BERCERITA SEBAGAI METODE MENGAJAR BAGI GURU RAUDLATUL ATHFAL DALAM MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN DASAR BAHASA ANAK USIA DINI DI DESA NGEMBALREJO BAE, KUDUS Taranindya Zulhi Amalia & Zaimatus Sa’diyah Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus
Abstract: One of the methods applied by early childhood educators is storytelling. Storytelling is helpful for them. However, practically, not all them is capable of carrying out this method. The challenge is the limited media that accompanies the application of this method. Storytelling is very attractive to the world of children, especially in early childhood education, but are less socialized to give benefits for the early childhood educators, especially those that live in some district. While the reason is similar to the limitations of the media.. Keywords: storytelling method, language basic skill, early childhood
334
A. Pendahuluan PAUD sebagai lembaga pertama yang tempat tujuan arena belajar pertama anak dan diakui secara syah sebagai suatu lembaga pendidikan yang berdimensi formal, informal, maupun non formal. Pembelajaran pada wilayah PAUD sudah bisa dimulai sejak anak berusia 0 tahun atau saat anak dilahirkan. UU RI Nomor 20 Tahun 2003 BAB I Pasal 1 menyatakan: “pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun ....”. Pada Pasal 28 (2) bagian ketujuh tentang Pendidikan Anak Usia Dini menjelaskan jenis dari PAUD sendiri yang diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. Selanjutnya pada pasal yang sama ayat 3, PAUD
Bercerita Sebagai Metode Mengajar Bagi Guru Raudlatul Athfal dalam Mengembangkan Kemampuan_ sebagai pendidikan formal terbagi atas taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. Sedangkan kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini mengedepankan kepentingan guru di RA dalam kaitannya dengan metode pembelajaran pada pengembangan kemampuan dasar bahasa anak usia dini. Pada prosesnya, guru akan meningkatkan kompetensi membaca sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan pada UU RI Nomor 20 Tahun 2003 BAB III Pasal 4 yang bunyinya adalah: “Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat”. Dalam menggerakkan budaya membaca, guru sebagai salah seorang agent of change dari pendidikan dapat melakukan alternatif penerapan budaya tersebut melalui metode mengajar. Metode bercerita dikategorikan kedalam jenis membaca nyaring. ...Bagi anak usia dini mendengarkan guru bercerita yang diselingi dengan memberikan beberapa pertanyaan menciptakan kedekatan guru dan anak didiknya secara psikologis serta interaksi yang alami dan berguna bagi penyerapan materi pembelajaran. Hal ini disebabkan anak didik merasa berada diarea yang nyaman dan menyenangkan sehingga proses belajar mengajar dapat berhasil seperti yang diinginkan. Proses belajar mengajar dengan bercerita atau dalam Bahasa Inggris akrab dengan sebutan storytelling membantu memperkaya kosakata anak. Anak dapat belajar kosakata-kosakata tersebut lewat pemahaman akan isi cerita. Kennedy, (1996:100) menyatakan: the context of the storytelling helps developing vocabulary. Selain kosakata, anak akan belajar banyak hal lain termasuk adat istiadat dari jalannya sebuah cerita lokal juga pesan moral yang disampaikan. Kennedy menambahkan: students start acquiring stylistic conventions that are found in traditional tales, such as standard beginning, repetition of language, repetitions of events, flat characterizations, and moralistics endings. Jadi pengulangan yang dilakukan oleh sang pembaca cerita (guru) diperlukan dalam rangka menciptakan pemahaman akan alur cerita. Penggunaan metode bercerita dapat diterapkan pada semua aspek perkembangan yang terdapat dalam muatan kurikulum PAUD. RA yang termasuk dalam jenjang formal dari PAUD memiliki kurikulum yang serupa dengan TK dan bentuk PAUD lain yang sederajat. Asmawati, (2014:57) membedakan aspek perkembangan muatan kurikulum PAUD dalam dua kategori: (1) Pembentukan Perilaku (nilai-nilai agama dan moral serta sosial emosional). (2) Kemampuan dasar (kemampuan bahasa, kognitif, dan fisik). Vol. 3 | No. 2 | Juli-Desember 2015
335
ThufuLA
Taranindya Zulhi Amalia & Zaimatus Sa’diyah
336
Berdasar klasifikasinya dalam muatan kurikulum tersebut, kemampuan dasar bahasa dipandang sebagai satu dari poin yang harus terus dipoles dalam pengenalannya di jenjang Pendidikan Anak Usia Dini. Artinya bahasa menjadi satu dari aspek utama yang harus dikembangkan dalam kemampuan dasar anak. Melalui metode pembelajaran, guru-guru bereksplorasi untuk mengasah kemampuan dasar, termasuk bahasa. Pemilihan metode mengajar adalah satu dari unsur pengatur keberhasilan dan ketuntasan sebuah materi (tema). Satu dari banyak metode yang diterapkan guru PAUD adalah metode bercerita. Metode bercerita turut digunakan sebagai variasi metode mengajar guru PAUD. Namun pada praktiknya tidak semua bentuk PAUD mampu melaksanakan metode ini. Tantangan yang dihadapi adalah keterbatasan media yang menyertai penerapan metode ini. Metode bercerita sangat menarik bagi dunia anak namun kurang disosialisasikan manfaatnya bagi guru-guru PAUD khususnya tenaga pengajar di daaerah. Alasannya serupa yakni keterbatasan media. B. Kemampuan Dasar Bahasa Anak Usia Dini Dalam praktiknya, bahasa sebagai suatu ilmu, wajib diajarkan paada setiap jenjang pendidikan, khususnya pendidikan formal. Pada jalur Pendidikan Anak Usia Dini seperti Raudlatul Athfal, posisi bahasa sebagai suatu aspek yang ada dalam kurikulum PAUD. Menurut Luluk (2014:57), salah satu Struktur program kegiatan taman kanak-kanak adalah Bidang Pengembangan Kemampuan Dasar Bahasa. Fungsi bahasa bagi anak usia dini (Susanto (2011:81) dalam Depdikas 2000) yakni: 1. sebagai alat untuk berkomunikasi dengan lingkungan 2. sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan intelektual anak 3. sebagai alat untuk mengembangkan ekspresi anak 4. sebagai alat untuk menyatakan perasaan dan buah pikiran kepada orang lain Berdasar fungsi bahasa diatas, perkembangan bahasa anak memiliki beberapa tahapan dan memerlukan proses. Susanto (2011:36) berpendapat bahwa bahasa yang dimiliki anak adalah bahasa yang telah dimiliki dari hasil pengolahan dan telah berkembang. Lebih lanjut, Chomsky (1957:10) menyatakan secara biologis manusia mempelajari bahasa melalui LAD (language acquisition device) pada waktu dan menggunakan cara tertentu. Dari hal ini, penulis menggaris bawahi bahwa pembelajaran bahasa yang
Bercerita Sebagai Metode Mengajar Bagi Guru Raudlatul Athfal dalam Mengembangkan Kemampuan_ berproses terutama pada kategori usia dini menentukan keberlanjutan pembelajaran bahasa pada usia lanjutan. Namun ada kalanya penguasaan bahasa mengalami beberapa tantangan pembelajaran. Pada beberapa kompetensi bahasa, anak usia dini belum berada pada waktu yang paling tepat untuk belajar membaca dan menulis. Karena tuntutan dari jenjang pendidikan dasar yang mewajibkan anak untuk bisa melakukan keduanya, anak usia dini mulai diperkenalkan pada anak usia dini. Walau semua anak memiliki penguasaan berbeda atas kompetensi ini. Kay (2006:72) menyatakan; ketika anak mengalami keterlambatan dalam perkembangan bahasanya maka akan memicu keteralambatan dalam aspek kognifnya. Karena keterlambatan perkembangan bahasa terjadi berawal dari mekanisme bahasa internal anak (inner speech). Kay (2006:66) menambahkan bahwa keterampilan berbahasa yang rendah dan keterlambatan perkembangan baca tulis anak dikaitkan sebagai perilaku-perilaku yang bersifat mengganggu proses belajar anak. Dari hal tersebut, penulis meluruskan bahwa keterampilan bahasa berperan pada perkembangan kognitif anak. Sedangkan bila anak lancar baca tulis, maka proses belajar mengajar dapat dilaksanakan dengan lancar pula. Aktivitas baca tulis pada anak usia dini bisa dilakukan sepanjang masih bersifat pengenalan pada kata atau kalimat sederhana saja. Menulis bagi anak usia dini lebih tepat bila disebut sebagai aktivitas menggambar garis dan bentukbentuk. Keterkaitan perkembangan bahasa dan aktivitas baca tulis anak disesuaikan dengan usia anak itu sendiri. Perkembangan aspek-aspek belajar anak harus dikemas berdasarkan usia yang tepat, termasuk perkembangan aspek bahasanya. Anak usia dini di jenjang Raudlatul Athfal (RA) termasuk dalam kategori usia 4-5 tahun. Perkembangan bahasa pada usia anak RA (4-5 tahun), dapat dilihat pada tabel berikut (Elizabeth B. Hurlock, 1978:109): USIA ANAK
4 tahun
PERKEMBANGAN BAHASA
- Tahu nama-nama binatang - Menyebutkan nama benda yang dilihat dibuku atau majalah - Mengenal warna - Bisa mengulang empat digit angka - Bisa mengulang kata dengan empat suku kata - Suka mengulang kata, frasa, suku kata, dan bunyi
Vol. 3 | No. 2 | Juli-Desember 2015
337
Taranindya Zulhi Amalia & Zaimatus Sa’diyah
ThufuLA
5 tahun
338
- Bisa menggunakan kata deskriptif seperti kata sifat - Mengenal lawan kata - Dapat berhitung sampai 10 - Bicara sangat jelas kecuali ada masalah pengucapan - Dapat mengikuti tiga instruksi sekaligus - Mengerti konsep waktu; pagi, siang, malam, besok, hari ini, dan kemarin - Bisa mengulang kata sepanjang sembilan kata
Muliawati (2015) menilai bahwa usia lahir hingga tiga tahun adalah waktu yang tepat mengajarkan anak bahasa baru ketika anak belajar berbicara. Sedangkan usia empat sampai tujuh tahun merupakan saat terbaik anak untuk belajar bahasa kedua. Usia 4-5 tahun merupakan tahap simbolis anak saat mereka berfikir abstrak. Sehingga pertanyaan “ apa itu?” dan “apa ini?’ menjadi “kenapa?” atau “mengapa?”. Pada tahap ini anak mulai mampu mengaitkan berbagai hal secara berurutan. Anak dapat mengembangkan arti dan makna suatu kejadian (Susanto (2011:77)). Anak TK [termasuk juga siswa RA yang tergolong kategori usia 4-5 tahun] berada dalam fase perkembangan bahasa ekspresif yang artinya anak dapat berkeinginan, menolak, maupun berpendapat (Susanto (2011:77)). Kay (2006:72) berpendapat bahwa proses belajar seperti menjalin pertemanan, menyatakan pemikiran, mendengar dan memahami ucapan dan ekspresi non verbal dapat terhambat karena keterlambatan bicara dan penguasaan bahasa. Sehingga anak mengalami keterbatasan berkomunikasi dan belajar mengerti instruksi guru dalam proses belajar mengajar. Dari berbagai teori mengenai pengembangan kemampuan dasar bahasa bagi anak usia dini, pengembangan bahasa anak cenderung pada pengungkapan bahasa secara lisan maupun ekspresif. Artinya selain berkomunikasi lisan anak juga penting untuk dapat mengungkapkan kehendak maupun perasaanya pada orang lain. Sehingga guru anak usia dini dianjurkan untuk memaksimalkan pengajaran bahasa lisan juga bahasa ekspresif. C. Metode Bercerita Dalam mengajar seorang guru memerlukan berbagai persiapan.
Bercerita Sebagai Metode Mengajar Bagi Guru Raudlatul Athfal dalam Mengembangkan Kemampuan_ Pemilihan metode pembelajaran terdapat mulai dari tahap persiapan mengajar. Guru hendaknya memiliki pengetahuan mengenai jenis-jenis metode mengajar yang sesuai bila digunakan pada jenjang pendidikan tempatnya mengajar. Pada jenjang pendidikan anak usia dini, selektif memilih metode mengajar menjadi hal ikhwal yang turut andil dalam memperkenalkan hal berupa materi lewat tema-tema baru yang terkait dengan keseharian anak. Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini saaat ini menerapkan pembelajaran tematik Sehingga materi-materi yang diajarkan pada anak memiliki tema dan sub-tema khusus yang berbeda pada setiap minggunya. Untuk mengajarkan tema-tema tersebut, pemilihan metode mengajar yang digunakan guru pendidikan anak usia dini harus sesuai dengan situasi dan kondisi. Satu dari banyak metode yang fleksibel bagi pembelajaran anak usia dini adalah metode bercerita. Berdasar http:// paud-anakbermainbelajar.blogspot.co.id, metode bercerita termasuk satu diantara metode pembelajaran di TK. Metode bercerita adalah cara bertutur kata dan penyampaian cerita atau memberikan penjelasan tentang suatu cerita kepada anak secara lisan. Menurut Moeslichatoen, (2004:157), metode bercerita memberi pengalaman belajar bagi anak TK dengan membawakan cerita kepada anak secara lisan. Dari definisi metode bercerita tersebut, penulis dapat menggarisbawahi bahwa komunikasi lisan dan penciptaan pengalaman belajar terjadi saat guru dan anak berinteraksi menikmati alur dari cerita. Saat proses bercerita, anak mungkin memiliki pertanyaan-pertanyaan yang secara spontan diajukan pada guru. Namun hal tersebut bukan bermakna sebagai selaan cerita melainkan mempertegas dan memperjelas alur cerita bagi anak tersebut maupun anak lain yang ada dalam kelompok yang sama. Cerita-cerita yang dituturkan oleh guru kepada anak bukan semat-mata bertujuan sebagai selingan belajar. Tidak berbeda dengan metode mengajar lain, metode bercerita memiliki tujuan yang jelas dalam penerapannya yang unik dan berbeda dari metode mengajar lain. Tujuan metode bercerita (Moeslichatoen, 2004:170-171) adalah untuk mengembangkan kemampuan mendengar cerita untuk memberikan informasi atau menanamkan nilainilai sosial, moral, dan keagamaan serta informasi lingkungan fisik (nonmanusia, contoh: binatang, peristiwa, tanaman di halaman, sekolah, dsb.) dan lingkungan sosial (orang dalam keluarga, sekolah, masyarakat termasuk jasa seseorang). Lebih jauh Suyanto (2005) dalam Susanto (2011:75) menambahkan Vol. 3 | No. 2 | Juli-Desember 2015
339
Taranindya Zulhi Amalia & Zaimatus Sa’diyah
ThufuLA
bahwa melatih anak berbahasa dapat dilakukan melalui beberapa cara, satu diantaranya adalah melalui cerita, baik mendengar cerita maupun menyuruh anak untuk bercerita. Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa aspek bahasa dapat mengalami kemajuan saat metode bercerita diterapkan. Dalam hal ini, anak berperan aktif sebagai hearer (saat mendengar cerita guru/ anak lain) sekaligus speaker (saat bercerita pada guru dan anak-anak lain). Selain guru, orang tua maupun orang-orang terdekat anak dapat menerapkan metode bercerita setiap hari diluar lingkungan sekolah (dirumah, perjalanan ke/pulang sekolah, di tempat umum, dan sebagainya). Menurut http://paud-anakbermainbelajar.blogspot.co.id, manfaat membaca cerita selama 15 menit pada anak adalah: 1. Kemampuan mendengar meningkat 2. Fondasi dasar kemampuan berbahasa anak 3. Kemampuan komunikasi verbal meningkat 4. Logika berfikir dan rasa ingin tahu terasah 5. Minat baca sebagai bagian dari ilmu pengetahuan tumbuh 6. Wawasan bertambah 7. Imajinasi dan petualangan bertambah 8. Ikatan batin orangtua dan anak semakin erat 9. EQ meningkat 10. Nilai moral, etika, dan kepribadian tertanam 11. Budaya berbeda dapat dipelajari 12. Relaksasi
340
Bila anak terbiasa dengan metode bercerita diluar lingkungan sekolah, ia akan semakin terbiasa dan menyukai metode ini saat guru menerapkannya disekolah. Karena telah dijelaskan sebelumnya bahwa metode ini berperan dalam pengembangan kemampuan dan aspek bahasa anak khususnya komunikasi secara lisan. Pengembangan kemampuan bahasa pada anak di sekolah menjembatani kemampuan mereka dalam membentuk kompetensi sosialnya. Karena dengan pembentukan kompetensi bahasa, anak khususnya anak usia dini dapat memulai berkomunikasi dengan guru juga teman sebayanya secara interaktif. Susanto (2011:79) menyatakan pentingnya pengembangan keterampilan bahasa anak berguna sebagai alat komunikasi mereka ketika mulai belajar di prasekolah khususnya taman kanak-kanak. Kay (2006:72-73) mengemukakan bahwa anak usia dini juga
Bercerita Sebagai Metode Mengajar Bagi Guru Raudlatul Athfal dalam Mengembangkan Kemampuan_ menggunakan non bahasa ibu sebagai alat komunikasi. Sebagian lagi berbicara dengan bahasa daaerah dan dapat menjadi penyebab anak bicara dalam bahasa simbol (melalui gerak tangan) [body language]. Pada penerapan metode bercerita pada anak usia dini, selain menggunakan bahasa lisan guru turut serta menggunakan bahasa tubuh untuk memperjelas jalan cerita. Pada usianya, anak masih mengalami keterbatasan kosakata. Sehingga perpaduan antara bahasa lisan dan bahasa tubuh yang seimbang akan melangsungkan keberhasilan guru menyampaikan cerita dalam metode bercerita. Keberhasilan guru menerapkan metode bercerita juga ditunjang oleh beberapa hal yang dapat dilihat pada akhir membacakan cerita. Guru dapat mengusahakan tiga hal berikut sebagai hasil akhir setelah menerapkan metode bercerita (Moeslichatoen (2004:158)): 1. Membawa anak pada pengalaman unik dan menarik 2. Menggetarkan perasaan anak 3. Memotivasi anak untuk mengikuti cerita sampai tuntas Terdapat berbagai macam jenis-jenis metode bercerita (Moeslichatoen, 2004:158-160): 1. Membaca langsung dari buku cerita Guru akan lebih bagus mempraktekkan metode ini bila diimbangi dengan pembacaan puisi atau prosa yang sesuai. Hal ini memberikan penekanan pada pesan yang akan dimengerti anak. Pesan tersebut dapat berupa perbuatan yang benar atau salah, bagus atau tidak dan lainnya. 2. Bercerita dengan menggunakan ilustrasi gambar dari buku Ilustrasi membantu menarik perhatian anak pada jalan cerita. Gambar sebagai ilustrasi juga memperjelas pesan yang disampaikan oleh guru. Agar berjalan baik, penggunaan ilustrasi memerlukan persiapan. 3. Menceritakan dongeng Sebagai warisan budaya, dongeng digunakan guru dalam memberikan pesan pada anak. Jenis dongeng dapat berupa dongeng yang telah ada sebelumnya. Namun penciptaan dongeng dari negeri antah berantah yang bernilai kebajikan menjadi hal yang kreatif bagi guru pula. 4. Bercerita dengan menggunakan papan flanel Melapisi papan dengan kain flanel warna netral menjadi alternatif media menempel tokoh-tokoh perwatakan sebuah cerita. Tokoh-tokoh cerita dapat dibuat dari kertas dengan lapis kain goso sebagai perekat Vol. 3 | No. 2 | Juli-Desember 2015
341
ThufuLA
Taranindya Zulhi Amalia & Zaimatus Sa’diyah
342
pada kain flanel. Namun tokoh cerita dapat pula dibeli yang sudah jadi/ dibuat sendiri. 5. Bercerita dengan menggunakan media boneka Penggunaan boneka sebagai media bercerita harus mempertimbangkan faktor usia dan pengalaman pendengar. Bonekaboneka tersebut mewakili figur anggota keluarga. 6. Bercerita sambil memainkan jari-jari tangan Lewat gerakan jari tangan, guru dapat menciptakan jalan cerita. Dari beberapa jenis metode bercerita, beberapa diantaranya membutuhkan media berupa alat peraga untuk meyampaikan isi cerita. Mendongeng melalui alat peraga dapat dibedakan dalam beberapa teknik penggunaan, seperti (http://paud-anakbermainbelajar.blogspot.co.id): 1. Gambar (gambar flanel, gambar lepas, gambar seri, dsb). 2. Buku cerita 3. Boneka (boneka gagang, boneka gantung, boneka tangan, boneka tangan) 4. Papan flanel Selain alat peraga diatas media visualizer dianggap sebagai media berbasis TIK[Teknologi Informasi dan Komunikasi] yang tepat untuk mendongeng http://paud-anakbermainbelajar.blogspot.co.id. Mendongeng atau bercerita adalah bagian dari metode mengajar yang sering digunakan pada area bahasa di PAUD. Secara spesifik alat bermain anak PAUD di area bahasa adalah: buku-buku cerita, gambar seri, kartu kategori kata, kartu namanama, boneka tangan, panggung boneka, papan planel, kartu nama bulan, majalah anak, koran, macam-macam gambar sesuai tema, kliping peristiwa dan sebagainya. (http://paudjateng.xahzgs.com) Berdasar klasifikasi tersebut, sebagian besar dari alat-alat bermain turut dimanfaatkan sebagai alat peraga dalam menerapkan metode bercerita. Dengan atau tanpa alat peraga, jalan cerita yang disampaikan guru pada anak harus memiliki beberapa kriteria. Kriteria cerita yang baik serta cocok dengan kehidupan anak adalah (Moeslichatoen, 2004:166-167): Pertama; cerita harus menarik dan memikat perhatian guru sendiri sehingga guru bersungguh-sungguh dalam bercerita. Kedua; Cerita harus sesuai dengan kepribadian anak, gaya, dan bakat agar menarik perhatian dan keterlibatan anak dalam kegiatan bercerita. Ketiga; Cerita disesuaikan tingkat usia & kemampuan anak mencerna isinya. Penerapan metode bercerita pada anak memiliki beberapa manfaat
Bercerita Sebagai Metode Mengajar Bagi Guru Raudlatul Athfal dalam Mengembangkan Kemampuan_ yakni (Moeslichatoen, 2004:168-169): • Memberi sejumlah pengetahuan sosial, nilai-nilai moral, dan keagamaan • Memberi pengalaman belajar untuk berlatih mendengarkan • Mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, maupun psikomotor anak • Mengembangkan dimensi perasaan anak • Memberikan informasi tentang kehidupan sosial anak dengan orang sekitarnya.
Dari keterangan sebelumnya, kesimpulannya guru dapat membantu mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik anak secara bersama-sama saat menerapkan metode bercerita di tingkat PAUD. Ketika mendengarkan dan mencerna cerita, anak belajar pengetahuan memahami alur cerita dan nilai moral dari cerita. Dengan metode bercerita, anak belajar merasakan dan memaknai tipe-tipe dari cerita. Melalui cerita, anak secara mental dan psikologis belajar menirukan atau ber main peran sesuai cerita. Tema-tema dalam bercerita (Moeslichatoen, 2004: 172-175): 1. Binatang; 2. Tanaman 3. Peristiwa dalam masyarakat 4. Informasi tentang masyarakat dan layanan masyarakat 5. Alat transportasi 6. Kepahlawanan
D. Metode Bercerita bagi Guru Raudlatul Athfal Dalam menerapkan metode bercerita, guru hendaknya memilah isi cerita yang terkait dengan kehidupan anak seusia. Moeslichatoen (2004:157) berpendapat bahwa bila isi cerita dikaitkan dengan kehidupan anak TK, maka mereka dapat memahami isi cerita, mendengarkan dengan penuh perhatian, dan mudah menangkap isi cerita. Pada praktiknya, melakukan kegiatan bercerita di lingkungan pendidikan dapat dilakukan melalui media yang beragam. Namun guru anak usia dini umumnya menggunakan gambar atau menggambar untuk memudahkan Williams (1996:103) menyarankan untuk menggunakan teknik draw and tell dalam bercerita dikelas. Moeslichatoen (2004:158) memberikan tips bagi guru yang ingin memberikan kesempatan pada anak didiknya memperoleh aktivitas yang serupa meski dengan keterbatasan media termasuk menerapkan metode Vol. 3 | No. 2 | Juli-Desember 2015
343
ThufuLA
Taranindya Zulhi Amalia & Zaimatus Sa’diyah
344
bercerita dengan media cerita yang terbatas. Hal ini dapat tejadi bila disatu kelas media terbatas namun jumlah anak didik lebih dari batas wajar. Sekelompok anak dapat duduk mengelilingi guru yang sedang bercerita. Kelompok lain dapat beraktivitas menggambar/melipat. Sedangkan yang lain dapat membentuk plastisin. Bila telah usai, kelompok tersebut dapat bergantian melakukan aktivitas berbeda sehingga dapat menghindari tingkat kejenuhan saat menerima pembelajaran. Dalam aktivitas mendongeng/bercerita, hendaknya guru memberi kesempatan pada anak untuk bertanya dan memberikan tanggapan usai cerita selesai dibacakan. Guru dapat memberi kesempatan pada anak untuk berdiskusi tentang isi cerita (http://paud-anakbermainbelajar.blogspot. co.id). Namun tanpa diprediksi anak bisa memberikan pertanyaan pada guru sebelum guru menyudahi bercerita. Guru dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban yang singkat namun jelas bagi anak. Sedangkan bila memberikan waktu untuk berdiskusi, guru perlu memberi batasan waktu berdiskusi sehingga anak tetap dapat berkonsentrasi. Moeslichatoen (2004:167) berpendapat kegiatan bercerita akan lebih efektif bila dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil. Pada kelompok anak dengan usia lebih muda, guru disarankan berada pada posisi dekat sekali dengan anak karena keinginan mereka untuk memberikan tanggapan pada guru melalui verbal maupun fisik. Sehingga hal ini lebih mudah dilakukan bila anak tidak berada didalam kelompok yang bsar [dengan jumlah anak yang lebih banyak]. Ia menambahkan lebih jauh bahwa saat guru bercerita posisi anak berada dimana juga ditentukan melalui ciri-ciri anak didik yang berbeda antara kelas yang satu dan yang lain. Karena guru tersebut lebih memahami anak didiknya sendiri. Saat guru bercerita, anak dapat duduk dilantai dekat dengan guru atau duduk dikursi masing-masing. Selain isi cerita dan pesan moral, guru dapat memberikan motivasi pada anak melalui cerita. Cerita/dongeng dapat menciptakan keberanian pada anak (http://paud-anakbermainbelajar.blogspot.co.id). Moeslichatoen (2004:175) memaparkan rancangan kegiatan bercerita dalam tiga kegiatan: rancangan persiapan guru, rancangan pelaksanaan kegiatan bercerita, dan rancangan penilaian kegiatan bercerita. Lebih jauh ia (2004:175-176) menjelaskan bahwa dalam persiapannya, merancang kegiatan bercerita memiliki beberapa langkah, yakni: 1. Menetapkan tujuan dan tema yang dipilih; 2. Menetapkan bentuk bercerita yang dipilih; 3. Menetapkan rancangan bahan dan alat yang diperlukan untuk kegiatan
Bercerita Sebagai Metode Mengajar Bagi Guru Raudlatul Athfal dalam Mengembangkan Kemampuan_ bercerita; 4. Menetapkan rancangan langkah-langkah kegiatan bercerita a. Langkah pertama; mengkomunikasikan tujuan dan tema dalam bercerita kepada anak b. Langkah kedua; mengatur tempat duduk anak c. Langkah ketiga; pembukaan kegiatan bercerita (menggali pengalaman anak terkait cerita) d. Langkah keempat; pengembangan cerita yaang dituturkan guru e. Langkah kelima; menetapkan rancangan cara-cara bertutur yang dapat menggetarkan perasaan anak dengan cara memberikan gambaran f. Langkah keenam; langkah penutup cerita dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terkait dengan isi cerita.
E. Deskripsi Lokasi Deskripsi lokasi berada di RA Al Mursyida. Secara geografis, RA Al Mursyida terletak di Dukuh Conge Desa Ngembalrejo Kecamatan Bae Kabupaten Kudus Jawa Tengah. Selain itu, RA Al Mursyida telah bergabung dalam Ikatan Guru Raudlatul Athfal sekecamatan Bae. Sehingga mampu menjembatani kegiatan ini agar tepat sasaran manfaatnya. Oleh karena itu, semua RA peserta merupakan anggota IGRA Kecamatan Bae Kudus. F. Instrumen Penulis menggunakan beberapa instrumen anatar lain berupa: 1. Buku cerita berjudul: a. Buku cerita karton berseri Kimi dan Mimi berjudul Istana Balok oleh Watiek Ideo yang diterbitkan oleh Elex Media Komputindo, Jakarta, 2012. Buku ini memiliki ciri adanya pengembangan moral quotient serta ilustrasi bergambar b. Buku cerita berseri Aku Anak Muslim yang dikemas dalam dua bahasa berjudul Anak Sabar (The Patient Kid) oleh Ali Muakhir yang diterbitkan oleh Tiga Serangkai, Solo, 2008 memiliki kelebihan dalam pengembangan nilai-nilai sosial dan moral. c. Buku cerita berseri hewan halal: unta, kerbau. d. Buku cerita Domba si Pabrik Wol e. Kelinci si Imut
Vol. 3 | No. 2 | Juli-Desember 2015
345
Taranindya Zulhi Amalia & Zaimatus Sa’diyah Belalang Sahabat Ilalang Kambing si Jago Makan Bebek si Perenang Handal Ayam si Pabrik Telur Buku berseri tersebut menggambarkan binatang-binatang yang disebut dalam Al-Qur’an. 2. Boneka: a. Hand Puppets b. Finger Puppets
ThufuLA
f. g. h. i.
346
G. Hasil dan Pembahasan Kegiatan ini mendapat respon positif yang luar biasa dari seluruh peserta. Hal ini terlihat dari banyaknya pertanyaan dan sharing ide yang muncul di sesi ketiga. Beberapa pertanyaan diajukan, dan terjawab bahwa sebagai fasilitator yang akan membawakan metode bercerita, guru harus menyadari bahwa totalitas bermain peran dalam sebuah cerita akan membawa kesan yang positif dalam benak anak-anak peserta didik. Apalagi mereka adalah-anak-anak usia dini yang masih sangat mudah terbawa emosi dan menirukan apapun yang mereka lihat. Karenanya jika seorang guru mampu membawakan peran yang ada dalam sebuah alur cerita yang disampaikan pada siswa-siswanya maka ini bisa menjadi salah satu metode yang sangat efektif dalam penanaman nilai-nilai moral dan pembentuka etika pada diri mereka. Oleh karena itu, kesadaran akan peran besar guru dalam hal ini harus benar-benar ditanamkan. Kedua, untuk bisa bermain peran secara total guru harus mampu mengesampingkan rasa malu dan juga gengsi dari dalam dirinya. Pada mulanya, mungkin para peserta didik akan mentertawakan totalitas ini, karena belum terbiasa dengan permainan peran yang dilakukan oleh gurunya. Namun lambat laun, jika metode bercerita ini bisa dilaksanakan secara rutin, maka anak-anak didik secara tidak langsung akan belajar seni peran dan ekspresi. Tentu saja ini membawa dampak positif bagi perkembangan kemampuan dasar bahasa para peserta didik dan juga pada pembentukan karakter mereka. Pertanyaan kedua yang muncul adalah bagaimana kiat agar bisa membedakan intonasi suara sesuai dengan karakter yang terdapat dalam cerita yang sedang disampaikan? Tentu saja kemampuan membedakan intonasi suara sesuai denga karakter dalam sebuah cerita membutuhkan proses berlatih yang tidak sebentar. Meski tidak mudah, namun kemauan
Bercerita Sebagai Metode Mengajar Bagi Guru Raudlatul Athfal dalam Mengembangkan Kemampuan_ dari setiap guru untuk terus berlatih pasti akan membuahkan hasil. Berdasarkan data yang didapatkan saat wawancara dan sharing ide, ada beberapa kendala yang dihadapi oleh guru dalam penerapan metode bercerita ini. Kendala pertama adalah menghilangkan rasa malu yang seringkali terlintas saat harus bermain peran dengan penyesuaian intonasi suara pada saat menggunakan metode bercerita di hadapan para peserta didik. Kendala kedua adalah sikap mental para peserta didik yang cenderung menganggap aneh permainan peran yang ditampilkan oleh guru pada saat menerapkan metode bercerita ini, apalagi dibarengi dengan pembedaan intonasi dan mimik wajah serta penjiwaan cerita. Mereka menganggap bahwa guru sedang bermain-main. Hal ini muncul karena para peserta didik belum terbiasa dengan metode ini. Kedua kendala ini dapat disikapi dengan penjelasan yang diberikan oleh guru sebelum menerapkan metode ini. Lambat laun, penggunaan metode bercerita secara rutin akan menjadi sesuatu yang menarik dan berkesan bagi para peserta didik. Kemudian, setting ruang dan tempat duduk juga sangat menentukan dalam keberhasilan metode ini. Penataan kelas secara konvensional dengan posisi guru di depan kelas dan siswa-siswa duduk berjajar di dalam kelas dirasa kurang mendukung penggunaan metode bercerita ini. Sebaiknya guru mengajak para siswa untuk mendekat membentuk lingkaran di lantai misalnya, atau mengatur meja siswa menjadi setengah lingkaran akan menjadikan metode bercerita ini berhasil. Berikutnya, terkait tema tentu saja guru bisa merujuk pada kurikulum yang dijadikan acuan kegiatan belajar mengajar. Selain itu pengayaan materi pendukung sangat dianjurkan agar kegiatan belajar mengajar tidak monoton. Pengayaan ini sebaiknya lebih banyak ditekankan pada proses character building mengingat bahwa para siswa Raudlatul Athfal sedang dalam masa emas pertumbuhan kesehatan fisik dan kecerdasan mental. Karenanya, penanaman nilai-nilai positif terkait dengan kecerdasan mental akan mudah ditanamkan. Metode bercerita dianggap sebagai salah satu pintu masuk untuk menanamkan nilai-nilai positif tersebut. Tentu saja harus dimulai dari hal-hal yang sederhana dan dekat dengan kenyataan hidup sehari-hari sesuai dengan perkembangan pemahaman para siswa yang masih sangat sederhana. Puncak kegiatan pelatihan ini diisi dengan praktek penggunaan metode bercerita yang dilakukan oleh para pendidik Raudlatul Athfal. Dalam proses praktek ini para pendidik diberi kebebasan dalam menggunakan metode bercerita, ada yang menggunakan media buku, boneka tangan, boneka jari Vol. 3 | No. 2 | Juli-Desember 2015
347
ThufuLA
Taranindya Zulhi Amalia & Zaimatus Sa’diyah
348
dan juga cermin. Pendidik pertama memperagakan metode bercerita menggunakan cermin. Cermin digunakan sebagai media untuk mengukur ekspresi diri dari sang peserta, artinya tidak ada hubungan antara cermin dan cerita yang dibawakan. Dia hanya ingin mempraktekkan metode bercerita sekaligus berlatih dan menilai diri sendiri sejauh mana kemampuan ekspresi dan penghayatannya dalam menggunakan metode bercerita ini. Dalam kesempatan ini, pendidik pertama membawakan cerita tentang tauladan akhlak nabi Muhammad SAW yang dihubungkan dengan pendidikan karakter bagi anak-anak usia dini. Banyak teladan akhlak yang diberikan oleh Rasulullah SAW pada ummatnya, karena sesungguhnya tujuan utama risalah nabi Muhammad SAW adalah untuk mendidik manusia menjadi pribadi yang berakhlak mulia. Salah satu contoh yang dekat dengan logika peserta didik usia dini adalah akhlak menghormati kedua orang tua. Rasulullah SAW mencontohkan kepada kita bagaimana seharusnya kita bersikap kepada orang tua. Penanaman nilai-nilai akhlak pada anak usia dini, khususnya para siswa Raudlatul Athfal dirasa sangat efektif karena mereka sedang masa emas pertumbuhan fisik dan pembentukan mental. Karenanya, nilai-nilai positif yang ingin disampaikan oleh guru akan sangat berkesan dan mudah diingat oleh mereka. Selain akhlak terhadap orang tua, pendidik pertama juga menceritakan bagaimana akhlak seorang murid terhadap guru dan juga penanaman rasa kasih sayang pada sesama makhluk Allah. fenomena yang dihadapi sang peserta dalam kehidupan sehari-hari menjadi inspirasi penanaman nilai-nilai kasih sayang dan menyatakan bahwa kenyataan di lapangan pertengkaran antar para siswa lebih sering dipicu oleh keluguan para siswa yang suka memilih-milih teman, pemilihan teman ini sebenarnya tidak masalah, namun kenyataannya mereka saling ejek antar grup sehingga menimbulkan pertengkaran dan pecahnya tangisan di antara mereka. Penyampaian materi kasih sayang ini sangat tepat dan sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Sehingga penggunaan metode bercerita tidak hanya untuk menanamkan nilai-nilai positif yang diinginkan namun juga memberi solusi pada permasalahan yang dihadapi. Tentu saja cara menyampaikan cerita dan penggunaan bahasa yang tepat dan sesuai dengan logika para siswa amat sangat menentukan sampai tidaknya pesan tersebut. Secara umum pendidik sudah bisa membawakan metode bercerita ini dengan baik, hanya saja penjiwaan yang minim, serta ekspresi yang kurang pas menjadikan praktik ini banyak dibumbui dengan gelak tawa
Bercerita Sebagai Metode Mengajar Bagi Guru Raudlatul Athfal dalam Mengembangkan Kemampuan_ antar peserta. Tentu saja semua membutuhkan proses. Latihan-latihan serupa harus terus dilakukan untuk menyempurnakan pemahaman dan pelaksanaan metode ini. Pendidik kedua mencoba untuk mempraktekkan metode bercerita menggunakan media buku cerita dan boneka tangan. Pesan yang disampaikan dalam buku ini adalah tentang persahabatan. Persahabatan menjadi tema menarik yang bisa dipilih dalam proses penanaman nilai-nilai positif bagi peserta didik usia dini. Selain itu penggunaan buku bergambar juga mempunyai daya tarik sendiri karena gambar-gambar yang terdapat pada buku cerita tersebut membantu para peserta didik untuk berimaginasi atas cerita yang sedang disampaikan oleh sang guru. Perkembangan kemampuan bahasa anak usia dini juga sangat terbantu dengan visualisasi melalui cerita bergambar ini. Penggunaan boneka tangan juga berperan positif dalam menarik perhatian para peserta didik. Tidak dapat dipungkiri bahwa dunia para peserta didik di raudlatul Athfal adalah dunia bermain. Dan bermain boneka merupakan salah satu bentuk permainan menarik, karenanya penggunaan boneka sebagai salah satu alat bantu dalam menyampaikan cerita akan banyak membantu guru dalam rangka menyampaiakn pesan-pesan positif yang ada dalam sebuah cerita. Pendidik kedua ini cukup berhasil membawakan metode bermain menggunakan media buku bergambar dan boneka tangan, pesan yang disampaikan juga sesuai dengan dengan perkembangan kecerdasan siswa usia dini. Meski dengan sedikit kesusahan, pendidik mampu mencoba membedakan intonasi suara untuk setiap karakter yang terdapat dalam cerita. Pendidik ketiga mencoba menyampaikan cerita dengan bantuan buku cerita yang bertema semangat menghafal al-quran. Buku ini merupakan salah satu buku yang disiapkan oleh panitia dan nara sumber dalam rangkaian pelatihan ini. Pemilihan buku ini bukan tanpa alasan. Maraknya acara-acara tahfidz al-quran yang banyak disiarkan di beberapa stasiun televisi nasional mampu membangkitkan semangat sebagian masyarakat muslim untuk mengenalkan al-quran kepada anak-anak usia dini. Tentu saja sekolah sebagai lembaga formal juga mempunyai peran penting dalam rangka menyebarkan dan mengokohkan semangat ini. Dalam mempraktekkan metode bercerita, kali ini pendidik ketiga menggunakan buku bergambar sebagai media pendukung. Dalam praktek ini, pendidik terlihat belum bisa menerapkan metode bercerita karena Vol. 3 | No. 2 | Juli-Desember 2015
349
ThufuLA
Taranindya Zulhi Amalia & Zaimatus Sa’diyah
350
kurangnya pemahaman isi buku. Artinya, ketika seseorang ingin menerapkan metode bercerita dengan menggunakan bantuan buku bergambar tentunya dia harus memahami secara utuh pesan yang terdapat dalam buku tersebut. Jika dirasa ada bahasa-bahasa rumit yang mungkin belum difahami, guru dapat memilih kata yang lebih sederhana dan mudah dipahami oleh peserta didiknya. Nampaknya hal ini belum dilakukan oleh peserta ketiga, sehingga pendidik yang berpraktik sebagai seorang pembaca cerita di depan kelas lebih disibukkan untuk memahami isi dari buku cerita tersebut. Selain itu, penjiwaan yang kurang menyebabkan praktek ini lebih banyak diselingi tawa dari pendidik yang sedang membawakan cerita dan juga peserta lain, sehingga dirasa bahwa pendidik belum bisa secara utuh mempraktekkan metode bercerita. Pendidik keempat berkesempatan untuk mempraktekkan metode bercerita dengan menggunakan media berupa gambar-gambar yang mewakili tokoh-tokoh yang ada dalam alur cerita yang dibacakan. Peserta keempat ini berhasil menyampaikan pesan yang terdapat dalam alur cerita yang dibacakan. Hanya saja suara yang kurang keras tidak menjangkau semua. Secara umum para peserta menyatakan ketertarikannya dengan metode bercerita, karena metode ini dapat memperkaya kemampuan pedagogik para pendidik dalam menyampaikan materi-materi pembelajaran anak-anak usia dini. Selain itu, banyak yang menyatakan bahwa ini adalah pengalaman pertama mereka mengikuti pelatihan metode bercerita. Karenanya banyak hal dapat mereka ambil dalam pelatihan ini baik yang berhubungan dengan materi cerita maupun teknik-teknik dalam metode bercerita. Secara umum hampir keseluruhan pendidik mengharapkan pelaksanaan metode bercerita berjalan baik. Harapan ini tentu saja merujuk pada kenyataan minimnya kesempatan-kesempatan yang didapatkan oleh para pendidik Raudlatul Athfal untuk mendapatkan refreshing akademik. Tidak dapat dipungkiri bahwa para pendidik dituntut untuk selalu mengembangkan kemampuan pedagogiknya agar tercipta suasana yang selalu baru dan menyenangkan bagi para peserta didik. F. Penutup Ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dari hasil dan pembahasan sebelumnya, yakni:: 1. Meski bercerita merupakan salah satu metode penanaman karakter yang
Bercerita Sebagai Metode Mengajar Bagi Guru Raudlatul Athfal dalam Mengembangkan Kemampuan_ sudah lama dikenal, namun kenyataan menunjukkan bahwa metode ini sudah mulai ditinggalkan. Salah satu alasannya adalah tuntutan kurikulum yang lebih menitikberatkan pada penguatan kemampuan kognitif daripada kemampuan afektif, bahkan perkembangan teknologi juga sudah mulai berdampak pada berkurangnya aktifitas motorik para peserta didik. Padahal kompetensi afektif tidak bisa diabaikan begitu saja. Pembentukan karakter dan penanaman nilai-nilai moral yang merupakan nutrisi utama dalam kemampuan afektif lebih mudah dibentuk oleh lingkungan, termasuk di dalamnya lingkungan belajar. Bercerita merupakan salah satu metode yang cukup efektif dalam rangka penanaman nilai-nilai positif dan penguatan kompetensi afektif. Jika pembentukan karakter menjadi salah satu tujuan utama pendidikan, maka seyogyanya kompetensi afektif mendapatkan ruang yang proporsional dalam dunia pendidikan. 2. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan metode bercerita di masing-masing Raudlatul Athfal tentu berbeda. Kendala-kendala tersebut antara lain: minimnya pengetahuan para pendidik Raudlatul Athfal terkait metode bercerita ini. Bercerita masih dianggap sebagai sebuah kebiasaan turun temurun yang tidak memiliki metode dan tehnik, sehingga bisa jadi dianggap tidak ada hubungan yang signifikan antara metode bercerita dengan pendidikan. Selain itu, fasilitas pendukung pelaksanaan metode bercerita ini dirasa masih kurang. Padahal kendala ini dapat disikapi dengan kreatifitas para pendidik. Apalagi pendidik di lingkungan Raudlatul Athfal tentu mempunyai keterampilan imaginatif yang cukup baik yang bisa dimunculkan dalam bentuk media-media pembelajaran berupa gambar, boneka, poster dan lain sebagainya yang juga bisa dimanfaatkan sebagai media pendukung pelaksaan metode bercerita ini. Kendala lain adalah kemampuan penghayatan yang masih minim. Sebagaimana diketahui bahwa menyampaikan sebuah cerita sejatinya merupakan salah satu bentuk permainan peran. Ekspresi yang tepat, penjiwaan yang total dan intonasi yang diseuaikan akan menjadikan metode bercerita ini hidup dan menarik bagi anak-anak usia dini. Oleh karena itu pembiasaan berperan kuat dalam membekali para pendidik di lingkungan Raudlatul Athfal untuk bisa menerapkan metode bercerita ini dengan baik. Masalah lain yang juga dihadapi adalah respon para peserta didik yang masih belum terbiasa dengan metode bercerita. Mereka sering kali mentertawakan para pendidik yang dengan sungguhsungguh membawakan metode ini dengan ekspresi dan penjiwaan. Tentu Vol. 3 | No. 2 | Juli-Desember 2015
351
Taranindya Zulhi Amalia & Zaimatus Sa’diyah
ThufuLA
saja respon ini lambat laun akan berkurang atau bahkan hilang sma sekali seiring berjalannya waktu jika metode bercerita ini dibawakan secara rutin.
352
Bercerita Sebagai Metode Mengajar Bagi Guru Raudlatul Athfal dalam Mengembangkan Kemampuan_ DAFTAR PUSTAKA Ahmad Susanto, Perkembangan Anak Usia Dini: Pengantar dalam Berbagai Aspeknya, Kencana, 2011. Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, Edisi Keenam Jilid II, Terjemahan oleh Meitasari Tjandrasa dan Soejarwo. Tanpa Tahun, Erlangga, 1978. Ely Muliawati, Efek Pembelajaran Bahasa Asing terhadap Perkembangan Kognitif Anak Usia Dini, Bahasa dan Sastra Inggris FPBS UPI, 2015. http://paud-anakbermainbelajar.blogspot.co.id [30 Juli 2015] http://paudjateng.xahzgs.com [30 Juli 2015] Janet Kay, Pendidikan Anak Usia Dini, Kanisius, Yogyakarta, 2006. Luluk Asmawati, Perencanaan Pembelajaran PAUD, Rosda, Bandung, 2014. Moeslichatoen, R., Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2004. Noam Chomsky, Syntactic Structures, Mouton, The Hague, 1957. PERMENPAN dan RB No. 17 Tahun 2013 JO No. 46 Tahun 2013 Sharon Kennedy, New Ways in Teaching Young Children, Capitol Commnication Systems, Inc., Maryland, 1996. Tim Penyusun, Pedoman Beban Kerja Dosen, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Kementrian Agama RI, 2011 UU RI Nomor 20 Tahun 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL BAB VI JALUR, JENJANG, DAN JENIS PENDIDIKAN Bagian Keempat mengenai Pendidikan Tinggi Pasal 1, 24 (2), 28 (2), (3) Williams (1996:103)
353 Vol. 3 | No. 2 | Juli-Desember 2015