A T I R BE i Jul ei M o. 2 .1 N Vol
200
3
KEBAKARAN HUTAN ANTARA DOSA DAN BENCANA STARTEGI PENYELAMATAN HUTAN DARI KEBAKARAN
ITA R BE
Dewan Redaksi
Dewan Redaksi JIKALAHARI, (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau) merupakan salah satu komponen masyarakat yang aktif dalam penyelamatan hutan di Riau. Hutan Riau sebagai kawasan yang sangat tinggi keanekaragaman hayatinya. Hutan ini merupakan salah satu sumberdaya utama untuk melangsungkan kehidupan manusia. Majalah triwulan ini dibuat untuk memperhatikan Hutan Riau, supaya dapat dilestarikan dan dijaga oleh generasi sekarang dan akan datang. Untuk edisi ini ada penambahan halaman dan penambahan topik bahasan. Berita JIKALAHARI disebarkan kepada lembaga pemerintah, lembaga nonpemerintah, lembaga donor dan masyarakat yang terlibat dan tertarik untuk menyelamatkan hutan Riau. Majalah ini diterbitkan oleh JIKALAHARI, dalam rangka pengelolaan dan pelestarian sumberdaya Hutan Riau.
Penanggung Jawab (Zul Fahmi) Koordinator JIKALAHARI Pimpinan Redaksi Muhammad Yusrizal Editor Kuncoro Hadi Ilustrasi dan Perwajahan Efan Siklus Dewan Redaksi Presidium JIKALAHARI Sekretariat JIKALAHARI Kuncoro Hadi (Riau Mandiri) Efan Siklus (Siklus) Sirkulasi Sri Wahyuni Anggota Redaksi Anggota JIKALAHARI
Daftar Isi Dari Redaksi ……………………………………………………… .. 3 Forum Komunikasi …………………………………………………………3 Berita Hutan Riau …………………………………………………………………4 Berita Utama …………………………………………………………6 Hukum ……………………………………………………..…10 Profil Masyarakat ……………………………………..…………………12 Ekosistem Lingkungan .......................................................................................13 Opini ……………………………………………………..…15 Kebijakan Kehutanan ……………………………………………………..…16 Profil Hutan ……………………………………………………..…17 Tentang Kami ……………………………………………………..…18 Celoteh ………………………………………………..………19 Ada sebuah kebanggaan dari redaksi bila menerima bahan dari pembaca, berupa artikel, hasil pengamatan, kliping, gambar dan foto. Tulisan yang dikirimkan hendaknya tidak lebih dari 1.500 kata.
Anda dapat mengirimkan bahan tersebut kepada : Muhammad Yusrizal, Staf Data dan Komunikasi JIKALAHARI Jl. Amir Hamzah No. 19, Gobah, Pekanbaru, Riau. Telp./Fax (0761) 36349 Email :
[email protected] http://www.jikalahari.org
Dari Redaksi
3
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Ulang Tahun Dapur Raksasa di Riau
Pekanbaru terdapat 220 kasus penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Jumlah ini diambil sampel dari 13 Puskesmas yang ada di Pekanbaru dan adanya warga yang melapor ke Posko Kesehatan yang dibangun Pemko Pekanbaru. Dari sampel 13 Puskesmas ada 5 orang per Puskesmas yang melapor. Itu hanya sebagian pesta ulang tahun dapur raksasa di Riau. Bencana atau memang
Komunikasi Forum Komunikasi
keinginan dari pemerintah kita. Sebuah pertanyaan yang belum mendapatkan jawaban, mengapa hal ini tetap terjadi di Riau? Bahkan Gubernur Riau menganggap permasalahan dapur raksasa tersebut sebagai permasalahan biasa. Kebakaran dan asap harus terjadi, karena kalau tidak ada asap otomatis masyarakat Riau tidak bisa makan. Yang ironisnya sebagai kepala daerah Saleh Jasid menyamakan antara kebakaran hutan dengan orang memasak di dapur. Memang menjadi dilema sendiri dalam penyelesaikan kasus kebakaran dan kabut asap, bila kepala daerah memandang ini bukan menjadi masalah kemanusiaan. Sehingga WALHI Riau perlu melakukan tuntutan dan gugatan ke perusak lingkungan. Bagaimana peran kita sebagai masyarakat yang merasakan langsung dampak dari asap. Masih perlukah Ulang Tahun Dapur Raksasa di Riau, terulang lagi, dengan menghasilkan banyak kerugian. Perjuangan belum selesai, ini belum apa-apa.
Dari Redaksi
K
ondisi kabut asap di Riau dari hari ke hari makin parah saja, sehingga jarak pandang hanya sekitar 200 meter. Makin parahnya kabut asap ini disebabkan luas hutan yang terbakar di wilayah Riau Daratan semakin luas saja. Hasil pemantauan satelit National Oceanic Atmospheric and Administration (NOAA) sejak awal Mei hingga Senin (9/6) ini, jumlah titik api menunjukkan peningkatan. Saat ini berdasarkan pemantauan satelit NOAA itu diketahui jumlah titik api sudah mencapai 400 titik. Kebakaran hutan dan lahan hampir merata terjadi di seluruh daerah di Riau, yaitu di Kabupaten Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, Bengkalis, Kampar, Pelalawan, Siak, Rokan Hulu, dan Rokan Hilir. Sementara kebakaran hebat juga melanda sejumlah lahan di kota Pekanbaru dan Dumai. Kabut asap yang menyerang Pekanbaru dan sekitarnya telah membuat masyarakat tidak nyaman. Hal ini dikarenakan asap yang telah mencemari udara itu bau arang sehingga memedihkan mata dan membuat tenggorokan kering. Buntutnya, dalam hitungan 3 hari ini diperkirakan di Kota
Redaksi
○ ○ ○ ○ ○ ○
Susksesi kepemimpinan Riau sudah mulai di dengungkan. Pada tahun 2003 ini pesta demokrasi di Riau digulirkan. Kalah dan menang menjadi sebuah tradisi, dan tidak dapat dihidari. Heboh pesta ini sudah terasa pada saat ini. Dari tukang sayur sampai para insinyur, dari seniman sampai akademisi yang jelas semua merasa terlibat. Anggota Dewan sudah sibuk untuk menentukan pilihan, mana yang terbaik menurutnya. Bencana alam atau rekayasa kemanusiaan sudah sering terjadi. Hampir tidak pernah melepaskan diri dari propinsi Riau. Pada musim hujan, banjir mengluluh lantahkan Riau. Pada musim kemarau hampir tidak ada air untuk penduduk, kekeringan melanda di Riau. Bencana ini tidak akan pernah lepas apabila pengerusakan hutan di Riau tidak dihentikan. Apapun alasannya hentikan konversi hutan alam. Kembalikan Riau sebagai daerah yang makmur di bentangan katulistiwa. Untuk calon gubernur Riau, harus meningkatkan kemakmuran masyarakat. Masyarakat Riau jangan lagi hanya sebagai objek dalam pemilihan tetapi sudah layaknya diperhatikan. Untuk mengurangi penderitaan rakyat, perbaiki dan selamatkan hutan Riau. Zulfahmi (Alamat ada di Redaksi)
Forum Komunikasi
Untukmu Calon Gubernur Riau
Berita Hutan Hutan RIau RIau Berita
4
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Berita
Hutan
Riau
Gugat HTI Kampus HUTAN tanaman industri sudah memasuki kampus Universitas Riau, andai saya tidak ada yang berteriak. Teriakan sebagian Mahasiswa yang peduli dengan lingkungan ini juga masih di timpali dengan tentangan dari kalangan mahasiswa sendiri. Sebagian dosen ada yang berpihak pada penolakan tetapi beberapa dosen juga mendukung HTI Kampus. Dengan dalih peningkatan pendapatan kampus, menuju otonomi kampus. Melahirkan alternatif-alternatif baru penambahan pendapatan kampus. Dari Land Green College, Pasir laut sampai dengan HTI Kampus. Masih menghancurkan
ekosistem yang tidak pernah dipikirkan. Mapalindup (Mahasiswa Pencinta Lingkungan) Universitas Riau, melakukan aksi damai untuk menghentikan MoU antara UNRI dengan PT. Arara Abadi dalam pembuatan HTI di kampus. Pada tanggal 26 Mei 2003 digelar aksi damai di depan Rektorat UNRI. kemudian dilanjutkan pada hari lingkungan hidup pada tanggal 5 Juni 2003, bersama-sama dengan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau, Asosiasi Ornop Riau, Walhi Riau, Sispala Se Kota Pekanbaru dan Mapala se pekanbaru. Buah dari aksi damai ini, pada tanggal 12
Juni 2003 DPRD Riau mengundang seluruh pihak-pihak yang berkompeten untuk melakukan dialog tentang HTI Kampus. Kemudian dilanjutkan dengan dialog di Rektorat UNRI pada tanggal 16 Juni 2003. akhirnya dengan surat bertanggalkan 20 Juni 2003 dengan nomor 61/J.19.4/KS/2003 dibatalkannya perjanjian kerjasama HTI, yang ditandatangani oleh Drs. H. Suardi Loekman, MSc (Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Kerjasama). Ini sebuah pengalaman pahit bagi lingkungan, jangan sampai terulang lagi.
Mapalindup UNRI
Otonomi Daerah Vs Pengelolaan SDA berkelanjutan HAMPIR menjadi tren mark dalam pelaksanaan otonomi daerah, memanfaatkan SDA tanpa terkendali. Peningkatan PAD menjadi ukuran dalam pengelolaan SDA. Tidak hanya daerah miskin tetapi bahkan daerah yang kayapun ikut melakukan eksploitasi tak terkendali. Pada tanggal 25 Juni 2003 LSM Riau
Mandiri berkerjasama dengan SMERU mentaja Lokakarya Otonomi Daerah Vs Pengelolaan SDA berkelanjutan. Kementerian Lingkugan Hidup, Sulaiman Sembiring, UU Hamidy dan Rivani Noor memberikan masukkan penambahan wawasan. Kemudian dilanjutkan dengan lokakarya. Peserta yang hadir dalam acara ini seluruh
sumatera min NAD dan Bangka Belitung. Rekomendasi yang dihasilkan di bagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Otonomi Daerah dan Pengelolaan SDA berkelanjutan. Rekomendasi ini di sampaikan kepada stake holder pelaksana pembangunan.
Hari Lingkungan Hidup Kita LINGKUNGAN hidup merupakan tanggung jawab bersama untuk melestarikan untuk kepentingan bersama. Semua pihak harus mengerti tentang lingkungan sehingga dengan sendirinya dapat melestarikan lingkungan hidup itu sendiri. Pendidikan lingkungan menjadi sangat penting untuk dilakukan sejak dini.
JIKALAHARI, sebagai salah satu pihak yang mempunyai keberpihakan terhadap lingkungan khususnya penyelamatan hutan, melakukan kampaye lingkungan di sekolahsekolah. Dalam kegiatan ini melibatkan Siswa Pencinta Alam (SISPALA), sebagai fasilitator di setiap sekolah. Dengan dukungan yang besar dari pihak sekolah,
Riau Mandiri
kegiatan ini dapat dilakukan di beberapa sekolah menengah umum di Pekanbaru. Sebagai puncak kegiatan diadakan seminar sehari di Hotel Pangeran yang menghadirkan beberapa tokoh antara lain; Ekologi CPI, Walhi Riau, Kapolda Riau, Walhi Riau, JIKALAHARI.
JIKALAHARI
Kiprah dan Pelaksanaan ATTR ALIANSI Tata Ruang Untuk Riau merupakan jaringan delapan lembaga yang bekerja untuk melakukan studi tata ruang yang di buat oleh setiap kabupaten di Riau. Dari seluruh tata ruang yang di buat oleh setiap kabupaten sama sekali tidak pernah mempertimbangkan aspek Bio-Region. Kita megetahui masalah lingkungan tidak bisa dipisahkan oleh batas administrasi pemerintahan. ATTR Bekerja di Delapan Kabupaten yaitu INHU,INHIL, Kuansing, Pelalawan, Bengkalis,Siak, Pekanbaru dan Kampar. Setiap Kabupaten di laksanakan oleh lembaga yang terpisah, Bentuk kegiatan adalah konsultasi dengan
tokoh masyrakat kabupaten dan konsultasi dengan kepala dinas yang terkait dalam pembuatan Tata Ruang Kabupaten. Sampai saat ini baru kabupaten Pelalawan dan Inhu yang baru selesai melakukan konsultasi dengan kedua pihak yang direncanakan sementara kabupaten lain baru menyelesaikan konsultasi dengan masyarakat. Dari seluruh konsultasi yang telah dilakukan terutama dengan tokoh masyarakat menyatakan sangat mendukung kalau tata ruang yang ada sekarang bisa di revisi dengan lebih memperhatian konsep Bio-Region. Bahkan untuk kabupaten siak tokoh masyarakat dari kecamatan koto Gasib
meminta kalau ada revisi tata ruang supaya kawasan di sepanjang sungai Gasib di upayakan menjadi kawasan konservasi. Mereka menyadari dari tata ruang yang ada saat ini tidak ada tersisi sedikitpun hutan untuk anak cucu mereka. Beberapa alasan yang menjadi pertimbangan untuk mengajukan kawasan sungai Gasib sebagai kawasan konservasi antara lain, masih adanya hutan yang terpelihara di sepanjang sungai Gasib, Sungai gasib merupakan identitas kecamatan koto Gasib dimana di sini terdapat makam Putri Kacamayang dan kerajaan gasib dahulunya serta masih adanya kebatinan Gasib.
Yayasan Elang
5 Harizal Jalil (Ketua Yayasan Tropika Riau)
Tetapi kalau melihat lokasinya di Kabupaten Pelalawan saya yakin ada illegal loging. Sebab hampir semua pengusaha kayu di Kabupaten baru tersebut tidak memiliki izin IPHH.
Purwo (Aktivis JIKALAHARI)
Jadi mustahil kalau Dinas Kehutanan dan Polhut tidak mengetahui adanya illegal logging dan melakukan pencegahan. Mustahil pula Polhut tidak mengetahui bahwa Tesso-Nilo adalah kawasan hutan yang tidak boleh dikelola dan dieksploitasi kayunya. Ini mengindikasikan bahwa pihak kehutanan ada kongkalingkong dengan PT RES. Katakanlah Dinas Kehutanan mebela diri dengan mengatakan mereka tidak mengetahui illegal loging tersebut, berarti Dinas Kehutanan kinerjanya lemah. Masakan pekerjaan illegal logging yang memakan waktu dan tempat mereka tidak mengetahuinya.
Tolak Kebijakan Alih Fungsi Hutan Lindung Kebijakan yang di keluarkan oleh DPR dan Pemerintah tentang alih fungsi hutan lindung menjadi kawasan pertambangan hendaknya bercermin dengan masa lalu. Kita harus mengkaji pengalaman masa lalu dimana kondisinya selalu kawasan tambang tidak menguntungkan masyarakat tempatan. Adanya iso 14001 mempunyai masa untuk di analisa kembali, belum merupakan jaminan akan baik untuk lingkungan. Sebagai lembaga Aji menolak kebijakan eksploitasi Sumber daya Alam yang merugikan rakyat tempatan, karena tidak terbukti eksploitasi alam mensejahterakan rakyat, contohnya dana reboisasi, berapa yang telah dikumpulkan, berapa untuk perbaikan lingkungan, kalaulah ada mungkin hanya berapa persen saja, yang ada hanya dana reboisasi ini di berikan ke pemerintah daerah. Masyarakat selalu di marjinalkan dengan dampak negatif pengolahan SDA, demi investasi dan pendapatan negara. Alternatif bila eksploitasi ini tidak bisa di hentikan, harus adanya CD untuk masyarakat sekitar, dan recikel alam (alam dihidupkan kembali) artinya reboisasi secara real.
Riau
Ahmad Jamaan (Aliansi Jurnalistik Indonesia Riau)
Hutan
Adanya illegal logging di hutan lindung taman konservasi gajah Tesso-Nilo merupakan sebuah kealpaan dari pihak Dinas Kehutanan. Sebab illegal logging yang dilakukan PT Riau Empat Sejati (RES) tidak sebentar, paling tidak mereka harus membuka hutan, menebangnya dan mengangkutnya ke perusahan kayu.
Berita
Yang bertanggung jawab secara langsung atas kelestarian hutan lindung Tesso-nilo adalah pihak Dinas Kehutanan. Tetapi pada umumnya yang bertanggung jawab kepada hutan lindung tersebut adalah kita semua. Pengusaha yang melakukan illegal logging menghentikan kegiatannya di hutan lindung yang juga kawasan konservasi gajah.
B E R I TA
6
UTAMA KEBAKARAN HUTAN ANTARA DOSA DAN BENCANA
Berita Utama
Oleh : Rully Syumanda (Pendiri Kaliptra Sumatera dan Direktur Eksekutif WALHI Riau) ABSTRAKSI ENTAH karena dosa siapa, yang jelas setiap kali memasuki musim kemarau masyarakat “terpaksa” menghirup asap yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan lahan. Diawali dengan kemarau pendek (Februari – Maret) terus bersambung pada kemarau panjang (Juni – September). Intensitasnya juga makin bertambah. Bila pada tahun 1992 titik api yang muncul masih dalam bilangan puluhan, saat ini titik api serupa sudah muncul diberbagai tempat. Di Sumatera sendiri, pada periode Juni – Juli 2001, jumlah hotspot yang terdeteksi tidak kurang dari 1774 titik dengan Riau menempati urutan teratas. Berikut jumlah hotspot di Sumatera yang terdeteksi. Hotspot yang terdeteksi di Riau di areal HPH 369, di areal HTI 139, di areal Perkebunan 280, di areal transmigrasi 3 dan daerah lainnya 191 dengan total 982 hotspot kemudian disusul dengan Sumatera Barat 208 , Sumatera Selatan 171, Jambi 133, Sumatera Utara 130, Lampung 83, Bengkulu 30, Aceh (NAD) 21 dan Bangka Belitung 16 (Sumber FFPMP-JICA 2001). Kebakaran hutan dan lahan itu sendiri menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Tahun 1997-1998 misalnya, ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan terbesar dimana prediksi luasan yang terbakar mencapai 4,5 juta hektar, total kerugiannya mencapai Rp. 60 trilyun. Nilai kerugian ini belum termasuk dengan kerugian kesehatan, transportasi, perdagangan, hilangnya kesempatan panen dll. Selain kerugian ekonomi, belum dihitung kerugian akibat terjadinya erosi karena tanah 20 – 30 kali lebih peka dibandingkan dengan daerah hutan yang tidak terbakar, terjadinya percepatan perubahan iklim global, kerugian tidak langsung akibat hilangnya habitat satwa dan erosi berbagai bibit benih tumbuhan dan fauna dilantai hutan, mempercepat penghilangan biomassa lantai hutan mempercepat proses pencucian hara tanah, terjadinya banjir di daerah yang hutan gambutnya terbakar, dan polusi udara dan air. Kebakaran hutan juga berdampak pada kesuburan tanah. Sifat fisika tanah juga berubah dengan rusaknya struktur tanah sehingga menurunkan infiltrasi dan perkolasi tanah. Hilangnya tumbuhan juga membuat tanah menjadi terbuka sehingga energi pukulan air hujan tidak lagi tertahan oleh
tajuk pepohonan. Pada fisik kimia tanah juga terjadi peningkatan keasaman tanah dan air sungai. Tangketasik (1987) menunjukkan terjadinya penurunan sifat-sifat retensi kelembaban serta kapasitas kation pada tanah yang mengalami kebakaran. Untuk sifat fisik biologi tanah, kebakaran hutan membunuh organisme tanah yang bermanfaat dalam meningkatkan kesuburan tanah. Makroorganisme seperti cacing tanah yang dapat meningkatkan aerasi dan drainase tanah juga menghilang disamping hilangnya mikroorganisme tanah seperti mikorisa, untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara P, Zn, Cu, Mg dan Fe. Asap tebal yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan juga menyelimuti kawasan maha luas. Emisi yang dihasilkan dari 4,5 juta hektar (45.000 km²) dari vegetasi yang terbakar selama Agustus-November 1997 di Kalimantan dan Sumatera terakumulasi di atsmosfir dan menyebar ke negara-negara tetangga. Puncaknya pada akhir September dan Oktober dimana luasan asap menutupi kawasan seluas lebih dari 3 juta km² mencapai Filiphina, Thailand dan Australia, dan mempengaruhi lebih dari 300 juta orang. Kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera juga melepaskan jutaan emisi yang terakumulasi di atmosfir. Kawasan gambut yang terbakar menyumbang asap jauh lebih besar (Levine, 1998 yang mengandung CO dan CO2 dalam jumlah besar serta beberapa zat-zat tertentu seperti sulfur dan nitrogen dan berbagai jenis campuran yang mudah menguap (Ward, 1997). Diperkirakan, emisi yang dihasilkan adalah 85 hingga 316 juta karbon dioksida, 7 sampai 52 juta karbon monoksida, 4 sampai 16 ton bahan-bahan partikulat, 2 sampai 12 juta ton ozon, 0,1 sampai 4 ton amonia dan lebih dari 1,5 juta ton oksida nitrogen. Untuk Riau, secara umum, kebakaran hutan terjadi pada musim kemarau. Riau sendiri merupakan daerah dengan tingkat kebakaran yang paling tinggi dengan jumlah kerugian yang tak ternilai. Sebagian besar daerah yang terbakar di Riau merupakan areal pembukaan lahan untuk perkebunan besar, pertanian dan HTI. Penilaian Ekonomi Kerusakan Fungsi Ekologis Hutan Pasca Kebakaran Hutan 1997 – 1998 Dalam setiap hektarnya terdapat kerugian
pengaturan gangguan (Rp) 25 ribu, Hidrologi 30 ribu, Persedian Air 40 ribu, Pengedalian erosi 1,225 juta, Pembentukan Tanah 50 ribu, Siklus Hara 4,61 juta dan penguraian limbah 435 juta. Dalam skala Nasional (Milyar) pengaturan gangguan 6,6 M, Hidrologi 8,0 M, Persedian Air 10,6 M, Pengedalian erosi 323,4 M, Pembentukan Tanah 13,2 M, Siklus Hara 1.217 M dan penguraian limbah 114 M. dengan total 1.693,6 M, Perhitungan Pangestu dan Ahmad (1998). Rekapitulasi Kerugian Nasional Akibat Kebakaran Hutan nasional Tahun 1997 Tegakan kayu hutan 321,7 M, Hasil hutan non kayu 23,0 M, Sumber daya genetik 27,0 M, Rekreasi 73,9 M, Fungsi Ekologi 1.693 M, Keanekaragaman hayati 395,9 M dan Perosot (emisi?) karbon 2.032 M dengan total kerugiaan 4.568 M, (Basyar, A.H. Perkebunan Besar Kelapa Sawit: Blunder Ketiga Kebijakan Sektor Kehutanan. ELAW Indonesia dan CePAS. Jakarta, 1999. Hal 23). Pada akhirnya harus diakui bahwa bahwa kebakaran hutan dan lahan merupakan penyakit menahun yang menimbulkan begitu banyak kerugian. Tidak bisa tidak, bahwa sudah semestinya kebakaran hutan dan lahan dijadikan perhatian bersama dan perlu pula digarisbawahi bahwa kesemuanya itu merupakan puncak dari berbagai kesalahan dalam pengelolaan hutan alam Indonesia. Berhentilah bermain dengan jargon “mengejar pertumbuhan ekonomi” karena kenyataan bahwa perekonomian kita sedang berada di titik nadir akibat salah urus. Pencegahan dan penanganan kebakaran hutan dan lahan itu sendiri tidak bisa dilakukan secara sporadis. Perlu ada sebuah kebijakan yang didasarkan atas pemahaman terhadap berbagai masalah yang melatarbelakangi mengapa kebakaran hutan dan lahan sering terjadi. Berikut beberapa hal yang melatarbelakangi mengapa kebakaran hutan sering terjadi. Diakhir tulisan, kami akan mencoba menyimpulkan berbagai hal yang perlu dilakukan kedepan dalam upaya pencegahan dan penanganan kebakaran hutan itu sendiri. SALAH URUS PENGELOLAAN HUTAN Kebakaran hutan dan lahan adalah dosa turunan. Sebuah symptom dari
7 melakukan tebang habis dan pembakaran masih merupakan sebuah alternartif land clearing yang paling murah, mudah dan cepat. Ini bisa dibuktikan dari jumlah hotspot yang tercatat di 133 perusahaan kelapa sawit (dari 176 perusahaan) pada tahun 1997 kemarin. Dari jumlah tersebut, 43 diantaranya merupakan perusahaan milik Malaysia yang memberikan kontribusi terbesar bagi kebakaran hutan dan lahan. Studi yang dilakukan oleh Kantor Mentri Negara Lingkungan Hidup pada tahun 19971998 juga menyebutkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi selama tahun tersebut sebagian besar diakibatkan oleh sistem perkebunan besar (Purwanto dan Warsito, 2001) Perlu pula dipahami, bahwa tinggginya kebutuhan akan CPO di dunia membuat banyak investor melirik sektor perkebunan kelapa sawit. Ini pula yang membuat HTI dan Perkebunan Besar melakukan land clearing dengan metode pembakaran agar bisa dengan cepat dilakukan penanaman dengan biaya yang rendah sekaligus menghasilkan keuntungan yang besar. Pembakaran lahan juga merupakan salah satu yang digunakan oleh Perkebunan Besar untuk menaikkan pH tanah. Untuk Riau hal ini dilakukan karena pada umumnya tanah di Riau bergambut dengan pH 3-4 dan tidak cocok untuk ditanami oleh kelapa sawit (contoh kasus: pembakaran yang di lakukan di areal PT. Adei Plantation & Industry). Perusahaan Yang Dinyatakan Sebagai Pelaku Pembakaran di Sumatera Jumlah perusahaan pelaku pembakaran di Riau, 26 perusahaan perkebunan, 3 perusahaan HTI dan 6 Pembukaan Transmigrasi. Heil, pada tahun 1998 juga menambahkan bahwa pada hampir semua penelitian melaporkan bahwa kebakaran hutan berkaitan sangat erat dengan kegiatan konversi hutan secara besar-besaran menjadi perkebunan atau agro industri. Peristiwa el Nino memang berhubungan dengan kekeringan dan kebakaran hutan. Namun patut digaris bawahi bahwa el Nino bukan penyebab kebakaran hutan melainkan necessary condition terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Patut digarisbawahi pula bahwa upaya menyalahkan perladangan tradisional gilir balik adalah sangat tidak beralasan sama sekali. Hal ini bisa kita lihat dan pahami bahwa kegiatan tradisional tersebut telah lama diakukan oleh masyarakat namun belum pernah terjadi seperti ini. Mesikpun pada masa itu juga telah terjadi el Nino. SALAH NIAT HUKUM DAN KEBIJAKAN Satu kelemahan mendasar lainnya adalah
lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran. Walaupun bukti-bukti sudah menunjukkan bahwa kegiatan land clearing yang dilakukan oleh perkebunan merupakan penyebab utama terjadinya kebakaran hutan, sering sekali pemerintah tidak melakukan apa-apa. Kata-kata “ditindak tegas” hanya sekedar menjadi lip service tanpa pernah ada tindak lanjutnya. Tiga perusahaan perkebunan di Kalimantan Timur yang terindikasi kuat melakukan pembakaran pada tahun 1997 dan disebutsebut akan dibawa kepengadilan, hingga sekarang tidak pernah dilanjutkan dan tidak pernah terdengar kabarnya. Pada saat yang sama, di Sumatera Selatan, pada tahun 1998 ada 11 perusahaan yang digugat ke pengadilan oleh WALHI. Setelah melalui marathon persidangan yang demikian panjang, hanya dua diantaranya yang dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum. Sedangkan untuk di Riau ada 5 perusahaan perkebunan yang diajukan ke persidangan. Sampai saat ini yang baru disidangkan barulah PT. Adei Plantation & Industry dengan PT. Jatim Jaya Perkasa, sedangkan yang lainnya masih dalam tahap pengajuan seperti PT. Multi Gambut, PT. Musim Mas, PT. Inti Indo sawit Subur dan PT. Inti Prona. Adanya tuntutan pengadilan tersebut semakin memperjelas bahwa perusahaanperusahaan perkebunan skala besar yang selama ini berhubungan erat dengan terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Artinya, secara hukum perusahaanperusahaan perkebunan dan HPH tersebut telah terindikasi melakukan KEJAHATAN LINGKUNGAN. Inilah (juga) sebuah dasar pemikiran bahwa ternyata el Nino selama ini hanyalah menjadi kambing hitam atas upaya perusahaan tersebut untuk lari dari tanggung jawab. PENJAHAT LINGKUNGAN lainnya terungkap dalam persidangan perusahaan perkebunan PT Adei Plantation, Riau, pada tanggal 1 Oktober 2001 lalu dimana perusahaan tersebut didenda sebesar Rp. 250 juta dan 2 tahun kurungan badan (pidana penjara) dengan 6 bulan kurungan subsidair bagi Mr. Gobi sebagai penanggung jawab perusahaan perkebunan tersebut. Walaupun yang bersangkutan mengajukan banding atas putusan hakim, setidaknya sekali lagi kita bisa melihat bahwa pelaku pembakaran tersebut JELAS perusahaan-perusahaan perkebunan skala besar. Namun kenapa selama ini pemerintah seolah tutup mata atas petaka lingkungan Riau walau dipahami bahwa pemerintah butuh dana untuk meneruskan pembangunan dan para sambung ke hal. 9
Advokasi Penyelamatan Hutan
memburuknya kesehatan hutan alam akibat eksploitasi hutan secara masif sejak awal 1970 an. Blunder pengelolaan hutan inilah yang menjadi penyebab utama rusaknya hutan alam yang ada disamping sebagai penyebab utama kebakaran hutan dan lahan. Salah kelola tersebut, pertama, bisa dilihat dari kemampuan hutan alam itu sendiri dalam menyediakan bahan baku bagi industri kayu yang ada. Dengan kebutuhan 70 juta m³ pertahun, industri kayu yang ada telah memaksa hutan alam menyuplai kayu jauh diatas kemampuannya yang secara lestari hanya mampu menyediakan 20 juta m³ pertahun. Hal ini terjadi salah satunya dikarenakan pembangunan industri kayu tidak dibarengi dengan pembangunan hutan tanaman yang akan menyuplai bahan bakunya. Otomatis kekurangan tersebut dipenuhi dari penebangan ilegal yang menjadi penyebab percepatan degradasi hutan alam. Ketidak mampuan hutan alam untuk menyuplai bahan baku industri kayu bisa dilihat di Propinsi Riau dimana pada tahun 1999/2000, Dinas Kehutanan mencatat ada 312 unit IPKH dengan kapasitas 4.984.102 m³/tahun. Sedangkan kebutuhan bahan baku industri kayu sebesar 15.827.884 m³/tahun. Kebutuhan ini utamanya untuk memenuhi industri kayu lapis 10 unit, Industri pulp dan paper 2 unit, chipmill 3 unit, sawmill 270 unit dan moulding sebanyak 27 unit. Ini berarti setiap tahunnya industri perkayuan di Riau membutuhkan hampir 16 juta m³ kayu pertahunnya. Sedangkan kebun kayu dan hutan alam hanya mampu menghasilkan 1.100.000 m³/tahun. Kemanakah industri kayu yang ada ini harus menutupi sisa kebutuhannya yang mencapai 14 juta meter kubik kayu pertahun? Kesenjangan inilah yang patut dipertanyakan, utamanya tentang bagaimana industri kayu tersebut mampu memenuhi kebutuhannya. Maraknya praktek illegal logging tersebut menyebabkan terjadinya percepatan degradasi hutan alam yang berdampak pada hilangnya keseimbangan ekologis dan kelembaban mikro sehingga menjadi rentan terhadap bahaya kebakaran. Keadaan ini diperparah dengan, kedua, besarnya peluang yang diberikan pemerintah kepada pengusaha untuk melakukan konversi hutan menjadi perkebunan monokultur skala besar seperti perkebunan kelapa sawit maupun kebun kayu (HTI). Pemerintah juga melakukan politik konversi dengan memberikan insentif IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) kepada pengusaha perkebunan dan Dana Reboisasi kepada pengusaha HTI. Laju konversi inilah, ketiga, yang dianggap menjadi penyebab maraknya kebakaran hutan. Kegiatan pembukaan lahan dengan
B E R I TA
8
UTAMA
Berita
Utama
STARTEGI PENYELAMATAN HUTAN DARI KEBAKARAN Dalam perspektif kami, beberapa hal yang harus dilakukan berkenaan dengan upaya pencegahan, penanggulangan dan pemantauan kebakaran hutan adalah: A S P E K P E N C E GA H A N Adanya Sistem Informasi Manajemen Kebakaran Hutan dan Lahan Bicara tentang Sistem Informasi Manajemen yang tergambar adalah suatu sistem yang diciptakan untuk melaksanakan pengolahan data yang dimanfaatkan oleh suatu organisasi atau publik. Unsur-unsur yang mewakili suatu sistem secara umum adalah masukan (input), pengolahan (processing) dan keluaran (output). Sedang Data dan Informasi mengandung dua pengertian yang berbeda. DATA merujuk fakta-fakta baik berupa angka-angka, teks, dokumen, gambar, bagan, suara yang mewakili deskripsi verbal atau kode tertentu dan semacamnya. Apabila telah disaring dan diolah menjadi suatu sistem pengolahan sehingga memiliki arti dan nilai bagi publik, maka data itu berubah menjadi INFORMASI. Kecepatan pertukaran INFORMASI kebakaran merupakan kunci keberhasilan peringatan dini dan pemadaman dini di lapangan, untuk itu diperlukan perangkat komunikasi dan perangkat-perangkat lainnya. Sistem Informasi Kebakaran Sistem Informasi Kebakaran Hutan dan Lahan harus dikembangkan dengan sistem komputer agar data dan informasi bisa dipadukan untuk mendukung manajemen kebakaran hutan dan penentuan kebijakan. Data dan Informasi dapat disimpan dalam media elektronik jauh lebih besar jika dibandingkan dengan pemakaian media keras seperti kertas atau bentuk-bentuk manual lainnya. Sistem Informasi Kebakaran (SIK) berbasis komputer adalah suatu SIK yang menempatkan perkakas pengolah data komputer dalam kedudukan yang penting. SIK berbasis komputer mengandung unsurunsur sebagai berikut: 1. Manusia (SDM); setiap SIK yang diciptakan harus memperhatikan manusia
supaya sistem yang diciptakan bermanfaat. Unsur manusia dalam hal ini adalah para staff komputer profesional dan para pemakai (computer users). 2. Perangkat keras (hardware); merujuk kepada perkakas mesin, terdiri dari CPU beserta semua perangkat pendukungnya (printer, memori dll). 3. Perangkat lunak (Software); program komputer beserta petunjuk pendukungnya. Program komputer adalah instruksi yang dapat dibaca oleh mesin yang memerintahkan bagian dari perangkat keras sehingga menghasilkan informasi yang bermanfaat dari data yang tersedia. Program biasanya tersimpan dalam disket, pita atau compact disk untuk dipakai oleh komputer dalam fungsi pengolahannya. 4. Data; adalah fakta yang dibuat menjadi informasi yang bermanfaat. Data akan dipilah, dimodifikasi atau diperbaharui oleh program supaya menjadi informasi tersebut. 5. Prosedur; adalah peraturan yang menentukan operasi sistem komputer. Sebagai data masukan untuk SIK dapat menggunakan peta penggunaan lahan terbaru untuk daerah propinsi, termasuk batas seluruh konsesi HPH, perkebunan & transmigrasi. Selanjutnya data jaringan infrastuktur, aktivitas manusia serta data tingkat kekeringan yang diperoleh dari BMG dipadukan dengen data citra inderaja seperti NOAA-AVHRR/NDVI Landsat TM dan ERS-2-SAR sebagai data lanjutan. Sensor yang terdapat pada satelit tersebut memberikan informasi yang sangat berguna untuk manajemen kebakaran seperti deteksi kebakaran harian, pemetaan daerah yang terbakar, perbedaan vegetasi dan bahan bakar api. 1. STOP konversi lahan sebelum dikeluarkannya peraturan yang secara menyeluruh mampu menjamin dan mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan. 2. Melarang dengan tegas metode bakar dalam melakukan land clearing dan sesegera mungkin menyusun Pedoman Pembukaan Lahan Tanpa Bakar yang sifatnya tegas, jelas dan mudah dipahami secara awam 3. Mencabut seluruh izin usaha bagi perusahaan-perusahaan yang terbukti menggunakan metode bakar dalam proses land clearing. 4. Memberlakukan hukuman bagi PENJAHAT LINGKUNGAN dengan proporsional dengan melakukan pertim-
bangan terhadap sejumlah kerugian & dampak yang ditimbulkannya. 5. Memberlakukan insentif ekonomi sebagai ransangan kepada perusahaan yang melakukan land clearing tanpa metode bakar 6. Secepat mungkin menyusun sebuah rancangan undang-undang tentang pencegahan, pemantauan dan penanggulangan kebakaran hutan, baik yang berdiri sendiri maupun include dalam UU No. 41/99 (revisi). AS P E K P E MA N TA U A N Adanya Sistem Peringatan Dini, dengan adanya sistem ini semua daerah yang berpotensi besar dalam kebakaran hutan dan lahan bisa mempersiapkan semua peralatan, mensiagakan petugas dan lain sebagainya. Untuk sistem ini sangat berguna untuk mengurangi resiko tingkat kebakaran dan melakukan pencegahan yang tepat dengan mengetahui tingkat rawan kebakaran suatu lokasi dan mengetahui tingkat bahaya kebakaran di suatu lokasi. Sistem tingkat bahaya kebakaran akan mengatur informasi dan data-data yang berhubungan dengan kebakaran secara spesial. Data-data yang diinterpolasikan dimaksudkan untuk menghasilkan Peta Tingkat Bahaya Kebakaran Hutan dan Lahan di suatu wilayah. Sedangkan untuk Tingkat Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan ditujukan untuk memberikan gamabran tingkat kerawanan suatu daerah terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan atas dasar siklus musim dan kondisi tutupan lahan. Sistem Deteksi Dini untuk kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan dengan deteksi dari satelit cuaca Amerika NOAA, GMS-5, dan Pongi. Mendorong masyarakat untuk mengawasi kinerja aparat dalam melakukan pencegahan, pemantauan dan penanggulangan kebakaran hutan sekaligus dalam hal penegakan hukum terhadap kasus kebakaran A S P E K P E N A N G G U LA N GA N Kelembagaan Penanggulangan Kebakaran, Terjadinya kebakaran hutan dan lahan di areal HPH, HTI atau perkebunan skala besar sepenuhnya menjadi tanggung jawab masing-masing pihak pemilik konsesi lahan. Sedangkan untuk penanganan kebakaran ditingkat propinsi menjadi tanggung jawab Pusdakarhutla daerah yang melibatkan instansi terkait. Perlunya koordinasi antar instansi terkait agar penegakan hukum bagi
9 Sambungan ”Berita Utama” dari hal. 6 dan 7 pengusaha mampu mencetak uang yang dibutuhkan negara. Dalam bidang kebijakan, harus diakui bahwa peraturan perundangan-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia selalu mengundang penafsiran yang berbeda-beda. Tergantung bagaimana cara nya memandang dan kepada siapa hal tersebut ditujukan. Hal yang sama berlaku pula pada kebijakan pemerintah tentang pencegahan kebakaran hutan. Harus dipahami terlebih dalu bahwa masalah kebakaran hutan dan lahan tidak dapat dipandang secara parsial dan bersifat temporary atau jangka pendek. Kebijakan tersebut harus bersifat jangka panjang dan menyeluruh sehingga symptom dari memburuknya kesehatan hutan Indonesia bisa dihentikan. Kebijakan-kebijakan itu sendiri juga harus mencakup beberapa hal yang berhubungan dengan kebakaran hutan seperti aspek pencegahan, pemantauan dan penanggulangan. Pada aspek pencegahan, berbagai kebijakan yang sifatnya meminimalisir kemungkinan kebakaran harus diutamakan termasuk penguatan sistem informasi manajemen kebakaran hutan dan lahan dan kebijakan-kebijakan yang menyertai konversi dan pembukaan lahan. Sedangkan untuk aspek pemantauan harus dikembangkan sistem peringatan dini dan tentu saja kapabilitas pemadam kebakarannya sebagai salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam aspek penanggulangan kebakaran. Yang terlihat selama ini adalah, pemerintah baru terlihat sibuk ketika kebakaran telah terjadi. Itupun setelah menuai protes dari beberapa negara tetangga, sehingga terkesan langkahlangkah yang diambil hanya untuk menyenangkan hati negara tetangga walaupun jelas-jelas pelaku pembakaran tersebut justru negara tetangga itu pula. Ketidak seriusan pemerintah dalam melakukan pencegahan bisa dilihat dari Undang-Undang tentang Kehutanan (UU No. 41/1999) dimana tidak diketemukan sebuah pasalpun yang secara jelas melarang orang untuk melakukan pembakaran. Pasal 50 ayat 3 huruf d misalnya, secara jelas membuka peluang dihidupkannya kembali pembukaan lahan dengan cara bakar karena larangan membakar hutan dapat dikecualikan dengan tujuan-tujuan khusus sepanjang mendapat izin dari pejabat yang
berwenang. Bandingkan dengan negara Malaysia yang memberlakukan kebijakan tegas (tanpa pengecualian) tentang larangan pembukaan lahan tanpa bakar seperti diatur dalam pasal 29 A dan 29 B Malaysian Environtment Quality Act 1974 (diamandemen tahun 1998). Undang-undang ini secara tegas mengancam pelaku pembakaran hutan (baik pemilik maupun penggarap) dengan hukuman 5 tahun penjara dan/ denda 500.000 ringgit. Undang-undang No. 41/99 juga tidak menyinggung sama sekali upaya-upaya untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan. Demikian halnya dengan PP No. 6/99 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi dimana tidak ada satupun referensinya yang menyinggung masalah pencegahan kebakaran hutan dalam konteks pengusahaan hutan. Demikian pula halnya dalam UU No 23/97 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, bersama UU No. 41/99, tidak memberikan mandat secara spesifik sama sekali untuk mengembangkan PP tentang kebakaran hutan. Upaya Bapedal menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Praktek Pembakaran, Kebakaran dan Dampaknya, dikhawatirkan juga tidak efektif karena bentuk peraturan pemerintah (PP) merupakan turunan dari Undangundang. Sedangkan Undang-Undang No 41 tentang Kehutanan maupun UU No. 23/97 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak memberikan mandat secara jelas untuk pengembangan PP tentang kebakaran hutan. PP ini nantinya juga punya keterbatasan dalam memberikan paksaan maupun insentif ekonomi. Instrumen-instrumen tersebut seharusnya dalam bentuk UU (DPR RI bersama Pemerintah). Sehingga logis kiranya bila ada upaya untuk mendesak agar masalah pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan segera menjadi perhatian DPR, utamanya agar ketentuan-ketentuan tersebut dirumuskan dalam suatu UU yang memuat prinsipprinsip pencegahan, pemantauan dan penanggulangan secara tegas, komprehensif dan saling terintegrasi.
j i k a l a h a r i
pembakaran hutan tidak menjadi permasalahan yang terpisah-pisah sehingga tidak terdapat lagi saling lempar tanggung jawab. Dalam hal kelembagaan ini juga Gubernur Propinsi Riau mengeluarkan SK dengan No : KPTS 25/V/2000 tentang Pembentukan Pusat Pengendalian Kebakaran hutan dan Lahan di Propinsi Riau kemudian pada bulan Juni kembali mengeluarkan keputusan tentang Pembentukan Tim Terpadu Kerjasama Pengelolaan Lingkungan Hidup. Redesign PUSDAKARHUTLA, utamanya agar rantai birokrasi pemantauan dan pelaporan kebakaran hutan tidak terlalu panjang sehingga menyulitkan aspek penanggulangan itu sendiri (tidak menunggu instruksi atasan saja). Untuk Bidang Pemantauan yang selama ini berada di tangan Dinas Kehutanan lebih baik di kelola langsung oleh Bapedalda dan Bapedal Regional sehingga dapat mengkordinir semua pihak dalam upaya pendeteksian dini dan peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Sedangkan untuk bidang Pencegahan dan Penanggulangan dapat diserahkan pada Dinas Kehutanan sehingga dapat mengembangkan sistem dan jenis pelatihan, pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan dan lahan sampai dengan tingkat daerah. Serta perlunya pengembangan mobilisasi potensi sumber daya baik personil regu pemadam kebakaran maupun sarana dan prasarana. Mewajibkan setiap perusahaan untuk membangun sumur artesis dan peralatan pemadam kebakaran di lahan konsesi yang dianggap potensial terjadi kebakaran dengan menyertakan aspek pemeliharaan bersama masyarakat (bila ada dan berdekatan). Mempersiapkan dan menyempurnakan pedoman teknis pemadaman kebakaran dengan mengikutsertakan masyarakat di dan sekitar hutan sebagai mitra sejajar. Membangun Pusat Kebakaran Hutan dan Lahan Propinsi dan Lokal yang berisikan: Pengadaan gudang dan drasi, Pelatihan peralatan, Distribusi peralatan dan kendaraan pemadam kebakaran hutan, Peralatan komunikasi, Komputer dengan sistem e-mail dan internet. Hal yang tidak kalah pentingnya kenapa kebakaran hutan dan lahan ini selalu terulang karena minimnya anggaran dana untuk mengatasi kebakaran dan mengatasi berbagai dampak yang sering dirasakan oleh masyarakat.
Hukum
10
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
PELANGGARAN HAM TERHADAP MASYARAKAT KORBAN PEMBANGUNAN DAM KOTO PANJANG
H U K U M
P
embangunan PLTA Koto Panjang, yang dimulai sekitar tahun 1992, telah mengakibatkan derita panjang buat masyarakatnya. Proses pemindahan dibawah ancaman dan tekanan. Ganti rugi tanah, kebun, tanaman, rumah milik masyarakat masih belum selesai dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Riau, Pemda Kampar, sehingga nasib korban dilaksanakan oleh Pemerintah daerah Riau, Pemda Kampar, sehingga nasib korban sangat menyedihkan, mulai air minum yang diperoleh dari cucuran air hujan dari atap Asbes, yang sangat membahayakan bagi kesehatan, kebun kelapa sawit dan karet yang dijanjikan hanya impian, mata pencharian yang sangat sulit di daerah tempat yang baru. Sehingga masyarakat korban sebanyak 8240 orang menggugat Pemerintah Jepang/ OFFICIAL DEVELOPMENT ASSISSANCE (ODA) karena dengan dana bantuan Jepang sekitar 31,177 Milyar Yen atau 2,1 Trilyun Rupiah yang dipergunakan untuk membangun PLTA Koto Panjang yang telah menyebabkan derita panjang bagi masyarakatnya. Uang sejumlah 31,177 Milyar Yen tersebut bukanlah uang Cuma-Cuma tapi merupakan hutang yang harus dibayar oleh kita semua. Dalam pelaksanaan pembangunan Dam Koto Panjang telah menenggelamkan 12 Desa, yaitu 10 Desa di wilayah Propinsi Riau, 2 desa di wilayah Propinsi Sumatera Barat dan menenggelamkan sawah, kebun. Proses pemindahan masyarakat korban Dam Koto Panjang ini dibawah tekanan dan paksaan, tanah diganti rugi dengan tidak layak, sebagian besar belum diganti rugi, yang paling menyedihkan adalah pemindahan ini dengan sistem lotre, maka di tempat yang baru akar budaya mereka hilang. Gajah Menggugat Gajah di Jepang demi kepentingannya dan mempertahankan habitatnya yang telah dirusak, juga ikut menggugat Pemerintah Jepang, karena dengan dibangunnya Dam Koto Panjang, membuat gajah-gajah disekitar Koto Panjang banyak yang mati dan habitat unstuck hidup Gajah tidak ada lagi, karena sudah dijadikan Pemukiman. Gajah yang diwakili WALHI di pengadilan Jepang, menuntut supaya gajah yang tersisa
Oleh : Ali Nasution KBH Riau dikembalikan ke habitatnya di seputar Koto Panjang, dengan cara menjebol Dam Koto Panjang dan merehabilitasi gajah.
Pelanggaran Hukum/HAM oleh Pemerintah Derita masyarakat korban Dam koto panjang, ditempuh melalui jalur hukum dengan gugatan masyarakat korban dan gajah yang disidangkan untuk pertama kali pada hari rabu 3 Juli 2003, yang sebelumnya selalu melalui proses panjang’ apakah perkara tersebut layak disidangkan atau tidak. Maka pengadilan Jepang menyatakan gugatan kedua makhluk hidup tersebut, layak disidangkan. Pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat : melakukan intimidasi dan pemaksaan menghilangkan hak hidup dari masyarakat korban menghilangkan nilai-nilai budaya, adat istiadat masyarakat Dalam persidangan di Jepang tersebut salah satu masyarakat korban yang bernama Iswadi abdullah salim memberikan keterangannya : “Masyarakat kami tidak ingin pindah ketempat pemukiman baru, Ada salah satu desa, yaitu Pulau Gadang, dipindahkan dibawah tekanan Militer. Pihak Militer menyiapkan sarana angkutan dan memaksa masyarakat unstuck sesegera mungkin pindah kepemukiman baru. Dikampung yang baru dengan nama yang baru tadi semuanya telah berubah draktis, rumah
yang dulu tersusun indah kini sekarang tersusun seperti kamp Pengungsi. Dulu tanahnya subur dan menghasilkan banyak tumbuhan, kini tanahnya kuning dan tandus. Sungai yang dulu mengalir dengan air yang jernih tempat kami mengkonsumsi air minum, mandi, mencuci, kini dikampung baru hanya ada sumur gali yang tidak ada airnya. Dikampung lama, ada kebun disekitar tempat pemukiman sekarang dikampung baru hanya tanah kosong dan semak belukar. Tanah yang sangat tandus itu tidak bisa di tumbuhi tanaman produksi yang menghasilkan bagi masyarakat yang di pindahkan. Tanah ulayat sebuah tanah simpanan yang diatur dalam Undang-undang adat yang bisa dipergunakan oleh masyarakat baik untuk perkebunan maupun untuk dijadikan pemukiman bagi perkembangan penduduk kampung yang jumlahnya tidak bisa di ukur luasnya. Sekarang semua itu sudah rata menjadi Waduk Koto Panjang. Kini hanya sekapling tanah yang berjumlah 2 hektar untuk perkebunan dan 4000 meter persegi untuk lahan usah per KK, itupun bagi masyarakat yang terdaftar semenjak awal pemindahan.” Tuntutan Masyarakat Tuntutan masyarakat korban Dam Koto Panjang yaitu tidak banyak hanya mereka ingin dimanusiakan sama seperti Manusia yang lain, dengan merperbaiki kehidupan mereka, setidaknya sebaik sebelum mereka pindah, semoga PEMDA RIAU dapat memperbaikinya. Pembangunan yang gagal Dengan pembangunan PLTA Koto Panjang tersebut, diharapkan dapat menghasilkan listrik 114 mega watt (MW), ternyata yang dapat dihasilkan hanya 17 mega watt, itupun dengan pengorbanan masyarakat banyak dan juga hewan-hewan, seperti: Gajah, Harimau Sumatera dan Tapir Melayu, tidak seimbang dengan nilai hasil Energi listrik 17 mega watt. Kegagalan PLTA Koto Panjang merupakan pelajaran buat kita, untuk terlebih dulu berpikir dengan jernih untuk melakukan sesuatu.
Profil Masyarakat
11
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Agroforestry Sebuah Pengalaman Oleh : Hasan Suprianto Yayasan SIKLUS
Masyarakat
mekanisme penyaluran dana di masingmasing desa. Partisipasi masyarakat pada kegiatan pemeliharaan menjadi lebih tinggi dibandingkan pada saat kegiatan penanaman. Terdapat beberapa alasan yang memungkinkan hal tersebut terjadi, antara lain : Pertama, nilai nominal upah yang diberikan relatif tinggi dan dianggap mencukupi; Kedua, menurunnya harga beberapa komoditas yang selama ini menjadi andalan masyarakat seperti gambir, pinang dan karet, Ketiga, adanya sedikit penyadaran masyarakat untuk melakukan pemeliharaan secara intensif pada tanaman yang telah ditanam sebelumnya. Sementara pada kegiatan penanaman pertama situasi yang terjadi justru kebalikan dari situasi pada saat pemeliharaan. Pada beberapa luasan lahan kegiatan pemeliharaan tidak berjalan efektif karena tanaman yang ditanam pertama kali sebagian besar tidak tumbuh dengan baik. Banyak tanaman yang mati bahkan di beberapa hamparan tidak ditemui tanaman sama sekali. Atau dengan kata lain ada kemungkinan tidak ditanam pada saat penanaman pertama kali. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan kegiatan pemeliharaan berubah menjadi kegiatan penanaman ulang. Sebagian masyarakat hanya sekedar ingin mendapatkan upah pengerjaan lahan tanpa mempedulikan hasil dari tanaman. Artinya masih terdapat masyarakat yang hanya memikirkan kepentingan sesaat tanpa memikirkan kepentingan jangka panjang. Hal ini dapat diamati dari tuntutan masyarakat untuk dapat segera memperoleh upah sementara segan untuk mengerjakan lahan. Padahal masyarakat tersebut mengetahui mekanisme pengerjaan lahan dimana pemberian upah baru dapat diberikan setelah dilakukan pengerjaan lahan. Tim Yayasan SIKLUS berusaha untuk membangun kepedulian yang tinggi pada masyarakat pada tanaman mereka. Terdapat beberapa situasi yang ditemui tim Yayasan SIKLUS yang pada akhirnya berakibat pada proses pemeliharaan secara keseluruhan. Salah satunya adalah kejenuhan masyarakat untuk melakukan pertemuan dalam rangka proses pemberdayaan dan bimbingan teknis. Upaya yang dilakukan
untuk mensiasati situasi tersebut adalah dengan melakukan kunjungan ke masyarakat secara informal dari rumah ke rumah. Kunjungan ini tidak sebatas melakukan kunjungan tetapi sekaligus memberikan bimbingan teknis. Selain itu kunjungan juga dilakukan di lahan pada saat masyarakat melakukan pengerjaan lahan. Situasi lain yang ditemui Yayasan SIKLUS adalah perbedaan waktu yang cukup jauh antara aktivitas pembukaan atau pembersihan lahan dengan penanaman/ penyisipan. Perbedaan waktu ini pada akhirnya membuat lahan yang telah dibersihkan menjadi rimbun kembali. Oleh sebab itu Yayasan SIKLUS berusaha untuk meyakinkan BRLKT untuk segera menurunkan bibit. Ditambah lagi dengan kebiasaan masyarakat mengerjakan lahan selama ini yang dilakukan secara sekaligus dari mulai pembersihan, pembuatan lubang hingga penanaman. Upaya lain yang dilakukan Yayasan SIKLUS adalah dengan memfasilitasi pertemuan antara masyarakat dengan pemilik proyek sekaligus memberikan bimbingan teknis kepada masyarakat. Kegiatan lapangan juga menjadi terhambat sehubungan dengan adanya bulan Ramadhan atau bulan puasa. Dibulan puasa aktivitas masyarakat menjadi berkurang dan pengerjaan lahan juga menjadi semakin lambat. Upaya yang dilakukan Yayasan SIKLUS untuk mensiasati situasi tersebut adalah dengan melakukan kunjungan kembali kerumah disaat senja menjelang buka puasa. Karena biasanya masyarakat berada dirumah masing-masing pada saat itu. Dengan pendekatan seperti ini sebenarnya lebih efektif dalam rangka mengetahui permasalahan yang terjadi. Secara keseluruhan pelaksanaan pendampingan Hutan Rakyat/Agroforestry berjalan dengan lancar. Terdapat beberapa hal yang pada akhirnya patut dicermati berdasarkan pengalaman pelaksanaan program tersebut yaitu antara lain : Pertama, pengerjaan lahan sebaiknya dilakukan langsung oleh masyarakat. Dengan demikian rasa memiliki masyarakat terhadap tanaman menjadi semakin besar; Kedua, upaya pendekatan secara personal dengan masyarakat menjadi lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan pendekatan melalui pertemuan resmi; Ketiga, upaya bimbingan teknis dengan ikut kelahan bersama masyarakat akan lebih efektif jika dibandingkan hanya sebatas melalui penyuluhan.
Profil
P
rogramPengembangan kelembagaan atau pendampingan Hutan Rakyat/Agroforestry Yayasan SIKLUS merupakan kerjasama dengan Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) Indragiri Rokan Propinsi Riau. Program ini dilaksanakan di 4 (empat) desa yaitu Desa Pongkai Istiqomah, Desa Muara Takus, Desa Gunung Bungsu dan Desa Tabing Kecamatan XIII Koto Kampar Kabupaten Kampar. Program pendampingan Yayasan SIKLUS lebih dititikberatkan pada kegiatan pemeliharaan tahun pertama. Program ini kelanjutan dari pendampingan pada saat penanaman awal yang dilakukan oleh konsorsium Yayasan Riau Mandiri dan yayasan SIKLUS menjadi salah satu anggota konsorsium. Oleh sebab itu konsentrasi pendampingan Hutan Rakyat/Agroforestry pada tahap pemeliharaan berbeda dengan pada saat penanaman pertama kali. Konsentrasi pendampingan pada saat pemeliharaan lebih ditekankan pada bimbingan teknis dan penyuluhan. Hal ini dilakukan menyesuaikan dengan aktivitas lapangan yang hanya melakukan pemeliharaan melalui penyisipan tanaman yang mati. Namun demikian upaya pemberdayaan kelompok yang telah dibentuk pada saat kegiatan penanaman terus dilanjutkan. Terdapat perbedaan mendasar antara kegiatan penanaman dan pada saat pemeliharaan terutama pada aktivitas lapangan. Pada kegiatan penanaman kegiatan lapangan lebih banyak dikerjakan oleh kontraktor rekanan Balai RLKT. Pada saat itu masyarakat tidak terlibat secara langsung. Tidak terlibatnya masyarakat dalam kegiatan penanaman dikarenakan upah yang diberikan dianggap terlalu kecil dan tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Akhirnya masyarakat menyerahkan pengerjaan lahan kepada kontraktor. Sementara pada kegiatan pemeliharaan kegiatan lapangan langsung dikerjakan oleh masyarakat dengan alasan upah yang diberikan untuk kegiatan penanaman mencukupi. Pengorganisasi pengelolaan pengerjaan lahan juga dikerjakan oleh masyarakat. Pimpinan Proyek Hutan Rakyat/Agroforestry dan jajaranya hanya sebatas mendistribusikan dana. Mekanisme penyaluran disepakati bersama antara Pimpro dan masyarakat, melalui musyawarah. Kondisi ini pada akhirnya mengakibatkan terjadinya perbedaan
Ekosistem Lingkungan Lingkungan Ekosistem
12
○ ○ ○ ○
Ekosistem Lingkungan
Jalan ke Koto Panjang 1979 September, PLN merencanakan pembangunan dam skala kecil di Tanjung Pauh dalam rangka memanfaatkan potensi Batang Mahat anak Sungai Kamar Kanan. September dan November TEPSCO (Tokyo Electric Power Service Co. Ltd) perusahan konsultan Jepang mengirim tim pecarian proyek (Poject finding) ke Sumatera. Dari hasil survey yang dilakukan, TEPSCO mengusulkan pembangunan waduk dengan skala besar, yakni pertemuan antara Kanpar Kanan dengan Batang Mahat dengan lokasi damsitenya di daerah Koto Panjang. Potensi sungai-sungai di Riau Kampar Kanan 233 MW, Kampar Kiri 178 MV, Rokan Kanan 56 MV, Rokan Kiri 132 MV, Kuantan 350 MV. 1980 Maret, TEPSCO mempresentasikan usulannya ke Pemerintah Jepang dan Indonesia. Agustus, TEPSCO kembali mengirim tim peneliti pra studi kelayakan ke damsite. Hasil TEPSCO 1980 membuahkan 2 usulan. Pertama, dibangun (rencana) bendungan sebanyak 2 buah yang berlokasi di Tanjung Pauh dan Koto Panjang. Kedua, dibangun bendungan tunggal berskala besar di lokasi Koto Panjang. Dari hasil pra studi kelayakan ini, TEPSCO menyarankan kepada PLN/Pemerintah untuk melakukan perbandingan kedua usulan tersebut. Dalam hal ini khusus TEPSCO memiliki kecenderungan membangun bendungan tunggal berskala besar di Koto Panjang. Karena dianggap biayanya lebih murah dan kapasitas listrik yang akan dihasilkan jauh lebih besar. 1981 September-Oktober Japan International Cooperation Agency (JICA) menindak lanjuti hasil dari TEPSCO, dan mengirim tim sebanyak 14 orang bersama dengan TEPSCO. Dalam pelaksanaan ini, TEPSCO juga berkerjasama dengan PT. Yodoya Karya. Studi ini juga dalam rangka mempertimbangkan rencana bendungan tunggal dengan dua bendungan bertahap. Bendungan tunggal, lokasi di Koto Panjang; kapasitas 114 MV; tinggi bendungan 58 meter. Yang akan tenggelam 2644 rumah; 8.989 ha kebun – sawah; jalan negara 25,3 km dan jalan peopinsi 27,2 km. Dua bendungan bertahap, bendungan I lokasi Tanjung Pauh; kapasitas 23 MV; tinggi bendungan 38 meter. Bendungan II lokasi di Koto Panjang; kapasitas 41 MV; tinggi
bendungan 30,5 meter. Dari studi kelayakan tersebut, kedua bendungan ini akan menenggelamkan rumah sebanyak 390, 1860 ha sawah dan kebun dan jalan negara sepanjang 16 meter. Berdasarkan studi akhirnya diputuskan untuk membangun bendungan tunggal skala besar dengan pertimbangan biaya lebih murah sedangkan kapasitas listrik yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan dua bendungan bertahap. 1983 Pemda Kampar mulai melakukan Rekayasa sosial, penggalangan masa dengan jargon Kebulatan tekad bertempat di Pesantern Tarbiyah Islamiyah Batu Bersurat yang dilakukan atas nama Masyarakat XIII Koto Kampar yang siap berkorban untuk mewujudkan pembangunan Dam Koto Panjang. 1984 Berdasarkan hasil laporan peneliti JICA dan TEPSCO, Oveseas Economic Cooperation Fund (OECF) memberi Pemerintah Indonesia bantuan sebesar 1,152 Miliar Yen untuk Enginering Service. 1987-1990 Pemerintah Daerah Kampar antara tahun 1987 – 1990 sudah mengambil langkah cepat. Seluruh harta kekayaan penduduk yang bakal tenggelam di daftar. Pohon, rumah, pekarangan, sawah semua dicatat. Pemerintah melarang penduduk membangun atau membuka lahan pertanian baru. Pemerintah Daerah juga menghentikan pembangunan sarana dan prasarana umum seperti, puskesmas, pasar atau juga sekolah bahkan jalan sepanjang 35 km di daerah ini tidak lagi diperhatikan. 1990 April, koran Nihon Keizai Shinbun memuat berita tentang kerusakan lingkungan berkaitan dengan proyek Koto Panjang. Agustus, Prof. Sumi Kazuo (Yokohama City University) dan Damoto Akiko (Anggota Dewan Majelis Tinggi) Jepang mengunjungi lokasi. September, Prof. Sumi Kazuo Cs mengajukan permohonan kepada Pemerintah Jepang untuk menghentikan pemberian pinjaman untuk pembangunan dam Koto Panjang. Pemerintah Jepang mengirim tim Appraisal ke Indonesia. Karena di Jepang terjadi perdebatan soal kelayakan secara ekonomi, sosial dan lingkungan dari proyek ini. Oktober, Diberbagai media sudah gencar memberitakan bahwa PLTA Koto Panjang positif di bangun.
Desember, Di Jepang desakan untuk menghentikan pendanaan atas Proyek Koto Panjang semakin kuat. Walaupun demikian, pada 13 Desember Pemerintah Indonesia dan Jepang tetap menanda tangani kesepakatan Exchanche Note (E/N) atas proyek Koto panjang dengan nama “ Koto Panjang Hydroelecttrik Power and Asosiated Transmision Line Project” dan menurunkan dana bantuan pertama 12,500 Milyar Yen. Yang selanjutnya OECF membuat Agreement dengan Pemerintah Indonesia. 1991 Januari, 19, Dubes Jepang Untuk Indonesia di Jakarta mengatakan bahwa pihak Jepang telah menerima semua laporan dari pihak Indonesia mengenai syarat-syarat yang berhubungan dengan pembangunan PLTA Koto Panjang. Disamping itu, pemerintah Jepang juga telah menerima laporan dari Delegasi fact Finding yang dikirim oleh OECF pada bulan Desember 1980. berdasarkan laporan tersebut, dikatakan bahwa sudah tidak ada masalah untuk soal ganti rugi. Walaupun demikian, isi laporan tersebut belum diketahui dengan pasti. Hanya saja disebut-sebut bahwa nilai ganti rugi sudah dinaikkan sedikit, tetapi besar kenaikannya belum diketahui. April, 24. Rapat terpadu di kantor Bappeda Sumbar antara Pemda Riau Sumbar dan Kepala Biro Regional I Bappenas pusat DR.Ir. Manuhoto. Sesuai rapat Ir. Syahril Amir-Pimpinan Proyek Induk Pembangkit Jaringan (Pikitring) PLN Sumbar-Riau – Menyatakan adanya rencana unutk melakukan studi banding ke Cirta dan Saguling di Jawa Barat itu di berikan untuk 150 orang pimpinan masyrakat. Pengiriman 150 orang pemuka masyrakat Kampar dan 50 Kota menurut Wagub Sumbar Drs. Sjoerkani ,” adalah unutuk memper lancar proses realisasi proyek fisik PLTA Koto Panjang. Sebab masyarakat harus tahu persis peran apa yang diminta kepada mereka agar PLTA Koto Panjang berjalan mulus. April. Diberikan kepada bahwa pemerintah Jepang memberikan tiga syarat untuk pinjaman Yen pembangunan Dam Koto Panjang. 1. Gajah yang berada di dalam harus di selamatkan dengan memindahkan ketempat perlindungan yang cocok. 2. tingkat kehidupan KK yang kena
13 belum di bayar. Januari, 8-10. Rakyat Muara Takus Sebanyak 244 KK dipindahkan ke satuan pemukiman (SP) I di Selatan Muara Takus Kec. XIII Koto Kampar. Maret, 28 kamis. Rakyat Koto Tuo Sebanyak 599 KK dipindahkan ke Satuan Pemukiman (SP) II Selatan Muara Takus Kec.XIII Koto Kampar. Agustus, Rakyat Tanjung Pauh Sebanyak 38 KK atau 387 jiwa kembali dipindahkan ke Satuan Pemukiman (SP) II di Rimbo Datar. Agustus, Rakyat Tanjung Balit sebanyak 49 KK kembali dipindahkan ke Satuan Pemukiman (SP) II Rimbo Datar. Oktober, Rakyat Tanjung Alai sebanyak 313 KK atau sebanyak 1600 jiwa dipindahkan ke Unit Pemukiman Penduduk (UPP) Ranah Sungkai Koto Tengah Kec. XIII Koto Kampar. 1995 Juli, 2 Sabtu. Rakyat Lubuk Agung Sebanyak 220 KK atau 4082 jiwa dipindahkan ke Unit Pemukiman Penduduk (UPP) Ranah Sungkai Koto Tengah Kec.XIII Koto Kampar. 1996 Warga Tanjung Balit mengadukan kasus ganti rugi mereka ke komnas ham. Maret. Bendungan Selesai dibangun dan penggenangan percobaan dilakukan. 1997 Februari,28 hari Juma’at, Pennggenangan secara resmi, penekanan tombol penururnan pintu-pintu sekat air dalam dilakukan. Mei, Masyarakat Tanjung Pauh yang dimukimkan di Rinbo Datar, menolak pemberian sertifikat atas lahan kebun karet yang di keluarkan BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kab. 50 Kota. 1998 Januari 6, Pangkalan mengalami bajir besar. Wilayah Kecamatan Pangkalan Koto Baru (di luar areal proyek PLTA) kabupaten 50 Kota secara umum merupakan daerah tangkapan air dengan beberapa sungai dan anak sungai seperti; Batang Mangilang, Batang Samo dan Batang Mahat. Meskipun hujan turun berhari-hari, tidak pernah terjadi banjir besar. Karena, wilayah ini memiliki siklus banjir alami yakni satu kali dalam 25 tahun. Februari 2, Pangkalan Kembali mengalami banjir. Pasca dam Koto Panjang, setiap hari hujan diwilayah ini mengalami banjir besar. Banjir besar sekarang ini merupakan banjir kedua kali (pertama tgl 6 Januari 1998), dan menyebabkan terputusnya transportasi Sumbar-Riau. Ketinggian muka air disaat banjir. Tidak wajar lagi capaian ketinggian air sudah sampai ke loteng rumah penduduk
bahkan Mapolsek dan Pukesmas ikut di tenggelamkan. Mei. 10 (Minggu), Banjir Pangkalan di diskusikan di GOR Rumah makan Rangkiang Pangkalan. Penyebab banjir besar, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh adanya dam Koto Panjang. Sebelum adanya PLTA Koto Panjang, air sungai di wilayah ini mengalir sampai jauh sampai ke Muaro Mahat, sekarang, sampai di Tanjung Balit aliran air sungai mulai tersendat, sehingga air sungai Batang Mangilang, Batang Samo, dan Batang Mahat menjadi naik. Disamping itu, terlihat bahwa, ketika hari hujan, air sungai cepat naik, turunya sangat lambat. Juni, 15, Bersama dengan KBH-Bukit Tinggi “Taratak” mengangkat kasus kompensasi sebanyak 13 orang masyarakat Tanjung Balit ke Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Balit. Perkara ini terdaftar secara resmi si PN Tanjung Pati tgl 15 Juni 1998 dengan No. 03/Pdt.G/1998/PN.TJP. 2000 Mei, 20. Masyarakat Tanjung Pauh sebanyak 67 kk yang ganti ruginya belum tuntas, mengajukan gugatan ke PN Tanjung Pati dengan kuasa hukum KBH-YPBHI Bukit Tinggi. Perkara ini terdaftar dengan No.03/Pdt.G/2000/PN.TJP. Mei, 26-28 BP RKDKP melakukan kongres I di Padang yang di hadiri sebanyak 112 anggota dari 12 desa. Juli. 1 (Senin). Presentasi Hasil Survey Study SAPS PLTA Koto Panjang oleh Team JBIC di BAPPEDA Sumbar. Studi lapangan dilakukan oleh PT. Bita Bina Semesta dan LSM Bina Swadaya. 2002 (Akhir) Masyarakat korban DAM bersama KBHBukit Tinggi dan Walhi menyatakan gugatan ke Jepang. 2003 (Awal Maret) Perwakilan masyarakat korban dari 10 desa ke Jepang dan ikut mendaftarkan gugatan, serta melakukan Hearing ke Parlemen Jepang dan Aksi ke Kantor JBIC bersama masyarakat Jepang yang mendukung gugatan (massa sekitar 200 orang). Juni , Terbentuk tim advokasi masyarakat korban DAM Koto Panjang (KBH Riau, KBH Bukit Tinggi, Walhi Nasional dan Walhi Riau, Taratak, Elsam) dan menyiapkan gugatan baru untuk pemerintah Indonesia. 3 Juli , Sidang pertama gugatan masyarakat DAM Koto Panjang di pengadilan wilayah Tokyo Jepang, dengan tuntutan ganti rugi sebesar 18,3 Milyar Yen atau 163 Juta dollar AS atau 1,344750 Triliun. Perjuangan Belum Selesai, Jangan Puas dan Berputus Asa .............
Ekosistem Lingkungan
dampak dari proyek Koto Panjang tingkat kehidupanya harus sama atau lebih baik kehidupanya dari kehidupan ditempat lama. 3. Persetujuan pemindahan bagi yang terkena dampak proyek prosesnya harus dilakuakan dengan adil dan merata. Juli. Wakil dari masyarakat Koto Panjang mengunjungi Kantor Perwakilan OECF di Jakarta dan mengklaim bahwa persetujuan pemindahan dan ganti rugi didapat dengan intimidasi. September, Lima orang utusan yang mewakili 4.885 KK Warga Koto Kampar melakukan aksi ke Jakarta menyampaikan tuntutan mereka tentang rendahnya harga ganti rugi. Tuntutan itu disampaikan dengan mendatangi : · DPR RI, 2 September 1991. · Kedubes Jepang , 3 September 1991. · Ke Kantor OECF Jakarta 4 Septem ber 1991 · Aksi ke Depdagri Kamis, 5 Septem ber 1991. Pada bulan Oktober, Pemerintah bersama Aparat Pemda Riau dan Sumbar mengunjungi lokasi pemukiman Koto Ranah dan Muara Takus. Desember. Pemerintah Jepang dan OECF mengirim tim kelokasi untuk konfirmasi mengenai pelaksanaan. Dana tahap II Koto Panjang sebesar 17,525 Miliar Yen diturunkan. 1992 Januari. Pemerintah Indonesia menyerahkan laporan akhir yang berisi Bahwa tiga syarat yang ditetepkan telah dipenuhi. Juli. Pemerintah Jepang menilai bahwa tiga syarat telah dipenuhi dan secara resmi membuat kontrak perjanjian. Agustus, Masyarakat Pulau Gadang mulai dipindahkan ke lokasi pemukiman baru di Silam Koto Ranah. Pemerintah Rakyat Pulau Gadang kepemukiman baru, dibawah ancaman pihak Militer, terutama yang sangat berperan adalah dari Bataliyon 132 yang bermarkas di Bangkinang. 1993 Januari. TEPSCO menerima kontrak itu mengawasi proyek, sedangkan unutk pembangunan dan kontraknya dilakukan oleh HAZAMA dengan perusahaan lokal. Juli, 29, Rakyat Tanjung Pauh sebanyak 132 KK atau 1152 jiwa dipindahkan ke Satuan Pemukiman (SP) II di Rimbo Datar Kecamatan Pangkalan. Juli Rakyat Tanjung Balit sebanyak 401 KK atau dipindahkan ke Satuan Pemukiman (SP) II di Rimbo Datar. 1994 Empat orang warga Tanjung Balit (Syamsuri Cs) mendatangi DPRD Tk I Sumbar menyampaikan tuntutan ganti rugi yang
IN
O P I N I
P O HAK GUGAT ORGANISASI LINGKUNGAN
ermasalahan lingkungan hidup sekarang ini di Indonesia sudah sangat memprehatinkan, dengan banyaknya pencemaran dan pengerusakan. Kekuatan masyrakat sebagai inisiator pengembangan ini masih dikalahkan dengan adanya ketakutan dan keapatisan. Dengan kondisi ini mencerminkan kondisi yang sangat meriskankan, sehingga pemerintah dan perusahan berusaha untuk menisbikan permasalahan lingkungan yang terjadi. Oleh karena itu dibutuhkan kelompok masyarakat yang kritis dan dapat bertanggungjawab dalam menyikapi permasalahan lingkungan tersebut. Peran serta CSO lingkungan sangat di butuhkan. Kelembagaan organisasi lingkungan ini dapat melakukan legal standing (hak gugat) terhadap pencemaran lingkungan. Hak gugat atau standing dapat diartikan sebagai akses orang perorangan ataupun kelompok/ organisasi di pengadilan sebagai pihak penggugat. Ada dua pengertian tentang standing, baik sebagai penderita yang melakukan gugatan atau pun sebagai kelompok yang tidak menderita tetapi mewakili kepentingan publik dan kepentingan lingkungan. hak gugat organisasi lingkungan merupakan salah satu bagian dari hukum standing (standing law) yang berkembang di Indonesia. Adapun Standing kelompok/organisasi yang bertindak untuk dan mewakili kepentingan publik dan kepentingan lingkungan tidak perlu membuktikan bahwa dirinya/mereka memiliki kepentingan hukum atau sebagai pihak yang mengalami kerugian riil. Citizen suit ini telah diatur/ dijamin dalam pertauran perundangundangan lingkungan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup memuat ketentuan mengenai hak gugat organisasi lingkungan di dalam pasal 38 dan 39,.. sebagai berikut: Pasal 38 1. Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
2. Hak mengajukan gugatan sebagaiman dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tuntutan untuk hak ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. 3. Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi persyaratan: a. berbentuk badan hukum atau yayasan;
”
Hak gugat atau standing dapat diartikan sebagai akses orang perorangan ataupun kelompok/organisasi di pengadilan sebagai pihak penggugat.
“
P
I
b. dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikanya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; Pasal 39 Tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang, masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku. Beberapa pertimbangan hukum yang bersifat pokok yang menjadi dasar pemberian standing kepada Yayasan/LSM didasarkan kepada pertama, hak setiap orang atas lingkungan hidup yang sehat dan baik (Pasal 5 UU No. 4 tahun 1982). Kedua, hak dan kewajiban setiap orang berperan serta dalam pengelolaan lingkungan (Pasal 6
14
UU No. 4 tahun 1982). Ketiga, hak-hak subyektif melahirkan hak untuk menuntut secara hukum agar hak-hak tersebut dihormati (hak untuk mengupayakan penegakan peraturan perundang-undangan sangatlah diperlukan untuk menjamin realisasi hak-hak subjektif tersebut). Dalam penetapan hak standing yang dimiliki kelompok/organisasi mempunyai batasan-batasan antara lain : 1. Tujuan organisasi tersebut adalah benar-benar melindungi lingkungan hidup atau menjaga kelestarian alam, dimana tujuan tersebut harus tercantum dan dapat dilihat dalam anggaran dasar organisai yang bersangkutan. 2. Organisasi yang bersangkutan haruslah berbentuk badan hukum ataupun yayasan. 3. Organisasi tersebut harus secara berkesinambungan menunjukkan adanya kepedulian terhadap perlindungan lingkungan hidup yang nyata di masyarakat. 4. Organisasi tersebut harus cukup representatif. Pengembangan serta pengakuan hak gugat organisasi lingkungan menjadi sangat relevan dalam suatu negara dimana pemerintah sebagai penegak hukum sering kali tidak berbuat sesuatu untuk mencegah dan menangulangi dampak lingkungan. Ketidakaktifan ini dapat disebabkan ketidaktahuan maupun keterbatasan politik sehingga kemandiriaanya terganggu, ketidakaktifan ini dapat diatasi dengan peran aktif dan kritis LSM melalui upaya-upaya advokasi hukum secara proaktif. Kelemahan yang dirasakan sekarang ini adalah pemahaman tentang penggunaan legal standing tersebut oleh lembaga lingkungan, pratisi hukum dan serta masyarakat. Permasalahan ikutan berikutnya adalah karena hak gugat ini juga tidak akan memberikan dampak materi bagi penggugat tetapi hanya sekedar melakukan perubahan dalam kebijakan saja. Tetapi demi penyelamatan lingkungan apapun dapat dilakukan secara bersama. Selamat menggunakan legal standing dan sukses untukmu!!!
KUNCORO HADI , Staf Divisi Riset Yayasan Riau Mandiri
Kebijakan Kehutanan Kehutanan Kebijakan
15
○ ○ ○ ○
Bagian UU41/1999 tentang kewenangan Pemerintah Daerah dan Masyarakat.
pemanfaatan hasil hutan produksi dan pengusahaan pariwisata alam lintas propinsi. l. Penetapan kriteria dan standar pengelolaan yang meliputi tata hutan dan rencana pengelolaan, pemanfaatan, pemeliharaan, rehabilitasi, reklamasi, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian kawasan hutan dan areal perkebunan. m. Penetapan kriteria dan standar konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang meliputi perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari di bidang kehutanan dan perkebunan. n. Penetapan norma, prosedur, kriteria dan standar peredaran tumbuhan dan satwa liar termasuk pembinaan habitat satwa migrasi jarak jauh. o. Penyelenggaraan izin pemanfaatan dan peredaran flora dan fauna yang dilindungi dan yang terdaftar dalam apendiks Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) of Wild Fauna and Flora. p. Penetapan kriteria dan standar dan penyelenggaraan pengamanan dan penanggulangan bencana pada kawasan hutan, dan areal perkebunan. Pasal 3 Kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom dalam bidang Kehutanan dan Perkebunan a. Pedoman penyelenggaraan inventarisasi dan pemetaan hutan/kebun. b. Penyelenggaraan penunjukkan dan pengamanan batas hutan produksi dan hutan lindung. c. Pedoman penyelenggaraan tatabatas hutan, rekonstruksi dan penataan batas kawasan hutan produksi dan hutan lindung. d. Penyelenggaraan pembentukan dan perwilayahan areal perkebunan lintas kabupaten/kota. e. Pedoman penyelenggaraan pembentukan wilayah dan penyediaan dukungan
pengelolaan taman hutan raya. f. Penyusunan perwilayahan, design, pengendalian lahan dan industri primer bidang perkebunan lintas kabupaten/kota. g. Penyusunan rencana makro kehutanan dan perkebunan lintas kabupaten/kota. h. Pedoman penyelenggaraan pengurusan erosi, sedimentasi, produktivitas lahan pada daerah aliran sungai lintas kabupaten/kota. i. Pedoman penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan produksi dan hutan lindung. j. Penyelenggaraan perizinan lintas kabupaten/kota meliputi pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan flora dan fauna yang tidak dilindungi, usaha perkebunan, dan pengolahan hasil hutan. k. Pengawasan perbenihan, pupuk, pestisida, alat dan mesin di bidang kehutanan dan perkebunan. l. Pelaksanaan pengamatan, peramalan organisme tumbuhan engganggu dan pengendalian hama terpadu tanaman kehutanan dan perkebunan. m. Penyelenggaraan dan pengawasan atas rehabilitasi, reklamasi, sistem silvikultur, budidaya, dan pengolahan. n. Penyelenggaraan pengelolaan taman hutan raya lintas kabupaten/kota. o. Penetapan pedoman untuk penentuan tarif pungutan hasil hutan bukan kayu lintas kabupaten/kota. p. Turut serta secara aktif bersama Pemerintah dalam menetapkan kawasan serta perubahan fungsi dan status hutan dalam rangka perencanaan tata ruang propinsi berdasarkan kesepakatan antara propinsi dan kabupaten/kota. q. Perlindungan dan pengamanan hutan pada kawasan lintas kabupaten/kota. r. Penyediaan dukungan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis, penelitian dan pengembangan terapan bidang kehutanan.
Ke bijakan K e h u t a n a n
PERATURAN PEMERINTAH NO. 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM BAB II Pasal 2 Kewenangan pemerintah Pusat di bidang kehutanan dan perkebunan a. Penetapan kriteria dan standar pengurusan hutan, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru, dan areal perkebunan. b. Penetapan kriteria dan standar inventarisasi, pengukuhan, dan penatagunaan kawasan hutan, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru. c. Penetapan kawasan hutan, perubahan status dan fungsinya. d. Penetapan kriteria dan standar pembentukan wilayah pengelolaan hutan, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru. e. Penyelenggaraan pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru termasuk daerah aliran sungai di dalamnya. f. Penyusunan rencana makro kehutanan dan perkebunan nasional, serta pola umum rehabilitasi lahan, konservasi tanah, dan penyusunan perwilayahan, desain, pengendalian lahan, dan industri primer perkebunan. g. Penetapan kriteria dan standar tarif iuran izin usaha pemanfaatan hutan, provisi sumberdaya hutan, dana reboisasi, dan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan. h. Penetapan kriteria dan standar produksi, pengolahan, pengendalian mutu, pemasaran dan peredaran hasil hutan dan perkebunan termasuk perbenihan, pupuk dan pestisida tanaman kehutanan dan perkebunan. i. Penetapan kriteria dan standar perizinan usaha pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan dan pemungutan hasil, pemanfaatan jasa lingkungan, pengusahaan pariwisata alam, pengusahaan taman buru, usaha perburuan, penangkaran flora dan fauna, lembaga konservasi dan usaha perkebunan. j. Penyelenggaraan izin usaha pengusahaan taman buru, usaha perburuan, penangkaran flora dan fauna yang dilindungi, dan lembaga konservasi, serta penyelenggaraan pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru, termasuk daerah aliran sungai di dalamnya. k. Penyelenggaraan izin usaha
Profil Hutan Hutan Profil
16
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
PROFIL ANGGOTA JARINGAN KERJA PENYELAMAT HUTAN RIAU
Tentang Kami
(JIKALAHARI) Nama : Mahasiswa Pencinta Alam Satuan Jiwa Sahabat Alam Raya Singkatan : MAPALA SATWA SAHARA Contact person : Zeris Anshory (Ketua) Alamat : Jl. Kharuddin Nasution, Kampus FE Universitas Islam Riau. Latar Belakang dan tujuan; Mapala Satwa Sahara, yang didirikan pada tanggal 30 Agustus 1997, dalam bentuk unit kegiatan mahasiswa. Dilatar belakangi oleh jiwa kepecintaan alam dari masing-masing individu yang pada akhirnya terbentuklah suatu wadah yang berorentasi pada alam, lingkungan dan masyarakat. Bidang dan bentuk kegiatan : Bidang kegiatan utama lembaga ini adalah Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan. Yang meliputi perairan, gunung hutan, panjat tebing dll. Nama : HUMENDALA Singkatan : HMA Contact person : Zulfan Hadi (Ketua) Alamat : Jl. Raya Pekanbaru – Bangkinang KM 12,5 Kampus FE UNRI Latar Belakang dan tujuan; Mapala HUMENDALA, yang didirikan pada tahun 1990, dalam bentuk unit kegiatan mahasiswa. Dilatar belakangi oleh jiwa kepecintaan alam dari masing-masing individu yang pada akhirnya terbentuklah suatu wadah yang berorentasi pada alam, lingkungan dan masyarakat. Dengan tujuan melaksanakan kode etik pencita alam. Bidang dan bentuk kegiatan : Bidang kegiatan utama lembaga ini adalah Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan. Yang umum dilakukan adalah regenerasi dan kampaye. Nama : Yayasan Sinergi Alam dan Pembangunan Singkatan : Yayasan Sialang Contact person : Suhelmi (Direktur) Alamat : Perumahan Griya Sumatera J1. Melur RT IV / V No. 02 Pematang Reba-Rengat Telpon (0769)341372-0769341172 Telp./Fak : Hp. 0812688160808126801946 Email :
[email protected] Latar Belakang dan tujuan; Yayasan
Sialang Anggota lembaga ini di dominasi masyarakat lokal dan mantan staf proyek yang pernah bekerja di TNBT dan melakukan aktivitas dikawasan hutan Riau dalam bentuk yayasan. Tujuannya adalah Menjadikan alam Indonesia sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan dan berbagai kepentingan manusia dengan memperhatikan keseimbangan perlindungan alam dan manusia itu sendiri. Bidang dan bentuk kegiatan : Bidang kegiatan utama lembaga ini adalah Melakukan upaya perlindungan, pengawasan terhadap keanekaragaman hayati dan hak-hak masyarakat yang saling menguntungkan untuk terjamin keberlanjutannya. Bidang-bidang kegiatan tersebut diwujudkan melalui berbagai bentuk kegiatan, antara Advokasi kebijakan, Kampanye, Penguatan masyarakat dan kelembagaan masyarakat, Survai SDA hutan dan penyediaan alat-alat produksi pertanian.
Nama : Yayasan Khazanah Alam dan Budaya Tropis Riau Singkatan : KABUT Riau Contact person : Tedy Hardiansyah (Direktur Eksekutif) Alamat : Jl. Kembang Sari No. 8, Tangkerang Selatan Pekanbaru, Riau. Telp./Fak : 0812 767 6181 Email :
[email protected] Latar Belakang dan tujuan; Dibentuk pada 8 Desember 1998, lembaga ini awalnya merupakan sebuah kelompok mahasiswa pencinta alam. Namun ketika dalam melakukan kegiatannya sering menemui kenyataan bahwa alam dieksploitasi secara berlebihan oleh pihak-pihak yang tak
bertanggung jawab, sehingga mengakibatkan kerusakkan dan gangguan keseimbangan ekosistem, maka dibentuklah lembaga ini. Tujuan lembaga ini adalah mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam tanpa merusak keseimbangan ekosistem di Riau, yang selanjutnya mensejahterakan masyarakat. Bidang dan bentuk kegiatan : Bidang kegiatan utama lembaga ini adalah lingkungan hidup, hutan kemasyarakatan, perkotaan, dan demokrasi. Juga usaha kecil/ perkoperasian, sektor informal, kelautan dan perikanan, hak asasi manusia, dan hukum, sebagai kegiatan penunjang. Sedangkan bentuk-bentuk kegiatan utamanya mencakup studi, penelitian, survai, pendidikan dan pelatihan, penerbitan/ publikasi, dan seminar, diskusi atau lokakarya. Bentuk kegiatan lainnya sebagai penunjang adalah pengembangan dan pendampingan masyarakat, dan advokasi. Nama : Mahasiswa Pencinta Alam Phylomina Singkatan : Mapala Phylomina Contact person : Muzamil Hendryanto (08127617757), Rusna Aprianti (081365705505) Alamat : Jl. Binawidya Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau KM 12,5 Panam, Pekanbaru. Telp. : (0761) 63275 / 63274 Latar Belakang dan Tujuan : Mapala Phylomina dirikan pada tanggal 17 April 1982. Dilatarbelakangi oleh rasa tanggung jawab dan kesadaran serta melaksanakan cita-cita bangsa dalam mewujudkan kelestarian alam dan pembangunan nasional yang berwawasan lingkungan demi terciptanya kelestarian, kemajuan, dan kesejahteraan masyarakat, perlu mempersiapkan dan membina diri menjadi generasi muda yang memiliki dinamika idealisme yang berpandangan secara rasional dan memiliki keterampilan serta bertanggung jawab. Tujuanya adalah sebagai suatu wadah yang menampung untuk peningkatan dan pengembangan potensi mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Yang akan diharapkan dapat diaplikasikan pada lingkungan dan masyarakat. Bidang dan bentuk kegiatan : Bidang kegiatan utama Mapala Phylomina
Tentang Kami berorientasi pada lingkungan perairan umum tidak tertutup untuk lingkungan darat yang terwadah dalam sosial kemasyarakatan dan lingkungan hidup (SKLH), Alam Bebas (Abe), Humas Informasi dan Dokumentasi (HID), dan Penelitian dan Pengembangan (litbang). Bentuk kegiatan antara lain mengangkat isu-isu lingkungan, penyebaran informasi, pengabdian masyarakat, pengadaan pelatihan, seminar, lokakarya dan kegiatan alam bebas.
Nama : Yayasan Tanah Air Singkatan : YTA Contact person : M. Solihin (Direktur) Alamat : Jl. Khairil Anwar No.2, Gabah, Pekanbaru. Telp. : (0761) 23144 Latar Belakang dan Tujuan : Yayasan Tanah Air dirikan pada tanggal 30 Novem-
ber 1999, merupakan lembaga suadaya masyarakat. Dilatarbelakangi, dari aktivitas beberapa orang aktivis dan akademisi kemudian melakukan upaya pembinaan masyarakat menuju civil society. Tujuannya adalah terwujudnya kualitas manusia Indonesia yang bermartabat, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebenaran sehingga tercipta masyarakat yang cerdas dinamis dan harmonis. Bidang dan bentuk kegiatan : Bidang kegiatan utama melakukan upaya peningkatan SDM, melakukan upaya
advokasi, membangun partisipasi masyarakat, menumbuhkan demokrasi, menggerakkan potensi masyarakat, mendorong terwujudnya pemerintahan yang transparan, bertanggung jawab jujur dan berpihak pada kepentingan masyarakat. Bidang-bidang kegiatan advokasi kebijakan, partisipatif, menciptakan kesadaran publik dan membentuk opini publik, penguatan masyarakat dan kelembagaan yang ada, pendampingan masyarakat, membentuk jaringan lintas pelaku yang menjembatani bermacam kepentingan untuk tercapai tujuan bersama. Nama : Kantor Bantuan Hukum Riau Singkatan : KBH Riau Contact person : Ali Husin Nst (Wakil Direktur) Alamat : Jl. Pepaya, Gg Tanjung No 21, Pekanbaru Telp./Fak : (0761) 46676 Email :
[email protected] Latar Belakang dan tujuan; Kantor Bantuan Hukum Riau didirikan pada Bulan Mei 1999. Di dirikan atas dasar keperihatinan terhadap proses penegakan huk dan Hak Azazi Manusia (HAM) serta benyaknya kasus-kasus stuktural yang notabene mengorbankan rakyat.
Bidang dan bentuk kegiatan : Bidang kegiatan utama lembaga ini adalah Membuka pusat dukungan kebijakan publik, layanan hukum dan pembelaan kasus-kasus rakyat, pendidikan politik di tingkat masyarakat bawah (akar rumput) dan berpartisipasi aktif dalam aktifitas jaringan Pembelaan HAM, anti korupsi, Lingkungan hidup, dan kasus-kasus rakyat lainnya. Dalam pelaksanaan kegiatan KBH Riau akan terbuka untuk menjalin hubungan kerjasama baik yang bersifat strategis maupun taktis dengan pihak-pihak terkait seperti Organisasi Non Pemerintah (Ornop), Legislatif, Eksekutif, Yudikatif, Organisasi Massa (Ormas), Organisasi Kepemudaan(OKP) dan Organisasi rakyat lainnya. Hubungan kerjasama tersebut haruslah bersifat setara, transparan dan demokratis sehingga tidak menimbulkan kerugian pada salah satu pihak baik secara materi, hukum dan politis. Nama : Yayasan Elang Singkatan : Elang Contact person : Ahmad Fadillah, SE (Direktur Eksekutif) Alamat : Jl. Pesisir Gg. Pesisir I No. 48, Kel Meranti Pandak, Pekanbaru Telp./Fak : (0761) 556322 Email :
[email protected] Latar Belakang dan tujuan; Yayasan Elang didirikan pada tahun 2001 oleh orang-orang yang prihatin terhadap masyarakat sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) dan perairan sering terjadinya pembuangan limbah industri dan domestik, hak masyarakat yang dimarjinalkan, pencemaran sungai, menurunya tingkat kesehatan masyarakat, eksploitasi sumber daya sungai dan laut, serta lemahnya pengelolaan sumber daya alam berbasis rakyat di DAS dan perairan Riau. Mempunyai tujuan terwujudnya pengelolaan perairan dan DAS yang adil dan lestari dengan memperhatikan masyarakat sebagai bagian dan ekosistem. Bidang dan bentuk kegiatan : Bidang kegiatan utama lembaga ini adalah membangun kesadaran masyarakat, institusi building, membangun jaringan dengan lembaga atau organisasi yang mendukung pencapaian visi dan melakukan intervensi kebijakan perairan dan DAS yang berbasiskan masyarakat. Aktivitas yang dilakukan pendampingan masyarakat atau pengorganisasian masyarakat, monitoring Sungai Siak dan penerbitan media outreach.
P r o f i l
Nama : Brigade Mahasiswa Pencita Alam Satuan Naungan Gerakan Kelestarian Alam Indonesia Singkatan : Brimapala Sungkai Contact person : Asrijon Tanjung (ketua) Hp. 081537421505 Alamat : Kampus Binawidya KM 12,5 Panam, Pekanbaru. Telp. : (0761) 63271 Email :
[email protected] [email protected] Latar Belakang dan Tujuan : Brimapala Sungkai dirikan pada tanggal 2 November 1994 merupakan unit kegiatan mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Riau. Dilatarbelakangi oleh berkumpulnya beberapa orang yang peduli dengan kondisi lingkungan dan belum adanya tempat menampung minat dan bakat mahasiswa yang memiliki kepedulian dan berminat pada kegiatan alam bebas. Tujuannya terwujudnya pengelolaan hutan yang adil dan lestari sesuai dengan kaidah-kaidah pengelolaan yang tidak meminggirkan manusia, satwa dan tumbuhan sebagai kesatuan hidup dengan memperhatikan hukum-hukum keseimbangan alam. Bidang dan bentuk kegiatan : Brimapala Sungkai mempunyai program-program: Melakukan kegiatan Alam Bebas yang melibatkan kalangan mahasiswa secara umum, melakukan pendidikan Lingkungan Hidup kepada pelajar dan mahasiswa, penyadaran publik tentang pentingnya menjaga keseimbangan, melakukan studi dan penelitian tentang lingkungan hidup. Kegiatannya lebih terfokus kepada penyelamatan lingkungan khususnya hutan di Riau, pengkaderan kepada generasi muda dalam hal penyadaran betapa pentingnya keselamatan lingkungan kepada umat manusia dimanapun juga.
17
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Profil Hutan
18
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
P r o f i l
H u t a n
TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM
TAMAN Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim ini ditunjuk dengan Surat Keputusan menteri Kehutanan No. 349/Kpts-II/1996 tanggal 5 Juli 1996. Seluas 5.920 Ha setelah dilakukan tata batas definitif oleh Sub BIPHUT Pekanbaru dan temu gelang luas kawasan Taman Hutan Raya ini menjadi 6.172 Ha dan telah ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 348/Kpts-II/ 1999 tanggal 26 Mei 1999. kawasan ini merupakan perubahan fungsi dari Hutan Wisata Minas seluas 1.821 Ha dan Hutan Produksi terbatas seluas 4.099 Ha yang secara administrasi pemerintahan terletak di Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar,
Kecamatan Minas Kabupaten Siak dan wilayah Kota Pekanbaru Propinsi Riau dan berdasarkan pengelolaan wilayah kerja Konservasi Sumber Daya Alam kawasan ini masuk wilayah kerja Seksi Konservasi wilayah II Balai Konservasi Sumber Daya Alam Riau. Kawasan bertopografi datar dan merupakan ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah, dengan Potensi Flora terdiri dari family Dipterocarpace Lauraceae, Euphorbeaceae, Gutteliferae, Sapotaceae, Myrtaceae dan lain-lain. Sedangkan Potensi Fauna meliputi : Gajah, Harimau loreng sumatera, Babi hutan,
Ungko, Beruk, Beo, Ular, Biawak dan lainlain. Kawasan ini terletak sangat starategis karena dekat dengan ibukota propinsi, untuk mencapai kawasan dapat ditempuh dengan route Pekanbaru – Kawasan dengan jarak ± 20 Km dengan waktu tempuh ± 30 menit. Pengelolaan kawasan Tahura Sultan Syarif Hasyim sejak bulan Januari 2001 sepenuhnya di serahkan kepada Pemda/ Dinas Kehutanan Propinsi Riau sesuai dengan peraturan pemerintah No. 62 tahun 1998, namun karena pada kawasan ini juga terdapat Pusat Latihan Gajah (PLG Minas) seluas ± H, sebagai pendukung dari pusat hutan dalam kawasan ini sering terjadi.
CAGAR ALAM BUKIT BUNGKUK KAWASAN Cagar Alam ditunjuk dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 (SK. TGHK Propinsi Riau) seluas ± 20.000 Ha. Secara administrasi pemerintahan terletak di Kecamatan XIII Koto Kampar dan Kecamatan Bangkinang Barat Kabupaten Kampar Propinsi Riau dan berdasarkan wilayah kerja konservasi sumber daya alam masuk wilayah kerja seksi Konservasi
wilayah II Balai Konservasi Sumber Daya Alam Riau. Kawasan Cagar Alam Bukit Bungkuk memiliki keunikan tpografi/penomena alam berupa perbukitan batu yang terlepas dari gugusan Bukit Barisan. Potensi Flora antara lain Meranti, Bintangur, Kempas, Keruing, Balam, Durian Hutan, Kulim, Suntai, Rengas dan lain-lain. Potensi Fauna terdiri dari Beruang madu, Harimau Loreng
Sumatera, Rusa, Kancil, Kera ekor panjang, Ayam Hutan, Bubut Besar, Biawak, Bunglon dan lain-lain. Bagian utara kawasan ini berbatasan langsung dengan bendungan Proyek Listrik Tenaga Air Kota Panjang sehingga di kawasan ini dapat juga dinikmati wisata air terbatas. Untuk mencapai kawasan ini dapat ditempuh dengan route Pekanbaru – Kawasan ± 85 Km dengan waktu tempuh ± 1,5 jam.
18
Celoteh
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
19
C E L O T E H