MCM-41(Si/Al=17) dan reaksi transesterifikasi dengan bantuan katalis KOH. 2. Jumlah katalis Al-MCM-41 (Si/Al=17) yang paling optimum untuk reaksi esterifikasi yaitu 0,3% (b/b). 3. Sifat fisika dan kimia dari biodiesel minyak biji nyamplung yang dihasilkan yaitu berwarna kuning jernih dengan bau yang khas dan memiliki densitas
(T=30°C) 0,90 g/mL, titik nyala 168°C, viskositas kinematik (T=30°C) 5,12 cSt, bilangan setana 74,6 dan bilangan asam 0,29 mg NaOH/g. Karakteristik biodiesel minyak biji nyamplung yang dihasilkan sesuai dengan standar mutu biodiesel SNI-04-7182-2006 kecuali untuk densitas. 4. Nilai kalor pembakaran biodiesel minyak biji nyamplung secara eksperimen dengan menggunakan bom kalorimeter diperoleh sebesar 9062 kal/g, sedangkan nilai kalor pembentukan secara teori yang diperoleh dengan menggunakan komputasi kimia program HyperChem™ dengan metode semi empiris yaitu 9844,04 kal/g. 4.2 Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan kromatografi gas yang dapat menganalisa trigliserida sehingga dapat diketahui trigliserida yang tidak bereaksi pada reaksi transesterifikasi. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk penentuan kalor pembentukan biodiesel minyak biji nyamplung dengan menggunakan metode Ab-Initio sebagai pembanding metode semi empiris. UCAPAN TERIMA KASIH 1. Ir. Endang Purwanti S.,MT, selaku dosen pembimbing yang telah berkenan memberikan bimbingan dan saran 2. Drs. Hendro Juwono M.Si , selaku mantan dosen wali yang telah berkenan memberikan bimbingan, motivasi, saran dan nasehat-nasehat 3. Drs. Muhammad Nadjib,M.S selaku dosen wali atas semua nasehat dan kemudahan dalam proses akademik 4. Lukman Atmaja, Ph.D, selaku Ketua Jurusan Kimia FMIPA-ITS 5. Dra. Yulfi Zetra, MS. selaku koordinator Tugas Akhir Program S1 6. Ayah, ibu dan kakak-adik yang telah memberikan dukungan penuh selama mengerjakan Skripsi ini 7. Teman-teman angkatan 2007 Kimia ITS (terutama Ndaru C.S. dan Muhibbudin Abbas) serta semua pihak yang telah membantu terselesaikannya Skripsi ini. Daftar Pustaka Andyna, JY Nurin, (2009), Pembuatan Biodiesel dari Minyak Biji Nyamplung (Caliphyllum Inophyllum), Program studi kimia, FMIPA, ITB, Bandung Bhattachrrya. et al., (2001), Acetylation of Phenol with AlMCM-41, Catalysis Communication., Vol.2. hal. 105-111 Birczynska, A. Weselucha., Rutkowska, M. Ciechanowicz., (2000), Experimental and Calculated Structure of Vibrational Spectra of Cinchonine, Journal of Molecular Structure 555 vol. 391–395 Bustomi, Sofyan, dkk.,(2008), Nyamplung (Calophyllum Inophy Llum L.)Sumber Energi Biofuel Yang Potensial, Badan Litbang Kehutanan, Jakarta Carmo. et al., (2009), Production of biodiesel by esterification of palmitic acid over mesopori Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
aluminosilicate Al-MCM-41, Fuel. Vol. 88. hal. 461-468 Crane, Sylvie et al, (2005), Composition of fatty acids triacylglycerols and unsaponifiable matter in Calophyllum calaba L. oil from Guadeloupe, Phytochemistry, vol.66, hal.1825 – 1831 Gotwals, Robert, R., dan Sendinger, Shawn, C.,(2007), A Chemistry Educator’s Guide to Molecular Modeling, The North Carolina School of Science and Mathematics Harahap, Hendar, (2008), Optimasi Transesterifikasi Refinery Bleached Deodorized Palm Oil Menjadi Metil Ester Menggunakan Katalis Lithium Hidroksida, Sekolah Pasca Sarjan, Universitas Sumatera Utara, Medan Jermy, BR., Pandurangan, A., (2005), Catalytic Application of Al-MCM-41 in The Esterification of Acetic Acid with Various Alcohols, Applied Catalysis A: General 288, hal 25–33 Jitputti,J ,et al, (2006), Transesterification of crude palm kernel oil and crude coconut oil by different solid catalysts, Chemical Engineering Journal vol.116 page 61–66 Knothe, G, et al. (2005), The Biodiesel Handbook, Champaign, illnois, AOCS Press Ma, Fangrui; Hanna, M.,(1999), Biodiesel Production: A Review, Bioresource Technology, 70:11-15 Marchetti, J.M, Errazu,A.F., (2008). Technoeconomic study of supercritical biodiesel production plant Morales, et al.,(2101), Zirconium doped MCM-41 supported WO3 solid acid catalysts for the esterification of oleic acid with methanol, Applied Catalysis A: General 379, hal. 61–68 Pranowo, Harno D., (2006), Kimia Komputasi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Pryde, E.H., (1983), Vegetable oil as diesel fuel : Overview. JAOCS 60, 1557±1558 Ramadhas, A.S., Mulareedharan, C., Jayaraj, S., (2005), Performance and emission evaluation of a diesel engine fueled with methyls esters of rubber seed oil, Renewable Energy, 30, 1789 – 1800 Sahoo, P.K., Das, L.M., (2009), Process Optimization for Biodiesel Production from Jatropha, Karanja and Polanga Oils, Fuel 88 Hal 1588–1594 SathyaSelvabala, V., Selvaraj, DK., Kalimuthu J., Periyaraman PM., Subramanian, S., (2011), TwoStep Biodiesel Production from Calophyllum Inophyllum Oil: Optimization of Modified β-Zeolite
Catalyzed Pre-Treatment, Bioresource Technology 102, hal 1066–1072 Shreve, R.N. (1956), Chemical engineering series, The chemical process industries. 2nd eds, New York, Toronto, London Shu, et al., (2010), Synthesis of biodiesel from a model waste oil feedstock using a carbon-based solid acid catalyst: Reaction and separation, Bioresource Technology 101, hal. 5374–5384 Singh SP, Singh D.( 2009), Biodiesel Production Through The Use Of Different Sources And Characterization Of Oils And Their Esters As The Substitute Of Diesel: a review. Renewable and Sustainable Energy Reviews 14:200–16 Vyas, AP., Subrahmanyam N., Patel, PA., (2009), Production Of Biodiesel Through Transesterification of Jatropha Oil Using KNO3/Al2O3 Solid Catalyst, Fuel 88, 625–628
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS